ALL CATEGORY

Ketum PSSI Ikut Pilkada Jabar, Tapi Mau Stadion Gratisan

Oleh: Yusuf Blegur | Mantan Presidium GMNI  RUPANYA, suara sumbang Ketum PSSI soal Jakarta Internasional Stadium (JIS) bagai ada udang di balik batu. Selain ikut-ikutan  rezim melontarkan narasi bersayap dan tendensius ke Anies,  mantan Kapolda Metro Jaya itu mereduksi JIS dengan menyembunyikan hasratnya dalam kampanye cagub Jabar,  sembari mengharap penggunaan  stadion gratis. Ingin mengikuti Edi Rahmayadi yang sukses menduduki gubernur Sumut. Iwan Bule lupa kalau dia, dari institusi Polri yang kini sudah remuk-redam di mata publik. Ketum PSSI bukan hanya menjadikan olah raga sebagai alat politik dan tunggangan kepentingan pribadi. Lebih miris lagi, ia menunjukkan mental pemimpin yang tidak memiliki atitude, tidak respek dan tidak menghargai prestasi orang lain. Sudah tidak mampu  mengangkat prestasi sepak bola nasional, melalui organisasi PSSI yang digawanginya. Moch. Iwan Iriawan kadung menjelekan JIS yang menjadi  kebanggaan warga Jakarta dan seluruh rakyat Indonesia. Tanpa introspeksi, refleksi dan evaluasi terhadap kinerjanya, Ketum PSSI yang programnya dibiayai APBN itu, malah sibuk kampanye pilgub Jabar dan usil terhadap JIS yang notabene menjadi karya dan prestasi Anies selaku Gubernur Jakarta. Mestinya fokus mengembangkan dan membesarkan prestasi sepak bola nasional secara kapabel, akuntabel dan transparan. Buat apa saja dana PSSI selama dipimpinnya, kok bisa-bisanya minta penggunaan stadion gratis. Dengan perilaku yang yang tidak memiliki karakter, terlalu politiking dan sepi prestasi. Ketum PSSI tanpa sadar menunjukan kelemahan dan keterbasannya mengomentari JIS baik dari aspek arsitektur, struktur dan infra struktur maupun filisofis pembangunannya. Bahkan saking gelap mata dan ambisius pada kepentingan politiknya serta ikut menggerus figur Anies, mantan Kapolda Metro Jaya yang dikenal luas sangat tidak ramah dan cenderung represif di lapangan saat menghadapi aksi 212 dan gelombang gerakan  demonstrasi menuntut demokrasi lainnya di Jakarta. Nyaris tidak pernah sukses menjalankan peran kepemimpiannya baik dalam institusi kepolisian maupun cabang olah raga sepak bola. Kasus menyudutkan JIS sekaligus menohok Anies, Iwan Bule biasa dipanngil hanya dilihat publik sebagai bagian dari upaya menjilat kekuasaan dan itu saja yang menjadi kebisaannya. Biar bagaimanapun dan dilihat dari dimensi apapun. Anies yang juga menjadi pembina The Jack Mania, jauh berbeda dan tidak layak dibandingkan dengan Ketum  PSSI yang pragmatis itu. Anies dengan segudang prestasi yang diikuti pelbagai penghargaan  nasional dan internasional serta behavior yang santun dan beradab. Tak perlu melayani dan menggubris orang semodel Ketum PSSI yang konditenya begitu memprihatinkan. Janji Anies membangun JIS uttuk Persija dan masyarakat pecinta sepak bola di Jakarta, biarlah menjadi contoh dan keteladanan bagaimana memimpin dengan cara sunyi tapi penuh prestasi. Tidak  omdo alias banyak komentar, tapi tak satupun ada yang berhasil dan membanggakan. Warga Jakarta dan seluruh rakyat Indonesia, dapat menyaksikan dari gelanggang olah raga dan stadion sepakbola. Siapa sesungguhnya  yang pantas menjadi pemimpin?. Jangan mau ikut Pilgub dari demokrasi yang kapitalistik dan transaksional tapi mau pakai stadion gratisan. (*)

