ALL CATEGORY
Kelemahan (Keburukan) Sistem Pilpres Langsung dan Saran-Saran Perbaikan (2)
Kalau soal penanganan money politics, serangan fajar dll tak perlu lagi dibahas di sini, karena sudah menjadi pengetahuan umum, dan solusinya mestinya juga sudah hafal caranya. Oleh: M. Hatta Taliwang, Anggota DPR RI/MPR RI 1999-2004, Mahasiswa S3 UNAS Jakarta DENGAN kata lain, sistem pilpres langsung ini menghasilkan Presiden yang praktis hanya bekerja untuk bisa dipilih kembali pada periode berikutnya, tak mampu bekerja untuk program jangka jauh yang sifatnya membangun fondasi kuat, agar negara bisa kokoh. Membangun dengan gali lobang tutup lobang menjadikan banyak negara baru merdeka saja mampu melewati Indonesia yang terseok-seok oleh tumpukan utang. Membangun yang mudah dan tampak oleh rakyat, seperti infrastruktur, misalnya, dengan utang besar, hanya mewariskan beban yang berat untuk pemerintah berikutnya. Inilah proses menuju kebangkrutan kalau sistem ini dilanjutkan. Penilaian atas prestasi Presiden lima tahun pertama, tadak lagi di depan MPR RI, artinya diserahkan langsung ke rakyat pemilih. Sementara rakyat pemilih banyak yang awam, dan seringkali terbawa arus tipuan timses dan lembaga survei dll, sehingga intinya evaluasi itu tak ada. Rakyat tak merasa menilai prestasi Presiden 5 tahun lalu. Tiba tiba yang bersangkutan bisa jadi Capres lagi tanpa evaluasi kritis rakyat. Sistem begini tidak atau kurang bertanggung jawab. Sengketa pilpres dengan membawa bertruk-truk bukti penyimpangan, belum tentu diperiksa cermat oleh hakim MK, apalagi kalau hakimnya diketahui aparat hukum lainnya punya “catatan gelap” dalam karirnya, dan dijanjikan jabatan tinggi atau setara setelah pensiun oleh salah satu capres yang menang atau dimenangkan. Apalagi kalau ada hubungan kekerabatan dengan pejabat tinggi lain. Negara sebesar ini yang penduduknya, dan seluas ini, dengan berbagai latar belakang suku, agama, dan lain-lain melakukan pilpres langsung merupakan eksperimen demokrasi luar biasa. Dalam sistem ini mudah terjadi kecurangan, dan hampir pasti hanya suku yang besar jumlahnya yang bisa jadi Presiden. Betapapun tuduhan terhadap demokrasi ala UUD 1945 Asli dianggap tidak demokratis, namun faktanya hampir semua parpol, semua ormas dan lain-lain, melakukan pemilihan dengan demokrasi perwakilan, musyawarah dan mufakat (voting hanya untuk keperluan teknis setelah calon hasil musyawarah disepakati), dengan dijiwai hikmah kebijaksanaan. Tak ada parpol atau ormas yang mengundang semua pemegang kartu anggota parpol/ormasnya datang ke bilik suara untuk memilih Ketua Umumnya. Lho, kultur yang hidup dalam masyarakat kita perwakilan, musyawarah mufakat, dalam hikmah kebijaksanaan kok ujug-ujug pilpresnya sistem one man one vote, di mana suara 1 orang gila sama dengan suara 1 guru besar. Akal sehat itu di mana? Sistem pilpres langsung ini karena mahal, maka praktis ke depannya hanya akan bisa diikuti oleh orang-orang kaya. Dan, orang orang kaya atau yang di-backing orang kaya ke depan itu siapa? Bukankah hanya kelompok tertentu yang sangat kaya dan itu sering disebut konglomerat atau Taipan? Silakan pikirkan untuk jangka panjang ke depan ini siapa-siapa yang akan bisa jadi capres. Salah seorang yang sudah berani muncul adalah konglomerat Hary Tanoesoedibjo, dan menyusul Erick Thohir yang peluangnya sangat besar akan didukung oligarki kapital. Dan, saya kira akan segera bermunculan yang lain. Lalu orang-orang hebat dari parpol lain, kecuali keluarga SBY yang kabarnya masih kaya, selebihnya mungkin akan lapuk pada saatnya. Kalau mau jujur, sistem pilpres langsung yang diduga masuk intervensi pemodal alias oligarki kapital atau bandar, hanya dinikmati hasilnya oleh segelintir aktor yang terlibat dalam skenario. Para bandar sendiri mungkin merasa belum kembali modal hanya dengan 5 tahun. Inilah yang bisa menjelaskan mengapa