HUKUM

Kejujuran Pak Kapolri Sedang Ditunggu

Oleh Dr. Margarito Kamis Jakarta FNN - Brigadir J telah almarhum. Dia telah dimakamkan. Menarik karena kematiannya baru terungkap ke panggung publik setelah tiga hari. Begitu terungkap ke publik, segera terjadi kehebohan. Heboh, karena fakta yang tersaji di sana-sini mengundang keraguan. Sebab kematian muncul menjadi pusat keraguan. Baku tembak atau ditembak? Itu satu persoalan. Persoalan kedua, almarhum J itu, begitu pernyataan resmi Mabes Polri, melecehkan istri Irjen Pol. Ferdy Sambo. Fakta yang disodorkan Mabes Polri ini berhari-hari mendominasi panggung publik. Rupanya penyidikan, setidaknya penyelidikan kasus ini dipandu oleh fakta ini. CCTV yang di rumah Irjen Ferdy Sambo, entah bagaimana - kata Mabes Polri -  rusak. Pertanyaan segera muncul. Rusak atau dirusak? Keraguan lain juga segera menyusul. Apa betul Ferdy, sang Kadiv Propam ini, benar-benar sedang berada di luar rumah menjalani tes PCR atau ada di rumah pada saat terjadinya tembak-menembak atau almarhum ditembak? Tetapi sudahlah. Lupakan dulu semua keganjilan lain. Terutama keganjilan-keganjilan nyata setelah pihak keluarga almarhum Bripda J menyajikan fakta lain dengan nada menantang yang produktif. Tak diduga, berbekal fakta yang diyakini kebenarannya, pihak keluarga melalui kuasa hukumnya melaporkan ke Bareskrim Mabes Polri adanya kemungkinan almarhum dibunuh secara berencana. Fakta yang saling menyangkal antara Mabes Polri dan keluarga almarhum, sungguh menarik. Inilah poin paling krusial. Andai saja Brigadir J yang pada awal kejadian ini disajikan melakukan pelecehan terhadap Ibu Putri, istri Ferdy Sambo tidak mati, maka logis penyidik menempatkan “pelecehan” itu sebagai fokus penyidikan. Pra rekonstruksi yang dilakukan di Polda Metro Jaya, suatu tindakan dalam kerangka penyidikan, yang harus diakui, tidak dikenal dalam KUHAP. Namun logis juga dilakukan oleh penyidik. Soalnya, Brigadir J itu telah jadi almarhum, mati. Untuk apa kegiatan pra-rekonstrukti itu? Siapa yang mau dibebani tanggung jawab pidana kasus pelecehan?  Jelas dalam semua aspek, fokus ini mengandung persoalan. Apa relevansi menyelidiki perbuatan pidana yang pelakunya telah mati? Siapa yang mau dibebani tanggung jawab pidana?  Tidak mungkin penyidikan ini dimaksudkan untuk hal lain, selain memastikan siapa yang secara hukum harus dibebani tanggung jawab pidana. Andai terjadi pelecehan kepada istri Ferdy, maka hanya almarhum yang harus dibebani tanggung jawab pidana. Padahal dia telah mati. Ilmu hukum tidak menyediakan kaidah untuk meminta tanggung jawab pidana kepada orang yang sudah mati. Justru sebaliknya ilmu hukum pidana menyediakan kaidah, kematian menjadi sebab utama terhapusnya tanggung jawab pidana. Menariknya, penyidik, entah dari Mabes Polri atau Polda Metro Jaya, melakukan ekhumasi (otopsi ulang) kepada jasad almarhum Bripda J. Hasilnya belum disajikan kepada publik. Soalnya adalah untuk apa dilakukan otopsi ulang? Sekadar memenuhi rasa keingintahuan beralasan dan sungguh-sungguh dari pihak keluarga almarhum? Munginkah Mabes Polri, berdasarkan fakta yang diperoleh, misalnya CCTV merekam sejumlah keadaan hukum? Selain itu memperoleh keyakinan berbeda dari fakta yang disajikan sendiri oleh Mabes Polri pada awalmya? Keyakinan baru itukah yang membawa penyidik melakukan autopsi ulang atas jasad almarhum Brigadir J? Temuan autopsi ulang, sekali lagi, sejauh belum diperoleh, apalagi disajikan secara otoritatif. Andai autopsi ulang menyajikan fakta berbeda dengan autopsi awal, maka untuk alasan esensial