HUKUM

Kasus Brigadir J Ditarik dari Polda Metro Jaya ke Bareskrim

Jakarta, FNN - Bareskrim Polri mengambil alih penanganan kasus dugaan pelecehan dan penodongan senjata oleh Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J dari Polda Metro Jaya.Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo membenarkan penanganan kasus Brigadir J sebagai terlapor ditarik ke Bareskrim Polri untuk efektivitas dan efisiensi penanganan perkara.\"Ya (ditarik) dijadikan satu agar efektif dan efisien dalam manajemen sidiknya,\" kata Dedi dikonfirmasi melalui pesan instan di Jakarta, Minggu.Sebelumnya ada tiga laporan polisi terkait Brigadir J yang ditangani oleh Polri.Dua laporan yakni dugaan pelecehan dan penodongan senjata terhadap P, istri Kadiv Propam nonaktif Irjen Pol Ferdy Sambo yang awal mulanya ditangani oleh Polres Metro Jakarta Selatan, kemudian ditarik ke Polda Metro Jaya. Penarikan kasus ini diinformasikan pada Selasa (19/7).Kemudian laporan polisi yang dilayangkan oleh Keluarga Brigadir J melalui kuasa hukumnya tentang dugaan pembunuhan berencana pada Senin (18/7).Kini, kedua laporan yang ada di Polda Metro Jaya ditarik ke Bareskrim Polri mulai Jumat (29/7).Terkait dua laporan yang ditarik dari Polda Metro Jaya ke Bareskrim Polri, Dedi mengatakan penyidikan tetap melibatkan penyidik dari Polda Metro Jaya (PMJ) dan Polres Metro Jakarta Selatan masuk dalam tim penyidik tim khusus bentukan Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo.\"Namun penyidik PMJ, Jaksel tetap masuk dalam tim sidik timsus,\" ujarnya.Hingga hari ke 22 sejak peristiwa tewasnya Brigadir J dalam batu tembak di rumah Irjen Pol Ferdy Sambo pada Jumat (8/7) lalu, Polri belum menetapkan satu orang pun sebagai tersangka.Polri menyampaikan Brigadir J tewas baku tembak dengan Bharada Richard Eliezer, rekannya sesama ajudan Kadiv Propam.Ia diduga melakukan pelecehan dan penodongan senjata kepada P, istri Ferdy Sambo.Dalam mengungkap kasus ini, Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo membentuk tim khusus yang beranggotakan internal dan eksternal Polri (Komnas HAM dan Kompolnas) untuk mengungkap kasus secara objektif, transparan dan akuntabel.Kemudian, Kapolri juga menonaktifkan dua perwira tinggi dan satu perwira menengah buntut dari insiden ini.Mereka yang dicopot dari jabatannya, yakni Irjen Pol Ferdy Sambo dari jabatan Kadiv Propam, Brigjen Pol Hendra Kurniawan dari jabatan Karo Pengamanan Internal (Paminal), dan Kombes Pol Budhi Herdy Susianto dari jabatan Kapolres Metro Jakarta Selatan.Penyidik juga melalukan autopsi ulang atau ekshumasi terhadap jasad Brigadir J atas permintaan keluarga yang merasa janggal dengan kematian anaknya. (Ida/ANTARA)

Pelaku Judi Sidney di Sibolga Ditangkap Polisi

Medan, FNN - Personel Polsek Sibolga Sambas, Polres Sibolga, menangkap pelaku perjudian Sidney, toto Hong Kong dan toto Singapura, di Jalan Gabu, Kelurahan Pancuran Gerobak, Kota Sibolga, Sumatera Utara.Pelaku itu yakni PS (53) warga Jalan Gabu, Kelurahan Pancuran Gerobak, Sibolga, Sumatera Utara.Kasi Humas Polres Sibolga, AKP R Sormin, dalam keterangan tertulis, Minggu, mengatakan, petugas menerima informasi bahwa di Jalan Gabu, Sibolga, ada praktik perjudian.Selanjutnya meringkus pelaku dan menyita barang bukti berupa tujuh lembar kertas berisi angka pasangan judi Sidney, satu buah buku tulis merk Garda warna merah, satu handphone Samsung dan uang sebanyak Rp 583.000.\"Perjudian itu dilakukan tersangka lebih kurang 1 tahun dengan omset Rp800.000 sampai Rp1.000.000 per hari dan imbalan yang diterima tersangka 10 persen,\" ucapnya.Ia mengatakan, perjudian yang dilakukan tersangka jenis judi Sidney, toto Hongkong dan toto Singapura dan tersangka berperan sebagai tukang tulis.Tersangka berjudi untuk memperoleh hasil tambahan dan pemasang memasang angka dengan taruhan uang adalah mengharapkan kemenangan. \"Tersangka saat ini ditahan di Rumah Tahanan Polisi (RTP) Polsek Sibolga untuk proses hukum selanjutnya,\" kata dia. (Ida/ANTARA)

