ALL CATEGORY
Jokowi Terhenti Prabowo Serba Salah
Oleh Yarifai Mappeaty - Kolumnis MESKI lebaran adalah momentum keagamaan, namun bukan masalah bagi Megawati Soekarno Putri untuk membuatnya menjadi momentum politik. Bagaimana tidak? Di saat mayoritas rakyat negeri ini sedang menikmati suasana ledul Fitri 1444 H, Megawati justeru membuat kejutan politik dengan mengumumkan Ganjar Pranowo sebagai calon presiden dari PDI-P. Memang tidak boleh? Bukan begitu. Hanya saja, mengapa tak menunggu barang sehari dua hari, membiarkan dulu momen Iedul Fitri itu berlalu? Sehingga muncul kesan bahwa Megawati sedang berlomba untuk mendahului. Jika benar begitu, maka, Megawati dan PDI-P, kira-kira sedang berlomba dengan siapa? Sinyalemen Denny Indrayana memberi kesan bahwa pengumuman pencapresan Ganjar tersebut, terjadi karena “tekanan” Jokowi, mungkin saja Denny benar. Namun ada spekulasi lain yang berkembang dan menyatakan sebaliknya. Bahwa Megawati melakukan itu untuk mendahului Jokowi dan Koalisi Besar-nya untuk mencegah paket Prabowo – Ganjar terbentuk. Tetapi, eit, tunggu dulu. Mengapa Jokowi memaketkan Prabowo – Ganjar, bukannya Ganjar – Prabowo? Sebab dinilai tanpa dukungan PDI-P, Ganjar bukan apa-apa. Bahwa elektabilitas Ganjar dilaporkan selalu paling tinggi, itu suka-sukanya lembaga survei. Sebab terbukti, setelah paket Prabowo – Ganjar diwacanakan, muncul laporan survei yang menyebut elektabilitas Prabowo melampaui Ganjar. Lucu, bukan? Masalahnya, jika paket Prabowo – Ganjar berhasil diwujudkan oleh Koalisi Besar Jokowi, maka pilihan yang tersedia bagi PDI-P menjadi terbatas. Misalnya, jika memilih bergabung dengan Koalisi Besar Jokowi, PDI-P harus menerima konsekuensi kehilangan “tanduk”, rela tak punya kuasa mengatur. Sebaliknya, jika memilih tak bergabung, mau tak mau, PDI-P tetap harus mengusung paket Capres – Cawapres sendirian, sekadar memenuhi kewajiban konstitusi, tanpa ada keyakinan memenangkan kontestasi. Kedua pilihan yang tersedia benar-benar sangat tak menyenangkan bagi PDI-P. Itu sebabnya, saya semula menilai bahwa gagasan Jokowi membentuk Koalisi Besar, sungguh brilian. Saya membayangkan Jokowi bermaksud hendak melempar dengan sebuah batu untuk membuat dua ekor burung terkapar sekaligus. Pertama, sasaran utamanya tentu untuk menghentikan Anies. Hal itu bisa tercapai, meminjam istilah Denny Indrayana, jika Moeldoko berhasil “mencopet” Partai Demokrat. Maka niscaya partai berlambang mercy itu praktis berada dalam genggaman Jokowi. Dan, jika itu terjadi, maka, harapan Anies menjadi Capres, pun dipastikan pupus. Kedua, untuk meruntuhkan “keangkuhan” seorang Megawati dan hegemoni PDIP. Tetapi ada pula yang membacanya sebagai upaya “balas dendam” Jokowi terhadap sikap Megawati yang menolak perpanjangan masa jabatan presiden 3 priode dan penundaan pemilu. Bagi PDI-P, sebagai partai penguasa selama satu dekade terakhir, menjadi seekor banteng tanpa tanduk dalam Koalisi Besar Jokowi, tentu sangat menyakitkan. Tetapi sebaliknya, membiarkan Ganjar dimanfaatkan oleh pihak lain di luar sana, yang bisa memberi mudharat bagi PDI-P, juga bukan pilihan bijak. Sementara itu, jika masalahnya adalah Ganjar dilihat sebagai ancaman bagi trah Soekarno di PDIP, sehingga Megawati enggan mencapreskannya, maka risikonya sama saja, apakah Ganjar berada di dalam atau di luar. Sebab saat berkuasa, baik sebagai presiden maupun wakil presiden, potensi ancaman itu tetap ada, selama Ganjar memang ada niat. Menghadapai situasi pelik semacam itu, tak disangka Megawati dan PDI-P justeru membuat pilihan sendiri yang tak kalah brilian dan mematikan bagi rivalnya. Dengan mengesampingkan potensi ancaman Ganjar bagi eksistensi trah Soekarno di PDI-P, Megawati pada akhirnya memutuskan men-take over Ganjar dari tangan Jokowi. Konstelasi politik nasional pun berubah seketika, dan Koalisi Besar Jokowi menjadi berantakan. Di sini, diakui atau tidak, Megawati kembali menghentikan Jokowi setelah melakukan hal yang sama sewaktu menolak wacana perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan pemilu digulirkan. Penolakan Megawati itulah membuat penulis sampai cenderung mengamini pendapat bahwa pencapresan Ganjar oleh PDI-P, bukan karena tekanan Jokowi. Bahkan publik menilai kalau Megawati menghentikan Jokowi agar tak perlu “kepo” mengurusi Capres penggantinya. Hal senada pernah diserukan Hilmi R Ibrahim, Ketua Bidang Politik Partai Ummat, beberapa waktu lalu. Hemat penulis, sebaiknya memang begitu. Kekuasaan Jokowi yang tersisa dan makin renta itu, cukup diabdikan untuk memastikan Pilpres 2024 berjalan dengan jurdil. Realitasnya, Megawati tidak hanya menghentikan Jokowi, tetapi juga membuat Prabowo serba salah. Jika memutuskan bergabung dengan PDI-P untuk mendukung Ganjar yang digadang-gadang berpasangan dengan Sandiaga, maka dari sisi konstribusi, dinilai tidak berarti. Sebab sama halnya, datang tak mencukupi, pergi juga tak mengurangi. Ataukah Prabowo memilih tetap maju dengan berpasangan Airlangga Hartarto, misalnya? Sangat mungkin. Apalagi secara presidential threshold memenuhi syarat. Masalahnya, Prabowo tak punya lagi Jokowi sebagai sandaran. Sehingga peluang memenangkan kontestasi, dinilai kecil. Pada situasi yang dilematis seperti ini, pilihan paling bijak bagi Prabowo adalah kembali ke asal, bergabung dengan Koalisi Perubahan mem-back up Anies. Jika ini dilakukan, maka puluhan juta bekas pendukungnya akan berurai air mata, seperti menyambut kembalinya si anak hilang. Makassar, 28 April 2024
Jumat Sore, Muhaimin dan Prabowo Akan Bertemu
