ALL CATEGORY
Analis Militer Kritik Keras Pemberian Pangkat Tituler Untuk Deddy Corbuzier
Jakarta, FNN - Analis komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting meminta agar pemerintah tidak sembarangan apalagi obral pangkat tituler kepada warga sipil. Harus dipikirkan masak-masak tokoh yang akan diberikan pangkat tituler, karena konsekuensi menjadi militer akan melekat pada diri penyandang pangkat tituler. “Bukan orang sembarangan yang bisa diberikan pangkat tituler, karena orang itu harus punya jasa luar biasa dan mendapatkan tugas khusus yang melekat pada dirinya. Menjadi pertanyaan publik, apa jasa dan kontribusi Deddy Corbuzier kepada TNI?” kata Selamat Ginting menjawab pertanyaan sejumlah wartawan di Jakarta, Ahad (11/12/2022). Ia menanggapi berita yang beredar setelah youtuber Deddi Cahyadi Sunjoyo alias Deddy Corbuzier diberikan pangkat perwira menengah Letnan Kolonel (Letkol) Tituler TNI Angkatan Darat oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, baru-baru ini. Hal itu diketahui dari akun Instagram Deddy Corbuzier yang menampilkan dirinya menggunakan pakaian dinas harian Angkatan Darat warna hijau dengan tanda pangkat Letkol, namun tidak ada tanda korpsnya. Deddy berfoto bersama Menhan Prabowo Subianto dan menerima keputusan menjadi Letkol Tituler. Kebijakan Kontroversial Selamat Ginting mengkritik kebijakan kontroversial Kementerian Pertahanan dalam pemberian penghargaan pangkat Letkol Tituler kepada youtuber Deddy Corbuzier. Memang pada Oktober 2021 lalu Menteri Pertahanan Prabowo Subianto memberikan penghargaan kepada Deddy sebagai duta komponen cadangan (komcad). Hal itu masih bisa dipahami, karena Komcad berbeda dengan pangkat tituler. Seseorang yang diberi pangkat tituler dalam dirinya melekat aturan militer walau terbatas. “Pangkat tertinggi Komcad itu hanya kapten. Mengapa Deddy diberikan pangkat Letkol Tituler? Mestinya cukup diberikan pangkat kehormatan Kapten Komcad saja. Pangkat komcad tidak bisa digunakan sehari-hari di tengah publik. Hanya bisa dipakai jika negara memanggil yang bersangkutan dalam mobilisasi umum untuk keadaan perang,” ujar Ginting yang selama tiga puluh tahun menjadi wartawan. Ia adalah wartawan spesialis politik pertahanan keamanan negara. Untuk menjadi Letkol, lanjut Ginting, sesuai aturan saat ini memerlukan waktu sekitar 20 tahun bagi lulusan akademi TNI (Akmil, AAL, AAU) dan sekolah perwira prajurit karier (Sepa PK) TNI. Rinciannya dari Letnan Dua (Letda) menjadi Letnan Satu (Lettu) memerlukan waktu lima tahun. Kemudian dari Lettu ke Kapten juga memerlukan waktu lima tahun. Jika tidak melanjutkan pendidikan lanjutan perwira (Diklapa), maka pangkatnya akan terhenti di Kapten. Jika telah lulus Diklapa, maka bisa menyandang pangkat mayor. Selanjutnya jika mayor tidak melanjutkan ke Seskoad/Seskoal/Seskoau, maka sulit untuk bisa menyandang pangkat Letkol. Diab isa berakhir hingga pension dengan pangkat Mayor. “Jadi pangkat Letkol itu dihormati di TNI. Itu pangkat kedua tertinggi di korps, satu tingkat di bawah kolonel. Letkol junior itu setara dengan komandan batalyon yang memiliki pasukan sebanyak 700 hingga 1.000 orang. Tidak sembarangan bisa menjadi Letkol. Bahkan banyak lulusan Akmil atau Sepa PK TNI pensiun di pangkat Letkol. Apakah pantas Deddy diberikan pangkat Letkol Tituler?,” ungkap Ginting. Aturan Militer Dia mengungkapkan, sebagai akademisi pernah diundang oleh Kementerian Pertahanan untuk membahas tentang Komcad, dua tahun lalu. Untuk lulusan SMA sederajat, jika mengikuti pelatihan Komcad akan diberikan pangkat Sersan Dua (Serda) Komcad. Untuk lulusan D4 atau S1 akan diberikan pangkat Letnan Dua (Letda) Komcad. Lulusan S2 diberikan pangkat Letnan Satu (Lettu) Komcad, dan lulusan S3 (doctor) diberikan pangkat Kapten Komcad. “Jadi pangkat tertinggi Komcad itu Kapten. Dia harus memiliki pendidikan doktor. Dengan catatan bukan doktor honoris causa (penghargaan). Jadi tidak sembarangan untuk meraih pangkat Kapten Komcad. Deddy Corbuzier bagaimana pendidikannya? Mengapa dia diberikan pangkat Letkol Tituler?” papar Ginting mengkritik kebijakan pemerintah. Menurut Selamat Ginting, saat menerima penghargaan pangkat tituler, tampilan Deddy tidak selayaknya profil militer. Ia masih