ALL CATEGORY

Muakanya Ketidakadilan, Amerika Dilanda Demonstrasi Besar

By Dr. Margarito Kamis, SH.M.Hum Setelah sekitar satu dekade kebebasan semu, kondisi serupa perbudakan dihidupkan kembali lewat perjanjian Utara-Selatan yang memungkinkan kriminalisasi secara efektif bagi orang kulit hitam. Lelaki kulit hitam yang berdiri disudut jalan bisa ditangkap karena menggelangdang atau karena percobaan perkosaan, jika dituding memandangi wanita kulit putih dengan cara yang salah. Dan sekali dipenjara, tipis sekali peluangnya bisa selamat dari sistem “perbudakan dengan nama lain” (Noam Choamsky) Jakarta FNN – Kamis (04/06). Muak, muak dan muak. Ini benar-benar menjadi kata terpilih yang paling tepat mewakili suasana hati demonstran Amerika sepanjang satu minggu ini, siang dan malam. Black Live Matter, No Justice, no peace, Justice for Floyd, Racism is enough menggema menyatukan demonstran, berkulit hitam dan putih. Benar-benar menarik. Demonstran berkulit hitam dan putih melebur dalam, bukan parade, tetapi demonstrasi. Praktis delapan hari ini setelah kematian George Floyd, pria kulit hitam itu, menjadi hari penuh olok-olok kehebatan demokrasi dan rule of law di Amerika. Demonstran itu membuka mata dunia agar tak terlalu bodoh membebek pada rule of law dan demokrasi Amerika. Dunia harus cermat mengenal canggihan demokrasi payah yang diekspor Amerika ke luar negeri. Demonstran menunjukan ada masalah besar dalam sistem hokum. Yang suka atau tidak, merupakan kristalisasi sosial politiknya. Rancangan Tidak Adil Republik bercitarasa imperial, mungkin harus dipertimbangkan untuk lebih sering disematkan pada negeri itu. Delapan hari yang lugas disepanjang jalan yang dilalui demonstran, jelas untuk konteks itu. Ketidakadilan sistemik telah mematikan, memeluk semua orang. Dan orang hitam muncul sebagai korban paling popular, dengan rasa sakit yang sangat pahit. Bisa dibayangkan bila pria kulit hitam menatap wanita kulit putih, entah apa namanya saja, bisa menjadi sebab berurusan dengan Polisi. Mau disebut apa sistem itu? Untuk alasan apapun, tidak dapat disebut tipikal demokrasi. Tidak. Ini lebih buruk dari abad orang-orang diperjual-belikan awal abad ke-17 dulu. Orang hitam memang bukan pribumi negeri itu. Orang Indianlah yang pribumi. Dimana mereka sekarang dan bagaimana orang hitam sampai di negeri harapan ini? Itu saja telah menjadi soal. Dan ini, menandai filsafat John Locke yang menginspirasi para pembuat UUD negeri itu hanya bekerja secara parsial. Perlakukan yang sepenuhnya sesuai tradisi Spanyol dan Inggris, kepada orang hitam, jelas. Mereka adalah barang, komoditi yang diprdagangakan. Begitu tradisi lama kedua negara ini. Spanyol dan Inggris – muncul dalam dunia perdagangan saat itu – awal abad ke-17- sebagai pedagang manusia. Orang-orang kulit Hitam dijadikan barang dagangan. Mereka diperdagangkan oleh korporasi-korporasi Spanyol dan Inggris. Perdagangan ini disetujui oleh raja-raja mereka. Itu menjadi sebab satu-satunya orang-orang kulit hitam berada di Amerika. Tidak lebih dari itu. Danisse Spillberg menulis, di tahun 1619, dua puluh budak tiba di Viriginia. Jumlah ini meningkat menjadi 120.156 jiwa. Siapa, korporasi apa yang leading dalam urusan ini, tidak dijelaskan oleh Deniese. Kajian ini justru muncul dalam perspektif analogis pada kajian Nathanael Kreimeyer. Kajian post graduate bidang sejarah pada Liberty University, yang Kreimeyer lakukan ditemukan Virginia Company sebagai pelopor. Mirip VOC di Indonesia, Virginia Company membentuk House of Burgeses pada tahun 1619, diisi oleh orang freeman and freeholder, ya ordinary atau nobleman. Sepanjang tahun 1607-1625 Virginia Company mengatur Virginia. Okupasi ini berakhir setelah kerajaan Inggris mengambil alih pada tahun 1625, dan memerintahnya hingga tahun 1776. Lalu bagaimana menjelaskan kenaikan jumlah budak di Amerika yang disebut Deniele? Lama setelah tahun-tahun, awal kejayaan Virginia Company, Royal African Campany memasuki perdagagan di Africa. Bermotif itu, Royal Afican Company (RAC), mendorong pembentukan An Act to the Settle Trade to Africa 1698. Studi Francis Horrigan, menunjukan dengan sangat tepat Royal African Comopany memperjualbelikan orang-orang hitam dari Afrika. Didatangkan sebagai barang. Bukan sebagai manusia, sehingga mengakibatkan mereka terus berstatus sebagai barang milik para tuan-tuan kebun. Status itu terus menandai mereka setelah Amerika beralih dari konfederasi ke Serikat tahun 1789. Mereka, jadinya tak terkonsep oleh Thomas Jefferson sekalipun sebagai manusia mulia. Gema kemuliaan hanya untuk orang kulit putih. George Washington dan Thomas Jefferson, dua pria Virginia yang menjadi Presiden pertama dan Ketiga Amerika, dalam identifikasi Deniese A. Spilberg pada buku Kontroversi Al-Qur’an Thomas Jefferson’s, juga memiliki budak kulit hitam. George Washington memiliki tidak kurang dari 300 budak. Thomas Jefferson memiliki budak sebanyak 187. Thomas Jefferson, pria penulis deklarasi kemerdekaan Amerika, dan sejumlah piagam hak asasi manusia itu, bukan tak berusaha menghentikan perdagangan buruk ini, tulis Deniese. Tetapi dia gagal. Menariknya, kedua orang ini berbeda lagi dalam kebijakan pribadinya terhadap budak. Washington, tulis Deniese selanjutnya, dalam wasiatnya memerdekakan semua budaknya. Bagaimana dengan Thomas Jefferson? Menurut Deniese Jefferson, pria yang memiliki dan mempelajari Al-Qur’an, dan mempelajari hukum Islam, khusus hukum Waris Islam untuk kepentingan pembelaannya, hanya memerdekakan tiga orang budak sepanjang hidupnya. Politik rasis ini memicu perang saudara, Utara-Selatan. Perang yang hempir saja membelah negara itu pada awal pertengahan abad 19. Pada tahun 1830-an, tulis Doktor Grier Stephen, pengajar Franklin and Marshal College, hukum-hukum menagar bagian mengatur syarat, untuk memiliki sejumlah harta untuk kulit putih lelaki bisa memilih, dihilangkan. Tetapi tidak untuk kaum kulit hitam. Kelak Amandemen konstitusi pada tahun 1865, setelah perang saudara berakhir, syarat kepemilikan harta yang semula hanya ditujukan pada kulit putih, diberlakukan juga unutk kulit hitam. Tetapi segera muncul syarat baru yang lain. Syarat baru ini mengakibatkan kulit hitam tak bisa memilih. Syarat itu adalah sebelum tanggal 1 januari 1868, pemilih harus menguikuti tes melek huruf untuk dirinya dan keturunannya. Grier menulis, syarat ini jelas mengakibatkan orang hitam tak bisa memilih. Diskriminasi kepada kulit hitam berlangsung terus hingga mendekati akhir abad ke-20. Memisahkan orang hitam dari putih secara fisik dalam banyak hal, itulah Amerika hingga akhir abad ke-20. Hakim-hakim Agung, termasuk Oliver Wendel Holmes, sering diterima dengan nada pujian di Indonesia sebagai juris top. Dia berada pada blok ini dalam memutus beberapa kasus tahun 1915. Holmes misalnya menolak argument McCabe yang memperkarakan Atchison, Topeka & Santa Fe Railway Co. McCabe berpendapat “separate but equal” adalah cara memebri akses pada kulit hitam menikmati kereta api. Tetapi ini ditolask oleh pengadilan. Pengadilan di sisi lain, pada kasus lain membenarkan hak Polisi menjaga keamanan, untuk mencegah kekerasan rasial. Grier menulis namun saat 1960-an, bergulir di Selatan hanya satu dari empat orang kulit hitam yang memenuhi syarat untuk memilih yang terdaftar. Dan yang akhirnya pergi ke tempat pemilihan lebih kecil dari jumlah tersebut. Perjuangan di dua medan ini baru benar-enar mencapai operubahan yang menggembirakan pada tahun 1965. Pada tahun itu Amerika mengamandemen konstitusi yang ke-24. Dalam amndemen ini diatur larangan memberlakukan pajak pemilihan umum tingkat federal. Dua tahun kemudian Mahmakah Agung menggugurkan ketentuan tentang persyaratan pemungutan pajak untuk pemilihan federal. Segera setelah itu Amerika membentuk UU tentang Hak-hak Pemungutan Suara, Voting Rights, tahun 1965. Indonesia Baik Saja Tetapi justru di titik itulah menariknya negeri ini. Mengapa? Pertama, bukan hanya telah memungkinkan orang kulit hitam memasuki pekerjaan politik dan official, tetapi lebih dari itu. Belum lama Amerika berjaya dengan kulit hitam, Tuan Barack Obama, berada di puncak politik Amerika. Dia jadi Presiden. Sudah berkulit hitam, dicurigai muslim pula. Beristrikan wanita berkulit hitam juga, tetapi tetap bisa menduduki kursi presiden, terlihat cukup mengagumkan. Tuan Obama pasti juga dipilih oleh kulit putih, entah karena terbuai kemampuan retoris yang hampir melebihi Abraham Lincoln mendekorasi kata demi kata, atau karena Joe Biden, itu soal lain. Apapun itu, mereka berbaris bersama di barisan Tuan Obama. Lalu mengapa masa 10 tahun yang hebat itu, melayang bersamaan datangnya pemimpin baru? Sebelum Obama berkibar di puncak politik negeri ini, Keith Ellison, pria kulit hitam beragama Islam, lebih dahulu berkibar di Kongres. Orang kulit hitam lainnya juga berkibar di pemerintahan lokal dan kongres ini. Ini hebat. Kedua, nampak berkorelasi dengan kepemimpinan. Presiden Eishenhower memiliki kata yang begitu indah, kuat daya rekatnya untuk bangsa itu ketika ia meresmikan Masjid Pusat Islam di Ibu Kota negara tahun 1957. Presiden Eishehower juga yang mengirim pasukan Garda Nasional untuk memaksa Orval Eugene Vaubus, gubernur negara bagian Arkansas, memenuhi putusan Mahkamah Agung. Putusan itu menyatakan segregasi soal kulit hitam dan putih di dunia pendidikan adalah kebijakan yang inkonstitusional. Tuan Obama lama sesudah itu bicara dalam nada universalitas kemanusiaan yang hebat ketika mungkinkan pendirian Masjid di bekas Ground Zero. Semuanya terlihat berbeda pada era Tuan Trump berkuasa. Memang Tuan Trump tidak menjadi penyebab langsung dari demo ini. Namun kebijakannya untuk melarang, membatasi orang-orang dari sejumlah negara tidak bisa memasuki Amerika, menggema luas didunia sebagai yang paling rasis dan telanjang pada awal pemerintahannya. Ketidaksukaannya terhadap dua politisi perempuan kulit hitam Demokrat, terbilang aneh. Tetapi persis seperti itulah yang terjadi, dan semuanya terlihat cukup telanjang. Ada nada rasis yang telanjang. Nada itulah yang tampaknya tak bisa jauh dari Trump. Pada kasus Floyd, nada itu terlihat lagi. William J. Barber Co-Chair The Poor Campaign; A National Call For Moral Review terang-terangan menggambarkan Trump dengan kata-kata “every time he open his mouth, the spread racism”. Pada waktu bersamaan, Rayshawara Ray, sosiolog dari Meryland University menggambarkan dalam masa pandemi ini, 80-90% orang kulit hitam ditangkap. Mereka dituduh melanggar aturan social distancing (Lihat Assosiate Press, 30/5/2020). Beberapa bulan sebelumnya, Ahmaud Auberi, pria berusia 26 mati ditembak seorang tentara. Penembak teridentifikasi berkulit putih. Sepanjang 2020 ini telah terjadi perisitwa serupa tak kurang dari tiga kasus. Cukup beralasan, karena itu menilai semuanya memuakan. Sesak napas mereka oleh rasisme. Cukup menarik, ujung jari tangan-tangan putih, melambai-lambaikan karton-karton bertulisan “I Can’t Breath” (saya tidak bisa bernapas) di sepanjang jalan demo. Sesak bukan saja karena George Floyd, yang telah ditelungkupkan di atas trotoar, lalu lehernya ditekan dengan lutut Polisi sombong, Derek Chauvin, hingga tak bisa bernapas. Nampaknya orang-orang ini merasa sesak nafasnya atas keangkuhan rasisme, kesombongan dan ketidakadilan hukum. Hari ke delapan sudah “ledakan rasisme, ketidakadilan yang memuakan” menemani Amerika. Ini yang terasa aneh. Hitam dan putih bergandeng tangan berdemo. Kenyataan ini memanggil tanya siapa bermain dibalik fanatisme, bahkan supremasi kulit putih, Ku Kulux Klan di Amerika? Pembaca FNN yang budiman, tuan George Bush Jr, juga Tuan Obama telah berbicara untuk perubahan sistem hukum dan pengadilan yang lebih nyata di kemudian hari. Akankah ini dikerjakan oleh Joe Biden? Ah kata Noam Choamsky, politisi Amerika telah terlalu akrab dengan korporasi. Orang-orang Amerika, kata Choamsky telah memenuhi gambaran Walter Lippman tentang orang-orang kebingungan. Sama dengan orang Indonesia. Tetapi apapun itu orang-orang Amerika, hitam dan putih, sedang terbakar dengan kemuakan atas ketidak-keadilan, dan menuntu perubahan. Bagimana dengan di Indonesia? Ha ha ha, semua masih baik-baik saja. Ini negeri gemah ripah loh jinawi ko. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate

Halo Dirut TVRI, Kenapa Takut Dengan Rekam Jejak Pro-PKI?

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Rabu (03/06). Dirut TVRI yang baru, Iman Brotoseno (IB) menghapus akun Twitternya, @imanbr. Dia juga menutup blognya. Di kedua akun ini, IB punya banyak rekam jejak yang pro-PKI, pro-Gerwani, pro-pornografi. Plus, sikapnya yang cenderung tak suka pada figur-figur Islam, kalau pun tidak bisa disebut tak suka Islam. Dia babak belur diganyang oleh banyak orang dari segala lapisan. Ada netizen biasa, wartawan, penulis, politisi senior, dlsb. Semua ikut menyerang. Bagi mereka, IB tak layak menjadi Dirut lembaga siaran publik dengan semua rekam jejak yang dianggap buruk itu. Selama bertahun-tahun ini, IB memang gencar memperlihatkan preferensinya terhadap paham komunis. Di kedua akun medsos yang ditutupnya itu. Iman Brotoseno juga mengatakan Hari Kesaktian Pancasila tidak relevan lagi jika hanya dianggap sebagai cara mengenang jenderal-jenderal yang dibunuh PKI. Yang menjadi pertanyaan: apa salahnya Iman Brotoseno menunjukkan sikap pro-PKI? Bukankah itu lebih bagus? Dalam arti tegas dalam berprinsip. Transparan dalam bersikap. Tidak mencla-mencle. Bukankah orang seperti ini yang hidup terhormat? Bukankah konsistensi dalam ideologi dan sikap itu adalah perilaku yang mulia? Misalnya, dia tunjukkan rasa senangnya pada komunisme, marxisme-leninisme. Bukankah sikap ini sesuatu yang terpuji? Dalam arti, orang tidak perlu lagi mencari-cari siapa itu IB. Bukankah semua orang menjadi ‘lega’ bahwa IB blak-blakan dengan preferensi ideologinya? Tidak sembunyi-sembunyi. Bagi saya, itu malah mempermudah orang untuk memposisikan IB di peta sosial-politik Indonesia. Dengan memamerkan preferensi ideologinya itu, IB mempelihatkan sikap kesatria! Berani terang-terangan menunjukkan pikirannya. Teguh dalam berprinsip. Tentulah orang seperti beliau ini yang punya harga diri. Sekali dia tunjukkan pro-PKI dan Gerwani, dlsb, dia tidak gentar dan tidak mundur. Begitulah seharusnya. Sama seperti Ribka Tjiptaning. Dia menulis buku “Aku Bangga Jadi Anak PKI”. Anggota DPR-RI dari PDIP ini tidak malu-malu kalau publik tahu bahwa dia anak PKI. Dua jempol! Tapi, mengapa sekarang Iman Brotoseno seperti ketakutan dengan rekam jejaknya yang membela PKI, membela Gerwani, dan membenci Islam? Sampai-sampai dia harus menghapus akun Twitter dan blog yang berisi banyak cuitan dan tulisan “yang bagus-bagus” meskipun kontroversial. Agak mengherankan. Seharusnya sekarang, dengan jabatan penting sebagai Dirut TVRI, IB semakin keras menunjukkan keberpihakannya pada PKI. Supaya publik tahu siapa dia. Jangan malah surut. Seharusnya Anda, Bung Iman Brotoseno, tidak menghapus akun-akun medsos itu. Kalau perlu ditambah lagi. Jika tadinya Anda punya akun Twitter dengan nama @imanbr, sekarang buat yang lebih lantang lagi. Misalnya, gunakan nama @imanbrpropki, dlsb. Kok malah dihapus akun-akun medsos Anda itu? Sayang sekali. Apalagi banyak ‘follower’-nya. Dihapus itu artinya Anda pengecut. Tunjukkan saja pro-PKI dan komunisme. Mengapa takut atau malu-malu? Sekarang Anda menjadi Dirut TVRI. Inilah waktunya Anda lebih leluasa membela PKI. Anda sekarang mengendalikan televisi publik itu. Kesempatan baik bagi Anda untuk mempromosikan PKI atau ajaran-ajaran yang membuat umat Islam meradang. Isi saja TVRI itu dengan acara-acara yang mengkampanyekan komunisme-PKI. Tidak perlu terselubung. Dengan strategi begini, persoalan bangsa dan negara ini bisa ‘diselesaikan’ lebih cepat lagi. Bagus ‘kan? Ayo, Bung. Berani, enggak? Sisa-sisa PKI pasti mendukung. Dan blok politik besar “induk semamg PKI” pasti siap melindungi dan membeking Anda. Penulis adalah Wartawan Senior

Partai Gelora Indonesia Bisakah Bergelora?