petahana sering terpaksa ngotot ingin jabatan kedua kali, bahkan sekarang belum apa-apa sudah pengin ketiga kali. Dan ini sangat mempengaruhi tensi pilpres. Suhu tinggi dan rawan keributan. Saran: Kalau memang masih mau dipilih langsung oleh rakyat, seperti yang berlangsung sekarang sejak awal era SBY 2004 sesuai UUD 2002, dan tidak mau menggunakan Pilpres Sistem UUD 1945 Asli (Sila ke-4 Pancasila, Perwakilan Musyawarah), maka sebaiknya: KPU-nya harus ditambah dengan unsur Parpol yang ikut Pemilu. KPU yang ada sekarang digaji negara. Anggota KPU dari Parpol diberi honor oleh Partainya. Susunan keanggotaannya seperti usulan Sdr Chris Komari. Baca lampiran. Intelijen Negara tidak boleh beroperasi untuk memenangkan calon tertentu. Lembaga Survei harus netral dan ada Lembaga Lain dibentuk untuk menilai objektivitas Lembaga Survei. Semacam Lembaga Pengawas Survei Politik. Media massa khususnya Televisi yang dimiliki atau pro kepada salah satu Capres tidak boleh menggunakan ruang udara publik demi partainya/ capresnya secara berlebihan. Opini intelektual/akademisi harus objektif, kecuali intelektual/akademisi yang secara formal tercatat sebagai Tim Sukses/Tim Kampanye. Diharamkan menggunakan jasa buzzer dan mesin-mesin/robot yang merusak kejernihan suara rakyat. Mesti ada tim pengawas khusus dari KPU atau aparat hukum terhadap perilaku buzzer atau penggunaan mesin robot. Tidak diperbolehkan ada Gabungan Partai Pendukung. Capres cukup diusung satu Partai. Presidential Threshold 0 persen. KPU haris benar-benar netral, tidak boleh ada tangan-tangan gelap ikut mengarahkan. Soal DPT jangan ngarang-ngarang dengan menghitung orang gila, KTP haram dari pendatang luar negeri atau KTP Fiktif, Desa Fiktif, TPS Fiktif, laporan fiktif dll. Ini juga aparat hukum dan keamanan harus serius mengontrol. Menurut sebuah sumber ada 17,5 juta KTP aspal pada gelaran Pemilu/Pilpres yang lalu. Bawaslu dan DKPP bekerjalah serius, jangan mau ditekan oleh institusi lain yang punya kepentingan memenangkan calon tertentu. Bawaslu harus diperkuat. Semoga KPK jangan seperti Lembaga Politik. Pilih-pilih tersangka jelang Pilpres/Pemilu. Kita mengenal frasa Kepolisian Negara, bukan Kepolisian Pemerintah/Rezim. Jadi, tentu juga kita berharap Kepolisian netral dalam Pilpres/ Pemilu. Demi kebaikan bersama, konsentrasi pada keamanan Pilpres/Pemilu. TNI terkenal dengan kemanunggalannya dengan rakyat. Maka, dalam Pilpres/ Pemilu sungguh-sungguh bersama rakyat. Bukan kemanunggalan dengan Pemerintah/Rezim dan rakyat dikorbankan. Kejaksaan dan ASN sebagai bagian dari Pemerintah hendaknya jangan jadi alat ikut memenangkan partai atau capres tertentu. Kalau memang menjadi aparat yang baik, rezim apa pun yang berkuasa tuan tetap bisa mendapat jabatan dan peran. Mahkamah Konstitusi Katanya mereka Negarawan. Negarawan itu berpikir jauh ke depan. Berpikir ke depan untuk kemajuan dan kebaikan rakyat, bangsa, dan negara. Bukan semata untuk kemajuan Keluarga. Jadi, dalam mengambil keputusan dan proses pengadilan, sungguh-sungguhlah jujur dan adil, demi hari depan bangsa dan negara. Hasil penghitungan suara di TPS yang ditandatangani anggota KPPS, yang juga ada anggota partai Peserta Pemilu yang duduk sebagai anggota KPPS, juga harus dianggap final di TPS, maksimal diselesaikan di tingkat kecamatan. Dari Kecamatan Langsung Dikirim ke KPU Pusat. Tembusan dikirim ke DPP Partai masing masing, juga ke KPUD Kabupaten/Propinsi. Dengan teknologi sekarang semua bisa dibuat cepat dan transpsran. Kalau soal penanganan money politics, serangan fajar dll tak perlu lagi dibahas di sini, karena sudah menjadi pengetahuan umum, dan solusinya mestinya juga sudah hafal caranya. Demikian, sebagai harapan kami, untuk keselamatan rakyat, bangsa, dan negara. Demi kebaikan dan kemajuan Indonesia. (*)
PAN Pecah: Zulhas Usung Ganjar, Kader Dukung Anies, Siapa Lebih Kuat?
