HUKUM

Polisi Mengungkap Praktik Pengoplosan Madu Lebah Hutan di Palembang

Sumatera Selatan, FNN - Aparat Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Palembang, Polda Sumatera Selatan mengungkap praktik pengoplosan madu lebah hutan yang telah meresahkan masyarakat di kota ini sekitar delapan bulan terakhir.Kepala Polrestabes Palembang Kombes Pol Mokhamad Ngajib, di Palembang, Sabtu, mengatakan praktik pengoplosan madu tersebut terungkap setelah personelnya berhasil menangap dua orang pelaku.Kedua pelaku yang ditangkap kepolisian itu berinisial HF (33) dan Phr (45), warga Lorong Kemang, Kecamatan Ilir Barat II, Palembang.“Mereka ditangkap personel satreskrim saat tengah mengoplos madu di sebuah gudang di Lorong Kemang, Kelurahan 32 Ilir, Kamis (19/5) siang,” kata dia.Kepala Satreskrim Polrestabes Palembang Kompol Tri Wahyudi menjelaskan, penangkapan pelaku bermula dari pelaporan masyarakat yang tertipu sebab secara sepintas produk madu yang dibuat pelaku itu terbilang hampir mirip dengan produk olahan madu lebah hutan sialang asli.Namun, polisi menemukan komposisi salah satu bahan baku madu itu dioplos tersangka menggunakan air Carboxymethyl Cellulose (CMC) yang umum bisa digunakan untuk kebutuhan makanan hingga non-makanan seperti pengental cat.“Pelaku mencampur madu asli dengan air CMC, gula pasir sitrun (zat asam) susu bubuk dan air sebanyak 15 liter per 50 kilogram,” kata dia. Produk madu oplosan itu juga diedarkan pelaku hingga ke Provinsi Jambi.“Berdasarkan keterangan pelaku bisa meraup keuntungan hingga senilai Rp5 juta dari madu oplosan itu,” katanya pula.Dari tangan pelaku, polisi turut serta mengamankan barang bukti berupa delapan jeriken madu oplosan siap edar seberat 25 kilogram, satu ember plastik berisikan madu hitam manis, satu ember plastik berisikan madu hitam pahit, 5 kilogram gula pasir, satu biang susu, satu bungkus tepung tapioka, satu bungkus bahan baku pengental makanan.Atas perbuatannya para pelaku diduga melanggar Pasal 196 juncto Pasal 98 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 62 ayat 1 juncto Pasal 6 ayat 1 huruf D dan atau huruf I UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. (Sof/ANTARA)

Panglima TNI Minta Korban Kerangkeng Manusia Tidak Takut Bersuara

Jakarta, FNN - Panglima TNI Jenderal TNI Andika Perkasa meminta para korban kasus kerangkeng manusia milik Bupati Langkat, Sumatera Utara, nonaktif Terbit Rencana Perangin Angin tidak takut bersuara atau menyampaikan kejadian sesungguhnya.\"Tidak boleh takut ya, bicara apa adanya supaya kita bisa benar-benar menghukum mereka yang terlibat,\" katanya saat menerima kunjungan pimpinan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dipantau dari kanal YouTube-nya di Jakarta, Jumat.Dalam audiensi antara Panglima TNI dengan pimpinan LPSK beserta sejumlah korban kerangkeng manusia tersebut, Jenderal Andika menanyakan langsung keberanian korban untuk buka suara.Para korban yang dihadirkan langsung menyatakan tidak takut dan siap memberikan keterangan atau kesaksian secara lengkap. Namun, satu orang pemuda diantaranya mengaku takut ketika ditanya oleh Panglima TNI.Ketika ditanya Panglima TNI, korban mengangguk dan mengaku takut karena masih trauma atas peristiwa yang dialaminya.Hingga saat ini, Panglima TNI mengatakan telah memeriksa sembilan prajurit yang diduga terlibat dalam kasus kerangkeng manusia tersebut. Akan tetapi, jumlah itu bisa saja bertambah jika ada keterlibatan oknum TNI lainnya.\"Kami tidak menutup atau membatasi sembilan saja. Kami berusaha terus menggali,\" ujar mantan Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) tersebut.Dalam penjelasannya, Panglima TNI meminta semua pihak terutama para korban untuk menyampaikan apabila adanya intimidasi.\"Kalau dari TNI yang mengintimidasi kami pasti menindaklanjuti itu,\" ujarnya.Panglima meminta pimpinan LPSK untuk memberikan daftar dan alamat rumah para korban. Tujuannya, TNI bisa mengontrol atau patroli secara khusus.\"Kami memberikan keamanan bagi korban dari berbagai macam intimidasi selama proses hukum berlangsung,\" tegas dia. (mth/Antara)

