HUKUM
Komnas HAM Segera Periksa Ajudan Ferdy Sambo
Jakarta, FNN - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI segera memeriksa ajudan atau aide de camp (ADC) Kadiv Propam Polri nonaktif Irjen Polisi Ferdy Sambo yang sebelumnya berhalangan hadir untuk memberikan keterangan terkait kematian Brigadir J.\"Berikutnya penambahan keterangan dari ajudan yang kemarin belum datang karena ada di luar kota,\" kata Komisioner Komnas HAM Mohammad Choirul Anam di Jakarta, Sabtu.Enam ajudan Irjen Polisi Ferdy Sambo termasuk Bharada E sebelumnya telah diperiksa Komnas HAM pada Selasa (26/7). Namun, satu orang ajudan pada hari tersebut tidak memenuhi pemeriksaan oleh lembaga HAM tersebut.Tidak hanya ajudan, Komnas HAM juga akan memeriksa orang-orang yang berada di sekitar lingkup Irjen Ferdy Sambo dan istrinya Putri Candrawathi untuk mengumpulkan sejumlah informasi atau keterangan yang dibutuhkan.Setelah memeriksa ajudan dan orang-orang yang terkait dengan Irjen Polisi Ferdy Sambo termasuk Putri Candrawathi, Komnas HAM mengagendakan pemeriksaan uji balistik dan hal lainnya yang dapat mendukung proses penyelidikan kematian Brigadir J.Selain itu, Komnas HAM juga masih akan mengumpulkan data-data terkait pemeriksaan siber dan digital forensik. Sebab, pengumpulan keterangan sebelumnya belum selesai dilakukan.Terpisah, Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo meminta dukungan seluruh lapisan masyarakat ikut mengawasi proses pengungkapan kasus kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.Saat ini, tim khusus dan internal Polri masih terus bekerja untuk mengungkap kebenaran dalam kasus tersebut. Termasuk tim eksternal dari Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), dan Komnas HAM sesuai tugas dan tanggungjawabnya ikut mengawal proses pengungkapan kasus. (Ida/ANTARA)
Penegak Hukum Jangan Ragu Selidiki Aliran Donasi ACT
Jakarta, FNN - Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Rahmat Hidayat Pulungan meminta aparat penegak hukum agar tidak ragu dalam menyelidiki aliran dana ke pihak lain terkait dugaan penyelewengan donasi Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT).\"Penegak hukum agar tidak ragu-ragu untuk menyelidiki lebih dalam ke mana saja aliran dana tersebut. Jangan sampai selain untuk memperkaya diri sendiri, dana masyarakat digunakan atau dialirkan untuk memperkuat kelompok-kelompok radikal dan terorisme,\" kata Rahmat dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu.Setelah diselidiki, tambah dia, aparat penegak hukum juga harus menyampaikan informasi tentang aliran dana tersebut kepada publik, termasuk modus-modus transaksi keuangan yang dilakukan oleh para petinggi ACT.Selanjutnya mengenai tindakan Penyidik Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri yang menahan empat tersangka dalam kasus dugaan penggelapan dan pencucian uang oleh ACT, Rahmat menilai hal tersebut sudah tepat.Menurutnya, Dittipideksus Bareskrim Polri bertindak cepat dalam menahan empat tersangka tersebut untuk mencegah mereka bergerak leluasa setelah ditetapkan sebagai tersangka dengan dugaan pemotongan donasi mencapai Rp450 miliar untuk operasional.Artinya, tambah Rahmat, lembaga tersebut menghabiskan total operasional sebesar Rp2,5 miliar setiap bulannya, termasuk kisaran gaji keempat petinggi yang berkisar Rp50-450 juta per bulan.\"(Penahanan) Tidak heran karena temuan Bareskrim Polri mengungkap gaji keempat petinggi tersebut berkisar Rp50-450 juta per bulannya. Sangat fantastis,\" tambah dia.Sebelumnya, Penyidik Dittipideksus Bareskrim Polri menahan empat tersangka kasus dugaan penggelapan dan pencucian uang oleh Yayasan ACT, Jumat (29/7).Empat tersangka itu adalah mantan Presiden ACT Ahyudin (A), Ibnu Khajar (IK) selaku Presiden ACT, Hariyana Hermain (HH) yang merupakan salah satu pembina ACT dan memiliki jabatan tinggi lain di ACT, termasuk mengurusi keuangan. Lalu, Novariandi Imam Akbari (NIA) selaku Ketua Dewan Pembina ACT.Menurut Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipideksus) Bareskrim Polri Brigjen Pol. Whisnu Hermawa, alasan penahanan adalah para tersangka dikhawatirkan menghilangkan barang bukti.Mereka terbukti mencoba menghilangkan barang bukti dengan cara memindahkan beberapa dokumen yang ada di Kantor ACT. (Ida/ANTARA)
Pengacara Kantongin Nama yang Mengancam Brigadir Yoshua akan Dibunuh
