ALL CATEGORY
Kasus Melonjak, 4.814 Pasien COVID Dirawat di RSDC Wisma Atlet Kemayoran
Jakarta, FNN - Sebanyak 4.814 pasien terkonfirmasi positif virus corona (COVID-19) masih dirawat di Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet Kemayoran hingga Selasa. \"Pasien bertambah 224 orang,\" kata kepala Penerangan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan I, Kolonel Marinir Aris Mudian di Jakarta, Selasa. Aris menjelaskan jumlah pasien dalam perawatan pada Senin (31/1) sebanyak 4.590 orang. Pasien yang masuk berasal dari wilayah DKI Jakarta. Aris menjelaskan para pasien COVID-19 itu dirawat di tower 4, 5 dan 6. Para pasien itu dirawat dengan gejala ringan. RSDC Wisma Atlet memiliki total 7.894 kamar untuk empat tower perawatan pasien. Dalam sepekan, sejak Selasa (25/1) hingga Selasa (1/2), terdapat penambahan pasien sebanyak 1.875 orang. Untuk rekapitulasi pasien sejak 23 Maret 2020 hingga 1 Februari 2022, sebanyak 140.660 orang pasien terdaftar. Dimana 135.846 orang pasien telah keluar dengan rincian 134.156 dinyatakan sembuh, 1.094 dirujuk ke RS lain dan 596 orang meninggal dunia. Sementara itu, di RS Darurat Wisma Atlet Pademangan pasien rawat inap yang melakukan karantina mandiri sebanyak 1.134 orang hingga Selasa. Angka itu berkurang 264 orang dibandingkan Senin (31/1) sebanyak 1.398 orang. Koordinator Rumah Sakit Darurat COVID-19 (RSDC) Wisma Atlet Kemayoran Mayjen TNI Budiman mengajak semua pihak untuk terus menjalankan protokol kesehatan secara disiplin. Menurutnya kewaspadaan dengan cara mematuhi protokol kesehatan 5M adalah hal terpenting agar kasus COVID-19 tidak kembali naik. Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menerbitkan instruksi perpanjangan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) untuk wilayah Jawa dan Bali. Kemendagri mengeluarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri tentang PPKM yang tertuang dalam Inmendagri Nomor 06 Tahun 2022 untuk PPKM Jawa-Bali. Inmendagri itu berlaku pada tanggal 1 Februari 2022 sampai 7 Februari 2022. Inmendagri tersebut merupakan perpanjangan dari Inmendagri tentang PPKM yang telah tertuang pada Inmendagri Nomor 5 Tahun 2022. (*)
Sudah Dipilih Rakyat, Partai Gelora Dorong DPD RI Punya Kewenangan Setara DPR, bukan Hanya Simbolik
Jakarta, FNN - Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia mendorong kewenangan yang dimiliki Dewan Perwakilan Daerah (DPD), karena sudah dipilih rakyat secara langsung, bukan dipilih secara simbolik. Hal ini untuk menyempurnakan kedudukan sistem bikameral dalam ketatanegaraan kita yang terdiri dari dua kamar atau joint session antara DPR dan DPD yang memiliki kewenangan, serta kesetaraan hak yang sama di parlemen. \"DPD kita kan sudah lompat dipilih oleh rakyat, kalau sudah dipilih oleh rakyat ngapain kewenangannya simbolik. Jadi harus diberi kewenangan yang kuat. Sehingga bikameralisme kita menjadi sempurna,\" kata Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah dalam Gelora Talk bertajuk \'Penguatan Lembaga DPD RI, Perlukah?\', Rabu (26/1/2022) petang. Menurut Fahri, agar sistem tersebut menjadi sempurna, maka DPD harus berani mengkritik partai politik (parpol) di DPR. Sebab, yang bisa mengkritik DPR hanyalah DPD. \"Yang bisa kritik parpol itu, itu hanya kamar sebelahnya. Karena itu saya sarankan tolong (DPD) kritik ke parpol juga disuarakan. Sebab keterpilihan anggota DPD, nggak ada hubungannya dengan parpol. Karena itu lah bikameral kita itu salah satunya adalah DPD juga harus mengkritik DPR ini,\" ujarnya. Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019 ini mengatakan, beban kerja yang dimiliki DPR sangatlah banyak. Banyak pekerjaan yang tidak terselesaikan oleh DPR, namun disayangkan beban kerjanya tersebut tidak diserahkan ke DPD. \"Coba bayangkan jika sebagian pekerjaan itu dibagi, dikonkretkan misalnya UU sudah memberikan kewenangan otonomi daerah, hubungan pusat daerah tapi coba dikonkretkan, baik hak legislasi, anggaran maupun pengawasan, saya kira itu lebih berimbang dua kamar cabang kekuasaan ini,\" ujarnya. Selain itu Partai Gelora, lanjut Fahri, juga menginginkan agar DPD diisi oleh tokoh-tokoh daerah dari kesultanan seperti Wakil Ketua DPD Sultan Bahtiar Najamuddin, yang memiliki kekuasaan riil terhadap rakyatnya di daerah, kalau dipilih pasti menang. \"Saya sering mengatakan bagaimana DPD bisa mewakili champion-champion daerah yang dulu pernah ada. Anggota DPD RI bisa diisi oleh sultan-sultan yang masih ada di Indonesia, seperti Kesultanan Tidore. Kesultanan Tidore 950 tahun itu penguasa Pasifik dulu. Papua dulu punyanya Tidore. Tapi sekarang alhamdulillah jadi anggotanya Pak Sultan (Sultan Bachtiar Najamudin),\" katanya. Fahri melihat DPD RI bisa menjadi sarana atau wadah bagi para sultan di Indonesia untuk menyalurkan aspirasi dan pikirannya bagi pembangunan bangsa dan negara. \"DPD menurut saya bisa menjadi salah satu penampungnya, khususnya saat pemilu agar sultan-sultan ini bisa disalurkan. Mungkin, kalau DPD kita