HUKUM
Polemik UU Omnibus Law: Banyak Versi untuk Tutupi Sesuatu?!
by Mochamad Toha Jakarta FNN - Rabu (14/10). Mana naskah final UU Omnibus Law atau Cipta Kerja yang benar dan asli? Setelah beredar naskah setebal 1.035 halaman yang telah dikonfirmasi sebagai naskah final, kini beredar lagi naskah setebal 812 halaman. Bagaimana dengan naskah lainnya? Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indra Iskandar kembali membenarkan versi 812 halaman ini. Menurut Indra, perubahan ini terjadi karena perubahan format kertas dari ukuran A4 menjadi ukuran legal. “Iya delapan ratus dua belas halaman. Kan tadi pakai format A4, sekarang pakai format legal jadi 812 halaman,” kata Indra ketika dihubungi, Senin, 12 Oktober 2020, seperti dilansir dari Tempo.co, Senin (12 Oktober 2020 20:56 WIB). Indra mengatakan naskah itu belum dikirim ke Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Namun ia tidak merinci apakah naskah itu sudah siap dan rampung diteken para ketua kelompok fraksi (Kapoksi) Badan Legislasi serta pimpinan DPR. Indra juga tak merinci saat ditanya adanya kemungkinan perubahan substansi dari naskah teranyar ini. Dia mempersilakan hal itu ditanyakan kepada pemerintah. “Saya enggak bisa bicara substansi, saya administrasi saja,” kata Indra. Tempo pun memeriksa naskah UU Cipta Kerja versi 812 halaman. Dalam naskah terbaru ini ada penambahan di antara Bab VIA, Bab VI, dan Bab VII. Bab ini yang mengatur tentang Kebijakan Fiskal Nasional yang Berkaitan dengan Pajak dan Retribusi. Bab VIA ini terdiri dari enam pasal. Ada tiga pasal tambahan, yakni Pasal 156A, Pasal 156B, dan Pasal 159A. Kemudian ada penambahan dan perubahan ayat pada Pasal 157 dan 158. Pada Senin pagi tadi, Indra mengonfirmasi naskah setebal 1.035 halaman yang disebut akan dikirim ke Presiden Jokowi. Naskah itu pun memuat sejumlah perbedaan dari naskah setebal 905 halaman yang sebelumnya beredar pada Senin, 5 Oktober 2020. Sepekan sejak disahkan oleh DPR dan pemerintah pada Senin (5/10/2020), belum ada naskah final UI Cipta Kerja. Pada Kamis (8/10/2020), anggota Baleg DPR Firman Soebagyo berujar, masih ada beberapa penyempurnaan yang dilakukan pada RUU Cipta Kerja. “Artinya, bahwa memang draf ini dibahas tidak sekaligus final, itu masih ada proses-proses yang memang secara tahap bertahap itu kan ada penyempurnaan,” kata dia. Dikutip dari Kompas.com, Senin (12/10/2020), beredar juga draf UU Cipta Kerja dengan versi terbaru. Kali ini, terdapat draf berjumlah 1035 halaman. Di halaman terakhir, terdapat kolom untuk tanda tangan pimpinan DPR Aziz Syamsuddin. Sebelumnya, Senin, 5 Oktober, beredar dokumen yang berjudul “5 OKT 2020 RUU Cipta Kerja-Paripurna”. Dokumen tersebut berjumlah 905 halaman. Sementara itu, dalam situs DPR (dpr.go.id), draf RUU Cipta Kerja yang diunggah berjumlah 1.028 halaman, tetapi tidak memiliki tanggal yang jelas. Misteri naskah final ini menambah daftar kritikan publik terhadap UU Cipta Kerja yang sejak awal menuai kontroversi. Sampai detik ini mana draf yang benar belum juga terang betul. Meski Sekretaris Jenderal DPR melansir draf UU Cipta Kerja (versi 1.035 halaman) yang dimuat berbagai media dan disebut sebagai “yang dibahas terakhir” dan “dikirim ke Presiden”. Sebelumnya beredar versi 1.028 halaman yang dipajang di laman Kemenko Perekonomian tanggal 7 Mei 2020. Lalu versi 905 halaman yang beredar setelah Rapat Paripurna DPR 5 Oktober 2020 menyetujui. Ada juga versi 9 Oktober 2020 setebal 1.062 halaman. Jika pihak DPR dan pemerintah atau para pendukungnya berkata semua versi itu substansinya sama hanya ada perubahan format dan titik-koma sehingga jumlah halamannya berbeda, tulis Agustinus Edy Kristianto, tentu saja ini Anda layak curiga. Beda adalah beda. Sama adalah sama. Bahkan perubahan titik atau koma pun mempengaruhi arti atau makna. Jangan main-main dan menganggap remeh hal itu dalam suatu pembentukan regulasi yang akan mengikat kita semua. Lagipula kenyataannya setiap versi terjadi perubahan substansial. NU Circle yang memang memelototi sektor pendidikan menemukan dugaan ‘ketidakjujuran’ pernyataan Sekjen DPR bahwa versi 1.035 halaman (12 Oktober 2020) dan versi 905 halaman (5 Oktober 2020) substansinya sama hanya perubahan pada titik-koma. Nyatanya, ia mengubah substansi. Draf versi 1.035 halaman terdapat penjelasan Pasal 65 Ayat (1) yang justru persis sama dengan versi 1.052 halaman (9 Oktober 2020). ‘Triknya’ adalah dalam versi 1.052 dan 1.035 halaman terdapat penjelasan Pasal 65 Ayat (1) yang isinya tentang perizinan usaha pendidikan yang hanya berlaku di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), persis dengan pernyataan Presiden saat klarifikasi hoaks (9 Oktober 2020). Tempo melaporkan sebuah peristiwa yang terjadi pada Rabu, 7 Oktober 2020 (2 hari setelah Rapat Paripurna) di ruang Badan Legislasi DPR, Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Pasal 253 tentang Revisi UU 1/2009 tentang Penerbangan diubah. Petugas menghapus kata “heliport” di belakang frasa “tempat pendaratan dan lepas landas helikopter”. Detikcom (Senin, 12 Oktober 2020) melaporkan perubahan kata “paling banyak” dalam Pasal 156 Ayat (2) yang mengatur tentang pesangon, yang berbeda antara versi 905 halaman dan 1.035 halaman. Ini indikasi dugaan yang sangat kuat bahwa antara rentang waktu Rapat Paripurna 5 Oktober 2020 sampai hari ini, naskah itu mengalami perubahan Bukan hanya perubahan titik-koma melainkan Perubahan Substansi yang mempengaruhi Arti. Tindakan itu memiliki konsekuensi hukum dan politik yang sangat serius. Para pelakunya bisa dipidana. Kedudukan hukum dan kredibilitas produk hukum ini pun berpotensi cacat dan patut dibatalkan seluruhnya baik melalui mekanisme uji formil di MK, Executive Review, maupun Legislative Review. Dalam status sebelumnya, Edy Kristianto telah mengatakan tentang proses pembentukan UU Cipta Kerja yang diduga bertentangan dengan asas pembentukan perundang-undangan yang baik terutama asas keterbukaan. Permasalahan draf RUU yang cenderung ditutup-tutupi juga telah diungkapkan Prof. Satya Arinanto pada 29 April 2020 ketika RDPU dengan DPR. UU ini juga cenderung berpihak kepada pengusaha, dibuktikan dengan pembentukan Satgas yang didominasi pengusaha. Bahkan seorang anggota Satgas melapor ke Ombudsman RI mengenai adanya keharusan menandatangani pernyataan tidak mengungkapkan draf RUU kepada pihak luar. UU Cipta Kerja sangat-sangat strategis dan penting. Mengatur banyak hal mulai dari Migas, Minerba, Ketenagalistrikan, Kelautan, Pers, Penyiaran, Pajak, Kepailitan, dan banyak lagi. Jadi, “Jangan dianggap sepele sekadar titik koma,” tegasnya. Yang jelas, jika ada yang berkata UU Cipta Kerja sangat urgent untuk menarik investasi demi lapangan kerja bagi 22 juta pengangguran, jangan mudah percaya. Skeptislah, karena itu bisa jadi pemanis belaka. Edy Kristianto juga menyoroti pembentukan lembaga baru melalui UU ini yakni Lembaga Pengelolaan Investasi-LPI (Pasal 165 draf versi 1.035 halaman). “Ini norma baru usulan pemerintah yang bisa ditelusuri dari Naskah Akademik,” tulisnya. Lembaga ini akan mendapatkan modal awal paling sedikit Rp15 triliun berupa Dana Tunai, barang milik negara, piutang negara pada BUMN/PT, dan saham milik negara pada BUMN. Dalam hal modal berkurang secara signifikan, pemerintah bisa menambah kembali modal. Lembaga ini kuat kedudukannya dan hanya dapat dibubarkan dengan undang-undang. Mimpinya ingin meniru superholding BUMN seperti Temasek (Singapura) dan Khazanah (Malaysia), seperti yang dulu digaungkan dalam kampanye Pilpres. Tapi ingat, ini wilayah panas yang sinyal kuat potensi korupsinya tinggi. Investasi bisa untung, bisa rugi dan bagaimana status keuangan negara di situ, bagaimana pula pertanggungjawaban pidananya. Belum lagi kredibilitas pengelolanya. “Bagaimana jika dimanfaatkan selayaknya bisnis manajemen aset swasta, yang sebagian besar aktornya saya amati dominan berperan dalam pembentukan UU ini,” ujarnya. Yang jelas, jika ada yang berkata UU Cipta Kerja sangat urgent untuk menarik investasi demi lapangan kerja bagi 22 juta pengangguran, jangan mudah percaya. Skeptislah, karena itu bisa jadi pemanis belaka. Edy Kristianto mengingatkan, UU Cipta Kerja bisa juga kita curigai menjadi alat segelintir orang untuk menjadi broker investasi asing dengan menjual kekayaan negara ini. “Lapangan kerja bagi pengangguran belum terwujud, tapi pundi-pundi harta orang-orang itu sudah gemuk terlebih dulu,” katanya. Melansir Koran Tempo, Selasa (13/10/2020), munculnya sejumlah versi UU Cipta Kerja dengan sejumlah perubahan pada subtansi pasal setelah disahkan DPR dalam paripurna pada 5 Oktober 2020 menjadi tanda cacat formal. Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan perubahan subtansi setelah pengesahan menunjukkan rendahnya legitimasi dalam perumusan Undang-undang tersebut. “Dari sisi legal, itu sudah melanggar,” katanya seperti dikutip Koran Tempo. Berdasarkan UU Nomor 12 tahun 2011, DPR memiliki waktu 7 hari untuk merapikan draf UU yang disahkan kepada Presiden Jokowi. Tapi, menurut UU, yang boleh diubah hanya kesalahan ketik dan penyesuaian format tulisan. Perubahan subtansi tidak diperkenankan karena bakal mengubah materi Undang-undang. “Mengubah satu ayat pun tidak boleh. Itu sama dengan pencurian pasal,” ujarnya. *** Penulis wartawan senior FNN.co.id
Penangkapan Syahganda Nainggolan,Yuridis Atau Politis?