BEBERAPA hari yang lalu, kita dikejutkan oleh semacam “deklarasi” dari DPW PAN Jawa Tengah yang mendukung Ganjar Pranowo dan Ganjar datang ke DPW PAN bersama Erick Thohir dan Zulkifli Hasan. Mereka kemudian mendeklarasikan Ganjar Pranowo. Tetapi, yang menarik, di Riau tiba-tiba muncul beberapa orang yang mengatasnamakan pengurus DPW PAN, menyatakan deklarasi mendukung Anies Baswedan. Bersama Rocky Gerung, wartawan senior FNN Hersubeno Arief membahas lebih lanjut hal tersebut dalam Kanal Youtube Rocky Gerung Official edisi Senin (05/12/22). “Ya, kalau deklarasi PAN mendukung Ganjar itu biasa aja, yang luar biasa adalah Erick Thohir di situ. Jadi itu deklarasi untuk minta uang deklarasi. Kan itu intinya,” ujar Rocky. Menurut Rocky, di mana ada Erick Thohir, pasti orang akan deklarasi, karena dapat uang. Jadi, sudah menjadi semacam satu keputusan politik bahwa mari kita deklarasikan Ganjar supaya uang masuk. Masalah Ganjar mau terpilih atau tidak, bukan urusan mereka. Itulah akibatnya kalau Ketua Umum PAN itu disandera oleh ambisinya sendiri, sekaligus disandera oleh potensial sprindik. Sebetulnya, menurut Rocky, tidak ada gunanya PAN Jateng mendeklarasikan Ganjar kalau bukan karena uang, karena aura PAN Jawa Tengah habis dihajar oleh PDIP dari awal. Tapi yang di Riau juga hal yang sama, menganggap bahwa apa poinnya mesti memaksa Ganjar, mending Anies. Jadi, lebih autentik orang yang di Riau yang menganggap bahwa mereka ingin supaya Pak Zulhas yang jadi presiden, tetapi Zulhas memilih Ganjar. “Jadi buat apa kemarin ada Munaker, Munas, dan segala macam di PAN dan memastikan calon Presiden, tapi ketuanya sendiri takut untuk maju, dan ketuanya sendiri kemudian merasa lebih baik dapat uang daripada dapat pinalti KPK, kira-kira begitu,” ujar Rocky. Sebenarnya, bukan kita anti karena pendukung Ganjar atau pendukun Anies, tapi kita justru mendorong Pak Zulhas kalau mau maju pilpres. “Itu anehnya. Partai-partai semuanya bikin keputusan bahwa ketua partainya adalah calon presiden. Nah, sekarang dia bikin koalisi untuk cari orang lain. Itu kan dangkal betul,” tegas Rocky. Kalau semua partai begitu, menurut Rocky, buat apa membat partai . Sebetulnya kita melihat kemandirian partai-partai, tetapi partai-partai ini tidak mungkin mandiri selama ada 20%. Jadi, mereka sendiri yang bikin dungu dirinya sendiri, lalu rakyat ikut nonton. Kalau begitu, PAN sudah pecah, DPW Riau memilih Anies, DPW Jawa Tengah memilih Ganjar. Memang keterangannya indisipliner, tapi di belakang itu ada uang. Orang akan menganggap bahwa DPW PAN Jawa Tengah pasti mendapat uang dari Ganjar. DPW PAN tidak mungkin gratisan untuk mendukung Ganjar, apalagi Erick Thohir langsung menempel di situ. “Di mana ada Erick Thohir, di situ pasti ada amplop. Di mana ada Ganjar, pasti ada tukar tambah. Dan itu berarti sakit hatinya PDIP bertambah-tambah. Jadi, kira-kira itu intinya,” terang Rocky. Menurut Rocky, dari etika politik, yang namanya koalisi dari awal kalau kita sebut koalisi ada kejujuran dan Pak Jokowi sendiri yang membangun semua koalisi, tetapi tidak ada kejujuran. Koalisi dengan Megawati di arak-arak awalnya, ternyata Megawati tidak suka pada cara-cara Ganjar. Dua partai, yakni Nasdem dan PDIP, yang kira-kira jadi pengecut. Nasdem pengecut karena tidak mau membela Anies habis-habisan. Cara Nasdem membela Anies adalah keluar dari kabinet. Sedangan PDIP pengecut karena tidak mendisiplinkan Jokowi dan Ganjar. Cara mendisiplinkan Jokowi dan Ganjar ada memecat mereka. Jadi PDIP dan Nasdem tidak ada disiplin partai. Ini adalah upacara-upacara yang isinya adalah saling mengintip, lalu rakyat dijebakkan dalam transaksi-transaksi itu. Kalau kita balik pada tema, selalu ada etika politik yang ingin kita tegaskan,”Nasdem keluar cepat dari kabinet, itu baru bermutu. PDIP pecat segera Ganjar dan Jokowi, itu baru bermutu’” tegas Rocky. Kalau tidak, orang akan meganggap bahwa kalian bermain di atas panggung, tapi di bawah meja terjadi tukar-menukar amplop. Demikian juga Anies. Anies harusnya terang-terangan saja kalau Nasdem tidak mau keluar dari kabinet, dia jangan mau jadi calon presiden yang separuh, separuh masih pro-Jokowi, separuh disuruh bekerja untuk menaikkan elektabilitas Nasdem. Demikian Rocky mengompori Anies. (sof)
Menanyakan Peran dan Posisi TNI Dalam Penegakan Demokrasi dan Konstitusi (1)