ambil 20 persen dari perwakilan riil yang mungkin tidak harus dipilih, bisa saja reformasi itu kita lakukan ke depan,\" katanya. Hal senada disampaikan oleh cendikiawan muslim Prof Azyumardi Azra. Azyumardi menilai DPD sebagai wujud dari kedaulatan daerah, tapi tidak punya kewenangan, meski dipilih langsung oleh rakyat. Kondisi tersebut, sengaja diciptakan untuk penguatan peran presiden dan oligarki partai politik di DPR untuk melucuti kedaulatan rakyat dan daerah. Sehingga parlemen saat ini terkesan kembali seperti tukang stempel. \"DPR saat ini seperti apa yang disebut orang sebagai tukang stempel kemauan presiden, seperti diloloskannya Undang-undang Ibu Kota Negara (IKN) dan UU Ciptaker,\" ujar Azyumardi. Karena itu, ia menilai kehadiran DPD saat ini boleh dikatakan antara ada dan tiada, karena tidak memiliki kewenangan legislasi yang memadai, sehingga penguatan DPD menjadi urgent. \"Tapi waktunya tidak tepat sekarang ini. Banyak orang menolak, bukan melokan amandemen untuk memberikan kekuatan konstitusional bagi DPD, tetapi banyak yang khawatir amandemen UUD 1945 seperti membuka kotak pandora,\" ujarnya. Wakil Ketua DPD RI Sultan Bahtiar Najamudin mengungkapkan, banyak aspirasi daerah yang diabaikan DPR seperti usulan RUU Daerah Kepulauan dan RUU Bumdes yang sudah bertahun-tahun diusulkan tidak mendapat perhatian, bahkan dikeluarkan dari Prolegnas. Sementara, kata Sultan, banyak undang-undang yang sudah diketok DPR tanpa memperhatikan aspirasi DPD, sehingga rentan gugatan karena unsur politisnya dan pembahasannya dilakukan dilakukan dalam waktu singkat seperti UU Cipta Kerja dan UU IKN (Ibu Kota Negara). \"Ya kalau temen-temen DPR mau teruskan, teruskan saja tapi lihat saja nanti ini, rawan sekali di chalange oleh kelompok civil society, termasuk kemarin soal IKN. Kita berikan catatan kritis, kita setuju, bukan tidak setuju. Tapi, dengan begitu gampangnya DPR ketok palu RUU Cipta Keja, IKN dan saya kira hampir semua RUU dilakukan terburu-buru,\" ujarnya. Seharusnya DPR mendengarkan aspirasi daerah seperti yang diwakili DPD. Sebab, suara rakyat yang memilih 136 anggota DPD setara dengan 70 juta suara, sehingga keterwakilannya sangat kuat karena juga dipilih langsung oleh rakyat. \"Gagasan besar Partai Gelora untuk penguatan kelembagaan DPD, memancing kita untuk memunculkan UU sendiri, UU DPD RI. Kalau di UU MD3 itu, payung kita sekarang, kita tidak bisa keluar dari sana. Kita akan mengambil langkah out the box, pilihan langkah ektra, bukan ekstra parlemen, tapi seperti kita tidak terlibat pembahasan kalau ada RUU lagi. Hal itu juga agar kita punya legal standing, kalau sekarang kan tidak bisa karena kita terlibat sejak awal,\" katanya. Akademisi Ilmu Politik Univeritas Indonesia Hurriyah berharap agar DPD bisa meningkatkan perannya di parlemen, karena aspirasi rakyat di DPR yang diwakili parpol banyak menimbulkan problem dan kekecewaan masyarakat. Hurriyah menilai, munculnya DPD juga tidak bisa dilepaskan dari persoalan representasi politik, untuk memperkuat keterwakilan masyarakat dan daerah yang selama ini dinilai terlalu sentralisasi. \"Saya kira semangat penguatan lembaga DPD RI bisa mengembalikan kepentingan publik serta memastikan lembaga DPD sebagai representasi institusi politik bagi masyarakat daerah, sehingga perannya bisa optimal di parlemen,\" kata Hurriyah. (sws).
Doswidania, Bye Bye
Oleh Ridwan Saidi, Budayawan TAHUN 1957 cineast Rusia membuat film tentang kondisi masyarakat Sovyet Rusia yang diakibatkan kekejaman Perang Dunia II. Film dibintangi artis jelita Sovyet Rusia Tatiana Samoilova yang berperan sebagai Veronika. Film ini banyak dapat penghargaan Internasional. Film masuk Indonesia tahun 1960 dengan judul yang diterjemah: Bila burung-burung bangau terbang lalu. Saya perlukan nonton film ini di Globe, Pasar Baru. Ini film sangat bagus, begitu pun acting Tatiana. Prima. Tatiana wafat tahun 2018 dalam usia 80 tahun. Sebelum wafat ia kadang terlihat tampil di beberapa ruang publik. Dalam usia seperti itu jejak-jejak kecantikan masih membekas di tepian wajahnya. Diperkirakan ia main dalam The Cranes are flying dalam usia 18/19 tahun. Film ini mengagumkan memang. Tapi saya menyimpan keheranan lain, bagaimana di Stalingrad Library tersimpan 30 karya tulis pujangga Betawi Muhammad Bakir XIX - XX M. Salah satu yang tersimpan di sana Hikayat Anak Pengajian. Saya ingin sekali membacanya. Dalam kunjungannya ke Sovyet tahun 1960-an Presiden Sukarno tidak minta dijadwal pertemuan dengan Tatiana. Tahun sebelumnya di USA BK bertemu dengan Marylin. Monroe. Malah di Rusia.betemu dengan austronot Yuri Gagarin. Esok harinya Presiden Kruschov undang BK coffe break. Intel Sovyet mungkin tahu BK mulai dekat dengan China. Di table coffe break diceritakan pertemuan berjalan akrab. Ketika mau naik pesawat balik Jakarta, di tangga pesawat BK balik badan seraya melambaikan tangan, doswidania. Bye bye. Dalam politik luar negri, BK seterusnya tinggalkan Sovyet Rusia dan makin merapat ke China hingga Gestapu/PKI meledug. (*)