Oditur: Pengadilan Militer Berwenang Memproses Kasus Korupsi TWP AD

Jakarta, FNN - Oditur Militer Tinggi II Jakarta Brigjen TNI Murod mengatakan Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta berwenang mengadili, memeriksa, dan memutus perkara dugaan tindak pidana korupsi dana Tabungan Wajib Perumahan Angkatan Darat (TWP AD).Kewenangan tersebut, ujar Murod, salah satunya didasarkan pada amanat Pasal 200 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.\"Pasal 200 ayat (2) menyatakan apabila titik berat kerugian ditimbulkan oleh suatu tindak pidana yang terletak pada kepentingan militer, perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan militer,\" ujar Murod saat membacakan tanggapan atas eksepsi dua terdakwa kasus dugaan korupsi dana TWP AD di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta, Jakarta Timur, Kamis.Dengan demikian, kata dia, oditur militer selaku jaksa penuntut umum memohon kepada majelis hakim untuk menyatakan Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tersebut.Sebelumnya pada Kamis (12/5) dalam persidangan, terdakwa I Brigjen TNI Yus Adi Kamrullah (YAK) dan terdakwa II Ni Putu Purnamasari (NPP), melalui masing-masing tim kuasa hukumnya, menyampaikan eksepsi yang dalam salah satu poin mempersoalkan kewenangan mengadili.Menurut mereka, Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta tidak berwenang memproses perkara dugaan korupsi dana TWP AD.Kuasa hukum terdakwa Brigjen TNI Yus Adi, yakni Muhammad Yunius Yunio menyampaikan perkara dugaan korupsi dana TWP AD sepatutnya diproses di pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor).\"Menurut perspektif hukum tim kuasa hukum terdakwa I, kurang tepat jika perkara korupsi ini diperiksa, diadili, dan diputus di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta karena tidak memenuhi kaidah-kaidah kompetensi absolut suatu tindak pidana korupsi, meskipun terdakwa I merupakan anggota TNI AD,\" kata Yunius.Ia menjelaskan berdasarkan hukum, perkara tindak pidana korupsi hanya dapat diadili pada pengadilan tipikor, sebagaimana dimuat dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.\"Pasal 5 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan pengadilan tindak pidana korupsi merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi,\" ujar Yunius.Keberatan serupa disampaikan pula oleh tim kuasa hukum terdakwa II Ni Putu Purnamasari.\"Seharusnya, proses hukum yang harus ditempuh adalah melalui mekanisme peradilan tindak pidana korupsi pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat sesuai dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009,\" ucap kuasa hukum terdakwa II Ni Putu Purnamasari Cepi Hendrayani.Selain menanggapi perihal kewenangan mengadili, Brigjen TNI Murod juga menyampaikan tiga permohonan lainnya kepada majelis hakim sebagai tanggapan atas eksepsi dari kedua terdakwa.Pertama, majelis hakim dimohon untuk menyatakan bahwa surat dakwaan Oditur Militer Tinggi Nomor: Sdak/08A/11/2022 Tanggal 14 Maret 2022 yang telah dibacakan pada awal persidangan disusun sebagaimana mestinya sesuai ketentuan perundang-undangan sehingga surat dakwaan tersebut dapat dijadikan dasar pemeriksaan perkara ini.Kedua, majelis hakim diminta untuk menolak eksepsi dari para terdakwa dan menetapkan pemeriksaan perkara tetap dilanjutkan.Selanjutnya, Ketua Majelis Hakim Brigjen TNI Faridah Faisal mengatakan pihaknya akan menanggapi eksepsi kedua terdakwa dan tanggapan oditur tersebut di sidang pembacaan putusan sela pada Rabu (25/5). (mth/Antara)