Komjen (Purn) Susno Duadji: Kasus Sambo Persoalan Simpel Dibikin Ruwet

Jakarta, FNN - Saat ini wajah Polri di hadapan publik tengah menjadi sorotan tajam, seiring molornya pengungkapan kasus polisi tembak polisi yang menewaskan seorang Brigadir Polisi Nofriansyah Yoshua Hutabarat. Bukan hanya menjadi sorotan publik, dalam perbincangan wartawan senior FNN Hersubeno Arief dan Mantan Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabarsekrim) Polri Periode 24 Oktober 2008 hingga 24 November 2009, Komjen Pol (Purn) Susno Duadji di kanal YouTube Hersubeno Point, Sabtu (30/7/22), turut berkomentar mengenai kasus penembakan Brigadir Yoshua. Susno Duadji menyebut kasus penembakan Brigadir Yoshua ini sebetulnya simpel. “Kasus mudah, tersangkanya ‘ada’, yang mengaku menembak ada, katanya tembak menembak berarti peristiwanya ada, yang meninggal juga ada sebagai korban, di badan korban ada luka tembak dan luka tambahan, saksinya ada, barang bukti seperti senjata, proyektil, darah, anak peluru yang terkena tembok, dan handphone,” tuturnya. Ia mengatakan dengan berbekal semua yang sudah lengkap ini seharusnya dapat ditentukan tersangkanya yakni Bharada E. “Walaupun katanya tembak-menembak ya tetap dia tersangka, tentang itu betul atau tidak, dapat dipertanggung jawabkan secara hukum,keilmuan dan akuntabel di pengadilan, itu hakim yang menentukan,” lanjutnya. Lalu Susno Duadji memberikan komentar mengenai Bharada E.  “Bayangkan, apa enggak sakti. Bharada E menembakkan 5 peluru semua kena. Dia ditembak Brigadir Yoshua 7 peluru enggak ada kena. Itu sakti betul,\" kata Susno. Tuntasnya kasus ini nanti tentu di pengadilan bukan di kepolisian, bukan penyidik sekaligus menjadi penyelidik dan hakim, kalau seperti ini habis fungsi di negara diambil satu lembaga. Hersubeno menyampaikan kasus ini menjadi sulit karena kejadiannya di rumah seorang Jenderal yakni Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo, polisinya polisi, itukan rumit posisinya. Kendati demikian, Susno mengatakan sebenarnya tidak rumit karena sudah ada standarnya.  “Kita mengharapkan polri dapat mengatakan fakta sesungguhnya atas kasus Brigadir Yoshua. Ada tanggung jawab besar yang harus diselesaikan oleh polri,” pungkasnya. (Lia)

