HUKUM

Polri Selidiki Penyimpangan Dana Korban Kecelakaan Lion Air oleh ACT

Jakarta, FNN - Bareskrim Polri menyelidiki dugaan penyimpangan dana bantuan oleh pengurus Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) untuk disalurkan kepada ahli waris korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 yang terjadi pada 2018.Penyimpangan dana sosial yang berasal dari pihak pabrik pesawat Boeing itu diduga dilakukan oleh pengurus ACT, yakni mantan Presiden ACT Ahyudin dan Presiden ACT Ibnu Khajar. Keduanya diduga menyalahgunakan sebagian dana sosial itu kepentingan pribadi masing-masing berupa pembayaran gaji dan fasilitas peribadi.“Bahwa pengurus Yayasan ACT dalam hal ini Saudara Ahyudin selaku pendiri merangkap ketua pengurus dan pembina serta Saudara Ibnu Khajar selaku ketua pengurus melakukan dugaan penyimpangan sebagian dana sosial dari pihak Boeing tersebut untuk kepentingan pribadi masing-masing,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen Pol. Ahmad Ramadhan kepada wartawan di Jakarta, Sabtu.Selain itu, lanjut Ramadhan, kedua pengurus ACT tersebut tidak pernah mengikutsertakan pihak ahli waris dalam penyusunan rencana maupun pelaksanaan penggunaan dana sosial, tidak pernah memberitahu kepada pihak ahli waris terhadap besaran dana sosial yang didapatkan dari pihak Boeing serta penggunaan dana sosial tersebut yang merupakan tanggung jawabnya.Penyidik telah meminta keterangan dari Ahyudin dan Ibnu Khajar pada Jumat (8/7) kemarin. Dari hasil pemeriksaan diperoleh fakta, ACT menerima dana dari Boeing untuk disalurkan kepada korban sebagai dana sosial sebesar Rp138 miliar. Pihak Boeing memberikan dua jenis dana kompensasi  yaitu dana santunan tunai kepada ahli waris korban masing-masing sebesar Rp2,06 miliar serta bantuan nontunai berupa dalam bentuk dana sosial sebesar Rp2,06 miliar.“Dana tersebut tidak dapat dikelola langsung oleh para ahli waris korban, melainkan harus menggunakan lembaga atau yayasan yang sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan oleh pihak Boeing, salah satunya adalah lembaga harus bertaraf internasional,” ujar Ramadhan.Kemudian, kata Ramadhan, pihak Boeing menunjuk ACT atas rekomendasi ahli waris korban untuk mengelola dana sosial tersebut yang untuk membangun fasilitas pendidikan sesuai dengan rekomendasi dari ahli waris para korban.Namun, lanjut dia, pihak ACT tidak memberitahukan realisasi jumlah dana sosial yang diterima dari pihak Boeing kepada ahli waris korban, termasuk nilai serta progres pekerjaan yang dikelola oleh ACT.“Diduga ACT tidak merealisasikan seluruh dana sosial tersebut, melainkan sebagian dana sosial tersebut dimanfaatkan untuk pembayaran gaji ketua, pengurus, pembina, serta staf dan juga digunakan untuk mendukung fasilitas serta kegiatan kepentingan pribadi Ahyudin dan wakil ketua pengurus,” kata Ramadhan.Ramadhan menyebutkan kasus ini masih dalam penyelidikan. Penyidik mengusut dugaan pelanggaran Pasal 372 juncto 372 KUHP dan/atau Pasal 45A ayat (1) juncto Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) juncto Pasal 5 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan dan/atau Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU. (Ida/ANTARA)

Pemerintah Membuat Data Valid Masyarakat Miskin Cegah Korupsi

Jakarta, FNN - Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti meminta pemerintah agar membuat data valid jumlah masyarakat miskin yang akan menerima bantuan guna mencegah praktik korupsi penyaluran bantuan sosial.\"Saya bilang pemerintah belum siap. Hal itu dapat dilihat dari segi data dan metode dalam memberikan bantuan sosial,\" kata Bivitri Susanti pada webinar bertajuk \"Polemik Pengelolaan Dana Filantropi\" yang dipantau di kanal YouTube di Jakarta, Sabtu.Salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) itu mengatakan ketidaksiapan tersebut dapat dilihat dari kasus korupsi yang terjadi di Kementerian Sosial dengan pelaku Menteri Sosial Juliari Peter Batubara.Belakangan, sambung dia, cukup banyak kritik terkait data yang kurang valid mengenai jumlah masyarakat miskin yang wajib dibantu.Ia mengatakan sarden tidak layak konsumsi yang merupakan bantuan sosial COVID-19 dan disalurkan Kementerian Sosial adalah contoh dari ketidaksiapan tersebut.Pada akhirnya, kata dia, uang negara yang digelontorkan dalam jumlah besar sia-sia. Bahkan, dikorupsi beberapa orang termasuk Menteri Sosial pada saat itu..Selain menyoroti data yang kurang valid serta metode yang masih dinilai kurang tepat, Bivitri menilai birokrasi di Tanah Air kurang cepat menanggapi masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, bencana alam, dan lain sebagainya.Bahkan, papar dia, berbagai lembaga kemanusiaan atau filantropi lebih sigap menanggapi masalah sosial yang terjadi di tengah masyarakat.\"Sebelum peristiwa ACT meledak, kita melihat kecepatan dari filantropi ini termasuk Dompet Dhuafa, Palang Merah Indonesia (PMI) dan lainnya lebih cepat beraksi membantu masyarakat,\" ujarnya.Kecepatan dari lembaga-lembaga kemanusiaan tersebut  karena tidak adanya birokrasi yang panjang sebagaimana di instansi pemerintah, papar dia.Bivitri menyebut panjangnya birokrasi di pemerintah tidak lepas dari keharusan karena adanya kekhawatiran temuan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) jika tidak hati-hati.\"Itu benar. Tapi kan birokrasi fleksibel untuk menghadapi persoalan-persoalan yang sifatnya darurat,\" katanya. (Ida/ANTARA)