Apakah TNI hanya menonton saja masyarakat sipil melakukan perlawanan, protes dan demo, terus-menerus, meskipun bakal berpotensi banyak korban berjatuhan? Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) PADA masa pemerintahan orde baru, TNI terlibat cukup jauh dalam politik. Tidak jarang TNI diberdayakan untuk menjaga keamanan, termasuk untuk mengendalikan protes atau demo warga sipil, atas nama stabilitas politik dan ekonomi. Pemerintahan orde baru jatuh pada tahun 1998. Peran TNI di dalam politik kemudian dipangkas, tidak diberikan tempat sama sekali di dalam konstitusi amandemen 2002. TNI berhasil disingkirkan dari peta politik Indonesia. TNI masuk barak. Pemerintahan Indonesia kemudian beralih menjadi pemerintahan di bawah kendali masyarakat sipil, dengan sistem demokrasi langsung, pasangan calon presiden dan wakil presiden dipilih rakyat secara langsung. Pemerintahan sipil ini diharapkan lebih baik dari pemerintahan sebelumnya yang dianggap represif. Sudah menjadi kepercayaan umum bahwa pemerintahan yang dipimpin masyarakat sipil bisa lebih demokratis, lebih menjamin kebebasan dalam berpendapat, lebih adil dalam pembangunan ekonomi, lebih mampu mengendalikan korupsi, dan bisa mewujudkan kebaikan-kebaikan lainnya. Tetapi, faktanya tidak selalu seperti yang diharapkan. Bahkan, jauh dari harapan. Setelah melaksanakan empat kali pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan presiden (pilpres) secara langsung, kondisi demokrasi dan politik di Indonesia sulit dikatakan membaik, malah dalam banyak hal dapat dipastikan memburuk. Pemilu dan pilpres tidak mencerminkan free and fair. Sebaliknya, masyarakat melihat banyak terjadi pelanggaran, kecurangan dan manipulasi. Pelanggaran terhadap peraturan dan undang-undang semakin transparan, tanpa malu, dan tanpa takut. Seakan-akan hukum tidak berlaku lagi bagi para pejabat: eksekutif, legislatif dan yudikatif. Bahkan, pelanggaran konstitusi juga bukan hal yang mengkhawatirkan. Karena legislatif dan yudikatif sudah tidak berfungsi, mereka telah bersatu dan berkolaborasi dengan eksekutif. Lembaga DPR RI praktis tidak menjalankan fungsi dan tugas konstitusinya. Tidak menjalankan fungsi pengawasan secara memadai terhadap eksekutif, terhadap pengelolaan keuangan negara dan APBN. Sehingga (berpotensi besar) merugikan keuangan negara, antara lain terkait proyek infrastruktur, subsidi, bantuan sosial, impor-ekspor, dan lainnya. DPR menyetujui undang-undang yang menurut masyarakat sangat tidak adil, undang-undang yang bersifat tirani, undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi, namun dilindungi oleh Mahkamah Konstitusi. Antara lain, presidential threshold 20 persen. Dalam bidang ekonomi, terjadi ketimpangan yang sangat serius. Beberapa gelintir pengusaha, termasuk asing, menguasai kekayaan sumber daya alam dalam jumlah sangat besar. Sedangkan kehidupan masyarakat di daerah pertambangan sangat miskin. Daerah pemilik tambang juga miskin. Semua ini bertentangan dengan Konstitusi: bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Masyarakat tentu saja melakukan protes atas ketidakadilan dan pelanggaran terhadap undang-undang dan konstitusi itu. Dengan harapan pemerintah melakukan koreksi. Tapi, semua itu tak ada arti. Protes dan unjuk rasa dijaga sangat ketat, tidak jarang terjadi represif. Kritik dapat disangkakan sebagai ujaran kebencian, penghinaan, atau penghasutan yang dapat dipidana, menggunakan undang-undang ITE (informasi dan transaksi elektronik) atau undang-undang Nomor 1 tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana. Kebebasan berpendapat di pemerintahan sipil ternyata ilusi. Pengritik bisa dipenjara, ada yang sampai hampir satu tahun, sejak penyidikan sampai persidangan. Vonis akhirnya dijatuhkan sesuai masa tahanan, indikasi kuat yang bersangkutan tidak terbukti bersalah. Dengan kondisi negara seperti ini, demokrasi semu, konstitusi terancam, di mana posisi TNI? Apakah TNI diam saja ketika melihat sistem demokrasi dan konstitusi dirusak, yang berpotensi besar membawa negara ini masuk krisis multi dimensi? Apakah TNI hanya menonton saja masyarakat sipil melakukan perlawanan, protes dan demo, terus-menerus, meskipun bakal berpotensi banyak korban berjatuhan? Di mana posisi TNI? Di mana posisi TNI dalam penegakan demokrasi dan konstitusi? Di mana TNI? Bukankah prajurit TNI adalah bayangkari negara dan bangsa Indonesia? Bersambung ke bagian 2. (*)
Kronologi Penembakan Brigadir J Diceritakan Ricky Rizal
