ALL CATEGORY

Harga Minyak Turun Karena Digondol Tuyul

by Salamuddin Daeng Jakarta FNN – Rabu (25/11). Banyak yang masih berharap harga minyak naik kembali. Padahal harga minyak sudah bertahan rendah dalam setengah dasawarsa terakhir. Jika secara jeli dicermati sejak kesepakatan Paris COP 21, harga minyak sudah terpukul dan bertahan di harga yang sangat rendah. Diperkirakan susah untuk kembali naik lagi. Kalau ditarik lebih jauh lagi. Cerita mengenai berakhirnya dominasi minyak sebagai penopang utama ekonomi dunia, telah dimulai sejak Barack Obama menjadi Presiden Amerika. Pemerintahan Barack Obama yang melakukan pencetakan uang dolar dengan modal kertas dan tinta saja. Padahal ketika itu harga minyak dunia tengah merosot tajam. Kebijakan Obama ini merupakan bukti awal bawah petro dolar telah berakhir. Jadi minyak tidak lagi menjadi jangkar mata uang dolar. Antara harga minyak dan harga dolar yang diperdagangkan secara internasional tidak lagi memiliki keterkaitan. Dolar mulai kehilangan jangkarnya. Perubahan kebijakan Barack Obama ini adalah bagian pokok yang sangat menentukan. Rezim petro dolar yang usianya sudah 45 tahun resmi diahiri. Tidak banyak analisis yang memang bisa mengupas masalah ini. Namun inilah permasalahan yang sebetulnya terjadi. Perubahan tatanan keuangan global inilah yang menjadi inti masalahan ekonomi dunia hari ini. Dari sinila semua persoalan dimulai. Sementara para pemgambil keputusan politik Indonesia memang tidak cukup mengerti dan memahami masalah ini. Namun peta politik global tengah bergerak ke arah mengakhiri minyak sebagai buffer politik dan keuangan dunia. Uang dari minyak selama ini merupakan sumber dana utama untuk membiayai perekonmian dunia. Dimulai dari membiayai berbagai institusi keuangan multilateral, hingga membiayai konflik dan perang berskala internasional, dalam rangka mengatur keseimbangan politik global. Berakhirnya rezim petro dolar adalah akibat langsung dari badai transparansi. Badai yang datang sebagai konsekuensi kemajuan ICT dan digitalisasi ekonomi dan keuangan dunia. Semua keputusan keuangan dilahirkan dari bigdata, blockchain. Kenyataan ini akan mengairi era paper money yang selama ini ditopang oleh eksklusivitas infrormasi dan disparitas informasi. Sampai sekarang tidak ada yang tau, berapa jumlah dolar yang beredar di seluruh dunia. Walaupun demikian, era tersebut sekarang sudah berakhir dengan transparansi dan digitalisasi informasi keuangan yang mengglobal. Semua informasi tentang keuangan dunia sudah bisa diakses antar negara. Paling kurang antar sesama lembaga keuangan. Lalu bagaimana dengan uang-uang hasil minyak yang selama ini sebagian besar terpendam di ruang- ruang gelap? Yang digunakan untuk membiayai perang dan kudeta? Juga yang dugunakan sebagai sumber dana untuk membiayai konflik dan hingga terorisme? Semua akan digulung habis oleh badai transparasi dan digitalisasi informasi. Disinilah pertarungan yang sebenarnya akan berlangsung. Sebuah pertarungan yang bakal menyita secara keseluruhan uang-uang kotor dari hasil minyak dan hasil penjarahan kekayaan alam dunia selama berpuluh puluh-puluh tahun. Sekarang para pemain minyak harus berhadapan dengan transparansi dan digitalisisi informasi dunia. Analisis inilah yang paling relevan untuk melihat Mengapa Arab Isralel harus berdamai. Karena minyak sudah tidak lagi menjadi jangkar utama pendukung keuangan global. Karena minyak akan dipukul dengan harga yang sangat rendah. Karena minyak sudah tidak lagi sebagai sumber utama keuangan, maka otomatis konflik di Timur Tengah juga akan berakhir dengan sendirinya. Apa lagi alasan yang mau dikonflikkan di Timur Tengah? Sudah tidak ada lagi bahan yang menjadi sandaran utama. Jadi damailah di Timur Tengah. Sementara di Indonesia, masih saja melakukan jampi- jampi agar harga minyak naik. Sementara gerak zaman tidak demikian. Di depan mata, covid 19 telah memukul harga minyak sampai minus. Ini belum pernah terjadi sebelumnya. Datangnya copid 19 ini adalah pukulan utama terhadap minyak dunia yang menjadi penopang utama ekonomi dunia. Jadi, minyak sudah dipukul dengan transparansi. Dipukul juga dengan COP 21 Paris, dipukul dengan copid 19. Ini adalah episentrum pertarungan saat ini. Sejarah telah bergerak maju. Tidak bisa dihentikan oleh jampi jampi tuyul. Jadi peta jalan bagi transisi energi. Dari fosil ke non fosil telah dibuka demgan sangat lebar. Pekerjaan bagi transisi energi, digitalisasi, bukan pekerjaan main main. Bukan sekedar pencitraan politik belaka. Bukan untuk menipu-nipu lembaga keuangan global agar menurunkan utang ke negara ini. Tetapi sebuah peta jalan sejarah perubahan manusia. Bumi yang kita diami ini tidak boleh lagi ada yang membakar minyak di jalan-jalan. Tidak boleh lagi membakar batubara di sepanjang pantai bagi pembangkit listrik. Segala aktivitas yang mengotori biosfer tempat kita hidup harus diahiri. Renungkanlah ! Penulis adalah Peneliti Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI).

DPR Gila & Sinting Lagi, Mau Bahas RUU HIP

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Rabu (25/11). Terpaksa agak kasar juga menyoroti perilaku DPR negeri ini yang tidak peduli dengan suara dan aspirasi rakyat. Mereka seenaknya sendiri hendak memaksakan kehendak. Setelah UU Omnibus Cipta Kerja (Cilaka) yang dipaksakan diketuk dengan protes rakyat Indonesia yang di seluruh tanah air, kini DPR kembali membuat ulah lagi. Ternyata Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasil (RUU HIP) masih termasuk yang dijadikan dalam agenda Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2021. DPR tidak mau mendengar suara rakyat, terutama Umat Islam. Telinga DPR sudah tuli dan budeg. DPR kambuh lagi aslinya. Mereka mulai menampakan sikapnya yang gila dan sinting terhadap suara dan aspirasi rakyat, khusunya umat Islam Wajar saja kalau DPR dianggap dungu dan dongo. Baik kualitas maupun kuantitasnya kaleng-kaleng, odong-odong dan beleng-beleng. Presiden Sorharto yang sangat otoriter dan sangat full power saja, masih mau untuk mendengar aspirasi rakyat, khususnya umat Islam. Tentara yang menjadi back up utama kekuasaan Soeharto masih membuka mata dan telinga lebar-lebar untukmendengar suara rakyat mayoritas. Biasanya Soeharto berubah sikap, kalau kebijakannya ditentang oleh umat Islam yang disuarakan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Paling kurang kebijakannya ditunda untuk jangka waktu yang belom ditentukan. Menunggu sampai situasinya kondusif dulu. Tidak asal ngotot karena lagi punya kekuasaan. Karakter penguasa yang memaksakan kehendak pada setiap kebijakan, biasanya paling menonjol pada eranya Soekarno. Suara-suara umat Islam ditentang oleh rezim Soekarno. Bahkan tokoh-tokoh Islam seperti Buya Hamka dan KH. Isa Ansari dipernjarakan bertahun-tahun tanpa diadili. Para ulama dan tokoh Islam dipernjarakan tanpa diadili, karena mereka menentang kebijakan Soekarno yang merugikan Umat Islam. Misalnya, menentang kebijakan yang berakibat tumbuh suburnya faham komunisme di Indonesia. Sementara Partai Komunis Indonesia (PKI) sangat berpengaruh terhadap kebijakan-kebijakan penting dan strategis Soekarno. Kondisi dan situasi di era Soekarno itulah yang sekarang terasa kembali. Upaya menghindupkan kembali faham komunis di Indonesia melalui RUU HIP yang mengakui Pancasila yang benar adalah 1 Juni 1945. Bukan Pancasila 18 Agustus 1945. Pancasila yang diperas menjadi Tri Sila dan Eka Sila. Pancasila 1 Juni 1945 diperjuangkan oleh gerombolan Tri Sila dan Eka Sila di RUU HIP. Namun empat Fraksi telah menyatakan tidak setuju dengan RUU tersebut masuk dalam Prolegnas Prioritas tahun 2021, yaitu Fraksi Golkar, PKS, PAN, dan PPP. Fraksi lain belum jelas sikapnya. Badan Legislasi DPR masih mengusulkan RUU HIP masuk dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2021. Predikat gila, sinting, dungu, dan dongo memang patut untuk disematkan ke DPR. Karena luar biasa ndableg, tuli, budeg. DPR yang tidak memiliki kepekaan politik kerakyatan jika memang RUU HIP masih dimasukkan. Rakyat khususnya umat Islam dipastikan akan melakukan gerakan perlawanan yang masif kembali. Apapun resikonya. Inilah wujud kegaduhan bangsa yang sengaja diciptakan dan diproduksi sendiri oleh DPR dan pemerintah. MUI yang menunda "jihad masirah kubro" tentu akan merealisasikan. RUU HIP adalah RUU sesat, maksiat, dan jahat terhadap ideologi dan dasar negara Pancasil dan UUD 1945. Rakyat, khususnya umat Islam tidak akan mentoleransi pembahasan RUU HIP. Tipu-tipu untuk memutuskan di malam hari akan tetap diwaspadai Umat Islam. DPR menjadi musuh rakyat dan umat Islam. Empat Fraksi DPR yang telah menyatakan tidak setuju patut untuk didukung rakyat dan Umat Islam. Fraksi yang lain semoga segera menyusul. Jika masih ada Fraksi DPR yang "ngotot" menjadi pengusul atau menyetujui RUU “racun ideologi” ini, maka rakyat harus berani menyatakan sebagai Fraksi busuk. Dengan demikian, para anggota DPR pendukungnya adalah para politisi busuk. Negara akan hancur jika diisi oleh elemen politik yang tidak bermoral seperti ini. Mereka tidak mau menguburkan RUU HIP karena manipulatif. Mereka sepertinya yang membela Pancasila. Padahal yang sebenarnya mereka ingin mengubah Pancasila secara bertahap. Kekuatan kiri coba mengotak-atik ideologi negeri ini. Kata orang Sunda Baleg DPR "bedegong" sombong, angkuh atau "teu baleg” tidak benar. Mungkin dari kata tidak baligh, yang artinya "tidak dewasa" ngeyel dan kekanak-kanakan. Meminjam istilah Gus Dur "DPR seperti anak TK". Hadeuh. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Munas MUI Pilih Ketua Baru 2020-2025