by Dr. Abdul Chair Ramadhan SH. MH. Jakarta FNN – Rabu (14/10). Sebagaimana berita yang beredar luas di media sosial, Surat Perintah Penangkapan terhadap Syahganda Nainggolan didasarkan pada adanya Laporan Polisi dan Surat Perintah Penyidikan. Diketahui bahwa Laporan Polisi itu dibuat tanggal 12 Oktober 2020. Sementara Surat Perintah Penyidikan diterbitkan pada tanggal 13 Oktober 2020. Seiring dengan itu penangkapan dilakukan pada tanggal 13 Oktober 2020. Menjadi pertanyaan, begitu cepatnya Sprindik dibuat. Hanya berselang satu hari dari Laporan Polisi. Begitu juga dengan penangkapan di tanggal yang sama dengan keluarnya Surat Perintah Penyidikan. Kondisi demikian, tidaklah lazim dan sulit untuk dapat dimengerti dalam ilmu Hukum Acara Pidana. Penangkapan menunjuk pada seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana. Terhadap tindakan penangkapan harus ada terlebih dahulu minimal dua alat bukti terkait dengan dugaan tindak pidana yang dilakukan. Dengan demikian, dalam proses penyidikan yang mengarah kepada penangkapan dipersyaratkan harus adanya minimal dua alat bukti. (Pasal 1 angka 20 Jo Pasal 17 KUHAP). Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 menyatakan bahwa frasa "bukti permulaan," "bukti permulaan yang cukup", dan "bukti yang cukup" sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Sepanjang tidak dimaknai bahwa "bukti permulaan," "bukti permulaan yang cukup", dan "bukti yang cukup" adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Alat bukti tersebut yakni Surat, Keterangan Saksi dan Keterangan Ahli (Pasal 184 KUHAP). Disini dipertanyakan apakah minimal dua dari tiga alat bukti tersebut sudah diperoleh oleh penyidik? Mengingat Sprindik diterbitkan sehari setelah Laporan Polisi dibuat. Tentunya menimbulkan keraguan publik. Target a apa yang dicapai Polisi? Apakah yang penting bisa menahan Syahganda Nainggolan, salah satu Deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI)? Supaya Presiden Jokowi senang? Mahkamah Konstitusi juga menentukan bahwa sebelum penetapan status tersangka, harus dilakukan pemeriksaan terhadap calon tersangka. Hal ini merupakan bagian penting dari proses penetapan tersangka. Menurut Mahkamah Konstitusi, pemeriksaan calon tersangka dilakukan untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang. Tuajuannya, agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka dapat memberi keterangan secara seimbang. Pemeriksaan calon tersangka ini penting. Untuk menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik, terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup. Pemeriksaan calon tersangka dan keberadaan minimal dua alat bukti bersifat kumulatif, bukan alternatif. Tegasnya, keduanya merupakan satu kesatuan atau berpasangan, dan oleh karenanya tidak terpisahkan. Apakah yang bersangkutan telah memenuhi unsur delik sebagaimana yang disangkakan? Dalam pemberitaan yang diketahui publik, Syahganda nainggolan diduga melakukan tindak pidana Pasal 14 Ayat (1) dan Ayat (2) dan/atau Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan/atau Pasal 45A Ayat (2) Jo Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Patut untuk diketahui, Pasal 45 Ayat (2) Jo Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik merupakan delik materil dengan menunjuk frasa “untuk menimbulkan”. Apakah telah nyata sungguh-sungguh terjadi timbulnya kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) kapan dan dimana? Dengan demikian, harus terwujud adanya akibat timbulnya kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu yang berdasarkan SARA. Tidak dapat dibenarkan adanya penafsiran, bahwa pemerintah maupun partai politik dan badan hukum, termasuk dalam dalam pengertian Antargolongan. Golongan disini adalah golongan penduduk berdasarkan Hukum Tata Negara. Kemudian, Pasal 14 Ayat (2) Undang-Undang Peraturan Hukum Pidana, tidaklah berdiri sendiri. Melainkan terkait dan berpasangan dengan Ayat (1). Pada Ayat (1), seseorang yang menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong adalah memang berasal dari dirinya sendiri. Oleh karena itu, disebutkan “dengan sengaja” menerbitkan keonaran di kalangan rakyat. Dirinya memang menghendaki dan mengetahui perbuatannya, termasuk akibatnya. Adapun pada Ayat (2) seseorang yang menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat dalam kualitas “patut menyangka” bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong. Kualitas patut menyangka terhubung dengan adanya berita atau pemberitahuan bohong dari orang lain yang ia terima untuk kemudian dirinya turut memberitakan atau memberitahukannya kepada masyarakat. Dengan kata lain, delik Ayat (1) berpasangan dengan Ayat (2). Keduanya dapat dibedakan namun tidak dapat dipisahkan. Pertanyaannya, siapa yang pertama kali menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong tersebut? Lebih dari itu Ayat (1) tergolong delik materil dengan frasa “menerbitkan keonaran dikalangan rakyat”. Keonaran disini identik dengan kerusuhan. Apakah pula kerusuhan di masyarakat itu sungguh-sungguh sudah terjadi sebelum yang bersangkutan dilakukan penangkapan? Penangkapan terhadap sejumlah aktivis, selain Syahganda Nainggolan, juga ada Anton Permana, Jumhur Hidayat dan yang lainnya, kesemuanya itu tidak dapat dilepaskan dari aksi 13 Oktober 2020 (Penolakan Undang-Undang Cilaka). Ketiga aktivis tersebut merupakan pengurus KAMI. Oleh karena itu, pertanyaan seriusnya adalah, apakah penangkapan tersebut murni berdasarkan hukum? Atau justru mengandung kepentingan politik? Wallahu ‘alam bishawab. Penulis adalah Ahli Hukum Pidana & Direktur HRS Center.
Tanpa Rahmat, Jaksa Pinangki Tidak Kenal Djoko Tjandra!
by Mochamad Toha Surabaya FNN - Jumat (25/09). Pada Kompas.com, Selasa (22/09/2020, 18:22 WIB) melansir, Penyidik Kejaksaan Agung, Selasa (22/9/2020), kembali memeriksa seorang saksi bernama Rahmat dalam kasus dugaan korupsi kepengurusan fatwa untuk Djoko Tjandra di Mahkamah Agung (MA). Rahmat adalah orang yang pertama kali mengenalkan Jaksa Pinangki Sirna Malasari kepada Djoko Tjandra. “Saudara Rahmat selaku karyawan swasta atau pemilik Koperasi Nusantara," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Hari Setiyono. Dalam kasus ini, teman Pinangki tersebut sebelumnya telah diperiksa pada 3 dan 9 September 2020. Hari mengatakan, dalam pemeriksaan kali ini, penyidik menggali keterangan Rahmat soal dugaan pemberian suap dari Djoko Tjandra kepada Pinangki. “Untuk mencari fakta hukum tentang pemberian dan janji tersangka Djoko S. Tjandra kepada Jaksa PSM dan bagaimana teknis dan caranya serta maksud dan tujuan pemberian tersebut,” ungkapnya. Dalam kasus ini, Djoko Tjandra diduga bersedia memberikan imbalan sebesar 1 juta dollar AS atau sekitar Rp 14,85 miliar kepada Pinangki. Berdasarkan keterangan Kejagung, Pinangki Sirna Malasari menyusun proposal action plan untuk membantu Djoko Tjandra mengurus fatwa di MA. Proposal itu telah diserahkan ke Djoko Tjandra melalui perantara. Tapi, Djoko Tjandra membatalkan kerja sama mereka lantaran tak ada rencana seperti dalam proposal Pinangki yang terlaksana. Padahal, Djoko Tjandra sudah memberikan uang 500.000 dollar AS (50 persen) dari imbalan yang dijanjikan kepada Pinangki sebagai uang muka. Dari total uang itu, Pinangki diduga memberikan 50.000 dollar AS kepada Anita Kolopaking sebagai pembayaran awal jasa penasihat hukum. Anita Kolopaking adalah mantan pengacara Djoko Tjandra. Dalam kasus ini, Anita juga diduga bersedia membantu Djoko Tjandra mengurus fatwa itu. Sementara, uang yang masih tersisa digunakan Pinangki untuk membeli mobil BMW X-5, membayar dokter kecantikan di Amerika Serikat, menyewa apartemen atau hotel di New York, membayar kartu kredit, serta membayar sewa dua apartemen di Jakarta Selatan. Dalam kasus ini, Pinangki akan menjalani proses persidangan pada Rabu (23/9/2020). Ia dijerat dengan pasal berlapis terkait dugaan korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Sementara, penyidik Kejagung masih merampungkan berkas perkara untuk tersangka Djoko Tjandra dan Andi Irfan Jaya. Sejauh ini, Anita tidak berstatus tersangka di kasus ini. Tapi, ia ditetapkan Bareskrim Polri sebagai tersangka kasus lain yang masih terkait Djoko Tjandra. Dalam kasus dugaan gratifikasi dan suap ini, Jampidsus telah menetapkan 3 orang tersangka. Yakni Djoko Tjandra, Jaksa Pinangk, dan eks kader Partai Nasdem, Andi Irfan Jaya. Sebelumnya, Kejaksaan Agung merespons pernyataan sejumlah pihak ihwal tak dibukanya nama-nama yang diduga membantu Jaksa Pinangki saat menawarkan kepengurusan fatwa bebas di MA untuk Djoko Tjandra. Dilansir Tempo.co, Sabtu (19 September 2020 09:38 WIB), Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Ali Mukartono menuturkan, selama penyidikan sejumlah pihak itu tidak memiliki pembuktian keterlibatan. “Selama itu tidak ada kaitannya dengan pembuktian, untuk apa? Kalau ada pembuktian, baru. Kalau hanya bapakku bapakmu, apa hubungannya dengan pembuktian?” ucap Ali saat dikonfirmasi pada Sabtu, 19 September 2020. Namun, jika dalam gelaran sidang perdana Jaksa Pinangki pada Rabu, 23 September 2020 muncul pembuktian baru maka pihak