Rakyat Menolak Kenaikan Harga BBM

Oleh : Marwan Batubara | IRESS PADA tulisan kedua ini diuraikan beberapa alasan lain mengapa kenaikan harga BBM harus ditolak. Alasan tersebut terutama terkait pernyataan pemerintah bahwa APBN akan “jebol” jika harga BBM tidak naik akibat semakin membengkaknya subsidi BBM di APBN karena naiknya harga minyak dunia. Diyakini APBN tidak akan jebol, meskipun untuk menahan agar harga BBM tidak naik, subsidi BBM di APBN meningkat sekitar Rp 200 triliun. Selain itu, diungkap faktor utama yang menjadi penyebab jebolnya APBN, seperti diuraikan berikut ini. Kenaikan harga BBM berdampak luas pada perekonomian, mulai dari naiknya inflasi, terpangkasnya daya beli, tertahannya pemulihan ekonomi (terutama setelah pendemi korona), melambatnya pertumbuhan, hingga meningkatnya kemiskinan dan pengangguran. Jika inflasi tinggi, maka garis kemiskinan pun ikut naik (dari sekitar Rp 480.000 menjadi Rp 505.000). Maka, populasi orang miskin bertambah (dari 26 juta menjadi sekitar 28 juta). Hal-hal ini yang menjadi alasan utama mengapa kenaikan harga BBM harus ditolak. Dengan akibat yang demikian luas, maka BLT tidak akan cukup menutup semua dampak negatif kenaikan harga BBM, terutama karena penerima BLT hanya sebagian kecil dari rakyat yang terdampak. Apalagi, pembagian BLT pun hanya bersifat sementara, mungkin 3-4 bulan, sementara biaya hidup rakyat telah terlanjur naik, dan naiknya biaya ini terus berlaku berkepanjangan.Prinsipnya hidup rakyat semakin susah dan menderita. Padahal agar harga BBM tidak naik, seperti disinggung pada tulisan pertama, kenaikan subsidi BBM masih bisa ditanggung APBN. Sebab, dengan windfall income dari sektor batubara, CPO dan migas, penerimaan APBN justru meningkat. Menkeu Sri Mulyani Mengatakan surplus APBN sampai akhir Juli 2022 adalah Rp 106 triliun (8/8/2022). Diperkirakan windfall income APBN hingga akhir 2022 bisa melebihi Rp 200 triliun, lebih dari cukup untuk menutup kenaikan subsidi energi jika BBM tidak naik. Terlepas dari surplus APBN di atas, pemerintah harus membuka secara transparan, berapa sebenarnya windfall income tersebut. Diperkirakan jumlahnya lebih kecil dari potensi, terjadi akibat moral hazard pembuatan & pelaksanaan kebijakan. Ditengarai harga crude yang harus dibeli (kilang) Pertamina over-valued, dan hal ini menjadi beban rakyat. Pada sisi lain, penerimaan migas negara bertambah signifikan untuk menutup kekurangan anggaran subsidi BBM jika BBM tidak naik. Sedangkan harga batubara acuan (HBA) untuk ekspor ditengarai ditetapkan under-valed, tidak transparan, serta royalti dan pajak masih rendah. Biasanya terjadi tansfer pricing, cost, dll. Hal-hal ini jelas menguntungkan para pengusaha oligarkis. Namun sekaligus mengurangi penerimaan negara/APBN. Hal yang sama diyakini terjadi pada CPO, terutama terkait ketentuan pajak dan kebijakan harga yang berhubungan dengan biodiesel (B20 atau B30) yang hak produksinya “diberikan” hanya kepada segelintir konglomerat seperti Sinar Mas, Wilmar, dll. Keuntungan dari kebijakan yang tidak transparan dan bernuansa moral hazard ini sangat besar untuk dinikmati oligarki. Namun pada saat yang sama, sangat signifikan mengurangi penerimaan negara/APBN. Rakyat harus menuntut audit menyeluruh atas kebijakan-kebijakan tersebut. Di samping windfall income, pemerintah bisa menambal kenaikan subsidi BBM dengan menunda berbagai proyek pro oligarki seperti IKN, KA Cepat Jakarta-Bandung, dan sejumlah proyek infrastruktur yang tidak mendesak. Sebab, jika pengusaha untung besar, maka para penguasa pembuat kebijakan pun ikut menerima keuntungan dan kekuasaan pun bisa langgeng. Untuk itu, pemerintahan Jokowi lebih memilih menghemat anggaran subsidi BBM yang berdampak sangat menyengsarakan rakyat dibanding merealokasi dan menghemat APBN dari proyek-proyek oligakis. Pemerintah pun sangat gencar \"memasarkan\" proyek IKN kepada “investor” dan negara asing, Untuk itu pemerintah memaksakan diri membangun berbagai *infrastruktur dasar IKN. Agar biayanya terlihat kecil, sejumlah proyek infrastruktur IKN “diseludupkan” dalam mata anggaran berbagai kementrian. Bahkan, dana APBN pun telah digunakan sebelum UU IKN No.3/2022 berlaku. Dengan demikian, sebenarnya anggaran APBN untuk IKN yang dialokasikan di APBN lebih besar dari yang tertulis. Nafsu besar oligarki berburu rente berdaya rusak sangat besar pada keuangan negara. Meski penerimaan negara terbatas, proyek-proyek oligarkis tetap menjadi prioritas pemerintah. Tak peduli defisit APBN sangat tinggi. Defisit ditutup dengan menambah hutang, maka hutang negara terus meningkat (Juli 2022: Rp 7.163 triliun!). Selain itu, agar layak terus dapat berhutang, credit rating harus tinggi, maka pembayaran bunga dan pokok hutang harus lancar. Untuk itu, mata anggaran pembayaran hutang menjadi prioritas dalam APBN, mengalahkan anggaran subsidi yang dinikmati ratusan juta rakyat, bahkan meskipun rakyat akan sekarat. Prinsipnya, salah satu penyebab utama defisit APBN adalah pembayaran bunga hutang sangat besar. Tahun 2022 ini pengeluaran APBN untuk utang jatuh tempo (Rp 443 triliun) dan bunga (Rp 405 triliun) mencapai Rp 848 triliun. Bunga hutang meningkat akibat jumlah hutang negara yang terus meningkat, dan menjadi sangat pesat selama pemerintahan Jokowi. Besarnya peningkatan jumlah hutang tersebut terutama diakibatkan ambisi oligarki penguasa-pengusaha membangun proyek-proyek mercusuar, tidak mendesak dan tidak layak, yang diyakini sarat KKN dan perburuan rente melalui penggelembungan biaya. Demi proyek oligarki, sebesar apa pun peningkatan hutang dan dampaknya terhadap rusaknya APBN, tampaknya pemerintah tidak peduli. Di sisi meskipun dinikmati mayoritas rakyat, subsidi BBM di APBN dikorbankan. Tampaknya di mata pemerintahan Jokowi, sagelintir manusia oligarkis jauh lebih penting dibanding ratusan juta rakyat. Fakta lain, guna mendukung pendanaan proyek oligarkis, pemerintah terus menyuntik modal berupa Penyertaaan Modal Negara (PMN) ke BUMN. Bahkan modusnya pun ditengarai dimanipulasi. Untuk menambah modal BUMN, di samping suntikan PMN, BUMN dibiarkan leluasa membuat hutang. Namun bunga hutang BUMN tersebut menjadi tambahan beban negara. Ringkasnya, karena proyek-proyek BUMN bernuansa oligarkis, beban APBN bertambah, baik melalui PMN maupun melalui bunga hutang BUMN. Modus pertambahan hutang BUMN ini tampaknya diambil agar terhindar dari pembahasan dan persetujuan DPR. Sehingga jelas telah melanggar UU Keuangan Negara No.17/2033 dan UUD 1945. Ternyata, setelah proyek-proyek infrastruktur BUMN tersebut selesai dibangun, sebagian besar justru mangkrak atau diobral kepada “investor oligarkis” dan asing. Maka pembangunan infrastruktur dan proyek BUMN bukannya mensimulasi ekonomi nasional, tetapi justru menambah beban negara melalui penjualan aset jauh di bawah nilai investasi, menambah beban operasi pemeliharaan dan menambah beban bunga hutang. Sebagai rangkuman, prinsipnya windfall income migas, batubara dan CPO lebih dari cukup untuk menutup peningkatan subsidi BBM. Selain itu, jika pro rakyat, belanja APBN bisa direlokasi, proyek-proyek infrastruktur penyebab utama membengkaknya bunga hutang, bisa ditunda atau bahkan dibatalkan, sehingga subsidi BBM bisa dinaikkan. Dengan demikian, kenaikan harga BBM dapat dicegah. Yang jadi masalah, pemerintah pro oligarki, termasuk investor asing, terutama China. Tak heran kepentingan rakyat dikorbankan. Rakyat masih tetap diam? (*)