Jakarta, FNN - Terdakwa kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J), Ricky Rizal, menjelaskan kronologi penembakan Brigadir J berdasarkan sudut pandangnya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Senin.\"Om Kuat keluar, \'Om-om, dipanggil Bapak (Ferdy Sambo). Om Ricky sama Om Yosua dipanggil Bapak\',\" ucap Ricky meniru Kuat Ma’ruf ketika menyampaikan kesaksiannya.Setelah mendengar pesan dari Kuat Ma’ruf, Ricky menghampiri Yosua dan mengajak Yosua untuk masuk ke rumah dinas Ferdy Sambo di Duren Tiga.Ricky mengatakan bahwa Yosua yang masuk ke kediaman terlebih dahulu, disusul dengan Kuat Ma’ruf, lalu dirinya paling belakang.\"Cuma agak terjeda karena saya sempat berhenti di depan mobil Innova hitam, terus saat masuk itu, saya jalan masuk itu, Yosua sudah di, si Pak Ferdy Sambo ada di sebelah kiri, si Richard ada di sebelah kanannya, terus Om Kuat ada di belakangnya Pak Ferdy Sambo, agak berjarak,\" kata Ricky.Terus, tutur Ricky melanjutkan, dia mendengar Yosua bertanya \"Ada apa?\" Yang dibalas dengan seruan Ferdy Sambo memerintahkan Yosua untuk jongkok.\"Si Richard langsung ngeluarin senjata, Yang Mulia, begitu si Yosua mundur karena \'kan nggak mau jongkok, jadi mundur. Si Richard lepasin tembakan,\" tuturnya.Mendengar suara tembakan, Ricky mengaku kaget. Tembakan terus berlangsung hingga Yosua terjatuh. Setelah penembakan, Ricky beranjak ke dapur karena mendengar suara Romer yang saat itu merupakan ajudan Ferdy Sambo.Akan tetapi, setelah tiba di dapur, dia tidak bertemu dengan siapa pun.\"Terus, saya lihat ke tengah lagi, Pak Ferdy Sambo lagi nembakin dinding. Setelah itu, saya hanya nunggu di dekat dapur. \'Kan sempat takut, Yang Mulia. Kok bisa ada peristiwa seperti ini,\" ucap Ricky.Dalam persidangan hari ini, Ricky Rizal bersaksi untuk terdakwa Kuat Ma’ruf dan Richard Eliezer atau Bharada E. Para terdakwa didakwa oleh jaksa penuntut umum (JPU) dengan dakwaan primer melanggar ketentuan Pasal 340 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, serta dakwaan subsider Pasal 338 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.(ida/ANTARA)
AJI bersama Jurnalis Manokwari Menolak Pengesahan RKUHP
Manokwari, FNN - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tanah Papua menggelar aksi serentak di Jayapura Papua dan Manokwari Papua Barat, Senin, memprotes rencana DPR mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pada 6 Desember 2022. Wakil koordinator advokasi AJI tanah Papua Safwan Ashari di Manokwari, bahwa dari sekitar 627 pasal RKUHP, puluhan pasal diduga bermasalah, dan jika disahkan tentu merugikan rakyat serta membungkam kebebasan pers sebagai alat kontrol kekuasaan. “Hasil kajian AJI, ditemukan 19 pasal dari puluhan pasal RKUHP bermasalah yang sangat jelas membungkam kebebasan Pers dan merugikan rakyat kecil dalam berdemokrasi,” ujar Safwan Ashari dalam orasi di jalan Trikora Wosi Manokwari Papua Barat. Jurnalis Tribun Papua Barat ini juga menilai bahwa upaya pengesahan RKUHP oleh DPR adalah bentuk perampasan hak rakyat untuk membela kepentingan elit birokrat yang berafiliasi dalam sistem oligarki. \"Salah satu isu krusial di dalam RKUHP yang memuat pasal-pasal penghinaan presiden, lembaga negara dan pemerintah merupakan cela hukum bagi masyarakat kecil termasuk pekerja pers untuk mengkritik kerja pengusaha,\" ujarnya. Bahkan, kata Safwan, ada pula pasal-pasal RKUHP yang mengatur kebebasan berekspresi di muka umum seperti unjuk rasa. Padahal, kata dia, yang rakyat butuhkan adalah perlindungan terhadap kebebasan berpendapat, bukan sebaliknya. “Yang rakyat butuhkan adalah perlindungan terhadap kebebasan berpendapat bukan dibatasi untuk berpendapat,\" kata Safwan. Senada dengan Safwan Ashari, jurnalis senior Papua Barat, Alex Tethool, menyatakan bahwa pengesahan RKUHP tidak saja membatasi hak demokrasi rakyat tetapi juga memuluskan niat jahat korporasi untuk terhindar dari jeratan hukum akibat kerusakan lingkungan. \"Pelaku kejahatan lingkungan tentu akan bertepuk dada ketika RKUHP disahkan DPR, karena mayoritas pelakunya adalah korporasi karena pembuktian hukum akan bergantung pada kesalahan pengurus, bukan korporasi terkait,\" ujar Alex. Ia mengatakan, isu-isu krusial lainnya di dalam RKUHP seperti pasal tentang paham yang bertentangan dengan Pancasila, pasal tindak pidana korupsi dan pasal pelanggaran HAM berat justru mengembalikan konsistensi negara demokrasi kepada rezim orde baru. \"Dengan pengesahan RKUHP, secara tidak langsung para penguasa sedang mengarahkan negara demokrasi (Indonesia) kembali ke zaman orde baru,\" kata Alex Tethool. Diketahui aksi menolak pengesahan RKUHP digelar serentak AJI di 40 kota se Indonesia berjalan aman dan terkendali termasuk di kota Manokwari Papua Barat dan Jayapura Papua. Ketua AJI Tanah Papua Lucky Ireeuw mengatakan bahwa aksi AJI di kota Manokwari tepatnya di jalan Trikora Wosi kota Manokwari berlangsung aman terkendali dalam pengawalan belasan personil Polisi Polres Manokwari. \"Aksi serupa juga digelar AJI kota Jayapura, berjalan aman sejak pukul 10.00 WIT hingga aspirasi terhadap pengesahan RKUHP diserahkan kepada wakil rakyat di DPR Provinsi Papua,\" ujar Lucky.(ida/ANTARA)
Pengamanan Wilayah Pantai Digelar Kodim 1820/Lombok Tengah
