ALL CATEGORY
Anis Matta: Negara Harus Hadir dalam Memitigasi Bencana, Jangan Sampai Kalah dengan Semangat Voluntarisme Publik
Jakarta, FNN - Indonesia saat ini, berada dalam situasi ancaman kebencanaan yang serius dibandingkan dengan negara lain, karena merupakan daerah dengan pertemuan tiga lempeng tektonik dunia. Hal ini ditandai dengan silih bergantinya kejadian bencana alam di Indonesia seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, erupsi gunung berapi dan potensi terjadinya tsunami. Namun, masyarakat sepertinya tidak sadar bahwa dirinya tinggal di daerah rawan bencana, sehingga pemerintah perlu memberikan literasi tentang kebencanaan dan perhatian serius dalam memitigasinya. \"Menurut saya, ada tiga kata kunci dalam peningkatan kapasitas negara dalam pengelolaan bencana saat ini,\" kata Anis Matta dalam Gelora Talks bertajuk \'Indonesia dan Ancaman Bencana Alam, Bagaimana Kita Memitigasinya? di Jakarta, Rabu (7/12/2022) sore. Tiga kata kunci tersebut, kata Anis Matta, bisa menjadi rekomendasi bagi pemerintah untuk melakukan penguatan anggaran kebencanaan, serta skala prioritas dalam kebijakannya. Sebab, perhatian pemerintah saat ini terpecah dalam menghadapi peristiwa lain seperti mengatasi ancaman krisis ekonomi, pandemi Covid-19, dampak perang Rusia-Ukraina, serta memasuki tahun politik. \"Sehingga pemerintah mesti mengukur kemampuannya, ketika suatu peristiwa terjadi bersamaan. Tetapi tiga kata kunci ini, bisa menjadi rekomendasi maksimal dalam menghadapi situasi ancaman kebencanaan saat ini,” ujarnya. Pertama, pemerintah membuat Peta Bencana Nasional, sehingga proyeksi potensi bencana secara nasional dapat diketahui dan bisa menjadi guidance atau petunjuk bagi kita semua. Kedua, perlunya regulasi pada tata ruang yang berhubungan langsung dengan konstruksi, terutama konstruksi bangunan atau hunian. \"Kita ketahui bersama, bahwa bencana ini, kalau ada runtuhan bangunan, maka orang bisa meninggal dari reruntuhan. Jadi karena dampaknya mematikan itu, perlu tata ruang dan regulasi yang berhubungan dengan konstruksi,\" ujarnya. Ketiga, terkait dengan kedisiplinan dalam pelaksanaan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana agar diterapkan dalam kehidupan nyata dan tidak sekedar menjadi aturan saja, tanpa pelaksanaan secara maksimal. \"Jadi catatan ketiga saya, adalah enforcement. Masalah kedisiplinan untuk memberlakukan regulasi itu ( UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana) dan menerapkannya dalam kehidupan nyata kita,\" tandasnya. Menurut Anis Matta, pemerintah tidak bisa lagi menggunakan cara-cara seperti sekarang dalam memitigasi bencana, yang terkesan baru bertindak setelah ada jatuh korban jiwa atau dampak ada kerusakan masif. Pemerintah seperti tidak ada perencanaan dan terlihat gagap setiap ada bencana. \"Langkah pemerintah juga sering kali kalah cepat dari semangat voluntarisme publik untuk terlibat lebih jauh dalam aksi-aksi kemanusiaan. Kekuatan negara harus hadir dalam mengimplementasikan rekomendasi-rekomendasi situasi ancaman kebencanaan, dan bagaimana memitigasinya,\" tegas Anis Matta. Peta Bencana Nasional Sementara itu, Koordinator Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Iman Fatchurochman mengatakan, BMKG telah berupaya untuk memitigasi meminimalisir jatuhnya korban jiwa dan dampak dari kerusakan yang akan ditimbulkan dari bencana yang terjadi. \"BMKG juga telah membahas, serta menyodorkan peta rawan bencana dengan mengajak keterlibatan pemerintah daerah untuk memitigasinya. Wilayah Indonesia itu ada 13 zona megatrust, serta 295 sesar aktif yang harus diwaspadai,\" kata Iman. Menurut dia, gempa yang terjadi di Indonesia mayoritas mendatangkan kerusakan parah dan banyak menelan korban jiwa. Hal ini terjadi karena bangunan rumah tidak tahan gempa, serta gempa sering kali terjadi di batuan lunak. \"Korban meningggal pada umumnya, disebabkan karena bangunan rumahnya sendiri, bukan karena gempanya sendiri,\" jelas Koordinator Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG ini. BMKG, lanjut dia, sudah menyediakan data daerah rawan gempa sejak 2017 dengan menggandeng Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI (sekarang Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). \"BMKG telah berkontribusi untuk tata ruang, serta berkoordinasi dengan BNPB, serta Kementerian PUPR dalam memberikan informasi potensi kebencanaan,\" katanya. Selain itu, BMKG juga memilih program Sekolah Lapangan Gempa Bumi sejak 2014, dan sekarang berkembang menjadi \'BMKG Go To School\' yang memberikan edukasi, sosialisasi dan literasi, serta advokasi kepada pemerintah daerah dan masyarakat. \"Mereka audince kami, mereka kita latih terkait potensi kebencanaan di wilayahnya masing-masing, bagaimana meresponnya. Kemudian menentukan peta lokasinya, dan cara evakuasinya seperti pada tsunami. Kita ukur waktunya lebih cepat mana, tsunami atau evakuasinya,\" ungkap Iman. Rumah Tahan Gempa Sedangkan Kepala Pusat Data Informasi (Pusdatin) dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Abdul Muhari mengatakan, untuk meminimalisir korban jiwa dan kerusakan bangunan akibat gempa bumi, diperlukan bangunan atau rumah tahan gempa. \"Gempa Cianjur magnitude 5,6 itu kerusakan luar biasa, karena kondisi rumah atau bangunannya tidak tahan gempa. Kini tercatat 334 jiwa meninggal, 37 ribu rumah rusak belum termasuk sekolah,\" kata Muhari. BNPB, kata Muhari, telah berbicara dengan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) Abdul Halim Iskandar meminta Kementerian Desa dan PDTT untuk ikut serta merenovasi bangunan rumah masyarakat agar tahan gempa dengan biaya murah. \"Kita mengajak masyarakat untuk merehab bangunan rumah sendiri agar tahan gempa, misalkan diberi bantuan Rp 15 juta. Kita telah meminta Menteri Desa agar bisa menggunakan Dana Desa untuk perbaikan rumah masyarakat di pelosok desa. Begitu kita ngomong ini, sama Pak Menteri Desa, beliau sudah langsung oke dan akan segera keluarkan SK menteri, bahwa Dana Desa bisa untuk penanggulangan bencana,\" katanya. Renovasi bangunan rumah tahan gempa itu, lanjutnya, dapat diselesaikan dalam kurun waktu 10 tahun, bagi rumah yang sudah terdampak gempa, maupun berpotensi di seluruh Indonesia. \"Kita akan memperkuat bangunan masyarakat dengan beberapa metodologi, sehingga bangunanya tahan gempa. Metodologi dan biayanya tergantung type rumahnya, semacam bedah rumah saja. Nanti kita lihat desa mana yang rawan, itu yang kita prioritaskan,\" katanya. Pemerintah Harus Tegas Pakar Vulkanologi & Bencana Gunung Api Surono mengatakan, pemerintah harus tegas dalam upaya mitigasi bencana. Pemerintah daerah juga harus mengutamakan perlindungan