Jakarta, FNN – Hal mengejutkan diungkapkan oleh kuasa hukum keluarga Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat, Kamaruddin Simanjuntak. Pihaknya membeberkan bahwa mengantongi nama yang diduga telah melakukan pengancaman pembunuhan terhadap Brigadir Yoshua sebelum dia ditemukan tewas di kediaman Kadiv Propam Irjen (Nonaktif) Ferdy Sambo di Kompleks Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan. Demikian perbincangan dua wartawan senior FNN Hersubeno Arief dan Agi Betha dalam kanal YouTube Off The Record FNN, Kamis (28/7/22) di Jakarta. Kamaruddin mengungkapkan orang yang mengancam akan membunuh Brigadir Yoshua adalah sesama ajudan Kadiv Propam Polri (Nonaktif) Irjen Ferdy Sambo. “Orang yang mengancam ini saya sudah kantongi namanya. Kalau pernah lihat sejumlah foto yang mereka foto bersama itu salah satu yang mengancam itu ada dalam foto itu. Yang jelas bukan Bharada E,” kata Kamaruddin kepada wartawan, Senin (25/7/22). Menanggapi kasus ini, Hersubeno mengatakan ini menjadi asosiatif karena bagaimanapun polri itu meskipun sipil, tetapi hierarkinya senioritas tentu dijunjung tinggi di kepolisian, “rasanya tidak mungkin Bharada E berani mengancam seniornya, berarti itu bisa jadi dilakukan oleh otoritas yang lebih tinggi,” ungkapnya, Brigadir Yoshua sempat menyampaikan salam perpisahan kepada orang yang menjadi tempatnya bercerita soal adanya ancaman ini. Kamaruddin juga menceritakan soal ancaman yang diterima Brigadir Yoshua hingga membuat dia menangis. Ancaman itu dimulai sejak Juni 2022 hingga sehari sebelum Brigadir Yoshua tewas yakni pada Kamis, (7/722). Kendati begitu, dengan alasan keamanan, pihaknya merahasiakan identitas teman curhat Brigadir Yoshua ini. Kamaruddin mengklaim, memiliki bukti rekaman elektronik terkait adanya ancaman tersebut. “Ada saksi yang sangat spektakuler. Nah saksi ini menyimpan rekaman elektronik di dalam rekaman elektronik ini ada ancaman pembunuhan dari bulan Juni 2022. Ancaman pembunuhan itu terus berlanjut hingga akhir tanggal 7 Juli 2022,” tuturnya. Hersubeno mengingatkan bisa jadi yang disampaikan oleh Kamaruddin ini dapat menjadi bukti penting, karena seperti yang disampaikan pengacara kekasih Brigadir Yoshua, Vera Simanjuntak, bahwa ponsel miliknya telah disita juga. “Namun kita juga jangan mengambil kesimpulan dahulu sebelum disampaikan oleh sumber-sumber yang jelas selain pihak internal,” pungkasnya. (Lia)
Persaingan Petinggi Polri Makin Sengit, Kapolri Minta Publik Mengawasi Penyidikan Kematian Yoshua
Jakarta, FNN - Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Listyo Sigit Prabowo meminta semua pihak mengawasi proses penyidikan peristiwa baku tembak sesama polisi, yang menewaskan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat. Itu menjadi bentuk transparansi pengusutan kasus tersebut. Dengan proses transparansi, akan menghasilkan akuntabiltas yang bisa dipertanggungjawabkan ke publik, sehingga dapat memberikan rasa keadilan yang ditunggu publik. Simak obrolan pengamat politik Rocky Gerung bersama wartawan senior FNN, Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Rocky Gerung Officials, Kamis, 27 Juli 2022 di Jakarta. Petikannya: Semua masyarakat berharap minggu ini dipercepat, karena ingin melihat hasil otopsi Brigadir Yoshua. Namun, katanya kalau nggak delapan pekan, bisa sampai 4 bulan. Orang jadi mikir katanya kemarin kan katanya kasus yang mustinya dua atau tiga hari selesai ini tiba-tiba jadi panjang ceritanya. Pengungkapannya saja sudah terlambat, sudah tiga hari. Jadi sekarang ditambah otopsi lagi baru 4 bulan. Itupun modalnya nanti pengembangan penyidikan. Jadi, bisa jadi lama ini dan Pak Listyo Sigit makin lama makin tersandra oleh kasus ini. Ada prinsip di dalam pidana, bahwa setiap penundaan itu artinya penambahan kejahatan. Jadi semakin lama nanti semakin mungkin ada kejahatan baru terhadap fakta-fakta itu. Karena itu otopsi prinsipnya semakin cepat semakin baik supaya faktanya tidak hilang karena proses yang disebut penguraian fisik dari manusia. Secara filosofis siapapun masih bisa diotopsi. Bahkan, mumi pun masih bisa diotopsi. Tapi ini proses yang bukan sekedar mempercepat otopsinya, tapi mempercepat spekulasi publik. Kan harusnya dihentikan cepat spekulasi publik supaya semua variabel yang non-kriminal itu bisa langsung dibawa ke pengadilan. Ini masalahnya empat bulan itu spekulasi juga makin panjang dan keterangan Pak Kapolri juga menunjukkan bahwa beliau sebetulnya masih memerlukan semacam dukungan. Karena itu, dia minta supaya semua mengawasi. Seharusnya dia bilang “beri kami kepercayaan untuk mempercepat proses