Kejaksaan Agung akan menelusuri. “Kalau misalkan nanti mengandung nilai pembuktian baru kami cek,” kata Ali. Munculnya pihak-pihak baru yang diduga berperan dalam kasus Jaksa Pinangki berawal dari laporan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI). Koordinator MAKI Boyamin Saiman yang menyebut ada istilah 'bapakku' dan 'bapakmu' dalam kasus tersebut. Selain itu ada juga lima nama baru, yakni T, DK, BR, HA, dan SHD. Mulanya, MAKI hanya mendorong Kejagung menyelidiki sejumlah informasi tersebut. Namun belakangan ia juga melaporkan nama-nama tersebut ke KPK, sehingga KPK ikut diminta mendalami. Permintaan itu dilakukan Boyamin lantaran menilai Kejagung terburu-buru melimpahkan berkas perkara Jaksa Pinangki. Alhasil, ia menduga penyidik Kejagung enggan mengusut tuntas nama-nama lain yang ditengarai ikut terlibat. Joshua Rahmat? RMOL.id menulis berita berjudul “Beredar Foto Perantara Djoko Tjandra Bersama Wapres Laporan”, Rabu (23 September 2020, 12:11 WIB). Rahmat yang menjadi perantara mengenalkan Djoko Tjandra ke Jaksa Pinangki diduga punya hubungan dekat dengan Wapres Maruf Amin. Rahmat, diduga mengenal baik Wapres Maruf Amin. Dugaan tersebut dipicu oleh beredarnya foto kompilasi yang menunjukkan Rahmat bersama Wapres Ma’ruf Amin. Dari tiga foto yang digabung atau kompilasi tersebut memperlihatkan pria berkepala plontos itu bersama Abah, panggilan Wapres Maruf Amin. Foto lainnya memperlihatkan Rahmat tengah berada di Istana Merdeka. Dalam foto itu Rahmat berjalan mengiringi Presiden Joko Widodo bersama Wapres Maruf Amin. Apakah ketiganya punya hubungan dekat? Wallahu ‘alam. Siapa sebenarnya Rahmat yang disebut-sebut sebagai “perantara” Jaksa Pinangki dan Tjoko Tjandra itu? “Saudara Rahmat selaku karyawan swasta atau pemilik Koperasi Nusantara,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Hari Setiyono. Jawaban Hari Setiyono tersebut telah membuka jejak digital siapa Rahmat sebenarnya. Dari jejak digital diketahui, nama lengkap Rahmat itu adalah Joshua Rahmat. Ia tercatat sebagai Ketua Dewan Pengawas Koperasi Nusantara. Nama dan wajahnya muncul saat Koperasi Simpanan Pinjam (KSP) Nusantara (KopNus) dan PT Pos Indonesia (Persero) melakukan Peresmian gedung sekretariat KOPNUSPOS yang di Bandung pada Jumat, 12 Juni 2020. Peresmian yang dilanjutkan dengan Kick Off meeting KOPNUSPOS itu dilakukan bersama Direktur Jaringan dan Layanan Keuangan PT.Pos Indonesia (Persero) Ihwan Sutardiyanta dengan Ketua KopNus Dedi Damhudi dan Ketua Dewan Pengawas KopNus Joshua Rahmat. Nama Joshua Rahmat sebelumnya juga muncul saat Penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara Koperasi Simpanan Pinjam (KSP) Nusantara (KopNus) dengan Pos Indonesia untuk joint operation di bidang Layanan Keuangan. Dilansir TribunNews.com, Sabtu (16 Mei 2020 15:39 WIB), acara penandatanganan tersebut berlangsung pada Jumat (15/5/2020), di Kantor Pusat PT Pos Indonesia, Bandung. Penandatangan kerjasama dilakukan oleh Direktur Utama PT Pos Indonesia Gilarsi Wahyu Setijono dengan Ketua KopNus Dedi Damhudi dan Ketua Dewan Pengawas KopNus Joshua Rahmat. Direktur Utama PT Pos Indonesia Gilarsi Wahyu Setijono mengatakan, Pos Indonesia dan KopNus sudah punya hubungan kerjasama yang sangat panjang. “Hari ini kita melahirkan sebuah embrio baru dan mempunyai cita-cita yang jauh lebih besar, bagaimana kita bisa menjadi kolaborasi dari sebuah proses untuk memberikan lending yang terbesar, yang terluas jangkauannya dan yang paling modern,” katanya. Gilarsi berharap embrio baru kerjasama ini dapat tumbuh agresif dalam melayani masyarakat Indonesia. Dari jejak digital itu jelas sekali. Bahwa Rahmat itu bukan pegawai KopNus. Keluarganya yang punya KopNus, makanya dia bisa menjadi Ketua Dewan Pengawas KopNus. Karena, itu milik keluarganya. Anak perusahaan KopNus, yaitu Mytour Travel, itu salah satu penyelenggara travel Umroh yang belakangan membesar. Mungkin dari situ masuknya dia ke Maruf Amin, sehingga dia bisa jalan bareng Presiden Jokowi. Kembali ke soal Jaksa Pinangki. Jadi jelas, tanpa Rahmat, Jaksa Pinangka tidak mungkin bisa mengenal Djoko Tjandra. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id
Jaksa Agung ST. Burhanuddin Sebaiknya Mundur (Bagian-3)
by Kisman Latumakulita Jakarta FNN – Sabtu (19/09). Kata Direkur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Febrie Adriansyah, dalam dokumen proposal yang didapatkan tim penyidik, ada sosok berinisial DK. Nama ini diduga berkaitan dengan upaya pembebasan Djoko Tjandra saat masih berstatus sebagai buronan. Tetapi Pak Direktur Penyidikikan ini mengakui "kami enggak tahu identitas DK. Yang jelas DK itu ada data. Makanya kami lagi cari”. DK ini siapa? Namun sejauh ini, kata Febrie Jum’at kemarin, Pinangki belum mengungkapkan sosok tersebut (CNN Indonesia 11/09/2020). Siapa itu DK? Febrie menyebut belum mengetahuinya secara pasti. Sehingga tim penyidik Kejaksaan sedang mencari berbagai informasi soal sosok tersebut. "Nah justru kita cari siapa, belum dapat (Inews.com 11/09/2020). Informasi soal dugaan keterlibatan DK pertama kali disebutkan oleh koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman. Ada lima inisial yang disebut terlibat dalam proposal pengurusan fatwa Mahkamah Agung untuk Djoko Tjandra. "Untuk itu, KPK perlu mendalami berbagai inisial yang diduga sering disebut oleh PSM, ADK, dan JST dalam rencana pengurusan fatwa yaitu T, DK, BR, HA, dan SHD", “kata Boyamin. Transfer uang tersangka jaksa Pinangki Malasari ke rekening Grace Veronica Sompie, terungkap senilai Rp 20 juta. Direktur Penyidikan Jamidsus Febrie Adriansyah mengatakan, transaksi Pinangki dengan putri mantan Dirjen Imigrasi Ronnie Sompie tersebut, terkait dengan jual beli souvenir via toko daring (Republika, 10/9/2020). Boyamin, Bos MAKI ini pada kesempatan lain juga mengajukan fakta baru yang dia peroleh. Ada sosok “king maker” dalam komunikasi Jaksa Pinangki Sirna Malasari (PSM) dan seorang bernama Rahmat saat menemui Djoko Tjandra. Kata “King Maker” mengetahui proses-proses itu. Ketika Pinangki pecah kongsi dengan Anita (Anita Dewi Kolopaking), dan hanya mendapatkan rezeki seakan-akan Anita dari Djoko Tjandra. Maka “King Maker” ini berusaha membatalkan dan membuyarkan Peninjauan Kembali (PK) itu, sehingga terungkap di DPR segala macam, kalau “King Maker” di belakang itu semua," ujarnya (republika.co.id 18/0/2020) Tidak itu saja. Boyamin Saiman juga sudah menyerahkan fakta baru ke KPK. Fakta itu menerangkan tentang adanya istilah “bapakmu dan bapakku” dalam percakapan Jaksa Pinangki dengan Anita Kalopaking (Sindonews, 16/9/2020). Cukup bagus Kejaksaan Agung merespons nama-nama inisial di atas. Hebat sekali. Sebab Ali Mukartono, sang Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus ini yang turun tangan sendiri untuk meresponnya. Responnya itu berstandar sebagai penyidik tulen. “Selama itu tidak ada kaitannya dengan pembuktian, untuk apa? “kata Tuan Ali, sang Jampidus ini. Kalau ada pembuktian, baru. Kalau hanya bapakku bapakmu, apa hubungannya dengan pembuktian?” (Republika, 19/9/2020). Top markotop tuan Ali Mukartono. Jawaban Tuan Ali Mukartono ini membuat beta teringat putusan Hakim Syuraih atas kasus yang diajukan oleh Sayidina Ali Bin Abu Thalib radiallahu anhu. Sayidina Ali mengklaim baju besi yang ada dalam penguasaan seorang Yahudi adalah miliknya. Syuraih diminta Sayidina Ali radiallahu anhu untuk memutuskan perkara itu. Sayidina Ali menjadi pemohon mengajukan dua orang sebagai saksi membuktikan tuduhannya. Tetapi kedua saksi itu tidak memenuhi syarat. Satu adalah anaknya sendiri Sayidina Hasan Bin Ali radiallahu anhu, dan satu lagi adalah pembantunya. Alhasil Sayidina Ali radiallahu anhu yang juga Khalifah dan Kepala Negara tersebut tidak dapat membuktikan tuduhannya. Akhirnya hakim Syuraih menjatuhkan putusan bebas untuk si yahudi. Kepada Tuan Ali Mukartono yang Jampidsus itu, beta mau bertanya. Begini pertanyaan beta. Atas alasan apa tuan punya penyidik memeriksa itu anak mantan Dirjen Imigrasi? Ini anak tidak terungkap namanya dalam percakapan antara Jaksa Pinangki dan Anita, tetapi tuan Ali Mukartono punya penyidik tetap periksa Grace Veronica Sompie. Kenapa itu wahai Tuan Ali Mukartono? Tuan akan bilang karena penyidik punya data. Data apa itu Tuan Ali Mukartono? Pasti Tuan Ali bilang data aliran uang kan? Faktanya aliran uang adalah transaksi. Logiskah itu tuan? Kalau beli barang orang, ya harus dibayar dong. Caranya bisa melalui transfer. Soalnya adalah, darimana saja fakta duit-duit itu tuan dapatkan? Tuan dapati fakta itu, beta yakin, setelah tuan-tuan mengembangkan berbagai rumors di tengah masyarakat. Rumor itu intinya berputar pada kasus ini ada duit sekitar U$ 500.000 dolar. Setara dengan tujuh miliar rupiah. Ini yang menjadi dasar pengembangan penyidikan kan? Tuan Ali Mukartono, beta yakin Tuan itu sangat jujur. Tetapi beta tidak tahu apakah orang lain menertawakan keyakinan beta, apa ini benar atau tidak? Mengapa? Pengakuan mantan Jamintel Jan Samuel Maringka kepada Komisi Kejaksaan, itu merupakan pengembangan dari rumors bahwa ada petinggi Kejaksaan Agung berkomunikasi dengan Djoko Tjandra. Memang