warganya ketimbang kesejahteraan. \"Harus ditegakkan mana yang layak huni dan tidak untuk mitigasi bencana. Dan harus ada law enforcement yang kuat. Peta sudah ada dan berharap Pemerintah Daerah mengikutinya,\" kata Surono Surono yang akrab dipanggil Mbah Rono menegaskan, bahwa gempa bumi tidak membunuh, tetapi infrastrukturnya yang membuat masyarakat menjadi korban. Hal ini akibat banyak pihak yang tidak mematuhi UU No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, padahal ancaman hukuman pidana dan dendanya sangat jelas. \"Seluruh daerah rawan bencana itu enak ditinggali, karena mata airnya banyak. Seperti lokasi likuifaksi di Palu, itu sudah direkomendasikan untuk tidak ditinggali, karena masuk peta rawan bencana. Pemerintah daerahnya mengizinkan dan masyarakatnya tidak mau dipindah, maunya tinggal disitu. Dan kita sudah lihat dampaknya seperti apa,\" ujar Mbah Rono. Mantan Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian ESDM ini berharap agar masyarakat yang berada di daerah rawan bencana harus kembali ke alam atau back to nature. \"Nenek moyang kita itu, sebenarnya sudah menciptakan bangunan yang tahan gempa dan tahan gerakan tanah. Bangunan rumah itu, contohnya bisa kita lihat rumah orang Sunda, Sumatera Barat, Baduy dan lain-lain. Mereka bikin rumah panggung, pendek saja tidak terlalu tinggi. Nenek moyang kita sudah sangat empiris, tetapi itu semua kita tinggalkan,\" katanya. Mbah Rono menilai perlu ada kebijakan politik atau political will yang tegas dari pemerintah untuk mengubah perilaku tersebut. Sebab, percuma jika investasi triliunan rupiah dalam membangun infrastruktur, tanpa dibarengi dengan resiko bencananya. \"Itu hanya satu detik, tiga detik semua habis. Jangan berlindung dibalik kata investasi, tanpa memperhitungkan resiko bencana. Yang mematikan itu bukan gempa buminya, atau gunung meletus, tetapi infrastruktur yang membunuh kita. Kalau kita bandel sama alam, tentu akan ada harga yang harus dibayar,\" pungkasnya. (sws)
Kasih Uang Habis Perkara (KUHP)
Oleh Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI SELAIN omnibus law, KUHP begitu kental memberi isyarat kematian konstitusi dan demokrasi. Beraroma kapitalistik dan transaksional, pemerintah dan DPR kembali memunculkan kecenderungan tabiat korup, represif, diktator dan otoriter. Kedua institusi pelayan rakyat itu, secara telanjang mempertontonkan perannya berada dalam naungan oligarki baik korporasi maupun partai politik. Hukum tak lagi memiliki kehormatan dan kepercayaan di hadapan publik. Bukan sekedar tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Peraturan di negeri ini terlanjur dianggap sebagai alat untuk menghukum rakyat sekaligus sebagai strategi untuk mempertahankan jabatan. Konstitusi dan demokrasi direkayasa sedemikian rupa oleh penyelenggara negara berdasarkan nafsu, selera dan tujuan-tujuan kekuasaan. Rakyat hanya bisa pasrah, menerima semua undang-undang dan ketentuan yang berlaku bahkan sekalipun produk politik dan hukum itu menindas dan menyengsarakan rakyat. Rakyat yang dengan segala pengorbanannya melahirkan, membangun dan merawat NKRI, harus menerima kenyataan-kenyataan pahit menjadi rakyat dari sebuah negara gagal sebagai sebuah takdir. Negara yang kaya dan subur tanahnya, tak mampu mengangkat derajat kehidupan rakyatnya sebagai sebuah bangsa yang sejahtera dan bermartabat. Alih-alih menghadirkan kemakmuran dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Rezim kekuasaan cenderung menguras kekayaan negara, memiskinkan kehidupan bangsa dan merendahkan harga diri bangsa sendiri dihadapan bangsa asing dan aseng. Praktek-praktek korupsi, jual beli hukum dan kebijakan pemerintahan yang terus merugikan dan terkadang mengancam keselamatan rakyat. Tak cukup melakukan pembelahan sosial yang beresiko pada degradasi sosial dan disintegrasi bangsa, pemerintah terus membawa rakyat, negara dan bangsa pada jurang kehancuran. Mengubur semua impian dan harapan seluruh rakyat akan negeri yang gemah ripah loh jinawi yang mengusung Pancasila, UUD 1945 dan NKRI sebagai entitas peradaban dari kebudayaan adiluhung sebuah bangsa. Rakyat baru saja menyaksikan drama sidang paripurna pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi UU antara pemerintah dan DPR. Dengan esensi pembahasan yang menjadi supreme dari konstitusi sekaligus jantung kehidupan demokrasi. Rapat paripurna yang digelar pada tanggal 6 Desember 2022 di gedung Nusantara 2 komplek parlemen Senayan, yang dipimpin Wakil Ketua DPR dari Fraksi Gerindra Sufmi Dasco Ahmad. Seperti menghasilkan paduan suara secara nyaring menyetujui KUHP yang dinilai publik banyak mengandung pasal-pasal bertendensi represi dan membuka peluang menghasilkan pemerintahan yang diktator dan otoriter. Meskipun ada protes keras dari perwakilan PKS, namun RKUHP tetap bulat disahkan. Keputusan DPR soal itu lebih kental sebagai tirani minoritas terhadap mayoritas terkait suara dan aspirasi rakyat yang ada di parlemen. Dengan realitas hanya 18 anggota yang hadir langsung dan 285 anggota absen. Tercatat , hanya 18 anggota yang hadir secara fisik, 108 anggota secara virtual dan ijin sebanyak 164 anggota. Sementara sisanya 285 anggota absen. Sangat memprihatinkan, dianggap main-main dan terkesan begitu menyepelekan. Hanya dihadiri oleh 18 anggota secara fisik, wakil Ketua DPR sufmi Dasco menyatakan bahwa rapat telah memenuhi kuota forum alias kuorum. Pembahasan DPR terkesan memaksakan dan terburu-buru mengesahkan RKUHP. Tanpa mengindahkan aspirasi rakyat dan rasa keadilan masyarakat terhadap penegakkan hukum. KUHP terus mendapatkan protes dan penolakan yang luas dari rakyat. Pemerintah dan DPR melalui produk politik KUHP semakin meyakinkan rakyat bahwa di negeri ini demokrasi dan konstitusi telah mati. Wajah hukum di Indonesia semakin tercoreng dan menyisakan potret hitam masa depan pembangunan politik demokrasi dan politik konstitusi. Rezim kekuasaan melalui pilar kekuatan eksekutif, legislatif dan yudikatif cenderung dianggap telah melakukan konspirasi kejahatan terselubung yang menjauhkan proses penyelenggaraan negara dari pondasi dan fundamental implementasi Pancasila dan UUD 1945. Dengan dalih telah melakukan reformasi hukum pidana yang diklaim sebagai warisan hukum kolonial. Pemerintah malah mengokohkan pemikiran dan tindakan yang persfektif hukumnya jauh lebih buruk da terbelakang dari hukum kolonial sekalipun. Misalnya yang pada pasal- pasal penghinaan presiden, pemerintah dan DPR. Pasal-pasal karet itu dipastikan akan menghidupkan tabiat kekuasaan yang anti kritik dan anti demokrasi. Rakyat bukan hanya akan semakin terancam oleh hukum pidana karena bersikap kritis dan korektif terhadap