ALL CATEGORY

Seluruh Jajaran Pusat-Daerah Siap Menerima Pendaftaran Bakal Caleg

Jakarta, FNN - Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menyatakan seluruh jajarannya mulai dari tingkat pusat hingga daerah siap menerima pendaftaran bakal calon legislatif (caleg) DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota serta calon anggota DPD untuk Pemilu 2024.\"Bukan hanya di KPU RI, di tanggal yang sama juga karena memang dilaksanakan serentak se-Indonesia, jajaran kami yang ada di KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota juga siap,\"   ujar Deputi Bidang Dukungan Teknis Sekretariat Jenderal KPU RI Eberta Kawima di Kantor KPU RI, Jakarta, Senin.Menurut Eberta Kawima, ada 38 provinsi dan 514 kabupaten/kota, semua siap-siap melaksanakan hal yang sama, semua siap menerima  partai politik yang mendaftarkan bakal caleg dan calon anggota DPD.Kawima pun menyampaikan KPU di tingkat pusat dan seluruh provinsi serta kabupaten/kota di Indonesia memastikan kesiapan tempat, fasilitas, dan pihak yang menerima pendaftaran bakal caleg DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota serta calon anggota DPD untuk Pemilu 2024.Sebelumnya, dalam konferensi pers di Kantor KPU RI, Jakarta, Minggu (30/4), KPU RI telah mengumumkan penerimaan pendaftaran bakal calon legislatif DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, serta calon anggota DPD untuk Pemilu 2024 dilaksanakan pada 1-14 Mei 2023.Ketua KPU RI Hasyim Asy\'ari menyatakan hal itu dilaksanakan sesuai dengan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilu 2024.\"Pada tanggal 1-14 Mei 2023 sesuai jadwal, yaitu pendaftaran bakal calon anggota DPR RI, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota oleh partai politik kepada KPU, sesuai dengan tingkatannya. Demikian pula pendaftaran calon anggota DPD,\" kata Hasyim.Lebih lanjut, dia menyampaikan pendaftaran bakal calon anggota DPR RI untuk semua daerah pemilihan (dapil) akan dilakukan oleh pimpinan pusat partai politik (parpol) dengan mengunjungi Kantor KPU RI.Kemudian untuk bakal calon anggota DPRD provinsi akan didaftarkan oleh masing-masing pengurus parpol tingkat provinsi kepada KPU provinsi masing-masing dan bakal calon anggota DPRD kabupaten/kota akan didaftarkan pengurus partai politik di tingkat kabupaten/kota di kantor KPU kabupaten/kota masing-masing.Sementara itu, untuk pendaftaran calon anggota DPD RI, Hasyim menegaskan hal tersebut hanya bisa didaftarkan oleh bakal calon yang telah memenuhi syarat dukungan yang sudah diajukan ke KPU provinsi.KPU RI sebelumnya telah menetapkan 700 bakal calon anggota DPD RI memenuhi syarat minimal dukungan pemilih dan sebaran untuk mengikuti Pemilu 2024.Hasyim mengingatkan bahwa seperti lazimnya prosedur pendaftaran tahapan pemilu terdahulu, KPU akan melayani pendaftaran bakal caleg Pemilu 2024 dengan jam operasional pukul 08.00 WIB-16.00 waktu setempat untuk tanggal 1-13 Mei 2023.\"Untuk hari terakhir, tanggal 14 Mei 2023, akan dilakukan mulai pada pukul 08.00-23.59 waktu setempat,\" kata dia.(ida/ANTARA)

Tujuh Belas Agustusan di Ibu Kota Negara (IKN) Baru

Oleh Sugeng Waras - Purnawirawan TNI AD  Ada hembusan angin dari Istana, rencana  HUT Kemerdekaan RI 2023 akan diperingati di IKN baru, Paser, Penajam, Kalimantan Timur? Bisa kabar Hoax , tapi juga bisa kabar benar, hanya pertanyaanya apakah layak atau tidak ditinjau dari prespektif akal sehat dan kelayakan. Dari latar belakang pemikiran IKN lahir dari pemikiran Istana yang beranggap seolah maha kuasa di negeri ini. Nggak tahu apa yang menjadi bahan pertimbangan dan mendorong niat itu, yang bisa ditafsirksn beraneka ragam mulai yang paling baik hingga paling buruk. Secara umum bahwa Ibu Kota Negara merupakan Center Of Gravity suatu negara, bahkan merupakan barometer dan tolok ukur kemajuan suatu negara dengan mempertimbangkan posisi, kondisi geografi, keberadaan rakyat sekitarnya,  Pusat pemerintahan dalam ketepatan  dan kecepatan mengomando, mengendalikan, mengkordinasikan, mengkomunikasikan dan mempublikasikan kegiatan bersama badan badan atau instansi jajaranya,  disamping kekenyalan, efektifitas dan efisiensi dalam  mengatur dan merencanakan strategi pertahanan dan keamanan negara. Apa lagi kondisi geografi Indonesia yang terpecah belah, rentan dengan ancaman dan bahaya dari luar negeri dengan banyaknya celah celah, lorong dan kehampaan antara pulau pulau besar dan pulau pulau kecil. Sudah bisa dipastikan, bahwa gagasan dan rencana pembangunan IKN baru tidak direncanakan secara komprehensif, detail, strategis, sosio ekonomis, bertahap, berlanjut, berkesinambungan dan saling mendukung. Bak tiba masa tiba akal, gagap, grusa grusu, panik, tak jelas arah dan tujuan dan bukan bekerja akhir diawal, juga tidak  bekerja awal diakhir. Mana diingat itu dibangun, mana diingin itu dibuat, tanpa berpikir keseimbangan dengan hutang dan masalah masalah negara lainnya. Seolah hanya menggunakan kacamata kuda dari masing masing bidang yang tak peduli urusan dengan bidang bidang lain , yang mencerminkan ambisi konyol seseorang yang merasa bisa mengatur dan merencanakan negara segala tanpa melihat dan memperhitungkan untung rugi masa dulu, kini dan masa mendatang. Anehnya banyak para tokoh tokoh di kabinet yang diyakini banyak para orang orang pintar namun tidak berkutik dan nurut atas kehendak sang paduka. Hal ini bisa karena bentuk loyalitas, asal Presiden senang atau ada kepentingan lain yang diperoleh terkait keuntungan finansial yang diraih melalui udang dibalik batu atau sambil menyelam minum air, yang tidak peduli akibatnya terhadap masa depan bangsa atau kepentingan anak cucu cicit. Ironisnya dalam negara hukum dengan sistim demokrasi  penguasa memberikan intimidasi terhadap siapapun dan pihak manapun yang mencoba membahas apalagi merintangi rencana pembangunan IKN baru ini, brengsek dan dungu. Hanya masyarakat yang lemah semangat yang menerima perlakuan ini, namun bagi masyarakat yang berpikir proaktif dan sensitif akan terus mengejar dan minta pertanggungan jawab atas rencana ini. IKN baru, jadi belum, keharmonisan pemerintah dengan rakyat tidak ada tanda tanda, namun pihak pemerintah terus memaksakan kehendak. Ada Apa? Apa lagi ada slentingan, upacara dan acara HUT Kemerdekaan RI 2023 akan diselenggarakan di IKN baru. Jika ini benar layak rakyat melawan terhadap kebijakan ini, karena ini hanya merupakan sensasi yang tidak masuk akal dilihat dari prespektif akal sehat serta situasi dan kondisi saat ini. Berangkat dari hutang luarnegeri yang semakin membengkak, compang campingnya pelaksanaan pengadaan kereta api cepat Jakarta Bandung yang terus berubah meningkat naik beaya, perubahan perjanjian kontrak, bahkan bergeser pada peralihan APBN. Jika pemerintah sadar dan paham tentang makna dan hakiki peringatan HUT KEMERDEKAAN RI, kelengkapan, keterlibatan personil dan sarana prasarana, tidaklah masuk akal akan dilaksanakan di IKN baru yang belum dan tidak disahkan, yang rentan dengan kemangkrakan dan pemborosan uang negara yang dihambur hamburkan demi nafsu ambisi konyol. Kesimpulan Pemerintah tidak punya konsep yang signifikan atas rencana pembangunan IKN baru, bisa jadi sebagai politik mercusuar, pengalihan masalah atau krisis managemen negara, Leadership dan smrawutnya pemikiran para ahli dalam kabinet Jokowi. Ini terjadi karena dikondisikan oleh Oligarki (beberapa tokoh asing yang berkolaborasi dengan beberapa tokoh Pribumi melalui kekuasaan seperti Presiden, Mendagri, Menlu, Menhan) Namun tokoh tokoh ini didalangi oleh tokoh pribumi pelanjut paham KOMUNIS yang sedang bercokol dalam Kabinet Jokowi maupun di partai/swasta melalui caranya yang khas, merangkul untuk memukul, adu domba, lempar batu sembunyi tangan, lempar kotoran untuk fitnah orang lain. Ini harus disikapi dengan persatuan dan kesatuan bersama, dengan mengorbankan kepentingan sendiri dan mengutamakan kepentingan bangsa. Waspada!Jangan terbuai dengan hasil perolehan suara yang kasat mata dilapangan, kecerdikan dan kelicikan KPU, Bawaslu dan jajaranya sangat memungkinkan berbuat dan terjadi kecurangan.  Oleh karenanya, kita berharap TNI POLRI jangan mau disetir OLIGARKI. TNI POLRI harus benar benar netral dan berdiri tegak bersama Rakyat, untuk bertekad mengubah dan memperbaiki masa depan bangsa Indonesia. Catatan: MenHan  (Prabowo) perlu dilindungi, karena tekad dan niat baiknya terhadap NKRI terbaca dan terjegal oleh sahabatnya sendiri yang satu guru satu ilmu, dan ini yang harus dilenyapkan. OLIGARKI BUKAN KUAT, TAPI KELALAIAN DAN KELEMAHAN KITA SENDIRI YANG MEMBUAT OLIGARKI BERKUASA. Dalam keadaan paham dan sadar saya SUGENGWARAS siap menghadapi resiko apapun terhadap diri saya, tidak ada lain hanya KEBESARAN ALLOH yang menjadi tekad, tumpuan dan harapan saya untuk terus berjuang tanpa sia sia. Aamiin.....Yarobbal Aalaamiin.....ALLOHU AKBAR ! Bandung, 1 Mei 2023.

