ALL CATEGORY
Lonceng Kematian Moral
Oleh Ubedilah Badrun - Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ). JIKA politik hanya sekedar soal berebut kekuasaan dan perebutan kekayaan maka wajah negara akan berada pada titik nadir kehancuran. Sebab pada titik itu moralitas tidak lagi menjadi panduan dalam mengelola negara, tetapi kepentingan pragmatis transaksional yang akan memandu jalanya kekuasaan. Ketika kepentingan pragmatis transaksional memandu kekuasaan maka pintu kehancuran sesungguhnya telah dibuka. Pelan tetapi pasti kehancuran kekuasaan bahkan kehancuran peradaban sebuah bangsa kemungkinan besar akan terjadi. Sebab disitu ada pengabaian terhadap kepentingan rakyat banyak, ada semacam penghianatan terhadap kepentingan nasional (national interest). Bukankah dalam sejarah peradaban umat manusia, timbul tenggelamnya kekuasaan sangat ditentukan oleh seberapa kuat para penguasa masih memiliki pegangan moral dalam praktek kekuasaanya. Ketika moralitas dicampakan, kehancuran kekuasaan secara empirik dan historis terjadi. Kisah Firaun pada abad ke 13 Sebelum Masehi hingga kisah Adolf Hitler dan Marcos pada pertengahan dan jelang akhir abad 20 Masehi adalah pelajaran berharga tentang kehancuran kekuasaan akibat hilangnya moralitas dalam kekuasaan. Thomas Lickona dalam Educating for Character (1992) mengingatkan tanda perilaku manusia yang menunjukan arah kehancuran suatu bangsa, diantaranya adalah hilangnya kejujuran dan kaburnya panduan moral dalam hidup berbangsa dan bernegara. Elit politik maupun warga mengabaikan panduan moral dalam bernegara. Elit seolah bebas melakukan tindakan amoral apapun dan warganya cuek tak peduli pada perilaku amoral elit politiknya. Negara pada akhirnya terjebak dalam masalah besar. Moral hakekatnya merupakan ajaran tentang perilaku baik dan buruk yang berperan sebagai panduan bertindak manusia (Magnis Suseno, Etika Dasar, 1987). Moral sesungguhnya hal universal yang melekat pada nurani manusia yang memandu pilihan mana yang disebut baik dan mana yang disebut buruk. Secara etimologis Moral berasal dari bahasa latin yaitu mores yang berarti kebiasaan baik yang dipandu oleh nurani. Menjadi pembimbing tingkah laku dalam hidup. Pertanyaanya kemudian apa kabar moralitas dalam praktek kekuasaan di Indonesia saat ini? Dalam Kematian Moral Wajah kekuasaan di Indonesia saat ini jika dicermati setidaknya ada tiga yang tepat untuk disematkan sebagai representasi yang dapat diurai secara teoritik, yaitu wajah oligarchy, otocratic legalism, dan kleptocracy. Wajah oligarchy terlihat ketika kekuasaan dijalankan oleh kelompok kecil yang dengan pengaruhnya hanya bertujuan untuk mengeruk kekayaan dan mempertahankan kekayaan. Oleh Jeffrey Winters dalam bukunya Oligarchy (2011) disebut sebagai wealth defense, suatu politik pertahanan kekayaan yang dengan pengaruhnya melalui berbagai cara mengendalikan kekuasaan untuk kepentingan kekayaanya. Wajah autocratic legalism terjadi ketika kekuasaan memproduksi undang-undang yang dijadikan alat legitimasi praktek kekuasaan yang lebih ototiter. Penguasa melakukan perubahan-perubahan konstitusional dan atau undang-undang untuk kepentingan agenda yang tidak demokratis. (Kim Scheppele,2018). Wajah Kleptocracy oleh Stanislav Andreski dalam Kleptocracy or Corruption as a System of Government (1968), menegaskan ada semacam peran penguasa atau pejabat tinggi yang tujuan utamanya adalah menumpuk kekayaan pribadi. Mereka memiliki kekuatan untuk memperoleh kekayaan pribadi tersebut sambil memegang jabatan publik. Rizal Ramli pernah menyebut fenomena itu sebagai Pengpeng atau penguasa sekaligus pengusaha (20216). Wajah oligarchy, autocratic legalism dan kleptocracy adalah wajah kekuasaan yang nihil moralitas. Tidak ada pertimbangan-pertimbangan moral sama sekali dalam tiga praktek kekuasan tersebut. Ada semacam kematian moral. Nuraninya tidak sensitif pada kebaikan, keadilan dan kemanusiaan. Di negeri dengan tiga wajah kekuasaan yang mengabaikan moralitas itu dengan vulgar membuat kebijakan yang hanya menguntungkan dirinya atau kelompoknya atau keluarganya. Misalnya ada orang istana mendorong perusahaan negara untuk membeli saham sebuah perusahaan milik kakaknya yang secara akumulatif angkanya Triliunan rupiah. Lalu setelah dibeli harga saham perusahaan tersebut melorot terus, sehingga perusahaan negara rugi besar triliunan rupiah. Di atas kerugian itu perusahaan swastanya justru menuai untung besar triliunan rupiah dengan cara menggunakan uang negara tersebut. Ada semacam abouse of power. Suatu praktek penyelenggara negara yang mengabaikan moralitas. Ada juga kebijakan subsidi motor atau mobil listrik yang menguntungkan pengusaha, bukan rakyat. Ternyata diketahui bahwa pemilik perusahaan motor listriknya adalah orang istana dan ketua asosiasi atau Perkumpulan Industri Kendaraan Listriknya adalah orang istana juga. Ini betul-betul parah secara moral politik. Semakin parah perilaku tak bermoral dari lapisan elit kekuasaan ini ketika kita melihat praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) semakin merajalela. Anak, istri, menantu, ponakan, kakak, adik dan keluarga sang elit politik tak malu-malu berduyun-duyun ditarik dalam barisan kekuasaan ketika elit politik tersebut sedang berkuasa. Itu terjadi baik di legislatif maupun eksekutif. Parahnya itu dilakukan juga oleh elit politik yang berada paling puncak di republik ini. Di saat yang sama korupsi terjadi dimana-mana, merajalela. Indeks korupsi rezim ini anjlok hingga berada pada skor 34 dalam skala 0 sampai 100. Skor yang sangat rendah, kalah dari Timur Leste, Vietnam, Thailand , Malaysia dan Singapura. Data KPK menunjukan 60 % koruptor adalah politisi. Parahnya hanya di republik ini mantan koruptor boleh jadi anggota DPR lagi karena Undang - Undangnya membolehkan. Maka tidak heran mantan koruptor lantang berkhutbah tentang moralitas. Tindak Pidana Pencucian uang (TPPU) ternyata juga parah terjadi di republik ini. Tidak tanggung-tanggung skandal TPPU itu angkanya mencapai Rp.349 Triliun. Aparat penegak hukum juga terlibat dalam berbagai kejahatan, suatu keadaan yang sangat menyedihkan karena imoralitas merasuki di hampir semua lini entitas. Dalam tradisi etika klasik Yunani Kuno, era Aristoteles (350 SM) meyakini bahwa nalar dapat menggerakkan tindakan moral. Pengetahuan tentang yang baik dan buruk mendorong manusia untuk membiasakan diri melaksanakan apa yang baik dan menghindari hal-hal yang buruk. Maknanya, nalar manusia seharusnya mampu menggerakan tindakan moral. Jika realitas elit republik ini moralitasnya telah begitu rusak, berarti memang mungkin ada benarnya jika disebut elit bangsa ini kini telah berubah menjadi kumpulan para binatang. Sebab pembeda antara manusia dengan binatang adalah pada nalar rasionalnya. Moral republik ini betul-betul semakin rusak. Dengungan keras Lonceng kematian moral telah berbunyi ! Lalu apakah kita semua terus membiarkan ini terjadi? (*)
PD (Tinggi) IP (Rendah)!
