HUKUM

Sambo Ditahan Pelanggaran Etik, Ada Soal yang Lebih Besar dan Serius di Balik Tewasnya Yoshua

  Jakarta, FNN - Publik sedikit lega setelah mantan Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo digelandang ke Mako Brimob Depok guna pengusutan lebih lanjut atas tewasnya Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat di rumah dinasnya. “Yang justru harus dikritisi oleh publik adalah lembaga-lembaga yang diberi tanggung jawab etis justru merusak institusi,” kata pengamat politik Rocky Gerung kepada wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official, Ahad, 7 Agustus 2022. Apa dan bagaimana yang akan terjadi, berikut analisis tajam di bawah ini. Petikannya: Bung Rocky, ini hari Ahad yang heboh, karena sejak tadi malam pusat perhatian publik ke Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, dan akhirnya memang sore kemarin ditetapkan Irjen Pol Ferdy Sambo sebagai pelanggar kode etik, belum tersangka. Tetapi kemudian mulai antiklimaks lo kok kode etik yang dikenakan. Padahal kan sebetulnya pasal pembunuhan. Tetapi, orang lupa bahwa Ferdy Sambo ini adalah seorang petinggi Polri yang tugasnya menegakkan kode etik, pengawas kode etik, justru dia disebut tidak profesional. Menurut saya ini kalau yang paham situasinya ini kan etika yang selalu kita sebut. Ya saya kira kita musti terangkan pada publik bahwa ada pengadilan internal di setiap lembaga yang disebut kekuasaan Inspektur Jenderal untuk menginspeksi pelanggaran-pelanggaran internalnya. Nah, di Propam itu sebagai ketua atau kepalanya adalah Pak Ferdy Sambo. Jadi orang menilai itu artinya kalau Pak Sambo melanggar kode etik, lalu bagaimana status lembaga itu sebagai lembaga penegakan etik. Jadi benar bahwa ini peristiwa pertama lepaskan dulu dari soal kriminalnya. Jadi, beliau, dalam kedudukan dia sebagai pemegang komando etis, dia justru menyalahgunakan kekuasaan itu, kedudukan etnisnya itu.  Jadi, itu dulu fokusnya. Dan orang memang selalu pingin cepet-cepet cari siapa yang terdakwa. Tapi memang, ada semacam prinsip dalam kepolisian atau di semua institusi pemerintah sebetulnya bahwa biarkan lebih dahulu Inspektur Jenderal bekerja untuk melihat apa yang internal di situ. Dulu kan ada, kalau kita perluas sedikit ya, Irwasum (Inspektur Pengawasan Umum). Di semua Departemen Pemerintahan, Kementerian, ada Irjen dulu di zaman orde baru. Itu fungsinya adalah untuk meneliti pelanggaran etik kode etik atau perbuatan buruk dari aparat di Department itu atau di Kementerian itu. Nah, sialnya, dulu itu Irjen itu di bawah menteri sehingga dia nggak mungkin periksa si menteri. Itu masalahnya sehingga kita anggap lo jadi Irjen itu justru harus berani untuk menegur menterinya bahkan. Jangan anak buahnya saja. Tapi kalau menterinya datang Irjennya tunduk. Itu nggak boleh sebetulnya. Kan bagaimanapun, yang disebut oversite commitee, komite etis itu berdiri di atas birokrasi. Itu dulu bahkan yang memulai Sri Mulyani. Dia bilang, hai Pak Irjen, Anda harus awasi saya. Saya menteri, jangan Anda hormat-hormat saya. Saya bisa bikin sesuatu yang buruk lalu Anda merasa Anda bawahan saya. Enggak. Kedudukan etis itu lebih tinggi dari kedudukan birokrasi. Memang, dalam kepangkatan ada hirarki pangkat. Tetapi, sekali lagi, overite commite seperti yang diduduki oleh Pak Sambo itu melampaui kedudukan dia sebagai Jenderal sebetulnya. Prinsipnya begitu. Tetapi, karena dia terlibat maka dia musti dibebas tugaskan dulu dari itu. Sebab di saat-saat terkhir bisa saja Pak Sambo mengatakan saya Inspektur Jenderal dalam kedudukan sebagai Irwasum tadi. Dan saya bisa menentukan siapa yang etis, siapa yang tidak etis. Kan itu konfliknya. Jadi itu dilepaskan dulu sehingga Pak Sambo itu benar-benar tidak lagi punya fungsi untuk mengevaluasi etis lembaga kepolisian. Dengan cara itu, konfliks kepentingannya hilang. Tentu tahap berikutnya adalah soal pidananya. Jadi itu hal yang biasa saja. Betul tadi, yang justru harus dikritisi oleh publik adalah lembaga-lembaga yang diberi tanggung jawab etis justru merusak institusi.  Itu intinya. Kan yang mau kita selamatkan institusi kepolisian. Nah, kalau disebutkan 25 orang melanggar etis, 3 orang ada Jenderal, itu juga problem besar dari suatu institusi, bermasalah itu. Sekali lagi, kita ingin supaya persoalan pidana itu tentu tidak akan dilupakan. Tetapi, sinyal etis ini yang hendak ditegakkan. Begitu satu lembaga kehilangan kedudukan etisnya, dia nggak lagi dipercaya oleh publik, apalagi kepolisian. Di situ bekerja prinsip noblesse oblige, semakin tinggi kedudukannya, obligasinya semakin besar. Apalagi obligasi etis, kewajiban etis. Ya. Dan kalau kita lihat strukturnya, organisasi Polri ini bahkan lebih keras dibandingkan dengan lembaga-lembaga sipil lainnya karena tadi Pak Sambo divisi Propam, penegak etik. Tapi di atas Pak Sambo ada yang kita sebut sebagai Irwasum dan pangkatnya lebih tinggi. Itu yang sekarang sedang melakukan tugasnya. Nah, saya kira justru seharusnya publik juga paham bahwa soal pidananya nanti akan jalan, dan bisa saja nanti kan seperti disampaikan oleh Pak Kapolri kemungkinan ada pelanggaran pidana. Karena, dalam soal etik ini misalnya menghalang-halangi para penegak hukum untuk menjalankan tugasnya. Itu juga soal pidana juga. Justru harusnya ini berlapis nanti kalau terjadi beliau sudah kena hukuman secara etik dan itu bisa konsekuensi pidana dan kalau kemudian terbukti ada keterlibatan dia dalam pembunuhan Brigadir Yosua, dia juga akan terkena hukuman pidana. Saya kira itu yang kita mesti pahami sekarang. Ya, itu betul. Dan orang mulai paham bahwa ada keseriusan dari Pak Kapolri demi marwah institusi karena isu berkembang ke mana-mana, bola liar setiap hari kita dapat di WA grup bahkan beredar si ini lakukan ini, si ini adalah bendahara umum si itu, macam-macam istilah yang ini memang terlibat kasus affair dengan saksi. Jadi segala macam isu itu kita mesti duga diproduksi juga dari dalam insitusi-institusi yang isinya persaingan. Itu intinya kan. Jadi sebetulnya ini sudah bagus, ditetapkan dulu sebagai pelanggaran etik. Karena itu dia mesti dilepaskan dari wilayah pengaruh dia oleh Irwasum yang memang berwenang itu dan ada tim khusus juga yang diberi wewenang untuk melakukan