Tony Rosyid Jakarta FNN – Rabu (25/11). Hari ini sampai lusa, Rabu-Jum’at, tanggal 25-27 Nopember Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) ke X. Dalam Munas kali ini MUI akan memilih seorang ketua yang baru. Saat ini, pimpinan menjadi MUI sangat penting dan strategis. Dua hal yang membuat kepemimpinan MUI ke depan sangat penting dan strategis. Pertama, dipinangnya K.H. Ma'ruf Amin, ketua MUI periode 2015-2020 menjadi Cawapres Presiden Jokowi. Dalam pilpres 2019 lalu, Jokowi-Ma'ruf terpilih. Dan K.H. Ma'ruf Amin secara definitif dilantik jadi Wapres. Kedua, MUI belakangan ini mampu tampil elegan dan memaksimalkan perannya mewakili suara umat Islam. Terutama yang terkait dengan kebijakan-kebijakan publik. Tidak saja amal Ma'ruf yang menonjol. Tetapi juga tegas dalam memerankan fungsi "nahi munkar"-nya. Dua posisi inilah yang membuat MUI menjadi penting dan strategis. Karena akan sangat diperhitungkan perannya. MUI tidak saja diperhitungkan oleh umat Islam, tetapi juga rakyat Indonesia secara umum. Tidak saja secara politik, tetapi juga secara moral. Meski demikian, MUI memiliki mekanisme tersendiri. MUI sangat berbeda dari umumnya organisasi, terutama dalam memilih calon seorang pemimpin. Dalam konteks pemilihan ketua, MUI memiliki sistem formatur. Ada belasan ulama yang manjadi anggota formatur, diantaranya Ketua dan Sekjen MUI yang lama, perwakilan ormas seperti NU dan Muhammadiyah, serta yang lain-lain. MUI adalah organisasi yang anggotanya adalah para ulama', zuama' dan cendekiawan muslim. Makanya, otomatis kandidat yang akan dicalonkan adalah mereka yang tergolong sebagai ulama', zuama' atau cendekiawan muslim. Tidak asal-asalan. Kandidat yang muncul dan santer dibicarakan publik dalam Munas MUI kali ini diantaranya adalah K. H. Miftahul Ahyar, Rais Suriah PBNU. Tokoh yang satu ini dikenal alim (tafaqquh fiddin), bersahaja dan sangat sederhana. Meski baru setahun menggantikan posisi K.H. Ma'ruf Amin di NU, K.H. Miftahul Ahyar sudah mulai dikenal dan tak asing bagi masyarakat. Sang Kiai juga mewakili NU, organisasi terbesar di Indonesia. Selain K.H.Miftahul Ahyar, muncul nama Buya Dr. Anwar Abbas, Sekjen MUI yang sekaran. Buya Dr. Anwar Abbas akhir-akhir ini sering muncul namanya di media massa. Sikapnya yang kritis terhadap sejumlah kebijakan pemerintah dan persoalan-persoalan sosial, terutama sertifikasi mubaligh dan da’I telah ikut mengangkat nama baik dan menjaga marwah MUI. Di luar kedua tokoh tersebut, ada nama K.H. Buchori Abdusdomad, Ketua MUI Jawa Timur. Munculnya K.H.Abdussomad seolah mewakili suara umat Islam dari daerah. Sebab selama ini Ketua MUI selalu dijabat oleh mereka yang sudah menjabat di pengurus pusat. Lalu, siapa diantara ketiga tokoh ini yang kemungkinan akan terpilih menjadi Ketua MUI ke depan? Tim formatur yang akan mencermati, menela'ah dan menggodok secara serius siapa diantara mereka yang akhirnya diberi amanah untuk memimpin MUI lima tahun ke depan. Tidak menutup kemungkinan juga akan muncul tokoh diluar tiga nama tersebut. Dalam hal ini, ormas dan umat menyerahkan sepenuhnya kepada anggota formatur untuk memilih mana yang terbaik menurut mereka. Di tangan mereka, pemilihan ini akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Atas dasar inilah, "ultimate trust" umat kepada para formatur tersebut dipasrahkan. Di tengah situasi politik yang relatif gaduh seperti sekarang ini, umat hanya berharap kepada MUI. Pertama, pemilihan ketua MUI dilakukan dengan proses yang elegan, terhormat, bermartabat, dan tanpa intervensi dari pihak manapun. Keikhlasan, kejujuran dan kearifan harus menjadi pondasi dalam suksesi pimpinan MUI kali ini. Kedua, yang terpilih adalah ulama yang benar-benar diharapkan mampu menjaga marwah dan independensi MUI ke depan. Juga mampu membawa MUI semakin besar peran dan manfaatnya untuk umat dan bangsa. Jangan mau diatur-atur sama pemerintah. Apalagi kebijakan pemerintah merugikan rakyat dan umat Islam. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Solusi Atasi Banjir Lebih Mudah Bersama Adiknya, Jika Gus Ipul Jadi Walikota Pasuruan

