ALL CATEGORY
Megawati, Jokowi dan Anies
Oleh: Jusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Betdikari Megawati dan Jokowi telah berhasil menjadikan Indonesia sebagai episentrum corak produksi kapitalisme global. Sebuah industri yang melahirkan korporasi dan birokrasi borjuasi yang ditopang oligarki. Negara sekedar menjadi etalase distribusi modal dan pasar, sementara para pejabat dan politisi ereksi libido menjadi agen-agen kapitalis para cukong pengusaha. SUKA atau tidak suka terhadap Megawati, Jokowi dan Anies, ketiganya harus diakui sebagai figur yang tak pernah surut dari sorotan publik, setidaknya selama hampir delapan tahun ini. Pro dan kontra menyelimuti eksistensi ketiga tokoh berpengaruh yang berkelindan dengan keberadaan dan masa depan NKRI. Jejak rekam mereka terutama dari bagaimana kemunculan dan membangun proses politik dalam meraih panggung kekuasaan meski sekilas, menjadi sisi yang menarik diantara begitu banyak torehan sejarah pribadi yang dimiliki masing-masing. Pilpres 2024 yang disinyalir menjadi ajang pertaruhan negara bangsa, sudah begitu menguras emosi dan energi rakyat. Belum juga dihelat, ajang pemilihan presiden lima tahunan itu, kali ini akan menjadi momentum strategis sekaligus titik balik keberlangsungan NKRI. Selain mencekam dan harap-harap cemas dari proses suksesi kepemimpinan nasional yang rentan rekayasa dan kecurangan itu. Mengapa demikian?. Banyak yang beranggapan, pilpres 2024 nanti, menjadi semacam pertarungaan \"to be or not tobe\" bagi seluruh rakyat, apakah masih bisa melihat dan merasakan, atau tidak sama sekali adanya harmoni dan kelestarian konsensus nasional yang mewujud negara dalam bingkai Panca Sila, UUD 1945 dan NKRI. Sebelum menuju pilpres 2024, Indonesia seperti berada dalam siklus sejarah mengulangi keadaan seperti menjelang peristiwa G 30 S/PKI atau disebut-sebut sebagai Gestok 1965. Peristiwa bersejarah yang tak terlupakan itu, begitu membekas dalam memori kolektif bangsa karena bukan hanya peristiwa politik dan transisi kekuasaan semata. Lebih dari itu menjadi polarisasi dari pertarungan ideologi besar dunia, dan salah satu tragedi kemanusiaan terbesar dalam peradaban manusia setelah perang dunia ke dua. Lepas dari polemik latarbelakang dan politik subversif yang menyelimutinya, lengsernya Soekarno dan naiknya Soeharto sebagai presiden RI, menyisakan kengerian politik dan babak baru politik Indonesia yang efek dominonya begitu dinamis dan terus berlanjut hingga saat ini. Termasuk setelah reformasi bergulir pun, anasir-anasir aliran politik dan ideologi masa lalu itu masih terus bergentayangan. Indonesia yang tidak pernah lepas dari konflik internal baik secara horisontal dan vertikal bahkan sebelum mencapai kemerdekaannya. Setelah 76 tahun tak kunjung mencapai tujuan nasional, konflik seperti menjadi warisan abadi yang tetap terjaga, walaupun dipermukaan seolah-olah tidak ada masalah dengan kebhinnekaan dan kemajemukan bangsa serta seakan-akan hidup dalam kerukunan dan kedamaian. Terutama tatkala tidak adanya kesadaran dan keengganan untuk mengakui, bahwasanya dalam wilayah dari sabang sampai merauke, telah terjadi pembelahan sosial, pertentangan kelas dan maraknya politik identitas, kalau tidak mau disebut nihilnya kemakmuran dan keadilan dalam negeri yang diibaratkan laksana surga dunia. Kenyataan situasi dan kondisi negara yang sangat mengenaskan dibawah kepemimpinan Jokowi. Kelahiran rezim kekuasaan dari seorang presiden yang saat kampanyenya begitu sederhana dan bersahaja, humanis dan terkesan membela orang kecil. Menjadi terbalik seribu persen pada kenyataan-kenyataan tindakan dan kebijakannya. Pergerakan, Rekayasa dan Takdir Pemimpin Baik Megawati, Jokowi maupun Anies, dengan struktur pengalaman dan behavior yang berbeda. Mereka merupakan Tokoh sekaligus pemimpin politik yang mampu memberi warna terhadap konstelasi dan konfigurasi politik kontemporer. Bukan sekedar membuat sejarah, mereka juga signifikan menentukan arah dan baik buruknya perjalanan negara bangsa. Menjadi menarik dan ada baiknya, rakyat kebanyakan penting memahami dan memaknai komparasi figur ketiganya terkait awal mula terjun ke politik, proses dan sampai mereka pada posisi puncak kepemimpinan nasional. Tentunya dengan karakteristik, motivasi dan orientasi yang berbeda-beda pula dari ketiganya. Diah Permata Megawati Setiawati Soekarno Putri yang akrab disapa Megawati atau Mba Ega. Perjalanan karirnya berangkat dari panggilan sejarah dan trah Soekarno yang menyeretnya ke panggung politik kekuasaan. Jelas dan tak terbantahkan Megawati lahir sebagai sosok yang pernah menjadi simbol perlawanan rakyat. Meski mendapat intimidasi dan tekanan hebat dari rezim Soeharto, Megawati saat itu menjadi satu-satunya pemimpin pengerak massa yang mampu melakukan konsolidasi perlawanan secara terorganisir dan sistematik melalui partai politik. Setelah peristiwa 27 Juli 1996 dan semua dinamika politik PDI yang berubah menjadi PDIP Megawati yang mampu menggerakan people power pada masanya, tak terbendung memasuki panggung kekuasaan, mulai dari sebagai anggota DPR, wapres, presiden