ALL CATEGORY
Ketua DPD Dorong Penyelamatan Kebencanaan Masuk Kurikulum Khusus
Surabaya, FNN – Kebencanaan yang terjadi di Indonesia tidak hanya mengancam keselamatan penduduk semata, tetapi juga mengancam sejumlah sekolah. Oleh sebab itu, Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, berharap materi penyelamatan kebencanaan masuk kurikulum khusus. Menurut LaNyalla, bencana yang terjadi tak jarang memakan korban siswa yang masih melakukan aktivitas di lingkungan sekolah. “Kebencanaan seperti gempa bumi, banjir dan longsor datangnya seringkali tidak terduga dan memakan korban. Para siswa belum mampu melakukan penyelamatan diri dan berpotensi menjadi korban,” katanya, Sabtu (3/12/2022). Untuk itu, LaNyalla mendorong agar penyelamatan diri saat menghadapi kebencanaan dimasukan ke dalam kurikulum sekolah atau kurikulum khusus. “Artinya, sekolah yang berada di daerah rawan bencana, materi penyelamatan kebencanaan lebih dianjurkan untuk dipelajari secara mendalam,” paparnya. Senator asal Jawa Timur itu menambahkan, materi penyelamatan diri dari kebencanaan harus lebih ditekankan pada daerah-daerah rawan bencana. “Karena masyarakat dan siswa di daerah rawan bencana secara praktik harus mengetahui tindakan pertama saat ada bencana. Sedangkan daerah yang lebih aman penekanannya pada pengetahuan,” paparnya. (mth/*)
De-Aniesasi Itu Jahat
Oleh Ady Amar - Kolumnis Ini bukan sekadar perkara menghilangkan jejak kinerja yang ditinggalkan Anies Baswedan sebagai gubernur DKI Jakarta, tapi lebih dari itu. Lebih pada hak-hak warga yang dihilangkan, atau dihapus lewat kebijakan dengan berbagai alasan dimunculkan. De-Aniesasi namanya, seperti dihadirkan lewat Pejabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, yang seperti punya tugas khusus untuk itu. Heru Budi memang pilihan Presiden Joko Widodo (Jokowi), bukan langsung pilihan warga Jakarta lewat Pilkada. Maka keterikatan Heru Budi seolah menempel hanya pada Presiden Jokowi. Menjadi keharusan jika Heru Budi cukup hanya menjalankan kebijakan yang dibuat gubernur sebelumnya, Anies Baswedan, yang dipilih lewat Pilkada. Meneruskan pembangunan jangka panjang, khususnya yang dibuat lewat Peraturan Gubernur (Pergub). Heru Budi mestinya cukup merawat dan memastikan kelanjutan keberlangsungan pembangunan yang telah dicanangkan. Tapi yang terjadi tidak demikian. Anggaran jalur sepeda dihapus dari APBD 2023. Padahal pembangunan perpanjangan jalur sepeda, itu tertuang dalam Pergub Nomor 25 Tahun 2022, tentang Rencana Pembangunan Daerah (RPD) DKI Jakarta, Tahun 2022-2023, yang ditandatangani Anies pada 10 Juni 2022. Upaya Heru Budi menghapusnya, itu mengabaikan Pergub yang sudah dibuat, bahkan tanpa alasan bisa disampaikan, itu mengherankan. Heru Budi mestinya sadar bahwa sebagai pejabat gubernur, ia hadir dari hasil penunjukan penguasa. Artinya, ia tidak punya legitimasi secara demokratis. Makna yang lebih jauh lagi, ia tidak boleh melakukan langkah sesukanya. Tapi langkah yang dilakukan Heru Budi, justru langkah sebaliknya. Melakukan langkah sepuas yang ia inginkan. Merasa diri tidak terbebani oleh janji kampanye. Karenanya, luput dari diskursus publik untuk setiap kebijakan yang dibuat. Meski langkah yang dilakukannya itu offside, jika dilihat dari asas kepatutan, dan lebih jauh lagi dari etika demokrasi. Heru Budi seperti tidak perduli oleh itu semua, tetap nekat mengotak-atik anggaran APBN. Berani karena pastilah punya beking tidak sembarangan. Bekingnya tidak tanggung-tanggung, Presiden Jokowi, Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, dan anggota DPRD DKI Jakarta dari partai penguasa, yang memang menguasai suara mayoritas. Seperti koor mempreteli hasil kerja yang dibuat Anies Baswedan, itulah de-Aniesasi. Dampak dari de-Aniesasi juga merambat pada para pekerja profesional di lingkungan Pemprof DKI Jakarta. Pertama, menyasar mengena Mohamad Aprindy, yang dicopot dari Direktur Utama MRT Jakarta, yang baru 3 bulan dijabatnya. Alasan pencopotan bisa diberi sekenanya. Tapi publik lebih percaya, bahwa itu upaya bersih-bersih pejabat yang diangkat Anies Baswedan. Bersih-bersih itu berlanjut pada semua pejabat Jakpro yang terlibat dalam ajang Formula E, dan juga yang terlibat dalam pembangunan Jakarta International Stadium (JIS), menerima nasib diberhentikan. Mestinya mengangkat dan memberhentikan pejabat, itu berdasar pada profesionalitas kerja yang bersangkutan. Tapi yang dilakukan Heru Budi lebih tampak sebagai pemenuhan syahwat de-Aniesasi. Tidak salah jika orang menyebut, diangkatnya Heru Budi itu semata cara Jokowi membalas dendam menggebuk Anies dengan nyilih tangan orang lain. Tangan Heru Budi yang dipakainya. Anies memang punya salah apa, sehingga diperlakukan demikian, sulit untuk bisa dijawab. Itulah de-Aniesasi, sebuah proyek yang jika mungkin menjadikan tidak ada lagi peninggalan Anies yang bisa dilihat di Jakarta. Sulit diharap bisa berpikir sehat, dan bahkan tanpa merasa risih, bahwa yang dihilangkan itu hak-hak publik, yang dibangun dengan uang dari pajak rakyat. Bertindak dengan nafsu de-Aniesasi, seolah dengan itu karya Anies di Jakarta tidak lagi bisa dilihat jejaknya. Padahal tidak demikian. Karya Anies yang utama sebagai Gubernur DKI Jakarta