by Mochamad Toha Surabaya FNN - Selasa (24/11). Kota Pasuruan sebagai salah satu wilayah yang setiap tahunnya selalu dilanda banjir jika musim hujan tiba, menjadi tantangan tersendiri bagi Walikota Pasuruan terpilih pada Pilkada Kota Pasuruan 2020 nanti. Karena, hingga musim hujan 2019 lalu, Walikota Pasuruan yang kini maju sebagai calon petahana Raharto Teno Prasetyo, belum juga berhasil mengatasinya. Ini jadi tantangan bagi Saifullah Yusuf alias Gus Ipul yang kini menjadi rivalnya pada Pilkada 2020 ini. Mantan Wakil Gubernur Jawa Timur 2 periode yang maju Pilkada Kota Pasuruan itu akan lebih mudah mengatasi banjir bersama adiknya, Bupati Pasuruan Irsyad Yusuf, jika terpilih. Karena banjir di Kota Pasuruan itu kiriman dari wilayah Kabupaten Pasuruan. Mengutip TribunJatim.com, Selasa (3 November 2020 09:43), Gus Ipul mengingatkan masyarakat untuk tidak salah tangkap mengartikan “akrab dengan banjir” karena ini sejatinya adalah bentuk dari mitigasi bencana. Hal itu disampaikan Gus Ipul usai kampanye menemui warga dengan protokol kesehatan ketat di Jalan Airlangga, Kota Pasuruan, Senin (2/11/2020) malam. Menurut Gus Ipul, akrab dengan banjir ini adalah istilah. Di dalam bencana, ada istilah berdamai dengan banjir, ataupun beradaptasi dengan banjir. Ini adalah istilah untuk mitigasi bencana. “Misalnya, orang yang tinggal di area gunung Merapi. Mereka harus akrab dengan resiko-resikonya. Termasuk mereja yang tinggal di bantaran sungai. Mereka harus tahu resiko dan bagaimana mengatasi resiko,” kata Gus Ipul. Dia menjelaskan, untuk penanganan banjir di Kota Pasuruan, masyarakat harus waspada dan mengetahui resikonya. Gus Ipul mengaku senang, karena sempat berkeliling menemui warga dan melihat rumah warga yang ada di sekitar bantaran sungai. “Saya senang, sebenarnya masyarakat sudah sadar resikonya dan sudah melakukan upaya darurat ketika banjir datang. Pada dasarnya masyarakat sudah siap,” katanya. Misalnya, kata Gus Ipul, masyarakat sudah berupaya meninggikan rumahnya. Jadi, posisi rumahnya sudah lebih tinggi. Ada juga masyarakat yang sudah menyiapkan tempat untuk penyelamatan barang-barang berharga ketika banjir tiba dan sejenisnya. Sedangkan soal pemerintahnya, seharusnya Pemkot Pasuruan hadir. Gus Ipul meyakini, banjir ini bisa dihilangkan. “Jadi, pemerintah harus tahu apa yang akan dilakukan ketika banjir ini datang,” jelasnya. Salah satu hal yang bisa dilakukan, lanjut Gus Ipul, dengan memberikan lampu tenaga surya. Kata dia, lampu tenaga surya ini akan memberikan manfaat luar biasa ketika banjir tiba. “Saya yakin, jika banjir, pasti PLN tidak mau resiko dan akan mematikan aliran listriknya. Nah, di saat itulah, lampu tenaga surya bisa berguna. Jadi, penerangan ini bermanfaat untuk evakuasi warga. Apalagi kalau banjirnya malam,” ujar Gus Ipul. Ia menyebut, program-program inilah yang pro terhadap rakyat khususnya terhadap banjir. Kedua, perlu adanya peta evakuasi. Artinya, ini perlu adanya sosialisasi, perlu ada latihan dan simulasi. “Jadi, masyarakat perlu didampingi. Perlu diberi edukasi, masyarakat harus ke mana saat banjir tiba dan bagaimana skemanya,” sambung dia. Gus Ipul menilai, kalau bisa, di masing-masing titik yang rawan banjir perlu didirikan posko semi permanen ataupun kalau bisa permanen. Di dalam posko, nantinya akan disiapkan perahu karet, dan semua perlengkapan lainnya ketika dibutuhkan dalam kondisi banjir untuk evakuasi warga. Mulai pelampung, dan lain sebagainya, termasuk perahu karet di dalamnya. Jika memungkinkan, kata Gus Ipul, sebulan sebelum musim hujan, disiapkan makanan-makanan instan siap saji, sebagai upaya ketika banjir terjadi. “Jadi, ketika banjir datang sudah sistem dan ada mekanisme yang sudah disiapkan oleh kesadaran masyarakatnya dan pemerintah. Jadi tidak bingung, siapa bergerak ke mana, dan pemerintah harus berbuat apa,” ujarnya. Ia juga memastikan, ketika nanti terpilih bersama Cawalinya Adi Wibowo memimpin Kota Pasuruan, akan menjadi pemimpin yang akrab dengan bencana dan bisa beradaptasi dengan bencana. “Saya akan tetap siaga saat musim hujan tiba. Jadi, kalau ada apa-apa saya bisa ikut mengendalikan. Kalau perlu, semua kegiatan di luar kota di saat musim rawan bencana, ditunda. Saya siap hadir di tengah masyarakat,” ujar Gus Ipul. Di sisi lain, Gus Ipul juga memastikan akan melakukan upaya-upaya lain untuk mengatasi banjir, yang sifatnya sebagai upaya pencegahan. Kalau sebelumnya, ia lebih banyak menjelaskan apa yang harus dilakukan ketika banjir datang. Menurut Gus Ipul, persoalan banjir juga bisa diatasi dengan berbagai kegiatan pembangunan mulai dari Hulu-Hilir. Nah, Kota Pasuruan ini berada di hilir, yang bisa dilakukan adalah pengerukan, pembuatan tanggul, membuat sudetan-sudetan, atau menyiapkan drainase yang mumpuni, dan pompa-pompa untuk membantu percepatan penanganan banjir. Menurut Gus Ipul, rencana tersebut juga harus dibicarakan bersama Pemerintah Provinsi maupun dengan Pemerintah Pusat. “Kota Pasuruan harus punya road map ke depan yang bisa kita tawarkan konsepnya untuk mengatasi banjir di hilir, karena banjir di Kota Pasuruan ini kiriman. Konsepnya lengkap, dan tertata,” ungkap Gus Ipul. Bagaimana agar air yang mengalir dari wilayah hulu (Kabupaten Pasuruan) bisa “ditahan sementara” agar tidak langsung turun ke wilayah Kota Pasuruan. Jika Gus Ipul terpilih nanti, ia bisa cari solusi bersama Bupati Pasuruan yang juga adiknya dengan mudah. Gus Ipul memutuskan untuk maju di Pilkada Kota Pasuruan 2020 bersama wakilnya Adi Wibowo yang akrab dipanggil Mas Adi. Mereka diusung 5 partai: PKB, Golkar, PKS, PAN, dan PPP. Paslon nomor urut 1 itu bakal berhadapan dengan petahana Plt Walikota Pasuruan Raharto Teno Prasetyo-Hasjim Asjari bernomor urut 2, yang diusung koalisi 4 partai. Yakni: PDIP, Hanura, NasDem, dan Gerindra. Kota Santri Gus Ipul mengaku telah berpamitan dengan Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa untuk maju pada Pilkada Kota Pasuruan 2020 nanti. Ia mengaku siap mendukung segala program Khofifah, jika dirinya terpilih menjadi Walikota Pasuruan. “Saya pamit sama Ibu Gubernur, saya terima kasih atas dukungannya, saya juga pamit dari pramuka. Saya insya’ Allah akan siap bekerjasama mendukung semua program Ibu Gubernur yang terkait dengan memajukan dan memakmurkan masyarakat,” katanya. Gus Ipul mengaku, sudah bersilaturahim dengan basis massa Khofifah, yakni Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) di Kota Pasuruan. “Mudah-mudahan, saya sudah sowan, ke Ketua Muslimat dan Pengurus Muslimat Kota Pasuruan lainnya untuk meminta nasihat dan saran, minta doa restu,” ucapnya. Bagi masyarakat Jawa Timur, sosok Gus Ipul bukanlah orang asing dalam kancah politik Indonesia. Dia pernah menjabat sebagai Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal dan Wakil Gubernur Jatim selama dua periode. Jika berhasil terpilih nanti, Gus Ipul harus membuktikan kapasitas bahwa dirinya mampu membawa Kota Pasuruan lebih maju dan lebih pesat dari sebelumnya. Terlebih lagi, Gus Ipul pernah punya pengalaman menjadi Wagub Jatim yang tak dimiliki rivalnya. Bila perlu, nama Gus Ipul harus harum sebagai walikota dan bisa menyamai kesuksesan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas dalam memimpin daerahnya. Pakar Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya Prof. Kacung Marijan menilai Gus Ipul maju di Pilkada Kota Pasuruan itu karena PKB bertekad menggusur calon petahana Raharto Teno Prasetyo. PKB butuh nama besar karena lawan petahana tak pernah mudah. Taktik tersebut menjadi penting. Terlebih, Raharto Teno Prasetyo akan berpasangan Hasjim Asjari yang merupakan adik kandung mantan Walikota Pasuruan periode 2000-2010, Aminurohkhman. “Mengalahkan incumbent tidak mudah, apalagi mengalahkan incumbent yang didukung oleh incumbent sebelumnya,” ujarnya seperti dilansir CNN Indonesia. Prof Kacung juga tidak terlalu menyoroti soal langkah Gus Ipul yang mau “turun kelas”. Dari Menteri, Wakil Gubernur, kini mau jadi calon Walikota. Kacung tak kaget karena Gus Ipul pernah bercanda soal itu. “Dia (bicara) itu biasa, dulu pernah guyon [bercanda], 'saya ini menteri, terus wagub, nanti mungkin bupati atau wali kota, lalu kepala kelurahan', dia pernah buat lelucon begitu,” lanjut Prof Kacung. Melansir KOMPAS.com, Sabtu (29/08/2020, 15:37 WIB), PKB memiliki alasan utama mengusung Gus Ipul pada Pilkada Kota Pasuruan 2020. Pengusungan terhadap Gus Ipul berdasarkan aspirasi masyarakat dan tokoh agama di Kota Pasuruan. Latar belakang sebagai santri akan sangat mengerti kebutuhan pesantren. Terlebih, Gus Ipul itu seorang santri tulen dan akan sangat mengerti kebutuhan pesantren. Pasuruan adalah kota pesantren, selama ini belum ada kebijakan pemerintah daerah yang berpihak kepada pesantren. “Sementara itu PKB berkepentingan untuk menang dan memajukan Kota Pasuruan yang merupakan basis PKB,” kata Ketua Lembaga Pemenangan Pemilu DPW PKB Jawa Timur Fauzan Fuadi, Sabtu (29/8/2020). Nilai tambah lainnya, yakni Gus Ipul pernah menjabat sebagai Wagub Jatim dua periode dan menteri di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Mas Adi Sebagai Cabup, Gus Ipul tak salah memilih Adi Wibowo alias Mas Adi ini menjadi Calon Wabup-nya. Mas Adi masih terbilang sebagai Generasi Milenial. Ia adalah alumni Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember (UNEJ). Masa-masa kuliah tak hanya dihabiskan pergi kuliah, belajar dan pulang. Sebaliknya, Mas Adi aktif ikut organisasi dalam kampus. Ia aktif di Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia, Jember dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). “Waktu kuliah dulu aktif menulis, utamanya tentang pergerakan-pergerakan mahasiswa saat itu,” kata Adi, seperti dikutip JawaPos.com, Kamis (17 September 2020). Lulus dari Unej, fans berat KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur) ini melanjutkan S2 di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Lulus dari UI, suami Suryani Firdaus ini bergabung menjadi Tenaga Ahli di DPR RI. Ditanya pengetahuannya tentang Kota Pasuruan, Mas Adi menjelaskan, sejatinya dirinya sudah mengenal sedikit banyak. Pengetahuannya tersebut didapatnya ketika mencalonkan diri sebagai calon legislatif (caleg) DPRD Jawa Timur pada Pemilu 2019 lalu di Dapil Pasuruan-Probolinggo. “Tahun lalu saya sudah riwa-riwi menjaring aspirasi masyarakat di Kota Pasuruan. Dari situ sudah saya pelajari apa yang menjadi persoalan dan keluhan masyarakat yang belum terselesaikan,” jelasnya. Menurutnya, keluhan dan persoalan masyarakat tersebut menjadi PR utama yang akan diselesaikan jika terpilih sebagai Wawali. “Paling tidak saya sudah mengantongi hal-hal urgent yang harus segera diberikan solusi di tengah masyarakat,” kata Mas Adi. Sejumlah langkah juga sudah dipersiapkan Mas Adi guna terus menggali dan menjaring aspirasi masyarakat. Dalam waktu dekat, ia mengagendakan pertemuan dengan beberapa tokoh masyarakat, tokoh agama hingga komunitas yang ada di Kota Pasuruan. Penulis wartawan senior FNN.co.id