Mewaktu

Maka dari itu, sosok dari perwujudan manusia bukanlah fakta eksistensi yang sudah selesai (in actu), melainkan fakta eksistensi dalam proses menjadi (in potentia). Oleh: Yudi Latif, Cendekiawan Muslim SAUDARAKU, keseluruhan itu lebih dari jumlah bagian-bagiannya. Dalam psikologi dikenal dengan teori Gestalt. Misalnya, kita melihat lampu lalu-lintas. Kalau dilihat satuan-satuannya ada tiga warna: hijau, kuning, merah. Jika ketiga warna itu berdiri sendiri-sendiri, hasil penjumlahan ketiga warna itu tak mengandung arti tertentu, kecuali sekadar menunjukan perbedaan warna.  Namun, jika kita melihatnya secara keseluruhan sebagai suatu sistem, maka rangkaian paduan warna yang menyatu dan koheren ini, barulah mengandung makna yang utuh. Bahwa setiap warna itu mewakili fungsi penanda tertentu dalam suatu kesatuan integral dengan warna (penanda) lain yang secara keseluruhan membentuk sistem aturan lalu-lintas. Begitu pun cara kita melihat biografi manusia. Kita tidak bisa menilainya hanya dengan menangkap fragmen-fragmen penampakan dalam perjalanan hidupnya. Manusia harus dilihat secara keseluruhan sebagai makhluk yang dinamis dalam proses mewaktu (berkembang dalam waktu). Subjektivitas manusia dalam proses mewaktu dibentuk oleh hasil interaksi antara simbolisme budaya, biografi individual, disposisi biologis, kebiasaan sosial yang melekat, dan pemikiran deliberatif.   Maka dari itu, sosok dari perwujudan manusia bukanlah fakta eksistensi yang sudah selesai (in actu), melainkan fakta eksistensi dalam proses menjadi (in potentia). Tidak ada identitas tunggal dan tak ada identitas yang fixed. Bahkan, seorang pendosa bisa bertaubat; bahkan, seorang teroris bisa insyaf; bahkan, seorang tokoh agama bisa bejad; bahkan seorang polisi bisa kriminal; bahkan, seorang pemimpin bisa khianat. Bahkan, lawan politik bisa jadi sekutu. Bahkan, teman se-ideologi bisa beda kubu. Setiap pensuci memiliki masa lalu; setiap pendosa memiliki masa depan. Maka, sebaik-baik biografi manusia adalah mereka yang bisa mengakhiri kisah hidupnya dengan baik dan indah (Husnul khatimah). (*)

Pemerintah Masih Doyan Lahap Batubara Meski Sebagai Pemimpin Transisi Energi Dunia