tidak semata hadirnya bangunan fisik, tapi juga keberhasilan dalam membahagiakan warganya--lihat survei tentang kepuasan publik Jakarta atas kerja Anies Baswedan selama 5 tahun selaku Gubernur DKI Jakarta, yang dilakukan LSI 80,5 Persen, dan Populi Centre 83,5 Persen--soal itu mustahil bisa dihapus. De-Aniesasi itu laku jahat. Sikap jumawa seolah bisa melakukan apa saja tanpa melihat urgensinya. Sepertinya itu yang terus serius dilakukan, tanpa perlu risih sedikit pun. Nafsu de-Aniesasi bisa disudahi, jika ada perlawanan keras warga Jakarta untuk menghentikannya. Warga yang merasa hak-hak individunya dirampas dan dihabisi, semata karena Anies pernah menjadi gubernurnya. Absurd. Di era Presiden Jokowi berkuasa, absurditas memang mendapatkan tempat, bukan lagi sesuatu yang aneh, justru diadopsi jadi hal biasa. Semua yang tidak mungkin bisa dimungkinkan. Etika dan asas kepatutan dibuat tidak punya rumus baku lagi. Saya dan tentu Anda pun merasakannya, tapi tetap mentolerir. Tapi pada saatnya semua akan mempertanyakan itu semua, dan bahkan dengan cara yang absurditas pula. Itulah lonceng kemarahan yang digerakkan oleh perasaan yang sama, yang mestinya tidak perlu terjadi. (*)
Anies Bapak Politik Identitas, Katanya
“Anies Bapak Politik Identitas”, katanya. Khawatirnya itu ada yang kurang memahami bahwa dalam diri setiap orang sudah melekat identitasnya. Apa yang ingin mereka hilangkan? Agamanya? Jenis kelaminnya? Sukunya? Oleh: Sulung Nof, Penulis ANIES Baswedan sedang dilabel sebagai “Bapak Politik Identitas”. Serangan ini lucu sekaligus pandir. Mengapa? Sebab tuduhan yang diarahkan kepada Anies tampak inkonsisten dan selalu berubah sesuai pesanan. Mantan pemimpin dan pelayan warga DKI Jakarta tersebut dianggap sebagai gubernur penjual ayat. Padahal yang jelas-jelas membawa ayat adalah Basuki Tjahaja Purnama-BTP alias Ahok saat menyebut “jangan mau dibohongi pakai surat Al-Maidah”. Anies juga dituding gubernur yang jual mayat gegara ada spanduk di sebuah masjid yang menolak untuk menyalati jenazah pendukung penista agama. Faktanya, justru beliau yang menawarkan diri menjadi imam shalat jenazah. Bakal Calon Presiden itu juga dituduh sebagai pemimpin sektarian. Faktanya, Anies justru diusung pertama kali oleh Partai Nasdem. Konsekuensinya parpol ini dimusuhi Istana dan para pendengung. Jadilah ia disebut Nasdrun. “Anies Bapak Politik Identitas”, katanya. Bahkan, sebelumnya Anies disebut beraliran Syiah, Salafi/Wahabi, dan lainnya. Padahal semua sebutan itu saling bertentangan. Kita jadi meragukan nalar mereka karena racauan tersebut. Anies Baswedan sendiri adalah aset penting yang entah mengapa dilepas oleh penguasa. Tengoklah videonya saat beliau berikan arahan kepada relawan di Pilpres 2014. Semua menyimak dengan rasa kagum, betapa hebatnya sosok pembicara itu. Maka ketika posisinya berhadapan pada Pilgub DKI 2017, amarah mereka jadi tidak terkendali sampai ubun-ubun. Tahu sendirilah kalau orang emosi, yang keluar dari mulutnya tidak diayak. Orang Betawi menyebutnya “ngebacot”. “Anies Bapak Politik Identitas”, katanya. Tapi mengapa saat putrinya menikah tempo hari tidak \'dipaksa\' menggunakan hijab? Sebab, beliau tahu bahwa hal itu baiknya lahir dari keyakinan diri sendiri, bukan dari tekanan dan paksaan. Hanya karena cucu dari Pahlawan Nasional Indonesia itu didukung oleh Imam Besar Habib Rizieq Syihab dan organisasinya ini lantas Anies dituduh menjual agama? Bukankah beliau juga dekat dengan semua pemuka agama yang ada tanpa kecuali? Sehingga beliau lebih tepat digelari Bapak Kesetaraan. Serangan sporadis yang ditujukan kepada Anies tampak ambivalen saat beliau dianggap tidak satupun membangun masjid. Namun, faktanya di masa beliau beberapa masjid terbangun. Buktinya adalah Masjid Amir Hamzah. Ditambah lagi ada kebijakan dana BOTI. “Anies Bapak Politik Identitas”, katanya. Khawatirnya itu ada yang kurang memahami bahwa dalam diri setiap orang sudah melekat identitasnya. Apa yang ingin mereka hilangkan? Agamanya? Jenis kelaminnya? Sukunya? Jangan berlindung di balik propaganda politik identitas, tapi sebenarnya ada agenda tersembunyi melawan konstitusi. Dalam Pembukaan UUD 1945 jelas disebut bahwa kemerdekaan Indonesia diraih “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”. Anies sudah membuktikan kinerja dan prestasinya di ibukota. Saat ini beliau ingin menunaikan janji kemerdekaan dalam cakupan yang lebih besar, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Selama Anies menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, adakah rumah ibadah dirobohkan? Atau adakah deretan rumah warga dibuldozer? Atau adakah kebijakan yang diskriminatif? Atau adakah perilaku beliau yang intoleran dan radikal? Jika hanya katanya bukan faktanya, maka jangan terjebak pada propaganda. Sebab, faktanya, di masa kepemimpinan Pak Anies, Jakarta meraih indeks demokrasi, toleransi, dan kohesivitas yang terbaik. Dan alhamdulillah tingkat kepuasan publik mencapai 83%. Bandung, 03122022. (*)
Pelajaran untuk Puan dan Megawati
