HUKUM

Vonis Penjara 2 Tahun 10 Bulan untuk Mantan Rektor UIN Suska Riau

Pekanbaru, FNN - Mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Syarif Kasim (Suska) Riau Akhmad Mujahidin divonis hukuman penjara selama 2 tahun 10 bulan karena terbukti melakukan kolusi pengadaan jaringan internet 2020-2021 dalam persidangan di Pengadilan Negeri Pekanbaru, Rabu.Amar putusan dibacakan hakim ketua Salomo Ginting. Mujahidin didampingi kuasa hukum mengikuti jalannya sidang putusan secara teleconference.\"Terdakwa terbukti bersalah melakukan kolusi secara bersama-sama. Menjatuhkan pidana penjara 2 tahun 10 bulan dan denda Rp200 juta subsider 4 bulan,\" kata hakim Salomo Ginting.Vonis yang diputuskan majelis hakim lebih ringan 2 bulan dibandingkan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU), yakni selama 3 tahun kurungan.Adapun yang meringankan perkara terhadap Mujahidin ialah terdakwa dinilai bersikap kooperatif mengikuti jalannya proses hukum dan tidak pernah dihukum sebelumnya.Terhadap putusan ini, Akhmad Mujahidin dan kuasa hukumnya mengaku akan pikir-pikir terlebih dahulu.\"Sudah paham, Yang Mulia. Kami ambil langkah pikir-pikir dulu,\" ujar Mujahidin.Serupa dengan terdakwa, tim JPU juga mengambil langkah pikir-pikir terhadap putusan majelis hakim. Maka baik pihak terdakwa maupun jaksa diberi waktu selama 7 hari sebelum putusan pengadilan dinyatakan berkekuatan hukum tetap.Akhmad Mujahidin tersandung kasus korupsi pengadaan jaringan internet di kampus Islam yang dipimpinnya. Dalam pelaksanaannya, terdakwa Mujahidin seolah-olah menjadi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pengadaan layanan internet. Padahal Mujahidin telah menunjuk Safarin selaku PPK untuk kegiatan pengadaan layanan internet di UIN Suska Riau Tahun 2020. Namun terdakwa mengambil semua tanggung jawab PPK.Padahal seharusnya sesuai Peraturan Presiden nNomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa, pengadaan internet ini dilakukan dengan metode e-Purchasing atau tender. Namun terdakwa malah melanggar prosedur dan melakukan pengadaan internet dengan MoU atau kerja sama dengan PT Telkom.Selain Akhmad Mujahidin, perkara ini juga menjerat seorang tersangka lainnya, yakni Benny Sukma Negara selaku Kepala Pusat Teknologi Informasi dan Pangkalan Data UIN Suska Riau.Saat ini, Benny belum ditahan dan masih dalam proses penyidikan. Benny dikabarkan mengalami depresi dan sempat menjalani observasi di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Tampan, Kota Pekanbaru.(ida/ANTARA)

Hercules Memenuhi Panggilan KPK

Jakarta, FNN - Rosario De Marshall alias Hercules memenuhi panggilan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk dimintai keterangan sebagai saksi kasus dugaan suap penanganan perkara di Mahkamah Agung.\"Saksi Rosario De Marshall sudah hadir di Gedung Merah Putih KPK,\" kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri saat dikonfirmasi di Jakarta, Kamis.Ali menerangkan saat ini Hercules tengah menjalani pemeriksaan sebagai saksi untuk tersangka Sudrajat Dimyati (SD).\"Saat ini masih dilakukan pemeriksaan sebagai saksi,\" ujarnya.Hercules diketahui menjalani pemeriksaan dalam kapasitasnya sebagai Tenaga Ahli PD Pasar Jaya.KPK awalnya menjadwalkan pemeriksaan terhadap Hercules pada Selasa (17/1).Meski demikian yang bersangkutan tidak memenuhi panggilan tersebut, sehingga penyidik kemudian menjadwalkan ulang pemeriksaan terhadap yang bersangkutan menjadi Kamis.Penyidik KPK telah menetapkan 14 orang tersangka dalam kasus dugaan suap penanganan perkara di Mahkamah Agung.Para tersangka tersebut yakni Hakim Yustisial Edy Wibowo, Hakim Agung Gazalba Saleh, Hakim Yustisial Prasetio Nugroho, dan Redhy Novarisza selaku staf Gazalba Saleh.Tersangka lainnya adalah Hakim Agung Sudrajat Dimyati, Hakim Yudisial atau panitera pengganti Elly Tri Pangestu (ETP), dua aparatur sipil negara (ASN) Kepeniteraan MA Desy Yustria (DY) dan Muhajir Habibie (MH), serta dua ASN di Mahkamah Agung Nurmanto Akmal (NA) dan Albasri (AB).Kemudian, pengacara Yosep Parera (YP) dan Eko Suparno (ES) serta debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana Heryanto Tanaka (HT), dan debitur Koperasi Simpan Pinjam Ivan Dwi Kusuma Sujanto (IDKS).(ida/ANTARA)