Praya, Lombok Tengah, FNN - Jajaran Kodim 1620/Lombok Tengah di Nusa Tenggara Barat, menggelar pengamanan di wilayah pantai Selong Belanak dalam rangka memperingati Hari Armada Republik Indonesia 5 Desember 2022\"Pengamanan ini bertujuan untuk mengamankan rangkaian kegiatan pelaksanaan surfing yang dilaksanakan di kawasan pantai Selong belanak dalam memeriahkan puncak peringatan hari Armada RI 2022,\" kata Komandan Kodim 1802/Lombok Tengah, Letnan Kolonel Kavaleri Andi Yusuf di Praya, NTB, Senin.Selain rangkaian kegiatan yang diamankan, baik sebelum selama maupun sesudah anggota Kodim Lombok Tengah bersama anggota Pangkalan TNI AL Mataram dan Batalion Infantri 742/Satya Wira Yudha juga memetakan area yang akan menjadi lokasi tempat berselancar.\"Seperti pemetaan lokasi selancar maupun tempat bersandar para kapal nelayan yang ada di pantai Selong Belanak agar tidak mengganggu pelaksanaan kegiatan selancar,\" katanya.Ia menjelaskan, Hari Armada Republik Indonesia diperingati sebagai bentuk memperkuat persatuan TNI AL untuk menandai hari lahirnya Armada RI yang mempunyai nilai sejarah tunggal, sehingga menjadi momentum yang sangat penting di setiap tahunnya untuk diperingati dengan berbagai macam kegiatan.\"Untuk itu harapan kita kegiatan puncak peringatan hari Armada RI ini nantinya dapat berjalan sukses, lancar dan sesuai rencana yang sudah di tentukan,\" katanya.Ia juga mengimbau kepada masyarakat untuk sama-sama mendukung dan menjaga stabilitas keamanan di daerah setempat, sehingga kegiatan tersebut berjalan aman dan lancar.\"Kami berharap masyarakat bisa mendukung kegiatan ini, sehingga bisa mendukung peningkatan ekonomi masyarakat setempat,\" katanya.(ida/ANTARA)
RUU Ekstradisi Buronan Indonesia dengan Singapura Lanjut ke Paripurna
Jakarta, FNN - Komisi III DPR RI menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengesahan Perjanjian antara Pemerintah RI dan Pemerintah Singapura tentang Ekstradisi Buronan dilanjutkan pada pembahasan selanjutnya untuk untuk dilanjutkan pengambilan keputusan di Rapat Paripurna DPR RI terdekat.\"Apakah Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan Perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Singapura tentang Ekstradisi Buronan dapat disetujui untuk dilanjutkan pada pembicaraan Tingkat II pengambilan keputusan pada Rapat Paripurna DPR RI terdekat?” kata Wakil Ketua Komisi III DPR RI Pangeran Khairul Saleh yang memimpin jalannya rapat kerja di Jakarta, Senin.Pertanyaan itu kemudian dijawab setuju oleh seluruh anggota Komisi III DPR yang hadir. Adapun Fraksi PKS setuju dengan catatan.Sebagai bentuk persetujuan Tingkat I tersebut, dilakukan prosesi penandatangan naskah RUU tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi Buronan oleh masing-masing perwakilan fraksi dan pemerintah.Sebelum persetujuan dibuat, seluruh fraksi pun telah menyampaikan pandangan umum dan pendapat akhir minifraksinya terlebih dahulu.Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H. Laoly yang hadir mewakili Presiden menjelaskan di awal bahwa perjanjian antara Pemerintah RI dengan Pemerintah Singapura tentang ekstradisi buronan sendiri telah ditandatangani oleh kedua negara pada tanggal 25 Januari lalu di Bintan, Kepulauan Riau.\"Pemerintah RI perlu menindaklanjutinya pengesahan perjanjian dengan undang-undang,\" katanya.Yasonna mengatakan bahwa perjanjian tentang ekstradisi buronan antara Pemerintah Indonesia dan Singapura menjadi penting lantaran Singapura kerap menjadi tujuan akhir atau tujuan transit pelaku kejahatan dari Indonesia lantaran letaknya yang berbatasan langsung dengan teritori Indonesia.\"Adanya kerja sama ekstradisi dengan Singapura akan memudahkan aparat penegak hukum dalam menyelesaikan perkara pidana yang pelakunya berada di Singapura,\" ujarnya.Menkumham menjelaskan bahwa perjanjian antara pemerintah Indonesia dan Singapura tentang ekstradisi buronan tersebut mengatur sejumlah hal, di antaranya kesepakatan para pihak untuk melakukan ekstradisi, tindak pidana yang dapat diekstradisikan, dasar ekstradisi, pengecualian wajib terhadap ekstradisi, permintaan dan dokumen pendukung, serta pengaturan penyerahan.Ia menerangkan pula bahwa dalam RUU Pengesahan Perjanjian antara Pemerintah RI dan Pemerintah Singapura tentang Ekstradisi Buronan tersebut mengatur ekstradisi terhadap buronan, tersangka dan terdakwa dalam proses pengadilan, maupun yang telah melaksanakan hukuman suatu tindak pidana.Sebelumnya, Senin (7/11), Komisi III DPR RI menunda rapat kerja (raker) dengan Kemenkumham dan Kemlu terkait dengan pembahasan RUU Pengesahan Perjanjian antara Pemerintah RI dan Pemerintah Singapura tentang Ekstradisi Buronan karena tidak dihadiri langsung oleh Menkumham Yasonna Laoly dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi untuk memberikan penjelasan.(ida/ANTARA)
Anies Bukan Ngga Peduli Korban Bencana?