Cukong Ahoker di Balik Pencopotan Baliho?

by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Selasa (24/11). Markas Kodam Jaya di kawasan Cililitan, Jakarta Timur banjir karangan bunga. Narasi dan pesan yang ingin disampaikan, sangat jelas. Rakyat mendukung langkah Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman. Pangdam Jaya memang tengah jadi perbincangan nasional, menyusul tindakannya mencopot dan membersihkan baliho ucapan selamat datang Habib Rizieq Shihab (HRS). Bahwa tindakan Mayjen Dudung didukung oleh rakyat, itu bisa terlihat jelas dari beragamnya nama pengirimnya. Mulai dari perorangan maupun organisasi kemasyarakatan. Sekali lagi itu kesan dan pesan yang ingin dibangun. Tapi apakah benar strategi komunikasi dengan cara show of force, membanjiri markas Kodam Jaya dengan karangan bunga itu berhasil? Publik menangkap pesan dan mempunyai persepsi yang sama? Masyarakat kemudian ikut mendukung dan memberi basis legitimasi. Dengan begitu Pangdam Jaya dapat terus melanjutkan tindakannya? Kelihatannya tidak begitu. Publik malah menangkap sebaliknya. Narasi yang berkembang, terutama di media sosial, para cukong yang dulu mendukung mantan Gubernur DKI Ahok berada di balik aksi pembersihan baliho HRS. Lho kok bisa begitu? Pertama, pilihan membanjiri Markas Kodam Jaya dengan karangan bunga ini bukan ide strategi komunikasi yang orisinil. Duplikasi. Publik dengan mudah diingatkan kembali pada modus yang sama. Saat Ahok kalah pada Pilkada DKI 2017. Saat itu Kantor Pemprov DKI berubah menjadi lautan karangan bunga. Jadi tidak salah bila kemudian publik menyimpulkan, pelaku atau aktor yang menggerakkan aksi ini sama dengan pelaku 2017. Kalau menggunakan terminologi pidana, pelakunya adalah residivis. Mengulang perbuatan pidana yang sama. Cuma yang ini residivis karangan bunga ha…ha…ha…. Tentu ini bukan perbuatan pidana. Tidak bisa dihukum. Yang menghukum publik. Tidak percaya dengan pesan yang ingin dibangun dan disampaikan. Kedua, banjir karangan bunga ke Pemprov DKI bukan sebuah strategi yang sukses. Media saat itu berhasil membongkar fakta, bahwa sebagian besar pengirim bunga itu hanya dilakukan oleh beberapa orang saja. Seorang pemilik toko bunga mengaku mendapat pesanan ratusan karangan bunga dari seseorang, dengan nama pengirim yang berbeda-beda. Alias nama fiktif. Sesungguhnya ada juga perorangan yang benar-benar mengirim karangan bunga. Tapi fakta itu tertutup dengan temuan media. Ada cukong yang membayari karangan bunga itu. Jadi dapat disimpulkan dukungan kepada Ahok tidak natural. Ada mobilisasi. Ada cukong yang jadi Bandar, sehingga kantor Pemprov DKI menjadi lautan bunga. Kecurigaan yang masuk akal juga. Karena pandemi, ekonomi sulit. Hanya orang yang punya kelebihan duit saja, yang saat ini mau buang-buang duit membeli karangan bunga. Dari sisi komunikasi, modus pengiriman bunga ini adalah strategi komunikasi yang gagal ( communication failure). Agak mengherankan bila sebuah strategi yang gagal, kok diulang kembali? Kekonyolan serupa juga terjadi. Aliasi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) merasa dicatut namanya. Mereka tidak pernah merasa mengirim karangan bunga. Akibatnya yang ketiban apes, ya Mayjen Dudung. Publik menilai ada tangan-tangan cukong Ahok di balik penertiban baliho HRS. Maksud hati dari siapapun yang berada di balik gerakan mobilisasi pengiriman bunga ini mendukung Pangdam Jaya, malah berbuah sebaliknya. Foto-foto Pangdam Jaya sedang berfoto dengan para pengusaha etnis Cina, menyebar luas di medsos. Targetnya untuk mendiskreditkan Mayjen Dudung. Padahal bisa saja foto-foto itu tak ada kaitannya. Pangdam Jaya layak menegur keras si oknum yang memobilisasi pengiriman bunga ini, siapapun orangnya. Ketiga, sebelum heboh pengiriman karangan bunga ini publik juga digemparkan dengan adanya video seorang wanita yang mengenakan baju kotak-kotak ikut naik panser. Kendaraan tempur itu digunakan untuk mengawal pasukan yang membersihkan baliho HRS di kawasan Petamburan. Publik saat itu menyebutnya ada Ahoker alias pemuja Ahok yang ikut bersama TNI menertibkan baliho HRS. Penerangan Kodam Jaya sudah menjelaskan bahwa wanita tersebut adalah seorang wartawan. Dia naik panser dengan pertimbangan keamanan. Wartawan naik kendaraan tempur itu sebenarnya praktik biasa. Namanya embedded journalism,. Tapi biasanya itu hanya terjadi di medan tempur. Kegiatan itu menjadi terkenal ke seluruh dunia, ketika para wartawan ikut bersama pasukan AS menyerbu Iraq dalam Perang Teluk. Masalahnya penerangan Kodam Jaya juga tidak menyebut jelas identitas si wartawan dan dari media mana. Spekulasi liar dibiarkan berkembang di tengah publik, dengan berbagai bumbu penyedapnya. Pesan tidak jelas Kegagalan strategi komunikasi politik semacam itu harus jadi pelajaran, terutama bagi instansi pemerintah. Di era digital, dimana informasi bisa dibuat dan disebar secara bebas oleh semua orang, dampaknya bisa sangat serius. Apalagi untuk keputusan penting dan sensitif. Bisa berantakan gak karuan. Seorang pejabat tidak boleh mengambil sebuah kebijakan, tanpa memikirkan strategi komunikasi politiknya secara matang. Semuanya harus dirancang secara matang . Ditimbang-timbang plus minusnya. Tidak boleh asal tabrak. Gaya militer zaman dulu: hajar dulu, urusan belakangan, sudah tidak berlaku. Satu hal lagi yang perlu dberi catatan, pesan harus jelas, dan tidak boleh berubah-ubah. Mayjen Dudung sebelumnya mengklaim bahwa pencopotan baliho HRS adalah instruksinya. Belakangan setelah mendapat serangan dari berbagai kalangan. Istana dan juga Mabes TNI membantah memberi instruksi, Mayjen Dudung mengatakan pencopotan itu atas permintaan Satpol PP. Mana yang benar? Publik telanjur tidak percaya karena pesan yang disampaikan Pangdam tidak jelas, dan berubah-ubah. Orang Minang punya pepatah menarik untuk menggambarkan situasi ini. “Kato nan dahulu, sabana kato. Kato kudian, kato nan dicari-cari.” Kata yang diucapkan paling awal, adalah kata sesungguhnya. Kata yang diucapkan kemudian, merupakan dalih yang dicari-cari. Kasus pencopotan baliho bisa menjadi contoh menarik kegagalan sebuah strategi komunikasi politik. Banjir karangan bunga malah berubah menjadi banjir caci maki. End Penulis, wartawan senior FNN.co.id

Kasus Habib Rizieq, Istana Nabok Nyilih Tangan?

