ALL CATEGORY

Petugas Partai Bertentangan dengan Konstitusi

Jakarta, FNN - Analis politik dari Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting menegaskan, pernyataan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Sukarnoputri soal istilah petugas partai bagi kader yang menjadi Presiden/Wakil Presiden, Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, tidak sesuai dengan konstitusi UUD 1945.  “Mereka yang mendapatkan mandat dari rakyat untuk menjadi Presiden/Wakil Presiden, Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, berdasarkan konstitusi maka bakti dan tanggungjawabnya kepada Nusa dan Bangsa. Tanggungjawabnya bukan lagi kepada partai politik yang mengusungnya,” kata Selamat Ginting kepada FNN di Kampus Unas, Jakarta, Senin pagi (5/6).  Sebelumnya Ketua Umum PDIP Megawati mengingatkan kepada bakal calon presiden dari PDIP Ganjar Pranowo.  “Awas kalau kamu (Ganjar Pranowo) tidak ngomong (sebagai) kader partai, petugas partai. Sadar juga untung beliau (Ganjar) nurut,” kata Mega di Kantor DPP PDIP, Jakarta Pusat, Jumat (2/6).   Menurut Selamat Ginting, konstitusi negara mengamanatkan, Pasal 9 ayat (1) UUD 1945 menetapkan, Presiden dan Wakil Presiden sebelum memangku jabatannya bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan MPR/DPR.   Sumpah Presiden dan Wakil Presiden: “Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala Undang-Undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”.  Ada pun untuk kepala daerah, Pasal 110 ayat (2) UU 32/2004 berbunyi sebagai berikut: “Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala Undang-Undang dan Peraturannya serta berbakti kepada masyarakat, Nusa dan Bangsa”.  Menurutnya, dua bunyi sumpah atau janji, baik Presiden/Wakil Presiden maupun Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, tegas menyatakan memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala Undang-Undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.  Bukan hanya itu, kata Selamat Ginting, dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia, berdasarkan UUD 1945, Undang-Undang atau turunannya, semua pejabat publik sebelum memangku jabatannya harus mengucapkan sumpah, karena turut mengambil bagian dalam kekuasaan negara dan tanggungjawab negara. “Jadi semua pejabat negara walau pun berasal dari partai politik, juga disumpah dan bertanggungjawab kepada negara. Bukan kepada partai politik, dan bukan pula sebagai petugas partai,” ujar kandidat doktor ilmu politik itu. Lagi pula, kata Ginting, presiden dan wakil presiden tidak dipilih oleh lembaga partai politik, melainkan oleh rakyat yang memiliki kewenangan sebagai pemilih dalam pemilihan presiden/wakil presiden. Sehingga sumber kekuasaan presiden/wakil presiden berasal dari rakyat yang memilih, bukan dari partai politik. Memang betul partai politik maupun kumpulan partai politik yang mengusung calon presiden dan mendaftarkannya melalui Komisi Pemilihan Umum (KPU). “Kesimpulannya, presiden dan wakil presiden jelas bukanlah petugas partai. Presiden merupakan pemegang mandat tertinggi yang diberikan rakyat untuk memimpin negeri,” kata Ginting yang lama berkiprah sebagai wartawan bidang poliik.  Oleh karena itu, lanjutnya, ketika ada ketua umum partai politik yang merasa gede rasa dengan menempatkan posisinya lebih tinggi daripada pemegang mandat rakyat, maka yang bersangkutan mengingkari prinsip demokrasi. “Jadi presiden itu petugas rakyat untuk kepentingan bangsa dan negara. Bukan petugas partai seperti yang dianut negara komunis. Di negara komunis memang hanya ada satu partai, yakni partai komunis. Presiden negara tersebut, seperti Republik Rakyat Tiongkok merupakan petugas partai komunis. Indonesia bukan negara komunis!” tegas Ginting. (*)

