AGAMA

Pengurus Masjid At Tin Sembelih 24 Sapi

Jakarta, (FNN) - Pengurus Masjid At Tin Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta Timur menyembelih 24 ekor sapi. Satu di antaranya berbobot 1,1 ton. Kemudian daging hewan kurban tersebut dibagikan kepada masyarakat yang membutuhkan pada perayaan Idul Adha 2021. "Kalau di sini yang dipotong sapinya 24 ekor, paling besar 1,1 ton," kata Pelaksana tugas (Plt) Kadis Ketahanan Pangan, Kelautan dan Pertanian (KPKP) DKI Jakarta, Suharini Eliawati, kepada Antara di Masjid At Tin TMII, Jakarta Timur, Selasa, 20 Juli 2021. Elly, sapaan akrab Suharini menjelaskan, pemeriksaan sebelum dan sesudah sapi disembelih juga menunjukkan, hewan kurban tersebut dalam keadaan sehat. "Kalau secara ante mortem-nya bisa dilihat dari matanya, hidungnya, gerakannya lincah, bulunya bersih dan tidak kusam. Post mortem-nya itu hatinya, itu tidak ditemui cacing hati. Kalaupun ada, itu biasanya tidak perlu dibuang semuanya, limfanya juga cukup padat," ujarnya. Dia juga mengapresiasi panitia kurban Masjid At Tin yang menyediakan meja khusus bagi petugas Dinas KPKP DKI Jakarta untuk melakukan pemeriksaan terhadap hati, paru, limfa dan jantung sapi. "Kemudian Yayasan At Tin juga menyediakan meja untuk pemeriksaan. Jadi, kawan-kawan saya tidak perlu jongkok-jongkok," ucapnya. Namun, dia juga memberikan masukan kepada panitia pelaksana kurban untuk menambah alat potong sehingga proses pemotongan bisa lebih cepat dan segera dibagikan kepada para warga yang berhak menerima zakat (mustahik). "Salah satu masukan yang saya berikan kalau bisa alat potongnya ditambah agar pemotongannya bisa lebih cepat dan lebih rapi. Hal itu karena yang dipotong selalu di atas 20 ekor," ujarnya. (MD).

Menutup Masjid?

Oleh Prof. Daniel Mohammad Rosyid Jakarta, FNN - Dalam PPKM Darurat yang mulai berlaku 3-20 Juli 2021 salah satu arahannya adalah penutupan tempat-tempat ibadah, termasuk masjid. Hemat saya, arahan ini tidak saja keliru tapi juga keji dan tidak konstitusional. Pandangan pragmatis sekuler kiri telah menempatkan tempat ibadah sebagai sektor yang tidak esensial. Bagi saya penutupan masjid adalah maladministrasi publik dengan menggunakan pandemisasi covid-19 sebagai weapon of mass deception. Lalu apa yang esensial ? Bisnis ? Bisnis besar obat dan vaksin ? Ini adalah pandangan yang menyesatkan dan berbahaya. Setelah sektor pendidikan ditutup, kini masjid juga ditutup. Defisit pendidikan selama setahun lebih yang sudah menggunung setinggi hutang akan ditambah dengan defisit moral spiritual. Bagi saya ini tidak bisa diterima. Para pendiri bangsa mengamanahkan bahwa bangsa ini pertama harus dibangun jiwanya, baru kemudian badannya. Jiwa atau mental lebih esensial daripada jasmani. Revolusi mental yang pernah bergaung keras kini tidak terdengar lagi. Apakah dulu sekedar Lips Service? Sejak amandemen UUD1945 yang menjungkirbalikkan dasar-dasar kita bernegara menjadi semakin liberal kapitalistik, masyarakat banyak semakin ditempatkan dalam dua posisi nyaris tanpa pilihan: konsumen dan buruh. Hakekatnya kedua posisi yang dipaksakan itu adalah perbudakan terselubung. Tidak saja konsumen dan buruh dari perspektif ekonomi, tapi juga politik. Baik politik dan ekonomi kini dimonopoli oleh oligarki elite parpol yang didukung para taipan. Ini harus dihentikan secara ekstra konstitusional. Pemilu 2024 hanya akan menjadi instrumen legalisasi net transfer hak politik dan ekonomi rakyat pemilih pada elite parpol dukungan para taipan. No more no less. Liberalisasi pasar pendidikan dan kesehatan sejak reformasi telah menempatkan masyarakat banyak hanya sebagai konsumen persekolahan dan layanan kesehatan. Masyarakat menjadi makin tergantung pada persekolahan juga klinik, puskesmas dan rumah sakit. Gaya hidup masyarakat banyak makin buruk yang menyebabkan comorbid menyebar luas ke berbagai kelas masyarakat. Pendekatan layanan kesehatan jang makin kuratif ini makin mahal dan unsustainable. Masyarakat makin mudah dipermainkan oleh industri obat dan vaksin global dengan kapitalisasi ratusan jika bukan ribuan Triliun Rupiah. Mengatakan bahwa pasar adalah sektor esensial sementara masjid tidak sama saja dengan mengatakan bahwa saudara boleh makmur, kufur nggak masalah. Ini penghinaan atas sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Hanya kaum penyembah berhala ekonomi yang bisa menerima arahan agar masjid ditutup. Islam mengutamakan sholat berjamaah di masjid, terutama bagi laki-laki. Sholat adalah teknologi pertahanan iman agar tidak berbuat maksiat dan mungkar. Masjid adalah institusi yang mengemban pembangunan ketahanan masyarakat secara multi-ranah, multi-cerdas. Menutupnya adalah keliru. Konstitusi masih menjamin bahwa setiap warga negara dapat dengan bebas melaksanakan keyakinannya tanpa mengganggu ummat agama yang lain. Penutupan sekolah dan kampus saja sulit bisa diterima, apalagi masjid. Kebijakan ini terbaca sebagai kelanjutan dari narasi bahwa musuh terbesar Pancasila adalah agama. Ini adalah agenda kelompok sekuler kiri radikal yang kini bersembunyi di balik kekuasaan. Dari perspektif peningkatan imunitas sebagai strategi paling efektif dalam melawan Covid-19 ini, maka penutupan masjid adalah counter-productive Memang covid-19 faktual. Namun respon kita terhadapnya adalah pilihan strategi. Jiwa yang tenang yang tumbuh dari kedekatan pada Allah adalah kunci mental dalam menghadapi teror pandemisasi covid-19 ini. Mereka yg mampu mengelola stress akibat teror biologis ini akan memenangkan mental game ini. Menutup masjid adalah perampasan kebebasan sipil sekaligus sikap ingkar atas berkat dan rahmat Allah yang menjadi dasar bagi keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas. Maladministrasi publik ini tidak bisa diterima. Jatingaleh, 4/7/2021