Ruhut Apes Hina Anies & Orang Papua, PDIP Tak Mau Bela

Jakarta, FNN – Politisi PDIP Ruhut Sitompul kali ini sepertinya tidak mungkin bisa lepas dari jeratan hukum. Apalagi, PDIP sendiri terkesan lepas tangan tak akan membelanya terkait meme Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Seperti disampaikan wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam Hersubeno Point, Rabu (18/5/2022), Sekretaris DPD PDIP DKI Jakarta Gembong Warsono menanggapi tindakan Politikus PDIP Ruhut Sitompul yang mengunggah meme Gubernur Anies Baswedan menggunakan koteka. Gembong sendiri tidak ingin banyak berkomentar mengenai konten di akun Twitter milik Ruhut tersebut. Menurut dia, salah atau tidaknya Ruhut akan diputuskan oleh pihak yang berwajib. Terlebih, saat ini Ruhut memang sudah dilaporkan kepada polisi. \"Apakah yang dilakukan Pak Ruhut itu nanti dikategorikan melanggar hukum, ya, nanti penegak hukum yang menetapkan. Kami hormati, kami hargai apa yang dilakukan para pendukungnya Anies karena mereka tidak terima, ya silakan saja,\" ujar Gembong, Jumat (13/5/2022). Dia meminta agar mantan Ketua DPP Partai Demokrat itu menghadapi proses hukum tersebut dengan baik. “Apalagi sudah dilaporkan, tidak ada cara lain selain dihadapi dengan baik, taat proses hukum,\" kata dia. Ruhut Sitompul mengunggah meme Anies Baswedan di akun Twitter miliknya. Akibat unggahan tersebut, dia kemudian dilaporkan kepada polisi. Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Endra Zulpan membenarkan adanya laporan terhadap Ruhut. Ruhut dilaporkan oleh Panglima Komandan Patriot Revolusi (Kopatrev) Petrodes Mega MS Keliduan atau Mega. Sebelumnya, Ruhut mengunggah foto sekelompok orang yang mengendarai sepeda motor yang memakai kaos dengan tulisan di belakangnya, “Haram Hukum Anies Baswedan”. Kemudiam para netijen juga memberikan semacam klarifikasi bahwa foto yang pertama ketika orang naik sepeda motor dengan tulisan itu adalah semacam editan, tidak ada itu. Beda forumnya pengendara motor ini ada, tapi tidak ada yang mengenakan kaos dengan tulisan semacam itu. Jadi, unggahan foto itu berusaha menyindir Anies Baswedan yang selama ini dianggap sok paling Arab. Ruhut mengungkapkan, “Anies mempunyai darah Arab, Anies kerab memanfaatkan kesukuannya itu untuk politik identitas.” Dulu merasa paling Arab karena kakeknya begitu Arab. Sekarang dia merasa dari Jawa karena dari Jogjakarta. “Sudah itu dia datang lagi ke satu daerah mengaku paling ini paling itu semua diakui sama dia,” begitu Ruhut. “Apakah itu benar foto Pak Anies atau bukan kalau editan atau diedit maka itu maknanya blasstening atau penghinaam. Itu kata Natalius Pigai di akun twitter-nya,” kata Hersubeno Arief. “Tapi Pigai tidak menyatakan akan melaporkan Ruhut ke Polisi dan memang ini sifat dari Pigai dia tidak pernah sekalipun dia serimg dihina dengan ujaran rasis bahkan pernah ada juga menyamakan dia seperti seekor Gorila,” lanjut Hersubeno Arief.   Keputusan Pigai, dia tidak pernah mau mengadukan itu, orang lain aja yang mengadukan tapi Pigai tidak. Ini yang dianggap oleh Ruhut tidak ada ysng mempersoalkan Ruhut. Ini mulai agak serius menanggapi itu ketika mengetahui ini benar-benar ada warga dari Papua yang benar-benar melaporkan. “Tadi yang saya sebut namanya Petrodes Mega Kelinduan, dia adalah Panglima Komando Patriot Revolusi. Ini sebuah organ partai rakyat yang kemudian dia atas nama warga Papua melaporkannya ke Polda Metro Jaya,” tambahnya. Pada waktu itu Mega menyatakan tidak bisa menerima maaf itu bukan tidak mau tapi dia tidak bisa, kalau kita liat permintaan maaf yang di twitter-nya ini permintaan maaf yang tidak serius dan tidak spesifik pada siapa dia meminta maaf. Ruhut pun menulis seperti ini: “Taunya aku dihujat habis-habisan tapi apa mau dikata apalagi yang dihujat pada tidak tahu permasalahannya tapi aku harus berhikmat dan untuk semua yang masih marah-marah maafkan aku manusialah yang tidak luput dari kesalahan, Merdeka”. (mth/sws)

Politisi Gerindra Minta Jokowi Bebaskan Habib Rizieq, Munarman, dan Aktivis Islam Lainnya