Artis Ayu Ting Ting dilaporkan ke Polda Bengkulu

Kota Bengkulu, FNN - Salah satu keluarga korban SA yang meninggal setelah mengunjungi usaha karaoke Ayu Ting Ting melaporkan pemilik karaoke tersebut yaitu Ayu Rosmalina atau Ayu Ting Ting.  Kuasa hukum keluarga korban SA, Reno Ardiansyah, di Bengkulu, Jumat, mengatakan bahwa Ayu Ting Ting dilaporkan atas tuduhan tindakan kelalaian, sehingga menyebabkan tewasnya ketiga korban.  \"Kami melaporkan Ayu Rosmalina alias Ayu Ting Ting, pemilik tempat usaha dan manajemen karaoke Ayu Ting Ting Bengkulu,\" kata Reno.   Ia menjelaskan, pemilik usaha dan manajemen dilaporkan dengan dugaan pidana Pasal 359 KUHP tentang kealpaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain, serta mempertanyakan standar operasional prosedur (SOP) dari karaoke Ayu Ting-ting terkait regulasi keluar masuknya makanan, minuman dan peran dari Ayu Ting Ting selaku pemilik brand karaoke tersebut.  Sebab, dalam aturan karaoke tersebut, pengunjung tidak diperbolehkan membawa minuman dari luar, jika diperbolehkan maka harus dikenakan biaya tambahan dan tanpa pengecekan. \"Kami telah memegang saksi kunci yaitu saksi S yang merupakan teman korban yang juga ikut dalam kegiatan tersebut dan berhasil selamat,\" ujarnya. Sebelumnya, Pemerintah Kota Bengkulu menghentikan izin sementara lokasi hiburan karaokean Ayu Ting Ting yang berlokasi di Kelurahan Penurunan, Kota Bengkulu setelah dua Pendamping Lagu (PL) meninggal dunia di lokasi tersebut. Kepala Dinas Komunikasi dan Informasi (Kominfo) Kota Bengkulu Eko Agusrianto menjelaskan bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menghentikan sementara aktivitas di tempat hiburan tersebut, serta penghentian sementara tempat hiburan tersebut hingga sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Sambil mempertimbangkan proses penyelidikan yang sedang berjalan yang dilakukan pihak aparat terkait dan pertimbangan kekhawatiran dan antisipasi dari masyarakat. Diketahui, beberapa waktu lalu tiga orang meninggal dunia usai mengonsumsi minuman keras oplosan dan pihak Polres Bengkulu telah menangkap pemasok minuman keras oplosan tersebut. (Sof/ANTARA)

LQ Indonesia Lawfirm Apresiasi Kabareskrim yang Menahan Kembali Henry Surya

Jakarta, FNN – Advokat Alvin Lim, SH, MSc, CFP, CLA, Ketua Pengurus LQ Indonesia Lawfirm dan kuasa hukum Korban Indosurya memberikan apresiasi tertinggi kepada Kabareskrim Polri, Komjen Agus Andrianto. “Terima kasih Komjen Agus Andrianto, Kabareskrim terbaik sepanjang sejarah Indonesia. Kenapa? Berani secara publik mengumandangkan perang melawan penjahat skema ponzi. Itu jenderal bernyali, bukan banci dan cemen layaknya oknum Polisi yang menerima suap dari Penjahat. Saya mewakili ribuan korban Indosurya mengucapkan terima kasih kepada Kabareskrim dan seluruh jajaran Tipideksus yang telah menahan kembali Henry Surya,” ungkapnya dalam rilis Jumat (8/7/2022) yang diterima FNN. “Kami saksikan sendiri, bagaimana siang dan malam pemeriksaan saksi-saksi laporan polisi kami. Saya harap Kabareskrim Agus, bisa jadi Hoegeng masa kini, dan memberikan jiwa baru bagi Korps Bhayangkara. Terima kasih Brigjen Pol Whisnu Hermawan Februanto, dan jajaran Tipideksus Bareskrim Polri, Kasubdit, Kanit dan seluruh tim yang bekerja keras. Seluruh masyarakat mendoakan terbaik untuk kalian, putra terbaik bangsa,\" lanjutnya. Alvin Lim dengan keras meminta agar seluruh elemen masyarakat memantau kehadiran oknum kejaksaan, jika Kejaksaan Agung terus mempersulit apalagi dengan modus P19 Mati. “Sebaiknya dicopot saja Jaksa Agung dan Jampidum karena tidak berhasil memproses dan berkoordinasi dengan Kepolisian untuk memberantas penjahat investasi bodong. KPK wajib awasi oknum Kejagung karena tidak mungkin muncul modus P19 Mati tanpa adanya dugaan transaksi kasus,” tegasnya. Indikasi kuat adanya dugaan permainan oknum kejaksaan juga disoroti oleh elemen masyarakat termasuk Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso yang meminta agar Menkopolhukam soroti kejaksaan. LQ Indonesia Lawfirm meminta agar seluruh masyarakat korban Indosurya, jangan kendor dan patah semangat. Alvin Lim mengatakan, Kepolisian sudah beri komitmen, harus kita percaya dan gunakan kesempatan ini, para korban silakan yang butuh bantuan pendampingan bisa hubungi 0818-0489-0999 (LQ Jakarta) atau 0818-0454-4489 (LQ Surabaya) untuk pendampingan hukum. “Jangan menyerah dan tuntut hak anda balik,\" ucap Lawyer jebolan UC Berkeley Amerika Serikat. Dikonfirmasi, Kabareskrim Komjen Agus Andrianto membenarkan berita penahanan Henry Surya. “Sudah ditahan HS tadi malam,” ucap Kabareskrim melalui pesan WA, seperti ditirukan Alvin Lim. (mth)