Namun, karena pembangkit batubara yang dibangun swasta wajib dibeli oleh PLN berdasarkan regulasi, maka pembangunan pembangkit batubara terus digenjot. Oleh: Salamuddin Daeng, Pengamat Ekonomi Politik dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) MESKIPUN pemerintah Indonesia sekarang ini sebagai G20 Presidency dan mengemban amanat dunia untuk memimpin transisi energi, tapi tampaknya pemerintah masih doyan melahap batubara khususnya doyan dengan proyek pembangkit batubara. Meskipun semua itu berlawanan dengan agenda G20 Presidency. Adapun agenda transisi energi yang semestinya disukseskan Indonesia G20 Presidency, yakni usaha untuk beralih dari ketergantungan pada energi fosil menjadi energi baru terbaharukan. Salah satu caranya adalah dengan elektrifikasi seluruh sektor mulai dari transportasi industri rumah tangga, beralih ke listrik yang dihasilkan oleh energi ramah lingkungan. Lalu apa buktinya bahwa pemerintah masih doyan batubara? Ini termaktub dalam RUU APBN tahun 2023 yang saat ini sedang dibahas oleh pemerintah dan DPR RI. Di dalam RUU tersebut termuat komitmen pemeriuntah untuk membangun pembangkit batubara. Pemerintah masih memberikan perhatian penuh terhadap pembangunan pembangkit batubara. Kebijakan pemerintah yang doyan pembangkit batubara juga dilakukan dengan pemberian penjaminan pada percepatan pembangkit batubara. Selain itu pemerintah tetap berambisi melanjutkan pembangunan pembangkit batubara tertunda.  Dalam RUU APBN tahun 2023 prioritas pembangunan pembangkit masih terus dilakukan. Pasal 42 Ayat (2) Penugasan Percepatan Pembangunan Infrastruktur Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas: a. pemberian jaminan Pemerintah dalam rangka percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik yang menggunakan batu bara. Adapun pasal 42 ayat 1 berbunyi Menteri Keuangan diberikan kewenangan untuk mengelola anggaran Kewajiban Penjaminan Pemerintah untuk: a. penugasan Percepatan Pembangunan Infrastruktur Nasional; b. dukungan penjaminan pada program Pemulihan Ekonomi Nasional; dan/atau c. penugasan penyediaan pembiayaan infrastruktur daerah kepada Badan Usaha Milik Negara. Selain itu APBN masih memberikan program Penjaminan terhadap Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik yang Menggunakan Batubara. Penjaminan berupa anggaran dari APBN agar memdahkan investasi pembangkit batubara mendapatkan dana pembiayaan bank dalam negeri. Adapun proyek yang mendapatkan penjaminan adalah; 1) Penjaminan pemerintah dalam mendukung program percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik diberikan kepada pembangkit tenaga listrik yang menggunakan batu bara (Proyek 10.000 MW Tahap I). Hal ini sejalan dengan amanat Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2006 tentang Pemberian Jaminan Pemerintah untuk Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik yang Menggunakan Batu Bara. Di dalam RUU APBN 2023 juga terdapat penjaminan terhadap risiko kontinuitas pasokan batu bara yang akan berdampak pada operasional pembangkit, beberapa mitigasi risiko yang dilakukan oleh PT PLN (Persero) antara lain: (1) berkontrak dengan multi pemasok; (2) koordinasi kebutuhan dan ketersediaan batu bara secara rutin dengan pemasok; 3) melakukan monitoring pasokan batu bara; (4) memastikan kesiapan fasilitas penerimaan dan penyimpanan batu bara; (5) melakukan stakeholders management; (6) mengoptimalkan blending batu bara; (7) memastikan ketersediaan jenis energi primer yang lain sebagai alternatif; dan (8) melakukan koordinasi terkait kebijakan ESDM untuk lebih mampu menjaga security of supply batu bara. Berdasarkan hal di atas, maka tampaknya pemerintah makin doyan dengan pembangkit batubara dan terus digenjot untuk dibangun. Meskipun saat ini telah terjadi over supply listrik di Indoensia terutama di Jawa Bali. Namun, karena pembangkit batubara yang dibangun swasta wajib dibeli oleh PLN berdasarkan regulasi, maka pembangunan pembangkit batubara terus digenjot. Mungkin karena utang perusahaan pembangkit batubara di bank-bank nasional dan bank BUMN sudah terlalu banyak. Sehingga pembangunan pembangkit batubara terus dipaksakan, meskipun dengan resiko menanggung malu di G20 Presidency. Aku ra po po… (*)

Pemerintah Dinilai Malas Cari Solusi Pengelolaan Energi Berkelanjutan

Jakarta, FNN – Pengamat kebijakan publik Narasi Institute Achmad Nur Hidayat menilai, pemerintah malas dan tidak kreatif mencari solusi jangka panjang yang berkelanjutan untuk pengelolaan energi. Hal itu terlihat dari Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati yang mengajukan anggaran subsidi tambahan ke Badan Anggaran (Banggar) DPR RI yang sekaligus menunjukkan tidak ada langkah baru dari pemerintah. “Pemerintah sepertinya tidak belajar akan beranjak dari pola yang sama dalam mengatasi BBM. Subsidi energi 2023 dirancang dengan ketidakakuratan asumsi penentuan ICP, penentuan kurs dan penentuan volume bahan bakar minyak (BBM) subsidi,” kata Hidayat, di Jakarta, Rabu (14/9/2022). Sri Mulyani, lanjut Hidayat, meminta tambahan belanja negara pada subsidi energi di 2023 sebesar Rp 1,3 triliun dengan alasan karena target penerimaan negara dari Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2023 juga meningkat Rp 19,4 triliun. Padahal alokasi anggaran tersebut belum dilaksanakan, namun pemerintah sudah meminta koreksi hitung-hitungan subsidi energi 2023 ke Bangar DPR RI. “Besaran subsidi energi yang dimasukkan ke dalam RUU APBN 2023 sebesar Rp 210,7 triliun. Besaran itu belum ditambahkan dengan kompensasi energi,” katanya. Jika dirinci dari mulai subsidi BBM dan LPG naik dari Rp138,3 triliun menjadi Rp139,4 triliun atau Rp1,1 triliun. Kemudian ada penambahan Rp600 miliar untuk jenis BBM Tertentu (JBT) dan Rp400 miliar untuk LPG 3 kg. Subsidi listrik naik 0,3 triliun. Sehingga total subsidi energi Rp212 triliun naik dari Rp210,7 triliun atau mengalami kenaikan sebesar Rp1,3 triliun. Menurut Hidayat, untuk hitungan harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) masih tetap sama dari RAPBN 2022 dengan asumsi di 90 Dollar AS per barel. Namun, nilai tukar rupiah mengalami koreksi atau kenaikan dari semula Rp14.750 menjadi Rp 14.800 per Dollar AS “Selain itu, subsidi energi naik menjadi Rp 212 triliun tahun 2023 tidak disertai rencana menyelesaikan subsidi yang salah sasaran dan juga rencana kemandirian energi sebagai dua sumber kenaikan BBM subsidi selama ini,” kata Hidayat. Pemerintah, lanjut Hidayat, seharusnya bisa menempuh langkah-langkah jangka panjang seperti mengefisiensikan PT Pertamina (Persero), termasuk dalam pengolahan dari minyak mentah hingga menjadi BBM. Kemudian, menjadikan subsidi tidak salah sasaran, mencari sumber minyak baru yang lebih murah seperti dari Rusia dan negara-negara pantai Afrika, serta membangun produsen minyak nabati yang dikonversi menjadi BioFuell yang bisa dipakai untuk berbagai jenis kendaraan. “Semestinya pemerintah bisa mengoptimalkan BRIN sebagai leading dalam riset untuk bisa difungsikan peranannya untuk mencari invoasi-inovasi energi baru sehingga masa depan swasembada energi nasional bisa terwujud dalam kurun waktu yang lebih cepat,” kata Hidayat. Jika hal-hal tersebut tidak dilakukan, menurut Hidayat, Indonesia akan terjebak dengan isu dan perdebatan yang sama dan terus berulang selama lebih dari 20 tahun. Selain subsidi tidak tepat sasaran, APBN akan terus jeblok. “Pemerintah harusnya ingat dengan pepatah ‘keledai tidak masuk ke lubang yang sama dua kali’,” kata dia. (mth/*)

