HUKUM

Gatot Nurmantyo: Soal Putusan MK, Itu Ulah Orang-orang Terdekat Jokowi

Jakarta, FNN -  Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang juga mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo prihatin terhadap orang-orang sekeliling Presiden Joko Widodo yang ingin terus menikmati kekuasaan dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi agar usia Gibran bisa menjadi calon wakil presiden. Gatot meyakini pemaksaan kehendak itu bukan lantaran campur tangan Jokowi, melainkan orang-orang yang ada di lingkaran Jokowi, yang nyaman dengan keadaan saat ini. “KAMI berpikiran positif, semua kejadian ini bukan inisiatif Bapak Jokowi, tapi kerja orang-orang di sekeliling yang sudah merasa nikmat,\" papar Gatot dalam diskusi di kantor KAMI, Kawasan Jakarta Pusat, Rabu (18/10/2023). Menurut Gatot, putusan Mahkamah Konstitusi itu pelanggaran etika yang sangat luar biasa, juga pelanggaran kode etik. Ketua MK Anwar Usman inkonsisten dalam memutuskan perkara yang berkaitan dengan kepentingan keponakannya. Oleh karena itu, demi menjaga marwah MK, Gatot meminta para hakim MK agar mengundurkan diri. \"Keputusan MK ini mempertontonkan pelanggaran moral, karena telah mengambil keputusan diskriminatif, demi memenuhi keinginan satu orang,\" tegas Gatot. Seharusnya kata Gatot, MK tidak seperti itu. Dengan begitu, sikap kenegarawanan hakim MK pun dipertanyakan. Diketahui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta yang bernama Almas Tsaqibbirru terkait usia minimal capres dan cawapres dalam Undang-Undang (UU) Pemilu Nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu pada Senin (16/10). MK memperbolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai capres dan cawapres selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain melalui pemilihan umum. MK Kabulkan sebagian Permohonan Uji Materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengenai batas usia calon presiden dan calon wakil presiden akhirnya diubah menjadi berusia 40 tahun atau pernah berpengalaman sebagai kepala daerah, sebagaimana dilaporkan media-media di Indonesia. \"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,\" ucap Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan/ketetapan di Gedung MK Jakarta, Senin.Mahkamah mengabulkan sebagian Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 diajukan oleh perseorangan warga negara Indonesia (WNI) bernama Almas Tsaqibbirru yang berasal dari Surakarta, Jawa Tengah. la memohon syarat pencalonan capres dan cawapres diubah menjadi berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Mahkamah berkesimpulan bahwa permohonan pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Oleh sebab itu, MK menyatakan Pasal 169 huruf (g) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI 1945. \"Sehingga Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi \'berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah,’” ucap Anwar.Atas putusan tersebut, terdapat alasan berbeda (concurring opinion) dari dua orang hakim konstitusi, yaitu Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foekh, serta pendapat berbeda (dissenting opinion) dari empat hakim konstitusi: Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo. Dalam pertimbangannya, mahkamah menilik negara-negara lain yang memiliki presiden dan wakil presiden yang berusia di bawah 40 tahun. Kemudian, juga melihat Amerika Serikat dan beberapa negara di Eropa yang mengatur syarat capres berusia di bawah 40 tahun. Sementara itu dalam konteks negara dengan sistem parlementer, kata mahkamah, terdapat pula perdana menteri yang berusia di bawah 40 tahun ketika dilantik atau menjabat. Data tersebut dinilai mahkamah menunjukkan bahwa tren kepemimpinan global semakin cenderung ke usia yang lebih muda. \"Dengan demikian, dalam batas penalaran yang wajar, secara rasional, usia di bawah 40 tahun dapat saja menduduki jabatan baik sebagai presiden maupun wakil presiden sepanjang memenuhi kualifikasi tertentu yang setara,” kata M. Guntur Hamzah, salah seorang hakim MK. Di sisi lain, MK juga menyinggung terkait beberapa putusan terakhir yang memberikan tafsir ulang terhadap norma suatu pasal dan mengenyampingkan open legal policy. \"Konsep open legal policy pada prinsipnya tetap diakui keberadaan-nya, namun tidak bersifat mutlak karena norma dimaksud berlaku sebagai norma kebiiakan hukum terbuka selama tidak meniadi objek pengujian undang-undang di mahkamah,\" tutur hakim konstitusi Manahan M.P. Sitompul. Terlebih lagi, sambung Manahan, apabila DPR maupun presiden telah menyerahkan sepenuhnya kepada mahkamah untuk memutus hal dimaksud.\"Maka dalam keadaan demikian, adalah tidak tepat bagi mahkamah untuk melakukan judicial avoidance dengan argumentasi yang seakan-akan berlindung di balik open legal policy,\" ujar Manahan. Lebih lanjut, MK juga menilai bahwa pengalaman pejabat negara, baik di lingkungan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif tidak bisa dikesampingkan begitu saja dalam pemilihan umum (pemilu). \"Pembatasan usia minimal 40 tahun semata tidak saja menghambat atau menghalangi perkembangan dan kemajuan generasi muda dalam kontestasi pimpinan nasional, tapi juga berpotensi mendegradasi peluang tokoh atau figur generasi milenial yang menjadi dambaan generasi muda, semua anak bangsa yang seusia generasi milenial,\" imbuh hakim konstitusi M. Guntur Hamzah.Apabila dilihat dari sisi rasionalitas, menurut MK, penentuan batas usia minimal 40 tahun bagi calon presiden dan wakil presiden bukan berarti tidak rasional, tetapi tidak memenuhi rasionalitas yang elegan karena berapa pun usia yang dicantumkan akan selalu bersifat dapat didebat sesuai ukuran perkembangan dan kebutuhan zaman. Oleh karena itu, MK berpendapat penting bagi mahkamah memberikan pemaknaan kuantitatif dan kualitatif untuk Pasal 169 huruf (q) UU Pemilu.\"Penting bagi mahkamah untuk memberikan pemaknaan yang tidak saja bersifat kuantitatif, tetapi juga kualitatif, sehingga perlu diberikan norma alternatif yang mencakup syarat pengalaman atau keterpilihan melalui proses demokratis, yaitu pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu, tidak termasuk pejabat yang ditunjuk,\" ucap Guntur. Berkaitan dengan perkara uji materi sebelumnya yang ditolak, mahkamah mengatakan permohonan Almas memiliki alasan permohonan yang berbeda, yaitu berkenaan dengan adanya isu kesamaan karakteristik jabatan yang dipilih melalui pemilu, bukan semata-mata isu jabatan penyelenggara negara. (sur)

