ALL CATEGORY
Menemukan Titik Tengah Pilpres 2024, “Say Good Bye To Oligarchie”
Idealisme di dalam mengusung perubahan adalah suatu keharusan, tapi kalau dengan idealisme yang ada ternyata menimbulkan banyak korban di antara rakyat, maka jalan tengah menjadi pilihan. Oleh: Isa Ansori, Kolumnis PILPRES adalah sebuah peristiwa konstitusi yang sudah diatur dalam UUD 1945, dilaksanakan selama 5 tahun sekali dan masa jabatan dibatasi selama dua periode. Sesuai dengan ketentuan Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, Anggota DPD, dan anggota DPRD diselenggarakan berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Pasal 7. Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali, diubah menjadi Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Setidaknya bila merujuk pada UUD 1945, Pilpres adalah sebuah arena kontitusi untuk mewujudkan demokrasi yang bermartabat. Tidak boleh ada kecurangan atau memanipulasi aturan untuk kepentingan kekuasaan dan kepentingan golongan apalagi kepentingan pribadi. Pilpres adalah arena memilih pemimpin yang berintegritas yang bertugas melayani dan menjalankan amanah kontitusi sebagaimana tertuang didalam Pembukaan UUD 1945, mencerdaskan, mendamaikan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keterlibatan pihak-pihak lain yang selama ini memanipulasi kepentingan rakyat dan ternyata hanyalah kepentingan diri sendiri dan kelompoknya mesti harus dikurangi atau dihabisi, sehingga dibutuhkan keberanian untuk mengatakan selamat tinggal pada para oligarki, “Say Good Bye To Oligarchie”. Oligarki selama masa pemerintahan Joko Widodo mendapatkan perlakuan yang sangat istimewa, sehingga mereka acapkali melakukan upaya-upaya manipulasi suara rakyat, sabotase konstitusi atas nama lembaga survey dan opini para pakar tukang dengan satu tujuan agar kekuasaan tetap berpihak pada keserakahan yang selama ini dilakukan. Setidaknya ada dua jalan yang dilakukan dalam rangka memotong pengaruh oligarki, pertama rakyat yang mengusung isu perubahan bergotong-royong untuk menjalankan agenda perubahan yang sudah disusun. Rakyat bisa bergotong-royong menyumbang tema perubahan yang sedang berjalan ini. Tentu saja dalam menjalankan agenda ini dibutuhkan sosok yang bisa dipercaya. Anies Baswedan adalah satu-satunya bakal Capres 2024 yang mengusung agenda perubahan dan keberlanjutan, “Change and Continuity”. Apalagi Anies seringkali dianggap sebagai antitesa atau bahkan sintesa dari kepemimpinan Jokowi. Anies Baswedan sangat diuntungkan dengan harapan perubahan yang diinginkan rakyat. Dana sangat dibutuhkan, karena selama ini, para Oligarki dan penguasa kotor menjalankan agenda busuknya dengan memanipulasi suara rakyat. Untuk itu setidaknya dibutuhkan energi besar untuk mengawal suara rakyat dan mencegah terjadinya cara-cara manipulatif yang dilakukan. Yang kedua adalah dengan melakukan kompromi yang dibenarkan dalam konstitusi. Pilihannya adalah mencari dampak negatif yang paling kecil. Dampak negatif yang dimaksudkan adalah perubahan tetap harus terjadi tapi jangan sampai mengorbankan rakyat. Yang bisa dilakukan dalam konteks transisi kekuasaan adalah adanya jaminan keselamatan bagi para penguasa terdahulu dan tentu saja terjaminnya agenda-agenda pembangunan yang sudah dan sedang berjalan. Lalu siapa mereka para capres yang termasuk diantara kelompok ini. Jokowi secara terbuka sudah memberi sinyal bahwa mereka yang termasuk dalam kelompok ini adalah Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto. Ada juga para capres yang tidak harus mematok sebagai capres, di sana ada Erick Thohir, Sandiaga Uno, ada juga nama lain seperti Panglima TNI Andika Perkasa. Dari partai politik pemenang pemilu 2019, PDIP ada nama Puan Maharani, ada nama Airlangga Hartarto dan ada juga nama Gubernur Jawa Timur, Khofifah. Sebagai seorang presiden, Jokowi tentunya sangat berharap di akhir masa kepemimpinannya, dia bisa meletakkan pondasi menuju Indonesia emas, sehingga sikap negarawan Jokowi sangat diharapkan. Jokowi tidak lagi sibuk “berkampanye” untuk dirinya dan calon-calon tertentu, Jokowi cukup menjadi guru bangsa yang bisa mengawal proses transisi ini dengan baik tanpa percikan darah. Menemukan titik tengah dua kutup yang ada, perubahan dan menjamin keberlangsungan pembangunan yang sedang berjalan ini menjadi sesuatu yang harus layak untuk dipertimbangkan. Idealisme di dalam mengusung perubahan adalah suatu keharusan, tapi kalau dengan idealisme yang ada ternyata menimbulkan banyak korban di antara rakyat, maka jalan tengah menjadi pilihan. Jalan tengah seperti apa yang diharapkan? Dalam hemat penulis, dengan menyandingkan kepentingan perubahan dan keberlangsungan yang sedang dijalankan bisa diwakili oleh Anies dan dari kelompok