ALL CATEGORY

Ukraina Sebut Rusia Menyiapkan Serangan Rudal Baru

Ankara, FNN - Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy mengatakan dirinya mengetahui fakta bahwa Rusia sedang mempersiapkan serangan rudal baru.Dalam pesan video di media sosial Telegram, Zelenskyy mencatat bahwa \"sayangnya\" Rusia tidak akan berhenti selama mereka memiliki rudal.“Minggu depan bisa sama sulitnya dengan yang telah berlalu. Pasukan pertahanan kami sedang bersiap. Seluruh negara bagian sedang bersiap,” kata dia.Mengatakan bahwa Kiev telah menyusun semua skenario termasuk dengan mitra-mitranya, Zelenskyy meminta penduduk Ukraina untuk memperhatikan peringatan udara selama seminggu ke depan.“Situasi di depan masih sangat sulit. Dan yang terpenting di wilayah Donetsk, seperti pada minggu-minggu sebelumnya. Rusia memanfaatkan cuaca dingin terhadap orang-orang,\" ujar Zelenskyy.Dia menegaskan akan meminta pertanggungjawaban Rusia atas perang yang dilancarkannya di Ukraina. Presiden Ukraina itu menggarisbawahi bahwa akan ada \"langkah penting baru\" dalam minggu mendatang, tanpa menjelaskan lebih lanjut mengenai langkah tersebut.(ida/ANTARA)

Majelis Kode Etik Bebas dari Relasi Keluarga

Jakarta, FNN - Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menkop UKM) Teten Masduki memastikan tim majelis kode etik yang baru bebas dari relasi keluarga dalam mengusut tuntas kasus kekerasan seksual dan pemerkosaan di kementerian tersebut.\"Majelis kode etik yang baru ini bersih dari relasi kekerabatan, baik dengan pelaku maupun korban,\" kata Menkop UKM Teten Masduki di Jakarta, Senin.Teten mengatakan pembentukan tim majelis kode etik tersebut, merupakan respons dari pembubaran majelis kode etik yang lama karena dinilai atau diduga ada unsur memperlama proses penyelidikan kasus yang terjadi sejak akhir 2019 itu.Melalui majelis kode etik tersebut, Teten memastikan akan mengevaluasi seluruh kasus itu hingga lebih jelas terutama dalam hal penegakan etik bagi pelaku-pelaku yang terlibat..Tidak hanya itu, Kementerian Koperasi dan UKM juga akan melakukan upaya pencegahan agar kasus kekerasan seksual dan pemerkosaan tidak lagi terjadi di kemudian hari. Langkah yang dilakukan yaitu membentuk tim internal yang bertugas merespons pengaduan, termasuk merumuskan tindak pidana kekerasan seksual. Tim yang akan dibentuk itu dipastikan juga menjamin kerahasiaan\"Kami akan jadikan Kemenkop UKM sebagai proyek percontohan dari pelaksanaan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual,\" ujar dia.Harapannya agar setiap pegawai di Kemenkop UKM memiliki pemahaman tentang kekerasan seksual termasuk mencegah, menangani maupun menindak nya, kata Ketua ICW periode 1998 hingga 2008 tersebut.Sebagai bentuk keseriusan, Kemenkop UKM telah mengundang sejumlah aktivis perempuan dalam mendiskusikan program tersebut. Tidak hanya itu, ke depan kementerian yang dipimpinnya akan memetakan sumber daya manusia sebagai upaya memperbaiki organisasi secara menyeluruh.Tujuannya, menghindari nepotisme rekrutmen tenaga honorer atau penempatan jabatan di lingkungan Kemenkop UKM. Hal itu berkaca dari pengusutan kasus kekerasan seksual dan pemerkosaan pegawai di instansi itu yang terhambat karena adanya relasi kekerabatan.(ida/ANTARA)

Ferdy Sambo Menangis Lihat Foto Keluarga

Jakarta, FNN - Terdakwa kasus obstruction of justice pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J), Arif Rahman Arifin, mengatakan bahwa Ferdy Sambo sempat menangis ketika melihat foto keluarga.“Beliau melihat foto, di kursi beliau ada foto di belakangnya itu, foto keluarganya, terus menangis,” kata Arif ketika menyampaikan kesaksian di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Senin.Lebih lanjut, Arif mengutip pernyataan Ferdy Sambo yang mengatakan, “Kamu tahu nggak, ini sudah menyangkut kehormatan saya. Percuma saya bintang dua, tetapi tidak bisa menjaga istri saya.”Pernyataan tersebut ia ungkapkan ketika Arif mengisahkan kronologi Ferdy Sambo yang memerintahkan Ridwan Soplanit yang saat itu Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta, Chuck Putranto yang saat itu merupakan Korspri Kadiv Propam Polri, Arif Rahman Arifin selaku Wakaden B Biro Paminal Propam Polri, dan Baiquni Wibowo yang saat itu selaku PS Kasubag Riksa Baggak Etika Biro Watprof​ agar tidak menyebarkan rekaman DVR CCTV yang mereka saksikan.Setelah Ferdy Sambo menangis, Agus mengatakan eks Karopaminal Divpropam Polri Brigjen Hendra Kurniawan (HK) mengajak Ferdy Sambo keluar. “Pas kami berdiri, Pak Ferdy kemudian ngomong, ‘Kamu pastikan itu nanti semuanya sudah musnah’, begitu,” ucap Arif.Dalam kesempatan tersebut, Arif sempat bersaksi bahwa ia mengaku kepada Ferdy Sambo dirinya menyimpan rekaman DVR CCTV di laptop Baiquni dengan flashdisk yang menempel di laptop.Mengetahui keempat orang tersebut, yakni Arif, Chuck, Baiquni, dan Ridwan, telah menonton rekaman DVR CCTV, Arif bersaksi bahwa Ferdy Sambo sempat mengatakan, “Berarti kalau sampai bocor, kalian berempatlah yang bocorin.”  “Saya diam saja karena beliau mukanya seperti sudah merah marah gitu,” ucap Arif.(ida/ANTARA)

