AGAMA
Anggota DPD Aceh Minta Qanun Haji-Umrah Segera Implementasikan
Banda Aceh, FNN - Anggota DPD RI asal Aceh M Fadhil Rahmi mendesak Pemerintah Aceh segera mengimplementasikan qanun (peraturan daerah) Aceh Nomor 5 tahun 2020 tentang penyelenggaraan dan pengelolaan ibadah haji dan umrah. "Keberadaan qanun haji dan umrah penting untuk memangkas daftar tunggu keberangkatan jamaah haji di Aceh yang sangat panjang," katanya di Banda Aceh, Selasa. Qanun Aceh tentang haji dan umrah tersebut telah disahkan oleh DPR Aceh (DPRA) bersama Pemerintah Aceh pada 30 Desember 2020 lewat paripurna DPR Aceh. Fadhil mengatakan berdasarkan data terakhir daftar tunggu keberangkatan haji di Aceh hingga 28 tahun terhitung dari hari pertama mendaftar, dan ini waktu yang cukup lama. Kemudian, daftar tunggu haji semakin lama setelah adanya penundaan atau pembatalan keberangkatan haji dua tahun terakhir sejak pandemi COVID-19. "Sedangkan yang mendaftar terus bertambah. Ini tentu membuat daftar tunggu semakin panjang lagi ke depannya," katanya. Karena itu, menurut Fadhil, solusi terhadap persoalan tersebut adalah melaksanakan qanun penyelenggaran dan pengelolaan ibadah haji dan umrah. Lebih spesifiknya terkait pengaturan soal penambahan kuota haji khusus bagi Aceh. "Pemerintah Aceh bisa melobi penambahan kuota haji khusus untuk memangkas daftar tunggu haji Aceh" katanya. Diharapkan perangkat kerja yang diamanahkan dalam qanun itu juga segera dibentuk sehingga persoalan haji Aceh dapat terselesaikan, demikian M Fadhil Rahmi. (sws)
Audit Dana Haji, Menjawab Kegelisahan Umat
Masalahnya adalah soal kepercayaan jamaah dan rakyat pada umumnya. Bila berbicara pengelolaan uang, memori kolektif rakyat akan terganggu dengan maraknya kasus korupsi. Bila berbicara infrastruktur, memori kolektif itu terusik oleh fakta-fakta pembangunan infrastruktur yang tidak tepat sasaran. Ambil contoh satu saja, Bandara Kertajati, Jawa Barat yang sekarang tidak digunakan untuk penerbangan. Oleh Tamsil Linrung Jakarta, FNN - Sontak, kita semua kaget. Pengumuman Menteri Agama begitu mendadak. Tak sampai dua bulan jelang musim keberangkatan haji, Yaqut Cholil Qoumas mengetuk palu: tahun ini tak ada pemberangkatan jamaah haji. Seketika, masyarakat gundah, wabilkhusus calon jamaah haji. Gaduh tak dapat dihindari. Seperti biasa, media sosial menggeliat. Cerita lawas tentang dana haji untuk pembangunan infrastruktur kembali membuncah. Video-video lama diunggah, termasuk rekaman wawancara Wakil Presiden KH. Ma'ruf Amin yang menyinggung soal sukuk dan pemakaian dana haji bagi pembangunan infrastruktur. Tidak cuma itu. Netizen juga mengunggah ulang potongan pidato Presiden Joko Widodo di sebuah acara. "Kemarin juga sudah kita lantik Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Ini juga sebuah potensi yang sangat besar. Ada kurang lebih 80-90 triliun, yang ini kalau dimanfaatkan dengan baik, ditaruh di tempat-tempat yang memberikan keuntungan besar, juga akan mempercepat pembangunan negara kita," ujar Jokowi dalam video. Pernyataan itu seperti membenarkan spekulasi yang berkembang. Maklum, yang bicara adalah manusia paling punya otoritas, orang nomor satu dan dua di republik. Tentu omongannya tidak melantur, meski konteksnya bisa saja berbeda karena diambil di waktu yang berbeda dari situasi saat ini. Spekulasi menjadi semakin kuat ketika beberapa tokoh mensinyalr dengan gamblang. Ekonom Senior Rizal Ramli misalnya. Dalam sebuah tayangan video bersama Dedi Gumelar dan Gigin Praginanto, Rizal menyebut dana haji ditilep infrastruktur. Benarkah? Menjawab kegelisahan publik, Menteri Agama menyatakan dana haji aman. Begitu pula dengan Kepala Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Anggito Abimanyu. Mereka yang duduk di pemerintahan kompak menelurkan narasi serupa. Saat berkunjung ke kantor BPKH, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy memastikan bahwa laporan yang diterima dari BPKH, dana haji sebesar 150 triliun tidak digunakan untuk pembangunan infrastruktur. Tak kurang, DPR juga menegaskan hal serupa. Namun, spekulasi tak surut, malah terlihat kian liar. Kesan ini muncul boleh jadi karena penjelasan pemerintah tidak disertai data akurat. Masyarakat agaknya semakin rasional. Mereka tak hanya mencerna kata, tapi juga memburu fakta. Terlebih di masa perkembangan teknologi informasi yang memungkinkan publik mencari tahu sesuatu dengan cepat. Bila kita membaca publikasi BPKH misalnya, dana haji disebut diinvestasikan dalam bentuk