pengakuan Jan Maringka itu tidak diberikan kepada penyidik kasus Jaksa Pinangki. Pengakuan itu diberikan kepada Komisi Kejaksaan pada waktu mereka memeriksa Jan Maringka. Alhasil rumors-rumors dalam kasus ini, sebagian telah terverifikasi. Benar adanya, bukan hanya bualan. Begitu Tuan Ali Mukartono. Tuan Ali Mukartono, tuan itu kan hebat, dan top. Punya jabatan top. Masa tuan tidak mempunyai insting sebagai profesional? Apa Tuan Ali mau isoloasi orang tertentu di kasus ini? Sehingga tuan mengabaikan rumors itu? Beta mau pesan sama Tuan Ali, bahwa tuan musti tahu, Boyamin itu firm dengan datanya. Data itu dia serahkan ke KPK lho. Dia malah desak KPK periksa nama-nama itu. Dia tidaki main-main. Tetapi beta tidak heran. Itu karena petinggi korporasi yang akan ditanam saham untuk proyek Power Plant, kan juga tidak ditelusuri penyidik. Jadi lagi-lagi, beta tidak heran. Jaksa Agung, yang mantan Jamintel Jan Maringka sebut memberi perintah padanya untuk menemukan Djoko Tjandra, kan tidak Tuan periksa juga? Jadi betul-bertul beta tidak heran. Beta lebih tidak heran lagi. Karena respon Tuan yang beta nilai tidak logis itu, ternyata tidak ditegur oleh Jaksa Agung. Tuan Jaksa Agung juga tutup mulut saja. Mungkin saja Jaksa Agung ST. Burhanuddin malah senang, sehingga tidak mempertanyakan pernyataan Tuan Ali Mukartono yang beta nilai tidak logis itu. Tuan Jaksa Agung malah tidak punya suara sama sekali mengenai kasus ini. Beta anggap ini juga aneh. Penuh dengan tanda tanya (?????). Menurut beta, Tuan Jaksa Agung harus menegur Tuan Ali Mukartono, karena Jaksa Agung adalah penanggung jawab tertinggi segala hal-ihwal yang terjadi dalam penyidikan dan penuntutan. Penanggung jawab tertinggi itu, bahasa formalnya. Bahasa umum kan bilang bahwa Jaksa Agung adalah kompas bagi seluruh Kejaksaan. Nafas dia menjadi ruh Kejaksaan diseluruh republik ini. Dia menjadi orang paling top di dunia Kejaksaan. Malah dunia hukum. Ternyata cuma begini penampilannya. Payah juga Jaksa Agung saat dijabat oleh ST. Burhanuddin. Tuan ST. Burhanuddin dan Tuan Ali Mukartono, anda berdua kan hebat. Kasus Jaksa Pinangki itu segera disidangkan di pengadilan. Penyidikannya super kilat. Penelitiannya juga super kilat. Hueebaatt seekalee. Top dan markotop. Lebih markotop lagi kalau disidangkan bersamaan dengan tersangka yang adalah kader atau mantan kader Partai Nasdem Andi Irfan Jaya itu. Top deh. Hanya benginikah prestasi Jaksa Agung menangani kasus ini? Maaf akal sehat beta bilang tidak begitu. Ini kasus sebagai kasus gagal. Malah bisa dibilang sangat jorok, karena begitu banyak fakta yang tercecer. Yang logis tiak dijadikan titik tindak. Malh menjadi logis. Lebih jauh lagi dibiarkan begitu saja, dengn alasan fersi Tuan Ali Mukartono. Suka-suka Tuan Ali sajalah. Akhirnya beta mau tanya sama Tuan ST. Burhanuddin, Jaksa Agung yang mulia, dan boleh saja dijawab oleh Jampidsus Tuan Ali Mukartono. Apa pandangan Tuan Jaksa Agung terhadap temuan penyelidik Kepolisian bahwa Kebakaran di Gedung Kejaksaan Agung bukan karena korsleting listrik? Apakah itu kecorobohan dari kuntilanak atau gondoruwo? Apa kuntilanak dan gondoruwo bergentanyangan di gedung Kejaksaan Agung pada hari libur? Mana ada kuntilanak dan gondoruwo yang sehebat itu? Bisa punya akal dan kehendak dengan sangat sadar. Datang bergentayangan di gedung Kejaksaan Agung, tepat ketika Kejaksaan sedang membongkar kasus yang melibatkan orang Kejaksaan Agung? Apa kuntilanak dan gondoruwo juga punya akal dan kehendak mau mempersempit kasus ini? Ah kuntilanak dan gondoruwo mana yang tahu hukum. Penyidik Bareskrim Polri dibawa komando Sigit, jendral bintang tiga ini akan memastikannya. Akhirnya beta mau tanya kepada Tuan Jaksa Agung ST. Burhanuddin, kapan Tuan mundur? Masih bersambung. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Jaksa Agung ST. Burhanuddin Sebaiknya Mundur (Bagian-2)
by Kisman Latumakulita Jakarta FNN – Rabu (09/09). Waktu terus berjalan memimpin proses pengungkap skandal dugaan suap Proposal Jaksa Pinangki Sirna Malasari, Andi Irfan Jaya dan Tjoko Tjandra U$ 100 juta. Tekanannya meningkat perlahan semakin meningkat. Lapisan-lapisan hitam tebal, yang membungkus kasus ini, khususnya membungkus nama Sanitiar (ST) Burhanudin, Jaksa Agung ini, terus terbuka pelan-pelan. Lapisannya terus meleleh, karena dimakan oleh waktu. Nama Jaksa Agung, ST Burhanudin, yang seperti artikel saya terdahulu, kali inipun teta beta desak untuk mundur dari jabatannya. Bukan karena tidak tahu-menahu masalah komunikasi Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel), Jan Samuel Maringka dengan Tjoko Tjandra. Namun Jan Maringka yang sebelum pemeriksaan di Komisi Kejaksaan (Komjak) dicitrakan bertindak sendiri. Ternyata tidak seperti itu. Ternyata Jan Maringka berada dalam koridor kordinasi dengan Jaksa Agung, ST Burhanudin. Ini berarti tindakan Jan Maringka adalah tindak resmi institusi Kejaksaan. Karena diperintah resmi oleh Jaksa Agung. Dan hasilnya juga sudah dilaporkan kepada Jaksa Agung sebagai user dari operasi inteljen Kejaksaan. Maka, masuk akalkah kalau hanya Jan Maringka yang menjadi korban? Dicopot dari jabatan Jamintel Kejasaan Agung? Apa salah dan dosa Jan Maringka Pak Jaksa Agung? Ini Hasil Pemeriksaan Komjak Fakta yang ditemukan Komjak setelah memeriksa Jan Maringka, sangat menarik. Mantan Jamintel yang sekarang telah dimutasi menjadi Staf Ahli Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara. Agar tak bias, beta kutip secara apa adanya fakta itu dari Republika.co.id, berdasarkan hasil wawancaranya dengan Ketua Komjak pada tanggal 7 Sepetember 2020. Ketua Komjak Barita Simanjuntak, tulis republika menerangkan, pemeriksaan Jan Maringka sudah dilakukan pada Kamis (03/09). Pemeriksaan tersebut kata Barita, terkait dengan adanya laporan dari Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI), tentang adanya keterlibatan Jan Maringka dalam skandal tuan Djoko Tjandra. “Saat diperiksa, dan dimintakan klarifikasi, yang bersangkutan (Jan Maringka) mengaku, menghubungi (Djoko Tjandra) dua kali. Menghubunginya lewat telefon,” kata Barita, saat dihubungi Republika dari Jakarta, pada Senin (7/9). Komunikasi antara Jan Maringka, dan Djoko Tjandra terjadi pada 2 dan 4 Juli 2020. Akan tetapi, Barita menjelaskan, hubungan via telefon Jan Maringka, dan Djoko Tjandra terkait kedinasan dan fungsi intelejen. Jan Maringka, kata Barita menjelaskan, komunikasi tersebut meminta Djoko Tjandra mengakhiri status buronan, dengan pulang ke Indonesia untuk menjalankan keputusan Mahkamah Agung (MA) 2009. Keputusan MA 2009 memvonis Djoko Tjandra dua tahun penjara dalam kasus korupsi hak tagih utang Bank Bali 1999. Namun, kejaksaan tak dapat mengeksekusi putusan tersebut karena Djoko Tjandra berhasil kabur ke Papua Nugini sehari sebelum MA membacakan vonis. Pada 30 Juli 2020, Djoko Tjandra, berhasil ditangkap di Kuala Lumpur, Malaysia, dan dibawa kembali ke Indonesia untuk menjalankan eksekusi dua tahun penjara “Itu (komunikasi Jan Maringka dan Djoko Tjandra), atas perintah dan sepengetahuan, juga dilaporkan ke Jaksa Agung (Burhanuddin), sebagai user (pengguna fungsi) intelijen,” terang Barita. Terungkapnya komunikasi antara Jan Maringka dan Djoko Tjandra, serta peran Jaksa Agung Burhanuddin, membuat terang peran pejabat tinggi Kejakgung itu, dalam pusaran skandal hukumnya (lihat Republika.co.id 08/09/2020). Mau diapakan fakta ini? Mau dianggap sampah? Kalau ini sampah, pasti bukan sampah biasa. Sampah ini bernilai besar. Selamatkan Institusi Kejaksaan Andaikan ahli sulap kelas dunia sejak zaman Fir’aun sampai sekarang sekalipun, tidak bisa ubah fakta jorok, kotor, busuk di atas itu. Sangat tidak bisa. Fakta itu sangat telanjang sekali. Diperoleh oleh Komjak. Institusi ini punya fungsi memeriksa kelakuan para Jaksa negeri. Fakta itu diperoleh saat memeriksa Jan Maringka. Hasilnya disampaikan sendiri oleh Ketua Komjak. Masa mau bilang bohong? Ketua Komjaknya menyampaikan fakta itu tidak dengan cara bisik-bisik di ruang tersembunyi, atau sebagai informasi off the record. Dia menyampaikan secara resmi, dan terbuka kerpada publik lho. Menyampaikannya kepada jurnalis Republika.co.id. Media yang terbilang sangat kredibel ko. Sebagai jurnalis, beta yakin sahabat jurnalis Republika tersebut pasti menyampaikan identitas kewartawanannya. Termasuk menyebut media tempat dia menjadi jurnalis ketika hendak mewawancarai Ketua Komjak Barita. Apalagi mewawancarai via telpon. Pasti dia menyebut identitasnya dan medianya. Singkatnya fakta ini sangat sangat dan sangat kredibel. Jadi mau apa lagi? Bisa apa tuan-tuan di Kejaksaan Agung, macam Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Direktur Penyidikan (Dirdik) Jampidsus, Kapuspen serta penyidik kasus ini atas fakta di atas? Sudahlah tuan-tuan. Ini bukan soal ada pidana atau tidak. Juga bukan soal ada bukti atau tidak untuk kategorikan tindakan Jaksa Agung itu sebagai pidana atau bukan. Sama sekali bukan itu. Jan Maringka diperintah Jaksa Agung ST Burhanuddin. Itu keterangannya sendiri. Sangat valid. Tetapi dia sudah dimutasi, tak lama setelah Tjokro Tjandra ditangkap Polisi. Jan Maringka sekarang