Renungan Imajiner Anies Baswedan, Abu Jahal Harus Dilawan

Oleh Smith Alhhadar - Penasihat Institute for Democratic Education (IDe) BENCANA bisa datang kapan saja. Ibarat musim pancaroba, politik nasional hari ini sedang memasuki fase tak menentu. Keadaan memang sulit. Tapi di situlah perjuangan menemukan maknanya. Kuhabiskan malam-malamku memikirkan nasib bangsaku. Bangsa yang hampir selalu dikalahkan oleh pemimpinnya sendiri. Karena itu, aku mencintainya. Tapi cintaku tak akan berarti tanpa aku menjadi pejuang. Nasib manusia bukan milik manusia. Pada akhirnya Allah yang akan menentukan seperti apa jalan hidup tiap-tiap orang. Tapi ikhtiar wajib dilakukan untuk membuka kemungkinan manusia mengendalikan nasibnya sendiri.  Tidak banyak orang yang berhasil. Tapi Allah lebih menghargai proses daripada hasil akhir. Aku periksa kembali perjalanan hidupku hingga aku sampai pada titik ini. Terus terang tidak semua berjalan sesuai rencanaku. Aku takjub pada takdir yang -  kendati kadang membelokkan rencanaku - ia mengganti dengan sesuatu yang lebih menantang. Dan aku selalu membuka diri untuk menerima semua yang dihadirkan nasib. Apapun jenis tantangan dan cobaan itu. Dengan begitu, aku bisa bangga pada diriku. Keadilan Ilahi tak dapat diukur dengan konsep-konsep keadilan manusia. Memang kadang aku kecewa atas cobaan dadakan yang datang tengah malam. Walakin, kekecewaan itu selalu sembuh sendiri. Pada hakekatnya, ia adalah sarana yang disediakan alam untuk mendewasakan manusia. Menolaknya sama artinya kita berhenti menjadi manusia. Maka kukatakan pada diriku: \"Anies, lawan! Jangan sekali-kali kau biarkan kemungkaran berjalan di muka bumi dengan sombong. Kau tak akan kalah dalam keadaan bagaimanapun. Mana ada pejuang yang ikhlas dihina Tuhan.\" Namun, jangan mengira aku berambisi menjadi presiden. Sama sekali tidak! Aku tak punya instrumen apapun yang bisa membawa aku ke sana. Aku bkn pemimpin partai, kader pun bukan, apalagi dana. Padahal, kader partai dan logistik syarat kunci menjadi presiden di negeri ini, bukan integritas, prestasi, dan kapasitas intelektual. Lihat, Jokowi saja bisa menjadi presiden! Dua kendala yang kuhadapi itu mestinya menggugurkan imajinasi orang bahwa jihadku hanyalah meraih kekuasaan, duduk di Istana yang \"sakral\" sambil mengagungkan diri. Dan mengancam siapa saja: Aku berkuasa atas nasib kalian, bukan Tuhan. Maka, hiduplah dengan tertib dengan kepala menunduk sebagaimana rakyat Korea Utara. Aku maafkan orang yang berasumsi demikian atas diriku. Toh, mereka mengalami mimpi buruk menyaksikan perilaku presiden yang sekarang. Dulu, melihat wajah dan penampilannya, mereka yakin dia bukan dari kalangan Fir\'aun. Mana mungkin tawa dan cara jalan Fir\'aun seperti itu. Nyatanya mereka salah besar. Penguasa fir\'aunik selalu muncul di semua zaman, di semua bangsa. Mereka hanya perlu bersalin diri untuk mengelabui rakyat. Tak apa rakyat menduga aku calon penguasa sejenis itu. Dulu juga mereka menuduh aku akan menindas minoritas, membuang Pancasila, sampai aku membuktikan sebaliknya. Aku memang punya cita-cita. Tapi bukan untuk menjadi presiden. Itu terlalu jauh dan aku tahu diri. Kukejar pendidikan setinggi-tingginya hingga ke mancanegara hanya untuk membuat aku lebih arif dan awas dalam menapaki kehidupan yang penuh misteri. Dan kelak bisa memberdayakan bangsaku melalui transfer ilmu. Aku membaca sejarah bangsa-bangsa yang mengungkapkan bahwa banyak bangsa kere menjadi maju karena mengapitalisasi bidang pendidikan. Tak sedikit juga yang surut ke belakang karena penguasa tak serius mencerdaskan bangsanya. Segera kudirikan \"Gerakan Indonesia Mengajar\". Kukirim anak-anak muda terbaik yang berbagi visi denganku ke pelosok-pelosok terjauh negeri ini demi memberdayakan mereka yang terbuang. Berdirinya Republik ini didasarkan pada janji menegakkan keadilan sosial bagi semua. Tanpa kecuali. Kalau semua mendapat kesempatan ekonomi, politik, dan sosial secara proporsional, energi bangsa akan berlipat ganda, persatuan akan terbangun, sehingga mimpi kita bangsa besar dan beradab menjadi masuk akal. Lalu, lingkungan dan dinamika politik nasional berubah. Sistem demokrasi dirayakan di mana-mana, lebih meriah dari Idul Fitri, seolah kita baru saja terbebas dari penjajahan. Rakyat berjalan penuh percaya diri. Dan optimis mereka akan segera sejahtera di bawah negara yang humanis dan pemimpin yang rendah hati. Aku terharu dan ikut hanyut di dalamnya. Kini presiden Indonesia boleh berasal dari kalangan rakyat biasa. Asal mampu, siapa saja boleh memasarkan diri untuk dinilai rakyat. Tiba-tiba slogan Abraham Lincoln \"demokrasi adalah kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat\" berkumandang. Aku mulai tergelitik. Mengapa tak aku coba bersaing untuk menjadi pemimpin puncak? Dengan kekuasaan besar yang dimiliki presiden Indonesia pasti lebih mudah memajukan bangsaku. Tapi peluang berkompetisi dalam pilpres belum datang hingga aku membuktikan mampu memajukan DKI Jakarta yang kompleks secara sosial. Meskipun para pembenciku terus menebarkan dusta tentang diriku, lebih banyak yang mengapresiasi kinerjaku. Biar begitu, dalam konteks pilpres, aku menyadari aku bukan siapa-siapa. Tak punya partai, miskin pula. Sekonyong-konyong sebuah partai yang dulu memojokkan aku dalam Pilgub DKI 2017, meminta aku bersedia menjadi bakal capresnya. Bukan main kagetku. Apakah aku tak sedang bermimpi? Ini partai pendukung penguasa yang membenci aku hingga ke tulang sumsum. Yang juga menakjubkan, partai ini rela kehilangan segalanya sebagai resiko mengusung aku. Tidak mungkin hal semacam ini bisa terjadi di negeri ini, di mana nyaris semua partai berwatak pragmatis dan oportunistik. Maka kita menyaksikan penguasa mengintimidasi dan mengkriminalisasi menteri-menteri dari partai ini dan menghancurkan kerajaan bisnis pemimpinnya. \"Tidak msk akal, demi aku, semua dikorbankan hingga ludes.\" Dua partai lain yang ikut mencapreskan aku, menghadapi rayuan, tekanan, dan ancaman yang nyaris sama. Persis seperti Orde Baru memperlakukan Megawati Soekarnoputri. Aku menangis menyaksikan durjana ini. Bagaimana menjelaskan fenomena ini ketika kita menganggap demokrasi telah menjadi konsensus nasional? Pertanyaan ini muncul lantaran banyak sekali cerdik-pandai yang fasih bicara tentang demokrasi, namun membiarkan konstitusionalisme dilanggar secara kasat mata. Berkali-kali pula. Semoga mereka tak membenarkan pendapat Mochtar Lubis bahwa orang Indonesia memiliki watak munafik dan enggan bertanggung jawab. Gagal menyingkirkan aku dari arena kontestasi melalui cawe-cawe pilpres, penguasa memperalat lembaga-lembaga hukum untuk tujuan yang sama. Tak malu pula presiden mengaku tak bisa netral demi bangsa dan negara ke depan. Mati aku. Bukan main presiden kita ini! Berani nian dia berdusta pada semua orang. Tak perlu aku ungkap mengenai kebobrokan negara selama kepemimpinannya. Toh, kalian semua sudah tahu. Maka aku putuskan keluar dari zona aman dan menantang penguasa. Bukan demi aku menjadi presiden, melainkan tegaknya aturan main dan norma demokrasi. Terlebih, menahan laju kemerosotan bangsa. I mean it. Tak menjadi presiden bukan masalah bagiku. Tapi cita-cita kemerdekaan dan reformasi harus tetap menyala biar bangsa ini tak masuk kembali ke dalam terowongan gelap. Esensi pemilu bukan untuk melanjutkan program pembangunan sebelumnya, melainkan membuka peluang bagi terjadinya koreksi terhadapnya, melanjutkan yang sudah baik, dan menawarkan konsep baru. Aku akan menjadi orang tak berguna, bahkan pengecut, bila membiarkan aniaya atas partai-partai yang mengusungku terus berlangsung. Sungguh, kalau kemarin aku agak hati-hati merespons sikap culas penguasa untuk memberi pesan perlunya keadaban dalam politik, hari ini sikap seperti itu tak relevan lagi. Apalagi kita bukan sedang berhadapan dengan kekuatan yang rasional, melainkan kekuatan jahil, pongah, dan rakus. Kuakui aku adalah antitesa penguasa. Mengapa juga aku harus melanjutkan legacy pembangunan penguasa yang nyaris berantakan semuanya? Intinya, pembangunan harus menyejahterakan rakyat lahir-batin, bukan memperkaya orang yang sudah kaya sambil membiarkan kemiskinan meluas. Cina dibiarkan mengeruk sumber daya alam kita untuk memperkaya dirinya sendiri. Rakyat kita dibiarkan jadi penonton yang teriris hatinya. Yang seperti ini yang harus dilanjutkan pemerintah berikutnya? Sudah hilangkah rasionalitas dan nurani kita? Tidak. Sekrang aku bersemangat untuk menjadi presiden. Akan aku babat habis korupsi, membasmi politik dinasti, menata ulang aturan yang hanya melayani kepentingan oligarki, dan mengangkat kembali martabat rakyat yang hak-haknya dipreteli tanpa mereka sadari, atau barangkali mereka sudah berdamai dengan kegetiran hidup yang diwariskan dari generasi ke generasi sebagai takdir. Aku harus katakan kepada mereka: ini bukan takdir dari Tuhan. Ini belenggu yang diciptakan penguasa zalim. Kita bisa berubah. Pasti bisa! Aku tak menjanjikan yang muluk-muluk, tapi kita punya modal besar untuk kelak menjadi bangsa besar. Kuncinya sederhana: ubah paradigma pembangunan kuno yang digunakan penguasa sekarang. Modal kita bukan pada sumber daya alam dan investasi asing yang eksploitatif, melainkan pada sumber daya manusia. Artinya, rakyat yang cerdas dan tercerahkan otomatis akan menghela bangsa ini ke ujung terjauh kemajuan seiring dengan meningkatnya kemampuan mereka berlipat ganda. Tetapi tantangan masih melintang di jalan, seperti ranjau yang dipasang ISIS di Afghanistan. Tugas kita sekarang adalah rekayasa busuk penguasa dan memastikan tahapan pilpres berjalan fair hingga akhir. Abu Jahal harus dilawan! Kemenangannya akan berarti kita kembali ke jalan kebodohan yang menghina manusia. Jalan Abu Jahal adalah jalan yang dilawan para Nabi dan filosof dari semua zaman, dari semua bangsa. Dengan usaha, kearifan, moral, dan ilmu pengetahuan, insya Allah Abu Jahal kita kalahkan. Wallahu \'alam bissawab! Tangsel, 4 Juni 2023

