ALL CATEGORY
Rocky Gerung: Kesalahan Jokowi, Ia Menebar Tebu di Semua Bibir...
Jakarta, FNN - Molornya penentuan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden disebabkan oleh ketergantungan yang cukup besar partai terhadap Jokowi. “Ada ketergantungan yang begitu besar atas partai-partai terhadap Jokowi. Mereka semua berebut restu Jokowi. Oleh karena itu semua capres tidak ingin bertengkar dengan Jokowi, karena mereka menganggap nanti Jokowi bisa mengeluarkan senjata pamungkas,” kata pengamat politik Rocky Gerung kepada wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official, berjudul “Tebar Harapan Manis ke Capres, Awas Prabowo dan Ganjar Diprank Jokowi,” Senin (05/05/2023). Namun demikian bagi FNN, kata Rocky hal itu bukan problem. FNN akan tetap mengkritik Jokowi, apakah Jokowi mau kasih tiket ke siapapun. Sebab, lanjut Rocky selama beliau tidak lega melepaskan pertandingan ini di luar pengaturan skor oleh dia, FNN akan selalu mengkritik Jokowi. “Jokowi Anda masih terus cawe-cawe, putar sana, putar sini sehingga semua orang seolah- olah tergantung pada Anda. Padahal kalau kita lihat sistem konstitusi kita, presiden dipilih langsung oleh rakyat melalui partai-partai politik,” tegasnya. Jadi, lanjut Rocky biarkan partai politik bersaing di antara mereka, bukan bersaing untuk memperoleh wisdom atau restu dari Jokowi, itu keliru. “Hal itulah yang hendak kita terangkan, sebetulnya Pak Jokowi bikin kekeliruan bahwa dia menyebar tebu di semua bibir, lalu merasa bahwa partai yang paling manis adalah partai A, lalu partai yang kurang manis partai B, itu kesalahannya di situ. Juga salahnya partai-partai yang minta restu Jokowi,” paparnya. Hal ini bisa terjadi lantaran sejak awal partai-partai itu tidak mau nol perseen. Jadi 20 persen itu, kata Rocky akhirnya menjadi rebutan gula-gula yang sesungguhnya hal itu merupakan hukuman bagi partai-partai yang tidak mau mengikuti proposal FNN. Menurut Hersu, sesungguhnya kalau disimak sikap partai, sebetulnya ada yang betul-betul berharap mendapat restu Jokowi dan ada juga yang terpaksa, karena kalau tidak ikut, mereka akan tersandera. Namun menurut Rocky hal itu hanya gebrakan saja.”Ya, itu partai-partai kecil yang sok pamer kuasa, tapi malah bingung sendiri. Jadi, tidak ada lagi pride, tidak ada lagi kebanggaan bahwa partai mau kecil atau besar sebetulnya tidak ada soal, yang penting dia itu punya akses ke dalam pemilu,” paparnya. Akan tetapi masalahnya karena tidak punya akses ke pelaksana Pemilu, mereka lantas akses ke presieen. Maka dari itu dimainkan oleh presiden. “Itulah makanya kalau partai tidak bisa mempertahankan nol persen ya, gak usah ikut,” tegasnya. Rocky menyarankan, sebetulmya partai-partai yang di bawah 20 persen itu bikin koalisi lalu bikin semacam kaukus, kami akan memboikot pemilu. “Itu lebih berguna, daripada sudah mengemis akhirnya disingkirkan juga,” tegasnya. Bagi Jokowi kata Rocky perolehan suara 4-5 persen, itu rendah sekali. Maka Jokowi manfaatkan itu. Menurut Rocky hal itu merupakan tukar tambah yang orientasinya politik bukan tukar tambah demokrasi. Menyinggung soal manuver PAN, Rocky menyebut bahwa hal itu akibat dari politik yang berlandaskan persepsi. Rocky meyakini PAN bukan dikendalikan oleh ukhuwah islamiayah, akan tetapi dikenadlikan oleh Erick Thohir yang ambisi untuk jadi wakil presiden. Memang Erick Thohir kemudian cari akses ke pemilih muslim lewat NU, akan tetapi hal itu kata Rocky sebetulnya hanya sekadar upaya untuk membeli citra, buka sesuatu yang berakar bahwa ini tokoh muslim yang basisnya keadilan versi Islam. “Kita tidak pernah mendengar PAN menerangkan apa itu keadialan sosial versi Islam, kalau betul-betul PAN itu ada warna Muhammadiyah. Bahkan kita menduga bahwa PAN sebetulnya proxy atau diremote oleh modal yakni Erick Thohir. Jadi gampang membacanya,” paparnya. Semenara soal Sandiaga Uno, Rocky ingin menerangkan kepada publik bahwa persaingan ideologis berhenti karena semua orang butuh dana pemilu dan dana pemilu hanya bisa diperoleh dari orang-orang yang punya uang. “Ini bagus buat kita untuk mengubah seluruh persepsi dan orientasi kita bahwa politik itu disebut poilitik kalau dia mendistribuiskan keadilan. Politik disebut piltik kalau yang diungkapkan adalah pertandingan ide, gagasan, dan nilai. Ini semua tidak terjadi,” paparnya. Rocky mengingatkan bahwa waktu tinggal 100 hari lagi. “Kita tunggu pada akhirnya yang mendaftar ke KPU sebagai capres cawapres itu pasti sekadar menunjukkan dan memperoleh koalisi 20 persen, tapi 20 persen itu dasarnya adalah tukar tambah kepentingan materiil bukan kepentingan etis. Saya nanti akan lihat siapa yang memproleh 20 persen karena transaksi ideologi dan siapa yang memperoleh 20 persen karea transaksi amplop,” tegasnya. FNN kata Rocky sejak awal sudah mendeteksi di mana kecurangan, siapa yang tidak layak untuk memimpin negeri, tapi hanya dengan modal uang doang dan hal itu tidak boleh. (sws)
Lima Rekomendasi Para Tokoh Nasional atas Akrobat Cawe Cawe Jokowi