penyelidikan pidananya. Jadi betul, tentu Pak Sigit dengan hati-hati harus memisahkan itu supaya terlihat bahwa bagian pembersihan di dalam itu sudah selesai baru pengusutan pidana bisa lebih tajam. Sebab kalau bagian etisnya belum selesai, itu juga abu-abu di dalam. Nanti bagaimana caranya? Ada ewuh pekewuh, ada senioritas segala macam. Jadi betul, kita mulai dengan langkah pertama profesionalisme Kapolri diterangkan betul-betul dengan memisahkan itu. Nah, orang sebetulnya ingin cepat-cepat ditangkap saja. Ya nggak bisa dong. Itu soal pidana. Jadi betul, diselesaikan dulu, karena itu dibawa ke Mako Brimob. Ketegangan kemarin sore itu yang memperlihatkan itu berarti Irwasumnya juga tegang. Berarti Pak Sigit juga tegang sehingga publik merasa tegang juga karena Brimob berkeliaran di situ kan. Jadi, keterangannya sekarang agak enak, nanti kita tunggu lagi siang ini apa keterangan lanjutannya sehingga orang tahu bahwa  jangan soal etis saja. Padahal, sebetulnya soal etis yang paling penting. Tapi orang sudah keburu merasa kok soal etis doang. Nah, kata etis itu juga lama-lama defisit nilainnya. Padahal itu adalah prinsip tertinggi dari semua organisasi, menghormsti hal-hal yang bersangkutan dengan tanggung jawab etik. Oke. Kalau kita ngomong soal etik ini, saya memang sejak awal, publik juga terheran-heran dengan profil Sambo ini. Dia bintang dua, seorang Jenderal polisi bintang dua. Kita tahulah berapa gaji dari seorang bintang dua. Tapi gaya hidupnya luar biasa mewah.  Kalau kita lihat misalnya bagaimana foto-foto dia bersama keluarganya, ajudannya sampai ada berapa sampai 8 orang, atau pembantunya banyak. Ini saya membayangkan kayak raja-raja kecil. Belum lagi kemudian ketika (ini ada video) misalnya ketika Yosua memberikan ucapan ulang tahun kepada adiknya itu rupanya dilakukan di ruang bawah, di dalam garasinya Pak Sambo, publik juga atau terutama emak-emak, salah fokus. Bukan lihat kuenya tapi lihat mobil-mobil mewah yang berderet di garasi Pak Sambo. Ya ini memang jauh dari profil seorang Irjen. Apalagi kalau kita membayangkan seorang Jenderal Polisi yang namanya Pak Ogen atau belakangan ada yang namanya Pak Kunarto, yang pernah merjadi ketua BPK, memang beda sekali ini. Ya, itu juga teguran publik terhadap kehidupan para pejabat tinggi kita. Di kepolisian, di kementerian segala macam. Dan itu jadi semacam antipati terhadap cara melihat kesungguhan para pejabat kita. Kan sebetulnya kalau kita mau pakai prinsip penegakan etis dan siapa yang menduduki posisi tertinggi dalam penguasaan etis, dia harusnya justru yang paling miskin supaya terlihat bahwa dia hanya bekerja demi satu nilai yang dia percaya, yaitu integritas, kejujuran, dan keberanian untuk memberi teguran. Jadi itu intinya. Jadi kalau misalnya terlihat atau terintip ada kemewahan, walaupun mungkin dibilang itu tamu segala macem, tetapi keburu terlihat bahwa ada sesuatu yang yang menyebabkan rasa ketidakadilan di publik. Dan kepolisian disorot, dan selama periode Pak Jokowi bahkan disorot karena seolah-olah dimanjakan itu. Dan pemanjaan itu menimbulkan kecurigaan. Pemanjaan yang dibutuhkan untuk menarik simpati polisi pada kekuasaan. Itu pertanyaan lagi itu. Orang mulai melihat bagaimana persaingan di dalam rekrutmen itu ditentukan oleh pengaruh partai politik. Itu satu soal lagi. Jadi semua itu sekarang memang ya sangat disayangkan pada saat terakhir kekuasaan Pak Jokowi, ada isu-isu yang berantakan. Yang berantakan pertama KPK, itu udah berantakan. Sekarang kepolisian berantakan.   Lalu orang tanya, di era siapa berantakannya itu. Oh, itu di era Gusdur. Nanti salah lagi. Padahal, itu Pak Jokowi juga harus bertanggung jawab. Keberantakan isu institusi ini karena kerakusan kekuasaan yang ingin ada di mana-mana. Jadi kalau dibilang tadi Pak Sambo punya banyak hal, apalagi kekuasaan, dia punya macam-macam. Jadi satu paket pikiran yang kita perlukan untuk mengingatkan kepada para pendiri bangsa bahwa kita sedang mengalami krisis moral, krisis etik. Jadi coba lakukan refleksi. Dan banyak polisi yang pinter, tajam, dan hidupnya sederhana. Tentu kesederhanaan Pak Polisi nggak sama dengan kesederhanaan petani sawit. Beda.  Tetapi, kemencolokan itu kan tidak bisa menahan untuk memamerkan kekuasaan junto kekayaan. Itu buruknya. Padahal, selalu orang anggap polisi itu pelayan rakyat maka sebetulnya harus sama sejahtera dengan rakyat. Tapi rakyatnya nggak sejahtera. Jadi itu intinya. Kita bisa pahami ini semacam gejolak evaluasi publik terhadap lembaga-lembaga kekuasaan, dalam kasus ini Polri yang terkena sorotan tajam. Itu banyak lembaga lain yang belum tersorot, Kejaksaan misalnya, Kehakiman. Sama juga kasus-kasusnya di situ. Nah, kalau sudah mendengar penjelasan seperti Anda ini, bukan berarti kita mengecilkan ya kasus tewasnya Brigadir Yosua, justru persoalan etik ini jauh-jauh lebih besar. Ini Yosua itu symptomnya saja. Yang menjadi persoalan serius adalah penyakit etika ini kan? Ya, itu point mendasar yang harus kita waspadai. Jangan sampai orang sekadar ingin melihat penghukuman pidana, tapi membiarkan soal etis. Kan ini bahayanya. Dia tersambung sebetulnya. Kalau seseorang secara etis tidak mampu untuk menguasai diri, menguasai menguasai ambisi pribadi, menguasai keinginan untuk memamerkan kekayaan, itu artinya dalam banyak hal dia juga akan jadi dealer. Itu poinnya. Sehingga dia tidak punya semacam harga batin untuk menghakimi atau memanfaatkan kedudukannya untuk membersihkan lembaga itu. Ini masalahnya di situ. Karena itu, tetap kita tekankan terus FNN bahwa etika publik itu harus berlaku di mana-mana. Itu yang membuat polisi Inggris dihormati. Itu yang membuat kalau disebut sebagai Marine, Marinir, itu di Amerika itu dihormati betul.  Karena ada etik yang tegak lurus dengan kedudukan dia sebagai militer. Nah, hal-hal ini juga harus kita pasangkan pada DPR. DPRD kita banyak betul yang pamer kekuasaan. Yang sebetulnya cuma anggota DPR tapi mesti punya banyak pengawal. Forider bisa empat. Kenapa? Soalnya dia bikin jarak dengan rakyat. Jadi hal ini berlaku ke semua institusi, bukan hanya pada polisi, termasuk juga pers. Pers juga banyak yang melanggar kode etiknya sendiri karena menjadi humas negara kan? Banyak tuh.    

