HUKUM

Antara George Floyd dan Said Didu

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (12/05). George Floyd mendadak jadi terkenal. Tak saja di Amerika, tetapi di seluruh dunia. Kematian lelaki kulit hitam oleh polisi Amerika ini telah menciptakan gelombang massa. Karena kematian satu nyawa ini, diprotes dengan demonstrasi. Bahkan penjarahan dan kerusuhan terjadi di hampir semua negara bagian di Amerika. Menghadapi situasi yang tak terkendali, Donald Trump terpaksa siapkan tentara. Sayangnya, permintaan Trump ditolak oleh Menteri Pertahanan, Mark Esper. Trump berang. Sang menteri pun mau dipecat. Tetapi tak jadi, karena ada masukan dari sejumlah penasehat presiden. Segawat itulah Amerika, sehingga harus menurunkan pasukan tempur? Apakah situasi Amerika sudah tak terkendali? dan Trump sudah tidak sanggup lagi menghadapi situasi di Amerika? Di setiap negara ada Floyd. Seorang korban kesewenang-wenangan kekuasaan. Ada yang mati dibunuh, ada yang diculik, ada yang ditangkap, ada yang dijadikan tersangka, dan ada pula yang diteror dan diintimidasi . Masing-masing negara punya caranya sendiri untuk menghadapi protes rakyatnya. Faktor utama kejatuhan Soekarno dan Soeharto karena kesewenang-wenangan dari kedua penguasa tersebut. Kasus pemberontakan PKI dan krisis ekonomi ketika itu hanya sebagai trigger belaka. Siapapun panguasa, jika nenggunakan kekuasaan dengan seweng-wenang, pasti jatuh. Jika di Amerika ada George Floyd, di Indonesia juga ada Said Didu. Memang beda. Floyd dituduh memakai kupon yang sudah kedaluwarsa. Sedangkan Said Didu dituduh mencemarkan nama baik Menteri Kordinator Bidang Maritim dan Invetasi Luhut Binsar Panjaitan. Orang kuat di kekuasaan sekarang. Bedanya lagi, Floyd mati dengan cara yang sadis, dan videonya ditonton oleh masyarakat di seluruh dunia. Sementara Said Didu ditetapkan menjadi tersangka. Surat penetapan tersangkanya beredar luas dan menggegerkan dunia maya. Pencemaran nama baik atau karena kritik Said Didu? Tak mudah untuk bisa membedakannya. Dalam konteks ini, persepsi penguasa dan rakyat seringkali berbeda. Tergantung sudut pandang kepentingan masing-masing Sempat diberi kesempatan untuk minta maaf kepada Menko Luhut Binsar Panjaitan. Namun Said Didu menolak. Karena merasa tidak bersalah. Ia hanya mengkritik, bukan mencemarkan nama baik pejabat. Jawaban Said Didu yang tegas dan sangat jelas! Nampaknya, Said Didu lebih memilih menjadi martir daripada minta maaf. Siap dengan segala konsekuensinya, termasuk akan dipenjara. Apakah kasusnya akan jadi trigger terjadinya protes nasional? Sejarah yang akan membuktikan nantinya. Yang jelas, berdasarkan surat yang beredar di media sosia dengan nomor B/47/VI/2020/Diitibitsiber Bareskrim Polri, tertanggal 10 Juni 2020, Said Didu telah ditetapkan menjadi tersangka. Menyusul Ruslan Buton yang lebih dulu jadi tersangka dalam kasus meminta Pak Jokowi mundur. Status tersangka Said Didu mengacu pada surat yang beredar. Tetapi, pihak kepolisian melalui Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Arga Jowono membantahnya. Apakah bantahan itu akan menganulir status tersangka Said Didu dalam surat yang beredar di media social tersebut? Rakyat bertanya-tanya, kok seperti ada keraguan menetapkan Said Didu menjadi tersangka. Apakah ada yang khawatir bahwa Said Didu akan menjadi Floyd di Indonesia? Memancing gelombang protes dan demonstrasi massa dari seluruh elemen bangsa? Memang dilematis! Nasi sudah jadi bubur. Said Didu tersangka boleh jadi akan memicu terjadinya protes nasional yang semakin kencang. Tapi, jika lepas, ini akan jadi tamparan keras buat Pak Menteri Luhut Panjaitan. Rakyat terus berharap kepada pihak kepolisian agar bersikap netral, obyektif dan profesional. Ini taruhan nama baik bagi institusi terhormat itu. Sekaligus akan menjadi sejarah keadilan di negeri ini. Yang pasti, kasus Said Didu telah menjadi sorotan. Tidak saja di media, tetapi bahkan jadi perhatian seluruh aktifis di Indonesia. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Tuntutan Badut JPU Untuk Eksekutor Novel Baswedan

Andi W. Syahputra Jakarta FNN – Jum’at (12/06). Tidak terlalu sulit untuk menebak tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis. Dua pelaku penyiraman air keras kepada Novel Bawesdan. Tuntutan yang super ringan satu tahun penjara adalah dagelan dan badut hukum yang patut diduga memang sudah diskenariokan sedari awal. Betapa tidak. Kendati JPU beranggapan bahwa para pelaku terbukti telah merencanakan penyerangan terhadap Novel. Namun JPU mengesampingkan perbuatan para pelaku yang mengakibatkan kebutaan permanen bagi korban sebagai perbuatan yang direncanakan. Disinilah konstruksi dagelan dan badut itu disusun dengan apik. JPU dengan sengaja menghilangkan mans rea dari kedua pelaku. Jaksa menganggap target para pelaku hanya sekadar mencederai. Bukan untuk memuat korban cacat, mata buta secara permanen. Dalam teori pidana, penilaian terhadap pelaku kejahatan atau tindak pidana dibangun atas dua unsur penting. Pertama, menilai perbuatan pelaku sebagai pelanggaran ketentuan pidana (actus reus). Kedua, motif pelaku ketika melakukan tindak pidana (mens rea). Dua prinsip hukum pidana ini tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain. Oleh karenanya, para ahli hukum terutama penegak hukum kerap menggunakan kedua unsur pidana tersebut dalam prosedur penegakkan hukum pidana (acara pidana). Bukan seperti yang dilakukan JPU kasus Novel ini. Memang terjadi perdebatan. Mana yang mesti didahulukan? Actus reus atau mens rea? Namun, secara umum, ketika memulai penyelidikan, lazimnya penyelidik akan mendahulukan untuk menggali dari actus reus-nya ketimbang menggali motif (mens rea) pelaku. Ibaratnya, mengenali yang batin (abstrak) dari seseorang, jauh lebih sulit ketimbang menemukan perbuatan (fisik). Karena perbuatan pasti lebih dahulu terlihat dan dijadikan dasar untuk pemeriksaan lanjutan. Dalam hal tertangkap tangan pun, mens rea masih penting untuk dibuktikan di tahap berikutnya. Dari penjelasan singkat tersebut, mudah diketahui bahwa JPU telah lebih dahulu menemukan unsur perencanaan dari perbuatan pelaku. Fakta persidangan mengungkap, penyiraman terhadap Novel telah direncanakan dengan matang. Mulai dari penggunaan bahan (alat) hingga pada waktu eksekusi. Penggunaan asam sulfat sebagai bahan untuk membantu menyempurnakan kejahatan. Sementara waktu di kala sholat subuh, adalah pemilihan waktu yang sangat tepat. Itu merupakan hasil pilihan dari sebuah perencanaan yang matang oleh para pelaku. Asam sulfat dipilih oleh para pelaku agar korban mengalami cacat permanen, sehingga membuat jera korban. Dari rangkaian perencanaan tersebut semestinya JPU sudah dapat mudah menggali bahwa tindakan para pelaku masuk dalam rumpun penganiayaan berat yang direncanakan. Target para pelaku sangat jelas dan terang-benderang. Targetnya melumpuhkan dan membuat cacat korban, agar timbul efek jera pada diri korban. Makanya dipilih bahan kimia yang sangat berbahaya. Targtenya tidak yang abu-abu. Lantas, bagaimana dengan menilai mens rea para pelaku, yang menurut JPU percikan ke mata korban bukan unsur kesengajaan yang menyebabkan kebutaan permanen? Pengakuan para pelaku di persidangan a quo, cairan asam sulfat yang disiramkan mengenai mata kiri Novel bukan sebagai target, tetapi sebagai insiden yang tidak disengaja. Motif (mens rea) para pelaku adalah rasa benci kepada korban, sehingga perlu diberikan pelajaran. Bagaimana mungkin perbuatan yang didasari kebencian dengan menggunakan asam sulfat supaya korban cacat permanen dapat dinilai JPU sebagai perbuatan tak sengaja? Sekali lagi. Target para pelaku itu adalah melumpuhkan dan membuat cacat korban. Sehingga timbul efek jera pada diri korban. Makanya dipilih bahan kimia yang sangat berbahaya. Tingkat merusaknya tidak main-main. Hal yang perlu diingat adalah, mens rea menjadi unsur penting untuk menentukan pertanggungjawaban pidana dari para pelaku. Dalam peristiwa pidana kasus Novel, perbuatan pidana para pelaku harus menitikberatkan pada kombinasi antara actus reus dan mens rea. Tidak bias tidak. Perbuatan pelaku dengan menyiramkan asam sulfat yang tergolong bahan kimia sangat berbahaya. Pelaku sengaja melakukan dengan niat kebencian agar Novel Baswedan jera. Sangat jelas mens rea adalah grudge (dendam). Bukan yang lain. Jelas sekali motifnya. Dalam peristiwa ini tidak ada itu unsur kelalaian atau ketidaksengajaan. Dalam setiap perbuatan pidana, yang didahului dengan motif rea dendam terhadap korban, selalu saja berujung pada penganiayaan berat. Bukan penganiayaan ringan atau kebetulan. Berbeda dengan, umpamanya dalam kasus pembunuhan akibat dari kelalaian. Misalnya, saat pengemudi ugal-ugalan menabrak orang hingga mati. Pelaku yang menabrak korban tetap dapat didakwa menghilangkan nyawa orang lain. Hanya saja pasalnya akan berbeda, karena mens rea berbeda. Seharusnya, dalam pertimbangan tuntutan JPU, berapapun rasio perbandingan mens rea dan actus reus, terlepas dari aaspek mana yang harus timbul duluan, keduanya adalah unsur yang harus ada dalam pertanggungjawaban pidana. Menyimak fakta persidangan a quo, JPU telah sengaja mengesampingkan semua unsur yang terbukti dalam dakwaan primer pasal 355 ayat (1). Di mana semua rangkaian perbuatan telah diakui oleh para pelaku sendiri dan terbukti di muka persidangan. Dengan begitu, semestinya JPU menetapkan dakwaan primer pasal 355 telah terbukti secara menyakinkan. Anehnya, justru sebaliknya. Tuntutan JPU itu justru menilai dakwaan primer pasal 355 tidak terbukti . JPU langsung meloncat kepada dakwaan subsider pasal 353 ayat (2). Ini suatu kejanggalan yang disengaja sebagai dagelan dan badut murahan yang mencoreng wibawa pengadilan Indonesia. Terlepas dari polemik Tuntutan Super Ringan kasus penyiraman Novel Bawesdan, penilaian dan pendalaman dengan seksama dalam memahami actus reus dan mens rea menjadi sangat penting. Keduanya tak boleh dipisahkan hanya sekadar untuk mengaburkan substansi dari perbuatan pidana para pelaku. Bahkan dalam era digital saat ini, justru mens rea lebih dikedepankan dalam menggali perbuatan pidana pelaku. Tuntutan Super Ringan JPU terhadap para pelaku penyiraman Novel Bawesdan menambah bukti baru bahwa JPU dapat diintervensi oleh atasannya. Bisa juga diintervensi oleh pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan perkara. JPU tak punya kemandirian dalam mengajukan rencana tuntutan (rentut) karena harus terlebih dahulu diketahui oleh atasanya. Lazimnya, JPU yang hadir di persidangan adalah Jaksa pada level bawahan yang tidak bisa diintervensi. Namun Jaksa yang lebih tinggi yang mudah diintervensi. Dalam konteks kasus Novel, seorang “jenderal polisi berpengaruh” sebagaimana pernah disebut oleh Novel sendiri, punya kepentingan atas tuntutan ringan JPU tersebut. Oleh sebab itu, lantaran Hakim sendiri tak punya pedoman vonis (putusan), maka JPU mencoba memagari kemandirian Hakim supaya kelak Hakim menjatuhkan putusan tak melebihi tuntutan JPU. Publik tentu saja berharap Majelis Hakim akan tetap mandiri dan independent. Tidak ada ketentuan atau panduan bagi Hakim harus menjatuhkan putusan lebih rendah, tinggi atau sama dengan tuntutan JPU. Hakim dapat menjatuhkan putusan lebih berat karena kemandiriannya. Hakim tidak punya atasan siapapun, kecuali kepada Tuhan. Wallahu’alam bi sawab. Penulis adalah Praktisi Hukum