Presidential Threshold 20 Persen Adalah Racun Demokrasi

Jakarta, FNN  - Banyak netizen yang masih bertanya-tanya pada FNN, khususnya kepada Rocky Gerung, tentang gagasan gagasan 0% hingga jika itu tidak bisa terwujud harus sampai pada kesimpulan liga boikot pemilu. Mungkin pertanyaan itu muncul karena FNN biasanya hanya membahas sepenggal-sepenggal atau kurang tuntas. Oleh karena itu, untuk mengelaborasi soal ini secara tuntas, kanal Rocky Gerung Official edisi Senin (28/11/22) yang dipandu oleh Hersubeno Arief, wartawan senior FNN, membahas soal ini, tentu saja bersama  Bung Rocky Gerung.  “Semua berawal dari keinginan untuk memuliakan demokrasi. Jadi kata kuncinya adalah ‘memuliakan’. Demokrasi itu mulia kalau ada sirkulasi elit. Sirkulasi elit dimungkinkan kalau ada kompetisi yang merdeka,“ ujar Rocky Gerung mengawali pembahasannya. Menurut Rocky, dari dalil demokrasi ini kita paham bahwa kalau sirkulasi itu dihambat maka demokrasi tidak mungkin mencapai kemuliaan. Kalau kompetisinya tidak dari garis start yang sama, juga akan dihasilkan elit yang tidak tidak mencerminkan keadaan riil dari opini publik. Jadi, semua hal itu kita simpulkan bahwa kita menghendaki Indonesia memulihkan demokrasi. Pemulihan itu memerlukan terapi. Terapi pertama adalah mendiagnosis dasar dari kesulitan kita hari ini, kasak kusuk koalisi, tukar tambah politik, orang mondar-mandir cari partner yang dimulai oleh dipasangkannya  threshold. Dari awal kita maksudkan agar threshold dihilangkan supaya kita didetoksifikasi secara sempurna. Kalau masih banyak racun atau obat, apalagi obat 20%, tidak mungkin tubuh kita pulih. “Jadi, memulihkan demokrasi artinya detoksifikasi total, artinya pergi pada 0% racun tubuh, 20% itu racun, 8% juga racun, 4% sama, semua racun, jadi harus dibersihkan,” tegasnya. Kalau kita pakai parameter itu, baru orang mungkin menganggap diperlukan detoksifikasi total yang disebut sebagai 0%. Itu dasar etisnya.   Namun, banyak argumen yang menyatakan bahwa kalau 0% bisa kacau, karena semua orang bisa mencalonkan diri menjadi presiden. Menanggapi hal tersebut Rocky mengatakan, “Bisa saja semua orang mencalokan diri. Kalau ada orang berpikir semua  orang bisa mencalokan diri, artinya dia ingin cuman dia yang mencalonkan diri. Di situ kekacauan logikanya. Jadi kalau semua orang mencalonkan diri memang itu dasar demokrasi,” jelasnya. Jika demikian, jika kita ikuti jalan pikiran mereka, mereka ingin tidak semua orang mencalonkan diri. Artinya, tidak semua orang boleh berkompetisi. Artinya, tidak semua orang harus ada dalam demokrasi.  Kalau begitu, lakukanlah pemilihan dari 3-4 orang yang mereka inginkan, tambah Rocky.  Memang, menurut Rocky, secara etis kita menghendaki sesuatu yang imperatif bahwa semua orang boleh mencalonkan diri karena itu perintah konstitusi. Yang mereka maksud ketakutan bahwa tiba-tiba ada 120 juta orang mencalonkan diri. Itu juga absurd. Kalau orang takut nanti partainya banyak, pasti akan terseleksi dalam tiga kali pemilu. Kita ingin menjadi mapan seperti Amerika sehingga ada calon independen. Filosofi di Amerika Serikat adalah tidak boleh politik terbagi habis pada partai. Artinya, musti ada bagian yang diajukan oleh mereka yang tidak punya partai.  Menurut Rocky, hal-hal semacam ini, standar demokrasi, tidak diajarkan di partai politik. Kurikulum partai politik tidak ada pengertian-pengertian dasar tentang demokrasi.  Akibatnya, orang cemas putaran pemilu akan panjang. Padahal, putaran pemilu cuma dua di mana putaran kedua hanya diikuti oleh pemenang pertama dan kedua. Publik cemas karena tidak paham. Oleh karena itu,  KPU mesti terangkan agar tidak usah cemas, sebagai fungsi pedagogis dari KPU, supaya konstitusi datang dengan pengertian yang sama, supaya partai-partai politik tiba dengan kesimpulan yang sama bahwa demokrasi terbuka bagi semua peluang. “Jadi, potensi inti dari demokrasi adalah setiap orang bisa mengajukan diri, tetapi nanti ada filter-filter,” ujar Rocky. Jadi, lanjut Rocky, tetap seleksinya dari nol. Seleksi pertama adalah soal kapasitas seseorang dan kapasitas dikenal di masyarakat. Jadi saling kontrol di antara masyarakat akan terjadi kalau dibuka secara fair.  Tetapi, teman-teman partai politik mengajukan argumentasi bahwa kalau mau masuk dalam kontestasi harusnya masuk partai politik. Tidak fair kalau tiba-tiba mencalonkan diri, tapi tidak mau masuk dalam partai politik. “Itu poin bagus. Tetapi sebetulnya demokrasi tidak harus berubah menjadi pemaksaan masuk partai politik. Karena itu, perlu ada calon independen, ada golput,” tegasnya. Partai politik kan pilihan orang. Kita disegarkan kembali dengan satu dalil bahwa pertama-tama kita adalah warga negara. Adanya partai politik karena ada warga negara yang ingin membuat partai politik, bukan partai politik yang menyuruh kita masuk ke dalam partai politik. Kita yang membuat partai politik. Kalau kita tidak mau, jangan dipaksa oleh negara. (sof)

