ALL CATEGORY

Angkuh Ketika Berkuasa, Menyesal Setelah Pensiun

by Asyari Usman Jakarta FNN – Ahad (22/11). Banyak sekali contoh orang-orang yang bersikap angkuh, sombong, dan sok kuat ketika mereka sedang berkuasa. Tetapi, begitu pensiun, barulah tersentak bahwa kekuasaan yang diangkuhkan itu akhirnya hilang juga. Fisik pun melemah dan makin lemah. Anak-buah yang selama ini selalu “siap-gerak!”, tidak ada lagi. Kemarin masih Panglima TNI, Pangkostrad, Pangdam, Danjen, Kapolri, Kapolda, Kabareskrim, dan lain sebagainnya. Hari ini bisa lepas semuanya. Tidak ada lagi bintang di bahu. Tidak ada lagi hormat di gerbang. Sirna sudah semua kehebatan yang dibangun selama puluhan tahun itu. Kini, usia mencapai 58 tahun. Posisi hebat itu diduduki orang lain. Sebentar lagi 60 tahun. Setelah itu, perlahan menuju liang kubur. Sampailah saatnya Malaikat Maut datang memenuhi perintah Pemilik Nyawa dan janji ajal. Semua tanda pangkat yang dibangga-banggakan selama masih berdinas aktif. Berbagai penghargaan yang disematkan di dada, ternyata tidak dihitung oleh Pencabut Nyawa. Bahkan, meminta untuk penundaan sedetik pun tidak dipenuhi. Malaikat Maut datang dengan tampilan yang sesuai dengan cara hidup orang yang akan diakhiri hayatnya. Kalau tempohari sombong, mengancam-ancam, apalagi sampai mengatakan, “Jangan coba-coba ganggu, saya panglimanya, akan saya hajar nanti”. Maka kelak si Pencabut Nyawa (Izrail) akan datang dengan gaya angkuh juga. Seramnya, keangkuhan Izrail tidak bisa dilawan oleh siapa saja. Masih aktif, segar-bugar, dengan pangkat jenderal penuh pun tak sanggup menatap Izrail. Apalagi cuma seorang pensiunan yang terbaring lemah. Yang tak bisa lagi berkata-kata. Tak juga bisa lagi meneguk setetes air. Panser, senjata laras panjang, pasukan gagah-berani yang dipamerkan semasa hidup dulu, ternyata hari ini tidak bisa menolong Jenderal Angkuh (Purn) ketika dia menghadapi sakaratul maut. Jenderal yang 30 tahun silam mengucapkan “Saya panglimanya”, hari ini diantarkan ke liang lahat. Paling-paling penghormatan terakhirnya diberikan dalam bentuk tembakan salvo di upacara pemakaman. Setelah itu, Jenderal Angkuh (Purn) harus menjalani proses identifikasi di depan Munkar dan Nakir. Inilah dua malaikat yang bertugas untuk menanyakan beberapa hal fundamental kepada Jenderal Angkuh (Purn). Mereka tidak menanyakan berapa bintang yang dulu melekat di bahu. Tidak juga bertanya tentang harta-benda dan tanda jasa. Di liang kubur, Jenderal Angkuh (Purn) akan menjalani interogasi yang mengerikan. Kedua malaikat itu akan berwujud sangat menakutkan. Mereka lebih angkuh, lebih seram, dan lebih brutal dari sang jenderal. Jika catatan keangkuhan mendominasi riwayat hidup, maka bisa dipastikan perjalanan berikutnya akan sangat berat. Begitu sabda Nabi. Interogasi kuburan yang penuh horor itu baru sekadar “starter” saja. Estafet berikutnya adalah alam penantian. Di alam yang disebut “barzakh” itu, kepada setiap orang akan ditunjukkan destinasi finalnya. Diperlihatkan pagi dan petang. Orang yang angkuh, sombong dan memusuhi perjuangan di jalan Allah, akan melihat di mana dia akan menjalani “rehabilitasi”. Penyandang kesombongan dan keangkuhan adalah orang yang sangat dimurkai Allah ‘Azza wa Jalla. Jadi, wahai orang-orang yang masih segar-bugar dengan kekuasaan yang besar. Anda tak perlu tamasya spiritual ke alam ghaib untuk menelusuri tempat kembali orang-orang yang sombong. Anda cukup merasapi penderitaan batin orang-orang yang angkuh ketika berkuasa, tetapi menyesal setelah pensiun. Menyesal tidak melakukan ini dan itu. Menyesal telah menzalami para pejuang keadilan. Menyesal menghalangi perjuangan. Menyesal, menyesal, dan menyesal tak bersambut. Hingga Malaikat Maut datang menjeput. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Pangdam Jaya Datang, Nikita Mirzani Menghilang