Jakarta, FNN - Para tokoh nasional yang terdiri dari advokat, tokoh, dan ulama mengeluarkan rekomendasi atas campur tangan Presiden Jokowi dalam urusan Pemilu 2024. Rekomendasi yang ditandatangani oleh 32 tokoh tersebut menolak cawe cawe Jokowi, menolak narasi politik identitas serta meminta kedaulatan agar dikembalikan kepada rakyat. Dari rilis yang diterima redaksi FNN Selasa (06/05/2023) disebutkan bahwa belum lama ini Presiden Jokowi menyatakan akan cawe-cawe dan tidak netral pada pemilihan presiden (Pilpres) 2024. Padahal sebelumnya, Jokowi menolak disebut ikut cawe-cawe soal Pilpres. Pada saat yang sama, Presiden Jokowi juga selalu menyuarakan narasi penolakan terhadap politik identitas yang dapat dipahami sebagai penolakan terhadap politik berdasarkan Islam. Berkenaan dengan hal itu, para advokat, tokoh & ulama nasional menyampaikan rekomendasi sebagai berikut: Pertama, menolak tegas sikap politik Presiden Jokowi yang ikut cawe-cawe dalam Pilpres 2024. Semestinya, Presiden Jokowi fokus menjalankan tugas dan fungsinya sebagai kepala Negara sekaligus kepala pemerintahan, tidak terjerumus masuk dalam kancah politik praktis dalam Pilpres 2024, yang dapat berujung chaos politik dan huru hara dikalangan rakyat. Kedua, menolak narasi politik identitas yang substansinya adalah penolakan terhadap politik berdasarkan Islam sekaligus menyayangkan maraknya politisasi Islam dalam Pilpres dan Pemilu dimana Caleg dan Capres hanya mengeksploitasi Islam untuk tujuan elektabilitas, padahal sikap politik dan cita politiknya bertentangan dengan Islam bahkan memusuhi Islam. Ketiga, mendesak Presiden Jokowi untuk bersikap netral, imparsial dan adil untuk memberikan kesempatan kepada segenap putra terbaik bangsa untuk berkompetisi dalam Pilpres 2024 tanpa intervensi apapun dari Presiden, baik dengan dalih demi masa depan bangsa, atau karena pentingnya Pilpres, atau dengan dalih apapun juga. Cawe-cawe dalam Pilpres justru mengkonfirmasi ada kepentingan oligarki yang ingin diselamatkan Jokowi. Keempat, mengajak segenap elemen anak bangsa, baik dari kalangan advokat, tokoh, ulama, aktivis, mahasiswa, gerakan buruh tani dan nelayan, serta segenap elemen rakyat lainnya, untuk ikut secara aktif mengontrol jalannya pemerintahan dan sekaligus memastikan tidak ada unsur-unsur intervensi politik dalam bentuk apapun dalam kontestasi Pilpres 2024, dan agar tidak terjadi chaos politik dan huru hara dikalangan rakyat. Kelima, menghimbau kepada segenap elemen partai politik, kontestan politik dan para politisi, untuk ikut mengkontrol dan mengkritik kebijakan zalim Jokowi, baik melalui wakilnya di DPR maupun secara langsung melalui kadernya. Jangan sampai kezaliman Jokowi kepada rakyat didiamkan. Sebab, jika dibiarkan pada akhirnya partai politik juga akan menjadi korban kezaliman rezim Jokowi. Jakarta, 8 Juni 2023 Advokat, Tokoh & Ulama Nasional TTD 1. Prof. Dr. H. Muhammad Amien Rais, M.A. 2. Ahmad Khozinudin, S.H. 3. Dr. Refly Harun, S.H., M.H., LL.M. 4. Habib Muhammad Bin Husein Alatas 5. Dr. H. Ichsanuddin Noorsy, B.Sc., S.H., M.Si. 6. Muhammad Ishaq 7. KH Thoha Yusuf Zakariya, LC (Bondowoso) 8. KH Thoha Kholili (Bangkalan) 9. Mudrick Setiawan Malkan Sangidu (Solo) 10. DR Muhammad Taufik, SH MH 11. Mudriq Al Hanan (Solo) 12. Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum 13. Prof. Ir. Daniel Mohammad Rosyid, M.Phil., Ph.D., MRINA 14. Prof. Ir. Widi Agoes Pratikto, M.Sc, Ph.D. 15. KH Miqdad Ali Azka, LC 16. Yusuf Pulungan 14. Ismar Syafruddin, SH MA 17. Ust Drs Alfian Tanjung, MPD (UAT) 18. Edy Mulyadi (Wartawan Senior) 19. Drs Abdullah Al Katiri, SH MH 20. Buya Fikri Bareno 21. Juju Purwantoro, SH MH 22. KH Slamet Ma\'arif 23. Rizal Fadillah, SH MH 24. Dr Abdul Chair Ramadhan, SH MH 25. Aziz Yanuar, SH MH 26. Sutoyo Abadi (Koordinator Kajian Merah Putih) 27. Ustadz Bernard Abdul Jabar (UBAJ) 28. Azham Khan, SH 29. H. Eka Jaya (Ormas Pejabat) 30. Prof Dr Anthony Budiawan (Managing Director PEPS) 31. H. Novel Bamukmin, SH, M.Sos 32. Dr. Marwan Batubara, M.Sc., Direktur Eksekutif Indonesian Resources Study (IRESS) *) Rekomendasi ini akan dibacakan pada acara diskusi dan pembacaan rekomendasi bersama Advokat, Tokoh & Ulama Nasional, Kamis 8 Juni 2023, Pukul 20.00 WIB. (*)
Mochtar Pabottingi dan Nawacita
Oleh Farid Gaban - Kolumnis MOCHTAR Pabottingi, yang meninggal beberapa hari lalu, seorang ilmuwan yang berintegritas. Beliau favorit saya untuk tulisan-tulisannya yang sangat kritis terhadap Orde Baru. Mendalam, jernih dan jauh dari kesan partisan. Itu sebabnya saya agak terkejut membaca komentar-komentar beliau mendukung Jokowi hampir secara partisan pada 2014 dan 2019. Saya pernah sekali menyapa beliau lewat facebook dan menanyakan sikapnya. Belakangan, saya mencoba memahami beliau. Pak Mochtar itu anti militerisme. Mendukung Jokowi ketimbang Prabowo Subianto sudah hampir otomatis saja. \"Mendukung Prabowo hampir \'out of question\' buat saya,\" tulisnya dalam sebuah komentar di facebook. Ketika Jokowi bersaing dengan Prabowo, bahkan bersikap netral saja tidak cukup bagi Pak Mochtar. Beliau hampir sama pandangan dengan Romo Magnis Soeseno yang cenderung mengecam golput. Alasan lain Pak Mochtar mendukung Jokowi adalah Nawacita. Dalam beberapa tulisan, Pak Mochtar menyebut Nawacita yang diusung Jokowi sebagai upaya meremajakan cita luhur Indonesia: \"a feasable, up-to-date, and convincing restatement of the bulk of Pancasila ideals.\" Sampai 2019-2020, Pak Mochtar masih tampak menjadi \"pendukung Jokowi garis keras\". Tapi, sepertinya, harapan beliau terhadap Pemerintahan Jokowi luntur dari hari ke hari. Tulisan beliau di Kompas pada awal tahun ini (Panggilan Kerinduan, 8 Maret 2023) melukiskan kekecewaan besar. \"Tapi sungguh sangat menyakitkan bahwa wacana (Nawacita) ini segera tersimak sebagai tak lebih dari manipulasi kerinduan.\" Pak Mochtar tak hanya menyesali \"Nawacita bagai ditelan Bumi\", beliau mengecam 4 produk legislasi selama Pemerintahan Jokowi yang \"miskin legitimasi dan mencekik reformasi\". Yaitu revisi-revisi UU ITE, UU KPK, UU Minerba, serta legislasi baru UU Cipta Kerja. Lebih dari itu: \"Kini pun terbetik kemungkinan pelecehan integritas kepentingan bangsa dalam pemaksaan liberalisasi lewat RUU Kesehatan (omnibus law).\" Pak Mochtar juga mengeluhkan matinya gairah dan inisiatif di lingkungan pendidikan serta makin terpuruknya lembaga penelitian yang \"kini diringkus paksa dalam BRIN.\" Pak Mochtar tak hanya melihat mimpi meremajakan cita-cita bangsa gagal. Situasi justru makin buruk. Bagaimanapun, salah memilih dan bersikap adalah manusiawi. Selamat jalan dalam keabadian, Pak Mochtar Pabottingi. (*)
MK, MA: Algojo Jegal Anies dan Tunda PEMILU?