Istana adalah mereka yang relatif bisa meredam kerakusan para oligar. Pasangan Anies dan pilihan Istana yang dianggap bisa meredam keserakahan oligar, pasangan itu bisa dielaborasi seperti Anies - Ganjar Pranowo, Anies Prabowo, Anies - Sandiaga Uno, Anies - Erick Thohir, Anies - Andika Perkasa, Anies - Airlangga Hartarto atau mungkin juga Anies - Khofifah. Mengapa Anies harus presidennya? Anies mampu membuktikan bahwa dirinya ketika memimpin Jakarta, mampu menahan kerakusan oligarki dan mewujudkan keadilan sosial bagi warga Jakarta, sehingga dengan Anies menjadi presiden, ambisi rakus oligarki bisa ditahan dan dikendalikan. Rekam jejak Anies terhadap oligarki sangat jelas. Wapres bisa dipilih diantara nama-nama mereka yang dapat dukungan Istana atau dari partai pemenang pemilu 2019. Hal tersebut merupakan bagian untuk menjamin bahwa program-program pembangunan yang sedang berjalan masih bisa dilanjutkan, kecuali kalau memang pembangunan yang sedang berlangsung dirasa salah jalan, maka harus dilakukan upaya-upaya perbaikan dan perubahan. Rakyat dipersilahkan menimang-nimang, sehingga demokrasi kita bisa selamat, rakyat tidak menjadi korban dan partai politik akan menjadi saluran sehat aspirasi rakyat. Surabaya, 15 Desember 2022. (*)
Empat Belas (14) Tahun Disusupkan Jadi Wartawan, Polisi Rusak Kepercayaan Publik ke Media
Jakarta, FNN - Seperti sudah diberitakan sebelumnya bahwa masyarakat dibuat terkejut dengan pelantikan seorang wartwan, tepatnya kontributor TVRI, menjadi Kapolsek. Peristiwa yang terjadi di Blora, Jawa Tengah, yang sempat viral itu, sampai sekarang masih berlanjut. Belakangan, ternyata diketahui dan diakui bahwa dia memang sebenarnya wartawan yang diberi tugas penyamaran. Yang menjadi persoalan, penyamarannya sangat serius. Hal itu ditandai dengan punya kartu PWI dan tercatat sebagai wartawan madya dan selama ini dia menjalankan profesi sebagai jurnalistik. Akibatnya, banyak orang bertanya-tanya, karena bagaimanapun ini merupakan dua hal yang berbeda. Jurnalisme identik dengan kebebasan dan perlu kemerdekaan, yang merupakan bagian dari demokrasi independensi media. Jika ternyata media sudah disusupi oleh para anggota kepolisian, orang pasti akan bertanya-tanya, jangan-jangan peristiwa di Blora ini yang baru terbuka. Mungkin di daerah lain juga banyak polisi yang menyamar sebagai wartawan. Kanal Youtube Rocky Gerung Official edisi Kamis (15/12/22) membahas hal tersebut bersama Rocky Gerung dengan dipandu oleh Hersubeno Arief, wartawan senior FNN. “Di negara otoriter, semua wartawan itu adalah intel sebetulnya. Jadi, kalau di sini ada satu, orang anggap jadi etika demokrasi kok nggak berlaku ya,” ujar Rocky Gerung mengomentari peristiwa tersebut. Pada zaman Jepang, menurut Rocky, tukang rokok di pojok-pojok Menteng adalah intel. Bahkan, di daerah-daerah jika tiba-tiba misalnya ada orang Jepang jualan kelontong, di Sulawesi Selatan, misalnya, ternyata itu adalah persiapan Jepang untuk masuk ke Indonesia. “Jadi, hal-hal itu tidak etis sebetulnya. Walaupun itu keahlian intelijen, tapi kita negara demokratis. Kenapa mesti disusupkan di situ? Apa enggak percaya pada pers? Itu artinya negara tidak percaya pada institusi yang akan mengawasi dia, yaitu pers, dengan memasukkan seorang intel,” tambah Rocky. Sekarang kita sudah berada di era reformasi. Kita tidak lagi berada dalam otoriterian seperti di zaman Soeharto di mana pemerintahan dikendalikan oleh militer supaya stabil. Jadi, buat apa mengikuti pola yang sama, meskipun dalam skala yang mungkin kecil. “Seharusnya, kalau dia intelijen, mestinya seterusnya jadi intelijen saja. Jangan tiba-tiba pindah lalu orang kaget,” tegas Rocky. Menurut Rocky, hal itu akan memungkinkan orang saling curiga. Mungkin sekarang para wartawan juga curiga jangan-jangan Pemimpin Redaksinya adalah intel sehingga timbul ketidakpercayaan pada institusi negara. Mungkin juga di lembaga-lembaga lain dimasuki intel, di Perguruan Tinggi, misalnya. Jadi, tida ada kepercayaan pada kemerdekaan institusi untuk mengatur dirinya sendiri. Apalagi pers. “Pers itu harus mengatur dirinya sendiri, bukan diintai dan diintip. Itu konsekuensi etisnya,“ kata Rocky. Yang juga menjadi pertanyaan publik sekarang adalah selama 14 tahun menggunakan cover itu, wartawan ini melakukan tugas intelijen lain atau justru untuk memata-matai wartawan yang lain? “Ya, itu selama era reformasi kok ada institusi ekstranegara ada di situ. Kalau institusi negara jelas itu intelijen. Tapi, kalau dia masuk ke wilayah demokrasi, itu artinya dia disusupkan di situ. Jadi ekstra power ada pada dia,” jawab Rocky. Menutut Rocky, perintahnya pasti Anda jadi wartawan, tapi sekaligus melaporkan apa yang ada di meja redaksi atau berupaya untuk