tampil dengan jenggot atau brewok di wajahnya. Padahal TNI melarang anggotanya berjenggot atau berewok, kecuali sedang melaksanakan tugas intelijen atau operasi militer di hutan yang tidak memungkinkan untuk mencukur berewok. “Jangan-jangan Deddy tidak paham bahwa militer Indonesia melarang berjenggot atau berewok. Untuk selanjutnya dalam kehidupan sehari-hari sebagai penyandang pangkat tituler, akan berlaku aturan militer untuk Deddy. Apakah Deddy sanggup mencukup jenggot atau berewoknya? Itu baru hal kecil,” ujar Ginting. Belum lagi, lanjutnya, Deddy juga mengenakan pakaian dinas harian dengan lengan bajunya yang terlalu kecil dan ketat. Sepertinya Deddy masih ingin menonjolkan otot lengannya, padahal itu tidak sesuai dengan cara berpakaian militer. Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa tangannya juga berotot, namun tetap menggunakan pakaian sesuai aturan dengan menutupi otot di balik lengan baju dinasnya. Dilarang Bermedsos Dengan menyandang pangkat Letkol Tituler, kata Ginting, maka berlaku Kitab Undang Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) dan Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Militer (KUHDM) terhadap youtuber Deddy Corbuzier. Hukuman militer itu jauh lebih berat daripada hukum umum atau sipil. Tidak perlu alat bukti, cukup dengan keyakinan atasan yang berhak menghukum (ankum) bisa diproses dalam peradilan militer. Menurut Selamat Ginting, TNI sangat ketat mengatur aktivitas personelnya dalam media sosial (medsos). Dilarang keras bagi prajurit serta istrinya aktif dalam bermedsos. Dalam beberapa kasus, misalnya, seorang Komandan Kodim di ibukota provinsi yang berpangkat kolonel, harus dicopot dari jabatannya dan masuk sel. Padahal Komandan Kodim itu tidak bermain medsos, yang komentar di medsos adalah istrinya. “Nah, Deddy ini aktif di medsos, bahkan beberapa kali isinya kontroversial, seperti menampilkan tokoh LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender), menanyakan keperawanan atau membahas orang yang baru saja meninggal dunia. Semacam medsos yang berghibah. Sebagai penyandang pangkat militer tituler, apakah Deddy siap untuk menghentikan aktivitasnya di medsos? Atau berhenti untuk pecicilan dimedsos? Tentu tidak mudah bagi Deddy,” ungkap Ginting. Ia berharap Deddy segera dengan cepat menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan aturan militer yang sangat ketat. Sebab masyarakat bisa melaporkan Deddy kepada polisi militer jika tindakannya tidak sesuai dengan aturan baku militer. Misalnya ikut berkampanye mendukung calon presiden, calon gubernur, bupati atau walikota. Termasuk mendukung salah satu partai politik. “Sebagai militer tituler berlaku aturan militer, dilarang berpolitik praktis. Politik militer adalah politik negara. Deddy juga tidak boleh masuk dalam tim kampanye Prabowo sebagai bakal calon presiden, misalnya. Jika melanggar dia bisa dilaporkan kepada polisi militer,” ujar Ginting. Menurut Ginting, Deddy juga otomatis akan kehilangan haknya dalam pemilihan umum (pemilu). Tidak bisa ikut pemilu, karena undang-undang melarang TNI dan Polri menggunakan haknya dalam pemilu. (sws)
Sunyi Sepi Politik Tahu Diri
Oleh Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI Bagaimana mungkin pemimpin yang tak tahu diri, bisa peduli dan memikirkan rakyatnya?. Ditambah lagi banyak pejabat dan politisi, perlahan tapi pasti bertransformasi menjadi penjahat. Kerusakan pada sistem dan orang, telah menjadi duet maut yang menakutkan bagi upaya menghadirkan kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh yang lemah, yang mendiami NKRI. Ada pergeseran yang begitu tajam terhadap pemahaman tentang jabatan publik di republik ini. Para pemangku kepentingan lebih senang melakoni tugasnya sebagai sebuah karir, bukan pengabdian. Kehormatan, kewibawaan dan kebanggaan dari tanggungjawab yang diembannya lebih dominan untuk mengejar materi ketimbang pelayanan masyarakat. Ada ketidakseimbangan yang begitu kentara antara kesadaran ideal spiritualnya dengan kesadaran rasional materilnya. Koleksi harta dan jabatan dalam upaya memenuhi kesenangan dunia, mengalahkan keinginan memberi manfaat kepada khalayak dari kedudukan yang dimilikinya. Entah sistemnya yang sudah rusak yang begitu memengaruhi moral dan mentalitas sumber dayanya. Atau memang manusianya yang memang kering dari karakter dan integritas yang terpuji. Sepertinya faktor sistem dan orang begitu kental menyatu, berkelindan dalam tata kelola penyelenggaraan negara yang terus distortif. Saling memanfaatkan, saling menguasai dan saling melindungi, menjadi potret paling nyata dari sebuah tradisi perilaku kekuasaan yang \"semau gue\", \"yang penting gue\" dan \"demi gue.