Oleh: Natalius Pigai - Kritikus, Aktivis HAM “Anda tidak akan menjadi apa-apa, penganggur, jatuh miskin dan akan menderita karena oposisi terhadap kami pemerintah Jokowi”. PESAN seorang kader Partai Penguasa, orang dekat Joko Widodo di lingkaran Istana Negara pada Medio 2017. Membaca teks secara tersirat menyatakan bahwa negara menjamin Harta, Tata, Wanita/Pria dan hidup dan kehidupan. Suatu cara pandang filosofi Jawa dalam relasi feodalisme antara Raja dan Abdi Dalem yang disebut “Manunggaling Kawulo Gusti”. Pemerintahan kepemimpinan Presiden Jokowi dan sudah berlangsung hampir 9 tahun lebih lamanya. Apa yang dipikirkan, diucapkan, dituliskan dan dilakukan oleh pemerintah selama ini telah dinilai secara paripurna. Mengikuti beriring waktu apa yang dipertontonkan pemerintah. Ibarat panggung sandiwara juga bagai permainan yang membosankan. Oposisi bertahan pada kritikan-kritikan yang tajam dan menohok, sementara partisan defensif. Karena itu tahun yang ke 9 ini tulisan ini difokuskan untuk menilai para pendukung pemerintah Kepemimpinan Jokowi yang saya beri nama Jokowier. Siapa saja yang dimaksud dengan Jokowier? Jokowier di sini saya batasi pada Pejabat Pemerintah yang mengklaim diri orang-orang lingkaran dalam (iner sircle) Jokowi, Kerabat Penguasa, Pendukung Pemerintah baik Tim Sukses, Relawan. Namun tentu saja semua penjelasan berikut berbasis pada fakta peristiwa telah disuguhkan oleh media sebagai jendela bangsa. Ada yang terbukti, masih dalam proses hukum dan ada yang masih bersifat praduga tidak bersalah. Tidak terasa Pemerintah Jokowi telah menelan waktu 9 tahun berlalu. Sembilan tahun itu pula Jokow(i)er, Para Penguasa, Jokopedia, Seknas, Bara JP, Partai Pendukung dan simpatisan berkoar koar memuja-muji Pemerintah saban hari tanpa henti. Tanpa lelah dan tanpa bosan beriring bersama lapuknya waktu. Anda katakan pemerintahan Jokowi anti korupsi, anti kolusi dan anti nepotisme. Pemerintah memberantas mafia, kartel, Pemerintah menepati janji. Pemerintah tidak langgar HAM, komitmen pada rakyat, konsisten, demokratis, bermoral, menghormati kebebasan ekspresi. Semua kata-kata memang enak didengar dan itu adalah kesimpulan, tentu saja dihormatinya. Namun perlu dipertanyakan bagaimana bisa memberantas para oligarki (mafia ekonomi dan kartel dagang) yang menempatkan seorang Wali Kota ke Gubernur dan Presiden. Dalam waktu kurang dari 3 tahun, orbit bak meteor ditengah-tengah pemilihan berbiaya trilyunan. Kalau tidak dibekingi oleh kaum oligarki ekonomi maupun para mafia di negeri ini? Bagaimana kita bisa memastikan pemerintah ini bersih anti Kolusi, Korupsi dan Nepotisme. Sedangkan BUMN dijadikan alat banjakan puluhan orang penganggur jalanan dan Job seeker ditampung sebagai pemimpin perusahaan berplat merah? Sedangkan Ahok sempat keluarkan jurus jitu adanya sokongan para taipan dalam pemilihan Presiden. Udar Pristono diduga dibungkam. Sumber Waras sumber masalah tersimpan bara bahkan anak anak Jokowi dijadikan Wali Kota disaat Bapaknya penguasa negeri ini. Freeport tadinya Jokowi tolak bak seorang nasionalis tulen, namun akhirnya tunduk dan bertekuk lutut pada simbol imperialisme Amerika. Dengan mempermudah ijin eksport konsentrat dan menyetujui kontrak karya meski menentang amanat undang-undang minerba. Belum lagi 66 janji Presiden dihadapan rakyat Indonesia seperti membeli kembali Indosat, tidak Import pangan. Tidak utang luar negeri, menyelesaikan persoalan HAM dan lain sebagainya dan lain sebagainya. Semua riak di negeri ini bersumber dari untaian kata-kata manis yang keluar dari pemimpin negeri ini. Dalam pemerintahan ini, kita telah sedang menyaksikan (sambil ketawa) sandiwara murahan pemerintaha. Antar institusi negara dibentrokan, hukuman mati, penenggelaman sampan-sampan murahan. Negeri maritim yang paceklik, hukum Jahiliah kebiri, kapitalisasi politik laut Cina selatan yg suhu politiknya tidak pernah besar. Dan tidak akan pernah besar. Dengan pura pura dan menipu rakyat dengan mengobarkan semangat nasionalisme diatas geladak kapal perang Republik Indonesia pembelian rakyat kecil (wong cilik). Penipuan murahan dan omong kosong dan membantai terhadap orang-orang telanjang di Papua. Dengan mengatakan akan bangun rel kereta api di Papua, jalan tol melintasi tebing-tebing terjal. Selama 9 tahun, Pemimpin di negeri ini hadir tanpa perasaan, tanpa peduli terhadap kaum marjinal, orang-orang miskin. Pundi-pundi orang kaya tumbuh 10% / tahun. Pengusaha hanya tumbuh 3%. Orang miskin hanya turun 1 digit. Rangking IPM dunia bangsa ini turun 8 tingkat dari 108 di tahun 2014 dan 116 di tahun 2022, Ironi ditengah negara telah habiskan uang rakyat 20 ribu trilyun selama 9 tahun APBN. Akhirnya juga saya mengukur moralitas pemimpin dengan hanya dilihat dari Mobil ESEMKA bikinan Solo. Yang mendobrak citra seorang Wali Kota hingga menjadi presiden, orang nomor 1 Republik ini. Hari ini, ESEMKA tidak bisa diproduksi jadi mobil buatan domestik seperti Proton di Malaysia dan Mobil Nasional jaman Suharto. Meskipun konon katanya masih diperdebatkan atas kebenaran akan diproduksinya. Padahal Jokowi janjikan proyek ini tidak pernah kunjung usai sampai apa tahun yang ke-3. Dalam politik transaksional, bagaimana berkoalisi ke Pemerintahan. Selain tawaran menteri juga dugaan pembagian proyek triliunan rupiah. Bukankah pembangunan infrastruktur , jalan, jembatan dan lain-lain yang membutuhkan triliunan rupiah itu. Presiden menggunakan otoritas melalui kontraktor Pemerintah. Kemudian dengan diam-diam menggandeng kontraktor swasta dengan penunjukan langsung?. Memang berkuasa itu enak. Mumpung berkuasa, aji mumpung dan Itulah kekuasaan. Dengan berkuasa, secara leluasa bernafsu memanfaatkan kekuasaan untuk dirinya, sanak saudaranya, koleganya dan masa depan kariernya. Ada benarnya jika seorang Inggris, Lord Acton menyatakan bahwa kekuasaan cederung korup dan mau melakukan korupsi secara mutlak (power tends to korups, and will corupts absolutely). Karena itu kecenderungan pemimpin negeri ini berharap pada negara, pejabat dan sanak saudara. Berdagang pengaruh kekuasaan dan jabatan (trading in influences). Sebuah tindakan amoralitas yang berlangsung sejak Jaman (hukum hamurabi) babilonia, korupsi, kolusi dan nepotis. Seperti lazimnya negara berpolitik dan birokrasi patrimonial di negeri republik, egalitarian, rational dan democratis. Namun saya menghormati bangsa ini yang masyarakat masih anonim dalam politik. Sebagaimana Pengamat Politik berkebangsaan Australia Herber Feith pernah sampaikan. Kondisi pemilih tahun 1955 dan saat ini hanya terjadi perubahan pemerintahan dan politik. Sementara mayoritas masyarakat masih stagnan dan belum melek politik. Sehingga timbul kelompok solidaritas nekat, solidaritas buta, militan dan cenderung fanatis. Mereka tidak mengerti bahwa negeri mereka sedang dijarah dan rampok. Apapun argumentasinya, negara ini telah berbaik hati pada penguasa dan pendukung. Hidup bersedekah dari negara seperti rakyat dinegeri feodal berhadap rezeki berberkah ratu pandito raja. Memalukan!. Karena itu jangan pernah berpidato mengutif kata-kata kepahlawanan John F Kenedy. Yaitu jangan bertanya apa yang diberikan oleh negara tetapi bertanya apa yang Engkau berikan kepada Negara. Bulshit, omong Kosong. Tetap saja; Manunggaling Kawulo Gusti! Mereka yang hidup Manunggaling Kawulo Gusti tersebut yang sangat nampak saat ini. Adalah kelompok pendukung Jokowi, pendukung Ahok, pendukung Mega, pendukung Luhut, hampir semua pendukung penguasa. Para punggawa politik mereka oleh para pendukung menganggap sebagai titisan dewa. Kata-kata dan perbuatan tokoh-tokoh tersebut benar semua dihadapkan pendukung fanatik ini. Bahkan kata-kata dan nasehat atau perintah mereka dianggap tita dewa, Devine Right of the King, seperti yang pernah praktekkan oleh raja Jhon di Inggris abad ke 15 pada masa monarki absolut. Sekali lagi itulah perwujudan nyata dari apa yang disebut Manunggaling Kawulo Gusti. Semoga Jokower pendukung Jokowi tidak demikian. Sehingga orang-orang terdidik, komunitas masyarakat sipil harus membangun bangsa Madani yang Kritis dan rasional, Imparsial, objektif. Untuk menempatkan dan memilih pemimpin berdasarkan rasionalitas, akal yang sehat. Bukan atas