Menjadi putra atau putri ideologis orang tuanya atau keturunannya langsung, yang utama adalah mampu menangkap jiwa zaman dan mampu menetapkan peran sejarahnya secara pas. Oleh: Hendrajit, Pengkaji Geopolitik dan Wartawan Senior MENGAPA Megawati Soekarnoputri terkesan ngotot ingin mengusung putrinya, Puan Maharani, untuk maju Pilpres 2024? Bisa jadi, Ketum PDIP ini khawatir akan keberlangsungan anak ideologis pewaris perjuangan orangtuanya, Bung Karno (Presiden Soekarno yang juga salah seorang Proklamator). Saya juga ngerti kalau anak biologis harus juga jadi anak ideologis atau ahli waris perjuangan orang tuanya, bukan berarti harus melakukan daur-ulang sejarah persis seperti yang pernah dilakukan orang tuanya dulu. Melainkan tetap memandang perjuangan dan karya orang tuanya sebagai ilham dan inspirasi buat kiprah dirinya saat ini. Dan peka dalam menangkap jalan takdir hidupnya. Terutama ketika saat ini mereka jadi pemimpin seperti orang tuanya dulu. Megawati sebagai pimpinan partai, yakni PDIP, sedangkan Puan sebagai Ketua DPR RI. Ini yang saya coba bandingkan dengan apa yang terjadi di luar sana. Bedanya Corazon Aquino dan Benazir Bhutto menurut saya, ini terletak dalam konteks itu. Sebagai isteri mendiang Benigno Aquino dan penerus ideologis suaminya, Qory menyadari jalan takdir hidupnya adalah sebagai juru damai antara sipil dan militer. Dan merangkul para eksponen pendukung rejim Marcos yang berpikiran maju untuk berada di barisan pendukungnya. Termasuk para jenderal militer yang dulunya merupakan lawan politik Benigno Aquino. Alhasil sampai sekarang, militer yang tetap terserap ke dalam dunia politik sipil. Setelah era Qori sebagai presiden dua periode berakhir, Jenderal Fidel Ramos yang semasa kepresidenan Qori menjabat panglima militer, kemudian menjadi presiden penerusnya. Dan, publik Filipina pun mengenang Ramos bukan saja presiden dari tentara yang berhasil disipilkan, tapi juga visioner dan punya karisma kepeminpinan yang kuat. Seperti juga Qori, Ramos menjabat presiden dua periode. Benazir Bhutto lain lagi, dan ini justru contoh kegagalan politik. Sebagai putri biologis yang juga diharap menjadi putri ideologis Zulfikar Ali Bhuto yang mati digantung oleh rejim militer Jenderal Zia Ulhaq, ketika Benazir jadi pemimpin Pakistan dan mengembalikan sistem politik ke supremasi sipil, Benazir tetap memandang memerangi militer sebagai jihad. Ia tanpa mengenali jalan takdir dan tantangan politik Benazir beda dengan era bapaknya. Alhasil, karena cara pandangnya yang cenderung mendaur-ulang mentah-mentah era bapaknya, alhasil melestarikan perlawanan dan antipati militer terhadap Benazir. Sehingga Pakistan yang sudah mendapat momentum bagi sipil untuk kembali berkuasa setelah era Zia Ulhaq berlalu, militer di bawah Pervez Musharaf kembali berkuasa. Menjadi putra atau putri ideologis orang tuanya atau keturunannya langsung, yang utama adalah mampu menangkap jiwa zaman dan mampu menetapkan peran sejarahnya secara pas. Inilah yang harus mengilhami dan menginspirasi putra-putri ideologis orang tuanya. Bukan mendaur-ulang sejarah dari orang tuanya dulu. Karena selain zamanya berbeda, tantangan zaman juga berbeda. Justru ujiannya di situ. Kalau benar memang anak ideologis, bisakah dirinya jadi anak-anak zamannya seperti orang tuanya dulu? (*)
Kapolri Perlu Ismail Bolong, Bukan Komjen Agus Yang Nihil Integritas
Oleh Asyari Usman - Jurnalis Senior FNN SANGAT mengherankan mengapa Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo masih mempertahankan Komjen Agus Andrianto sebagai Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri. Setelah serangan yang mematikan dari Ismail Bolong yang mengaku telah memberikan “uang koordinasi” sebesar Rp6 miliar kepada Agus, mantan Kapolda Sumut ini mengalami “luka berat” di lambung integritasnya. Integritas Agus mengalami pendarahan akut. Tusukan Ismali Bolong membuat integritas Kabareskrim tercabik-cabi. Tidak bisa lagi diselamatkan. Komjen Agus nihil integritas. Integritas Agus masih berdenyut karena diinfus terus oleh Kapolri. Kondisi seperti ini tak akan bertahan lama. Sekarang, Kapolri melakukan tindakan penyelamatan yang keliru. Yang perlu diselamatkan justru Ismail Bolong. Sebab, dia adalah pintu solusi untuk memperbaiki Polri. Sedangkan Komjen Agus adalah salah satu problem seperti halnya Ferdy Sambo, Cs. Untuk memperbaiki Kepolisian RI, Kapolri memerlukan Ismail Bolong, bukan Komjen Agus. Bolong bisa membantu pimpinan Mabes untuk membongkar mafia tambang secara keseluruhan. Tapi, herannya, Jenderal Listyo malah memburu Bolong seolah dia penjahat besar tambang liar. Salah total. Ismail Bolong bisa buat apa untuk melindungi tambang ilegal batubara? Pangkatnya apa? Kekuasannya sebesar apa? Jenderal Listyo sebetulnya tahu integritas Komjen Agus sudah rusak parah ketika beberapa bulan yang lalu terjadi perang diagram aliran dana siluman. Dalam perang diagram itu, kelompok musuh Ferdy Sambo, yang di dalamnya ada Komjen Agus sendiri, menjelaskan secara rinci dan meyakinkan bahwa Sambo menerima 1.3 triliun uang upeti per tahun dari para bandar judi online. Tak lama kemudian muncul diagram balasan dari kelompok yang diduga sebagai bagian dari geng Sambo. Diagram ini menggambarkan bahwa Komjen Agus menerima setoran 54 miliar dalam satu bulan. Uang ini pun, menurut info di diagram, berasal dari konsorsium 303 (judi) dan narkoba. Benar atau tidak substansi