cuma jadi Staf Ahli. Lalu jaksa Pinangki tidak hanya dicopot dari jabatan kecilnya, tetapi telah dijadikan tersangka. ST Burhanudin, tuan Jaksa Agung bagaimana? Kan masih tetap jadi Jaksa Agung. Hebat betul ini sandiwara. Jangan begitulah. Tidak bagus untuk penegakan hukum dan citra institusi Kejaksaan. Fairkah semua fakta yang telanjang itu? Orang gila puluhan tahun sekalipun akan segera berubah menjadi waras. Orang gila itu lalu segera menertawakan tuan-tuan bila tuan-tuan bilang “perlakuan kepada Jan Samuel Maringka itu dibilang oke saja, patut dan fair. Kalaulah Jaksa Jan Maringka menganggap mutasinya fair, kenapa dia mau diperiksa oleh Komjak? Kalau Jan Maringka menganggap mutasinya fair, kenapa dia mau menerangkan seterang itu kepada Komjak? Masuk akalkah kalau Jaksa Agung Pak ST Burhanuddin menganggap Maringka tidak tahu lokasi kebaradaan Djoko Tjandra? Dan itu menjadi kesalahan dari Jan Maringka? Sangat tidak logis. Apa saja tindakan selama kurun waktu Maringka melaksanakan perintahnya Pak Jaksa Agung? Apakah Pak Jaksa Agung tidak monitor? Apa selama dalam rentang waktu tersebut, Pak Jaksa Agung sedang berada dalam situasi tidak mampu untuk berpikir? Juga sangat tidak logis dong? Dari mana Jan Maringka memperoleh nomor telpon Djoko Tjandra? Apakah diberikan oleh Pak Jaksa Agung? Apakah diperoleh sendiri oleh Jan Maringka sebagai orang intel? Lalu apa saran Jan Maringka kepada Pak Jaksa Agung setelah menerima perintah dar Pak Jaksa Agung? Apakah Jan Maringka menyarankan kepada Pak Jaksa Agung agar melibatkan Polisi? Sehingga Interpol bisa bekerja sesuai mekanisme mengejar seorang boronan yang status hukumnya sudah berkekuatan hukum tetap? Kalau tidak ada saran dari Jan Maringka, apakah Pak Jaksa Agung juga memerintahkan Jan Maringka ungtuk berkordinasi dengan Polisi? Apakah Jan Maringka diperintahkan Pak Jaksa Agung memperpanjang red notice di Intepol? Sehingga tidak perlu mengorbankan Irjen Pol. Napoleon Bonaperte, Kepala NCB Interpol dan Brgjen Polisi Nugroho Prabowo, Sektretaris NCB Interpol, yang keduanya sudah dicopot dari jabatannya itu? Bahkan jendral Napoleon Bonaparte sudah ditetapkan menjadi tersesangka. Kalau tidak ada perintah itu, apa sebabnya Pak Jaksa Agung? Mau terlihat gagah bisa tangkap sendiri tuan Tjoko Tjandra? Hal gelap itu tentu tak bisa terungkap dalam ekspos perkara. Pak Ali Mukartono, Jampidsus tak bakal bisa mengungkapnya. Tetapi untuk Pak Ali, beta mau tanya. Apakah valid bantahan-bantahan Pak Jaksa Agung atas sejumlah isu itu? Kan Pak Jaksa Agung tidak diperiksa oleh penyidik. Dia juga tidak diperiksa oleh Komjak. Beda dengan Jan Maringka. Bagiamana Pak Ali memberi nilai pada pernyataan Pak Jaksa Agung tersebut? Beta mau tanya satu hal lagi. Begini Pak Ali, apakah penyidik telah punya data record pada HP Jaksa Pinangki? Kalau ini tidak dimiliki oleh penyidik, bagaimana Pak Ali menerima dan meyakini isu tentang video call Jaksa Pinangki dengan Pak Jaksa Agung ST Berhanuddin, hanya sebagai bualan semata? Ini kasus betul-betul sudah jadi bubur. Sudah tak bisa lagi berharap lebih dari yang sekarang. Sudah sangat payah. Mau seribu kali ekspos juga akan tetap seperti begini ini. Semua hal gelap di atas akan tetap gelap segelap-gelapnya. Sudahlah cepat-cepat saja diadili itu orang-orang itu. Mau bebas ke, mau dihukum terserah pada tuan-tuan penyidik saja . Tetapi sebagai pimpinan tertinggi Jaksa di republik ini, ST Burhanudian, Jaksa Agung, yang tak punya prestasi apapun selama sepuluh bulan ini, harus bertanggung jawab. Demi institusi dan bangsa ini, beta tetap mendesak Jaksa harus mundur. Tinggalkanlah sudah jabatan itu. Ayo, selamatkan institusi Kejaksaan. juga selamatkan wajah hukum Indonesia. Kasian Pak Jokowi. (bersambung). Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Skandal Djoko Tjandra, Jaksa Agung Buka Saja
by Margarito Kamis Jakarta FNN – Selasa (08/09). Kasus dugaan suap yang melibatkan Djoko Tjandra kepada seosang Jaksa sangat tipikal. Efek katastropikalnya jelas. Lebar sekali cakupannya. Memunculkan begitu banyak soal dan penafsiran. Intinya kredibilitas penegakan hukum tergegrogoti habis-habisan. Kejaksaan tidak sendiri dalam kasus ini. Ada juga Kepolisian. Menariknya seperti Kepolisian yang telah menetapkan beberapa anggotanya menjadi tersangka, penyidik Kejaksaan juga telah menetapkan satu Jaksa menjadi tersangka. Ditengah pasang naik kasus ini, Kejaksaan Agung telah memutasi beberapa Jaksa Agung Muda (JAM) dari jabatannya. Dilansir Media Indonesia Oline, mutasi ini telah lama diproses. Prosesnya melalui Tim Penilai Akhir (TPA). Mutasi itu dilakukan oleh Presiden. Sebagai tindakan hukum administrasi negara, mutasi itu dituangkan dalam Kepres Nomor 134/TPA Tahun 2020 tanggal 3 Juli 2020 Tentang Pengangkatan Dalam Jabatan Tinggi Madya di Lingkungan Kejaksaan Agung (Lihat Media Indonesia, 7/9/2020). Menariknya Komisi Kejaksaan (Komjak) memiliki bukti otoritatif bahwa salah satu JAM yang dimutasi itu pernah berkomunikasi dengan Djoko Tjandra. Dua kali komunikasinya. Tanggal 2 dan 4 Juli 2020. Konteks komunikasinya adalah operasi Inteljen. Inti komunikasi tersebut Jam Intel meminta Djoko Tjandra menyerahkan diri (Lihat RMOL, 7/9/2020). Apakah Jaksa Agung juga memiliki fakta ini? Dari siapa prakarsa itu muncul? Apakah prakarsa ini official, dan diketahui oleh Jaksa Agung? Mengapa tidak ditangkap? Mengapa Kejaksaan tidak berkordinasi dengan Kepolisian agar sistem Interpol bekerja? Fakta inilah yang menantang. Apa pertimbangan dibalik sikap itu, sehingga tidak diakukan penangkapan? Apakah ini merupakan strategi Kejaksaan Agung? Semua pertimbangan, tidak bisa dijauhkan dari kelemahan. Itu pasti. Itu sebabnya, demi transparansi dan akuntabiluitas penegakan hukum, pertimbangan-pertimbangan itu layak disajikan ke tengah masyarakat. Jelaskan kepada masyarakat saja apa adanya. Berisikokah membukanya? Tidak juga boss. Persoalan terpenting dititik ini adalah apa pertimbangan penting itu. Membuka pertimbangan itu, justru menaikan level transparansi dan akuntabilitas penanganan perkara ini di Kejaksaaan. Bisakah soal ini dilakukan Pak Jaksa Agung? Fakta penanganan kasus ini memberi keyakinan bahwa Pak Jaksa Agung dapat menggerakan energi beningnya untuk membukanya. Toh caranya sangat sederhana. Hanya perlu menyatakan pertimbangan, apa Kejaksaan sehingga tidak berkordinasi dengan Kepolisian untuk menangkap Djoko Tjandra? Hanya itu saja. Sederhana sekali. Toh penyidik Kejaksaan Agung, dalam kenyataannya telah menetapkan satu Jaksanya menjadi tersangka. Tidak itu saja, sejumlah orang yang selama ini tak terdengar namanya, ternyata telah diperiksa oleh penyidik. Para petugas sebuah bank dan money changer yang selama ini tak terdengar namanya, ternyata telah diperiksa oleh penyidik. Terangkai dengan penetapan salah satu Jaksa menjadi tersangka, penyidik Kejaksaan juga telah menetapkan tersangka non kejaksaan menjadi tersangka. Menurut hukum acara pidana, penyidik baru bisa menetapkan seseorang jadi tersangka bila didukung bukti yang cukup. Prosedur mendapatkan bukti dan penetapan tersangkanyapun harus tepat. Jangan asal-asalan. Juga jangan amatiran, sebab tersangkanya bisa dibatalkan oleh hakim tunggal di sidang praperadilan. Sejauh pemberitaan media online penyidikan masih terus berproses. Terlihat kecenderungan penyidik akan menyita barang bukti lain dari tersangka yang diduga kuat, tentu berdasarkan bukti dan fakta penyidikan, berasal dari kejahatan. Diluar itu, jelas tak bisa disita penyidik. Tetapi dititik ini muncul sebuah soal. Soal itu adalah adanya pernyataan ofisial salah satu pejabat Kejagung. Intinya terdapat informasi samar-samar tentang pengantar uang kepada salah satu tersangka telah meninggal dunia. Ini jelas jadi soal baru. Soal ini sangat krusial. Krusial karena merangsang munculnya pertanyaan apakah uang itu diantar atau ditransfer melalui bank? Bila ditransfer melalui Bank, tentu kematian itu, andai benar, tidak mengubah keadaan hukum apapun dalam kasus ini. Pencatatan di Bank akan bebicara sendiri tentang kemana pergi uang tersebut? Tetapi bagaimana bila tidak ditransfer? Bagaimana dan dengan apa penyidik memiliki keyakinan bahwa uang itu nyata-nyata sampai dan diterima oleh dua tersangka? Kapan tersangka dari non kejaksaan menerima? Kapan pula dia menyerahkan kepada tersangka dari Kejaksaan? Dimana diterimanya? Bila tidak dapat diyakini uang telah sampai pada penerima, maka soalnya adalah bagaimana penyidik membangun konstruksi hukum kalau uang itu sampai ke tangan Jaksa yang tersangka itu? Lalu menetapkan keduanya menjadi tersangka? Kalau soal hukum ini tidak dapat dijelaskan berdasarkan dengan fakta dan bukti yang meyakinkan, maka soal lain akan muncul. Bagaimana, dan dengan alasan hukum apa penyidik menyita barang tersangka? Tidakkah menyita barang itu, menurut hukum acara pidana harus dituntun oleh fakta meyakinkan bahwa uang atau barang itu sebagai hasil kejahatan yang disangkakan kepada tersangka? Kejernihan Jaksa Agung merajut untaian demi untaian kasus ini menjadi kuncinya. Kejernihan itu dapat diperlihatkan, salah satunya melalui instruksi Jaksa Agung, misalnya kepada Direktur