sukuk Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dan Sukuk Dana Haji Indonesia (SDHI). Dana yang diinvestasikan dalam bentuk sukuk negara masuk dalam keranjang umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dengan begitu, tidak ada yang bisa menjamin bahwa dana jamaah haji tidak digunakan untuk pembangunan infrastruktur. Kepala BPKH Anggito mengatakan, dana kelolaan haji digunakan untuk investasi dan penempatannya di bank syariah. Sebanyak 69,6 persen dana untuk investasi atau senilai Rp 99,53 triliun dan 30,4 persen penempatan di bank syariah atau senilai Rp 43,53 triliun. Di atas kertas, duit-duit jamaah memang tercatat dengan baik layaknya mekanisme perbankan pada umumnya. Ini hal yang wajar, sewajar Anda mendepositokan uang di bank, lalu merasa duit Anda aman, didukung bukti buku deposito. Soal duit itu ke mana dan digunakan untuk apa, itu bukan urusan nasabah, melainkan hak prerogatif pihak bank. Nah, sekarang, muncul pertanyaan kritis. Bagaimana bila nasabahnya adalah kumpulan calon jamaah haji di bawah BPKH? Apakah mereka tidak punya hak untuk mengetahui ke mana saja duit-duit itu mengalir? Pertanyaan itu mungkin terkesan mengada-ada. Namun dalam konteks syariah, ia punya logikanya sendiri. Duit haji adalah duit untuk beribadah sehingga pengelolaannya sebaiknya menghindari perkara yang samar alias syubhat. Syubhat bisa muncul karena banyak hal. Salah satunya adalah bercampurnya antara yang halal dan yang haram. Peluang syubhat memungkinkan terjadi ketika duit calon jamaah haji masuk dalam keranjang umum APBN. Bila sudah di sana, terbuka peluang dana jamaah haji bercampur dengan dana proyek-proyek yang bertentangan dengan syariah. Sebutlah pajak minuman keras, klub malam, dan lain-lain. Sebagai badan yang ditunjuk UU menerima amanat pengelolaan dana haji, BPKH sebaiknya peka dan mulai berpikir mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang menjadi pencetus kegelisahan umat. Begitu pula dengan Kemenag. Saya tahu kepala BPKH Anggito Abimanyu cukup profesional. Dulu, saat menjadi Ketua Badan Anggaran DPR, saya sering berinteraksi dengannya, dalam kapasitas beliau sebagai Kepala Badan Kebijakan Fiskal. Entah bagaimana dengan menteri agama. Saya tak punya pengetahuan lebih. Yang jelas, baik Menag maupun BPKH, seharusnya tidak menjawab kegelisahan umat hanya dengan narasi uang mereka aman, tidak terpakai infrastruktur, dan seterusnya. Bahkan jika pun harus dipakai untuk infrastruktur, saya kira tidak masalah. Toh itu untuk kepentingan bangsa. Jadi, masalahnya tidak di sana. Masalahnya adalah soal kepercayaan jamaah dan rakyat pada umumnya. Bila berbicara pengelolaan uang, memori kolektif rakyat akan terganggu dengan maraknya kasus korupsi. Bila berbicara infrastruktur, memori kolektif itu terusik oleh fakta-fakta pembangunan infrastruktur yang tidak tepat sasaran. Ambil contoh satu saja, bandara kertajati, misalnya. Jadi, wajar kalau ada kekhawatiran di sana-sini. Psikologi rakyat harus dipahami dengan bijak. Kini, di tengah kisruh yang berkembang, adalah momentum yang sangat baik bagi Kemenag dan BPKH untuk menunjukkan kebenaran perkataannya. Rakyat tengah menanti dan agaknya mulai tak sabar. Di ruang publik, mulai menggema tuntutan audit dana haji oleh Badan Pemeriksa Keuangan RI dan konsultan dari kelompok Islam. Desakan itu cukup logis dan lahir dalam momentum yang tepat. Sudah semestinya pemerintah menyambut baik, agar spekulasi tidak berkembang lebih liar. Lagi pula, bila BPKH dan kemenag meyakini duit jamaah terkelola secara prudent, aman dan terkendali, seharusnya tidak ada beban di sana. Audit dana haji sekaligus menjernihkan semua soal. Pertama, dana calon jamaah haji dapat terpantau mengalir ke sektor mana saja. Pemilik dana tak lagi harus khawatir syubhat. Kedua, agar ada titik terang antara investasi dengan keuntungan. Selama ini pemerintah lebih banyak berbicara tentang duit jamaah yang diinvestasikan, tapi jarang berkomentar soal besaran nilai manfaat investasi yang telah diperoleh. Ketiga, dan ini yang paling penting, audit BPK menjadi solusi memulihkan kepercayaan dan dukungan penuh dari rakyat untuk mengelola dana haji mereka. Audit yang dimaksud adalah audit dengan tujuan tertentu yang tidak hanya ditujukan kepada BPKH tapi juga kepada Menteri Agama yang bertanggungjawab atas penempatan dana haji tersebut, termasuk bertanggungjawab dalam pembatalan keberangkatan haji tahun ini. Penulis adalah anggota DPD RI, Ketua Kerjasama Parlemen Indonesia dan Arab Saudi T2017.