Oleh: Tamsil Linrung - Anggota DPD RI Lembaga peradilan seharusnya dominan dipercakapkan dalam diskursus hukum dan ketatanegaraan, namun faktanya lembaga ini acapkali justru menjadi buah bibir politik. Tidak saja karena kasus yang diadili asalnya menyerempet politik, akan tetapi juga karena arah putusan terkesan memberi angin segar pada kepentingan politik penguasa jelang Pemilihan Presiden 2024. Perkara di Mahkamah Konstitusi (MK) misalnya, dua perkara terakhir dalam satu bulan ini begitu mengundang kegelisahan. Perkara pertama adalah keputusan MK menerima gugatan perpanjangan masa jabatan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diajukan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron. Biasanya MK mengembalikan perkara yang substansinya open legal policy kepada DPR selaku pembuat UU, namun, kali ini tidak. Pun begitu dengan asas retroaktif (berlaku surut), umumnya, putusan MK non-retroaktif, akan tetapi kali ini tidak. Akibatnya, masa jabatan Firli Bahuri Cs yang tadinya berakhir tanggal 23 Desember 2023 diperpanjang hingga 23 Desember 2024. Dari perspektif hukum, sejumlah pakar hukum mengaku tidak menemukan basis argumentasi MK dalam ratio decendi atau pertimbangan putusan. Sedangkan dari perspektif politik, putusan ini seolah memberi napas kepada pimpinan KPK periode saat ini untuk menuntaskan “misi”-nya menjegal Anies melalui kasus Formula E. Tentang kasus Formula E dan relasi dugaan penjegalan terhadap Anies telah banyak diulas pengamat dan media massa. Presiden Joko Widodo menyatakan akan cawe-cawe dalam politik menuju 2024. Meski Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden mengatakan bahwa cawe-cawe yang dimaksud adalah mengawal Pemilu Serentak 2024 agar berlangsung jujur, adil, dan demokratis, namun kalimat presiden tetap saja dimaknai bersayap oleh banyak pihak. Teks melekat pada konteks. Tentu saja, publik akan melekatkan pernyataan presiden pada kegiatan politiknya yang terkait Pemilu 2024. Dari perspektif ini, memori publik diisi penuh oleh banyak peristiwa yang mengiringi dukungan terbuka Jokowi kepada Prabowo Subianto dan atau Ganjar Pranowo. Sebutlah pertemuan para Ketua Umum Partai Politik pendukung pemerintah di istana negara tanpa mengundang Partai Nasdem. Ambisi Jokowi mencari “penerusnya” membuat kekuasaan terlihat begitu bersimpati pada kepada Ganjar dan Prabowo, namun sentimen pada Anies Baswedan. Perkakas negara yang punya relasi langsung atau tidak langsung dengan pemerintahan diduga menampakkan gejala yang sama. Salah satu yang dikhawatirkan adalah MK yang sejatinya kudu super independen. Perkara kedua di MK yang terkait langsung dengan Pemilu 2024 adalah gugatan terhadap sistem pemilu proporsional terbuka menjadi tertutup. Bila MK memutus sistem Pemilu kita tetap proporsional terbuka, tidak akan ada masalah karena selama reformasi Pemilu diadakan demikian. Masalah itu mengemuka bila MK memutuskan sistem Pemilu diadakan dengan proporsional tertutup. Dapat dipastikan, partai politik dan calon legislatif yang selama ini tidak memperhitungkan nomor urut akan kalap, gaduh, sekaligus bingung. Dalam bahasa Presiden RI ke-enam Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), akan terjadi chaos politik. Potensi chaos muncul karena perubahan sistem dilakukan di tengah-tengah tahapan Pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Jadi, chaos sebagaimana kekhawatirkan SBY hanya dampak. Problem sebenarnya adalah perubahan sistem di tengah-tengah tahapan Pemilu. Efek domino lainnya adalah penundaan Pemilu. Bila MK memutus perubahan sistem proporsional terbuka menjadi tertutup, maka tentu akan dilakukan penyesuain terhadap UU dan berbagai aturan lainnya yang membutuhkan waktu cukup lama. Sementara Pemilu diagendakan terlaksana pada 14 Februari 2024, hanya tersisa tujuh-delapan bulan lagi. Akibatnya mudah ditebak, yakni penundaan pemilu. Perubahan mekanisme Pemilu menjadi proporsional tertutup harus mendapat legitimasi kuat dari UU, bukan sekadar putusan MK. Dan pembahasan untuk proses tersebut akan melalui kajian dan diskusi yang sangat panjang, karena tidak sedikit pasal dalam sebuah UU terkait dengan pasal lainnya, bahkan ada pula yang terkait dengan pasal lainnya dalam UU yang berbeda. Selain MK, Mahkamah Agung (MA) juga menjadi sorotan publik terkait Peninjaun Kembali (PK) kepengurusan Partai Demokrat oleh Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko. Bila PK dikabulkan, Moeldoko berhasil menikung Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono. Buntutnya, besar kemungkinan Partai Demokrat akan mundur sebagai partai pengusung Anies dalam Koalisi Perubahan. Partai tersisa otomatis tidak dapat mengajukan calon presiden karena terhambat syarat presidential threshold. Dan pencalonan Anies sukses dikebiri. Yang mengherankan, di tengah berbagai argumentasi normatif Presiden Jokowi tentang demokrasi, tidak terlihat teguran presiden kepada kepala stafnya itu. Proses pembegalan dibiarkan berlanjut, seolah perkara begal Partai Demokrat adalah persoalan internal. Bukan. Moeldoko tidak sekalipun pernah menjadi kader Demokrat, apalagi pengurus. Ini menjelaskan bahwa ada pembiaran pencopotan Partai Demokrat, sebagaimana istilah praktisi hukum Denny Indrayana. Kaidah hukum tentu bukan an sich tentang bunyi pasal, melainkan juga melingkupi nilai-nilai moral atau etik. Dimensi etik justru menjadi bagian penting dalam penyusunan struktur kaidah hukum. Para hakim yang mulia tentu lebih memahami situasi ini. Soalnya adalah bagaimana pemahaman itu muncul