Jalur Bandung-Cianjur Macet Karena Pedagang Cincau Protes

Cianjur, FNN - Jalur Bandung-Cianjur, Jawa Barat, macet total, Jumat, ketika pedagang es cincau yang hendak ditertibkan menolak kedatangan petugas gabungan Satpol PP, TNI/Polri dan dinas terkait dengan cara melemparkan berbagai bahan bangunan kios ke tengah jalan.Aksi protes yang dilakukan seratusan pedagang di jalur tersebut karena menolak direlokasi ke rest area yang sudah selesai dibangun pemerintah daerah meski hanya berjarak beberapa puluh meter dari pinggir jalan utama Bandung-Cianjur tepatnya di Kecamatan Haurwangi.Mereka melemparkan material bekas bangunan kios semi permanen seperti triplek, kayu dan barang bekas lainnya ke tengah jalan, sehingga menghambat arus lalulintas yang cukup padat sejak pagi hingga Jumat petang, sehingga petugas terpaksa menghentikan arus dari kedua arah.\"Macet tidak berlangsung lama dan tidak sampai memanjang karena upaya antisipasi langsung dilakukan petugas gabungan. Pedagang yang sudah nyaman berjualan di atas trotoar itu, sudah kita berikan peringatan, namun mereka tidak mengindahkan,\" kata Kepala Satpol PP Cianjur, Hendri Prasetyadi.Sehingga tutur Hendri, pihaknya melakukan pembongkaran kios yang menolak untuk dibongkar sendiri pemiliknya, bahkan sempat terjadi penghadangan dari pedagang yang menolak kios-nya untuk diratakan dengan dalih rest area masih sepi dari pengunjung.\"Solusi untuk pedagang sudah disiapkan di Rest Area Citarum, sedangkan trotoar akan fungsikan kembali seperti semula untuk pejalan kaki, terlebih di sepanjang trotoar terdapat tugu asmaul khusna yang akan mendapatkan perbaikan,\" katanya.Meski sempat sulit dilalui kendaraan landasan Jalan Raya Bandung-Cianjur, Jumat petang akhirnya dapat dilalui kendaraan setelah petugas gabungan dibantu petugas kebersihan menyingkirkan material yang dibuang pedagang ke tengah jalan.Pedagang cincau di sepanjang trotoar yang ditertibkan, mengatakan kalau penertiban dilakukan secara mendadak dan tidak melalui pemberitahuan. Selam ini, ungkap mereka diizinkan berjualan di atas trotoar menunggu rest area selesai dibangun, namun saat ini belum tuntas.\"Penertiban terkesan mendadak, sehingga pedagang melakukan protes dengan cara melemparkan material bekas kios dan tikar bekas ke tengah jalan. Seharusnya ada pemberitahuan terlebih dahulu agar kami dapat membongkar sendiri,\" kata pemilik kios Eman Sulaeman. (Sof/ANTARA)

Brigadir J dan Rombongan Melakukan PCR di Rumah Pribadi Ferdy Sambo

Jakarta, FNN - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengungkapkan bahwa Brigadir J bersama Putri Candrawathi, Bharada E serta pembantu rumah tangga melakukan tes usap PCR di rumah pribadi Irjen Polisi Ferdy Sambo di kawasan Duren Tiga sepulangnya dari Magelang.\"PCR itu dilakukan di rumah pribadi bukan di Rumah Dinas Irjen Polisi Ferdy Sambo,\" kata Komisioner Komnas HAM Mohammad Choirul Anam di Jakarta, Sabtu.Anam mengatakan hal tersebut diketahui berdasarkan rekaman CCTV yang telah dilihat langsung oleh Komnas HAM. Merujuk dari rekaman itu, Komnas HAM akan mengonfirmasi atau mendalaminya termasuk perihal PCR Ferdy Sambo.Khusus lokasi dan detailnya PCR Kadiv Propam Polri nonaktif tersebut, Komnas HAM akan mendalaminya ketika memeriksa Irjen Ferdy Sambo. Termasuk mendalami apakah Ferdy Sambo masuk ke dalam rombongan atau tidak pada saat kejadian.\"Kami memang mendapatkan informasi bahwa Pak Sambo tidak berada pada rombongan tersebut tapi ini masih informasi satu pihak dan akan kami cek,\" ujarnya.Komnas HAM akan menggali dari informasi lain, dokumen lain termasuk membandingkannya dengan bukti-bukti lain. Tujuannya, agar peristiwa kematian Brigadir J semakin jelas dan bisa terungkap.Terkait pemeriksaan atau pengumpulan data siber dan digital forensik, Anam memastikan hal tersebut belum selesai karena lembaga tersebut masih membutuhkan sejumlah data dan informasi.Komnas HAM juga telah mendapatkan dan melihat langsung rekaman CCTV dan jejaring komunikasi terkait kematian Brigadir J. Namun, beberapa informasi khususnya yang menyangkut nomor telepon keluarga Brigadir J sengaja tidak diungkap ke publik. \"Karena harus ada sistem perlindungan kepada pihak keluarga Yosua,\" ujar dia. (Ida/ANTARA)