pemerintah. Lebih dari itu rakyat bagai berhadapan dengan intimidasi, ancaman dan teror berupa hukum kekuasaan yang secara sepihak dan subyektif leluasa bisa dilakukan rezim. Untuk kesekian kalinya, setelah mamaksakan omnibus law dan UU minerba. RKUHP yang pernah mendapatkan penolakan keras dari rakyat akhirnya sah diberlakukan. Pemerintah dan DPR pada akhirnya secara transparan dan faktual, telah membuktikan keberadaan dan eksistensinya telah berhasil mengamputasi kedaulatan rakyat. Konstitusi dengan pelbagai produk hukumnya termasuk KUHP begitu mengakomodir dan memanjakan kepentingan bangsa asing dan aseng atas nama pembangunan dan investasi. Pemerintah dan DPR telah membuktikan kehadiran mereka tak bisa dilepaskan dari peran oligarki korporasi dan oligarki partai politik. Oligarki puas dan rakyat terhempas. Kepentingan negara dan bangsa kalah oleh irisan dan domain kapitalisme dan komunisme global. Politik hukum di Indonesia, semakin sulit menghindari sikap skeptis dan apriori publik dari harapan dan keinginan mewujudkan rasa keadilan bagi seluruh rakyat tanpa terkecuali. Rasanya rakyat tak bisa disalahkan ketika bicara dan mengeluh soal hukum di republik ini. Jual beli hukum begitu marak, perdagangan hukum telah mewabah. Dari mulai rakyat kecil hingga petinggi negara, dari orang biasa hingga yang terhormat dan dari tingkat RT hingga ke DPR juga pada menteri dan presiden. Termasuk pada aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan kehakiman. Hukum terasa begitu kapitalistik dan transaksional. Bukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dipahami dan berlaku. Namun seakan telah menjadi pameo di masyarakat, kenyataan yang ada rakyat hanya mengerti Kasih Uang Habis Perkara (KUHP).(*)
Bom Bunuh Negeri
Oleh Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI KALAU terorisme begitu menakutkan dan menggalang kekuatan dunia untuk mencegah dan menangkalnya. Kalau bencana mampu menyadarkan diri akan kekuasaan Tuhan yang membuat manusia ingin lebih dekat dan merasa membutuhkan pertolonganNya. Bagaimana dengan kapitalisme dan komunisme global yang telah nyata daya rusaknya dan menjadi bom bunuh negeri bagi bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa lainnya? Musibah bencana alam dan teror seakan menjadi jadwal tetap hampir di setiap penghujung tahun. Bedanya, Gempa, tsunami, tanah longsor dlsb., bisa dipahami sebagai peristiwa luar biasa dari fenomena alam dan sebuah takdir yang tidak bisa dihindari umat manusia. Sedangkan kegiatan teror yang juga hebat daya rusaknya dan menyebabkan korban luka dan kematian, terkadang sulit dirasionalisasi apakah itu berasal dari teroris yang sesungguhnya atau menjadi rekayasa demi kepentingan politik atau agenda tertentu. Kedua peristiwa yang mampu memporak-porandakan peradaban manusia itu, seakan menjadi tamu tetap yang datang setiap menjelang pergantian tahun. Indonesia tak akan pernah lupa bagaimana gempa dan tsunami Flores (Desember 1992), gempa dan tsunami Aceh (Desember 2004), gempa, tsunami dan likuifasi Donggala (September 2018) dan gempa Cianjur (Novemver 2022). Bahkan di bulan Desember tahun ini, rakyat Indonesia masih diselimuti bahaya erupsi gunung Semeru dan Merapi. Belum lagi info dari BMKG tentang peringatan akan potensi gempa dan bencana lain yang mengancam dan sewaktu-waktu dapat terjadi. Rakyat Indonesia seperti tak pernah berhenti menghadapi musibah demi musibah. Mirisnya, bencana alam dan kegiatan teroris yang sering terjadi menjelang bergantinya tahun. Pada tahun ini seakan melengkapi penderitaan rakyat Indonesia yang baru reda menghadapi pandemi serta menuju kemerosotan ekonomi dan politik. Keadaan itu juga diperparah dengan munculnya krisis moral dan krisis kepemimpinan yang membuat kehidupan rakyat, negara dan bangsa semakin terpuruk. Rendahnya prinsip-prinsip kemanusiaan dan langkanya ketaatan pada Tuhan Sang Pencipta, membuat bangsa ini semakin bertingkah destruktif, jauh dari kemaslahatan. Entah sudah menjadi proses natural berupa suratan takdir dari kehendak Tuhan, atau ini menjadi semacam peringatan dan teguran kepada manusia. Semua bencana alam dan kerusakan di negeri ini yang diakibatkan oleh perilaku manusia sendiri. Hendaknya menjadi refleksi dan evaluasi mendesak bagi seluruh rakyat Indonesia terlebih bagi para pemangku kepentingan dan pengambil kebijakan publik. Bahwa baik buruk akibat sangat tergantung pada baik buruk sebabnya. Apa yang ditanam, maka ia akan menuainya. Peristiwa bom bunuh diri yang terjadi di Mapolsek Astana Anyar Bandung di tengah negeri sedang beruntun digelayuti bencana, apapun motif dan latarbelakangnya. Sepatutnya menghentak kesadaran para pemimpin agar segera menghentikan perilaku menyimpang dalam penyelenggaraan negara. Segera mungkin meninggalkan perilaku kekuasaan yang dzolim, yang menindas dan membuat penderitaan rakyat. Harus ada perubahan baik secara sistem maupun perform, yang mampu menampilkan restorasi Indonesia. Sudah menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi oleh bangsa ini untuk secepatnya kembali kepada jati diri sebenarnya menjadi masyarakat yang religius dan kaya spiritual. Rakyat dan pemimpin yang hidupnya terpikul dan terpikul natur, peduli pada alam semesta dan mencitai sesama manusia serta sebenar-benarnya mengagungkan Tuhan. Maka sistem politik, ekonomi dan hukum yang tercerabut dari nilai-nilai hakiki Pancasila, UUD 1945 dan NKRI tak lagi bisa memisahkan kehidupan agama dari negara. Dengan kata lain, sekulerisasi dan liberalisasi yang menjadi bagian utuh dari ideologi kapitalis dan komunis, sejatinya tak relevan bahkan bertentangan dengan karakteristik bangsa Indonesia yang nasionalis religius. Okeh karena itu sudah menjadi \"to be or not to be\" atau \"to be kill or to be killed\" meminjam istilah Luhut Binsar Panjaitan yang terbata-bata integritasnya, semua bentuk dari anasir kapitalisme dan komunisme harus hengkang dari tanah air Indonesia. Globalisasi yang mengusung penghisapan manusia atas manusia dan penghisapan bangsa atas bangsa harus enyah dari muka bumi khususnya di bumi nusantara. Jika tidak ada nasionslisme dan patriotisme serta membiarkan kapitalisme dan komunisme terus mencengkeram republik ini. Maka sesungguhnya rakyat, negara dan bangsa Indonesia hanya akan menerima ledakan dan guncangan kemanusiaan dan peradabannya. Menerima teror dan musibah dari bom bunuh negeri akibat menghirup udara kapitalisme dan komunisme terlalu dalam. Ya, bom bunuh negeri yang paling dahsyat dan mengerikan dari penjajahan oleh bangsa asing dan bangsanya sendiri. (*)
Dua Tahun Pembantaian Enam Pengawal HRS di KM50 (1): Rakyat Menuntut Tanggungjawab Kapolri Sigit dan Presiden Jokowi!