by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Sabtu (21/11/. Dari perspektif komunikasi politik, sikap keras Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman terhadap Habib Rizieq Shihab (HRS) dan FPI, merupakan berkah bukan musibah. Semakin keras sikap Pangdam Jaya, berkah semakin bertambah. Mulai dari penurunan baliho, apalagi kemudian pernyataan Pangdam Jaya “kalau perlu FPI dibubarkan!” Bayangkan apa yang terjadi kalau Pangdam Jaya tidak segera beraksi. Bagaimana dengan nasib HRS dan FPI? Dari sisi komunikasi politik, sesungguhnya posisi HRS dan FPI dalam beberapa hari terakhir, sedang sangat tertekan. Terjadi brand damage! Citranya sedang anjlok, babak belur karena perseteruannya dengan perempuan sensasional bernama Nikita Mirzani (Nikmir). Padahal sebelumnya, kepulangan HRS yang disambut ratusan ribu —ada yang menyebutnya mendekati jutaan—pendukungnya, membuat dunia ternganga! Istana dan intelijen negara, dibuat terkaget-kaget dengan datangnya massa yang berduyun-duyun. Banyak yang menggambarkan, suasananya seperti jemaah haji yang sedang berjalan kaki hendak melempar jumroh di Mina. Bikin bulu kuduk berdiri. Merinding! Namun hanya karena sorang Nikmir dianggap menghina, dan secara reaktif direspon pendukung HRS, opini publik jadi sontak berubah. Sangat disayangkan HRS kemudian juga ikut-ikutan menanggapinya. Menggunakan kosa kata yang tidak pas di telinga. Para buzzer segera bekerja dan pesta pora. HRS dan pendukungnya benar-benar berada dalam tekanan. Kalangan yang semula bersimpati dengan HRS juga ikut menyesalkannya. Peristiwa drama politik besar. Seorang tokoh pulang ke Tanah Air, disambut secara luar biasa oleh para pendukungnya. Berubah menjadi drama komedi. Layaknya sebuah reality show yang konyol. Perempuan sekelas Nikmir, yang semula hanya beredar di akun-akun gosip, tiba-tiba menyeruak masuk ke panggung percakapan politik nasional. Video dan ucapannya yang sebagian besar tidak senonoh, tiba-tiba wora-wiri di group-group pertemanan. Mulai dari WG bapak-bapak, emak-emak, sampai anak-anak. Video-videonya yang hot, menjadi hot issue. Ibarat seorang stricker, Nikmir berhasil memporak-porandakan pertahanan HRS seorang diri. Orang Jawa menyebut ribut-ribut antara HRS, pendukungnya dengan Nikmir dalam sebuah frasa “”Menang orang kondang. Kalah malah dadi wirang!” Menang tidak bikin tambah populer. Kalau kalah malah bikin malu.” HRS dan Nikmir memang tidak selevel. Maqomnya jauh beda. Jadi tidak seharusnya saling berlaga. Untung ada Pangdam Jaya Untung saja Pangdam Jaya tiba-tiba datang. Dengan berbagai aksinya, membuat konstelasi berubah total. Pembicaraan dan mood public langsung berubah. Isu Nikmir langsung ke laut. Sebagian besar mungkin malah sudah lupa. Jadilah perbincangan di media sosial, berubah total 180 derajat! Opini, artikel, dan terlebih lagi meme bertebaran di media sosial. Mulai dari yang sangat serius, khawatir kembalinya Dwifungsi TNI, sampai hal-hal konyol menertawakan perilaku, tindakan, dan ucapan Pangdam.HRS dan FPI kembali berada di atas angin. Ibarat pertandingan tinju mendapat second win. Dari semula nyaris dipukul KO, berubah menjadi menekan dan memenangkan perebutan opini publik. Memerintahkan prajurit mencopoti baliho HRS, apalagi dikawal dengan kendaraan tempur, memang sangat berlebihan. Melewati batas. Bukan merupakan tugas pokok dan fungsi TNi sebagai alat pertahanan negara. Yang lebih mengagetkan Pangdam Jaya sampai bicara “kalau perlu FPI dibubarkan!” Pangdam sebagaimana dikatakan anggota DPR RI dari Gerindra Fadlizon sudah offside. Bahkan melakukan pelanggaran berat, karena sudah masuk ke ranah politik. Karena itu layak dicopot! Sebuah sikap yang selama dua dasa warsa terakhir benar-benar dijaga oleh TNI. Wajar kalau banyak senior purnawirawan tinggi TNI uring-uringan. Politisi, para pengamat, dan aktivis koalisi masyarakat sipil yang belum tentu mendukung HRS, tiba-tiba bangkit bersatu. Isu kembalinya TNI ke panggung politik, day today politics, benar-benar menjadi tabu besar ( big taboo ) dalam sebuah negara demokrasi. Sikap dan wacana yang dilontarkan Pangdam Jaya ini secara politik, juga sangat merugikan citra politik Presiden Jokowi. Sebelum Pangdam beraksi, pengamat internasional banyak yang khawatir dengan kecenderungan pemerintahan Jokowi berubah menjadi otoritarian. Tanda-tandanya sangat banyak. Sekarang ditambah lagi dengan aksi Pangdam Jaya. Tak perlu kaget bila istana melalui juru bicara KSP Donny Gahrial Adian segera turun tangan. Bikin clear suasana. Presiden, kata Donny, tidak pernah memerintahkan pembubaran FPI. Nah kalau begitu atas perintah siapa?Frasa “Menang ora kondang, kalah malah dadi wirang,” kini berlaku juga untuk Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman. Mosok prajurit TNI dihadap-hadapkan dengan laskar FPI. Tidak level lah. Kasihan prajurit TNInya. So HRS dan FPI berterima kasih lah kepada Pangdam Jaya! Btw kelihatannya bukan hanya HRS dan FPI yang perlu berterima kasih. Polri juga harus sangat berterima kasih. Kini mereka tidak hanya sendirian berjuang menghadapi stigma negatif dari rakyat! Marhaban Bapak Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman. End Penulis, wartawan senior FNN.co.id

Pak Dudung, Yang Merusak Negara Ini Bukan Habib Rizieq Tapi Oligarkhi Cukong

by Asyari Usman Jakarta FNN - Sabtu (21/11). Pangdam Jakarta Raya Mayjen Dudung Abdurrachman mengultimatum FPI, dan tentunya juga Habib Rizieq Syihab (HRS). Agak ngilu tulang mendengar ucapan yang bernuansa keangkuhan dari lisan Pak Dudung. Beliau lebih-kurang mengatakan agar FPI jangan coba-coba mengganggu persatuan DKI. “Saya panglimanya. Saya akan hajar nanti,” kata Pak Dudung yang berdiri di podium. Di belakang jenderal berbintang dua ini berdiri ratusan personel TNI yang tentunya siap dikerahkan untuk merealisasikan ultimatum Panglima. Pak Dudung juga sangat ‘gentlemen’. Dia mengakui dengan tegas bahwa dialah yang memerintahkan pencopotan baliho HRS di salah satu kawasan yang tak jauh dari markas FPI di Petamburan, Jakarta Pusat. Dari rangkaian ‘ceramah’ Pak Dudung yang sedang viral itu, tidaklah keliru kalau orang menyebutnya sebagai pamer kesombongan. Atau unjuk keangkuhan. Cuma, pamer keangkuhan itu terasa tidak berimbang dengan kondisi HRS dan para anggota FPI. Habib Rizieq bukanlah siapa-siapa kalau dibandingkan dengan “hardware” (perangkat keras) yang dimiliki TNI. Jangankan sekadar menurunkan balihonya, Pak Dudung bahkan bisa membungkam Habib kapan saja. Sebab, Imam Besar FPI itu tidak punya pasukan perang seperti yang Pak Dudung miliki. Tetapi, Pak Dudung perlu buka-buka catatan tentang siapa yang merusak negara ini. Tentang siapa yang mengancam persatuan bangsa ini. Kalau Pak Dudung punya catatan yang akurat, Anda pasti akan menemukan bahwa yang merusak bangsa dan negara ini bukan HRS dengan FPI-nya. Yang menghancurkan negara ini adalah oligarki cukong. Gerombolan para pemodal bejat yang membeli siapa saja yang bersedia menjual kekusaan. Habib Rizieq tampil untuk melawan gerombolan yang merusak itu. Beliau juga hanya bisa berteriak-teriak dengan mikrofon. Tidak lebih. Habib tak memiliki lembaga penegak hukum. Dia cuma bisa berorasi untuk membangkitkan semangat para pejuang keadilan. Semangat untuk mencegah kerusakan yang lebih parah akibat ulah para cukong itu. Jadi, Habib Rizieq dan para relawannya yang tersebar di seluruh Indonesia itu berjuang untuk menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat tanpa kecuali. Mereka bukan berjuang untuk memperkaya diri. Bukan pula untuk menang sendiri. Pun bukan untuk menunjukkan ‘benar sendiri’ seperti yang Pak Dudung katakan. Puluhan tahun mereka tekuni perjuangan itu. Di sana-sini tentulah ada berbagai kekeliruan kecil yang terjadi. Yang bisa dihadapi secara profesional dan proporsional. Jika Pak Dudung menganggap HRS dan FPI sebagai musuh, bagaimana lagi Anda akan melihat para penjarah kekayaan rakyat di kasus-kasus seperti skandal BLBI, skandal Century, skandal Joko Tjandra, korupsi ratusan triliun di Jiwasyara, Pertamina, PLN, Sumber Waras, TransJakarta, dlsb? Belum lagi skandal perburuan tambang emas, batubara, nikel, dst. Jadi, Pak Dudung, jelaslah bahwa yang merusak negara ini bukan Habib Rizieq beserta FPI. Melainkan para cukong dan pemilik kekuasaan yang melacurkan diri mereka.[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)