Melawan Allah dengan Menutup Masjid

By M Rizal Fadillah Bandung, FNN - Covid 19 ini mewabah dengan izin Allah. Allah menurunkan musibah untuk menguji hamba-Nya siapa yang taat dan mendekat. Bukan menjauh lalu merasa diri hebat dan paling tahu untuk mengatur. Ikhtiar bukan pula jalan dalam rangka melanggar. Bacaan iman akan berbeda dengan cara pandang sekuler dan sarwa dunia. Dengan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat maka mobilitas dan interaksi masyarakat dibatasi lebih ketat. Mall dan tempat wisata ditutup, ternyata juga masjid dan mushola. Alasannya kondisi darurat dengan tingkat keterpaparan Covid 19 yang semakin meningkat. Hanya ironinya Bandara tetap dibuka. Lebih ironi lagi proyek nasional dan konstruksi juga seratus persen dibuka. Inilah pandangan materialistik tersebut. Kecurigaan bisa saja karena banyak proyek konstruksi adalah investasi asing khususnya Cina. Luhut koordinator PPKM Jawa Bali tegas menyatakan tempat ibadah tutup sementara. Assisten Operasional Polri Irjen Pol Imam Sugianto menyatakan akan mengerahkan Densus 88 dan Brimob untuk mendatangi masjid dan mushola untuk menerapkan aturan PPKM Darurat tersebut. Apakah mereka yang tetap melaksanakan sholat di Masjid akan disamakan dengan teroris sehingga perlu ditangani oleh Densus 88 ? Darurat itu adalah keadaan yang harus berdasar hukum. Penetapan status darurat semestinya berlandaskan Undang-Undang atau sekurangnya Perppu yang kemudian menjadi Undang-Undang. Sementara PPKM Darurat saat ini dinyatakan hanya berdasarkan Instruksi Mendagri No 15 tahun 2021. Sungguh seenaknya kebijakan yang mempermainkan hukum. Kacaunya lagi pelanggar PPKM menurut Kepolisian akan dikenakan pidana berdasar UU No 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan UU No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Lucu sekali melanggar Intruksi Mendagri diberi sanksi pidana atas dasar Undang-Undang padahal PPKM Darurat itu tidak ada dalam nomenklatur Undang-Undang. Bagaimana rumusan deliknya ? Lagi pula Menteri yang berwenang dalam urusan kedua Undang-Undang tersebut adalah Menteri Kesehatan bukan Menteri Dalam Negeri. Bacalah dengan baik Ketentuan Umum baik UU No. 4 tahun 1984 maupun UU No. 6 tahun 2018. Memang nyata tendensi sikap otoritarian melalui pemaksaan hukum. Pemerintah dengan PPKM Darurat ini sebenarnya bersiasat licik dengan menghindar dari kewajiban yang ditetapkan Undang-Undang. PPKM Darurat substansinya adalah Karantina Wilayah. Pasal 55 ayat (1) UU No 6 tahun 2018 menegaskan kewajiban Pemerintah untuk menyediakan kebutuhan dasar orang dan makanan hewan. Tanggungjawab ini yang justru ditakuti dan dihindari Pemerintah hingga harus lari-lari atau sembunyi dibalik nomenklatur yang diada-adakan sebagaimana PPKM Darurat tersebut. Negara memang pengecut dan bangkrut. Tempat ibadah ditutup meski dibahasakan sementara. Lupa bahwa pandemi adalah ujian Ilahi. Dengan segala perangkat kekuasaan umat dipersulit datang dan beribadah ke masjid. Ada meme di medsos bahwa "Di Palestina orang berani mati untuk membuka masjid, sementara di Indonesia orang berani menutup masjid karena takut mati". Umat tentu akan melawan sebisanya atas kebijakan untuk menutup masjid. Akan tetapi jika kekuasaan memaksakan kehendak dan mengerahkan semua kekuatan pemaksa, maka sebagaimana tak berdayanya umat menjaga Ka'bah dari serangan Abrahah dahulu, maka kini urusan masjid sebagai rumah Allah bukan semata urusan manusia, tetapi otoritas Allah SWT. Silahkan saja rezim zalim berbuat sesukanya tanpa dasar iman namun sebagaimana sunnah-Nya maka Allah akan berbuat mengejutkan atas gangguan terhadap rumah-Nya tersebut. Mereka melawan Allah dengan menutup masjid. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan Bandung, 4 Juli 2021