Kejagung Menjelaskan Pertimbangan Tuntutan Ppembunuhan Brigadir J

Jakarta, FNN - Kejaksaan Agung (Kejagung) RI menjelaskan pertimbangan jaksa penuntut umum (JPU) atas tuntutan terhadap para terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J).\"Penentuan tinggi rendahnya tuntutan yang diajukan terhadap terdakwa mempertimbangkan berbagai persyaratan,\" kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung I Ketut Sumedana di Jakarta, Kamis.Baik itu pertimbangan dari sisi pelaku, korban hingga peran masing-masing terdakwa, latar belakang para terdakwa, dan termasuk rasa keadilan yang berkembang di tengah masyarakat menjadi pertimbangan Kejagung dalam hal ini JPU, papar dia.Ketut menjelaskan penilaian penuntutan bukan saja dilihat dari mens rea para terdakwa, tetapi persamaan niat dan perbedaan peran masing-masing terdakwa yang terungkap di persidangan.\"Tentu menjadi pertimbangan matang dalam menuntut para terdakwa sebagaimana dibuktikan JPU, yaitu Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP,\" kata dia.Kemudian sebagaimana fakta hukum yang terungkap di persidangan, terdakwa Ferdy Sambo merupakan pelaku intelektual dari kasus pembunuhan berencana tersebut dituntut hukuman seumur hidup.Mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri tersebut memerintahkan Richard Eliezer untuk mengeksekusi atau menghilangkan nyawa Brigadir J.Dalam kasus tersebut, Richard Eliezer dituntut 12 tahun kurungan penjara kemudian Putri Candrawathi, Kuat Ma\'ruf, dan Bripka Ricky Rizal Wibowo masing-masing delapan tahun penjara.\"Putri Candrawathi, Kuat Ma\'ruf, dan Ricky Rizal tidak secara langsung menyebabkan terjadinya/menghilangkan nyawa Brigadir J,\" ucap dia.Di satu sisi, terdakwa Putri Candrawathi, Kuat Ma\'ruf, dan Ricky Rizal sejak awal telah mengetahui rencana pembunuhan Brigadir J akan tetapi tidak berusaha mencegah atau menghalangi tindak pidana pembunuhan tersebut.(ida/ANTARA)

