ALL CATEGORY

Transisi PSBB, Anies Prioritaskan Buka Tempat Ibadah

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin(08/06). Di tengah tekanan sejumlah pihak agar gubernur DKI membuka mall, pasar, tempat wisata dan sejumlah gerai bisnis, Anies justru membuka tempat ibadah. Anies mendahulukan pembukaan tempat-tempat ibadah, daripada pusat-pusat perbelanjaan dan tempat wisata. Sebelumnya, Anies menghubungi seorang ulama, yang menjadi salah satu pengurus aktif di Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Setelah berbincang ,yang intinya Anies minta nasihat, arahan dan fatwa terkait shalat jumat berjamamaah di masjid. Inilah pejabat yang paling bener. Pertama, agama harus dijadikan pondasi yang kokoh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Komitmen beragama dapat menjadi landasan moral dalam mengelola negara. Hilang atau menipisnya landasan agama, mengakibatkan pelanggaran hukum terjadi, termasuk korupsi. Negara ini harus punya ruh. Dan ruh itu sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagaimana tertuang di sila pertama dari Pancasila. Setelah agama, masjid, gereja dan tempat ibadah lain juga dibuka. Setelah itu baru mall dan bisnis lainnya. Begitu kata Jusuf Kalla, Ketua Dewan Masjid Indonesia. Kedua, umara (pemerintah) mestinya minta fatwa soal agama ke ulama. Jangan malah umara yang ngasih fatwa ke ulama. Kebalik jadinya. Maknya ngaco. Serahkan persoalan kepada ahlinya. Atau tunggu datangnya petaka. Waduh... Ngeri kan… Hari berikutnya, MUI rapat. Pro kontra dalam diskusi terkait teknis shalat jumat terjadi. Adu dalil dan argumentasi berjalan normal. Terkait shalat berjarak, masjid diperluas, mushalla digunakan untuk shalat jumat, hingga shalat jumat dua-tiga kali di satu tempat. Setelah melalui perdabatan yang alot dan panjang, Akhirnya, fatwa MUI Nomor 31 Tahun 2020 keluar. Keputusannya, shalat jumat seperti biasa dengan protap covid-19. Fatwa ini yang dijadikan pegangan Anies untuk membuat kebijakan membuka tempat-tempat ibadah. Agama sebagai basis Ketuhanan sebagaimana Sila Pertama Pancasila, harus dikembalikan fungsinya jadi pondasi bernegara. Untuk mengembalikan sila pertama jadi pondasi bernegara dan berbangsa, nggak perlu harus dibuat lembaga seperti BPIH, atau UU Haluan Ideologi Negara (HIP). Ujung-ujungnya, malah konser. Orang lain ikut konser, ditangkap. Pening kepala rakyat. Pancasila dengan lima sila itu jelas, tegas dan mudah dipahami. Rakyat sangat ngerti ko. Pakai banget lagi. Berbagai upaya regulasi, formulasi dan penafsiran seringkali malah membuat rakyat bingung. Yang muncul justru Pancasila dalam berbagai versi kepentingan. Yang dibutuhkan rakyat cuma satu, “keteladanan pemimpin”. Kalau para pemimpin dan elit politik itu bersikap dan bertindak ala Pancasila, rakyat ngikut saja. Rakyat hanya ingin lihat para pemimpinnya itu menjalankan Pancasila nggak? Itu saja, titik. Nggak perlu pakai teriak-teriak "Aku Pancasila". Itu kuno! Gimana cara hidup yang pancasialis tersebut? Gampang bangat. Semua regulasi dan kebijakan mesti berorientasi untuk rakyat. Tujuannya untuk mensejahterakan, terutama pada aspek ekonomi. Bukan untuk kepentingan oligarki dan konglomerat. Apalagi yang aseng. Contoh lainya, kalau bicara jujur dan terukur. Kalau janji, ya ditepati. Jangan adu-domba masyarakat. Jaga itu persatuan dan kesatuan, dengan tidak menggunakan anggaran untuk buzzer. Adil dalam penegakan hukum. Ini diantara cara hidup Pancasilais. Mosok harus diajarin lagi sih? Dalam Pancasila itu, sila pertama menjadi ruh dan pondasi bagi empat sila berikutnya. Tanpa sila pertama, humanity dalam sila kedua, nasionality di sila ketiga, democracy yang tertuang dalam sila keempat, dan social justice di sila kelima tak akan terwujud. Paham itu. Ketuhanan tidak cukup di tempat ibadah. Tapi harus jadi ruh perundang-undangan dan kebijakan pemerintah dengan parlemen. Aspek ketuhanan diantaranya diukur dari kejujuran. Jujur nggak ketika parlemen membuat undang-undang, dan pemerintah menerbitkan aturan serta kebijakan. Kemanusiaan yang adil dan beradab mesti ditunjukkan dengan tegaknya hukum dan aturan. Nggak pilih-pilih berdasarkan warna politik, pri dan non-pri. Persatuan tidak memberi peluang kepada "buzzer premium" yang selama ini bikin gaduh. Buzzer yang juga telahmerusak keutuhan berbangsa. Kerakyatan itu demokrasi yang menghargai perbedaan suara dan kebebasan berpendapat. Tak ada lagi terror terhadap diskusur yang dilakukan civil society. Apalagi asal main tangkap. Keadilan sosial tak mengenal mana pendukung dan mana yang bukan pendukung. Ini tercapai jika ketuhanan sebagai simbol ketulusan dan kejujuran jadi landasan dasar bernegara. Ini yang mungkin jadi alasan mengapa Anies mengawali masa transisi PSBB ini dengan membuka tempat ibadah. Ini simbolis. Pesannya, “kembali ke sila pertama dalam Pancasila”. Jadikan Tuhan sebagai basis untuk menjaga ketulusan dan kejujuran dalam mengelola negara. Dari sini akan muncul keadilan dan persatuan. Dua kata yang berulang-ulang diungkapkan, dan sangat digemari oleh gubernur DKI ini. Tidak hanya masjid yang dibuka Anies, tetapi semua tempat ibadah. Termasuk gereja, wihara, pure dan klenteng. Kalau para pemimpin betul-betul mengelola negara berbasis Ketuhanan Yang Maha Esa, maka keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (sila kelima) akan terwujud. Lalu, kapan Spa dibuka? Cukup Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Pemprov DKI yang jawab. Dari 18 sektor usaha di Jakarta, sektor wisata seperti Spa, gerai pijat dan karaoke dibuka nanti yang paling terakhir. Belakangan! Saja. Dan tak segan untuk dicabut ijin usahanya jika disalahgunakan. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Haji Yang Wajib Ditunda, Pilkada Dipaksakan 2020