ini”. Kalau dibalik artinya kami belum punya kepercayaan atau publik belum percaya kepada kami, karena itu kami minta semua dukungan. Jadi memang terlihat ini kasus yang sederhana yang jadi rumit karena dugaan-dugaan non-kriminal itu dipermainkan oleh pers sebetulnya untuk mendorong agar supaya ini dipercepat. Ini kalau pers bikin sensasi, itu berbahaya. Tetapi, pada saat yang sama sensasi itu harusnya ditutup melalui substansi yang harusnya dipercepat diprioritaskan melalui analisis otopsi. Ini saya kira kita beruntung juga, dalam situasi sekarang ini di era sosial media ya, karena kalau dulu kan sangat mudah informasi dikanalisasi lewat media-media konvensional yang dikontrol oleh kekuasaan. Tapi dengan media sosial yang sekarang ini saya kira memang susah berkelit. Tadi Anda menyinggung soal barang bukti yang namanya tubuh itu, yang saya kira sudah sekarang sudah lapangan becek itu. Padahal, polisi sendiri kan selalu punya alasan kalau menahan seorang tersangka. Alasannya kan selalu ada tiga: khawatir melarikan diri; mengulangi perbuatannya; atau menghilangkan barang bukti. Nah, ini kalau semakin lama barang buktinya semakin hilang. Itu yang saya minta selalu supaya kita fokus pada substansi, kepada barang bukti. Dan pembuktian kan harus didasarkan pada evidence awalnya. Sekarang evidence awalnya mungkin tumpuk-tumpuk. Saya percaya Polri tentu tertekan. Tetapi, kembali pada prinsip bahwa hanya Polri yang mampu untuk mengungkap ini. Tidak mungkin orang lain mengungkap itu kan? Jadi, percuma sebetulnya kalau kita mendesak Polri, tapi Polri sendiri menganggap bahwa kami perlu bantuan. Bantuan itu tentu adalah meminta supaya hal-hal lain jangan dulu dipersoalkan. Jadi kita fokus di situ. Saya dukung Kapolri dan Kapolda mengatakan bahwa ada dua korban. Korban pertama adalah Yosua dan itu adalah hak keluarga untuk menuntut pengungkapan kasus ini, korban kedua adalah Ibu Putri yang sampai sekarang mungkin masih stres. Jadi, sebetulnya dua korban ini akan menghasilkan rangkaian pembuktian yang memungkinkan publik akhirnya pulih kepercayaan pada Polri. Jadi fokus pada dua korban ini. Kesaksian Ibu Putri diperlukan, tapi karena yang bersangkutan masih stres, jangan diganggu. Jangan sensasinya ditambah sehingga berpotensi Ibu Putri untuk mengingat kembali peristiwa itu makin lama makin berkurang. Jadi biarkan Ibu Putri itu pulih sepenuhnya. Jangan diganggu psikologinya. Yang kedua biarkan Yosua sebagai jenazah, almarhum tubuhnya itu berbicara sendiri. Karena tubuh korban itu, walaupun sudah jadi mayat, tapi mampu untuk berbicara melalui bahasa yang kita sebut sebagai forensik. Jadi fokus pada dua hal ini. Nah, sekali lagi, tentu pers ingin memenuhi rasa ingin tahu publik. Dan itu artinya ada panggung lain, yaitu panggung publik. Tapi panggung publik itu tidak boleh ditukartambahkan dengan panggung pengadilan. Kan itu intinya. Jadi selalu saya ingin agar supaya silahkan publik bikin imajinasi, tapi jangan imajinasi itu kemudian mengalihkan persoalan riilnya, yaitu ada dua korban yang sekarang harus betul-betul diberi kesempatan untuk berbicara. Jenazah masih bisa bicara melalui fasilitas forensik; Ibu Putri masih bisa berbicara melalui terapi psikologi. Itu intinya. Saya kira masih ada satu lagi yang perlu mendapat perhatian, ini berkaitan dengan Brigadir Richard Eliazer, yang disebut sebagai pelaku penembakan. Kalau kita lihat, ini anak muda. Dan dia dalam situasi semacam ini posisinya rawan, dia menjadi tersangka atau dia menjadi “korban”, dalam artian sensasi publik atau prasangka publik. Karena sampai sekarang orang masih atau publik tidak terlalu percaya bahwa Eliazer itu anak muda, usianya kalau nggak salah 24 tahun, sebagai pelaku penembakan. Kemudian orang jadi bertanya-tanya sebenarnya dia ini hanya orang yang dikorbankan atau memang betul-betul dia dalam pusaran itu, karena dia membela diri dan terjadi tembak-menembak, seperti versi polisi dengan Brigadir Yoshua. Itu hal yang juga ditunggu orang kan. Jadi Richard harus kita tetapkan statusnya. Kalau dianggap bahwa dia potensial untuk dijadikan tersangka dan kemungkinan dia juga ingin minta perlindungan, dia musti mendapat perlindungan hukum dan psikologis juga. Jadi tanda tanya itu tetap ada di publik. Siapa ini Richard, sudah keburu disebut sebagai eksekutor. Tapi kemudian dianggap iya karena membela diri. Lalu versi lain berkembang lagi tuh, macam-macam. Itu soal pemilikan senjata, keahlian, atau hak untuk menyandang senjata laras