Jalan Buntu Gugatan Fadel Muhammad terhadap DPD

Jakarta, FNN - Sidang perkara Fadel Muhammad yang menggugat Keputusan DPD, menemui jalan buntu. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan menerima eksepsi para tergugat, dan memutuskan tidak berwenang memutus serta mengadili sengketa yang diajukan penggugat. Demikian dibacakan oleh Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Ketua H. Bakri, S.H., M. Hum, Rabu (18/1). Penarikan Fadel, merupakan kewenangan absolut lembaga DPD melalui forum tertinggi sidang paripurna. Putusan majelis hakim mempertimbangkan yurisprudensi Mahkamah Agung, yang berbunyi bahwa keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa tidak dapat disebut keputusan Tata Usaha Negara, karena diterbitkan dalam menjalankan wewenang ketatanegaraan DPD, sesuai fungsi tugas dan wewenangnya.  Dalam putusannya, pengadilan beralasan bahwa kompetensi dalam memutus dan membatalkan obyek sengketa yang diajukan oleh penggugat, merupakan bagian kewenangan DPD melalui forum tertinggi yaitu Sidang Paripurna. Dengan adanya putusan yang menerima eksepsi tergugat, proses perkara yang diajukan oleh Fadel tidak dapat dilanjutkan lagi. Merujuk pada putusan tersebut, Fadel Muhammad praktis tak lagi menyandang posisi sebagai Wakil Ketua MPR unsur DPD, dan digantikan oleh Tamsil Linrung sesuai hasil keputusan Paripurna DPD 18 Agustus 2022.  Putusan ini menjawab surat balasan dari MPR terkait alasan penundaan pelantikan Wakil Ketua MPR unsur DPD. Dimana sebelumnya Ketua MPR meminta DPD menyelesaikan masalah ini secara internal. “Berdasarkan Putusan PN Jakarta Pusat, maka tidak ada lagi alasan bagi MPR untuk untuk menunda pelantikan Tamsil Linrung,” tegas Ajbar, Sekretaris Kelompok DPD di MPR RI. (sws)

Selaku Eksekutor Adalah Hal yang Memberatkan Hukuman untuk Barada E

Jakarta, FNN - Tim Jaksa Penuntut Umum menilai peran terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J), Richard Eliezer atau Bharada E, selaku eksekutor menjadi hal yang memberatkan hukumannya.“Hal-hal yang memberatkan, terdakwa merupakan eksekutor yang mengakibatkan hilangnya nyawa korban Nofriansyah Yosua Hutabarat,” Jaksa Penuntut Umum Paris Manalu saat membacakan tuntutan di hadapan Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Rabu.Perbuatan tersebut mengakibatkan hilangnya nyawa Yosua dan menimbulkan duka terdalam bagi keluarga Yosua.Dalam persidangan, tim Jaksa Penuntut Umum memaparkan bahwa Richard Eliezer melakukan tembakan sebanyak tiga sampai empat kali kepada Yosua setelah mendapatkan perintah dari Ferdy Sambo.Richard Eliezer pun menyanggupi perintah Ferdy Sambo untuk menembak Yosua ketika Ferdy Sambo menanyakan kebersediaan Richard Eliezer saat mereka masih berada di rumah pribadi Ferdy Sambo di Saguling, Jakarta Selatan.Hal tersebut diungkapkan oleh Jaksa Penuntut Umum di persidangan dan merupakan simpulan dari keterangan berbagai saksi dalam sejumlah persidangan sebelumnya.“Perbuatan terdakwa menimbulkan keresahan, kegaduhan yang meluas di masyarakat,” ucap Paris Manalu.Meskipun demikian, tim jaksa juga mempertimbangkan peran Eliezer sebagai saksi pelaku yang bekerja sama untuk membongkar kejahatan ini sebagai hal yang meringankan.“Terdakwa belum pernah dihukum, berlaku sopan, dan kooperatif di persidangan,” tuturnya.Selain itu, keluarga Yosua yang juga telah memaafkan perbuatan Eliezer juga menjadi salah satu hal yang meringankan hukuman Richard Eliezer.“Terdakwa menyesali perbuatannya, serta perbuatan terdakwa telah dimaafkan oleh keluarga korban,” kata Paris.Dalam persidangan ini, Richard Eliezer dituntut hukuman pidana 12 tahun penjara. Ia merupakan salah satu dari lima terdakwa dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J).Adapun empat terdakwa lainnya adalah Ricky Rizal, Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, dan Kuat Ma’ruf. Kelima terdakwa ini didakwa melanggar Pasal 340 subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.Dalam persidangan sebelumnya, Senin (16/1), Ricky Rizal dan Kuat Ma’ruf dituntut dengan hukuman pidana penjara selama delapan tahun. Sedangkan, pada Selasa (17/1), Ferdy Sambo dituntut dengan hukuman pidana penjara seumur hidup.Putri Candrawathi , pada Rabu (18/1), dituntut hukuman penjara selama delapan tahun.(sof/ANTARA)