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (07/06). Memaksakan pelaksanaan Pilkada serentak 9 Desember 2020 sangat tidak bijak rasional. Apalagi Pilkada yang tanpa peduli, apakah pandemi covid 19 telah selesai atau belum? Tentu saja dapat menimbulkan masalah baru. Masalah utama adalah anggaran yang besar untuk Pilkada, yang harus disiapkan di tengah prioritas penanganan covid 19. Apalagi baru saja Ketua KPU tanpa malu-malu telah meminta anggaran tambahan sebesar Rp. 535 miliar untuk membeli Alat Pelindung Diri (APD). Belum lagi dampak kesehatan yang bakal timbul kelak. Akan terjadi pengumpulan massa sebagaimana biasanya musim kampanye. Pertemuan-pertemuan dilakukan dengan intensif. Memakai media zoom dinilai tidak lagi efektif untuk berkempanye Pilkada. Pemilu di TPS tidak mungkin menggunakan "zooming". Kalau dengan e-voting dijamin pasati curang. Pada pencoblosan manual saja perhitungan elektronik begitu leluasa dimainkan. Apalagi ditambah dengan kemungkinan adanya "hacker". Kecurangan diprediksi semakin besar. Peran Lembaga Pengawas Pemilu akan terbatas perannya jika covid 19 masih mengintai. Juli 2020 harus sudah mulai pentahapan Pilkada. Artinya, data pemilih dan verifikasi juga telah mulai. Sementara "physical distancing" dipastikan masih berlaku sampai Juli 2020 nanti. Tidak cukup hanya dengan bermodal masker dan sanitizer untuk melakukan tahap-tahapan Pilkada. Bila tidak ingin berjatuhan korban, khususnya para Petugas Pengumutan Suara (PPS), maka sebaiknya Pilkada ditunda saja dulu. Lain halnya kalau kita memang sudah terbiasa untuk "menumbalkan" petugas penyelenggara dengan kematian yang tidak terverifikasi ? Jangan lagi berulang kebiasaan untuk mengentengkan urusan kesehatan dan nyawa para petugas penyelenggara pemilu. Cukup pemilu 2019 lalu yang mengorbankan nyawa 894 petugas PPS, cukup menjadi pelajaran paling pahit catatan demokrasi Indonesia (FNN.co.id 04/06/2020). Ketika Perppu dan Undang-Undang dibuat untuk penggunaan dana corona, yang katanya "darurat" sehingga tak bisa diawasi. Ketika ibadah haji harus ditunda. Karena dana dari APBN digunakan dulu untuk penanggulangan pandemi covid 19. Eh, soal Pilkada yang semestinya bisa diundur atau ditunda, malah dipaksakan waktu pelaksanaannya. Rakyat dipaksa digiring fikiran dan orientasinya kepada Pilkada. Sungguh kebijakan sangat tidak bijak. Presiden juga masih "tidak jelas" sikap antara kampanye "new normal" dengan kekhawatiran akan belum stabilnya angka ODP dan PDP. Masyarakat masih "stay at home" dan "work from home". Begitu juga PSBB di beberapa daerah dilakukan perpanjangan waktu. Kini aneh, jika rakyat atau masyarakat sudah harus berkonsentrasi pada kegiatan politik di daerah. Menunda Pilkada adalah pilihan bijaksana. Sense of crisis harus tetap dibangun dan ditanamkan. Jangan berdemokrasi setengah hati. Pilkada dengan banyak pembatasan dipastikan akan melanggar hak-hak politik warga. Tunggu dulu waktu yang tepat. Orang beribadah haji saja sampai ditunda. Tempat umum dibuka juga baru coba coba. Pilkada mau dipaksakan. Tundalah Pilkada. Tanggal 9 Desember 2020 terlalu dekat untuk tahapan Pilkada. Penuh dengan spekulasi tingkat tinggi bahwa pandemi covid 19 telah selesai ketika itu. Di tengah ketidak pastian dunia, baiknya pencanangan Pilkada minimal dilaksanakan pada tahun 2021. Penundaan ke 2021, tampaknya itu lebih rasional. Ketua KPU juga tak perlu mengemis dari sekarang minta tambahan anggaran sebesar Rp. 535 miliar hanya untuk pengadaan APD. Sangat menggelikan, sekaligus menyedihkan. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Impeachment Itu 90% Rana Politik, Hukum 10%