hingga memimpin \"the rolling party\" hingga sekarang ini dalam pemerintahan Jokowi. Sayangnya dan menjadi miris pula, di usia senja dan ujung karir politiknya baik sebagai ketua umum partai politik besar maupun menjadi orang berpengaruh di republik. Megawati dengan pertarungan ideologi dan kekuasaan politik yang digenggamnya menjadi semakin tidak populer dan dilingkupi resistensi yang luas. Megawati terlanjur dicap publik sebagai orang dibalik skenario dan yang bertanggungjawab terhadap pemerintahan dan penyelenggaraan negara yang penuh distorsi. Dominannya PDIP dalam kebijakan strategis dan menempatkan Jokowi yang seorang presiden sebagai kader partainya. Melengkapi performens putri sulung proklamator dan presiden pertama RI itu menemui anti klimaks dari personal historis politik dan kepemimpinannya. Megawati yang dulu dianggap revolusioner, kini menjadi kontra revolusioner. Bagaikan membelokan jalan pergerakan dan tujuan cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia. Betapapun memulai kiprah perjuangan politiknya dengan komitmen dan konsistensi pada wong cilik serta mendapatkan dukungan rakyat jauh sebelumnya. Dulu membela wong cilik, sekarang mbela wong licik, begitu kesan rakyat. Faktanya, Megawati dianggap publik sebagai sumber masalah dan menjadi biang keladi dari semua kekisruhan dan kekacauan negara. Seperti yang diungkapkan oleh Rachmawati Soekarno Putri yang notabene adik kandungnya sendiri. Sementara seorang Joko Widodo yang sebutan populernya Jokowi, dengan latarbelakang politik yang tidak jelas dan kering dunia aktifis pergerakan. Sekonyong-konyong dan seketika muncul sebagai pemimpin nasional. Berangkat dari tugas walikota Solo, kemudian menjabat gubernur DKI hingga menjadi presiden, Jokowi dianggap melewati proses yang instan dan cenderung sebagai instrumen politik kekuasaan yang lebih besar di belakangnya. Dengan pekerjaan tukang meubel, Jokowi yang bermodal kebijakan menolak pembangunan mal dan membela pedagang pasar tradisional saat menjadi walikota, begitu drastis dan bombastis menjadi media darling hingga disokong para cukong bermodal besar menduduki orang nomor satu di Indonesia. Dengan taburan uang berlimpah yang mampu membeli semua instrumen politik, jadilah Jokowi sebagai sihir massal yang menghipnotis, menghilangkan kesadaran dan menghancurkan akal sehat rakyat. Akibat seoranng pemimpin yang gigih memoles citra baik namun berujung buruk dan nestapa. Seperti yang rakyat rasakan saat ini, Jokowi tidak lebih dari sekedar boneka oligarki yang menggunakan sistem politik yang tidak hanya memisah negara dari agama. Jokowi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan juga memisah Panca Sila dan UUD 1945 dari praktek-praktek penyelenggaraan negara, alias menggunakan kapitalisme yang mengusung liberalisasi dan sekulerisasi dalam kekuasaan pemerintahannya. Kekuasaan pemerintahan Jokowi yang salah satunya ditopang Megawati dengan kekuatan struktur dan sistem partainya. Membuat rezim Jokowi sebagai sub koordinat dari kejayaan kapitalisme global di Indonesia. Pemerintahan yang telah menjadi korporatisme negara, menyuburkan oligarki dengan cara produksi yang terus beraksi dan ekspansi mengembangkan industrialisasi kapitalistik yang menghisab negara dan rakyat. Fenomena IKN, masalah Wadas dan sejenisnya, JHT hingga kelangkaan minyak goreng dinegeri penghasil sawit terbesar dunia dan begitu banyak kasus-kasus eksploitasi manusia atas manusia dan eksploitasi bangsa atas bangsa, telah menjadi ciri dan watak kapitalisme di tubuh rezim Jokowi. Negara tak ubahnya hanya sebagai etalase atas semua produk-produk industri kapitalistik. Pejabatnya hanya berfungsi sebagai agen-agen kapitalis dan borjuasi korporasi. Dalam dominasi dan hegemoni kapitalisme yang begitu masif menjalar ke seluruh sendi kehidupan manusia secara global. Indonesia yang potensial menyimpan kekayaan sumber daya alam sekaligus pasar potensial, nyaris tak pernah menguasai dan menikmati faktor penting aspek geografis, geopolitis dan geostrategis itu. Selain dirampok, diperkosa dan dianiaya oleh asing dan aseng, tak sedikit ternak-ternak oligarki dalam negeri yang ikut terlibat dan enjoy merasakan peran-peran kejahatan kemanusiaan kepada bangsanya sendiri. Rakyat kini semakin terpuruk merasakan kekecewaan dan frustasi, seperti tanpa pemerintahan, tanpa negara dan tanpa kehadiran seorang pemimpin sejati yang mampu mengemban amanat penderitaan rakyat negeri ini. Pseudo Demokrasi dan Manipulasi Politik Kehadiran seorang Anies Baswedan dari geliat dan dinamika Jakarta yang menjadi Ibu kota negara. Tidak hanya membuat gubernur DKI itu tuntas memenuhi harapan dan keinginan warganya yang plural. Anies gigih memperjuangkan kesejahteraan itu mutlak bagi masyarakat banyak, berbasis komunal bukan individual. Bukan hanya untuk segelintir orang atau kelompok tertentu. Anies secara sederhanana dan lugas sukses menerjemahkan, bagaimana distribusi hasil pembangunan oleh kekuasaan itu, mutlak untuk rakyat banyak, bukan terakumulasi pada korporasi kapital dan borjuasi-borjuasi birokrat dan politisi. Bukan juga semakin memiskinkan