pendek. Jadi, semua info ini kan publik ingin minta Pak Kapolri coba lebih eksplisit. Tetapi, kita juga paham Kapolri lagi berselancar di dalam opini publik yang macem-macem. Nah, berselancarnya itu tidak lagi dianggap sebagai hal yang terkait langsung dengan kasus kriminalnya, tetapi orang mulai menduga berselancarnya Pak Kapolri itu terkait dengan persaingan di antara petinggi-petinggi Polri. Jadi masuklah semua itu dalam kesulitan kita untuk memastikan ini kapan selesai? Apa menunggu isu persaingan selesai baru menunggu data-data polisi dibuka? Kan itu pertanyaan riil dari publik. Jadi kita balik lagi, masuklah pada prinsip scientific analyzed, yaitu bertanggung jawab terhadap data yang temukan dan mulai mencari hubungan kausal antar-data. Saya kira itu poinnya yang kita musti fokuskan. Sensasinya ya itu memang bumbu yang tidak bisa dihindari, tetapi sebagai bumbu dia bukan inti dari makanan. Dia hanya menyedapkan dan kadangkala bumbu itu juga berbahaya. Nutrisinya bisa hilang karena ditumpuk dengan bumbu-bumbu yang berlebih. Oke, kita balik ya, fokus pada dugaan adanya persaingan petinggi Polri. Orang menduga-duga begitu kenapa kasus yang sederhana kok bisa jadi panjang seperti ini, karena melibatkan para Jenderal, keluarga Jendral, Pak Ferdy Sambo. Dan tadi Anda juga menyebut bahwa saya kira dua interpretatif terhadap pernyataan Pak Listyo Sigit agar publik ikut mengawasi. Sebenarnya kan tanpa publik mengawasi, kalau itu berjalan biasa saja sudah jadi domainnya polisi. Dan itu pekerjaan mudah. Tapi kenapa mesti diawasi? Apakah ini juga tadi itu berkaitan dengan adanya dugaan-dugaan adanya persaingan petinggi Polri. Kalau di media sosial malah disebut-sebut bahwa ini berkaitan dengan semacam kejahatan di kalangan para petinggi Polri karena orang sebut sebagai well organized crime. Itu yang saya deteksi bahwa ada semacam frustasi kecil pada Pak Kapolri sehingga musti memakai kalimat itu, “nanti mohon dibantu diawasi”. Sebetulnya, dari awal memang nada itu nada permainan atau nada variabel politik atau persaingan itu sudah ada di hari-hari pertama dengan ucapan Pak Mahfud. Pak Mahfud sendiri yang bilang, jangan lindungi tikud di situ. Urusan apa Pak Mahfud bilang begitu? Belum ada otopsi kedua pun Pak Mahfud sudah ngomong begitu. Belum ada problem upaya untuk mencari CCTV Pak Mahfud saudah ngomng begitu. Itu juga nggak boleh sebetulnya Pak Mahfud mengucapkan “jangan ada tikus bersarang atau dilindungi tikus kecil itu”. Demikian juga Pak Jokowi, dua kali mengucapkan “Saya ingin ini dibongkar”. Ya iyalah, tugas polisi itu. Apalagi PDIP yang juga gencar untuk mempercepat segala macam, soal yang masih jadi isu publik. Jadi dua variabel itu, yaitu partai politik PDIP dan istana melalui Pak Mahfud dan Pak Jokowi, menunjukkan bahwa ada tekanan untuk mempercepat. Nah, tekanan itu sebetulnya membebani Polri. Kan Polri punya mekanisme. Jadi dari awal memang sifat politisnya sudah muncul. Harusnya diam dong. Bahkan Pak Presiden nggak boleh bikin komentar, Pak Mahfud atau PDIP, supaya Pak Sigit tidak tertekan. Kan itu intinya. Sekarang Pak Sigit menganggap bahwa kita butuh bantuan publik. Publik lagi wacth sekarang justru. (ida/lia)
Sidang Kasus ‘Jin Buang Anak’. Saksi Ahli Antropologi Hukum : Ini Belum Terjadi Konflik Sosial
Jakarta, FNN – Guru Besar Ilmu Hukum, Prof. Dr. Ade Saptomo, Universitas Pancasila Jakarta hadir menjadi saksi ahli antropologi hukum dalam sidang lanjutan kasus ‘jin buang anak’ Edy Mulyadi yang digelar Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (27/7/22). Prof Ade dimintai pandangan terkait keilmuannya dengan kasus ‘jin buang anak’. Menurut analisis antropologi hukum, interaksi terjadi akibat adanya aksi dan reaksi. “Ketika ada aksi sebagaimana disampaikan terdakwa Edy, lalu ada kelompok masyarakat menyampaikan reaksinya karena tidak menerima atau merasa terganggu akibat aksi tersebut, maka disitulah interaksi itu muncul,” tutur Prof Ade. Namun, antropologi tidak melihat kapan reaksi itu terjadi, bisa kemarin, besok, atau kapan saja. Dalam konteks ini reaksi terjadi karena ada komplain, dan faktanya dalam kasus ini terdapat sekelompok masyarakat yang melakukan protes. “Dalam konsep antropologi hukum, kasus ‘jin buang anak’ ini belum terjadi komplikasi sosial, hanya saja ada beberapa kelompok masyarakat yang terlukai akibat aksi tersebut. Untuk mengakhiri ini yaitu meminta maaf dengan cara yang dikehendaki oleh orang-orang yang merasa nilai sosialnya