Holopis Kuntul Baris, Coro Anies Sareng Rakyat
Oleh: Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari Anies R Baswedan bagaikan mendayung di dua pulau. Di satu sisi mengemban kehendak rakyat, di sisi lain bercengkerama dengan partai politik yang mengemban amanat konstitusi. Anies dituntut kepiawaiannya menciptakan keselarasan aspirasi rakyat dan mekanisme yang ada dalam partai politik. Sebuah tantangan saat partai politik tidak serta merta dan selalu menjadi representasi kepentingan rakyat. Saat kepentingan oligarki begitu dominan, mengharapkan demokrasi yang ideal merupakan sebuah keniscayaan. Meskipun mengusung kepentingan bersama, ketika pragmatisme politik menjadi pilihan dan kesepakatan, maka suara rakyat sering terpinggirkan, setidaknya menjadi nomor dua. Realitas politik seringkali memunculkan betapa berjaraknya aspirasi rakyat dengan sistem demokrasi liberal yang sarat kapitalistik dan transaksional. Menjadi sangat menarik bagi Anies ke depan, khususnya dalam menyiapkan diri menghadapi kontestasi pilpres 2024. Anies bersama timnya harus mampu membangun konsolidasi yang kuat di tengah rakyat yang kian hari kian euforia mendukungnya. Maraknya antusiasme capres Anies di seluruh Indonesia, tetaplah ditentukan oleh sikap partai. Oleh karena itu, kemampuan personal dalam negosiasi dan bargaining posisi pada partai politik, mutlak dilakukan Anies. Kemampuan Anies meyakinkan publik dan partai politik secara luas, harus bisa menembus jantung rakyat melampaui batas-batas wilayah dan entitas sosial politik. Ceruk politik dan keseimbangan pendulum ideologi harus dibentangkan secara luas dan harmonis. Elaborasi dan sinergi kekuatan ideologi, memerlukan sentuhan elegan dari Anies yang bisa didapat dari irisan atau yang menjadi anasir partai politik. Anies Baswedan sepatutnya menjadi pemimpin bagi semua agama, bagi semua suku, bagi semua ras, dan bagi semua komunitas antar golongan. Terus merajut kebangsaan, menenun renda-renda kebhinnekaan dan kemajemukan Indonesia. Payung politik Anies, harus bisa dibentangkan lebar dan tinggi untuk melindungi seluruh anak bangsa. Menjadi perahu besar mengarungi masa depan Indonesia yang lebih baik. Kalau saja ini bisa dilakukan Anies, In syaa Allah rakyat akan mengapresiasi dalam wujud loyalitas dan miltansi. Begitupun juga bagi partai politik, memungkinkan manifestasi kedaulatan rakyat dalam ranah konstitusi itu. Berpeluang menggunakan logika dan rasionalitas politiknya, dalam memperjuangkan orientasi partainya menangkap animo dan keinginan rakyat. Saiyeg Saeka Praya Saiyeg Saeka Praya, peribahasa dari kultur Jawa yang pada akhirnya menginspirasi salah satu nilai-nilai Panca Sila. Sepertinya akan menjadi ruh sekaligus enegi dari persfektif politik capres seorang Anies. Prinsip-prinsip gotong-royong dalam slogan holopis kuntul baris, oleh Bung Karno sering dipakai untuk menggelorakan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Potensial diserap sekaligus dimanfaatkan Anies untuk membangun kecerahan publik, yang akhir-akhir ini meredup. Bukan hanya relevan, semangat holopis kuntul baris bia jadi merekonstruksi kembali kerapuhan bangunan kebangsaan Indonesia. Holopis kuntul baris menjadi begitu dibutuhkan bagi pemimpin dan rakyatnya, terutama ketika nasionslisme negeri ini seakan berada di ujung tanduk. Krisis multidimensi yang melanda negeri, ada baiknya dicari solusinya dengan hikmat kebijaksanaan yang berakar pada tradisi adiluhung holopis kuntul baris. Nilai-nilai yang diadopsi ke dalam Panca Sila menjadi sila persatuan Indonesia itu. Suka atau tidak suka, senang atau tidak senang akan menjadi problem solving bagi republik ini yang sedang terpapar gejala degradasi sosial dan disintegrasi nasional. Pada akhirnya, bagi Anies Baswedan, bagi semua partai politik dan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tidak ada pilihan terbaik selain menjejaki dan menulari semangat holopis kuntul baris secara lebih terstruktur, sistemik dan masif. Betapapun dinamika dan konstelasi politik pilpres 2024 begitu tinggi dan menyita perhatian publik nasional dan internasional. \"Lets go\", all of you Indonesian\". Holopis kuntul baris, berhimpun bersama Anies dalam satu baris. Satu barisan kebangsaan Indonesia. (*)
Zigzag Pemindahan Ibukota Negara dan (Potensi) Pelanggaran Konstitusi