Pernyataan Sri Mulyani, Utang Meningkatkan Ekonomi: Penyesatan dan Pembodohan Publik (Bagian 1)

Oleh: Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) DALAM rapat kerja dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR (30/5), Menteri Keuangan Sri Mulyani memberi pernyataan mengejutkan. Sri Mulyani mengatakan, kenaikan utang Indonesia terbukti efektif, membuat pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dari pertumbuhan utang. Sebagai bukti, Sri Mulyani memberi ilustrasi, untuk periode 2018-2022, setiap 1 dolar utang membuat pertumbuhan ekonomi naik 1,34 dolar AS. Anggota Banggar manggut-manggut. Tidak ada yang komentar. Seperti kena hipnotis. Pernyataan Sri Mulyani tersebut, dalam kapasitasnya sebagai Menteri Keuangan, sangat bahaya. Karena bermakna penyesatan, pembodohan dan pembohongan kepada publik, khususnya secara langsung kepada anggota Banggar DPR. https://m.bisnis.com/amp/read/20230530/9/1660756/sri-mulyani-ungkap-dampak-utang-ke-pdb-ri-bandingkan-dengan-negara-lain https://amp.kontan.co.id/news/sri-mulyani-sebut-pertumbuhan-pdb-ri-lebih-besar-dibandingkan-utang-selama-2018-2022 Sri Mulyani menyatakan, seolah-olah, ada korelasi langsung antara defisit anggaran atau utang terhadap pertumbuhan ekonomi. Dalam bahasa ekonomi, seolah-olah, ada efek multiplier antara utang dan pertumbuhan ekonomi sebesar 1,34. Ada empat alasan, pernyataan Sri Mulyani tersebut menyiratkan penyesatan, pembodohan serta pembohongan publik. Pertama, ekonomi terdiri dari dua sisi, yaitu sisi supply (produksi) dan sisi demand (permintaan atau konsumsi). Sisi permintaan terdiri dari empat komponen, yaitu konsumsi masyarakat (C), investasi (I), belanja negara (G), dan ekspor dikurangi impor (E-M).  Dalam notasi: Y = C + I + G + (E-M). Teori demand ini dikembangkan oleh ekonom terkenal asal Inggris, John Maynard Keynes. Keynes berargumen, kalau konsumsi masyarakat (C) turun, maka harus dikompensasikan dengan kenaikan Belanja Negara (G), yaitu melalui defisit anggaran, atau stimulus fiskal, untuk menahan ekonomi agar tidak anjlok dan masuk resesi lebih dalam. Keynes memberi contoh, kesalahan kebijakan pada saat depresi besar tahun 1930-an karena pemerintah tidak memberi stimulus fiskal cukup memadai, sehingga membuat ekonomi global mengalami depresi berkepanjangan. Sebaliknya, ketika ekonomi “memanas”, artinya konsumsi masyarakat naik pesat, pemerintah harus mengurangi Belanja Negara, agar tidak terjadi hiperinflasi. Artinya, pemerintah harus menjalankan kebijakan destimulus fiskal, atau kontraksi, melalui surplus anggaran. Dalam hal ini, tanpa utang, ekonomi juga bertumbuh. Jadi ini alasan pertama, pernyataan Sri Mulyani tersebut menyesatkan publik, dan membodohi anggota Banggar.  Dalam notasi persamaan ekonomi menurut Keynes, tidak ada korelasi langsung antara utang (defisit anggaran) dengan pertumbuhan ekonomi.  Kedua, sisi supply ekonomi, dinyatakan dengan Y, terdiri dari Harga dikali Kuantitas: Y = P x Q. Dalam resesi, Harga (atau general price index) dan kuantitas produksi tertekan. Sehingga ekonomi (Y) tertekan. Stimulus fiskal berupaya menahan agar kuantitas produksi (Q), dan harga, tidak anjlok. Tetapi, tidak cukup. Maka itu, hampir semua Bank Sentral dunia menjalankan kebijakan stimulus moneter, menurunkan suku bunga, dan sekaligus membanjiri likuiditas melalui quantitative easing. Kebijakan ini bersifat inflationary, dan memicu inflasi. Ini yang terjadi di masa pandemi. Kebijakan moneter global, penuriammo suku bunga hingga 0 persen serta quantitative easing, memicu harga komoditas dan inflasi global naik tajam, dan membuat ekonomi (PDB) dalam nilai nominal naik. Terutama bagi negara produsen komoditas seperti Indonesia. Oleh karena itu, membandingkan kenaikan PDB nominal antar negara, khususnya negara produsen komoditas seperti Indonesia dengan negara non-produsen komoditas seperti India, seperti disampaikan Sri Mulyani dalam rapat bersama Banggar DPR, sangat tidak relevan.  Yang membuat PDB nominal naik bukan karena utang, tetapi karena kebijakan moneter inflationary. Ketiga, mengikuti logika Sri Mulyani, rasio kenaikan PDB nominal “akibat” utang, di pemerintahan Jokowi sangat rendah dibandingkan dengan pemerintahan SBY, seperti terlihat di tabel 1, tabel 2 dan tabel 3. Untuk periode 2004-2009, rasio kenaikan PDB terhadap utang sangat tinggi 11,31: setiap kenaikan satu rupiah utang, “membuat” PDB nominal naik 11,31 rupiah. Rasio ini jauh lebih besar dari rasio di pemerintahan Jokowi. Rasio pada periode 2014-2019 hanya 2,64. Dan rasio pada periode 2019-2022 hanya 1,27.  Artinya, Jokowi dan Sri Mulyani gagal? Terakhir, keempat, Sri Mulyani seharusnya membandingkan kenaikan PDB nominal dengan kenaikan utang, dalam persentase, seperti pada tabel 3. Ternyata, rasio ini pada periode 2019-2022 sangat rendah, hanya 0,38. Artinya, setiap kenaikan 1 persen utang hanya membuat PDB nominal naik 0,38 persen. Sedangkan di periode 2004-2009, setiap kenaikan 1 persen utang membuat PDB nominal naik 6,37 persen. Rasio ini juga menunjukkan Jokowi dan Sri Mulyani gagal? Tetapi, Sri Mulyani berusaha menutupi kegagalan ini dengan penyesatan opini kepada publik, dan sekaligus melakukan pembodohan dan pembohongan kepada publik dan anggota Banggar DPR? —- 000 —-