Saudi Arabia Larang Ibadah Haji Bagi Negara Lain

Saudi, FNN - Arab Saudi untuk tahun kedua melarang jamaah dari negara lain melaksanakan haji, dan membatasi penyelenggaraan ibadah itu hanya untuk warga negara dan penduduknya sebagai tanggapan atas pandemi virus corona. Kementerian Haji Saudi menyatakan bahwa hanya orang-orang berusia antara 18 dan 65 tahun yang telah divaksin atau diimunisasi COVID-19, dan bebas dari penyakit kronis, yang dapat melaksanakan ibadah haji, menurut laporan Saudi Press Agency (SPA) pada Sabtu. Kementerian yang mengelola ibadah umat Muslim ke Mekkah itu juga menetapkan batasan 60.000 jamaah yang bisa mengikuti haji tahun ini. "Keputusan ini (dibuat) untuk menjamin keselamatan haji di tengah ketidakpastian virus corona," kata Menteri Kesehatan Kerajaan Arab Saudi, Tawfiq al-Rabiah, dalam konferensi pers yang disiarkan televisi oleh SPA. “Meskipun vaksin tersedia, ada ketidakpastian virus dan beberapa negara masih mencatat jumlah kasus COVID yang tinggi, tantangan lainnya adalah varian virus yang berbeda, maka muncul keputusan untuk membatasi haji,” tutur al-Rabiah. Menteri al-Rabiah mengatakan hanya vaksin COVID yang disetujui dari Pfizer, Astrazeneca, Moderna, dan Johnson & Johnson yang akan berlaku untuk haji. Sejumlah sumber mengatakan kepada Reuters pada Mei bahwa sebuah rencana sedang dipertimbangkan untuk melarang jamaah dari luar negeri melaksanakan haji---kewajiban sekali seumur hidup bagi setiap Muslim berbadan sehat yang mampu melaksanakannya. Sebelum pandemi mengharuskan orang-orang menjaga jarak sosial, sekitar 2,5 juta jamaah biasa mengunjungi tempat-tempat paling suci Islam di Mekkah dan Madinah untuk haji selama seminggu. Sementara untuk ibadah umrah yang dapat dilakukan sepanjang tahun, secara keseluruhan menghasilkan pemasukan bagi Saudi sekitar 12 miliar dolar AS (sekitar Rp170,7 triliun) per tahun, berdasarkan data resmi pemerintah. (sws)

Skandal Nasional Pembatalan Haji

Presiden kelihatannya kurang, dan bahkan tidak bertanggungjawab adalah skandal kepemimpinan nasional. Ke mana presiden Jokowi pada saat "kegentingan haji" yang memaksa calon jama'ah di Lampung, Banten, Surabaya, Kediri dan lainnya ada yang menarik dana pelunasan? Bukankah keputusan Menag itu atas sepengetahuan atau mungkin atas perintah presiden? Oleh M Rizal Fadillah Bandung, (FNN) - KELIHATANNYA, pembatalan keberangkatan haji tahun 2021 adalah masalah sederhana, tetapi sebenarnya tidak. Ini adalah skandal nasional. Keputusan Menteri Agama No. 660 tahun 2021 dinilai tergesa-gesa dan mengecewakan calon jama'ah yang sudah melunasi dan siap berangkat tahun ini. Alasan kesehatan adanya pandemi Covid 19 tidak cukup rasional karena kenyataannya Indonesia melakukan lobi kuota. Demikian juga soal mepet waktu yang menyulitkan persiapan karena dasarnya kita cenderung menunggu, bukan bersiap-siap. Apalagi, pemerintah Arab Saudi belum memutuskan persoalan kuota dan izin berhaji. Pembatalan merupakan skandal nasional karena sedikitnya enpat hal. Pertama, calon jama'ah telah melakukan setoran pelunasan biaya perjalanan ibadah haji. Kemudian, setoran pelunasan ini dapat ditarik kembali tanpa menghapus porsi keberangkatan. Kesiapan berangkat setelah belasan tahun menunggu, terganjal oleh pembatalan sepihak Menag tanpa konsultasi terlebih dahulu dengan DPR. Kedua, akibat pembatalan Menag maka timbul sorotan mengenai dana haji yang dikelola Badan Pengelolaan Keuangan Haji. Pertanggungjawaban dana yang diinvestasikan maupun simpanan di bank menjadi pertanyaan rakyat. Tuntutan investigasi dan audit secara independen menggelinding dan menguat. Kejujuran dan transparansi pemerintah soal dana haji sejak awal diragukan. Ketiga, DPR yang membocorkan hal yang tak benar tentang kuota haji dari Pemerintah Arab Saudi untuk Indonesia, menjadi hoax nasional. Anggota DPR yang telah salah berujar wajar menjadi tertuduh. Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia, di Jakarta pun merasa perlu untuk membantah dengan menyurati Ketua DPR Puan Maharani. DPR dinilai tidak melaksanakan pencegahan dan fungsi kontrol dengan baik sehingga menimbulkan kegaduhan sosial. Keempat, presiden kelihatannya kurang, dan bahkan tidak bertanggungjawab adalah skandal kepemimpinan nasional. Ke mana presiden Jokowi pada saat "kegentingan haji" yang memaksa calon jama'ah di Lampung, Banten, Surabaya, Kediri dan lainnya ada yang menarik dana pelunasan? Bukankah keputusan Menag itu atas sepengetahuan atau mungkin atas perintah residen? Mengingat pembatalan haji merupakan skandal nasional, maka klarifikasi, investigasi, dan pemberian sanksi mesti dilakukan. Klarifikasi ditunggu atas banyak pertanyaan rakyat dari keputusan pembatalan, dana haji, serta kualitas diplomasi. Investigasi dalam makna audit penyelenggaraan dan audit keuangan. Lalu sanksi atas penyimpangan yang terjadi baik administrasi maupun hukum yang harus tegas diberikan. Skandal haji tahun ini tidak bisa disederhanakan dan dibiarkan. Penting dilakukan evaluasi menyeluruh demi kebaikan penyelenggaraan haji ke depan. Pandemi Covid 19 yang selalu dijadikan alasan pembenar untuk segala hal sehingga penyimpangan apapun tampaknya harus dimaklumi, ditoleransi, bahkan diapresiasi. Skandal harus dibongkar dan dimintakan pertanggungjawaban. Haji tidak boleh dibarengi dengan perbuatan keji. ** Penulis, Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Anggota DPD Aceh Minta Qanun Haji-Umrah Segera Implementasikan