Oleh Anthony Budiawan – Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) PEMINDAHAN ibu kota sebuah negara merupakan hal biasa. Terjadi di banyak negara di dunia. Meskipun tidak semuanya sukses. Ada yang gagal seperti Nay Pyi Taw, ibukota baru Myanmar yang ditetapkan tahun 2005. Yang kini, konon, menjadi “kota hantu”. Mohon frasa “kota hantu” ini jangan diplintir. Frasa ini bukan mau menghina penduduk Nay Pyi Taw. Tetapi hanya sebagai arti kiasan, menunjukkan sebuah kota yang sepi. Bukan kota yang benar-benar dihuni oleh hantu. Sebelum dipolisikan, saya mohon maaf kepada penduduk Nay Pyi Taw. Tetapi, pemindahan Ibu kota akan menjadi tidak biasa kalau prosesnya penuh misteri, di luar prosedur umum. Terkesan sebagai kolaborasi antara eksekutif dan legislatif: antara pemerintah dan DPR. Ada yang memaknai “kolaborasi” sebagai persekongkolan. Silakan saja. Meskipun kata persekongkolan mengandung arti negatif. Pembentukan ibu kota negara (IKN) baru yang dinamakan Nusantara memang terkesan tidak lazim. Proses pengesahan dari Rancangan Undang-Undang (RUU) menjadi Undang-Undang (UU) sangat cepat, bagaikan kilat. Dan terkesan menghindari diskusi publik. Pembentukan dan pemindahan ibu kota seharusnya sangat mudah. Karena semua prosedur sudah tertulis jelas di dalam UU dan Konstitusi. Hal ini diatur di Bab VI, Penataan Daerah, dari Pasal 31 hingga Pasal 56, UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Khususnya Bagian Ketiga: Penyesuaian Daerah, Pasal 48 hingga Pasal 56, yang mengatur antara lain pemindahan ibukota: Pasal 48 ayat (1) huruf d. UU tentang Pemerintahan Daerah tersebut merupakan perintah Konstitusi UUD yang tertuang di dalam BAB VI, Pasal 18 hingga 18B, tentang Pemerintah Daerah. Pasal 18 ayat (7) berbunyi Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang. Karena itu, pembentukan kota dan pemindahan Ibu Kota yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan tersebut di atas melanggar UU Pemerintahan Daerah, dan juga melanggar Konstitusi. Pembentukan dan penetapan Ibukota Negara (IKN) Nusantara jelas tidak sesuai peraturan perundang-undangan seperti dijelaskan di atas. Tidak sesuai Konstitusi. Kondisi ini diperparah dengan upaya “zigzag” dalam penetapan IKN Nusantara, yang hasilnya juga melanggar UU dan Konstitusi. Upaya “zigzag” ini untuk mengambil jalan pintas. Mencari kelemahan hukum, menghindari prosedur normal sesuai UU dan Konstitusi. Yang menyedihkan, upaya “zigzag” hukum ini semakin sering dilakukan. Dan terbukti, beberapa UU (atau Pasal dalam UU) dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi. Begitu juga dengan IKN Nusantara, yang tidak lagi dalam bentuk kota (atau daerah). Tetapi dianggap sebagai sebuah kawasan (administrasi) dalam bentuk Otorita. Hal ini dilakukan agar pembentukan kota dan Ibu Kota dapat dilakukan secepat kilat. Tidak perlu persetujuan DPRD setempat dan persyaratan lainnya seperti perintah UU Pemerintah Daerah. Kedua, agar “kepala daerah” IKN tidak perlu dipilih secara demokratis seperti perintah Pasal 18 ayat (4) UUD. Karena, Kawasan Otorita IKN Nusantara rencananya diketuai oleh Ketua Otorita yang dapat diangkat secara langsung oleh Presiden. Selain itu, Kawasan Otorita juga tidak mempunyai perwakilan rakyat daerah (DPRD). Konsep hasil “zigzag” hukum ini juga melanggar UU dan Konstitusi. Pertama, Ibu Kota adalah sebuah kota, di antara kota-kota yang tersebar di sebuah negara, yang kemudian ditunjuk sebagai IBU KOTA, dan biasanya menjadi pusat kegiatan resmi pemerintah, serta menjadi domisili perwakilan negara lain (kedutaan besar) dan organisasi internasional. Bisa saja ibu kota negara diberi status khusus sebagai Provinsi, seperti Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Hal ini sesuai dengan UUD, Pasal 18 ayat (1) yang berbuni Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Artinya, Ibu Kota tidak boleh dalam bentuk sebuah Kawasan. Selain tidak dikenal di dalam (susunan Pemerintahan Daerah di dalam) UUD, Kawasan umumnya terdiri dari beberapa kota atau desa (daerah) seperti Daerah Industri Pulau Batam (di bawah pengelolaan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam). Kawasan juga bisa mencakup lintas Kabupaten yang di dalamnya terdiri dari berbagai Kota seperti Kawasan Pariwisata Danau Toba (di bawah pengelolaan Badan Otorita Pengelola Kawasan Wisata Danau Toba). Karena itu, Kawasan tidak mungkin bisa berwujud Kota, dan tidak bisa menjadi ibu kota. Kemudian, pembentukan Kawasan tidak bisa menghilangkan status kota (daerah). Sehingga status Kota (dan desa) di dalam sebuah Kawasan (IKN) masih tetap ada, dan berada di bawah kekuasaan Pemerintah Daerah (Kabupaten Penajam Paser Utara). Kawasan juga tidak bisa menjalankan fungsi administrasi Pemerintahan Daerah. Kawasan tidak bisa mengeluarkan Kartu Tanda Penduduk. Kawasan juga tidak boleh mempunyai satuan keamanan. Karena, semua itu fungsi dari Pemerintah Daerah. Terakhir, pembentukan Kawasan pada hakekatnya merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat yang ditugaskan untuk tujuan tertentu. Misalnya pengembangan industri (Batam), pengembangan pariwisata (Danau Toba, Labuan Bajo), dan lainnya. Bukan untuk fungsi Pemerintahan Daerah, apalagi sebagai ibu kota. Kesimpulan, Kawasan Ibu Kota Negara Nusantara cacat hukum, karena bukan sebagai kota, dan tidak bisa menjadi Ibu Kota. (*)
Hadiri Haul Mama Gelar di Cianjur, LaNyalla: Indonesia Tidak Merdeka Tanpa Pesantren
