HUKUM
Gibran Terperosok Dalam Tas Kantong Bansos
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Senin (21/12). Berbeda dengan Habib Rizieq Shihab (HRS). Gibran Bin Jokowi bisa "tertolong" soal pandemi dan kerumunan pasca kemenangan di Solo. Namun tiba-tiba saja Majalah Tempo mengaitkan Gibran Bin Jokowi dengan kasus korupsi bantuan sosial (bansos) Pak Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara. Putera Presiden Jokowi ini terseret opini yang sedang menunggu pembuktian. Diberitakan Gibran Bin Jokowi "menolong" PT Sritex untuk mendapatkan proyek pengadaan tas kantong bansos. Akibatnya, "Anak Pak Lurah" ini sontak saja menjadi perbincangan hangat di media informasi. Menteri Sosial Juliari Peter Batubara tersandung korupsi dana bansos sebesar Rp 17 triliun. Sang Menteri menarik potongan hingga Rp. 100.000 untuk setiap paket. Tentu saja Pak Menteri Jualiari tidak sendirian dalam soal ini. Kemungkinan banyak juga pejabat Kemensos yang terlibat. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri mengingatka bahwa Juliari dapat terancam hukuman mati berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ancaman hukuman bagi mereka yang korupsi dana bencana. Uang dari negara yang seharusnya dinikmati oleh masyarakat yang sedang susah dan menderita. Majalah Tempo edisi terbaru memberi judul cover "Korupsi Bansos Kubu Banteng" dengan gambar kantong bansos bertuliskan "Dana bansos yang disunat Menteri Juliari Batubara diduga mengalir sampai ke tim pemenangan kepala daerah PDIP. Elit partai banteng disebut-sebut terlibat". Entah karena PDIP tersudutkan dalam kasus korupsi ini, dengan adanya pernyataan Presiden yang menegaskan tidak akan melindungi pelaku korupsi, maka tiba tiba Gibran putera Presiden ikut disebut-sebut. Konflik Jokowi dengan Mega dimulai? Dimulai dari dua staf Kementrian Sosial (Kemensos) yang menceritakan bahwa keduanya diperintahkan untuk menghentikan pencarian vendor penyedia tas bansos karena "itu bagiannya anak pak lurah" katanya. Semula pencarian diarahkan pada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Namun atas rekomendasi Gibran Rakabuming Raka Bin Jokowi, maka penyedia tas bansos yang berjumlah 10 Juta unit itu diberikan kepada PT Sritex. KPK akan memanggil dan memeriksa Direktur PT Sritex dan Gibran. Pemeriksaan keduanya untuk membuktikan keterlibatan mereka dalam kasus korupsi yang menimpa Mensos Juliari dari PDIP dan pejabat lainnya. Hal ini menjadi sangat menarik karena dapat menjadi momen pengujian atas ketegasan Presiden dalam pemberantasan korupsi. Anak yang disayangi, dan awal tidak didorong untuk berkiprah dalam bidang politik itu kini disebut-sebut terlibat skandal. Selama ini majunya Gibran di Pilkada Solo telah disorot habis-habisan sebagai bagian dari nepotisme yang dahulu populer dengan sebutan KKN. Kini Gibran terjebak. Bukan saja terjebak dalam pusaran nepotisme. Tetapi juga dugaan korupsi dan kolusi. Masyarakat menilai Jokowi memaksakan sang putera untuk menempuh karier yang sama, yaitu mulai dengan jabatan Walikota Solo. Jika sang ayah awal sebagai pengusaha meubeul, maka sang anak adalah pengusaha martabak. Dua duanya sebenarnya diragukan kemampuannya di bidang pengelolaan negara. Ada faktor keberuntungan dan kepentingan dukungan. Jokowi dan Gibran seharusnya membaca puisi Kahlil Gibran. Bagian puisi Kahlil Gibran, sang penyair cerdas asal Lebanon yang berjudul "Anakmu bukan milikmu" cukup menarik. "Anakmu bukan milikmu Tetapi anak kehidupan Yang rindu akan dirinya Bisa saja mereka mirip dirimu Tapi jangan menuntut agar menjadi sepertimu Sebab kehidupan itu bergerak ke depan Bukan tenggelam di masa lampau" Pak Jokowi rupanya tidak membaca puisi Kahlil Gibran ini, atau mungkin membaca tetapi tidak peduli dengan urusan puisi. Karena puisi Kahlil Gibran ini pasti tidak berhubungan dengan investasi dan hutang luar negeri. Menjadikan Gibran sang putera sebagai kegiatan investasi justru membawa dirinya akan dekat dengan korupsi. Kini Gibran terperosok ke dalam tas kantong bansos. Tindak pidana korupsi sang Menteri Juliari Peter Batubara. Menterinya Pak Jokowi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Wawancara TEMPO: Berarti Penembakan KM 50 “Terencana?"