rule of law, Kapolri mesti membalut seluruh tindakan hukum dengan kejujuran paripurna. Tanpa ragu pada semua aspek. Skema dan ruang lingkup tindakan hukum, termasuk etik, menjadi penentu. Kedangkalan ruang lingkup tindakan justru akan memanggil dan menebalkan keraguan atas ketebalan kejujuran Pak Kapolri. Jujur, sekali lagi jujur, karena hanya itu satu-satunya hal yang tersedia. Wajib dijadikan sikap dalam menyajikan keadilan pada kasus ini. Tak ada alasan sekecil apapun untuk menjadikan Brigadir J sebagai fokus penyidikan. Brigadir J telah mati ditembak. Apapun alasan dan keadaan yang menyertainya, beralasan hukum rasional dan cukup untuk meletakan tanggung jawab pidana pada si penembak. Membentuk Tim Khusus dan menarik penyidikan kasus ini ke Mabes Polri, untuk alasan kenyataan saat ini, terasa belum beralasan menandai ketebalan kejujuran Kapolri. Membebaskan Ferdy Sambo dan Kapolres Jakarta Selatan dari jabatannya, juga sama, terasa belum cukup berlasan untuk menandai ketebalan kejujuran Pak Kapolri. Kasus ini terlalu sederhana Pak Kapolri. Brigadir J mati ditembak. Dia ditembak atau tertembak oleh orang. Bukan setan, iblis dan sejenisnya yang menembak Grigadir J. Melakukan pelecehan seksual kepada orang lain siapapun dia, jelas melanggar hukum. Sama, melakukan satu tindakan yang mengakibatkan matinya orang, apapun motif dan alasannya, juga melanggar hukum. Pak Kapolri, orang mati itu, dalam ilmu hukum pidana, tidak dapat dimintai tanggung jawab pidana. Sebaliknya orang yang hidup, kecuali dia gila, harus dibebani tanggung jawab pidana. Pak Kapolri, ini kasus yang sangat sederhana. Anak buah Pak Kapolri yang membuat masalah kematian Brigadir J ini menjadi rumit dan njelimet. Sungguh tidak masuk akal bila penetapan tersangka dalam kasus ini harus menunggu hasil autopsi ulang. Menjadikan hasil autopsi ulang sebagai penentu dalam penetapan tersangka dalam kasus ini, jelas terlalu konyol dan ngawur. Yang tidak konyol adalah hasil autopsi ulang menjadi penentu kualifikasi perbuatan pelaku. Semua peluru yang ditembakkan senjata Briptu J, yang kabarnya merupakan seorang Sniper, lucu, aneh dan ajaib, tidak mengenai sasaran. Sebaliknya 5 (lima) peluru yang ditembakkan oleh si penembak mengenai tubuh Brigadir J. Fakta ini menjadi sebab satu-satunya Brigadir J mati. Hebat apa konyol itu Pak Kapolri? Pak Kapolri, hukum apa atau hal apa yang mau dicari untuk disajikan ke publik, sehingga penyidikan kasus ini terlihat tidak dibuat berliku-liku? Menunggu hasil autopsi ulang untuk menetapkan tersangka dalam kasus ini hanya akan mempertebal kebingungan Pak Kapolri. Hemat saya, penentu penetapan tersangka kasus ini, untuk alasan hukum, bukan ditentukan dari hasil autopsi ulang. Hasil autopsi ulang hanya berfaedah dalam rangka konstruksi hukum untuk kualifikasi perbuatan pelaku. Hanya itu. Titik lebih dari itu Pak Kapolri. Terasa beralasan menyodorkan level ketebalan kejujuran Kapolri sebagai penentu utama percepatan penetapan tersangka dalam kasus ini. Mudah-mudahan di dalam rumah Ferdy Sambo, tempat matinya Brigadir J, hanya ada almarhum Brigadir J, si penembak plus Ibu Putri, istri Ferdy Sambo. Ukuran ketebalan kejujuran Pak Kapolri dalam perspektif saya, menyapu bersih semua tantangan non-hukum. Tentu bila itu ada. Kejujuran Pak Kapolri tak memiliki tandingan apapun dalam memandu dan menuntun setiap usaha mencari dan menemukan keadilan. Kejujuran adalah perisai dan mahkota orang-orang hebat dan berkelas Pak Kapolri. Penulis adalah Pengajar Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate.