Suap dan Gratifikasi Swasta Mendominasi Kasus Korupsi

Yogyakarta, FNN - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut kasus tindak pidana korupsi di Indonesia dari 2002 hingga September 2023 masih didominasi suap dan gratifikasi yang dilakukan sektor swasta.\"Yang dominan adalah terkait masalah suap-menyuap dan gratifikasi. Kalau pelaku terbanyak adalah dari sektor swasta,\" kata Direktur Pembinaan Peran Serta Masyarakat KPK Kumbul Kusdwijanto Sudjadi kepada awak media di Yogyakarta, Rabu.Dia mengatakan berdasarkan data sejak berdiri hingga September 2023, KPK telah memproses hukum sebanyak 1.648 tersangka dengan 141 diantaranya perempuan.Menurut Kumbul, dari sederet kasus suap dan gratifikasi yang ditangani KPK sebagian di antaranya menggunakan modus melibatkan keluarga.\"Kami ingatkan modus-modus yang terjadi melibatkan keluarga,\" ujar dia.Sebagai upaya pencegahan, KPK hingga saat ini terus menggencarkan edukasi kepada pejabat pemerintah atau aparatur sipil negara melibatkan anggota keluarga khususnya pasangan, terkait pendidikan antikorupsi.Edukasi tersebut diwujudkan melalui program bimbingan teknis keluarga berintegritas yang digagas lembaga antirasuah mulai dari level pemerintah provinsi hingga kabupaten/kota.\"Kadang (edukasi) melalui pejabatnya tidak mempan, maka melalui istrinya,\" kata Kumbul.Dia meyakini melalui pembentukan keluarga berintegritas kasus korupsi di Indonesia bisa ditekan mulai dari level paling bawah.Melalui keluarga, kata dia, orang tua dapat berperan memberikan teladan bagi generasi muda terkait budaya antikorupsi menyongsong Indonesia Emas 2045.\"Kalau keluarga sudah antikorupsi diharapkan lingkungan berikutnya juga antikorupsi mulai RT, RW, desa, dan seterusnya,\" kata Kumbul.(sof/ANTARA)  

Ketua MPR RI Bamsoet Dorong Perbanyak Pemberian Bantuan Hukum Kepada Masyarakat

Jakarta, FNN | Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo mengajak Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jaringan Nofel Nusantara yang diisi anak-anak muda untuk terjun ke pedesaan memberikan edukasi seputar literasi hukum. Sekaligus membantu masyarakat pedesaan yang membutuhkan bantuan hukum. Selain dengan cara pro bono, bisa juga dengan memanfaatkan kebijakan bantuan hukum (legal aid) sebagaimana diatur dalam UU No.16/2011 tentang Bantuan Hukum, Peraturan Pemerintah No.42/2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum serta Peraturan Mahkamah Agung No.1/2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan.  \"Melalui berbagai ketentuan hukum tersebut, negara berkewajiban menyiapkan advokat secara gratis untuk pencari keadilan, dengan biaya yang dibebankan kepada anggaran bantuan hukum. Baik yang disediakan oleh anggaran pendapatan belanja negara (APBN) maupun anggaran pendapatan belanja daerah (APBD),\" ujar Bamsoet usai menerima LBH Jaringan Nofel Nusantara, di Jakarta, Selasa (17/10/2023). Pengurus LBH Jaringan Nofel Nusantara yang hadir antara lain, Wakil Ketua Umum Fahmi Namakule, Sekjen Al Musradin Adha, Wakil Ketua Bidang Organisasi, Kaderisasi dan Pelatihan Khefin Subagja, Kabid Advokasi dan Penanganan Perkara Ade Triantoro,  Kabid Perempuan dan Perlindungan Anak Lubna Putri Azahra, Kabid Kerjasama dan Hubungan Antar Lembaga Nur Syaban serta Kabid Humas M Fadly. Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, antara pro bono dan legal aid merupakan dua hal yang berbeda. Pro bono timbul dari kesadaran diri advokat atau kantor hukum untuk memberikan jasa hukum secara gratis kepada masyarakat pencari keadilan yang tidak mampu.  Sementara legal aid, masyarakat pencari keadilan tidak perlu membayar jasa advokat atau kantor hukum karena sudah ditanggung oleh negara. Legal aid merupakan kebijakan pemerintah untuk memberikan bantuan hukum kepada warga negaranya yang tidak mampu, bisa melalui LBH atau organisasi yang memberi layanan bantuan hukum. \"Setelah kurang lebih 19 tahun keberadaan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, hingga kini penerapan jasa pro bono yang dilakukan oleh advokat masih belum terlaksana dengan baik. Begitupun dengan penerapan legal aid yang undang-undangnya sudah lahir sejak tahun 2011. Hal ini bukan semata karena kealpaan para advokatnya, melainkan memang karena tidak adanya aturan hukum yang tegas dan jelas serta bisa memandu para advokat dan pencari keadilan yang tidak mampu untuk mengakses pro bono dan ataupun legal aid,\" jelas Bamsoet. Ketua Dewan Pembina Depinas SOKSI dan Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menerangkan, untuk semakin memasifkan pro bono dan legal aid dalam aktifitas setiap advokat, Kementerian Hukum dan HAM perlu untuk duduk bersama dengan asosiasi/perhimpunan advokat. Sehingga bisa saling menemukan titik temu bagaimana mengimplementasikan dua hal tersebut secara efektif dan efisien. Sehingga masyarakat kurang mampu yang sedang mencari keadilan tidak lagi menghadapi kesulitan dalam mengakses jasa advokat. \"Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) melaporkan, total organisasi yang layak sebagai pemberi bantuan hukum dan dapat mengakses anggaran bantuan hukum yang disiapkan APBN/APBD pada periode tahun 2019 - 2021 tercatat sebanyak 524 organisasi. Jumlah tersebut masih sangat minim dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 270 juta jiwa, dengan penduduk miskin mencapai 26 juta jiwa yang masih sulit mengakses jasa advokat,\" pungkas Bamsoet. (Ida)

Marwah MK Makin Runtuh: Skenario Menggagalkan Pilpres?