Jakarta, FNN – Wakil Ketua Umuim Partai Gerindra yang juga Sekjen Syarikat Islam, Ferry Juliantono mendesak Presiden Jokowi untuk membebaskan Habib Rizieq Shihab, Munarman, Edy Mulyadi, dan aktivis Islam lainnya yang saat ini ditahan. Menurutnya, orang-orang tersebut ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan karena masalah yang sengaja dicari-cari. \"Kita lihat bahwa penahanan Habib Rizieq Shihab, terus Munarman, sahabat saya, kemudian misalkan Edy Mulyadi dan beberapa aktivis Islam yang ditahan, dipenjarakan, itu sebenarnya disebabkan oleh  masalah-masalah yang kalau dicari-cari ada aja gitu loh,\" tutur Ferry Juliantono kepada wartawan senior FNN, Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Hersubeno Point, Rabu, 11 Mei 2022. Ferry yang aktif menjadi koordinator Desk Anti Islamophobia Syarikat Islam menyampaikan hukuman penjara yang dijatuhkan kepada Habib Rizieq Shihab dan Munarman cenderung dilatarbelakangi Islamofobia. “Dalam kasus Habib Rizieq Shihab dan Munarman, serta aktivis Islam lainnya menurut pendapat saya terlalu dipaksakan dan cenderung dilatarbelakangi dengan islamofobia,” kata Ferry. Ferry menyarankan kepada presiden untuk menggunakan semua hak yang melekat di kekuasaan, apakah itu abolisi, grasi, amnesti, atau dibebaskan dari semua konsekuensi atau akibat dari tuduhan-tuduhan yang semula disangkakan kepada mereka. Sebagai informasi aturan mengenai amnesti sudah diatur dalam Pasal 14 ayat 1 UUD 1945. Amnesti merupakan pengampunan atau penghapusan hukuman yang diberikan kepala negara kepada orang yang melakukan tindak pidana. Sementara abolisi adalah penghapusan proses hukum seseorang yang sedang berjalan. Presiden harus mempertimbangakan pertimbangan dari DPR saat memberikan abolisi. Habib Rizieq Shihab, mantan Ketua Front Pembela Islam (FPI), divonis pidana selama 4 tahun terkait kasus hasil swab di RS Ummi, Bogor. Sedangkan eks Sekertaris Umum FPI Munarman divonis tiga tahun penjara terkait tindak pidana terorisme pada April lalu. \"Masa sih bikin resepsi terus menjadi dikenai hukuman? Terus Munarman di persidangan sudah tidak terbukti, kemudian Edi Mulyadi yang terbaru,\" ucap Ferry menambahkan. Oleh karena itu Ferry  menilai bahwa penangkapan Habib Rizieq Shihab hingga Munarman merupakan hal yang politis. \"Inilah dasar-dasar itu yang menurut saya kurang bisa dianggap sebagai sesuatu yang inilah, itu politislah, tapi politisnya ini dilatarbelakangi dengan islamofobia,\" kata Ferry Juliantono. Ferry mengaku sudah bertemu dengan Kapolri untuk menyampaikan bahwa perlu ada penyamaan persepsi ini tentang semangat baru anti Islamofobia ini. Pertemuannya dengan Listyo Sigit Prabowo dilakukan agar bisa menyamakan persepsi tentang terorisme, fundamentalisme, radikalisme, dan lainnya yang seringkali digunakan untuk menahan aktivis-aktivis Islam, ulama, dan lain sebagainya. \"Tapi bungkusnya itu kurang bisa jadi alasan yang cukup kuat itu, jadi diada-adakan, alasannya pun juga kurang kuat menurut saya,\" ucapnya. Ferry menyarankan pemerintah berhentilah memusuhi umat Islam, bahwa sebenarnya saat ini di tengah situasi bangsa yang sedang dalam kesulitan ekonomi, sosial, dan sebagainya, pemerintah perlu untuk mengedepankan persatuan bangsa yang jadi prioritas kita semuanya. Ferry mengatakan bahwa hal itu yang mendorong pihaknya untuk mengirim surat kepada  Jokowi agar membebaskan orang-orang tersebut. \"Jadi sudahlah nggak penting lah menurut saya, jadi menurut saya surat ini kita buat resmi kepada pemerintah, Presiden dalam hal ini, supaya membebaskan lah,\" ucapnya. Ferry mengaku proses itu saat ini sedang dipersiapkan. “Sudah hampir rampung, kemudian di internal desk anti islamofobia ini kita sedang sempurnakan tapi bersama dengan pembuatan surat ini kepada presiden kita sedang juga merancang satu, namanya kita sebut eksaminasi publik,\" tutur Ferry. Dia menuturkan bahwa dalam eksaminasi publik, akan diundang para pakar dan ahli yang sudah bersedia untuk hadir. \"Jadi kita akan undang para pakar, para ahli yang sudah berkenan, bersedia untuk terlibat dalam eksaminasi publik dalam kasus Habib Rizieq Shihab, Mjunarman, Edy Mulyadi, dan lain-lainnya. Itu Mas Usman Hamid sudah bersedia, terus Insyaallah Doktor Muzakir, dan beberapa ahli hukum tata negara dan hukum pidana internasional juga akan kita libatkan,\" kata Ferry. Sedangkan terkait alasan mengapa pihaknya membela Habib Rizieq Shihab, dia mengatakan bahwa penangkapan mantan pimpinan Front Pembela Islam itu adalah politik. \"Memang dalam kasus Habib Rizieq Shihab, semua orang tahu ini politiklah, begitu beliau sampai di Jakarta dengan semua kontroversi dalam pengertian sudah dapat izin tapi karena ya nyambutnya banyak terus saya enggak tahu apa yang ada di pikiran pemerintah pada saat itu, terus mulai dicari-cari itu, kelihatan banget itu,\" pungkasnya. (ida, sws) 

Advokat Juju Purwantoro: Edy Mulyadi Tidak Layak Diadili!

