ALL CATEGORY
Gus Imin Mengukuhkan Pengurus Garda Sehat Bangsa
Jakarta, FNN - Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Muhaimin Iskandar mengukuhkan pengurus Garda Sehat Bangsa (GSB) di bawah kepemimpinan dr. Makki Zamzami, yang merupakan kekuatan relawan.\"Kebahagiaan saya hari ini kita bersama-sama mengukuhkan Garda Sehat Bangsa. Para pengurus Garda Sehat Bangsa yang hadir di tempat ini maupun yang hadir melalui zoom adalah orang-orang yang memiliki keberanian, kemauan, niat tulus serta pengabdian yang tinggi kepada bangsa dan negara,\" kata Gus Imin, sapaan akrab Muhaimin, dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin.Acara pengukuhan tersebut digelar Minggu (28/5) di STIKES An-Nasher Cirebon, Jawa Barat, dan dihadiri ratusan kader GSB secara \"offline maupun zoom.Menurut Gus Imin, GSB adalah wadah orang-orang yang punya keberanian dan kemauan tinggi dalam membantu masyarakat di bidang kesehatan.Wakil Ketua DPR RI Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Korkesra) itu menambahkan ketangguhan dan ketulusan kader GSB dalam melayani masyarakat selama ini sudah teruji.\"Garda Sehat Bangsa adalah kekuatan relawan yang tangguh, termasuk kader-kader kesehatan yang ada di seluruh Tanah Air. Mereka setiap saat siap dan sungguh-sungguh melayani masyarakat yang membutuhkan pertolongan kesehatan,\" tutur Gus Imin.Di sisi yang lain, Gus Imin berharap GSB tampil menjadi kekuatan yang mampu mengisi berbagai ruang pengabdian yang sangat terbuka luas.Ia mendorong seluruh kader dan pengurus GSB mencontoh kerja keras dan pengabdian tanpa pamrih yang dilakukan oleh dokter Makki.\"Saya sering guyon lihat dokter Makki kerja keras itu luar biasa, tanpa pamrih, sungguh-sungguh. Dan waktu pandemi dokter Makki itu mengalami suasana yang tidak pernah berhenti, mengabdi, dan memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat NU karena dokter Makki adalah salah satu pentolan utama Lembaga Kesehatan PBNU,\" ujar Gus Imin.(ida/ANTARA)
Penerimaan Uang Elektronik Harus Masuk Rekening Dana Kampanye
Semarang, FNN - Pengajar Hukum Pemilu pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini mengatakan penerimaan sumbangan dalam bentuk uang elektronik tetap harus masuk rekening khusus dana kampanye dan tercatat dalam pembukuan.\"Penerimaan uang elektronik, yang sebenarnya sama saja dengan metode transfer, memang lebih memudahkan. Bahkan, akuntabilitasnya lebih bisa ditelusuri,\" kata Titi menjawab pertanyaan ANTARA di Semarang, Jawa Tengah, Senin.Dia mengemukakan hal itu ketika merespons pernyataan Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan KPU RI Idham Holik yang menyatakan bahwa sumbangan uang elektronik merupakan salah satu hal strategis dalam penyusunan Rancangan Peraturan KPU (PKPU) tentang Dana Kampanye Pemilu.Titi, yang pernah menjabat sebagai Direktur Eksekutif Perludem, berharap publik lebih banyak berpartisipasi dalam pendanaan kampanye, sehingga kampanye betul-betul menjadi agenda gotong royong masyarakat dan bukan hanya dari sponsor pemilik modal besar.Kesadaran publik untuk mau membiayai kampanye politik, lanjut Titi, perlu terus didorong oleh semua pihak guna mencegah praktik transaksional dan membangun rasa kepemilikan publik yang kuat dalam proses politik.Kendati demikian, katanya, hal itu tetap harus sejalan dengan prosedur dan mekanisme dalam tata kelola dana kampanye yang menghendaki keterbukaan, transparansi, dan akuntabilitas.Titi lantas menyebutkan aturan main dalam Pasal 329 ayat (4) Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Pada prinsipnya, dana kampanye pemilu berupa uang ditempatkan pada rekening khusus dana kampanye partai politik peserta pemilu pada bank.Dalam ayat (5) Pasal 329 UU Pemilu disebutkan bahwa dana kampanye pemilu dicatat dalam pembukuan penerimaan dan pengeluaran khusus dana kampanye pemilu yang terpisah dari pembukuan keuangan partai politik.Norma lain yang termaktub dalam UU Pemilu adalah pemberi sumbangan dana kampanye harus memiliki identitas yang jelas (vide Pasal 331 ayat 3). Demikian pula, transaksi dengan uang elektronik untuk sumbangan dana kampanye, lanjut dia, juga harus disertai dengan identitas yang jelas.\"Prinsip-prinsip itu yang sejatinya tetap harus ditaati peserta dan juga para pemangku kepentingan terkait,\" ujar anggota Dewan Pembina Perludem tersebut.(ida/ANTARA)
Menkopolhukam Menekankan Sinergitas-netralitas TNI-Polri Menyongsong Pemilu
Jakarta, FNN - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menekankan sinergitas dan netralitas sebagai dua aspek penting yang harus diusung oleh TNI dan Polri dalam menjalankan peran mereka menyongsong Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.\"Terutama diperlukan sinergitas, kebersatuan, bukan terpisah-pisah. Sinergi itu kan artinya saling melengkapi bukan sendiri-sendiri,\" kata Mahfud saat menyampaikan arahan dalam rapat koordinasi nasional terkait Pemilu 2024 bersama Panglima TNI Laksamana TNI Yudo Margono dan Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo di Jakarta, Senin.Mahfud mengingatkan apabila TNI dan Polri sama-sama bekerja keras tapi mengabaikan sinergitas, boleh jadi kerja mereka dalam pengamanan Pemilu 2024 bisa berakhir menjadi tidak efektif.Lebih lanjut, menurut Mahfud, aspek sinergitas itu bisa jadi tidak hanya berhenti di antara TNI-Polri semata tetapi juga dengan lembaga-lembaga pemerintah lain yang berkepentingan untuk menjaga jalannya Pemilu 2024 secara demokratis.\"Tentu bahkan nanti bersinergi juga dengan KPU, dengan pemerintah juga,\" ujarnya.Mahfud menjelaskan aspek kedua yang harus diusung TNI-Polri menyongsong Pemilu 2024 adalah netralitas.\"Netralitas ini nantinya akan menentukan kualitas demokrasi kita,\" katanya.Kualitas demokrasi tersebut, lanjut Mahfud, tercermin melalui antara lain rakyat menggunakan hak pilihnya dengan bebas serta prosedur pemungutan maupun penghitungan suaranya dilakukan secara benar dan bisa dipertanggungjawabkan.Dalam arahannya, Mahfud juga sempat menyinggung kembali potensi kecurangan yang disebutnya pasti akan terjadi dalam Pemilu 2024.Kendati demikian, Mahfud menekankan lagi bahwa kecurangan pemilu yang terjadi saat ini berbeda dengan semasa Orde Baru berkuasa.\"Di jaman Orde Baru itu kecurangan bersifat vertikal, yang melakukan pemerintah,\" katanya.Selepas reformasi, dibentuklah Komisi Pemilihan Umum yang bersifat independen di luar pemerintah, diawasi Badan Pengawas Pemilu yang juga independen, serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu juga independen sebagai pengawas kedua lembaga sebelumnya.Kendati demikian, keadaan itu tidak serta merta menghapuskan tindak kecurangan dalam pemilu. Mahfud bahkan menyinggung pengalamannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi 2008-2013 yang banyak menangani perkara perselisihan hasil pemilu dan menemukan berbagai modus kecurangan.\"Sekarang kecurangan bersifat horizontal, partai ini mencurangi partai ini, yang digugat KPU. Partai ini membeli suaranya partai ini, orang merasa dirugikan, gugat KPU. Banyak,\" ujar Mahfud.Oleh karena itu, Mahfud mengingatkan bahwa selain peranan TNI-Polri yang mengusung netralitas dalam mengawal pelaksanaan Pemilu 2024, MK juga harus menjadi garda yang berwibawa untuk memastikan jalannya Pemilu 2024 yang demokratis.(ida/ANTARA)