Boleh Bodoh Tetapi Jangan Terlalu Idiot

Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih  \"Berbuatlah apa yang baik dalam batas-batas kemampuanmu, dengan cara-cara yang terbuka bagimu, di segala tempat yang ada dalam pengetahuan mu, dalam setiap waktu yang tersedia bagimu, kepada semua orang yang ada dalam jangkauan mu, sepanjang masa hidupmu\". (John Wesley). \"Jokowi akan nekad cawe cawe,   melalui terjemahan wikipedia artinya memang ingin bermain curang, berbanding terbalik dengan ucapan Jokowi yang akan tetap netral.\" Beberapa tokoh negarawan dengan gamblang mengingatkan Presiden Joko Widodo bisa terkena impeachment atau dilengserkan dari jabatannya sebagai kepala negara jika melakukan cawe-cawe di Pilpres 2024. Apalagi, tindakan itu dilakukan menggunakan kewenangan dan fasilitas negara. Dalam semiotika, ilmu yang mempelajari  sebuah serangkaian peran dan makna yang dimiliki oleh sebuah tanda dalam suatu keterkaitan tanda. Tanda Jokowi telah menyimpang dari peran dan fungsinya bisa diamati dan dipelajari dari proses yang telah dan sedang berlangsung. Alasan  Presiden Jokowi menyebutkan istilah cawe-cawe  untuk mengawal dan memastikan Indonesia keluar dari kondisi saat, yang masih di level middle-income. Ujar Jokowi, Indonesia hanya memiliki waktu hingga 13 tahun untuk keluar dari kondisi tersebut.  \"Boleh bodoh tetapi jangan terlalu ideot , itu pengakuan Ideot dari makna cawe cawe Jokowi. Tidak ada gunanya sembunyi dan terus menerus berapologi\" Jokowi tidak sadar sedang berada di lapangan terbuka, limbung apa karena  power sudah diambil alih oleh Megawati. Perlindungan diri atas resiko macam macam termasuk resiko hukum yang bisa menerpa dirinya sudah tanpa payung lagi, semua sudah robek dan berantakan   Sinyal macam-macam  akan berbuat curang kecurangan itu sudah terlanjur masuk dalam benak masyarakat, yang ingin perpanjangan waktu bahkan ingin kekuasaannya menjadi tiga periode atau seumur hidup sudah tidak bisa di delete dari rekam jejaknya dari dunia maya. Macam macam narasi dan skenario konyol mengira masih akan mendapatkan legitimasi dari masyarakat yang dianggap bodoh, ketika masyarakat sudah paham tipuan skenarionya di rancang, di laksanakan dan didefinisikan sendiri seolah olah itu dukungan rakyat.  Gejalanya Jokowi dalam kondisi panik dan tertekan sangat mudah  pikirannya masuk di alam halusinasi. Terombang - ambing dalam gelombang ombak perubahan yang sedang berlangsung. Dramaturgi yang dimainkan sudah tidak ada  tempat lagi, makin nekad sama semakin mendekatkan diri ke  dalam jeram atau jurang politik yang makin dalam. Ucapan berbanding terbalik bahkan sudah menjadi tradisi branding konyol yang selalu di mainkan. Tetap tidak memiliki kesadaran dirinya sudah berada dalam bahaya. Didepannya gelombang laut yang siap menarik dan menghenpaskannya. Akan bermain-main politik dengan apalagi ketika semua fariabel penolong politiknya semua sudah lumpuh. Hanya politisi ideot yang berjalan asal nekad dan membabi buta. Mestinya Jokowi di ahir kekuasaannya bisa belajar lebih tenang, syukur berubah sikap menjadi negarawan. Justru terus ambil reaksi sesaat karena frustasi, panik melihat perkembangan politik yang semakin jauh dari jangkauan kendalinya  Saran dari Rocky Gerung sangat humanis dan disampaikan apa adanya : \"Jokowi yang ngomong cawe-cawe bukan jokowi yang presiden dan kepala negara jadi sebagai political player yang dalam upaya terakhir ingin menegakkan benang basah. Jadi frustasi sebenarnya tuh. Jokowi ada dalam frustasi, mau ngapain lagi, ya sudah berbuat sendiri saja,\" tambahnya.  Terlalu banyak saran saran terbaik untuk kebaikan dan keselamatan Jokowi terus dianggap sampah dan diabaikan. Bahkan saran kepekaan publik yang terus membuncah di media sosial pun dianggap angin yang hanya berdesir lewat, \"masuk telinga kanan langsung keluar di telinga kirinya\" Masih merasa jumawa akan menyelundupkan rekayasa kecurangannya, karena merasa masih menggenggam kekuasaan .  \"Ingatlah yang berbudi baik akan selamat, yang  keji , jahat dan suka berbuat curang akan hancur berkeping-keping\".  *****