Bharada E Dituntut Hukuman 12 Tahun Penjara

Jakarta, FNN - Tim Jaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J), Richard Eliezer atau Bharada E, untuk menjalani hukuman pidana 12 tahun penjara.“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu dengan pidana penjara selama 12 tahun,” kata Jaksa Penuntut Umum Paris Manalu saat membacakan tuntutan di hadapan Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Rabu.Jaksa Penuntut Umum menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar Pasal 340 subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.Hal yang memberatkan tuntutan Richard Eliezer adalah perannya sebagai eksekutor yang mengakibatkan hilangnya nyawa korban Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.Perbuatan Eliezer menyebabkan duka yang mendalam bagi keluarga korban.“Akibat perbuatan terdakwa menimbulkan keresahan dan kegaduhan yang meluas di masyarakat,” ucapnya.Adapun hal meringankan, menurut Jaksa Penuntut Umum, yakni terdakwa tidak pernah dihukum dan berlaku sopan di persidangan. Eliezer dinilai kooperatif selama di persidangan, menyesali perbuatannya, dan keluarga korban sudah memaafkan Richard Eliezer.“Terdakwa merupakan saksi pelaku yang bekerja sama untuk membongkar kejahatan ini,” ucap Paris Manalu.Richard Eliezer merupakan salah satu dari lima terdakwa dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J).Adapun empat terdakwa lainnya adalah Ricky Rizal, Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, dan Kuat Ma’ruf. Kelima terdakwa ini didakwa melanggar Pasal 340 subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.Dalam persidangan sebelumnya, Senin (16/1), Ricky Rizal dan Kuat Ma’ruf dituntut dengan hukuman pidana penjara selama delapan tahun. Sedangkan, pada Selasa (17/1) Ferdy Sambo dituntut dengan hukuman pidana penjara seumur hidup.Pada hari yang sama dengan sidang tuntutan Richard Eliezer, Putri Candrawathi dituntut hukuman penjara selama delapan tahun.(sof/ANTARA)

Hercules akan Memenuhi Panggilan Penyidik pada Kamis

Jakarta, FNN - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan Rosario De Marshall alias Hercules akan memenuhi panggilan penyidik untuk dimintai keterangan sebagai saksi kasus dugaan suap penanganan perkara di Mahkamah Agung (MA) pada Kamis (19/1).\"Satu saksi atas nama Rosario De Marshall, tenaga ahli di PD Pasar Jaya, memberi konfirmasi untuk hadir besok (Kamis),\" kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri di Jakarta, Rabu.Ali berharap Hercules kooperatif dalam pemeriksaan dengan memberikan keterangan secara jujur kepada penyidik.\"Kami ingatkan yang bersangkutan untuk kooperatif ketika dipanggil dan terangkan secara jujur kepada Tim Penyidik KPK,\" ujarnya. Ali menerangkan KPK awalnya menjadwalkan pemeriksaan terhadap Hercules pada Selasa (17/1), namun Hercules tidak memenuhi panggilan tersebut sehingga penyidik menjadwalkan ulang pemeriksaan terhadap yang bersangkutan menjadi hari Kamis (19/1).Penyidik KPK telah menetapkan 14 orang tersangka dalam kasus dugaan suap penanganan perkara di Mahkamah Agung.Para tersangka tersebut, yakni Hakim Yustisial Edy Wibowo, Hakim Agung Gazalba Saleh, Hakim Yustisial Prasetio Nugroho, dan Redhy Novarisza selaku staf Gazalba Saleh.Tersangka lainnya adalah Hakim Agung Sudrajat Dimyati, Hakim Yudisial atau panitera pengganti Elly Tri Pangestu (ETP), dua aparatur sipil negara (ASN) Kepeniteraan MA Desy Yustria (DY) dan Muhajir Habibie (MH), serta dua ASN di Mahkamah Agung Nurmanto Akmal (NA) dan Albasri (AB).Kemudian, pengacara Yosep Parera (YP) dan Eko Suparno (ES) serta debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana Heryanto Tanaka (HT), dan debitur Koperasi Simpan Pinjam Ivan Dwi Kusuma Sujanto (IDKS). (sof/ANTARA)