Pencopotan CCTV di Kediaman Ferdy Sambo Bisa Dipidana

Jakarta, FNN - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebutkan, pencopotan kamera pengawas atau CCTV oleh.mantan Kadiv Propam Polri Irjen Pol. Ferdy Sambo bisa dipidana.\"Pencopotan CCTV itu bisa masuk ranah etik dan bisa masuk ranah pidana. Bisa masuk dua-duanya,\" kata Mahfud dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Minggu.Menurut dia, Ferdy Sambo tidak hanya melakukan pelanggaran etik, namun bisa dikenakan pidana.\"Jadi pengambilan CCTV itu bisa melanggar etik, karena tidak cermat atau tidak profesional. Namun, sekaligus juga bisa pelanggaran pidana karena \'obstraction of justice\' dan lain-lain,\" ujar Mahfud.Dia menambahkan, sanksi pelanggaran etik dengan pelanggaran pidana berbeda. Kalau pelanggaran etik hanya diusut Komisi Disiplin dengan sanksi bisa dikenakan adalah pemecatan, penurunan pangkat, teguran dan lainnya.Sedangkan peradilan pidana diputus oleh hakim yang hukumannya berupa sanksi pidana seperti masuk penjara, hukuman mati, pidana seumur hidup, perampasan harta hasil tindak pidana, dan lain-lain.Sebelumnya, mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri Irjen Pol. Ferdy Sambo diduga melanggar prosedur penanganan tempat kejadian perkara tewasnya Brigadir J di rumah dinasnya di Duren Tiga, Jakarta Selatan.Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan pelanggaran prosedural itu seperti tidak profesional dalam penanganan olah TKP dan mengambil CCTV.“Tadi kan disebutkan dalam melakukan olah TKP, seperti Pak Kapolri sampaikan terjadi, misalnya, pengambilan CCTV dan lain sebagainya,\" ujar Dedi di Mabes Polri, Sabtu (6/8) malam.Ferdy Sambo termasuk dalam daftar 25 personel Polri yang melakukan pelanggaran prosedur, tidak profesional menangani TKP Duren Tiga. Ia dan tiga orang lainnya ditempatkan di tempat khusus di Korps Brimob dalam rangka pemeriksaan oleh Pengawasan Pemeriksaan Khusus (Wasriksus) oleh Inspektorat Khusus (Irsus). (Ida/ANTARA)

Berita Penangkapan Ajudan dan ART Ferdy Sambo Dibantah

Jakarta, FNN - Ketua Tim Penyidik Tim Khusus Bareskrim Polri Brigjen Pol. Andi Rian Djajadi membantah adanya berita penangkapan terhadap ajudan dan asisten rumah tangga (ART) Irjen Pol. Ferdy Sambo berinisial K dan RR.Andi Rian Djajadi ketika dikonfirmasi wartawan via pesan instan di Bareskrim Polri, Jakarta, Minggu, mengatakan bahwa yang benar adalah pihaknya menahan ajudan dan sopir dari Putri Chandrawathi, istri Ferdy Sambo berinisial Bharada RE dan Brigadir RR.\"Bohong itu (ajudan dan ART ditangkap), yang benar Bharada RE dan Brigadir RR. Mereka sudah ditahan di Bareskrim,\" kata Andi.Jenderal bintang satu itu menyebutkan Bharada RE dan Brigadir RR merupakan sopir dan ajudan dari Putri Chadrawathi.\"Sopir dan ajudan Ibu PC,\" kata Andi.Dijelaskan pula bahwa Bharada RE adalah Bhayangkara Dua Polri Richard Eliezer atau Bharada E yang sudah ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, sedangkan Brigadir RR baru ditahan pada hari ini.\"Iya (Bharada RE adalah Bharada E), yang baru ditahan Brigadir RR,\" katanya.Namun, Andi tidak memerinci apa keterlibatan Brigadir RR dalam perkara tersebut. Pada penyelidikan awal di Polres Metro Jakarta Selatan, Senin (11/7), disebutkan salah satu saksi yang berada di tempat kejadian perkara tewasnya Brigadir J di rumah dinas Irjen Pol. Ferdy Sambo berinisial R.Dikonfirmasi terpisah, pengacara Bharada E, Deolipa Yumara, menyebutkan ada yang memerintahkan Bharada E untuk melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap Brigadir Yosua.Pengakuan untuk melakukan tindak pidana pembunuhan tersebut tertuang dalam berita acara pemeriksaan (BAP) Bharada E yang disampaikan oleh pengacara.\"Ya, dia diperintah oleh atasannya, perintahnya, ya, untuk melakukan tindak pidana pembunuhan,\" kata Deolipa dihubungi wartawan dari Bareskrim Polri. (Ida/ANTARA)

Penempatan Ferdy Sambo di Mako Brimob Melancarkan Pemeriksaan

Jakarta, FNN - Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Tegug Santoso menyebutkan langkah Polri menempatkan Irjen Pol. Ferdy Sambo di tempat khusus Mako Brimob Klapa Dua Depok dapat memperlancar pemeriksaan oleh Inspektorat Khusus (Irsus) dan Tim Khusus (Timsus) Polri.\"Penempatan Ferdy Sambo di Mako Brimob untuk memperlancar pemeriksaan oleh Irsus maupun Timsus,\" kata Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso melalui keterangan pers yang diterima di Jakarta, Minggu.Penempatan Ferdy Sambo di tempat khusus (patsus) Mako Brimob dalam rangka pemeriksaan setelah Irsus menduga Sambo melanggar prosedur dalam penanganan olah tempat kejadian perkara (TKP) meninggalnya Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J di rumah dinas Duren Tiga, Jakarta Selatan.Ferdy Sambo dibawa ke patsus Mako Brimob pada Sabtu (6/8) sore setelah menjalani pemeriksaan oleh Pengawasan Pemeriksaan Khusus (Wasriksus) Irsus Polri di Bareskrim Polri.\"Pemeriksaan saat ini diketahui adalah terkait dengan pelanggaran kode etik berat, yaitu merusak TKP dan menghilangkan barang bukti pistol, proyektil, dan lain-lain,\" kata Sugeng.Menurut Sugeng, Ferdy Sambo dapat dipecat untuk pelanggaran kode etik tersebut. Dalam pelanggaran kode etik tersebut, juga termasuk perbuatan pidana, yaitu melanggar Pasal 221 KUHP (menghalangi penyidikan) juncto Pasal 233 KUHP (menghilangkan barang bukti) dengan ancaman 4 tahun.Tidak hanya itu, lanjut Sugeng, Ferdy Sambo dapat dikenai Pasal 362 KUHP (pencurian) jo. Pasal 56 apabila terdapat perbuatan menyuruh mengambil dekoder CCTV yang bukan miliknya.\"Ancamannya 5 tahun pidana sehingga bisa ditahan untuk kepentingan menunggu pemeriksaan perkara pokok kematian Brigjen J yang diusut degan Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 dan 56 KUHP,\" kata Sugeng.Sehari setelah Ferdy Sambo dibawa ke Patsus Mako Brimob, Kelapa Dua Depok, situasi di Mabes Polri dan Bareskrim Polri terpantau landai seperti suasana akhir pekan. Tidak ada pergerakan anggota Brimob maupun kendaraan taktisnya seperti yang terjadi pada hari Sabtu (6/8).Kasus tewasnya Brigadir J di rumah dinas Ferdy Sambo, Duren Tiga, Jakarta Selatan, terjadi pada hari Jumat (8/7). Bhayangkara Dua Polisi Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan dengan sangkaan Pasal 338 jo. Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP.Dalam kasus ini, Irsus Polri memeriksa 25 orang personel Polri yang diduga melakukan pelanggaran prosedur penanganan olah TKP Duren Tiga secara tidak profesional seperti menghilangkan CCTV dan lainnya.Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo menerbitkan surat telegram khusus mencopot 10 perwira Polri dari jabatannya salah satunya Irjen Pol. Ferdy Sambo dan bawahannya Brigjen Pol. Hendra Kurniawan, Karo Paminal Div Propam Polri, serta Brigjen Pol Benny Ali selaku Provost Div Propam Polri. (Ida/ANTARA)