Mengapa Polisi Membantah Status Tersangka Said Didu?

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Pagi hari tadi (11/6/2020), portal berita online, “kumparan”, sempat memicu adrenalin banyak orang. Portal berita ini membuat judul berita “Said Didu Ditetapkan Sebagai Tersangka Ujaran Kebencian Terkait Luhut”. Menurut “kumparan”, penetapan tersangka itu tertuang di dalam surat Dittipidsiber Bareskrim Polri tertanggal 10 Juni 2020. Sekitar jam 12 siang, berita itu dibantah oleh kepolisian. Sangat cepat. Sebagaimana diberitakan “kumparan” juga. Bantahan itu langsung datang dari Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono. Muhammad Said Didu (MSD) belum ditetapkan sebagai tersangka. Dikatakan, polisi hanya melakukan gelar perkara pencemaran nama baik Luhut Binsar Pandjaitan (LBP). Tapi, sumber-sumber di lingkaran penyidikan menyebutkan sebenarnya status tersangka terhadap MSD sudah ditetapkan. Gelar perkara sudah dilakukan kemarin dan disepakati penetapan tersangka itu. Namun, Polisi tampaknya mengambil sikap ‘cautious’ (hati-hati). Mengingat kasus MSD vs LBP menjadi perhatian nasional. Artinya, reaksi publik akan menjadi faktor penting. Tanpa harus melakukan survei, tidak perlu ragu menyimpulkan bahwa lanjutan perkara MSD vs LBP adalah jadwal yang sangat ditunggu-tunggu khalayak. Ketika pagi tadi muncul berita ‘ditetapkan sebagai tersangka’, media sosial langsung bersemangat. Semangat yang berinklinasi ke MSD. Publik menantikan lanjutan perkara ini karena mereka melihat bahwa MSD tidak mencemarkan nama baik LBP. Masyarakat melihat tindakan LBP memperkarakan MSD sebagai langkah pamer kekuasaan. Sebagai bentuk arogansi kekuasaan. Meskipun pihak LBP sibuk mengatakan bahwa langkah ini semata-mata tindakan hukum. Para pakar hukum berpendapat MSD hanya mengkritik pemikiran dan kebijakan publik LBP. Tetapi, pihak LBP berkeras dengan pendapat mereka bahwa yang dilakukan MSD adalah penghinaan. Tentu ini tidak masalah. Sekarang, posisi MSD masih belum menjadi tersangka. Yang menjadi pertanyaan, mengapa Polisi membantah berita pertama? Apakah para wartawan, termasuk wartawan “kumparan”, yang mendapatkan surat Dittipidsiber (Direktorat Tindak Pidana Siber) itu ‘salah paham’? Kelihatannya bukan wartawan yang salah paham. Ada kalkulasi lain. Patut disangka bahwa penetapan MSD sebagai tersangka akan membangkitkan semangat pubik untuk melawan kesewenangan. Sekaligus membangkitkan solidaritas untuk MSD. Sejak awal, kasus ini senantiasa mendapatkan perhatian luas. Mungkin perkara ini didaulat oleh publik sebagai pertarungan antara ‘yang kuat’ lawan ‘yang lemah’. Sejak kasus MSD vs LBP mengemuka, publik langsung memposisikan MSD sebagai ‘orang lemah’ dan LBP sebagai ‘orang kuat’. Dari sinilah menggumpal opini publik yang sangat solid berada di belakang MSD. Orang bisa saja mengabaikan opini publik dalam perkara ini. Tetapi kasus MSD itu, suka atau tidak suka, lebih banyak mengambil aspek politis ketimbang aspek hukum. Vonis hukum terhadap MSD, kalau itu terjadi, akan dilihat oleh publik sebagai vonis politik. Ini yang membuat berbagai pihak yang berwenang kelihatannya ingin ‘mutar-mutar’ dulu. Banyak yang memperkirakan kasus ini akan ditangani dengan ‘lebih bijak’ agar aspek politisnya tidak membesar. Memenjarakan MSD pastilah tidak sulit. Membuktikan MSD melakukan pencemaran nama baik atau ujaran kebencian, pasti juga bukan masalah besar. Hanya saja jika MSD dijebloskan ke penjara, dia tidak akan dipandang sebagai narapidana biasa. Said Didu akan menyandang status ‘martyr’. Akan dianggap sebagai korban kesewenangan. Ini yang tak akan terbendung. Dan prospek ini yang bisa sangat merepotkan. MSD bisa dengan cepat membola salju. Akan menjadi simbol perlawanan terhadap arogansi kekuasaan. Dalam sejarah di mana pun juga, bola sajlu yang meluncur akan sulit dihadang. Kemungkinan ini yang kelihatannya menjadi salah satu perhitungan cermat berbagai pihak. MSD bukan ‘calon tersangka’ biasa. Dia sudah menjadi ‘milik’ rakyat. Akan dijaga oleh rakyat. MSD ada dalam kedaulatan rakyat. Yang nilanya lebih tinggi dari kedaulatan ministerial.[] 11 Juni 2020(Penulis Wartawan Senior)