Jokowi Tidak Akan Dukung Prabowo

Oleh Tony Rosyid - Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa SESUAI artikel yang saya tulis sebelumnya: Tidak Ketemu Rasionalitasnya kalau Jokowi Dukung Prabowo. Kenapa? Pertama, karena mereka punya sejarah di pilpres 2014 dan 2019, dimana Prabowo yang ikut mengorbit Jokowi di pilgub DKI 2012 akhirnya dikalahkan dua kali (pilpres 2014 dan 2019) oleh Jokowi. Kedua, bagi Jokowi, mendukung Prabowo sama saja menghidupkan macan mati. Ketika Prabowo berkuasa, tak ada kesempatan lagi bagi Jokowi untuk intervensi, apalagi mengendalikan. Boleh jadi malah sebaliknya. Tidak ada MoU, apapun bentuknya, yang bisa menjinakkan para penguasa ketika mereka punya kesempatan berkuasa. Sebab, semua instrumen negara ada di tangannya. Penguasa adalah orang yang paling kuat di Indonesia. Jokowi bukan orang bodoh. Kemampuan politiknya jauh di atas rata-rata orang Indonesia. Megawati, ketum PDIP, partai terbesar dan pemenang dua kali yang mengusung Jokowi nyapres saja tidak bisa banyak berbuat terhadap Jokowi. Ini tidak akan terjadi jika Jokowi bukan seorang politisi ulung dan piwai. Stigma petugas partai hanya slogan belaka dan tidak berlaku bagi Jokowi. Politik itu tidak sepenuhnya bisa ditentukan oleh karakter personal, meski ini juga punya pengaruhnya. Tapi, politik lebih ditentukan oleh posisi, peluang dan kebutuhan. Ketika Prabowo menjadi penguasa, ini misalnya saja, dia tidak butuh Jokowi lagi. Gak ada itu istilah balas budi. Yang justru muncul adalah memori kekalahan Prabowo di pilpres 2014 dan  2019. Setidaknya, memori ini masih diingat dengan kuat oleh para pendukung dan orang-orang di sekitar Prabowo. Sangat menyakitkan. Jokowi dan Prabowo punya kepentingan yang berbeda. Ini akan tampak sekali pasca 2024. Tak ada itu istilah balas budi, etika atau MoU. Ini sudah berulang di pilpres 2014 dan 2019. Kurang apa peran Prabowo untuk sukseskan Jokowi di pilgub DKI 2012. Masuk pilpres 2014 dan 2019, ketika kepentingan keduanya berhadapan, maka terjadi pertarungan yang sangat sengit dan keras. Hasilnya, semua bisa kita baca sekarang. Ini bukan salah Jokowi. Tapi, ini realitas politik yang saat itu menuntut keniscayaan untuk menghadap-hadapkan dua tokoh besar ini. Kalau anda mengungkit-ungkit soal balas budi, jasa Prabowo, dll, itu artinya anda tidak sepenuhnya paham dan mengerti soal politik. Jokowi sangat paham dan mengerti soal politik. Di pilpres 2024, Jokowi melihat Prabowo bisa dimanfaatkan sebagai instrumen untuk memecah suara Anies. Begitu juga Sandi. Maka, Prabowo ditawari jadi cawapres Ganjar. Jika tidak mau, Prabowo akan didorong maju jadi capres. Jokowi tahu, dan sangat cermat dalam kalkulasi politiknya. Jokowi tahu Prabowo lemah, dan kecil peluangnya untuk menang. Maka, Prabowo didorong untuk tetap maju. Apa tujuannya? Menggerus suara Anies untuk memenangkan Ganjar.  Kalau Prabowo kuat, 1000 persen Jokowi tidak akan dukung Prabowo. Jokowi tidak akan membiarkan kartu mati Prabowo dihidupkan kembali oleh Jokowi.  Jadi,  tak ada yang dikhawatirkan. Jokowi sudah punya Ganjar. Dalam konteks ini, Prabowo memang terkesan lugu, polos dan cenderung normatif. Inilah kelemahan Prabowo secara politik. Padahal, saat ini, Prabowo punya kesempatan untuk bergaining posisi. Caranya? Prabowo gak perlu nyapres. Kemana dia arahkan partainya, ini akan menjadi kekuatan bergaining yang sangat besar. Ada dua bakal capres, yaitu Anies dan Ganjar. Tinggal pilih kemana arah dukungannya. Prabowo tinggal menghitung diantara kedua bakal capres ini. Pertama, mana yang paling besar pengaruhnya terhadap elektabilitas Gerindra. Kedua, sebagai King Maker, lebih besar mana peran yang akan didapatkan Prabowo dari kedua kandidat tersebut. Ke Ganjar, suara Gerindra akan berebut dengan PDIP. Mungkin juga Golkar. Kalau ke Anies, akan berebut dengan Nasdem dan Demokrat. Ke Ganjar, Prabowo punya saingan Jokowi dan Megawati sebagai King Maker handal. Ke Anies, ada Surya Paloh, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla. Satu hal, Gerindra lebih besar suaranya dari Nasdem dan Demokrat. Lebih kecil dari PDIP. Ini soal pengaruh. Begitu juga sebagai King Maker, Jokowi dan Megawati jauh lebih kuat pengaruhnya terhadap Ganjar dari pada Surya Paloh, SBY dan JK terhadap Anies Baswedan. Prabowo punya peluang bermain dan mengambil peran di pilpres 2024 sebagai King Maker, dan tidak berada dalam bayang-bayang Jokowi dengan semua kepiawaian politiknya yang saat ini menjadi sutradara paling berpengaruh untuk pilpres 2024. Kuala Lumpur, Malaysia, 1 Mei 2023