Komnas HAM Segera Periksa Ajudan Ferdy Sambo

Jakarta, FNN - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI segera memeriksa ajudan atau aide de camp (ADC) Kadiv Propam Polri nonaktif Irjen Polisi Ferdy Sambo yang sebelumnya berhalangan hadir untuk memberikan keterangan terkait kematian Brigadir J.\"Berikutnya penambahan keterangan dari ajudan yang kemarin belum datang karena ada di luar kota,\" kata Komisioner Komnas HAM Mohammad Choirul Anam di Jakarta, Sabtu.Enam ajudan Irjen Polisi Ferdy Sambo termasuk Bharada E sebelumnya telah diperiksa Komnas HAM pada Selasa (26/7). Namun, satu orang ajudan pada hari tersebut tidak memenuhi pemeriksaan oleh lembaga HAM tersebut.Tidak hanya ajudan, Komnas HAM juga akan memeriksa orang-orang yang berada di sekitar lingkup Irjen Ferdy Sambo dan istrinya Putri Candrawathi untuk mengumpulkan sejumlah informasi atau keterangan yang dibutuhkan.Setelah memeriksa ajudan dan orang-orang yang terkait dengan Irjen Polisi Ferdy Sambo termasuk Putri Candrawathi, Komnas HAM mengagendakan pemeriksaan uji balistik dan hal lainnya yang dapat mendukung proses penyelidikan kematian Brigadir J.Selain itu, Komnas HAM juga masih akan mengumpulkan data-data terkait pemeriksaan siber dan digital forensik. Sebab, pengumpulan keterangan sebelumnya belum selesai dilakukan.Terpisah, Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo meminta dukungan seluruh lapisan masyarakat ikut mengawasi proses pengungkapan kasus kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.Saat ini, tim khusus dan internal Polri masih terus bekerja untuk mengungkap kebenaran dalam kasus tersebut. Termasuk tim eksternal dari Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), dan Komnas HAM sesuai tugas dan tanggungjawabnya ikut mengawal proses pengungkapan kasus. (Ida/ANTARA)

Penegak Hukum Jangan Ragu Selidiki Aliran Donasi ACT

Jakarta, FNN - Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Rahmat Hidayat Pulungan meminta aparat penegak hukum agar tidak ragu dalam menyelidiki aliran dana ke pihak lain terkait dugaan penyelewengan donasi Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT).\"Penegak hukum agar tidak ragu-ragu untuk menyelidiki lebih dalam ke mana saja aliran dana tersebut. Jangan sampai selain untuk memperkaya diri sendiri, dana masyarakat digunakan atau dialirkan untuk memperkuat kelompok-kelompok radikal dan terorisme,\" kata Rahmat dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu.Setelah diselidiki, tambah dia, aparat penegak hukum juga harus menyampaikan informasi tentang aliran dana tersebut kepada publik, termasuk modus-modus transaksi keuangan yang dilakukan oleh para petinggi ACT.Selanjutnya mengenai tindakan Penyidik Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri yang menahan empat tersangka dalam kasus dugaan penggelapan dan pencucian uang oleh ACT, Rahmat menilai hal tersebut sudah tepat.Menurutnya, Dittipideksus Bareskrim Polri bertindak cepat dalam menahan empat tersangka tersebut untuk mencegah mereka bergerak leluasa setelah ditetapkan sebagai tersangka dengan dugaan pemotongan donasi mencapai Rp450 miliar untuk operasional.Artinya, tambah Rahmat, lembaga tersebut menghabiskan total operasional sebesar Rp2,5 miliar setiap bulannya, termasuk kisaran gaji keempat petinggi yang berkisar Rp50-450 juta per bulan.\"(Penahanan) Tidak heran karena temuan Bareskrim Polri mengungkap gaji keempat petinggi tersebut berkisar Rp50-450 juta per bulannya. Sangat fantastis,\" tambah dia.Sebelumnya, Penyidik Dittipideksus Bareskrim Polri menahan empat tersangka kasus dugaan penggelapan dan pencucian uang oleh Yayasan ACT, Jumat (29/7).Empat tersangka itu adalah mantan Presiden ACT Ahyudin (A), Ibnu Khajar (IK) selaku Presiden ACT, Hariyana Hermain (HH) yang merupakan salah satu pembina ACT dan memiliki jabatan tinggi lain di ACT, termasuk mengurusi keuangan. Lalu, Novariandi Imam Akbari (NIA) selaku Ketua Dewan Pembina ACT.Menurut Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipideksus) Bareskrim Polri Brigjen Pol. Whisnu Hermawa, alasan penahanan adalah para tersangka dikhawatirkan menghilangkan barang bukti.Mereka terbukti mencoba menghilangkan barang bukti dengan cara memindahkan beberapa dokumen yang ada di Kantor ACT. (Ida/ANTARA)

