HUKUM
Polri Babak Belur Bukan karena Emak-emak, Pers, atau Pengamat, tetapi di Dalam Gontok-gontokannya Gede
Jakarta, FNN - Kasus polisi tembak polisi terus menjadi perhatian publik. Bahkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkali-kali menegaskan bahwa kasus ini wajib diusut tuntas. Terbaru, Jokowi mengundang Panglima TNI dan Kapolri ke istana. Agenda Presiden kemarin penuh dan satu di antaranya pasti adalah upaya untuk meyakinkan publik bahwa Polri tidak boleh hancur hanya karena ada peristiwa Pak Sambo. “Jadi, ini memang harus diputuskan cepat bahwa ada Jenderal yang terlibat. Publik bukan menginginkan, tapi publik memang menduga kuat bahwa Pak Sambo pasti akan jadi tersangka. Jadi, keinginan publik adalah bersihkan institusi negara ini agar ada harapan besar bagi prestasi Kapolri ke depan,” kata pengamat politik Rocky Gerung kepada wartawan senior FNN, Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official, Selasa, 09 Agustus 2022. Rocky meyakini bahwa presiden tahu bahwa lembaga dia atau aparat dia yang namanya kepolisian itu agak susah untuk membackup pemerintahan dan ketertiban sipil, kalau masih babak belur. Bagaimana analisis lengkapnya, ikuti perbincangannya di bawah ini, Apa kabar Bung Rocky. Semoga selalu dalam keadaan sehat walafiat di hari Selasa ini. Banyak orang menduga bahwa akan ada peristiwa penting hari ini berkaitan dengan perkembangan terbunuhnya Brigadir Yosua? Iya. Kemarin Presiden mengundang Panglima TNI dan Kapolri. Kita nggak tahu apa isinya, tapi kira-kira itu juga pasti dievaluasi karena ini peristiwa penting. Jadi, tidak mungkin presiden tidak menanggapi itu. Jadi, saya menduga bahwa Pak Sigit diminta ke istana bersamaan dengan Jenderal Andika itu dalam upaya untuk membahas, termasuk kasus Pak Sambol. Dan itu sebetulnya yang ingin dihadirkan pada publik bahwa harusnya ada percepatan penyelesaian karena Indonesia menumpuk masalahnya. Kita tahu juga bahwa hari-hari ini juga ada demonstrasi buruh yang sedang bergerak menuju Jakarta, dan itu penting sebetulnya pemerintah fokus pada soal buruh setelah soal Sambo selesai. Karena yang dituntut buruh itu serius, soal omnibuslaw yang menyengsarakan mereka. Jadi, kelihatannya ada pembicaraan di situ. Menko Perekonomian juga ada di istana kemarin beritanya begitu dan Pak Pramono Anung menemani Pak Jokowi seharian di situ. Ini menunjukkan bahwa agenda Presiden kemarin itu penuh dan satu di antaranya pasti adalah upaya untuk meyakinkan publik bahwa Polri tidak boleh hancur hanya karena ada peristiwa Pak Sambo. Iya itu. Dan memang betul, sekarang seperti kata Pramono Anung, itu sekarang hancur-hancuran citra Polri. Dan itu sebenarnya kan kita tahu Polri itu di bawah Pak Jokowi. Itu berarti langsung yang terkena juga Pak Jokowi. Ya, itu pentingnya Pak Jokowi harus betul-betul merapikan kembali yang hancur-hancuran itu. Kan nggak mungkin hancur-hancuran kalau dikoordinasi dengan baik oleh beliau kan. Itu masalahnya. Kan kita mesti ngerti bahwa Pak Pramono sebagai Menteri Sekretaris Negara, Sekretaris Kabinet, tahu apa efek dari hancurnya Polri. Pasti Pak Jokowi juga melihat dengan jelas bahwa ini berbahaya. Jadi, kalau Pramono mengatakan ini hancur-hancuran, harusnya lebih dari itu keadaannya kan. Jadi, kira-kira begitu. Memang sangat membahayakan. Dan keretakan Polri itu kalau betul-betul dia menjadi rapuh justru di era banyak ketegangan politik, ada persiapan Pemilu, ada persiapan perang, semua itu kan terkait dengan soal ketertiban publik. Dan ini akibatnya kalau hal yang sudah dari awal diketahui berpotensi retak tapi dibiarkan oleh istana, lalu sekarang istana yang bereaksi justru. Jadi, masyarakat menganggap iya memang dari dulu juga retak karena permainan politik. Biar begitu dalilnya. Oh, ternyata istilah yang tepat yang digunakan oleh Pramono Anung itu babak belur. Itu sama juga? Kalau polisi babak belur itu artinya Pramono musti terangkan kenapa? Karena ada yang menghajar Polri? Atau karena saling hajar-hajaran di dalam kan? Kan nggak mungkin Polri babak belur hanya karena pendapat emak-emak, pendapat pers, pendapat pengamat. Itu nggak ada masalah. Babak belur itu artinya di dalam juga gontok-gontokannya gede atau tonjok-tonjokannya bahkan. Dan itu intinya. Jadi babak belur itu istilah yang memang memperlihatkan bonyoknya institusi itu harus diperbaiki. Jadi kembalikan Polri sebagai institusi yang memberi rasa aman pada publik dan membuat kita merasa aman itu artinya kita yang dilindungi, jangan Polri melindungi para koruptor, para politisi segala macam. Jadi itu pesan moralnya. Dan kita tangkap itu bahwa presiden mengerti keadaan lalu meminta supaya percepatan itu. Nah, kita akan tetap bahas nanti apa istilah babak belur itu atau pers nanti hari ini akan kasih interpretasi apa yang dimaksud dengan babak belur. Babab belur di dalam karena persoalan di dalam atau karena dihajar oleh opini publik. Kira-kira sebetulnya begini. Kalau kita lihat kita bisa memahami kegalauan dari Pak Jokowi karena seperti Anda sampaikan tadi, situasinya memang lagi memburuk. Semua terjadi pemburukan. Ekonomi kita sedang memburuk, kemudian