Jakarta, FNN - Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto akan melakukan pertemuan di Jakarta, Jumat sore.\"Insyaallah jam 16.00, pertemuan Ketum PKB dan Ketum Gerindra,\" kata Wakil Ketua Umum PKB Jazilul Fawaid dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat.Dia menyebut pertemuan tersebut dalam rangka silaturahim dan halalbihalal Idul Fitri 1444 Hijriah kedua partai, yang tergabung dalam Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KIR) itu.\"Silaturahim rutin, sambil gunakan (momen) Idul Fitri untuk berlebaran,\" tambah Jazilul.Rencananya, pertemuan antara Prabowo dengan Muhaimin, yang akan didampingi oleh sekretaris jenderal (sekjen) berikut pengurus DPP masing-masing partai, akan membahas terkait masa depan Koalisi KIR.\"Tentu terkait juga masa depan KKIR,\" ujarnya.Pada 10 April lalu, Prabowo Subianto telah menerima kunjungan Muhaimin Iskandar di kediamannya di Jalan Kertanegara IV, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.Pertemuan itu membahas hasil pertemuan antara Partai Gerindra dengan partai-partai pendukung Pemerintah terkait koalisi besar dalam menghadapi Pemilu dan Pilpres 2024.(ida/ANTARA)
Minggu, PDI Perjuangan Akan Bertemu PPP Membahas Pemenangan Ganjar
Jakarta, FNN - Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri akan bertemu dengan Plt Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Muhamad Mardiono pada Minggu (30/4) untuk membahas pemenangan Ganjar Pranowo sebagai Bakal Calon Presiden RI Pilpres 2024.\"Rencananya hari Minggu (30/4), pukul 14.00 WIB, Pak Mardiono bersama jajaran pengurus PPP akan kami terima di kantor DPP PDI Perjuangan. Komunikasi via telpon sudah dilakukan. Minggu akan menjadi kesempatan pertama bertemu dengan Ibu Megawati Soekarnoputri guna meneguhkan kerjasama politik,\" kata Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat.Sesuai dengan mekanisme kedua partai, tutur Hasto melanjutkan, kerja sama ini akan kokoh guna memperkuat sistem presidensial dalam sistem kepartaian yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.Hasto menyebutkan rekam jejak PPP memiliki kesesuaian historis dengan PDI Perjuangan.Keduanya selama masa Orde Baru menjadi representasi partai tertindas sehingga terbangun ikatan emosional di antara kedua partai dalam suatu hubungan yang unik, yang disatukan oleh perasaan senasib sepenanggungan.\"Sehingga diyakini kerja sama dengan PPP sangat positif, dan semakin memperkuat energi kemenangan Pilpres 2024. Seluruh kerja sama partai politik dilakukan melalui komunikasi partai dengan partai,\" ujar Hasto.Pria asal Yogyakarta ini mengatakan terkait kerja sama politik, modal pertama adalah dengan parpol di pemerintahan Presiden Jokowi-KH Maruf Amin, dikecualikan bagi parpol yang sudah mendeklarasikan capresnya sendiri.\"Kedua, menempatkan aspek ideologi kebangsaan-kerakyatan, kesejarahan, kultur, serta kesesuaian agenda masa depan. Ketiga, tidak bisa dipungkiri bahwa kerja sama juga memperkuat aspek elektoral capres,\" kata Hasto.Sehingga, lanjut Hasto, ditinjau dari aspek elektoral, kerja sama dengan PPP akan memperluas basis pemilih dan mencerminkan gambaran Indonesia.(ida/ANTARA)
Berpotensi ke Ranah KPK, Kasus Penganiayaan oleh Anak AKBP Achiruddin Hasibuan Mirip dengan Rafael Alun dan Anaknya
Jakarta, FNN - Keberingasan yang melibatkan aparat negara dan keluarganya kembali terjadi. Teranyar, kasus penganiayaan terhadap Ken Admiral yang dilakukan oleh Aditya Hasibuan dari keluarga kepolisian. Video penyiksaannya viral dan menjadi perhatian publik. Sontak saja kehidupan pribadinya dikuliti netizen dan ternyata hidupnya bergelimang harta. Hal ini mengingatkan kita kepada kasus Rafael Alun dan anaknya, Mario Sandi. Wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Hersubeno Point, Jumat (28/04/2023) merangkum beberapa fakta yang berkaitan dengan kasus ini. Menurut Hersu kasus ini sangat mirip dengan Rafael Alun dan anaknya. \"Ini mengingatkan kita dengan kasus Mario Dandi putra dari Rafael Alun pegawai pajak. Sama-sama bermula dari keributan anak-anak yang latar belakangnya perempuan dan akhrinya publik menyoroti kehidupan mewah AKPB Achiruddin Hasibuan dan anaknya Aditya Hasibuan,\" kata Hersu. Lebih lanjut, menurut fakta yang berkembang ternyata PPATK sudah mencermati rekening dari AKBP Achiruddin Hasibuan dan Anaknya sudah dari lama. Baru kemudian karena kasus penganiayaan yang dilakukan oleh anaknya, hal ini terbongkar dan PPATK temukan transaksi tak wajar direkening AKBP Achiruddin Hasibuan dan Aditya Hasibuan. \"Kita lihat dalam kasus Rafael Alun dan anaknya, juga sama. Mereka sudah masuk ke dalam radar PPATK sudah dari lama, bahkan sudah belasan tahun. Dan akhirnya terbongkar karena kasus penganiayaan yang dilakukan oleh anaknya Mario Dendi. Namun kasus Aditya Hasibuan ini sudah terjadi dari Desember 2022,\" katanya. Menurut Hersu, kasus penganiayaan yang dilakukan oleh Aditya Hasibuan kepada Ken Admiral ini akan terus berlanjut bahkan akan berpontensi kepada ranah hukum lain. Karena publik menyoroti gaya kehidupan dari AKBP Achiruddin Hasibuan dan anaknya. Bahkan PPATK menemukan mutasi rekening AKBP Achiruddin Hasibuan tidak sesuai dengan profilnya. \"Menurut informasi di lingkungan sekitar kediaman AKBP Achiruddin Hasibuan, bejarak sekitar tiga rumah dari kediamannya, AKBP Achiruddin Hasibuan memiliki timbunan solar ber ton-ton. Bahkan ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni meminta Polri dan KPK bersiap-siap,\" terang Hersu. Sebelumnya, kasus penganiayaan yang dilakukan oleh Aditya Hasibuan kepada Ken Admiral ini berawal dari chat Ken menanyakan seorang wanita kepada Aditya Hasibuan. Karena merasa tersinggung Aditya Hasibuan bertemu dengam Ken Admiral di salah satu pompa bensin. Di sana terjadi pengrusakan mobil yang dilakukan oleh Aditya Hasibuan. Karena mobilnya rusak, Ken Admiral tidak berani pulang, dia menyinggahi rumah Aditya Hasibuan untuk meminta pertanggung jawaban. Di depan rumah Aditya inilah terjadi penganiayaan seperti vidio yang beredar,. Sadisnya lagi, AKBP Achiruddin Hasibuan juga ada di sana membiarkan anaknya melakukan penganiayaan itu. (far)