Terkait PKPU Pencalegan Eks Koruptor, Koalisi Sipil Audiensi Dengan MK
Jakarta, FNN - Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih melakukan audiensi dengan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat pencalonan anggota legislatif (caleg) mantan terpidana korupsi dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).Program Manager Perludem, sekaligus anggota koalisi tersebut, Fadli Ramadhanil mengatakan pihaknya menyoroti pasal dalam PKPU yang menghilangkan syarat masa jeda lima tahun terhadap mantan terpidana korupsi yang memperoleh kekuatan hukum tetap untuk pidana tambahan pencabutan hak politik.“Apa yang dilakukan oleh KPU adalah bentuk perlawanan atau pembangkangan terhadap putusan MK karena apa yang diatur dalam PKPU itu sama sekali tidak ada dalam putusan MK, yaitu memberikan kehilangan syarat masa jeda hanya karena mantan terpidana itu mendapatkan sanksi tambahan berupa pencabutan hak politik,” ujar Fadli.Adapun PKPU yang dimaksud adalah Pasal 11 Ayat (6) PKPU No. 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, serta Pasal 18 Ayat (2) PKPU No. 11 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua atas PKPU No. 10 Tahun 2022 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilu Anggota DPD.Menurut Fadli, PKPU tersebut tidak sesuai dengan amanat Putusan MK Nomor 87/PUU-XX/2022 dan Nomor 12/PUU-XXI/2023.“Itu sama sekali tidak ada dalam Putusan MK dan karena ada Peraturan KPU itu, untuk beberapa orang yang berstatus mantan terpidana, belum selesai masa jedanya lima tahun, sekarang sudah bisa mencalonkan diri sebagai caleg,” terang Fadli.Dia mengatakan Putusan MK yang mengatur masa jeda lima tahun terhadap mantan koruptor untuk menjadi caleg telah dirasa cukup, sebab dapat memberi efek jera kepada koruptor dan politisi yang lain.“Dalam Putusan MK dikatakan jeda lima tahun ini untuk memberikan waktu kepada mantan terpidana agar bisa diterima kembali oleh masyarakat, dia bisa beradaptasi lagi atas kesalahan yang telah dilakukan, sehingga bisa ikut lagi dalam kontestasi pemilu,” ujarnya.Namun, Ia menilai hal tersebut dihilangkan dalam PKPU yang baru. Atas dasar itu, pihaknya meminta MK untuk memberi peringatan kepada KPU.“Kami meminta ke MK untuk memberikan peringatan kepada KPU karena tindakan melawan putusan MK adalah pelanggaran serius secara konstitusional dan akibatnya akan luar biasa besar, hasil pemilunya akan bermasalah,” kata dia.Selain itu, Fadli juga menyebut Koalisi Kawal Pemilu Bersih mendesak KPU untuk melakukan revisi terhadap PKPU yang dimaksud.“Kita tentu harus mendesak KPU untuk merevisi peraturan ini,” ujarnya.(ida/ANTARA)
Bahaya Kalau Presiden Suka Lari Lari
Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan PRESIDEN itu pemimpin rakyat, bangsa dan negara. Ia harus tampil serius memikirkan dan bekerja untuk rakyat, bangsa dan negara yang dipimpinnya itu. Performance dirinya adalah gantungan kepercayaan rakyat. Presiden penyedih membuat rakyat sedih. Presiden lucu menyebabkan rakyat geleng-geleng kepala. Presiden yang ini apa pelawak atau pemain sandiwara? Presiden Jokowi adalah Presiden lari-lari. Lari dari satu investasi kepada investasi lain yang tidak jadi-jadi. Lari dari satu hutang ke hutang luar negeri lain yang menjadi beban estafeta generasi. Lari dari menteri yang korupsi ke menteri lain yang dipilih berdasarkan kemauan hati atau sidik jari. Lari pula dari satu capres ke capres lain dengan cawe-cawe yang melabrak ideologi dan konstitusi. Rindu didemonstrasi tetapi saat pengunjuk rasa aksi ia malah pergi. Presiden Jokowi memang pengacak-acak demokrasi. Ia sukses mengubah kedaulatan rakyat menjadi kekuasaan kaum perampok harta ibu pertiwi. Pencipta dari sistem tirani, oligarki dan mobokrasi. Tiga model kekuasan khas pemimpin otoriter atau boneka dari penjajah dalam suatu negeri. Menjelang usia tua kekuasaan bukan membuat teladan dengan memberi kesempatan pada rakyat untuk memilih pempimpin terbaiknya sendiri tapi justru sibuk berlari-lari mengatur ini dan itu menyiapkan, mengkonsolisasikan, menekan, mengancam dan menghukum penghambat kehendaknya. Jokowi bukan king maker tetapi king trouble. Sejak keluar dari gorong-gorong Jokowi terus berlari mengejar mimpi dan mencoba untuk menjadi matahari. Akan tetapi alih-alih membuat prestasi justru yang terjadi adalah problema ekonomi, korupsi, gagal investasi, pelanggaran hak asasi, banyak basa-basi serta memperkaya kroni. Anak istri pun turut menikmati. Kini kekuasaan yang ia miliki hampir mati.Tentu Jokowi ingin punya pengganti yang mampu memproteksi. Melanjutkan dan mahir membawa lari dosa-dosa, membuang atau menutupi. Lucunya kini ada capres yang ternyata hobi berlari-lari. Awalnya pilihan Jokowi tetapi saat ini sedang ditimbang lagi. Karena pilihannya itu sudah lepas dari kendali. Direbut Megawati. Lari dari kewajiban yang masih melekat sebagai Gubernur. Keliling sana-sini meninggalkan rakyat di Propinsinya. Modal utama untuk citra diri adalah lari pagi. Dibarengi dengan selfi dan sambutan rakyat yang penuh manipulasi. Di Jakarta lagi. Mencoba menjadikan pencitraan sebagai kekuatan. Untungnya rakyat kini sudah tahu bahwa pencitraan adalah kata lain dari tipu-tipu. Pemimpin yang siap menipu dan konsisten selama perjalanan untuk selalu menipu. Tentu bukan karena ijazahnya palsu tetapi memang dalam memimpin ia tidak mampu. Calon Presiden yang berangkat dari pencitraan tidak layak dipilih. Kegemaran melakukan lari-lari adalah pertanda ia tidak mampu berkampanye cerdas dengan bersandar pada, visi, gagasan dan kenegarawanan. Menari dan berlari itu bagus, tetapi jika hal itu merupakan manuver politik maka tentu menjengkelkan, menipu dan membodohi rakyat. Bangsa Indonesia tidak ingin punya pemimpin ke depan yang banyak akting dengan berlari-lari. Rugi dan menyesal nanti. Presiden lalu sudah gemar berlari dari tanggungjawab, akankah bangsa ini akan punya Presiden lagi yang gemar berlari-lari demi kekuasaan? Bukti awal ia sudah lari dari tanggungjawab dalam memimpin Propinsinya sendiri. Lari kesana kesini ke berbagai pelosok negeri. Untuk kepentingan kampanye diri sendiri. Padahal ia masih menjabat sebagai Gubernur. Inilah tontonan penghianatan yang memuakkan. Oleh sebab itu adalah sangat wajar, waspada dan cerdas apabila rakyat keras meneriakkan : Tolak Ganjar Pranowo! Bandung, 29 Mei 2023
Haji Ramah Lansia atau Haji Resah Lansia?