Pengacara Keluarga Brigadir Yoshua : Saya Tidak Percaya Komnas HAM

Jakarta, FNN – Kini kekecewaan terhadap Komnas HAM kembali terulang dalam kasus tewasnya Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat. Pengacara keluarga, Kamaruddin Simanjuntak menegaskan tidak percaya Komnas HAM dan menyebut Komnas HAM bekerja untuk Polri. Berikut perbincangan dua wartawan senior FNN Hersubeno Arief dan Agi Betha dalam kanal YouTube Off The Record FNN, Senin (1/8/22) di Jakarta. Kamaruddin merespons momen komisioner Komnas HAM Choirul Anam melipat kertas saat menjelaskan perkembangan penyelidikan baku tembak yang menewaskan Brigadir Yoshua seolah menutupi sesuatu dari wartawan saat konferensi pers. Ia menegaskan bahwa penyelidikan Komnas HAM tidak bisa diharapkan. “Saya dari dulu memang gak pernah percaya sama Komnas HAM. Komnas HAM itu kan memang bekerjanya untuk Polri, dari dulu,” ungkap Kamaruddin. Kamaruddin juga mengatakan tuduhan serupa kepada Kompolnas dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Ia menilai Komnas HAM, Kompolnas, dan LPSK menjadi bagian dari Mabes Polri. “Pokoknya LPSK, Komnas HAM dan Kompolnas, gak ada satu pun yang bisa dipercaya,” katanya. Ketidakpercayaan keluarga terhadap LPSK semakin besar saat istri Irjen Ferdy Sambo dan Bharada E malah meminta perlindungan ke sana. Padahal, Bharada E disebut pihak kepolisian sebagai pihak yang menewaskan Brigadir Yoshua. Hersubeno mengomentari bahwa sekarang kasus tidak seperti yang publik bayangkan akan cepat terungkap setelah diadakan autopsi ulang kemarin, dan menemukan bukti-bukti baru. “Saya kira kalau kita melihat apa yang dibicarakan Komnas HAM terakhir ini, seharunya ini persoalaan sederhana, karena antara ajudan saja yang berkakhir kematian, tetapi mengapa kalau soal ajudan harus ditutupin ya,” ujar Hersubeno. Agi Betha kemudian juga mempertanyakan persoalaan kasus ini yang semakin menjadi sorotan publik. Seharunya pendapat tentang kematian Brigadir Yoshua ini harus disampaikan berdasarkan fakta. “Kalau kita mendengar alasan kasus ini ditutupin 3 hari karena pada hari minggu itu hari raya Idul Adha, namun hari Mingg (31/7/22) kemarin, ada pernyataan dari Kadiv Humas Polri bahwa kasusnya udah ditarik ke Bareskrim, artinya walaupun hari minggu tetap saja polisi bekerja,” pungkas Agi. (Lia)