secara kongkrit dalam setiap putusan hukum. Kita berharap lembaga peradilan dapat bersikap independen, adil, dan bijak memutus perkara, khususnya perkara hukum yang memengaruhi dinamika politik di tahun politik jelang Pemilu 2024. Nomokrasi atau kedaulatan hukum harus dijaga agar seimbang dengan demokrasi atau kedaulatan rakyat. Karena itu, gerakan masyarakat sipil harus saling terkoneksi menjaga keseimbangan itu. Kita memerlukan orang-orang seperti Denny Indrayana yang lantang mempercakapkan situasi teknis pelaksanaan hukum kita di ranah publik agar masyarakat ikut mengawal. Bagaimana pun juga, setiap warga negara punya hak memilih dan dipilih. Negara, melalui perangkat-perangkatnya, harus melindungi hak tersebut, tidak justru menjadi algojo yang memenggal hak warga negara. Akankah MA dan MK menjadi algojo itu? Semoga tidak, kita tunggu saja.***
Konsep Islam Harusnya untuk Selesaikan Distribusi Ekonomi, bukan Dijadikan Sumber Konflik
JAKARTA, FNN - Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta menilai, partai Islam masih sulit untuk memenangi pertarungan politik di konstensi Pemilu 2024, baik pemilu legislatif (Pileg) maupun pemilihan presiden (Pilpres). Hal itu disebabkan narasi yang ditawarkan hanya diperuntukkan bagi kelompoknya saja, bukan narasi untuk keseluruhan populasi rakyat Indonesia. Dari dulu sampai sekarang, narasinya tidak pernah berubah, selalu mewakili kelompoknya sendiri. \"Pada dasarnya partai-partai Islam ini selalu berorientasi mewakili kelompoknya sendiri dan tidak mewakili populasi. Partai yang basisnya tradisional, dia berusaha mewakili Islam tradisional, demikian pula dari kelompok modernis dia berusaha mewakili Islam modernis,\" kata Anis Matta dalam keterangannya, Selasa (6/6/2023). Karena itu, kata Anis Matta, porsi dukungan masyarakat terhadap partai Islam tidak sebesar dukungan kepada partai nasionalis. \"Ini masalah fundamental yang seharusnya menjadi perhatian serius untuk mengubah orientasi narasi mewakili kelompoknya, menjadi narasi mewakili populasi atau seluruh rakyat Indonesia,\" katanya. Menurut Anis Matta, seharusnya konsep ajaran Islam digunakan untuk menyelesaikan berbagai persoalan di masyarakat, seperti keadilan distribusi ekonomi dan menghadapi ketimpangan ekonomi. Bukan sebaliknya digunakan untuk membela kelompoknya saja, dan memusuhi kelompok yang lain. Padahal negara dan agama itu tidak bisa di pisah-pisahkan dalam sejarahnya. \"Tetapi ada upaya untuk memisahkan agama dan negara dengan dibuat sedemikian rupa seolah sebagai sumber konflik, oleh mereka yang membawa kekuatan agama sebagai ideologinya,\" ujar Anis Matta. Anis Matta menegaskan, Indonesia yang berdasarkan Pancasila, bukan merupakan negara sekuler. Malahan dengan Pancasila, Indonesia justru dikenal sebagai negara religius, karena mengakui adanya Ketuhanan Yang Maha Esa. \"Inilah yang kita sayangkan kenapa partai Islam itu, tidak mencoba menggali ajaran agama Islam ini sebagai satu sumber inspirasi. Selain itu, partai Islam juga selalu membawa perbedaan friksi mengenai tata cara beragama, antara yang tradisional dan modernis, di bawah ke politik,\" katanya. Anis Matta berharap partai Islam belajar kepada para pendiri bangsa seperti Bung Karno (Soekarno) yang menawarkan Pancasila sebagai fondasi negara, karena menyadari bahwa di Indonesia itu banyak aliran pemikiran, baik itu di kelompok Islam maupun nasionalis. \"Pancasila itu adalah platform yang mewakili semua kelompok. Dia datang dengan narasi mewakili populasi, bukan satu kelompok,\" katanya. Kehadiran Partai Gelora, lanjut Anis Matta, adalah dalam rangka menyelesaikan perbedaan fundamental antara kelompok Islam dan Nasionalis dengan menawarkan narasi yang mewakili populasi, yaitu Arah Baru Indonesia. \"Kita datang dengan membawa Indonesia lebih maju, karena partai-partai Islam tidak pernah menawarkan kepemimpinan bagi semua. Untuk itu, Partai Gelora hadir untuk menjawab ini,\" katanya. Selain itu, partai Islam selama ini hanya dimanfaatkan untuk kendaraan politik para kandidat di Pilpres, padahal mereka sesungguhnya tidak mewakili Islam, hanya menjadikan simbol saja. \"Dari tiga kandidat calon presiden yang survei-survei itu, pada dasarnya tidak ada satupun dari kelompok Islam, tapi semua orang menggunakan Islam secara simbol saja. Dengan kondisi tersebut, maka capres yang didukung partai Islam akan sulit memenangi Pilpres, karena tidak bisa melakukan ekspansi pemilih dari kanan ke tengah, apalagi ke kiri. \"Karena itu, ketika Pilpres mereka selalu menjadi komplementer, wakilnya saja, bukan presidennya, karena memang narasi dan pemimpin yang ditawarkan hanya mewakili kolompoknya saja,\" pungkasnya. (*)
Dipolisikan, Mantan Aktivis GMNI Keberatan Opini Dikriminalisasi