Ganjar Tolak Dikaitkan dengan Isyarat Jokowi?

Jakarta, FNN- Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo tiba-tiba menggugah foto dirinya dengan penampilan baru berambut hitam dan wajah yang kinclong tanpa kerutan. Hal ini dilakukan Ganjar pasca pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal ciri-ciri pemimpin memikirkan rakyat yakni berambut putih hingga kerutan di wajah. Demikian pembahasan wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Hersubeno Point, Minggu (27/11/22) di Jakarta. Ganjar membagikan fotonya melalui akun instagram pribadinya @ganjar_pranowo. \"Cukur… Kamu punya tips merawat wajah dan rambut?\" imbuhnya. Unggahan Ganjar tersebut langsung mendapat komentar beragam dari warganet atau netizen. Dengan penampilan barunya itu, Ganjar seakan enggan dikaitkan dengan kode Presiden Jokowi. Sebelumnya, di hadapan ribuan orang yang didatangkan dari berbagai daerah di Stadion Gelora Bung Karno (GBK) untuk mengikuti gerakan nusantara bersatu pada Sabtu (26/11/22), Jokowi memberikan tips untuk memilih calon pemimpin 2024 mendatang. Pertama, Jokowi menyebut jangan memilih pemimpin yang senang duduk di istana dengan ac dingin. Kedua, Jokowi mengatakan sosok yang memikirkan rakyat di antaranya adalah kelihatan dari penampilan. Satu di antaranya berambut putih. Berdasarkan ciri-ciri itu, banyak pihak mengarahkan telunjuk kepada Ganjar Pranowo. “Namun mengapa pula Ganjar menanggapinya tidak terlalu serius, kesannya malah bercanda,” ungkap Hersubeno. Menurut Hersubeno dari sisi komunikasi politik, apa yang dilakukan oleh Ganjar tersebut adalah caranya menyampaikan pesan. Lebih lanjut, Hersu memaparkan satu persatu pesan yang disampaikan oleh Ganjar. Pertama, Ganjar memang sedang bercanda. Kedua, Ganjar mengetahui sedang di PHP Jokowi dan tidak mau tergoda. Ketiga, Ganjar tidak mau terlibat ketegangan baru dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri. (Lia) 