Vonis 1 Tahun 4 Bulan Penjara untuk Penyuap Rektor Unila

Bandarlampung, FNN - Majelis Hakim menjatuhkan vonis hukuman kurungan penjara selama satu tahun dan empat bulan atau 16 bulan penjara kepada Andi Desfiandi, terdakwa penyuap dalam persidangan perkara suap mantan rektor Universitas Lampung (Unila).Terdakwa Andi Desfiandi terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah turut serta melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan alternatif kedua penuntut umum.\"Menjatuhkan hukuman satu tahun dan empat bulan kurungan penjara, kepada terdakwa,\" kata Ketua Majelis Hakim Veronika saat membacakan putusan di Pengadilan Negeri Tanjungkarang Kelas I Bandarlampung, Rabu.Andi Desfiandi  didakwa memberi suap dalam perkara dugaan suap terhadap Rektor Unila (nonaktif) Prof Dr Karomani atas penerimaan mahasiswa baru (PMB) di Unila Tahun 2022.Selain dijatuhi hukuman kurungan penjara, terdakwa Andi Desfiandi juga dikenakan denda sebesar Rp150 juta, subsider tiga bulan kurungan penjara.Hal yang memberatkan atas vonis terdakwa Andi Desfiandi, sebab perbuatannya tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Perbuatan terdakwa telah mencederai para calon mahasiswa Universitas Lampung yang telah bersungguh-sungguh melalui tahapan seleksi dengan jujur.\"Sedangkan hal yang meringankan terdakwa, yakni yang bersangkutan belum pernah dihukum. Terdakwa juga menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya, kemudian, bersikap sopan selama dalam persidangan dan berperan dalam kegiatan sosial di masyarakat,\" kata dia.Atas putusan yang telah dijatuhkan ketua majelis hakim, terdakwa bersama penasihat hukumnya dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan pikir-pikir.Sebelumnya, Jaksa KPK menuntut terdakwa Andi Desfiandi agar dijatuhi hukuman kurungan penjara selama dua tahun dalam perkara dugaan suap terhadap Rektor Unila (nonaktif) Prof Dr Karomani atas penerimaan mahasiswa baru di Universitas Lampung (Unila) Tahun 2022.Jaksa KPK juga menjatuhkan denda kepada terdakwa Andi Desfiandi sebesar Rp200 juta subsider lima bulan kurungan penjara.Dalam perkara tersebut, KPK telah menetapkan empat orang tersangka yang terdiri atas tiga orang selaku penerima suap, yakni Prof Dr Karomani (Rektor Unila nonaktif), Wakil Rektor I Bidang Akademik Unila Heryandi, dan Ketua Senat Unila Muhammad Basri.(sof/ANTARA)