orang miskin, dan semakin memperkaya orang kaya. Keberhasilan membangun mental fisik warga kota metropolitan terbesar di Indonesia, seolah mengokohkan Anies sebagai figur yang paling siap lahir batin menahkodai Indonesia yang sedang mengalami krisis dan darurat kepemimpinan nasional. Anies perlahan dan sedikit demi sedikit memenuhi dahaga kalangan marginal untuk dapat merasakan makna dan kue-kue pembangunan. Karakteristik dan sifat-sifat pada diri Anies dalam memimpin, layaknya bisa menjadi sintesa juga problem solving dari pseudo demokrasi dan manipulasi politik yang diperankan oleh Megawati dan Jokowi. Meski sebagai gubernur Jakarta, Anies terbatas dan terbentur mainstream kekuasaan pemerintahan pusat. Sejauh ini sosok yang penyabar dan santun, berhasil mengukir idealisme dalam kewenangan memimpin birokrasi pemerintahan Jakarta di tengah turbulensi dan berkecamuknya gejolak politik nasional. Anies yang tumbuh besar mengakrabi dunia pergerakan dan pendidikan, menjadi energi yang mengisi ruang-ruang kosong intelektual dan ilmiah dari pemerintahan, yang selama ini terabaikan dalam proses penyelenggaraan negara. Anies seperti ingin mengembalikan hakekat betapa integrasi antara ilmu pengetahuan dan akhlak menjadi faktor radikal dan fundamental dalam membangun sebuah negara bangsa. Betapa moralitas menjadi dasar yang menuntun langkah-langkah dan kebijakan publik. Tak mungkin ada jiwa yang memiliki karakter yang amanah, jika masih menganga lebar jarak antara nilai-nilai dan tindakan dari seorang pemimpin. Pada akhirnya, rakyat punya refleksi dan evaluasi sendiri, seperti apa situasi dan kondisi negeri saat ini. Dimana negara yang seharusnya mulia menjadi hina dihadapan rakyat. Termasuk menyeret rakyat dalam suasana merana dan sengsara. Setelah kegagalan Megawati dan Jokowi membawa negara meraih cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia. Anies dituntut untuk mampu merubah keadaan dan menyelamatkan rakyat, negara dan bangsa menjadi lebih baik. Itupun hanya bisa dilakukan dengan dukungan rakyat, yang bisa memilih menentukan masa depannya sendiri. Memilih dan memenangkan Anies atau menangis di pilpres 2024 dan untuk jangka waktu yang tak terkira. Dalam arus dan gelombang panjang produk industri peradaban bangsa, yang bercorak kapitalisme mewujud oligarki. Tak sabar rakyat menyaksikan Anies menduduki kursi presiden Indonesia, demi melihat masa depan yang lebih baik dan beradab. Wallahualam bishawab. (*)
Ketua DPRD Surabaya Terima Curhat Kader Kesehatan hingga Bunda PAUD
Surabaya, FNN - Ketua DPRD Surabaya Adi Sutarwijono menerima curahan hati dari para ibu-ibu kader kesehatan hingga bunda pendidikan anak usia dini seputar air bersih, toilet, hingga seragam saat reses di Kota Surabaya, Sabtu.\"Tolong diperjuangkan pak supaya kebutuhan kami dapat dipenuhi. Ini sangat bermanfaat bagi warga,\" kata salah satu kader kesehatan dari Posyandu Balita Dukuh Sutorejo, Umi Hani saat menyampaikan kebutuhan seragam, sarana senam lansia hingga sound sistem kepada Adi saat reses .Utami menyampaikan, pihaknya sering menemui warga tidak mampu belum mendapatkan intervensi kebijakan dari pemerintah.\"Kalau bisa minta tolong diusahakan dapat PKH (program keluarga harapan) atau bentuk bantuan rutin lainnya,\" katanya.Sebelumnya, dalam reses di Kedungbaruk, Rungkut, Adi juga mendapat keluhan soal kebutuhan toilet bagi anak-anak siswa PAUD.\"Kami membutuhkan toilet yang sangat bermanfaat bagi anak-anak siswa PAUD. Karena belum ada toilet,\" ujar seorang bunda PAUD, Ny. Didik Nurhadi.Tidak hanya itu, Adi juga mendapatkan pengaduan tentang kebutuhan air bersih dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Surabaya.\"Kami sudah mengajukan bertahun-tahun lalu, tapi belum dipasang sampai sekarang. Kami sangat memerlukan air PDAM. Tolong diperjuangkan,\" kata Ny. Nawan.Mendapati hal itu, Adi yang juga Ketua DPC PDIP Surabaya ini berjanji akan menindaklanjuti aspirasi dan keluhan ibu-ibu kader kesehatan dan bunda PAUD.\"Semua menjadi atensi saya, semoga bisa diwujudkan seiring kemampuan keuangan pemerintah,\" katanya.Adi mengatakan, tahun anggaran 2022, DPRD dan Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi telah menyepakati untuk memberi perangkat komputer bagi sekolah-sekolah PAUD yang teregister di Dinas Pendidikan Surabaya.Ia juga menjelaskan insentif ibu-ibu kader kesehatan, dari Pemkot Surabaya, telah dinaikkan menjadi Rp400 ribu per bulan. Adi berharap ibu-ibu kader kesehatan semakin bersemangat melayani warga masyarakat.Mengenai toilet untuk siswa PAUD, Adi kemudian menyambungkan aspirasi itu dengan Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman serta Pertanahan (DPRKPP) Kota Surabaya.Ia berharap bisa dikerjakan dan dipenuhi dalam APBD Kota Surabaya.Begitu juga dengan persoalan air PDAM, Adi langsung mengontak pihak PDAM Surya Sembada Surabaya untuk menindaklanjuti keluhan itu. \"Pihak PDAM akan segera mencek dan mengawal aspirasi itu,\" ujarnya. (mth)
TNI AL Simpan Benda Mirip Rudal dari Kepulauan Selayar