Kalian kalau mau bantu sesama manusia silakan saja. Teriaklah kepada pemerintah, bukan teriak kepada ARB. Karena ARB udah tahu apa yang akan beliau lakukan tanpa pakai pengumuman. Oleh: Moh. Naufal Dunggio, Aktivis dan Ustadz Kampung BENCANA dan malapetaka itu urusan Khaliq bukan makhluknya. Tak ada satu orangpun yang bisa mendeteksi kapan bencana itu bisa datang. BMKG sekalipun gak bisa mendeteksi. Kita cuma bisa tahu melalui Al-Quran. Bila kemungkaran lebih banyak dari kemaslahatan maka siap-siap bencana akan datang. Kyai sekalipun gak bisa tahu kapan bencana itu akan terjadi, tapi musibah dan bencana bisa Dipolitisir oleh manusia durjana. Seperti yang terjadi kepada Anies Rasyid Baswedan (ARB) saat ini. Dinarasikan seolah-olah ARB gak peduli dengan korban bencana. Apa kalau ARB jenguk para korban lantas musibah hilang? Atau, kalau kemudian ARB bawa sumbangan penderitaan para korban bisa teratasi? Korban bencana bukan urusan rakyat. Itu urusan Pemerintah baik di pusat maupun di daerah. Pemimpin yang mau Capres seperti ARB mengalahkan Prabowo Subianto yang hanya sibuk bikin Tiktok dan didukung Joko Widodo, apa pernah mengunjungi para korban bencana? Nah, sekarang Allah gilirkan dengan wedus gembel Gunung Semeru. Pengen lihat, Ganjar Pranowo apa nengok para korban gaaak? Habis sudah bahan para Haters mau mem-bully ARB. Sehingga mereka lantas memancing agar ARB pergi lihat korban bencana. Dan, dari sana mereka udah siapin jebakan batman untuk memfitnah ARB. Gaya kalian udah kebaca. ARB dengan Silent Operation sudah kirim orang-orang dia untuk membantu korban bencana. Kan mau nolong orang gak usah teriak-teriak, karena itu Riya\'. Kalian kalau mau bantu sesama manusia silakan saja. Teriaklah kepada pemerintah, bukan teriak kepada ARB. Karena ARB udah tahu apa yang akan beliau lakukan tanpa pakai pengumuman. Seperti yang beliau lakukan di DKI Jakarta sewaktu beliau menjabat. ARB sekarang rakyat biasa sama dengan kita. Jadi kalau sudah ada yg turun ke daerah ditimpa bencana itu FARDU KIFAYAH. Kalau pemerintah FARDU \'AIN. Jangan menghindar pemerintah karena kau di bayar rakyat. Wallahu A\'lam ... (*)
Jenderal Dudung dan Marsekal Fadjar Tunjukkan Sikap Loyal dan Ikhlas
Mereka legawa menerima keputusan Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas TNI dalam memutuskan calon Panglima TNI. Hal ini penting untuk menjaga soliditas di lingkungan TNI. Oleh: Selamat Ginting, Analis Komunikasi Politik dan Militer dari Universitas Nasional (UNAS) KEHADIRAN Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Dudung Abdurachman dan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Fadjar Prasetyo mendampingi Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Yudo Margono dalam uji kelayakan dan kepatutan calon Panglima TNI di DPR, menunjukkan sikap loyal dan ikhlas, sesuai asas kepemimpinan militer. Kedua jenderal bintang empat itu mencerminkan 11 asas kepemimpinan TNI, terutama asas satya atau loyal dan legawa atau ikhlas. Dalam asas kedelapan ada yang disebut satya artinya sikap loyal yang timbal balik, dari atasan terhadap bawahan dan dari bawahan terhadap atasan dan ke samping. Dudung dan Fadjar menunjukkan sikap akan setia terhadap Panglima TNI Laksamana Yudo Margono yang merupakan pilihan Presiden Joko Widodo, karena hak prerogratif Presiden sesuai konstitusi. Kemudian pada asas ke-11 disebut legawa artinya kemauan, kerelaan, dan keikhlasan untuk menyerahkan tanggung jawab dan kedudukan kepada generasi berikutnya. Mereka legawa menerima keputusan Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas TNI dalam memutuskan calon Panglima TNI. Hal ini penting untuk menjaga soliditas di lingkungan TNI. Termasuk kehadiran Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebagai bentuk siap menjalin Kerjasama dengan unsur pimpinan TNI yang baru. Jadi, 11 asas kepemimpinan TNI itu memang harus diimplementasikan dan diaplikasikan dalam tindakan nyata, agar mereka bisa menjadi contoh teladan bagi para prajurit TNI lainnya. Apalagi para Kepala Staf Angkatan bertugas membina personel di matranya masing-masing. (*)
Pangeran Sambernyawa versus Pangeran Samberarto