Uraian tersebut dibuat bertepatan dengan Konpers Kapolda Metro Jaya pada 7 Desember 2020, guna mengingatkan bahwa kejahatan kemanusiaan kategori HAM Berat itu telah terjadi di bawah kekuasaan Kapolri Listyo Sigit Prabowo dan Presiden Joko Widodo. Oleh: Marwan Batubara, TP3 & UI Watch KEMARIN, 7 Desember 2022, kejahatan aparat negara membantai 6 pengawal Habib Rizieq Syihab (HRS) genap berusia dua tahun. Kejahatan yang diyakini masuk kategaori kejahatan HAM Berat itu terungkap pertama kalinya setelah Konferensi Pers (Konpers) Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran didampingi Pangdam Jaya Mayjen Dudung Abdurachman dan sejumlah pejabat Polda Metro Jaya, sekitar jam 13.00 WIB, pada 7 Desember 2020, bertempat di Mapolda Metro Jaya. Esensi pernyataan Fadil Imran antara lain adalah: 1) personal Polda Metro telah menembak mati enam pengawal HRS; 2) Penembakan dilakukan karena para pengawal melawan dan menyerang petugas; 3) Penguntitan dilakukan terkait dengan pelanggaran protokol kesehatan pada acara peringatan Maulid dan penikahan putri HRS; 4) Ada 10 orang yang menyerang, empat orang ditembak dan empat orang melarikan diri; 5) Tidak ada korban jiwa maupun luka dari pihak Polri, namun sebuah kendaraan rusak karena dipepet terkena tembakan. Meski klarifikasi dan bantahan telah diungkap dalam Buku Putih TP3 yang terbit Mei 2021 dan berbagai pernyataan Tim Hukum HRS, serta berita berbagai media, kami dari TP3 perlu mengulang bantahan atas isi Konpers Kapolda Metro Jaya tersebut. ]Minimal untuk mengingatkan publik bahwa penuntasan kasus pembantaian tersebut masih jauh dari rasa keadilan dan kebenaran. Sebelum mengklarifikasi manipulasi informasi dan penggiringan opini yang dilakukan Kapolda Metro Jaya, TP3 perlu mengungkap kembali kronologi kejadian sebenarnya. Kronologi Pembantaian Sebelum Konpers Kapolda Fadil Imran, pihak HRS, dan DPP FPI sempat menyebar Siaran Pers pada 7 Desemebr 2020, sekitar jam 11.00 WIB. Isinya berupa informasi tentang hilangnya enam pengawal HRS saat perjalanan rombongan keluarga HRS (termasuk beberapa balita dan bayi) dari Sentul Bogor menuju Karawang, melalui Jalan Tol Jakarta-Cikampek. Hanya setelah Konpers Kapolda Fadil Imran tersebutlah pihak FPI dan HRS paham bahwa yang menguntit mobil rombongan mereka adalah aparat negara. Mengapa demikian? Ternyata sejak keluar dari Perumahan Nature Mutiara Sentul, rombongan keluarga HRS (4 mobil) dan pengawal HRS (juga 4 mobil) telah dipantau sejumlah mobil tak dikenal yang stand-by di sekitar Perumahan Nature Mutiara, sejak dua hari sebelumnya. Selama perjalanan di Tol Cikampek, beberapa mobil tak dikenal ini terus bermanuver (memepet dan berupaya meng-intercept). Hal ini sangat membahayakan keselamatan rombongan HRS. Memang targetnya, mobil yang ditumpangi HRS, agar HRS dapat “dihabisi”. Karena itulah mobil para pengawal terus berupaya menghalangi manuver guna mengamankan HRS dan keluarga. Selama manuver, adu kecepatan, saling salip dan saling pepet, terutama dalam upaya memecah rombongan dan menarget HRS, para pengemudi mobil tak dikenal ini tidak pernah menunjukkan identitas sebagai aparat negara. Para penguntit lebih mencerminkan perilaku barbar dan premanisme. Ternyata setelah Konpers Kapolda Metro Jaya di atas, terungkap mereka itu adalah aparat negara yang “sedang bertugas” memburu target tanpa peduli keselamatan rombongan HRS dan keluarganya. Dalam satu momen kejar-mengejar, mobil yang ditumpangi salah satu rombongan HRS dipepet mobil SUV (Fortuner/Pajero) dengan “Nopol” B 1771 KJL (ternyata Nopol palsu). Sang “petugas” membuka kaca mobil, mengeluarkan tangan bertato dan mengacungkan jari tengah, sambil menebar ancaman. Namun dua mobil pengawal HRS (Avanza dan Chevrolet B 2152 TBN) berhasil mencegah mobil-mobil para penguntit melakukan intercept, sehingga rombongan HRS dan keluarga, serta dua mobil pengawal HRS yang lain, berhasil menjauh dan lolos dari kejaran petugas yang bertindak barbar dan ala gangster itu. Sepeninggal rombongan HRS yang lolos, salah satu mobil pengawal HRS yakni Chevrolet B 2152 TBN dikepung tiga mobil “petugas” dan akhirnya berhasil ditangkap. Beberapa saksi mata, termasuk hasil penelusuran Tempo.online, menyatakan bahwa dua orang pengawal HRS ditembak di KM50. Dua mayat pengawal HRS tersebut kemudian diangkut menggunakan ambulans, sedang empat pengawal lain yang masih hidup (salah satunya terpincang-pincang) dibawa para “petugas” ke suatu tempat yang tidak jelas. Perlu dicatat, sekitar satu jam setelah para petugas (pakaian preman) dan enam pengawal HRS berada di KM50, maka datanglah mobil Land Cruiser hitam dan sebuah mobil lain. Tampaknya “petugas” (pakaian preman) di Land Cruiser hitam itu berfungsi sebagai komandan, yang memerintahkan pemindahan enam pengawal HRS ke mobil lain, yang akhirnya disiksa secara sadis dan ditembak mati, umumnya pada daerah dada kiri. Sebelum meninggalkan KM50 “para petugas”, di bawah pimpinan sang komando, secara arogan melakukan selebrasi untuk menandakan kemenangan. Klarifikasi dan Tanggapan Berdasarkan kronologi kejadian di atas, kita bisa menanggapi keterangan Kapolda Fadil sebagai berikut. Terkait butir 1) Pelaku penembakan adalah Personal Polda Metro Jaya terbantahkan. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa para pelaku adalah satu kesatuan aparat negara yang menumpangi minimal enam (6) mobil (TP3 memiliki “Nopol”-nya), termasuk Land Cruiser hitam. Karena berada dalam satu kesatuan di bawah kendali komando, maka jelas kesalahan tidak benar hanya tertuju pada 3 orang anggota Polri (faktanya, belakangan 1 orang mati dan 2 orang divonis bebas). Terkait butir 2) Penembakan dilakukan karena pengawal HRS melawan dan menyerang petugas, kita jelas membantah keras rekayasa Fadil tersebut. Sebab pihak yang memulai insiden adalah “petugas” tanpa identitas yang berperilaku barbar sendiri, di mana mereka melakukan intercept yang sangat membahayakan keselamatan dalam rangka memburu HRS. Para pengawal tidak pernah melawan dan menyerang, serta tidak memiliki senjata tajam dan senajata api, sebagaimana yang dituduhkan Kapolda Fadil saat Konpers. Untuk membuktikan kebohongan Kapolda