by Dr. Margarito Kamis, SH.M.Hum Menurut Blakcstone “kejahatan berat” bermakna kejahatan melawan negara, seperti penghianatan. Sementara “perbuatan tercela yang berat” merujuk pada korupsi dalam jumlah besar dan pemerintahan yang salah urus (Richard M. Tivus). Jakarta FNN – Ahad (07/06). Kekuasaan, dengan sedikit kekecualiaan, selalu mengenakan, mengasyikan, dan membanggakan. Kombinasi manis ketiga hal itu mengakibatkan kekuasaan selalu dirindukan oleh banyak orang yang tak berakal, dan tak berilmu. Tunggang langgang membungkuk, mencium tangan-tangan kotor uang sekadar membuka jalan setapak demi setapak memasuki dan menggenggam kekuasaan itu. Btulah akibat kecilnya. Tak melihatnya sebagai cara hina. Itulah akibat lainnya. Toh demokrasi mengkhutbahkannya sebagai cara yang sah. Ambisi, yang posisinya bersebelahan dalam jarak yang dekat adalah rakus dan tamak. Membakar semua rasa malu. Semua yang dinilai merendahkan terbakar hangus jadi debu. Beterbangan, entah kemana. Bohong, mencla-mencle dan planga-plongo muncul sebagai yang hal biasa. Itu juga akibat lain yang paling menjijikan, tetapi harus diambil demi kekuasaan. Jinakan Ambisi, Hindari Tirani Korupsi dikekuasaan Romawi, tulis Profesor Syed Husen Al-Atas, menunjuk pada sumbernya dengan sejelas-jelasnya, “kerakusan manusia dan kegandrungannya pada kekuasaan”. Tidak seorangpun, kata Profesor hebat ini, akan menunjuk pada pengaruh kesukuan, sistem semenda, lembaga hadiah, atau perkembangan yang cepat. Keberhasilan Cicero melawan Gaius Verres menunjukan adanya kesadaran bahwa apa yang dilakukan Veres adalah salah. Alasan pokok bagi merajalelanya korupsi, kata professor Al-Atas adalah tipe orang yang naik ke tampuk kekuasaan. Yang dalam sejarahnya, diawali oleh Yulius Caesar, yang tegar, kurang perhitungan dan korup. Gaiyus Veres dan Yulius Caesar, dua nama itu tak muncul dalam perdebatan para pembuat UUD Amerika. Nama inipun tak muncul ketika mereka memperdebatkan soal impeachment. Itu berbeda dengan, misalnya nama George II. Raja Inggris ini cukup jelas dimunculkan, dengan nada ketakutan, karena absolutismenya. Nama Raja George II ini, muncul dalam perdebatan tentang penciptaan presidensial. Hidup dan menyaksikan, bahkan sebagian dari para perancang UUD itu menjadi gubernur negara bagian. Yang sebagian mempraktekan sistem parlemen ala Inggris. Mengakibatkan mereka menolak sistem parlementer untuk pemerintahan federal yang sedang dirancang. Pilihannya jatuh pada presidensial. Yang pada saat itu belum ada presedennya. Menariknya, pilihan itu tak menghapuskan ketakutan mereka terhadap potensi presiden jadi tiran. Pada titik ini terlihat agak aneh. Mengapa? Mereka tidak mau diganggu oleh parlemen, sehingga meletakan kekuasaan pemerintahan itu sepenuhnya pada presiden. Itu terjadi ditengah mereka dibayangi ketakutan presiden bisa menjelma jadi tiran. Pada titik itu, harus diakui mereka cemerlang. Ketakutan itu dipecahkan dengan cara fungsi tiga cabang kekuasaan, eksekutif, legislative dan yudikatif dipertalikan satu sama lainnya secara tumpang tindih. Tiga organ ini dipisahkan secara formil. Tetapi dipertalikan fungsinya secara materil, sehingga mereka saling bergantung dan mengawasi. Teori Montesqieu dan John Locke, hanya bekerja sebagian. Kedua teori itu disintesakan dan diambil sebisanya saja. Tetapi apapun itu, argumen mereka yang praktis, khususnya James Madison, perancang Virginia Plan (rancangan awal UUD) mereka, memukau melebihi kedua filosof itu. Dua kalimat pendeknya, terlihat benar-benar memukau. Cahayanya melampaui zaman. karena relefansinya bekerja sampai sekarang. Apa dua kalimat itu? Ambition, kata Madison. must be made counteract with ambition. Berhentikah Madison dengan kalimat itu? Tidak. Kalimat selanjutnya juga hebat. Kalimatnya begitu utuh, seutuh dia mendengar cerita alam tentang tabiat bawaan, alamiah, manusia. Hingga kini kalimatnya mengesankan. “the interest of the man must be connected with the constitutional rights of the place” (Lihat The Federalist Paper, Nomber 51). Batas kewenangan presiden dipertalikan dengan, misalnya kewenangan legislatif dan juga yudikatif. Semua kewenangan itu dipertalikan juga dengan hak-hak asasi warga negara. Tujuannya sederhana. Pemerintah tidak merusak kehidupan individu, yang menjadi hak rakyatnya. Begitulah, makna dan hakikat dari kalimat terakhirnya itu. Cara itu memunculkan konsekuensi satu lembaga tidak bakal bisa mendominasi, atau menjadi tiran bagi lembaga lainnya. Itulah pijakannya. Sekaligus hakikat dari cheks and balances. Selesaikah ketakutan mereka terhadap kemungkinan presiden menjadi tiran? Belum. Ketakutan itu masih bekerja lagi. Memaksa mereka menemukan metode pencegahan lainnya. Apa metodenya? Batasi masa jabatan presiden, dan memungkinkan presiden diberhentikan dari jabatannya. Cara terakhir itu dikenali sebagai pengawasan terhadap presiden. Ini yang dijelaskan oleh Richard Tivus, penulis artikel “Kekuasaan Presiden” pada Majalah Demokrasi. Pada tahun 2003, Profesor ilmu politik ini memegang jabatan kepala Departemen Ilmu Politik Bernard College. Juga mengajar pada Graduate School of Arts and Science Colombia University. Hal terpenting, dari tulisnya, pengawasan terhadap presiden melibatkan tindakan pencegahan pelengkap. Tindakan pelengkap itu berupa impeachment, dan pemecatan karena “kejahatan berat (hight crimes) dan perbuatan tercela (misdemeanor). Professor Richard menguraikan lebih lanjut. Merupakan istilah kejahatan yang diambil dari praktek hukum Inggris berdasarkan penjelasan hukum Inggris (Commentaries on law of England) dari Lord Blacstone. Bagaimana ceritanya hingga cara ini melembaga menandai, sering digambarkan oleh ahli hukum tata negara sebagai ciri pemerintahan presidensial? Tivus tidak menjelaskannya. Politik Penentunya Sulitkah impeach itu? Bukan saja sulit, tetapi mustahil bila bos-bos mereka tidak mau. Sebaliknya, impeach menjadi begitu mudah semudah semua politisi bernapas, bila bos mereka bilang go ahead. Sederhana sekali. Ini nilainya bisa 90% impeach pasti terlasana. Hukum? Oh ini soal paling kecil. Nilainya paling Cuma 10% saja. Malah bisa kurang. Apalagi hukum tata negara. Hukum tata negara berjarak hanya beberapa milimeter dari politik. Bukankah impeach itu semata-mata hukum? Bukankah impeach adalah cara hukum untuk pemberhentian presiden? Betul. Impeachment pertama dalam sejarah tata negara Amerika, sepenuhnya bicara tentang politik. Yang meminjam hukum sebagai tumpangannya. Tidak lebih. Impeachment itu bicara secara terang-terangan tentang pertarungan antara republikan dengan demokrat. Andrew Johnson yang diimpeach itu presiden dari Demokrat, diimpeach oleh partai Republik. Dimensi dasarnya jelas. Impeach ini betul-betul bergantung pada elit politik. Fokus dan percepatan rekonstruksi negara-negara Selatan, hanyalah satu isu. Ini jadi soal. Mengapa harus dijadikan isu? Bukankah negara-negara Selatan telah mengalami kerusakan sehingga harus direkonstruksi? Dimanakah letak tidak logisnya tindakan rekonstruksi Presiden Andrew Johnson, yang akhirnya diimpeach? Isu ini dicatat oleh Ralp Epperson. Jatuh dan bertemu dengan isu lainnya. Isyu lain itu adalah hutang pemerintah kepada Swasta, termasuk usaha mati-matian para banker pendirian Bank Sentral, serta ancang-ancang partai republik membawa Edwin Stanton, menteri pertahanan yang diberhentikan oleh Andrew Johnson, menjadi presiden. Inilah gunung isu kala itu. Betul Presiden Johnson diimpeach, karena memberhentikan Edwin Stanton dari jabatan Menteri Pertahanan. Tindakan ini dikualifikasi tercela, karena Presiden tidak meminta persetujuan Senat. Itu saja tuduhannya. Politik telah bekerja mengubah, dalam makna memberi bobot hukum pada tindakan itu menjadi alasan impeachment untuk Presiden Johnson. Tidak ada korupsi, tidak ada suap, tidak ada penghianatan terhadap negara. Hanya ada misdemeanor, perbuatan tercela. Simple betul menemukan senjata itu. Politik bekerja memudahkannya. Konfigurasi politik yang menentukan. Bukan soal lain. Kasus ini Johnson diselematkan hanya dengan satu suara. Konfigurasi politik di Kongres bekerja untuk impeachment Presiden Richard Nixon. Ini impeach kedua dalam sejarah Amerika. Sebabnya sederhana. Pekerja perbaikan pipa air di kantor Demokrat, ternyata orang-orangnya. Mereka mengambil info untuk digunakan Nixon pada kemenangan pemilu 1972, untuk masa jabatan kedua kalinya. Tindakan ini dikenal, skandal Watergate, menjadi dasar tuduhan. Itu saja? Secara formal, Demokrat yang gunakan. Tetapi itu gambaran kecil. Gambaran besarnya, impeachment ini teridentitikasi sebagai wujud pertarungan besar. Pertarungan itu meliputi pro-kontra kebijakan perang Vietnam, kebijakan pemberantasan narkoba, dan kebijakan perminyakan di Timur Tengah. Satu hal menarik impeach ini adalah sikap Jaksa Agungnya, Elit Richarsdson. Ia menolak perintah Nixon uuntuk memberhentikan Archibal, professor yang bertindak sebagai jaksa penyelidik independen pada kasus Watergate itu. Alsannya mengagumkan, dia tidak mengabdi pada presiden, melainkan kepada keadilan, kepada hokum, kepada bangsa dan kepada konstitusi. Selalu begitu politik impeachment. Tidak pernah bicara secara tunggal tentang penyebabnya. Ini terlihat juga pada impeachment Presiden Bill Clinton dari Demokrat. Presiden ini diimpeach oleh republik. Tuduhannya misdemeanor. Tuduhan ini dibangun atas dasar affairnya dengan karyawan Gedung Putih, Monica Lewinsky. Tidak lebih dari itu. Begitulah politik. Ken Star, pada kasus Clinton bertindak sebagai jaksa penyelidiki independen. Tetapi pada kasus Trumph, dia bertindak sebagai pengacara Trump. Dan menariknya, Alan Dershowitz yang pada kasus Clinton justru membela Clinton, tentu berbeda pendapat dengan Ken Star, keduanya bersatu dan berada kubu Tump. Tuduhan Demokrat bahwa Trump menyalhgunakan kekuaasan, lolos di House of Representative, yang didominasi Demokrat, tetapi kandas di Senat, yang didominasi Republik. Trump dinilai menggunakan kebijakan bantuan keuangan terhadap Ukraina, sebagai alat menghentikan Joe Biden, calon lawannya pada Pemilu Presiden November 2020 ini. Alan Dershowitz kembali mendemonstrasikan argumennya ketika membela Clinton. Dia berpendapat, tuduhan itu tidak sesuai kriteria teknis konstitusi tentang kejahatan. Loloskah kedua orang ini karena argumen hukum? Mungkin. Tetapi keduanya lolos pada konfigurasi politik yang sama. Trump lolos di tengah Senat yang didominasi Republik, dan Clinton juga lolos dari impeach di tengah Senat didominasi Demokrat. PDIP dan Empat Partai Lain Trump, sama dengan Bill Clinton. Keduanya lolos dari tembakan senjata berkarat itu, karena Senat dikontrol oleh partai mereka. Titik. Tidak lebih. Dan seperti sebelum-sebelumnya, kasus ini juga menunjukan politik mengemudikan hukum tata negara. Bukan sebaliknya. Hukum tata negara, dalam tipikalnya sebagai politik yang diberi bentuk normatif. Lebih dari jelas, daya kerja norma tata negara bergantung penuh pada daya kerja politik. Kerja politik impeach bergantung pada kenyataan tak menyenangkan partai politik, yang berada diseberangnya. Selalu begitu. Kemudahan dan kerumitan, karena itu tidak terletak pada hukum. Liku-liku rumit yang terkerangkakan dalam pasal 7A dan 7B UUD 1945, dalam kasus Indonesia, bisa berubah menjadi hal mudah semudah politisi berganti partai. Apalagi pasal 7A itu menyediakan loophole besar. Apa loopholenya? Apa itu norma atau konsep “penghianatan terhadap negara? Apa itu korupsi, apa itu tindak pidana berat lainnya, atau apa itu perbuatan tercela, yang merupakan alas an pada pasal 7A UUD 1945? Debatnya pasti panjang. Akhir debat ditentukan oleh kekuatan politik. Titik. Tidak lebih Konfigurasi politik Kongres atau DPR, tidak bisa disembunyikan sebagai satu-satunya fariabel penentu sukses atau gagalnya impeach. Tidak lain dari itu. Itu diperlihatkan secara telanjang disepanjang jalan impeach sebanyak empat kali di Amerika. Konstelasi dan komposisi politik itu juga bicara pada tiga peristiwa pemberhentian Bung Karno, Pak Harto dn Pak Abdurrahman Wahid. Pemberhentian mereka memang tak bisa dikerabngkakakn dalam impeach khas pasal 7A dan 7B UUD 1945, tetapi impeach bekerja dengan cara yang mirip. Konstelasi politik faktual, sejauh ini memberi gambaran jelas. PDIP melalui eksponennya telah bicara mengenai sulitnya impeach. Kerumitan dan bergelombangnya prosedur hukum yang dipandu UUD 1945 dan UU Nomor 17 Tahun 2014 memang memungkinkan PDIP bicara mengenai kesulitan impeach. Apalagi PDIP. Bukan Gerindra, bukan Golkar, bukan PKB, juga bukan Nasdem. Elit-elit partai, mungkin dan sejauh bisa, harus dipastikan satu gelombang dengan presiden. Itu mutlak. Sejarah impeach sepenuhnya merupakan sejarah politik para elit. Impeach itu ya soal elit. Tidak lain dari elit. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate

Disunited States of America

By Asyari Usman Jakarta FNN - Sabtu (06/06). Slogan Donald Trump terinjak-injak di tengah gelombang penjarahan di seluruh pelosok United States of America (USA). “Make America Great Again” kini terancam menjadi “Make America Grain Again” (alias Membuat Amerika Menjadi Tepung Kembali). Persis. Amerika Serikat (AS) menjadi tepung. Gara-gara perlakuan kejam terhadap George Floyd (GF). Warga kulit hitam ini mati di tangan seorang polisi kulit putih yang menangkapnya. Rekaman video peristiwa ‘injak batang leher’ itu sangat dahsyat kekuatannya. Menyulut amuk massa yang luar biasa besar. Di seluruh Amerika. Selama berhari-hari. Disertai dendam penjarahan (looting). Suasana saat ini sama seperti ketika pejuang hak sipil kulit hitam, Marthin Luther King Jr (MLKJ) terbunuh pada 1968. Bedanya, pada waktu itu, bentrokan yang terjadi adalah antara warga kulit hitam dan orang kulit putih. Sedangkan bentrokan yang terjadi hari ini adalah antara warga kulit hitam plus warga kulit putih lawan polisi dan tentara. Bahkan, kata Martin Luther King III, anak MLKJ, dalam unjukrasa 2020 ini lebih banyak orang kulit putih yang turun ke jalan ketimbang orang kulit hitam. Tetapi, bagaimama pun juga, aksi ptotes kematian Floyd pastilah akan mengusik kembali hubungan rasial di AS. Dan bisa-bisa terjadi proses ‘rewind’ 1968. Meskipun ‘equality of rights’ (persamaan hak) dan ‘equality before the law’ (persamaan di mata hukum) di AS boleh dikatakan sudah terbangun kokoh. Rasisme masih ada. Baik di lingkungan birokrasi, lingkungan pendidikan, maupun lingkungan bisnis. Begitu juga di bidang olahraga. Banyak yang berpendapat bahwa di era Presiden Donald Trump ini, rasisme merasa mendapatkan siraman pupuk. Misalnya, di tengah pembicaraan tentang rasisme di AS sedang ramai saat ini, suara Trump tidak terdengar sama sekali. Sudah banyak perusahaan besar, manajer senior, atlet, politisi, dlsb, mencela keras rasisme. Namun, Trump masih membisu. Padahal, dia sendiri dulu sering mengeluarkan ucapan yang bernada rasisme. Itu semua belum dia ‘delete’. Presiden memang menjanjikan bahwa keadilan akan ditegakkan dalam kasus Floyd. Tetapi, tidak ada kecaman dia terhadap peristiwa kekerasan ‘putih-hitam’ yang menunjukkan bahwa rasisme di AS masih belum padam. Mungkin, itulah sebabnya dalam beberapa hari ini unjukrasa publik terarah ke Trump. Banyak orang yang menginginkan dia lengser. Tetapi, Trump juga punya pendukung yang kuat. Boleh jadi dia merasa rakyat AS masih setia kepadanya. Inilah yang masih perlu dilihat setelah hurahara kematian Floyd mereda. Dalam situasi rumit seperti sekarang ini, biasanya presiden AS mana pun akan tampil mengutuk rasisme. Loud and clear. Keras dan lantang. Entah apa yang membuat Trump ‘mengurung’ diri dari perdebatan luas tentang hubungan rasial yang sedikit-banyak sedang terganggu saat ini. Barangkali saja, Trump tidak menghiraukan dampak jangka panjang peristiwa ini. Presiden seharusnyalah melihat bahwa kematian Floyd bisa memantik perpecahan yang signifikan. Konsekuensi Floyd tidak hanya “Make America Grain Again” tetapi bisa juga mendorong United States of America (USA) ke sisi Disunited States of America (DSA). Tentu bukan ‘union of states’-nya yang bubar, melainkan pengkotak-kotakan rasialnya yang mengeras lagi. Wallahu a’lam. Penulis Adalah Wartawan Senior

Pemakzulan Presiden Ala Paranormal

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Sabtu (06/06). Setelah ramai berita kegagalan acara diskusi ilmiah yang bertema Pemakzulan Presiden di kampus Universitas Gajah Mada (UGM), lalu ada kajian ilmiah diskusi soal yang sama yakni "Pemakzulan". Acara ini diselenggarakan Mahutama. Para pembicara antara lain Prof. Dr. Dien Syamsuddin, Prof. DrRefly Harun dan lainnya. Pada diskusi melalui virtual zoom ini, muncul pula melalui video tema pemakzulan Presiden. Video ini diungkapkan oleh paranormal Ki Sabdo Jagad Royo. Intinya meramalkan Presiden Joko Widodo akan lengser atau segera dimakzulkan. Video menampilkan tiga babak. Babak pertaman, sebelum menjabat periode 2019-2024. Babak kedua, saat pelantikan Oktober 2019. Babak ketiga, setelah menjabat 2019-2024. Ki Sabdo Jagad Royo adalah paranormal, yang menurut dirinya membantu menyukseskan keberhasilan Joko Widodo untuk menjabat Gubernur DKI, Presiden periode 2014-2019 serta terakhir Presiden periode 2019-2024. Ada nada kecewa Ki Sabdo Jagad Royo akibat "penghianatan" Joko Widodo dalam video viral tersebut. Pada sesi awal, Ki Sabdo menerangkan bahwa Joko Widodo sudah ditempelkan makhluk gaibnya Nyi Roro Kidul oleh Ki Sabdo sehingga sukses mendapat jabatan Gubernur hingga Presiden. Namun Joko Widodo berkhianat tidak membayar kesuksesan atas bantuan tersebut. "Kalau Nyai Roro Kidul saya ambil maka Joko Widodo pasti lengser". Menurutnya, Joko Widodo itu seperti "kacang lupa kulitnya". Ki Sabdo Jagad Royo mengancam "memakzulkan" Jokowi karena suksesnya itu tergantung Ki Sabdo. "Yang pasang Nyai Roro Kidul adalah saya". Entah kemudian pembayaran beres atau lainnya, pada bulan Oktober 2019 menjelang pelantikan, Ki Sabdo Jagad Royo bersemedi di Gedung Nusantara V DPR RI untuk mengamankan agenda pelantikan. Waktu itu Ki Sabdo memanggil atau memasang makhluk halus Nyi Roro Kidul, Nyi Blorong, jin Kahyangan dan lainnya. Ki Sabdo membenarkan usahanya itu atas perintah dari Joko Widodo. Dijamin pelantikan berjalan lancar. Tidak jelas waktu nampaknya sesi ketiga setelah pelantikan, Ki Sabdo mengancam pemakzulan kembali karena mungkin pembayaran yang tidak beres. Ia sengaja membuat video lanjutan. Teriak soal pembayaran gaji kepada Jokowi. Lalu Ki Sabdo Jagad Royo menyatakan bahwa jabatan Joko Widodo tidak akan sampai finish alias dilengserkan. Joko Widodo berkhianat pada dirinya. Ki Sabdo Jagad Royo berujar dengan kalimat kutukan dan ancaman pelengseran yang jelas dan meyakinkan. Memang pernyataan Ki Sabdo Jagad Royo ini bikin heboh. Mengungkap tentang mistik-mistik di sekitar kekuasaan Joko Widodo. Hebatnya lagi, Ki Sabdo Jagad Royo siap mempertanggungjawabkan secara hukum atas sikap atau pernyataan "bantuan spiritual" nya ini. Perlu klarifikasi. Apakah tindakan Ki Sabdo Jagad Raya ini adalah "pemerasan", atau memang tagihan dari kesepakatan "bisnis hantu" diantara keduanya? Akhirnya kita bangsa Indonesia merasa prihatin atas kekacauan spritualitas pemimpin negara. Konsep Ketuhanan yang bergeser menjadi Kehantuan. Ketauhidan "Yang Maha Esa" berubah dengan Kemusyrikan "Yang Membuat Binasa" bangsa ini. Tak jelas reaksi Presiden Joko Widodo, yang diramalkan paranormal Ki Sabdo Jagad Royo bakal dimakzulkan di tengah jabatannya ini. Apakah menertawakan, gemetar, atau merasa kuat karena telah memiliki Paranormal tandingan lain? Jika yang dikatakan Ki Sabdo Jagad Royo adalah hoaks, maka Joko Widodo mesti berani memproses secara hukum. Jangan biarkan masyarakat terkecoh atas isu-isu yang berkeliaran. Apalagi di tengah wabah corona, kita masih saja dipertontonkan adegan konser mistik perhantuan di sekitar Istana. "Wao wao heboh heboh", kata Ki Sabdo Jagad Raya. New normal diterjang paranormal yang membuat Istana semakin terlihat ikut-ikutan abnormal. Semoga tidak terlalu banyak predikat untuk istana Presiden, selain istana boneka (doll castle), istana labirin (labyrinth palace) dan istana hantu (ghost palace). Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Lumayan, Bisa Menonton Cara Kerja Akal Sehat di Amerika

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Penjarahan dan tindak kekerasan yang melanda seluruh pelosok Amerika Serikat. Tentu saja bukan akal sehat. Semua ini tidak dapat dijustifikasi. Tetapi, ada “akal sehat” lain dalam rangkaian aksi protes yang disulut oleh kematian George Floyd di tangan seorang polisi kulit putih. “Akal sehat” itulah yang tidak ada di negeri seperti Indonesia. Yaitu, reaksi yang seragam dari warga yang berbeda pilihan politik terhadap kesewenangan negara. Kesewenangan aparat hukum. Kasus penyiksaan dan kematian George Floyd membawa semua orang, tanpa kecuali, berkumpul di satu front –yaitu, front anti kesewenangan. Sebagaimana di sini, di Amerika pun ada “cebong” dan “kampret”. Katakanlah saat ini pendukung Donald Trump dan Partai Republik ada di posisi “cebong” dan pendukung Demokrat di posisi “kampret”. Tetapi, ketika kesewenangan dan ‘abuse of power’ dilakukan oleh aparatur negara, cebong dan kampret Amerika menjadi bipartisan. Rakyat menjadi satu suara. Mereka, dengan “akal sehat” aslinya –“akal sehat” nuraninya-- turun ke jalan. Cebong dan kampret Amerika sama-sama unjukrasa. Mereka menyampaikan pesan bahwa kesewenangan tidak punya tempat di Amerika. Tidak punya tempat di kubu cebong maupun di kubu kampret. Kemarin, ada yang bertanya di grup: siapa elit yang berhasil menghimpun kekuatan sipil di AS. Saya jawab singkat: di AS atau Eropa, demo besar berhari-hari bisa terjadi tanpa ada pimpinannya. Tanpa ada koordinator. Dan tanpa biaya. Kok bisa? Karena setiap orang dipimpin oleh akal sehat masing-masing. Kesewengan terhadap siapa pun akan dijadikan musuh bersama. Mereka turun bersama tanpa atribut kelompok. Itulah hakikat akal sehat dalam berbangsa dan bernegara. Berbeda dengan akal sehat cebong di negeri kita ini. Bagi cebong di sini, semua kesewenangan yang dilakukan oleh para penguasa hukum, penguasa politik, penguasa ekonomi-bisnis, dan lain sebagainya, tidak akan pernah dilihat sebagai kesewenangan. Sebaliknya, para cebong akan menyebutnya sebagai “keadilan dan keberhasilan”. Bagi kubu cebong Indonesia, keadilan adalah “penindasan terhadap lawan politik”. Kubu cebong di sini memberikan dukungan dan tepuk tangan gemuruh terhadap kesewenangan aparat negara. Pastilah sikap seperti ini akan melembagakan permusuhan yang sengit. Dan mungkin juga menggoreskan dendam yang dalam. Bisa jadi tidak akan berkesudahan. Apalagi para penguasa sengaja memelihara konflik itu. Jadi, Indonesia memang sedang rusak berat. Akal sehat tidak dihiraukan. Implementasi prinsip demokrasi hari ini disesuaikan dengan kesewenangan para penguasa. Jangan harap Anda akan menyaksikan front bersama rakyat bipartisan yang akan menghasilkan kekuatan dahsyat melawan kesewenangan. Tak mungkin! Selagi kubu cebong belum waras. Tapi, lumayanlah, saat ini Anda bisa menonton cara kerja akal sehat di Amerika Serikat. Penulis adalah Wartawan Senior

Soal Penangkapan, Belajar dari Soekarno dan Soeharto

By M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Jum’at (05/06). Bagaimana bisa, hanya dengan bermodalkan pelaporan biasa dari seorang Aulia Fahmi, dapat ditindak lanjuti dengan penangkapan Ruslan Buton. Pelaksanaan penangkapan seperti menangkap seorang teroris. Ada Densus 88 segala. Bukan hanya tidak lazim, tetapi terlihat berlebihan. Juga berlebihan di luar hukum acara yang berlaku. Apalagi dengan cepat menetetapkan Ruslan Buton sebagai tersangka lagi. Ini domein hukum atau politik? Jika hukum tentu tidak seperti ini. Jika politik mungkin wajar. Harus diingat pula bahwa jika penangkapan Ruslan Buton, karena pertimbangan ranah politik, maka akan menghasilkan dan memproduksi sikap politik pula. Bisa berupa protes politik yang jauh lebih banyak dan besar. Polisi perlu belajar dari Presiden yang sudah-sudah bahwa memenjarakan dan membungkam sikap kritis bukan cara terbaik menyelesaikan masalah bangsa. Belajarlah pada Presiden Soekarno dan Soeharto. Berapa banyak tokoh masyarakat dan tokoh publik yang dijebloskan ke penjara oleh kedua penguasa ini? Tidak juga membuat sikap anak-anak bangsa yang selalu kritis terhadap kedua penguasa ini ciut atau surut. Sebaliknya, semakin menambah dan memproduksi kelompok-kelompok kritis di masyarakat. Belajar juga dari SBY yang bisa menyelesaikan masa pemerintahan selama sepuluh tahun. Kritik sekeras apapun dari kelompok kritis kepada SBY, ditanggapi dengan bijak dan elegan. Selasa sepuluh tahun berkuasa, tidak ada kelompok kritis di masyarakat yang dipernjarakan oleh SBY. Tanggal 15 Januari 2007, dalam rangka memperingati kejadian Malari 1974, dilakukan demonstrasi besar-besaran di bundaran Hotel Indonesia (HI) sampai depan Istana Negara. Temanya mencabut mandat rakyat yang diberikan kepada SBY-Jusus Kalla. Tidak ada satupun demonstran yang ditangkap atau dipenjarakan oleh pemerintah SBY. Pada Februari 2010, ada demontran yang membawa sapi gendut dan besar di bundaran HI. Sapi tersebut bertuliskan SiBuYa (SBY). Tulisan di sapi itu menggambarkan dan menyindir Presiden SBY yang gemuk besar, lambat bersikap, dan malas bekerja, sehingga negara tidak disurus dengan baik. Anehnya, tidak ada pendemo yang ditangkap dan dipernjarakan SBY. Sebaiknya, kebiasaan buruk penguasa untuk melakukan tindakan hukum dengan "meminjam" tangan pelapor harus dihentikan. Sebab kelompok kritis tidak mungkin bisa dibungkam dengan penangkapan dan penjara. Namun menjadi kultur buruk wajah hukum di Indonesia. Menjadi catatan sejarah kelam yang tak mudah dihapus. Akan selalu diingat dan dikenang sebagai penguasa yang anti terhadapa kritik dan kebebasan berpendapat. Dua hal yang mesti mendapat support publik. Pertama, memberikan dukungan pra-peradilan atas penetapan tersangka Ruslan Buton yang dilakukan oleh Pengacara. Pra-peradilan ini sebagai bentuk perlawanan hukum atas kesewenang-wenangan penguasa. Kedua, dukung pelaporan balik terhadap saksi pelapor Aulia Fahmi SH. Saksi pelapor perlu disidik, untuk mengetahui apa juga motif dari pelaporan yang dilakukan Aulia Fahmi? Apa krugian hhkum yang diderita oleh dari Aulia Fami? Apakah murni karena hukum, atau kepanjangan tangan politik. Seruan untuk penangkapan juga cukup berimbang. Mengingat urusannya lapor melapor antara pihak Ruslan Buton dengan Aulia Fahmi, maka pihak Kepolisian harus bersikap obyektif dalam menangani masalah hukum. Kontennya menjadi kepentingan kedua belah pihak. Jangan sampai berat di sebelah. Jika ada hubungan dengan negara, maka biasakan negara bertindak sendiri. Bukan dengan cara negara meminjam tangan masyarakat. Negara dapat menindak sendiri makar atau pemberontakan misalnya. Agar publik merasa yakin tidak terjadi proses kriminalisasi atau politisisasi. Andai pelapor yang dilaporkan balik juga sama-sama ditangkap, sebagaimana seruan yang muncul di media. Maka akan semakin jelas obyektivitas penanganan. Rakyat akan sangat percaya pada proses penegakkan hukum oleh penegak hukum. Bila aparat kepolisian selalu menggunakan tangan tangan "pelapor" hanya sebagai alat untuk melakukan proses penyelidikan dan penyidikan, maka independensi menjadi kabur. Publik meragukan kerja aparat penegak hukum. Kelak akan muncul figur "spesialis" pelaporan. Kasus pelaporan terhadap Said Didu oleh orang yang mengaitkan dengan pencemaran kepada Menko Luhut Binsar Panjaitan (LBP) adalah contoh buruk. Luhut yang mestinya melaporkan sendiri atas pencemaran nama baik dirinya. Menempatkan diri dalam kedudukan yang sama di depan hukum. Meskipun Luhut adalah seorang Menteri. Obyektivitas dalam penanganan hukum, seharusnya menjadi prioritas dari penegak hukum. Terutama pada situasi kebutuhan mendesak adanya stabilitas politik dan hukum. Apalagi ketika kepercayaan kepada Pemerintah sedang merosot. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Hukum.

Seandainya George Floyd Itu Orang Indonesia

By Tony Rosyid Jakarta FNN – Kamis (04/06). Dunia tahu, George Floyd itu orang Amerika. Warga kulit hitam yang terbunuh oleh seorang polisi Amerika. Seluruh dunia menjadi geger. Demo terjadi tidak saja di hampir seluruh Amerika, tetapi juga di sejumlah negara Eropa. Satu nyawa melayang telah menghebohkan dunia. Tidak saja demo, penjarahan dan kerusuhan bahkan marak di sejumlah negara bagian Amerika. Rakyat Amerika marah. Masyarakat dunia juga marah. Mereka marah untuk membela Floyd. Dunia marah untuk melawan kedzaliman dan kesewenang-wenangan aparat negara. Mereka turun ke jalan untuk menuntut keadilan. Melihat fenomena Floyd ini, saya teringat Indonesia. Sebuah negara subur yang rakyatnya nggak pernah makmur. Di negara Pancasila ini harga nyawa tak semahal di Amerika. Banyak pembunuhan yang tidak terungkap. Banyak kematian misterius yang berlalu begitu saja. Penculikan dari satu rezim ke rezim yang lain, lewat begitu saja. Ada 894 petugas KPPS yang meninggal dunia. Seorang dokter coba mengusut, justru mendapat teror. Bahkan dianggap menebar berita bohong. Tragisnya lagi, terancam untuk diperkarakan. Mahasiswa dan demonstran mati. Namun tidak mudah untuk sekedar mengucapkan bela sungkawa. Apalagi sampai mau membela. Baru-baru ini, dua orang petani di Poso, Sulawesi Tengah ditembak mati saat lagi bakerja di kebun. Sebelumnya, ada dua orang yang juga ditembak mati di daerah yang sama. Sampai sekarang belum juga terusut. Padahal dua lagi sudah menyusul, mati ditembak. Nggak jelas juga. Apakah itu peluru resmi, atau selundupan? Baru bisa terungkap jika para pelaku tertangkap. Soal tangkap-menangkap, dinamikanya terkadang rumit. Bergantung siapa pelakunya yang mau ditangkap. Bergantung juga siapa yang mau menangkap. Tak jarang terjadi adu kuat dalam soal tangkap-menangkap. Harun Masiku adalah contoh yang belum bisa hilang dari memori rakyat negeri ini. Rumit sekali untuk menangkap Harus masiku. Coba saja kalau anda yang main suap, pasti gampang ketangkap. Di negeri ini, tampaknya tak semua pelaku pembunuhan bisa terungkap. Apalagi cuma teror seperti yang dialami oleh Prof. Dr. Ni'matul Huda, guru besar hukum tata negara Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta. Hal yang sama dialami empat orang dari kampus UGM yang berencana mengadakan seminar bertajuk "Persoalan Pemberhentian Presiden Di Era Pandemi Ditinjau Dari Sistem Ketatanegaraan". Dari cerita media, teror ini kelihatan sangat Terstruktur Sistematis dan Masip (TSM). Banyak yang menduga, teros di kampus UGM ini dilakukan oleh kelompok yang profesional. Namun siapa saja mereka? Sebaiknya kita tunggu kabar lagi dari aparat kepolisian. Kembali pada soal George Floyd. Dia beruntung, karena dia warga negara Amerika. Setidaknya, banyak yang belain dia. Coba saja, seandainya Floyd itu warga negara Indonesia, pasti lain ceritanya. Tak akan banyak yang peduli. Apalagi sampai turun ke jalan untuk membela. Bukan karena rakyat Indonesia nggak peka dan tak punya rasa kemanusia. Namun lebih karena rakyat yang takut. Banyak sekali peristiwa akhir-akhir ini yang membuat rakyat semakin takut. Paling-paling cuma berani "ngedumel" di medsos. Itupun sambil was-was. Seringkali terjadi para pembongkar kejahatan justru dilaporkan. Ujung-ujungnya malah dijebloskan ke dalam penjara. Tragis nasib mereka yang membongkar kejahatan. Karena memilih aman, banyak orang akhirnya diam melihat kejahatan terjadi di depan mata. Demi menjauh dari risiko. Sambil ngelus-ngelus dodo dan berbisik sendiri. Oh negeriku... Oh..bangsaku... Akibatnya, kedzaliman pun bebas beroperasi tanpa ada rasa takut. Apalagi kalau parlemen juga diam, atau malah ikut ambil bagian. Maka sempurna jadinya. Meminjam istilahnya Prof Din Syamsudin, disinilah kemungkaran terstruktur terjadi. Nasib Floyd beda dengan nasib para mahasiswa, demonstran, buruh dan petani di Indonesia. Kematian Floyd telah ditulis oleh sejarah bangsanya. Bahkan ditulis oleh sejarah dunia. Tak menutup kemungkinan menjadi trigger bagi perubahan sejarah dan peradaban negara Paman Syam itu. Tak mustahil Donald Trump, presiden Amerika pun bisa jatuh karena satu nyawa seorang kulit hitam bernama George Floyd. Melalui tulisan ini saya hanya ingin mengatakan bahwa demokrasi itu bisa tegak dan berarti jika satu suara rakyatnya dihargai. Apalagi satu nyawa. Satu nyawa di negara demokrasi sama harganya dengan nyawa seluruh anak bangsa tersebut. Bangsa yang tidak dapat menghargai nyawa rakyatnya adalah bangsa yang sulit untuk membangun peradabannya. Jika ada suatu bangsa mengaku penganut demokrasi, tapi tak menghargai nyawa manusia, maka bangsa itu adalah bangsa pendusta. Dan demokrasinya adalah demokrasi dusta juga. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Negara Kewirausahaan, Refleksi Pemulihan Ekonomi Indonesia

By Andi Rahmat Jakarta FNN – Kamis (04/05). Istilah negara kewirausahaan (Entreprenuerial State) diperkenalkan kali pertama oleh Mariana Mazzucatto, Profesor Ekonomi di University College of London, dalam bukunya yang berjudul sama. Dalam istilah Mariana, negara merupakan “key actors that has been an investor of first resort”. Dalam bukunya itu, Marianna membongkar apa yang disebutnya sebagai mitos tentang kontribusi pengusaha dan bisnis rintisan sebagai penggerak inovasi. Sebaliknya, inovasi merupakan proses kolektif, dimana institusi publik (baca : negara) memainkan peran yang sangat penting (Marianna Mazzucato, The Entreprenuerial State, Debunking Public vs Private Sector Myths, Anthem Press, 2013). Memahami fungsi penting negara (baca : Institusi Publik ) dalam inovasi, pemahaman Marianna akan membantu kita memahami mengapa penciptaan kekayaan (wealth creation) seringkali terdistribusi secara tidak tepat, atau dengan kata lain melalui mekanisme yang tidak pas (dysfunctional ways). Dengan mengutip Mazzucatto, saya sesungguhnya tidak sedang mengatakan bahwa negaralah yang paling determinan dalam menciptakan inovasi. Tetapi tulisan ini sebetulnya menghendaki dan mendorong agar negara mengambil peran yang lebih aktif dalam mendorong inovasi. Juga menciptakan talenta kewirausahaan. Ketimbang menganggap bahwa aktor swasta atau non-negara dibiarkan menjalankan fungsinya itu tanpa perlu peran aktif negara. Amerika Serikat dan China adalah dua contoh klasik dalam hal ini. Amerika memiliki Silicon Valley dan China memiliki Shenzen. Institusi publik di dua negara itu berperan besar dalam melapangkn jalan bagi inovasi. Negara seringkali merupakan garda terdepan pada pengembangan inovasi lanjutan. Internet merupakan contohnya yang menonjol. Pada mulanya dikembangkan sebagai sistem komunikasi di Departemen Pertahanan AS. Dalam pengembangan berikutnya, telah menjadi kenyataan hidup sehari-hari manusia. Alghoritma pencarian Google, pada mulanya dikembangkan dan dibiayai oleh Hibah dari National Science Foundation. GPS, aktivasi Suara merupakan teknologi yang mulanya dikembangkan dan dibiayai oleh Departemen Pertahanan AS. China pun demikian. Pengembangan Artificial Inteligent (AI), Mobil Listrik, Drone, Pengenalan Wajah (Face Recognition), Sistem Pembayaran Digital, Teknologi dan Infrastruktur 5G, Komputasi Kuantum , dan banyak yang lain. Semuanya memperoleh hibah dana dan difasilitasi langsung Institusi Publik China. Singapura mempelopori upaya luas dalam merangsang inovasi dan merubah wajah bisnis Singapura menjadi garda terdepan pengembangan bisnis berbasis teknologi maju. Global Talent Competitive Index (GTCI) menempatkan Singapura pada peringkat 2 dunia sebagai negara dengan ketersediaan talenta teknologi. Singapura telah berkembang menjadi pusat pengembangan bisnis cyber security dunia. Singapura adalah negara paling menarik untuk memulai bisnis inovatif dan berbasis teknologi. Pada tahun 2017, menurut lembaga pemeringkat “start up“ yang berbasis di Berlin, Nestpick, Singapura menjadi tempat terbaik untuk bisnis rintisan mengalahkan 80 negara lain, termasuk china dan Amerika. Peran negara dalam merangsang lahirnya inovasi, yang pada gilirannya membiakkan lahirnya kultur kewirausahaan sungguh sangat besar. Peran itu bersifat tradisional dan inheren dalam “negara”. Baik negara dalam pengertian “negara-bangsa” paska Westphalian maupun “ negara” sebelum Westphalian. Justin Mirozzi didalam bukunya yang cukup tebal, “Islamic Empires; Fifteen Cities That Define A Civilization” (Penguin, 2019), merekam peran kuat “negara” dan penguasa dalam merangsang inovasi. Juga menciptakan bisnis dan menumbuhkan peradaban. Mirozzi sendiri tidak secara khusus membicarakan konsep “negara kewirausahaan” didalam bukunya itu. Tetapi penceritaan terhadap kota-kota seperti, Baghdad, Isfahan, Cordoba, Fez, Damaskus menunjukkan kuatnya pengaruh penguasa dalam menumbuhkan kota, dan ekonomi aglomerasi berbasis inovasi yang berkembang pesat di kota-kota tersebut. Peran penting negara itu terletak pada keberpihakannya pada inovasi dan penumbuhan kultur kewirausahaan. Pada bidang inovasi, peran itu terletak pada keseriusan institusi publik untuk menginisiasi riset dan pengembangan teknologi berbasis sains aplikatif. Keseriusan itu terlihat pada alokasi anggaran dan keberanian negara mengambil resiko kegagalan dalam upaya inovatif. Dalam penumbuhan kultur kewirausahaan, peran negara itu terletak pada pemberian kesempatan yang seluas-luasnya kepada setiap warganya untuk melakukan kegiatan usaha. Kesempatan yang luas itu berupa penciptaan pasar usaha yang symetris, non monopolistik dan oligopolistic. Juga memerangi kartelisme dalam penguasaan kue ekonomi. Termasuk juga pada penyederhanaan regulasi dan hambatan usaha. Pada tingkat tertentu, perlu subsidi terhadap upaya inovatif bisnis rintisan yang bertujuan untuk merangsang pengambilan resiko dalam memulai bisnis.Catatan kami menunjukkan bahwa dalam dua peran penting negara inilah yang menjadi kelemahan fundamental kita selama ini. Unesco menyebutkan, alokasi riset tahun 2018 di Indonesia baru 0,3% dari total PDB. Jauh dibawah Korea, Jepang,Singapura dan China yang berada di atas 2% dari PDBnya. Menristekdikti menyebutkan peningkatan anggaran riset dari tahun 2016 ke tahun 2018 hanya berkisar 0,03% dari PDB. Pada tahun 2019, alokasi APBN terhadap riset berjumlah Rp. 35,7 trilliun, yang tersebar diberbagai institusi publik. Isu utamanya adalah upaya kreatif untuk menyambungkan alokasi anggaran riset itu pada penerapan aplikatifnya bagi sektor bisnis. Fokus yang memadai pada riset garda depan, yang berhubungan dengan pengembangan lanjut disektor bisnis membutuhkan keberpihakan negara. Kongkritnya, terutama dan pada tahap permulaan adalah dalam rangka pemenuhan kebutuhan institusi publik. Regulasi pemenuhan kebutuhan dalam negeri yang selama ini dianut, belum menempatkan riset dan pengembangan sebagai “champion” dalam pemenuhan lokal konten. Hal itu dapat dibuktikan dalam alokasi riset pengembangan yang masih minim, kalau tidak dikatakan tidak dipersyaratkan sama sekali, pada perencanaan kebutuhan institusi publik. Kementerian Risettek, yang merupakan garda terdepan pengembangan teknologi, untuk tahun 2020, hanya bisa mengalokasikan Rp 1,46 triliun untuk riset dan pengembangan. Ini saja sudah menunjukkan level keseriusan kita dalam mempersiapkan infrastruktur persaingan global Indonesia. Indonesia, ratio kewirausahaan barulah berkisar 7% dari total populasi. Jauh dibawah angka 14% yang menjadi “treshhold” dalam ratio kewirausahaan yang dianggap kompetitif. Dalam laporannya ditahun 2019, Global Talent Competitiveness Indeks ( GTCI ) menempatkan Indonesia pada pada posisi ke 67 dengan skor kompetitif kewirausahaan 38,61. Jauh di bawah Singapura yang berada diurutan kedua dengan skor 77,27, Australia diurutan 12, Malaysia diurutan 27, Brunei 36, Philipina 58 dan Thailand 66. Indeks GTCI mengukur talenta kewirausahaan suatu negara dan kota-kota dinegara tersebut. Didalam laporan yang sama, talenta kewirausahaan dianggap merupakan komponen kritis dari kemampuan kompetitif dan inovasi. Tetapi yang menggelisahkan, mengutip William Boumol, talenta kewirausahan terlalu sering disia-siakan. Juga semakin menderita disebabkan misalokasi massif yang disebabkan oleh lingkungan yang tidak efisien dan struktur organisasional yang tidak familiar dengan pengambilan resiko (GTCI 2019, Insead, 2019). Padahal, talenta kewirausahaan yang sesungguhnya merupakan kombinasi dari kreatifitas, inovasi, fleksibilitas. Adaptasi dan pengambilan resiko, merupakan kunci penentu dalam “global scramble for prosperity”, dimana keterampilan kewirausahaan makin langka dan gelombang tren perubahan yang semakin cepat dan ketat. Mengimplementasikan suatu konsepsi “entreprenuerial state “ menjadi suatu tantangan tersendiri bagi upaya pemulihan ekonomi. Diantara objektif yang seyogyanya terdefinisi secara nyata dalam kebijakan pemulihan ekonomi nasional adalah perbaikan rasio kewirausahaan Indonesia. Sudah selayaknya para pengambil kebijakan memasukkan ini dalam tujuan kebijakannya. Seperti yang pernah dilakukan, dan sekarang telah menjadi parameter baku dalam pembahasan Nota Keuangan Pemerintah setiap tahun. Tujuan pelaksanaan APBN dinyatakan dalam pencapaian target penurunan angka kemiskinan dan rasio penciptaan lapangan kerja. Target penumbuhan kewirausahaan juga selayaknya menjadi parameter penting dalam perencanan dan pelaksanaan APBN. Indonesia akan segera memasuki ledakan demografi. Oleh banyak pihak dianggap sebagai “masa emas” perekonomian suatu bangsa. Memasuki masa ini dengan berbekal rendahnya rangsangan inovatif dan rendahnya rasio kewirausahaan, tidak saja akan membuat kita tidak bisa mengambil manfaat besar. Kondisi ini juga akan membuat kita selamanya tidak bisa mencapai puncak performa yang diperlukan untuk melepaskan diri dari “middle income trap” dan menjadi negara maju. Bukan sekedar “emerging country”. Wallahu ‘alam bishawab. Penulis adalah Pelaku Usaha dan Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI.

Ibadah Haji Jadi Mainan Karena DPR Hanya Pajangan

By M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Kamis (04/06). Meski diduga ibadah haji akan tertunda tahun ini, namun pembatalan sepihak dari Kementerian Agama (Kemenag) cukup mengejutkan. Kali ini yang mereaksi keras, justru dari DPR-RI. Alasannya, pembatalan tanpa pembahasan bersama antara Pemerintah dengan Dewan. padahal agenda pertemuan telah dirancang. Kemenag mengambil keputusan "mendahului" pembahasan dengan dewan. Alasan pembenaran yang disampaikan ke publik, karena "diminta oleh Presiden". Jadi, penyebab pengambilan keputusan untuk pembatalan ibadah haji tahun ini adalah Presiden. Pemerintah diduga malah khawatir, jika nantinya Pemerintah Arab Saudi ternyata membuka pintu untuk dilaksanakannya ibadah haji tahun 1441 H ini. Tentu saja dengan keyakinan wabah covid 19 telah teratasi. Kekhawatiran ini dikaitkan pada persiapan atau penggunaan dana haji. Untuk itu, pemerintah mengusulkan agar penggunaan dana haji yang dari APBN dapat digeser dulu. Dialokasikan dulu untuk mengatasi wabah covid 19. Rencana ini telah disetujui oleh DPR, dengan catatan Pemerintah Arab Saudi memang menutup pelaksanaan ibadah haji. Tanpa menunggu kebijakan atau keputusan dari Pemerintah Arab Saudi, Kemenag telah mengumumkan pembatalan ibadah haji untuk tahun ini. Akibatnya Dewan meradang. Terkuaklah bahwa pembatalan ini merupakan permintaan dari Presiden. Ada prediksi, sesuai Perppu No. 1 tahun 2020 yang disetujui DPR menjadi UU No.2 tahun 2020, bahwa penggunaan dana APBN yang dikaitkan dengan penanggulangan Covid 19 tidak perlu mendapat persetujuan dari DPR. Juga tidak perlu dipertanggungjawabkan secara hukum. Timbul pertanyaan, adakah dana haji dari APBN sudah digunakan? Sehingga perlu keputusan sepihak dan tergesa-gesa dari Kemenag untuk membatalkan ibadah haji? Pertemuan Menteri Agama dengan Komisi VIII DPR RI semoga tidak hanya bersifat formalitas belaksa. Pertemuan yang tidak menjadikan pelaksanaan ibadah haji menjadi mainan semata. Keseriusan sangat dituntut. Apalagi sebagaimana Menag sampaikan bahwa pembatalan ini adalah permintaan Presiden. Artinya, Presidenlah yang bertanggung jawab. DPR menyebut sebagai pelanggaran Undang Undang. Haji kini menjadi obyek dari "fait accompli". Mau tidak mau, yang lain harus menyetujui. Sepertinya bakal menjadi kebiasaan Pemerintah dengan mengentengkan posisi Dewan. Beberapa Perppu adalah contoh. Demikian juga RUU yang baru ditetapkan menjadi undang-undang. Menteri Agama tidak cukup dengan meminta maaf karena nasib 200.000 calon jamaah haji yang sudah membayar lunas BPIH yang menjadi kewajiban mereka. Presiden harus diminta keterangan oleh Dewan. Apa alasan Presiden memerintahkan Menteri Agama membatalkan pelaksanaan ibadah haji tahun ini sebelum adanya keputusan rasmi dari pemerintah Arab Saudi? Meminta penjelasan Presiden tentang pembatalan pelasanaan ibadah haji tahun ini adalah bagian dari hak-hak yang dimiliki Dewan. Hak DPR yang diatur secara jelas dalam konstitusi UUD 1945. Penjelasan Presiden ini sekaligus untuk mempertanggungjawabkan kepada rakyat, khususnya calon jama'ah haji. Bahwa covid 19 itu merupakan penyebab semua dapat memaklumi. Akan tetapi kepastian hukum harus terklarifikasi dan terverifikasi. Jama'ah tidak boleh dirugikan. Dana jama'ah itu tidak boleh terganggu dengan alasan apapun. Dana itu sangat besar. Jumlahnya mencapai trilyunan rupiah. Negara tidak boleh mencari kesempatan dalam kesempitan. Urusan kepentingan rakyat, jangan sampai tumbal dari kebijakan pemerintah. Apalagi yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah wajib dalam hukum Islam. Pandemi corona jangan menjadi penghalal atas nama kedaruratan. Setelah Menag mengaku salah atas perintah Presiden, maka selanjutnya Presiden yang mesti dimintai pertanggungjawaban. Pertanyaan beratnya adalah, berani dan punya nyalikah DPR RI untuk melakukan itu kepada Presiden? Inilah keraguan terbesar dari sebagian besar rakyat Republik Indonesia saat ini. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Keagamaan.