Dari PSI Hingga ke PSSI, Gede Bacot Sepi Prestasi

Oleh Yusuf Blegur | Mantan Presidium GMNI ANIES tak terbendung lagi semakin menguat dan unggul dalam kontestasi pilpres  2024. Seiring kinerja dan prestasinya selaku gubernur Jakarta, simpati dan dukungan rakyat terus mengalir mendorongnya menduduki kursi orang nomor satu di republik ini. Lantas, fitnah dan cara apa saja yang ingin menjegal cucu pahlawanan nasional yang identik dengan integritas dan kerendahan hati ini?. Sejak  menjabat gubernur Jakarta, sejak saat itu pula Anies didera sikap kebencian, permusuhan dan bahkan ada  yang menyatakan anti Anies. Sikap menolak Anies dari lawan-lawan politiknya menjadi buntut dari persaingan pilkada DKI tahun 2017. Tak sekedar kecewa dan tidak puas, resistensi terhadap Anies menjadi dendam politik yang tak pernah surut hingga menjelang tugas kepala daerah DKI berakhir diemban Anies. Mulai dari buzzer, politisi, birokrat dan aneka profesi seolah merasa penting untuk bersikap sinis dan menghujat Anies. Dari personal hingga institusional seakan relevan untuk ikut-ikutan membully pemimpin yang semakin populer didukung dan dicintai rakyat terutama menjrlang pilpres 2024. Setelah Partai Solideritas Indonesia (PSI) melalui Giring Ganesha dan Grace Natalia tak pernah berhenti menyerang Anies. Seolah telah menjadi program kerja partai gurem itu untuk menjatuhkan Anies. Di ujung berakhirnya tugas Anies di Balai Kota, giliran PSSI mencoba mengikis prestasi Anies  lewat komentar nyeleneh soal JIS. Agar tak terlalu mencolok politis  mendowngrade Anies, Ketum PSSI dengan narasi bersayapnya yang  tendensius, mengumbar sikap \"under estimate\" terhadap JIS. Sebuah pernyataan yang asal bunyi dan menunjukkan kualitas rendah dari seorang pemimpin asosiasi sepak bola nasional. Mochamad Iriawan atau bisa dipanggil Iwan Bule, yang tidak paham sepak bola karena berkarir sebagai polisi. Seperti menelanjangani wawasannya sendiri yang cekak tentang olah raga khususnya sepak bola, dengan mengatakan JIS tidak memenuhi standar FIFA. Mantan Kapolda Meto Jaya tersebut, terlalu sembarangan dan tanpa pikir panjang mengomentari hal yang sesungguhnya dia belum pahami. JIS yang merupakan karya anak bangsa dan menjadi stadion kebanggaan bukan hanya warga Jakarta tapi seluruh rakyat Indonesia. Menariknya JIS dibangun oleh rakyat Indonesia sendiri buka TKA Cina, melalui kerjasama Operasi (KSO) oleh PT. WIKA, PT. Pembangunan Perumahan dan PT. Jaya Konstruksi. Selain memiliki keindahan dan kemewahan arsitekturnya, dari segi struktur bangunan dan fungsinya JIS telah memenuhi standar FIFA. JIS sesuai dengan  namanya, memang memang layak menjadi stadion berkapasitas internasional. Minimal sebagai home base Persija klub kebanggan warga Jakarta  dan hajatan sepak bola nasional maupun even sepak bola dunia. Kinerja ketum PSSI yang sejauh ini belum  mampu mengangkat persepakbolaan nasional, malah terlihat gagap dan berantakan mengembangkan   potensi pemain usia dini, sistem pelatihan dan kompetisi serta timnas sepakbola yang membanggakan. Sepak bola Indonesia tetap sulit bersaing dalam turnamen Asia, apalagi dunia. Dengan membatalkan gelaran FIFA Matchday antara timnas Indonesia melawan Curacao pada tanggal 27 September 2022 di JIS, dengan alasan belum memenuhi standar FIFA termasuk infrastruktur bangunan, lahan parkir dan harga sewa yang mahal. Membuktikan pemahaman sepak bola punggawa PSSI terhadap JIS belum integral dan holistik. Bisa dibilang kerdil atau setidaknya sangat politis. JIS yang berdiri di atas lahan seluas 22 hektar dengan menyerap anggaran 1,04 triliun. Menjadi stadion dengan kapasitas 82 ribu orang, jumlah penonton yang hampr menyamai  stadion GBK. JIS juga mampu  menyediakan tempat parkir 1200 mobil bahkan melebihi stadion Barnebau milik Real Madrid yang hanya mampu memuat 500 mobil. Pun demikian, penyedian lahan parkir itu mendukung semangat dan visi Anies dalam memaksimalkan penggunaan transportasi massal. Tahukah si Iwan Bule itu?. Seperti rangkaian paduan suara politik yang didesain untuk mengerdilkan sekaligus membunuh karakter Anies. PSSI yang harusnya profesional dan fokus pada pembenahan dunia sepak bola Indonesia, jadi ikut-ikutan berpolitik. Mungkin Iwan Bule yang lebih terlihat kampungan dalam politik, terlalu syur dengan agenda kampanye dirinya yang ingin menjadi gubernur Jawa Barat. Sehingga ia tidak berkelas dan berkualitas menilai JIS karena agenda pribadi dan tujuan politik. Mungkin juga ada pesanan dari sponsor politik misalnya dari orang partai atau oligarki, itu bukan hal yang mustahil. Cukup dengan  iming-iming tertentu, untuk giat dalam proyek politik menggerus figur anies. Begitupun dengan sekjend PSSI Yunus Nusi yang ngomongnya mencla-mencle soal JIS karena takut sama ketuanya. Sama seperti kebanyakan suasana di partai politik, hampir semuanya senang menjadi kacung berlagak elit, tidak ada kebebasan dan karakter meski hanya untuk berpikir, bersuara dan bersikap. Alih-alih memajukan sepak bola Indonesia, pengurus PSSI lebih banyak menjadi faktor utama kemunduran sepak bola nasional. Sebaiknya PSSI lebih fokus lagi membenahi wajah timnas  serta perkembangan sepak bola di tanah air.  Pengurus  PSSI harusnya diisi oleh orang-orang yang  profesional dan memahami sepak bola, tidak asal comot. Orang-orang yang kapabel, kompeten dan akuntabel wajib ada agar sepak bola Indonesia bermartabat dan membanggakan. Sepak bola Indonesia tanpa suap dan korupsi, tanpa katabelece dalam perekrutan pemain timnas, tanpa tawuran penonton dan pemain  serta yang utama mampu membuat prestasi yang membanggakan. Itu menjadi wajib dan penting buat Ketum PSSI dan jajarannya ketimbang mengurus politik dan agenda lainnya di luar sepak bola. Perhatikan saja kesejahteraan pemain sepak bola baik timnas, klub dan usia dini agar memiliki motivasi dan semangat menjadi bintang dengan contoh dan keteladanan memimpin PSSI. Jadi kalau sudah tidak punya kinerja yang baik, jangan lebih mempermalukan diri  lagi dengan omong kosong dan perilaku yang memuakan. Jangan seperti partai politik tanpa integritas atau lebih buruk lagi sebagai buzzer yang hobi menyebar intrik, isu dan finah. Sekali lagi saran sekaligus pesan moral buat ketum PSSI, jangan kebanyakan omong dan betingkah. Jangan  ssmpai supporter dan rakyat berseloroh, dari PSI ke PSSI gede bacot sepi prestasi.  