Judi Politik Sandiaga Uno
Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan PUBLIK awal menduga kepindahan Sandiaga Uno dari Gerindra ke PPP adalah disain internal Partai Gerindra, akan tetapi kemudian diketahui dan terbukti tidak. Tampaknya Sandi sendiri secara pribadi yang berinisiatif. Tentu setelah lobi-lobi dengan petinggi PPP. Tawarannya entah Ketum PPP atau Cawapres dari PPP. Yang jelas Sandi sedang berjudi. Kekecewaan petinggi Partai Gerindra mudah terbaca dari komentar mengenai jasa partai yang telah membesarkan Sandi sejak Wagub DKI, Cawapres Prabowo hingga rekomendasi Menteri. Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto meminta agar Sandiaga Uno mempertimbangkan kembali rencana kepindahannya. Menurut Sekjen Partai Gerindra Muzani pesan Prabowo yang dititipkan padanya adalah agar Sandi sabar dalam berjuang, tetap konsisten dan menjaga kebersamaan. Pesan itu rupanya kalah cepat dengan Sandi yang telah lebih dulu melompat. Dengan cepatnya PPP mendukung Ganjar sebagai Capres menunjukkan Sandi yang sudah masuk PPP akan ditawarkan sebagai Cawapres Ganjar Pranowo. Ini mungkin kalkulasi dirinya hingga ia bersemangat kuat untuk berpindah ke Partai berlambang Ka\'bah tersebut. Persoalan muncul ketika ternyata PPP tidak solid. Penolakan dari Gerakan Pemuda Ka\'bah Al Quds Purworejo atas sikap DPP PPP yang mendukung Ganjar adalah awal dari riak. Adanya pihak yang mempertanyakan keabsahan usungan DPP pimpinan Plt Ketum Mardiono menjadi riak lain. Konon akan ada gerakan-gerakan perlawanan dari berbagai daerah. Jika PPP hangat bahkan panas dalam menyikapi dukungan kepada Capres Ganjar Pranowo maka PDIP dipastikan akan mempertimbangkan efektivitas keberadaan PPP dalam koalisi. Dan hal ini tentu berpengaruh pada posisi Sandiaga Uno. Ketika dadu Sandi tidak bergulir ke arah keberuntungan, maka bandar tidak akan memilih Sandiaga Uno untuk Cawapres Ganjar. Habil Mar\'ati mantan Bendum PPP dan Ketua Forum Membangun (FKM) PPP menyatakan beberapa senior PPP kemungkinan akan melakukan gugatan ke PTUN terhadap Plt Ketum Mardiono sehubungan turunnya surat Kemenhukham 6 April 2023 yang \"men-status quo-kan\" DPP PPP. Kondisi ini akan menambah gonjang-ganjing internal PPP. Prediksi kuat adalah bahwa aspirasi kader grass root PPP untuk Capres bukanlah kepada Ganjar Pranowo tetapi Anies Baswedan. Posisi Sandiaga Uno semakin tidak pasti, apalagi jika Plt Mardiono tidak kokoh sebagai personal yang memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan formal pengusungan Capres ke KPU kelak. PDIP sendiri memiliki kapasitas secara mandiri untuk berhak mengajukan Capres Cawapres. Karenanya PDIP tentu tidak akan mengambil risiko pencitraan buruk akibat gonjang ganjing PPP. Di sisi lain jikapun Sandi ternyata mampu berpasangan dengan Ganjar, maka pendukung Sandi dahulu saat bersama Prabowo sudah berlompatan pula. Terhitung sejak ia bergabung dengan kabinet Jokowi. Jadi Sandi sebenarnya sudah tidak memiliki \"pengikut\" selain yang kini terlokalisasi di partainya yang baru, PPP. Sandiaga Uno itu sebenarnya menjadi tidak berdaya guna. Tercitrakan sebagai figur yang mencla-mencle, terbuai php atau anak muda yang haus kekuasaan. Andaipun lompatan Uno berhasil merebut Ketum PPP, maka secara tidak langsung ia telah merusak dan mengubah PPP dari Partai para ulama menjadi Partai milik pengusaha. PPP adalah Partai umat yang telah terjual atau tergadaikan. Ka\'bah tidak lagi menjadi simbol dari spiritualitas dan kesakralan tetapi simbol perdagangan. Bahkan perjudian. Moga tidak terjadi. Bandung, 28 April 2023
PPP dan Pragmatisme Pilpres 2024: Tak Belajar dari Tamsil Keledai
Oleh Ady Amar - Kolumnis BELAJAR dari kesalahan masa lalu, itu sikap bijak yang mestinya jadi keharusan. Karenanya, tak hendak mengulanginya. Agar tak terjatuh lagi pada peristiwa yang sama berulang. Pengalaman lalu jadi guru terbaik buatnya. Namun tidak banyak yang menjadikan demikian. Kesalahan demi kesalahan yang sama terus dibuat seolah berulang. Dalam dunia fabel keledai dianggap binatang paling bodoh--tentu itu tak sebenarnya, lebih sekadar permisalan--meski demikian keledai tak hendak terperosok pada lubang yang sama hingga dua kali. Keledai belajar dari instink pengalamannya. Karenanya, ia selamat tak lagi terperosok. Tidaklah salah jika manusia belajar dari pengalaman tak mengenakkan itu dari tamsil keledai. Tak perlu merasa malu. Tak perlu pula sampai mesti menjatuhkan harkat lebih rendah dari keledai. Tidaklah demikian. Belajar dari tamsil keledai, itu mestinya jadi keharusan bagi siapa pun. Jika keledai saja tak hendak terperosok sampai dua kali pada lubang yang sama, mestinya hal yang sama tidak dilakukan manusia, mahluk sempurna ciptaan-Nya. Jika tamsil keledai tak dipedomani, itu justru mengherankan Tapi manusia acap memilih pragmatisme jadi jalan hidupnya. Jadi pilihannya. Meski sadar pilihannya itu akan membawanya