Korban Indosurya Atas Modus P19 Mati Kasus Indosurya

Jakarta, FNN – Penolakan berkas Kasus Indosurya oleh Kejaksaan Agung menimbulkan keresahan di masyarakat, terutama dugaan permainan oknum sehingga Henry Surya dan Juni Indria, dua tersangka Kasus Indosurya yang menimbulkan kerugian Rp 36 triliun dengan korban 15 ribu orang, bisa lepas dari tahanan. Ketua Pengurus LQ Indonesia Lawfirm, Advokat Alvin Lim, SH, MSc, CFP, CLA adalah sosok yang paling vokal membongkar dugaan permainan oleh oknum Kejagung dengan modus P19 Mati. Kepada media, Alvin menyampaikan salinan P19 dengan tandatangan dengan cap Jampidum, dimana petunjuk No 90 berisi agar penyidik memeriksa Semua Korban di Seluruh Indonesia. “Modus P19 Mati, adalah modus yang digunakan Oknum Kejaksaan dalam memberikan petunjuk jaksa yang tidak mungkin bisa dipenuhi oleh penyidik. Petunjuk No 90 ini adalah salah satu bukti nyatanya,” ungkapnya, Kamis (7/7/2022). Menurut jebolan UC Berkeley, Amerika Serikat itu, memeriksa seluruh korban yang jumlahnya lebih dari 15 ribu adalah hal mustahil, di mana mustahilnya? “Dari 15 ribuan korban sudah beberapa korban meninggal, ada yang bunuh diri minum Baygon, ada yang gantung diri dan ada yang meninggal karena sakit. Memeriksa seluruh korban berarti yang sudah meninggalpun harus diperiksa, lalu bagaimana penyidik mengirimkan panggilan pemeriksaan ke surga?” tanyanya heran. “Lalu tandatangan berita acara pemeriksaan bagaimana oleh korban yang sudah meninggal itu? Jika mau dijalankan sekalipun petunjuk tersebut mengecualikan korban yang sakit dan meninggal, lalu berapa Ratus Miliar biaya oprasional harus dikeluarkan untuk memeriksa belasan ribu korban apalagi banyak yang di luar kota? “Inilah kenapa disebut P19 Mati, karena tidak mungkin bisa dilaksanakan,” jelasnya. Akibat hukumnya apabila berkas perkara tidak bisa diterima oleh kejaksaan dengan alasan tidak lengkap. “Maka penyidik pada akhirnya apabila sudah berkali-kali dikembalikan, punya mekanisme Gelar Perkara Khusus di Perkap yang akhirnya akan menghentikan penyidikan atau SP3. Di sinilah pelaku kejahatan bisa lolos dari hukum dan persidangan,” tegas Alvin Lim. Korban Indosurya, J dengan kecewa menyampaikan, baiknya Jaksa Agung dan Jampidum dicopot saja. “Karena sudah gagal memberikan kepastian hukum kepada korban Investasi Bodong, tidak mungkin Jaksa Agung sebagai pimpinan tertinggi tidak tahu mengenai modus P19 Mati. Para korban kecewa atas kinerja Jaksa Agung yang hanya Omdo,” harapnya. Ibu Mariana, korban Indosurya lainnya mengungkapkan kekecewaan terhadap Jaksa Agung. “Bukannya Penjahat Skema Ponzi yang merugikan masyarakat disidangkan, malah kuasa hukum kami yang bongkar borok Kejagung, di keroyok 11 Jaksa Kejari Jaksel dan dituntut 6 tahun dalam perkara rekayasa yang kerugiannya hanya 6 juta rupiah. Jaksa Agung dicopot saja, karena telah jelas di kejaksaan hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Kami kecewa hingga kami turun dan demo Kejagung,” ungkapnya kesal. Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso juga mensinyalir adanya dugaan oknum kejaksaan yang bermaim sehingga Henry Surya bisa lepas dari tahanan. “Sangat janggal apabila 4 bulan pemberkasan itu dianggap Kejagung tidak lengkap. Menko Polhukam wajib mengkordinasi apa penyebabnya?” katanya. Korban Ibu Ellis menyampaikan, rasanya tidak mungkin ada petunjuk P19 Mati apabila tidak ada permainan uang/gratifikasi ke oknum Jampidum/ Kejaksaan Agung. “KPK tolong awasi kejaksaan. Pinangki yang di Tipikor saja cuma dituntut 4 tahun, kuasa hukum kami dugaan pembantuan pemalsuan dokumen dituntut 6 tahun. Sudah sangat ngawur Kejaksaan Agung,” desaknya. Alvin Lim menjelaskan bahwa petunjuk Kejagung wajib memeriksa seluruh saksi korban dengan alasan ingin tahu jumlah persis kerugian sangat tidak berdasarkan hukum karena list korban dan jumlah kerugian sebenarnya sudah ada di putusan sidang PKPU. Pasal 46 Perbankan yang disangkakan juga tidak ada unsur “kerugian”, serta sesuai KUHAP pasal 185, keterangan saksi adalah cukup ketika ada 2 atau lebih. “Jadi istilah hukumnya cukup bukan lengkap seluruh saksi korban tersebut diharuskan diperiksa. Tidak mungkin pula sidang PN nantinya memeriksa seluruh 15 ribu korban untuk dihadirkan jaksa di persidangan. Jaksa Agung dan Jampidum mau membodohi masyarakat. Ini buktinya P19 Mati dengan tandatangan atas nama dan cap Jampidum. Sangat memalukan, apabila Kejaksaan Agung benar menerima suap sehingga Henry Surya lepas. Bisa dibilang sebagai pengkhianat masyarakat, oknum Kejagung tersebut,” tegas Alvin. Alvin menyampaikan agar masyarakat mengikuti saran Kabareskrim dan melapor ke Mabes Polri untuk membuat LP baru. Jika memang membutuhkan pendampingan bisa menghubungi 0817-489-0999 (LQ Tangerang) atau 0818-0454-4489 (LQ Surabaya) agar bisa diberikan bantuan hukum. Dalam waktu dekat Korban Indosurya akan mrngadakan aksi damai kembali di depan Kejaksaan Agung didukung oleh beberapa elemen masyarakat seperti Ormas dan perkumpulan wartawan dan Advokat yang kecewa akan rusaknya Korps Adhyaksa. Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud Md merespons reaksi publik terkait dikeluarkannya dua tersangka KSP Indosurya dari rutan Bareskrim Polri. Mahfud menegaskan kasus tersebut merupakan kejahatan modus baru yang tidak akan pernah dihentikan. “Merespons reaksi publik atas rasa keadilan dalam kasus KSP Indosurya yang dua tersangkanya dilepaskan maka saya sudah melakukan komunikasi dengan Mabes Polri, Kejaksaan Agung, PPATK, dan Menkop UKM,” ungkap Mahfud melalui akun Twitternya @mohmahfudmd, Rabu (29/6/2022). “Kesimpulannya, kasus ini adalah kejahatan modus baru yang tidak pernah dan tidak akan dihentikan,” tegas Mahfud.Mahfud menuturkan, dua tersangka dikeluarkan dari rutan lantaran masa penahannya sudah habis. Dia menyebut Kejaksaan Agung sedang memastikan pembuktian di pengadilan nantinya lancar.“Dua tersangka dilepas karena masa penahanannya habis, sementara itu Kejagung hanya ingin memastikan agar pembuktiannya di pengadilan nanti lancar,” tuturnya.Lebih lanjut Mahfud mendukung Bareskrim Polri menangkap kembali dua tersangka yang sudah dikeluarkan dari rutan dengan locus dan tempus delicti yang berbeda. Dia mengatakan kasus tersebut harus terus berjalan.“Kita mendukung Bareskrim menangkap lagi 2 tersangka dalam kasus terkait yang locus dan tempus delicti-nya beda. PPATK sudah lama menjejak, kasus ini ini harus jalan,” tambahnya.Sebelumnya, dua tersangka kasus Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya telah keluar dari rutan lantaran masa tahanannya telah habis. Padahal berkas perkara sebelumnya telah dilimpahkan penyidik Dittipideksus Bareskrim Polri ke Kejagung.“Iya (tersangka bebas), masa tahanannya habis selama 120 hari,” ungkap Dirtipideksus Bareskrim Polri Brigjen Whisnu Hermawan ketika dimintai konfirmasi, Sabtu (25/6/2022). Padahal, berkas kasus KSP Indosurya ini sudah dilimpahkan 5 kali lebih.Whisnu menegaskan, perkara ini tetap berlanjut. Adapun ketiga tersangka itu adalah Henry Surya selaku Ketua KSP Indosurya; Manajer Direktur Koperasi Suwito Ayub (DPO); dan Head Admin, June Indria. “Perkara tetap lanjut ya,” tegas Whisnu.Kejagung buka suara terkait dua tersangka kasus Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya dikeluarkan dari rumah tahanan (rutan). Kedua tersangka diketahui telah menjalani masa tahanan selama 120 hari.Kapuspenkum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana menjelaskan, berdasarkan Pasal 110 ayat 2 KUHAP, berkas perkara ketiga tersangka sampai saat ini belum lengkap.Ketut menyampaikan berkas perkara ketiga tersangka dikembalikan ke Polri untuk dilengkapi. Ketiga berkas perkara tersangka dikembalikan ke Polri tertanggal Jumat, 24 Juni 2022.Lebih lanjut, Ketut menjelaskan terkait bebasnya ketiga tersangka dari rutan. Dia mengatakan kewenangan untuk menahan seorang tersangka sebaiknya dilakukan secara selektif jika perkara itu masih tahap penyidikan.Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana mengatakan bebasnya ketiga tersangka dari rutan tidak bisa mendesak pihak Kejagung untuk menyatakan berkas perkara ketiganya lengkap. “Karena diperlukan kehati-hatian bagi penuntut umum untuk memutuskan perkara tersebut telah lengkap,” ungkapnya. (mth)