Anies, Jumhur dan Pembebasan Alienasi Kaum Buruh

Oleh Dr. Syahganda Nainggolan - Sabang Merauke Circle PEMIMPIN besar kaum buruh, yang juga ketua Serikat Buruh KSPSI, Mohammad Jumhur Hidayat, telah menjelaskan kepada hakim pengadilan PTUN Jakarta kenapa upah buruh yang dinaikkan Anies Baswedan pada tahun 2022, sebesar 5,1% mempunyai legitimasi historis. Dalam \"Bela Anies soal UMP DKI, Jumhur Sebut Upah Buruh di 3 Provinsi Ini lebih Buruk Dari Era Kolonial\",  JPPN, 8/6/22, menurut dia upah buruh di era kolonial adalah setara dengan 6,5 kg beras perhari sementara sekarang ini upah buruh cuma  5,6 kg beras saja perhari. Legitimasi historis yang harus dicamkan adalah gugatan soal nasib kaum buruh (tani) yang miskin tidak masuk akal itu disampaikan Bung Karno dalam pledoinya \"Indonesia Menggugat\", dalam pengadilan di Bandung, 1930. Sudah jelas itu adalah masa kolonial. Sehingga kaum buruh tidak pantas mendapatkan nasib yang sama atau bahkan lebih buruk di era kemerdekaan ini.  Sesungguhnya, Anies dan Jumhur saling membela dalam urusan kaum buruh. Sebab, Jumhur datang di persidangan PTUN itu membela keputusan Anies yang digugat kaum kapitalis, karena mereka tidak bisa menerima Anies melawan UU Omnibus Law, yang turunannya PP36/2021 terkait upah hanya membolehkan kenaikan upah sebesar 1% saja. Ganjar Pranowo, misalnya, hanya menaikkan 0,87%. Artinya Anies menaikkan upah sebanyak 580 kali lebih banyak dari Ganjar Pranowo saat itu. Pengusaha marah dan menggugat Anies ke pengadilan. Jadi Anies membela kaum buruh dan Jumhur membela keputusan Anies yang membela kaum buruh. Alienasi Kaum Buruh Problem pokok perjuangan buruh adalah pembebasan diri dari alienasi. Apa itu? Alienasi adalah situasi di mana buruh tidak ikut mengontrol nilai dari produk yang dia ikut menciptakannya. Dalam dunia modern yang dikontrol kaum kapitalis, buruh hanya merupakan  skrup-skrup kecil yang disetarakan dengan alat produksi lainnya, tanah, uang dan mesin-mesin. Buruh bukanlah manusia, karena yang dihargai oleh majikan adalah jasa tenaga buruh. Jasa tenaga ini bukan human, melainkan satuan kerja yang dihasilkan oleh tenaga buruh per waktu tertentu. Dengan membayar satuan kerja tersebut, hubungan industrial antara buruh dan majikan terputus. Untuk mempertahankan dirinya dalam sistem reproduksi konstan, buruh harus membelanjakan uang upahnya untuk mengkonsumsi makanan, sehingga makanan itu kembali menghasilkan tenaga untuk dijual kembali pada majikan. Jika dia gagal menciptakan tenaga baru, maka dia akan tersingkir dari sistem kerja yang ada. Akhirnya buruh masuk pada siklus kehidupan produksi dan reproduksi, lalu lelah dan kehilangan arti kehidupan lainnya dalam sistem sosial yang lebih besar. Pada saat buruh harus bertahan hidup yang keras dalam sistem produksi kapitalis, maka dia teralienasi atau terasing. Karena hubungan antara dirinya dengan manusia lainnya, dalam sistem kerja, serta dalam proses produksi, terbatas pada kepentingan non human. Produk hasil kerjanya juga tidak terhubung lagi pada sistem nilai atau rasa yang dia sertakan pada proses produksi. Pada era tertentu, khususnya di eropa, alienasi kaum buruh berhasil dihilangkan atau setidaknya direduksi secara tajam melalui berbagai kebijakan sistem kerja yang manusiawi (decent work, yakni upah yang layak, welfare, dialog antara buruh-majikan, karir, dll) dan bahkan memberikan kekuasaan politik bagi kaum buruh, baik di parlemen maupun pemerintahan. Dalam posisi yang ekstrem, misalnya, di negara Skandinavia, seorang buruh yang melebihi waktu kerja, ditelpon oleh pejabat dinas Tenaga Kerja, diingatkan untuk pulang ke rumah, karena keluarga mereka sudah menunggu. Pemerasan tenaga buruh diganti dengan hubungan industrial yang manusiawi. Omnibus Law Yang Ditolak Jumhur Hidayat telah di penjara rezim Jokowi karena melakukan penghinaan terhadap UU Omnibus Law (OBL) yang mengebiri nasib kaum buruh. Menurutnya, OBL telah menghancurkan hubungan industrial yang sudah mulai membaik di era sebelum Jokowi. Di era berlakunya OBL maka upah buruh, kerja layak, welfare dan juga kepastian kontrak kerja hilang. Begitu juga banyak hak-hak buruh lainnya terabaikan. Oleh karena itu, Jumhur beserta organisasinya melakukan perlawanan menolak berlakunya UU Omnibus law tersebut. Hubungan industrial yang Pancasilais mengharuskan industrialisasi yang tumbuh karena kerjasama yang baik antara buruh dan kaum kapitalis. Keduanya harus berbagi tanggung jawab, sekaligus berbagi kesejahteraan. Menurut Jumhur, pembagian keuntungan kaum buruh dan majikan di Indonesia adalah yang terburuk di Asean, yakni porsi return to capital mencapai 61 persen, sedang return to Labor (buruh) hanya 39%. Belum lagi hak-hak normatif buruh untuk berkembang sebagai sumberdaya manusia Indonesia yang terabaikan. Jika kita membandingkan buruh kita dengan buruh Korea Selatan, Malaysia dan Thailand, maka kita akan melihat berbagai keterbelakangan terjadi saat ini di sini. Itu pula yang menjelaskan jutaan buruh kita merantau mengadu nasib di Malaysia dan berbagai negara, yang seharusnya bisa saja tidak terjadi, asalkan kita membangun hubungan industrial yang Pancasilais. Dalam hal upah, memang menarik saat ini. Atas alasan diskresi, menteri tenaga kerja membuat payung di luar OBL dalam soal upah, yakni Permenaker 18/2022. Upah pada tahun 2022 akhirnya bisa naik di atas inflasi, seperti Ganjar menaikkan upah 8,01%. Namun, jika kita melihat diskresi Menaker tersebut, kita harus berterima kasih pada kaum buruh yang selama setahun lebih berdemonstrasi menentang penggunaan OBL. Meskipun dalam hal upah telah ada diskresi, namun jika OBL tidak dicabut, selamanya, maka tantangan upah tetap besar, karena diskresi upah  oleh Menaker saat ini bisa dilakukan berbeda atau lebih buruk pada masa mendatang, jika ganti menterinya. Oleh karena itu maka gerakan kaum buruh menolak OBL harus terus disalurkan pada pemimpin mendatang, yang mengusung tema perubahan. Sebuah tema yang menolak kepemimpinan status quo, di mana dipastikan akan mempertahankan UU yang diciptakan rezim Jokowi. Anies dan Social Market Economy Jumhur Hidayat telah mengecam OBL dan masuk penjara. Menurutnya OBL adalah untuk \"primitive investors\". Primitive investor bisa disamakan dengan kaum kapitalis yang rakus.  Pada sisi lain, Anies Baswedan menawarkan perubahan sistem perekonomian ke depan, jika dia memimpin Indonesia, dari \" Free Market Economy \" menjadi \"Social Market Economy\". Social Market Economy lebih berkeadilan sosial, karena asumsi market bekerja sempurna direvisi. Dalam konteks perburuhan, konsep ini tidak lagi melihat buruh sebagai objek belaka, khususnya bukan lagi sebagai alat produksi. Melainkan, buruh merupakan manusia. Dalam free market economy, free fight competition, efisiensi maksimal dicapai dengan menyingkirkan buruh-buruh yang tidak beruntung. Sedangkan dalam social market economy, buruh akan dikembangkan menjadi kekuatan produktif dengan bantuan negara. Tema ini sering dikenal sebagai Active Labor Market Policy (ALMP).  Konsekuensi pilihan Anies atas Social Market Economy adalah terjadinya \"common platform\"antara perjuangan Jumhur Hidayat dan kaum buruh progresif dengan Anies Baswedan ke depan. Peluang untuk membuat UU Perburuhan yang lebih Pancasilais akan sangat sangat mungkin terjadi. Penutup Membebaskan kaum buruh dari alienasi dan ketertindasan membutuhkan kerangka berpikir yang revolusioner, bukan reaksioner. Untuk itu kepemimpinan ke depan, yang pro perubahan, harus bertemu dengan cara berpikir buruh yang progresif. Anies Baswedan dan Jumhur Hidayat, ketua kaum buruh, telah bersinergi dalam menolak Omnibus Law diterapkan dalam penetapan upah murah tahun lalu. Anies, tahun lalu, membuat UMP naik 5,1%, Ganjar pada saat yang sama menaikan 0,87%, dengan resiko anti UU OBL. Di pengadilan, Jumhur Hidayat, membela keputusan Anies tersebut. Sekali lagi di sini Anies menunjukkan watak anti oligarki.  Soal upah adalah salah satu soal bagi hak-hak buruh dalam sistem hubungan industrial Pancasila yang sesungguhnya. Bahkan, riset mengatakan hak-hak buruh soal upah tidak bisa di subtitusi dengan hak welfare lainnya (kesejahteraan dari pemerintah). Meskipun, hak-hak lainnya harus diperjuangkan juga, agar menjadikan buruh sederajat dengan majikan sebagai sesama manusia. Perjuangan buruh kedepan, khususnya kaum buruh progresif, harus bersama dengan pemimpin perubahan. Itu adalah kesadaran revolusioner kaum buruh. Pemimpin Kaum Buruh Revolusioner, seperti kelompok Jumhur Hidayat, harus membicarakan sinergitas dengan Anies Baswedan untuk membebaskan buruh dari rantai alienasi dan ketertindasan, yang sudah berlangsung seratus tahun sejak VOC. Hancurkan upah murah.  May Day. Selamat Hari Buruh! (*)