jatuh pada lubang yang sama terus-menerus. Seolah memilih mengalami peristiwa kejatuhan yang sama berkali-kali. Buatnya pengalaman tak jadi guru terbaik. Jika kesalahan dilakukan pribadi tertentu tanpa mewakili kelompok lain lebih luas, itu jadi persoalan personal. Tapi jika pilihan pragmatisme itu menyeret kelompok yang diwakilinya, tentu berdampak pada eksistensi keberlangsungan kelompoknya. Ini yang terjadi pada Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Agaknya seperti tak hendak belajar dari pengalaman. Para elitnya tak belajar dari kasus Pilkada DKI Jakarta 2017. PPP mengusung pasangan calon (paslon) gubernur yang salah, yang itu tak mewakili kehendak konstituennya. Maka, PPP ditinggalkan dengan cara tidak dipilih. Berdampak kursi legislatif PPP DKI Jakarta merosot. Sebelumnya punya sepuluh kursi, dan jadi hanya satu kursi. Pada Pilkada DKI Jakarta 2017 yang lalu, PPP berkoalisi diantaranya dengan PDIP. Padahal peristiwa Ahok menista agama (Islam) saat itu masih hangat jadi pembicaraan umat dengan penuh kemarahan, tapi justru penista agama itu yang diusung. Pilkada DKI Jakarta diikuti 3 paslon: Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Syaiful Hidayat, Agus Harimurti Yadhoyono-Sylviana Murni, dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Anies-Sandi diusung Partai Gerindra dan PKS dan memenangi kontestasi Pemilihan Gubernur (Pilgub). Dua partai pengusung Anies-Sandi itu pun mendapat cocktail effect tidak kecil dari terpilihnya kandidat yang diusungnya. Sedang PPP diganjar dengan ditinggal oleh pemilih setianya. Pilihan politik PPP yang bukan saja dinilai salah, tapi bisa disebut pragmatisme gila stadium 4. Bagaimana mungkin partai berlambang kakbah menolerir penista agama, yang diusung untuk memimpin ibu kota. Seolah PPP mengolok akal sehat umat, pemilih fanatiknya dari masa ke masa. Pragmatisme elite PPP lagi-lagi menantang akal sehat, yang itu justru menjatuhkan marwah partai. Tak belajar dari kasus Pilkada DKI Jakarta 2017. Pilihan pragmatisme dimunculkan kembali, meski itu dibungkus lewat kebijakan partai. Keputusan dibuat lewat Rapimnas di Sleman, Yogyakarta, dan sudah diputuskan. Adalah Plt Ketua Umum PPP Muhammad Mardiono yang mengumumkan secara resmi, PPP mengusung Bakal Calon Presiden (Bacapres) Ganjar Pranowo, pada Pilpres 2024. Sebelumnya, Ganjar telah resmi dideklarasikan sebagai Bacapres PDIP. Tidak menutup kemungkinan sikap pragmatisme PPP akan diikuti Partai Amanat Nasional (PAN). Partai satu ini seperti menunggu waktu yang tepat saja. Pilihan pragmatisme elit partai, tentu tidak terlepas dari berbagai sebab melatarbelakanginya. Bisa karena dosa politik elit partai, dan itu agar tuntutan hukum yang bersangkutan tidak diseret ke pengadilan. Semacam barter kepentingan. Atau bisa jadi hal lain berupa kompensasi materi, dan immateril yang didapat jika yang diusung memenangi kontestasi. Maka, pilihan berdasar pragmatisme itu diambil elit partai tidak sampai perlu menyerap aspirasi konstituen. Cukup diputuskan satu-dua elit partai bersangkutan. Dan, itu dilakukan dengan rapi. Semua agar putusan yang dibuat tampak tak menyalahi konstitusi partai. Maka, keputusan diambil (seolah-olah) lewat keputusan partai, apa pun bentuk dan namanya. Agar tidak ada celah disalahkan, dan karenanya bisa dipertanggungjawabkan, bahwa kebijakan diambil lewat forum semestinya. Akal-akalan berbasis konstitusi jadi model kebijakan pilihan pragmatisme elit PPP tampaknya. Tidak perlu menunggu waktu lama, setelah Muhammad Mardiono mengumumkan pilihan PPP untuk mengusung Ganjar Pranowo pada Pilpres 2024, Rabu (26 April 2023), reaksi spontan pun muncul di hari yang sama dari internal PPP. Setidaknya, Gerakan Pemuda Kakbah (GPK) Al-Quds, Purworejo-Kebumen, Jawa Tengah, sebuah organisasi sayap tertua PPP menolak pilihan partai yang mengusung Ganjar Pranowo sebagai Bacapres PPP. Langkah GPK itu tidak mustahil akan diikuti penolakan lebih besar lagi dari internal partai. \"Menolak dan menentang keputusan DPP PPP sebagaimana di atas karena bertentangan dengan prinsip PPP (sebagai) Partai Islam Ahlus Sunnah wal Jama\'ah, yang bertekad terus menerus memperjuangkan Amar ma\'ruf Nahi Mungkar sebagai pijakan para ulama istiqomah pendiri PPP,\" demikian ketua GPK Al-Quds Syaifurrahim dalam pernyataan sikapnya, Rabu (26 April 2023). Ditambahkan pula dalam pernyataan yang melatarbelakangi penolakan pencalonan Ganjar Pranowo, itu oleh sebab: \"Saudara Ganjar Pranowo yang menjadi pilihan PPP terbukti banyak sekali melakukan pelanggaran syariat terhadap agama, seperti suka dan bangga nonton video porno tanpa malu, selama dua periode memimpin Jawa Tengah belum bisa menyejahterakan rakyat terutama para petani, dan terindikasi terlibat korupsi EKTP.\" Ditambahkan dalam pernyataannya, sementara organisasi yang dipimpinnya (GPK) lebih memilih mendukung Anies Baswedan, yang dipandang lebih perduli terhadap kepentingan umat Islam. Memang semua kemungkinan masih bisa terjadi, sampai saat pendaftaran dan penetapan Paslon Capres dan Cawapres pada 19 Oktober 2023. Siapa tahu para elit PPP berubah sikap dengan memilih memakai tamsil keledai, yang tak mau terperosok pada lubang yang sama untuk kedua kalinya. Tapi jika pilihan pada Ganjar Pranowo itu sudah harga mati yang tak bisa dirubah, bisa dipastikan pada Pemilu 2024 hasil Pileg PPP tidak akan sampai 4 persen, batas minimal parliament treshold. Karenanya, partai klasik warisan Orde Baru ini menjadi partai yang pantas terpental dari Senayan... Wallahu a\'lam.