terganggu.” Ujarnya. Berbeda halnya, dengan Prof. Dr. Wahyu Wibowo yang juga hadir sebagai saksi ahli bahasa dan sastra dalam sidang kasus ‘jin buang anak’. Prof Wahyu menyebutkan bahwa terdakwa Edy Mulyadi menyebarkan berita hoax melalui YouTube Bang Edy Channel, soal isu-isu yang ramai diperbincangkan. “Kritik itu disampaikan apabila ada data fakta yang sesuai,” ujar Prof Wahyu. Pernyataan tersebut kemudian dibantah oleh Hakim ketua Adeng Abdul Kohar, ia mengingatkan saksi itu dihadirkan sebagai saksi ahli sesuai keilmuannya. “Saksi tidak boleh mengatakan bahwa terdakwa berbicara tanpa data fakta, karena itu bukan ranah saksi, itu ranah majelis yang akan menilai, tolonglah bapak sampaikan sesuai keilmuan dan teori saja,” ungkap hakim Adeng. Setelah persidangan, terdakwa Edy Mulyadi menyampaikan tanggapannya terhadap saksi ahli Prof Wahyu, “saya sampai tidak bisa berbicara apa-apa, intinya sungguh kecewa melihat seorang Profesor yang membuat kesimpulan bahwa saya berbicara tidak dengan data fakta,” pungkasnya. (Lia)
CCTV Merekam Sambo dan Istri Lakukan PCR di Rumah Pribadi
Jakarta, FNN - Satu per satu bukti keanehan kematian Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat mulai ditemukan. Petunjuk baru tampak dari rekaman CCTV yang beredar di sejumlah awak media. Demikian perbincangan dua wartawan senior FNN Hersubeno Arief dan Agi Betha dalam kanal YouTube Off The Record FNN, Rabu (27/7/22) di Jakarta. Terungkap isi rekaman CCTV yang diambil di rumah utama Irjen Ferdy Sambo, berlokasi tak jauh dari rumah dinasnya yang diduga menjadi lokasi tertembaknya Brigadir Yoshua. Dari informasi yang dihimpun, CCTV di rumah pribadi Irjen Ferdy Sambo sempat menangkap aktivitas Brigadir Yoshua beberapa saat sebelum tewas, dalam keadaan sehat. Menurut rekaman CCTV rombongan Ferdy Sambo dan istrinya Putri Candrawathu pulang dari perjalanan Magelang pukul 15.30 WIB. Sekitar 2 menit kemudian masih tampak Brigadir Yoshua di rumah utama. Tak lama kemudian Putri Candrawathi dan Brigadir Yoshua melakukan tes PCR di rumah utama. Ini menjadi tanda tanya, di rumah pribadi ada fasilitas PCR, tapi kenapa Irjen Pol Ferdy Sambo mengaku tes PCR di luar? “Secara logika kenapa melakukan PCR di tempat lain, dan juga ajudannya tidak ikut,” ujar Agi. Pukul 15.50 WIB, terakhir kali Brigadir Yoshua terlihat di rumah pribadi Ferdy Sambo. Dalam rekaman itu terlihat Putri Chandrawathi, Istri Ferdy Sambo, berada di rumah singgah Duren III hanya selama 11 menit, mulai pukul 17.10 sampai 17.21 WIB. Sementara Ferdy Sambo menuju rumah singgah Duren III sekitar pukul 17.12 WIB. Ia berangkat dari rumah pribadi. Selisih dengan Putri hanya sekira dua menit. Jarak antara rumah pribadi di Umah Saguling III dengan rumah dinas di Duren III yang dipakai rumah singgah sekitar 1 km. Ferdy dan istri berada di rumah singgah Duren III pada saat hampir bersamaan menumpang dua mobil berbeda yaitu Toyota Alpard dan Lexus. Hingga pukul 17.50 WIB, wajah Brigadir Yoshua tak terlihat lagi dari rekaman CCTV. Ke mana 1 jam lebih Brigadir Yoshua tak kelihatan di CCTV, itu yang masih menjadi pertanyaan besar. Namun pukul 17.50 WIB, Provos terlihat di lokasi Duren III. Tidak jelas mengapa Provos muncul di lokasi itu. Sekitar pukul 17.11 WIB terlihat ada mobil Patwal mundur ke TKP atau rumah dinas. Diasumsikan dalam waktu itu Brigadir Yoshua ditemukan tewas dengan posisi tertelungkup dengan kondisi luka tembak dan luka lain. “Dari sisi lain ini juga semacam rumor yang beredar, karena kita juga tidak tahu, harus dikonfirmasi dahulu oleh Kadiv Humas Polri atau Polda Metro Jaya,” pungkas Agi Betha. (Lia)
Komnas HAM: Brigadir J Masih Hidup Saat Tiba di Duren Tiga
Jakarta, FNN - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI mengatakan berdasarkan rekaman video memperlihatkan Brigadir J masih hidup saat tiba di Duren Tiga sepulangnya dari Magelang, Jawa Tengah, Jumat (8/7).\"Kami diperlihatkan 20 video dari Magelang sampai area Duren Tiga, bahkan sampai Rumah Sakit Kramat Jati,\" kata anggota Komnas HAM Mohammad Choirul Anam di Jakarta, Rabu.Menurut dia, yang paling penting dalam video tersebut ialah di area Duren Tiga, tempat video memperlihatkan ada Irjen Polisi Ferdy Sambo yang masuk terlebih dahulu. Beberapa waktu kemudian ada rombongan dari Magelang.