di dalam kedua diagram itu, publik seperti kita-kita ini tak mungkin tahu pasti. Namun, kalau dilihat dari pemicu perang diagram, konten diagram dan pembuatan kedua diagram tersebut, jelas sekali semua aspek diagram ini membutuhkan sumber-sumber yang otentik di level tinggi Polri. Sejak diagram balasan yang diduga dibuat oleh kelompok Sambo itu muncul, integritas Komjen Agus terluka. Memang belum terlihat luka berat. Sebab, kasus pembunuhan Brigadir J masih mendominasi perhatian publik. Sehinga tuduhan diagram 54 miliar aliran upeti ke Komjen Agus menjadi kurang menarik. Hari ini, ketika video pertama Ismail Bolong yang berisi pengakuan bahwa dia telah memberikan uang Rp6 miliar kepada Komjen Agus, dan kemudian video kedua yang berisi permintaan maaf dia kepada Kabareskrim sekaligus mengatakan bahwa video pertama itu dibuat dibawah tekanan dari kelompok Sambo, seharusnya Kapolri bisa jeli melihat dan cepat menyimpulkan inti persoalan. Bolong hanya suruhan. Kalau mengunakan logika umum saja, Ismail Bolong dengan pangkat Aiptu tidak mungkin bisa leluasa mengendalikan tambang liar batubara dengan pemasukan 5-10 miliar rupiah per bulan. Dia pasti punya gantunga di level atas. Yaitu di level Polresta Samarinda dan level Polda. Dan sangat logis pula kalau di level Mabes ada yang terlibat. Dengan struktur komando yang sangat keras di Polri, sangatlah tidak masuk akal Aiptu Bolong berani melakukan perbuatan ilegal skala besar tanpa restu atasan di tingkat daerah maupun di tingkat Mabes. Jadi, Kapolri perlu memperhatikan imbauan dari berbagai pihak agar kasus Ismail Bolong dilihat dari arah lain. Dan agar dia dilindungi. Sehingga, dalam penangan kasus tambang liar ini, Ismail Bolong tetap diasumsikan ikut terlibat dan kemudian dijadikan tersangka. Namun, tujuan akhirnya adalah untuk mengungkap siapa-siapa saja di Mabes yang menambang duit lewat tangan Bolong. Ini kalau Kapolri serius mau melakukan pembersihan. Kalau cuma mau melakukan basa-basi kosmetik, memang sudah tepatlah jika Ismail Bolong saja yang dikejar-kejar, diadili, dan kemudian dijebloskan ke penjara. Kalau ini tujuannya, tentu orang-orang yang terlatih di Mabes Polri sangat mungkin bisa membuatkan skenarionya dengan Presisi yang tinggi.[] 3 Desember 2022 (Jurnalis Senior FNN)
MUI Perlu Mengklarifikasi Soal Mubahalah dengan Fatwa Ulama
Jakarta, FNN – Sebagai kuasa hukum untuk dan atas nama klien Sugi Nur Raharja alias Ustadz Gus Nur dan Bambang Tri Mulyono, sudah 2 (dua) kali yaitu pada Kamis (17/11/22) dan Kamis (1/12/22), Advokat Juju Purwantoro mengunjungi Kantor Pusat MUI, di Jl. Proklamasi Nomor 51 Menteng, Jakarta Pusat. “Maksud kami adalah ingin menemui Pimpinan atau Perwakilan pengurus pusat dari Majelis Ulama Indonesua (MUI), yaitu perihal Klarifikasi Dan Fatwa Keagamaan Soal Mubahalah,” kata Juju Purwantoro kepada FNN. Sampai kunjungan kedua kali tersebut, sayangnya Juju Purwantoro belum juga bisa ditemui perwakilan pengurus pusat MUI. Padahal, lanjutnya, maksud dari kunjungan Tim Kuasa Hukum Gus Nur dan Bambang Tri Mulyono adalah jelas, yaitu dalam rangka meminta informasi dan klarifikasi para ahli agama dan mohon fatwa keagamaan soal Mubahalah. “Perihal itu sangat penting, karena menyangkut kepentingan hukum dan HAM klien kami. Mereka telah ditahan di Mabes Polri, karena kasus gugaan ijazah palsu Jokowi sejak 13 Oktober 2022,” kata Juju Purwantoro. Hal lain tentu juga menjadi substansi yang penting bagi umat, karena terkait syariat umat Muslim, yaitu soal mubahalah. “Klien kami tersebut, dipersoalkan secara hukum pidana dan telah menjadi Tersangka, karena dianggap telah melakukan tindak pidana penodaan agama anntara lain berdasarkan ketentuan pasal 156 a KUHP. Hal itu dikarenakan adanya unggahan konten Mubahalah Gus Nur pada akun Youtube GN-13,” ungkap Juju Purwantoro. Menurutnya, perihal unsur pasal 156 a KUHP tentang penodaan agama itu, seyogiyanya harus dipenuhi adanya keterangan ahli agama, dalam hal ini ahli agama Islam. Tentunya ahli yang representatif dan kredibel, salah satunya harus ahli agama yang ditunjuk atau mewakili MUI. Menjadikan diksi dan konten Mubahalah sebagai unsur Perbuatan Melawan Hukum (PMH), justru merupakan pelanggaran hukum (out of law) itu sendiri. Hal tersebut cenderung menodai agama Islam, karena sebagai salah satu ajaran syariat Islam. Oleh karenanya menjadi prinsipil MUI untuk mengeluarkan fatwa keagamaan tentang Mubahalah sebagai salah satu rujukan dari ajaran agama. “Nantinya jangan lagi ada anggota masyarakat yang dirugikan atau dikorbankan secara hukum, karena persoalan mubahalah tersebut,” tegas Juju Purwantoro. Berdasarkan alasan itu, maka MUI supaya segera mengkonfirmasi perihal tersebut, dengan mengeluarkan fatwanya. Masyarakatt wajib memperoleh kepastian hukum dan kedamaian dalam melaksanakan akidahnya dan perlindungan hak-hak hukumnya, baik secara hukum negara maupun agama. “Dikemudian hari, jangan ada lagi kriminalisasi atau sebagai penistaan agama atas siapapun yang melakukannya dalam bentuk apapun terkait Mubahalah,” tegasnya. (mth/*)
Mohammad Natsir Pemimpin Nasionalis-Religius