Rakyat Rindu Jokowi Mundur

Oleh M Rizal Fadillah - Koordinator Kajian Politik Merah Putih  KERINDUAN rakyat atas kondisi yang kini memprihatinkan adalah bergantinya warna kekuasaan kepada yang lebih segar, lebih bersih dan ada rasa kebersamaan rakyat dengan pemimpinnya. Kondisi seperti ini yang tidak terasa. Yang dirasakan kini adalah pemimpin dan rakyat sedang berjalan sendiri-sendiri.  Penyegaran diawali dengan langkah konkrit yakni Jokowi mundur dari jabatan Presiden. Menunggu hingga berhenti sendiri pada Pemilu 2024 akan terlambat dan khawatir \"keburu busuk\". Karena ada tangan kotor yang ingin melakukan pembusukan Pemilu. Jokowi sendiri diduga terseret di dalamnya. Akibatnya tentu buruk bagi Jokowi begitu juga bagi masyarakat atau rakyat.  Bagi Jokowi yang telah gagal memperpanjang kekuasaan kini bingung mencari pengganti. Ganjar sudah diambil Megawati, Prabowo tipe puja puji yang sulit dipegang. Prabowo bukan petarung tangguh. Sementara Anies dibenci dan dianggap musuh. Hantu yang dibuat oleh Jokowi sendiri.  Bagi rakyat, bayang bayang kecurangan Pemilu sulit untuk ditepis. Mahfud MD sepertinya sudah memastikan akan kecurangan itu. Menurutnya kemarin dan esok. Lingkaran kekuasaan nampaknya tidak rela terjadi persaingan sehat antar kandidat. Rekayasa untuk menjegal lawan yang tidak pro status quo terus dijalankan.  Terbukanya peluang kecurangan yang bakal terjadi ini membuat TNI merasa perlu memberi warning. Mengancam maju sedikit untuk mengambil posisi. Etika berbangsa yang harus dikawal dan ditegakkan.   Yang terbaik di tengah kondisi seperti ini adalah Jokowi mundur dengan suka rela. Tentu akan bermakna.  Nah, manfaat bagi Jokowi jika mundur sekurang-kurangnya : Pertama, rakyat melihat ini sebagai bagian dari pengorbanan dan penghargaan Jokowi atas aspirasi kuat di masyarakat yang menginginkan penyegaran pemerintahan. Dimungkinkan rakyat memaafkan atas kesalahan Jokowi dan rezimnya selama ini.  Kedua, Jokowi tidak perlu dibebani fikiran dan pekerjaan cawe-cawe Capres yang menuai kritik dan hujatan atas sikap politiknya. Sikap kenegarawan membebaskan proses politik berjalan secara alami. Siapapun Presiden itulah yang terbaik bagi bangsa dan negara.  Ketiga, seperti yang diharapkan oleh puteranya bahwa Jokowi hendaknya pulang kampung dengan nyaman. Meski tanpa penghargaan prestasi tetapi kembali ke tempat asal adalah membahagiakan. Biarlah generasi berikut berjuang dan berkompetisi dengan sehat.  Keempat, relasi yang selama ini dibangun tidak akan putus. Pihak-pihak yang telah merasakan jasa Jokowi sebagai Presiden akan membalas dalam banyak bentuk pasca mundur. Jokowi kembali melanjutkan usaha yang selama ini dijalankan bersama mitra-mitranya.  Kelima, bila masih berminat berkiprah dalam bidang politik maka modal sosial yang dimiliki menjadi kekuatan untuk membentuk partai politik baru. Sebagai ketua partai Jokowi dapat berkontribusi bagi pengembangan politik bangsa ke depan  .  Jika tetap maju terus pantang mundur nasib Jokowi diujung tanduk. Sinyal semakin menguat. Jokowi mulai ditinggalkan partai politik di lingkarannya. Dengan Megawati dan PDIP semakin tidak rapat. Partai Nasdem berseberangan, PAN dan PPP jalan sendiri. PKB lebih asyik bermanuver. Lompat-lompatan.  Pendukung setia tinggal \"musra-musra\" itupun relawan mulai kebingungan atas sikap Jokowi yang tidak jelas. Akhirnya kini Jokowi nekad untuk cawe-cawe  Capres. Ini bakal menimbulkan konflik internal yang semakin menajam. Belum lagi jika ternyata Capres hasil cawe-cawenya ternyata kalah dalam kompetisi. Semakin ambruk Jokowi.  Setelah 2024 apapun hasilnya nampaknya wajah Jokowi tidak akan ceria. Jokowi sudah terperosok dalam gorong-gorong yang dibuatnya sendiri.  Belum lagi jika ternyata upaya mendesak MPR untuk memakzulkan Jokowi ternyata sukses. Syarat pemakzulan lebih dari cukup telah dipenuhi.  Habislah Pak Presiden yang dikenal sebagai pembawa keruwetan negeri ini.  Tuntutan agar Jokowi diadili juga kuat akibat dari dosa-dosa  politik yang  dibuatnya. Ada pelanggaran HAM berat, korupsi dan kebocoran uang negara, nepotisme, hutang luar negeri, proyek-proyek mangkrak dan merugi, memperalat hukum, meminggirkan umat Islam serta dosa politik lainnya.  Rakyat rindu Jokowi mundur. Meski semua kembali kepada kejujuran, kesadaran dan kalkulasi Jokowi sendiri. Hanya sejarah telah memberi pelajaran bahwa salah hitung atau nekad untuk mempertahankan kekuasaan dengan segala cara pasti akan berakibat fatal. Tumbang yang menyakitkan.  Rakyat rindu Jokowi mundur, maka segeralah mundur. Ajaklah Wapres untuk mundur juga. Jangan khawatir, Konstitusi telah mengatur semuanya.  Rakyat Indonesia akan bahagia dan semoga berterimakasih. Bandung, 4 Juni 2023