\"Di situ terlihat ada Ibu Putri, ada Brigadir Yoshua, dia masih hidup sampai di Duren Tiga. Rombongan lainnya dalam kondisi hidup dan sehat,\" kata Anam.Disebutkan pula bahwa 20 video yang diperlihatkan oleh siber Polri dan Labfor Polri kepada Komnas HAM tersebut tersebar di 27 titik, mulai dari Magelang, Duren Tiga, hingga Rumah Sakit Kramat Jati.Khusus video dari Magelang sampai Duren Tiga, salah satu hal penting yang dilihat oleh Komnas HAM ialah soal Brigadir J masih hidup.Selain diperlihatkan soal video, tim dari Komnas HAM juga ditunjukkan soal monitoring keberadaan atau jejaring komunikasi yang terdapat di area Duren Tiga dan Magelang.Bahan yang diberikan kepada Komnas HAM tersebut akan kembali dipelajari. Hal ini guna memastikan dan mengusut tuntas kematian Brigadir J.Terkait dengan permintaan keterangan siber dan digital forensik, kata Anam, akan kembali dilanjutkan Komnas HAM pekan depan. Hal ini mengingat ada beberapa penggalian informasi yang membutuhkan dukungan teknologi.\"Tinggal sekitar 20 persen lagi yang kami butuhkan untuk perkuat terangnya peristiwa,\" ujarnya. (Sof/ANTARA)
Kapolri Minta Masyarakat Awasi Pengungkapan Kasus Brigadir Yosua
Jakarta, FNN - Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo meminta dukungan seluruh lapisan masyarakat untuk ikut mengawasi proses pengungkapan kasus baku tembak antaranggota yang menewaskan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J. \"Kami minta semuanya ikut mengawasi sehingga transparansi dan akuntabilitas dari hasil pemeriksaan bisa dipertanggungjawabkan kepada publik, berjalan lancar, baik, dan memenuhi rasa keadilan yang ditunggu publik,\" kata Sigit saat ditemui usai kegiatan Rapat Koordinasi dan Pengawasan Kompolnas-Polri Tahun Anggaran 2022 di Gedung Tribrata, Jakarta Selatan, Rabu. Jenderal bintang empat itu menyebutkan Tim Khusus (Timsus) Internal Polri saat ini bekerja untuk mengungkap kebenaran kasus tersebut.Begitu pula Tim Eksternal Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sesuai tugas dan tanggungjawabnya ikut mengawal proses pengungkapan kasus tersebut. \"Rekan-rekan sudah mengikuti, saat ini Timsus Internal Polri, Kompolnas, dan Komnas HAM sedang bekerja,\" ujarnya. Menurut mantan Kabareskrim Polri itu, apa yang sudah dikerjakan tim disampaikan kepada masyarakat karena publik menaruh perhatian khusus kasus ini.Baru-baru ini, kata dia, semua kegiatan yang dilakukan timsus telah di dipresentasikan Komnas HAM terkait apa yang telah didapatkan, seperti pemeriksaan para ajudan Irjen Ferdy Sambo, termasuk Bharada Richard Elizer (Bharada E) hadir dalam pemeriksaan tersebut, Selasa (26/7). \"Demikian pula hari ini telah dilaksanakan autopsi ulang yang akan disampaikan kepada publik,\" kata Sigit. Untuk itu, Sigit meminta partisipasi masyarakat ikut mengawasi apa yang telah dilakukan jajarannya dan menunggu sampai hasil pengungkapan selesai. \"Saya kira kita tunggu hasilnya dan mudah-mudahan semua berjalan dengan baik,\" kata Sigit. Hari ini Timsus bersama Kedokteran Forensik, Pusat Laboratorium Forensik Polri, dan Perhimpunan Kedokteran Forensik melaksanakan autopsi ulang jenazah Brigadir Josua di Jambi. Proses autopsi ulang diawali dengan ekshumasi atau penggalian makam, kemudian jenazah dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sungai Bahar, Muaro Jambi. Brigadir J tewas dalam baku tembak antaranggota di rumah Kadiv Propam nonaktif Irjen Pol. Ferdy Sambo di Duren Tiga, Jakarta Selatan, Jumat (8/7). (Ida/ANTARA)
Gugatan Praperadilan Mardani Maming Ditolak PN Jakarta Selatan
Jakarta, FNN - Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menolak gugatan praperadilan yang diajukan Mardani H. Maming pada Rabu.\"Menyatakan praperadilan pemohon tidak dapat diterima,\" ujar hakim tunggal Hendra Utama Sutardodo di PN Jakarta Selatan.Hakim menolak seluruh permintaan praperadilan Mardani. Hakim mengatakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah sesuai dengan prosedur dalam penetapan Mardani sebagai tersangka.Status Mardani kini tetap menjadi tersangka atas kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait izin usaha pertambangan di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. KPK menetapkan Mardani sebagai tersangka pada 22 Juni 2022.Aliran suap diduga disamarkan dengan transaksi PT PAR dan PT TSP yang bekerja sama PT PCN dalam hal pengelolaan pelabuhan batu bara dengan PT Angsana Terminal Utama (ATU).Kuasa hukum Mardani membantah tuduhan itu dengan menyebutkan bahwa ada relasi bisnis yang jelas dalam perjanjian antara PT PCN dengan PT PAR dan PT TSP.Pihak Mardani juga mengklaim tidak ada alat bukti lain yang dapat menjelaskan bahwa Bendahara Umum PBNU itu menjadi penerima manfaat dari aktivitas bisnis PT PAR dan PT TSP selama menjabat sebagai bupati.Bersama tim kuasa hukumnya, Mardani kemudian mengajukan gugatan praperadilan di PN Jakarta Selatan dengan nomor perkara 55/Pid.Pra/2022/PN JKT.SEL pada 27 Juni 2022. (Ida/ANTARA)