Kasus Polisi Tembak Polisi Turunkan Citra Polri di Masyarakat

Jakarta, FNN - Indonesia Police Watch (IPW) menyebutkan kasus polisi tembak polisi di rumah Kadiv Propam nonaktif Irjen Pol. Ferdy Sambo hingga menewaskan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J berdampak turunnya citra Polri di masyarakat.  \"Oleh karena itu, Kapolri berkewajiban menjaga muruah institusi dan menyelamatkan Polri dari hujatan masyarakat,\" kata Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso melalui pesan instan diterima di Jakarta, Minggu.  Kasus polisi tembak polisi memasuki babak baru setelah Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo mengambil alih penanganannya dari Polda Metro Jaya ke Bareskrim, Mabes Polri.  \"IPW mengapresiasi langkah Kapolri untuk mengambil alih penanganan kasus tewasnya polisi tembak polisi di rumah Irjen Pol. Ferdy Sambo ke Bareskrim,\" katanya.  Menurut Sugeng, sudah saatnya Polri membuka dan menjelaskan kepada publik apa yang terjadi dalam insiden tersebut. Apalagi, peristiwa itu melibatkan anggota yang tergabung dalam Satuan Tugas Khusus (Satgassus) yang dibentuk oleh Kapolri.  Berdasarkan penelusuran IPW, Brigadir Yosua dan Bharada Richard Eliezer (Bharada E) merupakan anggota Satgassus. Keduanya diduga terlibat baku tembak di rumah Irjen Pol. Ferdy Sambo yang merupakan Kepala Satgassus Polri. Selain itu, keduanya juga merupakan ajudan dari Ferdy Sambo.  \"Oleh sebab itu, Kapolri harus tegas menangani kasus ini sesuai dengan perintah Presiden Jokowi untuk diproses hukum, terbuka, dan jangan ditutup-tutupi. Kepercayaan publik terhadap Polri harus dijaga,\" kata Teguh menegaskan. Sebelumnya, penanganan kasus polisi tembak polisi tersebut ditangani oleh Polda Metro untuk dua laporan. Laporan pertama berkenaan dengan dugaan pelecehan seksual atau pencabulan, sedangkan laporan kedua berkenaan dengan dugaan pengancaman dan kekerasan serta percobaan pembunuhan. Sementara itu, kasus yang ditangani oleh Bareskrim Polri terkait dengan dugaan percobaan pembunuhan dan penganiayaan yang dilaporkan oleh kuasa hukum keluarga Briptu Nofriansyah Yosua Hutabarat. Dikatakan pula oleh Teguh bahwa alasan penanganan kasus tersebut dijadikan satu di bawah Bareskrim Polri agar tidak bias dan satu koordinasi. Dengan demikian, penanganan kasus tersebut berada di wilayah Tim Khusus Internal Polri yang digawangi Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono sebagai penanggung jawab dengan Kabareskrim Komjen Agus Andrianto sebagai anggotanya. Menurut Teguh, karena kasus dugaan polisi tembak polisi terjadi di lingkungan satuan kerja Divisi Propam Polri sekaligus berada di Tim Satgassus Polri, Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit harus menegakkan aturannya sendiri, yakni Perkap Nomor 2 Tahun 2022 tentang Pengawasan Melekat di Lingkungan Polri. Dalam kejadian ini, menurut dia, Irjen Pol. Ferdy Sambo selaku atasan tidak melakukan kewajiban melaksanakan pengawasan melekat (waskat) sesuai dengan Pasal 9 Perkap Nomor 2 Tahun 2022. Pasal 9 Perkap 2 Tahun 2022 menyebutkan bahwa atasan yang tidak melakukan kewajiban dalam melaksanakan waskat sebagaimana diatur dalam peraturan Kapolri ini diberikan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. \"Sesuai dengan pertimbangan dikeluarkannya perkap bahwa pengawasan melekat untuk lebih meningkatkan disiplin, etika, dan kinerja anggota Polri dalam melaksanakan tugas. Dengan demikian, tujuan organisasi dapat tercapai sesuai dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintah yang baik,\" kata Sugeng. Diberitakan sebelumnya, Mabes Polri menarik penanganan kasus Brigadir Yosua yang ditangani oleh Polda Metro Jaya ke Bareskrim Polri.\"Penarikan untuk efektivitas dan efisiensi manajemen penyidikan dan mempercepat proses pembuktian secara ilmiah (SCI),\" kata Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol. Dedi Prasetyo saat dihubungi terpisah, Minggu. (Sof/ANTARA)