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Krisis dan bencana tampaknya “berjodoh” dengan Anis Matta. Tak heran bila kalangan dekatnya menjulukinya sebagai Sang Nakhkoda di Tengah Badai. Tampil ke puncak pimpinan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ketika partai tersebut mengalami goncangan besar. Dilanda krisis dan bencana kepemimpinan. Kini dia muncul kembali mendirikan partai baru, di tengah bangsa mengalami bencana dan krisis akibat pandemi. Menkumham Jasonna Laoly Rabu (2/6) menyerahkan SK badan hukum Partai Gelora Indonesia yang didirikannya bersama sejumlah mantan elit PKS. Mereka tinggal mengikuti verifikasi faktual dari KPU, maka resmilah menjadi salah satu kontestan Pemilu 2024. Dalam dunia manajemen, figur seperti Anis Matta disebut sebagai turnarround artist. Figur yang mengambil alih manajemen ketika perusahaan sedang mengalami krisis, dan berhasil membalikkan situasi. Dari perusahaan yang semula nyaris bangkrut, menjadi perusahaan yang menguntungkan dan tumbuh berkembang. Akhir Januari 2013 Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai penerima suap dalam impor daging sapi. Kasus ini mengguncang PKS dan menghancurkan citranya sebagai partai yang mengusung slogan : Bersih dan Peduli. Anis terpaksa meninggalkan zona nyamannya sebagai Sekjen PKS yang telah diduduki sejak partai berdiri. Dia ditunjuk sebagai Presiden PKS baru. Tugasnya sangat berat. Memulihkan citra PKS. Pada saat bersamaan dia juga harus bisa menyelamatkan suara PKS. Pemilu 2014 sudah didepan mata. Tugas itu dilaksanakan dengan baik. Total suara PKS naik, namun dari sisi prosentase dan jumlah kursi turun. Hasil tersebut mengejutkan banyak pengamat. Semula banyak yang memperkirakan PKS bakal babak belur. Isu korupsi sangat telak menghujam jantung citranya sebagai partai dakwah yang bersih. Sejarah kemudian mencatat Anis bersama sejumlah elit PKS seperti Fahri Hamzah dan Mahfudz Siddiq, keluar dari PKS. Mereka mendirikan Partai Gelora Indonesia atau lebih dikenal sebagai Partai Gelora. Bergerak lebih ke tengah Dilihat dari ideologi Partai Gelora yang mengusung Pancasila, Anis dkk tampaknya konsisten dengan gagasan lamanya. Dia ingin mendorong PKS lebih ke tengah. Perpaduan antara Islam dan nasionalis. Bukan kanan luar yang selama ini dianut PKS. Pada Mukernas 2008 di Bali, Anis dkk mengumumkan keterbukaan PKS. Mereka membuka diri untuk bekerjasama dengan komponen lain bangsa Indonesia, bukan hanya umat Islam. Di beberapa provinsi, PKS mengusung anggota legislatif non-muslim. Namun gagasan ini secara internal tidak sepenuhnya diterima. Banyak yang menentangnya. Kini gagasan lama itu diwujudkannya melalui Partai Gelora. Mereka melangkah lebih jauh mengusung semangat kolaborasi dengan mengutamakan agenda kebangsaan. Gagasan itu sejauh ini cukup mendapat sambutan. Mereka berhasil membangun jaringan di beberapa provinsi non-muslim yang selama ini cukup sulit ditembus. Secara mengejutkan dalam waktu yang cukup singkat mereka berhasil mendirikan sebuah partai. Padahal syarat pendirian partai di Indonesia saat ini dikenal sebagai paling sulit di dunia. Harus memiliki 100 persen pengurus di seluruh provinsi. 75 persen di kota/kabupaten, dan 50 persen kecamatan. Saat ini Indonesia terdiri 34 provinsi, 514 kota/kabupaten, dan 7.904 kecamatan. Ibarat seorang bayi, Gelora dilahirkan melalui proses yang normal, bukan melalui operasi sesar. Mereka membangun sendiri jaringan di seluruh Indonesia, dengan susah payah. Bukan melalui jalan pintas. Mengakuisisi partai yang sudah berbadan hukum. Padahal mekanisme semacam itu sangat dimungkinkan, dengan biaya yang nota bene lebih murah pula. Perlu dicatat, hal itu mereka lakukan di tengah masa pandemi. Dari situ kita bisa mendapat gambaran militansi, soliditas, kekuatan jaringan yang mereka bangun dan miliki. Publik kini tengah mengamati, apakah Anis bisa membuktikan kesaktiannya kembali. Bukan “hanya” sekadar membenahi perusahaan yang mau bangkrut. Namun membangun sendiri “perusahaan” yang dapat tumbuh dan bersaing dengan parpol lain yang sudah ada. Tantangannya sangat berat, di tengah masyarakat Indonesia yang terbelah cukup dalam. Meminjam istilah mantan Presiden AS George W Bush Jr, kondisi masyarakat Indonesia saat ini berada dalam situasi “Either you are with us, or you are with the enemy.” Melihat reputasi figur para pendirinya, Menkumham Jasonna Laoly memprediksi Gelora akan menjadi partai penantang yang serius, pada Pemilu 2024. Bisakah semangat kolaborasi dan mengedepankan agenda kebangsaan yang mereka usung menjadikan Partai Gelora Indonesia sebagai partai yang bergelora? End Penulis Wartawan Senior.

BPIP Lembaga Mahal Yang Miskin Khazanah

By M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Rabu (03/06). Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi yang bertekad untuk puasa bicara karena "salah melulu". Akhirnya jebol juga bicara, saat peringatan harlah Pancasila. Yadian mengimbau para agar produsen hoaks menghentikan kebiasaannya mengeluarkan berita hoaks yang merugikan masyakat. Sindiran media adalah pertanyaan, siapa yang paling potensial untuk memproduksi hoaks itu? Arahnya adalah kekuasaan. Lembaga kekuasaanlah yang memiliki segala alat untuk memproduksi informasi hoaks tersebut. "Yudian tidak takut dipecat ?" sindirnya. Miskin khazanah, itu konklusinya untuk yang paling pas untuk BPIP. Omongannya kurang bermutu. Grasa-grusu asal ngomong. Senang memproduksi kegaduhan di masyarakat. Lalu, apa urgensinya dari lembaga yang "mahal" ini jika produksi narasi hanya segitu. Narasi kelas rendahan. Memiliki Kepala Lembaga yang narasinya "pas-pasan" saja. Terkesan kalau tidak memiliki kapasitas politik yang memadai. Apalagi jiwa kenegarawanan. Orientasi kerakyatan dan keumatan juga yang beradasa di kelas rendahan. Lebih dominan karena berada di tempat kepentingan kekuasaan. Ideologi Pancasila tidak tercerahkan kepada masyarakat dengan baik. Apalagi untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Malah semakin jauh, buram dan kusam dibuatnya. Tanggal 1 Juni sebagai hari lahirnya Pancasila saja "debatable". Masa Pancasila lahir dengan sila pertama kebangsaan dan terakhir ketuhanan yang berkebudayaan? Terbalik, justru yang ada adalah pemerosotan. Ini sama saja dengan lahir itu"sungsang". Karena sangat berbeda jauh dengan Pancasila kini, yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Semoga saja pernyataan rezim Jokowi bahwa tanggal 1 Juni 1945 sebagai lahirnya Pancasila bisa dibatalkan dan dicabut lagi setelah Jokowi nanti tidak berkuasa. Yang benar Pancasila itu lahir sempurna 18 Agustus 1945. Setelah sebelumnya melalui proses “Piagam Jakarta” yang disepakati tanggal 22 Juni 1945. Bukan 1 Juni 1945. Sebab pada tanggal 1 Juni 1945 itu sila Ke Tuhanan Yang Maha Esa Ditempat di ekor. Bukan di kepala. Yudian mengaitkan pengamalan Pancasila dalam bergotong royong. Dia juga menyontohkan masyarakat bersama membuat solokan atau gotong royong mengantar jenazah. Betapa rendah dan sesederhana itu. Lagi pula "gotong royong" itu kini menjadi kalimat samar dalam kaitan "jas merah", Pak. Pertama gotong-royong itu artinya kerjasama. Kedua, gotong royong itu adalah Ekasila nya Soekarno. Ini hanya bentuk opsi lain dari Pancasila. Bukan Pancasila. Narasi yang disampaikan kepada masyarakat jangan sampai mempermalukan dan merendahkan kelembagaan BPIP yang super mahal itu. Pancasila versus Ekasila. Sejak "salam Pancasila" dan " agama adalah musuh Pancasila" maka kompetensi Kepala BPIP ini mulai diragukan. Dampaknya, pada fungsi dan peran BPIP yang turut diragukan pula. Apalagi kini muncul RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang berbau Soekarno-isme dan Komunisme-PKI. BPIP tidak mampu mengarahkan apa-apa untuk meluruskan makna Pancasila yang ada pada RUU HIP tersebut. Oleh karena itu, sudah sangat layak jika BPIP yang Ketua Dewan Pengarahnya Megawati Soekarno Putri ini segera dibubarkan saja. Boros dan habis-habiskan anggaran saja. Mendingan, dan sangat bermaat bila anggaran untuk BPIP dipakai untuk membantu ekonomi masyarakat yang terdampak pandemii virus corona. Kembali pada produsen hoaks, rakyat bertanya siapa yang paling siap bermain di arena produksi ini? Oposisi atau yang pro kekuasaan? Pemerintah yang punya banyak alat, termasuk intelijen harus bisa membuktikan dan membongkar dimana pabrik hoaks itu berada? Apakah di Posko Oposisi atau justru adanya di dalam Istana? Ini sangat penting, agar masyarakat atau rakyat tidak terombang ambing oleh jebakan permainan hoaks yang produsennya misterius. Lakukan pelacakan, mulai dari siapa figur yang gemar berbohong, berjanji palsu, atau membangun pencitraan diri. Terus meluas dan mendalam. Dengan kemahiran pelacakan aparat, diharapkan akan ditemukan produsen hoaks sebenarnya. Lalu Yudian Wahyudi insya Allah akan kecewa karena pernyataannya terbukti tidak akurat. Selamat malakukan pelacakan. Happy tracking. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Mungkinkah PKI Bangkit Kembali?