by Mochamad Toha Surabaya FNN – Sabtu (19/12/20). Koran.tempo.co menulis, Rest Area Km 50 Jalan Tol Jakarta-Cikampek, Senin dinihari, 7 Desember lalu. Hampir semua mata tertuju pada Chevrolet Spin yang melaju tanpa ban kiri depan. Brak. Minibus itu lalu menabrak Toyota Corolla di akses keluar area rehat. Dalam hitungan detik, sejumlah pria bersenjata mengepung mobil yang belakangan diketahui sebagai kendaraan pengawal Habis Rizieq Shihab tersebut. Dua orang di Chevrolet Spin itu diperkirakan telah tewas dan empat orang lainnya ditangkap. Itu merupakan jam terakhir hidup mereka. Sekitar pukul 03.00, enam jenazah anggota Front Pembela Islam tersebut tiba di Rumah Sakit Polri di Kramat Jati, Jakarta. Seorang saksi di Rest Area Km 50 menceritakan penangkapan tersebut kepada Tempo. Dia melihat tiga orang ditelungkupkan di aspal. Salah satunya kemudian mendapat tendangan di kepala. “Sebelum ditendang, kedengaran suara 'ampun, Pak',” kata dia kepada tim liputan Tempo di sebuah kota di luar Jakarta, Rabu dinihari lalu. Tidak mudah baginya untuk menceritakan kesaksian itu. Sebab, identitas setiap pedagang area rehat itu dicatat polisi, sementara pengelola meminta mereka tutup mulut. Dengan bantuan seorang perantara, Tempo membutuhkan lebih dari sepekan untuk meyakininya agar bersedia diwawancarai dengan rekaman suara dan video. Beberapa keterangan yang memperkuat kesaksian tidak kami tuliskan karena dapat mengarah pada pengungkapan identitas saksi. Sejumlah pertanyaan kami ajukan berulang-ulang pada waktu terpisah dan jawabannya konsisten. Menurut saksi, polisi berseragam serba hitam memeriksa telepon seluler banyak orang di Rest Area Km 50 malam itu untuk memastikan tidak ada foto dan rekaman video. Aparat, termasuk yang berbaju sipil, berada di lokasi itu sekitar tujuh jam sebelum penangkapan. Berikut petikan wawancara Tempo: Apa yang membuat Anda melihat ke arah mobil korban? Pas mobil lewat, kaget, karena ada suara kretek-kretek. Suara pelek kena aspal. Terus nabrak mobil di depannya. Jeger. Dikira ada tabrakan. Langsung semua berkumpul di situ. Anda mendekat? Ya. (Saksi mendeskripsikan posisi dan dekatnya jarak dia dari mobil tersebut). Apa yang pertama Anda lihat? Pas saya lihat, sudah pada tiarap. Berapa orang? Yang saya lihat tiga. Mereka masih hidup? Yakin masih hidup. Apa yang membuat Anda yakin? Karena bergerak. Gerakannya bagaimana? (Menolehkan kepala ke kanan-kiri) Meleng-meleng karena waktu itu gerimis. Posisi tangan korban? Tangan ditindih badan. Dua-duanya. Selain tiga orang itu, Anda melihat apa? Saya melihat pas mengeluarkan satu orang lagi. Kayaknya udah meninggal itu. Orang itu penumpang minibus? Orang yang dari dalam mobil. Di pintu belakang kiri. Kenapa menyebut dia meninggal? Dia enggak gerak. Bagaimana cara petugas mengeluarkan? Ditarik. Bagian belakang atau depan badan? Belakang. Seluruh badan dikeluarkan? Saya melihat yang dikeluarkan setengah badan. Lalu dilepas. Kepalanya jatuh ke aspal. Hanya melihat satu korban meninggal? Kawan saya melihat ada lagi. Di pinggir kursi sopir. Tapi enggak dikeluarin. Apa hal lain yang petugas lakukan di mobil itu? Saya melihat mereka mengeluarkan senjata. Celurit sama samurai. Jam berapa peristiwa terjadi? Setengah satu. Lewat