RKUHP, Gelandangan Didenda Rp 1 Juta?

Jakarta, FNN -  Rancangan KUHP (RKUHP) telah menimbulkan kontroversi di masyarakat. Tak heran, sejumlah mahasiswa dan tokoh masyarakat menolak RKUHP. Selain pasal yang menghina Presiden, DPR, dan pejabat negara, publik juga mempersoalkan isi draf RUU yang memuat soal gelandangan. Pengaturan itu diatur dalam Pasal 429 RKUHP. \"Setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I. Adapun denda kategori I merujuk Pasal 79 RKUHP yaitu paling banyak Rp 1 juta.” Muatan pasal tersebut pun kini disorot publik, tak terkecuali wartawan senior FNN Agi Betha dalam kanal YouTube Off The Record FNN, Kamis (7/7/22). Agi memaparkan, sudah gelandangan akan didenda pula, lima ribu sampai sepuluh ribu saja dia belum tentu punya makanya dia menggelandang, makanpun dia tergantung siapa yang memberi, pekerjaan tidak ada. Menurutnya, sebagaimana konstitusi, fakir miskin justru wajib dipelihara negara. Artinya, kata dia, gelandangan wajib diberi tempat tinggal dan tempat penampungan oleh negara, ini sesuai isi Undang-Undang 1945 Pasal 34 ayat 1. Hal ini tentu bertolak belakang dengan pasal yang termuat dalam RUU KUHP yang kini sudah berada di meja Komisi III DPR RI. “Undang-Undang seperti ini seharusnya dengan mudah dibatalkan di Mahkamah Konstitusi, tetapi persoalannya apakah ada gelandangan yang mengajukan judicial review? Kita aja sering mengajukan judicial review selalu ditolak. Para wakil rakyat ini hanya dekat dengan rakyat ketika menjelang pemilu, tetapi ketika kembali ke senayan, mereka sebenarnya bukan lagi wakil rakyat tetapi wakil dari para oligarki,” ungkap wartawan senior FNN Hersubeno Arief. (Lia)

Letjen TNI Purn Djadja Suparman: “Ruislag-nya Tidak Ada, Koq Dituduh Korupsi?!”