Jakarta, FNN – Sidang perdana wartawan senior Edy Mulyadi dari kantor berita Forum News Network (FNN), dilgelar Selasa (10/5/22) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Edy didakwa karena konten video miliknya di YouTube Bang Edy Chanel yang diunggahnya, memuat konten yang sebenarnya merupakan kritik positf dan kontruktif kepada rezim, perihal rencana memidahkan Ibu Kota Negara (IKN) ke daerah Kalimantan Timur. Sesungguhnya secara keseluruhan konten beberapa video tersebut, sama sekali bukan dengan maksud untuk menimbulkan permusuhan atau rasa kebencian berdasarkan Suku Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA). “Ujarannya itu, juga bukan dimaksudkan atau ditujukan kepada kelompok suku di Kalimantan atau kepada seseorang siapapun,” ungkap Advokat Juju Purwantoro, Kuasa Hukum Edy Mulyadi. Sepanjang pengalaman sebagai advokat, Juju juga \'surprised\', karena baru melihat materi dakwaan Edy setebal 313 halaman. Ditambah lagi dengan  lampiran setebal \'bantal\' hampir 1000 lembar (995 halaman). Kutipan konten video yang diunggah oleh Terdakwa antara lain, judul: “Tolak Pindah Ibukota Negara Proyek Oligarki Merampok Uang Rakyat”.  ”Indonesia Dijarah Rakyat Dipaksa Pasrah. Bersuara, Risiko Penjara”. “Cuma Bancakan Oligarki, Koalisi Masyarakat Kaltim Tolak Pemindahan IKN”. Salah satu transkrip atau konten yang didakwaan dengan narasi: “punya gedung sendiri lalu dijual pindah ke “tempat jin buang anak” dan kalau pasarnya “kuntilanak genderuwo” ngapain gue bangun di sana”. Didakwakan juga bahwa ujaran Edy itu: “Tidak memenuhi kaidah-kaidah jurnalistik yaitu : Tidak Akurat, Tidak berimbang, Menghakimi, Melanggar asas praduga tidak bersalah, dan punya itikad buruk”. Juga JPU beralasan, Terdakwa pada saat acara \'konpers\' sebagai narasumber sekaligus pemilik akun youtube Bang Edy Channel, adalah “bukan dalam kapasitas profesi wartawan, dimana konten hanya berisi opini sepihak tanpa keberimbangan pihak lainnya melainkan kebohongan belaka, penghinaan, pencemaran nama baik, dan membangkitkan permusuhan atau kebencian, serta melanggar asas praduga tidak bersalah. Oleh karenanya Konten tersebut bukan proses jurnalistik juga bukan suatu produk jurnalistik tetapi \'gerakan politik\'.” Jika narasi atau ujaran Edy adalah \'gerakan politik\' seperti didakwakan JPU, maka bisa kita katakan bahwa JPU sendiri juga sudah turut membenarkan, dakwaannya yang kental dengan unsur (nuansa) politik, bukan unsur hukum materil \'ansich\'. Sejak awal pemeriksaan (BAP) pihak penyidik, peristiwa hukum Edy yang dipersoalkan terkait proyek IKN, adalah akibat ujarannya tentang \'tempat jin buang anak\'. Faktanya, ungkapan \'tempat jin buang anak\' tampaknya tidak dijadikan fokus oleh JPU dalam argumentasi dakwaannya.  Sebagai contoh, dalam dakwaannya JPU malah melebar, dan bias (absurb) kemana-mana dengan menyebut-nyebut antara lain: bisnis anak presiden Jokowi, bisnis tambang Luhut Binsar Panjaitan dan Yusril Ihza Mahendra di Kalimantan. Menurut Juju, JPU justru tak mempertimbangkan bahwa dalam dakwaannya disebutkan juga ada keberatan dari Yati Dahlia, masyarakat/suku Balik di Sekayu Penajam Paser Utara, Kaltim, karena rencana pembangunan IKN yang tidak melibatkan masyarakat adat setempat. Bahkan, saat ini Yati Dahlia dan sejumlah kelompok masyarakat suku Dayak Kalimantan lainnya, sedang mengajukan permohonan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) tentang program IKN tersebut. Oleh JPU, Edy dianggap melakukan tindakan pidana primer, dan diancam 10 tahun penjara sesuai Pasal 14 ayat (1,2), dan pasal 15 UU RI No.1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana.  Selanjutnya dalam dakwaan Subsider, dengan ketentuan pasal 45A ayat (2) jo pasal 28 ayat (2) UU ITE No.19 tahun 2016, jo pasal 156 KUHP. “Susungguhnya apa yang diungkapkan oleh Edy sebagai insan pers, dilindungi oleh UU tentang Pers No.40 tahun1999,” tegas Juju. Oleh karenanya, lanjut Juju, Edy tidak layak untuk diadili, yang berpotensi menjadi peradilan yang tidak adil. Kasus tersebut jangan sampai menjadi \'peradilan sesat\', menjadi preseden buruk di negeri yang katanya berdasar hukum (rechts staat), jika seseorang menyampaikan opininya di muka umum, maka dengan mudahnya diseret ke masalah hukum. Apalagi dalam rangka melaksanakan tugas-tugas jurnalistik, dan profesinya sebagai insan pers. Sesuai prosedur hukum, kasus Edy rersebut seharusnya menjadi kewenangan Dewan Pers untuk memediasi lebih dahulu, sebelum proses peradilan (due process of law). (mth)

Narapidana di LP Kendari Diberdayakan untuk Membuat Kubus Pemecah Ombak di Wakatobi

Kendari, FNN - Lembaga Pemasyarakatan Kendari di Sulawesi Tenggara memberdayakan warga binaan atau narapidana dalam membuat kubus pemecah ombak di daerah Kabupaten Wakatobi.Kepala Subseksi Kegiatan Kerja dan Pelaporan Hasil Kerja LP Kendari, Polycarpus B Widiharso, di Kendari, Rabu, mengatakan, mereka membina para narapidana sehingga memiliki keterampilan ketika menyelesaikan masa hukumannya.\"Jadi kami bekerja sama dengan PT Mina Fajar Abadi (pemenang tender) untuk pembuatan kubus. Jadi yang buat itu warga binaan pemasyarakatan, membuat 117 unit pemecah ombak secara bertahap di Kabupaten Wakatobi,\" katanya.Ia menyampaikan, pelibatan warga binaan pemasyarakatan dalam pembuatan kubus pemecah ombak merupakan yang pertama kali dilakukan.\"Kami berkoordinasi dengan PT Mina Fajar Abadi, kalau sudah selesai kami beritahu, juga tentang kekurangannya apa, sarana dan prasarana kebutuhan dari mereka semua,\" ujar dia.Ia mengatakan, mereka siap menerima pesanan dari mana saja jika ada yang mempercayakan warga binaan dalam membuat kubus pemecah ombak. \"Rencana untuk bekerja sama dengan pemerintah daerah lainnya itu ada kita siap menampung. Dari mana saja, kami siap dan bekerja sama,\" katanya.Setiap warga binaan pemasyarakatan yang terlibat pada pembinaan keterampilan dan produknya dijual ke luar maka akan mendapatkan premi dan sisa penjualan akan diserahkan ke negara sebagai pendapatan negara bukan pajak.Ia menyebut LP Kendari telah menyumbang ke negara melalui PNBP sebanyak Rp19,5 juta pada 2020, lalu meningkat Rp20 juta pada 2021. Ia optimis PNBP pada 2022 akan kembali meningkat. (Ida/ANTARA)

Dakwaan Jaksa Melebar, Edy Mulyadi Tidak Paham

Jakarta, FNN.co.id -  Dakwaan jaksa penuntut umum yang dibacakan dalam kasus wartawan Forum News Network (FNN) Edy Mulyadi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (10/5/2022), dinilai melebar ke mana-mana.  \"Kalau dibilang ngerti saya nggak ngerti, nggak paham. Alasannya begini saya dilaporkan itu karena ucapan saya tempat jin buang anak, itu yang saya tahu. Tapi seperti kita ketahui dan dengar tadi jaksa mencantumkan beberapa YouTube saya yang lain, ada Kaesang, ada segala macem, itu yang membuat saya tidak paham, kenapa melebar ke mana-mana?,\" kata Edy Mulyadi dalam sidang setelah mendengar dakwaan jaksa di Pengadilan Negeri Jakpus, Jalan Bungur Besar Raya, Jakpus, Selasa (10/5/2022). Dakwaan jaksa penuntut umum setebal 300 halaman. Jika ditambah dengan lampiran jumlahnya lebih dari 900 halaman. Oleh karena itu, majelis hakim PNJakpus menawarkan kepada para pihak yang bersidang  membuat kesepakatan untuk mempersingkat pembacaan berkas dakwaan JPU.  Adu argumentasi Sebelum sidang ditutup, baik Edy Mulyadi maupun tim pengacaranya sempat terlibat adu argumentasi dengan para jaksa penuntut umum menyangkut surat dakwaan jaksa yang melebar kemana-mana.  Untuk menengahi perdebatan dengan jaksa,  majelis hakim PN Jakpus meminta kepada Edy Mulyadi maupun tim pengacaranya untuk menyampaikan keberatannya dalam eksepsi (keberatan dari terdakwa dan atau pengacara) dalam sidang berikutnya pada hari Selasa 24 Mei 2022. Edy mengatakan tidak paham dengan dakwaan jaksa terkait videonya yang mengkritik anak-anak Presiden Jokowi yakni Gibran dan Kaesang Pangarep. Sebab, lanjut Edy, pemberkasan terhadap dirinya oleh penyidik kepolisian hanya menyakut adanya laporan terkait video  rencana kepindahan ibu kota negara ke Kaltim.  Edy Mulyadi didakwa jaksa telah membuat kegaduhan terkait beberapa video di channel YouTubenya, salah satunya berkaitan dengan ucapan \'tempat jin buang anak\'. Edy menyatakan tidak paham dengan dakwaan jaksa yang melebar ke mana-mana. \"Jadi dengan izin yang mulia, saya minta JPU kembali menjelaskan kenapa saya sampai disini? Kenapa banyak produk jurnalistik di akun YouTube saya lainnya dimasukkan dalam dakwaan jaksa. Apakah Gibran atau Kaesang pernah mempersoalkan dan melaporkan saya? Saya kan hanya dilaporkan terkait dengan frase IKN sebagai tempat jin buang anak,\" lanjut Edy Mulyadi. Ahmad Yani selaku Ketua Tim Pengacara Edy Mulyadi, juga mempertanyakan berkas laporan yang dibuat penyidik kepolisian terkait laporan terhadap kliennya itu.  Menanggapi keberatan Edy Mulyadi,  jaksa menilai pernyataan Edy Mulyadi itu sudah masuk ke ranah pembuktian. Jaksa menyarankan agar Edy mengajukan nota keberatan atau eksepsi. (Tim FNN)