Makassar, 19/2 FNN - TNI AL berhasil mengamankan dan membawa dua unit benda asing yang mirip rudal yang ditemukan nelayan dari Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan, ke dermaga Fasilitas Pemeliharaan dan Perbaikan Pangkalan Utama TNI AL VI/Makassar.Kedua benda itu telah tiba di Makassar menggunakan KRI Fatahillah–361 pada Sabtu, kemudian diserahterimakan dari Komandan Guskamla Koarmada II TNI AL, Laksamana Pertama TNI I Gung Putu Alit Jaya, kepada Komandan Pangkalan Utama TNI AL VI/Makassar, Laksamana Pertama TNI Dr Benny Sukandari, di atas geladak buritan KRI Fatahillah-361.Sukandari kepada pers mengatakan, benda asing ini sering sekali ditemukan di sekitar Kabupaten Kepulauan Selayar yang merupakan bagian dari Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) II. ALKI II membentang dari utara ke selatan mulai dari Selat Makassar, Laut Sulawesi, Selat Makassar, Laut Jawa bagian timur, dan Selat Lombok. ALKI II ini merupakan jalur laut yang ramai dilewati kapal-kapal militer maupun sipil yang mempunyai misi -misi tersendiri yang memanfaatkan situasi lenggang dari pada luasnya perairan Indonesia khususnya di ALKI II ini.“Kedua unit benda itu alat survei bawah air yang dilepaskan ke bawah air dan dikendalikan kapal induknya. Selanjutnya data dari alat ini akan ditransfer melalui kabel data ke kapal induknya, sehingga data-data yang diperoleh akan dikumpulkan dan direkam untuk kepentingan tertentu dari kapal yang mengendalikan alat ini,\" kata dia.Data yang bisa diambil dari alat survei bawah laut ini di antaranya adalah keadaan dalam laut mulai dari suhu, salinitas, arus, pasang surut, seismik termasuk sumber daya alam seperti mineral dan lain-lain. Data ini sangat krusial dan penting bagi militer, di antaranya untuk kepentingan operasionalisasi kapal selam.Beberapa bulan lalu, kehadiran peralatan serupa beraksara asing negara Asia juga terjadi di perairan kedaulatan Indonesia. Ia yakin alat ini bukan rudal akan tetapi alat Side Scan Sonar (SSS) dan kalau dilihat lampu indikatif sensor masih berkedip tentunya alat ini masih aktif dan tetap merekam sampai lampu indikator itu padam.“Dengan ditemukannya alat ini mudah-mudahan nanti Dinas Pengembangan dan Penelitian TNI AL bisa meneliti lebih lanjut dan merekam ulang hasil data yang ada di dalam SSS,\" ujar dia.Keberhasilan TNI AL mengamankan benda asing mirip rudal ini juga sesuai dengan penekanan Kepala Staf TNI AL, Laksamana TNI Yudo Margono, tentang keamanan laut dan melindungi kekayaan yang ada di dalamnya, sehingga sinergitas antara TNI AL dengan para pemangku kepentingan di wilayah-wilayah pesisir dan kepulauan harus solid.\"Semua itu untuk mewujudkan keamanan laut demi kesejahteraan bangsa Indonesia,\" kata Sukandari.Kedua unit alat yang mempunyai berat masing-masing kurang lebih lima kg itu di antaranya satu unit berwarna hijau yang ditemukan nelayan Kepulauan Selayar bernama Arifin Lewa pada 9 Februari 2022 dan satu unit berwarna jingga yang ditemukan sejak kurang lebih 10 tahun yang lalu.Kedua alat itu bertempel plat yang bertuliskan Made In USA ini juga ditemukan di tempat yang sama yaitu di Pulau Jampea Kabupaten Kepulauan Selayar.Sebelumnya juga, TNI AL juga berhasil mengamankan benda sejenis drone laut aktif yang ditemukan warga Pulau Karompa, Kecamatan Pasimbena, tanpa tanda khusus pada 2020 yang lalu. (mth)
Kemenkumham Sulut fasilitasi pendaftaran perseroan perorangan UMK
Manado, FNN - Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Sulawesi Utara bekerja sama dengan Pemerintah Kota Manado menggelar fasilitasi pendaftaran perseroan perorangan bagi Usaha Mikro Kecil (UMK) Manado, Sabtu.Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM Kemenkumham Sulut Ronald Lumbuun, mengatakan kegiatan ini merupakan implementasi dari Undang Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan perjanjian kerjasama antara Kanwil Kemenkumham Sulut dengan Pemkot Manado yang telah ditandatangani beberapa waktu lalu.\"Kegiatan yang dihadiri oleh 40 UMK ini juga diharapkan dapat meningkatkan jumlah pendaftaran badan hukum Perseroan Perorangan didaerah yang merupakan salah satu upaya terciptanya iklim ramah investasi yang dapat memberikan dampak pertumbuhan ekonomi di daerah dengan kemudahan pengurusan badan usaha,\" katanya.Kadis Koperasi dan UKM Kota Manado Soni Sondakh mengatakan sangat mengapresiasi pelaksanaan kegiatan ini.\" UMK merupakan ujung tombak dari perekonomian daerah dan berharap UMKM yang ada di Kota Manado untuk terus bertahan dan berani berinovasi, khususnya dimasa pandemi saat ini.,\" katanya.Pendaftaran Perseroan Perseorangan dapat dilakukan dimana saja dengan mengakses halaman website www.ahu.go.idUntuk sementara, pada kegiatan tersebut telah terdapat 25 UMK Kota Manado yang berhasil didaftarkan perseroan perorangan.Kegiatan dilaksanakan di Swiss-belHotel Maleosan, Manado dibuka Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM Ronald Lumbuun dan Kadis Koperasi dan UKM Manado Soni Sondakh beserta jajaran, Kepala Bidang Pelayanan Hukum, Aswan Idrak, Kasubbid AHU, Hendrik Siahaya dan jajaran Kanwil Kemenkumham Sulut. (mth)
Erick Thohir Ingatkan Pelaku UMKM Disiplin Keuangan Terkait Pinjaman