Rambut Putih dan Kulit Kerut

Selamat menikmati usia senja dengan kulit dan kening berkerut. Wajah yang tidak cerah adalah kegundahan dan cermin ketidakcerahan hati. Orang yang optimistik dan bermasa depan wajahnya berseri-seri. Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan ADA-ada saja Pak Jokowi ini meminta untuk memilih Presiden yang kulitnya berkerut dan berambut putih karena itu ciri orang yang memikirkan rakyat. Kontan netizen berkomentar bahwa ternyata Pak Jokowi tidak berambut putih jadi tidak pernah memikirkan rakyat he hee. Semua tahu arah dukungannya kepada Ganjar Pranowo yang berambut putih. Meski tidak berkerut kulitnya. Naifnya Jokowi juga mewanti-wanti berhati-hati memilih orang yang berwajah bersih. Entah Anies Baswedan yang dimaksud atau patung lilin, he hee. Sinyal pendekatan seperti yang diungkap Pak Jokowi sebenarnya keliru, bias, bahkan mengerikan. Mengukur kapasitas dengan rambut dan kerut. Monyet juga ada yang berbulu putih dan kulit berkerut. Kasihan kalau ada Capres yang diserupakan dengan monyet berbulu putih. Apakah itu Hanoman atau Monkey King. Socrates filsof Yunani pernah mendefinisikan “manusia” itu sebagai “hewan berkaki dua dan tidak berbulu”. Mendengar itu Diogenes esoknya membawa seekor ayam yang telah dicabuti bulunya, lalu melempar ke hadapan murid-murid Socrates sambil berujar: “Inilah manusia menurut Socrates!” Bagaimana bisa menghukumkan rambut putih dan wajah keriput identik dengan memikirkan rakyat? Orang yang memikirkan dirinya sendiri dengan keras juga bisa berambut putih dan kening berkerut. Orang yang takut kehilangan kursi dan stress juga bisa mengalami hal serupa. Rambut putih dan wajah keriput adalah efek dari penuaan usia. Peringatan bahwa sudah saatnya ia harus banyak merenung dan bertaubat atas dosa-dosa yang dilakukannya. Acara Relawan Jokowi di GBK, 26 Nopember 2022, agak aneh. Masalahnya Jokowi adalah Presiden, maka semestinya pola dukungan adalah seluruh rakyat Indonesia, bukan relawan. Itu adalah cerita lama. Kemunduran ini membuktikan terjadinya pemerosotan demokrasi. Penggalangan dengan pola pengarahan atau penggiringan bukan partisipasi. Dikaitkan dengan teori siklus Polybios, maka bentuk pemerototan telah terjadi di ujung masa jabatan Jokowi. Sekelompok orang bijak yang telah membantu kekuasaan Jokowi bermoral baik yang disebut Aristokrasi sudah merosot menjadi kelompok penjahat yang mengendalikan kekuasaan dengan sewenang-wenang dan eksploitatif yang disebut Oligarki. Demikian juga dengan demokrasi yang telah membawa Jokowi ke tampuk kepemimpinan kini telah hilang dan bergeser menjadi dukungan buatan atau bayaran berbalut relawan. Hakekatnya hal tersebut menurut Polybios bukan demokrasi tetapi bentuk pemerosotannya, yaitu okhlokrasi atau mobokrasi. Kekuasaan kaum gerombolan. Peristiwa penggalangan GBK menunjukkan bahwa kekuasasn Jokowi sudah lemah sehingga terpaksa harus membuat dukungan artifisial relawan. Kemana partai politik? Sudah berlarian mencari posisi masing-masing. Jokowi sudah dirasakan tidak penting dan layak untuk ditinggalkan. Jokowi yang eksplisit mendukung rambut putih sesungguhnya berada di posisi lawan bersama. PDIP bersama Puan Maharani nyaris berseberangan. Gerindra dengan Prabowo Subianto menjadi korban tipu-tipu. Anies Baswedan dan Partai Nasdem beserta Koalisi Perubahan beradu semakin tajam. Nah, KIB yang terdiri dari Golkar, PAN, dan PPP tidak mudah lagi diarahkan, apalagi dibayar untuk sekedar wadah bagi sang rambut putih. Mobokrasi Jokowi adalah bentuk frustrasi dan lumpuhnya akhir kekuasaan. Wajahnya mulai berkerut memikirkan nasibnya sendiri. Bukan rakyatnya. Rakyat tidak pernah merasakan diperhatikan selain sekedar menjadi korban dari bagi-bagi sembako atau kaos bergambar Jokowi sendiri. Selamat menikmati usia senja dengan kulit dan kening berkerut. Wajah yang tidak cerah adalah kegundahan dan cermin ketidakcerahan hati. Orang yang optimistik dan bermasa depan wajahnya berseri-seri. Rambut putih tidak berhubungan dengan rakyat karena tidak sedikit rakyat yang membenci pada orang yang berambut putih. Mungkin si rambut putih itu gemar berbohong dan menyakiti rakyatnya. Rambut bisa menjadi alat menipu. Deceptive hair. When the man angry in the giddy dust, his hairs are turn white to decay – Kinsley Lee. (*)

Kalian Yang Undang Bencana, Kenapa Kita Yang Dibuat Sibuk?