Soal Penangkapan, Belajar dari Soekarno dan Soeharto

By M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Jum’at (05/06). Bagaimana bisa, hanya dengan bermodalkan pelaporan biasa dari seorang Aulia Fahmi, dapat ditindak lanjuti dengan penangkapan Ruslan Buton. Pelaksanaan penangkapan seperti menangkap seorang teroris. Ada Densus 88 segala. Bukan hanya tidak lazim, tetapi terlihat berlebihan. Juga berlebihan di luar hukum acara yang berlaku. Apalagi dengan cepat menetetapkan Ruslan Buton sebagai tersangka lagi. Ini domein hukum atau politik? Jika hukum tentu tidak seperti ini. Jika politik mungkin wajar. Harus diingat pula bahwa jika penangkapan Ruslan Buton, karena pertimbangan ranah politik, maka akan menghasilkan dan memproduksi sikap politik pula. Bisa berupa protes politik yang jauh lebih banyak dan besar. Polisi perlu belajar dari Presiden yang sudah-sudah bahwa memenjarakan dan membungkam sikap kritis bukan cara terbaik menyelesaikan masalah bangsa. Belajarlah pada Presiden Soekarno dan Soeharto. Berapa banyak tokoh masyarakat dan tokoh publik yang dijebloskan ke penjara oleh kedua penguasa ini? Tidak juga membuat sikap anak-anak bangsa yang selalu kritis terhadap kedua penguasa ini ciut atau surut. Sebaliknya, semakin menambah dan memproduksi kelompok-kelompok kritis di masyarakat. Belajar juga dari SBY yang bisa menyelesaikan masa pemerintahan selama sepuluh tahun. Kritik sekeras apapun dari kelompok kritis kepada SBY, ditanggapi dengan bijak dan elegan. Selasa sepuluh tahun berkuasa, tidak ada kelompok kritis di masyarakat yang dipernjarakan oleh SBY. Tanggal 15 Januari 2007, dalam rangka memperingati kejadian Malari 1974, dilakukan demonstrasi besar-besaran di bundaran Hotel Indonesia (HI) sampai depan Istana Negara. Temanya mencabut mandat rakyat yang diberikan kepada SBY-Jusus Kalla. Tidak ada satupun demonstran yang ditangkap atau dipenjarakan oleh pemerintah SBY. Pada Februari 2010, ada demontran yang membawa sapi gendut dan besar di bundaran HI. Sapi tersebut bertuliskan SiBuYa (SBY). Tulisan di sapi itu menggambarkan dan menyindir Presiden SBY yang gemuk besar, lambat bersikap, dan malas bekerja, sehingga negara tidak disurus dengan baik. Anehnya, tidak ada pendemo yang ditangkap dan dipernjarakan SBY. Sebaiknya, kebiasaan buruk penguasa untuk melakukan tindakan hukum dengan "meminjam" tangan pelapor harus dihentikan. Sebab kelompok kritis tidak mungkin bisa dibungkam dengan penangkapan dan penjara. Namun menjadi kultur buruk wajah hukum di Indonesia. Menjadi catatan sejarah kelam yang tak mudah dihapus. Akan selalu diingat dan dikenang sebagai penguasa yang anti terhadapa kritik dan kebebasan berpendapat. Dua hal yang mesti mendapat support publik. Pertama, memberikan dukungan pra-peradilan atas penetapan tersangka Ruslan Buton yang dilakukan oleh Pengacara. Pra-peradilan ini sebagai bentuk perlawanan hukum atas kesewenang-wenangan penguasa. Kedua, dukung pelaporan balik terhadap saksi pelapor Aulia Fahmi SH. Saksi pelapor perlu disidik, untuk mengetahui apa juga motif dari pelaporan yang dilakukan Aulia Fahmi? Apa krugian hhkum yang diderita oleh dari Aulia Fami? Apakah murni karena hukum, atau kepanjangan tangan politik. Seruan untuk penangkapan juga cukup berimbang. Mengingat urusannya lapor melapor antara pihak Ruslan Buton dengan Aulia Fahmi, maka pihak Kepolisian harus bersikap obyektif dalam menangani masalah hukum. Kontennya menjadi kepentingan kedua belah pihak. Jangan sampai berat di sebelah. Jika ada hubungan dengan negara, maka biasakan negara bertindak sendiri. Bukan dengan cara negara meminjam tangan masyarakat. Negara dapat menindak sendiri makar atau pemberontakan misalnya. Agar publik merasa yakin tidak terjadi proses kriminalisasi atau politisisasi. Andai pelapor yang dilaporkan balik juga sama-sama ditangkap, sebagaimana seruan yang muncul di media. Maka akan semakin jelas obyektivitas penanganan. Rakyat akan sangat percaya pada proses penegakkan hukum oleh penegak hukum. Bila aparat kepolisian selalu menggunakan tangan tangan "pelapor" hanya sebagai alat untuk melakukan proses penyelidikan dan penyidikan, maka independensi menjadi kabur. Publik meragukan kerja aparat penegak hukum. Kelak akan muncul figur "spesialis" pelaporan. Kasus pelaporan terhadap Said Didu oleh orang yang mengaitkan dengan pencemaran kepada Menko Luhut Binsar Panjaitan (LBP) adalah contoh buruk. Luhut yang mestinya melaporkan sendiri atas pencemaran nama baik dirinya. Menempatkan diri dalam kedudukan yang sama di depan hukum. Meskipun Luhut adalah seorang Menteri. Obyektivitas dalam penanganan hukum, seharusnya menjadi prioritas dari penegak hukum. Terutama pada situasi kebutuhan mendesak adanya stabilitas politik dan hukum. Apalagi ketika kepercayaan kepada Pemerintah sedang merosot. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Hukum.

Ketika UUD 1945 Dijadikan Sebagai Panduan Makar

By Dr. Ahmad Yani, MH. Jakarta FNN – Selasa (02/06). Dalam UUD 1945, Negara Indonesia memperjelas posisinya sebagai negara yang mengakui hak dan kebebasan setiap warga negara. Pasal 28 Menyebutkan: “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan, dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Tidak berhenti sampai di situ saja. Masih ada pasal dalam UUD 1945 yang mengatur tentang kebebasan warga negara mengeluarkan pendapatnya. Selanjutnya Pasal 28E ayat (3) berbunyi “ Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Dipertegas lagi dengan pasal 28I ayat 1 yang berbunyi “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Hak asasi itu bukan hanya tidak boleh dibatasi oleh siapapun. Namun juga tidak bisa dikurangi dalam hal apapun. Sementara Pasal 28J ayat 1 mengatur batasan Hak Asasi itu dengan mengatakan : “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain”. Artinya, batasan itu hanya ada pada pergaulan antar sesama warga negara. Bukan antara negara (pemerintah) dengan rakyatnya. Oleh karena itu, tidak ada batas kebebasan bagi warga negara untuk menegur negara. Bahkan meminta presiden Mundur dari jabatannya sekalipun. Begitu aturannya. Mengkritik, mengecam, bahkan meminta mundur presiden dari jabatannya adalah aspirasi masyarakat yang sesuai dengan konstitusi negara. Presiden dipilih oleh rakyat untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai presiden. Kalau rakyat merasa presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden, rakyat berhak untuk memintanya mundur. Itu haknya rakyat yang memilih presiden. Kekuasaan itu tidak boleh membuat pejabatnya ”bertelinga tipis” atas kritikan rakyat. Jangan hanya mau mendengarkan pujian dan sanjungan semata-mata. Ini bukan negara feodal. Pengkritik dan penyanjung kekuasaan adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan dari kebebasan menurut pasal 28 UUD. Karena itu, kalau mau menghalangi kebebasan berpendapat, maka penyanjung kekuasaan juga harus dilarang. Tetapi penyanjung kekuasaan justru mendapatkan perlakuan yang istimewa. Ada orang yang senang menebarkan fitnah, adu domba, dan mengolok-olok orang lain. Mereka itu telah memenuhi unsur pidana. Namun mereka justru menjadi “binatang langka” yang tidak boleh disentuh oleh hukum. Hanya binatang langka yang masih dirawat, meski melakukan kejahatan. Maka di sini saya tegaskan, bahwa kebebasan berpendapat, dan kebabasan untuk menyatakan pikiran, baik itu memuji kekuasaan, atau mengkritik kekuasaan adalah hak warga negara yang tidak boleh di kurangi dalam hal apapun. Kebebasan berpendapat itu sah berdasarkan konstitusi negara. Meminta Presiden Mundur Kalau menganggap pemberhentian Presiden adalah makar dan tindakan pidana, maka konstitusi atau UUD bisa dikatakan buku panduan kejahatan. Hanya di dalam konstitusi UUD 1945, terdapat pasal yang mengatur tentang Pemberhetian Presiden. Tata cara tentang pemberhentian Presiden itu diatur dengan jelas dan terang benderang di Pasal 7A dan 7B UUD 1945. Kalau kita menganggap impeachment (pemberhentian) itu adalah kejahatan sebagaimana yang terjadi Pada Ruslan Buton yang meminta presiden Mundur, maka pasal ini harus dihilangkan dulu dari UUD 1945. MPR segera bersidang untuk mencabut Pasal 7A dan 7B dari batang tubuh UUD 1945. Sebagai warga negara, Ruslan tentu punya hak untuk menyampaikan pendapatnya. Ruslan berhak untuk menyataka tidak sejalan dengan pemerintah. Tidak sejalan dengan Presiden dalam hal mengelola negara. Pendapat Ruslan Buton itu sah dan konstitusional. Meminta presiden mundur atau berhenti adalah aspirasinya sebagai warga negara. Kalau meminta presiden mundur adalah pidana, maka konstitusi yang mengatur presiden diberhentikan juga dapat dianggap sebagai panduan makar. Buku tentang panduan kejahatan kepada negara. UUD 1945 mengatur dengan sangat jelas, dan terang bernderang tentang tata cara memberhentikan Presiden. Dengan Mekanisme yang jelas. Tidak ada yang sama-samar. Artinya, UUD 1945 memenuhi syarat sebagai “buku panduan makar” kepada pemerintah atau negara. Karena memuat skenario pemberhentian presiden. Begitu simpelnya. Padahal presiden diberhentikan itu dilakukan atas “Pendapat DPR”. Nah, “Pendapat DPR” itulah yang disebut “aspirasi rakyat”. Itulah yang menjadi aspirasinya Ruslan Buton. Bukan aspirasinya presiden atau pemerintah. Lalu kenapa rakyat yang bernama Ruslan Buton ditangkap ketika menyampaikan aspirasinya meminta presiden mundur? Apa yang salah ketika rakyat Ruslan Buton menyampaikan aspirasinya sesuai panduan sejumlah pasal yang ada di dalam batang tubuh UUD 1945? Anehnya DPD pun diam. Mengapa DPR diam ketika ada rakyat yang mereka wakili menyampaikan aspirasinya kemudian di tangkap? Ini pertanyaan serius lho! Cara Memberhentikan Presiden Ada dua cara untuk menghentikan Presiden dari jabatannya. Pertama, cara yang konstitusional. UUD 1945 menjelaskan bahwa usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Namun usul DPR ke MPR harus terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat DPR. Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota, dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR. Kedua, melalui tindakan extra konstitusional. Cara ini pernah dilakukan oleh Soekarno sebagai Presiden ketika membubarkan Badan Konstituante hasil Pemilu Tahun 1955. Soekarno mengumumkan dekrit Presiden 5 juli 1959. Yaitu menghentikan peroses perdebatan dalam menyusun konstitusi negara di Badan Kontituante, dengan kembali ke UUD Tahun 1945. Tindakan Soekarno waktu itu, sebenarnya bertentangan aturan hokum. Setidaknya tidak diatur dalam konstitusi negara, atau UUD Sementara Tahun 1950. Namun kemudian Dekrit Presden 5 Juli 1959 dapat dibenarkan menurut kondisi dan keadaan waktu itu. Selain itu desakan pemberhentian Presiden Soekarno diawali dengan demonstrasi memintanya mundur. Hingga akhirnya sidang Istimewa MPR meneruskan aspirasi itu, hingga akhirnya Soekarno berhenti. Begitu juga dengan Presiden Soeharto, desakan Mahasiswa dan Tokoh Reformasi akhirnya membuat Soeharto menyatakan mundur dari presiden. Setekag Soeharto mundur, BJ Habibie naik mengantikan Soeharto sebagai Presiden, dan meneruskan masa jabatan Soeharto, yang menurut UUD Tahun 1945 seharusnya sampai tahun 2003. Namun Presiden Habibie Mempercepat Pemilu yaitu Tahun 1999, dan MPR memilih Abdurrahman Wahid Sebagai Preside. Tindakan yang dilakukan Presiden Habibie juga extra konstitusional. Karena itu desakan atau permintaan dari rakyat, baik perorangan maupun kelompon yang meminta presiden mundur, bukanlah sebuah tidakan pidana. Permintaan itu wujud ekspresi rakyat atas aspirasi rakyat yang dijamin oleh UUD 1945. Hal ini pernah juga terjadi era Presiden SBY, yaitu gerakan turun ke jalan atau demontrasi besar-besaran untuk mencabut mandat rakyat yang diberikan kepada SBY. Gerakan nencabut mandat dari SBY sebagai Presiden ini dimotori Bang Hariman Siregar. Sampai ke depan Istana Negara. Pergerakan massa rakyat yang terorganisasi, atau parlemen jalanan, bisa meminta Presiden mundur. Apalagi kalau DPR tidak lagi dipercaya sebagai penyambung aspirasi rakyat. Dalam negara demokrasi, tidak ada institusi negara yang sakti mandraguna. Tidak ada jabatan negara yang dipegang seumur hidup seperti seorang raja. Tidak berlaku kultur feodalisme di dalam negara. Kekuasaan bisa berakhir kapan saja. Apalagi kalau rakyat sudah tidak lagi menghendakinya. Intinya rakyatlah yang berdaulat penuh atas negara. Apakah yang membuat presiden dapat diberhentikan? Berdasarkan Pasal 7A UUD 1945 pemakzulan presiden terdiri atas enam syarat. Presiden hanya dapat dilengserkan jika terbukti melakukan pelanggaran hukum, berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, perbuatan tercela, tindak pidana berat lainnya, dan terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden. Artinya, ada kriteria yang jelas. Ada mekanisme yang jelas untuk memberhentikan presiden. Dengan demikian maka jalan untuk meminta preisiden mundur adalah jalan konstitusional. Entah itu aspirasi tiap-tiap orang atau pendapat DPR. Semua sah. Tinggal mekanisme yang seperti apa untuk meminta Presiden mundur, itu tergantung situasi nasional dan dinamika politik yang terjadi. Berdasarkan penilaian atas enam kriteria tersebut, presiden bisa saja diberhentikan. Dengan demikian, setiap orang dapat menyampaikan aspirasinya. Bisa berupa meminta presiden mundur dari jabatannya sebagai presiden. Namun bisa juga meminta agar presiden tetap bertahan pada jabatannya. Penulis adalah Dosen Fak. Hukum dan FISIP UMJ dan Inisiator Masyumi Reborn