Penyidikan untuk selanjutnya dikerjakan oleh penyidik. Instruksi itu hanya perlu mencakup dua isu utama. Pertama, pastikan status pengantar uang itu. Apakah masih hidup atau benar-benar telah mati. Kedua, pastikan pula apakah uang itu telah benar-benar sampai dan diterima oleh dua tersangka itu atau tidak. Hanya itu titik. Jaksa Agung tentu saja mengerti konsekuensi hukum dari fakta tersebut, terlepas dari apapun yang didapat penyidik. Keterus-terangan untuk menyajikan fakta yang diperoleh melalui kerja kredibel, pasti berakhir dengan manis untuk Kejaksaan dan eksistensi Pak Jaksa Agung sendiri. Dapatkah ini dilakukan Pak Jaksa Agung? Fakta mutakhir memungkinkan Jaksa Agung berjalan di jalan ini dengan keyakinan penuh, khas laki-laki yang tahu jalan pulang. Pak Jaksa Agung, buat dan ukirlah jalan pulang itu dengan yang paling indah, seindah ujung senja yang dibalut pelangi. Jangan ragu ragu untuk itu. Jalan itu memang bukan jalan hakikat. Tetapi jalan tersebut membuat napas lega selega musafir menemukan setitik embun di padang tandus. Dunia akan berseri-seri menyaksikan keadilan dan kepastian hukum itu ada. Memanggil KPK hadir dalam ekspos perkara, itu juga bagus Pak Jaksa Agung. Tetapi sebagus apapun, pasti tak lebih bagus dari kejernihan dan keterbukaan Pak Jaksa Agung menyelami sedalam dan sejuh mungkin fakta, apapun dalam kasus ini. Membuatnya terang, seterang purnama. Bukalah semuanya kepada masyarakat. Bukalah apa adanya. Jangan ada yang ditutup-tutupi. Biarkan keadilan memancar, berbicara dan memanggil setiap mata hati yang bening menatapnya. Adil itu tak punya bentuk. Juga tak bisa didefenisikan. Adil itu perisai tak tertaklukan, dan argumen yang tak terselami oleh rasio. Tak goyah oleh persepsi orang. Rasa pun acap tak mampu mengenalnya. Adil itu penghancur tak tertandingi terhadap keraguan. Aneh memang. Tapi begitulah seharusnya. Hebatnya seaneh itu sekalipun, Almarhum Pak Lopa terlihat dapat memahaminya sepenuh hati. Pak Jaksa Agung teruskanlah jalan yang saat ini telah terbuka. Pastikan keterbukaan yang telah berlangsung akan terus menemani penanganan kasus ini. Bekerjalah selalu dengan semangat dan hati yang bening. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Jaksa Agung ST. Burhanuddin Sebaiknya Mundur (Bagian-1)
by Kisman Latumakulita Jakarta FNN – Ahad (06/09). Skandal pengurusan Fatwa Mahkamah Agung senilia U$ 100 juta dollar untuk menunda eksekusi Joko Tjandra telah sangat merusak wajah penegakan hukum Indonesia. Kondisi ini ditambah lagi dengan rencana pengajuan Peninjuan Kembali (PK) untuk membebaskan Tjoko Tjandra dari hukuman dua tahun penjara, entah berapa besar nilainya proposalnya? Joko Tjandra pasti ingin diperlakukan sama adilnya dengan kasus Sudjiono Timan (Yujin) yang bisa mendapatkan pembebasan murni melalui pengajuan PK. Padahal dalam putusan kasasi dan PK sebelumnya menghukum Sudjiono Timan 15 tahun dalam kasus BLBI di PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia senilai U$ 120 juta, setara Rp 1,2 triliun. Skandal Joko Tjandra melibatkan tiga kementrian, dan dua institusi negara setingkat kementerian. Kabarnya, Presiden Jokowi sudah menyampaikan sikapnya. Presiden marah berat atas kasus yang memalukan penegakan wajah hukum di era Jokowi ini. Tiga kemeneterian yang terlibat itu adalah Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, Ditjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri dan Ditjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan. Sedangkan dua institusi nergara adalah Kepolisian Negara dan Kejaksaan Agung. Korban pun sudah berjatuhan. Tiga jendral polisi dicopot dari jabatannya, yaitu Irjen Pol. Napoleon Bonaparte dari Kepala NCB Interpol, Brigjen Pol. Nugroho Prabowo dari Sekretaris NCB Interpol dan Brigjen Pol. Prasetyo Oetomo dari Kepala Biro Korwas PPNS Bareskrim Polri. Bahkan Napoleon Bonaparte dan Prasetyo Oetomo telah ditetapkan oleh Bareskrim Polri sebagai tersangka dugaan gratifikasi, dan terima suap. Selama kenal dengan tiga jendral polisi tersbut, sejak Perwira Menengah (pamen) sampai menjadi Perwira Tinggi (Pati) polisi, tidak ditemukan hal-hal yang aneh dari ketiganya. Mereka bertiga juga bukan masuk katagori polisi lingkangan utama yang bisa dipromisikan dengan cepat. Jalur yang dilalui mereka bertiga normal-normal saja. Bisa mendapatkan jendral, karena pengabdian dan profesional dalam tugas dan jabatan. Keterlibatan tiga jendral polisi itu dalam skandal Joko Tjandara hanya akibat Kejaksaan tidak memperpanjang Red Notice atas terhukum Joko Tjandra. Padahal yang punya kewenangan untuk memantau dan mengawasi sepak terjang Joko Tjandra adalah Kejaksaan selaku ekosekutor. Begitu juga yang punya kewenangan untuk memperpanjang atau tidaknya Red Notice adalah Kejaksaan. Bukan Polisi. Begitulah aturannya. Polisi hanya melaksanakan permintaan dari Kejaksaan. Kalau diperpanjang Red Notice, maka Polisi tidak dapat mencabut nama Joko Tjandra dari daftar buruan Interpol. Namun kalau tidak diperpanjang oleh Kejaksaan, maka tidak ada alasan hukum bagi Polisi memperpanjang Red Notice di Interpol. Pinangki Dekat Petinggi Nasdem Dari jajajaran Kejaksaan, Jan Maringka yang dicopit dari Jaksa Agung Muda Intelejen (Jemdatun), dan Pingaki Sirna Malasari yang ditetapkan sebagai tersangka. Pinangki adalah oknum jaksa yang berkali-kali menemui terhukum Joko Tjandra di Kualalumpur Malaysia. Duagaan sementara Pinangki memberikan jaminan kepada Tjoko Tjandra, kalau semua urusan hukumya di Indonesia bakal aman dan beres di bawah kerja timnya. Presiden Jokowi dalam Rapat Terbatas (Ratas) Bidang Polhukam belum lama ini, yang di dihadiri Menkopolhukam Mahfuz MD, Kapolri Jendral Idham Azis, Jaksa Agung ST Burhanuddin, Mendagri Tito Karnavian, Menkumham Yasona Laoly, Kepala BIN Budi Gunawan telah menyatakan sikapnya. Presiden memerintahkan agar kasus Joko Tjandra ini diusut tuntas sampai ke akar-akarnya. Siapa saja yang terlibat, harus diproses secara hukum. Sikap Presiden Jokowi yang keras dan tegas atas kasus yang sangat memalukan ini kemungkinan bakal menemui hambatan. Apalagi kalau Jaksa Agung masih dijabat Sanitiar Burhanuddin, atau yang biasa disapa dengan ST. Burhanuddin. Untuk itu, Presiden Jokowi sebaiknya memberhentikan dulu Jaksa Agung ST Burhanuddin. Atau paling kurang ST. Burhanudin yang mengundurkan diri atas kemaun atau kesadaran sendiri. Untuk melaksanakan tugas pengamanan segala urusan hukum Joko Tjandra ini, Pinangki tidak bekerja sendirian. Pinangki melibatkan Anita Kolopaking, teman kuliah di Bandung sebagai Pengacara Joko Tjandra. Dalam tim dengan proposal senilai U$ 100 juta ini, ada juga nama Rahmat dan Andi Irfan Jaya. Nama terakhir ini adalah Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Nasdem Sulawesi Selatan. Andi Irfan Jaya telah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Pidsus Kejaksaan. Hubungan Pinangki dengan Andi Irfan Jaya sudah terjalin sejak Jaksa Agung masih dijabat mantan politisi Partai Nasdem HM. Prasetyo. Dari sinilah awal mula Pinangki menjalin komunikasi, dan punya hubungan erat dengan sejumlah petinggi DPP Partai Nasdem yang berasal dari Pulau Sulawesi. Meskipun belom dibuktikan secara otoritatif, namun dugaan sementara, yang mempertemukan Pinangki dengan Joko Tjandra adalah petinggi DPP Nasdem dari Pulau Sulawesi. Kader Partai Nasdem yang ditugaskan sebagai pelaksana lapangan di dalam tim dengan proposal senilai U$ 100 adalah Andi Irfan Jaya. Rencananya sekitar U$ 10 juta dari dana U$ 100 juta itu, bakal dialokasikan untuk pembangunan pengbangkit listrik (Power Pland) di Kalimantan Barat. Dari proyek Power Pland di Kalimantan Barat inilah muncul juga nama baru “Pujianto Gondokusumo”. Nama yang terakhir ini belom pernah diungkap ke publik. Tidak jelas juga institusi mana yang belum mau untuk menungkapkan keterlibatan Pujianto Gondokusumo. Apakah dari Polri atau Kejaksaan? Yang jelas, Pujianto Gondokusumo mempunyai kaitan dengan prosposal U$ 100 untuk minta Fatwa Mahkamah Agung. (bersambung) Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Gedung Kejaksaan Terbakar, Kasus Korupsi Ambyar