jam 12. Dengar suara tembakan? Tidak. Tapi kawan saya dengar. Dia bilang dua kali, habis mobil berhenti. Kawan saya melihat pas masuk, mobil itu sudah hancur. Bagian depan, kiri, kanan, sudah rusak. Di depannya, ada mobil. Jadi nabrak dan berhenti. Kawan saya juga melihat mobil itu dibuntuti. Penguntitnya berhenti jauh di belakang. Arah dari pintu masuk, di sebelah kiri jalan. Teman Anda juga melihat tiga orang ditelungkupkan? Kawan saya melihat empat. Karena sudut pandang beda dan gelap. Berapa lama mereka diminta tiarap? Kira-kira lebih dari 30 menit. Lama-lah. Sampai bete juga nunggunya. Tiga atau empat orang itu tidak berubah posisi selama 30 menit? Saat mereka tiarap, saya lihat ada yang kepalanya ditendang. Satu orang. Sebelum ditendang, kedengeran suara "Ampun, Pak." Anda melihat saat korban dipindahkan ke mobil? Pas dimasukin mobil, saya enggak lihat. Tapi saya lihat dua orang jalan jongkok sambil (menempatkan kedua tangan di belakang kepala). Jaraknya lumayan dari tempat kejadian. Berapa orang? Saya lihat dua. Kawan saya melihat tiga. Seorang lagi kepalanya kayak diperban gitu sebelum dimasukin ke mobil. Mereka diborgol? Tidak. Mengapa Anda mengatakan petugas telah berada di lokasi sebelum kejadian? Mereka ada sejak (Ahad, 6 Desember) sore, menjelang magrib. Pas wudu mau salat magrib, senjatanya diselempangin di punggung. Apa warna seragamnya? Hitam-hitam. Anda yakin mereka bukan cuma sedang mampir? Kalau pengunjung, enggak bakal lama di situ. Apa yang mereka lakukan selama tujuh jam itu? Teman saya melihat mereka ngopi. Ditanya, ada kegiatan apa? Dijawab yang baju hitam, "Lihat saja entar. Pokoknya spesial." Mereka ikut dalam pengepungan? Yang bawa laras panjang itu menjaga biar enggak ada yang berkerumun. Orang-orang yang mau mendekat diusir. Pas mau akhir penangkapan kayak razia gitu. Enggak boleh rekam video. Enggak boleh ada foto. Handphone dilihat sampai ke galerinya. Berapa orang yang memeriksa telepon? Saya lihat dua orang yang baju hitam itu. Semua pedagang diperiksa teleponnya? Tidak. Yang dekat lokasi saja. Sampai rombongan pergi, saya masih mendengar mereka memeriksa HP. Sekitar jam berapa rombongan polisi meninggalkan lokasi? Tidak tahu. (Majalah Tempo edisi 14 Desember 2020 menuliskan polisi beranjak dari Rest Area KM 50 sekitar pukul 01.30) Polisi pergi secara berombongan? Berurutan. Satu-satu. Sering menyaksikan polisi menangkap orang di Rest Area KM 50? Baru pertama kali. Polisi menyebutkan empat korban ditembak akibat melawan petugas di Kilometer 51+200. Anda mendengar letusan senjata sesaat setelah polisi berangkat? Enggak ada. Teman Anda mendengar? Tidak. Operasi Spesial "Lihat saja entar. Pokoknya spesial". Kutipan jawaban aparat berseragam hitam-hitam yang menunggu selama 7 jam di Rest Area Km 50 itu, menunjukkan bahwa operasi “penyergapan” pengawal HRS tersebut sudah direncanakan sebelumnya. Apalagi melibatkan aparat berseragam hitam-hitam (diduga dari satuan Brimob). Setidaknya mereka bertugas untuk mengamankan TKP dan “menjaga biar enggak ada yang berkerumun. Orang-orang yang mau mendekat diusir”. Seorang teman pedagang mendengar dua kali suara tembakan di Rest Area Km. “Dia bilang dua kali, habis mobil berhenti. Kawan saya melihat pas