Banda Aceh, FNN - Anggota DPD RI asal Aceh M Fadhil Rahmi mendesak Pemerintah Aceh segera mengimplementasikan qanun (peraturan daerah) Aceh Nomor 5 tahun 2020 tentang penyelenggaraan dan pengelolaan ibadah haji dan umrah. "Keberadaan qanun haji dan umrah penting untuk memangkas daftar tunggu keberangkatan jamaah haji di Aceh yang sangat panjang," katanya di Banda Aceh, Selasa. Qanun Aceh tentang haji dan umrah tersebut telah disahkan oleh DPR Aceh (DPRA) bersama Pemerintah Aceh pada 30 Desember 2020 lewat paripurna DPR Aceh. Fadhil mengatakan berdasarkan data terakhir daftar tunggu keberangkatan haji di Aceh hingga 28 tahun terhitung dari hari pertama mendaftar, dan ini waktu yang cukup lama. Kemudian, daftar tunggu haji semakin lama setelah adanya penundaan atau pembatalan keberangkatan haji dua tahun terakhir sejak pandemi COVID-19. "Sedangkan yang mendaftar terus bertambah. Ini tentu membuat daftar tunggu semakin panjang lagi ke depannya," katanya. Karena itu, menurut Fadhil, solusi terhadap persoalan tersebut adalah melaksanakan qanun penyelenggaran dan pengelolaan ibadah haji dan umrah. Lebih spesifiknya terkait pengaturan soal penambahan kuota haji khusus bagi Aceh. "Pemerintah Aceh bisa melobi penambahan kuota haji khusus untuk memangkas daftar tunggu haji Aceh" katanya. Diharapkan perangkat kerja yang diamanahkan dalam qanun itu juga segera dibentuk sehingga persoalan haji Aceh dapat terselesaikan, demikian M Fadhil Rahmi. (sws)