mendekati narasumber dan pengaruhi cara berpikirnya. “Jadi, pengendalian opini publik juga akan terjadi kalau aparat intelijen beroperasi di wilayah yang terbuka,” tegas Rocky. Jurnalisme kita adalah jurnalisme terbuka, sementara intelijen beroperasi di wilayah tertutup. Walaupun prinsipnya sama, yaitu mengumpulkan keterangan, tapi jurnalisme melakukannya secara terbuka dan diatur oleh undang-undang. Dalam undang-undang tugas jurnalisme tidak boleh dilakukan oleh seseorang yang punya profesi lain, apalagi profeksi alat keamanan negara. “Jadi kita mau dengar apa nanti keterangan dari pihak kepolisian sebetulnya. Kepentingan apa seseorang disusupkan ke dalam institusi pers dan kepentingan apa yang akhirnya seolah-olah dibocorkan bahwa dia adalah intel,” tanya Rocky. (ida)
Designed to Fail
Bahkan di AS negeri exportir-nya sendiri, demokrasi itu sedang sekarat oleh Trumpism. Demokrasi ala Uni Eropa justru menjerumuskan kawasan itu untuk berkonflik dengan tetangga dekatnya sendiri, yaitu Rusia. Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya, @Rosyid College of Arts SETELAH hiruk-pikuk pencapresan Anies Baswedan oleh Nasdem, penundaan deklarasinya bersama PKS, dan Demokrat bagi pencapresan Anies, disusul keributan soal perpanjangan jabatan Presiden Joko Widodo, lalu perhelatan pernikahan Kaesang Pangarep dengan Kabinet sebagai wedding organizer-nya, kemudian dugaan maladministrasi KPU dalam verifikasi parpol peserta Pemilu 2024, maka kini apa yang tersisa dari polity as public goods bagi Republik ini? Sekarang para elit parpol dengan mudah bermain-main dengan konstitusi, sementara angka stunting meningkat, ketimpangan spasial konsisten, kepolisian dirundung berbagai skandal tanpa penyelesaian yang jelas, dan pembunuhan warga sipil dan tentara oleh OPM kembali marak di Papua? Sesungguhnya setelah penggantian UUD 1945 dengan UUD 2002, deformasi kehidupan berbangsa dan bernegara yang makin menjauh dari amanat para pendiri bangsa sudah makin jelas bagi mereka yang jeli, peka dan terlatih. Jika UUD 1945 adalah pernyataan kehendak bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, maka kehendak itu kini makin surut karena dikalahkan oleh perang asimetris yang massif dilancarkan oleh kekuatan-kekuatan asing nekolimik yang bersekongkol dengan para kaki tangan domestiknya. Syarat-syarat budaya bagi bangsa yang merdeka itu tidak pernah berhasil wujud menjadi kenyataan. Slogan “Merdeka Belajar Kampus Merdeka” setelah 77 tahun proklamasi merupakan bukti mutakhir bahwa sesungguhnya bangsa ini baru sadar untuk belajar merdeka sekarang. Perang asimetris tersebut dilakukan melalui 3 medan pertempuran. Medan pertempuran pertama terjadi di sektor keuangan segera setelah proklamasi melalui hutang ribawi yang disodorkan IMF. Medan tempur kedua terjadi sejak Orde Baru melalui penarikan besar-besaran warga muda ke dalam sistem persekolahan massal paksa untuk menyiapkan tenaga kerja murah demi kepentingan investor asing. Battle front ketiga terjadi sejak Reformasi melalui penggusuran MPR sebagai lembaga tertinggi negara musyawarah oleh partai politik melalui Pemilu langsung one-man one-vote dalam rekrutmen eksekutif. Dengan parpol memonopoli politik secara radikal, aristektur legal politik dirancang untuk mengkonsentrasikan kekuasan ke segelintir elit parpol, sementara Pemilunya makin kompleks, dan makin mahal yang hanya diselenggarakan dan bisa diikuti oleh para bandit, bandar dan badut politik. Perlu diingat bahwa Pemilu yang jujur dan adil hanya mungkin dilaksanakan oleh bangsa yang merdeka, bukan bangsa yang bermental jongos yang mudah diintimidasi oleh politik uang, BLT dan bagi-bagi sembako menjelang Pemilu dan hidup dari hutang. Bangsa yang merdeka itu adalah hasil-hasil kerja pendidikan politik. Namun segera kita catat bahwa partai politik tidak pernah melakukan pendidikan politik, bahkan partai-partai politik hanya bisa hidup dari political illiteracy dan penjongosan politik konstituen mereka. Berbicara politik di sekolah, kampus, tempat-tempat ibadah, dan di hampir semua tempat lainnya dianggap tidak santun, kotor, dan menjijikkan. Agama dan banyak hal lain yang penting dalam kehidupan harus harus dipisahkan dari politik, bahkan ormas-ormas besar merasa risi, gamang dan takut berbicara politik. PAN yang semula diharapkan menjadi sayap politik Muhammadiyah kini tidak jelas afiliasinya. Kini dengan KUHP yang baru, pandangan kritis masyarakat bahkan mudah dikriminalisasikan. Seperti raja, the government can do no wrong. Prinsip-prinsip musyawarah oleh hikmah kebijaksanaan melalui MPR yang telah digusur oleh sistem demokrasi liberal ala Barat telah membuat Republik ini kehilangan akal sehat dan kemampuannya untuk beradaptasi secara cepat