By Asyari Usman Jakarta FNN – Selasa (02/06). Kalau pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD (31/5/2020) dijadikan pegangan, tampaknya tidak mungkin PKI bisa hidup lagi. Sebab, kata Pak Mahfud, Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang larangan penyebaran ajaran komunisme-marxisme-leninisme tidak bisa dicabut oleh pihak mana pun. Dan, kata Mahfud lagi, tidak ada juga pihak yang ingin mencabut itu. Kalaulah anda semua yakin dengan ucapan Mahfud itu bisa dijadikan landasan, tentu tidak ada yang perlu khawatir. Kecuali anda tidak percaya kepada beliau. Lain lagi masalahnya. Terlepas dari jaminan Menko Polhukam, kita semua melihat begitu banyak gejala yang menunjukkan bahwa PKI sedang berusaha untuk bangkit lagi. Kita uraikan gejala-gejala yang membuat publik, khususnya umat Islam, menjadi curiga PKI tidak akan tinggal diam. Misalnya, ada upaya yang rapi untuk membalikkan fakta. Setelah Reformasi 1998, orang-orang atau kelompok tertentu berusaha menyebarkan opini bahwa PKI tidak melakukan kesalahan dalam peristiwa pembunuhan para jenderal pada 30 September 1965 malam (dinihari 1 Oktober 1965). Kemudian, ada pula desakan dari orang-orang yang mengatasnamakan keluarga PKI agar pemerintah Indonesia meminta maaf secara resmi kepada PKI. Maaf atas rangkaian peristiwa yang memakan korban orang-orang PKI. Bahkan ada yang meminta supaya kuburan massal PKI 1965 diusut tuntas. Seterusnya, bermunculan seminar atau diskusi yang arahnya membela hak-hak asasi manusia (HAM) warga atau keturunan PKI. Upaya ‘ilmiah’ ini diiringi pula oleh pemameran simbol-simbol atau lambang PKI di banyak pelosok negeri. Tidak lagi sembunyi-sembunyi. Ada banyak yang memakai kaos palu-arit di depan public. Ada pula yang membuat graffiti (corat-coret) di tembok yang memajangkan slogan atau lambang komunisme dan PKI. Terbaru, adalah kasus bendera merah-putih yang diberi lambang palu-arit. Bendera ini ditemukan kampus Universitas Hasanuddin, Makassar beberapa hari lalu. Jadi, belakangan ini bagaikan ada upaya sistematis untuk membukakan peluang bagi komunisme-PKI berkembang lagi. Banyak orang yang memberikan simpati kepada PKI. Dengan berbagai cara. Ada yang memperjuangkan pencabutan Tap MPRS 1966 tentang larangan komunisme-marxisme-leninisme. Dan ada pula yang mengatakan sesuatu yang sangat diinginkan oleh PKI. Yaitu, mengatakan bahwa orang yang memakai kaus palu-arit hanyalah ‘trend’ anak muda saja. Yang sangat mengkhawatirkan adalah perlindungan yang diberikan oleh kekuatan politik resmi. Misalnya, blok politik besar yang sengaja menampung orang-orang yang terkait dengan PKI. Menampung orang-orang yang menginginkan implementasi paham komunis di negeri ini. Kekuatan politik yang memiliki hubungan historis yang kental dengan PKI dan komunisme itu, tidak berlebihan kalau disebut sengaja memberikan ‘ruang hidup’ kepada sisa-sisa PKI. Ini dapat dilihat dari upaya memuluskan pengesahan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang diprakarsai oleh DPR. RUU yang ditolak oleh PKS bersama PAN dan dipersoalkan oleh PPP itu, tidak mencantumkan Tap MPRS XXV/MPRS/1966 seperti disinggung di awal tadi pada konsideran RUU. Banyak yang melihat ini sebagai upaya untuk menghalalkan komunisme dan PKI bangkit lagi. Meskipun Menko Polhukam dan para petinggi DPR yang menangani RUU HIP sibuk meyakinkan publik bahwa UU HIP akan memperkuat ideologi Pancasila. Tampaknya, tahun-tahun mendatang ini akan menjadi masa yang penuh tantangan berat bagi rakyat. Terlebih khusus umat Islam yang sangat keras melawan PKI. Umat Islam tidak boleh lengah. Sebab, sangat pantas diyakini bahwa memang ada kekuatan yang sedang bekerja untuk menghidupkan kembali komunisme-PKI di Indonesia. Dengan segala gejala pro-komunisme dan pro-PKI yang ada sekarang ini, kita akan setiap hari bertanya: mungkinkah PKI bangkit kembali? Penulis adalah Wartawan Senior