Dan, yang paling rentan adalah orang yang Suka melihat berzinanya sesama jenis, karena itu bisa kejangkit pada dirinya. Dengan membunuh pelaku itu sama saja dengan membunuh keinginan melakukan hal yang sama seperti itu. Oleh: Moh. Naufal Dunggio, Aktivis dan Ustadz Kampung TELAH tampak kerusakan di darat dan di laut akibat ulah tangan menusia itu sendiri (Al-Qur’an). Bukan tidak peduli dengan sesama manusia. Dan, bukan juga tak mau saling membantu atas musibah yang dihadapi atas sesama manusia. Cuma memang semua sedang dalam keadaan susah. Dan, musibah tidak pernah kita prediksi kapan akan datang dan dimana tempatnya. Namun, semua kitab suci agama-agama sawami telah menjelaskan. Bila suatu wilayah di mana penduduknya sudah jauh dari Allah SWT dan hidup penuh  kemaksiatan maka siap-siaplah wilayah atau daerah tersebut bakal ditimpa bencana yang mengerikan kita semua. Negeri-negeri dahulu contohnya. Bagaimana negeri Solomon dan Gomorah dihantam dengan gempa bumi yang dahsyat akibat maksiat kepada Allah SWT. Sekarang di tanah air kita Indonesia telah mengalami hal yang sama. Pada 1955 pernah terjadi di sebuah kampung desa di Jawa Tengah kampungnya tertimpa dengan gunung yang terbelah seperti dipotong tengahnya, sehingga puncaknya menimpa satu kampung itu dan tidak ada satupun yang hidup dari mereka. Kayak kita memotong tumpeng dari tengahnya. Penyebabnya apa? Karena, hidup mereka bergelimang dengan maksiat, terutama zina sesama jenis. Itu juga yang terjadi di Palu beberapa tahun lalu dan juga terjadi di Cianjur baru-baru ini.  Belum lama kita tonton berita di TV polisi menangkap Remaja dari Cianjur di Cipanas dalam keadaan telanjang bulat karena mereka melakukan praktek sex sesama jenis. Dan lebih mengagetkan lagi ada anak yang masih SMP terlibat di dalamnya yang ikut diangkut alias ketangkap. Dari mana polisi tahu? Yah, dari laporan masyarakat. Dan, remaja tersebut ternyata mereka saling tahu dari aplikasi yang ada. Ngeri, kan? Nah, oleh karena itu beberapa negara termasuk negara kita melarang praktek LGBT. Di Piala Dunia saja simbol-simbol LGBT dilarang keras oleh FIFA dan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022. Simbol-simbolnya saja dilarang seperti warna pelangi, apalagi mempraktekkannya? Tim panser Jerman saja memakai Ban Kapten dari pelangi gak bisa mendarat masuk ke Qatar. Lantas, mendarat di Oman dan tidak memakai Ban Kapten pelangi sebagai simbol dari LGBT, baru dimasukkan ke Qatar dan ikut piala dunia. Dalam sebuah video di Rusia saja praktek ini dilarang keras. Padahal, Rusia itu negeri komunis. Apalagi di negeri Islam atau negeri yang warganya mayoritas Islam? Bila melihat ada dua orang sejenis bermaksiat ria maka yang melihat hal itu Dibolehkan Membunuh kedua orang itu. Ini ajaran Islam. Kenapa begitu keras ajarannya? Ingat, ini penyakit menular. Dan, yang paling rentan adalah orang yang Suka melihat berzinanya sesama jenis, karena itu bisa kejangkit pada dirinya. Dengan membunuh pelaku itu sama saja dengan membunuh keinginan melakukan hal yang sama seperti itu. Jadi, jauhilah perbuatan itu. Karena, itu merusak di bumi dan dibenci oleh Allah. Tapi kalau mau melawan Silakan, tapi jangan di negeri kita. Apalagi, di hadapan kita. Bisa mati dibelah kepalanya. Sebab sudah kena bencana dan musibah yang akan repot kita semua. Kalau lagi ada asyik, jika lagi susah semua, siapa yang mau bantu? Berharap pada siapa. Pada Jin? Gak mungkin dia bisa bantu karena gak ada lagi Nabi Sulaiman di sekitar kita. Maka jangan undang musibah agar kita semua gak dibikin repot. Wallahu A\'lam ... (*)