dan tangkas sehingga menjerumuskan bangsa ini ke tepi jurang failed state. Bahkan di AS negeri exportir-nya sendiri, demokrasi itu sedang sekarat oleh Trumpism. Demokrasi ala Uni Eropa justru menjerumuskan kawasan itu untuk berkonflik dengan tetangga dekatnya sendiri, yaitu Rusia. Bahkan setelah tembok Berlin runtuh, pembesaran dan perluasan NATO memberi indikasi jelas bahwa Barat bersikeras mempertahankan dominasi eksploitatifnya atas bangsa-bangsa lain yang berbeda sikap dan pandangan hidupnya. Hutang ribawi, pendunguan massal melalui monopoli persekolahan, dan pemberhalaan demokrasi Barat are designed to fail negara dan bangsa manapun di planet ini. Untuk menghentikannya kita perlu segera membebaskan kehidupan dari hutang ribawi, merekonstruksi Sisdiknas sebagai platform untuk belajar merdeka, dan mengembalikan politik negara musyawarah dari monopoli partai-partai politik. Gunung Anyar, Surabaya,15 Desember 2022. (*)
Parmusi Ingatkan Hakim Junjung Nurani dan Keadilan
Jakarta, FNN – Pengurus Pusat Persaudaraan Muslim Indonesia (PP Parmusi) pada butir pernyataan sikapnya di Jakarta, Rabu (13/12-2022), antara lain menyebutkan bahwa Parmusi begitu menghormati proses peradilan yang tengah dijalani untuk menuntaskan dugaan kasus yang dialami Ustadz Farid Akhmad Okbah, Ustadz Annajah dan Ustadz Anung Al-Hamat yang kini didakwa terlibat dugaan kasus terorisme dan radikalisme. Untuk itu PP Parmusi mengharapkan agar Ketua Majelis Hakim bisa memberikan ruang keadilan bagi ketiga pendakwah Islam itu. Selain itu diharapkan Ketua Majelis Hakim bisa memberikan putusan yang benar-benar tidak melukai hati para ulama dan umat Islam. PP Parmusi juga berharap para hakim agar memvonis bebas terhadap Ustadz Farid Ahmad Okbah, Ustadz Zain Annajah dan Ustadz Hanung Al-Hamat yang ternyata selama proses persidangan tidak ditemukan bukti kuat ketiganya ada terorisme. Menurut Ketua Umum PP Parmusi Usamah Hisyam, Ustadz Farid Ahmad Okbah sama sekali bukanlah terorisme ataupun kelompok radikalisme, seperti yang dituduhkan selama ini. Menurut Usamah Hisyam, pada kasus kriminalisasi terhadap ulama, Parmusi jika putusan Ketua Majelis Hakim tidak adil tentu akan berdampak buruk terhadap pemerintahan Jokowi. “Seandainya besok majelis hakim akan mengambil putusan yang tidak berkeadilan maka dampaknya adalah terhadap pemerintahan Jokowi seakan-akan pemerintahan Joko Widodo ini memang anti Islam, oleh karena itu harus benar-benar dipikirkan oleh majelis hakim yang kami yakin majelis hakim mempunyai nurani untuk bertindak seadil-adilnya,” harap Usamah Hisyam. Sedangkan menyikapi masih terus maraknya kasus kriminalisasi terhadap para ulama di tanah air termasuk kasus Ustadz Farid Ahmad Okbah, Profesor Husnain Bey Fanannie dari Universitas Al-Azhar Indonesia menyatakan bahwa perilaku itu adalah bagian dari Islamophobia yang sudah lama ditinggalkan internasional. Husnain juga heran kok aparat di negeri ini begitu mudah mengkriminalisasi para ulama. Menurutnya, membenci ulama itu adalah juga berarti membenci Islam. “Padahal para Ulama itu tugasnya sekedar berdakwah memintarkan dan mencerdaskan umat yang semua itu memang dianjurkan dalam Islam, sebab tanpa dakwah Islam akan mati dan tidak syiar,” tegas Husnain. Ustadz Farid Ahmad Okbah, Ustadz Zain Annajah dan ustadz Anung Al-Hamat ditangkap Densus 88 pada 16 November 2021 usai sholat subuh tanpa diketahui dari siapa atau kelompok mana yang melakukan penangkapan itu. (BS)
Tidak Terlaksananya Raker Dengan Kemendag Dipertanyakan Komisi VI DPR
Jakarta, FNN - Anggota Komisi VI DPR Deddy Yevri Sitorus mempertanyakan tidak terlaksananya rapat kerja (raker) dengan Kementerian Perdagangan yang seharusnya digelar di Jakarta, Rabu (14/12).Deddy mengingatkan bahwa Kamis sudah diagendakan rapat paripurna penutupan masa sidang, sedangkan belum ada kejelasan tentang penyerapan anggaran serta kesiapan barang menjelang libur Natal 2022 dan Tahun Baru 2023.\"Kamis sudah penutupan masa sidang, tapi rapat terakhir ditunda tanpa kejelasan dari Kementerian Perdagangan,\" kata Deddy dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis.Menurut Deddy, dua kali rapat yang sudah diagendakan dalam kurun waktu satu bulan ini dibatalkan tanpa kejelasan dari Kemendag.\"Sebagai Anggota DPR, saya terus terang merasa tersinggung oleh arogansi Menteri Perdagangan (Zulkifli Hasan),\" tegasnya.Selama pemerintahan Presiden Joko Widodo, lanjut Deddy, baru kali ini ada mendag yang berperilaku tidak kooperatif dan cenderung arogan. Selama ini, katanya, tidak pernah ada masalah dalam komunikasi atau kerja sama antara Komisi VI dengan mendag.