Oleh Agus Wahid | Pemerhati Politik dan Hukum  UNTUK sekian kalinya, Mahkamah Konstitusi (MK) – secara sadar – mencoreng marwahnya tanpa malu. Integritasnya tergadai. Tak lagi bisa diharapkan sebagai benteng penegak konstutusi yang jernih, berkadilan untuk rakyat dan negeri. Dan kali ini, terjadi lagi pencorengan itu. Yaitu, sebuah putusan yang – secara substansial – mengabulkan gugatan perubahan batasan minimal usia calon presiden dan atau wakil presiden. Meski batasan usia maksimal 40 tahun masih dipertahankan, namun batasan usia itu “dihempaskan” atau dieliminasi dengan frasa “dan atau pernah menjabat sebagai kepala daerah”, padahal tak ada dalam materi gugatan. Arahnya jelas: mengakomodasi kepentingan politik keluarga (keponakan), yakni Gibran, yang kini masih berusia sekitar 35 tahun, tapi kini masih menjabat sebagai Walikota Solo, bukan sekadar pernah. Yang perlu kita cermati lebih jauh, apakah sekadar mengakomodasi kepentingan istana dan itu konsekuensi dari ketundukannya terhadap  titah sang kakak ipar? Atau memang, ada skenario menggagalkan agenda pemilihan presiden (pilpres) yang – pada 19 Oktober besok – sudah dibuka pendaftaran pasangan capres-cawapres secara resmi?  Kedua variabel itu sulit dibantah. Di satu sisi, jauh sebelum MK memutus perkara yang sangat kontroversial itu, sudah terbaca skenario putusan yang sama sekali bukan otoritasnya. Secara konstitusi, batasan usia capres-cawapres memang hasil legislasi DPR RI. Namun, Ketua MK selaku person yang lebih punya wewenang dibanding hakim lainnya memainkan peranan politik hukum untuk memfasilitas kepentingan politik keponakannya, dan atau keluarga istana itu. Kini – sebagai sisi lain – kita menatap implikasi dari putusan MK. Tak lama setelah disampaikan putusan itu, sejumlah elemen bereaksi negatif dan – secara ekstensif – mereka mempersiapkan gelombang perlawanan terhadap putusan MK itu. Reaksi barisan mahasiswa ini tak bisa dipandang sebelah mata. Dengan catatan yang sangat kontras bahwa rezim ini jelas-jelas telah menggunakan kekuasaannya untuk melanggar konstitusi meski kali ini melalui tangan MK, namun barisan mahasiswa di seluruh tanah air sudah menyatakan satu opsi: lawan. Bukan hanya mendesak MK harus mencabut putusan kontroversial itu, tapi juga mengarah pada status rezim ini, yang notabene masih berkuasa secara sah menurut hukum. Sebuah status yang sejatinya perlu dipertanyakan. Kini, kita perlu meneropong seberapa besar tingkat eskalasi perlawanan mahasiswa. Setidaknya, ada dua skenario yang perlu kita baca. Pertama, jika murni perlawanan mahasiswa tanpa membersamakan elemen tentara dan rakyat, perlawanan itu akan “kempes”di tengah jalan. Gerakan moral mereka cukup mudah digembosi dengan pendekatan politik kooptasi. Para pentolannya dirangkul dengan sejumlah iming-iming fasilitas tertentu. Ketika pendekatan ini efektif, maka seruan perlawanan itu – pada akhirnya – menguap.  Namun – sebagai skenario kedua – gerakan mahasiswa sangat mungkin disambut positif oleh elemen rakyat dan tentara. Jika kebersamaan aksi perlawanan ini murni, maka akan memerlukan rentang waktu. Tidak cukup dengan hitungan jam atau sehari-dua hari, apalagi durasinya dibatasi, misalnya turun sekitar jam 14:00 – 18:00. Segenuin apapun gerakan yang berbatas waktunya sulit diharapkan hasil akhirnya. Namun dan inilah yang layak kita curigai, jika gerakan mahasiswa langsung mendapat responsi publik secara meluas dan di dalamnya terdapat anasir rezim yang terlibat langsung, maka implikasinya akan segera meledak secara nasional. Jika hal ini terjadi, maka skenario chaos tampak sedang dimainkan. Atas nama “keadaan darurat”, rezim berwenang untuk mengeluarkan dekrit. Diktum pertama dan utama berbunyi “pilpres ditunda sampai keadaan pulih (tenang)”. Dan diktum berikutnya bisa saja sang rezim menyatakan memperpanjang kekuasaannya sampai batas yang tidak ditentukan. Atau, menyerahkan kekuasaan kepada pihak tertentu sesuai keinginan rezim, bukan kepada Menteri Pertahanan, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Luar Negeri (triumphirat). Bagi rezim, poko`e pilpres ditunda. Why? Karena, inilah satu-satunya cara untuk menghadang pasangan Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar (AMIN), sebagai pasangan yang berpotensi menang, siapapun lawannya, termasuk andai Gibran dipasangkan dengan capres manapun. Bagi rezim, pilpres hanyalah jalan untuk kepentingan pasangan AMIN. Persoalannya bukan faktor sosok pasangan AMIN itu, tapi kebijakan ke depannya yang dinilai sangat membayakan kepentingan istana saat ini dan kaum bohir yang selama ini memproteksi dan