citra pemerintah juga memburuk, tapi saya juga tadi menyebutnya ada bahwa pembunuhan itu bisa terjadi karena dilakukan oleh faktor istana itu sendiri, yakni menginginkan tiga periode. Gitu kan? Ya. Itu itu inti yang sekarang juga paling kita cemaskan sebetulnya. Karena itu bisa bikin babak belur konstitusi kita, babak belur demokrasi kita, karena persiapan tiga periode jalan terus. Ini perimbangan ini yang orang menganggap kenapa fokus kita harus kembali pada soal ekonomi. Ya karena memang itu yang jadi krisis bahwa APBN bisa aman itu hanya karena ekspor komoditas kita iya. Tetapi, satu waktu ekspor komoditas juga jatuh harganya. Lalu kesempatan untuk memulihkan ekonomi hilang karena fokus kita terus-menerus pada tiga periode. Padahal Pak Jokowi juga harusnya bicara saja bahwa kami sudah tidak lagi melakukan tiga periode itu. Tapi terlihat justru makin lama Pak Jokowi makin diam ketika relawannya terus-menerus mendorong tiga periode. Bahkan, kemarin beritanya ada yang lebih gila lagi, meminta supaya kepung DPR/MPR agar Presiden jadi tiga periode. Kan itu ngaco kan? Itu juga bikin DPR/MPR babak belur disebabkan karena ambisi. Ambisi dari siapa? Ya pasti dari Pak Jokowi ambisinya. Kan dengan mudah begitu walaupun nanti dibantah-bantah itu kan kita gak bisa cegah, itu ekspresi publik. Itu harus dicegah karena ini relawan Jokowi yang melakukan hal yang melakukan hal yang inkonstitusional. Itu kan memalukan. Seolah-olah Pak Jokowi memang harusnya jadi presiden seumur hidup. Tiga periode itu seumur hidup sebetulnya. Nah, ini kita balik lagi ya, ke topik kita tadi soal Pak Ferdy Sambo. Tanpa kita memberikan semacam penghakiman atau kalau di istilah pesr itu trial by the press, kita menangkap bahwa sekarang ini bagaimanapun ekspektasi publik itu sangat tinggi bahwa akan ada penetapan tersangka. Dan kita sama-sama tahu ekspektasi publik itu mereka mencurigai Ferdy Sambo. Apalagi kemudian penjelasan dari pengacara pun juga menjelaskan itu dari BAP, dari pengakuan berada Richard Eliazer. Ini kan jelas dia melakukan pembunuhan, tapi ini atas instruksi dan kemungkinan itu terjadi semacam eksekusi di situ. Menurut saya ini kan mengerikan dan itu terjadi di lembaga kepolisian terhadap internal kepolisian sendiri. Bayangkan itu Bung Rocky. Jadi keadaan ini akhirnya tidak rapi perencanaan itu. Karena dari awal hasil keterangan awal dari Kapolres Jakarta Selatan, itu sudah mengandung banyak kejanggalan. Jadi publik sebetulnya dari awal mencurigai itu dan kalau kita perhatikan statement-statement dari kepolisian, baik itu humasnya maupun inspektur khusus, kan itu makin lama makin terlihat bahwa tokoh-tokohnya tidak hanya satu-dua orang, ternyata lebar. Dan ini kalau lebar ya nggak mungkin itu hanya karena dua prajurit dibawa itu tembak-menembak. Pasti sinya di atasnya lebih kuat itu. Jadi Bharada E versus Brigadi J, kalau memang hanya itu soalnya, nggak mungkin ada upaya untuk meneliti lebih jauh soal etika dan soal permainan di belakang itu. Jadi ini memang harus diputuskan cepat bahwa ada Jenderal yang terlibat. Kan itu intinya. Opini publiknya begitu. Kalau kriminal biasa ya sudah itu dengan mudah hari pertama sudah selesai kalau kriminal biasa. Jadi menunda itu, jadi penundaan itu yang memunculkan spekulasi ada apa ditunda tiga hari peristiwa itu? Tentu Pak Sigit tau lebij cepatlah kalau soal itu. Problemnya kenapa Pak Sigit juga setelah seolah-olah ada opini publik 3 hari baru muncul. Tapi sudah. Itu sudah terjadi kemarin. Pak Sigit berupaya untuk memulihkan institusi kepolisian dan betul-betul istana merasa bahwa itu sudah babak belur. Jadi kebabakbeluran itu harus disembuhkan secara cepat luka babak belur itu. Jadi publik bukan menginginkan, tapi publik memang menduga kuat bahwa Pak Sambo pasti akan jadi tersangka. Kalau soal menginginkan semua orang memang menginginkan supaya kepolisian itu dibersihkan dan banyak aparat di situ yang punya masalah hukum bermacam-macam, bahkan berlapis-lapis. Jadi, keinginan publik adalah bersihkan institusi negara ini agar ada harapan besar bagi prestasi Kapolri ke depan. Ya, sejak awal ketika orang masih berspekulasi tentang kasus ini, Anda sendiri dan FNN sudah langsung ambil satu posisi bahwa ini justru momentum sebenarnya, momentum bagi polisi untuk melakukan tata ulang, karena adanya Satgasus, itu yang disebut oleh Pak Mahfud MD ada Mabes di dalam Mabes. Ini kan mengingatkan kita bahwa ada negara di dalam negara. Jadi ini ada Mabes di dalam Mabes. Ya, dari awal kita tahu bahwa presiden tahu persoalannya. Karena itu, Pak Mahfud dengan cepat memberi sinyal ini tikus dan segala macemnya. Kita protes sebetulnya bahwa nggak boleh dong, walaupun itu tahu, tapi lakukan secara institusional. Jangan ngomong ke pers. Kan itu soalnya. Walaupun kita mengerti bahwa Pak Mahfud pasti lebih banyak dapat info dibanding kita, tetapi etikanya dia nggak boleh menyebutkan itu sebagai pejabat negara atau sebagai Kompolnas. Itu hanya bisa disebut di pengadilan atau secara diam-diam. Tapi pada akhirnya orang menganggap bahwa ya sudah terbuka Pak Mahfud sudah ngomong begitu, Pak Jokowi sudah dua sampai tiga