Mayat Terlilit Lakban adalah Sopir Taksi Daring

Indramayu, FNN - Polres Indramayu, Jawa Barat, menyatakan mayat yang terlilit lakban adalah korban pencurian dengan kekerasan yang berprofesi sopir taksi daring.\"Hal itu diketahui dari keterangan saksi, terutama keluarga,\" kata Kapolres Indramayu AKBP Lukman Syarif di Indramayu, Minggu.Ia lantas menyebutkan mayat yang terlilit lakban itu bernama Widodo (45).Menurut dia, sehari sebelum kejadian, tepatnya pada hari Minggu (24/7), telepon genggam korban masih aktif dan sedang berada di sekitar Bekasi.Pada hari Senin (25/7), warga Desa Pekandangan, Kabupaten Indramayu, menemukan mayat di saluran irigasi dengan kondisi tangan, kaki, dan muka terlilit lakban.\"Mayat tersebut diduga merupakan korban tindak pidana pencurian kekerasan yang mengakibatkan korban meninggal dan/atau pembunuhan,\" tuturnya.Dijelaskan pula oleh Kasatreskrim Polres Indramayu AKP Fitran Romajimah bahwa kendaraan yang digunakan oleh Widodo (45) juga dibawa kabur oleh pelaku yang sudah dikantongi identitasnya.\"Kami sedang melakukan pengejaran terhadap pelaku yang sudah diketahui identitasnya,\" ujarnya. (Ida/ANTARA)

Hingga Pertengahan 2022, Yogyakarta Wujudkan 121 Kampung Panca Tertib

Yogyakarta, FNN - Program pembentukan Kampung Panca Tertib di Kota Yogyakarta terus bergulir dan hingga saat ini sudah ada 121 kampung yang mendeklarasikan diri sebagai Kampung Panca Tertib sebagai upaya masyarakat mewujudkan ketertiban di lingkungan masing-masing.\"Memberikan rasa aman dan nyaman kepada masyarakat menjadi salah satu tujuan yang diharapkan bisa diwujudkan dalam pembentukan Kampung Panca Tertib,\" kata Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kota Yogyakarta Agus Winarto, di Yogyakarta, Sabtu.Kampung Panca Tertib ke-121 adalah Kampung Pringgokusuman, Kecamatan Gedongtengen dengan fokus utama ketertiban pada tertib lingkungan, karena kampung tersebut juga menjadi penyangga kawasan wisata Malioboro.Menurut dia, dari Kampung Panca Tertib yang sudah terbentuk, sekitar 70-80 persen di antaranya memprioritaskan pada tertib lingkungan termasuk memastikan kampung tersebut memiliki lingkungan yang bersih dan hijau.\"Kami juga berharap masyarakat dapat mendukung program pemerintah terutama kebijakan jam malam untuk anak,\" katanya pula.Dalam kebijakan tersebut, anak di bawah 18 tahun tidak diperbolehkan keluar rumah lebih dari pukul 22.00 WIB-04.00 WIB tanpa pendampingan orangtua.Ia pun memastikan akan menerjunkan petugas untuk melakukan patroli guna memastikan tidak ada anak di bawah 18 tahun yang masih berada di luar rumah lebih dari pukul 22.00 WIB.Pada 2022, Satpol PP Kota Yogyakarta menargetkan mampu menambah 31 Kampung Panca Tertib, sehingga akan ada total 136 kampung yang terbentuk tahun ini.Satpol PP Kota Yogyakarta menargetkan, seluruh kampung di kota tersebut menjadi Kampung Panca Tertib pada akhir 2023, sehingga jika target pada 2022 bisa direalisasikan maka tersisa 27 kampung yang harus dideklarasikan pada tahun depan.Gerakan Kampung Panca Tertib dimulai sejak 2015, dan dalam gerakan tersebut terdapat lima fokus ketertiban yaitu tertib bangunan, daerah milik jalan, tertib usaha, lingkungan, dan sosial. (Ida/ANTARA)