Buton Yang Berjiwa Beton

By M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Selasa (02/06). Badan tegap, sebagai seorang prajurit TNI menggambarkan kejiwaannya. Konsisten, semangat, dan berani menyampaikan kebenaran. Ruslan Buton benar-benar termasuk dalam profil prajurit yang sangat langka di era sekarang. Dipecat dari statusnya sebagai prajurit TNI atas tuduhan kriminal. Tetapi Ruslan tetap saja prajurit pejuang. Bahkan semakin kokoh berjuang memenuhi panggilan jiwa dan kewajibannya sebagai pembela tanah air. Selalu siap untuk berkontribusi bagi bangsa dan negaranya. Begitulah cara dan keyakinan Ruslan Buton. Meski berhadapan dengan ancaman dan tuduhan hukum. Mungkin untuk kedua kalinya, bahkan bisa jadi untuk ketiga kalinya kelak. Ruslan Buton tetap saja menunjukkan perlawanan. Dia tidak bersedia menandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Artinya, ada keyakinan kuat dari Ruslan, bahwa yang dilakukannya bukan perbuatan melawan hukum. Audio surat terbuka mendesak Presiden Jokowi mundur dari jabatan, diyakini Ruslan sebagai hak konstitusional warga negara. Demikian juga soal "keniscayaan aksi rakyat" adalah persepsi dan kekhawatiran terhadap keadaan. Bukan ajakan untuk melakukan. Bahwa proses hukum dan langkah pihak berwenang wajar pula. Meski demikkian, warning dan reaksi publik jelas. Meminta dan mendesak Polisi agar tidak "parno" dalam menangani himbauan Ruslan Buton yang disampaikan secara terbuka sebagai bentuk koreksi kepada pemerintah dan Presiden Jokowi. Walaupun telah ditetapkan status tersangka dan ditahan. Akan tetapi asas "presumption of innocent" tetap harus diterapkan dan dikedepankan. Masih mungkin sangkaan tak terbukti, atau bukti tidak menunjukkan perbuatan pidana. Dalam tahap penyidikan bisa saja polisi SP3. Selain Jaksa Pemeriksa bisa menghentikan penuntutan, Ruslan juga masih punya hak hokum menguji penetapan status tersangka yang disangkakan Polisi kepadanya. Ingat, Ruslan masih boleh mengajukan gugatan Praperadilan kepada Polisi. Jika dikabulan, kerja Polisi menjadi tidak berarti apa-apa. Simpati dan dukungan publik kepada Ruslan, patut dibaca sebagai konstelasi sekaligus aspirasi dari perasaan keadilan rakyat. Klarifikasi atas dasar pemecatan dahulu, serta kesaksian riwayat hidup dari kontribusi sosial Ruslan Buton bermunculan dimana-mana. Dukungan dan simpati itu, tidak saja dari ratusan purnawirawan TNI. Tetapi juga dukungan yang semakin meluas dan membesar. Nuansanya pembelaan dan simpati terhadap mantan prajurit TNI berjiwa beton ini. Selintas terbayamg tipe in-fighter si leher beton Mike Tyson. Putra Sulawesi yang sebelumnya telah muncul di ruang publik perjuangan hukum adalah Muhammad Said Didu. Kini muncul lagi putra Sulawesi Ruslan Buton. Keduanya sama berhadapan dengan kekuasaan politik yang sensitif dan represip terhadap kritik di wilayah publik. Rezim yang dinilai otoriter dan jauh dari bersahabat dengan aspirasi dari rakyatnnya sendiri. Seruan atau himbauan dari Ruslan Butonb agar Presiden Jokowi mengundurkan diri memiliki landasan hukum kuat. Ada Ketetapan MPR No VI/MPR/2001. Jadi bukan tak berdasar. Apa karena himbauan yang disampaikan oleh Ruslan Buton itu dengan "suara agak keras"? Kalau benar iya, karena suara Ruslan Buton yang agak keras, maka itu kan hanya gaya suara putra Sulwesi Tenggara ini (Indonesia Timur), yang lama bertugas di Maluku Utara. Rata-rata orang Indonesia Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Sulawesi ya suaranya keras. Namun hatinya pasti bermaksud baik. Apalagi kalau itu untuk kepentingan orang banyak. Jika proses berlanjut, dan dukungan agar Buton dibebaskan tak berhasil, maka publik kemungkinan akan dibawa ke aras "pertunjukkan" politik dan hukum yang menarik. Seorang mantan prajurit yang masih berjiwa patriot tampil heroik memperjuangkan keyakinan. Dia minta dan mengusulkan agar perlunya Presiden mengundurkan diri karena ketidakmampuan memimpin negara. Presiden tidak mampu mengatasi krisis ekonomi, dan korupsi. Juga membanjirnya tenaga kerja asing, bahkan poham komunisme. Untuk itu, Ruslan Buton bangkit dan berjuang membuktikan hak-hak konstitusional. Hak yang semestinya dilindungi oleh hukum. Bukan dikriminalisasi. Disadari atau tidak ,memang negara ini butuh orang yang berani, dan mandiri. Tidak takut dengan ancaman dalam bentuk apapun dari penguasa. Selalu teguh dalam beramar ma'ruf nahi munkar. Tujuannya, demi kebaikan bangsa dan negara. Tidak rela membiarkan kehidupan bangsa ini terpuruk di bidang ekonomi, sosial, dan politik yang terus melemah. Melemah karena selalu digerogoti oleh rayap-rayap korupsi dan perbudakan asing. Kepura-puraan dalam memperkaya diri, keluarga, dan kroninya. Ruslan Buton adalah bagian dari fenomena perlawanan itu. Masyarakat pasti mendukung Ruslan Buton yang berjuwa beton. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Muhammadiyah Dituduh dan Difitnah Buzzer Murahan