Terpapar Covid-19, Ustadzah Kingkin Masih Mendekam di Rutan Bareskrim

by Mochamad Toha Jakarta FNN - Jumat (20/11). Kuasa Hukum Ustadzah Kingkin Anida dari Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PAHAM) Indonesia Cabang DKI Jakarta mengungkapkan nasib kliennya yang hingga kini, 18 November 2020, masih ditahan di Rutan Bareskrim Polri. Padahal, berdasarkan informasi dari Ustadzah Kingkin Anida dan informasi dari keluarganya, bahwa pada 11 November 2020 telah dilakukan tes Swab di Rutan Bareskrim Polri, hasil tes menyatakan Ustadzah Kingkin Anida positif Covid-19. “Sejak dinyatakan positif Covid-19, Ustadzah Kingkin Anida masih tetap ditahan di Rutan Bareskrim Polri, tidak dibantarkan di Rumah Sakit oleh Penyidik,” kata Nurul Amalia, SH, MH dalam rilisnya. Berbeda halnya dengan tahanan lain yang sudah dibantarkan di RS Polri, termasuk tahanan yang berusia lebih muda dari Ustadzah Kingkin. Padahal, Ustadzah sudah berusia 54 tahun, memiliki hipertensi dan sering batuk-batuk dua minggu terakhir ini. Tim Kuasa Hukum Ustadzah Kingkin dan suaminya (Satria Hadi Lubis) sudah mengajukan surat permintaan pembantaran pada Senin, 16 November 2020 kepada Kapolri, Kabareskrim dan Direktur Tindak Pidana Siber (Brigjen Pol. Slamet Uliandi). “Ada dua surat yang sudah diajukan, yaitu atas nama Kuasa Hukum Ustadzah Kingkin Anida dan atas nama keluarga beserta surat pernyataan penjaminannya,” ungkap Nurul Amalia. Tapi, hingga Rabu, 18 November 2020, Ustadzah Kingkin masih belum dibantarkan juga ke Rumah Sakit. “Ini merupakan perlakuan tidak adil, melanggar HAM dan kemanusiaan. Kuasa Hukum dan suami Ustadzah Kingkin juga sudah menghubungi para penyidik agar segera dibantarkan, tapi belum ada respon positif dari penyidik. Ustadzah Kingkin sejak 4 November 2020 sudah mendaftarkan Permohonan Praperadilan, dan sidang Praperadilan perdana akan digelar pada Senin, 23 November 2020, di PN Jakarta Selatan, dengan perkara nomor: 136/Pid.Pra/2020/­PN.Jkt.Sel. Menurut Nurul Amalia, Ustadzah Kingkin beserta keluarganya melalui kuasa hukumnya, selalu berjuang dengan gigih untuk menegakkan keadilan dan HAM. Seluruh jalur hukum akan ditempuh menuntut keadilan dan melawan kesewenang-wenangan aparat penegak hukum itu, semata-mata demi menyelamatkan nyawa Ustadzah dari bahaya Covid-19 karena tidak dibantarkan ke Rumah Sakit dan demi menegakkan kebenaran formil serta materil. “Apabila Penyidik tidak juga membantarkan Ustadzah Kingkin, maka Polri telah melakukan pelanggaran HAM dan melanggar Protokol Kesehatan Covid-19,” tegas Nurul Amalia. Ia pun mengutip pernyataan Presiden Joko Widodo: “Saya ingin tegaskan bahwa keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi”. Sebagaimana diberitakan, Ustadzah Kingkin ditangkap pada 10 Oktober 2020 pukul 13.30 WIB di Tangerang Selatan karena dianggap telah melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terkait Omnibus Law. Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Polisi Awi Setiyono mengatakan, pendakwah Ustadzah Kingkin Anida ditetapkan sebagai tersangka setelah menjalani pemeriksaan selama 1x24 jam. “Kalau yang (ditangkap) di Tangsel ini sudah 1x24 jam diperiksa, sudah ditahan (berstatus tersangka),” kata Awi kepada wartawan, Selasa 13 Oktober 2020. Awi mengungkapkan bahwa para tersangka diancam dengan pasal 45 A ayat 2 UU RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE dan/atau Pasal 160 KUHP tentang Penghasutan. “Ancaman pidananya, yang UU ITE enam tahun pidana penjara dan penghasutan ancaman pidananya juga enam tahun penjara,” tutur Awi. Ustadzah Kingkin merupakan salah satu kader Partai Kesejahteraan Sosial (PKS). Ia pernah mencalonkan diri sebagai Caleg DPR RI dari Dapil Banten 3 pada Pemilu 2019. Ustadzah Kingkin juga diketahui sering menjadi pemateri tausiyah dalam berbagai pengajian. Ia disebut-sebut sebagai salah satu dari 8 petinggi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) ditangkap dan dijerat pasal UU ITE. Dari delapan petinggi tersebut, salah satunya berasal dari Kota Tangerang Selatan bernama Ustadzah Kingkin Anida. Ustadzh Kingkin adalah warga di salah satu komplek di Kelurahan Kademangan, Kecamatan Setu, Tangsel. Di komplek tersebut, ia dikenal sebagai Ustadzah yang bahkan sering mengisi pengajian di majelis ta'lim di daerah tersebut. Reaksi datang dari Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid yang menyebut Ustadzah Kingki Anida adalah korban hoaks. Hidayat juga menyebut Ustadzah Kingkin sebagai tokoh anti anarki dan sudah selayaknya dibebaskan. Seperti dilansir SeputarTangsel.com, Hidayat mengungkapkan hal tersebut, menanggapi unggahan Twitter dari akun @UusRsd yang mengomentari terkait penangkapan Ustadzah Kingkin Anida. Akun @UusRsd memposting ulang unggahan Divisi Humas Polri dalam akun Facebook-nya yang ternyata pernah memberikan apresiasi kepada Ustadzah Kingkin Anida atas aksinya yang mendukung demonstrasi yang sejuk dan damai. “Divisi Humas Mabes Polri melalui akun Facebook resminya ternyata pernah memberikan apresiasi kepada Ustadzah Kingkin Anida atas kontribusi beliau dalam mendukung demonstrasi sejuk dan damai,” tulis akun @UusRsd pukul 09.44, Sabtu 17 Oktober 2020. Dalam unggahan FB Divisi Humas Polri itu terlihat foto Ustadzah Kingkin memberikan bunga kepada para petugas Brimob yang menjaga demo damai pada 22 Mei 2019. “Ciptakan Demonstrasi Sejuk dan Damai. -Ramadan Untuk Perdamaian-. Potret seorang demonstran yang memberikan bunga kepada petugas kepolisian yang mengawal jalannya aksi demonstrasi di Depan Gedung Bawaslu, Jakarta Pusat,” tulis akun Divisi Humas Polri itu. Menanggapi cuitan @UusRsd tersebut, Hidayat Nur Wahid mengatakan, Ustadzah Kingkin itu pendukung demonstrasi yang sejuk dan damai. Bahkan, lanjut politisi PKS ini, Ustadzah Kinkin merupakan korban hoaks yang layak diayomi. “Maka sudah benar #BebaskanBuKinkin. Aktifis kemanusian yang trackrecordnya dukung demonstrasi yg sejuk dan damai. Beliau anti anarkhi. Bunga lambing damai dari beliau pernah diterima Polisi. Beliau korban hoax yg layak diayomi”. Begitu cuit Wakil Ketua MPR RI 2019-2024 ini melalui akun Twitter @hnurwahid, Sabtu 17 Oktober 2020. Berdasarkan hasil pemeriksaan Swab pada Rabu, 11 November 2020, di Rutan Bareskrim Polri, hasil tes menyatakan Ustadzah Kingkin Anida positif Covid-19. Menjadi tak manusiawi jika Bareskrim Polri tidak merujuk Ustadzah Kingkin ini dirawat di Rumah Sakit Rujukan Covid-19! Penulis, wartawan senior FNN.co.id