masuk, mobil itu sudah hancur,” ujar saksi kepada Tempo. Berarti, penembakan itu terjadi sesaat setelah mobil Chevrolet Spin berhenti di Rest Area Km 50. Boleh jadi, dua pengawal HRS itu tewas di dalam mobil. Diduga, ban mobil kiri depan itu ditembak jauh sebelum memasuki Rest Area Km 50. Adanya satuan berseragam hitam-hitam di Rest Area Km 50 sejak Minggu sore, 6 Desember 2020 dan pernyataan “pokoknya spesial” tersebut menunjukkan bahwa Rest Area Km 50 itu dipersiapkan untuk “operasi spesial” atas rombongan HRS. Dan, di Rest Area Km 50 itu pula, empat pengawal HRS lainnya diketahui masih hidup. Di mana mereka dieksekusi oleh “OTK” yang belakangan diketahui ternyata aparat Kepolisian? Versi Bareskrim Polri, di dalam mobil karena melawan. Sekitar pukul 03.00, enam jenazah anggota Front Pembela Islam tersebut tiba di Rumah Sakit Polri di Kramat Jati, Jakarta. Berdasar tulisan Tempo pula, rombongan petugas meninggalkan Rest Area Km 50 sekitar pukul 01.30. Namun, jika benar mereka ditembak di dalam mobil petugas, seharusnya saat Rekonstruksi, mobil ini dihadirkan. Dan, setidaknya bisa jadi barang bukti, kecuali dilakukan di tempat lain. Bercak darah selama 2,5 jam menuju RS pasti ada yang tercecer. “Anda mendengar letusan senjata sesaat setelah polisi berangkat? Enggak ada. Teman Anda mendengar? Tidak,” tulis Tempo. Berarti eksekusi terhadap empat pengawal HRS lainnya ini dilakukan “bukan di dalam” mobil. Apalagi ada bekas siksaan. Sangat tidak mungkin korban disiksa setelah ditembak tepat di area jantung. Yang mungkin adalah mereka disiksa dulu, setelah itu barulah ditembak. Penulis wartawan senior fnn.co.id
Menahan Orang Unjuk Rasa Jelas Pengecut dan Melanggar HAM
by Asyari Usman Medan FNN - Jumat (18/12). Lebih 100 orang yang berniat ikut aksi 1812 hari Jumat (18/12), ditahan petugas di Bakauheni ketika mereka hendak menyeberang menuju Jakarta. Berbagai sumber menyebutkan, setiap orang diinterogasi lama sekali. Satu jam lebih untuk satu orang. Dari tengah malam sampai pagi hanya bisa selesai 10 orang saja. Apakah layak diperlukan waktu satu jam untuk menanyai seorang penumpang bus yang mau pergi ke Jakarta? Sangat mengada-ada. Akhirnya rombongan itu balik arah. Mereka menyerah. Tak mungkin diteruskan. Bagaimana orang melihat penahanan rombongan itu? Apakah ada justifikasi untuk petugas? Pertama, penahanan itu merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Pelanggaran hak dasar rakyat untuk menyampaikan pendapat di depan umum. Melanggar hukum tertinggi di negara, yaitu UUD 1945 pasal 28 E. Karena itu, tindakan petugas yang menahan bisa diadukan ke Komnas HAM. Kedua, penahanan orang yang ingin ikut demo menunjukkan bahwa pihak yang berkuasa tak percaya diri menghadapi aksi protes yang sifatnya legal dan damai. Para penguasa menunjukkan sensitivitas. Sehingga layak disebut bahwa mereka benar-benar terpojok oleh aksi 1812. Artinya, para penguasa punya masalah besar dengan pembunuhan 6 laskar FPI dan penahanan Habib Rizieq Syihab (HRS). Ketiga, penghadangan orang yang ingin ikut aksi 1812 merupakan bentuk kepengecutan para penguasa. Kalau penguasa yakin tidak ada masalah dengan pembunuhan 6 laskar FPI dan penahanan HRS, untuk apa peserta aksi dihalangi. Biarkan saja mereka masuk