kali bicara soal ini, itu artinya di belakangnya ada babak belur tadi dan babak belur tadi yang mencemaskan presiden. Jadi presiden tahu bahwa lembaga dia atau aparat dia yang namanya kepolisian itu agak susah untuk membackup pemerintahan dan ketertiban sipil kalau masih babak belur. Babak belur itu tetap istilah yang bagus. Tapi sekarang ini, makin ke belakang kenapa Pak Mahfud memberikan sinyal-sinyal semacam itu, sekarang saya sudah mulai paham. Itu karena dia memahami ada satu kekuatan besar yang dia tidak bisa hadapi sendiri sehingga dia meminjam opini publik dan meminjam media yang dalam bahasa Jawa ini ada istilah “nabok nyilih tangan”, menampar orang dengan meminjam tangan orang lain. Karena kemarin dia secara tersurat kemudian menyebutkan “ya ini terima kasih kepada media karena Anda-Anda semua, karena LSM gitu, karena civil society, kemudian kasus ini bisa dibongkar dengan cepat, karena ini ada semacam code of silence”. Begitu dia menyebutkan. Oh... ini kan ngeri kalau sampai seperti itu. Ya kita tagih saja Pak Mahfud terus-menerus supaya Pak Mahfud jadi beda justice collaborator. Justice collaborator ini memungkinkan publik dapat sinyal. Itu intinya. Tapi, sekali lagi, kedudukan Pak Mahfud MD itu adalah pejabat negara. Dia bisa kasih info, tapi jangan dia sendiri yang mengucapkan info itu. Kan tekniknya begitu. Baguslah. Di ujungnya baru bilang terima kasih. Walaupun orang tahu sudah pasti beberapa pers dekat dengan grupnya Pak Mahfud. Kan itu intinya. Dan itu yang penting kita tertibkan juga sehingga sewaktu-waktu nanti kalau ada peristiwa lain yang memungkinkan orang bikin spekulasi, lalu orang call Pak Mahfud. Jadi ngaco jadinya. Masa Pak Mahfud jadi ngebocorin informasi. Jadi Pak Mahfud MD harus berfungsi secara profesional sebagai pejabat publik oke, boleh kasih sinyal, tapi jangan sinyal itu insinuasi. Bukan soal benar atau tidak, tapi prinsip bahwa pemerintah itu tidak boleh kasih sinyal untuk hal-hal yang sifatnya wilayah kriminal. (ida, sof)
Mahfud MD : Ada “Code Of Silence” pada Pengungkapan Kematian Brigadir Yoshua
Jakarta, FNN - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD blak-blakan mengatakan ada tersangka baru dalam kasus kematian Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat. Kasus yang awalnya penuh misteri itu kini menunjukkan kemajuan signifikan. Hal itu lantaran permasalahan politik dan hierarki yang disebut Mahfud MD sebagai psikopolitis dan psikohierarkis sudah bisa dieliminir. Berikut analisis dua wartawan senior FNN Hersubeno Arief dan Agi Betha dalam kanal YouTube Off The Record FNN, Senin (9/8/22). “Tekanan publik semakin besar, dan media sudah menulis mengenai pengakuan bharada e terkait peristiwa ini yang memenuhi unsur-unsur pidana, kini publik bertanya-tanya sampai kapan Irjen Ferdy Sambo hanya diperiksa soal kode etik saja,” tutur Agi. Mahfud MD menilai jika pengungkapan kasus kematian Brigadir Yoshua memiliki kode senyap atau \'code of silence\'. Menurut Mahfud MD, kode senyap atau ‘code of silence’ adalah di mana seorang petugas memilih diam, menahan informasi sesuai keinginan sendiri atau adanya tekanan pihak lain. “Perkembangannya sebenarnya cepat, kasus yang seperti itu yang punya \'code of silence\' itu sekarang sudah ada tersangka, kemudian pejabat-pejabat tingginya sudah dimutasi,” kata Mahfud MD. Sebelumnya, melalui hasil pemeriksaan terakhir, penyidik telah merilis penetapan dua tersangka kasus tewasnya Brigadir Yoshua. Pertama, Bhayangkara Dua Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E dengan sangkaan Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. Adapun Brigadir RR ditersangkakan lantaran ada dua bukti yang sudah cukup kuat mendukung keputusan tersebut. Sayang, bukti itu belum bisa dibagikan ke muka publik. Menambah daftar pelaku, satu nama kini dihadirkan penyidik untuk melengkapi keping teka-teki penembakan itu. Penetapan tersangka baru ini, menurut Mahfud MD kemungkinan besar akan mengarah pada peran dari Bharada E dan Brigadir RR, serta tersangka lain sebagai eksekutor atau intelektual. (Lia)
Hersubeno: Apa yang Dikatakan Edy Mulyadi Merupakan Peran Pers
Jakarta, FNN - Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat kembali menggelar sidang lanjutan perkara ‘tempat jin buang anak’ dengan terdakwa Edy Mulyadi, Selasa (9/8/22). Agenda sidang kali ini adalah mendengarkan keterangan saksi meringankan terhadap kasus Edy Mulyadi. Dua saksi yang dihadirkan, yaitu Ahmad Khozinuddin dan wartawan senior FNN Hersubeno Arief. Ahmad Khozinuddin merupakan seorang pengacara dan juga seseorang yang mengundang Edy sebagai narasumber dalam kegiatan yang ia inisiasikan pada 17 Januari 2022 lalu Ahmad mengatakan semua yang Edy sampaikan adalah data-data yang dikutip langsung dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) terkait persoalan tambang di wilayah yang direncanakan akan dibangun Ibu Kota Negara (IKN). Usai saksi Ahmad memberikan keterangan dalam sidang, Edy dipersilahkan oleh Hakim Ketua Adeng Abdul Kohar untuk memberikan tanggapan. “Benar semua keterangan dari saksi. Terima kasih,” tutur Edy. Pada kesempatan