Kasus Brigadir J Ditarik dari Polda Metro Jaya ke Bareskrim

Jakarta, FNN - Bareskrim Polri mengambil alih penanganan kasus dugaan pelecehan dan penodongan senjata oleh Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J dari Polda Metro Jaya.Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo membenarkan penanganan kasus Brigadir J sebagai terlapor ditarik ke Bareskrim Polri untuk efektivitas dan efisiensi penanganan perkara.\"Ya (ditarik) dijadikan satu agar efektif dan efisien dalam manajemen sidiknya,\" kata Dedi dikonfirmasi melalui pesan instan di Jakarta, Minggu.Sebelumnya ada tiga laporan polisi terkait Brigadir J yang ditangani oleh Polri.Dua laporan yakni dugaan pelecehan dan penodongan senjata terhadap P, istri Kadiv Propam nonaktif Irjen Pol Ferdy Sambo yang awal mulanya ditangani oleh Polres Metro Jakarta Selatan, kemudian ditarik ke Polda Metro Jaya. Penarikan kasus ini diinformasikan pada Selasa (19/7).Kemudian laporan polisi yang dilayangkan oleh Keluarga Brigadir J melalui kuasa hukumnya tentang dugaan pembunuhan berencana pada Senin (18/7).Kini, kedua laporan yang ada di Polda Metro Jaya ditarik ke Bareskrim Polri mulai Jumat (29/7).Terkait dua laporan yang ditarik dari Polda Metro Jaya ke Bareskrim Polri, Dedi mengatakan penyidikan tetap melibatkan penyidik dari Polda Metro Jaya (PMJ) dan Polres Metro Jakarta Selatan masuk dalam tim penyidik tim khusus bentukan Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo.\"Namun penyidik PMJ, Jaksel tetap masuk dalam tim sidik timsus,\" ujarnya.Hingga hari ke 22 sejak peristiwa tewasnya Brigadir J dalam batu tembak di rumah Irjen Pol Ferdy Sambo pada Jumat (8/7) lalu, Polri belum menetapkan satu orang pun sebagai tersangka.Polri menyampaikan Brigadir J tewas baku tembak dengan Bharada Richard Eliezer, rekannya sesama ajudan Kadiv Propam.Ia diduga melakukan pelecehan dan penodongan senjata kepada P, istri Ferdy Sambo.Dalam mengungkap kasus ini, Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo membentuk tim khusus yang beranggotakan internal dan eksternal Polri (Komnas HAM dan Kompolnas) untuk mengungkap kasus secara objektif, transparan dan akuntabel.Kemudian, Kapolri juga menonaktifkan dua perwira tinggi dan satu perwira menengah buntut dari insiden ini.Mereka yang dicopot dari jabatannya, yakni Irjen Pol Ferdy Sambo dari jabatan Kadiv Propam, Brigjen Pol Hendra Kurniawan dari jabatan Karo Pengamanan Internal (Paminal), dan Kombes Pol Budhi Herdy Susianto dari jabatan Kapolres Metro Jakarta Selatan.Penyidik juga melalukan autopsi ulang atau ekshumasi terhadap jasad Brigadir J atas permintaan keluarga yang merasa janggal dengan kematian anaknya. (Ida/ANTARA)

Pelaku Judi Sidney di Sibolga Ditangkap Polisi

Medan, FNN - Personel Polsek Sibolga Sambas, Polres Sibolga, menangkap pelaku perjudian Sidney, toto Hong Kong dan toto Singapura, di Jalan Gabu, Kelurahan Pancuran Gerobak, Kota Sibolga, Sumatera Utara.Pelaku itu yakni PS (53) warga Jalan Gabu, Kelurahan Pancuran Gerobak, Sibolga, Sumatera Utara.Kasi Humas Polres Sibolga, AKP R Sormin, dalam keterangan tertulis, Minggu, mengatakan, petugas menerima informasi bahwa di Jalan Gabu, Sibolga, ada praktik perjudian.Selanjutnya meringkus pelaku dan menyita barang bukti berupa tujuh lembar kertas berisi angka pasangan judi Sidney, satu buah buku tulis merk Garda warna merah, satu handphone Samsung dan uang sebanyak Rp 583.000.\"Perjudian itu dilakukan tersangka lebih kurang 1 tahun dengan omset Rp800.000 sampai Rp1.000.000 per hari dan imbalan yang diterima tersangka 10 persen,\" ucapnya.Ia mengatakan, perjudian yang dilakukan tersangka jenis judi Sidney, toto Hongkong dan toto Singapura dan tersangka berperan sebagai tukang tulis.Tersangka berjudi untuk memperoleh hasil tambahan dan pemasang memasang angka dengan taruhan uang adalah mengharapkan kemenangan. \"Tersangka saat ini ditahan di Rumah Tahanan Polisi (RTP) Polsek Sibolga untuk proses hukum selanjutnya,\" kata dia. (Ida/ANTARA)