memfasilitasinya. Kalkulasinya juga bukan sekedar ekonomi mikro dan makro, tapi perhitungan ideologis yang dirancang jelas rezim ini naik ke panggung kekuasaan sekitar sembilan tahun lalu. Kalkulasi ideologis itu – harus kita cermati – berujung pada okupasi negeri ini, yang kini sudah ditancapkan sinyal kuatnya dalam wajah pembangunan ibukota baru Nusantara (IKN) di Penajam - Paser Utara - Kalimantan Timur. Sekali lagi, putusan MK terkait upaya meloloskan keponakannya hanya skenario menggagalkan pilpres yang sebentar lagi digelar. Jauh sebelumnya kita saksikan tragedi Rempang. Tadinya, perampasan hak secara paksa terhadap warga Rempang mampu membangkitkan solidaritas etnik Melayu untuk melakukan perlawanan. Namun, kita saksikan, perlawanan itu tak sampai merembes dalam skala yang jauh lebih meluas. Artinya, skenario menggagalkan pilpres melalui Rempang gagal total (gatot). Dan baru-baru ini, juga kita saksikan skenario menggembosi Partai NasDem melalui proses hukum Syahrul Yasin Limpo (SYL). Dengan argumentasi hukum dimana SYL dicecar untuk menyatakan NasDem – sebagai partai – menerima aliran dana haram dari SYL, maka skenarionya adalah NasDem gugur secara hukum menjadi pengusung AMIN. Jika NasDem terdelate sebagai pengusung, maka tinggal PKS dan PKB sebagai pengusang AMIN. Jumlah kedua partai itu hanya 17,90% dengan rincian: PSK – dalam pemilu 2019 lalu – memperoleh 11.493.663 suara atau sama dengan 8,21% (50 kursi). Sedangkan PKB memperoleh 13.570.970 suara (9,69%) dengan jumlah 58 kursi.  Jumlah prosentasi PKS dan PKB jelas tidak memenuhi ambang batas minimal untuk bisa mencalonkan pasangan presiden-wakil presiden. Jika NasDem gagal mengusung AMIN, sementara waktu yang sudah demikian mepet, maka – di depan mata – PKS dan PKB sulit mencari koalisi baru, karena seluruh partai yang ada sudah dalam genggaman penguasa, dalam kubu Merah ataupun kubu Prabowo. Perlu kita garis-bawahi, pemberlakuan skenario menggagalkan Anies memang tak pernah henti, sampai ke titik akhir. Kasus SYL dan putusan MK – tak bisa dipungkiri – tak jauh dari upaya sistimatis menghempaskan pasangan AMIN yang – di atas kertas – menang. Kini, kita tinggal menunggu waktu kurang dari 48 jam. Apakah skenario penjegalan itu akan tetap dimainkan? Jika lolos dari 48 jam itu, apakah skenario kesehatan fisik dan mental capres-capres juga akan dimainkan? Bahkan jika dengan cara-cara prosedural itu tetap gagal, apakah akan muncul cara-cara “kasar” dan “halus” yang tetap akan dimainkan? Akhirnya, kita perlu meyakini seperti yang ditegaskan Allah dalam Surah Ali Imran : 54, “Skenario Allah sebaik-baik skenario (Wallahu khiorul maakirin). Maka, jika Allah kehendaki AMIN sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI ke delapan, maka skenario secanggih apapun untuk menggagalkan AMIN akan mentallah skenario itu. Untuk memperkuat sikap yang tak perlu ngoyo (memaksakan), kiranya layak direnungkan Q. S Ali Imran : 26 - 27, “Qulillāhumma mālikal-mulki tu`til-mulka man tasyā`u wa tanzi\'ul-mulka mim man tasyā`u wa tu\'izzu man tasyā`u wa tużillu man tasyā`, biyadikal-khaīr, innaka \'alā kulli syai`ing qadīr قُلِ ٱللَّهُمَّ مَٰلِكَ ٱلْمُلْكِ تُؤْتِى ٱلْمُلْكَ مَن تَشَآءُ وَتَنزِعُ ٱلْمُلْكَ مِمَّن تَشَآءُ وَتُعِزُّ مَن تَشَآءُ وَتُذِلُّ مَن تَشَآءُ ۖ بِيَدِكَ ٱلْخَيْرُ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ (Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu). Sebagai anak bangsa yang Pancasilais sejati, bukan sekadar ngaku-ngaku, kiranya – sebagai refleksi implmentatif bersila pertama Pancasila – maka ayat tersebut bisa menjadi pengendali untuk tidak memaksakan kehendak secara dzalim. Karena kejahatan atau skenario apapun yang dilakukan dalam kaitan pilpres, tapi jika Allah kehendaki AMIN berkuasa, tak ada satu pun yang mampu menghalanginya.  Ayat tersebut memang dari Kitab Suci Al-Qur`an. Tapi, spiritualitasnya bersifat universal. Karena itu, ayat tersebut sesungguhnya bisa menjadi pengingat bagi seluruh umat manusia tanpa memandang perbedaan keyakinan. Artinya, ada kekuatan di luar manusia yang maha menentukan. Dan spirit implisitnya mengingatkan juga agar umat manusia menyadari diri untuk menghindari kejahatan apapun karena pasti terhempas jika Allah melindungi dan telah mempergilirkan kekuasaan untuk seseorang yang sudah dipilih itu. Dan bagi kita selaku anak bagsa yang mendasarkan Pancasila sebagai falsafah hidup berbangsa dan bernegara, maka Sila pertama relevan untuk dihayati dan diamalkan. Untuk kepentingan kita dalam bermasyarakat dan bernegara. Inilah sikap berintegritas nyata ber-NKRI. Bukan hanya slogan. Jakarta, 17 Oktober 2023.