Berkas Dakwaan Terhadap Edy Mulyadi Seribu Halaman Seberat 10 kg, Rocky Gerung: Ini Baru "Big Data"

Jakarta, FNN - Wartawan senior Edy Mulyadi menjalani sidang perdana kasus Jin Buang Anak calon ibu kota negara (IKN) di PN Jakarta Pusat, Selasa (10/05) Tebalnya berkas dakwaan yang mencapai 900 halaman dan berat diperkirakan 10 kg tersebut dinilai layak masuk MURI (Museum Rekor Indonesia). Bahkan pengacara Edy Mulyadi,  Herman Kadir menganggap ini berkas terbesar dalam sejarah dunia litigasi selama dia menangani perkara. Menanggapi hal itu pengamat politik Rocky Gerung menilai bahwa kasus ini dianggap berat padahal sesungguhnya sangat ringan. \"Ini namanya dakwaan berbasis big data. Ini kasus ringan, tapi diperlakukan seperti kasus besar. Yang dipersoalkan malah bagian yang bukan intinya yaitu dia mengucapkan jin buang anak,\" katanya kepada wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official, Selasa (10/05) Rocky menegaskan frasa Jin Buang Anak tersebut adalah dalam konteks pembangunan IKN, bukan mengolok olok orang. \"Dakwaan 1000 halaman itu isinya zonk. Dakwaan itu mustinya 1 pasal saja bahwa Anda melanggar kebebasan berbicara, titik,\" paparnya  Dakwaan yang berkualitas kata Rocky adalah dakwaan yang padat dan singkat.  \"Ini dakwaan  terlalu panjang tidak fokus dan muter-muter buat menyeret seseorang,\" tegasnya. Dakwaan ini kata Rokcy artinya malah merusak lingkungan.  Bayangkan 1000 halaman kertas itu berapa pohon yang ditebang untuk bahan baku kertas.  Rocky menegaskan,  dari kasus Edy Mulyadi ini sesungguhnya kita akhirnya bisa mengolok-olok kekuasaan karena memaksakan dakwaan dengan menebang pohon untuk bikin ibu kota baru yang tentu merusak lingkungan. Padahal yang diucapkan Edy justru ia ingin melindungi Kalimantan dari kerusakan lingkungan. \"Ini politik membalikkan keadaan hanya untuk memperoleh headline. Kelak media media bikin headline Edy Mulyadi bersalah,\" paparnya  Menurut Rocky, Edy sebagai jurnalis justru ingin membela hak orang Kalimantan, hak demokrasi dan hak terbebas dari kerusakan hutan. \"Edy harusnya dibela bukan dipenjara,\" lanjutnya. Lebih jauh Rocky menyarankan nanti Edy Mulyadi di persidangan bisa minta Kompas untuk menjadi saksi ahli karena Kompas bulan lalu membuat survei bahwa pemerintah lebih fokus ke IKN daripada kesejahteraan masyarakat.  Masyarakat menganggap pemerintah tidak peduli pada kesulitan ekonomi dan hanya fokus ke IKN. Rocky membaca tulisan Roberto Robert panelis ahli di majalah Tempo yang mengritik bahwa kemampuan kiita untuk mengevaluasi diri harus diutamakan. \"Jadi kasusnya ketika Tempo harus meminta maaf hanya karena membuat laporan yang menyudutkan korban. Sementara banyak media mainstream yang setiap hari mempromosikan intoleransi didiamkan saja dan dianggap sebagai upaya untuk melindungi keluasaan. \"Nah Edy Mulyadi justru melakukan  kritik terhadap pembangunan IKN,\" tegasnya. Diakui Rocky bahwa  sinismenya Edy Mulyadi dalam melontarkan kritik memang tinggi sekali tetapi Edy Mulyadi mengkritik kebijakan. \"Itu intinya. Ini bagian dari pengadilan kebebasan berbicara,\" lanjutnya. Edy Mulyadi menjalani persidangan atas tuduhan pencemaran dengan kalimat yang mengatakan bahwa Ibu Kota Negara (IKN) dibangun di tempat jin buang anak. Rocky Gerung juga menyinggung soal buzzer yang berusaha membentengi istana dari kritik yang dilayangkan seseorang kepada pihak pemerintah. “Ini betul-betul pengadilan absurd kalau kita sebut pengadilan yang diatur iya memang karena seribu halaman hanya untuk mempersoalkan satu frasa bahwa IKN itu adalah lokasi tempat jin buang anak,\"  pungkasnya. (Ida, sws)