Komjen (Purn) Susno Duadji: Kasus Sambo Persoalan Simpel Dibikin Ruwet

Jakarta, FNN - Saat ini wajah Polri di hadapan publik tengah menjadi sorotan tajam, seiring molornya pengungkapan kasus polisi tembak polisi yang menewaskan seorang Brigadir Polisi Nofriansyah Yoshua Hutabarat. Bukan hanya menjadi sorotan publik, dalam perbincangan wartawan senior FNN Hersubeno Arief dan Mantan Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabarsekrim) Polri Periode 24 Oktober 2008 hingga 24 November 2009, Komjen Pol (Purn) Susno Duadji di kanal YouTube Hersubeno Point, Sabtu (30/7/22), turut berkomentar mengenai kasus penembakan Brigadir Yoshua. Susno Duadji menyebut kasus penembakan Brigadir Yoshua ini sebetulnya simpel. “Kasus mudah, tersangkanya ‘ada’, yang mengaku menembak ada, katanya tembak menembak berarti peristiwanya ada, yang meninggal juga ada sebagai korban, di badan korban ada luka tembak dan luka tambahan, saksinya ada, barang bukti seperti senjata, proyektil, darah, anak peluru yang terkena tembok, dan handphone,” tuturnya. Ia mengatakan dengan berbekal semua yang sudah lengkap ini seharusnya dapat ditentukan tersangkanya yakni Bharada E. “Walaupun katanya tembak-menembak ya tetap dia tersangka, tentang itu betul atau tidak, dapat dipertanggung jawabkan secara hukum,keilmuan dan akuntabel di pengadilan, itu hakim yang menentukan,” lanjutnya. Lalu Susno Duadji memberikan komentar mengenai Bharada E.  “Bayangkan, apa enggak sakti. Bharada E menembakkan 5 peluru semua kena. Dia ditembak Brigadir Yoshua 7 peluru enggak ada kena. Itu sakti betul,\" kata Susno. Tuntasnya kasus ini nanti tentu di pengadilan bukan di kepolisian, bukan penyidik sekaligus menjadi penyelidik dan hakim, kalau seperti ini habis fungsi di negara diambil satu lembaga. Hersubeno menyampaikan kasus ini menjadi sulit karena kejadiannya di rumah seorang Jenderal yakni Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo, polisinya polisi, itukan rumit posisinya. Kendati demikian, Susno mengatakan sebenarnya tidak rumit karena sudah ada standarnya.  “Kita mengharapkan polri dapat mengatakan fakta sesungguhnya atas kasus Brigadir Yoshua. Ada tanggung jawab besar yang harus diselesaikan oleh polri,” pungkasnya. (Lia)