dasar tahayul, fanatisme agama, suku, ras antar golongan. Kita sudah terlalu lama hidup di dalam kungkungan kebohongan dan terpolarisasi berdasarkan fragmentasi elit bangsa. Tidak berdasarkan fragmentasi ideologi. Jutaan rakyat menjadi nasionalis abangan pengikut seorang oknum Individu. Saya katakan bangsa bodoh saja yang menempatkan nasionalisme personifikasi oknum individu, bukan nasionalisme cinta tanah air dan bangsa. Pemimpin mesti memimpin secara rasional agar tiap warga negara hidup berkreasi dan kompetisi. Sangat ironis bahwa Kelompok yang mengaku priyayi dan abangan tidak memiliki doktrin ideologi. Ideologi mereka hanya kekuasaan, mereka tidak punya harapan dan cita-cita untuk bumi putera. Karena mereka hamba sahaja kolonial sebagai pemungut cukai. Lain dengan kelompok santri yang jatuh bangun berjuang membebaskan negeri. Semua pahlawan yang merintis lahirnya negeri ini adalah pahlawan kaum bersorban. Sudah 9’tahun memimpin negeri ini, berbagai sandiwara dipertontonkan para Jokowier. Mereka mengklaim diri sebagai pemilik kekuasaan, mampu mengontrol otoritas negara, orang dekat kekuasaan. Pola pikir ponga dan bedebah yang dipertontonkan ke publik sebagai pedagang pengaruh (Trading in influences). Bayangkan berbagai kasus suap dan korupsi yang merusak bangsa ini. Sebagian besar di lakukan karena memanfaatkan atau memperdagangkan pengaruh. Menjual nama pejabat, kedekatan dengan pejabat dan bahkan sanak saudaranya. Disaat yang sama selama 9!tahun juga menyerang para oposisi secara babi buta tanpa perasaan, tanpa berperikemanusiaan. Menyerang oposisi dengan berbagai kata-kata rendahan berbagai bentuk kekerasan verbal. Penyebutan monyet dan gorila oleh Jokowier kepada lawan politik, suatu tindakan yang relevan hanya dilakukan Simbol manusia tidak bernilai dan berbudaya karena cenderung diskriminatif dan rasialis. Demikian pula ancaman labilitas intergradasi vertikal dan horisontal yaitu antara negara dan rakyat dan rakyat dan rakyat selama ini, khususnya sebagaimana dialami oleh umat islam sungguh menyakitkan di negeri Pancasila yang beragama mayoritas muslim. Penyerangan, penganiayaan, pelarangan dan diskriminasi terhadap para ulama, kyai, ustad, habaib telah menyatakan secara lancang tentang adanya islamophobia di negeri ini. Hal ini merusak tatanan dan nilai agama yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia. Berbagai kebijakan dan tindakan pendukung Jokowier lebih mencerminkan pemanfaatan kekuasaan, jabatan dan uang hanya untuk melanggengkan kekuasan dengan cara machiavelian sekalipun. Pertimbangan utamanya adalah karena para Jokowier tidak mau terusik dari zona nyaman mereka. Jokowier, rakyat ini sudah lama menderita, seandainya negara dan rakyat ibarat bersuami dan istri sejak jaman pancarobah 6 tahun lalu, mereka sudah kasih talak 3 ke nagara. Apakah kita tahu bahwa rakyat yang hidup di pelosok nusantara ini hidup dan berpengaruh dengan adanya negara? Mereka hidup dari hasil usahanya, ketergantungan kepada alam, hidup sangat autarkis, taken for granted anugerah Ilahi. Dengan sumber daya alam yang melimpa ruah di bumi nusantara, tanpa sentuhan negara bisa hidup. Bahkan lebih aman. Mereka tidak paham Presiden operasi pasar harga daging sapi turun sampai 80 ribu. Mereka tidak tahu operasi pasar untuk turunkan harga pangan, sandang dan papan. Mereka juga tidak paham berbagai kebijakan dan regulasi tetek bengek yang dibuat oleh negara, Mereka juga tidak tahu segala kebijakan pembangunan infrastruktur jalan-jalan bertingkat, jembatan tanpa sungai, dan juga gedung-gedung pencakar langit yg menjulang. Jutaan rakyat di bumi pertiwi ini hidup bisu, tuli cenderung sebagai orang-orang tidak bersuara. Nun jauh dari hirup pikuk modern yang hanya berkutat di Jakarta, Jawa dan kota-kota tertentu. Memang power tens to corupts, semua ini akibat kita rakus berkuasa. Kekuasaan memang penting. Namun kita lalai distribusi kekuasaan bagi putra putri di seluruh nusantara. Bagaimana mungkin Presiden selalu Jawa, menteri-menteri mayoritas selalu Jawa, lantas bisa distribusi kekuasaan. Orang Ambon sudah lama menderita, 50 tahun tidak pernah menjadi menteri, meskipun Leimena pernah menjadi wakil perdana menteri. Orang Dayak pemilik pulau terbesar kedua setelah Greenland. Sampai hari ini belum ada yang menjadi menteri. Walaupun orang Dayak di Malaysia sering menjadi menteri. Sejak Indonesia merdeka sampai saat ini, orang Buton di Sulawesi Tenggara belum pernah di kasih kesempatan. Meskipun saudara-saudara kita, Laode-Laode banyak orang hebat di negeri ini. Orang Papua jadi pemberontak dulu baru dikasih menteri. Padahal bangsa Papua adalah bangsa pemberi bukan bangsa pengemis. Jong Ambon, Celebes, Borneo dan Andalas bersatu bukan tanpa cek kosong. Mereka memberi dengan cek berisi sumber daya alam yang melimpah. Selain distribusi kekuasaan, ada aspek yang paling penting adalah distribusi pembangunan. Sangat tidak adil dan cenderung diskriminatif. Ketika pulau Jawa dan Sumatera konektivitas antar daerah baik darat, udara dan laut terbangun rapi. Sementara di seberang sana, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua pembanguan jalan Trans yang dibangun saat ibu kandung saya masih kecil, sampai saat ini belum pernah selesai. Bukan berita hoax, pembangunan jalan Trans Papua dibangun tahun 1970. Ibu saya usia 15 tahun, sampai hari ini tidak ada jalan Trans Papua yang terbangun secara baik. Boleh saja percaya diri berlagak pemilik kuasa dengan Percaya Diri (PD tinggi), sementara Indeks Prestasinya (IP) rendah. Tetapi hidup manunggaling kawulo gusti. Perilaku yang memalukan karena negeri ini bukan monarki. Juga bukan oligarky, yang kekuasaan hanya berpusat pada raja dan sekelompok orang. Negeri ini REPUBLIK INDONESIA. Negeri milik bersama. Di mana kekuasaan berpusat pada rakyat Indonesia dan mereka yang mengelola hanya diberi kedaulatan oleh rakyat ( Summa Potestas, sive summum, sive imperium dominium). Karena itu esensi dari negara demokrasi. Maka satu-satunya cara untuk memperbaiki bangsa ini adalah distribusi keadilan (distribution of justice). Melalui distribusi kekuasaan ( distribution of power) dan distribusi pembangunan ( distribution of development) di seluruh Indonesia. Dan itu hanya bisa dilakukan melalui pemimpin yang dipilih secara rasional dan masyarakat Madani yang kritis tanpa pendukung fanatis, militan dan cenderung destruktif dan tahayul. (*)
ASN Golongan Rendah Ini Berani Kritik Pariwisata Indonesia Yang Terbelakang
Jakarta, FNN - Sektor pariwisata Indonesia seharusnya bisa memberikan kontribusi pendapatan negara yang cukup signifikan. Apalagi alam Indonesia memiliki aura yang unik sehingga menarik wisatawan mancanegara untuk menikmatinya. Sayang sekali para stakeholders di bidang pariwisata tidak memiliki sense of crisis untuk memaksimalkan sektor ini. Mereka hanya mengandalkan rutinitas kerja yang monoton dan menunggu perintah. Sudah selayaknya pariwisata Indonesia dikelola dengan kreatif, inovatif, dan profesional. Demikian paparan Darwin Sumang, seorang ASN Dinas Pariwisata Provinsi Sulawesi Tengah dikutip dari kanal Jejak Widodo, jaringan FNN, Jumat (19/05/2023). \"Saya prihatin sekali melihat cara kerja orang Kementerian Pariwisata, tak punya kreativitas dan kemauan untuk lebih baik,\" kata Darwin. Dalam Podcast yang berjudul \"Pariwisata Indonesia Memble, ASN Ini Bisa Menyulapnya\" Darwin mengaku punya cara khusus untuk meningkatkan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Indonesia khususnya dari luar negeri. \"Kita memiliki banyak sekali tempat wisata yang menarik, tidak kalah dengan tempat wisata yang sudah ada. Saya heran mengapa ini tidak digarap dengan serius,\" katanya geram. Kebanyakan orang, kata Darwin, kalau bicara tentang pariwisata hanya bicara soal Bali, Raja Ampat, Labuhan Bajo, dan Bunaken. Padahal ada puluhan bahkan ratusan lainnya yang tak kalah menarik. Darwin mencontohkan Taman Nasional Lore Lindu, Poso, Sulawesi Tengah yang menjadi incaran wisatawan mancanegara, namun tak mendapat perhatian dari pemerintah setempat. \"Kalau saya menjadi Menteri Pariwisata, langsung saya sulap, dan bisa melebihi Raja Ampat. Saya jamin,\" katanya bersemangat. Demikian juga Kepulauan Togian, Tojo Una-una, Sulawesi Tengah, keindahannya melebihi Bali.