Jakarta, FNN - Menteri BUMN Erick Thohir mengingatkan kepada para pelaku UMKM agar disiplin keuangan terkait pinjaman yang mereka peroleh untuk berusaha.\"Kita harus ingatkan UMKM untuk disiplin keuangan, mana modal kerja untuk usaha dan mana yang untuk makan. Kadang-kadang akhirnya baru untung sedikit dipakai untuk hal-hal yang konsumtif. Ini yang mesti disiplin di UMKM,\" ujar Erick Thohir dalam diskusi daring di Jakarta, Sabtu.Menteri BUMN itu berpesan kepada para ibu nasabah PT Permodalan Nasional Madani Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera (PNM Mekaar), mengingatkan kepada mereka agar pinjaman usaha yang mereka peroleh tidak digunakan untuk hal-hal konsumtif dan hanya diperuntukkan bagi modal kerja usaha mereka.Hal ini dikarenakan kalau pinjaman tersebut dibelanjakan untuk hal-hal konsumtif, maka uang pinjaman yang mereka peroleh tidak akan berputar.\"Utang itu kalau untuk untuk hal-hal yang produktif tidak apa-apa, tapi kalau utang untuk hal-hal yang konsumtif itu yang bahaya,\" kata Erick Thohir.Sebelumnya Menteri BUMN Erick Thohir mengapresiasi para ibu nasabah PT Permodalan Nasional Madani Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera (PNM Mekaar) yang berhasil membuka 7,1 lapangan pekerjaan di desa-desa pada masa pandemi COVID-19.Erick Thohir mengatakan bahwa Program ibu-ibu Mekaar yang tadinya 5,6 juta nasabah sekarang menjadi 12,7 juta nasabah, naik 7,1 juta nasabah pada saat pandemi COVID-19.\"Ketika di perkotaan melepas pegawai, di desa-desa membuka lapangan pekerjaan sebanyak 7,1 juta pekerjaan karena masing-masing ibu nasabah Mekaar tersebut membuka satu lapangan pekerjaan,\" ujar Erick.Menteri BUMN menyampaikan apresiasinya kepada masyarakat yang berhasil membuka lapangan pekerjaan sehingga dapat membantu masyarakat lainnya di masa pandemi saat ini. (mth)
Anggaran Jumbo untuk Pemilu Tidak Demokratis
Aturan penjaringan kandidat sangat menentukan demokratis atau tidak demokratisnya Pemilu kita. Jika pada bagian mendasar ini aturannya tidak demokratis, maka sulit mengatakan Pemilu kita demokratis, sebagus apapun kerja KPU dan setinggi apapun anggaran yang diberikan. Oleh: Tamsil Linrung, Anggota DPD RI NEGERI ini seperti telah kehilangan akal sehat. Di tengah situasi ekonomi bangsa yang memprihatinkan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengajukan rencana anggaran penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 sebesar Rp 76,6 triliun. Meski angka ini telah merosot tajam dari 119 triliun yang menjadi usulan awal, namun tetap saja naik tiga kali lipat dibanding dana Pemilu 2019. Kita memahami banyak perubahan yang mengharuskan KPU menangguk beban anggaran. Sebut saja, misalnya, jumlah pemilih diperkirakan bertambah hingga 15 juta orang, yang juga berarti penambahan Tempat Pemungutan Suara, personel KPU, dan efek domino lainnya. Tapi, apa iya harus 300 persen? Sebagai pembanding, anggaran Pemilu tahun 2014 adalah 15,6 triliun, naik sebesar 61 persen pada 2019, yakni 25,59 triliun. Sayangnya, peningkatan anggaran tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas pelayanan kepemiluan. Pengalaman Pemilu 2019 setidaknya dapat menjadi tolak ukur. Anggaran naik, tapi jumlah permasalahan Pemilu ikut naik, banyak, dan pelik. Sebutlah indikasi kecurangan di sana-sini, sistem informasi penghitungan suara yang keliru, 894 petugas yang meninggal dan 5.175 yang mengalami sakit, adanya suara pemilih yang hilang, dan seterusnya. Lagi pula, esensi diadakannya pemilu serentak adalah penghematan anggaran. Tetapi, KPU terlihat kurang memahami esensi ini. KPU begitu bersemangat berbicara anggaran namun tak kelihatan gregetnya mengevaluasi Pemilu bobrok yang telah diselenggarakan. Barangkali, ada baiknya KPU, Bawaslu, dan seluruh badan penyelenggara Pemilu ikut mendorong proses pemilu agar lebih demokratis secara substansial. Saat ini, ramai warga negara menggugat presidential threshold. Saya dan beberapa kolega dari DPD RI, salah satunya. Tapi kita tak pernah mendengar atau setidaknya jarang sekali suara KPU dalam konteks itu. Padahal, nyawa demokrasi ada di sini. Apa gunanya menjaga proses Pemilu demokratis bila metode penjaringan kandidat tidak demokratis? Itulah sebabnya DPD RI sebagai lembaga memutuskan untuk ikut ambil bagian dalam uji materi pasal 222 UU Pemilu, pasal yang mengatur tentang presidential threshold. Keputusan lembaga itu telah disepakati oleh anggota DPD dalam Sidang Paripurna ke-8 Masa Sidang III Tahun 2021-2022, Jumat 18 Februari 2022. Langkah DPD ini mungkin merupakan sejarah pertama di dunia di mana lembaga legislatif yang sejatinya merupakan pembuat UU ikut menggugat UU tersebut. Namun, langkah ini harus ditempuh setidaknya karena tiga hal. Pertama, upaya atau usul DPD memasukkan usulan revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke dalam prolegnas 2022 tidak diakomodir oleh DPR dan pemerintah. Kedua, sebagai upaya DPD untuk mengakomodir aspirasi masyarakat dan beberapa elemen organisasi kemasyarakatan yang diperoleh dalam banyak kegiatan, antara lain rapat dengar pendapat, FGD, kunjungan kerja, dan