Heboh Pernyataan Effendi Simbolon Soal TNI, Achmad Nur Hidayat: DPR Harusnya Jadi Penengah, Bukan Menambah Kisruh!

Jakarta, FNN – Kerasnya kritik Anggota Komisi I DPR RI Effendi Simbolon kepada TNI saat rapat bersama Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa itu berbuntut panjang. Effendi Simbolon yang menyoroti dugaan keretakan antara pimpinan di kubu TNI menganggap TNI dengan situasi yang sekarang ini sebagai Gerombolan. Mengenai pernyataan Effendi ini, Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute Achmad Nur Hidayat angkat suara. Achmad menganggap bahwa apa yang dilontarkan oleh Effendi Simbolan tidak sepantasnya diungkapkan. “Sebagai wakil rakyat, Effendi Simbolon tidak sepantasnya menggunakan diksi yang sensitif bisa menyinggung institusi TNI dan membuatnya seolah-olah tampak tidak mempunyai maruah dan integritas,” ujarnya dalam keterangan yang diterima FNN.co.id, Kamis (15/9/22). Menurut Achmad, hal Ini sangat sensitif dan harusnya politisi PDIP tersebut berpikir dua kali karena wibawa TNI ini akan berpengaruh kepada penilaian dunia internasional terhadap kualitas pertahanan negara. Achmad juga menegaskan harusnya DPR menjadi penengah mengenai adanya dugaan ketidakharmonisan di antara petinggi TNI, bukan malah memperkeruh suasana. “Semestinya DPR menjadi penengah yang mampu merekatkan, bukan membuatnya menjadi blunder. Dan semestinya DPR tidak menambah kisruh dan membuat hal ini melebar dengan mengeluarkan statement kecaman terhadap Jenderal Dudung yang dianggap mengintimidasi,” tegasnya. Ketidakharmonisan antara Panglima TNI Jendral Andhika dengan KSAD Jenderal Dudung Abdurachman hanya perbedaan pandangan yang semestinya disikapi secara wajar. “Tapi walaupun demikian TNI harus tetap solid dan harus lebih mengedepankan kepentingan negara daripada ego masing-masing,” jelasnya. Mengenai perkembangan yang ada, Effendi Simbolon sudah meminta maaf dan KSAD Dudung sendiri telah memerintahkan anak buahnya untuk tidak lagi melakukan protes secara terbuka sebagaimana viral di media sosial. (mth/*)