Pejabat Negara sebagai Petugas Partai

Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih  Politicize how to get, maintain, do and the next power (politik bagaimana mendapatkan, mempertahankan, melakukan dan kekuasaan berikutnya). Setelah menikmati kekuasan akan mempertahankan kekuasaannya selamanya dengan cara apapun. Ilusi tentang demokrasi runtuhlah sudah. Partai dalam sistem politik kita dengan demokrasi  ternyata menjadi alat yang sangat represif karena sudah metamorfosis menjadi kepentingan partai  yang dipaksakan kepada rakyat.  Hal inilah menyebabkan potensi kemerdekaan manusia dalam design kebangsaan kita tertutup dibarter dengan  kepentingan Taipan Oligarki. Masyarakat hidup dalam hiruk pikuk panji - panji partai  menjadi masyarakat yang teralienasi karena memalingkan wajah keindonesiaan menjadi wajah kapitalis. Demokrasi sudah berada di jalan)ik buntu. negara dikendalikan dengan konstitusi palsu. Tersisa demokrasi hanya lip servis sebagai mantra mantra  ritual formalitas kenegaraan. Partai politik merampok mengambil alih  seolah olah sebagai suara rakyat, memiliki kuasa recoll bagi wakil rakyat yang ada di parlemen. Semua menjadi petugas partai, aspirasi rakyat syah terbeli dengan money politik sudah putus di bilik suara . Membawa kepiluan berkepanjangan, rakyat praktis menjadi jongos politik. Anggota dewan dan Presiden sebagai petugas partai. Semua bersekutu dalam kolam yang sama dan dalam prilakunya yang sama menjadi tiran dan mengarah ke otoriter. Hampir  semua pejabat negara mulai dari pembantu presiden sampai pejabat terbawah bukan lagi sebagai abdi masyarakat semua berubah dengan seragam baru sebagai petugas partai setelah presiden sebagaimana pejabat tertinggi negara telah menyandang sebagai petugas partai Mereka hanya berebut cuan dari Oligarki, berani melacurkan diri menjadi penghianat bangsa. Paska Ganjar Pranowo ditetapkan atau deklarasikan sebagai cawapres pada Pilpres 2024, dengan menyandang sebagai petugas partai seperti yang disandang oleh Jokowi selama ini, seperti ada komando sebuah rekayasa : Pertama, Jokowi sebagai Presiden, merangkap sebagai jurkam dan satgas petugas partai. Kedua, Puan sebagai Ketua DPR RI menempati posisi sama sebagai jurkam dan tim sukses cawapres Ketiga, diduga kuat berimbas akan menyerat  Pimpinan Lembaga Negara Seperti  TNI, Polri, Kabinet, Kepala Daerah, Gubernur, Bupati, Walikota, Camat, Kepala Desa / Lurah. Komisaris BUMN, Direksi BUMN, KPK, MA, MK, KPU, Bawaslu dll, harus siap sebagai tim pemenangan Ganjar Pranowo semuanya merangkap sebagai petugas partai. Memalukan dan menjijikkan semua berbaris sebagai satgas, relawan berstatus sebagai jongos politik . Khusus TNI - Polri semoga tidak ikut terseret sesuai sumpah dan janjinya sebagai pengaman dan pertahanan negara, bukan sebagai alat kekuasaan, semata. Kemunduran demokrasi di Indonesia karena kuatnya kecendrungan wajah pemerintahan otoriter dan praktik diktator.  Negara makin otoritarian di mana para pemimpin negara tidak ubahnya berperan sebagai bandit yang akan menggunakan segala sumber dayanya untuk mempertahankan kekuasaan.  Mengapa kehidupan kita berbangsa dan bernegara terasa semakin runyam?\" Karena bangsa dan negara ini dirancang, dikelola dan dijalankan orang yang salah ditempat yang salah. Para petinggi negara saat ini merasa lebih pinter dari para Founding Fathers pendiri negara ini. Tidak menyadari sebagai politisi yang berwawasan pendek; dan dioperasikan oleh birokrat yang tidak berwawasan mendalam, rela mengorbankan harga diri , sebagai budak dan boneka para Taipan Oligarki. Mereka bersembunyi atas nama partai bukan atas nama rakyat, dan mereka bekerja bukan menjalankannya tujuan konstitusi sesuai pembukaan UUD 45, tetapi demi penugasan partai. Evil people always support each other, that is their chief strength (Alexander Solzhenitsyn). (Orang jahat selalu saling mendukung, itulah kekuatan utama mereka), merusak, memangsa dan menjual negara. Kekuatan rakyat akan bangkit untuk membersihkan kelakuan jahat para jongos jongos politik yang berperilaku liar, barbar dan ugal ugalan akan menghancurkan negara ****

Mengapa Harus Perubahan?