Fadil, keluarga enam pengawal HRS telah mengundang Kapolda/Polri untuk bermubahalah (Masjid Al Furqon, 26/2/2021), namum tak berani dipenuhi. Terkait butir 3) Penguntitan dilakukan Polri karena dugaan pelanggaran protokol kesehatan oleh HRS, kita dengan tegas menyatakan bahwa status HRS pada saat itu (6/12/2020) hanyalah sebagai saksi. Beliau bukan tersangka dan tidak terlibat makar terhadap negara. Namun oleh “petugas” sadis telah dikuntit dan diperlakukan sewenang-wenang, layaknya penjahat besar atau teroris. Para aparat negara yang bertindak brutal ini jelas telah menyalahagunakan kekuasaan secara arogan, melanggar HAM/konstitusi, UU, peraturan dan SOP Polri dalam penanganan perkara dan terduga bersalah. Terkait butir 4) Ada 10 orang yang menyerang, empat orang ditembak dan empat orang melarikan diri, sama seperti uraian butir 2) di atas bahwa para pengawal HRS tidak pernah menyerang “petugas”. Karena memang bertindak melindungi mobil HRS, sehingga tidak pernah menyerang, para pengawal juga tidak memiliki senjam dan senpi. Maka mereka sangat tidak layak diperlakukan sebagai musuh atau pelaku kejahatan yang layak untuk langsung dihabisi atau ditembak. Sesuai prosedur pengamanan internal petugas, para pengawal yang “tertangkap” dalam Chevrolet seharusnya bisa diborgol, untuk kelak bisa disidik dan diadili. Adapun empat orang yang “disebut melarikan diri”, faktanya adalah pengawal HRS yang lolos dari intimidasi petugas sadis. Jika ingin mengungkap kebenaran dan menegakkan keadilan, mereka yang lolos ini bisa berperan menjadi saksi di pengadilan. Komnas HAM, Polri (terutama Kapolda Fadil), Kejagung dan Pengadilan Negeri bisa dengan mudah memanggil mereka. Namun, hal tersebut tidak pernah terjadi. TP3 sendiri sempat bertemu dengan para pengawal yang selamat dari kesadisan para petugas tersebut, dan dari merekalah TP3 memperoleh sebagian informasi objektif tentang kronologi kejadian di atas. Terkait butir 5) Bahwa tidak ada korban jiwa maupun luka pihak Polri, satu kendaraan rusak dipepet dan terkena tembakan, TP3 perlu menyatakan para pengawal adalah pihak yang dizolimi, tidak punya senjata, tidak menyerang petugas dan justru harus mengamankan diri dari tindakan brutal. Jika ada mobil petugas yang tertembak, maka yang menembak mobil tersebut adalah petugas itu sendiri. Sebab mereka merasa sangat berkuasa tanpa limit, rekayasa seperti ini sangat mudah dikarang, sebagaimana mereka merekayasa dan mempertontonkan manipulasi pemilikan pedang dan sejata api oleh Kapolda Fadil saat Konpers 7 Desember 2020. Uraian di atas merupakan sekelumit kebohongan dan rekayasa terkait kasus pembantaian enam pengawal HRS. Uraian tersebut dibuat bertepatan dengan Konpers Kapolda Metro Jaya pada 7 Desember 2020, guna mengingatkan bahwa kejahatan kemanusiaan kategori HAM Berat itu telah terjadi di bawah kekuasaan Kapolri Listyo Sigit Prabowo dan Presiden Joko Widodo. Selain kebohongan 7 Desember 2020, TP3 juga memiliki berbagai informasi manipulatif, argumentasi objektif dan dasar hukum lain yang menunjukkan bahwa proses pengadilan kasus masih jauh dari kebenaran dan keadilan. Karena merupakan atasan dan penanggungjawab operasi aparat negara pelaku pembantaian, maka keluarga korban, DPP FPI/HRS, TP3 dan para penggiat HAM akan terus menuntut Presiden Jokowi dan Kapolri Sigit mempertanggungjawabkan kejahatan kemanusiaan tersebut. Jakarta, 7 Desember 2022. (*)
Jokowi "Setengah Mati" oleh Ulahnya Sendiri
Oleh Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI PERADABAN manusia akan selalu menampilkan para pemimpin rakyat, baik yang jujur dan adil maupun yang berlaku aniaya dan dzolim. Ada pemimpin yang ditulis sejarah sebagai orang baik dan banyak memberi manfaat. Ada pula yang berlumur kejahatan, membuat kerusakan dan menjadi ancaman bagi kehidupan dunia. Tak ada presiden di Indonesia yang di akhir masa jabatannya begitu ngotot mempertahankan kekuasaannya. Soekarno yang kharismatik dan mendunia, harus pasrah menerima keadaan ketika dilengserkan. Begitupun dengan Soeharto yang berwibawa dan disegani, rela mengundurkan diri saat pemerintahannya masih berjalan. Habibie malah legowo untuk tidak mencalonkan kembali sebagai presiden meskipun hanya me jababat selama 17 bulan. Bahkan seorang Gusdur terlihat tanpa beban saat dipaksa turun dari jabatannya. Selebihnya, Megawati dan SBY taat pada semangat reformasi dan konstitusi menjabat presiden tidak lebih dari 2 periode. Presiden-presiden Indonesia terdahulu mampu menunjukkan jiwa besar dan sikap negarawannya. Terlepas dari goncangan dan tekanan politik yang hebat, mereka mampu mengutamakan kepentingan negara dan bangsa di atas segalanya. Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, betapapun plus minusnya kepemimpinan mereka. Atas nama undang-undang dan demi mendengar aspirasi dan keinginan rakyat, mereka mau berhenti, mengundurkan diri dan tidak mencalonkan kembali sebagai presiden. Kiprah mereka sebagai pemimpin terutama ketika mengakhiri jabatannya sebagai presiden, patut menjadi contoh sekaligus legacy nasionalisme dan patriotisme bagi seluruh rakyat Indonesia. Sementara Jokowi, belum genap masa jabatan 2 periodenya berakhir. Justru terus mewacanakan dan berupaya keras menjabat 3 periode dan atau memperpanjang jabatannya. Jokowi entah menyadari atau tidak jika memaksakan kehendaknya tersebut, ia malah bertentangan dengan konstitusi. Bukan hanya mengkhianati salah satu inti amanat reformasi yang membatasi masa jabatan presiden hanya 2 periode. Syahwat kekuasaan melampaui batas itu akan menimbulkan preseden buruk bagi penyelenggaraan hukum dan ketatanegaraan. Jokowi mungkin akan menjadi yang pertama dan satu-satunya orang yang menyandang gelar sebagai presiden pengkhianat reformasi. Mantan walikota Solo dan gubernur Jakarta yang penuh kontroversi dan polemik itu, sejak menjabat presiden sudah dihantui dengan pelbagai isu dan skandal yang menyeretnya. Sebagai figur pemimpin yang dianggap presiden paling buruk dari presiden-presiden Indonesia sebelumnya. Jangankan dengan Soekarno atau Soeharto, dengan Habibie saja yang kurang dari dua tahun masa jabatan presidennya, Jokowi masih jauh dibandingkan terutama