LAMA tak terdengar kabarnya, mantan KSAD Letjen (Purn) Djadja Suparman rencananya akan dieksekusi untuk menjalani hukuman 4 tahun penjara atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap terkait kasus korupsi. Djadja mencium adanya sejumlah kejanggalan. “Saya siap masuk Lembaga Pemasyarakatan Militer Cimahi tanggal 16 Juli 2022. Mereka ingin saya mati di penjara!” ungkap Djaja dalam siaran persnya kepada wartawan, Selasa (5/7/2022).Kasus korupsi yang dijeratkan kepadanya adalah kasus pembebasan lahan untuk tol Waru-Juanda. Namun Djadja menilai hal itu akibat resiko jabatan sebagai Pangdam V/Brawijaya dan Pangdam Jaya 1997 - 1999. Vonis 4 tahun penjara itu telah berkekuatan hukum tetap pada 2016 tetapi baru akan dieksekusi bulan ini. “Kenapa baru sekarang? Ke mana saja selama 6 tahun ini?” ujar mantan Pangdam Brawijaya 1997-1998 itu.Djadja Suparman sudah meminta kepada Kepala Oditur Militer Tinggi pada 2016 agar dieksekusi. Tapi permintaan itu ditolak.“Akhirnya terjadi pembiaran selama 6 tahun. Siapa yang bertanggung jawab dan apa kompensasinya bila harus masuk penjara selama 4 tahun dan harus mati dalam penjara?” tegas Djadja. Djadja menilai, ia mengalami pembunuhan karakter selama 22 tahun terakhir. Tujuannya itu untuk menghambat dan menghancurkan karir dan eksistensi dalam kehidupan bermasyarakat setelah purna bhakti.“Sehingga tanpa disadari oleh pejabat terkait dalam perkaranya negara telah melakukan pelanggaran hukum dan HAM berat,” ujar Djadja, seperti dilansir Detiknews, Selasa (05 Jul 2022 09:47 WIB).Djadja juga menuliskan surat terbuka yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo. Dalam surat tersebut, Djadja menuliskan, dirinya menjadi korban pembunuhan karakter, padahal belakangan Irjenad TNI dan BPK mengatakan Djadja Suparman tidak terbukti melakukan korupsi di Kostrad.“Saya harus siap mati berdiri untuk memulihkan nama baik dan mati di penjara menanti keadilan dan kepastian hukum,” tegas Djadja. Sebelumnya diberitakan, mantan Pangdam V/Brawijaya ini divonis 4 tahun penjara, dan denda Rp 30 juta. Djaja terbukti melanggar dakwaan subsider, yang dinyatakan bersalah telah melakukan korupsi uang negara senilai Rp 13,3 miliar.Pembacaan vonis dengan 360 halaman yang dimulai, Kamis (26/9/2013) pukul 10.30 WIB hingga pukul 23.30 Wib, sempat diskors sebanyak tiga kali. Ketua Majelis Hakim dan dibantu dua anggota hakim Pengadilan Militer Tinggi II, Surabaya Jalan Raya Bandara Juanda Lama membaca dakwaan selama 13 jam.“Dalam amar putusannya, terdakwa terbukti melanggar Pasal 1 ayat 1 A jo Pasal 28 Undang-Undang No 3 Tahun 1971 dalam dakwaan primer serta Pasal 1 ayat 1 B Undang-Undang No 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” kata Ketua Majelis Hakim Letjen TNI (Titular) Hidayat Manao, Jumat (27/9/2013) dini hari.Putusan Vonis tersebut lebih berat dari tuntutan yang dibacakan Oditur Militer Letjen TNI (Titular) Sumartono, yakni 3 tahun dengan denda Rp 1 miliar. Perkara berawal dari kasus ruislag tanah di Waru, ketika Djaja menerima bantuan dana Rp 17,6 miliar dari PT Citra Marga Nusaphala Persada (CNMP) pada awal 1998 silam.Dari total uang tersebut digunakan untuk membeli tanah seluas 20 ha yang nilainya Rp 4,2 miliar di Pasrepan, Pasuruan. Dan, juga digunakan untuk merenovasi Markas Batalyon Kompi C yang ada di Tuban, serta mendirikan bangunan Kodam Brawijaya di Jakarta.“Sisanya yang tinggal Rp 13,3 miliar itu tidak bisa dipertanggungjawabkan oleh terdakwa,” tuding Hidayat.   Masa penantian Letjen TNI Purn Djadja Suparman untuk menghadapi persidangan tuduhan korupsi atas dirinya baru terjadi setelah 48 bulan lamanya. Menurut Djadja, tadinya kasus ini sebenarnya mau diangkat bersamaan dengan isu korupsi saat menjabat Pangkostrad. “Itu tidak jalan,” katanya. Pada 3 Januari 2005, Djadja kedatangan Direktur PT CMNP, pelaksana pembangunan yang baru. “Dirutnya Kolopaking, yang mengatakan, ini rada aneh. Ada dua Berita Acara. Penyerahan fisik dan penyerahan dana. Padahal, “Dalam daftar pembukuan di perusahaan tidak ada aliran dana ke pak djadja,” kata Kolopaking. (Konon Dirut ini kemudian dipecat karena menyelidiki kasus ini). “Memang saya tidak pernah menerima dana, terus saya bilang berita acara ini, ini palsu,” lanjut Djadja. Bagaimana sebenarnya kasus dugaan korupsi yang dituduhkan kepada Djadja Suparman? Apa benar ia menerima uang seperti yang dituduhkan Oditur Militer Letjen TNI (Titular) Sumartono itu? Berikut petikan wawancara dengan Djadja Suparman, usai persidangan di Surabaya:  PT CMNP pada 2006 menggugat Kodam V Brawijaya secara perdata yang dimenangkan oleh CMNP? Gugatan itu sebenarnya  tidak perlu terjadi, karena kalau saja pada tahun 1998 itu Dirjen Bina Marga mengajukan permohonan Hibah atas tanah Kodam  di Waru Surabaya sesuai kebijakan Kasad, kepada Menkeu RI dan Pemilik SPH sesuai peraturan dan prosedur, pasti proses itu berjalan sesuai berita acara, karena tanah itu sudah matang dengan ukuran 100 x 882 m2. Tapi faktanya sampai 2005 PT CMNP kolaps dan baru mulai untuk melanjutkan kegiatan. Pada 2006 mereka ajukan Gugatan agar Kodam melakukan proses hibah kepada PT Bina Marga sesuai kesepakatan. Pada waktu itu saya sudah pensiun dan tidak dilibatkan atau diminta pendapat dalam persidangan dan mereka menang. Apa itu proses hibah? Proses Hibah dalam kasus ini adalah pengalihan hak atas tanah dari Kodam kepada Dirjen Bina Marga untuk jalan tol (antar institusi Negara), sesuai kebijakan dan persetujuan Kasad, dengan pertimbangan tanah tersebut sudah disiapkan untuk jalan tol sesuai persetujuan Menkeu RI pada 1987. Dalam proses hibah ini tidak ada ganti rugi dan harus diajukan permohonan oleh Dirjen Bina Marga kepada Menkeu RI dan Pemegang SPH sesuai kesepakatan. Jadi, selama Bina