Anies, Jeratan Utang Negara dan Jebakan Kemiskinan
Oleh Dr. Syahganda Nainggolan - Sabang Merauke Circle FOTO Anies Baswedan kemarin lalu sedang membaca buku berjudul \"Big Debt Crisis\", by Ray Delio,mendapat perhatian besar berbagai media maupun media sosial. SindoNews, misalnya, melaporkan dalam berita “Anies Unggah Foto Baca Buku Big Debt Crises, Netizen Riuh: Berkelas!”, 26/4/23. Anies memang menunjukkan kaliber kepemimpinannya yang substansial, yakni berpikir pada problem pokok. Orang-orang yang eksistensialis masih berpikir tentang capres Jawa versus capres Islam, GMNI vs HMI, didukung Jokowi vs. tidak, dan lain sebagainya. Orang-orang sejenis ini hanya pintar menampilkan baliho-baliho wajah imut yang disemir saja. Dengan beredarnya sosok Anies plus buku tersebut, maka perdebatan ke depan diajak Anies dalam level gagasan besar, yang perlu dijawab kepemimpinan ke depan demi nasib bangsa. Buku tersebut adalah buku penting tentang utang dan membangun negara. Berbagai elit dunia telah membaca buku ini. Antara lain telah dibaca dan direkomendasikan oleh mantan Gubernur Bank Sentral Amerika, Ben Bernanke (“RAY DALIO’S excellent study provides an innovative way of thinking about debt crises and the policy\"), mantan Menteri keuangan Amerika Larry Summers (“RAY DALIO’S BOOK is must reading for anyone who aspires to prevent for or manage through the next financial crisis\"), Hank Paulson ( “a terrific piece of work from one of the world\'s top investors who has devoted his live to understanding markets and demonstrated that understanding by navigating the 2008 financial crisis well) dan berbagai elit keuangan dunia lainnya. Terbaru, buku ini juga di review dalam WallstreetJournal, awal tahun ini. Mengapa kita harus masuk kepada pertarungan gagasan besar? Pertama, generasi pemilih pada tahun 2024 mayoritas adalah generasi millenial dan generasi Z, yang berkisar 60% voters. Satu dekade ke depan mereka akan mengendalikan Indonesia. Sehingga mereka butuh kepastian regenerasi yang keberlanjutan. Mereka tidak ingin sebagai penonton pasif dari sebuah rezim yang dikelola tanpa ide dan gagasan besar. Generasi millenial ini hidup dalam era digital. Masyarakat millenial ini, semangatnya, hidup dalam tingkat independensi yang tinggi, menghormati demokrasi, dan anti korupsi. Kepemimpinan ke depan harus menjamin bahwa negara mampu memfasilitasi mereka. Terkait dengan utang yang dilakukan oleh rezim yang sedang berlangsung, tentunya harus dipastikan bersifat produktif, berkeadilan, menumbuhkan solidaritas sosial dan untuk \"sustainable development\". Sebab, mereka menyadari setiap sen dollar utang yang tercipta akan menjadi beban bagi generasi mereka di masa mendatang. Kedua, paska pandemik dan dalam situasi global kini yang penuh ketidakpastian, baik dagang maupun adu kekuatan militer, sebuah negara dipastikan akan terperangkap pada ketertinggalan dan keterbelakangan, jika tidak mampu menghadapi tantangan global tersebut. Berbagai negara mulai mengalami kekacauan, seperti Libanon dan Sudan, Ukraina, Sri Lanka, Pakistan, negara-negara eropa yang krisis pada tahun 2008/9, semisal Yunani, Potugal, Italia, serta berbagai negara lainnya di Afrika. Kenapa, karena hancurnya perekonomian global dan berbagai negara paska pandemic mengalami kesulitan uang, akan terus berlangsung merusak seluruh kekuatan ekonomi negara. Terutama akibat besarnya beban keuangan suatu negara menyelesaikan krisis kesehatan COVID-19 dan restrukturisasi perekonomian mereka. Di sisi lain, tidak gampang mendapatkan bantuan utang dari negara maju maupun lembaga multilateral, seperti IMF dan World Bank. Ketiga, sejak beberapa tahun sebelum pandemi dan dilanjutkan masa pandemi, berbagai negara telah melakukan berbagai kebijakan semu untuk memanipulasi pertumbuhan dan angka-angka keberhasilan mereka. Akibatnya, sebuah resiko tersembunyi (hidden risk) seringkali tidak terpantau, lalu akan meledak pada masanya. Hidden Risk ini sudah menjadi perhatian utama Bank Dunia saat ini. Terutama ketika \"printing money\" dijadikan kebijakan tanpa hati-hati diberbagai negara untuk menutupi defisit anggaran selama masa pandemi. Dari $400 Milyar utang Indonesia saat ini, diperkirakan $45 Milyar merupakan utang dengan resiko tinggi. Ini belum memasukkan berapa besar potensi utang beresiko yang tak terlihat itu. Utang dan Debtomania Dalam teori pembangunan, utang merupakan sumber pembiayaan penting bagi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Pada akhir era Orde Baru, berbagai pimpinan nasional kita mengkritik utang Orde Baru yang sebagian dianggap tidak untuk menguntungkan bangsa kita. Saat itu dikenal istilah \"Odious Debt\" atau utang haram, yakni utang yang dilakukan untuk kepentingan segelintir elit berkuasa. John Perkins, dalam \"Confession of an Economic Hitman\", 2004, menjelaskan bahwa negara-negara besar dan korporasi global mempunyai agenda menjebak negara-negara berkembang dalam perangkap utang melalui berbagai projek-projek infrastruktur dan energi yang ditentukan mereka. Dengan demikian setiap dollar utang yang masuk ke negara berkembang akan menguntungkan negara maju beberapa kali lipat. Menurut Sritua Arief dan Adi Sasono, dalam Teori Ketergantungan dan Keterbelakangan, angka ini berkisar 1:1 pada awal tahun 70an, lalu naik 1:10 di akhir era Suharto. Artinya, setiap satu dollar uang utang masuk ke Indonesia, akan menghasilkan 10 dollar buat pemberi utang itu. Pada era kekinian, Ruchir Sharma, dalam \"The Rise and Fall of Nations: Forces of Change in a Post-Crisis World,(2016)\" menguraikan lebih lanjut bahwa utang piutang yang awalnya dimaknai sebagai kebutuhan, kemudian berkembang menjadi kesenangan yang tidak terkendali, baik dari pengutang maupun penerima utang. Sharma memberi judul \"Debtomania\" pada hal tersebut. Mania, sebagaimana kita pahami, adalah sikap berlebihan, sebuah nafsu berlebihan. Jadi kekuasan sebuah negara bagi elit-elitnya, bukan lagi melihat utang sebagai keterpaksaan atau pelengkap, melainkan sebagai kenikmatan. Tentu saja tersedia keuntungan, baik nyata maupun tersembunyi, bagi pelaku elit dalam penciptaan utang tersebut. Pada era setelah Suharto, gerakan rakyat meminta dispensasi untuk menghapus utang-utang Orde Baru yang \"Odious Debt\" kepada negara donor, sempat membesar. Sayangnya, gerakan itu gagal. Indonesia harus tetap membayar utang kepada negara peminjam maupun perusahaan global. Utang Jokowi Segunung Utang Jokowi adalah utang yang dicatat bangsa ini selama rezim Jokowi memimpin. Catatan resmi pemerintah utang negara saat ini mencapai Rp. 7.755 Triliun. Utang tersebut jika ditambahkan utang swasta dan BUMN, menurut Said Didu, mantan sekretaris Menteri BUMN, akan mencapai belasan ribu triliun. Utang ini, menurut Said Didu dan Rizal Ramli seperti pinjol alias pinjaman online, yakni mengejar pinjaman terus menerus untuk membayar bunga dan pokok pinjaman sebelumnya. Jika dibandingkan era SBY, Jokowi dikatakan membuat utang Indonesia meningkat 300 persen alias 3 kali lipat. Sementara itu Rizal Ramli, menteri keuangan era Gus Dur, mengatakan bahwa bunga utang yang terbebani pada utang kita jauh di atas rerata bunga secara internasional. Pemerintah Jokowi tentu merasa bahwa utang sebesar itu tetap aman karena berada pada aturan ratio utang terhadap GDP, yakni di bawah 60%. Dalam \"Amankah Utang Ribuan Triliun Era Jokowi, CNN