Jakarta, FNN - Mantan Presidium GMNI Yusuf Blegur dipanggil polisi resort Metro Depok terkait tulisan berjudul \"Capres HMI Versus Capres GMNI\". Demikian rilis yang diterima redaksi FNN, Selasa (06/05/2023). Blegur menegaskan pelaporan ke Polres Metro Depok atas tulisan dirinya yang tayang dan viral di pelbagai media, edisi 23 April 2023, bisa dilihat sebagai respons yang mengutamakan tindakan politis dan kekuasaan ketimbang aspek hukum. \"Tindakan pelapornya bisa dinilai sebagai upaya menghina dan melecehkan demokrasi. Harusnya opini dibalas dengan opoini, tulisan dibalas dengan tulisan. Bukan dengan sedikit-sedikit lapor atau mengghinakan pendekatan kekuasaan,\" papar Blegur. Ketidakmampuan bernarasi dan berargumentasi kata Blegur mestinya bukan dengan cara kriminalisasi. \"Jangan juga karena tidak mampu dan atau tidak bisa membalas opini atau dalam bentuk tulisan, segala hal yang bersifat kritis dilaporkan ke kepolisian,\" tegas Blegur. Pemanggilan dirinya oleh Polresta Metro Depok, kata Blegur merupakan upaya kriminalisasi terhadap suara dan gerakan kritis. Refleksi dan evaluasi terhadap gejala penyimpangan konstitusi dan demokrasi harus dilihat sebagai upaya memperbaiki dan menyelamatkan NKRI. Bukan sebaliknya dianggap sebagai ujaran kebencian dan permusuhan. Di samping itu, lanjut Blegur pemanggilan dirinya oleh Polresta Metro Depok yang menindaklanjuti laporan Saudara Riano Oscha Chalik (Komisaris BUMN) dan Bambang Sri Pudjo (lawyer dan aktifis PDIP), terkait tulisan Yusuf Blegur yang berjudul Capres HMI Versus Capres GMNI sangat tidak berdasar, berlebihan dan lebih mengedankan tindakan yang cenderung beroientasi kriminalisasi. \"Penting bagi pelapor dan Polresta Metro Depok melihat aspek UU Pers karena tulisan tersebut telah dimuat dan disebarluaskan juga oleh media, bukan sekadar meneruskan laporannya ke jalur hukum,\" tandasnya. Selain itu kata Blegur, tulisan tersebut hanya menyampaikan kegelisahan, kecemasan dan kekhawatiran pandangan dan sikap sebagian besar masyarakat. Blegur menegaskan bahwa materi tulisan tersebut selain bersifat opini, juga mengangkat realitas dan fakta yang bersumber dari pelbagai media msinstream dan non mainstream, sosial media, youtube dan laman berita lainnya. \"Tulisan saya tentang Capres HMI Versus Capres GMNI benar-benar menyampaikan fakta yang didukung data, bukan hoax atau fitnah,\" tegas Ketua Umum BroNies tersebut. Pemanggilan atas dirinya dalam konteks klarifikasi pelanggaran UU ITE kata Blegur terkesan berlebihan dan melampaui batas. \"Oleh pelapornya menjadi tindakan yang semena-mena dan sebagai bentuk kedzoliman,\" pungkasnya. (*)
Dicari Jenderal Pembegal Nasdem
Sudah 16 kali gagal membegal Partai Demokrat, Jenderal Moeldoko tidak surut dan malu, akan tetapi malah terangsang terus, sehingga mengajukan Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA). Atas ulah Moeldoko akhirnya SBY - yang juga jenderal mantan Presiden ke 6 - yang mengorbitkan Moeldoko menjadi Panglima TNI turun gunung. SBY merasa menyesal dan berdosa mengangkat orang yang akhirnya menikamnya dari belakang. Hanya sebuah nikmat seupil dalam politik dan kekuasaan ternyata membutakan mata hati Moeldoko dan membunuh rasa malunya. Hasrat untuk menjambret Partai Demokrat dari tangan anaknya SBY yakni AHY tak pernah surut. Moeldoko tak punya malu sebab dia sendiri bukan kader Partai Demokrat. Berlabuh dan bersandarpun tidak pernah sama sekali, akan tetapi tiba-tiba muncul sebagai kandidat Ketua Umum dalam Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat yang pesertanya diambil dari jalanan untuk hadir dalam KLB dan mau menyatakan jadi KETUM dengn menggeser AHY. Ini semua terjadi lantaran Partai Demokrat mencalonkan Anies Baswedan. Coba kalau Demokrat calonkan yang lain, maka rasa malu Moeldoko masih ada. Cuma karena Anies, maka harga dirinya sebagai seorang prajurit Angkatan Darat dengan pangkat tertinggi sebagai jenderal jadi sirna sekejap terbang jauh bersama tuannya yang planga plongo berijazah palsu. Memang harta itu membutakan manusia, yang beradab bisa jadi bringas dan buas. Sebagai seorang mantan Panglima malu kalau gak kelihatan kaya. Jadi dia mau melakukan apa aja asal cuan bisa masuk ke kantongnya bertumpuk-tumpuk. Moeldoko ini salah satu pemegang lisensi penjualan mobil listrik bersama Opung LBP. Dia melihat Opung begitu kaya dengan hartanya tak berseri masa dia di KSP tidak. Maka jalan satu-satunya penawaran pencaplokan Partai Demokrat dia terima sehingga Anies bisa gagal ikut kontestasi PILPRES. Sebab kalau Demokrat bisa dicopet oleh Moeldoko boleh jadi cuannya akan lebih banyak hadiah dari para cukong oligarki. Tapi rupanya dalam kemelut ini Golkar sudah menunggu bola muntah. Demokrat keluar dari koalisi perubahan maka Golkar masuk. Ada Demokrat saja mereka sudah siap apalagi gak ada Demokrat. Suhu politik senior Bang Akbar Tanjung sudah road show ke daerah-daerah DPD GOLKAR mengkampanyekan memilih Anies. Beliau sebagai politisi senior sudah berhitung betul bahwa Anies bakal menang PILPRES. Dan Golkar partai yang selalu dekat dengan kekuasaan gak mau kehilangan momentum. Maka dari itu di KIB (Koalisi Indonesia Bersatu) Golkar ogah-ogahan walau masih intens berkomunikasi antar partai. Tapi bola liar dan panas masih ada dipegang kubu koalisi perubahan. Nanti dekat-dekat pendaftaran CAPRES satu persatu partai yang lain di KIB akan ikut Golkar dan bergabung dengan koalisi perubahan. Politik itu dinamis. Dia mengikuti suara perut dan isi kantong keluarga mereka di rumah. Untuk itu, supaya Jokowi lebih tenang dan gak panik lagi dicari Jenderal yang berani membegal Partai NASDEM dari Surya Paloh bahkan kalau perlu juga termasuk membegal PKS. Supaya lebih aman Anies gak bisa ikut PILPRES. Semua rencana Jokowi dan oligarki (sebagaimana disuarakan Yusuf Wanandi) gagal semua. Hanya ini cara terakhir yang bisa dilakukan. Tapi yang inipun bakal GATOT (gagal total). Udah terimalah nasib bakal sengsara di hotel prodeo. Bisa busuk kalian di sana. Mulai saat ini mending penjara-penjara dibagusin bikin seperti hotel karena kalian dan keluarga kalian bakal merana di sana. Waktu itu akan segera datang. Tunggu tanggal mainnya. Nuun walqolami wamaa yaaturuun. Wallahul muwaffiq ... Wallahu A\'lam ... Oleh MOH. NAUFAL DUNGGIO - Aktivis dan Ustadz Kampung, Bekasi, 060623.