Cek Rp2 Triliun yang Ditemukan di Rumah SYL Adalah Cek Palsu

Jakarta, FNN - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebut cek senilai Rp2 miliar yang ditemukan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penggeledahan di rumah dinas mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo adalah cek palsu.\"Ya kami sudah cek, namun nama tersebut terindikasi sering melakukan penipuan. Dokumen yang ada juga terindikasi palsu,\" kata Kepala PPATK Ivan Yustiavandana saat dikonfirmasi, Selasa.Ivan menerangkan, modus kasus cek palsu adalah meminta sejumlah uang untuk mencairkan cek tersebut dan menjanjikan imbalan dalam jumlah besar.\"Modusnya adalah minta bantuan uang administrasi buat bank, menyuap petugas dan bahkan menyuap orang PPATK agar bisa cair, dengan janji akan diberikan komisi beberapa persen dari nilai uang-sangat besar janjinya untuk memancing minat,\" ujar Ivan.Namun begitu pembuat cek palsu tersebut menerima kiriman dana, maka pelaku akan langsung menghilang. \"Begitu seseorang tertipu, bersedia memberikan bantuan, mereka kabur, zonk,\" pungkasnya.Pada kesempatan terpisah, perwakilan keluarga Syahrul Yasin Limpo, Imran Eka Saputra mengatakan SYL hanya tertawa saat menerima cek atas nama Abdul Karim Daeng Tompo tersebut.Dia juga mengatakan cek bodong tersebut tentu tidak ada kaitannya dengan jabatan Syahrul Yasin Limpo sebagai penyelenggara negara.\"Kepada keluarga, Bapak SYL menceritakan bahwa saat menerima cek tersebut, Bapak SYL hanya tertawa dan tidak pernah menganggapnya serius karena cek tersebut memang tidak bisa dicairkan alias bodong,\" kata Imran dalam keterangan tertulis.Imran juga berharap publik bisa memberikan SYL kesempatan untuk menjalani proses hukumnya dan tidak menuduhkan hal-hal yang belum bisa dipastikan kebenarannya.\"Kami memohon kepada publik agar tidak menghakimi Bapak SYL dengan dasar pemberitaan temuan cek tersebut,\" ujarnya.KPK pada Jumat (13/10) resmi menahan mantan menteri pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) dan Direktur Alat dan Mesin Pertanian Kementerian Pertanian (Kementan) Muhammad Hatta (MH) terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi di kementerian tersebut.\"Untuk kepentingan proses penyidikan lebih lanjut, tim penyidik melakukan penahanan terhadap tersangka SYL dan tersangka MH, terhitung mulai hari ini, masing-masing 20 hari kerja,\" kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat.Alexander mengatakan tersangka SYL dan MH tersebut ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) KPK sampai dengan tanggal 1 November 2023.KPK menangkap tersangka SYL di sebuah apartemen di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (12/10).Alexander menyebut bahwa perkara dugaan korupsi tersebut bermula saat SYL menjabat sebagai Mentan RI untuk periode 2019 sampai dengan 2024 di Kementan RI.\"Dengan jabatannya tersebut, SYL kemudian membuat kebijakan personal yang diantaranya melakukan pungutan hingga menerima setoran dari ASN internal Kementan untuk memenuhi kebutuhan pribadi termasuk keluarga intinya,\" kata Alex.Adapun kurun waktu kebijakan SYL untuk memungut hingga menerima setoran tersebut berlangsung dari tahun 2020 sampai dengan 2023.SYL, papar Alexander, menginstruksikan dengan menugaskan Sekretaris Jenderal Kementan Kasdi Subagyono (KS) dan Direktur Alat dan Mesin Pertanian, Kementan, Muhammad Hatta (MH) melakukan penarikan sejumlah uang dari unit eselon I dan eselon II.\"Dalam bentuk penyerahan tunai, transfer rekening bank hingga pemberian dalam bentuk barang maupun jasa,\" papar Alex.Atas arahan SYL, KS dan MH memerintahkan bawahannya untuk mengumpulkan sejumlah uang di lingkup eselon I, yakni para direktur jenderal, kepala badan hingga sekretaris masing-masing eselon I.\"Dengan besaran nilai yang telah ditentukan SYL dengan kisaran besaran mulai 4.000 dolar AS sampai dengan 10.000 dolar AS,\" imbuhnya.Penerimaan uang melalui KS dan MH sebagai representasi orang kepercayaan SYL itu dilakukan rutin setiap bulan-nya dengan menggunakan pecahan mata uang asing.KPK mengatakan bahwa uang yang dinikmati SYL bersama-sama dengan KS dan MH sebagai bukti permulaan berjumlah sekitar Rp13,9 miliar.\"Dan penelusuran lebih mendalam masih terus dilakukan tim penyidik,\" tegas Alex.SYL, KS, dan MH telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan selama 20 hari di rumah tahanan (Rutan) KPK untuk kepentingan penyidikan lebih lanjut.Para tersangka disangkakan melanggar Pasal 12 huruf e dan 12B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindakan Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindakan Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.Sedangkan tersangka SYL, turut pula disangkakan melanggar Pasal 3 dan/atau 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).(sof/ANTARA)

Pelanggaran Konstitusi Anwar Usman dan Empat Hakim Konstitusi Berpotensi Picu Revolusi

Oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) SECARA kasat mata, Lima Hakim Konstitusi sedang mempermainkan hukum dan konstitusi Indonesia, sekaligus mengolok-olok dan menghina bangsa Indonesia. Undang-undang dan konstitusi diperkosa, dirudapaksa. Undang-undang diubah secara paksa, menggunakan kekuasaan atas nama Mahkamah Konstitusi, dengan cara melanggar konstitusi. Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu No 7 Tahun 2017 menetapkan batas usia calon presiden dan wakil presiden minimum 40 tahun. Menjelang pemilihan presiden (pilpres) 2024, banyak gugatan dari para petualang politik terhadap pasal ini. Mereka umumnya minta batas usia minimum capres-cawapres diturunkan dari 40 tahun menjadi 35 tahun. Mahkamah Konstitusi sebelumnya sudah menolak beberapa gugatan sejenis. Mahkamah Konstitusi berpendapat, batas usia minimum capres dan cawapres merupakan open legal policy yang menjadi hak dan wewenang DPR sebagai lembaga pembuat UU. Kemudian, seorang mahasiswa di Solo bernama Almas Tsaqibbirru juga menggugat pasal 169 huruf q dimaksud. Almas minta MK menambah faktor pengalaman sebagai pejabat publik yang dipilih langsung oleh rakyat juga memenuhi persyaratan menjadi capres-cawapres, meskipun belum berusia 40 tahun. Sehingga kriteria capres-cawapres menjadi “berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah.” Kemudian, anehnya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan ini, dan menjadikan pengalaman sebagai Kepala Daerah sebagai persyaratan baru atau persyaratan alternatif untuk capres dan cawapres. Maaf, bukan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan gugatan Almas. Melainkan lima Hakim Konstitusi, terdiri dari Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dibantu empat Hakim Konstitusi lainnya, yaitu Daniel Yusmic, M Guntur Hamzah, Manahan Sitompul dan Enny Nurbaningsih. Keanehan putusan atau pendapat lima Hakim Konstitusi ini bahkan dipertanyakan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra yang masuk kelompok yang menolak gugatan, bersama tiga Hakim Konstitusi lainnya yaitu Wahiduddin Adams, Arief Hidayat dan Suhartoyo. Karena, penambahan persyaratan alternatif untuk capres-cawapres dengan kalimat “….. atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah” pada prinsipnya bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya yang menyatakan batas usia minimum capres dan cawapres merupakan open legal policy yang menjadi wewenang DPR. Artinya, secara implisit, penambahan persyaratan alternatif “… pengalaman sebagai Kepala Daerah” untuk capres-cawapres juga bertentangan dengan Konstitusi, karena merampas wewenang DPR. Saldi Isra bahkan mengungkapkan, Anwar Usman dengan sengaja mengubah komposisi hakim konstitusi untuk sidang gugatan Almas ini, sehingga menghasilkan putusan dengan skor 5-4, di mana 5 mengabulkan gugatan, termasuk Anwar Usman yang mempunyai konflik kepentingan karena statusnya sebagai paman Gibran dan adik ipar presiden Jokowi. Status Anwar Usman yang jelas mempunyai konflik kepentingan sudah lama dipermasalahkan dan digugat masyarakat. Tetapi diabaikan. Tirani mencengkeram bertambah kuat melalui Mahkamah Konstitusi kini terbukti. Manuver Anwar Usman secara nyata dapat dimaknai melakukan rekayasa atau pengkondisian Putusan MK untuk mengabulkan permohonan gugatan Almas. Untuk itu, Anwar Usman bersama empat kroni Hakim Konstitusi yang membantunya dapat didakwa telah melakukan mufakat jahat terhadap konstitusi dan rakyat Indonesia. Selain mufakat jahat, Putusan lima Hakim Konstitusi, Anwar Usman dan empat kroni, juga melanggar konstitusi, sehingga wajib batal. Pertama, Almas Tsaqibbirru tidak mempunyai ‘legal standing’, sehingga permohonan gugatannya tidak sah untuk disidangkan. Karena, Almas bukan Kepala Daerah, dan juga tidak sedang dicalonkan menjadi presiden atau wakil presiden. Kedua, MK tidak boleh menambah norma baru dalam persyaratan batas usia minimum capres-cawapres. Menambah frasa “….. atau berpengalaman sebagai kepala daerah” pada prinsipnya melanggar wewenang konstitusi DPR sebagai pembuat UU. Ketiga, menambah frasa “….. atau berpengalaman sebagai kepala daerah” justru melanggar konstitusi Pasal 28D, karena persyaratan ini secara nyata merupakan diskriminasi untuk jabatan publik presiden dan wakil presiden. Karena Pasal 28 D ayat (3) UUD menyatakan” Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.” Sehingga persyaratan pengalaman kerja atau pernah menjabat jabatan tertentu merupakan bentuk nyata diskriminasi yang melanggar Konstitusi Pasal 28D ayat (3) tersebut. Oleh karena itu, Anwar Usman dan empat kroni Hakim Konstitusi wajib bertanggung jawab dan patut digugat dan didakwa telah melakukan mufakat jahat. https://nasional.tempo.co/read/1784645/saldi-isra-bingung-putusan-hakim-mk-berubah-setelah-anwar-usman-ikut-rapat —- 000 —-