Jokowi Lakukan Puputan

Apalagi jelas rezim Jokowi bukan lagi menjalankan “Nawa Cita” yang berbasis sosialis ala Bung Karno, melainkan rezim “Nawa Duka” seperti rezim Peng Peng yang pro oligarki. Oleh: Andrianto, Aktivis Pergerakan 98 ACARA megah gempita berjuluk “Relawan Nusantara Bersatu” di Gelora Bung Karno (GBK), Sabtu (26/11/2022), yang melibatkan ratusan ribu orang ini bikin dahi berkerut. Apakah kita kembali ke era Orba yang melibatkan jumlah massa besar di luar massa kampanye resmi pemilu yang disebut Kebulatan Tekad? Jika dahulu mayoritas Ibu-ibu majelis taklim (dimobilisasi Badan Kontak Majelis Taklim/ BKMT) kini pun hampir mirip. Terlihat di layar kaca ibu-ibu yang berkerudung memenuhi GBK. Ada dua hal yang membuat kita protes: Pertama, pelanggaran hukum meski itu cuma putusan Menpora yang telah melarang penggunaan GBK sampai perhelatan Piala Dunia U-20 tahun depan. Maklum itu ajang sepakbola dunia resmi dari FIFA, tentu GBK sebagai ajang pembuka harus siap sedia. Kedua, moralitas etika kemanusiaan di saat kita baru tertimpa dua bencana besar yakni Tragedi Kanjuruhan dan Tragedi Gempa Cianjur. Kedua tragedi ini memakan korban cukup besar. Jika acara di GBK ini sekedar acara relawan seperti yang dinyatakan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, justru ini bertolak belakang jika dilihat siapa Ketua Panitanya, yaitu: Stafsus Presiden Aminuddin Maruf dan Stering Comiite-nya Arsjad Rasjid, Ketua Umum KADIN. Artinya jelas ini orang Istana. Justru kita melihatnya Istana memanipulasi Relawan seolah itu acara Relawan. Jadi Hasto keliru, karena acara model GBK sudah kesekian kalinya dilakukan. Dari mulai acara Ribuan Kepala Desa di Istora Senayan, Acara Rakernas Projo di Magelang, Acara Musra di Bandung dan lain-lain. Semua acara ini tentu memakan biaya yang tidak sedikit. Tidak mungkin Relawan bisa membuat acara berskala besar dan terus menerus. Malah kita bertanya apakah ini pakai dana Pribadi Jokowi atau APBN? Jika ada sponsor oligarki apakah ini bagian dari gratifikasi? Atau kompensasi dari banyaknya kebijakan yang menguntungkan oligarki (UU Omnibus Law, UU Minerba dan lain-lain). Kalau melihat skala acara-acara yang demikian massif tentu sudah Ratusan Milliar Rupiah tergelontorkan. Dari acara GBK makin tampak sekali agenda Pilpres 2024 dimana positioning Jokowi tidak miliki porto polio di Parpol manapun. Jokowi justru terasing dari semua parpol. Jokowi kader PDIP seperti sering diklaims orang PDIP. Jokowi sendiri hadir saat Rakernas 2 PDIP yang hasilnya dibacakan Ganjar Pranowo yang menyatakan Capres itu domain Ketum PDIP. Nah, jadi bertubinya agenda Jokowi jelas punya maksud dan tujuan sendiri. Dalam acara GBK, Jokowi bilang Kriteria Pemimpin mesti wajah berkerut dan berambut putih. Kalo kriteria ini jelas menyinggung Bu Mega. Bukankah Sang Ayahandanya, Bung Karno, kita kenal berwajah clink, berbusana modern, flamboyan dan lain-lain. Juga para tokoh bangsa seperti Bung Hatta, Bung Syahrir yang berwajah klimis dan tidak berambut putih. Anonim yang disebut Jokowi itu menyasar ke Ganjar Pranowo. Justru dia bikin ilustrasi kriteria pemimpin malah bikin ambyar semua orang. Tadinya kita berasumsi Jokowi mendukung Prabowo Subianto. Tapi, ternyata terpatahkan di acara kemarin kriteria lebih mengarah ke Ganjar seperti skema awal. Bisa jadi pihak oligarki penyokong Jokowi tidak percayai sosok Prabowo. Apa mungkin Prabowo sosok Jenderal bisa diatur-atur kemudian? Buat Jokowi dan para oligarki kelanjutan project mercusuar Presiden Jokowi seperti IKN, Kereta Cepat Jakarta-Bandung, LRT Jabotabek dan lain-lain itu adalah pertaruhan yang harus dilanjutkan. Apa jadinya bila semua project tersebut mangkrak? SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) saja terus dibuli meski hanya meninggalkan 1 project Hambalang yang nilainya kecil jika dibandingkan salah satu project Jokowi tersebut. Belum lagi potensi KKN yang berujung pidana seperti dikatakan tokoh seperti Prof Anthony Budiawan, Said Didu, dan Faisal Basri. Akhirnya Jokowi tinggal selangkah lagi deklarasikan Capres pilihannya, yakni Ganjar Pranowo. Hanya tinggal waktu saja. Apakah pilihan Jokowi akan diterima parpol-parpol, terutama PDIP? Padahal, apa yang dilakukan di GBK itu sudah sebuah psy war terbuka? Tapi, kita sangsi parpol-parpol akan manut begitu saja. Apalagi figur Ganjar yang penuh kontroversi antara lain tersandung E-KTP, kegagalan memimpin Jateng, sehingga Jateng menjadi provinsi nomor 15 termiskin, Kasus Wadas, Kasus Semen Kendeng dan lain-lain. PDIP sebagai parpol yang miliki tiket VIP tentu punya perhitungan bila usung Ganjar. PDIP adalah parpol yang dikenal miliki ideologisasi yang kuat. Jabatan adalah Penugasan: Petugas Partai. Sebagai partai yang memiliki jiwa sang inspirator dan pendiri mazab Nasonalis Bung Karno, tentu keberlanjutan ruh Bung Karno jadi pertaruhan utamanya. Apalagi muncul kepermukaan jika Ganjar yang Presiden, maka Jokowi yang Ketum PDIP. Bisa jadi setelah puputan Jokowi ini, makin membuat yakin PDIP segera mendeklrasikan Pencapresan Puan Maharani. Karena, pasti akan berisiko mendukung sosok Ganjar yang diingini Jokowi. Apalagi jelas rezim Jokowi bukan lagi menjalankan “Nawa Cita” yang berbasis sosialis ala Bung Karno, melainkan rezim “Nawa Duka” seperti rezim Peng Peng yang pro oligarki. PDIP harus tobatan telah gagal dengan eksprimen Petugas Partainya. Karena Sang Petugas malah menurunkan derajat menjadi timses next Presiden dan berupaya menciptakan next Boneka sesuai keinginan oligarki. Bahkan yang terburuk melakukan upaya Kudeta Konstitusi. (*)

Musibah dan Derita Rakyat di GBK: Parpol Kena ‘Prank’