Oleh: Radhr Tribaskoro - Presidium KAMI  PETA pilpres 2024 sudah semakin mengerucut, alternatif menguncup. Pilpres akan menampilkan 3 capres: Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan. Ketiga capres itu didukung oleh 5 partai, sementara 4 partai tersisa merasa cukup memperebutkan kursi cawapres. Tiga kursi cawapres tampaknya bakal diisi oleh tokoh Nahdlatul Ulama, TNI dan Golkar. Sayangnya, siapa bacawapres itu tidak menjadi topik artikel ini. Artikel ini memusatkan perhatian kepada pertarungan gagasan. Adakah perbedaan signifikan di antara isu-isu politik ekonomi yang ditawarkan oleh masing-masing kandidat? Saya menengarai terdapat perbedaan besar antara kandidat Ganjar dan Anies, sementara Prabowo tampaknya sedang mencari jalan tengah. Artikel ini akan berfokus kepada perbedaan Ganjar vs Anies saja. Perbedaan isu kampanye Ganjar vs Anies sangat penting kita elaborasi karena keduanya dilatar-belakangi tata-nilai dan ideologi yang berbeda, dan dengan sendirinya menawarkan masa depan yang juga sangat berbeda. Perbedaan keduanya, dikatakan oleh Benny K. Harman, sebagai perbedaan di antara kubu Pro-perubahan dengan kubu Pro-status-quo. Seirama dengan itu Jansen Sitindaon, teman separtai Benny, mengungkapkan hadirnya persaingan di antara Blok Perubahan dengan Blok Lanjutkan. Persoalannya apa yang ingin dipertahankan atau dilanjutkan? Apa pula yang perlu diubah?  Objek dari perubahan dan pelanjutan tentulah kebijakan pemerintah rezim Jokowi di segala bidang. Di bawah ini akan diuraikan apa kebijakan dimaksud. Dan kemudian akan dideskripsikan pula apa arti \"pro-status-quo\" dan \"pro-perubahan\". Ekonomi Politik Jokowi Kebijakan yang ditawarkan Jokowi kepada rakyat tidak ada hubungannya dengan janji-janji kampanye. Semua janji-janji itu hanya omong kosong saja, ia sepenuhnya mengerjakan hal yang lain, hal yang ia persiapkan secara diam-diam. Apakah Jokowi telah menipu rakyat? Tampaknya begitu. Janji kampanye bukanlah hal yang mengikat bagi Jokowi. Hal itu terbukti ketika ia berkampanye pada Pilgub DKI 2012. Ia menyalakan antusiasme rakyat yang ingin Indonesia memiliki industri mobilnya sendiri. Tetapi mobil Esemka yang kata Jokowi 100% mobil Indonesia dan telah dipesan 6.000 unit ternyata zonk. Industri mobil Esemka itu tidak pernah ada, hanya komoditas palsu untuk mendapatkan suara rakyat saja.  Demikian pun janji-janjinya pada pilpres. Sejak 2014 sampai dengan sekarang tidak ada revolusi mental atau pembangunan manusia, dua tema pokok yang ditawarkan Jokowi pada Pilpres 2014 dan 2019. Secara diam-diam Jokowi mengerjakan hal yang lain. Apakah itu? Saya tidak bermaksud menunjuk projek IKN atau ibukota negara baru. Walaupun projek itu juga tidak pernah disampaikan dalam kampanye 2019.  Kebijakan ekonomi politik Jokowi, yang ia kerjakan sejak ia berkuasa di 2014, adalah sesungguhnya barang dagangan Jokowi. Kebijakan itu dibuat dengan cara melampaui hukum dan mengabaikan berbagai kepentingan sehingga menimbulkan resiko politik yang tinggi. Namun rejim merasa punya kendali yang kokoh atas kabinet dan DPR sehingga mereka yakin mampu mengatasi resiko itu. Namun mereka pun tahu kekerasan politik tidak bisa dijalankan dalam jangka panjang. Bukan hanya karena akumulasi ketidak-puasan yang semakin sulit terbendung, lebih dari itu adalah ancaman kebangkrutan keuangan negara yang terkuras akibat jor-joran pembangunan infrastruktur Harapan rejim adalah pada suatu ketika, yang tidak terlalu lama, kebijakan ekonomi politik itu akan berbuah manis, yaitu pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Pada saat itulah rezim dapat memanen legitimasi, dalam arti mendapatkan kepercayaan kepada rakyat bahwa negara tidak akan bangkrut. Kapan hal itu tiba? Rezim berharap tidak melebihi masa jabatan Jokowi. Kebijakan ekonomi politik Jokowi disusun, dijalankan tanpa deliberasi oleh publik, setidaknya oleh DPR. Mengapa? Karena di dalamnya terlalu banyak kontradiksi dan kontroversi. Kalau rencana tersebut diungkap secara terbuka ke publik, rezim khawatir tidak akan mampu menahan kritisisme. Rezim pada akhirnya terpaksa menggunakan kekerasan politik juga, namun dengan punggung terbuka dari serangan-serangan publik.  Big Push Jokowi dan Ciri-cirinya Kebijakan ekonomi politik Jokowi disebut Big Push. Secara teoritis kebijakan itu sama sekali tidak baru, dasar teorinya sangat tua, dapat dianggap sebagai perintis teori ekonomi pembangunan. Teori itu dikembangkan pertama kali oleh Paul Rosenstein-Rodan pada tahun 1943. Hampir setengah abad kemudian teori ini dipopulerkan kembali oleh Murphy dkk (1989), Matsuyama (1992), Krugman (1991) dan Romer (1986). Model tersebut merekomendasikan pembangunan infrastruktur (social overhead capital) secara besar-besaran sebagai “syarat minimum yang tidak dapat dipisahkan” untuk tumbuhnya industri-industri yang saling berkaitan dengan harapan akan mendapat percepatan dari efek skala ekonomi dan struktur pasar oligopolistik (Rosenstein‐Rodan 1979). Penerapan model pembangunan Big Push dilandasi oleh keyakinan rezim bahwa Indonesia membutuhkan industrialisasi. Suatu industri berkaitan dengan industri lain dalam pola yang disebut komplementaritas. Alih-alih membangun satu industri yang tidak optimal karena komplemennya tidak hadir, Rosenstein-Rodan menyarankan suatu kompleks industri dimana semua industri komplemen hadir secara simultan. Dengan begitu skala ekonomi bisa dimaksimalkan untuk menghasilkan produk berkualitas dengan harga ekonomis. Menurut skema model pembangunan ini peran negara adalah menyediakan infrastruktur (jalan, tol, jembatan, bandara, pelabuhan, dsb). Sementara swasta menanamkan modal di berbagai sektor industri.  Model pembangunan ini telah banyak dijalankan oleh negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Soeharto dan SBY juga membangun infrastruktur dalam jumlah besar.  Menjelang akhir masa jabatan SBY meluncurkan MP3EI atau Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia, yang pada dasarnya adopsi atas model pembangunan Big Push. Namun terdapat perbedaan yang mendasar antara Big Push di era Jokowi dengan era Soeharto maupun SBY, bahkan dengan Big Push di negara-negara lain. Ciri utama Big Push Jokowi adalah kebijakan ini dijalankan dengan sekaligus menerapkan ideologi neo-liberal. Maksudnya, tidak cukup dengan mengalokasikan ribuan trilyun untuk membangun infrastruktur, Jokowi mengubah kerangka kerja hukum pidana, pertanahan, pertambangan, kehutanan, ketenaga-kerjaan, investasi, lingkungan hidup, sistem pelayanan publik, dlsb, untuk keuntungan investor. Misalnya, apa yang ia lakukan melalui UU Minerba dan UU Cipta Kerja. Dengan kata lain, Jokowi menempatkan investor atau pemilik modal sebagai penentu utama dari kerangka kerja hukum dan adiministrasi publik di Indonesia. Kuatnya peranan pemilik modal dalam setting kenegaraan semakin kokoh setelah Jokowi juga mengerdilkan peranan Komisi Pemberantasan Korupsi. Kaidahnya sederhana, ketika tenaga counter-corruption semakin melemah, kekuatan modal semakin sulit dihalangi dalam mengatur proses pengambilan keputusan di pemerintahan.  Dukungan administrasi dan hukum kepada kebijakan Big Push adalah praktik biasa, yang juga dilakukan di negara-negara lain. Masalahnya, di negara-negara lain dukungan tersebut diberikan sebagai perkecualian, seperti misalnya hak-hak istimewa yang diberikan kepada perusahaan di Kawasan Ekonomi Khusus (Special Economic Zone). Sementara oleh Jokowi, dukungan itu diberikan dengan mengubah seluruh norma standar negara. Seperti tercantum dalam UU Minerba dan UU Cipta Kerja, Jokowi menerapkan norma-norma istimewa yang menguntungkan oligarki di seluruh negeri, di seluruh sektor tanpa kecuali. Artinya, dukungan itu bukan lagi fasilitasi melainkan ideologisasi, dan dalam hal ini adalah ideologisasi neo-liberal. Ciri spesifik kedua dari kebijakan Big Push Jokowi adalah penggunaan utang sebagai sumber pembiayaan pembangunan infrastruktur. Utang pemerintah sejak 2014 telah meningkat dari Rp.2.600 trilyun menjadi Rp. 7.700 trilyun pada akhir desember 2022. Di luar itu Big Push juga dibiayai oleh utang BUMN, pada akhir tahun 2022 utang itu mencapai Rp. 1.640 trilyun. Perhitungan secara kasar, sampai akhir tahun 2022, Jokowi telah menggunakan utang sebesar Rp.6.840 trilyun untuk membiayai projek-projek Big Pushnya. Hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Seperti diketahui, Orde Baru juga membangun infrastruktur secara besar-besaran. Namun, semua itu dilakukan pada saat negara menikmati windfall profit dari kenaikan harga minyak pada awal dekade 1970-an. Demikian juga Presiden SBY, ia menggenjot pembangunan infrastruktur saat negara sedang menikmati booming harga komoditas, yang berakhir pada 2013 silam.  