Audit Dana Haji, Menjawab Kegelisahan Umat

Masalahnya adalah soal kepercayaan jamaah dan rakyat pada umumnya. Bila berbicara pengelolaan uang, memori kolektif rakyat akan terganggu dengan maraknya kasus korupsi. Bila berbicara infrastruktur, memori kolektif itu terusik oleh fakta-fakta pembangunan infrastruktur yang tidak tepat sasaran. Ambil contoh satu saja, Bandara Kertajati, Jawa Barat yang sekarang tidak digunakan untuk penerbangan. Oleh Tamsil Linrung Jakarta, FNN - Sontak, kita semua kaget. Pengumuman Menteri Agama begitu mendadak. Tak sampai dua bulan jelang musim keberangkatan haji, Yaqut Cholil Qoumas mengetuk palu: tahun ini tak ada pemberangkatan jamaah haji. Seketika, masyarakat gundah, wabilkhusus calon jamaah haji. Gaduh tak dapat dihindari. Seperti biasa, media sosial menggeliat. Cerita lawas tentang dana haji untuk pembangunan infrastruktur kembali membuncah. Video-video lama diunggah, termasuk rekaman wawancara Wakil Presiden KH. Ma'ruf Amin yang menyinggung soal sukuk dan pemakaian dana haji bagi pembangunan infrastruktur. Tidak cuma itu. Netizen juga mengunggah ulang potongan pidato Presiden Joko Widodo di sebuah acara. "Kemarin juga sudah kita lantik Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Ini juga sebuah potensi yang sangat besar. Ada kurang lebih 80-90 triliun, yang ini kalau dimanfaatkan dengan baik, ditaruh di tempat-tempat yang memberikan keuntungan besar, juga akan mempercepat pembangunan negara kita," ujar Jokowi dalam video. Pernyataan itu seperti membenarkan spekulasi yang berkembang. Maklum, yang bicara adalah manusia paling punya otoritas, orang nomor satu dan dua di republik. Tentu omongannya tidak melantur, meski konteksnya bisa saja berbeda karena diambil di waktu yang berbeda dari situasi saat ini. Spekulasi menjadi semakin kuat ketika beberapa tokoh mensinyalr dengan gamblang. Ekonom Senior Rizal Ramli misalnya. Dalam sebuah tayangan video bersama Dedi Gumelar dan Gigin Praginanto, Rizal menyebut dana haji ditilep infrastruktur. Benarkah? Menjawab kegelisahan publik, Menteri Agama menyatakan dana haji aman. Begitu pula dengan Kepala Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Anggito Abimanyu. Mereka yang duduk di pemerintahan kompak menelurkan narasi serupa. Saat berkunjung ke kantor BPKH, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy memastikan bahwa laporan yang diterima dari BPKH, dana haji sebesar 150 triliun tidak digunakan untuk pembangunan infrastruktur. Tak kurang, DPR juga menegaskan hal serupa. Namun, spekulasi tak surut, malah terlihat kian liar. Kesan ini muncul boleh jadi karena penjelasan pemerintah tidak disertai data akurat. Masyarakat agaknya semakin rasional. Mereka tak hanya mencerna kata, tapi juga memburu fakta. Terlebih di masa perkembangan teknologi informasi yang memungkinkan publik mencari tahu sesuatu dengan cepat. Bila kita membaca publikasi BPKH misalnya, dana haji disebut diinvestasikan dalam bentuk sukuk Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dan Sukuk Dana Haji Indonesia (SDHI). Dana yang diinvestasikan dalam bentuk sukuk negara masuk dalam keranjang umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dengan begitu, tidak ada yang bisa menjamin bahwa dana jamaah haji tidak digunakan untuk pembangunan infrastruktur. Kepala BPKH Anggito mengatakan, dana kelolaan haji digunakan untuk investasi dan penempatannya di bank syariah. Sebanyak 69,6 persen dana untuk investasi atau senilai Rp 99,53 triliun dan 30,4 persen penempatan di bank syariah atau senilai Rp 43,53 triliun. Di atas kertas, duit-duit jamaah memang tercatat dengan baik layaknya mekanisme perbankan pada umumnya. Ini hal yang wajar, sewajar Anda mendepositokan uang di bank, lalu merasa