HUKUM
MK Mengabulkan Syarat Capres-Cawapres Pernah Menjadi Kepala Daerah
Jakarta, FNN - Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengenai batas usia calon presiden dan calon wakil presiden diubah menjadi berusia 40 tahun atau pernah berpengalaman sebagai kepala daerah.\"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,\" ucap Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan/ketetapan di Gedung MK RI, Jakarta, Senin.Mahkamah mengabulkan sebagian Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 diajukan oleh perseorangan warga negara Indonesia (WNI) bernama Almas Tsaqibbirru Re A yang berasal dari Surakarta, Jawa Tengah.Ia memohon syarat pencalonan capres dan cawapres diubah menjadi berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.Mahkamah berkesimpulan bahwa permohonan pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Oleh sebab itu, MK menyatakan Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI 1945.\"Sehingga Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi ‘berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah’,\" ucap Anwar.Atas putusan tersebut, terdapat alasan berbeda (concurring opinion) dari dua orang hakim konstitusi, yaitu Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foekh, serta pendapat berbeda (dissenting opinion) dari empat hakim konstitusi, yakni Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo.Dalam pertimbangannya, mahkamah menilik negara-negara lain yang memiliki presiden dan wakil presiden yang berusia di bawah 40 tahun. Kemudian, juga melihat Amerika Serikat dan beberapa negara di Eropa yang mengatur syarat capres berusia di bawah 40 tahun.Sementara itu dalam konteks negara dengan sistem parlementer, kata mahkamah, terdapat pula perdana menteri yang berusia di bawah 40 tahun ketika dilantik atau menjabat.Data tersebut dinilai mahkamah menunjukkan bahwa tren kepemimpinan global semakin cenderung ke usia yang lebih muda.\"Dengan demikian, dalam batas penalaran yang wajar, secara rasional, usia di bawah 40 tahun dapat saja menduduki jabatan baik sebagai presiden maupun wakil presiden sepanjang memenuhi kualifikasi tertentu yang setara,: ucap Guntur Hamzah.Di sisi lain, mahkamah juga menyinggung terkait beberapa putusan terakhir yang memberikan tafsir ulang terhadap norma suatu pasal dan mengenyampingkan open legal policy.\"Konsep open legal policy pada prinsipnya tetap diakui keberadaan-nya, namun tidak bersifat mutlak karena norma dimaksud berlaku sebagai norma kebijakan hukum terbuka selama tidak menjadi objek pengujian undang-undang di mahkamah,\" tutur hakim konstitusi Manahan M.P. Sitompul.Terlebih lagi, sambung Manahan, apabila DPR maupun presiden telah menyerahkan sepenuhnya kepada mahkamah untuk memutus hal dimaksud.\"Maka dalam keadaan demikian, adalah tidak tepat bagi mahkamah untuk melakukan judicial avoidance dengan argumentasi yang seakan-akan berlindung di balik open legal policy,\" ujar Manahan.Lebih lanjut, mahkamah juga menilai bahwa pengalaman pejabat negara, baik di lingkungan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif tidak bisa dikesampingkan begitu saja dalam pemilihan umum (pemilu).\"Pembatasan usia minimal 40 tahun semata tidak saja menghambat atau menghalangi perkembangan dan kemajuan generasi muda dalam kontestasi pimpinan nasional, tapi juga berpotensi mendegradasi peluang tokoh atau figur generasi milenial yang menjadi dambaan generasi muda, semua anak bangsa yang seusia generasi milenial,\" imbuh hakim konstitusi M. Guntur Hamzah.Apabila dilihat dari sisi rasionalitas, menurut mahkamah, penentuan batas usia minimal 40 tahun bagi calon presiden dan wakil presiden bukan berarti tidak rasional, tetapi tidak memenuhi rasionalitas yang elegan karena berapa pun usia yang dicantumkan akan selalu bersifat dapat didebat sesuai ukuran perkembangan dan kebutuhan zaman.Oleh karena itu, mahkamah berpendapat penting bagi mahkamah memberikan pemaknaan kuantitatif dan kualitatif untuk Pasal 169 huruf (q) UU Pemilu.\"Penting bagi mahkamah untuk memberikan pemaknaan yang tidak saja bersifat kuantitatif, tetapi juga kualitatif, sehingga perlu diberikan norma alternatif yang mencakup syarat pengalaman atau keterpilihan melalui proses demokratis, yaitu pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu, tidak termasuk pejabat yang ditunjuk,\" ucap Guntur.Berkaitan dengan perkara uji materi sebelumnya yang ditolak, mahkamah mengatakan permohonan Almas memiliki alasan permohonan yang berbeda, yaitu berkenaan dengan adanya isu kesamaan karakteristik jabatan yang dipilih melalui pemilu, bukan semata-mata isu jabatan penyelenggara negara.(ida/ANTARA)