Raja-rajaan di Negara Demokrasi: Ketika Petruk Dadi Ratu

Maka, segala cara untuk membatalkan Pemilu tepat waktu diupayakan, dan ini pelanggaran konstitusi serius. Demokrasi sedang dipertaruhkan oleh keinginan terlarang, oleh ambisi jadi raja-rajaan di negara demokrasi. Dan, itu moral hazard. 0leh Ady Amar - Kolumnis Menjadi raja-rajaan saat kanak-kanak dulu kala, itu jadi prestasi tersendiri. Menjadi raja, meski sekelas raja-rajaan, itu penuh kebanggaan. Kebanggaan yang disimpan hingga dewasa. Bagaimana tidak, ia terpilih memerankan seolah raja seutuhnya, yang melihat semua peran lain jadi kecil. Meski terkadang peran jadi raja itu muncul cuma sekali dua kali saja sepanjang episode kisah itu dibuat. Terpilih berperan jadi raja di antara para kawan yang lain, itu punya persyaratan yang mesti dipenuhi. Semacam kesepakatan yang disepakati diam-diam, yang kemudian jadi pakem untuk tidak dilanggar. Jadi kesepakatan baku yang mesti dipatuhi. Di mana yang memerankan sebagai raja adalah yang paling segala-galanya di antara mereka. Paling tampan, tinggi semampai, dan jika mungkin dengan intonasi suara tegas menggelegar. Sedang pintar dan sikap bijaksana, sepertinya belum jadi ukuran saat itu. Menjadi raja meski sesaat, itu jadi kebanggaan tersendiri. Dikenang di antara mereka, atau dikenang pribadi yang terpilih memerankannya. Terpilih bisa atas pilihan antarkawan, atau dipilih sutradara dadakan tujuh belas agustusan, yang mementaskan lakon dengan menyertakan raja dalam kisah yang disuguhkan. Peran raja, baik dipilih antarkawan atau oleh pengatur laku tetap memegang pakem, dipilih di antara mereka yang tampan dan punya intonasi suara tegas. Dalam lakon drama masa kanak-kanak dulu, pakem yang disepakati diam-diam itu tidak boleh dilanggar. Tidak boleh si cungkring dan berwajah tak elok diloloskan menjadi raja. Lakon jadi raja-rajaan tetap dituntut sempurna, meski ukurannya sebatas fisik. Raja menjadi simbol kesempurnaan. Tidak boleh ada yang menyamainya. Maka dandanan sang raja pun dibuat berjarak jauh dengan rakyat kebanyakan, apa pun profesi yang disandang. Peran menjadi raja-rajaan ini sekadar lakon sesaat, seperti juga lakon Petruk Dadi Ratu (Petruk Jadi Raja). Kisah Petruk Dadi Ratu  itu masyhur dikisahkan dalam dunia pewayangan. Petruk Dadi Ratu itu membongkar pakem bahwa raja mesti sempurna, setidaknya sempurna fisiknya. Kisah Petruk Dadi Ratu memberi makna simbolik, yang mustahil kawula alit bisa memimpin, meski ia punya kemampuan memimpin, tapi tak sepantasnya jadi pemimpin. Tapi Petruk dalam kisah pewayangan itu mengobrak-abrik tatanan ketidakmungkinan menjadi mungkin, dan itu dengan \"merampas\" kekuasaan, meski hanya semalam. Ya, hanya semalam. Tak perlu Petruk ambil kesempatan berkuasa hingga 2 periode, dan itu 10 tahun. Itu jauh dari tabiat sikapnya. Apalagi sampai tamak ingin tambah lagi satu periode. Atau tetap ngotot jika tidak mungkin, keukeuh menawar tambahan jabatan dengan 2-3 tahun, dengan dalih ingin melanjutkan pembangunan yang belum tuntas dikerjakan disebabkan sebelumnya negeri terserang virus dari Wuhan, Tiongkok. Petruk Dadi Ratu bisa dilihat dari berbagai angle. Bisa dilihat dari kemustahilan kawula alit memimpin negeri yang disebut Mayapada, sampai munculnya pemberontakan para punakawan--Semar, Gareng, Petruk dan Bagong--yang lalu mendorong Petruk ambil kekuasaan dari tangan Arjuna, penguasa yang dilihatnya melenceng jauh dari yang semestinya. Setelah membereskan negeri dari sengkarut dan ketidakpastian, dan itu cuma butuh waktu semalam, ia kembalikan singgasana kekuasaan pada yang berhak sebagai raja. Dan, itu Arjuna. Petruk dan para punakawan lainnya kembali ke habitatnya sebagai pengabdi dan penghibur di istana. Kisah Petruk Dadi Ratu, ini memunculkan ketidakmungkinan menjadi mungkin. Dan yang lebih dahsyat lagi, Petruk tidak menghendaki kedudukan sebagai raja itu karena ambisi, dan karenanya ingin berkuasa selamanya. Tidak persis tahu mengapa Presiden Joko Widodo (Jokowi) acap distigma sebagai \"Petruk Dadi Ratu\". Menyandingkan Jokowi dengan Petruk, itu sama sekali tidak nyambung, jauh api dari panggang. Artinya, bertolak belakang. Kecuali bentuk fisik dan sama-sama berangkat sebagai kawula alit, setidaknya dari partai yang mengambil jargon  sebagai partai wong cilik. Sedang sifat lain antara Jokowi dan Petruk justru seperti berkebalikan. Petruk dalam kisah Petruk Dadi Ratu punya sifat bijak, yang tidak ingin ada ketidakberesan pemimpin dalam mengelola negara, dan karenanya ia tampil untuk meluruskannya. Memilih cukup semalam jadi Raja, setelah tugasnya selesai Petruk tahu diri bahwa bukan di situ maqam -nya. Sebagai punakawan tugasnya melayani lebih pada mengabdi, dan menghibur raja dan segenap penghuni istana. Tidak demikian dengan Jokowi yang memang mesti menjabat sebagai presiden selama 5 tahun, dan bisa dipilih lagi selanjutnya sekali lagi untuk masa 5 tahun berikutnya. Setelah itu mesti turun tahta. Demokrasi dipilih sebagai sistem, dan itu hasil rembugan founding fathers, bahwa jabatan sebagai presiden itu punya periodisasi yang disepakati, yang tertera dalam konstitusi. Moralnya mestinya berhenti, tidak memberi ruang untuk  tawar-menawar menambah periode jabatannya, meski itu permintaan sebagian rakyat pendukungnya. Atau bahkan seluruh rakyat menghendaki agar ia memimpin lagi dan lagi, meski dengan mengubah konstitusi. Bukan menyerahkan semuanya pada keinginan rakyat, dan itu menabrak konstitusi. Suara-suara menambah periodisasi, atau setidaknya menambah beberapa tahun agar Jokowi terus berkuasa, setidaknya disuarakan relawan garis keras. Seperti tak ingin Jokowi menyudahi jabatannya di tahun 2024. Tidak cukup sampai di situ, muncul pula suara-suara yang meski sulit dikonfirmasi kebenarannya, bahwa Pemilu/Pilpres akan ditunda, tanpa menyebut ditunda sebab apa. Dan, itu menjadikan Jokowi tetap berkuasa. Maka, segala cara untuk membatalkan Pemilu tepat waktu diupayakan, dan ini pelanggaran konstitusi serius. Demokrasi sedang dipertaruhkan oleh keinginan terlarang, oleh ambisi jadi raja-rajaan di negara demokrasi. Dan, itu moral hazard. Menyandingkan Jokowi seolah Petruk dalam kisah Petruk Dadi Ratu sama sekali tak mengena. Bahkan sedikit pun keduanya tak bisa diserupakan. Petruk mencukupkan hanya semalam saja merasakan singgasana sebagai raja, dan itu karena kondisi memaksanya. Sedang Jokowi, mendapat privilage layaknya raja sungguhan, dan itu 10 tahun, tapi masih merasa kurang, dan ingin menambahnya. Memang sih menambah periodisasi, atau menambah 2-3 tahun lagi jabatannya, itu tidak keluar dari mulut Jokowi. Disuarakan para pendukungnya, dan Jokowi tampak enjoy , tanpa merasa risih dengan munculnya suara-suara itu, yang menghendaki seolah Jokowi jadi \"raja-rajaan\" di negara yang memilih sistem demokrasi. Ending dari kisah raja-rajaan dengan peran Jokowi, ini sulit diprediksi akan seperti apa. Tapi yang pasti, semua akan berakhir, dan itu tidak bisa ditawar-tawar.**