Mempertanyakan Dana Haji
Masalahnya, jika sudah masuk dalam keranjang APBN, maka tidak ada yang bisa menjamin bahwa dana tersebut tidak digunakan untuk proyek-proyek pemerintah di bidang infrastruktur. Bahkan bukan itu saja, tetapi juga tak ada garansi bila dana itu tidak akan digunakan untuk membiayai proyek-proyek pemerintah lainnya. Termasuk proyek yang bertentangan dengan syariat Islam. by Tamsil Linrung Jakarta FNN - Keputusan pemerintah membatalkan pemberangkatan haji tahun 2021 adalah peristiwa besar. Bahkan bersejarah untuk negeri ini. Menyedot atensi rakyat hingga di kampung dan pelosok negeri. Maka jadi konsekuensi logis ketika rakyat mempertanyakan, dan berusaha menerka apa alasan sesungguhnya di balik pembatalan tersebut. Termasuk merambah ke soal dana haji. Haji, bagi umat Islam adalah penyempurna rukun Islam. Bagi masyarakat Indonesia, haji bukan sekadar simbol. Ritus sakral tersebut dan rangkaian kegiatan yang menyertainya telah menjelma sebagai produk budaya. Di kampung-kampung misalnya, “titel haji dan hajjah” amat sakral. Pelaksanaan ibadah haji, juga diikuti banyak seremoni. Yang paling merefleksikan betapa haji istimewa di hati umat Islam Indonesia, adalah berbagai upaya dilakukan umat untuk berangkat ke Tanah Suci. Termasuk rela antre. Menyetor uang puluhan juta, meski harus menunggu 45 tahun. Hal ini misalnya, dialami masyarakat di Kabupaten Bantaeng yang mendapat nomor antrean berangkat tahun 2065. Maka keputusan membatalkan pemberangkatan haji tahun ini sangat mengecewakan. Wajar bila kemudian rakyat bereaksi tidak biasa. Termasuk mempertanyakan di mana uang setoran mereka. Sebab, berembus kabar tidak sedap, jika dana setoran haji itu digunakan untuk pendanaan proyek infrastruktur. Penjelasan Kepala Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), Anggito Abimanyu barangkali sedikit menenangkan publik. Bahwa dana haji dalam kondisi aman. “Kami mengelolanya dengan prudent dan profesional. Bisa dilihat di laporan audit BPK yang juga ada di website kami. Mohon dicek, apakah ada lokasi untuk infrastruktur? Ya, tidak ada,” demikian penjelasan Kepala BPKH tersebut. Secara normatif, penjelasan tersebut benar. Memang tidak ada investasi langsung dana haji ke dalam proyek infrastruktur pemerintah. Namun harus dipahami, bukan berarti dana haji tidak dipakai membiayai prasarana yang dibangun pemerintah. Dana haji, diinvestasikan di bank-bank syariah dan instrumen keuangan syariah lainnya. Misalnya, dalam bentuk pembelian surat utang berlabel syariah (Sukuk) yang diterbitkan oleh negara. Untuk Sukuk, dana haji diinvestasikan sebesar kurang lebih 60 persen. Kemudian didepositokan di bank-bank syariah sebesar 35 persen. Saat ini, jumlahnya sekitar Rp 160 triliun. Nah, melalui investasi Sukuk ini, dana haji masuk ke dalam keranjang umum APBN. Sementara itu dana lain yang diinvestasikan di Bank Syariah, pilihan paling amannya, juga nyaris pasti akan ditempatkan dalam bentuk Sukuk. Penempatan dalam bentuk Sukuk inilah yang paling aman dari kerugian karena mendapatkan penjaminan dari pemerintah. Konon dana Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) pun juga ikut diinvestasikan dalam bentuk Sukuk. Pertanyaannya, kenapa BPKH tidak secara langsung menempatkan semuanya sebagai Sukuk? Saya kira karena alasan untuk memudahkan jika sewaktu-waktu ada pencairan. Sebab, investasi Sukuk sifatnya jangka panjang. Hanya bisa ditarik atau dicairkan pada tenggat tertentu. Dana Infrastruktur Masalahnya, jika sudah masuk dalam keranjang APBN, maka tidak ada yang bisa menjamin bahwa dana tersebut tidak digunakan untuk proyek-proyek pemerintah di bidang infrastruktur. Bahkan bukan itu saja, tetapi juga tak ada garansi bila dana itu tidak akan digunakan untuk membiayai proyek-proyek pemerintah lainnya. Termasuk proyek yang bertentangan dengan syariat Islam. Misalnya, bercampur dana haji dengan penerimaan negara dari pajak tempat hiburan malam, klub malam, pelacuran, pajak minuman keras dan penerimaan bukan pajak (PNBP) lainnya. Sukuk, hingga utang luar negeri dan semua bentuk penerimaan lainnya masuk dalam keranjang APBN. Inilah yang mestinya menjadi dasar bahwa tidak ada jaminan dana haji tersebut untuk tidak digunakan dalam proyek pemerintah di bidang infrastruktur, bahkan di bidang apapun jika itu dibiayai APBN. Jika yang dikatakan, tidak ada penempatan secara langsung oleh BPKH, itu benar. Tetapi, tidak ada jaminan bahwa setelah masuk dalam keranjang umum APBN bahwa dana tersebut tidak digunakan untuk infrastruktur. Bahkan lebih dari itu, bisa saja digunakan untuk proyek-proyek yang bertentangan dengan syariat Islam sepanjang proyek tersebut dibiayai APBN. Saya lama berinteraksi dengan Kepala BPKH, Anggito Abimanyu. Ketika itu, beliau sebagai Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) dan saya sebagai pimpinan Badan Anggaran DPR RI. Anggito sangat profesional dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai Kepala BKF. Saya yakin juga sama profesionalnya dalam posisinya sekarang sebagai Kepala BPKH. Sayangnya, Anggito tidak menjelaskan tentang dana-dana tersebut yang masuk ke dalam keranjang umum APBN dan pendistribusiannya yang sangat memungkinkan dialokasikan mengongkosi berbagai program pemerintah. Baik di bidang infrastruktur, maupun yang lainnya. Saya perlu menyampaikan penjelasan ini, agar kita tidak terbuai dan merasa sudah sangat aman. Bisa mencairkan keseluruhan dana haji tersebut kapan waktu saja. Ini keliru. Yang kita harapkan, mudah-mudahan dana cadangan sebesar dua kali pemberangkatan haji itu tetap tersedia. Artinya, ada dana sebesar Rp 31,5 triliun. Termasuk yang didepositokan di bank-bank syariah, yang sewaktu-waktu dapat dicairkan. Penarikan besar-besaran tentu berpotensi membuat bank syariah kesulitan likuiditas. Apalagi bank syariah kita tahu banyak pula yang mengandalkan Sukuk. Terlebih dalam situasi resesi ekonomi. Problemnya, penarikan Sukuk perlu waktu lama. Misalnya 10 tahun. Karena jangka waktu 10 tahun inilah yang menjanjikan keuntungan besar. Dari Sukuk, BPKH mendapatkan laba yang dikembalikan ke jemaah, kira-kira sebesar di atas Rp 10 triliun setiap tahun. Selain itu, BPKH juga dapat tambahan dana dari setoran jemaah calon haji yang antreannya diperkirakan sekitar 10 sampai 30 tahun kemudian baru bisa mendapatkan giliran berhaji. Apalagi dengan adanya tambahan jamaah baru dalam dua tahun ini. Paling tidak, ada dana segar dari satu juta calon jamaah haji. Ditambah 420.000 jamaah yang tidak berangkat. Salah satunya karena tahun ini pemerintah membatalkan pemberangkatan haji tanpa alasan yang transparan. Dari itu semua, mestinya ada tambahan setoran baru tidak kurang dari Rp 35 triliun di saku BPKH.** Penulis adalah DPD RI, dan Ketua Kerjasama Parlemen Indonesia dan Arab Saudi Tahun 2017.