Jalur Bandung-Cianjur Macet Karena Pedagang Cincau Protes

Cianjur, FNN - Jalur Bandung-Cianjur, Jawa Barat, macet total, Jumat, ketika pedagang es cincau yang hendak ditertibkan menolak kedatangan petugas gabungan Satpol PP, TNI/Polri dan dinas terkait dengan cara melemparkan berbagai bahan bangunan kios ke tengah jalan.Aksi protes yang dilakukan seratusan pedagang di jalur tersebut karena menolak direlokasi ke rest area yang sudah selesai dibangun pemerintah daerah meski hanya berjarak beberapa puluh meter dari pinggir jalan utama Bandung-Cianjur tepatnya di Kecamatan Haurwangi.Mereka melemparkan material bekas bangunan kios semi permanen seperti triplek, kayu dan barang bekas lainnya ke tengah jalan, sehingga menghambat arus lalulintas yang cukup padat sejak pagi hingga Jumat petang, sehingga petugas terpaksa menghentikan arus dari kedua arah.\"Macet tidak berlangsung lama dan tidak sampai memanjang karena upaya antisipasi langsung dilakukan petugas gabungan. Pedagang yang sudah nyaman berjualan di atas trotoar itu, sudah kita berikan peringatan, namun mereka tidak mengindahkan,\" kata Kepala Satpol PP Cianjur, Hendri Prasetyadi.Sehingga tutur Hendri, pihaknya melakukan pembongkaran kios yang menolak untuk dibongkar sendiri pemiliknya, bahkan sempat terjadi penghadangan dari pedagang yang menolak kios-nya untuk diratakan dengan dalih rest area masih sepi dari pengunjung.\"Solusi untuk pedagang sudah disiapkan di Rest Area Citarum, sedangkan trotoar akan fungsikan kembali seperti semula untuk pejalan kaki, terlebih di sepanjang trotoar terdapat tugu asmaul khusna yang akan mendapatkan perbaikan,\" katanya.Meski sempat sulit dilalui kendaraan landasan Jalan Raya Bandung-Cianjur, Jumat petang akhirnya dapat dilalui kendaraan setelah petugas gabungan dibantu petugas kebersihan menyingkirkan material yang dibuang pedagang ke tengah jalan.Pedagang cincau di sepanjang trotoar yang ditertibkan, mengatakan kalau penertiban dilakukan secara mendadak dan tidak melalui pemberitahuan. Selam ini, ungkap mereka diizinkan berjualan di atas trotoar menunggu rest area selesai dibangun, namun saat ini belum tuntas.\"Penertiban terkesan mendadak, sehingga pedagang melakukan protes dengan cara melemparkan material bekas kios dan tikar bekas ke tengah jalan. Seharusnya ada pemberitahuan terlebih dahulu agar kami dapat membongkar sendiri,\" kata pemilik kios Eman Sulaeman. (Sof/ANTARA)

Brigadir J dan Rombongan Melakukan PCR di Rumah Pribadi Ferdy Sambo

Jakarta, FNN - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengungkapkan bahwa Brigadir J bersama Putri Candrawathi, Bharada E serta pembantu rumah tangga melakukan tes usap PCR di rumah pribadi Irjen Polisi Ferdy Sambo di kawasan Duren Tiga sepulangnya dari Magelang.\"PCR itu dilakukan di rumah pribadi bukan di Rumah Dinas Irjen Polisi Ferdy Sambo,\" kata Komisioner Komnas HAM Mohammad Choirul Anam di Jakarta, Sabtu.Anam mengatakan hal tersebut diketahui berdasarkan rekaman CCTV yang telah dilihat langsung oleh Komnas HAM. Merujuk dari rekaman itu, Komnas HAM akan mengonfirmasi atau mendalaminya termasuk perihal PCR Ferdy Sambo.Khusus lokasi dan detailnya PCR Kadiv Propam Polri nonaktif tersebut, Komnas HAM akan mendalaminya ketika memeriksa Irjen Ferdy Sambo. Termasuk mendalami apakah Ferdy Sambo masuk ke dalam rombongan atau tidak pada saat kejadian.\"Kami memang mendapatkan informasi bahwa Pak Sambo tidak berada pada rombongan tersebut tapi ini masih informasi satu pihak dan akan kami cek,\" ujarnya.Komnas HAM akan menggali dari informasi lain, dokumen lain termasuk membandingkannya dengan bukti-bukti lain. Tujuannya, agar peristiwa kematian Brigadir J semakin jelas dan bisa terungkap.Terkait pemeriksaan atau pengumpulan data siber dan digital forensik, Anam memastikan hal tersebut belum selesai karena lembaga tersebut masih membutuhkan sejumlah data dan informasi.Komnas HAM juga telah mendapatkan dan melihat langsung rekaman CCTV dan jejaring komunikasi terkait kematian Brigadir J. Namun, beberapa informasi khususnya yang menyangkut nomor telepon keluarga Brigadir J sengaja tidak diungkap ke publik. \"Karena harus ada sistem perlindungan kepada pihak keluarga Yosua,\" ujar dia. (Ida/ANTARA)