Jokowi Makin Nekad dan Membabi Buta

Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih  SEMUA pejuang perubahan harus lebih sensitif atas perkembangan dan fenomena politik licik yang sedang terjadi  Aneis Baswedan (AB) dalam ancaman serius akan di patahkan ditengah jalan, dengan proses politik licik  kudeta Moeldoko, dugaan kuat atas restu Presiden. Resiko kegaduhan yang mungkin akan terjadi semua sudah di antisipasi oleh rezim saat ini, dengan mentor para Taipan / Oligarki. Dalam konteks ini pendukung AB tidak boleh larut pada euforia pokoknya AB menang. Ketika serius posisi AB ada di ujung tanduk menghadapi begal politik yang sedang berjalan. Politik cawe cawe sangat nekad, pragmatis dan spesifik, asal menerjang dan kawan harus hancur.  Pendukung AB lahir secara alami dan sangat kuat faktor ghiroh umat Islam yang merasakan rezim saat terus menggangu umat Islam. Tanpa menafikan pendukung AB melintas kekuatan antar agama, ras dan suku karena merasa sesak nafas hidup di alam kendali Jokowi yang lebih memanjakan para Taipan. Kekuatan AB cukup besar tetapi taktik dan strateginya belum menjadi kekuatan sergap melawan para begundal demokrasi. Sementara harus berpacu dengan waktu melawan politik rezim relatif rapi, terstruktur dan terukur dengan dukungan finansial yang melimpah. Relawan AB masih mencari bentuknya dalam komando yang terkonsolidasi belum memiliki kekuatan pemukul,  yang riil bisa digerakkan setiap saat dalam kondisi sangat kritis. Mobilisasi sikap, pernyataan, emosi dan semangat relawan AB yang masih  harus ada pemimpin kuat yang bisa mengkonsolidasikan menjadi kekutan yang terkonsolidasi dan bisa bergerak dengan taktis melawan kekuatan rezim ingin asal menang. Apabila AB terpental dari pencalonan akibat Partai Demokrat bisa dibajak dan dibegal, harus ada antisipasi dini dan rencana tindak yang riil. Reaksi pendukung AB tidak boleh hanya reaksional  dan  emosional tetapi harus  memiliki kekuatan perlawanan riil (people power), dengan perhitungan yang rinci dan terukur. Perjuangan pendukung AB harus menjauhkan diri  ego over confidence seolah tidak ada masalah degan pencapresan Anies, dan Anies dianggap akan menang dengan mudah. AB membutuhkan pembelaan  nyata, tidak cukup dengan narasi argumentatif didunia fantasi, relawan harus turun kejalan, unjuk rasa dan unjuk gigi kekuatan, di pancarkan ke rezim licik yang akan menghalalkan segala cara untuk menang. Ancaman oligarki bukan hanya akan menyergap dan memangsa AB. Capres Prabowo Subianto (PS) pun akan di lalap dan di mangsa dengan cara lain. Politik kompromi PS dengan rezim tidak ada jaminan aman. Terlalu spekulasi dan dini ada pertengkaran antara Jokowi dan Megawati, dan Jokowi akan back up PS. Semua harus sadar mereka dari kolam yang sama dan kepentingan politik yang sama untuk memenangkan capres mereka. PS tidak hati hati akan kena tipu di detik-detik ahir. Alangkah idealnya PS dan AB atau PS dan AB, mau turun ego masing-masing bersatulah melawan kekuatan rezim Jokowi yang makin nekad dan membabi buta, terang benderang akan menghancurkan demokrasi berjalan dengan normal. Sayang ego partai lebih diutamakan dari pada kepentingan dan keselamatan negara. Apabila AB dan PS tetap berjuang sendiri sendiri kemungkinan sama sama  akan  hancur, sangat besar, bersatulah. *****

Para Pakar, Cendekia dan Ekonom Sepakat Indonesia Membutuhkan Orientasi Arah Baru Ekonomi (AB-NOMICS)

Jakarta, FNN - Para cendekia, guru besar, ekonom dan pakar sangat prihatin situasi ekonomi Indonesia akhir-akhir ini. Mereka melakukan urun rembug bertukar informasi dan data dalam diskusi terbatas yang diinisasi Narasi Institute pada Jumat, 2 Juni 2023 secara daring. Urun rembug tersebut dihadiri oleh sejumlah cendekiawan nasional dan daerah seluruh Indonesia.  Mereka adalah Prof Dr Didin S Damanhuri, Dr Awalil Rizky, Dr Fadhil Hasan, Faisal Basri, Dr Said Didu, Achmad Nur Hidayat, Dr. Aries muftie, Dr. Ryan Kiryanto, Prof Dr Nurhayati Djamas, Jilal Mardhani, Dr. M Abdul Malik, Dr. Sabriati Aziz, M. Hatta Taliwang, Prof. Dr. Mas Roro Lilik Ekowanti, MS, Dr. Mufidah Said SE MM, Prof Dr Prijono Tjiptoherijanto (Univesitas Indonesia), Prof. Dr Siti Chamamah, Prof. Dr. Muhammad Chirzin (UIN Kalijaga, Yogyakarta), Dr. Fuad Bawazier, Soetrisno Bachir, Dr. Mas Ahmad Daniri, Prof Dr Marzuki Dea (UNHAS), Dr. Ayus A. Yusuf (IAIN Nurjati Cirebon), Dr. Dede Juniardi (Universitas Kuningan), Dr. Fachru Novrian (UPN Veteran Jakarta). Dalam pertemuan yang berlangsung hampir 3 jam tersebut, Para akademisi dan para guru besar memiliki 6 poin saran kepada pengambil kebijakan (policy makers) di antaranya adalah: Pertama, Para pakar, cendekia dan ekonom bersepakat perlunya arah baru ekonomi Indonesia kedepan. Ekonomi yang lebih berpihak pada keadilan dan kesetaraan ekonomi. Kedua, Para pakar dan ekonom bersepakat untuk menjadikan ekonomi Indonesia lebih baik lagi untuk mampu mengejar ketertinggalan dan mencapai target ekonomi 4 besar dunia pada 2045. Karenanya diperlukan turn around policy dalam ekonomi Indonesia ke depan. Ketiga, Para pakar, cendekia dan ekonom bersepakat bahwa Presiden tidak boleh cawe-cawe dalam suksesi kepemimpinan 2024. Presiden harus menghindari low politics (politik rendah: mencampuri urusan suksesi dan parpol menjelang pemilu 2024) dan sebaiknya Presiden memastikan transisi kepemimpinan secara demokratis. Keempat, Para pakar, cendekia dan ekonom bersepakat perlu adanya pemberantasan korupsi yang lebih kongkret, karena korupsi saat ini telah benar benar menjadi masalah yang serius bagi Bangsa Indonesia saat ini. Kelima, Para pakar dan ekonom bersepakat bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum, sehingga hukumlah yang harus ditempatkan sebagai panglima dan bukan politik sebagai panglima. Keenam, Para pakar, cendekia dan ekonom memandang diperlukan upaya untuk merekatkan kembali hubungan antara sesama warga bangsa, antara kelompok dan golongan untuk hidup rukun dan damai berdampingan. Selain itu, Para akademisi dan para guru besar mencatat masalah ekonomi saat ini. Ada lima dampak negatif model ekonomi saat ini di antaranya (1) Terjadinya Ketidakadilan/Ketimpangan Nyata. (2) Kebocoran dan Korupsi Yang semakin Besar (dulu 30 % saat ini sampai 57%) (3) Otonomi Daerah Yang Tidak Mensejahterakan Rakyat. (4) Ekosistem Politik Yang Menyuburkan Oligarki. (5) Struktur Tempayan (oligarki) Dalam Perekonomian Menuju Struktur Belah Ketupat (struktur yang lebih berkeadilan dan sejahtera). Para guru besar dan akademisi juga menyoroti ada tujuh dimensi yang perlu dilakukan Arah Baru Ekonomi (AB-Nomics) di antaranya adalah: Pertama, Menggeser Orientasi Pembangunan Yang Terlalu “GDP Oriented” ke “Arah Sustainable Growth” dengan menekan kepada kesetaraan dan keadilan ekonomi. Kedua, Arah Baru yang dimaksud adalah pencapaian GDP Sebagai Faktor Indikatif Harus Diikuti Untuk Mencapai Keberlanjutan Secara Ekonomi, Sosial dan Ekologi. Ketiga, Perlunya Reformasi Pengelolaan Fiskal dan Moneter Yang Terlalu Terkonsentrasi di Kementerian Keuangan dengan Melibatkan Peran BAPPENAS. Keempat, Orientasi Pembangunan Menuju Penguatan Agromaritim. Kelima, Mengembalikan Peran Vital KPK dan KPPU. Keenam, Indikator indikator Sukses Otonomi Daerah dan Perangkingan Daerah-Daerah Yang Sukses. Ketujuh, Revisi UU Politik Untuk mencegah penguasaan parpol oleh oligarkhi politik. Achmad Nur Hidayat selaku notulensi Urun Rembug tersebut mengatakan bahwa Komitmen para akademis bangsa tersebut memperbaiki kondisi bangsa sangat tinggi dan siap berdiskusi dengan siapapun untuk kemajuan ekonomi yang lebih baik.  Achmad Nur Hidayat yang juga Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute mengatakan seluruh permasalahan bangsa yang diperbincangkan para guru besar dalam urun rembug tersebut sangat strategis. Dirinya berharap urun rembug seperti ini dapat dilakukan dalam serial diskusi lanjutan yang melibatkan banyak gagasan dan menjadi banyak perhatian publik. Publik perlu pencerahan dari para akademisi yang tegak lurus memperbaiki bangsa, insya allah seri diskusi Narasi Institute nanti akan sangat bermanfaat sebagai pertukaran gagasan dari otak-otak terbaik bangsa Indonesia sehingga Indonesia dapat keluar dari persoalan ekonomi saat ini. (*).