Padahal, badan intel inilah yang meminta Natsir untuk memulai hubungan dengan Malaysia dan Timur Tengah setelah naiknya Soeharto. Oleh: Prof. Dr. H. Muhammad Chirzin, MAg, Guru Besar Tafsir Al-Quran UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta MOHAMMAD Natsir adalah seorang ulama, politikus, dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia salah satu pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi, dan tokoh Islam terkemuka Indonesia. Lahir di Solok, Padang, Sumatra Barat, pada 17 Juli 1908, dari pasangan Mohammad Idris Sutan Saripado dan Khadijah, dan meninggal dunia pada 6 Februari 1993 di Jakarta. Pernah menjadi Menteri Penerangan dan Perdana Menteri pada era Soekarno pada 1950–1951. Mohammad Natsir salah seorang pendiri Universitas Islam Indonesia, dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Di antara karya tulis utamanya ialah buku Capita Selecta, Islam sebagai Dasar Negara, dan Fiqhud Da’wah. Natsir mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat Maninjau selama dua tahun, kemudian pindah ke Hollandsch-Inlandsch School (HIS) Adabiyah Padang. Beberapa bulan kemudian ia pindah ke Solok dan dititipkan di rumah saudagar Haji Musa. Selain belajar di HIS pada siang hari, ia juga belajar ilmu agama Islam di Madrasah Diniyah pada malam hari. Tiga tahun kemudian Natsir kembali pindah ke HIS di Padang bersama kakaknya. Pada 1923, ia melanjutkan pendidikan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), lalu ikut bergabung dengan perhimpunan-perhimpunan pemuda, seperti Pandu Nationale Islamietische Pavinderij dan Jong Islamieten Bond. Setelah lulus dari MULO, ia pindah ke Bandung untuk belajar di Algemeene Middelbare School (AMS) hingga tamat pada 1930. Ia terjun ke dunia politik pada pertengahan 1930-an bergabung dengan partai politik berideologi Islam. Dari 1928 sampai 1932 Natsir menjadi ketua Jong Islamieten Bond (JIB) Bandung. Ia juga menjadi pengajar setelah memperoleh pelatihan guru dua tahun di perguruan tinggi dan memperdalam ilmu agama, termasuk dalam bidang tafsir Al-Quran dan hukum Islam. Pada 1932 Natsir berguru kepada Ahmad Hassan, yang kelak menjadi tokoh organisasi Persatuan Islam. Natsir aktif menulis di majalah-majalah Islam. Karya tulis pertamanya diterbitkan pada tahun 1929. Hingga akhir hayatnya ia telah menulis sekitar 45 buku dan ratusan karya tulis lain. Natsir memandang Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari budaya Indonesia. Ia pun kecewa dengan perlakuan pemerintahan Soekarno dan Soeharto terhadap Islam. Pemerintah Indonesia yang dipimpin oleh Soekarno menuding Mohammad Natsir sebagai pemberontak dan pembangkang yang berujung pemenjaraan. Sedangkan negara-negara lain sangat menghormati dan menghargai Pak Natsir, hingga banyak penghargaan yang dianugerahkan kepadanya. Dunia Islam mengakui Mohammad Natsir sebagai pahlawan lintas batas bangsa dan negara. Di kancah internasional, ia pernah menjabat sebagai Presiden Liga Muslim Dunia (World Muslim League) dan Ketua Dewan Masjid se-Dunia. Menurut Bruce Lawrence, Natsir merupakan politisi yang paling menonjol mendukung pembaruan Islam. Pada 8 Juli 1945 M. Natsir bersama tokoh-tokoh Islam, antara lain Abdoel Kahar Muzakir, Mohammad Hatta, Abdul Wahid Hasyim, Mohammad Roem, dan KH Imam Zarkasyi mendirikan Universitas Islam Indonesia, salah satu perguruan tinggi swasta nasional tertua yang terletak di Yogyakarta. Setelah proklamasi kemerdekan Indonesia Natsir menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Pada 3 April 1950, ia mengajukan Mosi Integral dalam sidang pleno parlemen yang memulihkan keutuhan bangsa Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sebelumnya berbentuk serikat (RIS), sehingga ia diangkat menjadi Perdana Menteri oleh Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1950. Natsir mengundurkan diri dari jabatannya pada 26 April 1951, karena perselisihan paham dengan Soekarno yang menganut paham nasionalisme dan mengkritik Islam sebagai ideologi, seraya memuji sekularisasi Mustafa Kemal Attaturk di Kesultanan Turki Usmani. Natsir menyayangkan hancurnya Kesultanan Utsmaniyah di Turki dengan menunjukkan akibat-akibat negatif sekularisasi. Natsir juga mengkritik Soekarno yang kurang memperhatikan kesejahteraan di luar pulau Jawa. Bersama tokoh-tokoh Nasional pada 1947 Mohammad Natsir mendirikan partai politik Islam Masyumi. Pada tahun 1958, beberapa tokoh Masyumi bergabung dalam struktur PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia). Oleh karena itu, Masyumi bersama-sama dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dibubarkan oleh pemerintah pada 1960. Upaya untuk membangkitkan kembali partai ini selama masa transisi ke Orde Baru sempat dilakukan, tapi tidak diizinkan. Setelah kejatuhan Soeharto pada 1998, upaya untuk membangkitkan partai ini dilakukan kembali dengan cara mendirikan Partai Bulan Bintang yang berpartisipasi dalam pemilihan-pemilihan umum pasca-Reformasi. Selama dalam era demokrasi terpimpin Indonesia, Natsir terlibat dalam pertentangan terhadap pemerintah yang semakin otoriter dan bergabung dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) setelah meninggalkan Pulau Jawa. PRRI yang menuntut otonomi daerah yang lebih luas yang disalahtafsirkan Soekarno sebagai pemberontakan terhadap pusat. Akibatnya, ia ditangkap