Sempat harus bertempur dalam waktu berurutan dari serbuan dan kejaran Belanda di Madiun, Magetan, Ponorogo, dan secepatnya harus pindah lagi bertempur di Jogjakarta. Oleh: KRT Sutoyo A. Manduronagoro, Koordinator Kajian Politik Merah Putih “ESTU Pitulung Hyang Sukma, Malekat pindah jalmo, Pangeran Dipati sujud ing Allah lan Rasullah” (RM Said, BL. Asmaradana 69: 93). Dalam perjuangannya: “Selalu berdoa lebih baik mati di jalan yang diridhoi Allah (mati syahid) daripada menanggung aib kalah melawan kumpeni” ( RM Said BL. Durmo 63: 320) RM Said (Pangeran Sambernyawa) selalu mengatakan “ingsun tedha ing Allah” dalam melawan Belanda diyakini sebagai perang suci, sekalipun harus gugur dalam peperangan. Awal mula harus melawan Belanda justru ketika sang mertua P. Mangkubumi dan Sunan PB III menyetujui bekerjasama dengan Belanda. Semua bisa terjadi karena liciknya Belanda mengadakan “Perjanjian Giyanti (tahun 1757) yang memecah Mataram menjadi dua, yaitu: P. Mangkubumi di Kasultanan Yogyakarta dan PB III berkuasa di Surakarta. Belanda makin licik memecah-belah Mataram dan harus diperangi karena kelakuan semakin liar menguasai, memecah belah, dan menghasut tatanan kehidupan kerajaan yang sudah mapan. Perjalanan perjuangannya selama 16 tahun (sekitar 250 pertempuran) dalam melawan Belanda. RM Said, tegar dan terus menerjang. Ketika datang bujukan untuk berunding dari Baron Von Hohendorf dan bujukan dari patihnya P. Kundanawarsa untuk berhenti melawan Belanda karena resiko kematian dan bahaya yang sangat besar, semua ditolak . Saran dari patihnya setelah isyarat yang ditemui RM Said sendiri adanya sekawanan burung “dandang” berwarna putih yang jumlahnya ratusan ekor, setiapkali dihalau terbang menjauh kemudian mendekat lagi dengan jumlah yang lebih besar. RM Said tegas mengatakan – “Dakarepken sanadyan aku matiya, Yen wus tumeko janji, aja adoh Mataram, dayane luhuring wang, Puyo pada serah pati, pasrah ing Allah payota di alebu geni” _ (sudah menjadi tekadku biarlah aku gugur di medan laga, asal tidak jauh dari bumi Mataram, itulah yang akan meluhurkan namaku” _ (BL. Surma, 58.151). PM Said (P. Sambernyawa) dalam usia 30 tahun sudah harus melawan Belanda bergerak di tanah Jawa dari satu daerah ke daerah lain, dengan senjata seadanya dan harus terus menembus dan menempuh perjalanan dari satu hutan ke hutan lainnya. Medan laga pertempuran “lir segara tanpa tepi” (bagaikan laut tak bertepi) begitu luas yang harus dijalani, dengan gagah berani. Sempat harus bertempur dalam waktu berurutan dari serbuan dan kejaran Belanda di Madiun, Magetan, Ponorogo, dan secepatnya harus pindah lagi bertempur di Jogjakarta. Betapa heroiknya sekalipun hidup di hutan sang istri – Kanjeng Ratu Bendara dan garwo sepuh RA Kusuma Patahati terus mendampingi dan menyertainya. RM Said cita-citanya ingin menyatukan Mataram di bawah pimpinan satu raja (bukan dipecah-belah oleh Belanda), seperti ditulis oleh Pringgodigdo: “RM Said bleef bij zijn eisch over heat geheele rijk (RM Said tetap ingin menyatukan negara Mataram seluruhnya). Julukan “Pangeran Sambernyawa” karena strategi perangnya menggunakan model atau taktik serangan: dhedhemitan, weweludan, dan jejemblungan. Kecepatan menyerang dan membunuh sebanyak-banyaknya setelah itu pergi menghilang. Belanda sampai mengeluarkan seperti sayembara oleh Nicholas Hartingh – Gubernur Direktur Jawa Pantai Utara – Timur (Javas Noor-Oost kust): akan memberikan 1000 real untuk yang bisa menyerahkan kepada RM Said dan kepala para pengikutnya 500 real. Semua gagal total. Pitutur untuk kondisi saat ini: 1. Perjuangan PM Said (Pangeran Sambernyawa) adalah untuk memerangi penjajah Belanda artinya untuk memusnahkan tirani, penindasan, kedzaliman dan penindasan penguasa terhadap rakyat. 2. Setiap saat dan masa memang tetap saja ada penguasa yang justru berpihak kepada penjajah (Neo Kolonialisme Baru), dengan badut-badut politik yang macam-macam warna, tingkah polah kelakuannya. 3. Saatnya tiba pasti akan lahir pahlawan sejati, bukan pahlawan Samberarto, yang menjijikan, memuakkan, dan harus dimusnahkan. 4. Hanya pejuang sejati manusia suci dan pemberani yang bisa melawan tirani, kedzaliman, penindasan dan mengeluarkan masyarakat dari kesusahan serta penderitaan akibat laku para penguasa yang bejad hanya menghamba kepada nafsu iblis dan penghamba dunia semata. 5. Keadaan negara saat ini yang sangat mengerikan segera bisa keluar dari marabahaya penguasaan dan kooptasi para Kapitalis dan Oligarki. 6. Pitutur untuk masyarakat luas dan khususnya trah Mataram untuk jangan lengah dan segera bertindak atas kejadian saat ini yang mirip seperti terjadi pada jaman RM Said. (*)