Simpang-siur Penyelenggaraan Haji 2021
By Asyari Usman MEDAN, (FNN) - APAKAH masih belum jelas soal pengiriman jemaah haji Indonesia ke Arab Saudi tahun ini (2021)? Tentu tidak. Sudah jelas dan tegas. Pemerintah memutuskan tidak mengirimkan jemaah. Alasannya, wabah Covid-19 yang masih berkecamuk. Jadi, kirim jemaah atau tidak, sudah terjawab beberapa hari lalu. Menteri Agama Yaqut Qoumas yang memastikan jemaah Indonesia tidak dikirim. Lantas, apa yang simpangsiur? Yang simpangsiur alias tidak pasti itu adalah alasan mengapa jemaah haji tidak diberangkatkan. Menag Yaqut mengatakan karena wabah Covid. Tetapi, banyak pihak yang meragukan alasan tersebut. Ada yang mengatakan Yaqut dan Dubes RI di Saudi, Agus Maftuh Abegebriel, gagal melobi pemerintah Saudi. Kenapa disebut gagal? Karena tahun ini Saudi membolehkan pelaksanaan ibadah haji, tetapi dibatasi jumlah jemaahnya. Sangat kecil jumlah yang boleh berhaji. Hanya 60.000 orang untuk seluruh dunia. Dari jumlah ini, 45.000 dialokasikan untuk jemaah internasional. Sedangkan 15.000 lagi untuk warga Arab Saudi sendiri. Kelihatannya sedikit sekali untuk dibagi-bagi ke hampir 100 negara yang mengirimkan jemaah haji, termasuk negara-negara yang mayoritas penduduknya non-muslim seperti Amerika Serikat, Eropa, Australia. Yang 45.000 itu untuk Indonesia sendiri pun terasa sangat tidak memadai. Nah, yang menjadi pertanyaan, mengapa Indonesia tidak mendapatkan jatah sama sekali? Mengapa tidak seorang pun bisa diberangkatkan? Padahal, India saja bisa mendapatkan kuota sekitar 5.000 orang. Padahal, mayoritas penduduknya Hindu. Apakah karena pemerintah “malas” melobi karena pasti dikasih “tidak seberapa” itu? Kalau ini yang menjadi pertimbangan untuk tidak memberangkatkan seluruh jemaah haji, pemerintah salah langkah. Andaikata pun Saudi hanya membolehkan 1.000 jemaah Indonesia berhaji tahun ini, Menag Yaqut dan Dubes Maftuh bisa menunjukkan, pemerintah telah berusaha sekuat tenaga. Simpangsiur lainnya adalah, apakah Arab Saudi sudah mengumumkan kuota haji atau belum? Menurut Dubes Maftuh, belum (hingga 4 Juni 2021). Padahal, bulan Mei yang baru lewat, pejabat tinggi keagamaan Pakistan, Maulana Tahir Ashrafi, mengatakan Arab Saudi mengizinkan 60.000 orang melaksanakan haji. Siapa yang benar? Penulis wartawan senior FNN.co.id
Muhammadiyah Himpun Rp 32 Milyar Lebih untuk Palestina
YOGYAKARTA, FNN - Dana kemanusiaan yang terkumpul melalui Muhammadiyah mencapai Rp 32, 185 miliar. Bantuan yang digalang tersebut merupakan manifestasi dari pembelaan terhadap pentingnya sebuah bangsa untuk hidup bebas di tanah airnya sendiri. “Alhamdulillah, Lazismu (Lembaga Amal Zakat Infaq dan Sedekah Muhammadiyah) melaporkan kepada PP Muhammadiyah, telah terkumpul dana kemanusiaan untuk Palestina sebesar Rp 32,185 miliar sebagai wujud dari partisipasi dan komitmen Muhammadiyah termasuk di dalamnya Aisyiyah, kekuatan dan unsur persyarikatan serta Amal Usaha Muhammadiyah dalam membela Palestina dari agresi dan tindakan sewenang-wenang zionis Israel,” kata Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir, dalam siaran pers yang diterima FNN.co.id, Sabtu (5/6). “Pembelaan Muhammadiyah terhadap Palestina memiliki napas yang sama dengan perjuangan rakyat Indonesia sebagai bangsa yang pernah dijajah begitu lama, dan mengalami penderitaan yang begitu panjang. Kami turut mengapresiasi langkah pemerintah Indonesia yang telah bertindak tegas terhadap zionis Israel,” kata Haedar. Pengurus Pusat Organisasi Kemasyarakatan Islam yang didirikan KH Ahmad Dahlan tersebut bersyukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala sekaligus berterimakasih kepada seluruh pimpinan wilayah, organisasi otonom, majelis, lembaga, cabang, ranting, PCIM/PCIA serta seluruh anggota persyarikatan dan simpatisan yang telah mendonasikan sebagian rezekinya untuk dana kemanusiaan Palestina Haedar juga menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada lapisan masyarakat yang telah memiliki jiwa semangat dan komitmen yang tinggi untuk dana kemanusiaan Palestina dan kemanusiaan lainnya yang selama ini selalu menjadi bagian panggilan Al-maun yang menjadi ideologi dan teologi gerakan Muhammadiyah untuk kemanusiaan semesta. Dengan dana Rp 32 miliar lebih, tentu Muhammadiyah berkomitmen agar penyalurannya betul-betul amanah, good governance dan juga diperuntukkan atas program jangka panjang dan strategis bagi bangsa Palestina. "Insha Allah lewat Lazismu dan Muhammadiyah Aid, persyarikatan akan mengelola dana ini dengan sebaik-baiknya,” ujar Haedar. Haedar berharap, setelah pengumuman dana kemanusiaan Palestina, seluruh bagian di persyarikatan, baik dari