\"Yang ini beda. Seharusnya, sebagai orang politik dan mantan legislator, Zulkifli Hasan paham tugas konstitusional dan pentingnya kemitraan yang saling menghormati satu sama lain,\" katanya.Sebagai agenda penutup tahun dan memasuki libur Natal 2022 dan Tahun Baru 2023, Komisi VI DPR RI menggelar raker untuk mengevaluasi penyerapan anggaran serta kesiapan komoditas pangan dan bahan penting lainnya.Artinya, kata Deddy, saat ini krusial, di mana Komisi VI ingin memastikan bahwa anggaran terserap dan Pemerintah telah siap dalam hal ketersediaan serta pengendalian harga barang pokok.\"Akan tetapi, kali ini Komisi VI tidak bisa melaksanakan kedua agenda penting tersebut karena sikap menteri perdagangan yang cenderung memutus komunikasi dan secara sepihak membatalkan rapat,\" tambahnya.Oleh karena itu, Deddy meminta Presiden Jokowi mengingatkan para menteri yang tidak melaksanakan kewajiban dengan sungguh-sungguh dan tidak berniat baik. Deddy menduga Zulkifli Hasan sengaja menghindar dari Komisi VI DPR RI agar leluasa menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan politiknya sendiri.\"Hal itu sudah terbukti dari blunder program penyaluran minyak goreng Pemerintah, yang dijadikan arena kampanye dan hanya disalurkan melalui jalur politik sang menteri. Saya berharap agar presiden mengingatkan menteri perdagangan tentang pentingnya hubungan harmonis antara kementerian dengan mitranya di DPR,\" ujar Deddy.(ida/ANTARA)
Bom Bunuh Diri Merupakan Kekufuran
Jakarta, FNN - Imam Besar Masjid Al-Markaz Al-Islami Makassar, Sulawesi Selatan, Muammar Muhammad Bakry mengatakan aksi bom bunuh diri merupakan tindakan kufur serta tidak sesuai dengan prinsip dan ajaran Islam.Dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis, Bakry mengatakan hal itu untuk menanggapi peristiwa bom bunuh diri di Polsek Astanaanyar, Bandung, Jawa Barat, beberwa waktu lalu.\"Pada prinsipnya, Islam melarang keras apa pun alasannya itu melakukan tindakan bom bunuh diri; dan dalam beberapa referensi, bahwa orang yang melakukan bom bunuh diri itu adalah kegiatan kekufuran. Jadi, matinya mati kafir,\" kata Bakry melalui rilis dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.Dia menjelaskan tidak ada pembenaran atas aksi teror, bahkan dalam situasi perang sekalipun. Nabi Muhammad Saw pun, lanjutnya, juga melarang bom bunuh diri. Selain itu, Indonesia juga merupakan negara dengan kondisi aman, bukan Darul Harb atau negara musuh, seperti yang dianggap oleh kelompok radikal.\"Dalam situasi perang pun Islam, Nabi (Muhammad) Saw melarang melakukan bom bunuh diri itu sendiri, apalagi kondisi negara aman. Negara kita ini bukan Darul Harb, Indonesia itu bukan Darul Harb,\" tambahnya.Pemimpin Pondok Pesantren Multidimensi Al-Fakhriyah itu menambahkan pemaknaan jihad, kafir, dan tagut yang salah serta mentah kerap menjadi bekal bagi oknum tertentu untuk melakukan aksi teror. Bahkan, Bakry menilai, kekeliruan penafsiran makna tersebut adalah pembajakan terhadap agama.\"Istilah-istilah itu yang sering disalahpahami oleh kelompok tertentu. Bahkan, biasanya tema-tema seperti ini mereka itu ya boleh dikatakan membajak Islam ya. Jadi, memaknai keliru arti jihad itu sendiri,\" kata Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sulawesi Selatan itu.Jika merujuk pada Al Quran maupun hadis, menurutnya, maka jihad merupakan suatu kegiatan suci yang objek, sasaran, dan niatnya jelas.\"Sementara yang melakukan tindakan bom bunuh diri ini sama sekali tidak jelas musuhnya, targetnya juga tidak jelas, dan visinya tentu sudah sangat berbeda jauh dengan nilai-nilai jihad,\" kata Bakry.Sebagaimana terorisme yang merupakan kejahatan luar biasa, maka sudah menjadi tanggung jawab bersama dari seluruh pihak untuk merangkul dan menyadarkan kembali anak bangsa yang terjerat virus ideologi radikal dan terorisme tersebut.\"Saudara kita ini, yang mengaku Islam, mengaku orang Indonesia, tapi kemudian terdoktrin oleh guru yang keliru, oleh bacaan dan referensi yang keliru; maka saya kira memang bisa dikatakan korban. Perlu kita bantu mereka supaya keluar dari paham radikal seperti itu, dengan men-derad (deradikalisasi) mereka,\" jelasnya.Selain itu, kerja sama seluruh komponen bangsa, termasuk Pemerintah dan para tokoh, guna mencegah paham itu kian masuk ke tengah masyarakat. Seharusnya, hal itu dilakukan secara simultan secara bottom-up dan top-down.\"Top Down itu kita maksimalkan peran Pemerintah. Jadi, pihak penguasa ini saya kira memang saatnya untuk melihat kembali. Misalnya, situs-situs media sosial lainnya yang menjadi propaganda,\" kata Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar itu.Pelibatan terhadap masyarakat dan pelibatan tokoh agama juga perlu untuk mengisi konten-konten moderat dan keislaman yang rahmatan lil alamin.(ida/ANTARA)
Nomor Urut Partai Bagian dari Pertarungan Simbol Politik
Jakarta, FNN - Analis komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting mengungkapkan ajang penentuan nomor urut partai politik (parpol) menghadapi pemilu 2024 menjadi tanda dimulainya pertarungan simbol politik. “Penggunaan simbol politik merupakan strategi komunikasi politik menghadapi pertarungan politik untuk menarik minat calon pemilih partai politik,” kata Selamat Ginting di Kampus Unas, Jakarta, Kamis (15/12/2022). Ia menanggapi pertanyaan wartawan terkait keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menetapkan nomor urut 17 parpol peserta Pemilu 2024. Sebanyak delapan parpol parlemen memilih menggunakan nomor urut lama pada Pemilu 2019 lalu. Sedangkan sembilan parpol mendapatkan nomor urut baru lewat pengundian nomor urut parpol peserta pemilu yang digelar KPU, Rabu (14/12/2022). Menurut Selamat Ginting, pertarungan simbol politik, baik melalui nomor urut, tagline dan tanda gambar menjadi senjata politik sekaligus sebagai pembeda antara satu parpol dengan parpol lainnya. Parpol akan membangun deferensiasi politik dengan kelompok calon pemilih melalui komunikasi politik. Nomor urut, tanda gambar, tagline untuk memudahkan komunikasi politik dan mengidentifikasi bagian dari pendukung parpol,” ujar Ginting, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas. Selain itu, lanjutnya, pertarungan simbol politik merupakan bagian dari membangun citra politik untuk menanamkan ideologi parpol, sehingga dapat menampilkan stigma politik yang positif. Selanjutnya akan terjadi pertarungan komunikasi verbal melalui bahasa tubuh aktor politik, seperti tanda jari, yel-yel, maupun sikap tubuh menandakan identitas politik calon pemilih. Dikemukakan, model pertarungan komunikasi politik yang dilakukan komunikator politik untuk mencapai tujuan politiknya akan dilakukan dengan retorika politik untuk mempengaruhi publik calon pemilih. Termasuk dengan cara agitasi politik melalui gerakan politik, baik lisan maupun tulisan untuk membangkitkan emosi publik calon pemilih. Kita akan lihat dalam waktu dekat akan muncul para agitator politik yang menggerakkan para calon pemilih untuk mendukung parpolnya. Jadi situasi politik sudah mulai memanas setelah KPU menetapkan nomor urut parpol peserta pemilu 2024,” ungkap Ginting yang lama menjadi wartawan liputan politik. Selain para agitator politik, kata dia, akan muncul pula para propagandis politik yang melakukan propaganda yang akan melakukan sugesti kepada publik untuk menerima pandangan atau nilai-nilai politik yang dikampanyekan parpol. Para propagandis akan mengklaim parpolnya yang terbaik dibandingkan parpol lainnya. (sws)
Partai Gelora Siap Beri Kejutan di Pemilu 2024 Seperti Maroko di Piala Dunia 2022
Jakarta, FNN - Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI secara resmi telah menetapkan 17 partai politik (parpol) menjadi peserta Pemilu 2024, selain enam partai lokal di Aceh. Dari ke-17 parpol tersebut, Partai Gelora menjadi salah satu kontestannya dengan nomor urut 7. Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta berharap penyelenggaraan Pemilu 2024 tetap digelar sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan sebelumnya, yakni pada 14 Februari 2024. \"Saya ingin menyampaikan pesan kepada teman-teman di KPU khususnya, mudah-mudahan jadwal Pemilu berjalan sesuai yang telah ditetapkan sebelumnya,\" kata Anis Matta dalam sambutannya usai pengundian dan penetapan nomor urut partai politik peserta Pemilu 2024 di Jakarta, Rabu (14/12/2022) malam. Menurut Anis Matta, hal ini penting agar seluruh tahapan proses demokrasi kita tidak ada penundaan, dan penyelenggaraan Pemilu 2024 berjalan sesuai jadwal. \"Penyelenggara Pemilu bersama peserta Pemilu ini, adalah garda demokrasi di Indonesia. Kalau di Iran ada Garda Revolusi, sementara kalau di Indonesia, kitalah yang disini dianggap sebagai Garda Demokrasi,\" katanya. Karena itu, Anis Matta menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada KPU RI, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI dan Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP) RI yang telah bekerja keras menyelenggarakan Pemilu 2024. \"Saya menyampaikan penghargaan setinggi-tinginya dan teman-temen di KPU, Bawaslu dan DKPP yang telah bekerja keras menyelenggarakan seluruh proses menuju Pemilu 2024. Dan sekarang kita sudah sampai pada tahapan penetapan nomor urut,\" ujarnya. Dalam kesempatan ini, Anis Matta tak lupa menyampaikan ucapan selamat kepada seluruh parpol yang telah ditetapkan sebagai Pemilu 2024, baik partai nasional maupun partai lokal Aceh. \"Tapi secara khusus, saya ingin menyampaikan terima kasih kepada seluruh kader Partai Gelora yang telah bekerja keras, sehingga Partai Gelora bisa lolos menjadi peserta