dan dipenjarakan di Malang tahun 1962 sampai 1964, dan dibebaskan pada masa Orde Baru pada 26 Juli 1966. Di era Orde Baru Natsir membentuk Yayasan Dewan Dakwan Islamiyah Indonesia pada 26 Februari 1967 bersama para pendiri bangsa, semisal Mr. Mohammad Roem (Menteri Luar Negeri RI, dan penandatangan Perjanjian Roem-Van Roejen), Mr. Sjafroedin Prawiranegara (Presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia dan Gubernur Bank Indonesia pertama), Prof. Dr. HM Rasjidi (Menteri Agama pertama RI), Mr. Burhanuddin Harahap (Perdana Menteri RI ke-9), Prawoto Mangkusasmito (Ketua Partai Islam Masyumi terakhir), Prof. Kasman Singodimedjo (Jaksa Agung Pertama), dan lain-lain. Sejak berdirinya Dewan Da’wah memutuskan untuk melakukan aktivitas politik melalui dakwah Islamiyah, sebagaimana digariskan oleh Mohammad Natsir, yaitu: “Kita berpolitik dengan dakwah”. Dewan Da’wah memutuskan untuk menekuni bidang dakwah dan mengambil jarak yang sama dengan semua kekuatan politik yang memperjuangkan aspirasi umat Islam dan memperjuangkan kokohnya Negara Kesatuan Republik Indoensia. Dewan Dakwah melandaskan kebijaksanaannya kepada empat hal: (1) Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia berdasarkan taqwa dan keridhaan Allah; (2) Dalam mencapai maksud dan tujuannya, Dewan Dakwah mengadakan kerja sama yang erat dengan badan-badan dakwah yang telah ada di seluruh Indonesia; (3) Dalam hal yang bersifat kontroversial, dan dalam usaha melicinkan jalan dakwah, Dewan Dakwah bersikap menghindari dan atau mengurangi pertikaian paham antara pendukung dakwah, istimewa dalam melaksanakan tugas dakwah; (4) Di mana perlu dan dalam keadaan mengizinkan, Dewan Dakwah dapat tampil mengisi kekosongan, antara lain menciptakan suatu usaha berbentuk atau bersifat dakwah, usaha mana sebelumnya belum pernah diadakan, seperti mengadakan pilot projek dalam bidang dakwah. Natsir juga mengkritisi kebijakan pemerintah, dengan ikut menandatangani Petisi 50 pada 5 Mei 1980, bersama dengan Jenderal Hoegeng, Letjen Ali Sadikin, Sanusi Hardjadinata, SK Trimurti, dan lain-lain. Akibatnya Natsir dilarang pergi ke luar negeri, dan banyak seminar yang tidak bisa diikutinya. Natsir menolak kecurigaan Soeharto terhadap partai-partai, terutama partai Islam dan mengkritik Opsus (Operasi Khusus) yang berada di bawah pimpinan langsung Soeharto. Padahal, badan intel inilah yang meminta Natsir untuk memulai hubungan dengan Malaysia dan Timur Tengah setelah naiknya Soeharto. Tahun 1980 Natsir menerima anugerah penghargaan Faisal Award dari Raja Fahd Arab Saudi melalui Yayasan Raja Faisal di Riyadh, Arab Saudi. Ia juga memperoleh gelar doktor kehormatan di bidang politik Islam dari Universitas Islam Libanon pada 1967. Pada 1991 ia memperoleh gelar kehormatan dalam bidang sastra dari UKM (Universitas Kebangsaan Malaysia), dan dalam bidang pemikiran Islam dari Universitas Sains Malaysia. Pemerintah Indonesia menghormatinya setelah 15 tahun beliau wafat. Pada 10 November 2008 Natsir dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Soeharto enggan memberikan gelar pahlawan kepada salah satu “bapak bangsa” ini. Namun, pada masa BJ Habibie Mohammad, Natsir menerima penghargaan Bintang Republik Indonesia Adipradana. (*)
WHO: Akhir Fase Darurat COVID Makin Dekat, Lepas dari Sebaran Omicron
Jenewa, FNN - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Jumat (2/12) mengatakan bahwa dunia \"semakin dekat\" dengan akhir fase darurat pandemi COVID-19. Namun, dia juga memperingatkan bahwa varian COVID-19 Omicron masih merajalela di seluruh dunia dan terus menyebabkan kasus kematian dalam jumlah yang signifikan.\"Kita semakin dekat dengan titik ketika kita dapat mengatakan bahwa fase darurat pandemi telah berakhir, tapi kita belum sampai di titik itu,\" kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam konferensi pers di Jenewa.Alasan di balik hal itu adalah bahwa \"Omicron terbukti jauh lebih mudah menular dibandingkan pendahulunya, Delta, dan terus menyebabkan kasus kematian dalam jumlah yang signifikan akibat intensitas penularannya.\"Sementara itu, \"kesenjangan dalam hal pengawasan, pengujian, pengurutan, dan vaksinasi terus menciptakan kondisi yang ideal bagi munculnya varian baru yang dapat menyebabkan kematian dalam jumlah signifikan,\" tambah Tedros. .Ini \"tidak dapat diterima di saat pandemi memasuki tahun ketiga, di saat kita sudah memiliki begitu banyak instrumen untuk mencegah infeksi dan menyelamatkan nyawa,\" katanya.Kendati demikian, pemimpin WHO itu mengakui bahwa Omicron, yang lebih dari 500 turunannya saat ini masih menyebar, cenderung menyebabkan penyakit yang tidak terlalu parah jika dibandingkan dengan beberapa variant of concern sebelumnya.WHO memperkirakan bahwa setidaknya 90 persen populasi dunia saat ini memiliki tingkat kekebalan tertentu terhadap SARS-CoV-2, yang dipicu oleh vaksinasi atau infeksi sebelumnya.Menurut Maria Van Kerkhove, pimpinan teknis dari Program Darurat Kesehatan WHO, sedikitnya 2,5 juta kasus di seluruh dunia dilaporkan kepada WHO dalam sepekan terakhir saja. Namun, angka tersebut hanyalah hasil perhitungan kasar dari sirkulasi virus tersebut di seluruh dunia. \"Jadi mereka yang berusia di atas 60 tahun, orang dengan penyakit bawaan dan gangguan kekebalan, serta pekerja garis depan ... Kita belum berhasil mencapai target seratus persen (dalam hal tingkat vaksinasi) dalam kelompok rentan di seluruh dunia di setiap negara. Dan kami ingin hal itu menjadi fokus utama semua pemerintah negara,\" ujar Van Kerkhove.(ida/ANTARA)
Kemunculan Anies adalah Fenomena Kegagalan Partai Melakukan Kaderisasi
Jakarta, FNN - Anies Baswedan adalah fenomena politik yang selalu menarik untuk disoroti oleh siapa pun. Meski dicalonkan sebagai capres oleh Nasdem, tetapi Anies bukan datang dari tradisi partai politik karena beliau seorang akademisi. Ini yang menjadi hal menarik untuk didiskusikan terkait dengan pertanyaan mengapa banyak sekali partai politik yang gagal melakukan kaderisasi internal hingga kemudian dia harus melirik orang-orang di luar struktur partai. Untuk membahas hal ini, Hersubeno Arief, wartawan senior FNN, mendiskusikannya bersama Rocky Gerung dalam Kanal Youtube Rocky Gerung Official edisi Sabtu (03/12/22). Fenomena politik seperti ini tidak hanya terjadi pada Anies Baswedan, tapi juga pada fenomena Ridwan Kamil di Jawa Barat. Bahkan, pada kasus yang lebih menarik, Nasdem juga sebelumnya memunculkan nama Ganjar Pranowo dan Andhika Perkasa. Kalau Andika mungkin sama posisinya dengan Anies (tidak berparta), tapi kalau Ganjar Pranowo dimunculkan oleh partai lain, agak mengherankan. Begitu juga dengan PSI yang lebih mencalonkan Ganjar. “Fenomena Anies ini menunjukkan bahwa partai-partai nggak punya kader atau gagal melakukan kaderisasi. Anies jelas dia bukan datang dari tradisi partai politi, dia akademisi. Lalu karena kemampuan teknologinya diundang masuk kabinet. Lalu, karena di dalam kabinet ternyata muncul semacam kefiguran atau ketokohan, maka Anies berubah menjadi manusia politik,” ujar Rocky. Menurut Rocky, semula Anies hanya manusia akademis yang menganggap bahwa politik itu adalah wilayah untuk mengeksplisitkan metodologi di dalam kampus, yaitu konsep-konsep, narasi, teori. Tetapi, kemudian dalam satu peritiwa politik di mana tidak ada kader maka Anies dilirik. “Jadi, sebetulnya partai-partai ini ditawan oleh ketiadaan kader dan itu menyebabkan kadernya harus di-outsource. Itu buruknya. Demokrasi kita tumbuh, tapi tidak ada kader partai politik,” lanjut Rocky. Menurut Rocky, partai politik sekadar membengkak, bukan bertumbuh. Jadi, kalau kita bayangkan bahwa rekrutmen calon pemimpin itu datang dari partai politik seperti yang seharusnya secara konvensional begitu caranya, ternyata tidak berhasil. Jadi semua hal berhenti karena soal kaderisasi. Dan yang kita sebut kader sekarang adalah mereka yang membawa uang. Mereka tidak paham idiologi partai. Akibat lebih jauh adalah bahwa seorang yang tadinya dianggap kader dia bisa keluar dari partai itu sesukanya saja. Padahal, kader itu artinya bertahan di dalam cuaca paling buruk dari partainya. Akhirnya, kata Rocky, partai harus mengambil tokoh dari luar. Terpaksa Anies harus kehilangan semacam kemewahan dia sebagai akademisi, karena harus deal dengan transaksi politik di Nasdem dalam hal ini. Jadi mental Anies juga berubah, dari mental seorang pedagog dan sekarang mulai kemasukan juga sedikit demagok. Sebab menjadi partai itu isinya para demagog saja. Itulah pelajaran dari demokrasi kita yang sebetulnya kita tuntun dari awal reformasi supaya ada generasi di partai tidak terjadi. “Jadi, sekali lagi, bagian buruk dari pemerintahan Pak Jokowi adalah Pak Jokowi tidak berhasil menyelenggarakan pendidikan politik melalui sistem kepartaian,” tegas Rocky. Namun, hal itu juga menjadi pengalaman pribadi Pak Jokowi dan bahkan diulang lagi dalam kasus Gibran. Pak Jokowi dan Gibran bukan kader PDIP dan akhirnya dipaksakan menjadi calon Walikota Solo, menyingkirkan kader-kader yang lebih dahulu berjuang bersama partai itu. Menurut Rocky, itu buruknya kalau feodalisme ada di dalam politik kita. Mungkin Gibran lebih cocok menjadi pengusaha daripada menjadi Walikota Solo. Itu artinya, institusionalisasi atau pelembagaan politik tidak berlangsung. Jadi, etik bahwa seseorang pernah jadi ketua partai atau anggota partai, tiba-tiba lenyap. Padahal, politik adalah pengetahuan tentang keadaan real masyarakat dan dialami sendiri, bukan sekadar diceritakan atau dibuat-buatkan ceritanya. Selain Gibran, dari keluarga Pak Jokowi juga ada Boby Nasution yang saat ini menjadi Walikota Medan. Boby juga tiba-tiba saja dicalonkan oleh PDIP untuk menjadi calon walikota dan itu pasti menyingkirkan kader-kader partai yang sudah ada sebelumnya. Menurut Hersu ini memang praktik yang tidak sehat. Pendapat Hersu diiyakan oleh Rocky, “Ya, yang tidak sehat ini kayak lompat aja di situ tiba-tiba jadi seseorang. Juga demikian, dalam partai sendiri pun begitu. Ada tokoh, tapi karena kurang dekat dengan ketua umum, lalu nomor urutnya disingkirkan. Kan banyak kasus seperti itu.” Jadi, begitu sebetulnya, ketidakjujuran di dalam partai dan antar-partai. (ida)
Sosialisasikan RUU KUHP ke Masyarakat dan Akademisi Bali oleh Kemenkominfo