Putusan MK Melampaui Kewenangannya
Jember, Jawa Timur, FNN - Pengamat hukum tata negara Universitas Jember (Unej) Dr Adam Muhshi menilai bahwa putusan hakim Mahkamah Konstitusi terkait batas usia calon presiden (capres) dan wakil presiden (wapres) telah melampaui kewenangannya sebagai lembaga negative legislator.\"Dengan putusan itu, MK memposisikan diri sebagai positif legislator, sehingga sudah \'melompat pagar\' dari kewenangannya karena yang membentuk aturan itu DPR dan Presiden,\" katanya di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Selasa.Ia mengatakan secara legal formal keputusan hakim MK tersebut sah dan tetap mengikat sejak dibacakan, namun menjadi bermasalah secara substansi karena dinilai cacat hukum.Menurutnya putusan MK yang mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengenai batas usia capres dan cawapres diubah menjadi 40 tahun atau pernah berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.\"Dari semangatnya anak muda boleh menjadi presiden asalkan sudah pernah menjadi kepala daerah, namun saya tidak setuju karena secara substansi sangat tendensius ketika diterapkan pada Pemilu 2024,\" ucap dosen Fakultas Hukum Unej itu.Dari sisi hukum, lanjut dia, banyak yang menilai putusan tersebut cacat hukum karena secara substansi telah keluar dari nilai utama konstitusi bahwa Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis dan negara berdasarkan supremasi hukum/konstitusi kini menjadi negara hukum positif atau perundang-undangan.\"Putusan MK sangat jauh dari rasa keadilan masyarakat karena saat ini Indonesia sebagai negara Republik, akan tetapi putusan MK tersebut berpotensi mundur ke belakang, kembali ke politik dinasti yang merupakan karakter negara dengan sistem monarki dengan hukum positif sebagai dalil pembenar,\" katanya.Adam menyayangkan adanya putusan MK yang dinilai sudah mengarah ke politik, sehingga hal tersebut akan mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut dan menjadi preseden buruk bagi lembaga itu jelang tahun politik.\"Sebagai negative legislator, MK tidak boleh membatalkan atau mengubah ketentuan UU yang tidak bertentangan dengan konstitusi. Namun putusan MK justru menjadikan lembaga tersebut sebagai positif legislator,\" ujarnya.Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengenai batas usia calon presiden dan calon wakil presiden diubah menjadi berusia 40 tahun atau pernah berpengalaman sebagai kepala daerah.(ida/ANTARA)
Ketua MK Pengecut, Bersandiwara Soal Batas Usia Capres-Cawapres
Oleh Asyari Usman - Jurnalis Senior Mau disebut Mahkamah Keluarga, tidak salah. Mau dikatakan Mahkamah Kepentingan, bisa juga. Hari ini Ketua dan para hakim di Mahkamah Konstitusi (MK) mempertontonkan martabat terendah mereka. Yaitu, pengecut dan bersandiwara. Tidak berani tegas memutuskan gugatan terhadap batas usia capres-cawapres. Mereka membuat rangkaian putusan yang seolah menjunjung konstitusi UUD 1945. Padahal, mereka merekayasa kepura-puraan yang tujuannya hanya satu, yakni untuk membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka ikut pilpres 2024. Ada banyak pihak yang menggugat. Dua yang terkemuka diantaranya adalah PSI (Partai Solidaritas Indonesia) dan Partai Garuda. Gugatan kedua parpol ini ditolak. Tetapi, Ketua MK Anwar Usman (adik ipar Jokowi) dan para hakim lainnya mengabulkan gugatan mahasiswa UNS Solo, Almas Tsaqibirru. Singkatnya, pasal 169 huru q UU No. 7 tahun 2017 tentang pemilu tetap membatasi usia minimal capres-cawapres 40 tahun. Tetapi kalau orang itu berpengalaman menjadi kepala daerah boleh ikut pilpres walaupun