Pemilu 2024,\" tegas Anis Matta. Anis Matta mengajak para kadernya meneladani semangat timnas sepak bola Maroko yang telah mencapai semifinal Piala Dunia 2022. Padahal Maroko dianggap sebagai tim kecil dan pendatang baru, tetapi dapat memberikan kejutan di Piala Dunia 2022. \"Belajarlah dari Maroko, bagaimana menjadi petarung walaupun sebelumnya dianggap sebagai under dog. Karena posisi Partai Gelora, di sini sama seperti Maroko,\" ujar Ketua Umum Partai Gelora ini. Dalam pengundian ini, Partai Gelora mendapatkan nomor urut 7 untuk Pemilu 2024. Pengundian ini didahului dengan pengambilan nomor urut yang dilakukan oleh Sekretaris Jenderal Mahfuz Sidik. Partai Gelora lantas mendapatkan nomor urut pertama. Wakil Ketua Umum Fahri Hamzah didampingi Anis Matta kemudian mengambil nomor undian pertama parpol yang mengikuti mekanisme pengundian. \"Alhamdulilah Gelora nomor 7,\" ucap Anis Matta. Kendati begitu Anis Matta mengusulkan agar pada Pemilu selanjutnya, tidak lagi menggunakan nomor urut. Parpol, lanjutnya, tidak perlu lagi meributkan soal nomor urut, tetapi harus mengedepankan narasi atau gagasannya kepada rakyat. \"Nomor urut sebenarnya tidak perlu, partai politik harus mengedepankan narasi, bukan mencari-cari alasan untuk mempertahankan nomor urut. Untuk Pemilu selanjutnya, sebaiknya nomor urut dihilangkan saja,\" katanya.\' Diketahui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pemilu memperbolehkan parpol memilih antara melakukan pengundian atau memakai nomor urut sesuai Pemilu 2019. Sementara non parlemen dan parpol baru tetap mengikuti mekanisme pengundian yang telah ditetapkan. Dalam pengundian peserta Pemilu 2024 ini, selain dihadiri Anis Matta, Fahri Hamzah dan Mahfuz Sidik, juga dihadiri Bendahara Umum Partai Gelora Achmad Rilyadi, Ketua Bappilu Rico Marbun, Ketua Bidang Perempuan Ratih Sanggarwati, Wakil Sekjen Dedi Miing Gumelar, serta Liaison officer (LO) Partai Gelora Ratu Ratna Damayani dan Sutriyono. Saat pengundian ini juga digelar nonton bareng (nobar) yang diikuti seluruh DPW, DPD dan kader Partai Gelora seluruh Indonesia. Acara nobar prosesi pengundian nomor urut ini dipandu Ketua Bidang Kebijakan Publik Achmad Nur Hidayat didampingi Ketua Pokja Verifikasi Partai Gelora Achmad Chudori dari studio Gelora Media Centre di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan. (sws)
Anies Didukung Rakyat, Anies Dibendung Aparat
Upaya menjegal Anies sebagai presiden, berbanding lurus dengan upaya rezim kekuasaan menyiapkan presiden 3 periode atau perpanjangan jabatan dan bahkan penundaan pemilu 2024. Semakin Anies didukung rakyat, semakin kejahatan dan teroris konstitusi menguat. Tinggal rakyat memilih, mengikuti mekanisme konstitusional atau people power? Oleh Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI SAAT demokrasi terus dibungkam dan upaya penegakan hukum semakin lemah, maka negara hanya akan mempertontonkan perilaku kekuasaan yang menindas rakyat. Tak sekadar merampas hak ekonomi dan politik, rezim juga memperlakukan kehidupan rakyat tak ubahnya seperti korban perbudakan di zaman modern. Tak ada lagi nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan. Rakyat bagaikan populasi manusia kelas rendah yang hanya ada untuk dieksploitasi dan melayani kepentingan rezim pemerintahan. Korporasi dan partai politik mewujud oligarki, menjadi predator ganas memangsa rakyat yang miskin dan lemah. Kegagalan negara dalam membangun sistem dan kepemimipinan yang perform, membuat Indonesia dalam realitas yang jauh dari landasan Pancasila dan UUD 1945. Politik memisahkan agama dari negara, semakin mengokohkan kehidupan yang kapitalis liberalis dan sekuler. Keinginan menumpuk harta dan mengejar jabatan pada sebagian besar aparat birokrasi, membuat rakyat terus menjadi korban dari perangai tuna susila dan kebiadaban penyelenggaraan negara. Konstitusi yang diselewengkan yang diikuti perilaku para pejabat dan politisi yang hipokrit, hedonis dan materialis, membuat rakyat semakin berjarak dengan negara. Rakyat seperti hidup tanpa negara, tak ada kemakmuran dan tak ada keadilan. Berjuang dan berkorban segalanya demi mengusir kolonialisme bangsa asing di masa lalu, kini harus mengalami penjajahan oleh bangsanya sendiri. Seiring kegagalan pemerintah mengurus negara dan ditengah krisis multidimensi yang mengarah kepada resesi ekonomi. Rezim kekuasaan harus berhadapan dengan arus tuntutan perubahan dari rakyat. Sikap skeptis, apriori dan antipati publik semakin hari semakin menggelinding menjadi gelombang aksi protes dan perlawanan. Sikap difensif kekuasaan terhadap tuntutan gerakan perubahan dari rakyat, dihadapi dengan upaya keras pemerintahan menyiapkan presiden 3 periode atau perpanjangan jabatan dan bahkan mulai