\" Masa bodoh dengan orang lain, ngga peduli dengan urusan rakyat dan ngga mau tahu nasib negara bangsa ini. Perangai penuh kebohongan, mengambil yang bukan haknya dan tega membuat orang lain menderita karena ulahnya, menjadi unsur dominan dari pengambil kebijakan yang dibesarkan oleh citra dan kemasan yang molek. Tak peduli sebusuk apapun isinya yang penting bungkusnya cantik, indah dan enak dipandang. Soal rasa, sudah bisa dipastikan seperti apa dari aroma busuknya yang mengular meski ditutup-tutupi serapi mungkin. Kenikmatan hidup yang bergelimang fasilitas dan kemewahan, mungkin menjadi motif utama setiap orang berebut jabatan dan berupaya keras mempertahankannya. Tak peduli cara apapun yang harus ditempuh, yang penting jabatan dan kekuasaan tetap digenggamnya. Dengan cara halal atau haram tak masalah, asal yang menjadi tujuan tercapai. Persetan dengan kinerja bobrok atau berprestasi, yang utama tebal muka dan tebal kantong untuk sekedar memimpin lebih lama, betapapun banyak yang muak untuk sekedar melihatnya. Takut kehilangan kenyamanan hidup yang mengandalkan materi sebagai tolok ukur kebahagiaan. Membuat banyak orang terlebih para pejabat dan politisi, semakin takut memiliki prinsip-prinsip sebagai manusia yang penuh kesederhanaan dan menjunjung kemuliaan. Takut miskin karena kejujuran, dan takut tak dianggap orang karena tak punya apa-apa, membuat banyak petinggi negara lebih suka menjadi penjahat tapi terhormat, menganggap berjaya meski berbuat aniaya. Susahnya kalau buruk tapi ingin dianggap baik. Betapa ngeyelnya mengaku benar meskipun sesungguhnya salah. Ketidakmampuan menghadirkan kemakmuran dan keadilan bagi rakyat, diganti dengan gaya hidup borjuasi diri, keluarga dan kelompoknya. Aji mumpung, mumpung punya jabatan, mumpung sadar dalam kekhilafan. Meskipun mengetahui hitam putihnya, jalan sesat atau jalan lurus, persetan dengan semua itu, yang penting asyik mudharatnya. Tak berdaya karena kelemahannya, berusaha selamat dengan menjual harga diri sembari ingin tetap berkuasa. Menjegal bila ada yang mengganggu, kalau perlu membunuh jika ada yang mengancam kepentingan dan keselamatannya. Sebuah kepalsuan yang ingin tampil seolah-olah nyata, sebuah kebohongan yang ingin diakui dan dipaksakan kebenarannya. Seperti sulitnya menemukan pemimpin yang mengenal hakikat dirinya, seperti sulitnya mencari pejabat dan politisi yang tahu diri. Negeri yang begitu sunyi sepi politik tahu diri. (*)
Situs Cikini Tinggalan Peradaban Inca VIII M
Oleh Ridwan Saidi Budayawan CIKINI, atau Cikinitza, artinya lurus. Ini bukan hunian tapi tempat berkumpul. Cikini pada foto di atas lokasinya di Sunda Kalapa. Karena orang-orang Inca (bisa Peru, Chili yang dalam sebutan Betawi Cele, Brazil, atau negara-negara Carribea) hanya menjadikan ini tempat kumpul sewaktu-waktu maka orang di Sunda Kalapa menyebutnya Ba\'tere, tempat kosong. Bukan battery. Peradaban Inca muncul VIII M, migrasi mereka pun diperkira pada abad itu. Pada abad VIII itu juga mereka telah terobos daerah yang sekarang disebut Jakarta Pusat. Mereka dirikan Chikinitza yang lokasinya persis di mesjid Raden Saleh sekarang. Kawasan ini kemudian terkenal sebagai Cikini. Kemudian muncul Cikini Kecil dan Cikini Binatu. Jalan Cikini paralel dengan Jl Gondang Dihiya (Dia). Di selatannya tempat peleburan tembaga atau Pegangsaan, di timur Selamba (Salemba) artinya kampung Islam. Di utaranya Kampung Batu (sebagian Kp Batu menjadi Jl Batu). Mestinya di Kp Batu ada situs bangunan purbakala. Kali Pasir adalah bukit kali. Menteng artinya perluasan. Artinya daerah baru. Nama Gambir baru XIX M merujuk Luitenan Perancis Gambier yang membuka lapangan yang kemudian disebut Gambir. Prapatan itu flora. Toponim di atas adalah jejak sejarah. Jangan diganti dengan alasan apa pun. (RSaidi).