Marga belum mengajukan proses hibah itu, maka hibah itu tidak akan berjalan. Menurut saya putusan pengadilan melanggar UU. Di sisi lain, saya tidak tahu apakah sejak Juli 1998-2006, ada perubahan kebijakan Kasad dan UU? Karena saya sudah berganti jabatan sampai Pensiun. Jadi, selama ini sudah clear dong? Apanya yang clear, buktinya saya didakwa korupsi karena dituduh telah me-ruislag tanah itu dan ada kerugian Negara, dituduh telah menyerahkan tanah kepada PT CMNP dengan kompensasi sejumlah uang dan telah menyalahgunakan wewenang jabatan. Padahal, karena ada waktu vacuum selama 8 tahun dan ada kebijakan baru atau UU yang baru, sekarang pemanfaatan tanah tersebut sedang dibicarakan dalam bentuk kerjasama dengan PT CMNP. Menurut saya kalau ada perubahan kebijakan atau perubahan UU setelah tahun 1998, itu bukan ranah saya lagi. Dalam proses hibah ini tidak ada keterlibatan PT CMNP, sepenuhnya tanggung jawab Bina Marga dengan Kodam atas persetujuan Menkeu-Kasad secara hirarkis. Sidang kasus Anda ini koq baru dilakukan sekarang ini? Saya juga heran kok proses hukumnya sejak Maret 2009 tersedat-sedat, dampaknya merugikan nama baik saya dan keluarga, melanggar hak-hak saya sebagai manusia, untuk hidup, berusaha, bekerja, berkelompok, dan seterusnya. Opini ini sangat melekat dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai warga Negara yang tunduk kepada hukum saya juga minta keadilan, segera proses hukum sesuai dengan UU dan peraturan, jangan menunggu saya minta keadilan kepada Tuhan. Oleh karena itu pada Agustus 2012 saya memohon keadilan kepada Panglima TNI, supaya Kasus saya jangan digantung seperti ini sampai saya mati. Alhamdulilah pada 9 Oktober 2012 Kasad menyerahkan perkara kepada Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya. Menyangkut tuduhan Oditur, apa benar Anda melakukan korupsi? Ini sudah Substansi Perkara, saya tidak boleh mengatakan tidak, tapi faktanya saya tidak melakukan itu, seperti penjelasan Majelis Hakim dalam Putusan Sela atas eksepsi saya dan Oditur Militer yang menyatakan: Memang benar sampai saat ini terdakwa tidak pernah melakukan pelepasan hak atas tanah dengan cara jual beli,atau hibah maupun ruislag kepada PT CMNP, tapi sekarang di atas tanah itu sudah dibangun jalan tol dan terdakwa telah menerima uang kompensasi Rp 17,640 miliar. Silahkan tafsirkan sendiri dan nanti kita uji dalam persidangan. Sebenarnya prosesnya sejak kapan sih? Sejak ada atensi BPK RI pada Desember 2008, Maret – September 2009 saya diperiksa sebagai saksi sampai jadi tersangka dengan dugaan telah terjadi penyimpangan wewenang jabatan dalam Proses Hibah. Sejak Oktober 2009 hingga September 2012 proses Papera untuk mempelajari hasil penyidikan dan permintaan Berita Acara Pendapat dari Oditur, baru pada 9 Oktober 2012 perkara dilimpahkan kepada pengadilan, kemudian keputusan itu diperbaiki lagi karena ada kesalahan tempat kewenangan pengadilan……  lama banget …!!! Padahal saya juga pernah menjadi Papera, tidak lama lama banget, karena ada aturannya. … he-he-he. Kemudian pada 22 Maret 2013 mulai disidangkan he-he-he lama juga ya? Saya kurang jelas apa pada jaman reformasi ini sudah ada perubahan baru tentang batasan waktu dalam setiap tahapan proses hukum? Sehingga boleh melanggar hak azasi seseorang Prajurit? Apa ada aset TNI yang kemudian dipakai oleh swasta? Aset tanah Kodam itu milik Negara. Kalau Negara merencanakan untuk membangun jalan tol, maka Negara bisa menggunakan tanah itu, hanya tinggal mengalihkan hak pakainya saja kepada instansi pengguna dalam hal ini, Dirjen Bina Marga pada waktu itu, apalagi tanah itu sudah disiapkan sesuai RUTR Pemda Jatim pada 1986 dengan ukuran 100 x 882 m2. PT CMNP adalah Holding Perusahaan sebagai pelaksana pembangunan jalan tol dengan biaya sendiri (pada 1998) yang mendapat konsesi pengelolaan selama kurun waktu tertentu sampai mereka mendapat keuntungan dari dana yang dikeluarkan. Kemudian jalan tol itu kembali menjadi milik Negara dan bisa digunakan bebas oleh Rakyat. Kira-kira seperti itu pemahamannya ya! Cuma CMNP mengajukan gugatan perdata, karena tanahnya belum dihibahkan kepada Bina Marga. Dan BPK/TNI AD menilai, di atas tanah itu sekarang sudah jadi jalan Tol. Akhirnya sekarang saya berhadapan dengan Negara, bukan dengan PT CMNP, agak aneh juga, tapi kta ikuti saja proses sidang ya. Koq bisa keluar angka sebesar itu? Katanya mereka mau membantu Kodam dalam bentuk bantuan murni, soal besarannya saya pikir dia menghitung berapa pantasnya, itu bukan urusan saya. Pada waktu itu saya sampaikan kepada sdr Eko , ”Tolong sampaikan kepada ibu Tutut, tolong dibantu Kodam“. Angka sebesar itu sekarang menjadi bola liar, saya merasa tidak pernah menerima, sedangkan mereka katakan diserahkan kepada saya melalui seseorang yang mengaku kepercayaan Pangdam. Aneh bin ajaib kan, mereka tidak pakai aturan dengan mudah menyerahkan bantuan lewat orang. Kita buktikan di dalam sidang deh.. Apa yang Anda inginkan dari persidangan ini? Saya ingin keadilan tegak di Bumi Pertiwi ini tanpa melihat siapa orangnya, dan darimana asalnya, rakyat jelata sampai dengan presiden harus sama. Makanya, saya minta keadilan yang dilakukan melalui proses yang berdasarkan hukum juga, yaitu Undang-Undang dan peraturan lainnya. Seandainya dalam proses Hukum ini ada cara-cara yang dilakukan telah melanggar hukum, sebaiknya kita harus taat kepada hukum dan membatalkan persidangan ini demi hukum.   Walaupun saya sudah dapat menduga arah dari keadilan ini, saya akan mengikuti proses ini secara bertanggung jawab, selama dasar dasar yang digunakan sesuai hukum yang berlaku dan bukan karena asumsi. Saya masih berharap, keadilan dapat tegak di Bumi Pertiwi ini melalui para Hakim dan Oditur, sesuai dengan sumpahnya. (*)