PDIP menghimbau kepada ring satu Presiden Jokowi agar tidak bersikap asal bapak senang (ABS) dan benar-benar berjuang keras bahwa kepemimpinan Pak Jokowi yang kaya prestasi sudah on the track. Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) RAKYAT Indonesia berduka atas musibah di Cianjur. Korban meninggal dunia sudah lebih dari 300 orang, belum termasuk korban hilang. Kerugian materi sangat besar. Mereka kehilangan segalanya. Sudah miskin, bertambah miskin. Di lain sisi, di Jakarta, ada yang mengadakan ‘pesta’, gegap gempita. Relawan mengadakan pertemuan di stadion utama Gelora Bung Karno (GBK). Menurut kabar, dihadiri lebih dari 100 ribu orang. Ironi Apalagi topik yang dibicarakan pada pertemuan tersebut sangat tidak penting bagi bangsa dan negara. Tidak berkelas. Misalnya, membahas ciri presiden. Mengarahkan, pilih presiden sebaiknya wajah yang berkerut dan berambut putih. Karena ciri tersebut memikirkan rakyat, katanya. Ampun deh! Mungkin cuma gurauan saja. Tapi sangat tidak lucu, kan? Tidak berkelas sama sekali! Mudah-mudahan tidak diliput media asing. Gurauan ini jelas telah membuat banyak pihak merasa tidak nyaman. Apa sih maksudnya? Belum lama ini mengatakan giliran Prabowo Subianto akan menjadi presiden 2024. Ternyata cuma gurauan juga, alias ‘prank’? Ternyata yang didukung yang berambut putih. Bukan Prabowo. Semoga Prabowo bisa menerima ini dengan lapang dada. Kedua, gurauan ini pasti akan membuat PDIP juga tidak nyaman. Karena, setiap orang mengerti siapa yang dimaksud berambut putih. Siapa lagi kalau bukan Ganjar Pranowo. Ada dua alasan yang membuat PDIP bisa marah. Pertama, Jokowi sebagai kader PDIP terkesan tidak menghormati serta melancangi PDIP. Dua kader PDIP, Jokowi dan Ganjar, seolah-olah tidak menghargai Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri. Bahkan terkesan mempermainkannya, dengan tebak-tebakan kurang bermutu. Kedua, gurauan ciri presiden ini dapat diduga mau aborsi pencalonan Puan Maharani sebagai calon presiden dari PDIP. Kedua hal ini pasti akan membuat Ketua Umum dan jajaran PDIP marah. Sebagai kader PDIP, Jokowi dan Ganjar, seharusnya mengikuti arahan Ketua Umum dan jajarannya di PDIP. Bukan bermanuver untuk kepentingan pribadi mereka. Kita tunggu reaksi Prabowo dan PDIP. Semoga mereka dapat menerima semua gurauan ‘prank’ ini dengan lapang dada. Reaksi Sekjen Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto langsung bereaksi keras atas penyelenggaraan “Gerakan Nusantara Bersatu”, Sabtu, 26 Nopember 2022, di GBK tersebut. Hasto pribadi sangat menyesalkan adanya elit relawan yang dekat dengan kekuasaan, lalu memanfaatkan kebaikan Presiden sehingga menurunkan citra Presiden Jokowi. Akibatnya kehebatan kepemimpinan Presiden Jokowi di acara G20 di Bali yang membanggakan di dunia, dan rakyat Indonesia, lalu dikerdilkan hanya urusan gegap gempita di GBK. Menurut Hasto, kepemimpinan Presiden Jokowi yang sudah going global dan menjadi inspirasi dunia, direduksi dengan cara-cara yang tidak elegan. Sepertinya elit relawan tersebut mau mengambil segalanya, jika tidak dipenuhi keinginannya mereka mengancam akan membubarkan diri, tapi jika dipenuhi elit tersebut melakukan banyak manipulasi. “Banyak sekitar Presiden Jokowi yang kurang paham bahwa elit relawan tersebut kumpulan berbagai kepentingan,” ungkap Hasto. Padahal, lanjutnya, seharusnya menyangkut urusan bangsa dan negara, apalagi pemimpin ke depan merupakan persoalan bersama yang harus dijawab dengan jernih, penuh pertimbangan, dan harus menjawab jalan kejayaan bagi bangsa dan negara Indonesia. “Apa yang terjadi dengan acara Nusantara Bersatu, menjadi pelajaran politik yang sangat penting, terlebih di dalam cara mobilisasi tersebut, sampai harus dilakukan cara-cara menjanjikan sesuatu yang tidak sehat,” lanjutnya. PDIP menghimbau kepada ring satu Presiden Jokowi agar tidak bersikap asal bapak senang (ABS) dan benar-benar berjuang keras bahwa kepemimpinan Pak Jokowi yang kaya prestasi sudah on the track. “Bahkan prestasi Pak Jokowi itu untuk bangsa Indonesia dan dunia, bukan untuk kelompok kecil yang terus melakukan manuver kekuasaan,” tegasnya. (*)