Pengacara Bharada E Tiba-Tiba Mengundurkan Diri

Jakarta, FNN - Tim pengacara Bharada Richard Eliezer alias Bharada E secara tiba-tiba memilih mengundurkan diri setelah Bharada E ditetapkan menjadi tersangka penembakan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat. Selama ini, tim pengacara teguh menyatakan bahwa insiden di rumah Irjen Ferdy Sambo ini dilakukan sebagai bentuk pembelaan diri Bharada E dari Brigadir Yoshua. Demikian analisis wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Hersubeno Point, Sabtu (6/8/22) di Jakarta. Dipimpin oleh Andreas Nahot Silitonga, tim kuasa hukum Bharada E menyatakan pengunduran diri di kantor Bareskrim Mabes Polri di Jakarta, Sabtu, 6 Agustus 2022. Sayangnya pengacara yang mengaku hendak melaporkan pengunduran diri ini tidak diterima oleh satu orang pun dari pihak Bareskrim Polri lantaran masuk hari libur. “Tadi tidak ada yang menerima mungkin karena hari libur juga, makanya kami memutuskan untuk menyampaikan via Whatsapp dulu sementara, dan kembali lagi hari Senin untuk menyampaikan surat secara fisik,\" ujarnya. Andreas mengatakan, alasan pengunduran sudah dijelaskan secara  gamblang di surat yang dikirim. Namun, dia menolak mengungkapnya kepada publik. “Kami juga tidak akan membuka kepada publik pada saat ini apa sebenarnya alasan untuk mengundurkan diri karena kami sangat menghargai hak-hak hukum dari setiap pihak yang terlihat dalam perkara ini dan terlebih kami sangat menghargai proses hukum yang sedang diberlakukan Bareskrim Mabes Polri,” jelasnya. Dalam kasus ini, Bharada E ditetapkan sebagai tersangka atas penembakan ke Brigadir Yoshua. Ia dijerat dengan Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan juncto Pasal 55 dan 56 KUHP. (Lia)

Untuk Penyalahguna Narkotika, Hukuman Penjara Tidak Menyelesaikan Masalah

Jakarta, FNN - Ahli hukum narkotika Komjen Polisi (Purn) Anang Iskandar mengatakan pemberian hukuman penjara kepada penyalahguna narkotika tidak akan membuat jumlah penyalahguna narkoba menurun tapi malah meningkat.\"Jangan kaget kalau masalah narkotika itu terus naik karena penyalahguna-nya tidak disembuhkan, dia orang sakit tapi tidak disembuhkan malah dipenjara,\" kata Anang dalam webinar bertajuk \"Forum Koordinasi Perlindungan Anak dari Narkoba berbasis Sekolah, yang diikuti di Jakarta, Jumat.Menurutnya penyalahguna narkotika adalah orang yang menderita sakit adiksi akibat ketergantungan narkotika sehingga perlu untuk direhabilitasi.\"Langkah yang diutamakan adalah merehabilitasi, karena mereka adalah penderita sakit adiksi ketergantungan narkotika, mereka ini harus dilindungi dan diselamatkan agar masa depannya bisa kembali normal,\" katanya.Dia mengatakan Undang-Undang Narkotika bahkan memberikan kewenangan kepada hakim untuk menjatuhkan hukuman rehabilitasi kepada penyalahguna narkotika, baik terbukti atau tidak terbukti bersalah menggunakan narkotika.\"Istilahnya tidak pas ya kan, orang sakit ketergantungan narkotika atau kecanduan tapi dihukum-nya dengan hukuman penjara padahal Undang-Undang Narkotika memberi kewenangan kepada hakim untuk menjatuhkan hukuman rehabilitasi, baik terbukti bersalah maupun tidak terbukti bersalah menggunakan narkotika,\" katanya.Oleh karena itu pihaknya meminta para guru untuk mencegah anak didiknya menggunakan narkotika karena bagi yang sudah ketergantungan narkotika, akan sulit untuk dicegah menggunakan narkotika kembali.Mantan Kabareskrim Polri ini menjelaskan definisi dari narkotika adalah obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, menghilangkan rasa sakit, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.Anang menambahkan pada dasarnya narkotika adalah obat yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan medis, namun memiliki efek samping dapat menyebabkan ketergantungan jika dikonsumsi tanpa petunjuk dokter.\"Jadi halal bila dikonsumsi atas petunjuk dokter, ya memang narkotika itu obat, obat sakit nyeri, obat mengurangi/ menghilangkan rasa sakit, tapi ingat, bisa menimbulkan ketergantungan,\" katanya. (Ida/ANTARA)