\"Ini hanya butuh keberanian dan terobosan saja,\" tambahnya. Dalam pengamatan Darwin, problem utama sektor pariwisata adalah infrastruktur dan kebijakan yang fleksibel. \"Problem utamanya adalah infrastuktur. Oleh karena itu butuh perhatian dari pemerintah dan investor, serta kebijakan yang mudah dilaksanakan,\" paparnya. Dari sisi sumber daya manusia (SDM), Darwin melihat perlu pemahaman yang serius tentang potensi wisata yang inovatif. \"Setiap pelaku wisata wajib punya ide baru untuk mengembangkan potensi wisata di bawah kendali pimpinan,\" tegasnya. Jangan sampai, lanjut Darwin urusan sosialiasi dan promosi saja mereka tidak tahu. \"Saya heran, website tentang pariwisata Indonesia tidak interaktif dan hanya berbahasa Indonesia. Seharusnya dilengkapi dengan bahasa asing dan mudah ditelusuri,\" paparnya. Tak hanya itu, Darwin berharap seluruh SDM sektor pariwisata harus bisa minimal Bahasa Inggris untuk memudahkan komunikasi. \"Paket-paket wisata yang ditawarkan harus berbahasa Inggris dan mudah ditelusuri, peta, transportasi, penginapan, serta tiket harus menjadi satu kesatuan yang memudahkan,\" paparnya. Mengapa hal ini penting, sebab Darwin mengaku sudah melakukannya sendiri sejak lama. \"Sudah puluhan bahkan ratusan wisatawan asing saya ajak dan layani berkeliling Indonesia,\" pungkasnya. (Ant/Sof) Simak di https://youtu.be/KjsfByj9hbE
Hary Tanoe Jualan Tionghoa
Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan MASYARAKAT Tionghoa dikenal sebagai pedagang atau jago dalam berbisnis sehingga kadang menimbulkan masalah sosial atas kesuksesannya. Bukan karena semata kedigjayaan akan tetapi efek arogansi yang mengikutinya. Sok mampu, sok kaya bahkan sok kuasa. Relasi yang \"membekingi\" sering menjadi sebab. Tapi masyarakat biasanya sudah mampu menahan diri dan memaklumi akan keadaan itu. Isu rasialis sangat menolong untuk memproteksi perkembangan bangsa atau ras Tionghoa tanpa gangguan. Untuk menyebut Cina atau Tionghoa saja warga harus menimbang ini dan itu. Undang-undang mengancam dengan delik. Akhirnya semua dibingkai dengan bahasa Warga Negara Indonesia. Terma Tionghoa atau Cina terkesan tabu untuk diucapkan. Adalah Hary Tanoesoedibjo Pembina Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) sekaligus Ketum Partai Perindo yang membuat kejutan dengan pernyataan politik bahwa masyarakat Tionghoa akan ikut Capres pilihan Jokowi. Pemilik MNC Group ini menyatakan hal tersebut saat ia bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana. Jusuf Hamka yang sesama keturunan Tionghoa keberatan atas klaim yang dikemukakan Hary Tanoe. Menurutnya tidak semua Tionghoa mengikuti apa yang menjadi pilihan Jokowi untuk Capres. Warga Tionghoa bebas melakukan pilihan politik. Di samping apa yang dinyatakan Hary Tanoe itu tidak benar, Jusuf Hamka juga minta agar Hary tidak melakukan penggiringan politik. Seberapa besar atau banyak warga keturunan Tionghoa yang menjadi jualan Hary Tanoe, masih menimbulkan pertanyaan serius. Artinya warga masyarakat menjadi ingin tahu berapa sebenarnya jumlah warga keturunan Tionghoa di Indonesia baik menurut data statistik maupun data lain? Tanpa data yang valid masyarakat dapat berasumsi sendiri bahwa warga keturunan Tionghoa itu sangat besar dan jangan-jangan terbesar di antara suku bangsa Indonesia. Transparansi peta statistik ini menjadi penting bila dikaitkan dengan banjirnya TKA asal China ke Indonesia akhir-akhir ini. Ada kerawanan rasial yang potensial meledak jika dibangun suasana tertutup dan dibiarkan bersandar pada kecurigaan. Sebaiknya terbuka saja peta suku atau ras yang ada di Indonesia. Prosentase dan sebarannya. Ini untuk mencegah terjadinya konflik ras atau suku. Ironi ternyata kekuatan Tionghoa sedang ditawarkan oleh Hary Tanoesoedibjo kepada Jokowi. Ia sedang bermain politik melalui \"pasukan\" Tionghoa yang disebutkan angka 7 juta. Hary Tanoe memang sedang jualan Tionghoa. Konon ia mendapat tawaran dari Jokowi untuk menjadi Menkominfo menggantikan Johnny G Plate yang terseret kasus korupsi. Jika benar hal itu maka Jokowi benar-benar sedang bunuh diri. Hary Tanoe partainya tidak masuk Parliamentary Threshold, ia pengusaha media yang rentan konflik kepentingan dan tentu saja ketika Hary membawa-bawa etnis Tionghoa maka friksi sosial akan menajam baik internal maupun eksternal. Bagi masyarakat pribumi jualan Tionghoa Hary Tanoe yang jika itu ditoleransi oleh Jokowi bakal membuka sentimen etnik yang potensial untuk konflik ke depan. Ketika ada yang jualan Tionghoa maka menurut hukum pasar biasanya akan ada yang beli. Dan bahayanya pembeli itu memang sudah lama menunggu. Bandung 19 Mei 2023
Eksponen Aktivis 98 Serukan Cabut Mandat Presiden
Jakarta, FNN - Eksponen aktivis 98 menyerukan pencabutan mandat presiden karena sudah melenceng dari semangat reformasi. Pernyataan sikap ini dilakukan pada acara Halal Bi Halal DPP BroNies dan 98 Pro Anies di kantor DPP BroNies, Kampung Melayu, Jakarta Timur, Kamis (18/05/2023). Dalam pernyataan sikapnya mereka menegaskan bahwa setelah 25 tahun usia reformasi, apa yang menjadi latar, motivasi dan tujuan kelahirannya terus mengalami degradasi. Bukan saja jauh dari harapan dan kenyataan, transisi pemerintahan yang mengakhiri kekuasaan pemerintahan ORBA itu, bukan saja jauh dari harapan dan dapat menemui keinginan rakyat. Perubahan yang terjadi yang ditimbulkannya justru semakin bertolak-belakang dengan perbaikan kehidupan rakyat, negara dan bangsa. Reformasi dengan eskalatif terus mewujud kebebasan yang kebablasan secara ekspresi dan kehidupan demokratisasi. Kerusakan dalam pelbagai dimensi kehidupan bernegara dan berbangsa begitu pesat sangat terstruktur, masif dan sistematik. Kontradiksi telah nyata meliputi dari apa yang digugat pada pemerintahan Soeharto. Orde reformasi jauh lebih buruk dari orde baru, bahkan lebih mengerikan kalau tidak mau disebut lebih nista. KKN tumbuh subur dan mewabah di semua sektor kehidupan. Aspek politik, ekonomi, hukum dan budaya telah menjadi alat kekuasaan yang membuat bangsa Indonesia menjadi materialistik. Bersama utang, negara terancam dalam kebangkrutan. Serbuan TKA semakin memuncaki pengangguran lokal. Kemiskinan rakyat menganga, sementara penguasa terus berbangga dengan jabatan dan harta. Birokrat kian hari menjelma menjadi aparat bejad. Kemaksiatan dan kemudharatan kini menyelimuti perjalanan bangsa menuju kehancuran. Republik menggeliat diambang perpecahan dan konflik sesama anak bangsa. Pancasila, UUD 1945 dan NKRI secara perlahan namun pasti, tinggal menjadi angan-angan. Atas dasar semua realitas itu, kami sebagai irisan dari eksponen aktifis 98 yang tak terpisahkan dari gerakan reformasi, merasa memiliki beban moral dan tanggungjawab mutlak untuk memperbaiki situasi dan kondisi bangsa tersebut. Lebih dari sekadar refleksi dan evaluasi, kami merasa perlu dan penting, meluruskan kembali jalan kebaikan reformasi. Melawan tirani, melawan oligarki dan melawan semua distorsi penyelenggaraan negara. Oleh karena itu kami menyampaikan pernyataan sikap tegas sebagai berikut: Pertama, menuntut Pemilu tahun 2024 diselenggarakan secara jujur dan adil. Kedua, meneruskan agenda reformasi. Ketiga, meminta TNI untuk bertindak tegas, cepat dan akurat untuk menyelamatkan NKRI. Keempat, cabut Mandat presiden Indonesia dan meminta pertanggungjawabannya. Kelima, memilih pemimpin yang amanah. Pernyataan sikap ditandayangi oleh puluhan eksponen aktifis 98, antara lain: 1. Sopan Ibnu Sahlan, Univ. Satyagama Jakarta 2. Indra Parindrianto, Universitas Yarsi 3. Helsusandra Syam Univ. Bufi Luhur. 4. Billy Sahulatta, UKI 5. Dwi Yuluanti, Univ. Trisakti. 6. Ebit R, Univ.Budi Luhur 7. Natalius Markus, UKI. 8. Jaya S, IST - AlKamal Jakarta 9. Deri Yanto, IISIP 10. Nadiem Khan, Untag Jakarta. 11 Ekawati , Univ. Satyagama Jakarta 12. Yusuf Blegur, Untag Jakarta. 13. Siti Ruqayah, SE Universitas Satyagama Jakarta 14. Zulfahmi Buyung,ST Institut Sains dan Teknologi Al-Kamal (ISTA) Jakarta 15 Victor Frans AP Samosir (Perbanas) 16. Guntur Siregar ( STTI) 17. Winston Herlan (Unisri) 18. Dadan Hamdani, Univ Indonesia 19.H. Muhammad Alim, SH Univ Satyagama Jakarta 20. Istiadi, SH Univ Satyagama Jakarta 21.Heru Wardana, SE Univ. Satyagama Jakarta 22.Ugiantoro, SE Univ. Satyagama Jakarta 24. Pramono, SE Univ. Satyagama Jakarta 25. Levy ISTA Al Kamal 26. Zailani ISTA Al Kamal 27. Akbar Univ. Lambung Mangkurat 28. Santi Univ. Lambung Mangkurat. 29.Hanry Basel, Univ. Negeri Jakarta. (*)