“Markas FPI di Petamburan Disemprot Polisi Pakai Disinfektan.” Begitu sebuah media membuat judul beritanya. by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Senin (23/11). Di media sosial, video dan foto-foto petugas penyemprot di kawal petugas bersenjata, bertebaran dengan cepat. Bagi yang paham pemasaran (marketing) politik, penyemprotan itu tidak hanya dilihat sebagai langkah dan tindakan kesehatan semata. Aksi itu adalah sebuah strategi marketing politik. Sebuah tahapan demarketing sedang dijalankan. Ya, semua ribut-ribut yang terjadi dalam dua pekan terakhir, sejak kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS), secara marketing dan komunikasi politik menjadi sangat menarik untuk dicermati. Mulai dari pencopotan baliho oleh prajurit TNI dari Kodam Jaya. Pengumuman bahwa kawasan Petamburan, Markas FPI sebagai kluster baru penyebaran Covid-19. Kedatangan petugas polisi, TNI, dan Satpol PP ke rumah HRS pada malam hari untuk swab. Sampai penyemprotan disinfektan. Tujuannya sangat jelas. Membentuk persepsi masyarakat bahwa apa yang dilakukan pendukung FPI salah. Tidak patuh pada aturan dan pemerintah. Membahayakan masyarakat. Tidak mematuhi aturan. Seenaknya sendiri. Disimbolisasi dengan pencopotan baliho. Tidak mematuhi protokol kesehatan. Membahayakan kesehatan masyarakat. Disimbolisasi dengan penyemprotan disinfektan dan permintaan swab. Coba perhatikan. Petugas mendatangi rumah HRS untuk melakukan swab, pada malam hari. Di atas pukul 22.00 Wib. Memberi kesan ada situasi yang sangat darurat. Bersamaan dengan itu media memberitakan dengan besar-besaran. Para buzzer bekerja. Mereka menyebar kabar HRS dan keluarganya positif Covid-19. Para buzzer juga memperkuat dan mengamplifikasi pesan itu. Ramuan ajaib yang selama ini terbukti ampuh, kembali dimainkan: HRS dan FPI radikal, intoleran, membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Spanduk penolakan atas HRS disebar dimana-mana. Unjukrasa juga digelar di beberapa kota. Adanya operasi demarketing politik ini tampaknya sangat disadari oleh FPI dan para pendukungnya. Mereka segera menyebar file-file lama. Anggota FPI di beberapa daerah melakukan penyemprotan disinfektan di gereja. Salah satu foto menunjukkan anggota FPI sedang menyemprot sebuah ruangan dengan patung Yesus di latar belakangnya. Foto itu sangat ikonik. Loud and clear. Secara visual target dari penyebaran foto-foto ini sangat jelas. Counter opini. FPI ingin menunjukkan bahwa mereka sangat sadar dengan protokol kesehatan, sekaligus bukan kelompok radikal yang intoleran. Pada video yang beredar, memperlihatkan anggota FPI baru saja merenovasi rumah seorang janda di Sumatera Utara. Sang janda beranak empat itu beragama Nasrani. Yang lebih seru lagi adalah video lama Tito Karnavian sedang pidato dalam sebuah forum FPI. Video itu diedarkan dengan dibubuhi berbagai narasi. Video itu kelihatannya diambil saat Tito Karnavian masih menjadi Kapolda Metro Jaya. Hubungannya dengan FPI sedang mesra-mesranya. Tito memuji kegiatan yang dilakukan oleh FPI. Menurutnya, stigma FPI radikal, intoleran, identik dengan tindak kekerasan, merupakan label yang dibuat media. Bagaimana dengan isu HRS positif Covid? FPI membuat strategi jitu dengan menyebarkan video. Dia sedang asyik bermain dengan cucunya. Jadi bahan kajian Perang strategi marketing politik, demarketing Vs image building yang terjadi antara pemerintah Vs FPI ini menarik untuk dicermati. Bisa jadi bahan kajian. Narasi siapa yang paling kuat. Pesannya ditangkap dan dipercaya publik? Bagi pemerintah dan TNI, harus disadari mereka tidak hanya berhadapan dengan HRS dan para pendukungnya. Masuknya Pangdam Jaya dan TNI dalam medan perang opini dengan HRS, membuat tanduk masyarakat sipil, termasuk para senior TNI langsung berdiri. Mereka waspada tinggi. Alarm tanda bahaya menyala. Tindakan itu bisa ditafsirkan sebagai langkah awal kembalinya Dwifungsi TNI. TNI kembali ditarik-tarik dan masuk ke tugas pokok dan fungsi institusi sipil. Tak kalah seriusnya, tindakan itu juga merupakan tanda-tanda sangat serius. Rezim Jokowi telah menjelma sebagai penguasa otoriter. Menggunakan militer untuk menekan lawan-lawan politiknya. Gubernur DKI Anies Baswedan membuat sindiran sangat cerdas. Dia memposting fotonya sedang membaca buku : How Democracies Die karangan Daniel Ziblatt dan Steven Levitsky. Reaksi masyarakat sipil yang begitu luas, tampaknya disadari oleh Istana dan Mabes TNI. Mereka segera membantah. Tidak pernah memerintahkan Pangdam menurunkan baliho, apalagi membubarkan FPI. Masalahnya, mereka juga tidak secara terbuka menyalahkan, apalagi mengecam dan mengambil tindakan agar Pangdam Jaya segera menghentikan langkahnya. Peribahasa Jawa menyebut perilaku istana ini sebagai “nabok nyilih tangan.” Memukul dengan memakai tangan orang lain. Mau makan nangkanya, tapi tidak mau kena getahnya. Dari sisi marketing politik, publik adalah konsumennya. Voters, pemilih yang harus dimenangkan hatinya. Produk apa dan strategi pemasaran mana yang bisa memenangkan persepsi publik? Anda, para pembaca semua yang memutuskan. End Penulis, wartawan senior FNN.co.id

Baliho “Diperangi”, Jokowi Takut Gambar?