Cuan Oligarki Manis Banget Maka Mereka Siap Jadi Penghianat Rakyat
Hari ini kau jadi pejabat tapi insya’ Allah besok kau akan jadi rakyat jelata. Dan, kalau kau sudah mati yang lebih dahulu berpisah denganmu adalah namamu. Insya’ Allah jabatanmu akan antri orang mau duduki. Oleh: Moh. Naufal Dunggio, Aktivis dan Ustadz Kampung ADA yang berusaha jadi sok suci jadi panitia hari kiamat di mana orang diancam-ancam dengan neraka padahal diri sendiri pengkhinat bangsa dan penjilat oligarki. Jadi berlagak bersih, sehingga tersinggung bila ada yang mengkaitkan dia dengan cuan oligarki. Baru sok bicara Pancasila lagi. Dia pikir dia sudah jadi pejabat karena dipilih, rakyat lebih tahu dia dari pada rakyat tentang Pancasila. Rakyat udah pada tahu dan paham jeroan kalian semua penuh dengan barang haram terutama cuan dari oligarki. Dari mana bisa dapat cuan yg banyak dan cepat kalau bukan dari jadi penghianat bangsa dan dapat cuan secepat kilat kalau bukan dari oligarki. Gak usah berlagak bersih. Rakyat sudah makin paham, apalagi kalian sudah mau mendekati Pemilu. Mau kuliahin rakyat dengan Pancasila? Gak nendaaaang. Rakyat giliran mengkritik mereka, rakyat langsung dikuliahin dengan Pancasila dan ditakut-takutin sebagai anti Pancasila. Pancasila hanya untuk kelabui masyarakat. Sedangkan mereka sudah jadikan pancasila sebagai tong sampah demi memperkaya diri sendiri dan keluarganya. Narasi yg mau dibangun agar mempertahankan 3 periode untuk menikmati cuan oligarki sudah dapat kebaca. Rakyat gak bego-bego amat. Coba narasi apa yang mau dibangun agar rezim sekarang bisa bertahan 3 periode selain kalau bukan terima cuan dari oligarki. Tiga periode itu sama saja jadi Teroris Konstitusi. Mungkin orang ini kuliah dulu gak pernah masuk mata kuliah Pancasila sehingga gak ngerti apa itu namanya melanggar konstitusi. Atau boleh jadi dia kuliah tapi karena kebanyakan makan makanan yg haram sehingga gak bisa berpikir positive untuk kemashlahatan rakyat. Ingat umur gak muda lagi dan setiap menit Malikil Maut selalu mengintai jiwa kita. Jangan sok nakut-nakutin rakyat dengan sumpahmu itu. Dikwatirkan akan berbalik ke dirimu karena telah jadi penghianat rakyat dan kebanyakan makan cuan oligarki. Nikmati aja jabatan wakil rakyat yang saat ini di genggamanmu dengan lurus-lurus aja. Gak usah tunjukkan bahwa kau bersih seperti Malaikat. Seseorang itu ada waktunya dan di setiap waktu ada orangnya. Serta ingat, di atas langit ada langit. Hari ini kau jadi pejabat tapi insya’ Allah besok kau akan jadi rakyat jelata. Dan, kalau kau sudah mati yang lebih dahulu berpisah denganmu adalah namamu. Insya’ Allah jabatanmu akan antri orang mau duduki. Camkan itu penghianat bangsa. Ini peringatan pada pejabat yang nelephon tadi pagi. Sorry gak diladenin, di samping gak ada mutunya juga tadi pagi mau ceramah di walimatul urs. Karena gak menambah pahala melayani pejabat penghianat rakyat yang setuju rezim berkuasa 3 periode. Kalau 3 keode mungkin. Wallahu A\'lam .... (*)
Ketakutan Presiden dengan Bayangan Sendiri
Isu penundaan pemilu 2024 yang awalnya digaungkan oleh Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti dan disambung lagi oleh Ketua MPR RI Bambang Soesatyo telah memicu kemarahan rakyat. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih ADIGANG Adigung Adiguna (wong sing ngendelake kekuatan, kaluhuran kebanggaan dan kesombongan yang menjadikannya sifat takabbur). Manungso sejati iku, yen ndeleng ora nganggo mripat, ngrasake enak ora nganggo ilat. Ananging nganggo roso sejatining roso (manusia sejati itu, bukan saat melihat tidak dengan matanya, dan merasakan tidak dengan lidah tetapi pakai rasa sejatinya rasa). Tidak ada mendung, hujan dan tidak ada petir tiba-tiba muncul keadaan terasa aneh. TNI, polisi dan elemen lainnya apel gelar pasukan pengamanan pernikahan putra Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep. Dan, apel gelar pasukan dipimpin Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan II Marsdya TNI Andyawan Martono, Pangdam IV Diponegoro Mayjen TNI Widi Prasetijono, dan Kapolda Jawa Tengah Irjen Pol Ahmad Luthfi. Tim pengamanan mengerahkan 10.800 personel gabungan, untuk amankan pernikahan Kaesang-Erina. Para personel tersebar di lokasi akad nikah di Yogyakarta, dan tempat ngunduh mantu, Kota Surakarta. Selain personel, kendaraan pengamanan juga disiapkan. Semua rakyat pasti geleng-geleng kepala sederhana pertanyaannya, untuk apa. Apa ada ancaman yang gawat akan mengganggu acara ngunduh mantu Presiden Jokowi. Apakah ini hanya untuk show of forse memanfaatkan momentum saat acara ngunduh mantu, jangan sampai ada huru-hara demo-demo di Solo karena di sana ada kediaman Presiden sejalan dengan suhu politik perpanjangan masa jabatan Presiden