Pecah Kongsi Jokowi – Megawati Menguntungkan Anies
Jakarta, FNN – Dinamika politik saat ini menunjukkan pada kita bahwa pilihan Presiden Jokowi berbeda dengan Megawati, Ketua Umum DPP PDIP, dalam soal calon presiden yang akan mereka dukung pada pilpres 2024. Megawati mengusung Ganjar Pranowo sebagai calon presiden, sedangkan Jokowi memberi sinyal kuat akan mendukung Prabowo Subianto. Dengan demikian, bisa dipastikan bahwa keduanya sudah pecah kongsi. Ada beberapa indikator yang menunjukkan bahwa Jokowi berbeda pilihan dengan Megawati, di antaranya adalah hasil Musra menyebutkan tiga nama yang direkomendasikan menjadi capres, yaitu Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Airlangga Hartarto, di mana Prabowo Subianto mendapat dukungan terbanyak. Menanggapi rekomendasi tersebut, Presiden Jokowi yang hadir dalam acara puncak Musra hari Minggu lalu, dalam pidatonya sempat memberi pesan agar jangan salah memilih pemimpin. Jokowi berpesan agar pemimpin yang dipilih harus pemberani, paham ekonomi global, dan dekat dengan rakyat. Meski banyak yang menafsirkan bahwa sebenarya Jokowi sedang memuji diri sendiri, tetapi bisa diartikan juga bahwa hal itu sebenarnya sinyal untuk pasangan Prabowo – Airlangga, seperti dikatakan sendiri oleh Budi Arie, ketua Umum Projo, sekaligus penanggung jawab Musra. Prabowo dikenal sebagai pemimpin yang berani dan paham soal global, sementara Airlangga paham ekonomi global. Budi Arie juga membantah klaim dari wakil ketua koordinator relawan Ganjar Pranowo yang dibentuk oleh PDIP bahwa 95% relawan Jokowi sudah berpindah ke Ganjar Pranowo. Indikator yang kedua adalah terkait dengan Partai Amanat Nasional (PAN) yang sampai sekarang belum jelas mau ke mana. Tetapi, statemen terbaru dari wakil Sekjen DPP PAN, Fikri Yasin, menyatakan bahwa PAN mempertimbangkan kembali dukungannya kepada Ganjar, karena didukung oleh PDIP. Ini semacam penegasan saja bahwa PAN tidak akan mendukung Ganjar Pranowo. Pilihan PAN menjadi indikator ke mana suara Jokowi akan dialihkan karena kita sudah sering menyimak pernyataan Zulkifli Hasan, Ketua Umum PAN, bahwa pilihan capres PAN sesuai dengan pilihan Jokowi, meski masih ada dinamika di internal PAN. Indikator ketiga adalah pertemuan Ketua Umum Perindo, Hary Tanoe, dan paguyuban masyarakat Tionghoa dengan Jokowi. Mereka mengklaim bahwa tujuh juta komunitas Tionghoa mendukung capres pilihan Jokowi. Ini berarti bahwa capres yang didukung oleh Jokowi akan didukung oleh Perindo. Tiga indikator di atas dengan cukup jelas menunjukkan bahwa Jokowi tidak akan menjatuhkan pilihannya pada Ganjar Pranowo, karena Ganjar yang sekarang bukan lagi Ganjar yang dulu. Saat ini Ganjar bukan lagi proksi Jokowi, tapi dia sudah di-take over oleh Megawati sehingga tidak mungkin lagi dikendalikan oleh Jokowi. “Masalahnya, bagi Ganjar Prabowo cukup berat untuk maju ke Pilpres 2024 tanpa dukungan Pak Jokowi. Karena selama ini, elektabilitas Ganjar ada asosiasinya dengan Jokowi,” ujar Hersubeno Arief, wartawan senior FNN, dalam Kanal You Tube Hersubeno Point edisi Kamis (18/5/23). Selain itu, kata Hersu, saat ini Jokowi juga masih menjadi presiden sehingga punya infrastruktur untuk memenangkan Prabowo. Tanpa Jokowi, Ganjar hanya bisa mengandalkan suara PDIP. Sementara, Ganjar sendiri bukan figur yang mandiri. Berbeda dengan Prabowo Anies yang memiliki elektabilitas sendiri. Jadi, kalau selama ini lembaga-lembaga survei mengatakan bahwa elektabilitas Ganjar paling tinggi, itu karena ada dua faktor tadi, yaitu PDIP dan Jokowi. Dapat dipastikan bahwa dukungan Jokowi ke Prabowo akan membuat hasil survei berubah mengunggulkan Prabowo. Menurut Hersu, perubahan hasil survei juga menunjukkan bahwa selama ini lembaga survei memang dikendalikan oleh istana. PDIP tidak bermain dengan lembaga survei. Jadi, kalau Prabowo didukung oleh istana, pasti lembaga survei juga akan lari ke Prabowo. Hersu juga mengatakan bahwa kondisi ini menguntungkan Anies, karena selama ini Jokowi berusaha agar pada pilpres 2024 hanya ada dua pasang calon. Oleh karena itu, Jokowi berusaha sekuat tenaga untuk menjegal Anies. Sekarang, Ganjar bukan lagi dalam kendali Jokowi. Dengan situasi semacam itu, sepertinya tidak mungkin Jokowi tetap memaksakan hanya ada dua pasang calon, sehingga mungkin Jokowi akan melepas agar ada tiga pasang calon. Jokowi tidak lagi punya kepentingan untuk mengendalikan semua pasangan calon. Sepertinya Jokowi akan fokus memenangkan Prabowo sebagai calon presiden yang didukungnya.(sof)
Memahami Pertikaian Jokowi - Surya Paloh
Oleh Smith Alhadar - Penasihat Institute for Democracy Education (IDe) KORUPTOR memang harus dihukum. Hatta besok langit akan runtuh. Koruptor adalah musuh semua: Tuhan, rakyat, bangsa, dan negara. Kemarin, 17 Mei, Kejaksaan Agung menahan Menkominfo Johnny G Plate dari Nasdem terkait kasus korupsi proyek BTS Kominfo yang merugikan negara hingga Rp 8 triliun. Sementara, pada 2022, Johnny tercatat memiliki kekayaan Rp 192 miliar. Lepas dari apakah Johnny korupsi atau tidak, kasusnya tak bisa dilepaskan dari isu pilpres. Jokowi kecewa berat atas sikap Ketum Nasdem Surya Paloh mengusung Anies Baswedan sebagai bakal capres partainya. Dukungan Nasdem, yang diikuti PKS dan Demokrat, memungkinkan Anies menjadi salah satu bacapres yang akan bersaing di pilpres 2024. Ternyata, hal yang terlihat normal ini, dipandang Jokowi sebagai pembangkangan Paloh terhadap otoritasnya. Otoritas apa? Jokowi menganggap pilpres sebagai mainan di bawah wewenangnya. Memang sebagi partai pendukung pemerintah, Nasdem diberi 3 kursi menteri. Tapi melalui media miliknya -- koran Media Indonesia dan Metro Tv -- kontribusi Paloh bagi kemenangan Jokowi dalam dua pilpres terakhir sangat besar. Kendati mandatnya sebagai presiden akan tuntas tahun depan karena itu Nasdem berikhtiar mencari calon pengganti Jokowi yang dipandang sesuai kebutuhan bangsa saat ini -- Jokowi tak bisa menerimanya. Di mata Jokowi, Anies adalah antitesanya. Karena itu diduga ia tak bakal melanjutkan legacy dan program pembangunan Jokowi. Salahnya di mana? Di mana-mana di negara demokrasi, pilpres bertujuan menghadirkan pemimpin baru. Tentunya dengan gagasan-gagasan baru juga. Pilpres berangkat dari kesadaran bahwa tatanan sosial, aspirasi rakyat, dan tantangan internal serta eksternal negara senantiasa berubah, sehingga diperlukan pemimpin baru yang sesuai dengan setting sosial dan politik baru. Selain untuk memungkinkan terjadi sirkulasi pemimpin secara teratur, pilpres juga membuka peluang bagi terjadinya koreksi terhadap kebijakan pemerintahan sebelumnya. Maka, menjadi aneh manakala Jokowi menentang premis ini. Ia ingin penggantinya secara 100% melanjutkan legacy dan program pembangunannya. Kalau saja legacy-nya bisa dipertanggungjwbkan secara moral dan saintifik serta program pembangunannya terbukti berhasil, mungkin ada rasionalitas dan moralitas di situ untuk dilanjutkan penggantinya. Masalahnya, legacy Jokowi membahayakan negara dan menyengsarakan rakyat. Sebut saja isu IKN yang tidak layak dan tidak realistik untuk diwujudkan. Proyek ini menyita APBN yang cukup besar di tengah kemiskinan rakyat yang meluas. Tadinya, Jokowi berjanji IKN akan sepenuhnya didanai swasta. Faktanya, hingga hari ini tak ada investor yg tertarik untuk berinvestasi di sana meskipun pemerintah menawarkan sejumlah fasilitas menggiurkan bg mereka. Kenyataan ini secara eksplisit menegaskan bhw proyek ini berpotensi mangkrak. Apalagi dilakukan tanpa studi kelayakan dan amdal yg diperlukan. Legacy lain Jokowi yang bermasalah adalah sejumlah Omnibus Law, seperti UU Cipta Kerja, UU Minerba, dan UU Kesehatan, yang kesemuanya berpihak pd kepentingan oligarki. Belum lagi isu korupsi dan sejumlah proyek infrastruktur yang tak operasional. Program pembangunannya juga tak layak untuk ditiru karena hampir semuanya tak mencapai sasaran. Rata-rata pertumbuhan ekonomi era Jokowi hanya tumbuh 