Pengacara Kantongin Nama yang Mengancam Brigadir Yoshua akan Dibunuh

Jakarta, FNN – Hal mengejutkan diungkapkan oleh kuasa hukum keluarga Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat, Kamaruddin Simanjuntak. Pihaknya membeberkan bahwa mengantongi nama yang diduga telah melakukan pengancaman pembunuhan terhadap Brigadir Yoshua sebelum dia ditemukan tewas di kediaman Kadiv Propam Irjen (Nonaktif) Ferdy Sambo di Kompleks Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan. Demikian perbincangan dua wartawan senior FNN Hersubeno Arief dan Agi Betha dalam kanal YouTube Off The Record FNN, Kamis (28/7/22) di Jakarta. Kamaruddin mengungkapkan orang yang mengancam akan membunuh Brigadir Yoshua adalah sesama ajudan Kadiv Propam Polri (Nonaktif) Irjen Ferdy Sambo. “Orang yang mengancam ini saya sudah kantongi namanya. Kalau pernah lihat sejumlah foto yang mereka foto bersama itu salah satu yang mengancam itu ada dalam foto itu. Yang jelas bukan Bharada E,” kata Kamaruddin kepada wartawan, Senin (25/7/22). Menanggapi kasus ini, Hersubeno mengatakan ini menjadi asosiatif karena bagaimanapun polri itu meskipun sipil, tetapi hierarkinya senioritas tentu dijunjung tinggi di kepolisian, “rasanya tidak mungkin Bharada E berani mengancam seniornya, berarti itu bisa jadi dilakukan oleh otoritas yang lebih tinggi,” ungkapnya, Brigadir Yoshua sempat menyampaikan salam perpisahan kepada orang yang menjadi tempatnya bercerita soal adanya ancaman ini.  Kamaruddin juga menceritakan soal ancaman yang diterima Brigadir Yoshua hingga membuat dia menangis. Ancaman itu dimulai sejak Juni 2022 hingga sehari sebelum Brigadir Yoshua tewas yakni pada Kamis, (7/722). Kendati begitu, dengan alasan keamanan, pihaknya merahasiakan identitas teman curhat Brigadir Yoshua ini. Kamaruddin mengklaim, memiliki bukti rekaman elektronik terkait adanya ancaman tersebut. “Ada saksi yang sangat spektakuler. Nah saksi ini menyimpan rekaman elektronik di dalam rekaman elektronik ini ada ancaman pembunuhan dari bulan Juni 2022. Ancaman pembunuhan itu terus berlanjut hingga akhir tanggal 7 Juli 2022,” tuturnya. Hersubeno mengingatkan bisa jadi yang disampaikan oleh Kamaruddin ini dapat menjadi bukti penting, karena seperti yang disampaikan pengacara kekasih Brigadir Yoshua, Vera Simanjuntak, bahwa ponsel miliknya telah disita juga.  “Namun kita juga jangan mengambil kesimpulan dahulu sebelum disampaikan oleh sumber-sumber yang jelas selain pihak internal,” pungkasnya.  (Lia)

Persaingan Petinggi Polri Makin Sengit, Kapolri Minta Publik Mengawasi Penyidikan Kematian Yoshua