Maaf, Saya Malu Lihat Pangdam Jaya Urus Baliho

by Ubedilah Badrun Jakarta FNN – Jum’at (20/11). Ribut penurunan baliho Habib Rizieq Shihab (HRS) oleh TNI akhirnya diakui juga oleh Pangdam Jaya. Bahwa penurunan baliho HRS itu atas perintah Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman. Saya mencari data sebentar apa penyebabnya? Apakah ada kemungkinan karena pernyataan HRS yang menyinggung soal sanksi terhadap prajurit TNI yang mengekspresikan dirinya menyambut kembalinya HRS ke Tanah Air? Tersinggung itu wajar. Karena narasi HRS kadang memang kebablasan. Mungkin juga karena HRS tidak bisa menutupi kekecewaanya pada keputusan institusi TNI. Di sisi lain saya kira HRS perlu diingatkan juga agar narasinya termanage dengan baik. Meski demikian, saya kira hak HRS untuk berpendapat tidak boleh juga dibungkam. Adapun Pangdam Jaya sebenarnya punya cara untuk menegur HRS. Bisa dilakukan dengan pendekatan yang lebih dialogis. Dalam terminologi sosiologi, pendekatan dialogis dalam menyelesaikan suatu problem sosial dan lain-lain adalah cara yang paling rasional. Bukan dengan pendekatan kekuasaan. Sebab dalam sejarahnya, pendekatan kekuasaan tidak juga bisa menyelesaikan masalah. Tetapi entah kenapa langkah Pangdam Jaya ini justru memicu keributan baru. Bahkan kini membentuk opini baru dengan ekspresif memerintahkan prajuritnya untuk menurunkan baliho HRS. Ada yang merekamnya dan tersebar di media sosial. Tentu ini memicu reaksi baru dari para pengikut HRS dan menimbulkan kegaduhan politik baru. Saya coba cermati langkah dan perintah Pangdam Jaya ini dalam perspektif ketentaraan. Tampaknya ini baru yang pertama kali terjadi dalam sejarah TNI. Sebuah institusi penting negara sekelas TNI, perlu berurusan soal baliho di jalanan. Jika melihat TNI, saya kira kita mesti melihat regulasinya. Aturan mainnya bagaiman? Terus Undang-Undang yang mengaturnya bagaimana? Nah menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI, khususnya pada pasal 7 ayat (1), tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara. Masih di pasal yang sama, tugas TNI lainnya adalah mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Saya mencermati, Pangdam Jaya terlalu menurunkan marwah TNI, jika TNI hanya berurusan soal Baliho. Bukankah penertiban baliho itu menjadi urusannya Satpol Pamong Praja (PP) daerah setempat? Mestinya jika Pangdam Jaya merasa tersinggung dengan narasi HRS, dan dengan Baliho HRS, bukankah Pangdam Jaya bisa bicara atau berkomunikasi dengan Gubernur DKI untuk memerintahkan satpol PP. Dalam konteks itulah, saya sebagai akademisi yang di antaranya fokus pada studi tentang dinamika sosial, gerakan masyarakat sipil, dan soal kebangsaan malu melihatnya. TNI gaduh hanya karena berurusan dengan baliho. Penulis adalah Akademisi Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Mendagri Tito Menteror Kepala Daerah

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Jum’at (20/11). Kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS) sangat fenomenal. Peristiwa ini telah menyentak dan menggetarkan kekuasaan. Berdampak pada rencana pemeriksaan HRS, tokoh-tokoh yang hadir di pernikahan, serta pemanggilan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Tuduhannya ialah pelanggaran terhadap protokol kesehatan. Dasarnya UU Kekarantinaan Kesehatan. Sanksi pidana pun diancamkan. Padahal dari awal pandemi corona bulan Maret 2020, pemerintah sangat alergi untuk memberlakukan UU Kekarantinaan Kesehatan. Bahkan pemerintah menolak untuk berlakukan lockdown sesuai permintaan Gubernur Anies. Anies diperiksa Polda Metro Jaya selama sepuluh jam. Bahasa panggilan adalah klarifikasi. Tetapi dengan "sepuluh jam" waktu yang diperlukan untuk melakukan klarifikasi, maka konklusinya sangat jelas dan terang sebagai "pemeriksaan". Karena di depan penyidik, Anies menandatangani semacam Berita Acara. Pakar melihat bahwa Pasal 93 UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang digunakan polisi untuk menyerang Gubernur Anies merupakan suatu penyimpangan. Sebab kerumunan orang banyak di suatu tempat tidak bisa dijadilan alasan untuk dihukum secara pidana di tengah kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Karenanya upaya memanggil Anies oleh Kepolisian Metro Jaya dinilai sangat mengada-ada. Mencari-cari alasan semata. Hasilnya kemungkinan akan gagal. Sebab ketakutan penguasa kepada popularitas Anies sebagaimana ketakutan pada HRS sangat terasa. Pencopotan Anies nampaknya menjadi agenda. Alasan apapun harus dicari-cari pembenarannya. Tiba tiba saja Mendagri Tito Karnavian yang mantan Kapolri membuat Instruksi No 6 tahun 2020, yang berisi 6 butir berkaitan dengan kerumunan dan covid 19. Yang dinilai "paling mengarah" adalah butir 3, dimana Kepala Daerah dilarang untuk ikut kerumunan yang berpotensi melanggar protokol kesehatan. Demikian pula pada butir 4, yang menegaskan berdasarkan UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Bahwa Kepala Daerah harus mengikuti seluruh ketentuan perundang-undangan. Butir 5 menyatakan Kepala Daerah yang melanggar Undang-Undang dapat diberhentikan. Bahwa Kepala Daerah yang melanggar UU dapat diberhentikan merupakan hal yang sangat normatif. Persoalannya adalah bahwa cara memberhentikan harus dilakukan menurut UU pula. Bukan dengan interpretasi Presiden. Apalagi cuma Mendagri. Memangnya Mendagri mau mengambil alih kewenangan DPRD dan Mahkamah Agung tentang tata cara pemberhentian kepala daerah yang diatur dalam UU Nomor 23/2014? Pemanggilan oleh Kepolisian Metro Jaya kepada Gubernur DKI Anies Baswedan, yang dilanjutkan dengan terbitnya Instruksi Mendagri, yang mengancam pemberhentian kepala daerah sangat mengesankan bahwa instruksi ini merupakan teror bagi para Kepala Daerah. Mendagri menteror para kepala daerah yang tidak disukai oleh penguasa sekarang. Kepala Daerah itu dipilih oleh rakyat. Karenanya tidak bisa diberhentikan oleh Presiden. Apalagi Cuma kelas Mendagri. Proses yang harus ditempuh harus melalui wakil rakyat di lembaga DPRD, baik itu yang didahului dengan Putusan Pengadilan atau tidak. Mendagri seolah-olah hendak mengambil oper kewenangan DPRD dan Mahkamah Agung saja. Seluruh Gubernur dan Bupati/Walikota seluruh Indonesia terancam oleh penyimpangan kewenangan Mendagri ini. Selayaknya seluruh Kepala Daerah melakukan protes keras. Terkesan bahwa Mendagri adalah pejabat suci yang bisa seenaknya menghukum berdasarkan tafsir sendiri "melanggar UU". Instruksi Mendagri No 6 tahun 2020 harus dicabut atau diadukan ke Mahkamah Agung untuk diuji materil. Instruksi ini bentuk lain dari manipulatif. Seolah-olah menegakkan UU. padahal sebenarnya adalah melanggar UU. Ngawur dan ngaco bangat Mendagri Tito. Di negara demokrasi yang berkedaulatan hukum, tidak boleh ada kebijakan politik yang memperalat hukum. Jika ada pejabat yang melakukan demikian dengan maksud teror kepada pihak lain, maka pejabat tersebut pantas untuk disebut sebagai teroris. Dan kita telah sepakat bahwa segala bentuk terorisme haruslah dibasmi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Mendagri Tito Ambil Wewenang DPRD & Mahkamah Agung?