Maming Buron DPO KPK, Pertaruhan Nama Baik Bambang Wijoyanto dan Denny Indrayana
Jakarta, FNN - Ketua Dewan Pimpinan Derah PDIP Kalimantan Timur, Mardani H Maming ditetapkan sebagai tesangka kasus suap dan gratifikasi peralihan Izin Usaha Pertambangan di Kabupaten Tanah Bumbu. Maming dijemput paksa KPK setelah mangkir dalam dua panggilan, namun tidak berhasil ditemukan dan masuk ke dalam daftar pencarian orang (DPO). Merespons kasus ini, PDIP mengaku akan menghormati proses hukum yang berjalan dan tidak akan melakukan intervensi terhadap aparat penegak hukum manapun termasuk KPK. Simak obrolan pengamat politik Rocky Gerung bersama wartawan senior FNN, Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Rocky Gerung Officials, Selasa 26 Juli 2022 di Jakarta. Petikannya: Bung Rocky masih tetap gelisah ya situasinya? Iya, gelisah karena perkembangan ekonomi politik juga soal hukum, membuat kita masuk dalam ketidakpastian. Buronnya Ketua Umum HIPMI, Mardani Maming. Dia ini kan bukan hanya Ketua Umum HIPMI tapi dia juga Bendahara Umum PBNU dan Ketua DPD PDIP Kalimantan Selatan. Tapi orang kemudian kok nggak melihat soal HIPMI-nya atau Bendumnya PBNU, tetapi orang melihatnya ini afiliasi dengan PDIP dan kemudian orang menyatakan Harun Masiku jilid dua. Begitu orang menyebutnya. Ini saya kira seru dan mungkin klimaksnya akan terjadi pada hari ini karena hari ini direncanakan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akan membacakan ketetapan soal praperadilan terhadap Mardani Maming ini. Kalau dia dinyatakan menang berarti dia bisa melenggang jadi nggak sempet mendekam di tahanan KPK. Tapi kalau dia kalah, dia betul-betul akan jadi Harun Masiku jilid dua. Ini juga tanda tanya, KPK menggerebek apartemennya sebelum ada praperadilan. Jadi sebetulnya KPK sudah mendahului proses hukum. Kan itu yang terjadi. Lalu mungkin dibocorin juga, ya dia kabur duluan. Jadi bisa juga jadi in absensia. Jadi ini masalah yang bisa kita baca itu siapa yang akan jamin si Maming ini. Mungkin PDIP sudah angkat tangan, NU juga mungkin lepas soal-soal semacam itu. Jadi ini kasus yang juga akan jadi black number lagi. Jadi poin dari masyarakat sipil akhirnya melihat bahwa PDIP kok sarang koruptor yang malang-melintang petentang-petenteng tapi nggak bisa diproses karena ada riwayat sebelumnya soal Harun Masiku segala macam. Nah, kita hanya ingin melihat apa sebetulnya di belakang ini desain siapa? Dikendalikan oleh oligarki mana. Kan itu intinya. Kan dalam berita itu semacam persaingan bisnis junto politik ketika yang bersangkutan masih jadi pejabat di Kalimantan Selatan dengan orang yang mampu mengatur politik di Kalimantan. Sehingga timbul lagi friksi baru. Denny Indrayana kemudian masuk jadi lawyer, sementara Deni waktu itu juga bersaing jadi gubernur. Jadi kesulitan kita adalah membuat terang soal ini. Tentu di praperadilan itu status hukum yang diperiksa. Di belakangi itu kan ada tuker tambah politik di antara kekuatan-kekuatan besar. Soal Kunjungan Jokowi ke China Ini akan seru, tetapi ini akan berakhir hari ini ya, ketika dinyatakan menang itu berarti dia akan bebas, kalau nggak lanjut. Nah, ini cerita baru akan dimulai di situ, kalau dia kalah hari ini. Tetapi, di luar itu saya kira kita juga menyoroti beberapa peristiwa yang sangat menarik berkaitan dengan kunjungan presiden Jokowi ke China, yang kemaren kita bahas pasti nggak jauh-jauh soal utang; dan kemudian ini muncul berita yang menarik juga di dalam ini berkaitan dengan ternyata pemerintah China itu memang minta agar Indonesia menanggung soal pembangunan kereta api kekurangan pembangunan kereta api cepat China. Sebetulnya kita sudah bahas kemarin, tapi ini karena ada statement muncul dari pemerintah, menurut saya ini jadi sangat menarik. Ini sebenarnya bingkai dari kunjungan Pak Jokowi ke China. Memang, itu sebetulnya. Tapi nanti ada diplomasi nanas. Tapi tetap, yang disoroti publik adalah hak budget yang harusnya tiba pada rakyat APBN itu dipakai untuk infrastruktur yang disebut kereta cepat. Dan dengan rasionalitas ekonomi yang berantakan. Jadi suatu waktu nanti orang akan anggap bahwa ini memang disengaja untuk menggerogoti APBN. Ada mark-up segala macam. Karena