Membunuh Capres
Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan SEMESTINYA proses politik menuju Pilpres 2024 berjalan tertib dan sehat tanpa ada pola penjegalan terhadap salah satu Capres yang didukung oleh partai politik yang telah memenuhi syarat. Tetapi prakteknya ada Capres yang harus \"dipotong\" dengan mempersalahkan kasus hukum. Adalah Anies Baswedan yang selalu menjadi target tersebut. Formula E menjadi isu pengganjalan. Ngototnya Ketua KPK untuk mentersangkakan Anies menjadi tontonan publik. Ada perbedaan pandangan Ketua dengan Tim KPK yang menelaah kasus Formula E. Ketika KPK menjadi alat politik, maka Anies potensial dipaksakan untuk diproses hukum. Upaya penjegalan juga dilakukan melalui jalur lain yaitu PK Moeldoko di MA. Rekayasa Putusan MA yang kelak memenangkan Partai Demokrat kubu Moeldoko membuat Partai Demokrat kubu AHY tidak dapat menyokong pemenuhan persyaratan Anies Baswedan untuk maju sebagai Capres. Jika skenario jahat memperalat hukum di atas sukses mengganjal Anies Baswedan, maka pendukung Anies khususnya kelompok relawan mungkin akan melakukan perlawanan melalui dua jalur, yaitu: Pertama, unjuk rasa masif atas kezaliman rezim yang telah memperalat hukum untuk tujuan menjegal. Unjuk rasa pembelaan pada Anies Baswedan yang bersinergi dengan aksi-aksi perlawanan pada rezim Jokowi untuk elemen dan isu lain seperti omnibus law, km 50, korupsi, dan lainnya. Potensial menjadi gerakan \"people power\" untuk menumbangkan Jokowi. Kedua, pendukung baik relawan maupun partai politik melakukan desakan proses hukum untuk dua kandidat lain baik Ganjar Pranowo maupun Prabowo Subianto. Ganjar diduga kuat terlibat dalam kasus suap E-KTP. Angka 525 ribu USD menjadi pintu untuk pengejaran dan proses hukum lebih serius. Prabowo rentan dalam proyek \"food estate\" yang gagal dan meninggalkan bau korupsi. Skandal merugikan uang negara harus dipertanggungjawabkan di ruang pengadilan. Membunuh Capres dapat pula menjadi proyek politik strategis untuk kepentingan yang bersifat multi dimensional. Jika proses politik diawali dengan niat dan cara yang tidak sehat maka biasanya berujung pada situasi yang semakin tidak terkendali. Bukan saja Calon Presiden yang mungkin \"terbunuh\" tetapi juga Presiden. Ketika situasi membuat frustrasi, maka bunuh diri adalah solusi. Solusi dari suatu kebodohan. Proses politik bangsa kini terindikasi sedang menjalankan politik \"dumbing down\". Pembodohan dan kebodohan. Meciptakan kondisi krisis yang sulit diprediksi untuk akhirnya. Inilah mungkin saatnya \"TNI harus maju sedikit mengambil posisi\". Rakyat pun nampaknya tidak keberatan. Bandung, 6 Juni 2023
Robohnya Demokrasi Kami
Oleh Dr. Anton Permana - Aktivis KAMI, Pemerhati Sosial dan Politik SEPERTI cerpen lawas karangan Sastrawan AA Navis asal Ranah Minangkabau Provinsi Sumatera Barat berjudul “Robohnya Surau Kami”, judul tulisan di atas memiliki makna filosofis yang dalam. Makna kalimat Robohnya Surau Kami, bukan saja bermakna hakiki (tersurat) robohnya sebuah surau (dalam bahasa Minang berarti Mushola atau Masjid kecil) secara fisik, tetapi juga bermakna kiasan (tersirat) bahkan juga memiliki makna tersembunyi (tersuruk) ala berpikir orang Minangkabau yang holistik. Yaitu, kegelisahan seorang budayawan, dan sastrawan tentang kondisi kampung halamannya yang secara pranata dan kondisi sosial budaya yang mulai bergeser. Dari kondisi konservatif kultural religius, bergeser menjadi liberal-sekuleris atas nama kehidupan moderen saat itu. Sosial kultural masyarakat Minangkabau yang sebelumnya terkenal fanatis, religius akan agama, adat dan norma budayanya, bergeser menjadi matrealistis-hedonis-plural-liberalis dan sekuler. Surau sebagai simbol penyangga ketahanan sosial religius masyarakat Minangkabau, di mata sastrawan AA Nafis sudah “roboh”, kehilangan peran dan fungsinya sebagai tempat pembinaan, belajar, kaderisasi, dan basis pergerakan dakwah orang Minangkabau yang secara notabone di masa sebelumnya berhasil melahirkan para tokoh nasional dan internasional yang unggul dan berkarakter. Begitu juga setidaknya, ketika kita mengamati kondisi kehidupan demokrasi kita hari ini. Dimana pasca reformasi menjadi icon utama pengharapan setelah Orde Baru, bahwa demokrasi akan membawa kesejahteraan, memberangus Korupsi, Kolusi, Nepotisme, memberikan kebebasan berekspresi bagi siapa saja, menjunjung tinggi Hak Azazi Manusia, serta tak akan terjadi gaya pemerintahan otoriter dan penyalahgunaan kekuasaan. Fakta yang kita lihat hari ini justru sebaliknya. KKN semakin tumbuh subur dan sistemik. Kalau pakar ilmu pemerintahan Jhon Girling dalam bukunya “Coruption, Capitalism, and Democracy”(1997),mengatakan korupsi itu terdiri dari tiga dimensi ; Individualistis-Insidentil, Institusional, dan Social Sistemic. Silahkan nilai dimana posisi kita hari ini? Hal ini selaras dengan laporan Transparacy International yang menyatakan IPK korupsi Indonesia berada pada urutan ke 110 dari 180 negara. Artinya boleh dikatakan, korupsi di negara kita hari ini sudah seperti watak dan prilaku yang sistemik alias menuju negara “kleptokrasi” kalau kita menggunakan parameternya Joseph Nye dalam bukunya berjudul “Coruptioan and Political Development” (June, 1967). Dalam hal penegakan hukum kita juga secara kasat mata melihat bagaimana terjadi ketidakadilan dan tindakan diskriminatif. Tajam ke bawah dan pihak yang berseberangan dengan pemerintah, tumpul apabila berhubungan dengan kelompok kekuasaan. Sehingga marak terjadi “Abuse of Power” dan kriminalisasi. Para aktifis dan Ulama banyak dikriminalisasi, dipenjarakan hanya karena bersuara berbeda dengan penguasa. Kejahatan dan kriminalisasi semakin marak dan parahnya lagi bahkan melibatkan para aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi Bhayangkari negara. Kasus Sambo, Tedy Minahasa, dua Jendral muda yang viral di publik cukup menjadi catatan buruk bagi wajah penegakan hukum kita hari ini. Dan itupun baru yang mencuat ke publik ? Harmonisasi kehidupan sosial, HAM dan kebebasan menyuarakan kebenaran juga mengalami mimpi buruh di negeri kita saat ini. Penguasa hari ini justru