yang makin memanas dan membara. Atau sederhana hanya karena munculnya tokoh masyarakat di Solo Raya yang siap pimpin Revolusi dan saat ini terus menggugat ijazah palsu, satu amunisi yang sangat membahayakan Presiden. Atau saat ini sedang terjadi konsolidasi kekuatan di Solo Raya yang minta Presiden mundur dan segera pulang untuk tinggal dan menetap lagi di Solo. Lepas itu semua, pengalaman gerakan people power itu bisa muncul dari Solo yang merupakan sumbu pendek. Pecah huru-hara di Solo akan sangat cepat merembet ke Semarang, Jogjakarta dan membesar di dua wilayah tersebut. Imbasnya akan menjalar membara ke Jakarta dan seluruh wilayah Indonesia. Hawa huru-hara sangat mungkin akan pecah dari Solo. Kalau benar sudah pecah di Solo apa mereka mengira keraton bisa meredam. Itu mustahil, tidak akan bisa diredam oleh kekuatan Keraton Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaran. Atau, bahkan Kesunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Apakah itu alasan gelar pasukan yang tidak normal di Solo. Bahwa banyak pengamat memaknai itu bukan untuk mengamankan ngunduh mantu Presiden tetapi ketakutan dan tidak percaya diri Presiden atas perkembangan politik yang justru makin membesar di dekat kediamannya. Tidak penting soal berapa besar biaya, tetapi kesan keangkuhan dan jauh dari kenormalan dan ketidak wajaran akan menimbulkan teka-teki rakyat ke mana sebenarnya sasaran taktis gelar pasukan tersebut. Rakyat hanya melihat ada kesan sombong, angkuh, dan aji mumpung. Presiden mestinya: Ojo rumongso biso nanging kudu biso rumongso (Agar kita jangan pernah merasa bisa melakukan sesuatu yang hebat dan merendahkan orang lain). Siro aja kumalungkung kalawan deksuro bakal sirna jayamu (Jangan bangga pada diri sendiri karena kemuliaan Anda akan hilang). Dugaan kuatnya, Presiden sedang terserang halusinasi ketakutan terhadap bayangannya sendiri. Melahirkan hal hal aneh diluar normal dan akal sehat. Isu penundaan pemilu 2024 yang awalnya digaungkan oleh Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti dan disambung lagi oleh Ketua MPR RI Bambang Soesatyo telah memicu kemarahan rakyat. Apakah keduanya sadar? Bahkan, pihak PDIP sendiri menentang keras usulan yang jelas-jelas adalah “kudeta konstitusi” yang tampaknya Presiden Jokowi bisa “menikmati” lantunan LaNyalla maupun Bamsoet itu. Jangan salahkan jika kemudian rakyat bergerak dan turun ke jalan menuntut Presiden Jokowi mundur. (*)
Dua Tahun Pembantaian Enam Pengawal HRS di KM50 (2): Menuntut Janji Penegakan Hukum dan Keadilan dari Presiden Jokowi!
Karena merupakan pemimpin tertinggi yang membawahi lembaga-lembaga yang terlibat operasi sistematik, maka Presiden Jokowi layak dituntut untuk bertanggungjawab. Oleh: Marwan Batubara, TP3 & UI Watch PADA tulisan pertama diuraikan beberapa tanggapan atas pernyataan Kapoda Metro Jaya Fadil Imran (dan sejumlah aparat negara lain) pada Konferensi Pers (Konpres) yang berlangsung 7 Desemeber 2020. Dalam tulisan berikut diungkap berbagai fakta mengapa secara pro justisia pengadilan HAM perlu segera dijalankan, mengingat pembantaian enam pengawal HRS memenuhi kriteria kejahatan kemanusiaan sebagai pelanggaran HAM Berat. Hanya merujuk pada esensi penjelasan Kapolda dan tanggapan TP3 tersebut kita dapat menilai penyelesaian kasus KM50 masih belum sesuai kaidah hukum dan keadilan. Apalagi jika kita mempertimbangkan berbagai fakta dan informasi yang ditemukan TP3, aktivis HAM, LSM dan sejumlah lembaga, termasuk yang terungkap dalam kasus pembunuhan Brigadir Josua yang melibatkan Irjen Ferdy Sambo. Maka dengan mudah bisa dinilai proses pengadilan, yang telah berlangsung sebelumnya, atas pembantaian enam pengawal HRS masih sangat jauh dari kebenaran dan keadilan, sehingga perlu segera diproses sesuai peraturan yang berlaku. Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, demi hukum, untuk hukum dan undang-undang, maka proses hukum secara pro justisia harus segera dimulai sesuai dengan hasil penyelidikan baru yang seharusnya dilakukan Komnas HAM. Mengapa demikian? Sebab “Hasil Penyelidikan” berdasarkan UU No.39/1999 tentang HAM yang dilakukan Komnas dan hasilnya disampaikan kepada pemerintah (8/1/2021) hanyalah “Hasil Pemantauan”, bukan hasil penyelidikan. Sehingga, proses hukum yang akhirnya memvonis bebas dua orang terdakwa (anggota Polri) tidak sah dan mestinya batal demi hukum. Karena itu TP3 tetap konsisten dengan sikap dan tuntutan semula yang telah disuarakan sejak Januari 2021, bahwa pembantaian enam pengawal HRS merupakan pelanggaran HAM Berat. Sehingga proses hukum bersifat pro justisia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, UUD 1945 dan sesuai ketentuan UU No.26/2000, tentang Pengadilan HAM, berupa proses penyelidikan, harus