itu Edy sempat meneteskan air mata dan melepaskan kacamatanya, lalu mengusap matanya dengan sapu tangan. Ia menyampaikan alasannya menangis dalam persidangan. Menurutnya, Ahmad merupakan sahabatnya juga selaku saksi yang sangat menguasai persoalaan yang terjadi. “Saya terharu karena Ahmad ini memang sahabat saya. Kita keliling-keliling dan yang paling penting dia dalam fasilitas saksi dan lawyer sangat menguasai persoalan. Pembelaan-pembelaan itu begitu clear. Memang tentu ada unsur subjektivitas, tapi saya rasa unsur objektivitasnya dengan fakta-fakta itu membuat saya terharu,” ungkapnya. Selanjutnya, Hersubeno juga memberikan pembelaan terhadap Edy, menurutnya, apa yang disampaikan Edy itu merupakan peran pers melakukan advokasi terhadap kepentingan publik, karena Edy merupakan seorang wartawan dari Forum News Network (FNN). Hersu menegaskan bahwa Bang Edy Channel merupakan bagian dari produk jurnalistik FNN yang sudah didaftarkan di Dewan Pers. “Peran dari jurnalisme itu selain menyebarkan informasi, edukasi, ada juga advokasi yaitu berkepihakan kepada publik. Apa yg dilakukan Edy adalah salah satu peran pers dalam berkepihakan kepada publik,” kata Hersu. Kemudian, Hersu juga menjelaskan tugas pers itu ialah mengkritisi mereka yang sedang berkuasa bukan menjilat para penguasa,“kalau dia tidak kritisi terus itu bukan pers, namanya humas,” tambahnya. Edy memberikan tanggapan terhadap pernyataan Hersubeno bahwa saksi menjelaskan dengan sangat clear. “Alhamdulillah kedua saksi menjelaskan dengan sangat clear, seperti yang dikatakan saksi kedua yakni Hersubeno bahwa wartawan itu harus kritis dan skeptis, untuk masalah lingkungan walhi sudah sangat kredibel dan sungguh sangat layak dikutip,” pungkas Edy. Dalam catatan FNN, Edy Mulyadi ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan ujaran kebencian berdasarkan suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) dan penyebaran berita bohong atau hoax pada 31 Januari 2022. Setelah ditetapkan sebagai tersangka, ia lantas ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Bareskrim Polri, Jakarta Selatan. Edy terjerat perkara ini karena komentarnya terkait Ibu Kota Negara (IKN) baru sebagai tempat pembuangan jin. Padahal ia sudah minta maaf atas pernyataannya itu. Edy Mulyadi tetap harus menjalani sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Selasa (10/5/2022) sebagai sidang perdana. (Lia)
Pemeriksaan Ferdy Sambo oleh Komnas HAM Dijadwalkan Kamis
Jakarta, FNN - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI menjadwalkan pemeriksaan dengan meminta keterangan Irjen Pol. Ferdy Sambo, Kamis (11/8), berkaitan dengan kasus kematian Brigadir J.\"Kami sedang mencari jadwal yang pasti dan sedang bernegosiasi; tapi sebisa mungkin di Komnas HAM,\" kata Ketua Komnas HAM RI Ahmad Taufan Damanik di Jakarta, Selasa.Terkait materi atau gambaran apa saja yang akan ditanyakan Komnas HAM kepada Ferdy Sambo, Taufan enggan memberitahu karena hal tersebut masuk ke ranah penyelidikan.Sebelum jadwal pemeriksaan Ferdy Sambo, Komnas HAM mengagendakan permintaan keterangan terkait uji balistik dengan Tim Khusus (Timsus) Polri pada Rabu (10/8). Agenda tersebut sebelumnya mengalami penundaan beberapa kali karena permintaan dari Polri.\"Kami sangat berharap timsus maupun penyidik Mabes Polri supaya agenda besok yang sudah disepakati betul-betul dipenuhi agar tidak tertunda-tunda,\" imbuhnya.Sementara itu, Selasa, tim Komnas HAM baru saja selesai meminta keterangan dari Polri terkait siber. Pemeriksaan tersebut diketahui tidak berlangsung lama yakni sekitar 30 menit.Taufan menjelaskan permintaan keterangan siber melengkapi bahan yang telah dikumpulkan. Semua bahan dan keterangan tersebut akan dianalisis secara internal untuk kemudian dibuat kesimpulan.\"Bahannya tentu saja semakin banyak memberikan informasi dan data-data yang memperjelas masalah ini,\" jelasnya.Sementara itu, Anggota Komnas HAM Mohammad Choirul Anam mengatakan pihaknya menggunakan skenario urutan waktu sendiri dalam penyelidikan kasus kematian Brigadir J.Terkait adanya perbedaan keterangan Bharada E di awal dan setelahnya, hal tersebut menjadi catatan tersendiri bagi Komnas HAM dalam mengusut kasus itu. \"Kami belum bisa simpulkan saat ini,\" ujar Anam. (Ida/ANTARA)
Penetapan Tersangka Tak Menghambat Penyelidikan, Tegas Komnas HAM
Jakarta, FNN - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI menegaskan penetapan tersangka sejumlah ajudan Irjen Polisi Ferdy Sambo oleh kepolisian tidak menghambat proses penyelidikan yang dilakukan lembaga HAM tersebut.\"Sejak awal, Pak Wakapolri dan Pak Irwasum bersepakat dengan Komnas HAM untuk bersinergi,\" kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik di Jakarta, Selasa.Hingga saat ini, tegas Taufan, koordinasi dengan kepolisian berjalan sesuai komitmen di awal. Bahkan, jika ada hal-hal yang kurang jelas, baik Komnas HAM maupun Polri bisa saling bertanya.\"Jadi tidak ada sama sekali yang menghambat,\" ujarnya.Taufan mengatakan Tim Khusus Polri bekerja untuk mencari fakta sama halnya dengan tim dari Komnas HAM yang juga mencari fakta terkait kematian Brigadir J. Sehingga, tidak ada pihak-pihak yang menghambat penyelidikan maupun penyidikan.Pada kesempatan itu, Taufan mengatakan adanya perbedaan pernyataan atau keterangan yang disampaikan oleh Bharada E saat awal diperiksa dan sesudahnya, Komnas HAM akan kembali memeriksa yang bersangkutan. \"Sangat mungkin kita periksa ulang,\" ucap dia.Senada dengan itu, Komisioner Komnas HAM Mohammad Choirul Anam mengatakan sejak awal lembaga itu berangkat dari permintaan keterangan keluarga Brigadir J di Provinsi Jambi, termasuk pacar Brigadir J.Setelah itu, Komnas HAM mulai menata konstruksi peristiwa termasuk masalah waktu dan sebagainya. Kemudian barulah dilakukan permintaan keterangan terhadap semua pihak yang masuk dalam peristiwa tersebut.Permintaan keterangan kepada Pusat Kedokteran dan Kesehatan (Pusdokkes) Polri, tim siber, ajudan dan lain sebagainya tersebut berangkat dari semua konstruksi peristiwa yang diperoleh Komnas HAM dari Jambi. (Ida/ANTARA)
Sidang Kasus Jin Buang Anak, Saksi Ahli: Jauh dari Potensi Keonaran
Jakarta, FNN - Potensi keonaran akibat pernyataan jin buang anak oleh tersangka Edy Mulyadi, jauh dari kemungkinan terjadi, apalagi hanya dilihat dari potongan-potongan video yang tidak utuh. Pernyataan saksi ahli ITE, Dr. Ronny disampaikan pada sidang Kasus Jin Buang Anak di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis, 4 Agustus 2022. Sedangkan saksi lainnya, Nurlis Effendi Pemimpin Redaksi Cyberthoed.id yang juga dosen Universitas Malahayati Lampung, menyatakan Youtube bukan lembaga pers, hanya sebatas media atau sarana untuk menyebarkan kegiatan jurnalistik dan opini. Kedua saksi ini dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU), setelah pada Selasa, 5 Agustus 2022 salah satu saksi ahli ditolak pengacara Edy Mulyadi karena berasal dari Media Cyber kepolisian. \"Pernyataan yang saya berikan dibatasi disertasi saya mengenai,Konstruksi Etika dan Hukum pada UU No. 40 Tahun 1999 serta sesuai kompetensi saya,\" ujarnya. Menulis apapun, kata Nurlis yang pernah menjadi pengurus Alianstik Jurnalistik Independen (AJI) tetap tanggungjawab terhadap perspektifnya kegiatan jurnalistik sesuai dengan kaidah hukum, teks, gambar, video dan kombinasinya. Jadi, Youtube bukan media, karena belum diatur dalam undang-undang tersebut. Pengacara EM, Ahmad Yani mengatakan, kedua saksi ahli yang dihadirkan JPU,tidak ada yang mengarahkan pada dalil maupun dakwaan jaksa. \"Rumusan pidana tidak boleh berdasarkan persepsi.Bisa terjadi kerugian atau tidak terjadi kerugian. Orang tidak dapat diadili berdasarkan persepsi atau tafsir. Orang baru bisa diadili karena perbuatan nyata, perbuatan jelas,perbuatan tegas yang diatur dalam undang-undang,\" ujar Yani. Sidang yang dipimpin Ketua Sidang,Adeng Abdul Kohar,SH,MH bersama dua anggotanya akan berlansung Selasa pekan depan 9 Agustus 2022. (Indah)
Dugaan Pembunuhan Berencana Terkuak, Para Ajudan Sambo Makin Berani Buka Mulut
Jakarta, FNN - Kasus tewasnya Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat yang kini telah membuat sejumlah pihak menjadi tersangka terus bergulir menguak hal-hal baru. Keterangan Bharada E khususnya setelah mendapat tim kuasa hukum yang baru dianggap mengubah jalan cerita yang selama ini dilotarkan satu pihak. Berikut analisis dua wartawan senior FNN Hersubeno Arief dan Agi Betha dalam kanal YouTube Off The Record FNN, Senin (8/8/22) di Jakarta. Pengacara Bharada E, Muhammad Boerhanuddin, mengatakan kematian Brigadir Yoshua adalah rekayasa. Ia memastikan peristiwa berdarah ini murni pembunuhan berencana. Bharada E dalam kesaksiannya menuturkan, peristiwa terjadi bukan dipicu karena Brigadir Yoshua melakukan pelecehan terhadap istri mantan Kadiv Propam Irjen Pol Ferdy Sambo di kamar rumah dinasnya. Dalam peristiwa ini, Irjen Pol Ferdy Sambo ada di lokasi. Bharada E pertama kali menembakkan pistol Glock-17 miliknya atas tekanan dan perintah atasannya. “Bharada E menembak karena ada tekanan dan perintah dari atasan,” ujar Boerhanuddin. Tak sendiri, Bharada E memastikan ada pelaku lain yang ikut dalam kasus dugaan pembunuhan berencana ini. Salah satu pelaku lain turut diperintah untuk mengambil pistol HS-9 milik Brigadir Yoshua dan menembakkan tujuh peluru ke tembok. Hal itu dilakukan untuk merekayasa peristiwa agar terkesan ada peristiwa polisi tembak polisi. Tembakan itu dilepaskan setelah Brigadir Yoshua tewas. Menanggapi hal ini, Agi Betha mengatakan Bharada E ini tentu perasaannya antara nyaman dan tidak nyaman, “jangankan seorang Bharada, ini di kelompok Polri para Jenderal saja tentu ada perasaan antara nyaman dan tidak nyaman untuk menetapkan posisi Ferdy Sambo saat ini,” tuturnya. Bharada E disangkakan pasal 338 juncto pasal 55 dan 56 KUHP. Kendati dirinya tersangka, namun dia tidak seorang diri. Bharada E pun siap menjadi justice collaborator. Hal itu menunjukkan ada orang lain dalam pembunuhan Brigadir Yoshua. \"Dia mengakui kesalahannya, berarti dia berbuat juga. Karena dia mau JC berarti ada isyarat pelaku lain terlibat,” ujar Burhanuddin. Setelah Bharada E, Ajudan Istri Irjen Ferdy Sambo, Brigadir Ricky Rizal, atau