pembengkakan anggaran itu kan mustinya nggak terjadi sehingga akan kita tanya yang rasional mana? Yang rasional ya Jepang dulu. Kan itu yang paling rasional kan? Nah, itu yang menimbulkan spekulasi lagi bahwa Pak Jokowi memang nggak paham bahwa tidak mungkin ada tukar-tambah antara kemakmuran dengan ambisi untuk menghabiskan uang dalam investasi yang mahal itu. Jadi hak rakyat untuk diasuh kesulitan ekonominya, dapur emak-emak itu ditukar dengan rel kereta akhirnya. Setelah itu dapur emak-emak dikuras lagi melalui peningkatan pajak segala macam untuk membiayai kekurangan itu. Atas perintah siapa? Atas perintah rakyat Tiongkok melalui pemerintah Tiongkok yang memaksa kita untuk menanggung biaya itu. Pak Jokowi setelah dari China kemudian ke Jepang. Pasti Jepang tinggal ngomong “apa gue bilang”. Jadi kita jadi malu akhirnya. Hal yang dengan mudah kita tahu kalau kalkulasi Jepang ya paling lebih masuk akal. Karena di situ nggak ada politik. Pasti itu. Itu cuma soal efisiensi bisnis. Kaalu dengan China itu pasti ada politiknya. Dan kita sudah tahu bahwa model China ini selalu ada debt trap ‘jebakan hutang’. Itu memang dimaksudkan untuk mengendalikan politik dan bisnis sebuah negara yang sedang berdagang dengan China dan perdagangan dengan China selalu ada konsekuensi politiknya tuh. Bagian ini kan diketahui dunia. Konyolnya Pak Jokowi merasa bahwa dia lebih penting China dari pada Jepang. Sementara proksi-proksi di Indo-Pasifik itu berupaya untuk mengkontain China karena pelanggaran HAM, karena pembusukan politik di dalam, karena tipu-tipu di dalam investasi. Kan itu intinya. Ini kan sudah mejadi semacam pengetahuan umum, secara luas gitu di dunia. Bahkan juga sebenarnya Amerika dan negara-negara Blok Barat selalu selalu mengingatkan itu, betapa bahayanya jebakan utang China itu. Saya yakin orang seperti Pak Jokowi dan Pak Luhut paham sekali soal ini. Tapi mengapa kali ini masih terus terjadi? Itu yang jujur saja menurut saya menjadi pertanyaan menarik buat banyak orang kalau kita mau berpikir secara secara positif. Apa yang terjadi kok bisa hal yang semacam tidak dipahami? Ini soal ambisi presiden untuk meneruskan investasi-investasinya, paling utama soal IKN. Tapi di belakang itu pasti ada cashback atau apa segala macam. Demikian juga China, menganggap bahwa oke itu lakukan terus supaya kita bisa ekspor terus tenaga kerja. Karena kesulitan ekonomi di China ya tenaga kerjanya harus dibiayai oleh mereka yang berhubungan dagang dengan China. Kan itu intinya kan? Jadi kalau kita puter-puter, ini di belakang itu cuma ada dua prinsip, yaitu ambisi presiden dan orang yang mempermainkan ambisi presiden untuk dapat proyek. Kan gampang saja soal begituan itu. Jadi, final di situ sebetulnya. Tentu saja orang merasa bahwa mari kita dorong terus presiden karena mereka tahu Presiden sangat berambisi untuk dia punya legacy. Dan itu yang juga muncul benefitnya ada di antara dua kegiatan itu. Kegiatan merawat ego presiden supaya ambisinya makin meluap dan pada saat yang sama mengambil keuntungan dari permainan ego Presiden itu. Ya, jadi bolak-balik sebenarnya di situ ya. Adanya moral hazard ya kita sebut. Mungkin ini bisa jadi benar, tetapi bisa juga nggak seperti itu jawabannya Pak Moeldoko. Kemarin kan muncul ketika pemimpinan militer Amerika Serikat ketemu dengan Pak Andika, misalnya. Dia menyatakan bahwa bagaimanapun juga Indonesia adalah mitra yang sangat penting buat Amerika. Itu sebetulnya bukan persoalan politik. Itu biasa kerjasama biasa. Tapi sebetulnya kan kita tahu bahwa diplomasi Amerika itu menggunakan dua pendekatan atau tekanan, ada tekanan secara ekonomi, ada tekanan secara militer. Itulah yang sebenarnya menjadi kekuatan dari Amerika sehingga bisa memaksakan agenda-agendanya terhadap para sekutunya. Ini kesempatan sebetulnya membersihkannya, supaya negara Barat menganggap oke Indonesia masih dalam treknya, minimal mendayung di antara dua karang. Kalau sekarang sudah mendarat di karang yang itu juga, karang ekonomi China. Jadi dari segi permainan politik internasional, opini dunia akan diarahkan kalau Indonesia sudah resmi menjadi proksinya politik China. Itu bahayanya. Kalau terjadi eskalasi di Eropa lalu merembet ke Indopasific lalu Indonesia akhirnya nggak mampu untuk menetapkan diri sebagai negara netral. Itu konekuensinya begitu. Jadi nggak ada lagi yang disebut politik non-blok atau politik mendayung dua karang di kita, karena sudah terang-terangan kita mendayung ke arah daratan China.