pula segera dimulai Komnas HAM dengan melibatkan Penyelidik Ad-hoc. Mengapa pembantaian ini termasuk kategori pelanggaran HAM Berat? Mari dicermati. Menurut Pasal 7 dan Pasal 9 UU No.26/2000 suatu kejahatan disebut (memenuhi syarat) sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yang masuk kategori pelanggaran HAM Berat jika suatu perbuatan atau tindakan yang dilakukan merupakan bagian dari serangan yang meluas ATAU sistematik terhadap penduduk sipil, antara lain berupa: pembunuhan, pemusnahan, perampasan kebebasan fisik, penyiksaan, dll. Penjelasan ketentuan UU di atas adalah: 1) Suatu kejahatan sudah dapat disebut sebagai kejahatan kemanusiaan, meskipun perbuatan yang dilakukan hanya satu atau dua jenis saja, misalnya pembunuhan atau penyiksaan, dan tidak harus mencakup seluruh jenis kejahatan yang disebutkan dalam Pasal 9 UU No.26/2000; 2) Istilah sistematik diartikan sebagai tindakan yang diorganisasi secara mendalam dan mengikuti pola tertentu berdasarkan kebijakan yang melibatkan sumber daya publik atau privat yang substansial; 3) Istilah meluas diartikan sebagai tindakan massif, berulang-ulang dan berskala besar yang dilakukan secara kolektif dengan dampak serius, serta diarahkan terhadap sejumlah korban; 4) Serangan meluas atau sistematik tidak mensyaratkan bahwa kejahatan yang dilakukan harus selalu memenuhi kedua kriteria: meluas dan sistematik, tetapi cukup salah satu syarat saja, yakni meluas ATAU sistematik. Merujuk berbagai fakta lapangan yang diperoleh TP3 dan juga dialami pihak-pihak terkait, diyakini telah terjadi rangkaian operasi sistematis dan meluas terhadap HRS dan pengwalanya, oleh aparat pemerintah, baik sebelum kepulangan dari Saudi Arabia (November 2020), maupun sesudah kepulangan. Diantara kebijakan dan tindakan yang bersifat sistematik terhadap HRS dan pengawalnya setelah kepulangan dari Saudi adalah: • Tindakan otoriter penguasa yang menjadikan HRS sebagai penjahat “kesehatan”, terkait peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, pernikahan putrinya, serta kasus swab test RS Ummi. PN Jaksel dan diperkuat PT Jaktim memvonis HRS (12/12/2020) 4 tahun penjara hingga Juni 2024. HRS dibebaskan bersyarat (status masa percobaan) pada Juli 2022. Namun aktivitasnya sangat dibatasi, sehingga rezim penguasa sangat nyata telah melanggar HAM sesuai Pasal 28 UUD 1945. Rezim mencabut hak-hak HRS secara politik, keperdataan (sebagai bapak dan wali nasab), pengurus organisasi, menjalankan mata pencaharian tertentu, perampasan aset, dll; • Sejalan dengan unsur sistematis terdapat pula rantai komando dan tanggungjawab komando oleh organisasi tertentu dan aparat negara, baik secara aktif ataupun pasif (omission). Operasi penguntitan dan tindakan brutal berujung pembantaian enam pengawal di KM50 dipimpin seorang komandan pengendara Land Cruiser hitam, yang juga memimpin selebrasi “keberhasilan” operasi. Karena sistematik dan otoriter, rezim hanya mengadili 3 tersangka Polri, 1 orang mati dan 2 orang akhirnya divonis bebas; • Adanya KOOPSUS TNI (dibentuk sesuai Perpres No.42/1019) pada peristiwa penurunan baliho HRS/FPI yang dipimpin Pangdam Jaya Dudung dengan mengerahkan kendaraan dan senjata tempur. Tindakan ini dinilai bukan murni oleh institusi pertahanan negara, namun lebih pada kebijakan dan keputusan politik pemerintah. Hal ini merupakan bagian dari rencana bernuansa politis, terstruktur dan sistematikbyang melibatkan berbagai aparat pemerintah, bukan saja oleh Polri, tetapi juga TNI guna “menghabisi” aspirasi dan peran politik HRS. • Adanya operasi sistematik oleh aparat negara, minimal dari unsur Polri dan TNI, terbukti pula saat Konpres yang dihadiri Pangdam Jaya Dudung Abdurrachman Bersama Kapolda Metro Jaya Fadil Imran pada 7 Desember 2020. Pihak Kependam Jaya menyatakan Pangdam Jaya hadir untuk memberi dukungan penuh kepada Polda Metro Jaya dalam penegakan hukum terhadap adanya aksi melawan hukum yang dilakukan oknum FPI. Selain menunjukkan adanya operasi sistemtik aparat negara yang memiliki unsur komando, hal ini juga menunjukkan adanya tindakan “menghakimi”, pernyataan sepihak dan fitnah keji terhadap anggota FPI, sekaligus ke-enam pengawal HRS: bahwa yang melawan hukum adalah para korban pembantaian, bukan para pembantai sistemtik itu sendiri; • Adanya operasi intelijen tiga anggota BIN yang sedang menarget HRS dan FPI di Markas Syariah Megamendung yang tertangkap Tim FPI (4/12/2020). Identitas lengkap ketiga anggota BIN berhasil diperoleh. Dari penangkapan ini diketahui pula adanya operasi intelijen yang sedang diemban, disebut Operasi Delima. BIN telah “membantah” ketiganya sebagai anggota BIN; • Dalam kasus pembunuhan Brigadir Josua terungkap peran Satgasus Merah Putih yang terlibat merekayasa