By Furqan Jurdi Jakarta FNN – Senin (31/05). Hanya binatang langka yang dibiarkan dan ditolerir kalau membuat keonaran tidak dihukum. Persis seperti itulah Ade di rawat oleh mereka. Kemarin nama Muhammadiyah dicatut sebagai organisasi yang mengancam mahasiswa UGM melaksanakan diskusi tentang masalah Impeachment Presiden. Muhammadiyah dituduh sebagai organisasi yang mengancam panitia diakusi. Hari ini Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah melaksanakan diskusi dengan tema yang hampir sama, seputar pemakzulan presiden. Tapi Muhammadiyah juga yang dituduh ingin memakzulkan presiden. Ada operasi apa dibalik semua ini? Siapa yang bermain dibalik nama Muhammadiyah dan tuduhan terhadap Muhammadiyah itu? Bahkan Ade, salah satu pembina BUZZER, tukang penyebar fitnah, menuduh Muhammadiyah ingin mengimpeachment presiden. Dan menghina Prof. Din Syamsuddin. Tuduhan kepada Muhammadiyah sebagai organisasi tentu sangat serius. Sebuah organisasi yang bahkan menjadi tempat negara untuk bersandar. Kalau istilah Pak Tarmizi Taher “Sebagai Tenda Bangsa”. Muhammadiyah tidak pernah berpikir pragmatis untuk mencari secuil kekuasaan. Bukan tipe orang Muhammadiyah memanfaatkan kesempatan untuk mencari kekuasaan dengan cara norak seperti itu. Mungkin ada sebagian orang Muhammadiyah yang haus kekuasaan, itu sebagian kecil. Tetapi setahu saya, kunci kekuatan Muhammadiyah hingga hari ini adalah keikhlasan. Tidak ada ambisi dalam organisasi ini. Apalagi ambisi untuk meraup keuntungan pribadi. Apalagi memanfaatkan kondisi tertentu dengan memfitnah, dan menuduh orang lain seperti Ade. Muhammadiyah selalu mengedepankan kepentingan umat, bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan. Maka, tidak ada organisasi yang egaliter seperti Muhammadiyah. Tentu hal itu hanya dapat dirasakan oleh orang yang benar-benar ber-Muhammadiyah. Tentu binatang tidak tahu apa itu Muhammadiyah, siapa itu orang Muhammadiyah. Dia hanya kenal binatang yang sejenis dengannya. Yaitu tukang pemfitnah, dengan mencari makan menyebarkan fitnah dan tuduhan. Muhammadiyah pasti tidak semurah itu. Saya ingatkan, kasih tahu Presiden, suruh bayar utang negara pada Muhammadiyah. Tuduhan Ade kepada Muhammadiyah adalah tuduhan serius. Sudah memenuhi unsur pidana dan ujaran kebencian. Perbuatan yang tidak menyenangkan, yang menimbulkan keonaran ditengah masyarakat. Warga Muhammadiyah yang 50 juta lebih itu tentu tidak akan tinggal diam. Selain menuduh Muhammadiyah, Ade juga telah memenuhi syarat pencemaran nama baik terhadap Prof. Din Syamsuddin. Sebagai mantan Ketua Umum Muhammadiyah, tentu beliau masih menjadi salah satu panutan warga Muhammadiyah. Sementara sikap kritisnya selama ini, beliau selalu sandarkan pada niat dan itikad baik kepada bangsa dan negara. Pembacaan beliau sangat bijak, meski begitu kritis ketika mengemukakan argumentasi. Tetapi kekuasaan yang bertelinga tipis, akan kepanasan mendengar kritik dan saran dari Pak Din. Ini bukan negara feudal. Dimana hanya ada penyembah berhala kekuasaan. Ini demokrasi, dan setiap orang boleh membicarakan apapun yang menjadi pikirannya, semasih itu tidak bertabrakan dengan hak asasi orang lain. Lalu Apa salahnya orang berdiskusi tentang impeachment tuan presiden? Adakah hal yang salah? Impeachment itu terdapat dalam konstitusi. Dibicarakan secara detail dalam UUD 1945. Kalau membicarakan Impeachment tuan presiden adalah perbuatan pidana, atau pelanggaran hukum, maka dapat dikatakan bahwa UUD adalah “buku panduan kejahatan”. Karena tata cara pemberhentian presiden dijelaskan dan diperintahkan oleh konstitusi. Artinya, kalau rezim ini menganggap diskusi tentang impeachment tuan presiden adalah membahayakan negara, maka UUD 1945 lebih berbahaya lagi. Itu alur logikanya. Sudah berapa buku ditulis tentang Impeachment presiden. Sudah berapa semester bagi mahasiswa hukum mempelajari impeachment. Tiba-tiba rezim ini menganggap diskusi tentang pemakzulan presiden adalah kegiatan yang sangat berbahaya. Belajar hokum dimana tuh? Sungguh demokrasi diambang kematian. Bagaimana mungkin negara yang demokrasi membatasi diskusi, yang dianggap mengkritisi kekuasaannya. Padahal Pasal 28 UUD 1945 memberikan kebebasan untuk menyampaikan pikiran secara lisan dan tertulis. Baik yang pro pemerintah maupun yang tidak pro pemerintah di jamin untuk mengeluarkan pendapat secara lisan maupun tertulis. Tetapi kenapa mereka yang kritis dilarang. Sementara pemuja kekuasaan dibiarkan menyebarkan fitnah secara blak-blakan. Ini sungguh tidak adil. Ini harus diluruskan. Ini harus diperbaiki. Ini juga harus diubah. Saya ingatkan, bahwa Ade boleh kebal hokum. Ade boleh memfitnah siapapun dan kapanpun, tetapi ingat tidak ada kekuasaan yang abadi. Semua akan berganti dan hal yang sama bisa berlaku sebaliknya. Wallahualam bis shawab Penulis adalah Aktivis Muda Muhammadiyah dan Ketua Pemuda Madani