Penggunaan utang sebagai sumber dana pembangunan juga hal yang biasa, semua presiden di Indonesia melakukannya. Masalahnya terletak pada nilainya. Utang yang sangat besar akan meningkatkan tekanan terhadap keuangan negara. Bunga dan cicilan utang itu harus dibayar oleh APBN. Bila kecepatan kenaikan utang tidak diimbangi oleh kenaikan pendapatan (pajak), kapasitas fiskal pemerintah dengan sendirinya akan menyusut. Hal itu akan mempengaruhi kemampuan negara memenuhi aneka kebutuhan rakyat, seperti subsidi, jaminan kesehatan, pendidikan dsb.  Menteri Keuangan Sri Mulyani selalu berdalih bahwa utang telah dikelola dengan hati-hati (prudent) dan tidak membebani keuangan negara. Ia mencontohkan bahwa debt ratio kita masih 41%, masih jauh dari batas yang ditetapkan Undang-Undang Keuangan Negara, yaitu 60%. Sebagai perbandingan ia menunjuk rasio utang terhadap PDB (debt ratio) Jepang (236%), India (90%), dan Amerika Serikat (125%), yang jauh melampaui posisi Indonesia. Perbandingan ini tidak setara (apple to apple) sebab setiap negara adalah khas. Keuangan negara Jepang masih dapat dibilang sehat, dalam arti sangat mampu membayar utangnya, karena Debt Service Rationya pada tahun 2021 hanya 1,06%. Demikian juga India (8%) dan Amerika Serikat (7,7%). Debt service ratio adalah kemampuan keuangan pemerintah untuk membayar utang-utangnya, menurut BPK Debt service ratio Indonesia untuk tahun 2021 adalah 46,77%. Angka ini jauh melampau standar normal IMF yaitu pada kisaran 25-35%. Implikasi Big Push Kedua ciri di atas,  membedakan Big Push Jokowi dari kebijakan Big Push Soeharto, Big Push SBY dan negara lain di dunia.    Kebijakan Big Push Jokowi ini menimbulkan sedikitnya empat implikasi negatif. Pertama,  Big Push Jokowi bukan konsep pembangunan yang demokratis, “semua untuk semua” seperti pernah dikatakan Soekarno. Big Push dirancang untuk menguntungkan pebisnis skala besar, konglomerat atau oligarki. Tidak mengherankan bila mereka pula yang akan menjadi pendukung utama Big Push.  Oleh karena itu, Big Push membawa implikasi negatif kedua bahwa semua kepentingan yang menghalangi dan menghambat kepentingan oligarki harus disingkirkan. Di antara kepentingan-kepentingan yang harus disingkirkan adalah kepentingan buruh (kehilangan pensiun, kesempatan karir, pelatihan, dll), generasi mendatang (penumpukan utang negara, eksploitasi sumberdaya alam tak terpulihkan, kerusakan alam), pemilik tanah (akuisisi tanah oleh negara, penurunan harga tanah, perampasan tanah, dlsb), dan konsumen (harga-harga meningkat). Inilah hakikat dari disahkannya UU Minerba dan UU Cipta Kerja. Kedua undang-undang itu disahkan secara semena-mena, tanpa melibatkan partisipasi masyarakat dan tanpa melalui debat terbuka di Sidang Umum DPR. Akibat dari penyingkiran kepentingan para pihak secara semena-mena, politik bergejolak. Rezim Jokowi mengantisipasi gejolak itu dengan penindasan. Inilah implikasi ketiga yang mendorong mundur nilai-nilai demokrasi.  Jokowi memperalat hukum sebagai alat penindasan. Perangkat hukum yang digunakan adalah UU ITE dan UU KUHP. Dengan undang-undang itu rejim memperluas pengertian pemberitaan sehingga mencakup opini dan percakapan pribadi di media sosial. Syahganda Nainggolan, M. Jumhur Hidayat, Anton Permana, Gus Nur, Bambang Tri, dsb, menghuni penjara karena alasan itu. Ketika opini bisa dipidanakan, bukan karena penodaan agama, pencemaran nama baik, atau penghinaan di muka umum, maka kebebasan berpendapat hanya tinggal nama. Sementara itu UU No.1/2023, yang menggantikan UU KUHP warisan Belanda, menjadi jauh lebih restriktif dalam menghadapi kontrol sosial. UU baru itu mengenakan pasal pemidanaan baru untuk  penghinaan presiden, pasal makar, penghinaan lembaga negara, pemidanaan demo tanpa pemberitahuan, hingga berita bohong. UU KUHP yang baru itu bahkan jauh lebih parah daripada undang-undang kolonial yang digantikannya. Bila sebelumnya semua pasal di atas merupakan delik aduan maka pada undang-undang baru polisi dan jaksa dapat memprosesnya tanpa perlu pengaduan. Dengan kata lain, pasal-pasal itu dapat dipergunakan untuk melakukan pembungkaman politik.  Implikasi keempat muncul dari utang yang jor-joran. Dengan hampir separuh anggaran negara terserap untuk membayar bunga dan cicilan utang maka negara akan semakin sulit memberikan insentif fiskal. Kalau ingin mempertahankan kapasitas fiskalnya, mau tidak mau, negara harus berutang lagi. Kalau sudah seperti ini, negara dikatakan terjerat dalam jebakan utang. Maka tidak ada jalan lain. Projek-projek infrastruktur harus mulai membuahkan hasil dan memberi dampak signifikan kepada pertumbuhan ekonomi. Bila hal itu tidak terjadi, Indonesia akan bangkrut. Hal itu akan menjadi malapetaka bagi rezim Jokowi. Pertaruhan Terakhir Jokowi Jokowi dipastikan akan terpuruk bila pertumbuhan ekonomi tidak mencapai 7%. Sebaliknya, bila pertumbuhan ekonomi cukup tinggi Jokowi akan mengklaim semua kesuksesan. Projek-projek mangkraknya dan penindasan politik yang dilakukannya akan dilupakan. Jokowi akan ditahbiskan menjadi hero.  Apa yang dibutuhkan untuk meraih klaim itu hanya satu: waktu. Waktu itu ia perlukan agar infrastruktur yang dibangunnya mulai menarik kehadiran investor. Sayangnya, harapan akan ada investasi berbondong-bondong tidak terwujud. Investasi sangat seret walau perangkat hukum dan administrasi yang diciptakan Jokowi telah memudahkan hampir segala hal yang menjadi halangan investor, seperti perijinan, pengadaan tanah, perlindungan sengketa buruh dan lingkungan hidup, peraturan perpajakan, dsb.  Sebaliknya, Jokowi saat ini justru menghadapi backwash effect; sejumlah jalan tol, kereta api, bandara dan pelabuhan yang selesai didirikan gagal beroperasi secara optimal sehingga berpotensi merugi. Selain itu, beberapa BUMN mulai merugi dan hal itu memicu mereka untuk menjual infrastruktur yang telah susah payah mereka bangun dengan harga murah. APBN pun terancam, hampir separuh pendapatannya mesti dialokasikan untuk membayar bunga dan cicilan utang. Keadaan ini tentu membuat Jokowi semakin frustasi. “Uang bersih” tidak datang memanfaatkan infrastruktur yang telah ada. “Uang kotor” juga tidak datang untuk memanfaatkan projek pembangunan Ibu Kota Negara (IKN). Dalam kaitan itulah Jokowi menghendaki perpanjangan masa jabatan, baik melalui amandemen konstitusi yang mengijinkan 3 periode jabatan presiden atau penundaan pemilu yang memungkinkan dirinya mengumumkan keadaan darurat dan mendapuk jabatan presiden. Bila kedua solusi itu tidak mungkin diwujudkan, pertaruhan terakhir Jokowi adalah siapa yang unggul dalam Pilpres 2024. Tentu saja ia ingin Ganjar Pranowo, putra mahkotanya, akan unggul. Kepada Ganjar, Jokowi meletakkan pertaruhan terakhir masa depan politiknya. Mengapa Perlu Perubahan Perubahan diperlukan bukan untuk memutus masa depan politik Jokowi. Biar rakyat memutus soal itu. Perubahan diperlukan karena eksperimen Jokowi sangat berbahaya dan membawa negara ke tepi jurang malapetaka. Jebakan utang sudah mengintai dan kalau hal itu terjadi Indonesia akan mengalami setbacks puluhan tahun ke belakang. Perubahan juga perlu dilakukan karena Jokowi telah menanamkan ideologi neo-liberalisme. Ideologi neoliberalisme berbeda dengan liberalisme. Bila liberalisme menjunjung tinggi kebebasan (freedom), bertujuan menciptakan kemerataan (equality) dan mendukung negara kesejahteraan, sementara neoliberalisme menjunjung tinggi pasar bebas, mempertahankan konsentrasi kekayaan, penguasaan sumberdaya, dan menolak negara kesejahteraan. Dalam filsafat neoliberal orang-orang miskin adalah kaum residual, orang-orang yang kalah dalam pertarungan hidup di pasar bebas. Kaum residual hanya punya hak filantropi alias belas kasihan. Untuk itulah ada Bantuan Sosial (bansos), Kartu Pra-Kerja, Keluarga Harapan, Kartu Indonesia Pintar, Kartu Sembako, dsb. Keseluruhan program itu disebut program Jaring Pengaman Sosial, suatu program negara sekadar mencegah orang miskin untuk mati. Mereka tidak boleh mati karena mereka adalah sumber pemasok buruh murah. Kaum neoliberal tidak mempercayai keadilan sosial (social justice), kecuali yang diciptakan oleh pasar bebas dan pertumbuhan ekonomi. Di sini muncul kontradiksi. Bila prinsip pasar bebas juga berlaku dalam politik, maka kelompok dengan ekonomi kuat akan memenangkan pasar politik. Dalam kondisi seperti itu tidak ada alasan bagi penguasa politik untuk tidak menguntungkan pemilik modal, yang adalah diri mereka sendiri. Dengan kata lain pada rejim neo-liberal keadilan sosial sama sekali bukan prioritas, dan akan berlangsung selamanya. Oleh karena itu pentas Pemilu 2024 dapat dilihat sebagai arena pertarungan kelompok Pro-Keadilan Sosial vs kelompok Pro-Pertumbuhan. Karena kelompok Pro-Pertumbuhan biasanya didominasi oleh Oligarki maka kelompok tersebut dapat pula disebut kelompok Pro-Oligarki. Anda berada di kelompok mana? (*)