Kapolri Menginstruksikan Jajarannya untuk Mengawal Penggunaan Anggaran Pemda

Jakarta, FNN - Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo menginstruksikan seluruh jajarannya membantu, mengawal, dan memberikan pendampingan kepada kepala daerah dalam penggunaan anggaran untuk mencegah inflasi.\"Sering menjadi masalah ada keraguan terkait pemanfaatan penggunaan dana yang tersedia di daerah. Saya minta pada rekan-rekan, khususnya satgas dan teman-teman yang terlibat di dalamnya, untuk betul-betul berikan pendampingan dalam hal penggunaan anggaran,\" kata Listyo Sigit dalam acara Rakornas Kepala Daerah dan Forkopimda \"Penguatan Pertumbuhan Ekonomi dan Pengendalian Inflasi\" di SICC Sentul, Jawa Barat, SelasaDalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa, Listyo Sigit menyampaikan strategi kepolisian dalam melakukan mitigasi inflasi di Indonesia. Upaya itu dilakukan mengingat gejolak ekonomi global berdampak pada situasi ketidakpastian ekonomi di Tanah Air.\"Kepolisian menghadapi situasi gejolak ekonomi global yang ada. Kami memiliki strategi mitigasi yang harus betul-betul dilakukan,\" jelasnya.Mantan kabareskrim Polri itu mengungkapkan kepolisian harus menjamin ketersediaan dan stabilitas harga bahan pokok, mengawal anggaran negara sebagai shock absorber, memperkuat investasi dan hilirisasi industri, serta menjaga pasar domestik.Terakhir, lanjut Sigit, personel kepolisian harus bersinergi dengan TNI dan seluruh pihak untuk menjaga situasi keamanan dan ketertiban masyarakat.\"Dan stabilitas kamtibmas sebagai prasyarat karena kita memang harus menjaga apalagi kita masuk tahun politik,\" imbuhnya.Di hadapan para kepala daerah dan pejabat daerah, Sigit menjelaskan penggunaan APBN maupun APBD menjadi salah satu yang diharapkan dapat memutar roda perekonomian selain investasi. Menurut dia, jika anggaran dapat terserap dengan baik, maka dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia 1,6 hingga 1,7 persen.\"Baik dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan lain-lain; pastikan bisa terserap. Kalau Pak Presiden (Joko Widodo) minta di atas 90 persen, bagaimana caranya sehingga putaran di daerah bisa berjalan,\" katanya.Dia juga mengingatkan seluruh personel Polri melakukan pendampingan secara profesional sehingga tidak terjadi keraguan dalam penyerapan anggaran\"Saya ingatkan, jangan dari kita yang menjadi bagian masalah. Kita membimbing. Jadi, yang benar mendampingi pemda, sehingga tidak ada lagi keraguan. Gunakan dana-dana yang ada,\" tegasnya.Mantan kapolda Banten itu juga mendorong peningkatan penggunaan produk dalam negeri (P3DN) dengan memanfaatkan dan meningkatkan e-katalog yang ada. Dia juga mendukung kolaborasi yang baik antara Aparat Penegak Hukum (APH) dan Aparat pengawasan Intern Pemerintah (APIP), sehingga seluruh perencanaan berjalan lancar.\"Menjadi sangat penting supaya tidak ada keraguan dan betul-betul bisa terserap dengan baik,\" ujar Listyo Sigit.(ida/ANTARA)

Sambo Cuma Dituntut Hukuman Seumur Hidup?