kasus dan menghilangkan barang bukti. Ternyata untuk kasus KM50 Satgasus yang dipimpin Irjen Fedy Sambo antara lain terlibat dalam: a) mengerahkan 30 anggota guna menangani kasus; b) diduga ada anggotanya (ACN alias A) yang menghilangkan atau merekayasa perangkat dan konten CCTV; c) Diduga ada anggota Satgasus (Bripka MM) berdiri di sebelah Land Cruiser hitam saat penyerahan enam korban di KM50; d) Diduga terlibat merekayasa kebohongan bahwa pengawal HRS memiliki senjata dan menyerang petugas, sebagaimana diuraikan oleh Kapolda Metro pada Konpers 7/12/2020. Uraian di atas menunjukkan telah terjadi operasi sistematik oleh aparat negara lintas lembaga yang telah mengakibatkan terjadinya pembantaian enam pengawal HRS di KM50. Sesuai Pasal 7 dan 9 UU No.26/2000, tindakan operasi sistematik tersebut memenuhi kriteria sebagai kejahatan kemanusiaan yang masuk kategori pelanggaran HAM Berat. Karena merupakan pemimpin tertinggi yang membawahi lembaga-lembaga yang terlibat operasi sistematik, maka Presiden Jokowi layak dituntut untuk bertanggungjawab. Presiden Jokowi harus bersikap konsisten dengan janji kepada TP3 (9/3/2020): menuntaskan kasus pembantaian tersebut secara adil, transparan dan diterima publik. Jakarta, 10 Desember 2022. (*)
Sebanyak 34 WNI Korban Penipuan di Kamboja Berhasil Diselamatkan KBRI Phnom Penh
Jakarta, FNN - Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Phnom Penh bersama dengan Kepolisian Kamboja berhasil membebaskan 34 warga negara Indonesia (WNI) yang mengaku ditipu dan disekap di sebuah perusahaan penipuan daring (online scam) di Poipet Kamboja.\"Mayoritas mereka berasal dari Sulawesi Utara,\" kata Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri RI Judha Nugraha dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Sabtu.Judha mengatakan sebelumnya pada 8 Desember 2022, KBRI Phnom Penh menerima pengaduan dari salah satu WNI yang mewakili 34 pekerja Indonesia.KBRI Phnom Penh segera berkoordinasi dengan otoritas setempat sehingga pada 9 Desember 2022, seluruh 34 WNI telah berhasil diselamatkan oleh pihak berwenang Kamboja.Ke-34 WNI tersebut, kata dia, saat ini berada di Kantor Kepolisian Poipet dan sedang menjalani wawancara untuk proses penyelidikan.Proses tersebut diperkirakan selesai dalam waktu satu pekan sebelum para WNI itu diserahkan kepada KBRI Phnom Penh untuk proses repatriasi.Judha menuturkan bahwa kasus WNI yang menjadi korban perusahaan online scam di Kamboja terus meningkat.Sejak 2020 hingga Oktober 2022, tercatat 679 WNI berhasil diselamatkan dan dipulangkan. Namun, kasus baru masih terus bermunculan.Ia menilai perlu ada langkah tegas untuk pencegahan sejak dari hulu oleh pihak-pihak terkait di Indonesia, termasuk pemerintah daerah.Pencegahan tersebut antara lain dengan memastikan keberangkatan pekerja migran sesuai prosedur dan meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai modus penipuan kerja ke luar negeri melalui jaringan media sosial.(sof/ANTARA)
Meningkat Kasus Kematian Akibat COVID-19 di Australia
Canberra, FNN - Terdapat lebih dari 210 kematian akibat COVID-19 dalam periode laporan terbaru yang menunjukkan jumlah kematian terbanyak sejak dimulainya gelombang keempat infeksi COVID-19 di Australia.Actuaries Institute, Jumat (9/12), melaporkan 15.400 kematian berlebih di Australia dalam delapan bulan pertama tahun 2022 atau 13 persen lebih banyak kematian dari yang diperkirakan.Dari jumlah kematian tersebut, COVID-19 adalah penyebab langsung dari 8.200 kasus kematian dan menjadi faktor kontribusi terhadap 2.100 kasus lain.Karen Cutter, juru bicara grup tersebut, mengatakan setiap negara bagian dan teritori kecuali Northern Territory, yang memiliki populasi usia muda, mencatat tingkat kematian berlebih yang signifikan pada 2022.\"Secara umum, sekitar setengahnya disebabkan oleh kematian akibat COVID-19, kecuali Tasmania yang mencatat kematian akibat COVID-19 yang relatif lebih sedikit dan lebih banyak kematian akibat beberapa penyebab lain,\" kata Karen kepada Australian Associated Press.Kematian pada hampir semua kelompok usia berjumlah lebih tinggi dari yang diperkirakan. Namun, angka kematian sangat tinggi pads kalangan lanjut usia dan perempuan.Sementara itu, tingkat infeksi virus corona di Australia telah stabil seiring gelombang keempat kasus COVID-19 di negara itu mereda. Departemen Kesehatan Australia, Jumat, melaporkan rata-rata 15.569 kasus baru per hari tercatat dalam sepekan hingga Selasa (6/12). Angka tersebut meningkat 8 persen dari pekan sebelumnya dan merupakan peningkatan kasus mingguan terendah sejak akhir Oktober.(sof/ANTARA)
Hari HAM Momentum Perkuat Pemulihan Korban HAM Berat