Revolusi Dalam Sepiring Nasi

Oleh Yusuf Blegur | Mantan Presidium GMNI Terlalu lama, rakyat berharap dan mengagungkan demokrasi. Terlalu lama, rakyat percaya dan setia melaksanakan  konstitusi. Terlalu lama, rakyat tunduk pada negara,  aparat dan institusi. Terlalu lama,  rakyat teguh menjunjung tinggi moral dan hati nurani. Namun begitu cepat, para penyelenggara pemerintahan bernafsu mengejar harta. Namun begitu cepat, politisi bersekongkol dengan birokrasi hingga tega menjual kekayaan negara. Namun begitu cepat, aparatur negara gesit menghalalkan segala cara memburu tahta. Namun begitu cepat, cepat para pemimpin menimbulkan bencana  dan angkara murka. Terlalu lama, negara dipenuhi drama  pencitraan dan  janji. Terlalu lama, para penguasa hipokrit dan bertindak tak lagi manusiawi. Terlalu lama, TNI bersama Polri secara substansi dan hakiki tak melindungi, mengayomi dan melayani. Terlalu lama, negeri ini dikuasai para cecunguk dan boneka oligarki. Namun begitu cepat, liberasi dan sekulerisasi menggejala. Namun begitu cepat, agama dan ulama menjadi mudah dihina dan dinista. Namun begitu cepat, Pancasila, UUD 1945 dan NKRI tak lagi bermakna. Namun begitu cepat, rakyat teriak dan berkehendak revolusi tapi takut lapar, sengsara dan menderita.

Toko Banzai di Pasar Baroe

Oleh Ridwan Saidi Budayawan  PASAR Baroe dibuka tahun 1820. Di samping toko2 berjualan tekstil dan barang2 keperluan hari2 juga ada tempat untuk jualan ayam di ujung utara blok timur. Masih blok timur tak jauh dari pasar ayam ada pasar kelinci. Penyanyi Lilies Suryani tahun 1970-an sempat salah prakira dalam lyric lagunya yang sempat bekend Gang Kelinci, Lilies menduga dulunya itu kerajaan kelinci. Setelah PD I banyak dibuka toko-toko orang India, salah satunya Toko Bombay. Sejak itu toko orang India dimana pun disebut Toko Bombay. Menjelang PD II di Pasar Baroe muncul toko2 orang Jepang, salah satunya Toko Banzai. Ternyata di kota-kota besar di Jawa juga muncul toko-toko Jepang. Biasanya mereka membuka Photo Studio. Awak toko Jepang berpenampilan rapih. Mereka berdasi. Tak jelas nasib toko-toko Jepang setelah mereka kalah dalam PD II. Tahun 1950-an Pasar Baru selain tempat belanja juga tempat santai yang popular. Orang sudah cukup terhibur dengan jalan-jalan sambil melihat-lihat dari ujung ke ujung Pasar Baru. Telinga pun terhibur mendengar lagu-lagu Doris Day dan Jullie London yang diputar gramophone Toko Tio Tek Hong. Itulah kehidupan jaman Demokrasi Liberal yang sering dimaki-maki Orde Lama. Tanpa ada larangan, pada waktu kampanye pemilu 1955 tak ada partai  yang tempel tanda gambar di dinding toko. Juga tak ada spanduk yang digantung di jalan  Pasar Baru. Ini disiplin sosial . Jaman Orde Lama nama-nama toko bahasa asing harus diIndonesiakan. De Zon toko di Pasar Baru yang paling besar dan ramai pengunjungnya harus ganti nama. De Zon bahasa Belanda. Juru parkir tetap bilang atret, dari bahasa Belanda achteruit = mundur. Kalau kondektur sesuai jaman Orla yang gemar akronim. Di tengah penumpang yang berdiri  bersesakan sedangkan kondektur harus kutip ongkos, maka ia berjalan selap-selip sambil teriak \"durkit, durkit\". Itu akronim mundur sedikit.  Pembesar suka ke pasar-pasar Jalan-jalan keliling pasar perlu bila setelahnya membuat evaluasi. Hendaknya jangan sekedar ayun dengkul atau dalam ungkapan Betawi, adu dengkul léwa-lewa. Belakangan ini saya pernah berjalan-jalan di Pasar Baru. Hatiku terluka dilanda sepi. (RSaidi).