wilayah sampai dengan ranting serta AUM, PCIM/PCIA DAPAY memulai lagi dan menggerakkan dana dakwah untuk kemanusiaan bagi program di dalam negeri. Muhammadiyah harus hadir bagi kepentingan mengangkat harkat derajat dan martabat masyarakat yang masih dhuafa dan mustadafin serta masyarakat luas yang masih membutuhkan peran pemberdayaan. “Saatnya kita tunjukkan, dana dakwan dan dana kemanusiaan untuk kepentingan pemberdayaan dan kemajuan masyarakat khususnya kelompok dhuafa mustadafin sama pentingnya dengan dana kemanusiaan bagi Palestina, Rohingya dan dana kemanusiaan di tingkat internasional lainnya. Saatnya menggerakkan potensi dan komitmen untuk dana dakwah dan dana kemanusiaan persyarikatan yang berbasis Al-Maun untuk membebaskan dan memajukan umat di negeri tercinta,” tutur Haedar. **
Sebanyak 99 Peserta Ramaikan STQH Sulbar
Mamuju, FNN - Sebanyak 99 peserta meramaikan Seleksi Tilawatil Qur'an dan Hadits (STQH) ke-IX 2021 Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar) yang berlangsung di Kabupaten Polewali Mandar. Sekda Provinsi Sulbar, Muh Idris DP di Mamuju, Jumat, mengatakan, sebanyak 99 peserta dari enam Kafilah di Sulbar meramaikan STQH tingkat Provinsi Sulbar yang dilaksanakan dengan menerapkan protokol kesehatan. Ia mengatakan, peserta tersebut berasal dari Kafilah Kabupaten Mamuju sebanyak 14 orang putra dan putri Majene 18 orang, dan Polman 18 orang. Kemudian kabupaten Mamasa 16 orang Kabupatrn, Pasangkayu 18 Kafilah dan dari Kafilah Mamuju Tengah 15 orang. Kemudian terdapat peserta kafilah golongan anak yaitu Tilawah anak diikuti 12 peserta, dan Tilawah Dewasa 12 perserta, Ia menyampaikan, STQH di Sulbar terdapat sejumlah perlombaan diantaranya lomba hafalan Al-Qur'an 1 Juz dan tilawah diikuti 12 peserta kemudian, hafalan Al-Qur'an 10 Juz diikuti 12 peserta, Hafalan Al-Qur'an 20 Juz 11 peserta, Hapalan Al-Qur'an 30 Juz diikuti enam peserta, Tafsir Al-Qur'an bahasa arab tiga peserta. Kemudian hafalan 100 Hadist diikuti 11 perseta dan hafalan 500 Hadist enam peserta. Ia berharap dari ajang STQH ini melahirkan bibit terbaik Sulbar untuk meningkatkan kualitas pembinaan yang lebih profesional untuk memajukan gairah dan semangat pembelajaran Al Qur'an. "Dewan hakim harus bekerja secara profesional, sehingga Sulbar mendapatkan bibit-bibit terbaik untuk menjadi duta yang mampu bersaing di kancah nasional, dan mampu meningkatkan akhlak dan amalan ketika di masyarakat. Ia mengatakan, pemerintah Sulbar akan berkomitmen, untuk tetap bersinergi meningkatkan pembinaan dalam rangka meraih prestasi di ajang STQH Nasional nantinya. (sws)
Kisruh Pemberangkatan Haji 2021, Rakyat Makin Tidak Percaya pada Pemerintah
PEMERINTAH melalui Menteri Agama Yaqult Cholil Qoumas mengumumkan tidak memberangkatkan jemaah haji untuk tahun 2021. Pertimbangannya, karena adanya pandemi Covid-19, dan pemerintah Kerajaan Arab Saudi belum memberi akses bagi jemaah haji Indonesia. Dalam bahasa yang lebih mudah dipahami, Indonesia tidak mendapat kuota haji. Kalau toh akhirnya Indonesia diberi kuota, persiapan secara teknis tidak mungkin dilaksanakan. Pengumuman Menag itu memunculkan sejumlah kontroversi. Situs resmi Kemenag menyebut keputusan pembatalan itu karena alasan pertimbangan pandemi. Ada kesan, pemerintah mencoba berlindung dan menimpakan kesalahan sepenuhnya kepada pandemi. Selain itu, dengan menyatakan, pertimbangannya pandemi, maka pemerintah sangat melindungi keselamatan rakyatnya. Gagah benar. Jika kita amati dinamika yang muncul sebelum akhirnya pemerintah memutuskan “membatalkan” pelaksanaan haji tahun 2021, ada beberapa hal yang penting kita catat. Pertama, buruknya penanganan pandemi di Indonesia. Sementara Indonesia tercatat sebagai negara paling banyak mendapatkan kuota hajinya. Ini tentu saja mengkhawatirkan pemerintah Arab Saudi. Masuknya jemaah haji dari Indonesia dikhawatirkan akan membawa gelombang Covid-19. Kedua, Indonesia menggunakan vaksin Sinovac. Padahal, vaksin tersebut belum mendapat sertifikasi dari lembaga kesehatan dunia WHO. Dampaknya bukan hanya haji, tapi jemaah umroh kita juga dilarang masuk Arab Saudi. Ketiga, lemahnya diplomasi dan lobi kita dengan Kerajaan Arab Saudi. Sisi ini sudah lama menjadi catatan dari DPR RI. Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia setiap tahun paling banyak mengirimkan jemaah haji dan umroh ke Arab Saudi. Artinya, Indonesia adalah negara terbesar menyumbangkan devisanya ke Arab Saudi. Dengan posisi seperti itu, seharusnya Indonesia mendapat berbagai keistimewaan. Faktanya tidak demikian. Fasilitas pemondokan, maktab dan tenda-tenda di Arafah, dan terutama di Mina, kalah bagus dan kalah strategis dibandingkan negara tetangga Malaysia. Kuota Malaysia pada tahun 2019 hanya 31.000. Sementara jemaah haji Indonesia sebanyak 221.000. Indonesia juga gagal melobi pemerintah Arab Saudi untuk mengubah bahasa yang digunakan sebagai petunjuk, dari bahasa Melayu, menjadi bahasa Indonesia. Sejauh ini, jika kita mengikuti pemberitaan media, kiprah yang menonjol dari Dubes RI di Arab Saudi Agus Maftuh Abegebriel hanya memata-matai dan mempersulit Habib Rizieq Shihab selama mukim di Mekah. Pemerintahan Jokowi tampaknya tidak melihat lobi dengan Kerajaan Arab Saudi, dan pos Dubes sebagai prioritas penting. Hal itu setidaknya bisa kita lihat, pemerintah baru saja menunjuk Zuhairi Misrawi sebagai calon Dubes baru di Arab Saudi. Selain tidak punya jam terbang dalam diplomasi internasional, caleg gagal dari PDIP itu juga anti umroh dan haji. Dia menyebutnya sebagai kegiatan ibadah yang mahal dan hanya memperkaya Arab Saudi. Keempat, masih berkaitan dengan buruknya diplomasi kita, tercermin dari surat Duta Besar (Dubes) Arab Saudi di Jakarta kepada Ketua DPR Puan Maharani. Dalam surat tersebut Dubes Arab Saudi Essam Bin Ahmed Abid Althaqafi mempersoalkan pernyataan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, dan Wakil Ketua Komisi VIII Ace Hasan Syadzily. Kepada media, kedua pimpinan DPR itu pernah mengungkapkan, Indonesia tidak mendapat kuota haji. Menurut Essam, pernyataan tersebut tidak benar dan tidak bersumber dari pemerintah Arab Saudi. Sebab, sampai sekarang pemerintah Arab Saudi belum memberikan instruksi apapun berkaitan dengan pelaksanaan haji. Essam meminta agar semua yang berkaitan dengan pelaksanaan haji dikomunikasikan terlebih dahulu dengan pihaknya. Agar mendapat informasi yang benar dan dapat dipercaya. Surat itu, selain merupakan “teguran” kepada Dasco dan Ace, secara tidak langsung merupakan protes ke Menag yang mengambil keputusan, tanpa konsultasi dengan Kedubes Arab Saudi. Kelima, respon negatif masyarakat, khususnya ummat Islam, berkaitan dengan kinerja Kementerian Agama dan pengelolaan dana haji, menunjukkan tingkat kepercayaan publik yang rendah terhadap pemerintah. Beberapa catatan tadi menunjukkan betapa buruknya pengelolaan haji Indonesia, sehingga rakyat semakin tidak percaya kepada pemerintah, khususnya Kemenag. **
Puan: DPR Pahami Pemerintah Batalkan Keberangkatan Ibadah Haji
Jakarta, FNN - Ketua DPR RI Puan Maharani mengatakan DPR RI memahami kebijakan pemerintah yang memutuskan membatalkan keberangkatan jemaah calon haji Indonesia pada 1442 Hijriah/2021 Masehi. Puan meminta pemerintah tetap melayani jemaah calon haji yang batal berangkat tahun ini. "Pemerintah harus tetap melayani jemaah calon haji yang batal berangkat, pastikan pelayanannya baik, mekanismenya jelas jika mereka meminta dananya kembali," kata Puan dalam keterangannya di Jakarta, Jumat. Puan sangat memahami alasan pemerintah memutuskan membatalkan keberangkatan jemaah calon haji Indonesia pada tahun 2021. Menurut dia, hal utama yang harus dipastikan adalah keselamatan dan kenyamanan jemaah calon haji Indonesia saat di Tanah Suci pada masa pandemi COVID-19. Ia mengatakan bahwa pemerintah dan DPR RI sudah meminta pemerintah Arab Saudi memberi kelonggaran kepada jemaah Indonesia untuk dapat beribadah haji pada tahun ini. "Akan tetapi, demi keamanan dan keselamatan semua, kita masih harus bersabar. Apalagi, muncul varian baru virus corona dan orang yang sudah divaksin tidak dijamin tidak tertular," ujarnya. Menurut dia, sampai saat ini pemerintah Arab Saudi belum memberikan keputusan terkait dengan kuota untuk jemaah haji Indonesia, termasuk belum memberi kepastian mengenai teknis operasional dan mekanisme penyelenggaraan ibadah haji pada masa pandemi. Politikus PDI Perjuangan tersebut berharap pemerintah Indonesia dapat berkomunikasi efektif sehingga pemerintah Arab Saudi memberi kenaikan kuota haji dari Indonesia bila ibadah haji sudah bisa berjalan normal. Puan juga meminta pemerintah Indonesia harus terus meningkatkan kualitas pelayanan terhadap jemaah calon haji untuk menyambut musim haji selanjutnya, atau pelaksanaan ibadah haji pada saat suasana sudah normal kembali. Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) memutuskan membatalkan keberangkatan jemaah Indonesia untuk melaksanakan ibadah haji 1442 Hijriah/2021 Masehi. Hal itu disampaikan oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam konferensi pers yang disiarkan secara daring, Kamis (3/6). Menag menjelaskan penyebab pembatalan keberangkatan jemaah calon haji asal Indonesia karen belum adanya kepastian dari pemerintah Arab Saudi mengenai kuota haji Indonesia.
Sufmi Dasco Tanggapi Surat Dubes Arab untuk Indonesia
Jakarta, FNN - Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menanggapi surat Duta Besar Pelayan Dua Kota Suci Arab Saudi untuk Indonesia Essam Bin Ahmed Abid Althaqafi yang isinya mengklarifikasi pernyataan Dasco dan Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan di pemberitaan media massa. "Pada hari Senin (31/5) setelah Rapat Paripurna DPR RI, saya diminta tanggapan wartawan, salah satunya terkait masalah haji dan vaksin Sinovac yang belum disetujui Pemerintah Kerjaan Arab Saudi bagi calon jamaah haji," kata Dasco dalam keterangannya di Jakarta, Jumat. Dia menjelaskan pasca saat itu dirinya mengatakan bahwa Indonesia sementara waktu tidak perlu membahas terkait vaksin tersebut karena yang harus dipastikan adalah apakah Indonesia dapat kuota haji atau tidak. Hal itu, menurut Dasco, karena dirinya mendapatkan info bahwa Indonesia tidak mendapatkan kuota haji tahun 2021 sehingga harus dipastikan dahulu terkait kuota haji tersebut. "Tidak bermaksud membuat kegaduhan, namun saya ingin menekankan bahwa jangan bahas terlebih dahulu tentang vaksin, tetapi dipastikan dulu, apakah Indonesia mendapatkan kuota haji atau tidak," ujarnya. Dasco menjelaskan saat itu dirinya mendapatkan informasi terbaru bahwa Indonesia tidak mendapatkan kuota haji karena adanya pembatasan karena pandemi COVID-19. Ketua Harian DPP Partai Gerindra itu mengatakan dirinya sebagai pimpinan DPR RI berkomunikasi dengan banyak pihak termasuk dengan otoritas terkait dengan perkembangan kuota haji ini. "Sampai dengan tanggal 28 Mei 2021 adalah batas permintaan Pemerintah Indonesia untuk diberikan informasi dari pemerintah Arab Saudi tentang kuota haji untuk indonesia yang belum ada kepastian," katanya. Di sisi lain, menurut dia, Pemerintah Indonesia perlu mempersiapkan banyak hal seperti vaksinasi, persiapan katering bagi calon jamaah haji, pesawat, pemondokan dan lain-lain hanya dengan jangka waktu 1,5 bulan karena telah melewati dari batas waktu yang diminta pemerintah Indonesia yaitu tanggal 28 Mei 2021. Sebelumnya, dalam surat Dubes Essam yang beredar tertanggal 3 Juni 2021 yang kepada Puan Maharani, Essam mengatakan bahwa pemberitaan dengan mengutip pernyataan Sufmi Dasco dan Ace Hasan adalah tidak benar. Dalam surat tersebut pernyataan Dasco yang dibantah Dubes Essam adalah menyatakan telah memperoleh informasi bahwa Indonesia tidak memperoleh kuota haji tahun 2021. Sementara itu pernyataan Ace Hasan yaitu yang menyebutkan bahwa adanya 11 negara yang telah memperoleh kuota haji dari Kerjaan Arab Saudi pada tahun 2021 dan Indonesia tidak termasuk dari negara-negara tersebut. Essam menegaskan bahwa informasi yang disampaikan Sufmi Dasco dan Ace Hasan adalah tidak benar dan pernyataan keduanya tidak dikeluarkan oleh otoritas resmi Kerajaan Arab Saudi. Menurut dia, otoritas resmi Kerajaan Arab Saudi tidak pernah mengeluarkan instruksi apapun berkaitan pelaksanaan haji tahun 2021 bagi para jamaah haji di Indonesia maupun dari seluruh negara di dunia.
Indonesia Gagal Berhaji, Natalius Pigai Akan Gugat ke Mahkamah Agung
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN - Pengumuman resmi Menteri Agama (Menag) Yaqut Kholil Qoumas tentang pembatalan keberangkat jamaah haji Indonesia tahun 1442 H atau 2021 M memastikan kegagalan penyelenggaraan negara. Masalahnya ada beberapa negara yang berhasil mendapatkan kuota. Pandemi Covid 19 menjadi alasan Pemerintah, maka pupuslah harapan jamaa'ah Indonesia untuk menunaikan haji tahun ini. Kegagalan berangkat haji adalah kedua kalinya Indonesia gagal memberangkatkan haji. Pandemi Covid 19 memang cocok untuk menjadi alasan. Sebenarnya faktor utamanya adalah Pemerintah Saudi tidak memberikan kuota kepada Indonesia. Lobi pun gagal di tengah kelemahan diplomasi kita di dunia internasional. Lucunya Luhut Panjaitan menjadi pelobi ke pemerintah. Luhut yang ditugaskan Melobi Dubes Saudi untuk Indonesia Essam At Thaghafi. Luhut yang didampingi Puteri Gus Dur Yenny Wahid, keluar pertemuan dengan membawa kuota nol. Untuk itu, mantan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Natalius Pigai mengecam keras keputusan pemerintah membatalkan keberangkan jamaah haji Indonesia untuk kedua kalinya ini. Natalius menyatakan akan menggugat keputusan Menteri Agama tersebut ke Mahkamah Agung. Pigai sedang menunggu pengaduan dari umat Islam yang sudah membayar lunas biaya perjalan haji, namun tidak bisa berangkat tahun ini. Pemerintah Jokowi telah gagal melaksanakan amanat konstitusi mensejahterakan warga negara, khusunya melaksanakan ajaran agama dengan baik. Negara gagal menghormati kebutuhan hak asasi umat Islam, melindungi hak asasi umat Islam, dan melindungi kebutuhan beribah umat Islam. Sebab ibadah haji merupakan salah satu kebutuhan hidup dari umat Islam. Negara gagal menjalankan kewajiban sesuai amanat konstitusi hukum dan HAM nasional dan internasional. Kata Pigai, untuk melaksanakan kewajiban ibadah haji, umat Islam telah berjuang dengan segala daya dan upaya untuk mencari dan menabung uang selama berpuluh tahun. Untuk memastikan kewajibannya berhaji dapat terlaksana, terutama yang sudah berusia lanjut dan masuk katagori kelompok rentan. Maka atas nama kemanusian, Pigai teman-teman memiliki komitmen yang kuat untuk menggugat keputusan pemerintah ke Mahkamah Agung. Sekitar lebih dari seratus pengacara ternama dari berbagai latar belakang agama telah siap menyatakan kesanggupan untuk bersama-sama dengan Pigai menggugat masalah pembatalan haji ini. Sejumlah ulama kondang juga akan memberikan pendapat ahli dari sisi hukum, HAM, keadilan dan syarit Islam. Sementara itu, menurut Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin masalah dengan Saudi Arabia dalam kaitan haji sudah bergeser dari persoalan murni kesehatan menjadi geopolitik. Persoalan sikap