Brigadir RR juga telah ditetapkan sebagai tersangka dan telah tertahan di Rutan Bareskrim Polri. Ricky disangkakan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan laporan polisi yang dilayangkan oleh pihak keluarga Brigadir Yoshua, yakni terkait dugaan pembunuhan berencana Pasal 340 KUHP juncto 338, juncto 351 ayat (3) juncto 55 dan 56 KUHP. “Kita menunggu ya nyanyian para ajudan ini karena memang yang ada di lokasi para ajudan ya,” pungkas Hersubeno. Diberitakan sebelumnya, Inspektorat Khusus (Itsus) Polri menempatkan Irjen Ferdy Sambo di Mako Brimob selama 30 hari. Hal itu terkait pemeriksaan dugaan pelanggaran etik yang diduga dilakukan Ferdy Sambo. Namun, saat ini posisi Irjen Ferdy Sambo semakin terjepit, terlebih lagi Bharada E memulai buka-bukaan apa yang sesungguhnya terjadi. Keterbukaan dari Ferdy Sambo soal kasus kematian Brigadir Yoshua tentu sangat ditunggu-tunggu oleh publik. (Lia)
Pengakuan Bharada E Bikin Sambo Makin Terpojok, Momen Pembuktian Komitmen Polri
Jakarta, FNN - Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E sudah beberapa kali menjalani pemeriksaan sebagai tersangka kasus tewasnya Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J. Bharada E menyampaikan sejumlah poin pengakuan atau keterangan baru di hadapan penyidik Timsus Polri. Pengamat politik Rocky Gerung menegaskan bahwa hal ini harus diselesaikan dengan cara yang cepat dan betul-betul terbuka supaya langkah berikutnya ada kesempatan Pak Sigit membenahi institusinya. “Selesai secara kriminal itu lebih penting. Karena membongkar soal jaringan pengaruh di kepolisian itu berat dan mahal karena menyangkut reputasi macam-macam orang,” katanya kepada wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official, Senin, 8 Agustus 2022. Berikut petikan wawancara lengkapnya: Halo Bung Rocky, ketemu lagi nih di awal pekan, hari Senin. Kelihatannya segar sekali awal pekan ini. Ya, karena saya membaca ada pengakuan dari Bharada E dan ada keterangan-keterangan lain yang membuat kita awal pekan punya kecerahan baru untuk membongkar kasus ini, supaya ada hal-hal lain yang masih bisa kita teruskan perbincangan sebagai bangsa. Iya. Saya juga diingatkan oleh beberapa teman, ini waktu kita dihabiskan untuk membahas tewasnya Brigadir Yohsua (bukan berarti kita tidak menghargai ya ada satu warga kita yang meninggal secara mengenaskan itu). Tetapi, teman-teman ini juga mengingatkan jangan sampai energi kita habis di sini dan kemudian kita teralihkan, tetapi ia justru dia ingatkan bagus ini momentum untuk polisi melakukan pembenahan. Dan sebenarnya jangan hanya internal saja tapi juga bagaimana meletakkan posisi polisi dan ketatanegaraan kita. Iya, jadi satu tahap sudah kita capai, yaitu Pengakuan dari berada Eyang memang statusnya baru pengakuan di depan penyidik. Tentu ini pembuktian nanti depan pengadilan, di bawah sumpah. Tapi kira-kira ada kelegaan bahwa menjadi justice collaborator itu betul-betul untuk menghindari conflict of interest, menghindari sensasi yang makin lama makin gila, dan kembali pada fungsi utama pengadilan nanti, yaitu menetapkan siapa tersangka dan pada saat itu tentu Polri bisa berlega nanti karena institusinya bisa diselamatkan. Jadi menyelamatkan institusi memang ada ongkosnya, yaitu ada satu kelompok, satu orang, atau satu geng bahkan yang harus dibersihkan. Itu intinya kan. Dalam keadaan itu kita ingin supaya cepat selesai karena geng-geng yang lain di wilayah ekonomi masih banyak, geng-geng yang lain di soal politik juga tumbuh lagi. Jadi, baiklah kalau ini selesai lalu kita pindah untuk ngurusin ekonomi dan politik yang juga makin mendebarkan. Satu hal tapi saya kira sebenarnya, di luar bahwa ada niatan dari POLRI untuk bersih-bersih, karena nggak mudah loh ini dengan posisi yang sangat tinggi, seperti Ferdy Sambo (Kadiv Propam), kepala Satgasus, yang kemudian sekarang ditahan atau ditempatkan khusus. Tapi kelihatannya akan bergulir ke pidana. Yang kedua yang membuat kita lega itu kelihatannya ternyata yang kemarin kita selalu khawatir adanya pembelahan pada masyarakat, tetapi untuk isu kali ini semua civil society bersatu. Itu yang membuat saya lega dan semua bersikap imparsial karena ini berkaitan dengan hak asasi manusia. Saya kira mestinya begini bangsa kita ini. Itu pentingnya kasus semacam ini jadi selalu kita sebut sebagai pintu untuk membuka berbagai macam pintu lain di kepolisian. Ini baru pintu pertama saja kan di dalam kepolisian ada macem-macem. Ada pintu yang begitu dimasukin ternyata ada pintu lain di dalamnya. Jadi berjejaring dan labirin itu kalau nggak lihat dari atas, dari puncak menara, kita nggak tahu jalan keluarnya di mana. Kelihatannya Pak Sigit akhirnya naik ke puncak menara untuk melihat labirinnya sebesar itu. Tapi dia tetap musti hati-hati karena bagaimanapun senioritas masih berlaku di situ, pengaruh partai masih berlaku, bahkan sinyal-sinyal dari istana makin keras untuk membongkar kasus ini. Jadi, semakin kita merasa bahwa ada kelegaan, semakin juga kita harus menghitung fight bad-nya para pelaku atau pembuat pintu palsu di kepolisian. Jadi belum selesai secara politis. Tapi selesai secara kriminal itu lebih penting. Karena membongkar soal jaringan pengaruh di kepolisian itu berat dan mahal karena menyangkut reputasi macam-macam orang. Saya mengucapkannya pun musti cari kata-kata yang betul-betul persis, berat dan mahal. Ya, karena kita tahu belakangan seringkali kita sebut bahwa bagaimanapun juga inilah politik sudah mulai masuk ke wilayah yang harusnya steril. Kan polisi, ASN, dan termasuk TNI itu kan wilayah yang harusnya steril dari kepentingan politik karena mereka ini adalah alat negara, bukan alat kekuasaan. Tetapi, akibat kepentingan-kepentingan politik, tarik-menarik politik, kita mengulang kembali sejarah masa lalu. Kalau di masa lalu itu pada TNI, sekarang terjadi pada polisi. Ini saya kira yang jauh lebih serius kan. TNI betul-betul ambil sikap back to basics, back to barak. Dan profesionalismenya diucapkan sejak reformasi. Itu konsisten. Militer konsisten. Sedikit hal yang musti kita diskusikan nanti itu kenapa Pak Luhut kemudian meminta supaya Undang-undang TNI diubah. Itu juga satu soal baru, seolah-olah kesejahteraan TNI kurang, karena itu musti diubah supaya ada penempatan di wilayah sipil. Begitu juga sebenarnya tidak diperlukan karena justru kita musti pastikan ada rekrutmen dari sipil untuk menempati posisi-posisi birokrasi politik atau birokrasi pemerintahan, jangan militer. Biarkan militer kita tumbuh jadi militer profesional yang berkali-kali dapat penghargaan dari internasional, kemampuan teknis dan kemampuan strategis. Memang, ada masalah soal kemampuan persenjataan. Tapi itu soal uang saja kan? Begitu ada pembelian senjata maka well accupied militer kita. Sampai dengan saat sekarang, pendidikan militer kita bagus betul kan? Itu sebetulnya yang harus dikedepankan, yaitu membangun institusi militer yang ampuh dan profesional dan eticly. Itu juga yang mustinya diterapkan di lembaga kepolisian karena tentara mungkin bersiaga terus, tapi tidak dalam setiap saat dia menghadapi perang. Tapi kalau kepolisian setiap saat dia harus bersiaga di pojok-pojok kota, tahu di mana persembunyian money laundring, berupaya untuk menangkap bandar narkoba, segala hal yang berurusan dengan perkembangan masyarakat. Di situ diperlukan tingkat etika yang tinggi itu. Kalau keilmuan, kita yakin kemampuan polisi untuk menangkap maling. Tetapi, tuker tambah di belakang itu yang seringkali dipersoalkan orang. Sudah ditangkap tapi diloloskan, setelah diloloskan masih ada lagi penangkapan yang lain. Jadi ini yang jadi sorotan publik. Tetap publik ingin melihat kemegahan tentara itu dengan seragamnya, tapi sekaligus memberi kedamaian, rasa aman. Sama seperti orang Inggris menganggap bahwa lebih baik nggak ada perdana menteri daripada nggak ada sekolah scholeryard. Jadi etika itu yang kita inginkan betul bahwa polisi itu sebagai institusi tumbuh bersih, dihormati, dan tidak disinismekan. Sekarang, selama kasus tembak-menembak ini itu, sinismenya tinggi betul pada polisi itu. Dan polisi juga terpaksa musti cari jalan supaya persiapan dia untuk membersihkan institusinya melalui peristiwa ini betul-betul rapi itu. Ya. Dan selalu, kita harusnya setiap kali melihat sesuatu, kita lihat dari the bright side-nya ya, dari sisi yang lebih ternag. Mungkin orang mengutuk apa yang terjadi, tapi selalu kita ingatkan dari kemarin bahwa saya kira ini jadi momentum gitu dan Pak Listyo Sigit kalau mau mengingatkan memang nggak sendirian, karena ini sudah cukup lama terjadi, jadi dia harus dapet support. Betul, support pada Pak Sigit memang diperlukan karena kan status Pak Sigit itu sebagai Kapolri, tetapi orang merasa ya dia adalah mantan ajudan presiden. Kan itu berarti ada sesuatu yang masih berbekas di dalam hierarki antara Presiden dan Kapolri yang mantan ajudan. Itu secara psikologis ada dan Pak Sigit itu relatif junior dibandingkan dengan sebut saja satu struktur di kepolisian yang tetap merasa ada yang kurang klop dalam relasi atau komunikasi, entah dari para senior atau dari Bapak Sigit sendiri. Jadi ini problem-problem institusional yang terkait dengan kemampuan untuk membersihkan institusi. Ya satu paket ini yang sebetulnya harus kita sodorkan menjadi pembicaraan publik. Dan bagus betul kalau pers mulai menjadikan ini persoalan pembenahan, karena ada momentum. Tapi sering kali juga kepolisian terlihat memakai beberapa pers untuk jadi speaker dari proses-proses di dalam kepolisian sendiri sehingga ada pers yang tiba-tiba dapat data yang betul-betul mencengangkan, ada pers yang menunggu informasi resmi dari humas Kapolri. Itu juga dia bilang, itu kemampuan manuver pers saja. Iya, tapi kita tahu ada pers yang melekat di kepolisian, ada pers yang menunggu di ruang tunggu. Kan begitu. Itu sebetulnya yang kita pahami. Iya. Soal kemaren status Ferdy Sambo ditahan atau tidak ditahan aja itu banyak versi yang ambigu. Ada yang menyebut kemungkinan menggunakan bahasa polisi ditempatkan di tempat khusus. Iya, tapi saja dengan ditahan, karena kalau istrinya mau dateng habis nganter bajunya saja nggak bisa ketemu, apa namanya dong. Ya, itu kalimat-kalimat tertentu memang bisa dipakai, tapi tetap kita paham bahwa ini pasti harus diselesaikan dengan cara yang cepat dan betul-betul terbuka supaya langkah berikutnya ada kesempatan Pak Sigit membenahi institusinya. Itu intinya. Jadi blessing in disguise-nya di situ. Disguise-nya ya itu konsumsi mereka yang masih berupaya untuk menonton versi sinetronnya. Kalau kita ingin versi kriminalnya diperlihatkan dengan dalil-dalil akademis, pembuktiannya yang transparan, dan lebih penting lagi adalah kesaksian-kesaksian yang hanya berdasar pada fakta itu. Nah, di sini pers dituntut kembali untuk jadi hakim publik di pengadilan nanti. Dan jadi hakim publik juga berat karena apapun keputusan pengadilan itu beriimpak pada beberapa peristiwa yang terkait. (ida, sof)