Airlangga Temui SBY, Rocky Gerung: Saya Yakin Itu Andilnya Jokowi

Jakarta, FNN -- Tadi malam, Sabtu (30/04/2023) peristiwa mengejutkan terjadi di panggung perpolitikan Indonesia. Bagaimana tidak, Partai Golkar melakukan silaturahmi kepada Susilo Bambang Yudoyono di Cikeas. Menurut Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono itu adalah pertemuan yang seru namun tak mungkin untuk disampaikan. \"Airlangga datang ke SBY sebenarnya adalah hal yang tidak mungkin, karena ngak mungkin Jokowi suruh Airlangga pergi ke sana, tetapi dalam keadaan yang tidak normal itu menjadi mungkin. Kalau saya melihat hal ini, tidak mungkin Airlangga seorang mentri di kabinetnya Jokowi pergi tanpa lampu hijau dari Jokowi, saya yakin ini ada andilnya Jokowi,\" kata pengamat politik Rocky Gerung dalam perbincangan dengan wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official, Minggu (30/04/2023). Rocky juga mengatakan bahwa hal itu disinyalir merupakan sinyal dari Jokowi untuk PDPI karena Jokowi tidak suka PDIP mengambil Ganjar Pranowo dengan suka-sukanya, tetapi dengan Airlangga bertemu dengan SBY ini akan membuat partai PAN akan berfikir dua kali. \"Saya yakin dalam waktu dekat ini akan ada counter attack dari PDIP, karena kita tau jika ada sesuatu yang mendekat  tentang SBY itu kuping Mega makin panas. Dengan mendekatnya Golkar kepada Demokrat ini memberikan sinyal bahwa Anies akan diterima sebagai kandidat ketiga,\" katanya. Lebih lanjut Rocky menyebutkan jika dalam dua minggu ini elektabilitasnya tidak naik secara normal bukan akal-akalan, maka habislah harapan Oligarki untuk menanam investasi kepada Ganjar.  \"Sebenarnya yang saya sesalkan sampai hari ini yaitu Ganjar tidak pernah memberikan semacam statement pasca di umumkan sebagai capres. Dan akhirnya Ganjar itu hanya di anggap sebagai petuganya petugas. Minimal semacam pidato untuk mengomentari situasi politik seperti hari ini, tapi Ganjar tidak mempunyai kemampuan itu,\" jelas Rocky. Terakhir, Rocky mengatakan kalau Ganjar punya Integritas yang kuat, dia akan melawan saja ucapan Mega yang mengatakannya sebagai petugas partai yang dinaikkan tugasnya.  \"Seharusnya Ganjar itu mengatakan kalau dia ingin mengucapkan sesuatu sebagai calon presiden, bukan sesuatu yang dari Mega, Ganjar tidak punya mental semacam itu. Sekarang kita mau melihat Ganjar disulap untuk menjadi seoarang tokoh,\" tutupnya. (far/Ida)

Jokowi dan Ganjar, Serupa tapi Tak Sama

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  BANYAK yang menyebut bahwa Ganjar itu sama dengan Jokowi, bahkan menyatakan Ganjar jika menjadi Presiden merupakan kelanjutan dari kepemimpinan Jokowi. Keduanya sama-sama orang Jawa Tengah.  Ganjar Pranowo adalah wajah lain dari Joko Widodo.  Sebenarnya antara keduanya hanya serupa tetapi tidak sama. Keserupaannya adalah : Pertama, berpengalaman sebagai Gubernur. Satu Jawa Tengah, lainnya DKI Jakarta. Kedua, menjadikan modal politik pada pencitraan baik blusukan maupun tampilan media. Ketiga, didukung oleh PDIP untuk maju sebagai Capres. Keempat, sama awalnya Megawati bimbang. Dan kelima, bareng menggunakan pesawat kepresidenan untuk acara swasta. Sama-sama menyimpang.  Adapun tidak sama antara keduanya adalah  : Pertama, Jokowi periode pertama diusung empat partai politik, sedangkan Ganjar kini baru dua dan kemungkinan tetap dua partai politik. Maksimal tiga. Periode kedua Jokowi lebih banyak lagi didukung.  Kedua, dukungan PDIP pada Jokowi solid karena tidak ada calon lain sejak awal, sedangkan Ganjar Pranowo kini menimbulkan kegalauan karena sejak awal PDIP menggadang-gadang Puan Maharani. Puteri Megawati.  Ketiga, Jokowi berangkat dari status Gubernur DKI wilayah yang secara geo-politis sangat strategis sedangkan Ganjar Propinsi Jawa Tengah dengan prestasi memimpin yang tidak  bagus. Kemiskinan jadi perbincangan.  Keempat, dugaan korupsi Ganjar terungkap di persidangan PN Tipikor Jakarta, bau pornografi serta menyinggung keagamaan dengan memperolok-olok azan. Jokowi meski rezim KKN belumlah terungkap. Selain nepotisme anak mantu.  Kelima, Ganjar ikut Mega tolak Israel, Jokowi dukung Israel datang ke Indonesia ikut Piala Dunia U-20. Ganjar diganjar Capres oleh Megawati, Jokowi tersakiti hati. Tidak di posisi inti.  Jadi Jokowi dapat menang dan menjadi Presiden dengan segala cara sedangkan Ganjar dapat kalah dengan satu cara saja. Dukungan yang tidak solid. Jokowi pasca lengser tetap tidak merasa aman dengan kemenangan Ganjar, karena Ganjar Pranowo secara de facto dan de jure berada di bawah kendali PDIP dan Megawati. Bukan Jokowi.  Ganjar Pranowo belum tentu menang melawan Prabowo dan Anies Baswedan.  Jokowi dan Ganjar memang serupa tapi tidak sama.  Bandung 30 April 2023

Etiskah Presiden Mendukung Calon Presiden dan Menteri Meminta Presiden Mengumpulkan Koalisi Pemerintah?