4%. Itu pun yang menikmati adalah oligarki. Sebaliknya, rakyat bertambah miskin. Di tengah kemerosotan daya beli masyarakat, pemerintah membebani mereka dengan berbagai pajak untuk menutupi APBN yang jebol dan bayar utang. Lalu, legacy dan program pembangunan mana yang perlu dilanjutkan? Sebenarnya masih bnyak yang perlu ditulis untuk menggambarkan kegagalan pemerintah, namun ruang untuk itu terbatas untuk diungkap. Maka, atas dasar pikiran dan moralitas apa yang dapat menjustifikasi keinginan Jokowi agar penggantinya meneruskan legacy dan program pembangunannya? Apakah bakal cawapres sedemikian bodohnya sehingga tak dapat memajukan bangsa kalau tidak menjiplak semua yang datang dari pemerintahan sebelumnya? Hal-hal yang mungkin menjadi alasan Jokowi berpihak pada bakal capres yang sesuai dengan seleranya adalah, pertama, ia menganggap legacy dan program pembangunannya berhasil sehingga perlu dilanjutkan tanpa perlu dipertanyakan. Aneh bkn? Kedua, sesungguhnya ia menyadari banyak legacy-nya yang bermasalah terkait korupsi, konstitusi, demokrasi, kebebasan dan HAM. Karena ia diduga memperalat lembaga hukum untuk meraih tujuan politiknya, otomatis ia berprasangka presiden penggantinya berpotensi melakukan hal yanf sama, yang dapat membawanya ke meja hijau. Ketiga, ia ditekan oligarki -- mungkin juga oleh Cina -- untuk menyingkirkan Anies Baswedan. Memang hrs diakui Anies dilihat sebagai bakal capres yang berbahaya bagi kepentingan mereka. Ia punya rekam jejak dalam soal ini. Sebagaimana kita ketahui, Anies menghentikan 13 pulau reklamasi milik oligarki bernilai Rp 500 triliun. Yang juga mengagetkan mereka, ia tak mempan dirayu, ditekan, diancam, dan disogok untuk meloloskan proyek itu. Sikap Jokowi yang pro-oligarki bukan lagi rahasia. Secara kasat mata hal itu dapat dilihat pada kebijakan-kebijakan dan produk-produk Omnibus Law. Keempat, Jokowi ingin mengakhiri mandatnya dengan jaminan keamanan bagi keluarganya, terutama bisnis dan karier politik anak-anak dan menantunya. Tahun lalu, Ubedillah Badrun, dosen UNJ, melaporkan anak-anak Jokowi ke KPK terkait dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Terkait politik, Gibran Rakabuming kini adalah Walikota Solo yang berambisi menjadi presiden seperti bapaknya. Putera Jokowi yang lain, Kaesang Pangarep, diplot menjadi Walikota Depok pada pemilu mendatang. Menantunya, Bobby Nasution, adalah Walikota Medan yang tentunya punya keinginan untuk menduduki jabatan lebih tinggi lagi. Tapi bisnis dan karier politik keluarga Jokowi sangat sulit untuk berkembang -- bahkan mungkin dipermasalahkan presiden pengganti -- tanpa kerja sama dan dukungan oligarki. Dalam konteks ini, Anies tak dpt diharapkan mendukung kepentingan keluarga Jokowi. Dari persprktif inilah kita bisa memahami ketakutan Jokowi pada Anies. Sementara, Surya Paloh melihat Anies dari perspektif yang berbeda. Pertama, ia prihatin melihat perpecahan masyarakat sejak 2014 karena perbedaan pilihan politik. Anies, ijka dipasangkan dengan bakal cawapres dukungan Jokowi, akan menyatukan kembali masyarakat. Ini penting agar pemerintah lebih produktif dalam menjalankan pembangunan. Juga untuk membuat kebijakan luar negeri yang lebih berdaya. Kedua, Anies adalah tokoh muda bangsa yg cemerlang. Hal itu dapat dilihat dari kinerja dan rekam jejaknya ketika memimpin Jakarta. Di bawah kepemimpinannya, bukan hanya tercipta harmoni sosial, tapi juga ia mampu menyulap Jakarta menjadi kota modern yang nyaman bagi semua lapisan sosial. Ketiga, Anies disambut komunitas internasional karena integritas, kapasitas intelektual, dan komitmennya yang kuat pada sistem demokrasi. Hal ini penting ketika Indonesia harus bekerja sama dengan dunia global untuk mengakselerasi tujuan-tujuan nasional yang ingin dicapai. Memang di era globalisasi, kebijakan luar negeri yang efektif dapat berkontribusi signifikan bagi kepentingan nasional. Apalagi, legacy yang akan ditinggalkan Jokowi banyak masalahnya. Sayang, Jokowi tidak bisa menerima alasan rasional apapun terkait pencapresan Anies. Ditahannya Johnny G Plate sebagai tersangka tindak pidana korupsi sesungguhnya bertujuan ganda. Pertama, ia peringatkan Nasdem akan bahaya yang mungkin dihadapinya. Kedua, ia memperingatkan semua pihak terkait untuk tidak coba-coba bersentuhan dengan Anies. Dengan demikian, lebih mudah bagi Jokowi untuk mengatur koalisi parpol dengan bakal capres yang diinginkan. Pertikaian Ketum Golkar Airlangga Hartarto dan Ketum PKB Muhaimin Iskandar terkait posisi bakal cawapres bagi Prabowo akan mudah diselesaikan. Toh, kedua tokoh ini merupakan pasien rawat jalan. Penahanan Johnny juga merupakan peringatan kepada Ketum PDI-P Megawati Soekarnoputri untuk tidak bermanuver untuk membuyarkan skenario Jokowi. Toh, Ganjar Pranowo yang telah dicapreskan PDI-P merupakan pasien rawat jalan juga Jokowi bisa mencelakakan PDI-P bila tiba-tiba ia memerintahkan KPK mempersangkakan Ganjar dalam tipikor e-KTP. Terkait perselisihan dengan Paloh, tampak Jokowi agak ceroboh. Sejauh ini Paloh masih berkomitmen mendukung pemerintahan Jokowi dan tidak mempermasalahkan penahanan kadernya meskipun ini bisa berpengaruh pada perolehan suara Nasdem dalam pemilu serentak mendatang. Namun, kalau tuduhan terhadap Johnny tak terbukti dan Jokowi melangkah lebih jauh untuk menghancurkan Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) yang mengusung Anies, hal itu sangat mungkin akan merugikan Jokowi. Dengan dua media mainstream itu, sesungguhnya Paloh sangat powerful. Ia bisa mempengaruhi perolehan suara bakal capres-cawapres Jokowi dalam pilpres mendatang. Kiprah bisnis dan karier politik anak-anak dan menantu Jokowi bisa juga terancam. Lebih daripada segalanya, Jokowi akan diminta pertanggungjwban bila pengganti yang didukungnya melanjutkan kerusakan yang dibuatnya. Wallahu\'alam bissawab! Tangsel, 18 Mei 2023
Anies dan Masa Depan Korupsi di Indonesia
Oleh Dr. Syahganda Nainggolan - Sabang Meraukr Circle. PARTAI Nasdem pendukung Anies Baswedan mengalami bulan-bulanan nitizen karena salah satu pimpinannya, Jhony Plate, menterinya Jokowi, ditangkap kemarin karena kasus korupsi. Surya Paloh (SP) , menanggapi langsung penangkapan itu dengan keras. Dalam video online detik20 menyatakan partainya menerima kenyataan ini. Namun, dia menantang agar pertama, aliran dana dari Jhonny Plate diungkapkan semua. Siapa aja yang kebagian. Kedua, dia meminta semua kementerian dan lembaga negara lainnya juga diselidiki secara \"fair\", agar rakyat tahu tentang bobroknya Indonesia saat ini soal korupsi. SP yang selama 5 tahun pemerintahan Jokowi \"menguasai\" Kejaksaan Agung, karena Jaksa Agungnya kader Nasdem, tentu saja memiliki data tentang korupsi di semua jajaran lembaga pemerintahan. Sehingga, tantangan SP ini dapat diisyaratkan sebagai perang terhadap Jokowi, yakni tebas semua, jangan tebang pilih. Soal tebas semua dan jangan tebang pilih telah menjadi isu lama dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Memburu koruptor di Indonesia tidaklah susah, mirip seperti berburu di kebon binatang saat pemerintah Jokowi berkuasa. Dalam perumpamaan berburu di kebon binatang, maka \"like and dislike\" akan menjadi unsur penting membidik siapa yang ditangkap hari ini dan besok. Mahfud MD dalam \"Mahfud: Sekarang Noleh Ke mana Saja Ada Korupsi, Mengapa Dulu Kita Reformasi \", Kompas online, 21/3, mengatakan “Sekarang saudara noleh ke mana saja ada korupsi kok. Noleh ke hutan, ada korupsi di hutan, noleh ke udara, ke pesawat udara, ada korupsi di Garuda (Indonesia), asuransi ada, koperasi korupsi, semuanya korupsi. Nah, ini sebenarnya mengapa dulu kita melakukan reformasi?” Dia menambahkan, jika di sektor pertambangan saja kita bebas korupsi, setiap warga negara akan punya penghasilan atau bisa disubsidi Rp. 20 juta tanpa perlu bekerja. Sebuah ironi besar soal korupsi kita. Tentu saja dalam setiap rezim ada persoalan dalam pemberantasan korupsi. Namun, di era Jokowi, Transparansi Internasional memberikan nilai terburuk sepanjang sejarah Indonesia ada saat ini, yakni indeks 34. Padahal indeks ini dikeluarkan tahun 2022, sebelum kasus menghebohkan TPPU Rp. 349 Triliun di Kementerian Keuangan terungkap. Jika hal ini dimasukkan, maka indeks korupsi kita akan semakin terpuruk lagi. Karena korupsi sudah dianggap sebagai norma normal di Indonesia saat ini, maka tidak mengherankan koruptor-koruptor yang baru keluar penjara langsung tancap gas sebagai timses capres mendatang. Kemarin saya tanyakan hal ini kepada Karni Ilyas, ketika saya diundang di ILC. Perbincangan di meja makan sebelum acara dimulai, karena Rocky Gerung menggugat koruptor-koruptor yang baru keluar penjara bukan tiarap, malu, eh malah tampil di TV dan pasang baliho besar di mana2 serta disambut bak pahlawan. Saya bertanya kepada bang Karni apakah mungkin ILC nantinya mengundang koruptor-koruptor itu sebagai pembicara di ILC? Karni memastikan tidak ada mantan Napi koruptor yang akan diundang di ILC. Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi Tiga capres yang akan bertarung adalah Ganjar, Prabowo dan Anies ke depan. Ganjar mewakili pikiran Soekarno alias Orde Lama. Prabowo adalah menantu Suharto, mewakili pikiran Orde Baru. Dan Anies adalah mahasiswanya pejuang era Reformasi98, sehingga mewakili spirit Reformasi. Beban era reformasi, seperti yang dituntut mahasiswa saat perjuangan menumbangkan Suharto kala itu adalah Demokrasi dan Hancurkan korupsi. Era Sukarno dan Suharto demokrasi tidak dikenal sama sekali. Pemimpinnya tangan besi. Korupsi merajalela tak bisa dikritik. Tapi, di era reformasi era Jokowi ini ternyata situasi lebih parah. Awalnya, sebelum era Jokowi, memang demokrasi terlalu bebas. Sehingga mencemaskan. tapi, di sisi lain korupsi diberantas dengan melahirkan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Sebelum Jokowi datang, semua koruptor seperti tikus yang mencuri dengan sembunyi, saat ini mereka terang-terangan kembali. Unsur lainnya tentunya karena budaya korupsi yang terlalu berlebihan saat ini. Untung nitizen membongkar kemewahan-kemewahan pejabat saat ini dengan istilah Flexing. Netizen membongkar harga tas menantu Jokowi merk Hermes, harga tas pejabat lainnya, yang ini bermula dari mobil mewah Rubicon anak pejabat pajak Rafael Alun. Budaya korupsi ini berasal dari budaya glamour yang entah bagaimana menjadi trend elit. Padahal rakyat kita menurut Bank Dunia dengan standar resmi meraka, mencapai 40% alias hampir setengah rakyat kita miskin. Anies dan Tantangan Menghancurkan Korupsi Nasdem adalah salah satu dari 3 partai pendukung Anies. Dua partai lainnya, PKS dan PD adalah parpol oposisi, sehingga selama sepuluh tahun ini mereka tidak banyak dihebohkan oleh isu korupsi. Kecuali korupsi ditingkat daerah. Jika melihat Nasdem tidak takut dalam isu penangkapan Johnny Plate, menterinya Jokowi dari Nasdem, maka spirit pemberantasan korupsi ke depan, Jika Anies memimpin bangsa kita akan lebih mudah. Karena, hanya dari sisi Nasdem lah yang mungkin mempengaruhi Anies dalam isu ini. Apalagi pernyataan Surya Paloh yang minta buka-bukaan secara total. Kembali kepada cita-cita Anies Baswedan, maka cita-cita Anies adalah sesuai dengan spirit Reformasi 98, yakni Demokrasi dan Hancurkan Korupsi. Itu yang sering disinggung Anies sebagai meluruskan kembali arah bangsa. Dengan Demokrasi dan Hancurkan Korupsi akan menjadi jalan mulus bagi pembangunan yang mensejahterakan rakyat miskin. Namun, tantangan terhadap Anies begitu besar. Penangkapan petinggi Nasdem ini jika dibumbui dengan kompetisi politik yang saling menjatuhkan, akan membuat goncangan besar pada soliditas dan kekuatan pendukung Anies. Oleh karena itu, seluruh kekuatan pendukung Anies, kususnya dalam jajaran elit, harus bersumpah bahwa peperangan ini harus diluruskan spiritnya. Pertama, semangat untuk sekadar berkuasa, harus berganti semangat untuk menghancurkan korupsi itu. Misalnya, kontrak-kontrak politik antar partai pendukung harus memasukkan antara lain, cita-cita meningkatkan index persepsi korupsi sebesar 20 poin selama berkuasa. Kedua, memberlakukan hukuman mati bagi koruptor. Ketiga, meminta kepada Surya Paloh, membongkar semua catatan korupsi yang dia miliki datanya kepada publik, minimal selama 5 tahun kader Nasdem jadi Jaksa Agung. Jika rakyat yakin bahwa Anies dan pendukungnya berjuang total, maka semangat perjuangan memenangkan Anies akan lebih mudah. Dan kemenangan yang dihasilkan oleh spirit anti korupsi, tentu akan membuka jalan untuk menuntaskan anti korupsi selama berkuasa nantinya. Penutup Anies adalah capres Orde Reformasi. Sementara lainnya mewakili asosiatif Orde Lama dan Orde Baru. Orde Reformasi tuntutannya adalah Demokrasi dan Hancurkan Korupsi. Anies tentu mengalami sedikit ganjalan ketika pimpinan partai pendukungnya, Johnny Plate, menterinya Jokowi, ditangkap kasus korupsi BTS. Berbeda dengan korupsi kakap Bansos dan Benur, yang mempengaruhi dua capres lainnya, kasus Johnny Plate ini sudah dekat pemilu. Efeknya akan lebih terasa. Rakyat tentu percaya Anies mempunyai spirit anti korupsi yang maha dahsyat. Namun, tentunya hal ini perlu direvitalisasi setelah kejadian Johnny Plate. Misalkan, tantangan Surya Paloh untuk tebang habis bukan tebang pilih dalam penangkapan koruptor. Anies harus meminta Surya Paloh, yang memiliki data korupsi sepanjang kadernya dulu menjadi Jaksa Agung era pertama rezim Jokowi, membocorkan semua data yang ada ke masyarakat. Biar semua transparan. Selebihnya, Anies kembali harus menegaskan janjinya bahwa meluruskan arah bangsa itu adalah arah Reformasi Politik 98, Tegakkan Demokrasi dan Hancurkan Korupsi. Artinya, menaikkan indeks persepsi korupsi yang hancur ditangan Jokowi, setinggi-tingginya. (*)
Kerja Keras Timnas U-22 Menangkan SEA Games 2023 Mendapat Apresiasi
Jakarta, FNN - Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengapresiasi perjuangan dan kerja keras Tim Nasional (Timnas) Indonesia U-22 yang berhasil memenangkan laga sepak bola di SEA Games Kamboja 2023.\"Mengapresiasi atas seluruh perjuangan, kerja keras, dan pengorbanan yang diberikan Timnas U-22, mulai dari pemain, pelatih, hingga staf beserta ofisial yang telah membawa kemenangan bagi Indonesia dalam laga sepak bola SEA Games 2023 di Kamboja,\" kata Bambang Soesatyo dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.Dia mengatakan MPR meminta Pemerintah memberikan penghargaan terbaik kepada Timnas Indonesia U-22 atas kemenangan tersebut.Dia juga meminta Pemerintah terus berkomitmen terhadap misi mendorong dunia persepakbolaan Indonesia untuk terus maju dan berprestasi dalam setiap laga sepak bola, baik di tingkat nasional maupun internasional. Dengan demikian, dukungan penuh dari Pemerintah dan dunia sepak bola mampu terus mengharumkan nama bangsa.Kemudian, Bambang mengingatkan Timnas Indonesia U-22 agar tidak berpuas diri atas kemenangan yang didapat.Menurut dia, kemenangan itu sepatutnya menjadi titik awal dari perjalanan sepak bola Indonesia untuk terus menggapai semangat lebih tinggi dalam mengharumkan nama bangsa.\"Timnas Indonesia U-22 justru perlu menjadikan momentum ini sebagai titik awal dari perjalanan sepak bola Indonesia untuk terus menggapai asa yang lebih tinggi,\" ujar Bambang Soesatyo.Timnas Indonesia U-22 mengakhiri penantian medali emas selama 32 tahun dari cabang olahraga sepak bola berkat kemenangan 5-2 atas Thailand pada pertandingan final di Stadion Nasional, Phnom Penh, Kamboja, Selasa malam (16/5).Garuda Muda tidak memperoleh kemenangan itu dengan mudah. Setelah unggul 2-0 pada babak pertama, Thailand mampu menyamakan kedudukan menjadi 2-2 menjelang waktu normal usai. Namun, Indonesia kemudian mampu mengamankan medali emas berkat tiga gol tambahan pada masa tambahan waktu.(sof/ANTARA)
Biaya Pilpres 2024 Capai Rp100 Triliun, Fahri Hamzah Minta Wapres Terpilih Tidak Lagi 'Diparkir' atau Dijadikan 'Ban Serep'