Ketidakpercayaan Publik Meluap, Negara Ini Harus Ditata Ulang

Jakarta, FNN - Insiden tewasnya Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat terus meyedot perhatian publik sejak awal kasus ini diumumkan. Kini kasus tersebut memasuki babak baru dengan penetapan status tersangka kepada Bharada E yang terlibat dalam penembakan terhadap Brigadir Yoshua. Meski demikian, publik masih menyoroti terkait beberapa kejanggalan yang berujung pada lahirnya spekulasi liar. Situasi ini melahirkan antara terbenturnya spekulasi di publik dan keterangan atau penjelasan pihak kepolisian. Akademisi dan Pengamat Politik Rocky Gerung angkat suara lewat kanal YouTube miliknya Rocky Gerung Official dalam perbincangan bersama  wartawan senior FNN Hersubeno Arief, Jumat, 6 Agustus 2022. Petikannya:  Kalau sekarang yang paling aktual adalah penetapan Bharada E atau Bharada Richard Eliazer sebagai tersangka. Kemudian orang jadi bertanya-tanya, kalau kemudian disebut motifnya bukan membela diri apa urusannya Bharada Richard ini menjadi pelaku pembunuhan terhadap Brigadir Joshua. Kan orang bertanya-tanya, jangan-jangan ini dia cuma dikorbankan saja gitu. Kan Anda selalu persepsinya akan dari situ. Dari soal bagaimana keberpihakan kepada kelompok yang lemah. Ini akibatnya kalau penundaan makin lama maka komposisi lagu bisa berubah-ubah. Kita terpaksa musti melihat partitur awalnya apa sih sehingga kok terlihat semacam komposisi yang diubah-ubah. Arangernya siapa? Jadi kalau kita tahu itu maka dengan mudah kita bisa duga bahwa ini ada sesuatu yang lebih tinggi yang harus diselamatkan, yang sering kita sebut “janganlah ada konflik antar-bintang di langit terus ada batu di bawah yang ketiban”. Jadi nggak boleh begitu. Tetapi, publik sudah merasa bahwa terlalu jauhlah permainan ini. Jadi itu yang menyebabkan semua orang akhirnya menduga bahwa ini sudah masuk pada soal yang lebih rumit lagi, karena soal sikut menyikut di antara bintang,  karena soal order meng-order, karena soal sebut saja bahkan gengsi antar-angkatan. Jadi semua hal sehingga orang menganggap ya sudah mau diapain lagi kalau keterangan-keterangan itu berseliweran. Tapi tetap, kita ingin lihat bahwa Polisi balikin kasus ini pada ketajaman ilmu pengetahuan, sebelum berkembang makin jauh. Lalu Pak Listyo Sigit mungkin merasa bahwa ini kesempatan dia terakhir untuk menunjukkan bahwa dia punya kemampuan untuk mengatur resolusi itu. Jadi jangan sampai kasus ini berakhir pada berantakannya institusi. Lalu semua saling salah menyalahkan. Padahal, dari awal keterangan yang berantakan itu justru datang dari penyidikan awal kan. Jadi intinya itu tuh. Tetapi, tetap Ibu Putri harus diproteksi kalau beliau sudah sehat baru dimintai keterangan. Demikian juga hasil otopsi itu, harus terbuka walaupun masih perlu waktu mungkin 2 bulan lagi. Tetapi, mencicil keterangan itu terlihat terlalu berbahaya karena ini melawan opini publik. Opini publik juga kadangkala masuk dalam kekonyolan dan mulai dengan sensasi. Jadi pertandingan sebetulnya antara opini publik dan opini institusi.  Kenapa begitu? Karena opini publik dari awal mencurigai syarat-syarat saintifik yang sedang dipakai. Dan itu dibuktikan bahwa dua kali diotopsi artinya ada syarat-syarat saintifik yang dilanggar. Demikian juga kepolisian musti rapi karena ada soal tingkatan-tingkatan kebintangan. Dan ini menjadi masalah yang akan menumpuk di dua minggu ke depan atau dua bulan ke depan begitu otopsi diambil. Tetap isu ini akan dituntut oleh publik. Lain kalau isu korupsi mungkin dalam dua hari dua minggu juga selesai. Tapi ini karena ada berbau skandal, bukan sekadar skandal privat tapi skandal institusi.  Itu yang kita ingin cegah jangan sampai skandal privat ini dieksploitasi, skandal institusi dieksploitasi, lalu kasusnya sendiri hilang di dalam ingatan publik.   Saya banyak mendapat dapat chatting yabegitu tadi malam ditetapkan Bharada Richard ini sebagai tersangka, lo kok jadi antiklimaks ya Mas? Ini memang penting kita sampaikan supaya Pak Kapolri maupun polisi punya catatan bahwa mereka ini sekarang bekerja bukan hanya mereka harus cepat menyelesaikan, tapi mereka harus cepat-cepatan dengan logika publik. Karena semakin lama logika publik semakin tidak percaya. Iya, kalau tidak percaya masih mungkin dibuat percaya. Tapi kalau logika publik sudah dineal, nggak mau lagi diatur dengan logika sain, itu bahaya. Begitu logika publik menolak logika saintifik  maka hancur negeri dan sistem penegakan hukum kita. Itu yang terjadi dalam semua kasus. Jadi ini kasus tembak menembak ini cuma aspek kecil dari meluapnya ketidakpercayaan orang pada institusi.  Di kasus lain juga banyak, apalagi kasus korupsi. Jadi orang merasa bahwa ya sudah satu paket saja. Negara ini sebaiknya ditata ulang dari awal, dan yang menata ulang itu harus pergi pada perubahan kekuasaan tertinggi, perubahan politik, kekuasaan, macam-macamlah. Jadi ini taruhannya bagi Pak Listyo Sigit, juga terhadap presiden karena kasus ini ada di depan mata presiden dan kepolisian itu betul-betul sekarang sudah ada di bawah Presiden, sebagai institusi diperintah oleh Presiden, jadi keadaan itu yang harus kita... Kita sudah tahu sebetulnya, bedah anatomi sudah tahu siapa yang lempar isu duluan, siapa yang bilang kemudian ngompori, siapa yang kemudian ingin dapat keuntungan, partai mana yang pertama kali menganggap ini soal yang menyangkut pertandingan orang nomor satu di Polri. Jadi semua hal akhirnya harus diuji ulang, diriset ulang, perlahan-lahan tapi dengan ketertiban metodologi.  Iya, dan ini saya kira tetap menjadi sulit karena sejak awal saya menyebutnya lapangannya sudah becek.  Ya, itu intinya. Lapangan becek dan yang main di situ kan nggak jelas. Wasit sama penonton pun turun.  Dan sinyal dari Pak Jokowi melalui Pak Mahfud kemaren kan dipercepat. Itu artinya, ada sesuatu yang melebihi apa yang kita intip sebagai sensasi. Jadi, Pak Mahfud harus terus-menerus ucapkan lagi apa yang dimaksudkan waktu itu. Jangan sekadar mengejar tikus lumbungnya terbakar. Dan Presiden Jokowi 2-3 kali memberi ketegasan itu. Tapi tetap, soal kita balik pada isu awal, ada tembak-menembak, ada korban, ada yang sekarang diproteksi oleh lembaga perlindungan saksi segala macam. Nah, sekarang ada faktor baru bahwa Bharada E adalah tersangka. Nah, ketersangkaan itu juga bisa panjang karena musti diulangi lagi rekonstruksi segala macam. Tetapi, minimal ada hal yang orang lihat ada titik terang bahwa oke itu adalah semacam lompatan-lompatan kejadian yang terlalu jauh, itu juga harus diterangkan dengan terang benderang oleh kepolisian. Bahwa ketersangkaan itu dalam soal apa. Itu yang ingin segera orang tahu, tersangka sebagai apa? Ini soalnya. Nah, satu hal dan orang juga paham, ini ada persoalan perang bintang dan saya kira belakangan ini bagaimanapun kan peran polisi ini begitu dominan dalam kehidupan kita, termasuk dalam kehidupan berpolitik. Dan ini kemudian mengingatkan kita pada masa lalu, peran semacam ini dipegang oleh TNI, terutama oleh Angkatan Darat. Tetapi, sekarang polisi ini kan berbeda dengan Angkatan Darat. Dia bahkan sampai masuk ke kehidupan kita sehari-hari karena berkaitan dengan masalah Kamtibmas. Saya kira persoalan-persoalan begini ini kalau kita biarkan nanti menyeret-nyeret lembaga kepolisian ke arah politik juga sangat berbahaya. Bukan hanya bangsa, tapi juga instansinya sendiri sangat berbahaya. Saya kira sudah terseret karena dari awal proses pengangkatan Kapolri itu dimensi politik tinggi sekali. Padahal, kita tahu dari awal polisi itu adalah manusia sipil, agen sipil, institusi sipil yang dipersenjatai. Jadi pertama-tama dia adalah lembaga sipil, lalu dipersenjatai untuk peran-peran penertibsn atau ketertiban. Jadi sangat mungkin lembaga yang seharusnya dikelola secara mental sipil ini, karena kemudian dipolitisir maka senjata yang seharusnya dipergunakan untuk ketertiban, dia bisa diubah menjadi alat untuk menekankan. Kan itu buruknya di situ. Dan kita ingin sebetulnya betul-betul dikembalikan, yang kita sebut sebagai sipil yang dipersenjatai, itu beda dengan tentara yang memang kedudukan utamanya adalah senjata. Di belakang senjata adalah orang. Kalau polisi yang di depan adalah orang, yang dibelakang senjata. Itu bedanya. Ini yang harus kita perhatikan supaya ada rasa bangga kita punya polisi yang bermutu dan tidak diintervensi oleh para politisi. Tetapi, itu juga butuh perubahan total. Itu cara kita menghasilkan demokrasi. Sekarang kita tahu bahwa Polisi Kejaksaan itu dekat dengan lobi-lobi politik. Itu bahayanya begitu. Di luar itu ada masalah lain tentang kelakuan oknum-oknum polisi yang terlibat di dalam berbagai macam bisnis gelap. Itu yang sudah dibersihkan sebetulnya dari awal oleh Pak Sigit. Tetapi, di ujung masa jabatannya, ia diuji akhirnya. Apakah betul presisi itu berlaku untuk semua orang atau akan ada grouping, akan ada senioritas, lalu terhenti kasus-kasus semacam ini. Iya ya. Jadi, sebenarnya kita bisa melihat kehebohan atau carut marut kasus tewasnya Brigadir Yosua ini ada semacam sebenarnya ini cuman simptom gitu ya.  Betul. Ini simtom dari bisul yang besar, yang kemudian akhirnya orang ingin tau bisulnya apa penyebabnya? Infeksikah? Atau sengaja digelembungkan sebagai bisul sehingga kalau pecah efeknya bisa ke mana-mana nanahnya. Jadi kita nggak mau melemahkan institusi kepolisian. Jadi tetap dua hal, soal proteksi human right, proteksi hak-hak korban, yaitu Ibu Putri dan Pak Yosua; dan proteksi marwah institusi. Kan itu aja sebetulnya. Yang publik ingin lihat itu. Karena itu, percepat dan lakukan sesuatu yang betul-betul membuat publik percaya bahwa pekerjaan yang lagi dilakukan Pak Sigit ini adalah pekerjaan untuk memulihkan kembali peradaban demokrasi, karena ini menyangkut juga keterbukaan informasi. Sebelum demokrasi, informasi itu nomor satu. Dan keutuhan lembaga ini supaya betul-betul kasus ini clear, nggak ada lagi di belakang hari itu ikutannya banyak. Derivat dari kasus ini kan banyak betul, mulai dari adanya isu perjudian, money laundring mungkin. Macem-macem itu. Jadi semua soal ini yang harus dimulai dengan prinsip pertama, lakukan analisis kriminal murni, setelah itu putuskan di pengadilan, terbuka,  dan itu selesai. Hal-hal yang menyangkut itu ya diselesaikan oleh institusi kepolisian di luar proses pidana