Pelaksanaan ibadah haji tahun 2023 penuh dengan terobosan baru, salah satunya program Haji Ramah Lansia. Namun sayang, program ini justru menghapus kuota pendamping bagi para lansia. Padahal pasca penutupan terakhir pelunasan biaya haji, masih tersisa 24.000 kuota. Jangan sampai berubah menjadi Haji Resah Lansia. DUA orang nenek renta tersesat di trotoar kompleks pemerintahan Kabupaten Bogor, Cibinong Ahad, 21 Mei 2023 lalu. Mereka duduk jejer berdua di bawah pohon yang rindang namun tidak bertegur sapa. Tampaknya mereka kepanasan mengikuti ritual simulasi haji sejak dari Arofah, Musdalifah, Mina, thowaf mengelilingi Kabah hingga Sai dari Sofa ke Marwa di Mekah Al mukaromah. Dua nenek itu bernama Paniyem (94 tahun) dari Pabuaran, Bojonggede, Bogor dan Sutini (87 tahun) dari Pondok Rajeg, Depok, Jawa Barat. Paniyem menggunakan fasilitas haji mandiri sedangkan Sutini tergabung dalam fasilitas KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji). Dengan bergabung ke KBIH biasanya calon haji akan difasilitasi lebih baik ketimbang haji mandiri. Namun nyatanya pada peristiwa Ahad siang itu Sutini terpisah dengan anggota KBIH lainnya yang tengah mengikuti manasik di kompleks Pemda Bogor tersebut. Di samping suara sound system yang sangat kecil, Sutini mengaku tidak ada pihak KBIH yang peduli, sehingga ia tidak bisa mengikuti manasik dengan baik. “Kagak tahu, di mana yang lain, nenek di sini saja, capek,” kata Sutini kepada FNN. Sutini tergabung ke dalam salah satu KBIH dengan membayar uang tambahan Rp 5 juta, di luar biaya haji yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 50 jutaan. Sementara Paniyem ikut haji mandiri yang tidak perlu ada uang tambahan. Keduanya mengalami hal yang sama di tengah taman Pemda yang rapi, namun saat itu – untuk sementara - porak poranda oleh ribuan kaki calon jamaah haji Bogor. Tercatat ada 4000 jamaah haji asal Kabupaten Bogor. Apa yang terjadi di kompleks Pemda Bogor sejalan dengan sebuah podcast di platform YouTube Bang Edy Channel berjudul “Haji Lansia 94 Tahun Perlu Pendamping Kenapa Dilarang? Masih Punya Nuranikah?”. Tayangan ini menghentak banyak orang. Isinya soal keresahan seorang anak yang merasa khawatir terhadap keselamatan ibunya yang tahun ini mendapat kesempatan untuk menunaikan kewajiban kelima umat Islam, yakni ibadah haji ke tanah suci Makkah, Saudi Arabia. Ia khawatir lantaran ibunya yang berusia 94 tahun tak diizinkan ada pendamping dari keluarganya. Sementara tahun-tahun sebelumnya ada pendamping lansia. Sang anak di dalam podcast tersebut, menyebut, haji tak sekadar ritual, simbolik, adminstratif, akan tetapi ada sisi kemanusiaan yang harus dijunjung tinggi. Jangan atas nama regulasi tetapi justru mengabaikan keselamatan jamaah. Persoalan haji lansia ini sesungguhnya sudah menjadi perhatian serius oleh pemerintah pusat. Bahkan pada setiap tahapan manasik selama 2 minggu, mereka selalu menyinggung program ini agar masyaraat memaklumi kebijakan pemeritah. Bahkan pada saat manasik hari terakhir di Masjid Baitul Faizin, Sekretaris Dirjen Penyelenggara Haji dan Umroh, menyatakan bahwa Manteri Agama Yaqut Qoumas berani mengambil kebijakan yang tidak populis. Diketahui umat Islam Indonesia tahun ini mendapatkan kuota haji sebanyak 221.000 orang, terdiri atas 203.320 kuota haji reguler dan 17.680 kuota haji khusus. Tak hanya itu, Pemerintah Arab Saudi masih memberi bonus tambahan kuota sebanyak 8.000 jamaah. Artinya tahun 2023 ini Indonesia mendapat jatah kuota sebanyak 231.000 calon jamaah haji. Ada program baru dari Kementerian Agama atas pelaksanaan ibadah haji tahun ini, yakni program Haji Ramah Lansia. Di tahun ini, terdapat lebih dari 67.000 jamaah haji yang berusia 65 tahun ke atas. Adapun rincian lansia berusia 65-74 tahun mencapai 45.796 jamaah atau 68,4 persen; yang berusia 75-84 tahun sebanyak 12.912 jamaah atau 19,3 persen; berusia 85-94 tahun sebanyak 7.680 jamaah atau 11,5 persen; dan yang berusia 95 tahun ke atas ada 555 jamaah atau 0,8 persen. Program Haji Ramah Lansia ini sebagai pelaksanaan UU No 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh yang harus memprioritaskan kuota kepada jamaah haji lanjut usia yang berusia paling rendah 65 tahun. Di samping itu juga karena grafik lansia dari tahun ke tahun terus mengalami kenaikan, apalagi masa tunggu haji paling rendah 15 tahun, bahkan ada yang masa tunggunya mencapai 46 tahun. Hal itu dikarenakan masyarakat Indonesia biasanya mulai mendaftar haji atau melakukan setoran setelah kondisi ekonominya mapan. Atas Program Jamaah Haji Ramah Lansia tersebut pemerintah menyiapkan 13 skema, lima skema di antaranya (dalam negeri) yakni petugas, pembentukan kloter, manasik haji, kegiatan di kabupaten/kota, dan kegiatan di asrama haji. Skema yang disiapkan mulai dari menambah standar operasional prosedur (SOP) pembentukan kloter jamaah haji lansia, memasukkan materi manasik haji ramah lansia, hingga membuat edaran pelepasan jamaah haji lansia secara singkat dan menyempurnakan SOP pelayanan one stop service dengan memprioritaskan jamaah haji lansia. Hal yang sungguh disayangkan adalah adanya kebijakan tidak ada pendamping untuk jamaah haji lansia tahun ini. Tujuannya, memangkas daftar tunggu yang panjang dan kini telah mencapai 30 tahun. Lebih