Cianjur, FNN - Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menghadiri Haul Mama Gelar ke-30 di Pondok Pesantren Gelar, Cianjur, Jawa Barat, Selasa, 1 Februari 2022. Ia mengatakan, pesantren memiliki peran penting dalam kemerdekaan Indonesia. LaNyalla hadir bersama Senator asal Kepulauan Riau, Dharma Setiawan; Sekjen DPD (Dewan Perwakilan Daerah) RI, Rahman Hadi dan Deputi Administrasi DPD RI Lalu Niqman Zahir. Rombongan Ketua DPD RI diterima pengasuh Pondok Pesantren Gelar Muhammad Faisal dan pengurus pondok lainnya, antara lain Aang Zein, Fawaidz dan Usep Abdul Aziz. Datang juga Kapolres (Kepala Polisi Resor) Cianjur, Ajun Komisaris Besar Doni Hermawan dan Ketua Pengurus Besar Muay Thai Indonesia (PBMI), Sudirman. LaNyalla menegaskan, Indonesia tidak merdeka tanpa pesantren. Artinya, kontribusi pesantren terhadap negara ini sangat besar. \"Saat awal kemerdekaan Indonesia, diketahui Resolusi Jihad yang dikeluarkan KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 pada akhirnya memicu lahirnya peristiwa 10 November 1945,\" ujar LaNyalla dalam siaran persnya yang diterima FNN.co.id. \"Selanjutnya bagaimana peran para ulama dalam memberikan sumbangan pemikiran saat sidang-sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Terutama terkait bentuk dan dasar dari negara yang akhirnya disepakati sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan Sistem Demokrasi Pancasila,\" ujarnya. Menurut LaNyalla, kehadiran pondok pesantren juga sebagai solusi bagi berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Baik sebagai solusi pendidikan, kesehatan, hingga solusi masalah-masalah sosial kemasyarakatan. \"Sampai saat ini pondok pesantren adalah salah satu pilar penting sebagai penjaga moral dan penjaga akhlak generasi bangsa,\" ucapnya. Ditambahkan LaNyalla, ia sengaja datang ke ponpes menemui kiai- dan ulama untuk mencari ilmu. Hal itu sudah dilakukannya sejak masih muda. \"Saya cari ilmu yang tidak ada di dunia ini. Dari para kiai untuk mendapatkan ilmu laduni, ilmu yang diperoleh sebagai hasil dari pengalaman kerohanian secara pribadi,\" ucapnya. Pengasuh Ponpes Gelar, KH Muhammad Faisal berharap pertemuan itu bukan yang pertama dan terakhir tapi pertemuan untuk selanjutnya. Sehingga terjalin ukhuwah yang semakin erat antara ulama dan umara. \"Ulama dan umara harus bersinergi dan bersatu dalam memajukan umat dan bangsa,\" katanya. Muhammad Faisal juga mendoakan agar LaNyalla yang mempunyai aktivitas banyak dan cita-cita tinggi diberikan kemudahan. \"Semoga diberikan usia panjang, rezeki barokah, ilmu yang luas. Terkait pencalonan presiden, kalau Pak LaNyalla siap kenapa tidak. Manusia harus yakin dan terus berusaha, ketentuan ada di tangan Allah. Mudah- mudahan diberikan posisi terbaik,\" ujarnya. Dalam kunjungamnya itu, senator asal pemilihan Jawa Timur itu berziarah ke makam pendiri Ponpes Gelar, almarhum KH Zen Abdusomad (Mama Gelar) yang tidak jauh dari pesantren. (MD).
Kasus Edy Mulyadi Menunjukkan Besarnya Kekuasaan Oligarki Cukong
Oleh Asyari Usman, jurnalis senior FNN AKHIRNYA Edy Mulyadi (EM) ditahan. Dengan tuduhan ujaran kebencian. Dia dikatakan menghina orang Kalimantan. Edy adalah seorang wartawan yang tak bisa tinggal diam melihat kesewenangan. Dia menentang pemindahan ibu kota negara (IKN) dari Jakarta ke Penajam Paser di Kalimantan Timur (Kaltim). Bagi Edy, pemindahan ini adalah langkah sewenang-wenang. Tanpa urgensi yang mengharuskan pindah. Lebih dari itu, Edy menangkap sesuatu yang lebih besar lagi. Dia melihat ancaman terhadap kedaulatan negara di balik pemindahan IKN. Apa yang dia lihat, diakui pula oleh banyak orang termasuk para pemerhati geopolitik dan persaingan internasional. Berawal dari ancaman inilah Edy kemudian berargumentasi bahwa pemindahan IKN ke Kaltim sarat dengan alasan yang tidak rasional. Antara lain dia berpendapat lokasi IKN baru itu terpencil dan sangat jauh. Sampai-sampai Edy menggunakan istilah yang dirasakan menyinggung orang Kalimantan. Inilah yang diangkat sebagai pelanggaran pidana. Dia pun ditahan. Tetapi, apakah sesederhana itu pemicu proses hukum terhadap Edy? Jelaslah tidak. Kekhilapan kecil ini dibesarkan dengan bantuan proyektor milik cukong. Kaki tangan cukong menyimpulkan bahwa Edy Mulyadi sangat “mengganggu” bagi agenda besar mereka. Kalau kasus Edy diproses sesuai standar hukum, maka hari ini juga para buzzer upahan harus masuk penjara. Tak terhitung lagi berapa banyak pelecehan, fitnah, dan uajaran kebencian yang mereka lakukan. Tidak tanggung-tanggung. Mereka menghina agama, menghina dan merendahkan Nabi serta kitab suci, ulama, dlsb. Begitu juga sejumlah petinggi. Termasuk Menteri Sosial Tri Risma yang melecehkan Papua dengan mengancam PNS untuk dipindahkan ke Papua. Tersirat makna bahwa Papua adalah tempat pembuangan. Tapi, Sang Menteri aman-aman saja. Kemudian ada anggota DPR RI, Arteria Dahlan. Dia rasis. Merendahkan orang Sunda. Arteria jelas-jelas mengungkapkan kebenciannya terhadap bahasa Sunda. Ini terkait peristiwa seorang pejabat kejaksaan tinggi Jawa Barat yang menggunakan bahasa Sunda di dalam rapat. Kalau hukum mau ditegakkan seperti terhadap Edy Mulyadi, maka kedua petinggi ini haruslah mengalami perlakuan yang sama. Tapi, tidak