Siber Memeriksa 10 Handphone Terkait Kematian Brigadir J

Jakarta, FNN - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI menyebutkan hingga saat ini tim siber Polri telah memeriksa 10 telepon seluler (handphone) terkait dengan kematian Brigadir J.\"Tim siber sudah mengumpulkan 15 handphone dan 10 di antaranya sudah diperiksa. Sementara lima lagi sedang dianalisa,\" kata Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara di Jakarta, Jumat.Ia mengatakan berdasarkan permintaan keterangan dari tim siber, Komnas HAM mendapatkan foto, dokumen, kontak, akun, termasuk sejak kapan percakapan dilakukan.\"Termasuk temuan digital lainnya,\" kata Beka.Selain itu, kepada Komnas HAM, tim siber juga memperlihatkan sejumlah dokumen administrasi penyelidikan. Terakhir, lembaga itu mendapatkan sejumlah raw material (bahan dasar) soal percakapan.Hasil paparan berupa percakapan, foto, dokumen, kontak dan lain sebagainya akan dianalisa lebih lanjut oleh Komnas HAM.Pada kesempatan itu, Beka juga mengatakan pada awalnya Komnas HAM mengagendakan pemeriksaan atau permintaan keterangan terkait uji balistik.Namun, hal tersebut ditunda karena tim khusus yang dibentuk oleh Kapolri menyampaikan adanya perkembangan terbaru.Permintaan keterangan terkait komunikasi yang didapatkan melalui handphone tersebut berlangsung sejak pukul 09.00 WIB dan baru selesai sekitar pukul 15.00 WIB.\"Jadi, hari ini kami meminta keterangan dari tim siber dan Timsus terkait komunikasi yang didapatkan dari handphone, bukan balistik,\" ujarnya. (Sof/ANTARA)  

Ternyata Bharada E Bukan Jago Tembak

Jakarta, FNN – Kasus baku tembak antara Bharada E dengan Brigadir J belum berakhir. Terbaru, fakta soal sosok Bharada E yang ditemukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Kali ini, Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu menyatakan, dalam penelaahan pihaknya didapati kalau anggota Brimob asal Manado itu diketahui baru memegang senjata api sekitar tujuh bulan sebelum peristiwa Jumat berdarah di rumah dinas mantan Kadiv Propam Irjen Pol Ferdy Sambo. Edwin juga memastikan kalau Bharada E bukanlah anggota polisi yang mahir menembak. Ia mendapat temuan bahwa Bharada E baru melakukan latihan menembak lagi pada Maret 2022. Jika dihitung dari insiden yang menewaskan Brigadir Yoshua itu rentang waktu nya cukup jauh dari terakhir kali Bharada E berlatih menembak. Dalam temuan LPSK belakangan ini didapati keterangan kalau Bharada E baru menggunakan pistol jenis Glock pada November 2021 dari Divisi Propam Polri. Kendati demikian, terhadap keterangan tersebut kata Edwin masih dalam penelaahan sekaligus investigasi oleh LPSK. Tak hanya itu, dalam penjelasannya selama menjalani pemeriksaan assessment psikologis di LPSK, Bharada E kata Edwin belum pernah terlibat baku tembak dengan orang lain manapun. Dalam artian lain, kejadian yang menewaskan Yoshua merupakan insiden pertama Bharada E terlibat baku tembak. Atas bukti-bukti itu, Edwin membantah informasi yang menyebut Bharada Eliezer adalah seorang sniper alias penembak jitu. Berdasarkan fakta yang beredar, wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Hersubeno Point, Jumat (5/8/22) di Jakarta, mengatakan penjelasan dari Bharada E ke LPSK sangat berbeda dari informasi sebelumnya.  “Sebelumnya dia dikatakan jago menembak bahkan menjadi inspektur tembak, padahal penjelasaan LPSK bahwa Bharada E belum mahir menembak, bagaimana bisa dibilang mahir apalagi instruktur tembak kalau dia mulai memegang senjata November 2021 dan baru latihan kembali bulan Maret lalu, namun tembakannya tepat, sementara Yoshua yang diketahui sebagai sniper, tembakannya tidak terkena tubuh Bharada E,” tuturnya. Kendati demikian, atas pernyataan tersebut LPSK kata Edwin masih akan melakukan pendalaman pemeriksaan termasuk meminta keterangan dari penyidik Bareskrim Polri untuk mengkomparasi keterangan Bharada E. (Lia)