Pasal 27 UU Corona Tak Menjamin Lepas Dari Pidana

By Dr. Margarito Kamis Jika kita berbicara tentang penguasa yang taat hukum atau rakyat yang dibatasi oleh hukum, kita seharusnya lebih memperhatikan kemampuan rakyat daripada penguasa. Jika kita mendiskusikan, mana yang boleh bebas dari ikatan-ikatan ini, kita akan melihat kesalahan rakyat lebih kecil dibandingkan dengan penguasa. Rakyat yang tidak bermoral dan tak beraturan dapat dengan mudah dibimbing kembali menuju jalan yang benar. (Niccolo Machiavelli, Filosof Italia) Jakarta FNN – Kamis (21/05). Ikhtiar, merupakan sikap terbaik. Sikap ini harus diletakan di atas timbangan setiap kali sebuah tindakan hendak dilakukan. Memperhitungkan risiko, jauh lebih baik dibandingkan mengabaikan risiko itu. Bukan mendapat untung besar, melainkan agar dikenal orang sebagai pelaksana keputusan yang hebat. Memancang ikhtiar itu sedari awal sebelum mengimplementasikan kebijakan pemberian bantuan likuiditas dalam rangka pemulihan ekonomi nasional, jelas bagus. Itu karena dua hal. Pertama, kasus Bantuan Likuidotas Bank Indonesia (BLBI) dan Century belum benar-benar beres. Selalu ada kemungkinan dibuka, dilanjutkan penyidikannya oleh KPK. Kedua, uang yang digunakan dalam rangka implementasi kebijakan adalah uang negara. Jumlahnya tidak main-main. Kabarnya total uang untuk kepentingan ini lebih dari Rp. 600 trilyun. Jumlah ini lebih besar dari BLBI, dan ratusan kali lipat lebih besar dari Century. Pengetahuan KPK Dokumen-dokumen hukum otentik, khususnya putusan pengadilan, menyediakan fakta eksplosif. Fakta ini, setiap saat bisa meledak. Bila sekarang terlihat dingin sedingin es, itu lebih disebabkan angin politik sedang bertiup ke arah lain. Bila angin politik mengubah arah tiupannya, bisa barabe boss. Apakah perubahan arah angin politik bergantung pada peta dan formasi pemegang kekuasaan? Tidak selalu begitu. Tetapi saya tidak ingin menganalisis hal itu lebih jauh. Yang mau saya analisis lebih jauh sejauh ruang yang tersedia adalah, kemungkinan KPK dilibatkan dalam merancang skema teknis pelaksanaan bantuan likuiditas. Soalnya adalah mengapa kemungkinan KPK dilibatkan dalam perumusan skema teknis pelaksnaan kebijakan pemberian, khususnya bantuan likuditas, dipertimbangkan? Pertama, KPK pernah menyidik pelaksanaan BLBI. KPK juga telah menyidik kasus Century. Bukan saja disebabkan kasus ini – BLBI dan Century - belum tuntas, tetapi lebih dari itu. Penyidikan dua kasus itu cukup beralasan diambil dan dijadikan tesis KPK memiliki pengetahuan teknis tentang hal-ihwal teknis, yang bisa diandalkan untuk menghindarkan kesalahan pelaksanaan bantuan teknis likuiditas itu. Berbekal penyidikan yang dilakukan untuk BLBI dan Century, KPK dipastikan tahu kelemahan fundamental cara berpikir pejabat mengambil keputusan. KPK juga pasti tahu kelemahan kreasi pejabat dalam menutup kelemahan ketentuan yang dijadikan dasar pelaksanaan bantuan likuditas itu. Itu poin besar. Kedua, suka atau tidak, pasal-pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020, saya sebut PP Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi, jauh dari memadai. Terdapat begitu banyak soal teknis yang tak terjawab dalam PP ini. Apa saja kelemahan itu? Dalam artikel yang lalu telah saya tunjukan secara sumir kelemahan PP ini. Apa parameter teknis ekonomi dan keuangan serta hukum tentang Bank-Bank Umum yang dikategorikan sebagai Bank Peserta dan Bank Pelaksana? Serba dak jelas dan kabur. Apakah “hanya” Bank Pelaksana yang dapat melakukan restrukturisasi kredit dan melakukan penambahan kredit? Apakah sebelum bank-bank atau korporasi-korporasi yang mau direkstukturisasi kredit atau ditambah modal usahanya tidak punya kredit pada Bank Peserta? Bila ada, apakah Bank Peserta juga bisa melakukan restrukturisasi kredit atau ekspansi kredit? Apa dasatrnya bila Bank Peserta melalukan restrukturisasi dan penambahan kresdit? Apa jaminannya? Siapa yang meneliti jaminannya? Kegelapan ini memang bisa ditembuas, bisa dikelola, tetapi seperti biasa dalam setiap kegelapan, selalu ada yang tak terdeteksi oleh mata elang. Mata KPK mungkin sehebat mata elang. Tetapi dalam kasus ini, mata KPK tak bakal mampu menembusnya. Mengapa? Tumpukan soal teknis yang harus dibereskan satu demi satu, dalam setiap kasus berbeda, adalah tantangan terbesarnya. Tak perlu mendahului, apalagi dengan nada skeptic. Tetapi begitu banyaknya persoalan teknis yang harus diurus satu demi satu itu, justru membatasi KPK sendiri. KPK tak mungkin menyediakan aparaturnya untuk dari hari ke hari bekerja bersama aparat eksekutif pelaksana kebijakan ini. Yang paling mungkin adalah KPK menyediakan panduan teknis, sebisa mungkin. Panduan-panduan itu, pasti merupakan implementasi fungsi pengawasan mereka. Tetapi apakah panduan-panduan itu sungguh menjawab kebutuhan tindakan yang diperlukan oleh pejabat pelaksana? Apakah panduan-panduan yang diberikan oleh KPK, sungguh-sungguh menjawab, sebut saja kebutuhan kriteria teknis. Misalnya “komponen apa dari kredit” yang hendak direkstrukturisasi? Apakah komponen waktu saja? Katakanlah bila komponen waktu dipertimbangkan, soalnya adalah bagaimana kriterianya? Soal lain, misalnya komponen bunga. Apakah yang dipertimbangkan atau ditentukan kriterianya adalah bunga kredit yang mau dikurangi, atau diperpanjang waktu pembayarannya? Apapun itu, soalnya adalah bagaimana kriteria-kriteria itu ditetapkan. Siapa yang membuat kriteria itu? OJK atau Bank pelaksana? Apakah kriteria-kriteria yang dibuat itu disupervisi, dianalisis dan sebisa mungkin diperbaiki oleh KPK sebelum digunakan oleh OJK atau Bank Pelaksana? Di luar itu, bagaimana penentuan besaran bantuan likuiditas kepada korporasi? Adakah kriterianya? OJK saja yang menentukannya? Apa kriterianya satu korporasi direstrukturisasi, dengan cara memberi perpanjangan waktu pelunasan kredit, atau pengurangan bunga? Mengapa korporasi tertentu diberi tambahan modal? Bagaimana menentukan besaran tambahan modalnya? OJK yang memutuskan dan membuat kriterianya? Ikutkah KPK dalam urusan seteknis ini? Cukupkah, sekali lagi, KPK hanya membuat panduan? Sedalam dan seadaptif apakah panduan yang disodorkan KPK? Apakah melibatkan KPK, dengan sendirinya menjadi alasan penghapus sifat melawan hukum, andai ada, dalam pelaksanaan kebijakan ini? Penyidikan Kemudian Hari Semuanya rumit. Betul-betul rumit. OJK dan Bank Pelaksana harus sangat hati-hati. Bagaimana dengan BI? Terlihat tak ikut menentukan dalam arti memutuskan korporasi mana yang harus direstukturisasi, berapa, bagaimana, kapan dan berapa lama? PP Nomor 23 Tahun 2020 ini memberikan kewenangan itu kepada OJK. Masalahnya apa BI bisa lepas tangan? BI memang tidak menempatkan dana bantuan likuiditas pada Bank Peserta. Betul itu. Tetapi bagaimana dengan kewenangan BI terhadap korporasi tertentu. Apakah hilang begitu saja? Padahal telah diatur dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2020, yang saat ini telah ditingkatkan statusnya menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020, yang saya sebut “UU Corona”. Disini soalnya. Mengapa jadi soal? Ketentuan dalam Perpu itu dapat dijadikan dasar oleh OJK untuk meminta pertimbangan BI ketika OJK hendak memutuskan satu atau dua korporasi diberi privilege sesuai Perpu. Pada titik ini BI, mau tidak mau harus memberikan pertimbangan. Ketika BI beri pertimbangan, itu menjadi poin tercipta jalinan hukum antara BI dengan OJK. Jalinan ini bernilai hokum, sebagai peleburan tanggung jawab bersama- antara BI dan OJK. Itu satu soal. Soal lainnya, kapan BI menempatkan dana bantuan likuiditas ke Bank Peserta? Siapa yang memutuskan? BI sendiri yang memutuskan? Kapan dana bantuan likuiditas ditempakan di Bank Peserta? Berapa besaran dana yang ditempatkan pada setiap Bank Peserta? Bagaimana angka-anga itu didapat? Berdasarkan penilaian sendiri dari BI atau rekomendasi dari OJK atau rekomendasi pemerintah? BI, tidak usah terkepung, apalagi terintimdasi dengan kasus BLBI, yang belum tuntas-tuntas hingga sekarang. Tidak perlu. Tetapi BI harus benar-benar hati-hati. Aturan mengenai soal ini harus betul-betul jelas. Tidak boleh teredia cela sekecil apapun. Kehat-hatian yang telah diambil sejauh ini, bagus. Sebisa mungkin tidak memuat kebijakan untuk menutupi kelemahan atau ketidakjelasan Perpu dan PP. Akankah BI memanggil KPK membantu mereka merumuskan aturan teknis? Bila ini ditempuh BI, tentu bagus. Bila dapat ditempuh, maka pastikan panduan yang dibicarakan bersama KPK, dan akan diformalkan menjadi aturan teknis itu, harus rigid. Semua argumen dalam perdebatan perumusan aturan itu harus direcord, dan dibuat berita acaranya. Siapa bicara apa, mengenai apa, dan argumen siapa yang dilembagakan dalam peraturan teknis, sebisa mungkin harus direcord. Mengapa harus direcord? Sekali lagi, tak usah terintimidasi oleh kasus BLBI dan Century. Tak usah. Bagaimanapun urusan ini terlalu dekat dengan penyidikan, penuntutun dan pemeriksaan pengadilan di kemudian hari. Hari-hari ini memperlihatkan dengan sangat terang adanya usaha yang dilakukan oleh MAKI dan beberapa organisasi masyarakat menantang pasal ini di MK. MK, hampir dapat dipastikan akan sejalan dengan pemohon. Mengapa? Tidak tersedia alasan hukum dan politik ekonomi yang cukup untuk mempertahankan pasal ini. Semua pejabat harus memastikan isi kepalanya dengan pikiran bahwa keterlibatan KPK, sekali lagi, tidak bakal menjadi dewa penolong hukum. Tidak ada hukum yang menyatakan nasihat KPK, menjadi hal yang membenarkan atau alasan pembenar atas, jika ada, penyimpangan hukum. Dzikir Diusia Senja Sayangilah hari esok. Pintar-pintarlah berenang di lautan yang penuh ikan buas, dan gelombang mematikan ini. Pandulah semua pikiran dan tindakan dengan perbanyak mengingat sesudah pension nanti. Buatlah hari-hari ketika semua kewenangan yang mewah lepas, berpisah untuk selamanya, indah seindah keluarga bercengkerama. Cintailah dengan cinta yang sebenar-benarnya untuk esok yang indah itu. Buatlah hari esok sesudah pensiun menjadi hari yang menyenangkan keluarga. Bergurau dengan istri yang mulai menua, dengan anak-anak yang luas pergaulannya, dan cucu-cucu yang lucu-lucu. Itu mesti diimpikan sedari sekarang. Jadikanlah hari esok hari yang hebat dengan tasbih. Jadikanlah hari itu hebat karena buah tasbih bergerak-gerak selaras nafas mengalun perlahan, manis dengan hati yang memelas kepada Dia Yang Haq. Lalu dalam nafas itu berbisik dzikir, ya khaiyu ya khaiyun hingga lelap mendekap. Pastikan itu. Jadi? Harus hati-hati betul. Jangan grusa-grusu. Sedikit saja terjadi kekeliruan, itu akan fatal. Pasal 27 Perpu tidak dapat menolong. Andai, sekali lagi andai, terjadi penyimpangan, maka kenyataan menyimpang itu justru menjadi alasan pembenar penegak hukum mengesampingkan pasal 27 itu. Kala kenyataan penyidikan oleh penegak hukum tiba, kala itu semua menjadi sulit. Pertolongan politik menjadi perkara mahal. Tak pasti dan memusingkan. Apa kenyataan menjelang pilpres kemarin tak cukuop jadi pelajaran. Orang-orang yang punya kekuasaan besar di dunia politik jatuh satu demi satu? Takutlah dan hati-hatilah. Jadikanlah itu panduan utama dalam balapan mengerikan ini. Hati-hati harus menjadi induk dalam memilih ketentuan hukum, ketika tindakan hendak diambil. Ingat, dan tulislah dengan huruf capital, tanggung jawab hukum adalah tanggung jawab individu, bukan institusi. Insya Allah. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

Benarkah Said Didu Menghina Luhut?