Adakah perintah itu datang dari Presiden Jokowi karena takut Revolusi Akhlak HRS? Pihak Istana sudah membantahnya. by Mochamad Toha Surabaya FNN - Senin (23/11). Sudah 2 Kapolda dan Kapolres di Jakarta dan Jawa Barat digeser kedudukkannya. Konon, mereka itu disanksi gegara acara besar yang diselenggarakan FPI dan Habib Rizieq Shihab. Pertanyaan akhirnya muncul: mengapa ada acara besar lain di daerah lain yang berdekatan harinya Kapolda dan Kapolres setempat tak digeser dan dicopot dari jabatannya? Bahkan, jauh sebelumnya hingga hari-hari ini cukup banyak peserta Pilkada 2020 yang juga melanggar protokol kesehatan tidak menjadi penyebab Kapolres dan Kapolda ikut digeser seperti 2 Kapolda dan Kapolres di Jakarta dan Jawa Barat itu? Dari sini banyak kalangan berasumsi terjadi ketidakadilan Polri dalam memberikan tindakan di lingkungan internalnya sendiri. Dan terasumsikan pula bahwa tindakan tegas hukum hanya berlaku bagi yang bukan “pro-kekuasaan”. Kepulangan HRS tepat Hari Pahlawan, 10 November 2020, itu membuat penguasa (baca: Presiden Joko Widodo) panik. Selama ini, sepak terjang HRS dianggap sangat merepotkan penguasa. Apalagi ketika HRS terus-menerus menyerukan Jokowi mundur. Kendati seruan tersebut tak lagi terdengar setelah HRS pulang ke Indonesia. Seruan tersebut sudah berubah dengan slogan “Revolusi Akhlak”! Mungkin apa karena Revolusi Mental ala Jokowi gagal total? Contoh Revolusi Akhlak pun dilontarkan pertama kali oleh HRS pasca “artis seks” Nikita Mirzani melecehkannya. Dan, HRS membalasnya dengan sebutan “lonte” yang dijaga oleh polisi di kediamannya. Yang pasti, kepulangan HRS telah memakan banyak korban. Kapolda Metro Jaya Irjen Pol. Nana Sujana dicopot. Begitu juga Kapolda Jawa Barat Irjen Pol. Yudi Sufriadi nasibnya sama: dicopot. Tidak hanya dua Kapolda, dua Kapolres juga ikut dicopot, yaitu Kapolrestro Jakarta Pusat dan Kapolres Bogor. Empat perwira polisi ini adalah kepala kepolisian di wilayah di mana HRS mengadakan acara yang menghadirkan puluhan hingga ratusan ribu massa. Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa Tony Rosyid menyebut, pencopotan dua Kapolda dan dua Kapolres secara bersamaan sulit jika tidak dihubungkan dengan sepak terjang HRS. Apalagi telah diungkapkan bahwa pencopotan mereka karena dianggap tidak tegas mencegah pelanggaran protokol kesehatan di acara HRS. Situasi politik makin tegang saat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan juga ikut dipanggil oleh Bareskrim terkait pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan HRS. Melalui surat nomor B/19925/XI/RES. 1.24/2020/DITRESKRIMUM, Anies akan diminta untuk memberikan klasifikasi terkait acara HRS. Gubernur Anies pun diperiksa selama 10 jam hingga dini hari. Anies pun sebelumnya telah konferensi pers, menjelaskan kepada publik bahwa prosedur pencegahan terhadap semua kegiatan yang berpotensi menciptakan penyebaran Covid-19, termasuk kepada HRS, telah dilakukan. Melalui Walikota Jakarta Pusat, surat sudah dikirim. Bahwa Pemprov DKI tidak memberi ijin segala bentuk kegiatan yang berpotensi terjadinya kerumunan. Sikap Anies tegas dan berlaku untuk siapa saja. Ketika HRS melangsungkan acara walimah dan Maulid Nabi, Anies memberi sanksi denda 50 juta rupiah kepada HRS. HRS berlapang dada dan langsung membayar denda itu. Cash! Selesaikah? Ternyata tidak. Perangi Baliho Diawali dengan viralnya pemberitaan Kendaraan Tempur (Ranpur) bertuliskan KOOPSSUS yang melintasi wilayah Petamburan belum lama ini. Berhenti sejenak di depan mulut gang ke kediaman HRS. Kemudian berlalu kembali. Esoknya viral sebuah video beberapa orang bersegaram “ala” TNI yang menurunkan baliho pada malam hari. Berikutnya, datang lagi sekelompok “pasukan” TNI naik sepeda motor dan berhenti di wilayah Petamburan juga tanpa aktivitas. Tidak sampai disitu, Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurrachman malah ikut kerahkan prajurit untuk copot gambar dan baliho HRS. Tidak hanya di Jakarta, penurunan baliho HRS juga terjadi di Jawa Tengah oleh aparat Brimob bersenjata. Apakah setelah baliho dicopot tak ada pemasangan baliho-baliho yang lain? Sepertinya tidak. Kabarnya, mulai ada pemasangan baliho di gang-gang sempit. Alasannya, agar mobil panser Pangdam Jaya nggak bisa masuk. Ada-ada aja. Emang beneran? Jika toh ada pemasangan baliho HRS, apalagi dalam jumlah besar, dipastikan itu aksi protes. Banyak pihak bertanya, apa salah baliho itu? Nggak bayar pajak? Apa baliho parpol itu bayar pajak? Apakah baliho calon kepala daerah itu bayar pajak? Apa baliho ormas itu bayar pajak? Mengutip Tony Rasyid, Kepala Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta Iwan Setiawan menegaskan, tidak ada kewajiban bayar pajak untuk baliho non komersial. Lalu kenapa Pangdam Jaya yang copot? Apa itu bagian dari tupoksi TNI? Bukannya TNI itu bertugas untuk mengamankan negara dari ancaman luar? Aksi pencopotan baliho oleh Pangdam Jaya menuai kritik. Bahkan kecaman beras banyak pihak. Beredar meme, karikatur, foto, video dan tulisan yang bernada kecaman dan kritik kepada Pangdam Jaya. Dianggap berlebihan, lebay dan keluar dari tupoksinya. Fadli Zon, anggota komisi I DPR dari Gerindra mengusulkan agar Pangdam Jaya dicopot. Makin ramai! Sebaliknya, publik memberikan empati. Bahkan dukungan kepada HRS bermunculan. Lagi-lagi, banyak pihak yang merasa ini bagian dari kedzaliman. Dan sudah menjadi hukum sosial. Setiap ada orang yang dipersepsikan terdzalimi, ia akan berlimpah empati. Dicopotnya baliho HRS justru akan semakin membesarkan nama dan kharisma Imam Besar FPI ini. Kapolda Metro Jaya yang baru Irjen Polisi Fadil Imran mendukung langkah Pangdam Jaya tersebut. Aksi penurunan serupa juga terjadi di Kabupaten dan Kota Tangerang, Minggu (22/11/2020). Petugas gabungan dari Satpol PP Kabupaten Tangerang, TNI dan Polri menurunkan puluhan spanduk dan baliho bergambar HRS. Begitu pula di Kota Tangerang. Perununan baliho HRS juga berlangsung di wilayah Kabupaten dan Kota Bekasi sejak Jum’at (20/11/2020). Meski sempat mendapat penolakan warga, namun penurunan tersebut berjalan lancar juga akhirnya. Benarkah TNI secara institusi telah memerintahkan Pangdam Dudung mencopot baliho HRS? Jawaban mengejutkan datang dari Kapuspen TNI Mayjen TNI Achmad Riad. Beritasatu.com, Kamis (19/11/2020) menulis, pimpinan TNI tidak pernah memberikan perintah penurunan spanduk ataupun baliho HRS. “TNI tidak pernah memberikan perintah. Video tersebut (juga) tidak jelas siapa, belum ada klarifikasi,” kata Achmad Riad, ketika dikonfirmasi, di Jakarta, Kamis (19/11/2020). Dikatakan Riad, kalaupun ada prajurit TNI di lapangan yang menertibkan spanduk ataupun baliho, tentunya akan dilakukan bersama kepolisian. TNI biasanya hanya bersifat membantu menertibkan penurunan spanduk. “Bilapun ada hal tersebut tentunya akan dilakukan bersama sama Satpol PP, Polisi dan TNI akan membantu,” ujar Kapuspen TNI. Padahal, Mayjen Dudung awalnya baik-baik saja, bahkan memberi pernyataan positif bahwa Acara Pernikahan Putri IB HRS sudah sesuai Prokes. Dan, Rabu, 18 November 2020 sempat mengundang Pengurus DPD FPI DKI Jakarta untuk mengajak kerjasama menjaga stabilitas keamanan Ibukota Jakarta. Pertemuan berjalan sangat hangat bersahabat dan penuh damai. Namun entah kenapa, hari esoknya, hanya berselang sehari tiba-tiba berubah, menghina IB-HRS dan menantang FPI, serta mengerahkan puluhan Tank Panser Perang dan ribuan Pasukan Tempur TNI untuk menurunkan baliho HRS se-Jakarta. Adakah perintah itu datang dari Presiden Jokowi karena takut Revolusi Akhlak HRS? Pihak Istana sudah membantahnya. Penulis, wartawan senior FNN.co id