duit Anda aman, didukung bukti buku deposito. Soal duit itu ke mana dan digunakan untuk apa, itu bukan urusan nasabah, melainkan hak prerogatif pihak bank. Nah, sekarang, muncul pertanyaan kritis. Bagaimana bila nasabahnya adalah kumpulan calon jamaah haji di bawah BPKH? Apakah mereka tidak punya hak untuk mengetahui ke mana saja duit-duit itu mengalir? Pertanyaan itu mungkin terkesan mengada-ada. Namun dalam konteks syariah, ia punya logikanya sendiri. Duit haji adalah duit untuk beribadah sehingga pengelolaannya sebaiknya menghindari perkara yang samar alias syubhat. Syubhat bisa muncul karena banyak hal. Salah satunya adalah bercampurnya antara yang halal dan yang haram. Peluang syubhat memungkinkan terjadi ketika duit calon jamaah haji masuk dalam keranjang umum APBN. Bila sudah di sana, terbuka peluang dana jamaah haji bercampur dengan dana proyek-proyek yang bertentangan dengan syariah. Sebutlah pajak minuman keras, klub malam, dan lain-lain. Sebagai badan yang ditunjuk UU menerima amanat pengelolaan dana haji, BPKH sebaiknya peka dan mulai berpikir mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang menjadi pencetus kegelisahan umat. Begitu pula dengan Kemenag. Saya tahu kepala BPKH Anggito Abimanyu cukup profesional. Dulu, saat menjadi Ketua Badan Anggaran DPR, saya sering berinteraksi dengannya, dalam kapasitas beliau sebagai Kepala Badan Kebijakan Fiskal. Entah bagaimana dengan menteri agama. Saya tak punya pengetahuan lebih. Yang jelas, baik Menag maupun BPKH, seharusnya tidak menjawab kegelisahan umat hanya dengan narasi uang mereka aman, tidak terpakai infrastruktur, dan seterusnya. Bahkan jika pun harus dipakai untuk infrastruktur, saya kira tidak masalah. Toh itu untuk kepentingan bangsa. Jadi, masalahnya tidak di sana. Masalahnya adalah soal kepercayaan jamaah dan rakyat pada umumnya. Bila berbicara pengelolaan uang, memori kolektif rakyat akan terganggu dengan maraknya kasus korupsi. Bila berbicara infrastruktur, memori kolektif itu terusik oleh fakta-fakta pembangunan infrastruktur yang tidak tepat sasaran. Ambil contoh satu saja, bandara kertajati, misalnya. Jadi, wajar kalau ada kekhawatiran di sana-sini. Psikologi rakyat harus dipahami dengan bijak. Kini, di tengah kisruh yang berkembang, adalah momentum yang sangat baik bagi Kemenag dan BPKH untuk menunjukkan kebenaran perkataannya. Rakyat tengah menanti dan agaknya mulai tak sabar. Di ruang publik, mulai menggema tuntutan audit dana haji oleh Badan Pemeriksa Keuangan RI dan konsultan dari kelompok Islam. Desakan itu cukup logis dan lahir dalam momentum yang tepat. Sudah semestinya pemerintah menyambut baik, agar spekulasi tidak berkembang lebih liar. Lagi pula, bila BPKH dan kemenag meyakini duit jamaah terkelola secara prudent, aman dan terkendali, seharusnya tidak ada beban di sana. Audit dana haji sekaligus menjernihkan semua soal. Pertama, dana calon jamaah haji dapat terpantau mengalir ke sektor mana saja. Pemilik dana tak lagi harus khawatir syubhat. Kedua, agar ada titik terang antara investasi dengan keuntungan. Selama ini pemerintah lebih banyak berbicara tentang duit jamaah yang diinvestasikan, tapi jarang berkomentar soal besaran nilai manfaat investasi yang telah diperoleh. Ketiga, dan ini yang paling penting, audit BPK menjadi solusi memulihkan kepercayaan dan dukungan penuh dari rakyat untuk mengelola dana haji mereka. Audit yang dimaksud adalah audit dengan tujuan tertentu yang tidak hanya ditujukan kepada BPKH tapi juga kepada Menteri Agama yang bertanggungjawab atas penempatan dana haji tersebut, termasuk bertanggungjawab dalam pembatalan keberangkatan haji tahun ini. Penulis adalah anggota DPD RI, Ketua Kerjasama Parlemen Indonesia dan Arab Saudi T2017.