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (20/10). Masa pandemi corona memberi ruang pemerintahdan DPR untuk membuat UU kontroversial. Perppu Corona (No 1/2020) yang diperkuat men jadi UU No 2/2020 telah memberi kebebasan untuk menggunakan anggaran Rp 905 triliun tanpa bisa dituntut secara pidana, perdata dan TUN. Huebat kan! Selain UU Corona, lahir pula UU Minerba. Lagi-lagi, UU ini kontroversial. Sebab, sejumlah pasal dianggap berpotensi merugikan rakyat. Misalnya, terkait kewenangan membuka lahan tambang dengan cara membakar hutan. Selama ini, masyarakat di sekitar hutan banyak direpotkan oleh kebakaran lahan. Sekarang, UU Minerba justru membolehkannya. Kacau-balau kan? Sempat juga RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) akan disahkan. RUU yang dicurigai berhaluan komunis ini akhirnya ditunda setelah mendapat penolakan masif, terutama dari MUI dan ratusan ormas-ormas Islam. Meski tetap ada ruang untuk dibahas kembali dan disahkan di kemudian hari. Sebab, RUU ini belum dicabut dari Prolegnas Prioritas DPR. Yang terkini adalah UU Omnibus Law Cipta Kerja. Meski dianggap cacat formil dan materiil, tetap saja disahkan. Presiden pun menandatangani, meski draft UU itu masih bermasalah. Ini bukan saja telah memperlihakan tata kelola negara kacau-balau. Tetapi juga amburadul. Mengapa sejumlah UU tersebut kontroversial? Terutama karena kelahirannya tidak melibatkan rakyat dalam proses pembahasan. Terkait masalah ini, pandemi corona selalu dijadikan alasan. Pembahasan dipercepat. Nampak kerja yang super kilat. Lalu disahkan dengan tergesa-gesa. Bahkan banyak anggota fraksi yang belum sempat membaca. Semoga Pak Presiden sudah baca sebelum beliau tanda tangan. Segala bentuk protes yang melibatkan massa dilarang. Setidaknya dihalang-halangi dan dihambat karena alasan pandemi corona. Melanggar protokol kesehatan, katanya. Klise dan mengada-ada saja. Karena penghadangan massa juga sering terjadi sebelum pandemi. Akhir-akhir ini, PSBB diperketat. Kapolri bahkan memberhentikan dua Kapolda, yaitu Kapolda Metro Jaya dan Kapolda Jawa Barat. Juga dua Kapolres, yaitu Kapolres Jakarta Pusat dan Kapolres Bogor. Mereka dianggap tidak tegas terhadap adanya kerumunan. Kerumunan siapa? Masyarakat tahu jawabannya. Mendagri Tito Karnavian juga memberi instruksi bahkan mengancam akan memecat kepala daerah yang membiarkan terjadinya kerumunan di wilayahnya. Publik bertanya, mengapa mendadak semua pejabat bicara PSBB diperketat? Bukannya selama ini program "New Normal" yang dielu-elukan dan dipercaya sebagai malaikat penolong? Anehnya, kepala daerah yang berupaya untuk menerapkan PSBB dengan ketat, malah dikritik dan diberi peringatan. Dianggap sok-sokan. Dituduh menghambat pertumbuhan ekonomi yang sedang berupaya dinormalkan. Mengapa sekarang berbalik? Ada apa Pak Tito? Pemerintah ko pagi tempe, sore dele? Anies Baswedan, Gubernur DKI yang dari awal konsen untuk usulkan karantina wilayah dan PSBB ketat, justru selalu menghadapi penolakan. Sekarang, ketika kerumunan terjadi dimana-mana, Anies justru dipanggil Polda Metro Jaya karena dicurigai membiarkan kerumunan. Tidak saja panggilan Polda, bahkan Mendagri menyinggung soal pemecatan. Ngeri bangat! Mendagri pun akhirnya mengeluarkan instruksi Nomor 6 Tahun 2020 mengenai kewajiban kepala daerah menerapkan protokol kesehatan. Apakah instruksi ini bisa dijadikan dasar pencopotan kepala daerah? Tentu tidak Pak Tito! Urusan copot kepala daerah tetap mengacu pada UU No 23 Tahun 2014. Bukan urusannya Mendagri Pak Tito. Itu urusannya DPRD dan Mahkamah Agung. Memangngnya Mendagri Pak Tito mau ambil alih juga kewenangan DPRD dan Mahkamah Agung? Sebaiknya Mendagri Tito baca lagi berulang-ulang UU Nomor 23/2014 tersebut. Kelihatannya kalau Mendagri Tito tidak memahami ruhnya UU Nomor 23/2014. Sebab di UU itu, kepala daerah dipilih oleh rakyat. Hanya rakyat yang bisa mencabut mandatnya. Bukan presiden. Apalagi cuma Mendagri. Rakyatlah, melalui perwakilan di DPRD, yang bisa memberhentikan bupati, walikota dan gubernur. Itu pun dengan catatan DPRD harus punya cukup alasan jika ingin melakukan impeachmen terhadap kepala daerah. Sebab alasan DPRD itupun akan diuji di Mahkamah Agung (MA). Sampai di Mahkamag Agung inilah, kepala daerah diberi hak untuk melakukan pembelaan. Prosesnya panjang bangat. Bisa lebih dari setahun. Ayo... Pusing nggak? Tapi kalau Mendagri Tito mau coba, ya silahkan saja. Pada akhirnya rakyat yang akan menilai dan mencatat demokrasi model apa yang sedang dipahami Mendagri Tito Karnavian. Presiden hanya bisa memberhentikan "sementara" kepala daerah kalau ada usulan dari DPRD dalam hal kepala daerah menjadi terdakwa dengan ancaman pidana minimal lima tahun. Terjerat kasus korupsi, terorisme atau makar misalnya. Namun, jika tak terbukti di pengadilan, presiden wajib mencabut SK pemberhentiannya itu. Jadi, nggak bisa pakai instruksi Mentdagri aja untuk ancam kepala daerah. Publik membaca, semua ini hanya akibat dari satu sebab. Apa itu? Kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS). Habib Rizieq dikhawatirkan akan terus melakukan konsolidasi massa. Ini sungguh terkesan sangat politis. Tapi pendekatannya seringkali menggunakan pasal-pasal dalam hukum pidana. Karena, pendekatan hukum ini terbukti memang sangat ampuh dan efektif. Fokusnya pada Habib Rizieq. Kerumunan apapun, asal tidak terkait Habib Rizieq, selama ini bebas- dan aman-aman saja. Tidak memiliki konsekuensi hukum apa-apa. Parade Merah Putih di Banyumas, Ulang Tahun Ulama di Pekalongan, rombongan ke KPUD di Solo, pengajian dan walimahan di berbagai tempat, selama ini bisa bejalan dengan bebas. Giliran Habib Rizieq Shihab pulang, dan dijempu oleh ratusan ribu orang, mulailah segala bentuk perlu diberlakukan. Bahkan sangat ketat. Marah sana marah sini. Semua yang terlibat dengan kerumunan massa di sekitar Habib Rizieq menjadi was-was. Begitulah publik memotret situasi sekarang ini. Selama ini, dengan dalih protokol kesehatan dan aturan PSBB, pemerintah punya alasan kendalikan pengerahan massa. Kalau sifatnya hanya untuk menghindari kerumunan, ini baik dan memang harus dilakukan. Dengan catatan, pertama, ini harus berlaku untuk semua. Tanpa kecuali. Tidak tebang pilih. Mesti adil. Namun, jika ini hanya berlaku untuk mereka yang kontra dan kritis terhadap pemerintah, itu sama saja pembunuhan demokrasi. Kedua, kewajiban menjalani protokol kesehatan tidak lantas boleh dimanfaatkan pemerintah, atau juga DPR untuk membuat aturan dan kebijakan tanpa melibatkan aspirasi rakyat. Alasan bahwa rakyat nggak boleh berkumpul karena pandemi, tetapi banyak kebijakan yang dibuat tanpa memperhatikan aspirasi dan kepentingan rakyat, itu sama saja pembunuhan demokrasi dalam bentuk lain. Nampaknya, rakyat telah merasakan mati surinya demokrasi selama ini. Apalagi jika setiap aspirasi yang muncul harus berhadapan dengan ancaman pidana. Makin menakutkan saja. Sayangnya, tekanan tidak membuat rakyat tidak semakin takut. Jangan sampai hukum yang semestinya dibuat untuk melindungi negara dan rakyat justru berubah fungsi jadi musuh demokrasi. Hal ini mesti segera dievaluasi. Jangan gara-gara pandemi, demokrasi mati, dan pemerintah membuat kebijakan semau hati. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Sosio-Engineering Menuju Jambi Kota Bisnis