Denpasar, FNN - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) melalui Direktorat Jenderal Informasi Komunikasi Publik menyosialisasikan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) kepada masyarakat dan akademisi di Provinsi Bali.Direktur Informasi Komunikasi Polhukam Kemenkominfo Bambang Gunawan dalam keterangan tertulisnya di Denpasar, Jumat, mengatakan perwujudan negara hukum yang berlandaskan Pancasila memerlukan sistem hukum nasional yang harmonis, sinergis, komprehensif, dan dinamis melalui upaya pembangunan hukum.\"Salah satu proses yang sedang dilakukan oleh pemerintah terkait hukum pidana adalah dengan merevisi RUU KUHP,\" ujarnya.Kemenkominfo bekerja sama dengan Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar pada 1 Desember 2022 melaksanakan sosialisasi RKUHP untuk meningkatkan pemahaman guna memperoleh dukungan publik yang lebih luas.\"Upaya pemerintah merevisi dan menyusun sistem rekodifikasi hukum pidana nasional yang bertujuan untuk menggantikan KUHP lama sebagai produk hukum pemerintahan zaman kolonial Hindia Belanda perlu segera dilakukan, sehingga sesuai dengan dinamika masyarakat,\" ucapnya.Pemerintah mulai merancang RKUHP sejak tahun 1964 untuk menggantikan KUHP yang berlaku sampai saat ini. Penyusunan RUU KUHP juga melibatkan partisipasi masyarakat melalui dialog publik dan sosialisasi.Lewat dialog publik yang telah berjalan di 11 titik di Indonesia, pemerintah menghimpun masukan dan melakukan penyesuaian sehingga menghasilkan draf terbaru RUU KUHP. Pada tanggal 9 November 2022, draf tersebut telah diserahkan ke Komisi III DPR RI, dan 24 November telah disepakati bersama dalam pembahasan tingkat I.\"Yang dilakukan pemerintah sudah sangat transparan dan demokratis melibatkan masyarakat. Jadi tidak ada maksud-maksud pemerintah untuk tidak melibatkan masyarakat ataupun terburu-buru disahkan,\" ujarnya.Sebelumnya, Kepala Pusat Studi Universitas Pendidikan Nasional AAA Ngurah Tini Rusmini Gorda mengatakan RUU KUHP merupakan produk hukum yang diinisiasi oleh anak bangsa. Menurutnya, RUU KUHP yang telah disusun selama 76 tahun ini sudah diidam-idamkan kehadirannya.Untuk itu, ia berharap kegiatan Sosialisasi RUU KUHP ini bisa menjadi wadah diskusi. Walaupun menurutnya, di tahap sosialisasi ini belum bisa 100 persen mengubah, paling tidak ada hal yang bisa diakomodasi melalui kegiatan ini.\"Saya harap kegiatan ini bisa mengakomodir di tanggal 15 nanti, agar di tahun 2023 kita sudah memiliki KUHP produk Indonesia,\" ujarnya.Mengawali sesi sosialisasi, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jember Arief Amrullah mengatakan bahwa pentingnya penggantian KUHP ini karena secara politis, dengan kita masih menggunakan KUHP yang ada sekarang, artinya kita masih dalam konteks terjajah oleh Belanda.\"Secara sosiologis juga berbeda muatan masyarakatnya antara Belanda dengan kita, berbeda sekali, ukurannya saja sudah beda. Lalu secara kontekstual juga begitu, KUHP Indonesia harus sesuai dengan nilai-nilai bangsa kita. Inilah salah satu keunggulan dari RUU KUHP yang mengadopsi nilai-nilai bangsanya sendiri,” jelasnya.Ia mengungkapkan bahwa RUU KUHP yang sebentar lagi disahkan, akan menjadi konstitusinya hukum pidana. Menurutnya, materi muatan hukum pidana nasional ada keseimbangan antara kepentingan umum dan individu.\"KUHP yang sekarang ini lebih menekankan pada individu, kepada sisi pelaku saja, bagaimana sisi korban? Ini kan tidak diperhatikan, dan memang tidak ada. Nah, inilah yang direvisi di dalam RUU KUHP ini, jadi ada keseimbangan itu,\" ujar Arief.Selain itu, ia mengatakan bahwa RUU KUHP juga memiliki muatan keseimbangan antara unsur perbuatan dan sikap batin. Menurutnya, segala perbuatan harus tergantung pada niatnya.Pada sesi selanjutnya, Dekan Fakultas Hukum Universitas Pendidikan Nasional, I Nyoman Juwita Arsawati, mengungkapkan jika salah satu alasan KUHP dipandang perlu untuk diperbaharui adalah karena banyaknya undang-undang yang lahir di luar KUHP.\"Hal tersebut menunjukkan bahwa KUHP itu sendiri sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat terkait dengan kualitas dan kuantitas kejahatan yang terjadi di masyarakat,\" ucapnya.Ia juga menjelaskan bahwa sistem pemidanaan yang ada di dalam RUU KUHP menganut \"double-track system\" yang artinya di dalam RUU KUHP ada penjatuhan sanksi pidana berupa tindakan, seperti kerja sosial, rehabilitasi, pengawasan dan lain sebagainya.Berbeda dengan KUHP peninggalan kolonial yang menganut single-track system, di mana hanya ada satu pidana saja.\"Ada perbedaan di dalam RUU KUHP, jenis pidananya ada tiga yaitu pidana pokok, pidana tambahan, dan pidana yang bersifat khusus atau tindakan. Pidana yang bersifat khusus inilah yang akan diatur secara tersendiri,” jelasnya.Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro, Pujiyono mengatakan bahwa ketika membaca RUU KUHP, ada dua asas legalitas, yaitu asas legalitas formil dan asas legalitas materiil.Ia menambahkan sangat tidak memadai ketika perbuatan yang disebut sebagai tindak pidana hanya apa yang disebut di dalam UU.\"Realitasnya, yang disebut sebagai tindak pidana di tengah masyarakat masih sangat banyak, yang kemudian hidup berkembang di masyarakat adat yang disebut dengan the living law. Maka munculnya asas legalitas formil dan materiil, tidak lepas dari asas keseimbangan yang dianut di dalam RUU KUHP,\" katanya.(ida/ANTARA)