Indonesia, 26/1/23, pemerintah menjelaskan bahwa bersamaan dengan utang tersebut, aset Indonesia semakin besar dan ratio utang terhadap GDP terkendali. Pada sisi lainnya, \" distress loan\" atau utang yang beresiko tinggi mencapai $45 Milyar dollar, pada Februari 2022, sebagai mana dilaporkan Global Capital Asia dalam \"Clock is ticking on Indonesia\'s bad debt problems\". Meskipun ketakutan terhadap utang disepelekan rezim Jokowi, namun Anies Baswedan dan kalangan oposisi seperti Said Didu dan Rizal Ramli, mencemaskan persoalan utang ini. Tentu saja kecemasan ini beralasan karena kemampuan kita menghasilkan uang untuk membayar utang dan bunga utang semakin sulit. Dengan utang ribuan triliun tersebut, dan kemampuan negara menghasilkan pajak yang kecil, dapat dipastikan menjerat ruang fiskal kita beberapa dekade ke depan. Ini belum lagi jika mengasumsikan adanya kondisi \"unpredictable\", yang membuat kita \"shock\", seperti bencana, wabah, perang, dan lain sebagainya. Pada tahun 1998, kita mengalami \"self claimed\" pondasi ekonomi yang baik, merujuk juga berbagai lembaga rating dan multilateral Institution. Namun, ketika badai krisis terjadi di Thailand saat itu, lalu merembet ke Indonesia, langsung keadaan tenang menjadi bencana ekonomi. Selain soal kemampuan, apakah kita tidak sedang mengulangi istilah “Odious Debt” yang kita kutuk di era Suharto? Banyak rencana pemerintah dicurigai tidak untuk kepentingan nasional (national interest), misalnya kritikan banyak ekonom terhadap rencana pemerintah mensubsidi motor listrik Rp 6,5 juta permotor, ketika ruang fiskal menyempit Begitu pula rencana pemerintah memasukan beban pembengkakan biaya Kereta Api Cepat China Bandung-Jakarta ke APBN. Belum lagi soal korupsi yang terus meroket kian kemari. Itulah kenapa kemudian Anies membangunkan kita tentang tantangan pembangunan ke depan, bagaimana membangun dengan kemandirian? Bagimana keluar dari krisis utang? Utang dan Jebakan Kemiskinan Kemiskinan dan pengentasan kemiskinan di era Jokowi adalah yang terburuk dalam sejarah Indonesia. CNBC Research Indonesia dalam “Rapor Merah Angka Kemiskinan Jokowi”, 24/1/23, melaporkan perbandingan tingkat kemiskinan di awal rezim Jokowi berkuasa, sampai sebelum Pandemi Covid-19, hanya turun dari 11,22% (Maret 2015) menjadi 9,78% (Maret 2020)atau 1,44% menurun selama 5 tahun. Pada masa awal reformasi penurunan kemiskinan 1999-2004 mencapai 6,8% dan masa SBY 2004-2014 mencapai 5,7%. Fakta ini menunjukkan bahwa Jokowi secara relative terhadap SBY dan pemimpin sebelumnya benar-benar tidak pro kepada rakyat miskin. Secara teoritis, memang utang yang masuk kesebuah negara berkembang dikontrol oleh keinginan asing atau investor. Uang-uang yang mengalir ke Indonesia semakin lama hanya menguntungkan segelintir elit penikmat ekonomi kita. Struktur ketimpangan di Indonesia sangat parah, dan mereka, oligarki dan orang-orang yang berkolaborasi dengan pemberi utang, memutar uang mereka pada sektor-sektor dan bisnis yang menguntungkan saja. Ini bahkan juga terjadi ketika krisis pandemik, di mana orang-orang kaya dan banyak pejabat negara mengalami peningkaan kekayaan yang signifikan. Jika saya penyelenggara negara mempunyai watak mandiri dan mengerti tentang konsep bernegara, tentu saja kemamkmuran yang diciptakan oleh utang akan mengalir secara merata kepada semua pihak Lalu, akhrnya orang-orang miskin akan terbebas dari kemiskinannya. Dalam era Jokowi, lebih parah lagi utang-utang yang dikembangkan pada infrastuktur dan sejenisnya telah menciptakan jebakan utang, seperti membengkak dan terus membengkaknya biaya kereta api cepat Bandung-Jakarta, lamanya durasi perjanjian pemakaian lahan bagi keperluan infrastruktur, ratusan tahun jika perpanjangan terjadi, dijadikannya BUMN sebagai jaminan utang, dan lain sebagainya. Penutup Melalui postingan foto dirinya dan buku “Debt Crisis” by Ray Delio, yang dimediakan massif oleh media sosial dan online, Anies ingin menunjukkan pada Bangsa Indonesia tantang perubahan ke depan adalah keluar dari jeratan utang yang diciptakan rezim Jokowi. Rezim Jokowi telah membuat utang kita nantinya akan mencapai 300% dari jumlah utang era SBY atau belasan ribu triliun. Pada saat bersamaan kemiskinan tidak berkurang signifikan dibandingkan era SBY dan era pemimpin sebelumnya. Utang menurut Delio dapat dikurangi dengan “Austerity, Debt defaults and restructurings, Money printing by the central bank and Transfer of money from those who have more to those who have less”, tergantung sifatnya “inflationary/deflationary cycle. Pemimpin ke depan dapat melakukan itu asalkan tidak seperti rezim penghamba utang saat ini serta fokus pada kemandirian dan sektor prioritas. Namun, yang lebih penting lagi adalah utang hanya dan hanya bisa diletakkan menjadi bagian pelengkap penting dalam pembangunan bangsa apabila pemimpin ke depan adalah pemimpin perubahan, yakni cinta rakyat dan anti korupsi, bukan perpanjangan rezim Jokowi. (*)
Jenderal yang Memalukan Itu Bernama Moeldoko
Oleh Sugeng Waras - Purnawirawan TNI AD Ibarat tiba masa tiba akal, satu hari usai disahkan duet pasangan capres cawapres Anies Rasyid Baswedan (ARB) dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang dimotori ketua umum Nasdem Surya Paloh, Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko mengulangi kesalahan beberapa bulan yang lalu., Kongres Luar Biasa (KLB) abal abal dan illegal gagal total membegal Partai Demokrat. Moeldoko kemudian pada 23 Maret 2023 mengajukan Peninjauan Kembalik (PK) ke Mahkamah Agung (MA,) yang diduga bertujuan memecah belah kesolidan partai koalisi bersatu Demokrat, Nasdem dan Partai Keadilan Sosial ( PKS ) serta menggagalkan pencapresan ARB & AHY melalui kudeta berdarah dingin. Kenapa memalukan, sebab pertama Moeldoko adalah mantan Panglima TNI yang nota bene sudah banyak makan garam terkait pengalaman militer dan non -militer yang paham masalah-masalah kenegaraaan lebih khusus tentang pertahanam keamanan dan kedaulatan ralyat. Kedua dari prespektif hukum dan akal sehat, selayaknya Moeldoko paham dan sadar, bahwa kekalahannya dalam 16 kali persidangan itu telah menurunkan kapabilitas dan elektabilitasnya sebagai KSP yang punya peran dan tugas pokok mengkoordinir staf kepresidenen, yang akhirnya dinilai tidak becus dan amburadul karena sibuk mengurusi ambisi pribadinya. Ketiga, seharusnya Moeldoko paham dan sadar terkait keberadaan, berdiri, kepengurusan, fungsi dan peran serta tujuan partai Demokrat yang telah berkiprah sejak 9 September 2001, yang telah mencapai usia 22 tahun. Kini, dengan prestasi dan dinamika naik turun dan pasang surut Demokrat yang diawaki para elit politik, para kader, pengurus, anggota dan simpatisan yang telah berlaga dalam pemilu 2004, 2009, 2014 dan 20019 dengan saabrek dinamika prestasinya Keempat, Moeldoko seharusnya paham dan sadar posisi dan kedudukannya, mengganjilkan atau menggenapkan sesuai tujuan partai yang tercantum dalam AD / ART, bukan malah memprovokatori, mempengaruhi dan mengajak puluhan Jenderal lain yang nggak ngeh dengan visi misi partai Demokrat. Kelima, lebih gentleman berinisiatif mendirikan partai sendiri, jika mampu dan ada yang mengikuti. Sikap, tindakan, dan perbuatan Moeldoko sungguh merusak adab, norma, dan etika yang berlaku di negara ini yang berdampak sangat buruk bagi demokrasi ke depan. Bandung, 25 April 2023.