Jakarta, FNN - Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Listyo Sigit Prabowo meminta semua pihak mengawasi proses penyidikan peristiwa baku tembak sesama polisi, yang menewaskan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat. Itu menjadi bentuk transparansi pengusutan kasus tersebut. Dengan proses transparansi, akan menghasilkan akuntabiltas yang bisa dipertanggungjawabkan ke publik, sehingga dapat memberikan rasa keadilan yang ditunggu publik. Simak obrolan pengamat politik Rocky Gerung bersama wartawan senior FNN, Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Rocky Gerung Officials, Kamis, 27 Juli 2022 di Jakarta. Petikannya: Semua masyarakat berharap minggu ini dipercepat, karena ingin melihat hasil otopsi Brigadir Yoshua. Namun, katanya kalau nggak delapan pekan, bisa sampai 4 bulan. Orang jadi mikir katanya kemarin kan katanya kasus yang mustinya dua atau tiga hari selesai ini tiba-tiba jadi panjang ceritanya. Pengungkapannya saja sudah terlambat, sudah tiga hari. Jadi sekarang ditambah otopsi lagi baru 4 bulan. Itupun modalnya nanti pengembangan penyidikan. Jadi, bisa jadi lama ini dan Pak Listyo Sigit makin lama makin tersandra oleh kasus ini. Ada prinsip di dalam pidana, bahwa setiap penundaan itu artinya penambahan kejahatan. Jadi semakin lama nanti semakin mungkin ada kejahatan baru terhadap fakta-fakta itu. Karena itu otopsi prinsipnya semakin cepat semakin baik supaya faktanya tidak hilang karena proses yang disebut penguraian fisik dari manusia. Secara filosofis siapapun masih bisa diotopsi. Bahkan, mumi pun masih bisa diotopsi. Tapi ini proses yang bukan sekedar mempercepat otopsinya, tapi mempercepat spekulasi publik. Kan harusnya dihentikan cepat spekulasi publik supaya semua variabel yang non-kriminal itu bisa langsung dibawa ke pengadilan. Ini masalahnya empat bulan itu spekulasi juga makin panjang dan keterangan Pak Kapolri juga menunjukkan bahwa beliau sebetulnya masih memerlukan semacam dukungan. Karena itu, dia minta supaya semua mengawasi. Seharusnya dia bilang “beri kami kepercayaan untuk mempercepat proses ini”. Kalau dibalik artinya kami belum punya kepercayaan atau publik belum percaya kepada kami, karena itu kami minta semua dukungan. Jadi memang terlihat ini kasus yang sederhana yang jadi rumit karena dugaan-dugaan non-kriminal itu dipermainkan oleh pers sebetulnya untuk mendorong agar supaya ini dipercepat. Ini kalau pers bikin sensasi, itu berbahaya. Tetapi, pada saat yang sama sensasi itu harusnya ditutup melalui substansi yang harusnya dipercepat diprioritaskan melalui analisis otopsi. Ini saya kira kita beruntung juga, dalam situasi sekarang ini di era sosial media ya, karena kalau dulu kan sangat mudah informasi dikanalisasi lewat media-media konvensional yang dikontrol oleh kekuasaan. Tapi dengan media sosial yang sekarang ini saya kira memang susah berkelit. Tadi Anda menyinggung soal barang bukti yang namanya tubuh itu, yang saya kira sudah sekarang sudah lapangan becek itu. Padahal, polisi sendiri kan selalu punya alasan kalau menahan seorang tersangka. Alasannya kan selalu ada tiga:  khawatir melarikan diri; mengulangi perbuatannya; atau menghilangkan barang bukti. Nah, ini kalau semakin lama barang buktinya semakin hilang. Itu yang saya minta selalu supaya kita fokus pada substansi, kepada barang bukti. Dan pembuktian kan harus didasarkan pada evidence awalnya. Sekarang evidence awalnya mungkin tumpuk-tumpuk. Saya percaya Polri tentu tertekan. Tetapi, kembali pada prinsip bahwa hanya Polri yang mampu untuk mengungkap ini. Tidak mungkin orang lain mengungkap itu kan? Jadi, percuma sebetulnya kalau kita mendesak Polri, tapi Polri sendiri menganggap bahwa kami perlu bantuan.  Bantuan itu tentu adalah meminta supaya hal-hal lain jangan dulu dipersoalkan. Jadi kita fokus di situ. Saya dukung Kapolri dan Kapolda mengatakan bahwa ada dua korban. Korban pertama adalah Yosua dan itu adalah hak keluarga untuk menuntut pengungkapan kasus ini, korban kedua adalah Ibu Putri yang sampai sekarang mungkin masih stres. Jadi, sebetulnya dua korban ini akan menghasilkan rangkaian pembuktian yang memungkinkan publik akhirnya pulih kepercayaan pada Polri. Jadi fokus pada dua korban ini. Kesaksian Ibu Putri diperlukan, tapi karena yang bersangkutan masih stres, jangan diganggu. Jangan sensasinya ditambah sehingga berpotensi Ibu Putri untuk mengingat kembali peristiwa itu makin lama makin berkurang. Jadi biarkan Ibu Putri itu pulih sepenuhnya. Jangan diganggu psikologinya. Yang kedua biarkan Yosua sebagai jenazah, almarhum tubuhnya itu berbicara sendiri. Karena tubuh korban itu, walaupun sudah jadi mayat, tapi mampu untuk berbicara melalui bahasa yang kita sebut sebagai forensik. Jadi fokus pada dua hal ini. Nah, sekali lagi, tentu  pers ingin memenuhi rasa ingin tahu publik. Dan itu artinya ada panggung lain, yaitu panggung publik. Tapi