belum 40 tahun. Ini jelas dimaksudkan untuk Girban. Tak bisa dibantah sandiwara tulen di MK yang pertahankan batas usia 40 tahun tetapi memberikan jalan kepada yang punya pengalaman sebagai kepala daerah. Sandiwara untuk memuluskan jalan Gibran ikut pilpres. Indonesia betul-betul menjadi ajang permainan elit politik dan eilit taipan jahat. Jokowi bisa mengatur apa saja yang dia dan taipan inginkan. Logis saja. Untuk siapa frasa “berpengalaman menjadi kepala daerah meskipun belum 40 tahun” itu? Bukan untuk Gibran? Apakah ada manusia waras yang mengatakan putusan MK ini bukan untuk Gibran? Seharusnya Ketua MK gentleman saja. Tidak usah berputar-putar untuk membukakan jalan bagi Gibran. Menolak penurunan batas usia, tetapi membolehkan orang yang sedang menjadi kepala daerah atau pernah menjadi kepala daerah. Ini jelas sandiwara hukum. Ketua MK Anwar Usman tidak bisa mengelak kalau dituding sebagai sutradara sandiwara ini. Memuakkan. Menjijikkan sekali. Anda menghina akal sehat publik. Anda pengecut, Pak Ketua MK. Putuskan saja batas usia menjadi 35 tahun. Tidak usah malu-malu berbuat untuk Gibran. Tidak perlu berbelit-belit dengan frasa “pengalaman sebagai kepala daerah” segala. Mengapa harus berbasa-basi? Anda tidak hanya bersandiwara dengan kepura-puraan, Pak Ketua. Tapi Anda sekarang malah memunculkan masalah baru. Apa masalah baru itu? Bahwa putusan Anda ini mendiskriminasikan orang-orang di bawah 40 tahun yang sangat berpotensi tapi tidak punya pengalaman sebagai kepala daerah. Entah menunggu kesewenangan apalagi sebelum rakyat bangkit menghentikan perbuatan tercela para penguasa bangsat.[]
Putusan Batas Usia Capres-Cawapres Berlaku Mulai Pemilu 2024
Jakarta, FNN - Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa putusan mahkamah terkait uji materi Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum berlaku mulai Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2024.“Ketentuan Pasal 169 huruf (q) UU 7/2017 sebagaimana dimaksud dalam putusan a quo berlaku mulai pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 dan seterusnya,” kata Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dalam Sidang Pengucapan Putusan/Ketetapan di Gedung MK RI, Jakarta, Senin.Guntur mengatakan bahwa hal tersebut penting untuk ditegaskan agar tidak menimbulkan keraguan mengenai penerapan pasal dalam menentukan syarat batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).“Hal ini penting ditegaskan mahkamah agar tidak timbul keraguan mengenai penerapan pasal a quo dalam menentukan syarat keterpenuhan usia minimal calon presiden dan wakil presiden sebagaimana rumusan dalam amar putusan a quo,” ucapnya.MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengenai batas usia capres dan cawapres diubah menjadi berusia 40 tahun atau pernah berpengalaman sebagai kepala daerah.Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 itu diajukan oleh perseorangan warga negara Indonesia (WNI) bernama Almas Tsaqibbirru Re A yang berasal dari Surakarta, Jawa Tengah.Mahkamah berkesimpulan bahwa permohonan pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Oleh sebab itu, MK menyatakan Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI 1945.\"Sehingga Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi ‘berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah’,\" ucap Ketua MK Anwar Usman membacakan amar putusan.Di sisi lain, MK menolak gugatan uji materi yang dilayangkan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang memohon batas usia capres dan cawapres menjadi 35 tahun.Kemudian, MK juga menolak gugatan uji materi Partai Garuda dan sejumlah kepala daerah yang memohon batas usia capres-cawapres diubah menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara.Terkait hal itu, Guntur menegaskan bahwa putusan yang berlaku adalah putusan yang terbaru, yakni putusan yang mengabulkan batas usia capres-cawapres menjadi 40 tahun atau pernah menjadi kepala daerah.“Terhadap pemaknaan norma Pasal 169 huruf (q) UU 7/2017, penting bagi mahkamah untuk menegaskan bahwa dalam hal terdapat dua putusan yang menyangkut isu konstitusionalitas yang sama, namun karena petitum yang tidak sama dalam beberapa putusan sebelumnya dengan perkara a quo sehingga berdampak pada amar putusan yang tidak sama, maka yang berlaku adalah putusan yang terbaru,” kata Guntur.(sof/ANTARA)
Saldi Isra Mengakui Merasa Aneh Luar Biasa Dengan Putusan MK
Jakarta, FNN - Hakim Konstitusi Saldi Isra menjadi salah satu hakim yang menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian permohonan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.Ketika menyampaikan poin-poin pendapat berbeda, Saldi mengakui aneh luar biasa dan menyebut putusan tersebut jauh dari batas penalaran yang wajar, karena dia mengklaim mahkamah berubah pendirian dalam sekejap.“Sejak saya menapakkan kaki sebagai Hakim Konstitusi di gedung mahkamah ini pada 11 April 2017, atau sekitar enam setengah tahun yang lalu, baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar: mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat,” kata Saldi di Gedung MK RI, Jakarta, Senin.MK mengabulkan permohonan yang diajukan oleh perseorangan warga negara Indonesia (WNI) bernama Almas Tsaqibbirru Re A yang berasal dari Surakarta, Jawa Tengah.Mahkamah berkesimpulan bahwa permohonan pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Oleh sebab itu, Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.Sementara itu, MK menolak gugatan uji materi Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 yang dilayangkan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang memohon batas usia capres dan cawapres menjadi 35 tahun.Kemudian, MK juga menolak gugatan uji materi Partai Garuda (Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023) dan sejumlah kepala daerah (Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023) yang memohon batas usia capres-cawapres diubah menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara.“Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU- XXI/2023, mahkamah secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya. Padahal, sadar atau tidak, ketiga putusan tersebut telah menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang,” kata dia.Saldi mengatakan mahkamah memang pernah berubah pendirian dalam memutus suatu perkara, tetapi tidak pernah terjadi secepat ketika memutus Perkara Nomor 90 yang diklaimnya terjadi dalam hitungan hari.Perubahan itu, kata dia, tidak hanya sekadar mengenyampingkan putusan sebelumnya, tetapi juga didasarkan pada argumentasi yang kuat setelah mendapat fakta-fakta penting yang berubah di tengah-tengah masyarakat.“Pertanyaannya, fakta penting apa yang telah berubah di tengah masyarakat sehingga mahkamah mengubah pendiriannya dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 dengan amar menolak sehingga berubah menjadi amar mengabulkan dalam Putusan a quo?” ucap dia.Lebih lanjut dia mengungkap bahwa ketika rapat permusyawaratan hakim (RPH) untuk memutus Perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 pada tanggal 19 September 2023, RPH dihadiri oleh delapan hakim konstitusi kecuali Ketua MK Anwar Usman.“Hasilnya, enam Hakim Konstitusi, sebagaimana amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51- 55/PUU-XXI/2023, sepakat menolak permohonan dan tetap memosisikan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) pembentuk undang-undang. Sementara itu, dua Hakim Konstitusi lainnya memilih sikap berbeda (dissenting opinion),” ungkapnya.Kemudian, dalam RPH berikutnya untuk membahas putusan perkara nomor 90-91/PUU-XXI/2023, RPH dihadiri oleh seluruh hakim konstitusi.Beberapa hakim konstitusi yang dalam Perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 telah memposisikan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagai opened legal policy, kata Saldi, tiba-tiba menunjukkan ketertarikan dengan model alternatif yang dimohonkan dalam petitum Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.“Meski model alternatif yang dimohonkan oleh pemohon dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 secara substansial telah dinyatakan sebagai kebijakan hukum terbuka dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023,” ucap Saldi.Tanda-tanda berubah pandangan beberapa hakim konstitusi itu, menurut Saldi, memicu pembahasan yang lebih detail dan ulet, sehingga pembahasan terpaksa ditunda dan diulang beberapa kali.“Tidak hanya itu, para pemohon Perkara Nomor 90-91/PUU-XXI/2023, sempat menarik permohonannya dan kemudian sehari setelahnya membatalkan kembali penarikan tersebut,” ucapnya.Di samping itu, Saldi juga mengungkap bahwa sebagian hakim konstitusi berubah haluan dari semula menyatakan Perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 merupakan kebijakan hukum terbuka, menjadi mengambil posisi akhir untuk mengabulkan sebagian Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.Atas putusan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, terdapat alasan berbeda (concurring opinion) dari dua orang hakim konstitusi, yaitu Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foekh, serta pendapat berbeda (dissenting opinion) dari empat hakim konstitusi, yakni Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo.Sementara itu, terhadap putusan perkara nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 diwarnai pendapat berbeda (dissenting opinion) dari dua hakim konstitusi, yakni Suhartoyo dan M. Guntur Hamzah atas putusan tersebut.(sof/ANTARA)
MK Tidak Dapat Menerima Dua Gugatan Terkait Batas Usia Capres-Cawapres
Jakarta, FNN - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan tidak dapat menerima dua gugatan uji materi Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang diajukan oleh dua perorangan bernama Arkaan Wahyu Re A dan Melisa Mylitiachristi Tarandung.“Menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan di Gedung MK RI, Jakarta, Senin.Arkaan, selaku pemohon pada Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023, memohon batas usia capres-cawapres diturunkan menjadi sekurang-kurangnya 21 tahun. Sementara Melisa, selaku pemohon pada Perkara Nomor 92/PUU-XXI/2023, memohon batas usia capres cawapres diubah menjadi berusia paling rendah 25 tahun.Mahkamah tidak dapat menerima dua permohonan tersebut karena pasal yang diajukan uji materinya itu telah memiliki pemaknaan baru, sebagaimana putusan MK yang mengabulkan sebagian Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.Dalam sidang yang sama, MK memutus berkesimpulan bahwa permohonan pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Kini, Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu selengkapnya berbunyi “Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.Atas dasar itu, mahkamah berkesimpulan permohonan Arkaan dan Melisa telah kehilangan objek, sehingga tidak relevan lagi untuk mempertimbangkan kedudukan hukum pemohon dan pokok permohonan.“Permohonan pemohon kehilangan objek, kedudukan hukum pemohon dan pokok permohonan tidak dipertimbangkan,” kata Anwar Usman.Dalam sidang hari ini, MK mengabulkan sebagian Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh perseorangan warga negara Indonesia (WNI) bernama Almas Tsaqibbirru Re A yang berasal dari Surakarta, Jawa Tengah.Sementara itu, MK menolak gugatan uji materi Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 yang dilayangkan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang memohon batas usia capres dan cawapres menjadi 35 tahun.Kemudian, MK juga menolak gugatan uji materi Partai Garuda (Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023) dan sejumlah kepala daerah (Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023) yang memohon batas usia capres-cawapres diubah menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara.Atas putusan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, terdapat alasan berbeda (concurring opinion) dari dua orang hakim konstitusi, yaitu Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foekh, serta pendapat berbeda (dissenting opinion) dari empat hakim konstitusi, yakni Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo.Sementara itu, terhadap putusan perkara nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 diwarnai pendapat berbeda (dissenting opinion) dari dua hakim konstitusi, yakni Suhartoyo dan M. Guntur Hamzah atas putusan tersebut.(sof/ANTARA)
Terkait Perkara BTS Kominfo, Kejagung Memastikan Akan Memeriksa BPK
Jakarta, FNN - Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Ketut Sumedana memastikan penyidik Kejaksaan RI akan memeriksa pihak dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengklarifikasi keterangan yang disampaikan terdakwa Irwan Hermawan (IH) di persidangan kasus dugaan korupsi proyek pembangunan infrastruktur BTS 4G Paket 1, 2, 3, 4, dan 5.\"Akan kami periksa orang BPK untuk klarifikasi apa yang disampaikan IH dan hasil pemeriksaan Sadikin,\" kata Ketut di Jakarta, Senin.Ketut mengatakan bahwa pemeriksaan pihak BPK ini sekaligus untuk mengklarifikasi hasil pemeriksaan tersangka Sadikn Rusli yang ditangkap pada hari Sabtu (14/10). Hal ini mengingat nama Sadikin pernah disebut oleh Direktur PT Multimedia Berdikari Sejahtera Windi Purnama, pernah menyerahkan uang senilai Rp40 miliar kepada seseorang perwakilan dari BPK bernama Sadikin.\"Kami akan periksa orang BPK,\" ujarnya.Mantan Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali itu juga memastikan bahwa Sadikin Rusli yang ditangkap oleh penyidik Jampidsus bukannya dari BPK.\"Dia bukan orang BPK, dia itu pihak swasta. Kalau dia ada keterkaitannya dengan BPK, tentu akan kami dalami dan kembangkan ketika memang betul ditemukan alat bukti ini,\" katanya.Ketut menekankan bahwa penyidik Jampidsus menelusuri semua semua keterkaitan antara Sadikin dan BPK seperti apa dengan meminta keterangan pihak BPK dalam waktu dekat.Jika ditemukan bukti keterkaitan, penyidik bakal mengembangkan perkara tersebut dengan melakukan pendalaman.\"Kalau memang ada bukti, kami kembangkan perkaranya. Yang jelas nanti kami panggil semua, orang yang tersebut bakal kami panggil semua,\" ujar Ketut.Dalam perkara korupsi merugikan keuangan negara sebesar Rp8,32 triliun ini, Kejagung sudah menetapkan 14 orang sebagai tersangka. Keempat tersangka terbagi dalam tiga klaster perkara, yakni tindak pidana korupsi, tidak pidana penyuapan dalam aliran dana korupsi BTS Kominfo, dan menghalangi penyidikan.Dari 14 orang tersangka tersebut, kata dia, enam orang sudah tahap persidangan, yakni Anang Achmad Latif, Yohan Suryanto, Gelumbang Menak Simanjuntak, Mukti Ali, Irwan Hermawan, dan Johnny G. Plate.Dua tersangka lain sudah tahap dua, pelimpahan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yakni Windy Purnama dan Muhammad Yusriski Muliawan. Berkas perkara keduanya rencananya dilimpahkan antara tanggal 16 atau 17 Oktober.Selanjutnya enam tersangka masih dalam tahap penyidikan, yakni Jemy Sutjiawan, Elvano Hatorangan, M. Ferriandi Mirza, Walbertus Natalius Wisang (Pasal 21), Naek Parulian Washington Hutahaean atau Edward Hutahaean (Pasal 15), dan Sadikin Rusli (Pasal 15).(ida/ANTARA)
MK Menolak Uji Materi Batas Usia Capres-Cawapres 40 Tahun
Jakarta, FNN - Mahkamah Konstitusi menolak uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengenai batas usia calon presiden dan calon wakil presiden diubah menjadi berusia 40 tahun atau pernah berpengalaman sebagai penyelenggara negara.\"Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,\" kata Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan/ketetapan di Gedung MK RI, Jakarta, Senin.Perkara tersebut diajukan oleh Wali Kota Bukittinggi Erman Safar dan Wakil Bupati Lampung Selatan Pandu Kesuma Dewangsa.Dalam petitumnya, mereka juga memohon usia capres-cawapres menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara.Mahkamah berkesimpulan bahwa pokok permohonan yang diajukan para pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.\"Pokok permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk keseluruhannya,\" ucap Anwar membacakan konklusi.Lebih lanjut, mahkamah berpendapat pemberian pemaknaan baru terhadap Pasal 169 huruf (q) UU Pemilu sebagaimana permohonan para pemohon dalam petitumnya akan menyebabkan kontradiksi.Hal itu karena akan melarang seseorang yang belum berusia 40 tahun untuk dicalonkan sebagai capres atau cawapres, sekaligus membolehkan seseorang yang berusia di bawah 40 tahun sepanjang memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara.\"Menurut mahkamah, ketentuan Pasal 169 huruf (q) UU 7 Tahun 2017 (UU Pemilu) ternyata tidak bertentangan dengan perlakuan yang adil dan diskriminatif,\" kata Hakim Konstitusi Saldi Isra membacakan pertimbangan mahkamah.Terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion) dari dua hakim konstitusi, yakni Suhartoyo dan M. Guntur Hamzah atas putusan tersebut.Sebelumnya, MK juga menolak uji materi pasal yang sama yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan Partai Garuda.(ida/ANTARA)
Mahfud MD Minta Konflik Muntilan Diselesaikan Secara Hukum
Surabaya, FNN - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD meminta konflik di Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dapat diselesaikan secara hukum.\"(Konflik di Muntilan) Supaya diselesaikan secara hukum,\" kata Mahfud MD usai memberikan kuliah umum \"Demokrasi yang Bermartabat Menuju Indonesia Emas 2045\" di Universitas Airlangga Surabaya, Jawa Timur, Senin.Mahfud mengatakan hukum yang dijunjung tinggi bangsa Indonesia adalah perdamaian dan kebersamaan dengan jalan bermusyawarah. Oleh sebab itu, lanjutnya, segala bentuk perselisihan maupun pertikaian seharusnya diselesaikan dengan cara musyawarah.\"Kalau bisa berdamai, ya, berdamai. Kalau tidak, ya, dibawa ke proses hukum,\" tegasnya.Konflik yang berujung bentrok terjadi di Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (15/10), yang melibatkan massa dari dua kelompok.Kapolresta Magelang Kombes Pol. Ruruh Wicaksono menjelaskan kronologi peristiwa tersebut awalnya disebabkan oleh adanya kegiatan dari suatu kelompok di Kabupaten Magelang mulai pagi hari hingga pukul 15.00 WIB.\"Setelah kegiatan selesai, saat pulang, salah satu kelompok ini bersinggungan dengan kelompok yang lain. Kemudian, ada kesalahpahaman hingga terjadilah gesekan di lapangan,\" jelas Ruruh.Namun demikian, Ruruh mengaku konflik tersebut sudah diselesaikan hingga Minggu malam dengan mediasi yang difasilitasi oleh Polresta Magelang.\"Kerusakan masih kami data, korban jiwa tidak ada, dan korban luka belum ada laporan,\" ujar Ruruh.(ida/ANTARA)
SYL: Saya Akan Mengikuti Semua Proses Hukum
Jakarta, FNN - Mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) menegaskan akan mengikuti semua proses hukum yang berjalan terkait perkara dugaan tindak pidana korupsi di Kementerian Pertanian.\"Saya akan mengikuti semua proses hukum yang ada dan tentu saja akan mengedepankan juga hak-hak saya secara aturan yang ada,\" kata Syahrul usai konferensi pers di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Jumat.Syahrul juga berharap diberi ruang untuk berproses secara baik dalam peradilan. Dia pun menyebut penanganan KPK dalam perkara itu sangat profesional dan cukup baik.\"Tentu saja saya berharap biarkan saya berproses secara baik dalam peradilan. Penanganan KPK sangat profesional dan cukup baik, menurut saya, walaupun dua malam ini saya betul-betul mendapatkan sebuah proses yang cukup panjang dan melelahkan,\" ucapnya.Syahrul memohon agar dirinya tidak dihakimi terlebih dahulu dan berharap proses hukum dapat berjalan sesuai asas praduga tak bersalah.\"Saya berharap jangan saya dihakimi lagi dulu, biarkan semua prosesnya asas praduga tak bersalah harus dilakukan, termasuk ke Kementan. Seperti itu teman-teman. Mohon aku diberi kesempatan untuk itu,\" ucapnya.Syahrul Yasin Limpo telah ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara dugaan korupsi di Kementan. SYL pun resmi ditahan di Rutan KPK pada Jumat, selama 20 hari ke depan untuk penyidikan lebih lanjut.Selain SYL, KPK juga menahan dua anak buahnya, yakni Sekretaris Jenderal Kementan Kasdi Subagyono (KS) dan Direktur Alat dan Mesin Pertanian Kementan Muhammad Hatta (MH).Para tersangka disangkakan melanggar Pasal 12 huruf e dan 12B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindakan Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindakan Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.Terhadap tersangka SYL turut pula disangkakan melanggar Pasal 3 dan/atau 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).(sof/ANTARA)