Hari Raya Waisak, 69 Napi di Jateng Memperoleh Remisi

Semarang, FNN - Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Wilayah Jawa Tengah mencatat 69 narapidana beragama Buddha memperoleh pengurangan masa hukuman atau remisi khusus memeringati Hari Raya Waisak 2023.Kepala Divisi Pemasyarakatan Kemenkumham Wilayah Jawa Tengah Supriyanto dalam siaran pers di Semarang, Sabtu mengatakan, besaran pengurangan masa hukuman bervariasi antara 15 hari hingga dua bulan.Ia menuturkan tidak ada napi yang langsung bebas usai memperoleh remisi Waisak tersebut.Menurut dia, warga binaan yang memperoleh pengurangan masa hukuman tersebut sudah memenuhi persyaratan yang ditentukan.\"Terdapat 65 napi tindak pidana narkoba dan 4 napi tindak pidana umum yang memperoleh remisi,\" katanya.Ia menjelaskan napi terbanyak yang memperoleh pengurangan masa hukuman berada di Lapas Permisan Nusakambangan, Cilacap, yang mencapai 15 orang.Pengurangan masa hukuman tersebut, lanjut dia, juga berdampak terhadap penghematan anggaran yang berasal dari biaya makan bagi warga binaan.Supriyanto menyebut penghematan anggaran atas pemberian remisi bagi napi beragama Buddha tersebut mencapai Rp50,1 juta.Hingga saat ini, Kemenkumham Wilayah Jawa Tengah mencatat 13.782 napi dan tahanan yang tersebar di 46 lapas dan rutan di berbagai wilayah di provinsi ini.(ida/ANTARA)

MK Diingatkan Agar Menolak Gugatan Soal Sistem Pemilu

Jakarta, FNN - Anggota DPR RI Luqman Hakim mengingatkan Mahkamah Konstitusi (MK) agar menolak gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) atau lebih spesifik mengenai sistem proporsional tertutup.Menurut Luqman, sebagaimana dikutip dari siaran pers yang diterima di Jakarta, Sabtu, MK harus menolak gugatan tersebut karena mereka tidak berwenang menguji dan memutus hal tersebut.\"MK tidak berwenang menguji dan memutus sistem pemilu karena UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur sistem pemilu. Sistem pemilu merupakan open legal policy atau kebijakan hukum yang dimiliki lembaga pembentuk UU, yakni DPR dan presiden,\" ujar dia.Dengan demikian, setelah memahami secara utuh konstitusi negara Indonesia, yakni UUD NRI Tahun 1945, menurut Luqman, jika MK mengabulkan permohonan mengubah sistem pemilu menjadi proporsional tertutup, MK berarti telah bertindak di luar wewenangnya dan mengambil alih kekuasaan DPR serta presiden.Berikutnya, Luqman juga menyampaikan MK tidak berwenang membuat norma UU karena tidak memiliki mandat konstitusi untuk menjadi lembaga pembentuk UU.MK, kata dia, tidak berwenang mengabulkan permohonan yang berdampak pada terbentuknya norma baru sebuah UU. Itu di luar wewenang MK.\"UUD NRI Tahun 1945 memberi kuasa kepada DPR untuk memegang kekuasaan membentuk UU. Kewenangan MK menguji UU terhadap UUD, bukan membentuk UU,\" tegas dia.Sebelumnya, MK telah menerima permohonan uji materi terhadap Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu terkait sistem proporsional terbuka yang didaftarkan dengan nomor registrasi perkara 114/PUU-XX/2022 pada 14 November 2022.Apabila uji materi UU Pemilu mengenai sistem proporsional terbuka dikabulkan oleh MK, sistem Pemilu 2024 akan berubah menjadi sistem proporsional tertutup. Sistem proporsional tertutup memungkinkan para pemilih hanya disajikan logo partai politik (parpol) pada surat suara, bukan nama kader partai yang mengikuti pileg.Sejauh ini, terdapat beragam pendapat dalam menilai sistem mana yang dapat menjadi sistem terbaik dalam penyelenggaraan pemilu di Tanah Air. Ada sebagian pihak yang mendukung penerapan sistem proporsional terbuka. Ada pula yang mendukung sistem proporsional tertutup.(ida/ANTARA)