MK Mengabulkan Syarat Capres-Cawapres Pernah Menjadi Kepala Daerah

Jakarta, FNN - Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengenai batas usia calon presiden dan calon wakil presiden diubah menjadi berusia 40 tahun atau pernah berpengalaman sebagai kepala daerah.\"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,\" ucap Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan/ketetapan di Gedung MK RI, Jakarta, Senin.Mahkamah mengabulkan sebagian Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 diajukan oleh perseorangan warga negara Indonesia (WNI) bernama Almas Tsaqibbirru Re A yang berasal dari Surakarta, Jawa Tengah.Ia memohon syarat pencalonan capres dan cawapres diubah menjadi berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.Mahkamah berkesimpulan bahwa permohonan pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Oleh sebab itu, MK menyatakan Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI 1945.\"Sehingga Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi ‘berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah’,\" ucap Anwar.Atas putusan tersebut, terdapat alasan berbeda (concurring opinion) dari dua orang hakim konstitusi, yaitu Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foekh, serta pendapat berbeda (dissenting opinion) dari empat hakim konstitusi, yakni Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo.Dalam pertimbangannya, mahkamah menilik negara-negara lain yang memiliki presiden dan wakil presiden yang berusia di bawah 40 tahun. Kemudian, juga melihat Amerika Serikat dan beberapa negara di Eropa yang mengatur syarat capres berusia di bawah 40 tahun.Sementara itu dalam konteks negara dengan sistem parlementer, kata mahkamah, terdapat pula perdana menteri yang berusia di bawah 40 tahun ketika dilantik atau menjabat.Data tersebut dinilai mahkamah menunjukkan bahwa tren kepemimpinan global semakin cenderung ke usia yang lebih muda.\"Dengan demikian, dalam batas penalaran yang wajar, secara rasional, usia di bawah 40 tahun dapat saja menduduki jabatan baik sebagai presiden maupun wakil presiden sepanjang memenuhi kualifikasi tertentu yang setara,: ucap Guntur Hamzah.Di sisi lain, mahkamah juga menyinggung terkait beberapa putusan terakhir yang memberikan tafsir ulang terhadap norma suatu pasal dan mengenyampingkan open legal policy.\"Konsep open legal policy pada prinsipnya tetap diakui keberadaan-nya, namun tidak bersifat mutlak karena norma dimaksud berlaku sebagai norma kebijakan hukum terbuka selama tidak menjadi objek pengujian undang-undang di mahkamah,\" tutur hakim konstitusi Manahan M.P. Sitompul.Terlebih lagi, sambung Manahan, apabila DPR maupun presiden telah menyerahkan sepenuhnya kepada mahkamah untuk memutus hal dimaksud.\"Maka dalam keadaan demikian, adalah tidak tepat bagi mahkamah untuk melakukan judicial avoidance dengan argumentasi yang seakan-akan berlindung di balik open legal policy,\" ujar Manahan.Lebih lanjut, mahkamah juga menilai bahwa pengalaman pejabat negara, baik di lingkungan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif tidak bisa dikesampingkan begitu saja dalam pemilihan umum (pemilu).\"Pembatasan usia minimal 40 tahun semata tidak saja menghambat atau menghalangi perkembangan dan kemajuan generasi muda dalam kontestasi pimpinan nasional, tapi juga berpotensi mendegradasi peluang tokoh atau figur generasi milenial yang menjadi dambaan generasi muda, semua anak bangsa yang seusia generasi milenial,\" imbuh hakim konstitusi M. Guntur Hamzah.Apabila dilihat dari sisi rasionalitas, menurut mahkamah, penentuan batas usia minimal 40 tahun bagi calon presiden dan wakil presiden bukan berarti tidak rasional, tetapi tidak memenuhi rasionalitas yang elegan karena berapa pun usia yang dicantumkan akan selalu bersifat dapat didebat sesuai ukuran perkembangan dan kebutuhan zaman.Oleh karena itu, mahkamah berpendapat penting bagi mahkamah memberikan pemaknaan kuantitatif dan kualitatif untuk Pasal 169 huruf (q) UU Pemilu.\"Penting bagi mahkamah untuk memberikan pemaknaan yang tidak saja bersifat kuantitatif, tetapi juga kualitatif, sehingga perlu diberikan norma alternatif yang mencakup syarat pengalaman atau keterpilihan melalui proses demokratis, yaitu pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu, tidak termasuk pejabat yang ditunjuk,\" ucap Guntur.Berkaitan dengan perkara uji materi sebelumnya yang ditolak, mahkamah mengatakan permohonan Almas memiliki alasan permohonan yang berbeda, yaitu berkenaan dengan adanya isu kesamaan karakteristik jabatan yang dipilih melalui pemilu, bukan semata-mata isu jabatan penyelenggara negara.(ida/ANTARA)

Putusan MK Melampaui Kewenangannya

Jember, Jawa Timur, FNN - Pengamat hukum tata negara Universitas Jember (Unej) Dr Adam Muhshi menilai bahwa putusan hakim Mahkamah Konstitusi terkait batas usia calon presiden (capres) dan wakil presiden (wapres) telah melampaui kewenangannya sebagai lembaga negative legislator.\"Dengan putusan itu, MK memposisikan diri sebagai positif legislator, sehingga sudah \'melompat pagar\' dari kewenangannya karena yang membentuk aturan itu DPR dan Presiden,\" katanya di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Selasa.Ia mengatakan secara legal formal keputusan hakim MK tersebut sah dan tetap mengikat sejak dibacakan, namun menjadi bermasalah secara substansi karena dinilai cacat hukum.Menurutnya putusan MK yang mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengenai batas usia capres dan cawapres diubah menjadi 40 tahun atau pernah berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.\"Dari semangatnya anak muda boleh menjadi presiden asalkan sudah pernah menjadi kepala daerah, namun saya tidak setuju karena secara substansi sangat tendensius ketika diterapkan pada Pemilu 2024,\" ucap dosen Fakultas Hukum Unej itu.Dari sisi hukum, lanjut dia, banyak yang menilai putusan tersebut cacat hukum karena secara substansi telah keluar dari nilai utama konstitusi bahwa Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis dan negara berdasarkan supremasi hukum/konstitusi kini menjadi negara hukum positif atau perundang-undangan.\"Putusan MK sangat jauh dari rasa keadilan masyarakat karena saat ini Indonesia sebagai negara Republik, akan tetapi putusan MK tersebut berpotensi mundur ke belakang, kembali ke politik dinasti yang merupakan karakter negara dengan sistem monarki dengan hukum positif sebagai dalil pembenar,\" katanya.Adam menyayangkan adanya putusan MK yang dinilai sudah mengarah ke politik, sehingga hal tersebut akan mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut dan menjadi preseden buruk bagi lembaga itu jelang tahun politik.\"Sebagai negative legislator, MK tidak boleh membatalkan atau mengubah ketentuan UU yang tidak bertentangan dengan konstitusi. Namun putusan MK justru menjadikan lembaga tersebut sebagai positif legislator,\" ujarnya.Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengenai batas usia calon presiden dan calon wakil presiden diubah menjadi berusia 40 tahun atau pernah berpengalaman sebagai kepala daerah.(ida/ANTARA)