politik Saudi Arabia terhadap China. Persoalan vaksin hanya dampak saja. Menurutnya "become very complicated geopolitical and global economic issue". Nah lho. Ironinya justru yang melobi Saudi adalah Menko Luhut Panjaitan yang dikenal sebagai protektor kepentingan China di Indonesia. Pembela hebat kedatangan masif Tenaga Kerja Asing (TKA) China yang menggelisahkan rakyat. Luhut juga yang menjadi "Pimpro" program OBOR di Indonesia. Entah konten lobinya apa? Soal mau hutang dengan jaminan politik atau barter dengan "jual tanah murah" di Kalimatan untuk investasi dan ibukota negara baru? Sebenarnya penanggungjawab urusan haji adalah Menteri Agama. Jika bukan di negara Indonesia, kegagalan yang seperti ini dapat berakibat mundurnya sang Menteri. Hanya karena tidak ada budaya mundur bagi para pejabat yang gagal di Indonesia, ya posisinya aman-aman saja. Mungkin karena menganut sistem kabinet presidensial, maka yang disalahkan tentu adalah Presiden. Repotnya kata bapak Presiden, "itu bukan urusan saya". Tidak berangkat ya sudahlah. Menteri perlu menyampaikan bahwa soal uang jamaah untuk keberangkatan 2021 dijamin aman. Memang jama'ah dan umat Islam agak meragukan amanah Pemerintah soal dana haji secara keseluruhan. Viral tayangan KH Ma'ruf Amin yang kini Wapres menyatakan bahwa tidak masalah dana haji digunakan oleh Pemerintah untuk pembangunan infrastruktur seperti jalan tol atau pembangunan bandara. Menariknya disampaikan pula KH Ma'ruf Amin bahwa calon jama'ah haji sudah memberi kuasa kepada Pemerintah untuk menggunakan dana simpanan atau titipannya untuk kepentingan pembangunan di luar urusan haji. Pertanyaannya, dimana dan bagaimana bentuk kuasanya Pak Wapres? Benarkah ada izin yang tegas? Kini beberapa dana haji yang sudah dialokasikan untuk keperluan di luar haji? Lalu apa "advantage" bagi calon jama'ah atau umat Islam secara keseluruhan? Gagalnya keberangkatan haji tahun ini menjadi pelengkap dari banyak kegagalan Pemerintah lainnya. Gagal meningkatkan ekspor komoditi, gagal membuka lapangan kerja, gagal menahan laju hutang luar negeri, gagal menegakkan HAM, gagal berlaku adil dalam hukum, gagal membangun iklim politik yang demokratis. Dan pastinya gagal dalam menunaikan banyak janji. Rakyat mulai khawatir, pemerintah kini akan membawa Indonesia menjadi Negara Gagal. Haji Harus Terklarifikasi Ibadah haji menjadi ibadah yang dinanti umat Islam. Apalagi yang telah mendaftar dan memenuhi jadwal porsi berangkat. Akan tetapi penyelenggaraan haji selalu bermasalah. Tahun lalu bermasalah. Namun tahun ini seperti tahun lalu, bermasalah. Pandemi menjadi kendala. Calon jamaah haji kita harus bisa mengendalikan keinginan dan harapan. Persoalan sabar tentu menjadi kewajiban imani dan yang terbaik menurut Allah adalah ketetapan takdir-Nya. Yang menjadi masalah adalah kepastian, kejujuran, dan keamanan yang bisa dijamin penyelenggara yaitu Pemerintah. Pemerintah yang bingung tentu membingungkan. Isu yang berkembang adalah bahwa Saudi Arabia tidak memberi kuota kepada Indonesia tahun ini dengan alasan yang belum jelas. Hanya yang mengemuka adalah soal vaksin China Sinovac yang digunakan Indonesia belum tersertifikasi WHO. Hanya Pfizer, Moderna dan AstraZeneca yang lolos vaksin haji menurut Saudi. Ini persoalan berat karena Indonesia telah menyiapkan secara besar-besaran vaksin Sinovac China. Sedangkan AstraZeneca masih tergolong sedikit penggunaannya. Dalam tayangan wawancara, ekonom Rizal Ramli menyebut bahwa masalah Indonesia dan Saudi soal haji bukan hanya vaksin. Tetapi juga menyangkut sejumlah tagihan yang belum terbayarkan. Untuk jamaah, keresahan bertambah atas dana haji yang konon digunakan untuk pembangunan infrastruktur. DPR RI meminta Pemerintah serius menangani persoalan keberangkatan jamaah haji Indonesia tahun 2021 ini. Presiden Jokowi diminta turun tangan. Termasuk melobi Saudi. Rakyat, khususnya umat Islam butuh klarifikasi Pemerintah atas persoalan yang ada dengan sejelas-jelasnya. Jika tidak terklarifikasi, maka Pemerintah wajar disalahkan dan akan menanggung gugatan di kemudian hari. Atas kekecewaan ini desakan agar Menag Yaqut mundur juga sudah terdengar. Sekurangnya empat hal penting untuk diklarifikasi oleh Pemerintah. Pertama, benarkah persoalan vaksin Sinovac menjadi satu-satunya alasan konon Indonesia tidak memperoleh kuota haji dari Pemerintah Saudi untuk saat ini? Lalu solusi apa yang disiapkan demi menenangkan atau bila mampu, menjamin keberangkatan jamaah? Kedua, jika benar masih ada tunggakan pembayaran kepada Pemerintah Saudi, maka berapa besaran dan untuk keperluan apa saja serta bagaimana hal ini bisa terjadi? Lalu fungsi pengawasan DPR sejauh mana telah dilakukan untuk mencegah dan menyelesaikan masalah ini? Ketiga, terhadap dana haji yang dipertanyakan pengalihan penggunaan untuk infrastruktur. Benarkah berapa jumlah terpakai? Apa dasar hukum, serta apa konsekuensi yang harus ditanggung jika terjadi wanprestasi atau kesulitan pengembalian? Keempat, bagaimana Pemerintah menindak para buzzer atau pihak lain yang selalu menggemborkan sikap anti Arab? termasuk isu radikalisme yang dikaitkan dengan faham wahabisme, sehingga menyinggung pemerintah Saudi Arabia? Aspek formal vaksin tentu menjadi alasan logis. Tetapi aspek lain, termasuk geopolitik dan psikopolitik harus menjadi perhatian Pemerintah Indonesia. Sebab jika hal ini diabaikan, maka sepanjang waktu calon jamaah haji Indonesia akan selalu resah dan dirugikan. Khidmah dari pemerintah Saudi juga berpotensi untuk mengecewakan. Rakyat, khususnya umat Islam Indonesia saat ini menunggu klarifikasi secepatnya dari Pemerintahan Jokowi yang disampaikan secara jujur, jelas, dan bertanggungjawab. Bukan bilang, “itu bukan urusan saya”. Melempar tanggung jawab itu bukan kelasnya seorang presiden. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Keagamaan.