Ketika Parpol Merampok Hak Demokrasi

Tentu akan lebih jahat lagi ketika partai politik itu dikuasai oleh kekuatan uang atau oligarki. Terjadilah kongkalikong kepentingan para elit politik dan keuangan yang maha kuasa. Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation, Putra Kajang Asli DALAM dunia demokrasi warga negara (citizen/people) menjadi rujukan kekuasaan. Tentu dalam spirit Islam, Tuhanlah sebagai penguasa masyarakat (people) yang menjadi rujukan tertinggi. Sehingga harapannya “the people” (masyarakat atau warga) dalam visi Islam harus sadar Tuhan. Hanya dengan demikan masyarakat dapat dikategorikan sebagai “Wakil Tuhan” di bumi. Tapi terlepas dari idealisme demokrasi yang berketuhanan (dengan spirit Islam) itu memang dalam konsep demokrasi masyarakatlah yang sesungguhnya menjadi rujukan kekuasaan. Istilah klasiknya: by the people and for the people (dari/oleh dan untuk masyarakat). Yang menjadi masalah memang, sebagaimana sistem perpolitikan yang lain, termasuk yang berbasis agama sekalipun, kerapkali sistem dipermaikan oleh ragam tendensi kepentingan oleh mereka yang punya kepentingan tertentu. Sehingga, idealisme demokrasi kerap dirampok dan terdegradasi ke titik terendah. Berbagai upaya dilakukan atau dimanipulasi untuk melemahkan nilai demokrasi. Dan lebih jahat lagi bahwa semua dilakukan juga atas nama demokrasi. Sehingga berbagai kejahatan dan manipulasi itu seolah “justified” (dibenarkan) secara konstitusional. Pada akhirnya melahirkan apa yang pernah saya sebut “constitutionalized crime” (kejahatan yang bisa dibenarkan secara hukum). Fakta ini mengingatkan saya tentang suatu hal yang Dr. Anies Baswedan sampaikan di acara KAHMI 3 hari lalu. Beliau menyampaikan bahwa kebijakan publik itu perlu etika dan inovasi. Karena tanpa etika akan ada kebijakan-kebijakan publik yang mungkin saja secara hukum benar. Tapi secara etika dan moral menginjak-nginjak kebenaran dan hati nurani. Partai Politik dan Demokrasi Partai-partai politik dalam tatanan demokrasi sesungguhnya sekedar menjadi jembatan bagi ekspresi kedaulatan pemangku kekuasaan tertinggi (rakyat). Karenanya di negara-negara maju, Amerika misalnya, petinggi-petinggi partai politik tidak memiliki peranan yang menentukan. Hampir Chairperson (ketua) dari dua partai besar Amerika (Demokrat dan Republican) tidak dikenal. Hal ini sangat berbeda dengan banyak negara, termasuk Indonesia. Di mana partai-partai politik, bahkan petinggi-petinggi partailah yang lebih dominan dalam menentukan arah perjalanan demokrasi dan kebijakan publik. Akibatnya petinggi negara yang terpilih harus rela menjadi “pekerja politik” yang tidak jarang terkungkung oleh arah kemauan “bos” partai pengusung. Salah satu dilemma terbesar perpolitikan dan demokrasi di Indonesia adalah persyaratan seorang calon posisi publik, baik di eksekutif maupun di legislatif, yang secara dominan ditentukan oleh partai politik. Terlebih lagi posisi publik eksekutif, dari Kepala daerah hingga ke Kepala negara, juga ditentukan oleh partai politik. Bahkan lebih masalah lagi ketika pencalonan itu dengan persyaratan yang berat, minimal 20% dukungan suara dari partai politik. Di Amerika Serikat penyaringan calon dari masing-masing partai, waktu secara internal partai ada persyaratan-persyaratan untuk maju, tapi pada akhirnya ketentuan itu ada di tangan pemilih (rakyat). Sehingga proses pemilihan calon dari partai melibatkan pilihan rakyat. Bahkan jika calon tidak lolos dalam pemilihan (seleksi) pencalonan, yang bersangkutan sah saja maju sebagai calon independen jika memiliki dukungan (dalam bentuk petisi) dari masyarakat. Saya hanya ingin mengatakan bahwa idealisme demokrasi seringkali terculik oleh berbagai kepentingan. Salah satunya adalah kepentingan partai-partai politik. Seolah hak setiap warga negara terbatasi bahkan teramputasi oleh kepentingan partai politik. Hak untuk maju sebagai calon. Dan juga hak untuk menentukan siapa calon yang diinginkan oleh rakyat. Tentu akan lebih jahat lagi ketika partai politik itu dikuasai oleh kekuatan uang atau oligarki. Terjadilah kongkalikong kepentingan para elit politik dan keuangan yang maha kuasa. Penentuan calon, baik itu di legislatif maupun di eksekutif, bahkan yudikatif, ditentukan oleh kolaborasi kepentingan partai dan kepentingan uang (oligarki). Jika ini terjadi maka negara dan rakyat pada akhirnya hanya akan menjadi “slaves” (budak) kekuasaan yang tidak pernah berujung kepada harapan panjang mereka. Yaitu terujudnya “baldatun thoyyibatun wa Rabbun Ghafur”. Atau seperti yang dijanjikan oleh negara melalui pesan Pancasilanya, yaitu: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kapankah perubahan itu akan terjadi? Entah! Ci-Makassar, 28 Nopember 2022. (*)