demikian halnya. Diskriminasi penegakan hukum ini akan terus terjadi terhadap orang-orang yang berseberangan dengan penguasa. Hari ini, berseberangan dengan penguasa berarti berseberangan dengan oligarki cukong. Sebab, para penguasa adalah kaki tangan cukong itu. Proses hukum terhadap Edy menunjukkan besarnya kekuasaan para cukung. Merekalah yang memegang kendali. Mengapa begitu? Karena “penghinaan” yang dituduhan kepada Edy juga dilakukan oleh banyak orang selama ini. Idiom “jin”-nya pun persis sama. Jadi, kita semua paham. Kasus Edy bukan murni soal pelecehan atau ujaran kebencian. Melainkan soal gangguan terhadap pemindahan ibu kota yang di sekelilingnya ada para cukong rakus pencari untung besar. Mereka ini pula yang pantas diduga akan, sekaligus, menjadi agen penggadaian kedaulatan negara. Sekarang, lewat kasus Edy Mulyadi, para cukong memberikan peringatan kepada rakyat tentang konsekuensi melawan mereka.[]
Interfaith dan Islamophobia - 01
Al-Qur’an menegaskan berkali-kali dengan makna seperti ini: “siapa yang berkeinginan maka hendaklah beriman. Dan siapa yang berkeinginan hendaklah mengkafiri”. Atau dengan bunyi: “sesungguhnya Allah akan memberikan Hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki”. Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation TULISAN ini adalah intisari dari sebuah ceramah yang pernah saya sampaikan di sebuah forum pertemuan Imam di ICNA Convention beberapa tahun lalu. ICNA atau Islamic Circle of North America adalah satu dari beberapa organisasi Islam Nasional di Amerika. Saat itu saya khusus diminta menyampaikan ceramah dengan tema: “The role of interfaith in combating Islamophobia in US”. Saya tuliskan dalam bahasa Indonesia untuk kemanfaatan luas bagi yang memahaminya. Insya Allah tulisan ini akan bersambung dalam beberapa seri ke depan. Harapan saya semoga tulisan ini memperjelas hal yang belum jelas. Terlebih lagi bagi mereka yang tidak pernah terlibat tapi cenderung menghakimi. Pada tulisan ini saya memilih memakai kata “interfaith”, bukan dialog antar agama. Walaupun sesungguhnya dua terminologi itu semakna. Hanya saja kata “Dialog” antar agama bisa saja disalah pahami oleh sebagian seolah agama-agama disejajarkan bahkan disamakan. Lazimnya Dialog itu hanya terjadi antara dua hal yang setingkat. Antara dua Jenderal misalnya. Seorang prajurit rendahan tidak bisa berdialog dengan seorang jenderal. Karena prajurit rendahan pastinya hanya menunggu perintah atau instruksi dari sang Jenderal. Karena interfaith terasa lebih sesuai. Apalagi kata ini juga telah menjadi sebuah terminologi yang pepuler di kalangan praktisi interfaith. Apa Interfaith Itu? Kata interfaith masih sering disalah pahami oleh sebagian orang. Biasanya yang memahami salah tentang interfaith ini adalah orang-orang yang berada di salah satu dari dua kubu ekstrim dalam pemahaman beragama. Ada ekstrim kanan dan ada juga ekstrim kiri. Ekstrim kanan salah paham karena memang ketidak tahuan semata atau minimal kesalah pahaman yang berujung kepada pengharaman. Alasan yang sering disampaikan adalah karena Rasulullah SAW tidak pernah melakukannya. Seringkali juga interfaith dipahami oleh mereka secara salah sebagai penyamaan atau bahkan penyatuan agama-agama (religious unification). Atau biasa juga dicurigai jika interfaith itu adalah ajang “penggerogotan” iman. Sebaliknya ekstrim kiri adalah mereka yang memang menjalankan apa yang dituduhkan oleh ekstrim kanan. Interfaith bagi ekstrim kiri adalah \"menyamakan atau menyatukan\" semua agama-agama (unification of religions). Biasanya pemahaman mereka dibangun di atas asumsi jika semua agama itu sesungguhnya sama, menuju ke satu tujuan yang sama. Yaitu menuju kepada Tuhan yang satu. Yang berbeda hanya cara dan jalan semata. Karenanya dalam pandangan mereka sesungguhnya kebenaran agama itu bersifat relatif dan tidak absolut. Pandangan ekstrim kiri akhir-akhir ini menguat dengan sebuah konsep penyatuan agama-agama samawi dengan nama agama Ibrahim (Abrahamic Faith). Konsep ini telah mendapat penolakan dari tokoh-tokoh agama dunia, termasuk dari Syeikh Al-Azhar. Dalam pandangan saya kedua pendapat di atas adalah paham ekstrim dan berbahaya. Ekstrim kanan berada dalam rana keangkuhan beragama, bahkan mengarah kepada karakter takfiri. Yaitu sikap yang dengan mudah mengkafirkan sesama Muslim yang tidak sependapat. Sementara ekstrim kiri juga berbahaya karena mereduksi agama-agama ke ruang relatif, yang bisa diubah dan dicelup sesuai kehendak hawa nafsunya. Sehingga agama tidak lagi pada posisi menunjuki atau mengatur. Tapi agama diarahkan dan diatur sesuai kecenderungan hawa nafsu manusia. Karenanya perlu dipahami jika interfaith bukan bertujuan menggadaikan agama. Bukan pula untuk menyatukan agama-agama. Interfaith juga tidak dimaksudkan minimal pada pemahaman saya sebagai Muslim untuk menggerogoti iman penganut agama masing-masing. Interfaith hanya akan dipahami secara benar ketika seseorang memiliki pemahaman yang benar tentang agamanya di