Hina Presiden dan Wapres Bisa Dipidana, Hati-Hati!

Jakarta, FNN – Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menyerahkan naskah Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPRK) pada hari Rabu (6/7). Dalam RKUHP ini terdapat ketentuan mengenai aturan tindak pidana terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden. Draft Final Revisi Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (RKUHP) menjadi pro dan kontra di masyarakat. Apalagi, pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden yang kontroversial ternyata masih dimasukkan.  Menurut wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Off The Record FNN, Kamis (7/7/22) ia mengatakan mau teriak bagaimanapun, kalau pemerintah punya mau itu akan jalan terus, inilah salah satu keburukan yang terjadi jika pemerintah tidak punya kontrol, jadi mau tidak mau kalau masyarakat mau ngomong apa saja, mahasiswa sudah turun ke jalan, namun pemerintah akan terus berjalan Pasal yang dimaksud dalam draft RKUHP tersebut adalah Pasal 217,218, Pasal 219, dan Pasal 220. Pasal ini tentu membuat khawatir banyak orang, khususnya mereka yang terbiasa memberikan kritik terhadap kebijakan pemerintah.  Pada Pasa1 217 diatur tentang Penyerangan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Setiap orang yang menyerang Kepala Negara dan wakilnya terancam pidana penjara paling lama lima tahun. Sedangkan Pasal 218 mengatur tentang perbuatan yang menyerang kehormatan atau martabat presiden dan wakil presiden. Barang siapa yang menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden dan wakilnya akan dipidana maksimal tiga tahun enam bulan penjara. Hal-hal yang termasuk kritik yang tidak bisa dipidana dalam RKUHP tersebut yakni, menyampaikan pendapat terhadap kebijakan presiden dan wakil presiden yang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk kebijakan tersebut; kritik bersifat konstruktif dan sedapat mungkin memberikan suatu alternatif maupun solusi dan/atau dilakukan dengan cara yang objektif. Selanjutnya, kritik mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan kebijakan, atau tindakan presiden dan wakil presiden lainnya. Lalu, kritik juga dapat berupa membuka kesalahan atau kekurangan yang terlihat pada presidan dan wakil presiden atau menganjurkan pergantian presiden dan wakil presiden dengan cara yang konstitusional; serta kritik yang tidak dilakukan dengan niat jahat untuk merendahkan atau menyerang harkat dan martabat dan/atau menyinggung karakter atau kehidupan pribadi presiden dan wakil presiden. Sementara itu, pada Pasal 220 ayat (1), disebutkan kalau pasal penghinaan ini sifatnya delik aduan. Jadi, kamu bakal bisa mengalami masalah hukum kalau presiden atau wakil presiden sendiri yang melaporkan tindakan penghinaan yang kamu lakukan. “Ini rumusan hukum atau makalah, ini kelihatan sekali yang bikin orang kampus,” ujar Hersubeno. (Lia)