dalam soal jiwa besar dan prestasinya. Habibie biar bagaimanapun tidak dirasuki ambisi kekuasaan dan sebagai seorang teknokrat ia mampu berpikir dan bertindak demi rakyat, demi bangsa dan demi negara. Habibie dengan senang hati ingin segera mengakhiri dan tak ingin terus menerus mempertahankan atau memperpanjang jabatan presiden yang digenggamnya. Lain Habibie, lain Jokowi. Begitupula Jokowi dengan Gus Dur, Megawati dan SBY, perbedaannya seperti langit dan bumi. Jokowi cenderung dinilai publik tak ada jiwa besar, tak ada sikap negarawan dan tak ada nasionalisme dan patriotisme. Alih-alih menjadi presiden Indonesia yang dihormati dan dibanggakan baik secara nasional maupun internasional layaknya Soekarno dan Soeharto. Jokowi malah dianggap presiden yang paling dimusuhi dan dibenci rakyatnya sendiri terutama dari kalangan umat Islam. Berikut ini beberapa rekam jejak dan catatan buruk Jokowi ketika memasuki panggung kekuasaan mulai dari walikota Solo, gubernur Jakarta dan menjadi presiden ke-7 RI, al.: 1. Ketika menjabat walikota Solo, publik nasional nyaris tak pernah mendengar prestasi Jokowi yang fenomenal. Mungkin tak ada prestasinya atau jika ada sekedar biasa saja, hanya pencitraan yang berlebihan yang digembar-gemborkan terutama ketika mulai diperkenalkan sebagai calon gubernur Jakarta. Kesan Jokowi sederhana, merakyat dan jujur, hanya kosmetik yang jauh dari fakta sebenarnya. 2. Saat menjabat gubernur Jakarta, Jokowi tidak komitmen dan konsisten dengan kampanye program gubernurnya terutama dalam menangani banjir dan kemacetan Jakarta. Jangankan menuntaskan problematika atau membuat prestasi, Jokowi justru meninggalkan jabatan gubernur separuh jalan dan kepincut nyapres. Begitupun saat menjadi presiden, Jokowi hanya meraih gelar \"King Of The Lip Service\". Segudang program populis hanya janji yang tinggal janji. Warga Jakarta dan seluruh rakyat Indonesia mulai kecewa dengan ketiadaan integritas Jokowi. 3. Rakyat mulai tidak percaya dan terkesan antipati terhadap Jokowi dengan skandal kecurangan pemilu dan korban ratusan meninggal menimpa petugas PPK. Belum ada pileg dan pilpres berdarah selain saat Jokowi nyapres dan terpilih memenangkannya. Entah alami atau rekayasa, kenyataannya kematian ratusan petugas PPK dalam pileg dan pilpres 2019 begitu mendadak, misterius dan terjadi secara massal. 4. Jokowi mulai menampakan watak aslinya yang jauh dari pencitraan saat kampanye gubernur Jakarta dan kampanye presiden, saat kepemimpinannya mulai bertindak represi, anti demokrasi dan dianggap sebagai boneka oligarki. Pemerintahan dibawah kepemimpinan Jokowi seiring waktu menampakkan tabiat aslinya sebagai rezim kekuasaan yang diktatorian dan otoriterian. 5. Lengkap sudah jatidiri Jokowi yang tak ubahnya dan dianggap publik sebagai pemimpin hipokrit. Selain pemimpin yang tak pernah menepati janji alias penuh kebohongan. Sejak awal terpilihnya, Jokowi sudah menjadi pemimpin yang menyebabkan terjadinya pembelahan sosial di tengah-tengah rakyat. Tak sekedar eksploitasi sumber daya alam oleh asing dan aseng, utang menjulang, wabah korupsi, tindakan kekerasan dan pembunuhan terhadap rakyat dari aparat serta pelbagai kejahatan negara lainnya. Rezim Jokowi juga gemar memelihara dan mengembangbiakan buzzer, influencer dan haters yang menimbulkan konflik horizontal serta potensi degradasi sosial dan disintegrasi bangsa. Beberapa indikator dari faktor kepemimpinan Jokowi yang jauh dari kapasitas dan integritas itulah, negara semakin terpuruk menuju kegagalan. Kehidupan rakyat utamanya dalam aspek sosial politik, sosial ekonomi dan sosial keamanan, terus jatuh terjun bebas. Setelah rangkaian kebohongan mobil Esemka, stop impor, stop utang, dll. PHK massal yang mendongkrak angka pengangguran, kenaikan harga-harga kebutuhan pokok termasuk pajak, tarif listrik, gas elpiji dan BBM yang membuat lemahnya daya beli rakyat. Melonjaknya angka kemiskinan dan tingginya angka kejahatan yang diikuti semakin melebarnya ketimpangan sosial. Kondisi yang demikian semakin runyam dan diperburuk dengan lemahnya penegakkan hukum dan lemahnya aspirasi dan partisipasi politik rakyat melalui partai politik. Bisa jadi membuat Indonesia terancam konflik sosial dan terjadinya amuk masa. Apalagi jika rezim Jokowi memaksakan kehendak untuk jabatan presiden 3 periode atau perpanjangan jabatan. Resiko dan bahaya yang maha dahsyat bagi keberlangsungan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Kini kehancuran sudah di depan mata, bukan wellfare state tapi yang ada hanya kecenderungan fail state. Rezim kekuasaan yang mengadopsi konsep dan praksis kapitalisme dan komunisme ini, terlanjur mengedepankan liberalisasi dan sekulerisasi dalam proses penyelenggaraan negara. Wajar saja jika kehidupan negara jauh dari kemakmuran dan rasa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Baik buruk pemimpinnya, baik buruk rakyatnya. Dibawah kepemimpinan Jokowi yang terjadi adalah semua yang kontradiktif terhadap implementasi nilai-nilai yang ada pada Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Rezim Jokowi yang kerapkali melakukan kriminalisasi aktifis pergerakan dan para ulama yang kritis, kini semakin menjadi tirani dan kekuasaan absolut dengan meloloskan RUU KUHP menjadi produk UU yang sah. Tak cukup acara relawan di GBK yang berkedok kegiatan nusantara bersatu yang sesungguhnya modus nafsu jabatan 3 periode atau perpanjangan jabatan. Rezim Jokowi juga menyiapkan sekoci atau alternaif pemimpin boneka yang bisa menjamin keberlanjutan program pemerintah sebelumnya seperti infra struktur yang mangkak, IKN, KCJB, proyek pertambangan strategis seperti nikel dlsb. Kini Jokowi tak lagi mampu dan busa berpikir tentang rakyat dan masa depan negara bangsa Indonesia. Bagi Jokowi yang ada hanya tentang kekuasaaan. Bagaimana merebut dan mempertahankan kekuasaan, bahkan saat ia masih berada dan di ujung kekuasaannya. Betapa susahnya menjadi Jokowi, karena ia telah kehilangan kemanusiaannya. Jokowi telah kehilangan patriotisme dan nasionalismenya, kehilangan jiwa, karakter dan integritas kepemimpinannya. Mungkin hanya Jokowi dan Tuhan yang tahu, tentang seberapa besar dan