Ketika Istana Jokowi Goyah

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (22/11). Ketika pembangunan infrastruktur dan investasi gagal mencapai target yang digaung-gaungkan. Ketika pertumbuhan ekonomi semakin merosot di zona minus. Ketika utang terus membengkak. Ketika covid 19 memporak-porandakan dana APBN. Maka resesi yang sedang berjalan menuju krisis, bahkan depresi ekonomi hanya persoalan waktu. Juga ketika aturan hukum yang menjadi pendukung agenda ekonomi membentur perlawanan rakyat yang harus menguras enerji. UU KPK, UU Minerba, Perppu Covid, RUU HIP, RUU BPIP maupun UU Omnibus Law Cipta kerja membuat Pemerintah bergoyang. Perlawanan rakyat muncul akibat hukum direkayasa menjadi alat kepentingan politik Belum lagi Jokowi pun pusing nggak karuan dengan pembentukan Komite Aksi Menyelematkan Indonesia (KAMI). Koalisi yang menjadi tempat berkumpulnya tokoh-tokoh oposisi lintas kelompok, profesi, maupun agama. Cabang-cabang KAMI yang mendeklarsikan diri di hampir seluruh daerah Provinsi, Kabupaten dan kota. Bahkan deklarasi KAMI juga di sejumlah negara asing. Kenyataan ini membua Presiden Jokowi panik nggak karuan. Mencoba meredam laju KAMI dengan penangkapan terhadap sejumlah tokoh KAMI seperti Syahganda, Jumhur, dan Anton Permana dan lain-lain. Teror politik dilakukan pula terhadap tokoh dan aktivis KAMI di berbagai daerah. Semua adalah langkah untuk meredam. Yang terakhir adalah urusan kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS). Pemerintahan Jokowi terkesan panik tingkat tinggi. Sehingga ada upaya untuk kriminalisasi HRS dan Anies Baswedan. Tentara tempur lalu dikerahkan ke markas FPI di Petamburan. Pangdam Jaya mengirim pasukan pengobrak-abrik baliho HRS. Berujung bahan tertawaan dunia. OPM Papua pun ikut terbahak-bahak. Jokowi goyah. Para Menteri terlihat kalang kabut menjalankan program dan anggaran. Covid 19 telah menjadi alasan utama. Hanya Menteri Keuangan (Menkeu) yang terlihat aktif. Itu dalam rangka mencari dan menambah hutang luar negeri yang sudah mencapai hampir Rp 6.000 triliun. Terakhir pinjaman "recehan" sebesar Rp 9,1 triliun dari Jerman. Disampaikan Duta Besar Jerman melalui akun twiternya. Itupun baru sekedar komitmen. Baru janji-jani manis . Sementara Jepang hanya menjanjikan recehan lagi Rp. 7 triliun. Sedangkan Australia tidak bedanya dengan Jerman dan Jepang. Hanya menjanjikan recehan yang lebih besar sedikit. Sekitar Rp. 11-13 triliun. Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) turun gunung dan aktif bergerak lagi. Menurut majalah Gatra terbentuk Poros baru JK-Anies-HRS. Wapres KH Ma'ruf Amin yang tadinya hanya "pendiam", kini mulai bermanuver. Berani berbeda pandangan Jokowi soal Pilkada. Kyai Ma'ruf minta agar Pilkada ditunda dulu. Namun Jokowi maunya jalan terus. Jokowi juga menolak untuk rekonsiliasi dengan HRS. Sementara Wapres memberi sinyal akan menemui HRS untuk membahas rekonsilasi. Pertemuan Wapres dengan HRS pasti sedang ditunggu-tunggu olah umat Islam. Pertemuan yang akan melahirkan situasi politik baru yang belum bisa diprediksi. Namun bobot politiknya sangat berarti untuk sebagian besar rakyat dan umat Islam. Dari banyak skenario perubahan politik sebagai respon atas goyahnya Jokowi, maka yang paling rasional dan pragmatis adalah naiknya Wapres menggantikan jika mundur atau dimundurkannya Presiden. PDIP yang resah dengan komposisi kementrian dan mendesak reshuffle tentu sangat mempertimbangkan perubahan itu, asal Wapres Kyai Ma'ruf ke depan adalah kader PDIP. Ormas NU yang kadang-kadang terlihat ngadat pada Pemerintah juga dipastikan mensupport gerak maju Kyai Ma'ruf sebagai sesama warganya. Elemen yang kecewa kepada kinerja Jokowi akan memaklumi jika Ma'ruf Amin naik karena prinsipnya yang penting perubahan. Pembentukan pasukan "bid'ah" di bawah Koopsus sebagai ancaman Panglima TNI. Aksi-aksi berupa "penyerbuan" ke Petamburan, arogansi Pangdam Jaya mencopot baliho HRS, dan tindakan represif lainnya bukan menunjukkan semakin kuatnya Jokowi. Melainkan hanya menampilan kerapuhannya. Prediksi sebagian publik, Jokowi sulit bertahan hingga 2024. Semua sedang bersiap-siap untuk menyongsong perubahan dengan multi skenario. Dari skenario trium virat hingga perubahan ekstra konstitusional. Dari semua itu, skenario naiknya KH Ma'ruf Amin adalah yang paling rasional. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Copot Satu Baliho, Pasang Seribu

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Ahad (22/11). Habib Rizieq Shihab (HRS) didaulat menjadi tokoh fenomenal. Sejumlah pihak melihatnya demikian. Tidak hanya Islam kanan, Islam tengah mulai tertarik. Begitu juga sejumlah tokoh non muslim. Meski pro dan kontra tetap saja sangat kental. Setiap tokoh fenomenal selalu menuai pro dan kontra. Itu hukum sosial. Sebagai pendiri FPI, HRS sudah lama dikenal. Namun, hadir dan perannya tak banyak yang perhatikan. Hanya kalangan tertentu yang melihat sepak terjangnya. Sebab, pilihan "nahi mungkar" yang menjadi ciri khas FPI lebih banyak menuai kontroversi. Bahkan seringkali kurang disenangi. Tuduhan radikal harus disematkan kepada HRS dan FPI. Fenomena HRS muncul, dan dapat perhatian besar ketika terjadi peristiwa Aksi Bela Al-Quran 212. Lalu menjadi Aksi Bela Islam. Didampingi Ustaz Bachtiar Nasir, HRS manghipnotis massa. Sekitar tujuh juta manusia hadir di Monas. Ini sejarah yang dicatat oleh bangsa ini. Sebuah peristiwa langka. Belum pernah terjadi sebelumnya di dunia. Pasca 212, HRS makin mendapat perhatian publik. Terutama saat 17 kasus yang konon katanya kental nuansa kriminalisasinya dibidikkan kepada HRS. Hari demi hari media memberitakan. Hingga kemudian, HRS hijrah ke Arab Saudi karena suatu alasan. Alasan apa? Ya tanya sendiri. Di Arab Saudi, fenomena HRS nggak berhenti. Ia tetap mampu memainkan peran oposisi. Jutaan massa tak bergeser dari pengaruh narasinya. Ini terlihat ketika beberapa kali reuni 212. Jumlah massa yang hadir di Monas tetap sangat besar. Meski Sang Habib tak hadir secara fisik. Tetapi, instruksi dan konsolidasinya terbukti berjalan dengan baik. Meskipun sudah di Arab Saudi, HRS pun tak pernah sepi dari dinamika politik. Tuduhan teroris hingga pencekalan. Ini memberi daya tarik tersendiri bagi publik. Stigma "terdzalimi dan dikriminalisasi" makin melekat pada pendiri FPI ini. Tiga setengah tahun memberi komando dari Saudi, Habib Rizieq pun akhirnya memilih pulang. Tepat tanggal 10 Nopember. Hari pahlawan. Indonesia adalah tanah air yang dicintainya. Apapun risikonya, HRS mengaku akan menghadapi demi menyelamatkan negeri tempat lahirnya. Kepulangan HRS, lagi-lagi fenomenal. Ratusan ribu hingga jutaan para pendukungnya menjemput di bandara. Sejauh tujuh kilometer tol bandara Soekarno Hatta macet. Manusia berdesakan karena rasa cinta dan kerinduan kepada HRS. Ini sejarah baru. Juga belum pernah ada tokoh, apalagi pejabat yang dijemput massa sebesar itu. TNI-Polri hanya mengawasi, sambil mengatur jalan, menjaga ketertiban dan keamanan. Begitulah memang tupoksinya. Sangat cermat mereka mengkalkulasi. Yang paling aman, mereka menempuh langkah persuasi. Polisi dalam konteks ini bekerja profesional. Sangat terukur Tiba di Indonesia, HRS road show ceramah. Istana jadi was was nggak karuan. Mungkin sedikit panik. Ada kekhawatiran HRS menggulingkan kekuasaan. Basis massa jika terkonsolidasi, ini dianggap tak aman buat penguasa. Sekali ada trigger, situasi bisa jadi ancaman. Karena itu, nampak ada langkah antisipasi. Ujung dari kepulangan HRS, dua Kapolda dicopot, beserta dua kapolresnya. Kepala daerah dipanggil untuk dimintai klarifikasi. Alasannya, mereka dianggap tidak tegas menjalankan aturan protokol kesehatan dan PSBB di masa pandemi. Tidak sampai disitu, Pangdam Jaya, Mayjen TNI Dudung Abdurrachman malah kerahkan prajurit untuk copot gambar dan baliho HRS. Tidak hanya di Jakarta, baliho HRS kabarnya juga disapu bersih di Jawa Tengah. Mungkin juga daerah-daerah lain. Apakah setelah baliho dicopot tak ada pemasangan baliho-baliho yang lain? Sepertinya tidak. Kabarnya, mulai ada pemasangan baliho di gang-gang sempit. Alasannya, agar mobil panser Pangdam Jaya nggak bisa masuk. Ada-ada aja. Emang beneran? Kalau toh ada pemasangan baliho HRS, apalagi dalam jumlah besar, dipastikan itu aksi protes. Banyak pihak bertanya, apa salah baliho itu? Nggak bayar pajak? Apa baliho parpol itu bayar pajak? Apakah baliho calon kepala daerah itu bayar pajak? Apa baliho ormas itu bayar pajak? Iwan Setiawan, kepala dinas pelayanan pajak DKI menegaskan bahwa tidak ada kewajiban bayar pajak untuk baliho non komersial. Lalu kenapa Pangdam Jaya yang copot? Apa itu bagian dari tupoksi TNI? Bukannya TNI itu bertugas untuk mengamankan negara dari ancaman luar? Aksi pencopotan baliho oleh Pangdam Jaya menuai kritik. Bahkan kecaman beras banyak pihak. Beredar meme, karikatur, foto, video dan tulisan yang bernada kecaman dan kritik kepada Pangdam Jaya. Dianggap berlebihan, lebay dan keluar dari tupoksinya. Fadli Zon, anggota komisi I DPR dari Gerindra mengusulkan agar Pangdam Jaya dicopot. Makin ramai! Sebaliknya, publik memberikan empati. Bahkan dukungan kepada HRS bermunculan. Lagi-lagi, banyak pihak yang merasa ini bagian dari kedzaliman. Dan sudah menjadi hukum sosial. Setiap ada orang yang dipersepsikan terdzalimi, ia akan berlimpah empati. Dicopotnya baliho HRS justru akan semakin membesarkan nama dan kharisma imam besar FPI ini. Meski sebelumnya HRS sempat digoda dengan hadirnya Nikita Mirzani dan Abu Janda. Dua orang yang menurut para pengamat, sengaja dikelola untuk memecah konsentrasi HRS. Tak berkelas dua manusia itu. Begitu cara publik menyadarkan pendiri FPI ini. Abaikan saja mereka berdua. Bila perlu didoakan. Doa baik HRS kepada Nikita Mirzani dan Abu Janda agar bisa merusak jantung pertahanan lawan. Terima kasih Nikita Mirzani dan Abu Janda. Atau siapapun yang kritik saya. Semoga Allah sehatkan kalian, lindungi hidup kalian, dan Allah kirim rahmat dan berkah untuk keluarga kalian. Diberikan kesadaran terbaik yang membuat kalian selamat dunia dan akhirat. Nah, kalau HRS doa seperti ini, sangat keren. Ini juga dahsyat! Sebagai tokoh besar, HRS mesti dijaga narasi dan sikapnya. SDM yang berada di sekelilingnya, termasuk para juru bicaranya, mesti secara cermat bisa menjaga kharisma dan ketokohan HRS. Jika ini terukur, HRS akan menjadi magnet besar bagi hadirnya para pendukung baru. Terutama kelas menengah atas. Selain perlu memperhatikan sikap dan narasi, HRS mesti punya tim khusus yang mampu melakukan konsolidasi massa untuk merubah kerumunan jadi kekuatan. Untuk kebutuhan ini, perlu keterlibatan ulama atau tokoh berkelas seperti Ustaz Bachtiar Nasir (massa), pengusaha (logistik), purnawirawan TNI (ahli strategi), akademisi (data) dan media. Nah, kalau narasi, sikap dan konsolidasi HRS bisa dikelola dengan baik, baliho-baliho itu kemungkinan akan terpasang kembali. Bahkan jumlahnya akan bertambah banyak. Dicopot satu akan terpasang lagi seribu. Umat akan memasangnya sebagai bentuk protes kepada pemerintah, dan dukungan kepada Habib Rizieq. Lalu, untuk apa baliho-baliho itu dipasang kembali? Nanti, anda akan tahu sendiri dampak sosial dan politiknya. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Pak Pangdam, Ada “Baliho” Joko Tjandra di Mabes Polri dan Kejaksaan Agung