Menanti Pelantikan Pimpinan MPR dari Unsur Dewan Perwakilan Daerah

Kisruh yang terjadi di DPD bukan urusan personal. Realita politik ini mengemuka bukan karena sentimen pribadi. Bung Fadel adalah politisi senior yang kita hormati. Langsung atau tidak, dia merupakan guru bagi tidak sedikit politisi muda, termasuk penulis.  Oleh: Ajbar, Sekretaris DPD di Majelis Permusyawaratan Rakyat SEMINGGU sudah Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Bambang Soesatyo menerima surat Pemberhentian Fadel Muhammad sebagai Pimpinan MPR dari unsur DPD. Kita berharap, Pimpinan MPR segera mengagendakan pelantikan Wakil Ketua MPR baru yang terpilih secara demokratis melalui Sidang Paripurna Ke-2 DPD RI, 18 Agustus 2022. Harapan itu didasari atas empat pertimbangan. Pertama, agar kekosongan jabatan Wakil Ketua MPR tidak berlarut-larut. Kedua, agar kepentingan-kepentingan DPD atau Dewan Perwakilan Daerah  di MPR tidak terhambat oleh kekosongan jabatan dimaksud.  Ketiga, sebagai penghormatan Pimpinan MPR terhadap keputusan lembaga DPD yang dihasilkan melalui Sidang Paripurna Ke-2. Keempat, sekaligus yang paling penting, Tata Tertib (Tatib) MPR memerintahkan agar pelantikan dilakukan maksimal 30 hari sejak Pimpinan MPR berhenti dari jabatannya.  Mengacu pada Pasal 9 ayat 1 Tata Tertib (Tatib) MPR, Pimpinan MPR berhenti dari jabatannya karena tiga hal. Pertama, karena meninggal dunia. Kedua, karena mengundurkan diri, dan Ketiga karena diberhentikan. Terhadap Pimpinan MPR yang berhenti dari jabatannya, Pasal 29 Ayat 3 Tata Tertib MPR mengatur waktu pelantikannya, yakni maksimal 30 hari tadi.  Sidang Paripurna Ke-2 DPD dilaksanakan pada 18 Agustus 2022. Sidang itu antara lain memutuskan pemberhentian Fadel Muhammad dari jabatannya sebagai Pimpinan MPR RI dari unsur DPD RI sekaligus memilih pengganti beliau secara demokratis. Melihat tanggal pelaksaanan sidang, tenggang waktu pergantian agaknya telah mendekati batas sebagaimana diatur Tatib. Oleh karena itu, Pimpinan MPR sebaiknya bergegas mengagendakan pelantikan Pimpinan MPR dari unsur DPD yang telah dipilih secara demokratis tersebut. Saat ini  ada upaya hukum dan politik yang ditempuh Bung Fadel. Kita menghargai dan menaruh hormat atas langkah-langkah tersebut. Bagaimana pun juga, ia punya hak untuk itu.  Namun, langkah tersebut sejatinya tidak dapat menjadi alasan bagi Pimpinan MPR untuk menunda pelantikan. Selain karena perintah tata tertib, kekosongan jabatan yang terjadi akan sangat merugikan DPD. Mosi Tidak Percaya Penarikan Bung Fadel dari jabatannya sebagai Pimpinan MPR dipicu oleh penarikan dukungan atau mosi tidak percaya mayoritas Anggota Dewan. Bagi DPD, mosi tidak percaya bukan perkara baru. Dalam perjalanan lembaga DPD, mosi tidak percaya telah beberapa kali mencuat dan membuahkan keputusan baru. Mayoritas Anggota DPD menandatangani mosi tidak percaya. Kongkritnya 97 dari 136 Anggota DPD, atau sebanyak 71,3 persen. Jumlah ini tentu sangat signifikan. Oleh karena itu, Pimpinan DPD wajib merespon dan menindaklanjuti aspirasi ini demi menjaga situasi kondusif internal DPD RI. Alasan anggota mengajukan mosi tidak percaya tentu beragam. Namun, secara umum, anggota menginginkan agar kepentingan DPD di MPR dapat diperjuangkan dengan optimal. Juga agar Pimpinan MPR dari DPD tidak berjarak dengan Anggota DPD. Dalam perkembangan terbarunya, dua Anggota DPD manarik pernyataan mosi tidak percaya. Sementara dua Pimpinan DPD juga mencabut dukungan penarikan Bung Fadel. Sebelumnya, empat Pimpinan DPD secara lengkap menandatangani Keputusan DPD RI Nomor 2/DPDRI/I/2022- 2023 tentang Penggantian Pimpinan MPR RI dari unsur DPD RI Tahun 2022-2024. Kesempatan terlibat langsung dalam proses pemilihan jelas terlihat, mulai dari pemilihan pada subwilayah masing-masing hingga menulis dan memasukkan nama ke  kotak suara yang sudah disiapkan. Keselurahannya terekan dalam dan disediakan secara lengkap oleh Biro Humas atau Hubungan Masyarakat Sekretariat DPD. Kita menghargai keputusan penarikan dukungan atas mosi tidak percaya tersebut. Tentu, penghormatan yang sama harus pula diberikan kepada kawan-kawan yang menarik dukungannya kepada Bung Fadel.  DPD RI adalah lembaga politik. Memberi dukungan dan menarik dukungan adalah hal biasa, sepanjang tidak melanggar ketentuan yang berlaku.  Hanya saja, harus dipahami bahwa penarikan Bung Fadel telah melalui serangkaian mekanisme formal di internal lembaga DPD sebelum akhirnya diputuskan dalam Sidang Paripurna DPD. Artinya, perubahan sikap dari satu-dua orang tidak berpengaruh terhadap keputusan sidang, apalagi membatalkannya.  Keputusan sidang paripurna hanya bisa dibatalkan melalui sidang paripurna juga. Sebaiknya Pimpinan MPR peka menangkap sinyalemen itu.  Kisruh yang terjadi di DPD bukan urusan personal. Realita politik ini mengemuka bukan karena sentimen pribadi. Bung Fadel adalah politisi senior yang kita hormati. Langsung atau tidak, dia merupakan guru bagi tidak sedikit politisi muda, termasuk penulis.  Penarikan dukungan atau mosi tidak percaya tentu tidak menggugurkan kehormatan itu. Namun, mosi tidak percaya mempunyai pengaruh pada masalah legitimasi. Perspektif legitimasi itu seharusnya menjadi alasan tambahan bagi Pimpinan MPR supaya segera mengagendakan pelantikan pimpinan dari usur DPD. (*)