by Edy Mulyadi Jakarta FNN - Senin (24/08). Gedung Kejaksaan Agung terbakar, Sabtu (22/8). Api barkobar dahsyat, dan baru bisa dipadamkan pada Ahad pagi. Rakyat pun bertanya, ini terbakar atau dibakar? Maklum, di gedung itu tersimpan berkas-berkas kasus korupsi. Terbakar atau dibakar, bisa membahayakan kelangsungan penyelesaian kasus-kasus korupsi, yang bukan saja kelas kakap, tapi sudah level ikan paus. Tapi belum apa-apa, Menkopolhukam Mahfud MD di akun twitternya menyatakan, bahwa berkas-bekas kasus korupsi aman. Dengan begitu, kata dia, kelanjutan penanganan perkara tak kan terlalu terganggu. Mahfud bahkan mengklaim sudah bicara langsung dengan Jaksa Agung Burhanuddin dan Jampidum Fadhil Zumhana. Mahfud boleh saja super PD dengan keamanan berkas-berkas kasus korupsi. Tapi Kabid Humas Polda Metro Jaya Yusri Yunus menyebut titik kebakaran ada di Gedung Utama. Artinya, semua berkas tak selamat. Jadi bagaimana? Kepada siapa publik harus percaya? Mahfud apa polisi? Terlepas dari keduanya, Tempo menulis berita dengan judul Kebakaran di Kejaksaan Agung Dicurigai untuk Hilangkan Bukti Kasus Djoko Tjandra. Proposal US$100 juta Masih belum selesai, kawan. Tempo.co menulis jaksa Pinangki mengajukan proposal fatwa untuk pembebasan Djoko Tjandra seharga US$100 juta. Dia mengaku melaporkan pertemuannya dengan Djoko kepada Jaksa Agung. Nah… Adakah kaitan antara peristiwa terbakar atau dibakarnya gedung Kejagung dengan upaya penghilangan berkas kasus-kasus korupsi, khususnya terkait skandal hak tagih Bank Bali yang melibatkan Djoko? Bisa ya, bisa juga tidak. Tapi untuk media sekelas Tempo tentu terlalu harga yang harus mereka bayar, andai menurunkan berita asal-asalan. Apalagi media yang punya jam terbang puluhan tahun ini antara lain memang dikenal dengan liputan investigatifnya. Omong-omong, besar sekali nilai proposal fatwa pembebasan Djoko, ya? US$100 juta! Dengan kurs US$1 setara Rp15.000, maka harga fatwa tersebut mencapai Rp1,5 triliun. Dahsyat! Tentu saja, namanya juga proposal. Pasti akan ada tawar-menawar. Berapa angka finalnya? Hanya mereka dan iblis, juga tentu saja Allah SWT, yang tahu. Tapi semua ini menggambarkan betapa amburadulnya penegakan hukum di negeri ini. Di mata para elit itu, hukum benar-benar menjadi komoditas yang gurih diperdagangkan. Ingat, Proposal tadi bukan ditawarkan pak Dullah, tukang cendol yang keliling keluar masuk gang menjajakan dagangannya. Proposal itu juga bukan dibuat oleh mpok Minah, tukang gado-gado di samping rel kereta. Tapi proposal itu diajukan oleh jaksa. Bukan sembarang jaksa, melainkan jaksa yang menangani kasus korupsi tersebut. Benar-benar rusak! Ini pula yang menjelaskan kenapa rakyat tidak terus terpuruk nasibnya, kendati hidup di negeri yangtelah 75 tahun merdeka. Ini pula yang mengabarkan, betapa cita-cita para pendiri bangsa seperti yang tercantum dalam paragraph keempat UUD 1945, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, makin jauh. Apa arti dari semua ini? Artinya, Indonesia tidak sedang baik-baik saja. Indonesia sedang dalam masalah besar. Indonesia sedang sakit. Sekarat. Indonesia di ambang ambyarrr… Presiden pas-pasan Semua ini terjadi karena presiden yang tengah berkuasa gagal memenuhi mandat konstitusi. Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan tidak memiliki kemampuan yang dibutuhkan untuk memimpin negara besar seperti Indonesia. Negara yang nyaris remuk-redam karena selama enam tahun ini penguasa telah salah urus. Kapasitas dan kapabalitas Joko Widodo sebagai presiden jauh di bawah standar yang dibutuhkn seorang pemimpin. Jangan pula bicara soal integritas, wuiihhh… sangat mengerikan! Bagaimana mungkin seorang pemimpin berintegritas bisa menggunakan Istana untuk urusan pribadi dan keluarga. Di Istana pula dia memanggil lawan politik anaknya untuk diminta mundur. Yang lebih buruk lagi, dia menyogok dengan menawarkan jabatan kepada orang yang diminta mundur itu. Jadi, kalau Indonesia mau bangkit, mau lepas dari krisis yang membelit, tidak ada jalan lain kecuali meminta dengan hormat agar Presiden mengundurkan diri. Kasihan rakyat yang harus berjibaku sendiri mempertahankan hidup di tengah pandemi dan himpitan harga-harga yang melangit. Kasihan petani dan nelayan kita karena impor yang ugal-ugalan. Kasihan Indonesia yang sumber daya alamnya dikuras secara brutal dan illegal. Kasihan bangsa ini yang kedaulatannya jatuh ke titik nadir akibat utang luar negeri yang serampangan dan berbunga amat mahal. Jadi, mas Joko, mbok mundur, lah. Please, deh… Penulis adalah Wartawan Senior FNN.CO.ID
Pengacara Bajingan
by Zainal Bintang Jakarta FNN – Sabtu (15/08). Hari ini di Indonesia, di Jakarta dan di ibukota republik tiga perwira tinggi polri, PU, NB dan NSW, pengacara ADK serta seorang Jaksa PSM, rontok. Mereka dijebloskan ke dalam tahanan. Terseret kasus penyuapan dan pemalsuan dokumen untuk buronan Djoko Tjandro, tersangka kasus cessie Bank Bali. Buronan sebelas tahun lalu itu, diringkus sehari sebelum Hari Raya Idul Adha (30/07). Bertepatan malam takbiran menyambut hari raya Idul Qurban, dimana umat Islam diwajibkan menyembelih hewan kurban. Djoko Tjandara diringkus oleh Pilisi Diraja Malaysia (PDRM). Kemudian diserahkan kepada tim Polri di salah satu Kantor Polisi atau Bandara di Malaysia. Memperingati ulang tahun proklamasi kemerdekaan yang ketujuh puluh lima, bangsa ini dilanda duka dan luka yang dalam. Terkoyak oleh penangkapan pejabat penegak hukum yang terjerumus ke dalam lembah kenistaan pelanggaran hukum. Lantas, pada saat ulang tahun bangsa ini, hadiah dan tanda kesyukuran apakah yang akan diberikan kepadanya? Noda hitam penyuapan dan penyalahgunaan jabatan yang melanggar sumpah sangat memukul hati dan melukai perasaan rakyat sebagai bangsa yang beradab. Kasus Djoko Tjandra yang menghebohkan itu mendorong saya membaca ulang novel yang berjudul “Rogue Lawyer” atau “Pengacara Bajingan” karya John Grisham. Novelis, kelahiran Jonesboro, Arkansas, AS, 8 Februari 1955. Novel itu dirilis Oktober 2015 di Amerika. Di Indonesia, novel berjudul “Pengacara Bajingan” sudah diterjemahkan dan diterbitkan grup penerbit Gramedia (2017). Sang novelis itu mantan politikus dan pensiunan pengacara Amerika Serikat. Dia dikenal sebagai penulis novel bertema hukum. Telah melahirkan puluhan novel, yang semuanya boleh dikata best seller di seantero dunia. Novel “Pengacara Bajingan” menceritakan tentang pengacara jalanan yang bernama Sebastian Rudd. Tidak punya kantor tetap. Bekerja sesuai dengan waktunya. Kegiatannya berlangsung di dalam mobil van kargo besar merk Ford yang dilengkapi oleh jendela anti peluru. Ada Wi-Fi. Kulkas kecil. Bar untuk minuman keras. Kasur dan perlengkapan senjata lainnya. Selain itu, Sebastian Rudd juga tidak memiliki perusahaan, mitra kerja, karyawan maupun petugas lainnya. Hanya sendirian tinggal di sebuah apartemen kecil. Sehari-hari didampingi seorang yang disebut partner penunjukan Negara Bagian. Grisham memulai ceritanya dengan mengatakan : Namaku Sebastian Rudd. Meskipun aku pengacara jalanan terkenal, kau tak akan melihat namaku di papan iklan, di bangku-bangku halte bus atau meneriakimu dari buku telepon. Aku tak sudi mengeluarkan uang untuk dilihat orang di TV, meskipun sering menjadi berita di TV. Namaku tak ada di buku-buku telepon. Aku juga tak punya kantor konvensional. Secara resmi aku membawa pistol. Soalnya nama dan wajahku cenderung menarik perhatian orang-orang yang juga membawa senjata dan tidak keberatan menggunakannya. Sebastian juga membenci asosiasi pengacara. Gemar memberi bocoran kepada wartawan secara cuma-cuma. Grisham menjelaskan pada sebuah wawancara, kisahnya bukan terinspirasi dari pengalaman pribadi. "Aku diam-diam mengagumi pengacara yang memiliki sedikit waktu di kantor, dibandingkan mereka yang bertempur di depan juri atau klien". Diapun tidak pernah menawarkan diri mengambil kasus pria yang akan dihukum mati. Memiliki profesi sebagai pengacara selama sepuluh tahun membuatnya benar-benar ingin menjadi pengacara nakal. Sebagai anggota Badan Pembuat Undang-Undang di Mississippi, Grisham memiliki pengetahuan yang luas mengenai lika-liku “lorong gelap” permainan hukum di Amerika. Hal itu sangat membantunya menciptakan karakter setiap tokoh dalam banyak novel yang bertema hukum. Dia kenyang dengan permainan intrik dan berbagai kebusukan. Termasuk penjungkirbalikan kejahatan menjadi kebenaran. Grisham tidak segan-segan mengkritik sistem hukum di negaranya. Hal ini dapat ditemui dalam novelnya yang mengecam sikap seorang jaksa yang menutup mata dan hatinya terhadap kebenaran, meskipun sesungguhnya adalah fakta. “Sistem yang gila dan sangat tidak adil. Saksi-saksi yang dipersiapkan pihak kejaksaan yang bersaksi untuk Negara Bagian ditutup-tutupi dengan legitimasi, seolah-olah mereka disucikan oleh otoritas”. Grisham melalui Sebastian Rudd berucap, “Polisi, ahli, bahkan informan yang dimandikan dan dibersihkan dan disuruh memakai pakaian rapi, semua bersaksi dan berbohong dalam upaya terkordinasi untuk mengkesekusi klienku. Tapi saksi-saksi yang tahu kebenarannya, dan memberitahu yang sebenarnya, langsung diabaikan dan dibuat agar terlihat bodoh”. Dengan nada lirih Rudd mengatakan, “seperti banyak sidang lain, ini bukan demi kebenaran, melainkan kemenangan”. Mayoritas klien yang ditangani oleh Rudd adalah para kriminal di kotanya yang kecil. Dan mayoritas berumur rata-rata dibawah duapuluh tahun. Bahkan ada yang baru berumur dua belas tahun. Dan di dalam memperjuangkan penyelamatan klien kecilnya, Rudd benar-benar berjibaku menggunakan semua instink, ketajaman feeling dan juga sering berupa nasib baik. Melalui tokoh “ciptaannya” yang bernama Sebastian Rudd, Grisham memiliki pijakan yang kuat membuka kebobrokan sistem hukum di negaranya. Rudd menjelaskan kasusnya dengan menuliskan, “aku sedang membela pemuda putus sekolah delapan belas tahun yang menderita kerusakan otak, dan dituduh membunuh dua gadis kecil dalam salah satu kejahatan paling keji yang pernah kutemui”. Ruud mengakui, “pekerjaanku berlapis-lapis dan rumit. Aku dibayar oleh Negara Bagian untuk penyediaan pembelaan kelas satu bagi seorang terdakwa pembunuhan. Ini mengharuskanku berupaya mati-matian