Golkar Semakin Lemah, Akankah Terus ‘Mengekor’ PDIP?
Oleh: Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) PRESIDEN Soeharto mengundurkan diri pada Mei 1998, digantikan oleh wakil presiden Habibie. Pemilu (pemilihan umum) yang seharusnya dilaksanakan pada 2002 kemudian dipercepat menjadi 1999, diikuti oleh 48 partai politik. PDI Perjuangan (PDIP), partai yang dianggap korban manipulasi penguasa, sukses meraih suara terbanyak, 33,75 persen. Partai Golkar, di luar perkiraan, masih bisa bertahan, menjadi partai pemenang kedua dengan perolehan suara 22,43 persen. Pada pemilu 2004, suara Golkar turun sedikit (dari 22,43) menjadi 21,57 persen. Meskipun begitu, Golkar menjadi partai pemenang pemilu 2004, karena suara PDIP anjlok (dari 33,75) menjadi 18,53 persen. Lima tahun kemudian, pemilu 2009, suara Golkar turun tajam menjadi 14,45 persen. Suara PDIP juga anjlok menjadi 14,01 persen. Suara keduanya anjlok karena perolehan suara Demokrat melonjak dari 7,45 persen menjadi 20,81 persen. Pada pemilu 2014, suara Golkar stagnan di 14,75 persen. Meskipun begitu, Golkar tetap menjadi partai pemenang kedua, di bawah perolehan suara PDIP yang naik menjadi 18,96 persen. Sedangkan partai pemenang ketiga direbut Gerindra dengan perolehan suara naik signifikan (dari 4,46) menjadi 11,81 persen. Kenaikan suara Gerindra ini tidak lepas dari peran oposisi Gerindra selama pemerintahan SBY periode 2009-2014. Di pemilu 2019, suara Golkar turun lagi menjadi tinggal 12,31 persen, menempati posisi ketiga, di bawah Gerindra yang sukses memperoleh suara 12,57 persen. Suara PDIP di pemilu 2019 juga stagnan di 19,33 persen, hanya naik 0,37 persen dari pemilu 2014. Padahal PDIP ketika itu sebagai partai penguasa. Pencalonan Jokowi sebagai capres PDIP untuk kedua kalinya tidak membawa efek terhadap perolehan suara PDIP. Di lain sisi, sejak 2004 Indonesia menganut sistem pemilihan presiden langsung (oleh rakyat), di mana pasangan calon presiden (capres) dan wakil presiden diusulkan oleh satu atau gabungan partai politik. Pada pilpres 2004, Golkar mengusulkan capres dari kadernya sendiri, yaitu Wiranto (berpasangan dengan Salahuddin Wahid). Wiranto berhasil mengalahkan Akbar Tanjung, ketua umum partai Golkar ketika itu, dalam konvensi perebutan tiket capres dari partai Golkar. Wiranto gugur di puteran pertama pilpres dengan perolehan suara 22,15 persen. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), capres dari Demokrat yang hanya memperoleh suara 7,45 persen, akhirnya memenangi kontestasi pilpres 2004 (dan 2009). Di pilpres 2009, Golkar masih mengusung capres dari kadernya sendiri, yaitu Jusuf Kalla, ketua umum partai Golkar ketika itu, berpasangan dengan Wiranto. Capres Golkar kalah lagi. SBY menang di pilpres 2009 dengan satu puteran. Setelah itu, pada dua pilpres berikutnya, 2014 dan 2019, Golkar tidak lagi mengusung capres dari kadernya sendiri. Di pilpres 2014 Golkar mendukung capres dari Gerindra, yaitu Prabowo Subianto (berpasangan dengan Hatta Rajasa dari PAN), melawan capres dari PDIP, yaitu Jokowi berpasangan dengan Jusuf Kalla. Prabowo kalah. Kekalahan yang menyakitkan. Katanya, Prabowo kalah oleh faktor X. Entah benar apa tidak, hanya mereka yang tahu. Yang menarik, setelah kalah di pilpres 2014, petinggi Golkar melakukan manuver. Golkar terpecah, atau dipecah (?), dengan dualisme kepemimpinan, Aburizal Bakrie versus Agung Laksono. Ketua umum Aburizal Bakrie tergeser, diganti Setya Novanto. Golkar kemudian mengalihkan dukungan kepada kabinet Jokowi. Alasannya, doktrin partai Golkar sejak dulu adalah mendukung pemerintahan yang sah. Airlangga Hartarto mendapat jatah menteri perindustrian. Doktrin Golkar ini bisa berakibat fatal. Menunjukkan Golkar tidak ada ideologi. Atau, dengan kata lain, ideologi Golkar hanyalah sebatas mencari kekuasaan? Pada pilpres 2019, PDIP kembali mencapreskan Jokowi untuk kedua kalinya, berpasangan dengan Mar’uf Amin. Golkar masih tidak ada capres dari kader sendiri, kemudian ikut gerbong PDIP. Sepertinya, Golkar kehilangan arah dan tidak percaya diri pada dua pilpres terakhir. Ekspektasi masyarakat, partai pemenang kedua atau ketiga seyogyanya mengusung calon presiden dari kadernya sendiri, agar visi dan misi partai, agar tujuan dan cita-cita partai, bisa diimplementasikan. Pada prinsipnya, rakyat memilih atau mencoblos partai tertentu karena percaya ada kesamaan ideologi, sehingga visi dan misi partai bersangkutan dapat membawa kebaikan dan kesejahteraan bagi kelompok pemilihnya, serta bagi bangsa dan negara. Hal ini hanya bisa diwujudkan kalau partai tersebut berkuasa penuh, dan kadernya menjadi presiden. Bukan mengekor. Untuk apa rakyat mencoblos partai tertentu, kalau partai tersebut tidak bisa implementasikan tujuan partainya, bahkan malah mendukung ideologi partai lain untuk berkuasa? Untuk apa rakyat mencoblos Golkar kalau akhirnya Golkar malah mendukung, misalnya PDIP, untuk berkuasa? Apalagi kedua partai tersebut mempunyai visi