mengarah pada meniadakan atau penundaan pemilu 2024. Bukan tanpa sebab dan alasan pemerintah ingin melakukan semua yang penuh kontroversi dan polemik tersebut. Ada beberapa faktor yang disinyalir menjadi motif dari pembajakan konstitusi yang terorganisir, terstruktur dan masif itu. Selain masih banyaknya proyek mangkrak dan beberapa program pembangunan yang berbasis utang dan investasi yang menyertakan perjanjian atau kontrak kerjasama internasional yang harus dipertanggungjawabkan. Defisit APBN belakangan ini yang berimplikasi membuat negara tidak punya uang untuk menyelenggarakan pemilu 2024 terus mengemuka. Satu hal lagi yang tak kalah penting dan cenderung menjadi mainstream pemikiran rezim, ketika fenomena Anies yang berlimpah dukungan rakyat mulai dominan dan menguasai panggung politik pilpres 2024. Bagaimana rezim dengan segala cara mempertahankan dan terus melanggengkan kekuasaannya, harus menghadapi realitas seorang Anies sebagai capres potensial yang berasal dari luar domain dan irisan oligarki. Anies jelas dan nyata telah menjadi musuh bagi kepentingan pemerintahan yang menjadi boneka oligarki. Kebencian, permusuhan dan upaya menjegal Anies sebagai capres yang didukung rakyat, telah menjadi menu sehari-hari yang dilakukan ternak-ternak oligarki termasuk para buzzer, politisi busuk dan birokrat bermental penghianat. Boleh jadi Anies sebagai capres yang mengusung harapan perubahan yang lebih baik untuk kehidupan rakyat, negara dan bangsa. Telah menjadi ancaman sekaligus figur pemimpin berbahaya bagi agenda politik dan ekonomi oligarki. Baik dalam soal mega proyek maupun investasi skala besar lainnya yang harus dilanjutkan, Anies divonis menjadi musuh dari kepentingan- kepentingan rezim yang harus disingkirkan. Sama halnya dengan prinsip asal bukan Anies, melalui ungkapan \" to be kil or tobe killed\" yang terlontar dari LBP terhadap asumsi gangguan kesinambungan kepentingan ekonomi politik pemerintah. Upaya menjegal Anies yang intens, menjadi berbanding lurus dengan agenda presiden 3 periode atau perpanjangan jabatan dan bahkan dengan penundaan pemilu 2024. Biar bagaimanapun, ada rasa kekhawatiran, kecemasan dan ketakutan dari rezim menghadapi transisi kekuasaan yang akan diambil dari figur pemimpin dari luar lingkar kekuasaannya. Rezim seperti mengalami paranoid, terjangkit \"post power syndrom\" dini dan akut. Pemerintahan gagal selama ini seperti terserang virus yang mematikan terhadap kesadaran akal sehat, nurani dan moralitas. Sadar akan ketidakmampuan bertahan dan meneruskan kekuasaan untuk selama-lamanya. Syahwat presiden 3 periode atau perpanjangan jabatan dan atau penundaan pemilu 2024, membuat pemerintah seperti sedang melakukan masturbasi politik. Memuaskan libido politik sendiri, sambil melakukan pelecehan terhadap rakyat. Menjadi psikopat dan teroris konstitusi, secara telanjang menampilkan adegan tak senonoh dan pelbagai skandal kejahatan politik yang tak ada habis-habisnya. Termasuk menjegal Anies menjadi presiden dalam pilpres 2024 mendatang, betapapun mahal ongkos sosial politiknya dan betapapun besar resikonya terhadap bangunan kebangsaan yang ada. Demi kesinambungan dan keselamatan rezim kekuasaan nantinya, segala cara harus tetap dilakukan. Termasuk fenomena Anies didukung rakyat, Anies dibendung aparat. *) Dari pinggiran catatan labirin kritis dan relung kesadaran perlawanan. Bekasi Kota Patriot, 15 Desember 2022/21 Jumadil Awal 1444 H.
Laan Holla di Jl Sabang
Oleh Ridwan Saidi Budayawan PAPAN nama jalan sebelum Jl Sabang tertulis Laan Holla. Laan itu jalan, tapi Holla salah. Ucapan toponim harus ikut native setempat. Zainabun atau Mak Abung waktu saya jumpa di kampungnya Kebon Siri pada tahun 2017 usianya 104 tahun. Mak Abung wafat 2019. Dalam lidah Mak Abung mengucapkanya Hula. Jadi, ini khazanah Melanesia untuk salam. Laan Hula hunian orang dari Pacific. Laan Hula sekarang Jl Sabang. Di Jl Sabang sebelah barat ada Kampung Lima. Pesinden sohor 1950-an Upit0 Sarimanah pernah tinggqkal di Kampung Lima. Lima sebutan orang Peru. Di Kebon Siri ada kampung Kuetero, Quetero, atau Quartier. Itu hunian Portugis. Jl Wahid Hasyim sebelumnya Jl Asem Lama, Jl Asem Baru jadi Jl Sam Ratulangi. Kampung Asem ada di Jl Kakap, Jl Asemka ada di Kota. Jl Asem Reges di Sawah Besar, Gang Asem di Kampung Melayu. Asem flora. Mestinya Jl Asem juga ada di sekitar Jakarta. Nyatanya hampir tak ada. Achem, dibaca Asem, migran dari Algier barat yang berbahasa Swahili. Ke timur Kebon Siri ada Prapatan, ini bukan perempatan tapi flora. Tak jauh dari sini Kwitang. Ini toponim Myanmar. Toponim di Jakarta mencerminkan beragamnya bangsa-bangsa migran yang ke Jakarta. Menteng istilah yang muncul tahun 1920, artinya perluasan. (RSaidi).