Ketua MK Pengecut, Bersandiwara Soal Batas Usia Capres-Cawapres

Oleh Asyari Usman - Jurnalis Senior  Mau disebut Mahkamah Keluarga, tidak salah. Mau dikatakan Mahkamah Kepentingan, bisa juga.  Hari ini Ketua dan para hakim di Mahkamah Konstitusi (MK) mempertontonkan martabat terendah mereka. Yaitu, pengecut dan bersandiwara. Tidak berani tegas memutuskan gugatan terhadap batas usia capres-cawapres.  Mereka membuat rangkaian putusan yang seolah menjunjung konstitusi UUD 1945. Padahal, mereka merekayasa kepura-puraan yang tujuannya hanya satu, yakni untuk membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka ikut pilpres 2024. Ada banyak pihak yang menggugat. Dua yang terkemuka diantaranya adalah PSI (Partai Solidaritas Indonesia) dan Partai Garuda. Gugatan kedua parpol ini ditolak. Tetapi, Ketua MK Anwar Usman (adik ipar Jokowi) dan para hakim lainnya mengabulkan gugatan mahasiswa UNS Solo, Almas Tsaqibirru. Singkatnya, pasal 169 huru q UU No. 7 tahun 2017 tentang pemilu tetap membatasi usia minimal capres-cawapres 40 tahun. Tetapi kalau orang itu berpengalaman menjadi kepala daerah boleh ikut pilpres walaupun belum 40 tahun. Ini jelas dimaksudkan untuk Girban. Tak bisa dibantah sandiwara tulen di MK yang pertahankan batas usia 40 tahun tetapi memberikan jalan kepada yang punya pengalaman sebagai kepala daerah. Sandiwara untuk memuluskan jalan Gibran ikut pilpres. Indonesia betul-betul menjadi ajang permainan elit politik dan eilit taipan jahat. Jokowi bisa mengatur apa saja yang dia dan taipan inginkan. Logis saja. Untuk siapa frasa “berpengalaman menjadi kepala daerah meskipun belum 40 tahun” itu? Bukan untuk Gibran? Apakah ada manusia waras yang mengatakan putusan MK ini bukan untuk Gibran? Seharusnya Ketua MK gentleman saja. Tidak usah berputar-putar untuk membukakan jalan bagi Gibran. Menolak penurunan batas usia, tetapi membolehkan orang yang sedang menjadi kepala daerah atau pernah menjadi kepala daerah. Ini jelas sandiwara hukum. Ketua MK Anwar Usman tidak bisa mengelak kalau dituding sebagai sutradara sandiwara ini. Memuakkan. Menjijikkan sekali. Anda menghina akal sehat publik.  Anda pengecut, Pak Ketua MK. Putuskan saja batas usia menjadi 35 tahun. Tidak usah malu-malu berbuat untuk Gibran. Tidak perlu berbelit-belit dengan frasa “pengalaman sebagai kepala daerah” segala. Mengapa harus berbasa-basi?  Anda tidak hanya bersandiwara dengan kepura-puraan, Pak Ketua. Tapi Anda sekarang malah memunculkan masalah baru. Apa masalah baru itu? Bahwa putusan Anda ini mendiskriminasikan orang-orang di bawah 40 tahun yang sangat berpotensi tapi tidak punya pengalaman sebagai kepala daerah. Entah menunggu kesewenangan apalagi sebelum rakyat bangkit menghentikan perbuatan tercela para penguasa bangsat.[]

Putusan Batas Usia Capres-Cawapres Berlaku Mulai Pemilu 2024

Jakarta, FNN - Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa putusan mahkamah terkait uji materi Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum berlaku mulai Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2024.“Ketentuan Pasal 169 huruf (q) UU 7/2017 sebagaimana dimaksud dalam putusan a quo berlaku mulai pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 dan seterusnya,” kata Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dalam Sidang Pengucapan Putusan/Ketetapan di Gedung MK RI, Jakarta, Senin.Guntur mengatakan bahwa hal tersebut penting untuk ditegaskan agar tidak menimbulkan keraguan mengenai penerapan pasal dalam menentukan syarat batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).“Hal ini penting ditegaskan mahkamah agar tidak timbul keraguan mengenai penerapan pasal a quo dalam menentukan syarat keterpenuhan usia minimal calon presiden dan wakil presiden sebagaimana rumusan dalam amar putusan a quo,” ucapnya.MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengenai batas usia capres dan cawapres diubah menjadi berusia 40 tahun atau pernah berpengalaman sebagai kepala daerah.Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 itu diajukan oleh perseorangan warga negara Indonesia (WNI) bernama Almas Tsaqibbirru Re A yang berasal dari Surakarta, Jawa Tengah.Mahkamah berkesimpulan bahwa permohonan pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Oleh sebab itu, MK menyatakan Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI 1945.\"Sehingga Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi ‘berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah’,\" ucap Ketua MK Anwar Usman membacakan amar putusan.Di sisi lain, MK menolak gugatan uji materi yang dilayangkan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang memohon batas usia capres dan cawapres menjadi 35 tahun.Kemudian, MK juga menolak gugatan uji materi Partai Garuda dan sejumlah kepala daerah yang memohon batas usia capres-cawapres diubah menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara.Terkait hal itu, Guntur menegaskan bahwa putusan yang berlaku adalah putusan yang terbaru, yakni putusan yang mengabulkan batas usia capres-cawapres menjadi 40 tahun atau pernah menjadi kepala daerah.“Terhadap pemaknaan norma Pasal 169 huruf (q) UU 7/2017, penting bagi mahkamah untuk menegaskan bahwa dalam hal terdapat dua putusan yang menyangkut isu konstitusionalitas yang sama, namun karena petitum yang tidak sama dalam beberapa putusan sebelumnya dengan perkara a quo sehingga berdampak pada amar putusan yang tidak sama, maka yang berlaku adalah putusan yang terbaru,” kata Guntur.(sof/ANTARA)