lain-lain. Ketiga, sebagai upaya DPD menegakkan demokrasi secara substansial dalam proses Pemilu Indonesia. Kita berharap, KPU tidak hanya menjadi lembaga penyelenggara teknis pelaksanaan Pemilu, tetapi juga lembaga yang mendorong dan menggaransi Pemilu berlangsung demokratis pada semua tahapan, termasuk tahapan penetapan pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden. Dalam kaitan ini, pandangan KPU terhadap presidential threshold perlu kita dengarkan. Aturan penjaringan kandidat sangat menentukan demokratis atau tidak demokratisnya Pemilu kita. Jika pada bagian mendasar ini aturannya tidak demokratis, maka sulit mengatakan Pemilu kita demokratis, sebagus apapun kerja KPU dan setinggi apapun anggaran yang diberikan. Biang kerok di tahap penjaringan kandidat adalah presidential threshold yang mewajibkan pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya dapat diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki sekurang-kurangnya 25 persen kursi di DPR atau 20 persen suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif (periode sebelumnya). Analisis tentang dampak buruk syarat ambang batas ini telah banyak didiskusikan dalam berbagai forum. Namun, yang paling substansial adalah presidential threshold nyata-nyata tidak tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pun, tidak ada frasa dalam konstitusi kita yang dapat menjadi pijakan presidential threshold. Semangat konstitusi dalam konteks Pemilu adalah membuka seluas-luasnya ruang partisipasi rakyat untuk mengajukan calon pemimpin, sementara semangat presidential threshold begitu membatasi. Pertentangan ini merupakan beban moral bagi kita semua untuk meluruskannya, demi demokrasi yang sehat. Jadi, debat yang seharusnya dibangun adalah debat yang menjurus ke arah substansi, yakni tentang demokratisasi atau konstitusionalitas sebuah aturan, bukan melulu mengedepankan anggaran. Pengajuan anggaran jumbo oleh KPU melabrak nalar kita semua. Dalam situasi ekonomi bangsa yang memprihatinkan, KPU seharusnya kreatif melahirkan gagasan-gagasan efesiensi, bukan sebaliknya. (*)
Alhamdulillah Banyak Sekali Relawan Anies, Tapi Perlu Hati-Hati
Oleh Asyari Usman, Jurnalis Senior FNN PULUHAN atau mungkin ratusan, juta orang ingin agar Anies Baswedan (ABW) terpilih menjadi presiden berikutnya. Sejalan dengan indikasi jajak pendapat publik yang menunjukkan Anies sedang ‘trendy’, eforia pembentukan kelompok atau komunitas relawan untuk Anies 2024 pun semakin marak. Di mana-mana muncul semangat untuk mengantarkan Anies ke kursi presiden. Anies menjadi fokus harapan untuk menyelamatkan Indonesia yang sekarang berantakan di tangan Presiden Jokowi. Segala aspek kehidupan menjadi amburadul. Rakyat tampaknya menyadari kekeliruan mereka memilih Jokowi. Karena itu, pilpres 2024 harus milik Anies. Ini yang mungkin mendorong masyarakat di seluruh pelosok Indonesia untuk ikut memastikan kepresidenan Anies setelah Jokowi. Jangan sampai rakyat tertipu dan ditipu lagi. Proses pilpres wajib dikawal ketat. Promosi Anies harus digencarkan. Partisipasi rakyat untuk Anies Presiden 2024, luar biasa. Tidak ada pengerahan. Semuanya inisiatif sendiri. Kalau ada biaya, mereka tanggung sendiri. Yang sangat menarik, banyak sekali komunitas relawan yang tidak terkoneksi atau berkomunikasi sama sekali dengan lingkaran Anies. Mereka tampil spontan. Dan di sana-sini, mereka muncul seadanya. Misalnya, ada yang cuma sendirian atau beberapa orang membawa poster dukungan untuk Anies. Banyak deklarasi dukungan. Menjamur di segala pelosok. Singkat cerita, suasana yang ada saat ini bagaikan kampanye pilpres ABW. Di level lain, komunitas penulis untuk Anies pun sedang ‘booming’. Komunitas penulis sangat penting bagi seorang figur yang diidolakan seperti Anies. Sebab, mereka adalah orang-orang yang membuat deskripsi dan perspektif tentang Anies. Dari segala sisi. Tulisan-tulisan mereka dibaca oleh masyarakat luas melalui berbagai platform portal online dan media sosial. Para penulis menjadi salah satu ‘outlet’ yang sangat krusial bagi ABW. Mereka, dengan konten dan ragam penyampaian, bisa mempengaruhi pemilih, khususnya ‘floating mass’ alias massa yang belum punya preferensi. Yang belum menentukan pilihan. Komunitas penulis dan juga komunitas relawan sangat diperlukan Anies. Tetapi, ada satu hal yang perlu diperhatikan. Dan ini sangat mendasar sekali terkait dengan pengelolaan pemerintahan di bawah Presiden Anies Baswedan, kelak. Dalam kesempatan ini, saya ingin mengerucutkan sorotan ke komunitas penulis. Maksud saya, Anies sebaiknya aktif melihat dan mendalami motif para penulis meskipun dia, secara pribadi, kenal baik dengan mereka. Saya punya pengalaman pribadi yang, menurut hemat saya, sangat memprihantikan. Ada penulis yang bermentalitas “katak di bawah tempurung”. Dia kelihatan ingin mendominasi kedekatan dengan Anies. Penulis itu sangat piawai dan cendekia. Dia kelihatan punya banyak sumber informasi yang “well-placed” –yaitu orang-orang yang berada di pusaran politik Indonesia. Sumber tingkat tinggi, lebih-kurang. Tak perlu dan tak boleh saya sebutkan identitas penulis