dan misi yang berbeda? Tidak heran, suara perolehan Golkar turun pada pemilu 2019 karena Golkar tidak berani mengusung capres dari kader sendiri pada pilpres 2014. Dan tidak perlu heran juga, kalau suara Golkar diperkirakan akan anjlok lagi pada pemilu 2024, karena Golkar tidak berani mengusung capres dari kader sendiri pada pilpres 2019. Nampaknya, rakyat hanya dijadikan komoditas politik, sebagai alat para elit partai untuk mendapat jabatan. Rakyat diminta untuk memilih partai agar para elit partai tersebut dapat membagi-bagi jabatan dan kedudukan? Bahkan Golkar tidak berani menjadi oposisi, untuk mengawasi pemerintah agar menjalankan roda pemerintahan sesuai konstitusi dan untuk kepentingan rakyat banyak. Bagaimana dengan pilpres 2024? Apakah Golkar akan mengusung capres dari kadernya sendiri, atau akan ‘mengekor’ PDIP lagi yang sudah mencapreskan Ganjar? Kalau Golkar tidak berani mencalonkan kadernya di pilpres 2024 ini, kemungkinan besar suara perolehan Golkar akan anjlok lagi. Ada yang memperkirakan, suara Golkar bisa anjlok menjadi sekitar 8 persen. Karena Golkar tidak ada nilai tambahnya lagi bagi pemilih? (*)
Capres Disasar Ketum Diincar
Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih TARGET Presiden Jokowi, siapapun presiden penggantinya adalah orang yang bisa mengamankan setelah lengser dan melanjutkan proyek proyeknya khususnya yang terkait dengan Cina. Paling tidak ada dua hal yang diinginkan Jokowi pasca beliau lengser. Pertama melanjutkan proyek yang telah berjalan khususnya proyek kerjasama dengan Cina, dengan segala dampak ikutannya. Kedua, tidak ada kasus hukum yang akan menimpanya paska lengser dari kekuasaan dan bisa mendarat secara aman dan nyaman. Opsi untuk mengamankan diri nya ternyata tidak cukup hanya bersandar pada capres pilihannya karena Ganjar Pranowo yang telah deklarasikan Ibu Megawati memiliki bawaan kapasitas, kapabilitas, integritas dan magnit politik relatif rendah. Keamanan politik Jokowi paska lengser dari jabatannya tidak boleh hanya berharap dari Ganjar Pranowo capres 2024, yang reputasi dan kekuatan politiknya sangat rentan akan kalah dalam Pilpres 2024. Ganjar Pranowo prospek kemenangan politiknya diprediksi hanya akan mengandalkan skenario dan rekayasa bandar politik dan olah manipulasi suara hasil pilpres sebagai andalannya. Jokowi harus menyiapkan tempat berlindung lainnya. Masih segar rekam jejak digitalnya bahwa Koalisi Aktivis dan Milenial Indonesia untuk Ganjar Pranowo (Kami-Ganjar) menyatakan hendak menjadikan Presiden Jokowi sebagai Ketua Umum PDIP menggantikan Megawati Soekarnoputri pada tahun 2024. Terekam saat relawan Kami-Ganjar mengadakan konsolidasi pada Ahad 30 Oktober 2022 di Bogor, Jabar. Deklarasi Ganjar Pranowo berjalan lancar, tetapi tidak bisa dinafikan menyisakan friksi di internal PDIP, adalah peluang dan perkembangannya harus terus di buntuti sebagai target dan sasaran politiknya. Peta terbaca selagi masih dalam kendali Ibu Megawati friksi tersebut tetap bisa dikendalikan. Lain cerita kalau PDIP sudah ditinggalkan Ibu Megawati, friksi bisa menjadi besar dan liar. Berlindung dengan kekuatan partai akan menjadi opsi prioritas harus di raihnya. Dengan cara apapun Jokowi harus bisa mengambil posisi sebagai Ketum PDIP. Masa depan Puan dalan ancaman waktu. Sebagai Ketum partai bisa aman sepanjang Ibu Megawati masih ada dan kejadian sebaliknya apabila Ibu Megawati sudah melepaskannya. Megawati Soekarnoputri tetap merupakan magnit figur sentral yang menjadi penentu dalam proses alih generasi pimpinan partai selanjutnya . Tidak boleh di remehkan kekuatan politik di luar trah Sukarno bisa mengobrak-abrik faksi-faksi yang ada di dalam tubuh partai banteng ini. Kelompok ini di Internal PDIP cukup kuat apalagi mendapatkan dukungan kuat dari pemilik modal (oligarki) yang menjadi sponsor Jokowi. Dalam dunia politik praktis, manuver dan gerilya yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang berseteru bisa terjadi seperti Jokowi menggerakkan Moldoko kudeta partai Demokrat untuk menyingkirkan capres Anies Baswedan saat ini. Berdasarkan pengalaman sekuat apapun Megawati akhirnya bisa di taklukan. Awal mencalonkan Jokowi sebagai Capres dari PDI-P, Megawati tidak setuju setelah didesak dari semua arah akhirnya kandas dan luluh. Persis kejadiannya bahwa prestasi dan kualitas Ganjar Pranowo yang minimalis, sesungguhnya tidak disukai Megawati. Dengan desakan dan bisikan dari berbagai arah ahirnya melemah dan luluh mendeklarasikan Ganjar Pranowo sebagai capres 2024. Pertarungan memperebutkan Ketua umum bukan hanya atas pertimbangan politik tetapi fisik Ibu Megawati yang sudah masuk usia senja harus istirahat dan melepaskan sebagai Ketua Umum PDIP. Disadari atau tidak jabatan ketum PDIP sudah masuk dalam radar *Capres di sasar dan Ketum di incar*. Proses bisa melalui kudeta model Moeldoko mengkudeta Partai Demokrat atau berjalan dalam perebutan secara normal dan diambil alih oleh Jokowi.. ****