menggunakan tangan-tangan para Buzzer dan influencer dalam membangun opini dan menutupi kebusukan serta kejahatan-kejahatan demokrasi yang mereka lakukan. Sesama anak bangsa diadu domba tanpa pernah ada upaya untuk menyatukan. Kehidupan ber-Agama yang sebelumnya menjadi entitas yang begitu sakral dan dihormati, saat ini diframming, distigmakan begitu sistematis seakan menjadi masalah utama dan ancaman terbesar kehidupan bernegara kita hari ini. Spritualitas kehidupan beragama seakan ditendang jauh tidak boleh berada dalam pusaran ekosistem kekuasaan. Dengan narasi dan terminologi mengerikan seperti ; Politik Identitas, Intoleransi dan Radikalisme yang difrasakan buruk secara sepihak. Parahnya lagi, mata anak panahnya tajam menunjuk ke arah ummat Islam yang tidak mau tunduk dan kritis terhadap kemungkaran. Bagi siapa yang ikut manut kepada kemauan kekuasaan, maka akan diberikan kenikmatan fasilitas kekuasaan, uang dan jabatan. Tapi bagi mereka yang tidak ikut, maka akan dicari-cari kesalahan dan cara untuk membungkamnya. Begitu juga dengan prilaku para elit kekuasaannya. Membuat regulasi perundangan sesuai dengan kehendak hati dan kepentingan politik kelompoknya. Ada yang tak sesuai dengan aturan, aturannya yang diganti. Politik sudah jadi Panglima, dan hukum menjadi alat kekuasaan. Belum lagi kita bicara konstitusi, dimana konstitusi itu yang seharusnya menjadi hukum dasar (utama) untuk “Mengekang Kekuasaan”, saat ini justru menjadi instrumen legitimasi kepentingan kekuasaan. Hanya di Indonesia yang katanya negara Demokrasi, ketua hakim Mahkamah Konstitusinya secara terbuka punya hubungan kerabat dengan Presiden. Jadi wajar, banyak pihak yang gelisah dan geram ketika dengan tanpa rasa malu, ketika seorang Presiden yang seharusnya secara konstitusi sudah mau habis masa jabatan, tetapi begitu kekeuh dan agresif berupaya melakukan manuver politik untuk memperpanjang kekuasaanya meskipun menggunakan tangan-tangan orang lain. Terakhir malah dengan terbuka akan ikut “Cawe-Cawe” dalam urusan pencapresan Pilpres yang akan datang. Sungguh terlalu ! Pilar utama dari Demokrasi itu adalah penegakan hukum, etika, dan norma. Sedangkan instrumen dari pelaksanaan dari sistem Demokrasi itu juga adalah : Berjalannya Trias Politika dalam pemerintahan, sehingga ada terjadi “Check and Balance” dalam pemerintahan. Serta tegaknya kedaulatan rakyat dengan terjaminnya hak rakyat dalam menyampaikan pendapat, perlindungan atas HAM masyarakat baik secara individual, kelompok dan kehidupannya. Dan terakhir, Demokrasi melahirkan kesejahteraan bagi masyarakat yang berkeadilan sosial bukan hanya untuk satu kelompok saja. Namun faktanya hari ini, semua berubah menjadi mimpi buruk bagi keberlangsungan reformasi yang dahulu begitu kita agung-agungkan. Demokrasi hari ini sudah runtuh menjadi Otokrasi Diktatorianisme. Kedaulatan rakyat sudah dirampok partai politik dan okigarkhi. Reformasi sudah berubah jadi “Deformasi” seperti kata Begawan Ekonomi Dr Rizal Ramli. Mimpi negara “Walfare State” sudah bergeser menuju negara “Coorporate State” yang dikuasai oleh hanya sekelompok orang saja. Masyarakat hari ini seperti terperangkap dalam samudera aliena yang ambiguitas. Bingung membaca arah navigasi perubahan. Karena semua lini seakan terkunci hegemoni status quo kekuasaan. Semua seakan menemukan jalan buntu. Tidak cukup sampai disitu. Proses sakral Pemilu dan Pilprespun saat ini terancam “di begal”. Ada upaya kuat dari anasir kekuasaan untuk memperpanjang masa kekuasaanya dengan bahasa ufimisme “Penundaan”. Penundaan tentu dengan banyak alibi dan dalih. Sangat mudah kekuasaan merancang itu. Karena system control dan early warning bernegara kita saat ini seakan lumpuh. Bahkan Partai dan proses pencalonan kandidat Capres pun yang bersebrangan dengan penguasa, juga terancam di bajak atas nama pemaksaan kehendak. Sehingga rakyat tak ada pilihan selain ikut hanyut dalam koridor peta jalan buatan oligarkhi. Demokrasi pun sakratul maut menuju mati. Berharap pada Senayan, mulut mereka terkunci takut pada ketua Partai. Melapor pada Partai, hampir semua Partai merupakan bahagian oligarkhi. Mengadu pada pemerintah dan aparat, semua tunduk manut pada kekuasaan. Mau bersuara pada media massa yang katanya juga jadi pilar demokrasi, faktanya media mainstream juga di bawah kendali para taipan dan oligarkhi. Berharap pada Mahasiswa, aktivis dan Ulama, tak henti/hentinya mereka justru jadi korban intimidasi dan kriminalisasi. Kesimpulannya Demokrasi kita hari ini adalah Demokrasi Palsu dan halusinasi. Jadi teringat pernyataan tokoh sufi Syekh Atthaillah Iskandar yang mengatakan “Kalau baju kotor cucinya di air, tapi kalau air kotor cucinya dimana ? Manusia mati kuburnya di tanah, tapi kalau tanah mati, kuburnya dimana ?” Hampir sama dengan tulisan Pangdam Siliwangi Mayjen TNI Kunto Ari Wibowo dalam tulisannya yang viral di Kompas berjudul “Etika Pemilu 2024” yang mengatakan istilah “Tonggak Membawa Rebah” yang artinya adalah ; Akan menjadi malapetaka besar apabila pemerintah, aparatur, yang seharusnya menjadi penyangga (tonggak) utama pelaksana roda pemerintahan, tetapi juga menjadi aktor utama yang melakukan kejahatan dan pelanggaran terhadap hukum serta konstitusi. Negara pasti akan rusak dan hancur lebur apabila hal ini terus terjadi. Tapi kita mesti yakin, secara hukum Demokrasi dan Sunatullah bahwa ; Yang abadi itu adalah perubahan. Kekuasaan dalam hukum besi demokrasi itu adalah pergantian kekuasaan. Itu pasti. Kebuntuan-kebuntuan dan koptasi intimidasi yang diperagakan penguasa hari ini, justru akan melahirkan tekanan balik energi perlawanan yang semakin besar. Begitu juga nasihat Ibnu Khaldun,”Kekuasaan itu seperti menggenggam pasir. Semakin kuat menggenggam maka pasirnya semakin lepas berjatuhan”. Dan apabila sebuah kekuasaan semakin sewenang-wenang maka itu bertanda kekuasaan itu semakin dekat dengan kehancurannya dan segera berakhir. Ibarat Matahari, ada saatnya terbit di pagi hari, tapi juga ada saatnya Matahari itu akan segera tenggelam bersama gelapnya malam. Itulah hukum Alam. Tak bisa di lawan. InsyaAllah. Jakarta, 06 Juni 2023.
Hadir di Solo Dicap Sebagai Timses Prabowo, Rocky Gerung: Kalau Timses Ganjar Undang, Saya Juga Pasti Hadir
Jakarta, FNN - Akademisi yang juga pengamat politik Rocky Gerung menghadiri turnamen sepakbola yang diinisiasi relawan Prabowo Subianto di Solo bertajuk Liga Bola Rakyat (Libra). Kehadiran Rocky dalam momen tersebut membuat dunia medsos heboh. Ia dicap sebagai timses Prabowo. Namun Rocky membantah tuduhan itu dan mengaku diundang untuk melihat kompetisi yang kelak bisa melahirkan bibit-bibit pemain profesional. “Saya kemarin memang di Solo di lapangan bola UNS, bahkan ikut main bola di situ. Ada teman-teman saya mendeklarasikan dan memulai suatu pertandingan bola dalam upaya mencari bibit pesepak bola. Saya anggap seperti biasa, ini tim sukses Prabowo saya tahu itu, tetapi saya bilang bukan tim sukses Prabowo, melainkan saya ingin ini menjadi sukses. Saya gak tahu apa terjemahannya,” katanya dalam perbincangan dengan wartawan senior FNN Hersubeno Arief, dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official berjudul “Tebar Harapan Manis ke Capres, Awas Prabowo dan Ganjar Diprank Jokowi,” Senin (05/05/2023). Yang lebih penting bagi Rocky adalah bagaimana masyarakat Indonesia melihat bahwa politik Indonesia memerlukan dorongan lebih kuat supaya terjadi kompetisi di bidang ide. “Jadi ide untuk memanfaatkan masa kampanye dengan sepak bola, jauh lebih berguna daripada ide untuk bagi-bagi amplop dan dangdutan,” tegasnya. Rocky juga menegaskan bahwa dia bukan timses siapa-siapa. Ia berkewajiban mengingatkan kepada publik tentang pemilu yang berkualitas, bahkan sebelumnya Rocky juga menghadiri timses Anies di Semarang dan Jogjakarta. “Jadi, ini adalah upaya untuk menjelaskan kepada publik bahwa saya mendorong Anies, Prabowo, dan Ganjar untuk dapat tiket dululah, nanti kita atur siapa yang musti kita pilih. Tetapi mereka harus paham, bahwa selama tidak ada wakil presiden, mereka sebetulnya bukan capres. Sudah bisa disebut capres itu kalau sudah ada calon wakil presiden. Itu dasarnya. Jadi, silakan baca di media massa kenapa sya hadri di situ,” paparnya. Sebelum di Solo, Rocky menjelaskan bahwa dirinya bersafari di JawaTengah selama tiga hari. “Saya tiga hari di Jawa Tengah, pertama ketemu relawan Anies, para dokter yang punya keprihatinan soal Nakes yang ditelantarkan oleh Negara. Ada sekitar 16 ribu nakes yang digaji asal-asalan, padahal mereka kerja di rumah sakit. Negara terlalu tega untuk menganggap bahwa nakes itu mengabdi. Sepakat, justru yang mengabdi itulah harus diasuh lebih baik,” tegasnya. Penelantaran terhadap tenaga kesehatan kata Rocky menyebabkan mereka harus kerja paksa. Begitu banyak tenaga kesehatan yang tewas karena waktu kerja dan tunjangan. Jadi, tim Anies itu dokter-dokter yang mendorong Anies menjadi presiden membekali dia dengan konsep tentang kesehatan rakyat demi keadilan dan kemerataan. Rocky mendorong upaya tersebut. “Itu hari pertama, hari kedua saya diundang Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang memulai tradisi mengumpulkan mahasiswa. Ada kurang lebih 2000 mahasswa berkumpul di lapangan dan berupaya untuk mendorong politik berbasis kepada kebebasan akademis.Di kampus itu saya terangkan apa fungsi dari mimbar akademis. Jadi, akademis itu adalah hak setiap orang yang punya dalil akademis, bukan hak rektor atau hak guru besar. Jadi, itu dasar kehidupan di kampus,” paparnya. Hari keriga, Rocky bergerak ke Solo dan ini yang menjadi heboh di masyarakat lantaran menghadiri acara relawan Prabowo. “Lalu hari berikutnya saya ke Solo menghadiri acara pembukaan semacam Piala Prabowo. Saya dengar Prabowo menyiapkan uang, mungkin sekitar 500 juta untuk klub yang menang dlaam upaya pembinaan. Jadi apa yang saya lakukan untuk mendorong perubahan politik dengan cara konseptual,” tegasnya. “Anda siap kalau tim Ganjar mengundang Anda,” tanya Hersu. “Pastilah, Ganjar kalau ngundang pasti akan saya datangi. Kan saya bukan tim sukses siapa-siapa, akan tetapi saya mendorong kompetisi politik yang sehat. Kalau soal upacara-upacara partai ngalor ngidur ke sana ke mari pindah koalisi, itu urusan partai. Urusan saya adalah akademis, urusan untuk menghasilkan sistem pemilu yang konsepsional,” katanya. Sekali lagi, lanjut Rocky, kalau Ganjar meu mengundang dirinya, ia pastika akan hadir. “Kalau Ganjar mau undang saya, oke, tetapi saya akan terangkan bahwa di situ saya diundang di dalam usaha yang sama dan dalam tema yang sama yaitu politik yang basisnya etikabilitas, basisnya intelektualitas, bukan basis elektabilitas,” tegasnya. Rocky juga menegaskan bahwa dirinya berteman dengan Anies, Prabowo juga Ganjar termasuk dengan GMNI. “Jadi, tidak ada masalah selama kita tahu ada kompetisi ide dan argumen. Saya mau mengajarkan bagaimana capres-capres dan caleg itu bertengkarlah tentang masa depan Negara tetapi dengan kekuatan argumen bukan dengan saling lempar sentiment,” paparnya. Menurut Rocky kampanye model dangdutan tidak akan menghasilkan masyarakat yang cerdas, justru hanya akan menghasilkan presiden yang gemar jodet-joget belaka. “Dangdutan itu urusan olah gerak-gerak tubuh supaya sehat, tetapi otak kita tidak tumbuh. Politik yang diolah secara dangdutan itu hasilnya presidennya hanya bisa dangdutan saja,” pungkasnya. (sws).