dimaksud. Cukuplah saya gambarkan gelagat dia yang bisa merugikan Anies. Penulis itu mungkin merasa “Anies is mine”. Anies itu saya punya. Yang lain tak boleh berada lebih dekat ke “milik saya itu”, begitu kira-kira. You’re not allowed to come close to him. Anda tak boleh dekat dengan dia (Anies). Padahal, saya tidak bermaksud untuk dekat atau menjadi akrab dengan ABW. Saya hanya ingin menyapa saja. Karena, saya dengar, Anies pernah membaca tulisan-tulisan saya. Menjelang Pilkada DKI 2017, mohon maaf terpakasa mengatakan ini, saya sangat aktif membantu Anies dalam bentuk tulisan. Bisa digoogling keyword “Asyari Usman Anies Baswedan”. Pernah suatu hari saya meminta nomor HP/WA Anies kepada teman penulis itu. Dia bilang, dia harus kasih tau Anies dulu. Saya tunggu-tunggu, sampai hari ini teman tersebut tidak mengatakan apa-apa. Kalau pun dia berikan, tidaklah mungkin akan saya salahgunakan. Saya tidak mungkin meminta apa-apa dari Anies. Saya juga pahamlah kesibukan luar biasa seorang gubernur. Konon pula gubernur Jakarta. Tak mungkinlah saya bombardier Anies dengan dering telefon atau chat WA. Mentalitas “Anies is mine” itu bisa merugikan ABW. Orang akan menyangka Anies tidak mau dihubungi, tidak mau berkomunikasi, dan sangkaan-sangkaan negatif lainnya. Saya yakin Anies akan melayani tegur-sapa sewajarnya. Dan inilah yang saya maksudkan. Bukan ingin mendekat seperti si penulis itu. Wallahu a’lam. Boleh jadi teman penulis itu ingin menjadi “sole agent” (agen tunggal) untuk Anies. Orang lain tak boleh kenal Anies. Kalau tulisan ini bisa sampai ke HP Pak Anies, saya hanya ingin berpesan: berhati-hatilan terhadap orang-orang yang merasa paling berhak kenal dengan Ente, Pak. Saya tak tahu persis apakah Ente pernah mengatakan kepada penulis itu agar tidak memberikan nomor HP Ente kepada orang lain, khususnya kepada saya. Rasa-rasanya tak mungkin. Sebetulnya, ada cara lain untuk terhubung dengan ABW. Saya kenal dengan sejumlah orang tinggi yang kenal baik dengan Pak Gub. Bisa saja saya “manfaatkan” beliau-beliau itu. Tapi, jalur ini tidak akan saya lakukan karena ada kesan kebelet mau jumpa Anies. In-sya Allah tidak akan saya lakukan. Selain itu, saya juga –kalau mau-- bisa saja mampir ke Balai Kota dan terobos langsung ke kantor Anies. Somehow, ABW tahu juga kok nama saya. Tapi, cara kedua ini pun tidak baik. I’m old enough to avoid such a dignity-degrading act. Jadi, sekali lagi, ABW perlu hati-hati. Saya merasa kurang enak diperlakukan seperti oportunis oleh si penulis. Saya memang bukan siapa-siapa bagi Ente, Pak Gub. Tapi, sekecil apa pun saya di mata si penulis –boleh jadi juga di mata Ente—tentunya Ente tidak menginginkan “bad image” dalam pandangan saya, apalagi “unpleasant and hostile perception”. Alhamdulillah, sampai detik ini saya tidak punya “bad intention”. Tak mungkin saya berada di barisan Anies Presiden 2024 dengan pikiran kotor tentang Ente.[]
BNPT Kiai Dan Ulama Berperan Strategis Gelorakan Cinta Tanah Air
Jakarta, FNN - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafli Amar memandang para kiai dan ulama, khususnya di lembaga pendidikan keagamaan, berperan strategis bersama pihaknya untuk menggelorakan semangat kebangsaan dan rasa cinta Tanah Air kepada santri.\"Pesantren membangun semangat cinta Tanah Air, \"hubbul wathan minal iman\" (cinta Tanah Air sebagian dari iman),\" ujar Boy Rafli Amar dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Sabtu, 19 Februari 2022.Dengan demikian, menurutnya, hal tersebut dapat bermanfaat untuk menanggulangi penyalahgunaan narasi-narasi keagamaan oleh jaringan radikalis dan teroris dalam rangka menarik simpati serta menjerumuskan masyarakat Indonesia agar menjadi bagian dari mereka.\"Kita paham mengenai narasi-narasi yang dibangun oleh jaringan radikal dan teroris. Salah satunya, mengangkat narasi yang berkaitan dengan agama,\" tuturnya.Lebih lanjut, Boy Rafli pun menyampaikan sejumlah kiai dan ulama terdahulu telah membantu menggelorakan semangat cinta Tanah Air sekaligus memperkuat nilai-nilai kebangsaan.Hal itu, ujar dia, dilakukan oleh mereka untuk menjaga kesatuan bangsa Indonesia dengan membangun semangat kebangsaan.\"Seperti yang dicontohkan oleh para kiai dan ulama yang salah satunya, KH Muhammad Hasyim Asy\'ari,\" ucap Boy Rafli, sebagaimana dikutip dari Antara.Berkenaan dengan peran strategis kiai dan ulama itu, BNPT di tahun 2022 senantiasa mengupayakan pencegahan dan penanggulangan terorisme dengan konsep pentahelix atau kolaborasi multipihak. Salah satunya diwujudkan melalui penguatan kerja sama dengan tokoh masyarakat dan pemuka agama.Langkah itu, pada Rabu 16 Februari 2022 , telah ditempuh oleh BNPT melalui silaturahim kebangsaan di dua pesantren di Pasuruan, Jawa Timur, yakni Pesantren Sidogiri pimpinan KH Ahmad Fuad Noerhasan dan Pesantren Ngalah pimpinan KH Sholeh Bahruddin. Selanjutnya, BNPT berkomitmen untuk mengajak lebih banyak pihak agar dapat bekerja sama dan berkolaborasi melalui konsep multipihak (pentahelix), termasuk lembaga pendidikan, baik formal maupun non formal, serta para pemuka agama dan pesantren. (MD).