Oleh Mayasyak Johan Jakarta, FNN (19 Mei 2020) - Media tengah ramai memberitakan pemanggilan wartawan senior Hersubeno Arief sebagai saksi dalam kasus Muhammad Said Didu Vs Luhut B Panjaitan. Banyak yang bertanya, secara hukum apakah tayangan di channel Youtube tersebut merupakan produk jurnalistik? Dan apakah MSD telah melakukan penghinaan dan pencemaran nama baik? Tayangan wawancara dengan MSD: LUHUT HANYA PIKIRKAN UANG, UANG, DAN UANG adalah produk jurnalistik karena merupakan hasil sebuah wawancara yang dilakukan seorang wartawan.Wawancara dilakukan oleh seorang wartawan senior dan bekerja di berbagai media yang kredibel. Majalah Editor, Harian Republika, Radio Trijaya FM, Metro TV, ANTV dan sekarang di FNN.Apakah Youtube bisa disebut sebagai produk Jurnalistik?Jawabannya itu adalah produk jurnalistik yang sekarang dikenal dengan nama Citizen Journalism (jurnalisme warga).Eksistensi citizen journalism saat ini sudah diakui di seluruh dunia, dan media mainstream mengadopsi dan memberi ruang.Banyak karya citizen journalism yang program khusus di media mainstream baik cetak, online, dan televisi.Sebagai contoh di kompas.com, Republika Online, dan tempo.co menyediakan ruang tersendiri. Trans TV menayangkan sebuah program yang diambil dari konten Youtube. Demikian juga beberapa stasiun tv lainnya.Secara hukum UU Pokok Pers benar belum mengadopsi citizen journalism dalam pasal-pasalnya, namun kita tidak bisa menutup mata, eksistensi bahkan pengaruhnya sudah diakui di seluruh dunia.Hukum memang selalu tertinggal dari realita dan perkembangan di tengah masyarakat. Sudah waktunya hukum mulai mengaturnya karena citizen journalism sudah tidak bisa dihindari lagi sebagai perkembangan dari dunia IT.Sebelumnya kita juga mengenal profesi freelance journalist (wartawan bebas/paruh waktu) yang eksistensinya diakui di seluruh dunia. Beberapa karya mereka mendapatkan penghargaan bergengsi dunia. Salah satu contohnya adalah karya Talal Abu Rahma berupa liputan penembakan di Jalur Gaza, Palestina yang ditayangkan Channel 2, Perancis dan CNN.Tayangan penembakan pasukan Israel terhadap seorang Bapak yang melindungi anaknya itu menggemparkan dunia. Talal mendapat penghargaan dari Martin Adler Prize pada 19 Nov 1999.Saat ini dunia jurnalistik tengah mengalami shifting. Tidak lagi berbasis kelembagaan, namun sudah mengarah kepada individu. Perkembangan itu tidak lagi bisa dibendung dengan hadirnya kanal Youtube dan situs video berbagi lainnya. Sudah menjadi sebuah keniscayaan.Mengenai judul tayangan, sebagai jurnalis Hersubeno menjalankan profesinya secara profesional. Luhut Hanya Pikirkan Uang, Uang dan Uang merupakan pernyataan dari Said Didu sebagaimana bisa disaksikan dalam tayangan.Jika Hersubeno mengubah atau bahkan menghilangkan pernyataan MSD sebagai narasumber, maka dia telah melakukan sensorship yang sangat bertentangan dengan prinsip kebebasan pers.Hubungan antara MSD dengan Hersubeno Arief adalah hubungan profesional antara seorang jurnalis dan nara sumber yang dilindungi undang-undang.Apa yang diucapkan oleh MSD secara substansial, empirik dan psikologis bukan merupakan penghinaan, juga bukan kebencian atau ingin menyerang kepribadian seseorang, melainkan clear merupakan fakta dimana dalam mengambil keputusan LBP lebih mengedepankan pertimbangan ekonomi ketimbang pendekatan lingkungan atau kesehatan.Penilaian pendekatan itu yang dinarasikan dengan Uang dan Uang. Dengan kata lain istilah Uang dan Uang itu adalah kata lain yang lebih menekankan pendekatan ekonomi.Dalam berbagai keterangan pers yang diberikannya LBP selalu menunjukkan atau mengedepankan bahwa pertimbangan lebih mengutamakan pertimbangan riel ekonomi. Dan itu yang dibaca dengan Uang, Uang dan Uang oleh MSD.Sebagai jurnalis profesional yang lebih 30 tahun bekerja di berbagai media massa, Hersubeno menilai tidak ada nuansa kebencian dalam nada suara MSD. Hersubeno menilai bahwa ini adalah kata ganti dari sebuah pendekatan atas istilahnya agar lebih mudah dipahami publik.Karena itu sang pewawancara yaitu Hersubeno tidak melakukan self-cencorship, sebab ini menurut penilaian Hersubeno dan banyak orang ini adalah penilaian dari sudut yang berbeda secara scientifik.Tidak ada unsur menyebarkan kebencian apalagi menimbulkan keonaran dari pernyataan MSD karena itu merupakan penilaian terhadap kebijakan seorang pejabat publik yang berdampak luas terhadap masyarakat. Jadi harus dikritisi.Sebagai pejabat publik, Luhut harus siap dinilai bahkan dikritik publik. Menjadi aneh bila dia tidak mau dinilai, sementara dia menilai pernyataan MSD sebagai sebuah penghinaan dan pencemaran nama baik.Mudah-mudahan ada manfaatnya. Penulis adalah Advokat, Mantan Wakil Ketua Komisi III DPR RI.