by Luthfi Pattimura Jambi FNN – Jum’at (20/11). Jambi bukanlah suatu daerah yang baru, atau jauh. Dibentuk sebagai Provinsi Jambi pada tanggal 6 Januari 1956. Sebagaimana daerah lain di Indonesia, hambatan perkembangannya juga datang dan pergi tanpa peringatan. Diantara hambatan dimaksud, ada ramuan kecemasan yang mudah dikenal tatkala kita berada di Jambi. Asap kebakaran hutan misalnya, sering keluar masuk rumah-rumah hingga gedung perkantoran sepanjang Kota Jambi. Juga, banjir di setiap musim hujan. Tulisan ini bukan untuk merinci ongkos lingkungan akibat ramuan kecemasan tersebut. Apalagi untuk merinci Jakarta yang sudah tak lagi memanusiakan orang. Kegemukan Jakarta yang sudah musti dikurangi, sehingga pemindahan ibu kota negara bukan sekedar wacana. Seperti daerah lain dengan pusat-pusat kegiatan yang penting, di era industri dan perdagangan yang makin kompetitif, tulisan ini mengakui, bahwa menggerakkan arus orang dan barang bagi pertumbuhan daerah Jambi juga penting. Begitu Pula upaya untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi di Jambi. Tidak semuanya bergantung pada pergerakan arus orang dan barang. Karena ketahanan air dan pangan nasional menjadi fokus sorotan, maka pembangunan bendungan dan embung di Jambi ikut pula menjadi fokus sorotan. Infrastruktur Air Manjakan Petani Jambi Seperti diketahui, potensi air di Indonesia sebesar 2,7 triliun meter kubik per tahun. Potensi ini cukup tinggi. Dari volume tersebut, air yang bisa dimanfaatkan sebesar 691 miliar meter kubik per tahun. Namun masih sekitar 222 miliar meter kubik per tahun yang dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. “Dengan potensi itu, keberadaannya tidak sesuai dengan ruang dan waktu. Sehingga kita membutuhkan tampungan-tampungan air baru,” kata Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) M. Basuki Hadimuljono. Tujuan jangka panjang dari pembangunan bendungan dan embung/setu yang tidak disangsikan lagi adalah agar air bisa ditampung pada musim hujan. Lalu dimanfaatkan pada musim kemarau. Jatuhnya, akses air ke pemberdayaan potensinya adalah tiket ke ketahanan air dan pangan nasional. Kita tak boleh mengabaikan tiket ke sana itu. Tiket itu sedang dan akan melewati Jambi. Direktorat Jenderal (Ditjen SDA) Kementerian PUPR memang selalu konsisten. Melalui Balai Wilayah Sungai Sumatera (BWSS) VI Provinsi Jambi, yang konsistensi segera setelah para petani musti sejahtera. Pastilah itu. Karena manfaat dari pembangunan bendung, bendungan hingga embung. Dari normalisasi jaringan rawa, hingga sistem pengendali muka air di pintu sungai. Satu lagi, wisata danau, seperti yang kami lihat di sana. Lihat saja pembangunan irigasi sawah Daerah Irigasi (DI) Siulak Deras-Kerinci seluas 5.819 hektar, pembangunan irigasi DI Batang Sangkir seluas 4.169 hektar yang sudah fungsional, kemudian Bendung Batang Asai dan Jaringan Irigasi DI Batang Asai. Juga, pembangunan Embung Desa Bukit dan Embung Danau Pauh-Sarolangun. Yang lain adalah mengamankan 4.000 hektar luas genangan kota Jambi, dengan sistem Flood Management Centre (FMC). Dan pembangunan tempat wisata di Danau Sipin kota Jambi, untuk mengamankan genangan air. Dana APBN yang digelontorkan ke Jambi tiap tahun kian meningkat. Dana ini pastilah menjadi sandaran kesejahteraan hidup petani sawah. Dosen Teknik Univ Batanghari dan Univ Negeri Jambi Ir. M Asmuni Jatoeb,MT. memperkirakan, masyarakat petani kebun akan kembali menjadi petani sawah, kalau luasan irigasi sawah di Kerinci dan Batang Sangkir, bisa dikelola dengan baik. “Kalau tidak, ribuan luas hektar area irigasi sawah itu, siapa yang mau mengelola? Karena selama ini kita lihat banyak masyarakat petani beralih dari petani sawah ke petani kebun,” demikian Asmuni Jatoeb. Masyarakat memang harus terus didorong, dari yang tadinya masyarakat petani kebun kembali menjadi petani sawah. “Jadi kita harus dorong bagaimana masyarakat kembali ke sawah. Perlu sosialisasi ke masyarakat, termasuk melalui pergutruan tinggi, melakukan pengabdian masyarakat. Semua perlu diajak bagaimana melakukan penyuluhan dan sosialisasi ke masyarakat.” Masih menurut Asmuni, Jambi sekarang sudah berkembang. Lihat terutama sejak ada infrastruktur, kota Jambi jadi ikut berkembang. Sekarang telah dicoba dengan berbagai upaya. Kini Jambi berkembang menjadi dua kota dan sembilan kabupaten. Akses transporatsi, dulu mengandalakan transportasi sungai. Dulu di (seberang Batanghari) itu sulit dijangkau dengan transpiortasi darat. Sekarang sudah lancar. Dengan adanya dua balai (Balai Pelaksanaan Jalan Nasional dan Balai Wilayah Sungai), menurut Asmuni, perkembangannya cukup baik. Kendatipun kalau dilihat sepintas, “dalam perencanaan, Kota Jambi masih kurang terencana dengan baik. Lebih tumbuh alami. Tidak terkonsep dengan baik. Akses jalan dibuat oleh masyarakat secara suka-suka”. Dari penanaman modal, perkembangan lima tahun terahir di Jambi, bisa kita lihat pada kehadiran hotel bintang lima dan lima. “Pesat sekali. Balai sungai juga mengembangkan salah satunya Danau Sipin. Dana yang tadinya terbengkalai, kini menjadi obyek wiiata baru. Potensi sumberdaya airnya besar sekali. Cuma masih terkendala dengan akses jalan.” Karena selama ini kita lihat banyak masyarakat petani beralih dari sawah ke petani kebun, maka perlu didorong supaya masyarakat kembali ke sawah. Caranya, antara lain perlu sosialisasi ke masyarakat, khususnya melalui Perguruan Tinggi. Kegiatan pengabdian masyarakat. Perguruan Tinggi perlu diajak bagaimana melakukan penyuluhan dan sosialisasi ke masyarakat. Demikian sosialisasi seperti diakui PPK Irigasi dan Rawa I Satuan Kerja Non Vertikal Terpadu (SNVT) Pelaksana jaringan Pemanfaatan Air (PJPA) Wilayah Sungai (WS) Batanghari Prov Jambi, Edy Fahriza, ST. MT. yang menangani masalah kegiatan di daerah rawa. Targetnya untuk mengoptimalkan produksi sawah dan perkebunan. Caranya normalisasi jaringan rawa supaya sirkulasi air ke daerah rawa bisa lancar dan bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat. “Awalnya mereka tidak setuju. Tetapi setelah kita lakukan pendekatan dengan cara sosialisasi di awal ke masyarakat secara langsung, ternyata mau mengerti. Dimana masyarakat dikumpulkan di balai desa. Kita sosialisasi pekerjaan, dan kita kasih gambaran. Kita kasih tahu fungsi dan manfaat proyek buat apa? Barulah menangani masalah kegiatan di daerah rawa itu diterima,” kata Edy Fahriza. Pendekatan dan sosialisasi, yang bahkan diharapkan tidak berhenti hanya di penggambaran manfaat dari sebuah proyek. Tetapi juga bisa sampai ke edukasi masyarakat. Misalnya, untuk bersama-sama bisa saling menjaga sungai-sungai ke depan. “Kita punya upaya non struktural/non fisik seperti sinergi antar Kementerian/Lembaga dan komunitas peduli sungai, dan komunitas penghijauan kawasan hulu sungai. Komunitas ini yang melakukan edukasi kepada masyarakat untuk tidak membuang sampah ke sungai,” kata Dirjen SDA Kementerian PUPR Jarot Widyoko dalam suatu kesempatan. Seperti halnya refleksi tanggungjawab seorang pejabat dirjen hingga PPK. Dimana pun, setiap orang juga merasa kental dengan profesinya, dengan bidang usahanya masing-masing. Hari ini melihat perubahan, bisa jadi besok pagi ia berharap. Akademisi Universitas Jambi, salah satunya. Jambi menuju kota bisnis diakui Prof.Dr. Bahder Johan Nasution, Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi, yang juga Ketua Assosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Provinsi Jambi. “Kalau wisata alam di Jambi memang dari dulu tidak seperti daerah lain yang punya nilai jual lebih. Tetapi kalau dibilang kota bisnis itu sangat tepat. Karena perkembangan ekonomi, bisnis, industri di Jambi dari tahun ke tahun selalu meningkat”. Menurut Prof Bahder, sejauh ini tidak ada konflik antara pemerintah dan masyarakat menyangkut lahan kalau untuk pembangunan jalan. “Sepanjang yang saya ketahui tidak ada kasus-kasus untuk hal-hal seperti itu. Cuma, pemerintah Jambi masih kurang promosi tentang produk Jambi sebagai kota bisnis. Itu bisa kita lihat misalnya di bandara. Masih perlu banyak pengembangan home industri di bandara yang memacu pertumbuhan bisnis“. Yang lain adalah Jumali yang akrab disapa Ali (37). Pengusaha rumah makan Aroma Cempaka di Jambi yang sudah bergerak sejak 1987. Sebagaimana daerah lain di Indonesia, ia mengaku perekonomian di Jambi juga ada grafik naik. Ada perubahan bagi pelaku bisnis. “Jambi lebih pas kota bisnis. Usaha-usaha apapun di Jambi mendukung, karena orang cenderung putar uang bagus di Jambi. Kalau kota wisata salah masuk dia ke Jambi. Kendatipun masalah lahan tidur (lahan yang tidak dimanfaatkan) masih cukup banyak di Jambi sebagai isu strategis lokal, namun makin jelaslah. Mau daerah baru atau jauh. Kini saatnya manjakan petani di Jambi dengan infrastruktur sumberdaya air. Apakah akan selesai? Belum. (bersambung).