Ketika UUD 1945 Dijadikan Sebagai Panduan Makar

By Dr. Ahmad Yani, MH. Jakarta FNN – Selasa (02/06). Dalam UUD 1945, Negara Indonesia memperjelas posisinya sebagai negara yang mengakui hak dan kebebasan setiap warga negara. Pasal 28 Menyebutkan: “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan, dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Tidak berhenti sampai di situ saja. Masih ada pasal dalam UUD 1945 yang mengatur tentang kebebasan warga negara mengeluarkan pendapatnya. Selanjutnya Pasal 28E ayat (3) berbunyi “ Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Dipertegas lagi dengan pasal 28I ayat 1 yang berbunyi “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Hak asasi itu bukan hanya tidak boleh dibatasi oleh siapapun. Namun juga tidak bisa dikurangi dalam hal apapun. Sementara Pasal 28J ayat 1 mengatur batasan Hak Asasi itu dengan mengatakan : “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain”. Artinya, batasan itu hanya ada pada pergaulan antar sesama warga negara. Bukan antara negara (pemerintah) dengan rakyatnya. Oleh karena itu, tidak ada batas kebebasan bagi warga negara untuk menegur negara. Bahkan meminta presiden Mundur dari jabatannya sekalipun. Begitu aturannya. Mengkritik, mengecam, bahkan meminta mundur presiden dari jabatannya adalah aspirasi masyarakat yang sesuai dengan konstitusi negara. Presiden dipilih oleh rakyat untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai presiden. Kalau rakyat merasa presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden, rakyat berhak untuk memintanya mundur. Itu haknya rakyat yang memilih presiden. Kekuasaan itu tidak boleh membuat pejabatnya ”bertelinga tipis” atas kritikan rakyat. Jangan hanya mau mendengarkan pujian dan sanjungan semata-mata. Ini bukan negara feodal. Pengkritik dan penyanjung kekuasaan adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan dari kebebasan menurut pasal 28 UUD. Karena itu, kalau mau menghalangi kebebasan berpendapat, maka penyanjung kekuasaan juga harus dilarang. Tetapi penyanjung kekuasaan justru mendapatkan perlakuan yang istimewa. Ada orang yang senang menebarkan fitnah, adu domba, dan mengolok-olok orang lain. Mereka itu telah memenuhi unsur pidana. Namun mereka justru menjadi “binatang langka” yang tidak boleh disentuh oleh hukum. Hanya binatang langka yang masih dirawat, meski melakukan kejahatan. Maka di sini saya tegaskan, bahwa kebebasan berpendapat, dan kebabasan untuk menyatakan pikiran, baik itu memuji kekuasaan, atau mengkritik kekuasaan adalah hak warga negara yang tidak boleh di kurangi dalam hal apapun. Kebebasan berpendapat itu sah berdasarkan konstitusi negara. Meminta Presiden Mundur Kalau menganggap pemberhentian Presiden adalah makar dan tindakan pidana, maka konstitusi atau UUD bisa dikatakan buku panduan kejahatan. Hanya di dalam konstitusi UUD 1945, terdapat pasal yang mengatur tentang Pemberhetian Presiden. Tata cara tentang pemberhentian Presiden itu diatur dengan jelas dan terang benderang di Pasal 7A dan 7B UUD 1945. Kalau kita menganggap impeachment (pemberhentian) itu adalah kejahatan sebagaimana yang terjadi Pada Ruslan Buton yang meminta presiden Mundur, maka pasal ini harus dihilangkan dulu dari UUD 1945. MPR segera bersidang untuk mencabut Pasal 7A dan 7B dari batang tubuh UUD 1945. Sebagai warga negara, Ruslan tentu punya hak untuk menyampaikan pendapatnya. Ruslan berhak untuk menyataka tidak sejalan dengan pemerintah. Tidak sejalan dengan Presiden dalam hal mengelola negara. Pendapat Ruslan Buton itu sah dan konstitusional. Meminta presiden mundur atau berhenti adalah aspirasinya sebagai warga negara. Kalau meminta presiden mundur adalah pidana, maka konstitusi yang mengatur presiden diberhentikan juga dapat dianggap sebagai panduan makar. Buku tentang panduan kejahatan kepada negara. UUD 1945 mengatur dengan sangat jelas, dan terang bernderang tentang tata cara memberhentikan Presiden. Dengan Mekanisme yang jelas. Tidak ada yang sama-samar. Artinya, UUD 1945 memenuhi syarat sebagai “buku panduan makar” kepada pemerintah atau negara. Karena memuat skenario pemberhentian presiden. Begitu simpelnya. Padahal presiden diberhentikan itu dilakukan atas “Pendapat DPR”. Nah, “Pendapat DPR” itulah yang disebut “aspirasi rakyat”. Itulah yang menjadi aspirasinya Ruslan Buton. Bukan aspirasinya presiden atau pemerintah. Lalu kenapa rakyat yang bernama Ruslan Buton ditangkap ketika menyampaikan aspirasinya meminta presiden mundur? Apa yang salah ketika rakyat Ruslan Buton menyampaikan aspirasinya sesuai panduan sejumlah pasal yang ada di dalam batang tubuh UUD 1945? Anehnya DPD pun diam. Mengapa DPR diam ketika ada rakyat yang mereka wakili menyampaikan aspirasinya kemudian di tangkap? Ini pertanyaan serius lho! Cara Memberhentikan Presiden Ada dua cara untuk menghentikan Presiden dari jabatannya. Pertama, cara yang konstitusional. UUD 1945 menjelaskan bahwa usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Namun usul DPR ke MPR harus terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat DPR. Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota, dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR. Kedua, melalui tindakan extra konstitusional. Cara ini pernah dilakukan oleh Soekarno sebagai Presiden ketika membubarkan Badan Konstituante hasil Pemilu Tahun 1955. Soekarno mengumumkan dekrit Presiden 5 juli 1959. Yaitu menghentikan peroses perdebatan dalam menyusun konstitusi negara di Badan Kontituante, dengan kembali ke UUD Tahun 1945. Tindakan Soekarno waktu itu, sebenarnya bertentangan aturan hokum. Setidaknya tidak diatur dalam konstitusi negara, atau UUD Sementara Tahun 1950. Namun kemudian Dekrit Presden 5 Juli 1959 dapat dibenarkan menurut kondisi dan keadaan waktu itu. Selain itu desakan pemberhentian Presiden Soekarno diawali dengan demonstrasi memintanya mundur. Hingga akhirnya sidang Istimewa MPR meneruskan aspirasi itu, hingga akhirnya Soekarno berhenti. Begitu juga dengan Presiden Soeharto, desakan Mahasiswa dan Tokoh Reformasi akhirnya membuat Soeharto menyatakan mundur dari presiden. Setekag Soeharto mundur, BJ Habibie naik mengantikan Soeharto sebagai Presiden, dan meneruskan masa jabatan Soeharto, yang menurut UUD Tahun 1945 seharusnya sampai tahun 2003. Namun Presiden Habibie Mempercepat Pemilu yaitu Tahun 1999, dan MPR memilih Abdurrahman Wahid Sebagai Preside. Tindakan yang dilakukan Presiden Habibie juga extra konstitusional. Karena itu desakan atau permintaan dari rakyat, baik perorangan maupun kelompon yang meminta presiden mundur, bukanlah sebuah tidakan pidana. Permintaan itu wujud ekspresi rakyat atas aspirasi rakyat yang dijamin oleh UUD 1945. Hal ini pernah juga terjadi era Presiden SBY, yaitu gerakan turun ke jalan atau demontrasi besar-besaran untuk mencabut mandat rakyat yang diberikan kepada SBY. Gerakan nencabut mandat dari SBY sebagai Presiden ini dimotori Bang Hariman Siregar. Sampai ke depan Istana Negara. Pergerakan massa rakyat yang terorganisasi, atau parlemen jalanan, bisa meminta Presiden mundur. Apalagi kalau DPR tidak lagi dipercaya sebagai penyambung aspirasi rakyat. Dalam negara demokrasi, tidak ada institusi negara yang sakti mandraguna. Tidak ada jabatan negara yang dipegang seumur hidup seperti seorang raja. Tidak berlaku kultur feodalisme di dalam negara. Kekuasaan bisa berakhir kapan saja. Apalagi kalau rakyat sudah tidak lagi menghendakinya. Intinya rakyatlah yang berdaulat penuh atas negara. Apakah yang membuat presiden dapat diberhentikan? Berdasarkan Pasal 7A UUD 1945 pemakzulan presiden terdiri atas enam syarat. Presiden hanya dapat dilengserkan jika terbukti melakukan pelanggaran hukum, berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, perbuatan tercela, tindak pidana berat lainnya, dan terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden. Artinya, ada kriteria yang jelas. Ada mekanisme yang jelas untuk memberhentikan presiden. Dengan demikian maka jalan untuk meminta preisiden mundur adalah jalan konstitusional. Entah itu aspirasi tiap-tiap orang atau pendapat DPR. Semua sah. Tinggal mekanisme yang seperti apa untuk meminta Presiden mundur, itu tergantung situasi nasional dan dinamika politik yang terjadi. Berdasarkan penilaian atas enam kriteria tersebut, presiden bisa saja diberhentikan. Dengan demikian, setiap orang dapat menyampaikan aspirasinya. Bisa berupa meminta presiden mundur dari jabatannya sebagai presiden. Namun bisa juga meminta agar presiden tetap bertahan pada jabatannya. Penulis adalah Dosen Fak. Hukum dan FISIP UMJ dan Inisiator Masyumi Reborn