panggung publik itu tidak boleh ditukartambahkan dengan panggung pengadilan. Kan itu intinya. Jadi selalu saya ingin agar supaya silahkan publik bikin imajinasi, tapi jangan imajinasi itu kemudian mengalihkan persoalan riilnya, yaitu ada dua korban yang sekarang harus betul-betul diberi kesempatan untuk berbicara. Jenazah masih bisa bicara melalui fasilitas forensik; Ibu Putri masih bisa berbicara melalui terapi psikologi. Itu intinya. Saya kira masih ada satu lagi yang perlu mendapat perhatian, ini berkaitan dengan Brigadir Richard Eliazer, yang disebut sebagai pelaku penembakan. Kalau kita lihat, ini anak muda. Dan dia dalam situasi semacam ini posisinya rawan, dia menjadi tersangka atau dia menjadi “korban”, dalam artian sensasi publik atau prasangka publik. Karena sampai sekarang orang masih atau publik tidak terlalu percaya bahwa Eliazer itu anak muda, usianya kalau nggak salah 24 tahun, sebagai pelaku penembakan. Kemudian orang jadi bertanya-tanya sebenarnya dia ini hanya orang yang dikorbankan atau memang betul-betul dia dalam pusaran itu, karena dia membela diri dan terjadi tembak-menembak, seperti versi polisi dengan Brigadir Yoshua. Itu hal yang juga ditunggu orang kan. Jadi Richard harus kita tetapkan statusnya. Kalau dianggap bahwa dia potensial untuk dijadikan tersangka dan kemungkinan dia juga ingin minta perlindungan, dia musti mendapat perlindungan hukum dan psikologis juga. Jadi tanda tanya itu tetap ada di publik. Siapa ini Richard, sudah keburu disebut sebagai eksekutor. Tapi kemudian dianggap iya karena membela diri. Lalu versi lain berkembang lagi tuh, macam-macam. Itu soal pemilikan senjata, keahlian, atau hak untuk menyandang senjata laras pendek. Jadi, semua info ini kan publik ingin minta Pak Kapolri coba lebih eksplisit. Tetapi, kita juga paham Kapolri lagi berselancar di dalam opini publik yang macem-macem. Nah, berselancarnya itu tidak lagi dianggap sebagai hal yang terkait langsung dengan kasus kriminalnya, tetapi orang mulai menduga berselancarnya Pak Kapolri itu terkait dengan persaingan di antara petinggi-petinggi Polri. Jadi masuklah semua itu dalam kesulitan kita untuk memastikan ini kapan selesai? Apa menunggu isu persaingan selesai baru menunggu data-data polisi dibuka? Kan itu pertanyaan riil dari publik. Jadi kita balik lagi, masuklah pada prinsip scientific analyzed, yaitu bertanggung jawab terhadap data yang temukan dan mulai mencari hubungan kausal antar-data. Saya kira itu poinnya yang kita musti fokuskan. Sensasinya ya itu memang bumbu yang tidak bisa dihindari, tetapi sebagai bumbu dia bukan inti dari makanan. Dia hanya menyedapkan dan kadangkala bumbu itu juga berbahaya. Nutrisinya bisa hilang karena ditumpuk dengan bumbu-bumbu yang berlebih. Oke, kita balik ya, fokus pada dugaan adanya persaingan petinggi Polri. Orang menduga-duga begitu kenapa kasus yang sederhana kok bisa jadi panjang seperti ini, karena melibatkan para Jenderal, keluarga Jendral, Pak Ferdy Sambo. Dan tadi Anda juga menyebut bahwa saya kira dua interpretatif terhadap pernyataan Pak Listyo Sigit agar publik ikut mengawasi. Sebenarnya kan tanpa publik mengawasi, kalau itu berjalan biasa saja sudah jadi domainnya polisi. Dan itu pekerjaan mudah. Tapi kenapa mesti diawasi? Apakah ini juga tadi itu berkaitan dengan adanya dugaan-dugaan adanya persaingan petinggi Polri. Kalau di media sosial malah disebut-sebut bahwa ini berkaitan dengan semacam kejahatan di kalangan para petinggi Polri karena orang sebut sebagai well organized crime. Itu yang saya deteksi bahwa ada semacam frustasi kecil pada Pak Kapolri sehingga musti memakai kalimat itu, “nanti mohon dibantu diawasi”. Sebetulnya, dari awal memang nada itu nada permainan atau nada variabel politik atau persaingan itu sudah ada di hari-hari pertama dengan ucapan Pak Mahfud. Pak Mahfud sendiri yang bilang, jangan lindungi tikud di situ. Urusan apa Pak Mahfud bilang begitu? Belum ada otopsi kedua pun Pak Mahfud sudah ngomong begitu. Belum ada problem upaya untuk mencari CCTV Pak Mahfud saudah ngomng begitu. Itu juga nggak boleh sebetulnya Pak Mahfud mengucapkan “jangan ada tikus bersarang atau dilindungi tikus kecil itu”. Demikian juga Pak Jokowi, dua kali mengucapkan “Saya ingin ini dibongkar”. Ya iyalah, tugas polisi itu. Apalagi PDIP yang juga gencar untuk mempercepat segala macam, soal yang masih jadi isu publik. Jadi dua variabel itu, yaitu partai politik PDIP dan istana melalui Pak Mahfud dan Pak Jokowi, menunjukkan bahwa ada tekanan untuk mempercepat. Nah, tekanan itu sebetulnya membebani Polri. Kan Polri punya mekanisme. Jadi dari awal memang sifat politisnya sudah muncul. Harusnya diam dong. Bahkan Pak Presiden nggak boleh bikin komentar, Pak Mahfud atau PDIP, supaya Pak Sigit tidak tertekan. Kan itu intinya. Sekarang Pak Sigit menganggap bahwa kita butuh bantuan publik. Publik lagi wacth sekarang justru. (ida/lia)