Rezim yang Tidak Bersahabat dengan Umat Islam
Oleh M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan Terlalu kasar jika disebut memusuhi agama. Meski tidak terang-terangan tetapi hanya agama Islam yang dijauhi, diwaspadai, dan dijadikan \"sasaran tembak\". Dirasakan bahwa rezim semakin tidak bersahabat. Kekuatan Islam ditakuti dan sepertinya harus dilumpuhkan. Islamophobia adalah sebutan populernya. Aneh, unik, tapi nyata bahwa umat Islam adalah mayoritas yang tidak dioptimalkan potensinya. Benar bahwa tidak boleh ada diskriminasi etnik, ras, atau agama, akan tetapi penguasa yang lebih melindungi dan memanjakan minoritas adalah keliru besar. Apalagi jika dengan terang-terangan meminggirkan mayoritas. Jika integrasi nasional telah sukses dan tidak ada lagi penganaktirian, maka mayoritas atau minoritas memang tidak perlu ada atau dipersoalkan. Namun faktanya umat Islam kini tidak ditempatkan sebagai sahabat dalam pengelolaan kenegaraan. Pemerintahan Jokowi bersama \"the rulling party\" nampaknya lupa bahwa sejarah pembentukan negara Republik Indonesia ditandai dengan begitu besarnya peran umat Islam termasuk kontribusi nilai-nilai keagamaannya. Tentu rezim akan berkilah bahwa ia tidak melakukan apa yang dituduhkan. Akan tetapi umat sangat merasakan itu. Islam ditempatkan sebagai lawan yang dianggap mengganggu ketenteraman. Sikap ekstrim, radikal dan intoleran dipandang sebagai bahaya nasional. Padahal nyatanya tidak ada ekstrimitas, radikalisme atau intoleranisme itu. Jikapun ada satu dua, maka itu tidak boleh digeneralisasi atau dijadikan guliran politik yang masif. Rezim telah membuat stigma kontra produktif. Membubarkan HTI dan FPI bukan kebijakan hebat. Membungkam HRS, Munarman atau sebelumnya Syahganda, Jumhur, dan Anton Permana bukan langkah simpatik. Justru menonjok diri sendiri dan menunjukkan bahwa rezim inilah yang sebenarnya ekstrim, radikal, dan intoleran. Membunuh 6 anggota Laskar FPI bukan pula heroik tetapi membuat luka yang lebih dalam pada umat Islam. Tidak mudah dihapus dengan peradilan pura-pura. Peradilan sandiwara berlakon hukum main-mainan. Dunia mentertawakan lawakan yang tidak lucu dan memalukan. Mengapa rezim tidak bersahabat pada umat Islam? Pertama, ada kegalauan terhadap ideologi Pancasila yang dianggap sebagai hasil resepsi atau adopsi kepentingan politik umat Islam dalam kesejarahan. Dari dasar negara Islam, Piagam Jakarta, hingga Pancasila dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, lalu mencoba, menghadang, membingkai atau mereduksi dengan Pancasila 1 Juni 1945. Kedua, kepentingan asing \"anti Islam\" menyusup atau menunggangi konfigurasi politik yang ada. Penguasa oligarkhi berparadigma materialisme dan berbahasa investasi serta sarwa pengembangan ekonomi gesit mengotak-atik spiritualitas bangsa. Agama disterilisasi dengan diksi moderasi. Agama tidak menjadi ruh dari pembangunan. Ketiga, trauma 212 terus membayang. Ada ketakutan gelombang aksi dahsyat yang muncul kembali. Dengan isu lebih menohok daripada sekedar mereaksi ahok. Meski Presiden Jokowi hadir pada acara tersebut, akan tetapi sulit dibantah bahwa 212 adalah monumen dari potensi perjuangan kekuatan umat Islam. Keempat, media sosial menjadi ajang pertarungan. Pegiatnya disebut \"cyber army\". Buzzer muncul sebagai fenomena politik baru yang berada di area pengacak-acakan opini. Umat Islam yang berdakwah melalui medsos dihadang dengan cuitan para buzzer Istana. Meski tak bermutu dengungannya tetapi yang penting adalah ramainya. Toh tugasnya hanya untuk mengacaukan. Ketika umat Islam tidak ditempatkan sebagai sahabat, maka rezim akan lelah untuk membuat berbagai disain. Sementara itu perencanaan apapun sulit diapresiasi dan berat untuk mendapat dukungan. Karenanya pilihan hanya satu untuk rezim ini dan rezim manapun untuk memajukan Indonesia yaitu jadikan umat Islam sebagai sahabat. Jangan musuhi ormas Islam, jangan kriminalisasi ulama dan tokoh agama, jangan adu domba, fitnah, dan nista simbol agama. Buktikan sikap tegas dengan menghukum para penista agama. Siapapun, meski mereka adalah buzzer peliharaan Istana. (*)
Narasi BNPT Serampangan
Jakarta, FNN - Narasi Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) yang menyimpulkan kelompok teroris kini menyusup ke lembaga negara, ormas dan partai perlu diluruskan. Pengamat Komunikasi, Yons Achmad menyebut kesimpulan demikian serampangan. “Teroris kok gabung partai, dalam kacamata akal sehat bahkan orang awam sekalipun logikanya tidak masuk, “ kata Yons di Jakarta, Sabtu, (19/2/22). Dikatakan lebih lanjut, teroris selalu mengambil jalan kekerasan dan bergerak secara sembunyi-sembunyi. Seseorang yang masuk politik, partai politik, artinya jalan yang ditempuh adalah jalan demokratis, jalan konstitusional. Jadi, ketika kemudian ada tuduhan partai disusupi teroris, pernyataan demikian selain cacat logika juga hanya mengundang kegaduhan politik dan kehebohan di media sosial. Sebelumnya, dalam Sharing Session BNPT di Jakarta Selatan, Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irfan Idris mengatakan keberadaan terduga teroris di sejumlah Ormas Islam, partai, hingga lembaga negara merupakan buntut perubahan strategi organisasi teror. Ifran mengklaim pola baru teroris menggunakan sistem demokrasi untuk masuk menguasai lembaga secara formal. Menyikapi pernyataan BNPT tersebut, Yons yang juga Direktur Komunikasyik (Agensi Komunikasi Strategis) menyarankan publik untuk bijak menanggapinya. “Walaupun begitu, publik harus bijak dan tak tersulut emosi atas kesimpulan BNPT itu. Tindakan terorisme, kita tentu sependapat bahwa aksi tersebut tak dibenarkan dengan alasan apapun, tapi membangun narasi tanpa bukti dan argumen yang kuat, hanya melahirkan kegaduhan saja,” ujarnya. Yons mencontohkan bagaimana lembaga ini juga sebelumnya menuai polemik yang berujung permintaan maaf Kepala BNPT. Hal ini terkait dengan laporan penelitian yang bocor ke media. Dalam Rapat Kerja dengan Komisi III DPR, Kepala BNPT Boy Rafli Amar mengungkap 198 pondok pesantren terafiliasi dengan sejumlah jaringan teroris, dari dalam hingga luar negeri seperti ISIS. Dari total 198 pesantren tersebut, 11 di antaranya terafiliasi dengan jaringan organisasi teroris Jamaah Anshorut Khilafah (JAK), 68 pesantren terafiliasi dengan Jemaah Islamiyah (JI), dan 119 terafiliasi dengan Anshorut Daulah atau simpatisan ISIS. “Bagi saya, terlalu mencurigai beragam lembaga Islam disusupi kaum teroris adalah sebuah kesalahan. Apalagi, ditangan kaum Islamopobia, rilis dan pernyataan-pernyataan BNPT kerap menjadi amunisi, pembenar untuk menghantam kekuatan pesantren, ormas Islam, partai Islam padahal merekalah garda depan penjaga NKRI, pro demokrasi dan pengontrol kekuasaan yang diperlukan untuk merawat akal sehat bernegara,“ tutupnya. (Gun)