Penjara Setia Menunggu Pejabat Pemberi Likuiditas

By Dr. Margarito Kamis Hukum sudah bergerak lebih jauh dari itu, ia telah berkembang melawan tujuannya sendiri. Hukum sudah dipakai menghancurkan tujuannya sendiri,Ia telah dipakai memberangus keadilan yang seharusnya ia pelihara untuk membatasi dan menghancurkan hak-hak yang seharusnya ia junjung tinggi. Hukum telah menempatkan kekuatan kolektif untuk memihak pihak yang keji yang ingin tanpa pengorbanan diri sama sekali, memanfaatkan kedirian kebebasan dan hak milik orang lain (Frederick Bastiat, Filosof Perancis). Jakarta FNN – Senin (18/05). Kebijakan penyelamatan ekonomi nasional, di dalamnya termasuk menyelematkan korporasi di bidang keuangan, baik maupun non bank, yang dipayungi Perppu Nomor 1 Tahun 2020, telah disahkan DPR menjadi undang-undang. Payung hukum tersebut, kini sedang memasuki babak teknis. Presiden dalam kerangka itu telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2020. Ya Tuhan, ternyata judul PP ini lebih panjang dari judul Perppu. Sekadar meringankan ingatan saja. Saya ambil bagian paling awal judul dari PP Nomor 23 Tahun 2020 untuk menyebut PP ini. Saya sebut saja PP ini Tentang “Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional”. Disingkat “PPEN”. Sekali lagi, ini hanya sekadar untuk memudahkan. Bukan untuk mengubahnya. Karena nama PP hanya dapat diubah secara formal dengan PP juga. Presiden Bertanggung Jawab Secara umum, PP mengatur prinsip-prinsip teknis pelaksanaan program, yang tidak terlalu jauh jaraknya dari penjara ini. Disebut umum, karena tidak ditemukan aturan tentang cara menentukan korporasi diberi bantuan likuditas atau tidak. Termasuk berapa besaranya? Lalu kapan diberikan? Termasuk tidak ditemukan di dalamnya ketentuan tentang bagaimana asesmen terhadap derajat kesehatan asset korporasi. Apa kriteria korporasi yang layak mendapat bantuan atau pinjakan likuiditas? Sama-sekali tidak tergambar dalam PP ini. Ini yang sangat menarik. Mengapa menarik? Para pejabat, terutama yang disebut dalam Perpu, khususnya BI dan OJK, terlihat tak mau menanggung sendiri tanggung jawab atas pelaksanaan Perppu ini. Tanggung jawab yang saya maksudkan adalah tanggung jawab hukum. Ini cukup jelas. Kejelasan itu tergambar pada pasal 7 PP ini. Esensi pasal 7 PP ini adalah perumusan, penetapan dan strategi pelaksanaan kebijakan tidak bisa diputus sendiri atau bersama-sama hanya oleh BI dan OJK. Pasal ini memerintahkan dua Menko bidang ekonomi, Menteri, BI, OJK dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) secara bersama-sama merumuskan dan menetapkan strateginya. Tidak itu saja. Kebijakan yang telah dirumuskan oleh mereka, tidak bisa serta-merta dapat ditetapkan menjadi kebijakan pemerintah. Tidak itu. Dalam arti hukum administrasi negara, kebijakan itu harus diberi bentuk hukum untuk dijadikan dasar pelaksanaan. Caranya adalah teknis kebijakan yang telah dirumuskan, harus dibawa lagi ke rapat kabinet. Pada rapat kabinet inilah, Presiden dapat mengundang BI dan OJK. Bila rapat kabinet menyetujui kebijakan yang telah dirancang oleh tim yang disebut pada pasal 7 ayat (1) barulah kebijakan itu dapat dilaksanakan. Ini menarik. Apa yang menarik? Kebijakan itu sepenuhnya memiliki sifat hukum sebagai kebijakan pemerintah. Tanggung jawab atas kebijakan itu beralih dan dipiklul sepenuhnya oleh Presiden. Ini escap bagus buat para pejabat. Harus Diaudit BPK Apakah, dengan demikian pasal 7 PP ini menjadi jebakan kepada Presiden? Tidak bisa berspekulasi. Tetapi apapun itu, para pejabat yang hadir dalam rapat kabinet harus sungguh-sungguh professional. Sekali lagi harus professional. Jauhkan sejauh mungkin sindrom timbang rasa. Semua pengetahuan profesional harus digunakan, sembari mengombinasikannya dengan naluri professional. Argumen profesional dalam rapat kainet itu harus terekam, dicatat. Tujuannya, tentu bagi para pejabat itu adalah untuk memenej ombak yang mungkin datang jauh sesudah kebijakan itu diimplementasi. Apalagi, PP ini jelas tidak menggunakan asumsi pra audit. Yang digunakan adalah post audit oleh BPKP. Ini metode konfensional. Mau telah diaudit atau belum, atau apapun namanya oleh BPKP, hal itu tidak menghalangi BPK melakukan audit. Mau diapakan hasil audit BPK, itu urusan lain. Isu utamanya adalah BPK tak terhalang untuk mengaudit. BPK hanya perlu profesional dan menyatakan apa adanya atas hasil auditnya. Bayangan ketakutan para pejabat yang diserahi kewenangan eksekusi kebijakan ini secara teknis, terutama pemberian likuiditas, terlihat begitu kuat dalam PP ini. Itu terlihat pada pasal 7 ayat (5). Secara esensial ketentuan pasal ini mengatur rapat kabinet dapat menyertakan lembaga penegak hukum dan BPKP. Ini juga escap yang canggih. Cara ini untuk menghindarkan risiko ke person-person pelaksana kebijakan. Sekaligus merupakan cara menyebar tanggung jawab ke semua person yang hadir dalam rapat itu. Tetapi cara ini, dengan alasan tata negara yang bisa diberikan, tidak mengapus tanggung jawab Presiden. Escap ini justru melokalisir. Menempatkan Presiden di pusaran tanggung jawab. Akankah skema tanggung jawab ini berjalan sebagaimana adanya? Tunggu dulu. Ini kan hanya level perumusan dan penetapan kebijakan. Bukan pada pelaksanaan. Dititik inilah masalahnya. Sindrom Penjara Sindrom ini yang sebenarnya membayangi perancang PP ini, dengan cara dimunculkannya pasal 7 itu. Tetapi dilihat dari sudut hukum, masalahnya tidak sepenuhnya selesai hanya dengan menempatkan Presiden pada pusaran pembuatan kebijakan. Masalah sebenarnya pada tanggung jawab hukum – terletak pada pelaksanaan kebijakan. Beban dan penyebaran teknis tanggung jawab, ditentukan secara dominan pada level pelaksanaan kebijakan itu. Inilah yang harus ditimbang secara matang oleh para pejabat yang akan melaksanakan kebijakan secara teknis ini. Pejabat BI, OJK, LPS dan Menteri Keuangan, benar-benar harus cermat secara teknis. Mengapa? Dilihat dari sudut sifat hukum, maka masalahnya adalah apa bedanya Bank Peserta dan Bank Pelaksana? Apakah Bank Peserta itu bukan Bank Umum? Bila sama, mengapa yang satu dikategori Bank Peserta? Dan yang lain dalam status yang sama dikategori Bank Pelaksana? Mengapa bank dengan status hukum yang sama difungsikan secara berbeda? Bagaimana kriteria teknis dan hukumnya? Apakah pembedaan kategorisasi Bank sebagai Bank Peserta dan Bank Pelaksana didasarkan pada ketersediaan likuiditas bank-bank itu? Bila ya, maka soalnya bagaimana menjelaskan kemungkinan bank Bank Perserta mengalami masalah likuditas, sebagaimana diatur pasal 12 PP ini? Bagus, PP ini mengatur Bank Pelaksana yang memiliki program retsruksisai dengan segala variannya, diberi likuiditas oleh Bank Peserta. Ini terlihat logis. Tetapi masalahnya kebijakan restrukturisasi bank-bank pelaksana terhadap debitur dilakukan atas dasar apa? Apakah dilakukan atas dasar korporasi itu tidak bisa bayar kredit? Apakah korporasi itu tidak bisa ekspansi usaha? Apakah betul mereka bermasalah karena korona? Apakah rill perform korporasi sebelum korona, yang kreditnya direstrukturisasi atau ditambah kreditnya? Tidak perlu ditampilkan secara utuh dan dicek secara profesional seluruh aspeknya oleh Bank Pelaksana. Apakah status asetnya tidak perlu dicek secara detail? Andai mau diperbesar skala kreditnya, tentu oleh Bank Pelaksana, apakah jenis, skala dan prospek usaha korporasi yang hendak diberi tambahan kredit? Apakah tak perlu dicek secara detail? Siapa yang mengecek? Bank Pelaksana atau OJK? Apa yang terjadi bila Bank Pelaksana berkeras harus dicek, tetapi OJK berpendapat lain? Misalnya OJK berpendapat Perppu bukan PP, yang memberi kewenangan kepada mereka untuk memungkinkan korporasi tertentu tak mengumumkan informasi tertentu? Dapatkah terminologi informasi tertentu itu diinterpretasi meliputi asset, jenis usaha baru dan skalanya? Oleh karena telah ditentukan adanya Bank Peserta dan Bank Pelaksana, maka BI tidak menyediakan likuiditas. OJK disisi lain, apakah juga tidak berwenang terlibat dalam urusan penentu korporasi mana yang perlu dan layak direstrukturisasi kreditnya atau ditambahkan kreditnya? Hebat betul bila BI dan OJK tidak menganggap ini sebagai masalah yang memerlukan analisis cermat. Tetapi apapun itu, cukup hebat, sindrom penjara yang menerpa sejumlah orang di masa lalu dalam kasus BLBI dan Kasus Century. Dua kasus tersebut, telah menuntun dengan sempurna para perancang PP ini. Tuntunan itu bekerja dengan disediakannya sekoci lain. Sekoci itu bernama menyertakan PT Jaminan Kredit Indonesia dan PT Asuransi Kredit Indonesia. Tetapi sekoci ini terlihat tak tangguh. Mengapa? Besar kemungkinan mereka juga memerlukan tambahan likuiditas. Itu diatur dalam pasal 18 ayat (3). Siapa yang memutuskan pemberian likuiditas kepada mereka? BI atau OJK atau Menteri Keuangan atau Bank Pelaksana? Lalu, apa saja parameter teknisnya? Setelah Kekuasaan Berganti Pemerintah memang selalu kaya dengan argumen, terlepas dari kandungan validitasnya. Bermaksud mencegah sindrom likuiditas yang truble pada setiap pemberian bantuan likuditas dengan cara menyertakan Lembaga Penjamin Kredit, tetapi lembaga itu sendiri membutuhkan likuiditas. Inilah yang memperbesar jalan menuju tuntutan hukum. Pembaca FNN yang budiman, niat baik saja tidak cukup menjamin bagi pejabat pelaksana teknis maupun kebijakan. Juga tidak bakal menjadi senjata ampuh untuk menghindar dari sindrom tuntutan hukum nantinya. Untuk itu, lupakan apa yang disebut “mens rea” yang abal-abal itu. Jalan terbaik adalah kenalilah detil semua loophole teknis yang terskemakan dalam PP ini. Tutupilah, dengan cara bangun panduan hukum selengkap mungkin, sebelum jauh memasuki wilayah berbahaya ini. Itulah cara terbaik menjauh dari sindrom tuntutan hukum. Bisa berupa sindrom penjara. Tentu saja sindrom penjara itu tidak sekarang. Kemungkinan itu di masa datang, jauh setelah kebijakan ini sudah dinikmati oleh korporasi. Pemerintah yang berkuasa juga kemungkinan sudah berganti. Sudah sulit untuk memberikan perlindungan hukum dan sejenisnya. Cermati dan kenalilah dengan benar, nama-nama besar pembuat kebijakan likuiditas seperti Sahril Sabirin, Burhanudin Abdullah, Hendro Budianto dan Haru Supratomo. Mereka semua menikmati kamar dan dinding penjara, bukan pada eranya Soeharto dan Habibie berkuasa. Pada saat kebijakan likuiditas itu dibuat. Tetapi mereka bernasip kurang baik, setelah Soeharto dan Habibie tidak lagi berkuasa. Banyak pasal tentang dugaan pelanggaran hukum, yang mungkin sekarang belum terlihat dan terbaca. Karena telah berhasil ditutup dan dikunci dengan sangat rapi. Bahkan tidak ada celah sedikipun. Coba lihat Pasal 27 Perppu Corona. Para pembuat kebijakan teknis sekalipun, tidak dapat dituntut secara hukum, baik itu pidana, perdata maupun tata usaha negara. Setelah kekuasaan ini berganti. Bakal ada saja pasal-pasal tentang pelanggaran hukum dalam kebijakan pemberian likuiditas hari ini yang ditemukan oleh penguasa baru nantinya. Sayangnya, ketika pasal-pasal itu ditemukan, umur dan stamina dari yang menjabat sekarang, sudah tidak lagi mendukung untuk bisa bersyukur menikmati kehidupan di penjara. Semoga saja bermanfaat. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate