ALL CATEGORY
Penghapusan Tenaga Honorer Perlu Ditangani Secara Bijak
Tanjungpinang, Kepulauan Riau, FNN - Pengamat politik dan pemerintahan, Endri Sanopaka, berpendapat rencana pemerintah menghapus tenaga honorer sebaiknya ditangani secara bijak sehingga dapat meminimalisir dampak negatif.\"Ada potensi negatif akibat kebijakan itu baik secara politik, sosial, hukum maupun ekonomi sehingga pemerintah perlu mempertimbangkan nasib tenaga honorer jauh sebelum kebijakan itu diberlakukan,\" kata ketua Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Raja Haji, itu di Tanjungpinang, Kepulauan Riau, Senin.Menurut dia, penghapusan tenaga honorer yang saat ini hangat dibicarakan publik, berpotensi memberi dampak negatif terhadap kepala daerah dan wakil kepala daerah yang ingin mencalonkan diri kembali pada Pilkada 2024, meski ribuan tenaga honorer harus memahami bahwa kebijakan penghapusan tenaga honorer di pemerintahan berdasarkan amanah UU Nomor 5/2014 tentang ASN.Berdasarkan undang-undang itu, ASN terdiri dari Pegawai Negeri Sipil dan Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (PNS dan PPPK). Namun sumber keuangan honor atau gaji kepada tenaga honorer tidak membebani anggaran pusat, melainkan daerah.Begitu pula dengan PPPK, menurut dia anggaran untuk pembayaran gaji mereka bersumber dari anggaran daerah, berbeda dengan PNS yang bersumber dari anggaran pusat. Karena itu, sejak awal pemda menunda membuka penerimaan PPPK, kecuali untuk guru lantaran jumlah tenaga honorer yang cukup banyak.Selama ini, kata dia tenaga honorer yang bekerja di pemerintahan daerah tidak semata-mata berorientasi terhadap gaji. Sebab, gaji yang diperoleh mereka relatif jauh lebih rendah dibanding PNS atau PPPK.Pertimbangan mereka justru merasa bangga dapat bekerja di pemerintahan karena mendapatkan status sosial yang baik di tengah masyarakat. \"Pendapatan daerah turun sejak pandemi Covid-19. Tahun 2022 ini baru terlihat perlahan-lahan kondisi kembali normal, aktivitas masyarakat meningkat dan perekonomian berjalan,\" ucapnya.Keinginan Gubernur Kepulauan Riau, Ansar Ahmad, agar pemerintah pusat menangguhkan kebijakan penghapusan tenaga honorer di pemerintahan tersebut tidak akan berarti apa-apa bila para honorer tidak mendukungnya. \"Semestinya berjuang bersama-sama minta kebijakan khusus dari pusat,\" tegasnya.Selain aspek politik, Endri berpendapat bahwa penghapusan tenaga honorer pada 2023 potensial menimbulkan permasalahan sosial yang cukup besar akibat peningkatan angka pengangguran.Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, tahun 2021, jumlah penduduk usia kerja di Kepri yang terdampak Covid-19 sehingga tidak bekerja sebanyak 209.506 orang (9,91 persen). Jumlah tersebut turun 27,40 persen dari periode yang sama tahun lalu sebanyak 288.549 orang.Penghapusan tenaga honorer di Kepri akan berkontribusi terhadap peningkatan jumlah pengangguran sehingga perlu ditangani secara bijak.\"Di Pemprov Kepri terdapat sekitar 7.000 orang honorer, belum lagi di pemerintahan kabupaten dan kota. Tentu permasalahan sosial yang timbul akibat peningkatan angka pengangguran semakin tinggi sehingga perlu ditangani secara serius,\" ujarnya.Sebelumnya, Sekda Kepulauan Riau, Adi Prihantara, menyatakan, mereka berupaya memperjuangkan nasib sekitar 7.000 tenaga honorer di pemda setempat menyusul rencana pemerintah pusat menghapus status mereka mulai 2023. \"Kami tetap memikirkan nasib status honorer agar jangan sampai dihapus tanpa ada solusi,\" katanya.Menurut dia, tidak mudah memberhentikan tenaga honorer begitu saja, karena harus diakui keberadaan mereka selama ini membantu pemerintah daerah dalam melayani publik.Ia juga mengklaim ribuan pegawai honorer itu tidak membebani APBD Pemprov Kepri, sebab setiap tahun memang sudah dianggarkan sesuai aturan dan mekanisme yang berlaku. \"Kami tentu tidak ingin kebijakan penghapusan honorer, justru memicu meningkatnya angka pengangguran terbuka,\" ujar dia.Ia menyatakan bahwa pemerintah daerah tidak dapat menyangkal atas turunnya surat edaran Kementerian PAN-RB perihal penghapusan tenaga honorer pada tahun depan. Apalagi undang-undang yang mengatur tentang larangan pengangkatan tenaga honorer pemerintahan sudah berlaku sejak lama.Namun, kata dia, di sisi lain pemerintah juga harus mencari solusi terbaik untuk para honorer, terutama mereka yang sudah mengabdi lima hingga 10 tahun. Misalnya, diterima menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K) atau CPNS melalui serangkaian seleksi.\"Kami terus mengusulkan formasi P3K dan CPNS ke pemerintah pusat, namun kuotanya memang terbatas. Sebab, itu menjadi kewenangan mereka,\" ucap dia. (Ida/ANTARA)
Rakernas II PDIP Akan Dibuka Megawati di Jakarta
Jakarta, FNN - Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri diagendakan membuka Rapat Kerja Nasional (Rakernas) II PDIP yang digelar di Sekolah Partai PDIP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, pada Selasa (21/6) hingga Kamis (23/6). \"Acara Rakernas ini akan dibuka oleh Ketua Umum PDI Perjuangan, Ibu Megawati Soekarnoputri. Presiden Joko Widodo dijadwalkan memberi sambutan di Rakernas,\" kata Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto, di Jakarta, Senin. Dia mengatakan, Rakernas PDIP kali ini mengusung tema \"Desa Kuat, Indonesia Maju dan Berdaulat\", dengan sub tema \"Desa Taman Sari Kemajuan Nusantara\". Hasto menjelaskan, seperti yang pernah diungkap Megawati Soekarnoputri, bahwa Indonesia memiliki kepentingan yang besar untuk memastikan pembangunan desa, sebab pembangunan Indonesia ke depan dimulai dari desa. Bagi PDIP, kata Hasto, desa adalah ujung tombak pemerintahan, yang berada di garda terdepan pelayanan publik, sekaligus tempat hidup tradisi dan adat istiadat. \"Desa adalah taman sari kearifan lokal nusantara. Itulah sumber kebudayaan dan kepribadian bangsa. Membangun Indonesia harus dimulai dari desa dengan program pembangunan di segala bidang kehidupan, berbasis pada hasil riset nasional. Sehingga ke depan harus ada optimalisasi peran peneliti dan perekayasa di kampus-kampus yang mengolah sumber daya di desa,\" papar Hasto. Dengan tema ini, lanjut Hasto, PDIP ingin memperjuangkan perbaikan kehidupan rakyat melalui keputusan-keputusan politik yang jelas. Sehingga benar terwujudlah membangun Indonesia dari desa. \"Desa kuat, Indonesia maju dan berdaulat,\" tegas Hasto. Secara kepartaian, lanjut Hasto, rakernas dilaksanakan berdasarkan amanat Kongres V Partai yang dilaksanakan pada tanggal 8-11 Agustus 2019, dan instruksi Ketua Umum Partai. Konsolidasi partai dilaksanakan melalui Program 5 Mantap. Yakni Mantap Ideologi; Mantap Organisasi; Mantap Kader; Mantap Program dan Mantap Sumber Daya. \"Rakernas partai dilakukan untuk melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan konsolidasi partai, mendengarkan laporan dari badan-badan partai dan alat kelengkapan partai, serta untuk menyusun program pemenangan pemilu legislatif dan pemilu presiden pada tahun 2024,\" tuturnya. (Ida/ANTARA)
Spanduk Gibran-Puan Muncul di Sejumlah Titik Solo Raya
Solo, FNN - Sejumlah spanduk bergambar Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka dengan Ketua DPR RI Puan Maharani muncul di sejumlah titik di Solo Raya, antara lain, di kawasan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, dan beberapa titik di Kota Solo, Jawa Tengah.Pantauan di Solo, Senin, menunjukkan bahwa spanduk yang terpasang tersebut atas mengatasnamakan Projo atau sukarelawan Pro Jokowi. Pada spanduk tersebut tertulis Puan bersama Gibran dari Solo Raya untuk Indonesia.Terkait dengan hal itu, Gibran irit memberi tanggapan. Ia juga baru mengetahui adanya spanduk tersebut setelah ada kenalan yang mengirimkan foto kepadanya.\"Ya tanya yang masang spanduk saja to, saya sudah tahu (terkait pemasangan spanduk),\" katanya.Terkait pesan dukungan yang tersirat dalam spanduk tersebut, ia juga enggan menanggapi.\"Nggak gimana-gimana, aku juga nggak tahu yang masang siapa, kapan dipasang kok tahu-tahu dipasang seperti itu,\" katanya.Mengenai kemungkinan Gibran untuk maju pada Pemilihan Presiden mendatang, ia tidak ingin berandai-andai.\"Saya fokus yang di Solo dulu saja, fokus ASEAN Para Games,\" katanya.Sementara itu, salah seorang petugas Linmas Kelurahan Ketelan, Kecamatan Banjarsari, Solo, bernama Nimo mengatakan tidak tahu kapan pemasangan tersebut dilakukan.\"Kemarin belum ada, pas saya tugas di sana belum ada. Tadi saya berangkat tugas pukul 08.00 WIB sudah ada,\" katanya.Projo: Selebaran hitamSaat dikonfirmasi terkait pemasangan spanduk tersebut, Ketua DPC Projo Solo Tego Wigati mengatakan tidak pernah memasang satu pun spanduk.\"Kami mengikuti arahan pengurus pusat dan Dewan Pembina (Projo) Bapak Joko Widodo. Kami menunggu hasil dari musyawarah rakyat dan menunggu petunjuk Pak Jokowi seperti apa. Untuk dukung-mendukung, belum berani,\" katanya.Menurut dia, pemasangan tersebut juga tidak mungkin dilakukan oleh anggota Projo yang lain.\"Nggak mungkin karena semua tegak lurus DPP. Di situ (spanduk) kan simbolnya warna hitam ya, kami simbolnya merah. Saya menganggap itu selebaran hitam karena DPC Projo Surakarta tidak pernah merasa memasang itu,\" katanya. (Ida/ANTARA)
Tiba-tiba Semuanya Mendadak Alim
Oleh Ady Amar Kolumnis PILPRES masih dua tahunan lagi. Masih cukup lama. Tapi persiapan menuju Pilpres bagi yang punya syahwat nyapres, rasanya waktu itu sudah dekat. Maka persiapan pun dibuat sedetail mungkin. Bahkan penampilan diri pun dibuat lagaknya seperti ulama, yang sehari-hari tak lepas dengan songkoknya. Bagi yang niat _nyapres_ penampilan kudu dirubah. Membiasakan sehari-hari berkostum takwo dan syal menjuntai di leher. Semua jadi tampak alim. Tak lupa doa, jika mesti berbicara dihadapan komunitas tertentu. Salam penutup yang biasa disampaikan pada setiap sambutan pun dihafalnya dengan baik. Disesuaikan dengan komunitas yang ada. Bagian dari mengambil hati tuan rumah, agar bisa dianggap bagian dari komunitasnya. Aktif menyambangi tokoh panutan umat, hadir pada kegiatan majelis taklim, dan komunitas muslim lainnya. Mendatangi Pondok Pesantren jadi rutinitas sehari-hari. Meski jabatan publik yang disandangnya sebagai menteri, tidak menyurutkan langkahnya untuk bersafari. Ada saja yang ditawarkan sebagai bentuk kerja sama dengan instansi yang dipimpinnya, itu agar tidak terkesan jalan-jalan mengabaikan pekerjaan selaku pejabat publik. Kepedulian pada pondok pesantren dan komunitas muslim menjadi meningkat. Seolah berlomba berkejaran dengan waktu dalam menegakkan syiar agama. Seolah bagian dari pertanggung jawaban yang akan dibawa nantinya di hadapan Tuhan. Hal demikian sepertinya sudah jadi tradisi menjelang lima tahunan. Entah itu pemilihan kepala daerah, pemilihan wakil rakyat di lembaga legislatif apalagi pemilihan presiden. Khususnya yang ingin _nyapres_, mengunjungi komunitas muslim jadi langganan. Berharap elektabilitas naik, yang itu bisa dilirik partai politik untuk mengusungnya. Untuk Pilpres yang masih dua tahunan lagi (2024), persiapan menyambutnya jauh hari sudah dilakukan. Meski belum ada partai resmi mengusungnya, tetap saja pasang kuda-kuda jauh hari, siapa tahu dirinya yang terpilih, persiapan sudah dimulainya. Selanjutnya, tinggal tancap gas saja. Tidak memulai dari nol. Bagaimana jika dirinya tak dapat tiket sebagai Capres/Cawapres, sedih pastilah yang dirasa. Apalagi nilai rupiah sudah digelontorkan tidak sedikit. Tapi mau apa lagi. Bisa jadi pihak lain punya persiapan lebih strategis, dan karenanya elektabilitasnya lebih tinggi, dan itu yang terpilih. Namun tetap berharap jerih payahnya membantu memberdayakan pesantren misal, bisa dihitung sebagai amal jariah. Meski niat awal tidak demikian. Soal itu ia berharap bisa kompromi dengan Tuhannya. Mendadak alim, itu bagian dari strategi \"menjinakkan\" umat Islam khususnya, agar ia bisa dilihat sebagai pribadi yang bekerja dengan sandaran ibadah. Meski sebelumnya perangainya tidak mencerminkan demikian. Bahkan jauh dari itu. Ia tidak merasa risih memilih peran yang sebenarnya bukan disitu tempatnya mengabdi. Demi jabatan yang diinginkan, jabatan yang lebih tinggi tentunya, merubah peran menjadi lumrah dilakukan. Semua mendadak alim, berebut menjadi paling alim. Maka seperti parade peragaan busana muslim saja layaknya. Sehari-hari bukanlah lagi jas atau kemeja batik yang dikenakan, tapi pakaian kokoh koleksi berbagai warna dan corak. Menjadi rajin sholat berjamaah, sambil menyapa jamaah dengan keramahan tingkat tinggi. Tentu tidak hanya komunitas umat Islam yang didatangi. Tapi juga umat agama lain. Maka tampil di vihara Budha pun dilakukan, meski bukan pada hari keagamaan. Seperti orang tidak punya kerjaan saja. Hanya sekadar datang menyapa komunitas Tionghoa di sana. Tidak lupa sudah siap dengan pakaian khas Tionghoa warna merah menyala atau bahan kain hitam legam mengkilap. Merasa tidak jengah, meski jabatan yang disandang tidak punya korelasi dengan aktivitas yang dilakukan. Beda jika yang melakukan itu seorang kepala daerah, yang memang berdiri di atas semua golongan. Menjadi lumrah jika hadir dalam kegiatan umat beragama, meski tidak sampai ikut dalam peribadatannya. Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, selalu hadir dalam kegiatan keagamaan tingkat provinsi. Datang memberi sambutan selayaknya sebagai kepala daerah. Merasakan kebahagiaan warganya yang merayakan hari besar agamanya. Semua disesuaikan dengan tugas dan kewajiban selaku kepala daerah, yang mengayomi dan memastikan perayaan acara keagamaan berlangsung dengan baik dan khidmat. Memastikan bahwa bangunan toleransi itu tegak di wilayah kerjanya dengan seadilnya. Mendadak menjadi alim intensitasnya akan terus menaik meninggi sampai tak dapat dinilai nalar waras sekalipun. Makin mendekati Pencapresan, akan makin jor-joran berlomba menarik minat publik melihatnya sebagai yang pantas untuk dipilih. Maka, asesori yang bisa menampakkan ia alim, akan terus dipakai. Bagian dari pencitraan diri \"mendadak alim\". Jika ditanyakan siapa pejabat saat ini yang paling bisa disebut tokoh \"mendadak alim\" pada sepuluh orang, maka sebelas orang akan menjawab, Erick Thohir. Ya ET, panggilan akrabnya, yang paling pantas disebut pejabat yang tampilannya paling mendadak alim. Sebagai Menteri Negara BUMN, ia lagaknya seperti Menteri Agama saja, bahkan lebih dari itu. Lebih mendadak alim. Mengapa harus sampai sebelas orang yang menjawab, sedang yang bertanya hanya sepuluh orang. Yang kesebelas, itu yang bertanya, yang punya pandangan sama, bahwa ET yang dianggapnya paling mendadak alim. Apakah yang dilakukan ET itu salah, sepertinya tidak ada yang salah. Buktinya Pak Bos tidak menegurnya. Tapi setidaknya yang dilakukan meski itu baik--menjadi mendadak alim--itu kurang etis, tidak selayaknya pejabat meninggalkan tugas utamanya. Tapi hal itu seperti sudah dianggap hal biasa. (*)
Google Didenda Rp 1,7 Triliunan Akibat Deskriminasi Gender
Jakarta, FNN - Diskriminasi ras dan gender bukanlah hal baru di perusahaan besar. Parahnya, kebanyakan dari kasus diskriminasi gender ini dianggap merupakan hal yang biasa dan menguap begitu saja. Namun tidak bagi Google baru-baru ini. Dikabarkan bahwa Google terungkap bersedia untuk membayar USD 118 juta atau berkisar Rp 1,7 triliun lebih untuk menyelesaikan gugatan diskriminasi gender dengan sekitar 15.500 karyawan wanita mereka. Menurut penggugat, Google membayar karyawan wanita USD 16.794 atau berkisar Rp 245 jutaan lebih sedikit per tahun daripada “pria dengan posisi yang sama.” Seperti sudah disinggung di atas, sayanganya masih banyak orang menganggap hal ini wajar, terlebih di perusahaan teknologi yang dikenal sangat teknikal. Tapi kasus ini jelas menunjukkan bahwa ada masalah serius di dalam perusahaan. Dan masalahnya menyentuh topik sensitif seperti diskriminasi gender yang membuat para pekerja wanita di Google geram. Dikutip dari Gizchina, selain pembayaran, Google setuju untuk memberikan semua informasi yang diperlukan kepada pakar independen yang akan menganalisis praktik perekrutan Google. Kemudian, seorang ekonom tenaga kerja independen akan meninjau studi kesetaraan gaji Google Sebagai seorang wanita yang menghabiskan seluruh karirnya di industri teknologi, saya optimis bahwa tindakan yang telah disetujui Google sebagai bagian dari penyelesaian ini akan memastikan lebih banyak kesetaraan bagi wanita,” kata Holly Pease, salah satu penggugat melalui pernyataan resminya. Adapun kasus dengan Google, melibatkan perempuan dalam 236 jabatan berbeda. Namun tak hanya Google, praktik diskriminasi gender ini juga sebelumnya permah ditemukan di Twitter dan Microsoft yang bahkan mereka telah gagal mendapatkan status class action. (JP)
Hersubeno: Jokowi Akan Mati-matian Tutup Peluang Anies Jadi Capres 2024
Jakarta, FNN - Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan fix dijadikan calon presiden oleh Partai Nasdem. Pencalonan ini diumumkan sendiri oleh Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh. Ia mengumumkan 3 nama yang akan diusung menjadi bakal calon presiden (Capres) dalam Pilpres 2024 pada Jumat, 16 Juni 2022 lalu. Selain Anies Baswedan, ada Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa. Diusungnya Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Andika Perkasa oleh NasDem mendapat banyak komentar tokoh. Salah satunya adalah Jurnalis senior Forum News Network (FNN) Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Hersubeno Point, Ahad, 19 Juni 2022. Hersubeno Arief menduga, diusungnya 3 nama bakal Capres 2024 oleh NasDem merupakan bentuk tukar tambah politik antara Surya Paloh dengan Presiden Jokowi. Salah satunya adalah jangan sampai nama Anies muncul dalam daftar calon presiden dari NasDem,\" kata Hersu panggilan akrab Hersubeno Arief. Hal ini, kata Hersu, disebabkan oleh adanya rivalitas antara Anies Baswedan dan Jokowi. Pasalnya, kebijakan Anies Baswedan di DKI Jakarta kerap dianggap merugikan kepentingan para oligarki yang selama ini menjadi penyokong utama Jokowi. Karena itu, Hersu menilai Jokowi akan berusaha mati-matian untuk menutup peluang Anies Baswedan agar tidak muncul dalam bursa Capres 2024. \"Karena potensinya kalau sampai kemudian Anies mendapat tiket, ini bisa mengubah peta politik. Karena memang dari hasil-hasil survei, nama Anies yang paling menonjol,\" tuturnya. Hersu menjabarkan, buruknya hubungan antara Anies Baswedan dan Jokowi salah satunya ditandai dengan nihilnya dukungan perusahaan BUMN di ajang balap mobil listrik Formula E yang digelar di Ancol, Jakarta Utara pada 4 Juni 2022 lalu. \"Apakah anda percaya bahwa putusan yang sangat besar itu merupakan inisiatif dari Erick Thohir pribadi? Tentu saja tidak, ada tangan-tangan kekuasaan di atas Erick yang ikut bermain,\" serunya. \"Bahwa Erick juga punya kepentingan yang sama karena dia sendiri juga salah satu kandidat yang ingin run pada Pilpres 2024, ya itu pasti ada, tapi tidak semata-mata itu keputusan Erick pribadi,\" kata Hersubeno Arief menambahkan. Hersu mengungkapkan spekulasi bahwa Jokowi sengaja menutup tiket untuk Anies adalah karena semula mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) itu akan diusung koalisi PAN, NasDem, dan PPP. Tapi, ternyata semuanya kandas ketika Partai Golkar, PAN, dan PPP membentuk Koalisi Indonesia Bersatu. Koalisi ini diduga akan digunakan Ganjar Pranowo di Pilpres 2024 sebagai proxy dari Jokowi. Pintu Anies untuk memperoleh tiket dari PAN semakin tertutup rapat ketika akhirnya Zulkifli Hasan ditarik masuk kabinet oleh Jokowi dengan menjadi Menteri Perdagangan,\" tutur Hersubeno Arief. Lebih lanjut, Hersu menyinggung pernyataan Surya Paloh yang menyebut bahwa NasDem merdeka dalam menentukan arah politik. Surya Paloh juga mengatakan Pemilu merupakan mekanisme agar kekuasaan tidak dimonopoli oleh satu kelompok saja. Menurutnya, pernyataan Surya Paloh itu sengaja ditujukan kepada pemerintahan Jokowi yang kini tengah berkuasa. \"Ini kan sinyalnya jelas sekali kalau dimonopoli oleh satu kelompok saja, itu siapa yang sekarang berkuasa,\" tegas Hersubeno Arief. (Ida, sws)
Presiden Segera Kibarkan Bendera Putih
Faktanya, hasil reshuffle tidak membawa pengaruh dan perubahan signifikan apa-apa sesuai obsesi publik Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih DALAM era reformasi ini ternyata melahirkan sebuah konglomerasi baru secara ekonomi, dan politiksangat liberal kapitalistik. Ongkos rekrutmen politik makin mahal, politik transaksional tumbuh bersama ongkos proses politik menjadi sangat besar. Melahirkan Perselingkuhan para politikus partai politik dengan para taipan Oligarki terjadi makin mesra. Wakil rakyat yang menyandang sebagai anggota Dewan pada semua tingkatan hanya sebagai aksesoris kekuasaan, bahkan sangat fatal kalau langsung atau tidak langsung hanya sebagai budak Oligarki. Partai politik menjadi makelar curang suara publik, sementara pemilu justru semakin memilukan publik pemilih. Mereka terpaksa datang ke bilik suara karena tekanan ekonomi dan masuk jeratan politik transaksional. Setelah itu antara wakil rakyat dan rakyat pemilih putus hubungan. Menunggu pemilu berikutnya. Demokrasi dibajak oleh para politikus atas tekanan para taipan sebagai oligarki yang makin brutal yang telah menguasai semua instrumen dan lini setiap Pemilu/Pilpres. Korupsi merajalela. KPK tinggal nama tak bergigi lagi, bahkan indikasinya sebagai benteng keamanan bagi para koruptor Mekanisme self-correction dilumpuhkan oleh kekuatan oligarki, sehingga Republik menghadapi prospek jatuh menjadi negara gagal. Krisis multidimensional dan kemarahan rakyat mulai menampakkan dengan keberaniannya cepat atau lambat akan mengancam dan melawan oligarki. Kekuasan Oligarki mulai mengidap retak internal, kini mengalami perambatan retak yang makin lebar. Republik Indonesia bisa kemudian berpotensi mengalami gelombang anarki, seperti amuk massa munculnya people power atau Revolusi. Indonesia sedang berhitung mundur untuk menjaga keruntuhan Republik ini dengan menghentikan kerakusan oligarki yang terus menggerogoti sendi-sendi kehidupan Republik ini. Presiden sepertinya sudah di luar kemampuan mengendalikan situasinya, dan bahkan, larut menjadi bagian oligarki. Dalam kondisi seperti ini, sebaiknya Presiden segera kibarkan bendera putih. Kembalikan mandat kepada rakyat untuk kembali menata ulang Indonesia sesuai UUD 1945. Presiden Weton Narasi para politisi itu selalu berucap: “Reshuffle itu hak prerogatif presiden”. presiden”. Reshuffle, Rabu Pahing (15/06/2022), mungkin berdasar hitungan weton. Presiden harus lebih dahulu membahasnya bersama pimpinan parpol anggota koalisi, untuk menyatukan kekuatan tuahnya. Hak prerogatif sementara bergeser ke tempat lain atau menjadi hak prerogatif patungan untuk bisa melahirkan kabinet yang memiliki weton selaras dengan weton Presiden. Dalam penantian panjang berhari-hari, reshuffle ekspektasi publik yang tinggi menjadi teka-teki silang: seperti apakah keputusan final reshuffle kabinet yang dilakukan pada Rabu Pahing (15/06/2022). Yang telah disesuaikan dengan weton atau hari lahir presiden. Alasannya, ini sesuai dengan mitologi Jawa, agar bertuah minimal kekuatannya sama dengan weton Rabu Pahing. Kata tukang ramal (peramal), weton itu adalah penanggalan atau perhitungan hari lahir seseorang, yang sering digunakan, sebagai patokan untuk merujuk ramalan tertentu. Menurut kepercayaan Jawa, weton bisa berkaitan dengan ramalan peristiwa tertentu. Bahkan kalau tidak sesuai weton bisa membawa bencana. Sayang: “kesakralan” yang terjanjikan dalam mitos sang weton tidak terbukti. Publik telanjur mempercayai sang weton itu sebagai senjata pamungkas yang ampuh memangkas sampah politik yang mengotori kinerja kabinet. Faktanya, hasil reshuffle tidak membawa pengaruh dan perubahan signifikan apa-apa sesuai obsesi publik. Wajar rakyat kecewa berat sudah telanjur membayangkan akan terbentuk formasi kabinet baru yang bertuah sebagai senjata pamungkas pemangkas kompleksitas persoalan ekonomi yang menindih rakyat. Apa yang terjadi, malah hanya basa-basi soal weton. Setelah pelantikan, mereka berbaris jalan-jalan dan terlihat makan siang dengan ketawa riang. Publik menduga-duga sedang konsentrasi membahas weton atau sedang asyik menghitung siapa yang weton-nya bawa tuah sebagai Capres/Cawapres pada Pilpres 2024. Netizen lagi-lagi menduga, kalau itu judulnya untuk mencapai musyawarah mufakat pasti deadclok. Pilihannya harus voting atau terpaksa di-pending sementara untuk masing masing melakukan konsultasi ke dukunnya masing-masing. (*)
Singapura Mencampuri Urusan Politik Dalam Negeri Indonesia
Oleh: Radhar Tribaskoro Presidium KAMI Singapura, a little red dot in malacca straits, kembali menolak warganegara Indonesia yang ingin memasuki negara itu. Kali ini Anton Permana, aktivis KAMI, yang ditolaknya. Berbeda dengan UAS, Anton bukan ulama. Ia juga bukan bagian dari 212, HTI, FPI atau apapun Ormas yang diasosiasikan sebagai Islam garis keras. Anton lulus dari Lembaga kepemimpinan nasional tertinggi dan terbaik di Indonesia yaitu Pendidikan Reguler Lemhanas RI. Orang tahu bahwa hanya orang berkualifikasi tokoh nasional boleh ikut pendidikan di atas. Pendidikan itu bertujuan menanamkan Wawasan Kebangsaan, sehingga tidak mungkin lulusannya terpapar radikalisme dan/atau terorisme. Anton Permana memang pernah berselisih dengan pemerintah. Ia dijebloskan ke dalam penjara selama hampir setahun, namun dakwaan yang dikenakan pada dirinya adalah berkenaan dengan \"penyebaran berita yang berlebih-lebihan\". Tidak ada dakwaan radikalisme apalagi terorisme. Jadi setelah UAS ditolak masuk dengan alasan radikalisme, apa alasan Singapura menolak Anton Permana? Perlu dicatat bahwa sikap atau kebijakan suatu negara menolak atau menerima kedatangan seseorang ke negaranya adalah sebuah sikap atau kebijakan politik. Maka di sini kita bertanya, apa sebetulnya pesan politik yang ingin disampaikan oleh Singapura kepada bangsa Indonesia? Pada satu sisi, Singapura menyatakan antipati kepada radikalisme. Sikap ini menjadi soal dalam kasus UAS, apa dasarnya Singapura mendakwa UAS sebagai ulama radikal? UAS memang sering berlawan-pandang dengan pemerintah tetapi pemerintah Indonesia tidak pernah mendakwa UAS sebagai ulama radikal. Dalam kasus Anton Permana, saya kira pemerintah Singapura mengirim pesan bahwa mereka juga tidak menyukai gerakan nasionalis Indonesia yang mempermasalahkan ketimpangan, korupsi, dan dominasi oligarki. Tepatnya mereka tidak suka kepada KAMI yang tidak mau berkompromi dengan oligarki. Dalam sudut pandang di atas kita melihat Singapura sebagai negara pembela para koruptor dan oligarki. Hal itu mengkonfirmasi mengapa koruptor Indonesia banyak lari ke Singapura, sementara kantor dan uang oligarki bertimbun di Singapura. Bahwa UAS dan Anton Permana bukan objek yang tepat atas semua dakwaan Singapura hanya bisa dipahami bahwa bukan kedua orang itu yang penting di mata Singapura. Terpenting bagi Singapura adalah menyampaikan pesan bahwa mereka tidak menyukai orang yg radikal dan orang yang kritis kepada oligarki. Tujuan Singapura tidak lain adalah membentuk opini publik Indonesia sedemikian rupa sehingga sejalan dengan sikap politik mereka. Saya tidak heran bila Singapura menggunakan semua kekuatan yang ada di tangannya, termasuk penguasaan atas korporasi dan industri strategis di Indonesia untuk mencapai tujuannya itu. Dalam konteks itu saya ingin mengatakan bahwa Singapura telah menerabas fatsun yang sampai sekarang selalu dihormati oleh negara-negara ASEAN: tidak ada hak anggota ASEAN mencampuri politik dalam negeri anggota lainnya. Radikalisme dan oligarki di Indonesia sekarang ini adalah isu politik yang terbuka. Kebijakan anti-radikal terus diserang secara akademis dan implikasinya yang islamophobik. Demikian juga isu oligarki, semakin banyak orang yang memahami eksistensi kuasa oligarki. Rakyat belakangan merasakan pahitnya kuasa oligarki itu dari kasus kenaikan harga minyak goreng. Pemerintah Singapura ingin mencampuri pembentukan pendapat publik di Indonesia. Itu haram, Cik. Negara kecil dengan ambisi besar selalu muncul dalam sejarah. Mereka ingin berarti. Tetapi kita tidak harus belajar soal politik demokrasi kepada negara kecil. Di negara sekecil itu para penguasanya masih tidak percaya diri dan mengembangkan politik partai tunggal. Sejak berdiri Singapura selalu dipimpin oleh penguasa otoriter. Jakarta, 20 Juni 2022.
Piagam Jakarta: Kesepakatan Agung Yang Dikhianati
Perbaikan kualitas data pemilih, dan perubahan sistem pemilu adalah agenda yang perlu segera disiapkan supaya hemat anggaran sekaligus efektif untuk merekrut pejabat publik yang kompeten sebagai pelayan publik. Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS, @Rosyid College of Arts AMANDEMEN ugal-ugalan atas UUD 1945 sebagai kudeta konstitusi adalah pengkhianatan atas kesepakatan langit para pendiri bangsa ini. Akibat dari pengkhianatan itu kini berbuah adanya deformasi kehidupan berbangsa dan bernegara, yang berpuncak pada pemusatan sumberdaya politik pada segelintir elit partai politik dan sumberdaya ekonomi pada segelintir taipan. Berbagai mal-administrasi publik terjadi, termasuk dengan memanfaatkan situasi pandemi, sehingga lahir berbagai regulasi yang hanya menguntungkan oligarki politik dan ekonomi tersebut. Gejala negara gagal yang kini menguat merupakan puncak sikap kufur nikmat yang dipertontonkan oleh para elit yang kemudian ditiru secara masif oleh masyarakat luas. Pengkhianatan atas kesepakatan para pendiri bangsa dari berbagai golongan dan daerah dalam Piagam Jakarta terus terjadi. Dekrit Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959 yang sesungguhnya masih berlaku hingga saat ini dengan berbagai cara diabaikan begitu saja oleh para elit penguasa, bahkan dengan secara terbuka menjadikan agama sebagai musuh terbesar Pancasila. Oleh Prof. Kaelan UGM dikatakan bahwa elit penguasa telah memurtadkan bangsa ini dari Pancasila. Sementara itu kekuatan-kekuatan masyarakat madani dan daerah-daerah otonom terus melemah, bahkan banyak kampus sekarang ini dengan suka cita menjadi bagian dari pembusukan demokrasi, pelemahan gerakan anti-korupsi, dan proses desentralisasi. Agenda reformasi kini berbalik arah menuju ORLA yang jauh lebuh buruk. Untuk melawan arus balik ini, kekuatan moral mahasiswa ini harus segera dimulai dengan membangkitkan kembali daya kritis mahasiswa di internal kampus bukan hanya dengan demonstrasi di jalan-jalan di luar kampus. Template kehidupan dangkal pada banyak mahasiswa semacam lulus tepat waktu, meraih predikat cumlaude lalu bekerja di BUMN dan MNC atau menjadi youtubers telah melemahkan mahasiswa sebagai kekuatan moral. Sebagian besar koruptor adalah alumni perguruan tinggi terkenal dengan kualifikasi magister. Setelah berhasil mengubur Pancasila di bawah kaki mereka sendiri, kekuatan-kekuatan kiri dan nasionalis radikal terus-menerus menuduh Islam sebagai musuh Pancasila, intoleran, bahkan anti-NKRI. Sambil terus mempropagandakan agenda sekulerisasi mereka, yang terakhir soal LGBT, kekuatan-kekuatan kiri dan nasionalis radikal tersebut menabuh genderang Islamophobia, sehingga ummat Islam semakin terbungkam untuk mengartikulasikan kepentingan politik Islam secara bebas dan terbuka. Tuduhan politik identitas bahkan telah disematkan oleh elit parpol berkuasa untuk mematikan politik Islam sebagai imajinasi politik baru. Model pengelolaan pemerintahan Islam alternatif perlu diwacanakan secara akademik dan lebih luas agar menjadi opsi yang wajar saat negara terjebak hutang yang makin menggunung, kesenjangan spasial yang meluas, dan juga ketimpangan ekonomi yang memburuk, serta kedaulatan negara yang telah menghilang. Dinamika global dan regional telah menyeret Republik ini menjadi hanya sekedar negeri satelit Amerika atau China. Rangkaian Pemilu yang dibanggakan sebagai “praktek demokrasi terbesar ke-4 di dunia”, bahkan “Islam terbukti compatible dengan demokrasi” telah pula mengalami devolusi. Pemilu makin terbukti hanya sebagai instrumen legitimasi kekuasaan para elit politik yang disokong para taipan, bukan sebagai platform rekrutmen pejabat publik yang dapat dipercaya untuk bekerja bagi kepentingan publik. Dengan ongkos yang makin mahal, Pemilu telah dijadikan sebagai instrumen net transfer hak-hak politik rakyat pada partai-partai politik yang kemudian hampir secara sengaja tidak disalurkan ke Parlemen untuk diperjuangkan bagi kepentingan publik. Tanpa Daftar Pemilih Tetap yang dapat dipercaya, prosedur pemungutan dan rekapitulasi yang rumit dan rentan manipulasi, sering terjadi praktek jual-beli suara siluman antara peserta Pemilu dengan oknum penyelenggara Pemilu. Pemilu langsung pejabat publik terutama Presiden di negara kepulauan yang bentang alam seluas Eropa ini adalah sebuah praktek demokrasi yang paling muskil di seantero planet ini. Perbaikan kualitas data pemilih, dan perubahan sistem pemilu adalah agenda yang perlu segera disiapkan supaya hemat anggaran sekaligus efektif untuk merekrut pejabat publik yang kompeten sebagai pelayan publik. Piagam Jakarta menunjukkan bahwa Umat Islam adalah pemilik sah Republik ini yang bersama unsur-unsur bangsa yang lain harus bekerjasama untuk menyelamatkan dan membela NKRI dari proxy and neo-cortex war kekuatan-kekuatan nekolimik. Sumberdaya spiritual dan kultural pesantren perlu diperkuat justru pada saat sistem pendidikan nasional makin dimonopoli secara radikal oleh sistem persekolahan massal paksa yang dikerdilkan menjadi sekedar instrumen teknokratik penyediaan buruh trampil murah, bukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai prasyarat budaya bagi bangsa yang merdeka. Berbagai upaya untuk \"menyekolahkan\" pesantren perlu diwaspadai karena akan mengancam kemandirian pesantren sebagai benteng terakhir simpul-simpul sumberdaya spiritual dan kultural ummat Islam. Gunung Anyar, 20 Juni 2022. (*)
Natalius Pigai: Jangan Mancing Kami Keluar Menjadi Harimau!
CANDAAN “Kopi Susu” Ketum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri telah memantik “kemarahan” aktivis HAM Natalius Pigai. “Ini sobat lama saya yang rupanya uring-uringan berkaitan dengan guyonan Bu Megawati soal kopi susu, yakni menggambarkan orang salah satu Wakil Menteri dari Papua, yang disebutnya hitam seperti kopi, dan Mega seperti susu,” kata Hersubeno Arief, wartawan senior FNN dalam kanal Hersubeno Point, Sabtu (18/6/2022). Apa yang sebenarnya terjadi, mengapa Bung Pigai menjadi enggak nyaman dengan guyonan semacan ini? Berikut petikan wawancara Hersubeno Arief dengan Natalius Pigai. Kenapa anda merasa bahwa Bu Mega ini kok rasis gitu? Begini, Bu Mega itu negarawan ya tokoh bangsa, tokoh Indonesia, jadi apapun pernyataan yang dikeluarkan oleh Bu Mega bisa semua penuh makna, atau seorang presiden itu sebuah sinyal politik gitu. Jadi tidak asal ucapan sesaat begitu saja yang mengatakan bahwa kopi susu itu sama saja dengan kamu. Itu diperkuat juga oleh Hasto Kristiyanto dalam konteks kopi itu hitam, susu itu putih. Ibu Mega itu tidak tahu atau Hasto itu tidak tahu. Justru orang kulit hitam di dunia itu korban rasisme. Sampai sekarang lebih dari 700 tahun itu karena kata warna itu, warna hitam ketika orang Portugis dan Spanyol masuk di Afrika Barat ya mereka temukan orang berkulit gelap, maka disebut negro. Negro itu bahasa Latin Spanyol yang disebut hitam. Kemudian di Amerika dalam perkembangannya Black Man dalam bahasa Inggris yang tadi dalam bahasa Spanyol adalah negro. Kemudian orang Anglo saxon atau orang Eropa berbahasa Inggris menggunakan kata blackman. Jadi negro dan Blackman itu adalah warna nama, warna kulit sama dengan yang sekarang Hasto sudah menyatakan bahwa kopi susu itu adalah warna. Berarti ini sama saja dengan orang Spanyol, orang-orang berbahasa Inggris maupun juga orang Indonesia, yang bernama Ibu Mega dan tokoh nasional, termasuk Hasto itu melabeli kami itu kulit berwarna. Padahal, di Amerika sudah tidak lagi orang-orang yang berkulit seperti kami ini menerima apa yang namanya Negro atau Blackman karena itu penghinaan, karena itu mereka lebih sebut African-American. African-american, bukan Negro atau bukan Blackman. Karena itulah menurut saya, memahami kopi susu itu biasanya lebih terorientasi pada segregatif, rahasialistik, diskriminatif, dan merendahkan martabat atau mempertegas perbedaan bahwa kamu itu warna lain dengan kami begitu. Berbeda kalau ketika Ibu Megawati bilang pelangi Indonesia, pelangi Indonesia itu kata-katanya lebih pluralistik sejalan dengan maintream integrasi sosial di seluruh dunia. Mainstream integrasi sosial di seluruh dunia itu pakai mosaik atau pelangi. Lambang pelangi itu persoalan integrasi sosial. Tapi, kalau kopi susu itu ke perbedaan, mempertegas perbedaan bahwa kamu dengan kami. Begitu Ibu Mega menyatakan kami orang Papua itu berbeda dengan dia begitu. Dia berbeda dengan kami. Sedangkan Indonesia itu ada 700 suku dan 1.013 bahasa, kalau dia dalam konteks kebangsaan, maka dia harus pakai pelangi Indonesia yang dimana menyebut ini salah satu warna dari 13 abad 700 suku tersebut yang disebut pelangi bangsa atau kebhinekaan bangsa. Tapi kalau disebut kopi susu di kampung-kampung juga sama. Kkalau waktu dulu misalnya saya jalan dengan seorang perempuan yang, katakanlah orang di luar Papua, mereka sebut kopi susu. Atau misalnya ada orang kulit hitam, orang Papua jalan dengan orang lain disebut kopi susu. Kopi susu itu konotasi negatif. Ok saya baru tahu. Iya, bisa lebih cenderung menyindir, menyindir yang dimaksud itu, kamu kok berani kopi susu. Kamu kok bisa kopi susu itu. Karena itulah, menurut saya, alam bawah sadar Ibu Megawati sebenarnya menyatakan adanya diskriminasi atau rasionalistik. Itu (adalah) kecenderungan teror kata-kata yang berorientasi pada rasialistik. Bayangkan seorang anak Soekarno aja alam bawah sadar itu mengungkapkan perbedaan. Karena kan rasialisme itu muncul yang pertama itu dari kata-kata seperti tadi, negro. Di Amerika selanjutnya setelah kata-kata itu, yang berikutnya adalah ada ideologi yang muncul yaitu segregasi perbedaan, atau perwujudan dari ideologi segregasi tersebut, maka dilakukan kebijakan politik di apartheid misalnya, di Afrika Selatan atau Amerika, sekolah dibedakan. Setelah itu selanjutnya adalah mempertegas perbedaan sosial. Jadi, pertama itu dimulai dari pikiran, yang kedua menyebutkan warna atau mengucapkan, yang ketiga, itu menjadi sebuah ideologi yang tertanam di dalam kalbu setiap orang. Orang kulit putih atau orang kulit berwarna. Kemudian, berikut menjadi setelah jadi ideologi diwujudnyatakan di dalam kebijakan politik dan pemerintahan, kebijakan ekonomi, dan kebijakan sosial oleh pemerintah resmi seperti Afrika Selatan dan Amerika yang terjadi sejak dulu sebelum tahun 1960-an ke bawah. Lalu yang berikutnya adalah dampak-dampak yang muncul dalam berbagai aspek itu ya karena itu kalau alam bawah sadar Megawati menyatakan kopi susu, di saya meyakini karena Megawati itu adalah tokoh politik nasional di PDIP. Jadi, itu sudah pasti ada yang pertegas kebijakan menjadi sebuah ideologi yang mempertegas dan melaksanakan, apa yang menjadi pemikiran dasar Ibu Mega itu, menurut saya, nyatanya bayangkan orang Papua saja hanya Wakil Menteri. Masih mending Gus Dur dulu, masih mending SB. Ini Wakil Menteri, itu ecek-ecek. Maaf saja jauh itu anak Soekarno lo. PDI Perjuangan yang kita kasih itu bukan hanya satu. Kita kasih sumberdaya luar biasa. Kemudian kami juga bergabung dengan Negara ini dengan emas, uranium, plutonium, californium, semua kita kasih. Jadi dia anggap itu hebat, kasih wakil ke saya saja saya tolak semua jabatan itu. Saya bilang, kecil ecek-ecek kok jadi. Maksudnya itu tidak dalam konteks pemberian dan penghargaan posisi dan jabatan dan sumberdaya. Belum lagi persoalan sumber daya, belum lagi persoalan politik, dan konflik. Jadi bisa saja saya berpandangan bahwa kebijakan operasi militer di Papua, kebijakan ada politik pendudukan, melalui pemekaran di Papua itu dilakukan sebenarnya di atas bangunan pemikiran dasar yang namanya rasialisme, rasialistik, orientasi dan titik terakhir dampak utama dari kebijakan rasialistik itu adalah Jono Said menghilangkan suku, menghilangkan sebuah bangsa dan kata-kata itu tidak hanya diucapkan oleh Ibu Mega, Risma (Tri Rismaharini, Mensos) juga menyatakan hal yang sama. Jokowi sampai sekarang orang Papua jadi menteri itu tidak ada. Kebijakan separatis Jono Said, kemudian sumber daya alam di Papua dibangun di luar Papua seperti smelter, kantor private di Jakarta itu bisa dipandang sebagai bagian dari kebijakan segregatif, rasialistik itu. ‘ Jadi ungkapan Ibu Mega ini menurut saya satu sisi memang kami kecewa karena kami sakit hati. Karena itu ungkapan menyakitkan, tapi saya sebagai intelektual yang saya merasa ya inilah potret Indonesia dan kemungkinan sulit orang Papua menerima dan tidak akan bercak percaya sampai dunia kiamat, enggak bakal selesai perbedaan itu, sudah dilakukan pemimpin-pemimpin bangsa kok. Saya, bapak saya itu, selama 30 tahun, saya itu pembela kemanusiaan. Saya bisa saja sekarang, besok bisa jadi warga negara Amerika, bisa di Australia, bisa Eropa, bagi saya tidak ada pengaruh. Tapi bagi orang Papua selain saya, itu pengaruhnya besar dengan sebuah pernyataan itu. Karena itu apa yang saya bicara ini untuk melindungi rakyat, melindungi kepentingan orang-orang kecil, orang-orang lemah, orang-orang tidak berdaya di Papua. Begini saja, Ibu Mega tidak usah pakai mewakili sekretaris, juga tidak usah mewakili menteri-menterinya untuk menyampaikan. Biarlah dia sendiri yang menyampaikan apa yang dimaksud dengan kopi susu itu karena di Amerika sekalipun kalau dia bilang misalnya blackman, negros. Seorang misalnya Joe Biden keluarkan pernyataan itu pasti diserang habis-habisan. Tapi kalau di Indonesia dianggap pahlawan, pahlawan bagaimana? Produksi rasialisme itu muncul dari mereka kok. Ya sebentar dulu pelan-pelan dulu nih, saya sampai ini rupanya kelihatannya serius sekali Anda menganggapnya. Karena saya tadinya konteksnya ini saya mohon maaf. Kalau Anda kemudian menilai saya juga jadi rasialis, saya membacanya ini tadinya ketika nemu cuitan Anda, saya mencari sumbernya apa sih, saya sih menurut. Tadinya saya anggap juga ibu Mega sekedar candaan dan kemudian menyatakan bangga karena sepatu kadernya pun dari Papua begitu. Bukankah begitu konteks seharusnya Bung Pigai. Iya jadi begini. Kalau persoalan saya itu tidak ia menganggap orang luar Jawa itu cuma rasionalistik nggak, kita kan mendikte sekarang ini karena tokoh politik nasional, tokoh besar, saya pelajari buku pertama itu tentang negros, Negroid History yang ditulis oleh E Dubois, Profesor di Harvard University tahun 1912. Dia yang menuliskan buku tentang sejarah panjang waktu