Jakarta, FNN - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengatakan peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia yang jatuh setiap 10 Desember merupakan momentum memperkuat kehadiran negara bagi pemulihan korban pelanggaran HAM berat.\"Negara sudah hadir melalui LPSK, namun perlu lebih diperkuat dengan partisipasi semua pihak,\" kata Wakil Ketua LPSK Antonius PS Wibowo di Jakarta, Sabtu.Menurut Wibowo, kehadiran negara pada korban HAM masa lalu bisa diwujudkan melalui pembentukan semacam komisi reparasi. Mengacu Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020 tentang pemberian kompensasi, restitusi dan bantuan bagi saksi dan korban memberikan mandat kepada LPSK melakukan pemulihan korban pelanggaran HAM berat.Selama 2012 hingga 2021 LPSK telah melakukan pemulihan korban pelanggaran HAM berat melalui 4.567 layanan berupa program perlindungan bantuan medis, rehabilitasi psikologis dan psikososial.Para korban tersebut berasal dari berbagai peristiwa yaitu peristiwa 1965/1966, penghilangan paksa 1997/1998, Tanjung Priok 1984, Talangsari, Jambu Keupok, Simpang KKA dan Rumah Geudong.Ia menjelaskan pemulihan korban tidak mensyaratkan adanya putusan pengadilan sebagaimana disyaratkan bagi pemberian kompensasi jika merujuk Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.Bantuan medis diberikan untuk memulihkan kesehatan fisik korban termasuk melakukan pengurusan korban meninggal dunia. Rehabilitasi psikososial ditujukan membantu meringankan, melindungi dan memulihkan kondisi fisik, psikologis, sosial serta spiritual korban. Terakhir rehabilitasi psikologis dilaksanakan guna memulihkan kondisi kejiwaan korban.\"Hingga 2021 bantuan medis merupakan bentuk pemulihan terbanyak diakses korban,\" kata dia.Hal itu berkorelasi dengan kebutuhan kesehatan dan usia korban yang sudah rentan khususnya korban Peristiwa 1965/1966.Terakhir, pada 2021 LPSK membuat terobosan baru melalui Keputusan Ketua LPSK Nomor: KEP-326/1.5.2/LPSK/07/2021 tentang bantuan medis dan/atau rehabilitasi psikologis bagi saksi dan/atau korban.Keputusan tersebut diambil dengan mempertimbangkan pelanggaran HAM yang berat merupakan extra ordinary crime yaitu peristiwanya terjadi di masa lampau dan proses hukumnya mengalami kendala.(sof/ANTARA)
Lima Alasan Pentingnya Pendidikan Antikorupsi
Jakarta, FNN - Kepala Sekolah Akademi Antikorupsi Indonesia Corruption Watch (ICW) Nisa Zonzoa mengungkapkan lima alasan pendidikan antikorupsi menjadi bernilai penting dalam pemberantasan korupsi di Tanah Air.\"Mengapa pendidikan korupsi ini penting? Karena yang pertama adalah jumlah koruptor itu terus bertambah dari hari ke hari dan itu berlipat ganda karena koruptor melakukan aksi korupsinya tidak sendirian, tapi berjamaah. Jadi, sekali korupsi itu bisa lima sampai sepuluh orang yang melakukan korupsi,” ujar Nisa dalam forum diskusi Uncorrupt Fest 2022, sebagaimana dipantau melalui kanal YouTube Sahabat ICW di Jakarta, Sabtu.Kemudian empat alasannya lainnya, lanjut dia, adalah usia koruptor yang semakin muda, korupsi merupakan tanggung jawab semua pihak, masyarakat menjadi korban korupsi, dan banyaknya kasus korupsi di sektor pendidikan.Lebih lanjut, Nisa menjelaskan mengenai usia koruptor yang semakin muda, hal tersebut dibuktikan melalui data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).\"KPK pada tahun 2017 pernah merilis usia koruptor itu semakin turun, dari dulu biasanya umur 50 dan 60 tahunan, sekarang ke umur 40 dan 30 tahunan,\" ucapnya.Dengan demikian, menurut Nisa, pelaksanaan pendidikan antikorupsi semakin bernilai penting, terutama bagi generasi muda Indonesia sebagai bentuk langkah pencegahan dan pemberantasan korupsi oleh anak muda.Kemudian, Nisa juga menyampaikan mengenai banyaknya kasus korupsi di sektor pendidikan yang membuat pelaksanaan pendidikan antikorupsi semakin bernilai penting dalam pemberantasan korupsi.Ia mengatakan berdasarkan kajian dan riset yang dilakukan ICW, ditemukan bahwa dari tahun 2006 sampai 2021 terdapat 665 kasus korupsi di sektor pendidikan secara umum dengan kerugian negara mencapai lebih kurang Rp1,75 triliun.\"Ini adalah yang tercatat, belum yang tidak tercatat,\" ucap Nisa.Selanjutnya, di sektor pendidikan perguruan tinggi, ICW menemukan bahwa dari tahun 2006 sampai dengan 2021, ada 54 kasus korupsi dengan kerugian negara mencapai Rp306 miliar.\"Jadi, memang begitu banyak korupsi yang terjadi dan pendidikan itu masuk dalam Top 5, lima korupsi teratas yang sering terjadi di Indonesia. Ini adalah wajah muram pelayanan pendidikan,\" ucap Nisa.Oleh karena itu, tambah dia, pendidikan antikorupsi merupakan satu langkah maju untuk memulai pemberantasan korupsi karena para peserta didik dapat memiliki kesadaran dan pemahaman dalam mencegah terjadinya tindak pidana korupsi di Indonesia.(sof/ANTARA)