HUKUM

Zumi Zola Diperiksa Sebagai Saksi oleh KPK

Jakarta, FNN - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa mantan gubernur Jambi Zumi Zola di Jakarta, Selasa, sebagai saksi kasus dugaan suap pengesahan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Provinsi Jambi Tahun Anggaran 2017-2018.\"Hari ini pemeriksaan saksi tindak pidana korupsi pengesahan RAPBD Provinsi Jambi Tahun Anggaran 2017 atas nama Zumi Zola mantan gubernur Jambi Periode 2016-2021,\" kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri di Jakarta, Selasa.Zumi Zola hadir memenuhi panggilan penyidik KPK dan tiba di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, sekitar pukul 09.55 WIB, Selasa.Perkara suap tersebut diduga terjadi menjelang pengesahan RAPBD Jambi Tahun Anggaran 2017-2018. Dalam RAPBD itu, tercantum berbagai proyek pekerjaan infrastruktur dengan nilai proyek mencapai miliaran rupiah yang sebelumnya disusun Pemprov Jambi.Untuk mendapatkan persetujuan pengesahan RAPBD Jambi Tahun Anggaran 2017-2018 tersebut, sejumlah anggota DPRD Provinsi Jambi Periode 2014-2019 diduga meminta sejumlah uang dengan istilah \"ketok palu\" kepada Zumi Zola yang saat itu menjabat sebagai gubernur Jambi.Atas permintaan tersebut, Zumi Zola melalui orang kepercayaannya yang juga seorang pengusaha, Paut Syakarin, menyiapkan dana sekitar Rp2,3 miliar.Pembagian uang \"ketok palu\" itu disesuaikan dengan posisi para tersangka di DPRD yang besarannya dimulai Rp100 juta sampai Rp400 juta per anggota DPRD.Terkait teknis pemberian, KPK menduga Paut Syakarin menyerahkan sejumlah uang kepada beberapa anggota DPRD Provinsi Jambi. Dengan pemberian uang tersebut, RAPBD Jambi Tahun Anggaran 2017-2018 kemudiam disahkan.Untuk mengganti uang yang telah dikeluarkan Paut Syakarin, Zumi Zola kemudian memberikan beberapa proyek pekerjaan di Dinas Pekerjaan Umum Pemprov Jambi kepada Paut Syakarin.Atas perbuatannya, para tersangka kemudian disangkakan melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.Zumi Zola pum turut ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan KPK karena diduga menerima gratifikasi senilai Rp49 miliar.Zumi Zola divonis enam tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan. Dia dieksekusi pada 14 Desember 2018 ke ke Lapas SukamiskinZumi Zola bebas pada September 2022 setelah mendapatkan bebas bersyarat, sehingga dia hanya menjalani masa penahanan kurang lebih empat tahun dari total masa hukumannya.(ida/ANTARA)