di ruang sidang tempat tak seorangpun mendengarkan. Gardy sudah dianggap bersalah pada hari dia ditangkap, dan sidangnya hanya formalitas”. Yang menarik dari karya-karyanya yang bertemakan hukum, Grisham selalu memadukan duet pengacara dengan wartawan. Pemberitaan media yang kredibel yang mewakili luka hati masyarakat akibat merebaknya praktik “mafia” hukum, diyakininya masih dapat menjadi rem tangan kelajuan praktik pagar makan tanaman yang dilakukan aparat penegak hukum. Namun demikian, ada yang membedakan posisi Sebastian Rudd sebagai pengacara bajingan dengan pengacara salon. Rudd hanya menangani klien-klien manusia terbuang yang tidak punya status sosial dan eknomi yang jelas. Dianalogikan sebagai “bajingan” yang ongkos persidangannya ditanggung oleh negara. Dengan menggunakan kehidupan liar, para “bajingan” tersebut sebagai latar belakang novelnya, Grisham menemukan ruang terbuka untuk membeberkan secara dramatis berbagai ketimpangan, kecurangan dan praktik kongkalikong pejabat hukum, justru oleh mereka hukum itu dikoyak-koyak. Novel kedua Grisham berjudul The Firm adalah yang pertama dibikin film, dengan judul yang sama dibintangi oleh Tom Cruise. Film ini menjadi salah satu film box office di tahun 1993. Kisah keluarga Joey Morolto Mafia Chicago. Mitra perusahaan hukum tempat Mitch (Tom Cruise) bekerja serta sebagian besar rekan, semua terlibat dalam skema penipuan pajak dan pencucian uang besar-besaran yang bermarkas di Cayman Island yang dikenal dengan Tax Haven Island (Pulau Surga Pajak). Novel Grisham yang lain yang sukses ketika diangkat ke layar lebar (1994) adalah The Pelican Brief (Catatan Kasus Pelikan), dibintangi Julia Roberts dan Denzel Whasington yang berperan sebagai wartawan. Berkisah tentang keuletan seorang mahasiswi fakultas hukum bersama sang wartawan membongkar kebusukan kolusi politisi dan pengusaha. Bahkan ada benang merah yang menghubungkan kasus ini dengan presiden dan seorang pengusaha kaya kerabat Istana. Ketika digalakkan kampanye Tax Amnesty (pengampunan pajak) di Indonesia (2016 – 2017), pemerintah permah menyebut dan tersebar di media, bahwa ada sejumlah pengusaha kakap Indonesia menyimpan uangnya di Tax Haven Island dalam jumlah fantastis Rp. 11 ribu triliun. Seperti biasa, sebuah pesan masuk di WhatsApp. Mempersoalkan sampai dimana implementasinya di Indonesia motto dunia hukum yang berbunyi : “Fiat Justitia Ruat Caelum”, (Hendaklah Keadilan Ditegakkan, Walaupun Langit Akan Runtuh), sebagaimna diucapkan Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM). Di bawah bayang-bayang hitam kasus brutal Djoko Tjandra. Di langit Indonesia saat ini mendung gelap bergelantungan. Di tengah nafas kemerdekaan yang terasa menyesakkan dada, saya hampir saja tidak sanggup membaca pesan yang lain via WhatsApp : “Selamat Menyambut HUT Kemerdekaan RI 17 – 08 – 45 yang ke – 75. Dirgahayu Bangsa Indonesia”. Penulis dalah Wartawan Senior dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya.
Penangkapan Joko Tjandra, Konfirmasi Masalah Besar di Kepolisian
by Asyari Usman Jakarta FNN - Jumat (07/08). Banyak yang memberikan aplus, bertepuk tangan. Memuji Polri, khususnya Bareskrim. Mereka berhasil menangkap Joko Tjandra (JT), narapidana buronan dalam kasus Bank Bali. Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Poengky Indarti, termasuk yang memuji Kepolisian. Kata Poengky, penangkapan ini akan memulihkan kepercayaan publik terhadap berbagai institusi penegak hukum. Sekjen Pemuda Pancasila (PP), Arief Rahman, juga memuji Polri, tepatnya Kabareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo. Menurut Arief, penangkapan itu adalah prestasi yang pantas diapresisasi. Banyak lainnya yang turut memuji-muji. Mohon maaf. Kita, publik, tidak perlu lagi memberikan respon konvensional dalam bentuk pujian. Hari ini, kita harus melihatnya berbeda. Bagi saya, penangkapan Joko Tjandra merupakan konfirmasi bahwa ada masalah besar di Polri. Institusi ini, kelihatannya, dihuni oleh banyak oknum yang bermental bobrok. Persoalan inilah yang sejak lama dikeluhkan publik. Kebobrokan di kalangan para oknum pemegang jabatan penting di Kepolisian. Mungkin juga di instansi-instansi penegak hukum lainnya. Penangkapan yang ‘high profile’ ini bukanlah perstasi. Ada yang mengatakan itu prestasi Kepala Bareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo. Bagi saya, bukan. Listyo Sigit tidak perlu disanjung sebagai pahlawan. Mengapa itu bukan pretasi Komjen Listyo Sigit? Sederhana saja alur logika untuk itu. Pertama, Joko Tjandra bisa keluar-masuk Indonesia seenaknya antara bulan Maret dan Juni 2020. Lolos begitu saja. Bebas ke mana-mana. Tidak ada yang menangkap dia. Bahkan dibuatkan surat jalan, surat bebas Covid-19, dan entah dokumen papa lagi. Nah, siapa Kabareskrim-nya? Komjen Listyo Sigit bukan? (Dia dilantik pada Desember 2019). Kedua, kalau Joko Tjandra bisa ditangkap pada 30 Juli 2020 di Kuala Lumpur, terus apa rintangan untuk menangkap buronan pencoleng uang negara itu ketika dia berkeliaran di Jakarta? Mengapa tak ditangkap ketika Joko Tjandra membuat e-KTP di Kantor Kelurahan Jakarta Selatan? Mengapa Joko Tjandra tak bisa diciduk ketika mendatangi pengadilan negeri Jakarta Selatan untuk urusan sidang Penijauan Kembali (PK) perkaranya? Publik menuntut penjelasan, mengapa Joko Tjandra tidak ditangkap, atau tidak bisa ditangkap ketika dia melakukan banyak kegiatan di Indonesia dalam rentang tiga bulan. Apa alasan Pak Bareskrim Polisi? Ketiga, ada tiga polisi berbintang yang terlibat membantu Joko Tjandra. Semuanya sudah dijatuhi hukuman administrasi. Pertanyaannya, bisakah langsung disimpulkan bahwa ketiga polisi senior itu bertindak sendiri-sendiri? Mungkinkah itu tanpa koneksi dengan atasan mereka? Baik itu atasan dalam arti struktural maupun atasan dalam jenjang kepangkatan? Salah seorang yang jendral berbintang itu adalah Prasetijo Utomo, bekerja di lingkungan Bareskrim. Dialah yang menerbitkan surat jalan untuk Joko Tjandra. Lagi-lagi, siapa Kabareskrimnya waktu itu? Apakah ada Kabareskrim selain Komjen Listyo Sigit? Publik harus mengubah cara melihat ‘prestasi’ Polri. Atau juga institusi lain. Maksudnya begini. Bisa atau mampu menangkap buronan adalah keberhasilan yang biasa-biasa saja bagi Kepolisian. Polisi memang wajib bisa menangkap buronan. Tidak ada yang istimewa di situ. Penangkapan Joko Tjandra baru bisa disebut atau dikatagorikan istimewa kalau saya yang melakukannya. Itu baru bisa dikatakan luar biasa. Karena saya hanya masyarakat awam. Tidak dilatih seperti halnya polisi. Dan saya juga tidak punya apa-apa. Tidak dilengkapi dengan senjata dan kewenangan. Polri? Intitusi ini punya semuanya. Punya dana besar ratusan triliun setahun. Punya sistem pelatihan yang canggih. Alat-alatnya juga yang canggih-canggih. Punya jajaran intelijen kelas dunia. Plus, tingkat IQ yang tinggi-tinggi. Pintar, cerdas, dan sangat cendekia. Bareskrim itu, setahu saya, diisi oleh orang yang hebat-hebat. Bahkan paling hebat untuk ukuran negara-negara di kawasan ASEAN. Sejumlah orang penting di berbagai lembaga Hankam lainnya mengatakan, sebetulnya Polri itu jauh lebih canggih. Mereka ‘well-funded’, ‘well-maintained’, ‘well-resourced’. Pokoknya, semua ‘well-‘ ada di Polri. Semua hal yang bagus-bagus ada di sana. Yang jelas, lebih banyak uang dari APBN yang dikucurkan di Kepolisian dibandingkan anggaran pertahanan yang digunakan untuk tiga angkatan TNI, darat, laut, udara, Mabes TNI dan Kemenhan. Artinya, kalau cuma menangkap Joko Tjandra di Kuala Lumpur, pasti tidak ada sulitnya. Sebab, polisi dilengkapi macam-macam fasilitas perangkat lunak (software) yang diperlukan. Hubungan Polri dengan Polisi Di Raja Malaysia (PDRM), sangat bagus. Makanya yang menangkap Joko Tjandra di Malaysia pasti bukanlah dari Bareskrim Polri. Yang menangkap Joko Tjandara pastilah Polisi Malaysia (PDRM) atas permintaan dari Polri. Setelah ditangkap, barulah Joko Tjandra diserahkan kepada Bareskrim Polri untuk dibawa ke Indonesia. Penyerahan tersebut bisa saja di salah satu kantor Polisi di Malaysia. Bisa juga di salah satu bandar udara di Malaysia. Terus, ada juga kerja sama intelijen kedua negara. Ada saluran diplomatik lewat Kemenlu. Ada Interpol, dan lain sebagainya. Bisa melakukan operasi intelijen yang mampu membuat Joko Tjandra terlihat seperti ayam masuk comberan. Intinya, tidak ada yang berat bagi Polri untuk menangkap si penjahat rakus itu. Sangat tidak relevan memberikan tepuk tangan kepada Bareskrim Polisi, karena bisa menangkap buronan yang terbukti tidak ada apa-apanya. Kalau Joko Tjandra orang yang sangat kuat, dikawal Yakuza, Triad, dan geng Mafia, atau tentara bayaran (mercenary) boleh jadi sulit diciduk. Ternyata, tidak ada masalah ketika dia “ditangkap”. Barangkali, yang sulit itu adalah meminta maaf kepada Joko Tjandra bahwa dia “terpaksa” dibawa pulang. Dan harus diborgol di depan media. Tidak ada jalan lain. Publik terlanjur sudah tahu liku-likunya. Jadi, penangkapan Joko Tjandra adalah ‘operasi plastik’ untuk menyelamatkan muka sejumlah orang. Selain itu, ada aroma incar jabatan. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id