Surya Paloh DBD, Atau Positif Covid Juga?

by Luqman Ibrahim Soemay Jayapura FNN – Kamis (19/11). Rabu kemarin media massa nasional ramai memberitakan Ketua Umum Partai Nasdem dilarikan ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD). Surya dirawat di RSPD karena Demam Berdarah Donggie (DBD). Demikian tulis Kompas.com Rabu kemarin (18/11/2020). “Semalam saat diperiksa oleh tim dokter, trombosit Pak Surya memang menurun. Meski masih dalam batas yang nomal, “ujar Ketua Bidang Media dan Komunikasi Publik DPP Partai Nasdem, Charles Meikyansah. Charles menambahkan, “Surya dirawat di RSPAD sejak Selasa malam atas permintaan sendiri, guna mendapatkan perawatan yang lebih baik”. Lebih lanjut , Charles mengatakan, kondisi Surya Paloh saat ini sudah mulai membaik. Charles berharap, Surya dapat kembali sembuh. “Kami memohon do’a dari semuanya. Insya Allah Pak Surya cepat sembuh dan kembali beraktivitas seperti biasa, “pungkasnya. Apakah Hanya DBD? Terkait dengan DBD yang diderita Pak Surya Paloh sejak Selasa kemarin itu, kita sepakat untuk mendo’akan semoga Allah Subhanahu Wata’ala segera menyembuhkannya. Semoga Allah Subhanahu Wata’ala segera mengangkat segala penyakit yang diderita Pak Surya Paloh. Baik itu DBD maupun penyakit-penyakit lain yang ada di dalam tubunya Pak Surya Paloh. Semoga Pak Surya Paloh sembuh dan sehat lagi, sehingga bisa segera keluar dari RSPAD. Semoga Pak Surya Paloh dapat kembali beraktivitas seperti biasa. Sebagai Panglima Besar restorasi, semoga Pak Surya Paloh kembali sehat untuk memimpin dan mengawal pelaksanaan restorasi yang masih mandeg. Baik itu restorasi di internal Partai Nasdem maupun bangsa. Namun pertanyaannya, apakah Surya Paloh hanya terkena DBD saja? Apaklah Pak Surya Paloh tidak terjangkit penyakit lain? Misalnya, bagaimana kalau Surya Paloh selain terkena DBD, juga terpapar virus covid 19? Apakah tetap dikondisikan untuk mengatakan bahwa Pak Surya hanya terkena DBD saja? Sangat tidak bijak kalau Pak Suya Paloh yang hanya terkena DPD. Tetapi dipaksakan untuk mengatakan, Pak Surya Paloh juga terkena penyakit selain DPD. Namun menjadi sangat menghawatirkan kita semua, bila Pak Surya Paloh kemungkinan terjangkit penyakit lain, covid 19 misalnya, tetapi mau dipaksakan untuk mengatakan bahwa Pak Surya Paloh hanya terkena DPD. Menyampaikan informasi yang sebenarnya menganai penyakit yang diderita Pak Surya Paloh selian DBD itu, menjadi sangat penting. Apakah Pak Surya Paloh sekarang hanya ansih terkena DPD? Atau selain DPD, Pak Surya Paloh juga positif terpapar covid 19? Ini menjadi penting, karena berkaitan dengan cara dan metodologi yang harus digunakan dalam penanganan terhadap Pak Surya Paloh. Kalau Pak Surya Paloh hanya terkana DPD, maka tidak perlu untuk diisolasi. Namun jika selain DBD, misalnya Pak Surua Paloh juga positif terpapar covid 19, maka penangannya menjadi berbeda lagi. Pak Surya Paloh perlu diisolasi di ruangan khusus. Ruangan isolasi untuk mencegah Pak Surya Paloh kemungkinan menjangkitkan kepada orang lain yang bersentuhan dengannya. Memproduksi Cluster Baru Sementara itu, berdasarkan infomasi A1 (katagori lingkaran satu) yang didapat Portal Berita Online FNN.co.id dari sumber yang sangat terpercaya, Surya Paloh sekarang positif terpapar covid 19. Meski demikian, sampai sekarang belum ada pernyataan resmi yang menyatakan kalau Surya Paloh positif terpapar covid 19. Baik itu pernyataan dari pihak RSPAD maupun Partai Nasdem. Tragisnya, Pak Surya Paloh sekarang ditangani di RSPAD bukan dengan pendekatan dan protokol pasien yang positif terpapar covid 19. Pak Surya Paloh tidak diisolasi di ruangan khusus. Pak Surya Paloh ditangani layaknya pasien DBD biasa. Sehingga kenyataan ini telah menimbulkan keresahan yang sangat tinggi di kalangan sebagian tenaga medis yang bekerja di RSPAD yang mengetahui informasi ini. Sebab setiap saat bisa menciptakan cluster baru covid 19 di RSPAD. Padahal, berdasarkan penelusuran yang dilakukan FNN.co.id, Pak Surya Paloh telah dengan legowo (besar hati) bersedia untuk ditangani berdasarkan protokol covid 19. Hanya saja, kebijakan menejemen RSPAD yang belum mau untuk mengumumkan bahwa Pak Surya Paloh positif terpapar covid 19. Belum diketahui, apa pertimbangan manajemen RSPAD, sehingga belum diumumkan? Babaiknya RSPAD perlu mengumumkan kalau Pak Surya Paloh positif terpapar covid 19. Dengan demikian, cara dan metode penanganan didasarkan pada protokol covid 19 yang sudah ditetapkan WHO. Toh, virus laknat covid 19 bukanlah penyakit yang memalukan. Bukan aib yang perlu untuk disembunyikan dari publik. Malah sebaliknya. Perlu disampaikan kepada publik untuk berjaga-jaga, dan meningkatkan kewaspadaan dalam rangka memutus mata rantai penularan. Banyak kepala kepala negara dan pemerintahan dunia yang sudah dinyatakan positif terpapar covid 19. Misalnya, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, Presiden Amerika Donald Trump, Presiden Brasil Jair Balsonaro, dan Presiden Balarusia Alexander Lukashenko. Pejabat negara seperti Menteri Perhuhubungan Budi Karya Sumadi pernah positif terpapar covid 19. Infor tentang Budi Karya ini diumumkan terbuka kepada publik. Alhamdulillah wasyukurillaah, Pak Budi Karya sekarang sudah sembuh. Semoga Pak Surya Paloh juga segera sembuh, amin amin amin ya robbii. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Ketidakadilan Hukum Kepada HRS & Anies