Enembe Layak Menjalani Sidang Berdasarkan Hasil "Second Opinion" IDI

Jakarta, FNN - Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyampaikan hasil second opinion tim pemeriksaan dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) terkait kondisi kesehatan Gubernur Papua nonaktif Lukas Enembe.Dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa, jaksa menyebut bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan IDI, Lukas Enembe dinyatakan laik untuk menjalani proses persidangan.\"Tim pemeriksa kesehatan second opinion menyimpulkan bahwa saat ini terperiksa dinilai laik untuk menjalani proses persidangan (fit to stand trial),\" kata salah satu jaksa KPK.Jaksa mengatakan IDI tidak menemukan adanya kondisi yang bersifat gawat darurat pada diri Lukas Enembe. Terdakwa kasus dugaan suap dan gratifikasi itu dapat menjalani pengobatan rawat jalan.Kemudian, katanya, tidak ditemukan adanya kelumpuhan pada saraf-saraf kranialis atau saraf-saraf otak dengan perlu perbaikan pada kekuatan otot anggota gerak tubuh sisi kanan.\"Tidak ditemukan adanya gangguan kejiwaan yang berat atau serius. Terperiksa mampu mengendalikan emosi secara baik, dapat berpikir rasional, dan memiliki fungsi kognitif yang cukup baik,\" kata jaksa.Lebih lengkapnya, hasil pemeriksaan IDI menemukan bahwa Lukas Enembe memiliki riwayat stroke nonperdarahan dengan gejala sisa, diabetes melitus tipe dua terkontrol tanpa obat; dan hipertensi dengan penyakit jantung koroner tanpa tanda-tanda gagal jantung.Selain itu, ditemukan penyakit ginjal kronik stadium lima atau stadium akhir akibat komplikasi diabetes melitus. Oleh karenanya, Lukas dianjurkan hemodialisis atau cuci darah, tetapi ia dan keluarga tidak merespons.\"Kondisi gambaran kekurangan sel darah merah atau klinis anemia merah ringan,\" sambung jaksa memerinci hasil pemeriksaan IDI.Jaksa mengatakan Lukas Enembe dapat berkomunikasi dua arah dan bersikap kooperatif, terbuka,  tampil apa adanya, dan tidak ada upaya untuk menutupi ataupun melebih-lebihkan masalah kesehatan yang dimilikinya\"Informasi yang diberikan bersifat cukup konsisten,\" ucap jaksa.Di sisi lain, IDI menemukan gangguan ringan dalam proses berpikir Lukas Enembe. Namun, hal itu tidak mengganggu kemampuan yang bersangkutan untuk memahami, menganalisis, dan mengevaluasi.\"Termasuk, merencanakan alternatif solusi terkait permasalahan hukum maupun masalah kesehatan fisik yang dimilikinya. Hal ini tidak berubah bila dibandingkan dengan hasil pemeriksaan sebelumnya,\" kata jaksa.Atas hasil second opinion yang dilakukan delapan dokter ahli dari IDI tersebut, persidangan atas nama terdakwa Lukas Enembe dilanjutkan pada Senin (7/8) dengan agenda pemeriksaan saksi.Dalam perkara ini, Lukas Enembe didakwa dengan dua dakwaan.Pertama, Lukas didakwa menerima suap dari Rp45.843.485.350 dengan rincian sebanyak Rp10.413.929.500 berasal dari pengusaha Piton Enumbi selaku Direktur sekaligus pemilik PT Meonesia Mulia, PT Lingge-Lingge, PT Astrad Jaya serta PT Melonesia Cahaya Timur dan sebanyak Rp35.429.555.850 berasal dari Rijatono Lakka selaku Direktur PT Tabi Anugerah Pharmindo, PT Tabi Bangun Papua sekaligus CV Walibhu.Kedua, Lukas Enembe juga didakwa menerima gratifikasi berupa uang sebesar Rp1 miliar dari Budy Sultan selaku Direktur PT Indo Papua pada 12 April 2013.(ida/ANTARA)