Ibadah Haji Batal, Uang Jemaah Disandera

Oleh H. Mangarahon Dongoran Jakarta, FNN - PENGUMUMAN pemerintah yang membatalkan keberangkatan jemaah haji tahun 2020 ini bukan berita mengejutkan. Sebab, sejak akhir Maret 2020 yang lalu kerajaan Arab Saudi sudah memberikan tanda-tanda bakal ditiadakannya ibadah haji tahun ini. Masalahnya, tanda-tanda yang disampaikan oleh Menteri Urusan Haji dan Umrah Kerajaan Arab Saudi Muhammad Saleh bin Taher Banten itu, dianggap pemerintah melalui Kementerian Agama salah kutip oleh media. Padahal, sudah jelas Pemerintah Arab Saudi (PAS) meminta atau mengimbau agar umat Islam mengurungkan niatnya menunaikan ibadah haji tahun ini. Jumlah jemaah haji tiap tahun berada pada kisaran 2 sampai 3 juta jemaah dari seluruh dunia. "Kerajaan berkewajiban menjamin keselamatan semua umat muslim yang beribadah di Mekkah dan Madinah," kata Menteri urusan Haji dan Umrah, Muhammad Saleh bin Taher Banten kepada televisi lokal setempat. "Oleh sebab itu, kami meminta semua umat muslim di seluruh dunia untuk menunda perjalanan haji sampai situasinya membaik," katanya dalam wawancara pada 31 Maret 2020 dengan latar belakang halaman Masjidil Haram yang dipenuhi suara serangga. Jika pemerintah Indonesia, terutama Kementerian Agama, dan lebih khusus Menteri Agama Fachrul Razi dan Komisi VII DPR RI peka terhadap pernyataan tersebut, maka sejak saat itu urusan proses pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) sudah dihentikan. Akan tetapi, entah pemikiran apa yang menempel di otak pejabat Indonesia yang berkait dengan itu, sehingga pemerintah dan DPR sepakat agar BPIH tetap dilunasi. Semua tahu, pemerintah Arab Saudi telah mengambil keputusan penting, yaitu menghentikan layanan proses visa umrah dan turis sejak Kamis, 27 Februari 2020. Keputusan tersebut dikeluarkan guna mengantisipasi merebaknya wabah Virus China atau Corona Virus Disaesa 2019 (Covid-19) yang pertama kali terjadi di Kota Wuhan, Republik Rakyat China pada awal Januari 2020. Sejak keputusan menghentikan pelayanan visa umrah dan visa turis dikeluarkan, banyak yang memperkirakan akan berdampak pada penyelenggaraan Ibadah Haji tahun 1441 Hijriyah/2020 Masehi. Apalagi, keputusan pelayanan visa tersebut kemudian diikuti penutupan Masjidil Haram (Mekkah) dan Masjidil Nabawi (Madinah) untuk kegiatan shalat Jum'at, dan meniadakan shalat fardu di masjid yang ada di seluruh Arab Saudi. Penduduk diminta shalat di rumah masing-masing. Bahkan, pemerintah kerajaan memberlakukan jam malam pada Hari Raya Idul Fitri, mulai 23 sampai 27 Mei 2020. Lalu mengapa pemerintah Indonesia masih terus meminta BPIH dilunasi? Mengapa pemerintah masih percaya diri bahwa Ibadah Haji tahun ini masih dilaksanakan Pemerintah Arab Saudi? Padahal, prediksi ilmuwan, Covid-19 di Indonesia baru berakhir pada 23 September 2020 atau mundur hampir sebulan dari sebelumnya 28 Agustus 2020. Kita berharap prediksi 23 September 2020 itu bisa benar. Kita berharap tidak mundur lagi. Sebab, kalau maju sangat sulit masuk akal, mengingat penanganannya yang kurang tegas dari pemerintah pusat. Sedangkan masyarakat, terutama di daerah yang memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), kurang disiplin. Menteri Agama Fachrul Razi juga sempat mengatakan masih menunggu kepastian dari pemerintah Arab Saudi hingga 20 Mei 2020 yang lalu. Akan tetapi, setelah hampir 13 hari tak ada jawaban, barulah dimumkan ditunda, Selasa, 2 Juni 2020. Mengapa tidak ada jawaban dari PAS? Sebab, mereka konsisten dengan keputusannya demi menyelamatkan rakyatnya. Dalam bahasa agama Islam, PAS istiqamah dalam kepurusan dan kebijakannya. Mereka tidak mau banyak korban manusia akibat Covid-19 yang mewabah ke hampir seluruh belahan dunia. Arab Saudi tidak memikirkan berapa besar dampaknya terhadap ekonomi. Mereka lebih mengutamakan nyawa satu orang warga ketimbang ekonomi. Pertumbuhan ekonomi bisa dikejar tahun-tahun mendatang. Sementara nyawa satu orang penduduk yang hilang tidak akan bisa diganti dengan apapun. Pemerintah Indonesia kurang tajam dalam membaca sinyal-sinyal yang sudah lama dikeluarkan PAS. Termasuk penghentian total penerbangan dari dan ke negara kaya minyak itu. Jika penerbangan dihentikan, lalu mengangkut calon jemaah haji menggunakan apa? Kapal laut? Pake onta? Keteguhan Arab Saudi yang belum mengumumķan secara resmi ibadah haji tahun dibatalkan (hanya tanda-tanda), bukan tanpa alasan. Ya, alasannya karena mereka tidak mau terlalu dalam masuk dalam jebakan "disalahkan." Selain tentu karena dalam mengeluarkan tanda-tanda sebelumnya juga sebenarnya sudah melibatkat ulama-ulama Saudi yang waro' dan juga banyak pejabat yang waro'. Mengapa pemerintah ngotot agar bakal calon jemaah haji melunasi BPIH? Umat Islam yang berkeinginan haji tahun ini seakan-akan disandera oleh Kementerian Agama. Ibarat kata pepatah, "Dilunasi mati ayah, tidak dilunasi juga mati ibu." Buktinya bisa dilihat dari masa perpanjangan pelunasan BPIH sampai dua kali. Masyarakat Curiga Pelunasan reguler untuk tahap pertama semula dijadwalkan pada 19 Maret hingga 17 April 2020. Jadwal ini diperpanjang hingga 30 April 2020. Kemudian, pelunasan tahap kedua yang semula dijadwalkan pada 30 April hingga15 Mei 2020, diubah menjadi 12 hingga 20 Mei 2020. Dari sinilah kelihatan pemerintah bernafsu menyandera uang rakyat (baca bakal calon jemaah haji). Sudah tahu Covid-19 belum mereda dan puncaknya akhir Mei sampai awal Juni, kok masih tega memerpajang sampai 20 Mei 2020? Ada 210.000 bakal calon jemaah haji 2020. Total uang yang sudah terkumpul kurang lebih 600 juta dolar. Suatu angka yang sangat fantastis buat "dipermainkan" di masa sulit ini. Karena angkanya yang cukup besar, maka wajar masyarakat curiga dana itu akan digunakan untuk macam-macam. Apalagi, setelah membaca pernyataan Pelaksana tugas Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Anggito Abimayu yang memastikanakan memanfaatkan dana simpanan yang dimiliki untuk membiayai penyelenggaraan ibadah haji 2020 untuk kepentingan stabilisasi nilai tukar rupiah. Anggito mengatakan, saat ini BPKH memiliki simpanan sebanyak 600 juta dolar Amerika Serikat atau setara Rp 8,7 triliun kurs Rp 14.500 per dolar AS. Dengan begitu, dana itu akan dimanfaatkan untuk membantu Bank Indonesia dalam penguatan kurs rupiah. Sedangkan total dana yang dikelola badan yang dipimpinnya Rp 135 triliun dan digunakan dalam berbagai bentuk lembiayaan, termasuk pembelian SUKUK. Betul ada dua opsi dari Kemenag bagi mereka yang sudah melunasi BPIH tahun 2020. Pertama menarik kembali uangnya, sehingga tidak ikut dalam ibadah haji tahun 2021. Kedua, tidak menarik kembali uangnya, dengan harapan bisa mengikuti ibadah haji tahun 2021. Biasanya, masyarakat apatis terhadap opsi pertama. Alasanya, ruwet…ruwet…ruwet. Belum lagi uangnya akan dipotong biaya admintrasi. Menjadi pertanyaan, mengapa dana haji bisa dialihlan ke yang lain-lain? Tentu jawabannya ada di kantong pejabat yang berkuasa dan berkepentingan. ** Penulis, Wartawan Senior

Buton Yang Berjiwa Beton

By M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Selasa (02/06). Badan tegap, sebagai seorang prajurit TNI menggambarkan kejiwaannya. Konsisten, semangat, dan berani menyampaikan kebenaran. Ruslan Buton benar-benar termasuk dalam profil prajurit yang sangat langka di era sekarang. Dipecat dari statusnya sebagai prajurit TNI atas tuduhan kriminal. Tetapi Ruslan tetap saja prajurit pejuang. Bahkan semakin kokoh berjuang memenuhi panggilan jiwa dan kewajibannya sebagai pembela tanah air. Selalu siap untuk berkontribusi bagi bangsa dan negaranya. Begitulah cara dan keyakinan Ruslan Buton. Meski berhadapan dengan ancaman dan tuduhan hukum. Mungkin untuk kedua kalinya, bahkan bisa jadi untuk ketiga kalinya kelak. Ruslan Buton tetap saja menunjukkan perlawanan. Dia tidak bersedia menandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Artinya, ada keyakinan kuat dari Ruslan, bahwa yang dilakukannya bukan perbuatan melawan hukum. Audio surat terbuka mendesak Presiden Jokowi mundur dari jabatan, diyakini Ruslan sebagai hak konstitusional warga negara. Demikian juga soal "keniscayaan aksi rakyat" adalah persepsi dan kekhawatiran terhadap keadaan. Bukan ajakan untuk melakukan. Bahwa proses hukum dan langkah pihak berwenang wajar pula. Meski demikkian, warning dan reaksi publik jelas. Meminta dan mendesak Polisi agar tidak "parno" dalam menangani himbauan Ruslan Buton yang disampaikan secara terbuka sebagai bentuk koreksi kepada pemerintah dan Presiden Jokowi. Walaupun telah ditetapkan status tersangka dan ditahan. Akan tetapi asas "presumption of innocent" tetap harus diterapkan dan dikedepankan. Masih mungkin sangkaan tak terbukti, atau bukti tidak menunjukkan perbuatan pidana. Dalam tahap penyidikan bisa saja polisi SP3. Selain Jaksa Pemeriksa bisa menghentikan penuntutan, Ruslan juga masih punya hak hokum menguji penetapan status tersangka yang disangkakan Polisi kepadanya. Ingat, Ruslan masih boleh mengajukan gugatan Praperadilan kepada Polisi. Jika dikabulan, kerja Polisi menjadi tidak berarti apa-apa. Simpati dan dukungan publik kepada Ruslan, patut dibaca sebagai konstelasi sekaligus aspirasi dari perasaan keadilan rakyat. Klarifikasi atas dasar pemecatan dahulu, serta kesaksian riwayat hidup dari kontribusi sosial Ruslan Buton bermunculan dimana-mana. Dukungan dan simpati itu, tidak saja dari ratusan purnawirawan TNI. Tetapi juga dukungan yang semakin meluas dan membesar. Nuansanya pembelaan dan simpati terhadap mantan prajurit TNI berjiwa beton ini. Selintas terbayamg tipe in-fighter si leher beton Mike Tyson. Putra Sulawesi yang sebelumnya telah muncul di ruang publik perjuangan hukum adalah Muhammad Said Didu. Kini muncul lagi putra Sulawesi Ruslan Buton. Keduanya sama berhadapan dengan kekuasaan politik yang sensitif dan represip terhadap kritik di wilayah publik. Rezim yang dinilai otoriter dan jauh dari bersahabat dengan aspirasi dari rakyatnnya sendiri. Seruan atau himbauan dari Ruslan Butonb agar Presiden Jokowi mengundurkan diri memiliki landasan hukum kuat. Ada Ketetapan MPR No VI/MPR/2001. Jadi bukan tak berdasar. Apa karena himbauan yang disampaikan oleh Ruslan Buton itu dengan "suara agak keras"? Kalau benar iya, karena suara Ruslan Buton yang agak keras, maka itu kan hanya gaya suara putra Sulwesi Tenggara ini (Indonesia Timur), yang lama bertugas di Maluku Utara. Rata-rata orang Indonesia Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Sulawesi ya suaranya keras. Namun hatinya pasti bermaksud baik. Apalagi kalau itu untuk kepentingan orang banyak. Jika proses berlanjut, dan dukungan agar Buton dibebaskan tak berhasil, maka publik kemungkinan akan dibawa ke aras "pertunjukkan" politik dan hukum yang menarik. Seorang mantan prajurit yang masih berjiwa patriot tampil heroik memperjuangkan keyakinan. Dia minta dan mengusulkan agar perlunya Presiden mengundurkan diri karena ketidakmampuan memimpin negara. Presiden tidak mampu mengatasi krisis ekonomi, dan korupsi. Juga membanjirnya tenaga kerja asing, bahkan poham komunisme. Untuk itu, Ruslan Buton bangkit dan berjuang membuktikan hak-hak konstitusional. Hak yang semestinya dilindungi oleh hukum. Bukan dikriminalisasi. Disadari atau tidak ,memang negara ini butuh orang yang berani, dan mandiri. Tidak takut dengan ancaman dalam bentuk apapun dari penguasa. Selalu teguh dalam beramar ma'ruf nahi munkar. Tujuannya, demi kebaikan bangsa dan negara. Tidak rela membiarkan kehidupan bangsa ini terpuruk di bidang ekonomi, sosial, dan politik yang terus melemah. Melemah karena selalu digerogoti oleh rayap-rayap korupsi dan perbudakan asing. Kepura-puraan dalam memperkaya diri, keluarga, dan kroninya. Ruslan Buton adalah bagian dari fenomena perlawanan itu. Masyarakat pasti mendukung Ruslan Buton yang berjuwa beton. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan

BNPB Tegaskan Mobile PCR untuk Jatim, Bukan Hanya Surabaya!

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Persoalan “rebutan” mobil bantuan mobil BNPB mulai diseret ke rana politik. Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto meminta Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa menghentikan rivalitas politik dengan Walikota Surabaya Tri Rismaharini soal penanganan Covid-19. Tapi, jejak digital menjadi bukti, sebenarnya tidak ada koordinasi penanganan Covid-19 di lingkungan pejabat Pemkot Surabaya. Tampaknya Walikota Risma tidak pernah baca atau mendapatkan informasi valid terkait bantuan Mobil Laboratorium BSL-2 di Surabaya. Padahal, seperti dilansir Tempo.co, Rabu (27 Mei 2020 09:04 WIB), Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo sempat meninjau mobil laboratorium Bio Safety Level 2 (BSL-2) di Kota Surabaya, Jatim, pada Rabu, 27 Mei 2020. Dalam peninjauan yang ditayangkan akun Youtube BNPB, Doni melihat isi mobil itu sambil mendengar penjelasan dari petugas. Tidak lama kemudian, dengan pengawalan dari polisi, mobil tersebut diberangkatkan untuk mulai bertugas. Doni menjelaskan bahwa ada 2 unit mobil lab BSL-2 yang dikirim ke Jatim untuk membantu pemeriksaan spesimen. “Pengiriman 2 unit mobil BSL-2 ini bisa membantu Pemprov Jatim,” tegas Doni. Di sini jelas sekali, bukan untuk Surabaya! Jadi, kemarahan Risma terkait bantuan 2 unit mobil Polymerase Chain Reaction (PCR) dari BNPB yang, konon, diserobot Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jatim itu salah alamat. Dipastikan, Risma tidak mendapat informasi akurat dari bawahannya. Jawa Pos, Kamis (28 Mei 2020), memuat pernyataan Wakil koordinator Humas Gugus Tugas Covid-19 Kota Surabaya M. Fikser bahwa mobil combat PCR adalah bantuan dari BNPB dan BIN ditempatkan di Asrama Haji. Tapi, fakta sebenarnya mobil tersebut adalah bantuan dari BNPB sebagaimana permohonan Pemprov Jatim dan ditempatkan di RS Lapangan Indrapura. Mobil laboratorium dikirimkan karena ada salah satu laboratorium di Jatim rusak. Sehingga, tidak bisa memeriksa spesimen Covid-19. Saat ini, kata Doni, pemerintah sedang mengupayakan pengiriman 3 unit mobil laboratorium BSL-2 untuk Surabaya, Lumajang, dan Sidoarjo. “Kami upayakan kirim untuk bantu Gugus Tugas Jawa Timur,” tegasnya. Salah Info Bisa jadi, penyebab Risma marah itu karena laporan anak buahnya yang salah info. Terutama dari M. Fikser, yang juga mantan Kabag Humas Pemkot Surabaya. Pada Senin, 31 Mei 2020, saya terima catatan “Kronologi Bantuan Mobile PCR dari BNPB”. Berikut ini petikannya: Tanggal 11 Mei 2020, Gubernur Jawa Timur mengajukan surat permohonan Kepada Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Pusat perihal kebutuhan bantuan mesin PCR.Permohonan tersebut di-follow up oleh Gubernur Jawa Timur dan Pangdam V Brawijaya dengan menghubungi melalui telepon seluler kepada Ketua Gugus Tugas COVID-19 Pusat Bapak Doni Monardo bahwa kebutuhan mesin tes PCR sangat mendesak dan juga bersamaan dengan laboratorium Institute of Tropical Disease Unair (ITD) yang sedang menghentikan sementara operasional Lab-nya.Tanggal 24 Mei 2020, Bapak Doni Monardo menelepon Gubernur Jawa Timur bahwa Mobil Tes PCR siap dikirim ke Jawa Timur sebanyak 2 (dua) unit, dan selanjutnya secara teknis Kalaksa BPBD Jatim (Bapak Suban W.) diminta untuk koordinasi langsung dengan Deputi Kedaruratan BNPB (Bapak Dody).Kalaksa BPBD Jawa Timur berkoordinasi dengan Deputy Kedaruratan BNPB untuk memonitor perjalanan mobil combat PCR dari Jakarta ke Surabaya dengan contact person Bapak Sandi (Koordinator unit mobil combat PCR- 089501000xxx) sekaligus dilakukan serah terima mobil combat PCR di Rumah Sakit Lapangan di Jl Indrapura Surabaya.Tanggal 27 Mei 2020, Pukul 11.00, Mobil Combat PCR sampai di Rumah Sakit Lapangan Jl Indrapura Surabaya dan diserahterimakan kepada Ketua Gugus Kuratif Pemprov Jatim (Bapak dr. Joni Wahyuhadi), dan dari BNPB diwakili oleh Ibu Roslin Lamtarida dan disaksikan oleh LO BNPB (Bapak Gebana) serta dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur (dr Ninis).Tanggal 27 Mei 2020 pukul 13.00 staf pegawai pemerintah Kota Surabaya mengirimkan surat permohonan bantuan swab yang ditujukan kepada BNPB Jawa Timur.Surat tersebut dikirim ke tenda Gudang logistik BPBD Jatim di Grahadi dan diterima oleh sdr Agung (Petugas Gudang Logistik). Petugas Pemkot Surabaya meminta bantuan agar surat tersebut diserahkan kepada bpk Gebana selaku LO BNPB di Jawa Timur. Surat tersebut tertanggal 22 Mei 2020.Info dari LO BNPB Jatim, terdapat keganjilan pada surat Pemkot Surabaya tersebut, yaitu apakah tujuan surat tersebut kepada BNPB atau BPBD Jatim dan untuk memastikan hal tersebut, beliau memanggil bpk Gatot (Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Jatim).Tanggal 27 Mei 2020 setelah serah terima Mobil Combat PCR, dr Joni Wahyuhadi Ketua Gugus Kuratif Pemprov Jatim berkoordinasi dengan Plt Kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya (drg Febriana) untuk penjadwalan operasional mobil PCR di Surabaya. Plt Kepala Dinas menugaskan kepada staff dinkes Kota Surabaya (Ibu Dani) untuk berkoordinasi dengan Ketua Gugus Kuratif Pemprov Jatim dengan hasil satu mobil akan beroperasional di RS Unair/ITD dan Asrama Haji Surabaya tanggal 27 Mei 2020. Tanggal 27 Mei 2020 Pak Dody (Deputy Kedaruratan BNPB) menelepon kalaksa BPBD Jatim dan menginformasikan akan dikirim dari Jakarta tambahan 1 (satu) mobil PCR dengan 6 mesin PCR dan dalam pengawalan polisi. Beliau juga memberikan kontak person sdr Muhammad Aprianto selaku koordinator mobil combat PCR (0895353103xxx) kepada kalaksa BPBD Jatim.Tanggal 28 Mei 2020 pukul 05.00, mobil combat PCR kedua datang dari Jakarta dan langsung menuju Hotel Arya Surabaya.Tanggal 28 Mei 2020 pagi, Koran Jawa Pos memuat pernyataan M. Fikser (Wakil koordinator Humas Gugus Tugas COVID-19 Kota Surabaya) bahwa mobil combat PCR adalah bantuan dari BNPB dan BIN ditempatkan di Asrama Haji. Fakta sebenarnya mobil tersebut adalah bantuan dari BNPB sebagaimana permohonan Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan ditempatkan di RS Lapangan Indrapura. Foto di atas berlokasi di RS Lapangan Indrapura bukan di Asrama Haji. Tanggal 28 Mei 2020 pagi, 1 (satu) mobil combat PCR dijwadwalkan untuk melakukan swab di Asrama Haji dan 1 (satu) mobil combat PCR dijadwalkan ke RSUD Sidoarjo dengan pertimbangan di Asrama haji terdapat 100 pasien yang belum teridentifikasi positif. Selain itu data tanggal 27 Mei 2020 jam 17.00, menunjukkan bahwa kasus konfirmasi di Sidoarjo mencapai 565 kasus dengan 120 sampel masih belum diperiksa, sementara Sidoarjo tidak memiliki mesin PCR. Tanggal 28 Mei 2020 malam, tidak ada informasi dari Dinkes Kota Surabaya Kepada Koordinator Gugus Kuratif Pemprov Jawa Timur bahwa akan ada kegiatan pemeriksaan swab dari mobil Combat PCR tanggal 29 Mei 2020 di Kota Surabaya.Tanggal 29 Mei 2020, 1 (satu) mobil diberangkatkan untuk melakukan swab di RSUD dr Iskak Tulungagung dengan pertimbangan kasus PDP tertinggi kedua di Jawa Timur yakni 588 pasien. Di mana terdapat 172 pasien yang meninggal dalam status PDP sebelum sempat selesai di swab, sementara mesin PCR di RS dr Iskak sedang dalam proses optimasi. Satu (1) mobil lainnya diberangkatkan ke Lamongan dengan pertimbangan Lamongan memiliki kasus konfirmasi COVID-19 sebanyak 96, tertinggi setelah Surabaya Raya dan terdapat 173 PDP yang belum dilakukan PCR karena di Lamongan tidak ada mesin PCR. Tanggal 29 Mei 2020 sekitar pukul 08.00, Plt Kadinkes Surabaya menelepon Gugus Tugas Kuratif Pemprov Jatim dan meminta kedua móbil untuk kembali ke Kota Surabaya. Sementara móbil sudah berangkat menuju Tulungagung dan Lamongan yang sudah siap dan telah ditunggu pasien.Tanggal 30 Mei 2020, sesuai dengan rencana yang disusun oleh Gugus Tugas Kuratif dan PIC dari Dinkes Kota Surabaya dan Kabag Ops Polrestabes Surabaya melakukan swab dan pemeriksaan PCR di Kampung Tangguh di Kelurahan Rangkahbuntu RT 02 RW 06 Kecamatan Tambaksari Surabaya, Gelora Pancasila Surabaya, RS Soewandhi Surabaya dan RS Husada Utama Surabaya. Mobil lab BSL-2 dilengkapi dengan tiga titik negative pressure untuk menjaga udara tetap aman di dalam mobil. Berbeda dengan lab PCR pada umumnya yang menggunakan liquid reagen, mobil lab BSL-2 menggunakan teknologi terbaru dari Korea Selatan. Yaitu crystal mix dengan reagen yang padat. Sehingga, mudah dibawa ke mana saja dalam suhu ruangan dan tidak perlu pendinginan khusus minus 80 derajat atau 20 derajat. Dalam waktu 39 menit, mobil lab BSL-2 yang dikirim ke Jatim ini juga mampu mendeteksi ODP maupun PDP itu positif atau negatif Covid-19. Sebelumnya, Pemkot Surabaya sendiri di dalam perkembangannya sudah mendapat bantuan serupa dari Badan Intelijen INegara (BIN).. Penulis Wartawan Senior.