satu sisi. Dan juga memiliki pemahaman yang benar tentang realita dunia (lingkungan sekitar) di sisi lain. Interfaith dan Al-Qur\'an Secara literal kata interfaith (al-hiwaar baena al-asyaan) memang tidak akan pernah ditemukan dalam Al-Quran. Tapi secara makna dan konteks akan ditemukan berbagai ayat-ayat yang mendukung kegiatan interfaith ini. Jika kita lihat secara dekat dan jeli ayat-ayat Al-Quran akan kita dapat ragam ayat yang mengarah kepada pemaknaan kegiatan interfaith dan interaksi antar pemeluk agama yang ragam. Beberapa pemaknaan itu dapat kita lihat seperti berikut. Pertama, dalam Al-Qur’an komunikasi dan relasi antar manusia tidak terhalangi oleh perbedaan keyakinan atau agama. Bahwa keyakinan agama yang dianut adalah pilihan setiap orang berdasarkan kesadaran (atau di luar alam sadar) masing-masing orang. Oleh karenanya Islam dengan tegas menggariskan: \"tiada paksaan dalam agama\" (Al-Baqarah). Bahkan ditegaskan \"bagimu agamamu dan bagiku agamaku\" (Al-Kafirun). Oleh karena agama adalah pilihan masing-masing manusia, maka manusia sebagai makhluk sosial tidak seharusnya terhalangi untuk membangun relasi dan kerjasama dalam hal-hal yang menjadi \"common interest\" (kepentingan bersama dalam kemanusiaan). Kedua, agama Islam adalah agama yang membuka diri untuk membangun relasi, persahabatan, dan kerjasama dengan siapa saja. Bahkan Allah memerintahkan umat ini untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada siapa saja, selama relasi, persahabatan dan kerjasama itu tidak merendahkan dan merugikan. Allah menegaskan dalam Al-Qurab: \"Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu dan tidak mengusir kamu dari negeri kamu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil\" (Al-Mumtahanah: 8). Ketiga, dalam agama Islam ruh kebajikan (al-ihsan) tidak terbatasi oleh batas-batas keyakinan. Tapi menyeluruh untuk seluruh manusia dan makhluk lainnya. Ayat-ayat kebaikan (ihsan) misalnya dimaksudkan sebagai kebaikan universal: \"Dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu\" (Al-Qashas: 77). Memahami kebaikan (ihsan) yang bersifat universal ini tentunya juga sejalan dengan semangat Islam sebagai agama yang membawa kasih sayang (rahmah) universal dan tanpa batas: \"dan tidaklah Kami mengutus kamu (wahai Muhammad) kecuali sebagai kasih sayang ke seluruh alam (rahmatan lil-alamin)\". Maka dengan sendirinya membangun dialog, komunikasi, relasi dan kerjasama adalah realisasi atau aktualisasi langsung dari Islam yang bersifat \"rahmatan lil-alamin\" itu. Keempat, Al-Quran mengakui persaudaraan universal manusia (ukhuwah basyariyah). Dan karenanya segala upaya harus dilakukan untuk menjaga keutuhan persaudaraan kemanusiaan itu. Al-Qur\'an menegaskan: \"Sesungguhnya Kami (Allah) menciptakan kamu dari seorang lelaki (Adam) dan seorang wanita (Hawa), lalu Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal (ta\'aruf). Sesungguhnya yang terbaik di antara kalian adalah mereka yang paling bartakwa. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha mengenal\" (Al-Hujurat: 13). Dalam dunia modern yang bersifat global saat ini, terjemahan yang paling tepat, yang sejalan dengan sikon dunia kita dari kata “ta’aruf” adalah \"relasi antar komunitas yang ragam\" itu. Dan itulah hakikat dari interfaith. Karenanya “interfaith” dapat dimaknai sebagai proses untuk saling mengenal (ta’aruf) diantara manusia dengan segala keragaman latar belakangnya. Baik latar belakang suku, budaya, tradisi, maupun keyakinan agamanya. Kelima, agama Islam walaupun diakui secara teologi (keimanan) oleh umat Islam sebagai \"satu-satunya agama yang diterima di sisi Allah\" (Ali Imran) bukan berarti pengingkaran terhadap eksistensi agama-agama lain. Kenyataannya Al-Quran mengakui “eksistensi” agama-agama lain. Surah Al-Kafirun menegaskan itu: “bagimu agamu dan bagiku agamaku”. Pada poin ini saya harus pertegas bahwa mengakui eksistensi agama lain tidak berarti mengakui “kebenaran” agama tersebut. Sebuah agama boleh saja eksis walau tidak benar menurut pandangan penganut agama lain. Islam misalnya oleh penganut Kristiani pastinya tidak benar karena mengingkari Jesus sebagai anak Tuhan atau Tuhan. Keenam, bahwa salah satu ajaran yang mendasar dalam agama Islam adalah pengakuan akan wujud atau eksistensi keragaman (diversity) dalam ciptaan Allah. Termasuk keragaman umat dengan keragaman keyakinannya. Allah menegaskan: “Dan kalaulah Tuhanmu berkehendak maka dia jadikan manusia menjadi satu Umat”. (Hud: 118). Dengan kata lain, keragaman dalam pandangan Islam, termasuk keragaman dalam agama dan keyakinan, selain dipandang sebagai bagian dari penciptaan yang alami (thabiat al-khalq), juga merupakan amanah teologi Islam. Mengakui keragaman itu adalah bagian dari akidah umat ini. Ketujuah, Islam juga dengan tegas menegaskan bahwa keputusan untuk seseorang memeluk atau meyakini sebuah agama adalah hak sepenuhnya. Hak sepenuhnya di sini tentu ada pada dua sisi. Hak orang itu untuk memeluk agama atau