Putusan MK tentang Presidential Threshold adalah Sebuah Tragedi Demokrasi

Oleh Yusril Ihza Mahendra - Ketua Umum PBB Mahkamah Konstitusi (MK) sudah berulangkali menolak permohonan pengujian terhadap Pasal 222 UU Pemilu, walaupun para Pemohon mengajukan pengujian dengan pasal UUD 45 yang berbeda dan argumentasi konstitusional yang berbeda.  Dalam permohonan kali ini, MK menyatakan permohonan para anggota DPD tidak punya legal standing, maka dinyatakan “tidak dapat diterima”. PBB punya legal standing tetapi permohonannya ditolak seluruhnya. MK tetap kukuh dengan putusan sebelumnya, yang mungkin dianggap sebagai “yurisprudensi” yang menyatakan bahwa Pasal 222 UU Pemilu adalah konstitusional dan tidak bertentangan dengan UUD 45. Saya juga pernah menggabungkan norma Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E UUD 45 dengan menggunakan tafsir sistematik untuk menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 45. Tapi MK malah mempreteli ketiga pasal itu satu demi satu untuk mendukung pendapatnya sendiri  bahwa Pasal 222 UU Pemilu adalah konstitusional. Selain itu MK selalu mengemukakan argumen bahwa norma Pasal 222 itu adalah untuk memperkuat sistem Presidensial. Padahal, “executive heavy” yang ada dalam UUD 45 sebelum amandemen sudah sejak lama ditentang. UUD 45 pasca amandemen justru menciptakan check and balances antar lembaga negara. Tidak ada hubungan korelatif antara presidential treshold dengan “penguatan sistem Presidensial” sebagaimana selama ini didalilkan MK. Politik begitu dinamis, oposisi bisa berubah menjadi partai pemerintah hanya dalam sekejap. Pasal 222 itu adalah “open legal policy” Presiden dan DPR yang tidak dapat dinilai oleh MK. Saya telah membantah seluruh argumentasi hukum MK tersebut, namun sampai saat ini MK tetap kukuh dengan pendiriannya bahwa Pasal 222 UU Pemilu adalah konstutusional. Dalam pandangan saya MK tidak seharusnya kukuh dengan pendapatnya semula, karena zaman terus berubah dan argumen hukum juga terus berkembang. Dalam fiqih, tokoh sekaliber Imam Syafii (767-820 M) saja bisa mengubah pendapat hukumnya dengan merumuskan “qaul jadid” atau pendapat baru, dan meninggalkan “qaul qadim” atau pendapat terdahulu karena situasi atau “ratio legis” yang mendasari lahirnya sebuah norma hukum telah berubah.  MK tidak seharusnya mempertahankan sikapnya yang kaku dan banyak dikririk para akademisi, sehingga terkesan “jumud” dengan perubahan hukum yang terjadi begitu cepatnya dalam masyarakat kita. Dengan ditolaknya permohonan PBB dan para anggota DPD ini, serta juga permohonan-permohonan yang lain yang akan diajukan, maka demokrasi kita kini semakin terancam dengan munculnya oligarki kekuasaan. Calon Presiden dan Wakil Presiden yang muncul hanya itu-itu saja dari dari kelompok kekuatan politik besar di DPR yang baik sendiri atau secara gabungan mempunyai 20 persen kursi di DPR. Hal yang paling aneh dalam demokrasi kita akan terjadi. Calon Presiden yang maju adalah calon yang didukung oleh parpol berdasarkan  treshold hasil Pileg lima tahun sebelumnya. Padahal dalam lima tahun itu, para pemilih dalam Pemilu sudah berubah, formasi koalisi dan kekuatan politik juga sudah berubah. Namun segala keanehan ini tetap ingin dipertahankan MK. MK bukan lagi “the guardian of the constitution” dan penjaga tegaknya demokrasi, tetapi telah berubah menjadi “the guardian of oligarchy”.  Ini adalah sebuah tragedi dalam sejarah konstitusi dan perjalanan politik bangsa kita. (*)

Sidang ke-11 Kasus “Jin Buang Anak”, Saksi Menganggap Tempat Pesugihan

Jakarta, FNN – Daniel hadir sebagai saksi yang diajukan jaksa penuntut umum (JPU) pada lanjutan sidang ‘Jin Buang Anak’ di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Kamis, 7/7). Daniel merupakan ex-mahasiswa yang berasal dari Samarinda, Kalimantan Timur. Dia melaporkan  Edy Mulyadi ke Polda Kaltim, Senin (24/1) karena merasa sakit hati dengan pernyataan Edy ‘tempat jin buang anak’ yang didengar dari YouTube Bang Edy Channel berjudul \'Tolak Pemindahan Ibukota Negara Proyek Oligarki Merampok Uang Rakyat\'.  “Saya marah dan merasa sakit hati karena dalam video tersebut terdapat kata-kata mengucilkan Ibu Kota Negara (IKN) sebagai tempat ‘jin buang anak’, kuntilanak, kemudian terdakwa juga menyebut petinggi negara, banyak lubang tambang, dan kata-kata Cina,” ujar Daniel  Daniel mengartikan tempat jin buang anak itu sebagai tempat pesugihan. \"Menurut saya “tempat jin buang anak” itu merupakan tempat pesugihan, tempat makhluk halus, dan saya merasa sangat terhina, ini adalah tempat lahir saya, tempat yang membesarkan saya,” katanya penuh percaya diri. Beda dari saksi sebelumnya yang hanya melaporkan terdakwa satu sampai dua point, namun untuk saksi kali ini melaporkan terdakwa dengan banyak point seperti yang ia katakan di atas. Ia menyebut Edy membuat berita hoax dengan menyebut lubang tambang di IKN akibat perusahaan milik Luhut Pandjaitan. Di dalam persidangan Daniel mengaku pernah melalukan perjalanan ke IKN tepatnya ke titik nol km, tetapi Daniel tidak mengelilingi seluruh wilayah IKN tersebut. “Apakah Anda pernah melihat di seluruh wilayah IKN terdapat lubang tambang?,” tanya hakim. “Saya tidak melihat ada lubang tambang,” jawabnya. Hal ini membuat hakim mendalami jawaban Daniel tersebut, bagaimana bisa saksi mengatakan tidak ada lubang tambang di wilayah IKN, padahal ia tidak mengelilingi wilayah tersebut secara keseluruhan.(Lia)