disertasi S3 di Harvard University. Saya sudah baca semua perjalanan sejarah penderitaan orang kulit hitam di seluruh dunia. Karena itu kenapa saya respon begini, karena ini masalah serius. Contoh tiba-tiba ada seorang jenderal bintang empat polisi waktu menjadi Kapolda dia bilang, kalau kamu malas saya kirim ke Puncak Jaya Papua sana. Terus ada seorang menteri dari PDI Perjuangan Ibu Risma menyatakan, kalau kamu ini saya kirim ke Papua. Papua dijadiin sebagai sebuah tempat sampah. Kemudian dulu waktu Ali Moertopo menyatakan, orang Papua itu sebaiknya tinggal di Pasifik sana. Padahal dia tidak tahu bahwa Papua itu Pasifik South. Pacific kami itu Pasifik, bukan Pasifik yang di Hawaii sana, bukan. Kami ini Pasifik atau Luhut Binsar Pandjaitan juga pernah menyatakan hal yang sama. Hendropriyono juga mau pindahkan orang Papua ke Maluku. Jadi kalau dilihat dari tokoh-tokoh bangsa seperti ini orang Papua itu ada kesabaran. Jadi saya mau ingin sampaikan terakhir bahwa sebelum Bung sampaikan sama saya atau ajukan pertanyaan orang Papua itu adalah bangsa terakhir yang teraniaya lebih dari 700 tahun atas nama rasialisme sampai detik ini. Dan saya mendengar dari orang Afrika, orang Amerika, orang Eropa, orang Afrika Latin yang terutama African-American, Afrika-European, mereka cerita hal yang sama. Kamu itu bangsa terakhir yang masih menghadapi rasialisme serius. Diplomaship terstruktur dan terencana. Jadi artinya tidak semua, ada juga orang yang empati gitu, orang yang punya kemanusiaan ada di luar Papua Salah satunya adalah misalnya Bung Hersu. Juga ada banyak yang baik. Tetapi menjadi pertanyaanku dan lebih dari 10 tokoh nasional dan tokoh bangsa mengeluarkan pernyataan yang sifatnya segregatif dan rasionalistik itu, berarti itu sangat serius begitu. Karena itu maka jangan mancing kami keluar menjadi harimau, karena ada berjuta-juta orang yang tinggal hidup dan makan di kampung halaman kami. Kamu juga harus mengasihani, jangan sampai terjadi konflik horizontal yang lebih luas. Padahal kita bukan itu. Ingat Suriname. Itu merdeka, tapi orang-orang dari rantauan Suriname itu tidak pernah diganggu. Mereka jadi warganegara New Caledonia itu merdeka. Tapi orang-orang yang rantauan dijadikan sebagai bagian dari kekuasaan penjajah, juga dijadikan pemimpin India EVg, misalnya Inggris dengan baik orang-orang India ke Vg akhirnya juga jadi presiden di sana. Jadi tidak ada namanya sebuah negara setelah sebuah negara itu Merdeka. Orang-orang yang dimanja atau orang-orang keturunan penjajah misalnya itu tidak diberi kesempatan, tuh tidak ada. Non sense tidak mungkin satu bangsa, satu warna, satu kelompok yang berasal dari Bumiputera bisa berdiri sendiri, tidak mungkin. Karena itu hati-hati, Jakarta bisa mendorong konflik sosial. Itu menurut saya begitu karena Papua itu. Saya ingin sampaikan terakhir bahwa Papua tidak ditentukan oleh Jakarta. Ini kata saya, ini nasib Papua tidak ditentukan oleh Jakarta, wong Jakarta saja tidak dikenal orang Indonesia, tidak tahu bahasa Inggris, presiden tidak dikenal. Orang Papua punya bangsa satu Ras dunia, memiliki sebuah semangat karena mengalami trauma dan penderitaan yang panjang soal rasisme di seluruh dunia, jadi jangan main-main. Belum lagi yang kedua misalnya. Saya menanggapi ini ada kemarahan Anda. Biasanya kalau kita ngobrol Anda itu sangat analitis, argumentatif tapi sekarang ini saya agak terkejut ketika Anda kelihatan emosional. Iya saya soal rasisme sudah pasti saya sakit hati. Karena saya sudah baca, saya sudah belajar dari segala. Keluarga saya 200 orang di kampung dibunuh oleh para pendatang hanya dalam dua bulan, dan itu ada disertasi S3-nya di Belanda, Frey Universitas Amsterdam. Karena itu sudah pasti soal suara rasis itu kita pasti sakit. Anda membayangkan 400 orang pendatang, di luar Minang, di Papua, suami anak 2019 dibantai, hampir mendekati 400 orang pendatang. Tapi kita tahu kekuasaan negara dialihkan seakan-akan orang Minang yang kena. Padahal 7 restoran orang Minang di Wamena itu sama sekali tidak kena. Poinnya apa anda ceritakan tentang 7 restoran orang Minang yang tidak diapa-apakan itu? Artinya begini, jujur saja, boleh saya jujur enggak, apa adanya, kalau konflik sosial terjadi mayoritas berasal dari asal yang sama dengan orang-orang yang berkuasa di Republik ini. Karena sudah ketakutan, saya tidak boleh sebut nama tempatnya, tapi bisa mengerti, Jakarta ketakutan. Karena itu mau tidak mau dialihkan kepada orang Minang yang sama sekali tidak ada, tapi memiliki ikatan persatuan yang sama untuk menyerang pas membangun opini. Kan yang mati itu bukan orang Minang. Yang mati dibunuh di Wamena 2019 itu orang yang agak sedikit sama dengan pemimpin penguasa republik ini. Karena itu imbasan dari Surabaya, dari Malang. Jadi, maksudnya hati-hati soal begini karena soal rasisme itu sangat sensitif. Keduanya, kalau saya itu akan atas nama kemanusiaan supaya tidak boleh terjadi. Itu bukan persoalan memunculkan konflik. Kalau memunculkan konflik, ngapain gue, kasih saja 1 miliar Koperasi di lapangan tapi kan saya tidak pernah. Sampai detik ini apalagi saya pembela kemanusiaan. Jadi sebenarnya di poinnya bukan persoalan Ibu Mega atau siapapun begitu? Kebetulan saja sekarang ini Ibu Mega yang mengucapkan. Artinya Anda ingin menyampaikan pesan ini kepada terutama para pemimpin-pemimpin bangsa kita? Terutama ibu Mega itu, selain pemimpin bangsa kami sering ucapkan yang terakhir ini ke Ibu Mega harus menyampaikan secara terbuka secara jantan. Beliau pakai Sekretaris Jenderal Hasto Kristiyanto, klarifikasi pakai kulit. Justru saya bilang tadi malah hitam. Negro itu bahasa Spanyol. Kalau orang Inggris negro menjadi bahasa Blackman. Kalau di Indonesia pakai hitam. Jadi klarifikasi kan begitu. Oke poinnya sudah kita tangkap. Saya kira ini penting juga buat yang lain ya? Buat viewer, terutama FNN lebih sensitif bicara ini. Mungkin Anda bermaksud tidak menghina, tetapi itu bisa menunjukkan di bawah sadar, tanpa sadar kita ada semacam tadi, secara berpikir yang sergrefatif, seperti yang dipersoalkan oleh Bung Natalius Pigai. Terima kasih. (mth/sws)