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Kamis (19/11). Al-Qur'an Surat Annisa 58 mengingatkan kepada orang yang beriman dan juga umat manusia tentang dua hal. Kedua hal tersebut sangat relevan dengan peran kepemimpinan yang sedang diambannya. Pertama, perlunya menunaikan amanat. Dan amanat itu harus teralokasi kepada yang berhak (innallaha ya'murukum an tu-addul amanati ilaa ahliha). Amanat rakyat harus kembali kepada rakyat, bukan hanya sampai kepada keluarga, kerabat atau kroni. Kedua, jika menegakkan hukum, maka tegakkan dengan adil (wa Idza hakamtum bainan naas an tahkumuu bil adl). Keadilan adalan nilai tertinggi dalam hukum. Asas keadilan adalah kesamaan kedudukan di depan hukum (equality before the law). Konstitusi negara RI menjamin asas kesamaan kedudukan tersebut sebagai konsekuensi dari prinsip negara hukum. Fenomena tersebut sekarang di negeri ini, terutama pada dua hal di atas amburadul atau acak-acakan. Amanat jabatan dikhianati dan rakyat tidak menjadi prioritas. Banyak pejabat yang lebih mementingkan diri, keluarga, dan kroni. Akibatnya korupsi, kolusi, nepotisme merajalela. Itu dilakukan secara bersama-sama, terang-terangan dan tanpa rasa malu. Pelaksanaan hukum aktual menampilkan wajah ketidakadilan. Covid 19 telah menjadi tongkat pemukul untuk memukul siapa saja yang dikehendaki. Ada yang dipukul dengan keras. Namun ada yang nyaman-nyaman saja karena sengaja memukul angin. Habib Rizieq Shihab (HRS) dan Anies Baswedan dipukul dengan keras, karena adanya "kerumunan" banyak orang. Dampaknya dua Kapolda dan dua Kapolres dicopot dari jabatannya. Wilayah DKI Jakarta dan Jawa Barat menjadi sasaran pukulan itu. Di sisi lain, kerumunan di acara Kliwonan Habib Luthfi yang menjadi anggota Watimpres di Pekalongan dan Long march 9.000 Banser di Banyumas Jawa Tengah lancar-lancar saja. Untuk dua acara ini, tanpa teguran. Apalagi sampai pencopotan Kapolda dan Kapolres segala. Begitu juga tanpa ada pemanggilan Gubernur Jawa Tengah. Maklum dia kader PDIP. Pendaftaran KPU anak Presiden Gibran Rakabuming di Solo dengan kerumunannya juga aman-aman saja. Sementara di Medan, menantu Presiden Jokowi, Bobby Nasution dan kerumunan Pilkada lain sami mawon. Satu kalimat cukup untuk ini adalah "ketidakadilan hukum". Rakyat sudah tahu dan merasakan bahwa Pemerintahan Jokowi tidak adil. Banyak mempermainkan hukum untuk kepentingan politik. Dari mulai Perppu, RUU HIP, UU Omnibus Law, UU ITE, hingga Covid 19 yang menjadi alat pemukul untuk memberangus lawan-lawan politik. Kini dua tokoh menjadi target, yaitu HRS dan Anies. Akan tetapi magnet keduanya dipastikan juga cukup kuat untuk meraih simpati dan dukungan rakyat. Bisa dibayangkan ketika keduanya mengikuti tahapan proses pemeriksaan Polisi, bahkan mungkin juga di Pengadilan nanti. Rakyat dan umat akan ikut berkerumun membesar dengan dukungan dahsyat. Gelombang perlawanan dapat bereskalasi di luar dugaan. Rezim Jokowi telah membuka jalan bagi peningkatan kejengkelan bahkan kemarahan. Di belahan dunia manapun, dan sejarah kapanpun telah dibuktikan bahwa ketidakadilan adalah gerbang strategis dari perubahan. Kembali kepada ayat Qur’an Surat Annisa 58 di atas, maka soal amanat dan keadilan merupakan pelajaran sempurna dari Allah "Innallaha ni'imma ya'idhukum bih". Urusan amanat yang dikhianati atau hukum yang dijauhkan dari keadilan, maka "Innallaha kaana samii'an bashiiro"-- Sesungguhnya Allah SWT Maha Mendengar dan Maha Melihat. Jika Allah SWT sudah membuat keputusan atas dasar Pendengaran dan Penglihatannya. Maka tak ada suatu kekuatan apapun yang bisa mencegah dan menghindar dari hukuman-Nya. Na'udzubillah min dzalik. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.