Oleh Jacob Ereste - Kolumnis SEUSAI Presiden Joko Widodo memberi kesan mendukung penuh penetapan Calon Presiden 2024 oleh DPP PDIP, Megawati Soekarnoputri di Istana Cipanas, kini sensasi seksi Zulkifli Hassan, Ketua Umum Partai Amanat Nasional yang direbut dari Amin Rais itu meminta Joko Widodo mengumpulkan koalisi pemerintah untuk membicarakan sesuatu yang maha penting, tentu saja. Karena yang harus melakukan itu adalah seorang Presiden yang tengah memangku jabatan resmi Presiden di Republik ini. Tak jelas, etika seperti apa itu sesungguhnya,  mulai dari seorang Presiden harus menunjukkan sikap dukungannya kepada calon kandidat tertentu, sehingga pertanyaan lair lainnya bisa bermunculan, seperti komentar dari seorang aktivis buruh di Banten. Sulaiman Salam, aktivis buruh yang juga tertarik dengan riak politik di tanah air -- karena sejujurnya dia pun mengaku sebagai pendukung Partai Buruh -- menduga sikap Presiden yang mengekspresikan secara terbuka dan vulgar dukungannya terhadap Ganjar Pranowo yang ingin melaku ke Calon Presiden tahun 2024 itu untuk memastikan kelak bila terpilih dia akan memperoleh jaminan untuk tidak diusik atau bahkan dinistakan setelah turun dari tampuk kekuasaannya. Karena itu, dari sembelit psikologis ini sulit ditelisik etik seperti apa yang telah  digunakan itu, sehingga seorang Presiden tidak mampu menjaga sikap netralitasnya untuk tidak pamer secara telanjang Ikhwal dukungannya  terhadap calon presiden tertentu. Demikian juga tentang  sikap neranyak yang terkesan tidak sopan untuk kurang seorang Zulkifli Hasan yang meminta seorang Presiden untuk mengumpulkan peserta koalisi pemerintah, tanpa perlu bersoal tentang keperluannya untuk mengumpulkan koalisi pemerintah itu. Artinya, dalam suasana politik yang semakin memanas dan panik sekarang ini, tata Krama dan etika tidak lagi penting ketimbang tujuan dari politik itu sendiri untuk mendapat atau bahkan merebut sesuatu agar posisi dan kedudukan secara politik tetap bisa bertengger di atas angin. Secara nalar semua itu tidaklah menjadi soal yang serius. Setidaknya, dengan ekspresi terbuka memberi dukungan kepada seorang calon kandidat Presiden, agaknya justru tidak menguntungkan bagi yang bersangkutan. Tidak kecuali untuk yang memberi dukungan maupun terhadap pihak yang menerima dukungan itu. Sebab dalam telaah psikososial, justru calon Presiden yang didukung oleh Joko Widodo itu akan menerima kekalahan, sebab pihak yang serius ingin mensukseskan Pilpres adalah mereka yang sudah jengah dengan kepemimpinan Joko Widodo. Akibatnya, orang yang tidak mau mendukung Ganjar Pranowo itu sesungguhnya adalah mereka yang tidak menginginkan lagi adanya kebijakan maupun pengaruh Joko Widodo dalam tata pemerintahan di Indonesia berikutnya. Dengan kata lain, model pemerintahan Joko Widodo cukup sudah sampai 2024. Soal permintaan Zulkifli Hasan -- bisa diartikan pula sebagai perintah itu -- sungguh terkesan tidak etis, apalagi hendak disetarakan dengan etik profetik yang lebih bersifat illahiyah. Akibatnya, mungkin model tata Krama seperti itu yang membuat banyak pihak kurang tertarik untuk berkecupak di habitat politik. Banyak hal jadi terkesan bisa dihalalkan. Tak cuma tata Krama, tapi juga moral dan akhlak bisa mungkin diabaikan. Padahal, kehormatan dan kemuliaan itu hanya mungkin tersemai baik di taman peradaban yang ugahari. Tentu saja pertanyaan jelata serupa ini hanya layak dan patut dijawab oleh Joko Widodo dan Zulkifli Hasan sendiri. (*)

Jika Ganjar-Erick Capres - Cawapres. Bocoran Hasnaeni Benar

Oleh Muslim Arbi - Direktur Gerakan Perubahan JIKA akhirnya: PDIP - PPP - PAN deklarasikan Ganjar Pranowo - Erick Thohir sebagai Capres - Cawapres 2024, maka bocoran Hasnaeni si Wanita Emas itu hampir mendekat kebenaran.  Beberapa waktu lalu: publik dihebokan oleh pengakuan Hasnaeni soal perbincangannya dengan Ketua KPU Hasyim Asyari bahwa Ganjar - Erick adalah pasangan yang disetting oligarki. Ini dibocorkan oleh Hasnaeni yang kelak akan menjadi keputusan KPU. Kalau mencermati strategi PDIP dengan mengumumkan Ganjar Pranowo sebagai Capresnya lalu alotnya  perebutan posisi Cawapres antara Sandiaga Uno atau Erick Thohir, maka skenarionya pas. Apalagi peta dukungan Erick Thohir oleh Dekan Fisip Universitas Hasanuddin (Unhas) punya kans besar sebagai Cawapres Ganjar.  Melihat getolnya Jokowi sebagai Ketua Timses Ganjar dan menjadikan Istana Negara sebagai Posko Pemenangan Ganjar, tampaknya tidak sulit pasangan Ganjar - Erick ditetapkan sebagai Capres - Cawapres pilihan oligarki. Jika Jokowi sebagai presiden turun langsung mengepalai Timses Ganjar dan Megawati sebagai Ketua Umum PDIP telah merestui Ganjar, maka kemenangan Ganjar tinggal menunggu Pilpres digelar.  Apalagi Pilpres 2024 adalah pertarungan terakhir bagi Jokowi untuk menentukan apakah ending-nya khusnul khotimah atau suul khotimah.  Demikian juga Megawati akan lengser sebagai Ketua Umum PDIP dengan tenang dan aman atau mantan presiden itu gelisah karena PDIP juga ikut jadi taruhan nasibnya di pileg dan pilpres 2024 nanti.  Bertemunya dua kepentingan: antara  Megawati sebagai Ketum PDIP dan Jokowi sebagai Petugas Partai, Ketua Timses Ganjar, Presiden sebagai kepala negara pasti akan all out.  Apalagi sudah ada bocoran Hasnaeni soal Ganjar - Erick. Dapatkah KPU bekerja sesuai amanat konsitusi dan amanat rakyat?  Sulit dibantah KPU dan Bawaslu dapat bekerja secara profesional jika Jokowi dan Megawati kompak memenangkan Ganjar.  Lalu, pasangan Capres - Cawapres selain Ganjar-Erick apakah bisa diperlakukan secara adil sesuai ketentuan Pemilu?  Saat ini Megawati adalah manusia terkuat: Presiden adalah Petugas Partai, Ketua DPR, Puan Maharani, puterinya. Ini satu kekuatan yang dikatakan powerfull.  Semua terpulang ke rakyat Indonesia, diam ditindas atau melawan. Meski demikian sejarah terkadang berbicara dengan alurnya sendiri.  Sebagaimana Pak Harto, di saat kuat-kuatnya sebagai manusia terkuat di Asia menurut media, toh akhirnya tidak dapat menahan kekuatan rakyat.  Jakarta: 29 April 2023.