Mempertanyakan Dana Haji

Masalahnya, jika sudah masuk dalam keranjang APBN, maka tidak ada yang bisa menjamin bahwa dana tersebut tidak digunakan untuk proyek-proyek pemerintah di bidang infrastruktur. Bahkan bukan itu saja, tetapi juga tak ada garansi bila dana itu tidak akan digunakan untuk membiayai proyek-proyek pemerintah lainnya. Termasuk proyek yang bertentangan dengan syariat Islam. by Tamsil Linrung Jakarta FNN - Keputusan pemerintah membatalkan pemberangkatan haji tahun 2021 adalah peristiwa besar. Bahkan bersejarah untuk negeri ini. Menyedot atensi rakyat hingga di kampung dan pelosok negeri. Maka jadi konsekuensi logis ketika rakyat mempertanyakan, dan berusaha menerka apa alasan sesungguhnya di balik pembatalan tersebut. Termasuk merambah ke soal dana haji. Haji, bagi umat Islam adalah penyempurna rukun Islam. Bagi masyarakat Indonesia, haji bukan sekadar simbol. Ritus sakral tersebut dan rangkaian kegiatan yang menyertainya telah menjelma sebagai produk budaya. Di kampung-kampung misalnya, “titel haji dan hajjah” amat sakral. Pelaksanaan ibadah haji, juga diikuti banyak seremoni. Yang paling merefleksikan betapa haji istimewa di hati umat Islam Indonesia, adalah berbagai upaya dilakukan umat untuk berangkat ke Tanah Suci. Termasuk rela antre. Menyetor uang puluhan juta, meski harus menunggu 45 tahun. Hal ini misalnya, dialami masyarakat di Kabupaten Bantaeng yang mendapat nomor antrean berangkat tahun 2065. Maka keputusan membatalkan pemberangkatan haji tahun ini sangat mengecewakan. Wajar bila kemudian rakyat bereaksi tidak biasa. Termasuk mempertanyakan di mana uang setoran mereka. Sebab, berembus kabar tidak sedap, jika dana setoran haji itu digunakan untuk pendanaan proyek infrastruktur. Penjelasan Kepala Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), Anggito Abimanyu barangkali sedikit menenangkan publik. Bahwa dana haji dalam kondisi aman. “Kami mengelolanya dengan prudent dan profesional. Bisa dilihat di laporan audit BPK yang juga ada di website kami. Mohon dicek, apakah ada lokasi untuk infrastruktur? Ya, tidak ada,” demikian penjelasan Kepala BPKH tersebut. Secara normatif, penjelasan tersebut benar. Memang tidak ada investasi langsung dana haji ke dalam proyek infrastruktur pemerintah. Namun harus dipahami, bukan berarti dana haji tidak dipakai membiayai prasarana yang dibangun pemerintah. Dana haji, diinvestasikan di bank-bank syariah dan instrumen keuangan syariah lainnya. Misalnya, dalam bentuk pembelian surat utang berlabel syariah (Sukuk) yang diterbitkan oleh negara. Untuk Sukuk, dana haji diinvestasikan sebesar kurang lebih 60 persen. Kemudian didepositokan di bank-bank syariah sebesar 35 persen. Saat ini, jumlahnya sekitar Rp 160 triliun. Nah, melalui investasi Sukuk ini, dana haji masuk ke dalam keranjang umum APBN. Sementara itu dana lain yang diinvestasikan di Bank Syariah, pilihan paling amannya, juga nyaris pasti akan ditempatkan dalam bentuk Sukuk. Penempatan dalam bentuk Sukuk inilah yang paling aman dari kerugian karena mendapatkan penjaminan dari pemerintah. Konon dana Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) pun juga ikut diinvestasikan dalam bentuk Sukuk. Pertanyaannya, kenapa BPKH tidak secara langsung menempatkan semuanya sebagai Sukuk? Saya kira karena alasan untuk memudahkan jika sewaktu-waktu ada pencairan. Sebab, investasi Sukuk sifatnya jangka panjang. Hanya bisa ditarik atau dicairkan pada tenggat tertentu. Dana Infrastruktur Masalahnya, jika sudah masuk dalam keranjang APBN, maka tidak ada yang bisa menjamin bahwa dana tersebut tidak digunakan untuk proyek-proyek pemerintah di bidang infrastruktur. Bahkan bukan itu saja, tetapi juga tak ada garansi bila dana itu tidak akan digunakan untuk membiayai proyek-proyek pemerintah lainnya. Termasuk proyek yang bertentangan dengan syariat Islam. Misalnya, bercampur dana haji dengan penerimaan negara dari pajak tempat hiburan malam, klub malam, pelacuran, pajak minuman keras dan penerimaan bukan pajak (PNBP) lainnya. Sukuk, hingga utang luar negeri dan semua bentuk penerimaan lainnya masuk dalam keranjang APBN. Inilah yang mestinya menjadi dasar bahwa tidak ada jaminan dana haji tersebut untuk tidak digunakan dalam proyek pemerintah di bidang infrastruktur, bahkan di bidang apapun jika itu dibiayai APBN. Jika yang dikatakan, tidak ada penempatan secara langsung oleh BPKH, itu benar. Tetapi, tidak ada jaminan bahwa setelah masuk dalam keranjang umum APBN bahwa dana tersebut tidak digunakan untuk infrastruktur. Bahkan lebih dari itu, bisa saja digunakan untuk proyek-proyek yang bertentangan dengan syariat Islam sepanjang proyek tersebut dibiayai APBN. Saya lama berinteraksi dengan Kepala BPKH, Anggito Abimanyu. Ketika itu, beliau sebagai Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) dan saya sebagai pimpinan Badan Anggaran DPR RI. Anggito sangat profesional dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai Kepala BKF. Saya yakin juga sama profesionalnya dalam posisinya sekarang sebagai Kepala BPKH. Sayangnya, Anggito tidak menjelaskan tentang dana-dana tersebut yang masuk ke dalam keranjang umum APBN dan pendistribusiannya yang sangat memungkinkan dialokasikan mengongkosi berbagai program pemerintah. Baik di bidang infrastruktur, maupun yang lainnya. Saya perlu menyampaikan penjelasan ini, agar kita tidak terbuai dan merasa sudah sangat aman. Bisa mencairkan keseluruhan dana haji tersebut kapan waktu saja. Ini keliru. Yang kita harapkan, mudah-mudahan dana cadangan sebesar dua kali pemberangkatan haji itu tetap tersedia. Artinya, ada dana sebesar Rp 31,5 triliun. Termasuk yang didepositokan di bank-bank syariah, yang sewaktu-waktu dapat dicairkan. Penarikan besar-besaran tentu berpotensi membuat bank syariah kesulitan likuiditas. Apalagi bank syariah kita tahu banyak pula yang mengandalkan Sukuk. Terlebih dalam situasi resesi ekonomi. Problemnya, penarikan Sukuk perlu waktu lama. Misalnya 10 tahun. Karena jangka waktu 10 tahun inilah yang menjanjikan keuntungan besar. Dari Sukuk, BPKH mendapatkan laba yang dikembalikan ke jemaah, kira-kira sebesar di atas Rp 10 triliun setiap tahun. Selain itu, BPKH juga dapat tambahan dana dari setoran jemaah calon haji yang antreannya diperkirakan sekitar 10 sampai 30 tahun kemudian baru bisa mendapatkan giliran berhaji. Apalagi dengan adanya tambahan jamaah baru dalam dua tahun ini. Paling tidak, ada dana segar dari satu juta calon jamaah haji. Ditambah 420.000 jamaah yang tidak berangkat. Salah satunya karena tahun ini pemerintah membatalkan pemberangkatan haji tanpa alasan yang transparan. Dari itu semua, mestinya ada tambahan setoran baru tidak kurang dari Rp 35 triliun di saku BPKH.** Penulis adalah DPD RI, dan Ketua Kerjasama Parlemen Indonesia dan Arab Saudi Tahun 2017.