Jakarta, FNN - Jaksa penuntut umum menuntut hukuman seumur hidup untuk mantan Kepala Divisi Propam Polri, Ferdy Sambo, karena terbukti bersalah sebagai dalang sekaligus pelaku pembunuhan berencana terhadap mendiang Brigadir Yosua Hutabarat. Tuntutan hukuman ini jauh lebih berat dibandingkan dua terdakwa lain yang sudah memasuki tahap penuntutan, yakni Kuat Ma\'ruf dan Riki Rizal, sopir pribadi dan ajudan, yang masing-masing dituntut hukuman 8 tahun penjara. “Tuntutan yang sangat ringan mengingat keduanya bersama Ferdy Sambo, Putri Candrawati (istri Sambo), dan Barada Richard Eliezer dikenakan pasal 340 subsider pasal 338 junto 55 ayat ke-1 dan junto pasal 56 ayat ke-1 KUHP,” ujar Hersubeno Arief dalam Kanal Youtube Hersubeno Point edisi Selasa (17/01/23).                 Dalam pasal 340, ancaman untuk pembunuhan berencana adalah maksimal hukuman mati, seumur hidup, atau penjara 20 tahun. Hal yang memberatkan Sambo, menurut Jaksa, adalah mengakibatkan hilangnya nyawa Novriansyah Yosua Hutabarat dan duka yang mendalam bagi keluarga korban. Persidangan kasus pembunuhan memang dipenuhi haru-biru dan duka cita mendalam bagi keluarganya. Namun, Sambo berbelit-belit dan tidak mengakui perbuatannya ketika memberikan keterangan di persidangan. Perbuatan Sambo juga menimbulkan keresahan di masyarakat, mencoreng institusi Polri, dan melibatkan banyak aparat. Sementara, kesaksian yang meringankan tidak ada. Meski Jaksa telah menuntut secara maksimal terhadap Sambo sesuai dengan yang diatur dalam KUHP, namun tuntutan hukuman ini masih mengecewakan keluarga Brigadir Yosua dan publik. Mereka berharap Sambo dituntut hukuman mati. “Sekarang ini terpulang bagaimana keyakinan dari Majelis Hakim, apakah akan menghukum berat Sambo dengan hukuman mati atau yang lebih ringan,” ujar Hersu.  Hakim bisa memvonis lebih ringan, bahkan membebaskan terdakwa, bila berdasarkan proses di persidangan Jaksa tidak bisa membuktikan konstruksi hukumnya. “Kalau melihat fakta-fakta di persidangan, rasanya sangat tidak mungkin hakim akan menjatuhkan hukuman yang lebih ringan, misalnya 20 tahun penjara atau bahkan lebih ringan atau bahkan membebaskan,” ujar Hersu. Dari kesaksian para terdakwa, termasuk Barada Richard Eliezer yang menjadi justice colaborator, Sambo terbukti menjadi aktor intelektual alias dalang  yang memerintahkan pembunuhan, sekaligus sebagai pelaku pembunuhan terhadap Yosua. Sambo ikut menembak Yosua setelah memerintahkan Richard sebagai penembak pertama untuk memastikan kematian Yosua. Sambo juga membuat skenario palsu dan sebagai Kepala Divisi Propam dia merekayasa TKP, merusak alat bukti, serta melakukan obstruction of justice ‘menghalangi penegakan hukum’. Dalam kasus terakhir ini, Sambo bahkan melibatkan puluhan perwira Polri yang menjadi bawahannya. Beberapa di antaranya, seperti halnya Sambo, dalam sidang kode etik dipecat dari instansi Polri. Meskipun bertindak independen, menurut Hersu, Majelis Hakim tetap saja tidak mungkin tidak memperhitungkan opini publik dan rasa keadilan masyarakat. Publik sangat geram dan berharap Sambo dituntut hukuman maksimal, yaitu hukuman mati. Kasus Sambo, kata Hersu,  juga penuh dengan nuansa politik mengingat posisi yang pernah dijabat Sambo lingkungan Polri, yaitu sebagai Kepala Divisi Propam atau polisinya polisi. Dan yang jauh lebih penting lagi adalah pososisinya sebagai Kepala Merah Putih, lembaga non-struktural yang sangat berpengaruh dan memiliki aktivitas yang berkaitan dengan kepentingan politik para petinggi Polri.   Dengan latar belakang seperti itu seberapa tinggi tuntutan Jaksa dan seberapa berat nantinya vonis hakim yang dijatuhkan kepada Sambo, pasti akan mendapat sorotan dari publik, terutama vonis terhadap Sambu dan Putri Candrawati. Sementara untuk Eliezer, publik bahkan keluarga Yosua, berharap hukumannya lebih ringan. Demikian juga dengan Kuat Ma\'ruf dan Riki Rizal yang tidak terlalu menjadi sorotan publik.   “Beban berikutnya ada di pundak  Majelis Hakim, apakah akan menghukum lebih berat, yakni hukuman mati atau memilih hukuman ringan yakni 20 tahun penjara,” ujar Hersu. Rumusan ancaman dalam pasal 340 tentang pembunuhan berencana adalah hukuman mati, seumur hidup, atau kurungan 20 tahun penjara.Opsi-opsi itu bisa diambil oleh hakim sebagai panduan untuk menjatuhkan vonis.   Bila vonis hukuman mati yang dijatuhkan, kata Hersu, maka itu akan sesuai dengan keinginan keluarga Yosua dan keinginan publik. Bila hakim memvonis 20 tahun penjara, bisa menimbulkan ketidakpuasan publik, sebab hukuman penjara 20 tahun memberi peluang besar bagi Sambo untuk bebas melalui berbagai remisi yang tersedia. Setidaknya kalau vonis 20 tahun bisa 8 tahun di penjara. Tapi, semua itu memang ada ketentuannya yang terkadang tidak dipahami oleh publik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa hukum di Indonesia aturable. “Bila Anda punya akses pada kekuasaan atau Anda punya kemampuan finansial yang besar maka hukuman itu bisa aturable. Sambo punya dua-duanya,” ujar Hersu. (ida)