dari itu, adanya pendamping untuk jamaah haji lansia adalah mengambil hak jamaah haji yang belakangan. Peniadaan pendamping lansia jelas akan menimbulkan masalah kemanusiaan yang sangat serius. Apalagi rasio petugas haji Indonesia tidak sebanding dengan jumlah jamaah haji lansia. Padahal, petugas haji juga berkewajiban melayani jamaah secara umum, baik lansia maupun bukan lansia. Jika tidak dilakukan langkah antisipatif solutif, bukan tidak mungkin Kemenag menghadapi kesulitan. Kemenag berdalih bahwa pihaknya telah menyiapkan pendamping dari para jamaah KBIHU. Pendamping ini sangat penting untuk memastikan, meski tidak ada pendamping dari keluarga, haji jamaah lansia tetap berjalan lancar dengan pendamping sama-sama dari jamaah KBIHU. Kemenag juga menambah pasukan khusus yang dapat membantu petugas haji melaksanakan tupoksinya dengan baik. Pasukan khusus ini dibekali pengetahuan pelayanan untuk lansia dan khusus melayani jamaah haji lansia. Tak hanya itu, Kemenag juga mengefektifkan petugas haji daerah (PHD) untuk membantu penanganan haji lansia maupun nonlansia. Selama ini, PHD belum dioptimalkan untuk membantu pelaksanaan haji di Tanah Suci. Kemenag mendorong petugas haji memaksimalkan pelayanan digital dalam pelaksanaan ibadah haji. Untuk memangkas jalur laporan dan koordinasi konvensional, selayaknya pelayanan digital digunakan sehingga koordinasi lebih efektif dan efisien. Kemenag selalu memantau dan mengawasi tim petugas haji agar solid dan bersinergi satu dengan lainnya dalam menyukseskan ibadah haji tahun ini. Strategi yang dilakukan Kemenag nyatanya tak menyentuh kebutuhan utama jamaah lansia. Fakta menunjukkan selama proses pelaksanaan manasik haji, ternyata tak ada bedanya dengan pelaksanaan manasik pada tahun-tahun sebelumnya. Seluruh jamaah melakukan aktivitas sendiri. Jika ada bantuan dari jamaah lainnya, itu hanya sekadarnya saja karena mereka juga sama-sama lansia. Jangan sampai Haji Ramah Lansia hanya sebatas slogan. Bahkan dalam prakteknya bisa menjadi bencana karena lansia pada hakikatnya ibarat bayi yang perlu pendamping dan bimbingan. Entah apa yang menyebabkan pemerintah tidak memandang serius persoalan pendamping lansia ini. Padahal beberapa kasus bisa menjadi mawas diri untuk segera merevisi kebijakan yang meresahkan ini. Kasus-kasus itu antara lain: pertama, saat penutupan pembayaran haji pada 5 Mei 2023 yang melunasi hanya 70 persen. Kedua, pada saat penutupan diperpanjang hingga 12 Mei 2023, kuota masih belum terpenuhi. Ketiga sistem di Bank Syariah Indonesia error sehingga penutupan pelunasan diperpanjang hingga 19 Mei 2023. Keempat, masih ada sisa 8000 kuta pemberian Kerajaan Arab, toh belum jelas apakah buat pendamping lansia atau bukan. Kelima, meskipun sudah diperpanjang berkali-kali, ternyata kuota masih tersisa 24 ribu kursi. Namun belum ada juga kabar baik, kuota itu diberikan kepada pendamping lansia. Ada apa? Tawaran Solusi Tidak bijak kalau pemerintah membuat kategori semua jamaah yang berusia di atas 65 tahun adalah lansia yang tidak perlu pendamping. Semestinya pemerintah memilah kembali dari jumlah lansia itu ada berapa yang janda dan duda. Janda dan duda inilah yang wajib ada pendamping dari keluarganya. Atau pemerintah bisa juga membuat batasan pendamping hanya bagi jamaah yang berusia di atas 80 tahun. Data Kemenang menyebut calon haji lansia yang berusia 85-94 tahun sebanyak 7.680 jamaah atau 11,5 persen; dan yang berusia 95 tahun ke atas ada 555 jamaah atau 0,8 persen. Dari jumlah ini seharusnya pemerintah bisa menyeleksi kembali berapa yang janda dan duda, serta berapa yang butuh pendampingan dari pihak keluarga. Para kakek dan nenek renta ini jelas memerlukan bantuan bahkan hanya untuk sekadar memakai pakaian. Bisa dibayangkan bagaimana mereka di bandara, di pesawat, dan di hotel. Belum lagi saat ibadah seperti tawaf, sai, lempar jumroh, wukuf dan ritual lainnya. Mampukah petugas haji atau petugas KBIH membantu mereka? Pemerintah harus memastikan bahwa keluarganya betul-betul ihklas melepas orang tua mereka pergi ke tanah suci tanpa pendamping dengan kesadaran bukan dengan paksaan atas nama regulasi. Ada banyak calon jamaah haji lansia yang tiba-tiba frustasi lantaran tak ada pendamping. Mereka kemudian mengajukan penarikan kembali dana yang sudah disetorkan puluhan tahun yang lalu. Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana pertanggungjawaban pemerintah atas dana jamaah yang gagal berangkat yang disebabkan oleh regulasi? Nilai manfaat seperti apa yang bisa dinikmati oleh jamaah tersebut? Agar pemerintah tidak menanggung dosa calon-calon jamaah yang gagal berangkat alasan tak ada pendamping, bisa juga menerbitkan sertifikat khsusus untuk mereka sebagai solusi pamungkas atas persoalan haji kita. Bisa jadi dengan sertifikat ini mereka merasa lega, puas, dan ikhas. Memang tak mudah menghadapi dan menangani calon-calon haji berusia lanjut. Apalagi membawa slogan Haji Ramah Lansia. Slogan ini akan menjadi beban jika para lansia tak mendapatkan keramahan. Apalagi jika ada kejadian yang tidak diinginkan, maka Haji Ramah Lansis bisa berubah menjadi Haji Resah Lansia, Kejam Lansia atau bahkan Jahat Lansia. Semoga Allah Subhanahu Wataala memberikan pertolongan buat kita semua. (Sri Widodo Soetardjowijono).
Sudirman Said: Mencurigai Bangkitnya Kelas Menengah Sama Saja Menghujat Buah Kemerdekaan
Jakarta, FNN - Buntut pernyataan naïf dari pendiri Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jusuf Wanandi soal Capres yang hanya akan ada dua nama minus Anies Baswedan terus bergulir. Salah satu Tim Pemenangan Anies Baswedan, Sudirman Said menyampaikan rasa prihatin yang mendalam, ada seorang intelektual dari lembaga yang kredibel megeluarkan pandangan yang sempit. “Saya prihatin sekali, itu keluar dari seorang intelektual yang lembaganya adalah lembaga pemikir yang berbasis pengetahuan, etika, dan moral,” kata Sudirman dalam wawancara dengan wartawan senior FNN, Hersubeno Arief, Senin (29/05/2023) dalam kanal YouTube Hersubeno Point. Mantan Menteri ESDM era pertana Jokowi itu menegaskan bahwa CSIS adalah masuk dalam kelompok paling atas yang menikmati previled terlebih dulu. Mereka punya peran besar dalam menyiapkan Orde Baru. “Seharusnya beliau tidak berpikir pendek. Seharusnya Jusuf Wanandi belajar dari naik turunnya kekuasaan karena apa, dia sudah paham. Declining power itu terjadi ketika merka mengabaikan etika, moral, dan hanya mengurus keluarga dan kelompok saja,” paparnya. Sudirman heran, mengapa sosok seperti Jokowi yang melakukan segala cara membabi buta untuk melanggengkan kekuasaan, malah didukung, sementara SBY dan JK yang dengan sadar mengingatkan pentingnya demokrsi, malah dimusuhi. “Menurut saya ini masalah serius yang harus dibicarakan lebih luas kepada masyarakat,” paparnya. Sudirman berkisah tentang pertemuannya dulu dengan Nurcholish Madjid membicarakan menteri terdekat Soeharto yakni Moerdiono. “Saya teringat obrolan dengan Cak Nur tahun 1990 an. Dia mengutip obrolan Moerdiono dengan Soeharto. Pak Harto mengeluh dan bertanya pada Moerdiono, kok anak-anak yang disekolahkan, kok malah mengkritisi pemerintah. Jawaban Moerdiono bagus sekali. Pak Presiden, itu yang disebut dengan unintended consequences, konsekuensi yang tidak disengaja,” kata Sudirman menirukan ucapan Moerdiono. Orang-orang cerdas dan kritis itu, kata Sudirman adalah buah dari kemerdekaan yang lahir dengan sendirinya. Sudirman menegaskan bahwa bila orang seperti Anies dimusuhi, maka kita sedang menghujat buah dari kemerdekaan, buah dari memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa, karena orang seperti Anies jumlahnya jutaan. “Dia generasi beruntng karena kakeknya orang terdidik. Tetapi orang seperti saya, dalam satu keluarga yang bisa masuk SMA, Perguruan Tinggi lalu bergaul dengan kalangan menengah atas, dan orang seperti saya jumlahnya jutaan,” paparnya. Jadi Indonesia ini, kata Sudirman sedang panen orang-orang yang tadinya dhuafa, buta huruf, miskin, lalu sekarang menjadi kelas menengah. “Kalau ada ketakutan terhadap Islam, maka itu salah besar karena di Indondesia mayorutas adalah umat Islam yang sedang naik kelas,” paparnya. Saat ini, kata Sudirman, kita tengah menghadapi kenyataan - yang mau tidak mau - sebagai buah dari kemerdekaan, buah dari pembangunn, buah dari Orde Baru dan sebagainya - dan memang mayoritas rakyat sedang menaiki kelasnya, baik dari sisi ekonomi maupun pendidikan. “Sederhana sekali contohnya, pergilah ke bandara-bandara di seluruh Indonesia, sepanjang tahun orang pergi umroh. Ini gejala middle class. Kalau ini dianggap sebagai ancaman, jelas itu keliru besar,” tegasnya. Dalam urusan politik, lanjut Sudirman orang seperti Anies menjadi harapan kelas menengah baru yang terdidik dan ingin berparisiapsi ingin memajukan bangsa dan negara. “Bila ada yang khawatir dengan kehadirsn sosok seperti Anies Baswedan, maka mereka sedang mengingkari buah kemerdekaan, mereka sedang menahan laju bahwa kemerdekaan melahiran kaum terdidik. Orang-orang seperti itu, tidak punya tempat di republik ini,” tegasnya. Mereka mengkhawatirkan terhadap hantu yang mereka ciptakan sendiri, yakni umat Islam. Sementara kritikus Faizal Assegaf menyebut manuver Pendiri Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jusuf Wanandi sebagai salah satu ciri mafia politik. Menurutnya, apa yang dilakukan oleh Jusuf Wanandi sangat memalukan dan brutal. “Gosip politik murahan yang disemburkan Jusuf Wanandi (JW) sangat brutal dan memalukan,” ujar Faizal kepada Fajar.co.id, Sabtu (27/5/2023). Menurutnya sinisme CSIS karena frustasi melihat elektabilitas bakal capres Koalisi Perubahan Anies Baswedan. “Ekspresi sinisme dedengkot CSIS tersebut lantaran frustasi menghadapi fenomena Anies yang makin masif jelang Pilpres 2024,” ucapnya. Lebih lanjut, Faizal Assegaf menilai sikap Jusuf Wanandi menggambarkan suasana di lingkaran istana. “Sikap demikian mewakili suasana kebathinan jejaring \'mafia politik\' di lingkaran Istana yang begitu tendensius dan panik. Tanpa disadari, semakin bernafsu menjegal, semakin solid dan luas dukungan rakyat pada Anies,” pungkasnya. (sws)
Hakim Konstitusi Melanggar Konstitusi, Wajib Diberhentikan: DPR Segera Proses
Oleh: Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) WAKIL Ketua KPK, Nurul Ghufron, mengajukan permohonan uji materiil undang-undang KPK terkait usia calon dan masa jabatan pimpinan KPK. Nurul Ghufron berpendapat, masa jabatan 4 tahun untuk pimpinan KPK melanggar konstitusi. Gayung bersambut. Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan Nurul Ghufron. MK, lebih tepatnya lima hakim konstitusi, berpendapat, masa jabatan 4 tahun untuk pimpinan KPK bersifat diskriminatif, sehingga melanggar pasal 28D ayat 1, yang berbunyi: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230525122349-12-953852/mk-kabulkan-gugatan-nurul-ghufron-jabatan-pimpinan-kpk-jadi-5-tahun/amp Juga diskriminatif terhadap peraturan masa jabatan 12 komisi lainnya, yang mempunyai masa jabatan 5 tahun, seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Yudisial, dan seterusnya. Putusan lima hakim konstitusi tersebut sangat aneh, tidak masuk akal, dan patut dipertanyakan. Putusan tersebut bisa membahayakan penegakan konstitusi. Yang dimaksud dengan “Kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”, seperti dimaksud pasal 28D ayat 1, harus dimaknai sebagai perlakuan yang sama dalam pelaksanaan sebuah UU. Artinya, semua pimpinan KPK wajib mempunyai masa jabatan yang sama, yaitu 4 tahun. Tidak ada yang boleh lebih atau kurang dari 4 tahun. “Perlakuan yang sama” tidak berarti semua undang-undang harus sama, tidak berarti masa jabatan untuk semua lembaga atau komisi independen harus sama. Artinya, perbedaan masa jabatan pimpinan antar lembaga, atau antar komisi, yang diatur di masing-masing undang-undang, tidak bisa dimaknai diskriminatif. Karena penentuan masa jabatan merupakan wewenang DPR sebagai lembaga pembuat undang-undang, dan kareba itu penetapannya tergantung dari sudut DPR dalam melihat peran komisi independen bersangkutan terhadap kepentingan bangsa dan negara. KPK adalah lembaga independen untuk memberantas korupsi yang menjadi musuh utama seluruh rakyat Indonesia, karena korupsi merupakan tindak pidana yang merampas hak rakyat, dan memiskinkan rakyat. Masa jabatan pimpinan KPK 4 tahun justru memperkuat independensi KPK, karena kepemimpinan KPK akan lintas pemerintah dan DPR, sehingga tidak dipengaruhi kekuasaan. Artinya, pimpinan KPK yang akan datang (seharusnya periode 2023-2027), dipilih oleh presiden dan DPR saat ini, tetapi kepemimpinan KPK tersebut akan berlanjut hingga pemerintahan dan DPR selanjutnya. Dengan demikian, independensi KPK lebih terjamin, dan tidak berada di bawah kekuasaan pemerintah yang menunjuknya. Masa jabatan komisi independen yang tidak sama dengan kekuasaan secara prinsip lebih menjamin profesionalisme dan objektivitas dalam pemilihan pimpinan KPK, tidak politis, tetapi berdasarkan integritas calon pemimpin KPK tersebut. Hal ini sama seperti, misalnya, di Amerika Serikat. Bank Sentral AS, the Fed, juga merupakan lembaga independen. Masa jabatan Dewan Gubernur Bank Sentral AS ditetapkan 14 tahun, dan hanya dapat dipilih satu kali saja. Peraturan masa jabatan Dewan Gubernur the Fed ini beda dengan peraturan masa jabatan lembaga lainnya. Meskipun demikian, peraturan masa jabatan Dewan Gubernur the Fed tersebut tidak diartikan diskriminatif. Hal ini juga sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi ketika mengadili uji materiil masa jabatan dan periode jabatan kepala desa, yang di dalam undang-undang tentang desa, ditetapkan 6 tahun dan dapat dipilih untuk 3 periode. Peraturan ini jelas beda dengan masa jabatan dan periode jabatan untuk pejabat publik lainnya, yang umumnya 5 tahun dan dibatasi hanya 2 periode. MK, dalam hal ini hakim konstitusi, sepenuhnya paham, bahkan menegaskan bahwa masa jabatan dan periode jabatan kepala desa tersebut sah secara konstitusi, meskipun berbeda dengan masa jabatan untuk pejabat publik lainnya. MK beralasan, UUD 1945 hanya menentukan secara eksplisit pembatasan masa jabatan untuk beberapa jabatan publik saja, yaitu presiden dan kepala daerah. Sedangkan masa jabatan kepala desa tidak diatur di dalam UUD 1945, melainkan diatur di dalam undang-undang, yaitu tentang desa. Putusan MK Nomor 42/PUU-XIX/2021 menegaskan, masa jabatan kepala desa 6 tahun, dan maksimal 3 kali periode jabatan, merupakan aturan yang konstitusional. https://amp.kompas.com/nasional/read/2023/03/31/17270861/gugatan-masa-jabatan-kades-tidak-diterima-mk-tetap-bisa-menjabat-sampai-18 Alasan ini seharusnya juga berlaku bagi undang-undang KPK, peraturan masa jabatan 4 tahun untuk pimpinan KPK adalah sah dan konstitusional. Tetapi, lima hakim konstitusi berpendapat lain, terindikasi sedang mempermainkan konstitusi. Lima hakim konstitusi yang mengabulkan permohonan uji materiil Nurul Ghufron, mengubah masa jabatan pimpinan KPK dari 4 tahun menjadi 5 tahun, terindikasi melanggar konstitusi: mereka melanggar kewenangan DPR sebagai lembaga pembuat undang-undang. Menurut UU pemilu, penjelasan pasal 169, butir d, pelanggaran konstitusi termasuk pengkhianat negara. Karena itu, wajib diberhentikan. Semoga DPR berani menegakkan konstitusi, berani merebut kembali wewenang konstitusinya, sebagai lembaga pembuat undang-undang, yang saat ini sedang dirampas oleh lima hakim konstitusi. Semoga DPR berani memberhentikan hakim konstitusi karena melanggar konstitusi, dan berkhianat kepada negara. (*)
Jika Ada Sidang Rakyat, Rocky: Mahkamah Konstitusi yang Pertama Kali Ditawur Rakyat
Jakarta, FNN – Dalam beberapa hari ini Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan akrobat hukum yang kental nuansa politiknya. Setelah memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK dari 4 menjadi 5 tahun, MK kini tengah disorot karena bakal mengubah sistem pemilu dari proporsional terbuka ke sistem proporsional tertutup. Jika hal ini benar terjadi maka akan memicu chaos sebagaimana dikhawatirkan oleh mantan Presiden Soesilo Bambag Yudhoyono (SBY). Menanggapi hal itu pengamat politik Rocky Gerung mensinyalir bahwa demokrasi saat ini sedang dibajak menjadi nomokrasi atau bahkan MKtokrasi. Perpanjangan masa jabatan pimpinana KPK di tengah legitimasi yang rendah oleh MK menunjukkan bahwa lembaga ini bukan bekerja untuk Negara, akan tetapi untuk Kepala Negara. “Yang pertama harus diingat bahwa MK dirancang sebagai peralatan negara, bukan peralatan Kepala Negara. Itu intinya. Sekarang yang kita lihat MK disuruh-suruh saja oleh Kepala Negara, karena proses yang sejak awal kecurigaan kita, ada pembicaraan makan malam antara ketua MK dan Presiden Jokowi karena ikatan perkawinan. Itu buruknya,” katanya dalam kanala YouTube Refly Harun, Senin (29/05/2023). Rocky mengingatkan agar MK di akhir masa tugasnya tidak membuat keputusan yang kontroversial apalagi merusak demokrasi. “Kita ingin ingatkan bahwa MK jangan sampai di akhir masa jabatannhya itu dinilai sebagai perusak demokrasi. Itu yang kita bahas. MK ini betul-betul menghina akal sehat. Jadi sebetulnya kalau ada persidangan rakyat , yang harus dibubarkan perttama kali adalah MK, karena MK membatalkan kedulatan rakyat. Itu intinya,” tegas Rocky. Isu ini heboh lantaran sebelumnya ahli hukum Tata Negara Denny Indrayana mengaku mendapat informasi penting terkait gugatan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sistem Proporsional Terbuka di Mahkamah Konstitusi (MK). Ia menyebut MK akan mengabulkan sistem Pemilu kembali menjadi proporsional tertutup alias coblos partai. \"Pagi ini saya mendapatkan informasi penting. MK akan memutuskan pemilu legislatif kembali ke sistem proporsional tertutup, kembali memilih tanda gambar partai saja,\" kata Denny dalam keterangan tertulisnya, Minggu (28/5).Berdasarkan info yang diterimanya, enam hakim MK akan setuju untuk mengembalikan sistem proporsional tertutup. Sementara, tiga hakim lain akan menyatakan dissenting opinion. Denny memastikan informasi tersebut bersumber dari orang yang kredibel.Mantan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga ikut prihatin atas perubahan sistem tersebut. SBY berpendapat, perubahan sistem yang terjadi saat proses pemilu sudah dimulai akan menjadi isu yang besar dalam dunia politik di Indonesia. Presiden RI ke-6 itu mempertanyakan urgensi perubahan sistem pemilu kepada MK. “Apakah ada kegentingan & kedaruratan sehingga sistem pemilu diganti ketika proses pemilu sudah dimulai,” tulis SBY di Twitter, Minggu. “Ingat, DCS (Daftar Caleg Sementara) baru saja diserahkan kpd KPU. Pergantian sistem pemilu di tengah jalan bisa menimbulkan “chaos” politik,” sambungnya. SBY juga mempertanyakan terkait apakah sistem proporsional terbuka yang saat ini berlaku bertentangan dengan konstitusi. Tak hanya itu, SBY juga menegaskan wewenang MK yang bukan menentukan sistem mana yang paling tepat untuk Indonesia. Menurutnya, apabila MK tidak memiliki alasan yang kuat terkait perubahan sistem pemilu dijalankan, maka publik akan sulit menerimanya. Dia juga mengatakan bahwa mayoritas partai politik akan menolak perubahan sistem tersebut. “Saya yakin, dlm menyusun DCS, Parpol & Caleg berasumsi sistem pemilu tidak diubah, tetap sistem terbuka. Kalau di tengah jalan diubah oleh MK, menjadi persoalan serius. KPU & Parpol harus siap kelola “krisis” ini,” tegasnya. Untuk itu, SBY berpendapat agar pemilu 2024 tetap dilaksanakan menggunakan sistem proporsional terbuka. Perubahan sistem dapat dilakukan setelah Pemilu 2024 digelar. Isu ini pertama kali disampaikan oleh ahli hukum tata negara, Denny Indrayana, melalui akun Twitternya, Minggu (28/5/2023). Dia menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) akan memutuskan perubahan sistem pemilu tersebut. “Pagi ini saya mendapatkan informasi penting. MK akan memutuskan pemilu legislatif kembali ke sistem proporsional tertutup, kembali memilih tanda gambar partai saja,” kata Denny di Twitter, Minggu. Sebelumnya, delapan partai di parlemen menolak dikembalikannya lagi sistem proporsional tertutup. Kedelapan partai di DPR itu yakni Partai Gerindra, Golkar, Demokrat, Nasdem, PKB, PKS, PPP, dan PAN. Hanya satu partai yang mendukung wacana itu yakni PDI-P. (sof)
Analis Unas: Sistem Proporsional Tertutup Ideal untuk Indonesia
Jakarta, FNN - Analis politik dari Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting mengungkapkan sistem pemilihan umum (Pemilu) proporsional tertutup lebih ideal diterapkan di Indonesia dibandingkan dengan sistem proporsional terbuka. Semua pertimbangan, termasuk kondisi geografis, jumlah penduduk, kemajemukan suku bangsa maupun agama, tingkat pendidikan, sosial ekonomi, menjadi dasar bagi para pendiri bangsa menerapkan sistem proporsional tertutup pada Pemilu pertama 1955. “Para pendiri bangsa sudah mempertimbangkan dari segala aspek, sistem proporsional tertutup dianggap paling pas untuk kondisi Indonesia,” kata dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas, Selamat Ginting kepada wartawan di Jakarta, Senin (29/5). Selamat Ginting mengungkapkan hal itu terkait uji materiil UU Pemilu soal sistem proporsional terbuka di Mahkamah Konstitusi (MK). Bahkan beredar ‘bocoran’ seperti dikemukakan Prof Dr Denny Indrayana yang menyebutkan MK akan mengembalikan ke sistem proporsional tertutup. Namun, menurutnya, apabila sistem pemilu diubah, jangan sampai dimanfaatkan oleh penumpang gelap untuk menunda pelaksanaan Pemilu 2024 yang sudah dijadwalkan sebelumnya. Apalagi tahapan pelaksanaan Pemilu sudah berlangsung sejak awal 2022 lalu. Jika perubahan sistem Pemilu dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup dilakukan untuk menunda Pemilu, maka akan menimbulkan instabilitas politik. “Jangan sampai ada penumpang gelap, karena ongkos politiknya sangat mahal. Belum lagi ada pertarungan di DPR antar-fraksi soal setuju atau tidak setuju perubahan sistem pemilu. Saya tidak dalam kapasitas mendukung partai tertentu atau fraksi tertentu, tapi mengacu kepada sejarah awal para pendiri bangsa menetapkan sistem pemilu 1955. Tentu saja ada pro dan kontra, namun ini pendapat akademis,” ungkap Ginting mengingatkan. Menurutnya, jika memang ternyata ada perubahan sistem Pemilu legislatif dari sistem proposional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup, masih bisa dilakukan saat ini, karena Pemilu akan dilakukan Februari 2024 mendatang. Masih ada waktu sekitar tujuh bulan bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mempersiapkannya. “Mumpung belum ada Daftar Calon Tetap (DCT), saat ini masih Daftar Calon Sementara (DCS) sehingga masih ada waktu untuk mempersiapkannya,” kata Ginting. Ia mengingatkan masalah seperti ini, bukan baru pertama kali terjadi. Sebab pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun, empat bulan menjelang pelaksanaan Pemilu 2009, sistem Pemilu diubah hasil dari uji materiil di MK, dari sistem proporsional tertutup menjadi terbuka. “Saat itu tidak ada kekacauan politik. Mengapa sekarang SBY khawatir terjadi kekacauan politik? Nyatanya pada Pemilu 2009 era Presiden SBY tidak ada kekacauan politik,” ujar Ginting menanggapi kekhawatiran SBY yang disampaikan kepada wartawan. Seperti Amandemen Selamat Ginting menyamakan soal amandemen UUD 1945 yang dilaksanakan pada 2002. Sekarang masyarakat menyadari, ternyata banyak mudarat dari sejumlah amandemen UUD 1945 menjadi UUD aspal (asli tapi palsu) alias UUD 2002. Begitu juga dengan sistem pemilu proporsional terbuka, terakhir pada Pemilu 2019 menyebabkan hampir 900 orang petugas pemungutan suara (PPS) meninggal dunia. Menurutnya, fakta membuktikan Pemilu 1955 yang dilakukan dengan sistem proporsional tertutup justru menjadi pemilu paling demokratis dalam sejarah perpolitikan di Indonesia. Di situ ada etika, moral, serta agama yang diyakini penyelenggara pemilu, partai politik peserta pemilu, serta pemilih dalam menentukan partai politik sebagai institusi aspirasi politik masyarakat. “Pemilu 1955 dengan sistem proporsional tertutup bukan hanya ajang untuk kontestasi meraih kekuasaan melalui partai politik belaka. Lebih dari itu dibarengi dengan etika moral agama, sehingga menutup peluang untuk berlaku tidak jujur.,” kata kandidat doktor ilmu politik itu. Dikemukakan, pemilu itu alat pendidikan politik bagi masyarakat. Oleh karena itu mestinya calon-calon wakil rakyat adalah orang-orang terdidik, setidaknya lulusan perguruan tinggi. Sekaligus membuka peluang bagi para dosen, guru, peneliti yang tidak memiliki kemampuan finansial, bisa berkiprah menjadi wakil rakyat melalui sistem proporsional tertutup. “Jika menggunakan sistem proporsional terbuka, maka para cendekiawan akan kesulitan untuk bisa bersaing dengan pemilik modal, orang kaya, atau artis popular yang tidak memiliki kemampuan pendidikan tinggi, namun memiliki kemampuan ekonomi tinggi,” ujar Ginting yang lama berkiprah sebagai wartawan politik. Melalui sistem proporsional tertutup, lanjutnya, partai politik punya kewenangan untuk menempatkan orang-orang terdidik di urutan atas alias dapat nomor peci, bukan nomor sepatu. Jadi walau pun sistem proporsional tertutup, namun tetap ada urutan daftar tetap calon anggota DPR/DPRD. “Tapi elite partai politik jangan sembarangan bertindak seolah-olah sebagai raja menggantikan oligarki kapitalis yang menitipkan orang-orang tertentu seperti sistem proporsional terbuka,” ujar Ginting. Kesalahan Pemilu 2019 Mestinya, kata dia, elite negeri belajar dari kesalahan Pemilu 2019 lalu, sebagai salah satu Pemilu yang menggunakan sistem proporsional terbuka dengan predikat terburuk dalam sejarah Pemilu Indonesia. Buktinya, hampir 900 orang PPS meninggal dunia. “Siapa yang bertanggung jawab atas kematian hampir 900 orang PPS? Betapa beratnya petugas pemungutan suara untuk menghitung perolehan suara dari masing-masing calon anggota parlemen DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota. Berapa banyak partai peserta Pemilu? Berapa banyak calon dari masing-masing partai politik? Berapa banyak daerah pemilihan? Belum lagi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah dari 34 provinsi saat itu,” kata Ginting. Diungkapkan, jika Pemilu 2024 tetap dilakukan dengan sistem proporsional terbuka sekaligus secara serentak untuk memilih Presiden, Gubernur, Bupati, dan Walikota, maka kemungkinan korban petugas pemungutan suara akan semakin bertambah lagi bisa lebih dari 1.000 orang yang meninggal dunia. Sehingga Indonesia akan dicap sebagai negara paling buruk dalam penyelenggaraan Pemilu, karena banyaknya anggota PPS yang meninggal dunia. Menurutnya, sudah cukup uji coba pemilu dengan sistem proporsional terbuka selama tiga kali pelaksanaan Pemilu (2009, 2014, 2019) dan kini saatnya dievaluasi. Ongkos politiknya terlalu mahal jika Pemilu serentak yang direncanakan pada 2024 dilaksanakan secara system proporsional terbuka. Diakuinya, memang ada penyimpangan saat Pemilu era Orde Baru dengan sistem proporsional tertutup, karena pemilunya sekadar kewajiban untuk menggugurkan seolah Pemilu berlangsung secara demokratis. Padahal hanya sebagai demokrasi bayangan. “Kita perbaiki saja dari Pemilu 1955 dan era Orde Baru, tetapi tetap menggunakan sistem proporsional tertutup dan bukan proporsional terbuka. Soal kedekatan dengan rakyat sebagai calon pemilih, menjadi kewajiban partai politik untuk dekat dengan rakyat, bukan hanya saat jelang Pemilu saja,” ungkapnya. Menekan Biaya Dengan sistem proporsional tertutup, lanjutnya, sekaligus bisa menekan biaya Pemilu menjadi lebih murah. Bukan para bohir atau pemilik modal yang mengendalikan pemilu. Partai politik menjadi satu-satunya pengendali dana kampanye. Sistem proporsional tertutup juga bisa menutup persaingan tidak sehat para calon anggota legislatif di dalam satu partai politik. “Walau dengan sistem proporsional tertutup, tapi bukan seperti membeli kucing dalam karung. Rakyat tetap bisa mengetahui siapa saja calon anggota legislatif dari partai-partai politik. Jadi ada adu gagasan serta platform partai politik. Rakyat memilih partai politik dan sekalian kecocokan dengan calon angtota parlemennya,” ungkap Ginting. Menurutnya, sama seperti pada Pemilu 1955 dan Pemilu era Orde Baru, serta Pemilu di awal Reformasi 1999 dan 2004. Para pemilih, hanya memilih atau menusuk tanda gambar partai politik untuk memilih anggota parlemen. Partai politik yang akan menentukan calon wakilnya yang akan duduk di DPR/DPRD. Dibuka secara transparan siapa saja dan urutan calon anggota legislatif dari partai politik. “Sehingga jika ada anggota partai yang tidak berkualitas atau melakukan penyimpangan, maka partai politik akan menanggung akibatnya. Kedaulatan partai sebagai instrumen demokrasi menjadi pertaruhan,” pungkas Ginting. (*)