seberapa lama kekuasaan rezim Jokowi bisa ada dan dipertahankan. Karena, sebagai manusia yang terbatas dan lemah dan sebagai makhluk dari Tuhan pemilik kekuasaan yang Maha Tinggi dan Maha Besar. Jokowi kini dalam keadaan sulit untuk memilih menjadi manusia besar atau kerdil, menjadi manusia mulia atau hina apalagi memiliki kesadaran memimpin dan terpimpin. Kalau saja presiden 3 periode atau perpanjangan jabatan dan bukan tidak mungkin pemimpin boneka lainnya dipaksakan Jokowi. Maka sejatinya, Jokowi berada di antara hidup dan mati, berada dalam keadaan selamat dan bahaya. Ya kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi tergantung Jokowi sendiri baik saat masih menjabat presiden maupun usai tak lagi memegang kekuasaan. Menjadi tetap terhormat dan dihargai saat tak lagi menjabat presiden, atau setengah mati menjadi Jokowi di ujung jabatannya karena perilaku menyimpang kekuasaannya . Ya, jangan sampai Jokowi \"setengah mati\" karena ulahnya sendiri. (*)
Puisi Antropologi Betawi
Oleh Ridwan Saidi Budayawan PUISI Betawi dinyanyikan dalam bermain oleh anak-anak perawan kencur, gadis baru baligh. Kalau melihat diksi yang digunakan beberapa, kiranya berasal sedikitnya dari abad XV M. Ciblak ciblak wang Uangnya manggu lente Bok Eran Bok Eran Samsudin mau kawin Potong kerebo pendek Potong kerebo tinggi Gamelan jegar jegur Membuka ruang (dan) terbukalah Beli mangga bagus Bok (=empok ipar} Eran Bok Eran Sansudin mau kawin Potong kerbau Nepal Potong kerbau sini Gamelan jegar jegur Koor bujang dara turunkan orang dari atas pohon: Cik kicik bangke lemes (Diulang-ulang) Tak lama yang di atas pohon merosot. Gusrak. Kumpulkan enerji sebelum jalan jauh: Adu dengkul lewa-lewa. (Diulang-ulang) Ci ci putri Tembako lima kati Mak None Mak None si Siti mau ape? Koor; Mau kawiiin Ci dari Che 1 kati=20 kg Wak wak gung nasinye nasi jagung Lalapnye lalap utan Sarang gaok pu\'un jagung Gang ging gung Pit ala ipit Kuda lari kejepit Sipit Ini adaptasi dari ritual orang Arya XV M di Kalasa Saya (lorong insan) Sunda Kalapa. Sajak berikut juga diresap dari ritual Arya: Pong pong balong Ke tipong balong. Biji merak biji sampi Pecah telor sebiji Hayo hayo ke ruang bawah Ke tempat upacara di ruang bawah Tak bunyi merak tak bunyi sapi (Tahu-tahu) pecah sebutir telur. Orang Arya di Jakarta datang dari Asia Tengah berbatasan India. Mereka bikin gedung upacara yang mereka sebut Tongkol, ratapan. Bangunan dilengkapi Kalasa Saya, terowongan. Ini yang mereka sebut Tipong. Upacara yang mereka lakukan mirip Jewish dari pada Budhis. Chacha mari cha ohoi. Pong tipong-tipong balong Bapak mari pak ohoi Hayo ke tenpat upacara di bawah. (RSaidi)
Maroko Negeri Muslim yang Mewakili Muslim di Dunia dalam Bidang Sepak Bola
Tadi dunia Islam berharap pada Kerajaan Arab Saudi. Tetapi sayang Saudi terhenti dan tidak lolos. Betapa bangganya para haters Islam dan Islamphobia. Sampai di Sepak bolapun mereka juga membenci Islam. Oleh: Moh. Naufal Dunggio, Aktivis dan Ustadz Kampung AKHIRNYA Spanyol (Sparoh Nyolong) terhenti dan gak masuk 8 besar di piala dunia di Qattar. Mereka dihentikan oleh Maroko. Negara yang tidak dianggap hanya sebagai pelengkap penderita tiba-tiba nyolonong masuk perempat final mengalahkan raksasa-raksana dunia dalam sepak bola. Tidak mustahil kalau pencapaian Maroko sampai Final. Gak ada yang bisa menjamin. Negara Arab di Afrika ini gak mungkin bisa mengalahkan negara-negara besar yang menjadi juara piala dunia. Maroko tidak ada pemain hebat dan tidak ada club sepak bola yang top juga, seperti di Spanyol. Tapi itu tidak membuat gentar pemain Maroko. Mereka berjuang dengan ikhlas atau nothing to lose sehingga akhirnya bisa memenangkan pertandingan itu. Tadi dunia Islam berharap pada Kerajaan Arab Saudi. Tetapi sayang Saudi terhenti dan tidak lolos. Betapa bangganya para haters Islam dan Islamphobia. Sampai di Sepak bolapun mereka juga membenci Islam. Nah sekarang, Maroko sudah lolos sampai 8 besar. Kalian mau bilang apa? Dan, tidak mustahil Maroko sampai di Final. Kalau sampai di final maka bisa mencret-mencret dan berak darah para Islamophobia waktu mereka menonton pertandingan itu. Jika sampai di final itu bukan kesuksesan Maroko saja tapi itu kesuksesan dunia Islam walau gak ikut kontestasi piala dunia. Makin diperhitungkan orang Islam di kancah persebak bolaan. Nah, sekarang bagaimana dengan Indonesia? Kasus Kanjuruhan-nya saja belum selesai mau bicara piala dunia? Nanti saja kalau presidennya Anies Rasyid Baswedan alias ARB). Wallahu A\'lam ... (*)
Saham ‘Ponzi’ GoTo Tidak Layak Masuk Bursa: Wajib Diselidiki
Kalau perusahaan tidak bisa bagikan dividen, dan kenaikan harga saham hampir tidak mungkin terjadi, kenapa GoTo dibolehkan menawarkan sahamnya kepada publik (Go Public)? Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) HARGA saham GoTo masih terus anjlok, menyentuh batas bawah harian, atau auto reject bawah (ARB), kalau tidak salah, delapan kali berturut-turut. Saham GoTo hari ini ditutup menjadi Rp 107 per saham, turun 68,3 persen dari harga perdana sebesar Rp 338 per saham. Kalau tidak ada auto reject, saham GoTo mungkin sudah lama jadi gocap. Penurunan drastis harga saham GoTo ini bukan kejutan, tapi sudah dapat diperkirakan sejak awal. Karena kinerja GoTo selama ini, selama perusahaan berdiri, memang sangat buruk, dan sekarang malah semakin memburuk. Maka itu, GoTo seharusnya tidak layak Go Public, tidak layak menawarkan sahamnya di Bursa. Alasannya sebagai berikut. Pertama, aset GoTo terlalu (di)besar(kan). Sebelum Go Public, Gojek akuisisi (atau merger dengan) Tokopedia, untuk menjadi Gojek Tokopedia alias GoTo. Tokopedia didirikan tahun 2009, dan kinerjanya rugi terus selama berdiri. Rugi Tokopedia tahun 2020, sebelum diakuisisi, mencapai Rp 4,3 triliun, dengan akumulasi rugi per akhir tahun 2020 mencapai Rp 18,3 triliun, dan Kekayaan Bersih hanya Rp 11,8 triliun. Dengan kondisi kinerja yang buruk seperti ini, nilai akuisisinya yang harus dibayar Gojek kepada Tokopedia lebih dari Rp 100 triliun, dengan goodwill Rp 93,15 triliun. Tentu saja, nilai akuisisi ini sangat tidak normal, membuat harga saham GoTo pada saat Go Public juga menjadi