Sidang Kasus ‘Jin Buang Anak’. Saksi Ahli Antropologi Hukum : Ini Belum Terjadi Konflik Sosial

Jakarta, FNN – Guru Besar Ilmu Hukum, Prof. Dr. Ade Saptomo, Universitas Pancasila Jakarta hadir menjadi saksi ahli antropologi hukum dalam sidang lanjutan kasus ‘jin buang anak’ Edy Mulyadi yang digelar Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (27/7/22). Prof Ade dimintai pandangan terkait keilmuannya dengan kasus ‘jin buang anak’. Menurut analisis antropologi hukum, interaksi terjadi akibat adanya aksi dan reaksi.  “Ketika ada aksi sebagaimana disampaikan terdakwa Edy, lalu ada kelompok masyarakat menyampaikan reaksinya karena tidak menerima atau merasa terganggu akibat aksi tersebut, maka disitulah interaksi itu muncul,” tutur Prof Ade. Namun, antropologi tidak melihat kapan reaksi itu terjadi, bisa kemarin, besok, atau kapan saja. Dalam konteks ini reaksi terjadi karena ada komplain, dan faktanya dalam kasus ini terdapat sekelompok masyarakat yang melakukan protes. “Dalam konsep antropologi hukum, kasus ‘jin buang anak’ ini belum terjadi komplikasi sosial, hanya saja ada beberapa kelompok masyarakat yang terlukai akibat aksi tersebut. Untuk mengakhiri ini yaitu meminta maaf dengan cara yang dikehendaki oleh orang-orang yang merasa nilai sosialnya terganggu.” Ujarnya. Berbeda halnya, dengan Prof. Dr. Wahyu Wibowo yang juga hadir sebagai saksi ahli bahasa dan sastra dalam sidang kasus ‘jin buang anak’. Prof Wahyu menyebutkan bahwa terdakwa Edy Mulyadi menyebarkan berita hoax melalui YouTube Bang Edy Channel, soal isu-isu yang ramai diperbincangkan. “Kritik itu disampaikan apabila ada data fakta yang sesuai,” ujar Prof Wahyu. Pernyataan tersebut kemudian dibantah oleh Hakim ketua Adeng Abdul Kohar, ia mengingatkan saksi itu dihadirkan sebagai saksi ahli sesuai keilmuannya.  “Saksi tidak boleh mengatakan bahwa terdakwa berbicara tanpa data fakta, karena itu bukan ranah saksi, itu ranah majelis yang akan menilai, tolonglah bapak sampaikan sesuai keilmuan dan teori saja,” ungkap hakim Adeng. Setelah persidangan, terdakwa Edy Mulyadi menyampaikan tanggapannya terhadap saksi ahli Prof Wahyu, “saya sampai tidak bisa berbicara apa-apa, intinya sungguh kecewa melihat seorang Profesor yang membuat kesimpulan bahwa saya berbicara tidak dengan data fakta,” pungkasnya. (Lia)