keyakinannya. Tapi juga dalam pandangan Islam, Hidayah itu memang sepenuhnya ada di tangan Allah SWT. Al-Qur’an menegaskan berkali-kali dengan makna seperti ini: “siapa yang berkeinginan maka hendaklah beriman. Dan siapa yang berkeinginan hendaklah mengkafiri”. Atau dengan bunyi: “sesungguhnya Allah akan memberikan Hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki”. Dengan demikian adanya agama dan keyakinan lain yang dianut atau diyakini oleh orang lain merupakan konsekwensi dari kesadaran akan hak pribadi ini. Sehingga dengan sendirinya interfaith menjadi Urgen sekaligus pembuktian bahwa masalah pilihan agama dan keyakinan adalah pilihan pribadi. Dan pilihan pribadi itu tidak seharusnya menghalangi manusia untuk berinteraksi dan kerjasama. Lalu bagaimana Rasulullah SAW mengaktualkan makna-makna ayat di atas pada zamannya? New York, 1 Februari 2022. (Bersambung)
Bupati Bogor Pengembangan Desa Wisata Jangan Merusak Alam
Kabupaten Bogor, FNN - Bupati Bogor, Ade Yasin mengingatkan kepada jajarannya agar tidak merusak alam dalam upaya pengembangan desa wisata yang sedang dilakukan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor, Jawa Barat.“Desa wisata jangan merusak alam. Hanya ditata dan dikelola saja. Alam harus dijaga dan dirawat baik-baik,” ungkapnya di Cibinong, Bogor, Selasa, 1 Februari 2022..Menurutnya, pengembangan desa wisata yang dilakukan guna memaksimalkan potensi perekonomian desa tidak mengeksplorasi secara masif, sehingga tidak merusak lingkungan.“Dari 435 desa dan kelurahan, sebagian besar bisa dikelola jadi obyek pariwisata yang kemudian akan menjadi sumber perekonomian desa. Tetapi, jangan sampai merusak alam,” ujarnya, sebagaimana dikutip dari Antara.Ade Yasin mewanti-wanti kepala desa, jika dalam pengembangan kawasan wisata alam, harus mempertimbangkan ekosistem dan fungsi sesungguhnya dari kawasan yang akan dikelola.Ia tidak ingin pengembangan desa wisata justru menjadi sumber bencana. Menurutnya, Pemkab Bogor akan terus meningkatkan potensi itu, salah satunya dengan menyelenggarakan lomba desa wisata.“Kita butuh kerja sama, tidak hanya dengan pihak desa, tetapi juga dengan pihak yang lain,” kata Ade Yasin.Jumlah desa wisata yang semula sebanyak 25 pada tahun 2019, kemudian bertambah jadi 35 pada tahun 2020, dan menjadi 40 pada tahun 2021. (MD).
Pemindahan Dagangan PKL Malioboro Diharapkan Rampung Sepekan
Yogyakarta, FNN - Pedagang kaki lima Malioboro ditargetkan dapat memindahkan seluruh barang dagangan mereka dari pedestrian ke lokasi penempatan di Teras Malioboro 1 dan 2 dalam waktu satu pekan, terhitung sejak Selasa (1/2) hingga Senin (7/2). “Kami berharap, dalam waktu satu pekan ini pedestrian Malioboro sudah bersih. Sudah ‘clear’. Karena sebenarnya sejak hari ini pun PKL tidak lagi diperkenankan berjualan di pedestrian,” kata Kepala Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta Yetti Martanti di Yogyakarta, Selasa. Pemerintah daerah akan memaklumi jika masih ada barang dagangan yang tertinggal di pedestrian selama satu pekan ini. Namun, seluruh barang dagangan sudah harus dipindah ke lokasi penempatan maksimal pada Senin (7/2). “Kalau masih ada barang dagangan yang tertinggal di pedestrian, ya tidak apa-apa. Tetapi, per Selasa (8/2), semuanya sudah harus bersih,” katanya. Sekitar 1.800 pedagang kaki lima di sepanjang Malioboro ditempatkan di dua lokasi yaitu di Teras Malioboro 1 berjumlah sekitar 800 pedagang dan sekitar 1.040 pedagang menempati lapak di Teras Malioboro 2. Sebelumnya, sudah dilakukan undian secara terbuka yang diikuti pedagang kaki lima untuk menentukan lapak yang akan ditempati. Yetti memastikan, seluruh lapak di lokasi penempatan memiliki luasan yang sama meskipun ada perbedaan ukuran panjang dan lebar di masing-masing lapak. Setiap pedagang juga diminta menandatangani perjanjian kerja sama terkait penempatan dan pemanfaatan lapak sebagai salah satu upaya agar lapak tidak diperjualbelikan ke pihak lain. “Lapak tidak boleh dipindahtangankan. Harus sesuai dengan nama pedagang yang menandatangani kontrak,” katanya. Teras Malioboro 1 dan 2 tetap berada di kawasan utama tujuan wisata di Kota Yogyakarta. “Jadi tidak dipindah keluar kawasan Malioboro. Tetap di Malioboro hanya dikumpulkan di dua tempat, tidak lagi menyebar sepanjang pedestrian,” katanya. Sementara itu, Wakil Wali Kota Yogyakarta Heroe Poerwadi mengatakan, proses pemindahan pedagang ke lokasi baru dilakukan secara bertahap selama sepekan. “Selama sepekan ini, kami juga akan menghapus sementara kebijakan bebas kendaraan umum yang berlaku pukul 18.00-21.00 WIB di Malioboro. Skuter di Malioboro juga akan menjadi bagian untuk sekaligus ditata,” katanya. Tim gabungan dari Satpol PP Kota Yogyakarta, DIY, TNI dan kepolisian serta Dinas Perhubungan akan diturunkan untuk membantu mengamankan proses penataan PKL di lokasi baru. Pemerintah Kota Yogyakarta kemudian akan melakukan perbaikan terhadap fasilitas di sepanjang pedestrian saat seluruh pedagang sudah menempati lokasi baru. (mth)