tidak normal, merugikan investor publik. Karena akuisisi Tokopedia dibayar dengan saham GoTo, maka jumlah saham beredar GoTo menjadi sangat besar, membuat kapitalisasi pasar GoTo seolah-olah sangat besar, alias menggelembung. Alasan kedua adalah profitabilitas. Gojek dan Tokopedia sejak berdiri sampai merger menjadi GoTo selalu rugi, dan ruginya semakin membesar. Rugi GoTo tahun 2021 mencapai Rp 22,5 triliun dan 2022 (9 bulan) mencapai Rp 20,7 triliun, sehingga total rugi dalam 1 tahun dan 9 bulan mencapai Rp 43,2 triliun, atau 43,5 persen dari akumulasi kerugian selama berdiri. Total akumulasi rugi GoTo sampai akhir tahun 2021, sebelum penawaran perdana, mencapai Rp 79,2 triliun. Dengan total rugi sebesar ini, GoTo tidak akan bisa bagi dividen untuk jangka waktu yang sangat lama, sampai akumulasi rugi terkompensasi menjadi positif, yang mungkin tidak akan pernah terjadi. Karena itu, pengembalian investasi di GoTo hanya dapat diharapkan dari kenaikan harga saham, yang mungkin juga tidak akan pernah terjadi, seperti dikatakan secara eksplisit di dalam prospektus, halaman 141. Kalau perusahaan tidak bisa bagikan dividen, dan kenaikan harga saham hampir tidak mungkin terjadi, kenapa GoTo dibolehkan menawarkan sahamnya kepada publik (Go Public)? Ketika investor hanya bisa mengharapkan pengembalian investasinya dari kenaikan harga saham, maka konsep ini sama saja seperti spekulasi dan gambling yang mempunyai karakteristik bagaikan ponzi. Artinya, investor yang beli saham GoTo terakhir-terakhir akan menanggung rugi dari semua keuntungan investor-investor terdahulu. Kedua alasan ini seharusnya menjadi acuan bagi Otoritas Jasa Keuangan-OJK untuk tidak memberi izin Go Public kepada GoTo. Dan kedua alasan ini seharusnya menjadi pertimbangan serius bagi Telkomsel untuk tidak investasi membeli saham GoTo. Tetapi, kenapa semua rambu-rambu ini ditabrak? Apakah ada kekuatan yang memaksa untuk menabrak semua rambu-rambu tersebut? Semoga semua misteri Go Public GoTo dapat segera terungkap. (*)
Ketum Partai Gelora: Indonesia dalam Situasi Ancaman Kebencanaan
Jakarta, FNN- Ketua Umum Partai Gelora Indonesia, Anis Matta menyampaikan, saat ini Indonesia berada dalam situasi ancaman kebencanaan, ancaman krisis ekonomi, maupun era memasuki tahun politik yang sangat krusial. Hal tersebut disampaikannya saat Gelora Talks bertajuk ‘Indonesia dan Ancaman Bencana Alam. Bagaimana kita memitigasinya?’ yang dilaksanakan secara daring, di Jakarta, Rabu (7/12/22). Dalam diskusi ini, Anis menjelaskan Indonesia memiliki potensi bencana yang besar jika dibandingkan dengan negara lain, dikarenakan Indonesia merupakan daerah pertemuan tiga lempeng tektonik dunia. Saat ini penduduk Indonesia berada dalam situasi ancaman kebencanaan yang terus datang silih berganti seperti gempa bumi, banjir, maupun erupsi gunung berapi. Anis mengatakan pemerintah sebenarnya telah memberikan perhatian seperti pembentukan PNBP, pasca Tsunami Aceh, serta penguatan anggaran kebencanaan. Hal senada juga disampaikan oleh Kepala Bidang Informasi dan Komunikasi BMKG, Iman Fatchurohman, bahwa upaya mitigasi terhadap bencana telah dilakukan. Imam menyebut wilayah Indoneisa terdiri dari 13 zona megatrust dan 295 sesar aktif yang harus diwaspadai. Lalu, Imam mengatakan bahwa BMKG juga telah membahas serta menyodorkan peta rawan bencana dengan mengajak keterlibatan pemerintah daerah untuk memitigasinya. Selanjutnya, Surono, Pakar Vulkanologidan Bencana Gunung Berapi menegaskan, pemerintah harus tegas dalam upaya mitigasi bencana. “Khususnya pemerintah daerah harus mengutamakan perlindungan warganya ketimbang kesejahteraan,” ujarnya. Menurutnya, pemerintah harus memilih mana yang layak huni atau tidak untuk mitigasi bencana, bahkan harus ada law enforcement yang kuat. (Lia)
Perbaikan Industri Olahraga, Junas: Dimulai dari Atlet
Jakarta, FNN – Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (ILUNI) menyelenggarakan seminar bertajuk \"Jaminan Perlindungan Atlet Demi Kesinambungan Prestasi dan Industri Olahraga Nasional\" pada Rabu (07/12), di Hotel Atlet Century Park, Senayan, Jakarta Pusat. Direktur Utama Indonesian Basketball League, Junas Miradiarsyah memaparkan bahwa dalam upaya pembenahan industri olahraga dimulai dari membangun atlet. Seminar tersebut meresmikan dan mengenalkan Yayasan Advokasi Keolahragaan Indonesia (YAKIN) sebagai salah satu lembaga yang berupaya untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya advokasi bagi pelaku olahraga sekaligus menjadi penguatan regulasi hukum di bidang olahraga yang tertera dalam UU No. 11 Tahun 2022. Menpora Zainudin Amali menyebutkan bahwa nasib pelaku olahraga belum mendapat perhatian. Adanya tata kelola hukum dan jaminan masa depan untuk para atlet menjadi upaya memperbaiki citra atlet sebagai profesi. Membahas tema, olahraga sudah beralih menjadi industri, artinya diperlukan sinergi dari beberapa pihak dalam pembekalan atlet dan dibarengi dengan tuntutan yang semakin tinggi. Junas mengatakan bahwa dalam hal olahraga, atlet merupakan yang utama mengawali industri tersebut. \"Tokoh utamanya itu kembali atlet. Tanpa atlet, tidak ada industri,\" ucap Junas. Junas mengaitkan kembali pada pernyataan Zainudin yang menyebutkan adanya paradigma bahwa menjadi atlet tidak bersifat jangka panjang (long term). Ia menjelaskan atlet sebagai inti yang perlu dibangun sebelum stakeholder lainnya mengikuti. \"Jadi kita perlu sadar bahwa yang kita bangun itu atlet. Ketika atlet itu terbangun, sudah pasti elemen lainnya, baik klub, kemudian liga, kemudian sponsor, penonton dan sebagainya pasti itu efek domino, pasti akan mengikuti,\" tambahnya. Untuk mengatasinya, maka perlu perbaikan industri olahraga nasional. Junas menyebutkan tiga hal yang berkaitan dengan atlet, yaitu sosialisasi atlet tentang pembekalan kontrak, pentingnya standarisasi kontrak dan aturan, serta perlunya pembekalan ketika menjadi atlet (golden age) dan pasca menjadi atlet. Junas meyakini industri olahraga akan semakin meningkat. Pembenahan olahraga nasional Indonesia dibarengi dengan pengaruh ekonomi dan generasi-generasi baru mendorong perubahan industri yang semakin besar. (oct)