by Asyari Usman Jakarta FNN - Minggu (22/11). Ketika berpidato di lapangan Monas, Jakarta, Jumat (20/11/2020), Pangdam Jakarta Raya Mayjen Dudung Abdurachman menekankan berulangkali bahwa Indonesia adalah negara hukum. Hukum akan ditegakkan terhadap siapa pun juga. Pangdam mengatakan itu merujuk pada penurunan (pencopotan) baliho Habib Rizieq Syihab di kawasan Petamburan, Jakarta Pusat, beberapa hari lalu. Jenderal Dudung mengatakan, dia tidak akan diam. Dia akan memerintahkan anggotanya untuk menurunkan semua baliho Habib Rizieq. Demi menegakkan peraturan, menegakkan hukum. Mantap, Pak Dudung! Seluruh rakyat tentu sangat senang. Pak Pangdam akan turun tangan menegakkan hukum. Terutama hukum tentang baliho. Asyik sekali kalau TNI mau menindak baliho tanpa pandang dulu. Kenapa asyik? Karena banyak sekali baliho yang bermasalah. Ada di mana-mana. Ada “baliho” Dato Sri Tahir (CEO Mayapada) di markas Brimob. Dia diangkat sebagai warga kehormatan korps Brimob, November 2018. Bahkan, keberadaan Tahir di Brimob kelihatannya lebih “dalam” dari sekadar baliho benaran. Terus, ada pula “baliho” Joko Tjandra (JT) di mabes Polri. Saking besarnya “baliho” yang dipasang Joko, sampai-sampai tiga jenderal polisi tersungkup megap. Tidak hanya di Polri, JT juga memasang “baliho” di gedung Kejaksaan Agung. Lagi-lagi, “baliho” Joko Tjandra di Kejaksaan Agung berukuran raksasa. Biaya pembuatannya sangat besar. Puluhan miliar. Mungkin ratusan. Begitu besarnya “baliho” JT itu, sampai-sampai gedung Kejaksaan Agung terbakar hangus seluruhnya karena terbungkus total. Konon, kabarnya, ada puntung rokok di dekat “baliho” itu. Ludeslah seluruh gedung. Para superkaya lainnya pastilah juga memasang “baliho”. Di banyak lokasi strategis. Terutama di gedung-gedung yang bisa memberikan jaminan keamanan dan kenyamanan. Gedung-gedung yang ‘menyewakan’ papan “baliho” untuk para superkaya itu. Selain Dato Sri Tahir dan Joko Tjandra, ada pula artis kondang, NikMir, yang juga ikut memasang “baliho” di berbagai posisi penting. Termasuk di sekitar Jalan Trunojoyo, Jakarta. Kabarnya, “baliho” si artis ini bagus cetakannya. Mulus dan tajam. Pixel-nya tinggi. Membuat orang-orang yang berada di sekitar “baliho” NikMir menjadi segar-bugar. Pokoknya, di Jalan Trunojoyo banyak sekali peminat “baliho” artis ini. Nah, semau “baliho” itu melanggar aturan. Pasti. Jadi, cukup banyak yang harus ditertibkan oleh TNI di bawah komando Mayjen Dudung. Pak Pangdam tentu tahu bahwa “baliho” Dato Sri Tahir di markas Brimob itu sangat memalukan. Tidak saja memalukan Jakarta, tetapi seluruh rakyat Indonesia. Bayangkan, gara-gara “baliho” ini banyak orang yang menyangka Dato Tahir itu “pembina” Brimob. Malu, kan! Pak Pangdam harus menurunkan “baliho” ini. Begitu juga “baliho” yang dipasang Joko Tjandra di Mabes Polri dan Kejaksaan Agung. Ukurannya superbesar. Pak Dudung harus bantu Polisi mencopot “baliho” Joko Tjandra itu. Tiga jenderal menjadi korban tertimpa “baliho” JT. Begitu juga “baliho” NikMir. Harus ditindak oleh Pak Pangdam. Soalnya, “baliho” ini mengiklankan ‘lontong telur’. Apa iya pantas ‘lontong telur’ diklankan di Jalan Trunojoyo. Jalan ini ‘kan dihuni oleh orang-orang yang terhormat, Pak Dudung. Sangat memalukan. Lontong telur itu ‘kan makanan jalanan. Cepat basi. Baik, Pak Panglima. Itu saja dulu. Sebenarnya banyak “baliho” ilegal yang dipasang di gedung-gedung penting lainnya. Yang memasang tentu orang-orang yang punya banyak duit. Sebab, di tempat-tempat strategis itu “pajak”-nya bertarif tinggi. Puluhan miliar sampai ratusan miliar. Rakyat akan menyimak para Pangdam lainnya dalam tugas menegakkan hukum. Khususnya, pencopotan semua “baliho” milik orang-orang superkaya. Pak Pangdam jangan khawatir. Seluruh rakyat mendukung tindakan Anda mencopot semua “baliho” itu. Cuma, “baliho” mereka itu berat menumbangkannya, Pak. Tiangnya kukuh dan banyak.[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)