Kasus Korupsi Basarnas, Ormas Sipil Menilai KPK Punya Wewenang

Jakarta, FNN - Sejumlah organisasi masyarakat sipil dan lembaga bantuan hukum menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berwenang memeriksa kasus korupsi di Badan Pencarian dan Pertolongan Nasional (Basarnas) meskipun itu melibatkan dua prajurit aktif TNI.Oleh karena itu, menurut perwakilan masing-masing organisasi saat taklimat media di Jakarta, Minggu (30/7), masalah yurisdiksi yang muncul dalam kasus itu sebetulnya tidak perlu menjadi perdebatan, karena kewenangan KPK memeriksa kasus korupsi di Basarnas sesuai dengan asas-asas hukum, konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), dan peraturan perundang-undangan.Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, dalam taklimat media itu, menjelaskan ada tiga asas hukum yang menjamin kewenangan KPK memeriksa kasus korupsi di Basarnas, meskipun itu melibatkan prajurit TNI.“Asas hukum pertama adalah hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah. Asas hukum kedua, hukum yang baru mengesampingkan hukum yang lama. Asas hukum yang ketiga, hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang lebih umum,” kata Usman Hamid, yang saat ini juga aktif sebagai dosen salah satu sekolah tinggi hukum di Jakarta.Dia menjelaskan UUD 1945 sebagai konstitusi negara membawahi undang-undang di bawahnya, termasuk undang-undang yang mengatur peradilan umum dan peradilan militer.Usman menyebut Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D UUD 1945 mengatur kedudukan seluruh warga negara, tanpa terkecuali, sama di dalam hukum.“Setiap orang, tanpa terkecuali memiliki kesamaan kedudukan di muka hukum, baik warga sipil, warga berstatus anggota Polri, maupun warga berstatus anggota TNI. Siapa pun tidak boleh kebal hukum,” kata Usman Hamid.Terkait itu, dia menekankan anggota TNI merupakan bagian dari warga negara Indonesia yang artinya mereka punya kedudukan yang sama dengan warga sipil lainnya dalam menjalani proses hukum sebagaimana diatur dalam konstitusi UUD 1945.Kemudian, terkait asas hukum yang baru mengesampingkan hukum yang lama, Usman menyoroti penggunaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, dan Undang-Undang Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).“Kalau sudah ada Undang-Undang Peradilan Militer tentu Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Tahun 1970 tidak berlaku lagi, tetapi kalau sudah ada Undang-Undang TNI Tahun 2004, maka seluruh undang-undang di belakang dikesampingkan,” kata Usman Hamid.Dia menekankan isi Pasal 65 ayat (2) UU TNI yang mengatur prajurit TNI tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer, dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.Asas hukum ketiga, dia melanjutkan, hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang umum. Usman menilai kasus tindak pidana korupsi merupakan bagian dari tindak pidana khusus, bukan tindak pidana umum.“Seharusnya perdebatan tentang peradilan militer atau peradilan umum tidak berlaku lagi, karena perdebatan itu hanya membahas yurisdiksi mana ketika anggota TNI melakukan tindak pidana umum. Yang terjadi (di Basarnas) bukan tindak pidana umum, yang terjadi sekarang tindak pidana khusus,” kata dia.Dia juga menyoroti peradilan koneksitas yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam KUHAP, terutama Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, dan Pasal 92, mekanisme koneksitas berlaku saat warga sipil bersama-sama anggota TNI melakukan tindak pidana umum, bukan tindak pidana khusus.“Korupsi tindak pidana khusus, bukan tindak pidana umum. Korupsi tidak ada hubungannya dengan tugas militer, tidak ada hubungannya dengan kepentingan militer,” kata dia.Usman menyampaikan Pasal 89 KUHAP menegaskan jika tindak pidana dilakukan oleh warga sipil dan anggota TNI, maka pemeriksaan perkara menjadi kewenangan peradilan umum. Kecuali, ada keputusan menteri pertahanan (menhan) dan menteri kehakiman/menteri hukum dan HAM (menkumham) yang menetapkan perkara tersebut diperiksa oleh peradilan militer.“Dalam kasus Basarnas, tidak ada keputusan menhan, tidak ada keputusan menkumham,” kata dia.Kemudian, Pasal 90 KUHAP lanjut mengatur jika ada perdebatan mengenai yurisdiksi, maka perlu ada penelitian bersama yang dituangkan dalam berita acara dan ditandatangani oleh para pihak.“Kuncinya, penelitian bersama dan dituangkan dalam berita acara,” kata dia.Terakhir, Pasal 91 KUHAP, yang menurut Usman sangat penting untuk menentukan yurisdiksi memeriksa suatu perkara.“Pasal 91 itu penting sekali, (karena mengatur) kalau ada perdebatan otoritas peradilan militer dan peradilan umum, maka harus dihitung dari titik berat kerugiannya,” kata Usman.Jika kerugiannya lebih berat ke kepentingan umum, maka perkara itu di periksa oleh peradilan umum. Sebaliknya, jika kerugian dari suatu perkara lebih merugikan kepentingan militer, maka kasus itu dibawa ke peradilan militer.“Kalau kasus korupsi terjadi dalam badan SAR yang dibentuk oleh TNI untuk tugas-tugas TNI, jelas itu dibawa ke peradilan militer, tetapi yang terjadi korupsi di Badan SAR nasional, bukan lingkungan terbatas TNI,” kata dia.Dalam taklimat itu, organisasi sipil lainnya yang turut menyampaikan sikap antara lain dari YLBHI, KontraS, Lingkar Madani, Centra Initiative, ICW, PBHI, Setara Institute, ELSAM, Forum De Facto, KPI, HRWG, dan Imparsial.(ida/ANTARA)

Satu Tersangka Korupsi di Basarnas Memenuhi Panggilan KPK

Jakarta, FNN - Satu tersangka kasus korupsi di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) Mulsunadi Gunawan (MG) hari ini memenuhi panggilan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).\"Betul, informasi yang kami terima, hari ini Senin tersangka pihak swasta atas nama MG dalam perkara dugaan suap pengadaan di Basarnas RI hadir ke KPK dengan didampingi pengacara Juniver Girsang,\" kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri di Jakarta, SeninAli mengatakan saat ini yang bersangkutan sedang menjalani pemeriksaan oleh tim penyidik lembaga antirasuah.\"Tim penyidik segera lakukan pemeriksaan dan kami pastikan, hak-hak tersangka kami penuhi sesuai ketentuan hukum yang berlaku sebagaimana para tersangka KPK lainnya,\" ujarnya.Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu (26/7) mengumumkan lima orang tersangka dalam kasus dugaan suap pengadaan barang di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas).Lima tersangka tersebut yakni Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) Republik Indonesia Marsekal Madya (Marsdya) TNI Henri Alfiandi (HA) dan Koorsmin Kabasarnas Letkol Adm Afri Budi Cahyanto (ABC).Sedangkan tiga tersangka sipil yakni Marilya (MR), Roni Aidil (RA), dan Mulsunadi Gunawan (MG). Meski demikian MG tidak hadir memenuhi panggilan penyidik pada saat penetapan tersangka pada Rabu tersebut.KPK menyebut HA diduga menerima suap Rp88,3 miliar dari beberapa proyek pengadaan barang di Basarnas pada rentang waktu 2021-2023.\"Dari informasi dan data yang diperoleh Tim KPK, diduga HA bersama dan melalui ABC (Letkol Adm Afri Budi Cahyanto) diduga mendapatkan nilai suap dari beberapa proyek di Basarnas tahun 2021 hingga 2023 sejumlah sekitar Rp88,3 miliar dari berbagai vendor pemenang proyek,\" kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu.Ada pun pasal yang disangkakan yakni melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.(ida/ANTARA)

Polres Sampang Membantah Minta Uang Rp50 Juta Terkait Rokok Ilegal

Sampang, FNN - Polres Sampang, Jawa Timur membantah terkait tudingan permintaan uang tebusan Rp50 juta kepada pemilik rokok ilegal yang tertangkap tim reskrim polres setempat dan kini menyebar di berbagai media.Permintaan dilakukan oleh oknum anggota Polres Sampang yang kini menjabat sebagai Kepala Unit Reskrim Polres Sampang.\"Itu tidak benar. Tidak ada permintaan uang,\" kata Kasi Humas Polres Sampang Ipda Sujianto dihubungi per telepon di Sampang, Jawa Timur, Senin.Kasus permintaan uang oleh oknum anggota Polres Sampang itu berawal dari penangkapan mobil pikap L300 yang dikemudikan oleh Muni yang mengangkut rokok tanpa pita cukai alias ilegal pada awal Juni 2023 sekitar pukul 22.00 WIB.Setelah ditangkap, seorang polisi yang menjabat Kanit di Reskrim Polres Sampang, meminta uang tebusan Rp50 juta. Muni tak punya uang karena hanya pengemudi.Empat hari kemudian, pada 9 Juni 2023, pemilik rokok datang ke Polres Sampang untuk mendiskusikan masalah mobil berikut muatannya.Pemilik rokok tanpa pita cukai tak mampu memenuhi permintaan polisi oknum polisi itu, dan dia hanya mampu jika tarif tebusannya Rp20 juta.Tak ada titik temu, akhirnya sang Kanit di Reskrim Polres Sampang ini menyampaikan bahwa pimpinannya tidak setuju dengan angka Rp20 juta dan meminta pemilik rokok datang kembali di hari Senin tanggal 12 Juni 2023 yang akhirnya sang Kanit sepakat, mobil berikut muatannya dapat ditebus dengan harga Rp30 juta.Rekaman permintaan uang oknum polisi itu, tiba-tiba menyebar. Dalam sebuah video berdurasi 2.34 detik, sang oknum polisi itu menjelaskan, selain duit tebusan, ia juga menjelaskan tentang pengamanan lanjutan lalu lintas pengiriman rokok ilegal di Sampang.Menurut oknum dalam rekaman itu, pengamanan bisa sendiri atau bisa juga bulanan. Itupun kalau cocok dengan pimpinan.\"Sekali lagi itu tidak benar dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Yang jelas tidak ada permintaan uang,\" kata Kasi Humas Ipda Sujianto, tanpa menjelaskan secara detail terkait rekaman video yang kini beredar luas di masyarakat tersebut.(ida/ANTARA)

TNI Jangan Arogan, KPK Memalukan Minta Maaf dalam Kasus Marsdya Henri Alfiandi

Jakarta, FNN - Analis politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting meminta Mabes TNI jangan arogan dalam kasus dugaan suap senilai Rp88,3 miliar yang melibatkan Marsekal Madya (Marsdya) Henri Alfiandi. Ia juga menyayangkan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)  meminta maaf kepada Mabes TNI dalam kasus operasi tangkap tangan (OTT) terkait prajurit aktif TNI, sebagai sikap yang memalukan.  “KPK bisa mengabaikan permintaan Mabes TNI soal peradilan militer, karena KPK punya kewenangan lex specialis dalam pemberantasan korupsi, tanpa terkecuali. Undang-undang khusus (lex specialist) bisa mengabaikan undang-undang umum (lex generalis,” kata dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas di Jakarta, Ahad (29/7). Dikemukakan, keberatan Marsdya Henri Alfiandi ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dengan alasan militer aktif, seharusnya diabaikan saja. Semua warga negara sama kedudukannya di dalam hukum, karena itu TNI tidak boleh diistimewakan. Publik justru lebih keberatan dengan perilaku koruptif yang diduga dilakukan jenderal bintang tiga Angkatan Udara itu dengan meminta jatah biaya 10 persen dari proyek sejak 2021 hingga 2023. “Buat apa Mabes TNI melalui Kapuspen (Kepala Pusat Penerangan) TNI, Kababinkum (Kepala Badan Pembinaan Hukum) TNI, serta Danpuspom (Komandan Pusat Polisi Militer) TNI terkesan membela perilaku koruptif perwira tinggi militer? Korupsi adalah kejahatan luar biasa (extraordinary), karena itu harus ada kebijakan luar biasa dari pimpinan TNI, bukan malah terkesan membela perwira tinggi,” ungkap Selamat Ginting. Henri Sudah Sipil Menurut Selamat Ginting, Henri Alfiandi sesungguhnya sudah pensiun dari dinas militer, karena telah berusia 58 tahun pada 24 Juli 2023 lalu. Memang secara administrasi sedang menunggu surat pensiun tertanggal 1 Agustus 2023 mendatang. Henri dinyatakan sebagai tersangka pada 26 Juli 2023, saat umurnya sudah lewat 58 tahun, sesuai ketentuan usia pensiun perwira TNI. Jadi KPK tidak perlu tunduk pada Mabes TNI, cukup melaporkannya saja.   Bahkan, lanjut Ginting, berdasarkan surat keputusan Panglima TNI, sejak 17 Juli 2023, posisinya sebagai Kepala Basarnas sudah digantikan Marsdya Kusworo. Serahterima jabatan menunggu Keputusan Presiden, karena Basarnas berada langsung di bawah presiden. “Itu semuanya hanya administratif saja. Jadi sejatinya Henri Alfiandi sudah sipil, jadi jangan dicarikan alasan harus melalui peradilan militer kemudian Mabes TNI protes kepada KPK. Basarnas pun lembaga sipil di bawah presiden. Basarnas bukan lembaga militer, walau pun dipimpin perwira tinggi bintang tiga,” ujar Ginting yang lama menjadi wartawan bidang politik dan militer. Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh KPK, lanjut Ginting, merupakan operasi rahasia, seperti juga operasi intelijen dalam militer. Tidak ada kewajiban untuk memberitahu pihak lain dalam operasi intelijen maupun OTT. Termasuk kepada rekan dalam satu institusi, apalagi institusi lain.  “Pimpinan TNI mestinya bisa memahami OTT adalah operasi rahasia. Jika harus melaporkannya kepada Puspom TNI, itu sama saja dengan berpotensi membocorkan rahasia negara kepada pihak lain,” ungkap Ginting. Kebocoran Operasi Dikemukakan, Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi merupakan abituren (lulusan) Akademi Angkatan Udara (AAU) 1988-B. Teman satu kelas dengan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Fadjar Prasetyo dan Komandan Puspom TNI Marsekal Muda Agung Handoko. “Siapa yang bisa jamin tidak bocor, jika kasusnya dilaporkan kepada atasannya di TNI AU maupun Komandan Puspom TNI yang sama-sama teman satu kelas di AAU 1988-B,” ungkap Ginting. Kini kata dia, opini publik yang berkembang justru mencurigai Mabes TNI sedang menutupi aib perwira tingginya. Belum lagi sebelumnya kasus pengadaan helikopter AW-101 oleh TNI AU yang diduga menyeret nama mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Agus Supriatna. “Kasus pengadaan helicopter AW-101 yang semula dilaporkan kepada KPK, kemudan ditangani Puspom TNI. Sampai sekarang publik bertanya, mengapa menjadi tidak jelas alias mangkrak? Apakah sekarang Mabes TNI akan mengulang kasus yang sama? Sebaiknya Mabes TNI tidak usah mencari dalih soal peradilan militer dalam kasus yang memalukan ini,” tegas Ginting. Menurut Selamat Ginting, selain Polisi Militer dan Oditur Militer, maka masih ada atasan yang berhak menghukum (ankum) bisa turun tangan dalam kasus dugaan suap ini. Komandan Puspom TNI bintang dua, Oditur Jenderal TNI juga berbintang dua. Mungkin ada psikologi dari kepangkatan, karena terduga kasus suap ini berbintang tiga. “Maka ankum-nya sebaiknya bintang empat dan bukan KSAU. Harus Panglima TNI, karena Kepala Basarnas posisinya sebagai pejabat negara setingkat Menteri,” kata Ginting yang mengenyam pendidikan doktoral ilmu politik, magister komunikasi politik, dan sarjana ilmu politik.  Seperti diketahui dalam OTT kasus pengadaan barang di Basarnas, KPK menetapkan lima orang sebagai tersangka. Mereka Kepala Basarnas periode 2021-2023 Marsdya Henri Alfiandi; Koorsmin Kepala Basarnas, Letkol Adm Afri Budi Cahyanto; Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati (MGCS) Mulsunadi Gunawan; Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati (IGK) Marilya; dan Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama (KAU) Roni Aidil. (sws)

DPO Korupsi Dana BOK Kaur 2022 Diamankan Kejagung dan Kejati Bengkulu Sabtu, 29 Juli 2023 16:56 WIB Tiga buronan terkait tindak pidana korupsi dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) Tahun 2022 di Kabupaten Kaur diamankan Tim Tangkap Buronan (Tabur) Kejaksaan Agung RI dan Tim Kejaksaan Tinggi Bengkulu di kawasan Melawai, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (28/7/2023). ANTARA/HO-Puspenkum Kejagung. Jakarta (ANTARA) - Tim Tangkap Buronan (Tabur) Kejaksaan Agung RI dan Tim Kejaksaan Tinggi Bengkulu mengamankan tiga buronan yang masuk daftar pencarian orang (DPO) asal Kejaksaan Tinggi Bengkulu terkait tindak pidana korupsi dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) Tahun 2022 di Kabupaten Kaur, Bengkulu. Ketiga buronan yang berinisial BSS, RNS, dan AH itu diamankan di sebuah penginapan di kawasan Melawai, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pada Jumat (28/7) sekitar pukul 20.00 WIB malam. “Saat diamankan, BSS, RNS, dan AH bersikap kooperatif sehingga proses pengamanannya berjalan lancar. Selanjutnya, Terpidana dibawa menuju Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan untuk diperiksa oleh Penyidik Kejaksaan Negeri Kaur,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung RI Ketut Sumedana dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Sabtu. Dia menuturkan bahwa BSS, RNS, dan AH diamankan dalam kapasitasnya sebagai saksi yang akan diperiksa untuk selanjutnya ditetapkan sebagai tersangka karena menghalang-halangi penyidikan. “Ketiganya diperiksa oleh Kejaksaan Negeri Kaur dalam proses penyidikan perkara tindak pidana korupsi pelaksanaan dan pengelolaan dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) terhadap 16 kepala puskesmas di Kabupaten Kaur Tahun Anggaran 2022,” ujarnya. Dalam perkara tersebut, lanjut dia, ketiganya mengaku-ngaku sebagai pejabat kejaksaan yang dapat membantu menyelesaikan penanganan perkara 16 kepala Puskesmas Kabupaten Kaur, Bengkulu, dengan meminta sejumlah uang yang terkumpul hingga sekitar Rp600.000.000. “Lalu, ketika dipanggil secara patut oleh penyidik Kejaksaan Kaur, ketiganya tidak mengindahkan panggilan tersebut,” terangnya. Melalui program Tabur Kejaksaan, tambah dia, Jaksa Agung meminta jajarannya untuk memonitor dan segera menangkap buronan yang masih berkeliaran guna dilakukan eksekusi demi kepastian hukum. “Jaksa Agung mengimbau kepada seluruh buronan dalam daftar pencarian orang (DPO) Kejaksaan RI agar segera menyerahkan diri dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sebab tidak ada tempat bersembunyi yang aman,” ujar dia.

Jakarta, FNN - Tim Tangkap Buronan (Tabur) Kejaksaan Agung RI dan Tim Kejaksaan Tinggi Bengkulu mengamankan tiga buronan yang masuk daftar pencarian orang (DPO) asal Kejaksaan Tinggi Bengkulu terkait tindak pidana korupsi dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) Tahun 2022 di Kabupaten Kaur, Bengkulu.Ketiga buronan yang berinisial BSS, RNS, dan AH itu diamankan di sebuah penginapan di kawasan Melawai, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pada Jumat (28/7) sekitar pukul 20.00 WIB malam.“Saat diamankan, BSS, RNS, dan AH bersikap kooperatif sehingga proses pengamanannya berjalan lancar. Selanjutnya, Terpidana dibawa menuju Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan untuk diperiksa oleh Penyidik Kejaksaan Negeri Kaur,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung RI Ketut Sumedana dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Sabtu.Dia menuturkan bahwa BSS, RNS, dan AH diamankan dalam kapasitasnya sebagai saksi yang akan diperiksa untuk selanjutnya ditetapkan sebagai tersangka karena menghalang-halangi penyidikan.“Ketiganya diperiksa oleh Kejaksaan Negeri Kaur dalam proses penyidikan perkara tindak pidana korupsi pelaksanaan dan pengelolaan dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) terhadap 16 kepala puskesmas di Kabupaten Kaur Tahun Anggaran 2022,” ujarnya.Dalam perkara tersebut, lanjut dia, ketiganya mengaku-ngaku sebagai pejabat kejaksaan yang dapat membantu menyelesaikan penanganan perkara 16 kepala Puskesmas Kabupaten Kaur, Bengkulu, dengan meminta sejumlah uang yang terkumpul hingga sekitar Rp600.000.000.“Lalu, ketika dipanggil secara patut oleh penyidik Kejaksaan Kaur, ketiganya tidak mengindahkan panggilan tersebut,” terangnya.Melalui program Tabur Kejaksaan, tambah dia, Jaksa Agung meminta jajarannya untuk memonitor dan segera menangkap buronan yang masih berkeliaran guna dilakukan eksekusi demi kepastian hukum.“Jaksa Agung mengimbau kepada seluruh buronan dalam daftar pencarian orang (DPO) Kejaksaan RI agar segera menyerahkan diri dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sebab tidak ada tempat bersembunyi yang aman,” ujar dia.(sof/ANTARA)

Peristiwa di Basarnas Harus Menjadi Bahan Evaluasi

Jakarta, FNN - Panglima TNI Laksamana TNI Yudo Margono mengatakan kasus dugaan suap yang terjadi di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) harus menjadi bahan evaluasi agar kejadian serupa tidak terulang.\"Peristiwa di Basarnas perlu menjadi evaluasi kita. Kita harus mawas diri dengan hal seperti itu. Jangan dilihat negatifnya berita itu. Mari kita evaluasi bersama sehingga ke depan tidak terjadi lagi di tubuh TNI ataupun para prajurit TNI yang bertugas di luar struktur TNI. Sehingga kita tetap solid untuk melaksanakan tugas pokok atau fungsi TNI,\" kata Yudo lewat keterangan tertulisnya dari Pusat Penerangan (Puspen) TNI yang diterima Antara di Jakarta, Sabtu.Hal tersebut disampaikan Yudo usai memimpin upacara serah terima jabatan sejumlah pejabat utama TNI di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Jumat.Dalam kesempatan itu Yudo juga berpesan kepada dua perwira tinggi TNI yang akan bertugas di Basarnas dan Badan Keamanan Laut (Bakamla) Republik Indonesia, untuk tetap mengingat jati dirinya sebagai prajurit TNI.\"Kepada para pejabat yang nantinya bertugas di luar, kepada Pak Marsdya Kusworo yang nantinya di Basarnas, Pak Irwansyah yang nanti di Bakamla, tolong jangan lepas dari induknya. Harus tetap ditanamkan ke diri masing-masing bahwa aku ini TNI,\" ujarnya.Panglima juga meminta prajurit TNI yang berdinas di luar struktur TNI agar terus menjalin komunikasi. Personel yang berada di luar struktur TNI juga dibina dan diingatkan bahwa mereka masih TNI walaupun bajunya sudah berubah oranye, bajunya sudah berubah baju abu-abu telur bebek.Yudo juga memerintahkan agar dalam sepekan harus pakai baju TNI, biar mereka sadar bahwa mereka masih TNI, masih punya naluri TNI, masih punya disiplin, masih punya hierarki, masih punya kehormatan militer.\"Semua TNI yang bertugas di manapun harus membawa nama baik TNI dan itu juga adalah tugas negara,\" pungkasnya.(sof/ANTARA)

Ketua KPK Mengajak Mahasiswa Unsrat Menjadi Agen Pemberantas Korupsi

Manado, FNN - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI Firli Bahuri mengajak mahasiswa Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado untuk menjadi agen pemberantas korupsi\"Kekuatan Unsrat dengan 28.000 mahasiswa, jadilah sebagai individu orang baik, jadilah sebagai agen pemberantas korupsi, jadilah sebagai agen pembangun budaya antikorupsi,\" kata Firli saat memberikan kuliah umum pendidikan antikorupsi dalam rangka Dies Natalis ke-65 Fakultas Hukum Unsrat, di Manado, Sulawesi Utara, JumatFirli yakin suatu saat kita hanya mengenang bahwa korupsi itu adalah sesuatu masa lalu.\"Dan kita akan hidup pada suatu peradaban dunia, peradaban Indonesia, yaitu peradaban yang bebas dari korupsi,\" katanya pula.Pada kuliah umum tersebut, Firli antara lain memaparkan upaya KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi di IndonesiaDia mengatakan KPK saat ini melakukan pemberantasan korupsi dengan tiga strategi.Pertama memberikan pendidikan masyarakat antikorupsi, dimana kita ingin memberikan peringatan kewaspadaan, kesadaran bahwa korupsi itu bahaya. Bahaya karena tujuan negara tidak mungkin tercapai kalau ada korupsi.\"Kita tidak mungkin mencerdaskan kehidupan bangsa, kita tidak mungkin memajukan kesejahteraan umum, dan kita tidak mampu memberikan perlindungan kepada segenap manusia seluruh tumpah darah Indonesia, kalau kita melakukan korupsi,\" katanya lagi.Karena itu, ujar dia pula, kita melakukan pendekatan dengan pendidikan masyarakat. Dengan pendidikanlah kita minta semua anak bangsa penyelenggara negara, ASN, anggota legislatif supaya tidak melakukan korupsi.Melaksanakan program pakta integritas, penanaman nilai-nilai integritas kepada penyelenggara negara, kepada pengurus partai, kepada partai politik, kepada legislatif, calon legislatif, supaya mereka tidak ingin melakukan korupsi, katanya lagi.Kemudian melakukan pencegahan dengan perubahan sistem. Menurut Firli, dengan sistem yang baik, maka tidak pernah membuat peluang, membuka celah orang melakukan korupsi. \"Serta ketiga melakukan penindakan,\" katanya pula.Hadir pada kuliah umum pendidikan antikorupsi, antara lain Rektor Unsrat Prof Dr Ir Oktovian Berty Alexander Sompie, Dekan Fakultas Hukum Unsrat, para dekan di Unsrat, dosen dan mahasiswa.(ida/ANTARA)

Polri Disarankan Agar Menempatkan Putra Sambo Bertugas di Jambi

Jakarta, FNN - Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel menyarankan agar Polri menempatkan Tribrata Putra, anak Ferdy Sambo, bertugas melayani masyarakat di wilayah Jambi sebagai perpanjangan tangan orang tuanya yang sempat meminta maaf kepada orang tua Almarhum Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat.  \"Sangat elok jika Polri mempertimbangkan untuk menugaskan anak FS (Ferdy Sambo) agar bisa melayani masyarakat di wilayah tempat keluarga mendiang Josua,\" kata Reza dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.  Menurut Reza, dengan penempatan Tribrata Putra di wilayah Jambi dimungkinkan terjadi \"restorative justice\" yang hakiki.  \"Siapa tahu \'restorative justice\' yang hakiki akan berlangsung di situ, yaitu anak FS menjadi perpanjangan tangan orang tuanya yang sempat meminta maaf kepada keluarga mendiang Josua,\" katanya.  Terkait anak ketiga mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo itu diterima sebagai anggota Polri Tahun 2023, Reza teringat akan peran Seto Mulyadi atau Kak Seto saat memberikan pendampingan kepada putra dan putri Ferdy Sambo.  \"Saya teringat dulu ketika Kak Seto mengimbau publik agar jangan menghujat anak-anak Ferdy Sambo,\" kata Reza.  Reza mengingatkan publik apa yang disampaikan Kak Seto kala itu bahwa anak-anak tak terkecuali anak Ferdy Sambo dan Putri Chandrawathi berhak dilindungi dari tindak kekerasan dan diskriminasi.  \"Saya juga menerima kabar, Kak Seto dan kawan-kawan ke Mako Brimob dan Magelang,\" kata Reza. Menurut Reza, anak Ferdy Sambo kemudian bisa melalui tahap seleksi Akpol yang sangat ketat dan berat. Hal ini membuktikan bahwa anak Ferdy Sambo tetap mampu bertahan di tengah situasi sulit.  \"Dalam bahasa psikologi, anak FS punya daya lenting dalam situasi kritis,\" ujarnya. Reza menyampaikan kemampuan anak Ferdy Sambo beradaptasi dalam situasi sulit (resiliensi) dihasilkan dari keberpihakan Kak Seto kepada anak-anak.  \"Tak terkecuali anak-anak FS. Berkat kepedulian yang Kak Seto berikan, anak-anak tetap mampu beradaptasi bahkan berprestasi,\" katanya.  Reza berharap bagaimana kemudian anak Ferdy Sambo punya kesungguhan hati untuk \"membayar\" jasa Kak Seto dengan menjadi Polisi Sahabat Anak (Polsana).  Hal ini, katanya, sesuai dengan salah satu kampanye Kak Seto dan Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), yaitu Polsana.  Di sisi lain, Reza menyoroti kemungkinan jika putra Ferdy Sambo bertemu dengan Bharada Richard Eliezer yang masih menjadi anggota Polisi, maka apa yang terjadi.  Di atas kertas, kata dia, Tribrata Putra berpangkat lebih tinggi dari Bharada Eliezer.  \"Saya bertanya-tanya, kelak jika bertemu Richard Eliezer, apa yang akan anak FS katakan? Toh, hitung-hitungan di atas kertas, anak FS akan selalu berpangkat lebih tinggi daripada RE. RE yang notabene dipaksa menjadi eksekutor untuk menghabisi mendiang Josua Hutabarat,\" ujar Reza.  Reza penasaran bagaimana dengan sikap anak Ferdy Sambo kelak selaku insan Tribrata yang bertugas melayani, melindungi, dan mengayomi keluarga mendiang Brigadir Joshua.  Terkait diterimanya putra Ferdy Sambo sebagai anggota Akpol 2023, Asisten Kapolri Bidang Sumber Daya Manusia (As SDM) Irjen Pol. Dedi Prasetyo menjawab singkat bahwa setiap orang memiliki hak yang sama dan memastikan yang bersangkutan lolos sesuai dengan kapasitasnya.  \"Semua miliki hak yang sama, equality,\" kata Dedi.(sof/ANTARA)