Sambo dan Dua Jenderal Lainnya Dicopot serta Diperiksa Momentum Kapolri Bersih-Bersih

Jakarta, FNN - Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo membuat gebrakan dengan mencopot tiga jenderal, termasuk Irjen Ferdy Sambo dari Kadiv Propam, terkait tewasnya Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat. Ini merupakan langkah bersih-bersih yang dilakukan Kapolri terhadap “tangan-tangan kotor\" yang mencoreng institusi Polri. Demikian perbincangan pengamat politik Rocky Gerung dengan wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official, Kamis, 04 Agustus 2022. Petikan lengkapnya:  Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mulai bertindak cepat ini, bersih-bersih. Dan yang paling banyak dibersihkan ini divisi Propam. Propam ini kan harusnya tempat yang untuk membersihkan polisi, tapi justru ternyata propramnya yang sekarang dibersihkan. Ini disebut revolusi institusional. Karena propam itu kan semacam opposite comitee yang mau buat segala macam soal. Dan memang betul, akhirnya harus ada yang dinyatakan sebagai penanggung jawab kasus ini. Kenapa? Karena Sambo adalah kepala propamnya maka supaya fairness-nya jalan, aparat dan sebut saja yang biasa diucapkan, anak buah-anak buahnya juga harus jadi tidak dilibatkan dalam proses ini. Karena memang ada hirarki di dalam Propam kalau bosnya terlibat atau diduga terlibat, maka etikanya yang lain di bawahnya juga harus diperiksa atau diberhentikan sementara untuk supaya intervensi tidak berlangsung. Nah ini profesionalisme biasa saja sebetulnya. Tetapi, orang menduga ini ada yang lebih jauh dari itu. Kan mustinya ya sebagai individu yang diduga terseret dalam kasus pidana ini,  ya Pak Sambo saja yang diberhentikan kan. Yang lain nggak perlu. Tetapi, karena kita tahu bahwa cara melihat kepolisian itu harus lebih dari sekedar orang, tapi ada semacam geng begitu, dalam pengertian sekarang itu, jadi geng siapa yang yang bermain. Kan itu yang sekarang diinsinuasikan di dalam kondisi sekarang. Kita ingin agar supaya betul-betul kalau memang seluruh perwira tinggi menengah dan aparat di situ hendak diperiksa, pasti hendak diperiksa maksudnya kan? Kalau nggak ya ngapain dinonaktifkan, supaya kedudukan dia tidak memengaruhi proses pemeriksaan. Itu bagus juga sebagai sinyal. Tapi lebih dari itu kita ingin dapat satu kepastian bahwa bersih-bersih Polri ini jadi momentum untuk bersih seluruh bagian di dalam Polri. Itu yang diinginkan oleh publik. Saya kira menarik ini karena ini luar biasa tiga bintang 3 ,di luar Sambo ya tentu saja, ada tiga Jenderal bintang satu, ada lima Kombes, Kombesnya juga sebentar lagi bintang, kemudian tiga AKBP, dan yang lain total 25 orang. Tapi kalau saya sih melihatnya, kenapa dipindahin ke Yanma ya? Yanma itu kan pelayanan masyarakat. Bukankah Yanma itu harusnya menjadi front line, jadi wajah depan dari polisi? Kalau orang bermasalah semua dipindahin ke Yanma ini dia sendiri lagi bermasalah, bagaimana menghadapi rakyat? Tapi bayangin kesulitan Pak Listyo Sigit, ini mau dipindahin ke mana ya? Dan mungkin yang masih kosong itu karena ya bagian-bagian itu dianggap nggak terlalu menjadi sorotan. Nanti kalau dipindahin ke wilayah yang lain juga dianggap bahwa ini hanya sekadar ingin diselimuti sedikit. Kalau di Yanma kan langsung kelihatan bahwa oh iya, mereka ada di situ. Jadi, setiap hari rakyat atau pencari keadilan akan melapor dan mungkin akan minta supaya bertemu dengan Pak Sambo di situ, bertemu beliau di Yanma. Jadi mendua sebetulnya kita melihat itu. Atau betul-betul dimaksudkan untuk ya Yanma ini kan tempat orang untuk melihat di awal, pelayanannya bagus apa nggak? Itu Pak Sambo punya pengetahuan banyak karena beliau sudah pernah jadi petinggi lalu dikembalikan ke Yanma untuk melayani masyarakat. Kira-kira itu dulu paradigma yang kita bayangkan. Kita paham, tapi ini menurut saya, ke depan paradigma ini perlu diubah, karena termasuk juga Litbang. Dulu kan begitu, kan kalau ada orang yang mau digeser begitu, dilitbangkan. Padahal, kita tahu bahwa Litbang itu di negara-negara maju justru itulah yang menjadi jantungnya, termasuk juga pelayanan masyarakat ini frontline, customer service. Jadi harus enak dan pelayanannya harus bagus. Sekaligus kita benahi itu. Cara orang memandang Yanma. Sebetulnya di situ, yang disebut aspek kepolisian itu ada di situ, sebagai pelayan segala macam. Tapi lembaga-lembaga Litbang itu lembaga yang bermutu, tapi kok dianggap hasil buangan. Sementara BRIN yang setara dengan Litbang itu justru dianggap buat nampung kepentingan. Kan begitu, dalam skala yang lebih luas. Atau kalau di DPR ada yang namanya lembaga atau bagian hubungan luar negeri. Itu biasanya yang ribet di dalam negeri disuruh di bagian luar negeri saja supaya mondar mandir luar negeri saja. Kira-kira itu soalnya. Kita balik pada tadi, upaya untuk membenahi institusi. Karena ini institusi nggak boleh rapuh karena menjelang Pemilu, bahkan menjelang potensi perang dunia ke-3. Jadi polisi harus benar-benar kuat. Kesulitan ekonomi juga harus betul ditampilkan melalui wajah polisi yang mengayomi, sekaligus memberi rasa damai, tetapi juga memberi prospek bahwa Indonesia bisa melalui kesulitan ekonomi, politik, sosial, bahkan kesulitan global. Itu kan yang diinginkan. Jadi, betul Pak Sigit lakukan saja satu kali tarik nafas, seluruh soal yang selama ini dibebankan pada Polri atau Polri terbebani oleh repuatsi publik yang negatif, bisa dipulihkan reputasinya. Ya kan kita juga kemarin bahas bahwa ini hanya simptom, apa yang terjadi