JAKARTA, FNN - Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah berharap agar wakil presiden (wapres) yang akan datang difungsikan, tidak seperti sekarang hanya \'diparkir\' dan dijadikan \'ban serep\' aja begitu terpilih. Padahal posisi wapres yang akan datang, kiprahnya sangat dinantikan bersama presiden terpilih untuk mengakhiri kompleksitasnya krisis global secara nasional. \"Pilpres 2024 kira-kira biaya pemilihannya mencapai Rp 100 triliun. Begitu terpilih, selama 5 tahun kita gaji mereka dengan gaji yang besar. Kita kasih istana dan kita kasih pengawalan VIP. Itu semua sangat mahal, dan membebani anggaran negara setiap tahun. Tetapi posisi wakil presiden nyaris tidak ada fungsinya atau difungsikan,\" Fahri Hamzah dalam Gelora Talk \'Meneropong Pengaruh Calon Wakil Presiden pada Pilpres 2024, Rabu (17/5/2023) sore. Menurut Fahri Hamzah, hal ini menjadi kritik Partai Gelora selama ini, bahwa Pemilu 2024 diharapkan dapat menghadirkan kepemimpinan yang baik untuk menyelesaikan krisis saat ini. Sehingga calon wakil presiden yang dipilih tidak sekedar dijadikan alat untuk memperkuat elektablitas dan popularitas calon presidennya saja. Tetapi, begitu terpilih posisi wakil presiden juga harus difungsikan. \"Para intelektual sekarang semua terganggu dengan kondisi saat ini, apa boleh buat. Kalau bahasanya bang Miing (Dedi Miing Gumelar) dia ditaruh hanya untuk diparkir, disuruh berlayar untuk tidak dilihat kembali. Itu yang kita sayangkan, tapi mudah-mudahan kita bisa berharap lebih di pemilu kali ini,\" katanya. Dalam Gelora Talk yang dimoderatori Wakil Sekretaris Jenderal bidang Komunikasi Organisasi DPN Partai Gelora ini, Fahri Hamzah dengan tegas menyatakan, bahwa sejak awal terpilihnya pasangan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden KH Ma\'ruf Amin diharapkan dapat membawa agenda rekonsiliasi untuk mengakhiri konflik politik dan pembelahan di masyarakat yang terjadi selama dua pemilu, Pemilu 2014 dan Pemilu 2019. \"Tapi sayangnya itu tidak difungsikan, Pak Ma\'ruf lebih difungsikan Jokowi agar tidak ada konflik dengan wakilnya. Padahal Pak Ma\'ruf itu, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, seorang kiayi besar yang bisa difungsikan untuk meletakkan dasar-dasar moderasi keberagamaan secara riil,\" ujarnya. \"Beliau juga sebagai ketua dewan wakaf, yang seharusnya menjadi champions pengembangan ekonomi syariah, yang bisa difungsikan untuk masifnya pertumbuhan ekonomi kelas bawah dan menengah yang membutuhkan bantuan permodalan,\" imbuh Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019 ini. Fahri Hamzah menilai sulitnya mencari figur calon wakil presiden yang kuat, adalah bagian dari krisis kepemimpinan selama ini. Dalam menghadapi krisis saat ini, menurutnya diperlukan sosok wapres seperti Muhammad Hatta (Bung Hatta). \"Pada awalnya Bung Hatta diletakkan secara simbolik, tetapi kehadirannya disamping Bung Karno (Soekarno) telah membawa inspirasi kepada kita. Bung Hatta itu, seorang intelektual besar, ilmuwan, paham tentang negara dan juga seorang ekonom yang telah meletakkan fondasi bagi perekonomian nasional. Itu bentuk fungsi representasi simbolis yang luar biasa dari seorang wakil presiden,\" katanya. Jadi Rebutan Cawapres Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Poltracking Indonesia Hanta Yuda mengatakan, posisi wakil presiden dalam sistem presidensil memang menjadi rebutan, karena memiliki peran strategis dalam pemerintahan. \"Di Pemilu 2024 ini, rebutannya memang luar biasa, meski fungsinya biasa-biasa saja. Tetapi posisi wakil presiden itu, strategis secara pemerintahan,\" kata Hanta Yuda. Dalam sistem presidensil, kata Hanta, baik presiden maupun wakil presiden merupakan institusi tunggal dengan nama lembaganya, Lembaga Kepresiden. \"Tetapi dalam fungsi sistem ketetanegaraan, wakil presiden itu ban serep sebagai pengganti presiden ketika presiden berhalangan dalam kondisi tertentu. Namanya, ban serep seperti kendaraan saja, akan difungsikan kalau ban kita bermasalah, baru ban itu diganti untuk menjalankan fungsi presiden,\" katanya. Fungsi selanjutnya, adalah mewakili presiden dan menjalankan tugas kepresidenan, serta membantu tugas presiden yang didelegasikan dalam beberapa bidang atau tugas. \"Kita bisa ambil contoh peran tugas wakil presiden di masa Presiden Soekarno yang merupakan Dwi Tunggal dengan Bung Hatta. Atau wakil Presiden dimasa Pak Harto (Soeharto), Gus Dus (KH Abdurrahman Wahid), Ibu Mega (Megawati Soekarnoputri), Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) dan Pak Jokowi (Jokowi). Semua ada perbedaannya,\" ujar Hanta. Dalam situasi saat ini, lanjutnya, akan dicari wapres yang akan saling melengkapi, sepertii memiliki pengalaman politik dan leadership, atau seorang teknokrat, serta menentukan dalam elektoral dan elektabilitas. \"Tapi sehebat apapun komposisinya, kalau tidak memenangkan elektoral tidak ada gunanya. Sebab, Pilpres sekarang tidak ada incumbent, semua elektablitas capresnya marginnya sangat tipis, tidak ada yang menyakinkan diatas 60 persen,\" katanya. Kondisi tersebut, tentu saja membuka peluang adanya calon wapres yang dibutuhkan, bukan calon wapres yang diinginkan, karena basisnya pada periode pertama ini adalah elektabilitas dan logistik. \"Jamannya Pak SBY dan Pak Jokowi bisa menjadi contoh, yang menjadikan pak JK (Jusuf Kalla) sebagai cawapresnya di periode pertama, itu cawapres yang dibutuhkan. Tetapi kalau cawapres yang diinginkan, bisa dilihat di periode kedua, ada Pak Boediono di jamannya Pak SBY dan KH Ma\'ruf Amin di masa Pak Jokowi,\" katanya. Karena itu, pada saat ini para king maker atau ketua umum partai politik sangat menentukan dalam penentuan calon wakil presiden, sementara capresnya sendiri tidak bisa menentukan, karena tidak memiliki tiket pilpres. \"Di periode pertama ini, cawapres yang dibutuhkan lebih penting daripada yang diinginkan. Cawapres juga harus memiliki aceptabilitas yang tinggi kepada ketua umum partai. Kalau tingkat kesukaan Ibu Mega rendah, jangan mimpi bisa jadi cawapresnya PDIP. Faktor tingkat kesukaan king maker ini, sangat menentukan dibandingkan kesukaan capres terhadap cawapresnya,\" katanya. Politisi PDIP Budiman Sujatmiko mengatakan, sejak awal fungsi wakil presiden selalu direpresentasikan dengan kultur, tidak sekedar representasi kedaerahan saja, karena Indonesia sangat beragram. \"Jadi tidak boleh kecocokan itu dipertaruhkan, semangatnya harus representasi, ya seperti Bung Karno dengan Bung Hatta. Itu representasi,\" kata Budiman. Sehingga cawapres PDIP nantinya, tidak pernah menggunakan ukuran elektoral atau logistik, tetapi selalu merepresentasikan ke daerahan dan kultur politik aliran. \"Seperti Pak Hamzah Haz, Pak Hasyim Muzadi dan KH Ma\'ruf Amin itu, tidak berbicara soal logistik, tetapi berbicara prevensi politik Islam, representasi aliran politik. Jadi kalau capresnya PDIP, wakilnya pasti santri. Kalau Pak Hasyim atau Kiayai Ma\'ruf Amin punya elektoral, tapi itu bukan jadi ukuran, itu konsekuensi politik saja,\" katanya. Budiman memastikan cawapres PDIP akan berasal dari santri, dari kalangan nahdlyin (NU). Namun, ia belum mau membocorkan siapa cawapres dari nahdliyin yang akhirnya dipilih. \"Meskipun PDIP memiliki golden tiket, bisa saja kadernya dari PDIP. Tetapi karena Pilpres bukan sekedar masalah administrasi saja atau rutinitas demokrasi, tetapi juga merupakan kehadiran bersama. Maka kita mengakomodasi fungsi-fungsi aliran kultur politik, tidak sekedar kedaerahan, elektoral atau logistik saja,\" tegasnya. Sedangkan Ketua Bappilu Partai NasDem Effendi Choirie (Gus Choi) mengatakan, Anies Baswedan yang merepresentasikan masyarakat Jawa Tengah (Jateng) dan Jawa Timur (Jatim). \"Kita cari figur yang merepresentasikan rakyat Jateng dan Jatim, baik secara sosio kultural dan sosio politik dan lainnya,\" kata Gus Choi. Ia mengatakan koalisinya sudah mengkalkulasi kelemahan dan kelebihan yang dimiliki Anies. Meski demikian, Gus Choi enggan membeberkan nama-nama yang masuk kriteria cawapres Anies tersebut Gus Choi mengakui Anies masih lemah di kawasan Jateng dan Jatim. Karenanya, ia mengatakan figur cawapres Anies nantinya akan merepresentasikan kawasan tersebut. \"Sehingga makin lebih dekat kemungkinan keterpilihannya,\" kata dia. Gus Choi mengatakan proses pemilihan cawapres mempertimbangkan representasi yang beragam di Indonesia. Baginya, aspek representasi ini masuk psikologis warga Indonesia ketika memasuki perhelatan pemilu. Ia mencontohkan Presiden Joko Widodo memilih Ma\'ruf Amin sebagai cawapres pada Pilpres 2019 lalu lantaran representasi dari kalangan kultural keagamaan. \"Lalu ada bagaimana kemudian menang. Semisal kalau presiden enggak punya duit cari wapres yang punya duit,\" kata Gus Choi berkelakar. (ida)