Kolonel Priyanto Tolak Dakwaan Pembunuhan Berencana Handi-Salsabila

Jakarta, FNN - Kolonel Infanteri Priyanto melalui kuasa hukumnya menolak dakwaan dan tuntutan Oditur Militer yang menyebut dia melakukan pembunuhan berencana dan penculikan terhadap Handi Saputra dan Salsabila.Dalam persidangan di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta, Selasa, Anggota Tim Kuasa Hukum Letda Chk Aleksander Sitepu menyampaikan Priyanto saat kejadian beranggapan Handi-Salsabila telah meninggal dunia sehingga dia pun membawa kabur keduanya dan membuang mereka ke Sungai Serayu.“Kolonel Infanteri Priyanto tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh Oditur Militer Tinggi pada dakwaan kesatu primer Pasal 340 juncto Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP dan dakwaan kedua alternatif pertama Pasal 328 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP,” kata Aleksander saat membacakan nota pembelaan (pledoi) untuk Kolonel Priyanto saat sidang.Pasal 340 KUHP yang menjadi dakwaan primer Oditur mengatur hukuman pidana pembunuhan berencana yang ancamannya maksimal pidana mati atau penjara seumur hidup.Sementara itu, Pasal 328 KUHP mengatur soal pidana penculikan yang ancaman hukumannya maksimal 12 tahun.Oditur Militer Tinggi II Jakarta Kolonel Sus Wirdel Boy dalam tuntutannya yang dibacakan saat sidang bulan lalu menyampaikan Priyanto terbukti melakukan pembunuhan berencana sehingga ia meminta majelis hakim memvonis terdakwa penjara seumur hidup.Menurut kuasa hukum, Priyanto hanya bersalah melanggar Pasal 181 KUHP sebagaimana masuk dalam dakwaan subsider ketiga Oditur. Pasal 181 KUHP mengatur hukuman menghilangkan mayat dengan maksud menyembunyikan kematian seseorang. Perbuatan pidana itu diancam hukuman penjara maksimal 9 bulan.Oleh karena itu, kuasa hukum meminta kepada majelis hakim, yang dipimpin oleh Brigjen TNI Faridah Faisal, untuk membebaskan Kolonel Priyanto dari dakwaan primer dan dakwaan kedua alternatif pertama, serta melepaskan dia dari segala tuntutan hukum yang berpedoman pada dua dakwaan tersebut.“(Kami meminta majelis hakim) menjatuhkan hukuman yang seringan-ringannya atau apabila majelis hakim berpendapat lain, maka mohon putusan yang seadil-adilnya,” kata Letda Aleksander.Dalam nota pembelaan yang sama, kuasa hukum juga meminta majelis hakim mempertimbangkan rekam jejak Priyanto selama berdinas di TNI Angkatan Darat.“Terdakwa pernah mempertaruhkan jiwa raganya untuk NKRI melaksanakan tugas operasi di Timor-Timor (sekarang Timor Leste, Red.),” kata Aleksander.Priyanto, kata kuasa hukumnya, memperoleh tanda jasa Satya Lencana Kesetiaan 8 Tahun, 16 Tahun, dan 24 Tahun, serta Satya Lencana Seroja.Kemudian, kuasa hukum juga menyampaikan terdakwa menjalani persidangan dengan sikap yang baik, berterus terang, serta menyesal dan berjanji tidak mengulang perbuatannya. (mth/Antara)