Pemeriksaan Irjen Ferdy Sambo dan Istri Akan Dilakukan Secara Terpisah
Jakarta, FNN - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI mengatakan pemeriksaan atau permintaan keterangan terhadap Irjen Polisi Ferdy Sambo dan istrinya Putri Candrawathi akan dilakukan terpisah, terkait penyelidikan kasus kematian Brigadir J.\"Karena itu penting bagi kami dalam melihat konsistensi pengakuan, konsistensi keterangan, dan konsistensi dari alat bukti,\" kata Komisioner Komnas HAM RI Mohammad Choirul Anam di Jakarta, Senin.Terkait jadwal atau waktu pemeriksaan keduanya, Anam mengatakan hal tersebut belum dapat dipastikan. Akan tetapi, ketika permintaan keterangan dilakukan dipastikan di ruangan berbeda.Anam mengatakan rencana permintaan keterangan Irjen Ferdy Sambo beserta istrinya yang dilakukan terpisah. Hal ini juga diterapkan saat permintaan keterangan para ajudan atau aide de camp (ADC).\"ADC walaupun waktu pemeriksaannya sama, tapi pemeriksaan satu ajudan dengan yang lain itu berada di ruangan yang berbeda,\" kata dia.Hingga saat ini Komnas HAM diketahui belum meminta keterangan langsung kepada Irjen Ferdy Sambo maupun istrinya. Khusus Putri Candrawathi, hal itu karena dilatarbelakangi kondisi psikologis.Ia mengaku saat ini Komnas HAM sedang berupaya membangun komunikasi dengan istri Ferdy Sambo. Apalagi, permintaan keterangan Putri Candrawathi sudah diagendakan Komnas HAM sejak awal.\"Keterangan dari Putri Candrawathi pasti sangat dibutuhkan. Semua hal yang terkait keterangan pasti kami butuhkan,\" ujarnya.Kendati istri Irjen Ferdy Sambo sudah muncul ke publik untuk pertama kalinya pascaperistiwa tewasnya Brigadir J, Anam mengatakan saat ini agenda strategis lembaga tersebut ialah terkait permintaan keterangan uji balistik.\"Jadi itu yang kami prioritaskan. Semoga soal balistik ini bisa ketemu antara tim balistik dengan Komnas HAM,\" ujar dia. (Sof/ANTARA)
Sempat Berpotensi Menjadi Next Kapolri, Kini Karir Ferdy Sambo Tamat?
Jakarta, FNN – Dalam empat pekan terakhir ini publik disuguhkan dengan berbagai drama kejanggalan-kejanggalan tewasnya Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat. Mayoritas publik tidak percaya lagi dengan apapun penjelasan versi polisi, tampak sekali ada sesuatu yang besar dan tengah coba disembunyikan, namun karena peristiwa ini terlalu besar maka menjadi sulit untuk disembunyikan. “Saya memaklumi bahwa banyak yang kecewa mengapa Irjen Ferdy Sambo, figure penting yang berada di pusaran peristiwa tersebut hanya dikenakan pelanggaran disiplin, tidak professional, bukan pelaku, atau bahkan bukan dalam pembunuhan berencana sebagaimana yang dikatakan pengacara keluarga Yoshua,” kata wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalan kanal YouTube Hersubeno Point, Ahad, 7 Agustus 2022. Nasib Ferdy Sambo kini bahkan hanya bisa menunggu hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh tim khusus bentukan Kapolri. Apa pun hasilnya nanti, sulit rasanya Irjen Ferdy Sambo untuk bisa menaiki jenjang pangkat yang lebih tinggi, apalagi jabatan Kapolri. “Dia dianggap sebagai calon penggantinya Listyo Sigit karena disebutkan kalau Ferdy bersinar dan usianya juga masih memadai, kalau dia hanya dihukum pelanggaran disiplin, namun tetap saja namanya sudah tercoreng, atau bila nanti terbukti ada tindak pidana maka karir Ferdy Sambo akan tamat,” ungkap Hersubeno. Padahal sebelum terjadi kasus tewasnya Yoshua, Ferdy Sambo menjadi buah bibir, lantaran berhasil meraih pangkat bintang 2 alias Irjen Pol di usia 48 tahun. Ketika itu, Ferdy Sambo bahkan bisa dibilang menjadi Irjen Pol paling muda dibandingkan perwira-perwira bintang 2 lainnya di Polri. Artinya, hanya butuh dua bintang lagi bagi Ferdy Sambo untuk menjadi Kapolri. Namun kasus penembakan di rumahnya yang menewaskan Brigadir Yoshua seperti menjungkirbalikkan prediksi-prediksi di atas. Sejauh ini, Bharada E telah dinyatakan sebagai tersangka dalam tewasnya Brigadir Yoshua di rumah Ferdy Sambo. Namun, Mabes Polri menyatakan kasus ini akan terus dikembangkan dan tidak menutup kemungkinan akan ada tersangka baru. “Kita tunggu saja jawaban selanjutnya dari kepolisian, jadi jangan hanya persolaan etik saja, kita meminta agar kasus pidananya dibongkar dan dibukake publik, hanya dengan begitu kepercayaan publik ke instisusi polri bisa dikembalikan, potong ekor-ekor yang busuk jangan sampai menjalar ke kepala,” pungkas Hersubeno. (Lia)