Simpang-siur Penyelenggaraan Haji 2021

By Asyari Usman MEDAN, (FNN) - APAKAH masih belum jelas soal pengiriman jemaah haji Indonesia ke Arab Saudi tahun ini (2021)? Tentu tidak. Sudah jelas dan tegas. Pemerintah memutuskan tidak mengirimkan jemaah. Alasannya, wabah Covid-19 yang masih berkecamuk. Jadi, kirim jemaah atau tidak, sudah terjawab beberapa hari lalu. Menteri Agama Yaqut Qoumas yang memastikan jemaah Indonesia tidak dikirim. Lantas, apa yang simpangsiur? Yang simpangsiur alias tidak pasti itu adalah alasan mengapa jemaah haji tidak diberangkatkan. Menag Yaqut mengatakan karena wabah Covid. Tetapi, banyak pihak yang meragukan alasan tersebut. Ada yang mengatakan Yaqut dan Dubes RI di Saudi, Agus Maftuh Abegebriel, gagal melobi pemerintah Saudi. Kenapa disebut gagal? Karena tahun ini Saudi membolehkan pelaksanaan ibadah haji, tetapi dibatasi jumlah jemaahnya. Sangat kecil jumlah yang boleh berhaji. Hanya 60.000 orang untuk seluruh dunia. Dari jumlah ini, 45.000 dialokasikan untuk jemaah internasional. Sedangkan 15.000 lagi untuk warga Arab Saudi sendiri. Kelihatannya sedikit sekali untuk dibagi-bagi ke hampir 100 negara yang mengirimkan jemaah haji, termasuk negara-negara yang mayoritas penduduknya non-muslim seperti Amerika Serikat, Eropa, Australia. Yang 45.000 itu untuk Indonesia sendiri pun terasa sangat tidak memadai. Nah, yang menjadi pertanyaan, mengapa Indonesia tidak mendapatkan jatah sama sekali? Mengapa tidak seorang pun bisa diberangkatkan? Padahal, India saja bisa mendapatkan kuota sekitar 5.000 orang. Padahal, mayoritas penduduknya Hindu. Apakah karena pemerintah “malas” melobi karena pasti dikasih “tidak seberapa” itu? Kalau ini yang menjadi pertimbangan untuk tidak memberangkatkan seluruh jemaah haji, pemerintah salah langkah. Andaikata pun Saudi hanya membolehkan 1.000 jemaah Indonesia berhaji tahun ini, Menag Yaqut dan Dubes Maftuh bisa menunjukkan, pemerintah telah berusaha sekuat tenaga. Simpangsiur lainnya adalah, apakah Arab Saudi sudah mengumumkan kuota haji atau belum? Menurut Dubes Maftuh, belum (hingga 4 Juni 2021). Padahal, bulan Mei yang baru lewat, pejabat tinggi keagamaan Pakistan, Maulana Tahir Ashrafi, mengatakan Arab Saudi mengizinkan 60.000 orang melaksanakan haji. Siapa yang benar? Penulis wartawan senior FNN.co.id

Muhammadiyah Himpun Rp 32 Milyar Lebih untuk Palestina

YOGYAKARTA, FNN - Dana kemanusiaan yang terkumpul melalui Muhammadiyah mencapai Rp 32, 185 miliar. Bantuan yang digalang tersebut merupakan manifestasi dari pembelaan terhadap pentingnya sebuah bangsa untuk hidup bebas di tanah airnya sendiri. “Alhamdulillah, Lazismu (Lembaga Amal Zakat Infaq dan Sedekah Muhammadiyah) melaporkan kepada PP Muhammadiyah, telah terkumpul dana kemanusiaan untuk Palestina sebesar Rp 32,185 miliar sebagai wujud dari partisipasi dan komitmen Muhammadiyah termasuk di dalamnya Aisyiyah, kekuatan dan unsur persyarikatan serta Amal Usaha Muhammadiyah dalam membela Palestina dari agresi dan tindakan sewenang-wenang zionis Israel,” kata Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir, dalam siaran pers yang diterima FNN.co.id, Sabtu (5/6). “Pembelaan Muhammadiyah terhadap Palestina memiliki napas yang sama dengan perjuangan rakyat Indonesia sebagai bangsa yang pernah dijajah begitu lama, dan mengalami penderitaan yang begitu panjang. Kami turut mengapresiasi langkah pemerintah Indonesia yang telah bertindak tegas terhadap zionis Israel,” kata Haedar. Pengurus Pusat Organisasi Kemasyarakatan Islam yang didirikan KH Ahmad Dahlan tersebut bersyukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala sekaligus berterimakasih kepada seluruh pimpinan wilayah, organisasi otonom, majelis, lembaga, cabang, ranting, PCIM/PCIA serta seluruh anggota persyarikatan dan simpatisan yang telah mendonasikan sebagian rezekinya untuk dana kemanusiaan Palestina Haedar juga menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada lapisan masyarakat yang telah memiliki jiwa semangat dan komitmen yang tinggi untuk dana kemanusiaan Palestina dan kemanusiaan lainnya yang selama ini selalu menjadi bagian panggilan Al-maun yang menjadi ideologi dan teologi gerakan Muhammadiyah untuk kemanusiaan semesta. Dengan dana Rp 32 miliar lebih, tentu Muhammadiyah berkomitmen agar penyalurannya betul-betul amanah, good governance dan juga diperuntukkan atas program jangka panjang dan strategis bagi bangsa Palestina. "Insha Allah lewat Lazismu dan Muhammadiyah Aid, persyarikatan akan mengelola dana ini dengan sebaik-baiknya,” ujar Haedar. Haedar berharap, setelah pengumuman dana kemanusiaan Palestina, seluruh bagian di persyarikatan, baik dari wilayah sampai dengan ranting serta AUM, PCIM/PCIA DAPAY memulai lagi dan menggerakkan dana dakwah untuk kemanusiaan bagi program di dalam negeri. Muhammadiyah harus hadir bagi kepentingan mengangkat harkat derajat dan martabat masyarakat yang masih dhuafa dan mustadafin serta masyarakat luas yang masih membutuhkan peran pemberdayaan. “Saatnya kita tunjukkan, dana dakwan dan dana kemanusiaan untuk kepentingan pemberdayaan dan kemajuan masyarakat khususnya kelompok dhuafa mustadafin sama pentingnya dengan dana kemanusiaan bagi Palestina, Rohingya dan dana kemanusiaan di tingkat internasional lainnya. Saatnya menggerakkan potensi dan komitmen untuk dana dakwah dan dana kemanusiaan persyarikatan yang berbasis Al-Maun untuk membebaskan dan memajukan umat di negeri tercinta,” tutur Haedar. **