pada kasus ini. Tetapi, kita juga melihat ini sebagai sebuah momentum. Karena seperti kita juga anggak bahwa sekarang ini sudah mulai polisi ini sekarang menjadi salah satu organisasi terkuat di Indonesia, lembaga negara yang terkuat. Tetapi, kita melihat juga sudah ditarik kepentingan politik sana sini. Dan ini saya kira akan berbahaya jika lembaga seperti kepolisian tidak bersifat imparsial. Sifat imparsial itu yang dituntut publik karena bisnis yang di-backup oleh aparat di bawah, oknum, segala macam, kasak-kusuk untuk mengatur politik lokal saiapa yang musti menjadi Bupati, dan itu terbaca. Dan jurnalis lokal juga tahu ada satu keadaan di mana polisi terlalu ikut campur. Itu artinya diperintahkan oleh Kapolrikah; diperintah oleh gengkah; diperintah oleh angkatankah; atau diperintah oleh individuka? Jadi, kasak kusuk ini yang bikin orang akhirnya lihat polisi sebelah mata tuh. Padahal ini adalah institusi negara yang musti kita rawat sama-sama dan kita berikan kelegaan pada polisi untuk mengatur dirinya sendiri, tapi dengan aspek kesipilan itu. Kan itu yang orang inginkan. Dan kesipilan itu membutuhkan value sipil, supermation of sipil value. Hal-hal semacam ini yang kadangkala luput karena persaingan di dalamnya. Persaingan itu disponsori oleh partai poltik pasti. Ini bahayanya kalau partai politik  juga nggak bisa menahan diri untuk merawat polisi sebagai institusi negara. Dia bukan institusi politik. Tapi yang bermain politik di situ macam-macam karena tarik-menarik kedudukan  pejabat tinggi di Polri itu selalu harus diputuskan di DPR. DPR adalah tempat bermain. Politik itu pasti adalah uang. Uang di belakangnya pasti ada kepentingan. Jadi, soal ini yang saya kira Pak Listyo Sigit mengerti itu. Tapi dia harus berhati-hati juga, sebab kalau enggak Pak Listyo Sigit ini yunior sebetulnya di kalangan senior yang sudah matang melihat peta. Nah itu ujiannya Pak Sigit ada di situ. Kita percaya bahwa soal yunior - senior bukan itu intinya. Yang penting berintegritas atau enggak dalam mengupayakan pelayanan publik. Yang juga bikin heboh ini, selain kasus soal tewasnya Yosua di rumahnya, ini kan orang kemudian berdasarkan yang diungkap oleh Usman Hamid, dia menjadi ketua Satgas khusus. Ini kan semacam lembaga yang tidak ada dalam nomenklatur dari polisi dan kita tahu ada keterbatasan operasi-operasi dan seni. Begitu ada lembaga-lembaga semacam ini, kemudian mereka berpikir dana operasional. Dan operasional ini berpotensi yang dana non-budgeter. Dan kalau dana non-budgeter itu berarti kemudian ya kita tahu pasti akan terjadi penyimpangan-penyimpangan. Kan itu berbahaya. Ya, itu kecurigaan muncul lagi di situ. Tapi, oke, saya anggap bahwa Pak Sambo kooperatif karena sangat kooperatif diperiksa di Polres Jakarta Selatan oleh penyidik yang betul-betul profesional. Tapi, sekali lagi di pemeriksaan ini harus dikaitkan dengan tadi, lembaga mana yang paling otoritatif untuk mengasuh paling nggak mengasuh dulu kasus ini supaya dia betul jadi kasus kriminal kan? Kan itu pentingnya. Jadi kalau ada Irjen khusus dan lembaga khusu atau panitia khusus, itu mungkin dimaksudkan begitu. Tetapi kekhususan itu tidak boleh ditafsirkan sebagai upaya untuk memberi khusus juga pada kasus ini. Jadi tetap kasus pidana yang harus diteliti dan hasil penelitiannya harus dibuka pada publik. Jadi, jangan lembaga khusus ini justru menyimpan rahasia yang dituntut oleh publik. Kan itu intinya. Bahwa secara teknis tidak semua harus dibuka, tapi publik dikasih kesan bahwa tim khusus ini atau apapun namanya, dimaksudkan untuk menerangkan keadaan. Dan itu yang saya tangkap dari Pak Sambo bahwa waktun dia diwawancara dia bilang oke saya sudah penuhi kewajiban saya sebagai terperiksa dan saya sudah kunjungi atau penuhi undangan untuk memeriksa saya di Kapolres Jakarta Selatan, bagian yang memang locus delicti-nya itu. Dan Pak Sambo bilang ya selebihnya saya serahkan pada tim khusus itu dan sepertinya akan jadi terang benderang. Itu sinyal yang bagus. Dan saya kira ini menjawab juga sinyalemen dari Pak Mahfud MD. Beliau kan bagaimanapun sebagai Menko Polhukam memulai kepolisian dan secara eks ovisio adalah ketua Kompolnas, Komisi Polisi Nasional. Karena dia menyebut misalnya ada hambatan psikokhirarkis dan ada hambatan psikopolitis. Nah, hambatan psikokhirarkis saya kira sudah selesai dengan dicopotnya Pak Sambo, kemudian juga yang lain-lain tadi ada 25 orang yang diambil tindakan disiplin, dan kemungkinan juga ke bisa bergulir ranah pidana. Yang susah ya itu tadi, yang disebut soal psikopolitis. Dan ini sama-sama kita tahu memang itu terjadi kan. Ya, tetap saya kritik Pak Mahfud karena beliau terlalu banyak komentar tuh. Bahkan orang bingung ini Menko atau Pengamat Politik atau bagian dari youtuber atau Twitter yang beri komentar tapi seperti kurang proporsional. Kan ada semacam keteguhan prinsip pada Pak Mahfud justru untuk menghormati proses hukum ini.  Jadi, bagian ini sebetulnya orang ingin dengar dari Pak Mahfud sebagai keterangan yang profesional sebagai pejabat negara. Itu soalnya. Pak Mahfud ngapain ngomng ini soal khirarkipolitis. Kalau kita pengamat memang, jadi melakukan pengamatan itu. Pak Mahfud kan bukan pengamat. Lama-lama dia jadi analiser atau menjadi pengamat atau dia menjalankan fungsi pengetahuannya dia sebagai eks official Kompolnas. Kan itu intinya. Kalau eks official Kompolnas, ya ngomong sebagai eks officio. Dan orang akan dengar itu melalui keterangan yang diperoleh dari hasil sidang Kompolna. Kan begitu mustinya. (ida, sws)