Muhammadiyah Dituduh dan Difitnah Buzzer Murahan

By Furqan Jurdi Jakarta FNN – Senin (31/05). Hanya binatang langka yang dibiarkan dan ditolerir kalau membuat keonaran tidak dihukum. Persis seperti itulah Ade di rawat oleh mereka. Kemarin nama Muhammadiyah dicatut sebagai organisasi yang mengancam mahasiswa UGM melaksanakan diskusi tentang masalah Impeachment Presiden. Muhammadiyah dituduh sebagai organisasi yang mengancam panitia diakusi. Hari ini Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah melaksanakan diskusi dengan tema yang hampir sama, seputar pemakzulan presiden. Tapi Muhammadiyah juga yang dituduh ingin memakzulkan presiden. Ada operasi apa dibalik semua ini? Siapa yang bermain dibalik nama Muhammadiyah dan tuduhan terhadap Muhammadiyah itu? Bahkan Ade, salah satu pembina BUZZER, tukang penyebar fitnah, menuduh Muhammadiyah ingin mengimpeachment presiden. Dan menghina Prof. Din Syamsuddin. Tuduhan kepada Muhammadiyah sebagai organisasi tentu sangat serius. Sebuah organisasi yang bahkan menjadi tempat negara untuk bersandar. Kalau istilah Pak Tarmizi Taher “Sebagai Tenda Bangsa”. Muhammadiyah tidak pernah berpikir pragmatis untuk mencari secuil kekuasaan. Bukan tipe orang Muhammadiyah memanfaatkan kesempatan untuk mencari kekuasaan dengan cara norak seperti itu. Mungkin ada sebagian orang Muhammadiyah yang haus kekuasaan, itu sebagian kecil. Tetapi setahu saya, kunci kekuatan Muhammadiyah hingga hari ini adalah keikhlasan. Tidak ada ambisi dalam organisasi ini. Apalagi ambisi untuk meraup keuntungan pribadi. Apalagi memanfaatkan kondisi tertentu dengan memfitnah, dan menuduh orang lain seperti Ade. Muhammadiyah selalu mengedepankan kepentingan umat, bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan. Maka, tidak ada organisasi yang egaliter seperti Muhammadiyah. Tentu hal itu hanya dapat dirasakan oleh orang yang benar-benar ber-Muhammadiyah. Tentu binatang tidak tahu apa itu Muhammadiyah, siapa itu orang Muhammadiyah. Dia hanya kenal binatang yang sejenis dengannya. Yaitu tukang pemfitnah, dengan mencari makan menyebarkan fitnah dan tuduhan. Muhammadiyah pasti tidak semurah itu. Saya ingatkan, kasih tahu Presiden, suruh bayar utang negara pada Muhammadiyah. Tuduhan Ade kepada Muhammadiyah adalah tuduhan serius. Sudah memenuhi unsur pidana dan ujaran kebencian. Perbuatan yang tidak menyenangkan, yang menimbulkan keonaran ditengah masyarakat. Warga Muhammadiyah yang 50 juta lebih itu tentu tidak akan tinggal diam. Selain menuduh Muhammadiyah, Ade juga telah memenuhi syarat pencemaran nama baik terhadap Prof. Din Syamsuddin. Sebagai mantan Ketua Umum Muhammadiyah, tentu beliau masih menjadi salah satu panutan warga Muhammadiyah. Sementara sikap kritisnya selama ini, beliau selalu sandarkan pada niat dan itikad baik kepada bangsa dan negara. Pembacaan beliau sangat bijak, meski begitu kritis ketika mengemukakan argumentasi. Tetapi kekuasaan yang bertelinga tipis, akan kepanasan mendengar kritik dan saran dari Pak Din. Ini bukan negara feudal. Dimana hanya ada penyembah berhala kekuasaan. Ini demokrasi, dan setiap orang boleh membicarakan apapun yang menjadi pikirannya, semasih itu tidak bertabrakan dengan hak asasi orang lain. Lalu Apa salahnya orang berdiskusi tentang impeachment tuan presiden? Adakah hal yang salah? Impeachment itu terdapat dalam konstitusi. Dibicarakan secara detail dalam UUD 1945. Kalau membicarakan Impeachment tuan presiden adalah perbuatan pidana, atau pelanggaran hukum, maka dapat dikatakan bahwa UUD adalah “buku panduan kejahatan”. Karena tata cara pemberhentian presiden dijelaskan dan diperintahkan oleh konstitusi. Artinya, kalau rezim ini menganggap diskusi tentang impeachment tuan presiden adalah membahayakan negara, maka UUD 1945 lebih berbahaya lagi. Itu alur logikanya. Sudah berapa buku ditulis tentang Impeachment presiden. Sudah berapa semester bagi mahasiswa hukum mempelajari impeachment. Tiba-tiba rezim ini menganggap diskusi tentang pemakzulan presiden adalah kegiatan yang sangat berbahaya. Belajar hokum dimana tuh? Sungguh demokrasi diambang kematian. Bagaimana mungkin negara yang demokrasi membatasi diskusi, yang dianggap mengkritisi kekuasaannya. Padahal Pasal 28 UUD 1945 memberikan kebebasan untuk menyampaikan pikiran secara lisan dan tertulis. Baik yang pro pemerintah maupun yang tidak pro pemerintah di jamin untuk mengeluarkan pendapat secara lisan maupun tertulis. Tetapi kenapa mereka yang kritis dilarang. Sementara pemuja kekuasaan dibiarkan menyebarkan fitnah secara blak-blakan. Ini sungguh tidak adil. Ini harus diluruskan. Ini harus diperbaiki. Ini juga harus diubah. Saya ingatkan, bahwa Ade boleh kebal hokum. Ade boleh memfitnah siapapun dan kapanpun, tetapi ingat tidak ada kekuasaan yang abadi. Semua akan berganti dan hal yang sama bisa berlaku sebaliknya. Wallahualam bis shawab Penulis adalah Aktivis Muda Muhammadiyah dan Ketua Pemuda Madani