ke Jakarta. Kalau pandemi Covid-19 yang dijadikan alasan, bukankah kerumunan banyak terjadi di mana-mana termasuk kerumunan pilkada di Solo dan pilkada-pilkada lainnya? Pihak yang berkuasa memang diuntungkan oleh Covid untuk banyak hal. Mereka bisa kucurkan dana ratusan triliun untuk “membantu” dunia usaha yang terkena dampak wabah. Para penguasa pun bisa menilap dana itu untuk mengisi pundi-pundi mereka. Hari ini, para penguasa diuntungkan oleh Covid untuk menindas aksi unjuk rasa. Aksi yang bertujuan melawan kezaliman terhadap umat dan ulama. Tapi, cara-cara busuk pasti tidak akan bisa bertahan. Hidup ini akan terus berputar dan dipergilirkan. Itu hukum alam. Kekuasaan tidak akan menjadi milik satu orang saja. Tak lama lagi, kebenaran akan kembali berkibar dan menjadi rujukan.[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)
Penahanan HRS Boleh Jadi Awal Seleksi Cara Langit
by Asyari Usman Medan FNN - (Selasa 14/12). HRS diperiksa polisi selama 13 jam. Setelah itu, ditahan. Tangannya digari. Dibawa dengan mobil tahanan menuju sel. Perlukah semua ini dilakukan oleh polisi? Tentu jawaban normatifnya adalah semua itu prosedur tetap (protap). Apa kira-kira maksud protap itu diberlakukan kepada Habib? Pantas diduga tujuan gari tangan, rompi orangye, mobil tahanan dan kemudian sel tahanan adalah untuk merendahkan Habib. Membuat agar beliau ‘down’. Tercapaikah tujuan itu? Kelihatannya tidak. HRS sudah siap mental. Dia tahu persis risiko perjuangan yang diusahakannya. Rata-rata orang berpandangan bahwa gari tangan, mobil tahanan dan sel penjara adalah bentuk penghinaan terhadap ulama. Dilihat sebagai tindakan yang melecehkan. Tindakan yang berlebihan yang tidak perlu. Dan sangat menyakitkan bagi umat. Pastilah menyakitkan. Jika dilihat dengan cara biasa, maka proses penahanan HRS itu menjatuhkan martabatnya. Karena itu, banyak umat yang merasa sedih. Terpukul melihat perlakuan terhadap Habib. Banyak yang menangis menyaksikan itu. Terasa kejam dan sangat kasar. Begitu penilaian banyak orang dengan cara pandang biasa. Ini bisa dimaklumi. Namun, ada cara lain melihat proses penahanan HRS yang tampak kejam itu. Peristiwa gari tangan, mobil tahanan dan sel penjara untuk HRS bukanlah penghinaan. Boleh jadi, inilah awal dari proses seleksi rancangan Langit. Yaitu, seleksi yang bertujuan untuk mengumpulkan orang-orang yang memiliki kepahaman tentang perjuangan. Lebih-kurang, Allah SWT lewat penahanan HRS yang terasa menyakitkan itu sedang merekrut orang-orang yang siap maju ke depan. Siap berjuang ‘all out’ untuk menegakkan keadilan. Agar keadilan itu dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali. Yaitu, keadilan untuk rakyat jelata. Keadilan untuk para penguasa. Ketika rakyat bahagia, maka para penguasa pun wajar bahagia. Jika rakyat menderita, maka para penguasa harus merasakan penderitaan itu. Bila perlu, penderitaan penguasa lebih berat lagi. Ketika rakyat dizalimi oleh para penguasa, maka para penguasa harus menerima kembali kezaliman itu. Inilah konsep keadilan yang akan ditegakkan oleh para pejuang yang boleh jadi sedang diseleksi oleh Yang Maha Kuasa, hari ini. Jika rakyat diperlakukan sewenang-wenang oleh penguasa, maka penguasa pun harus merasakan derita yang setimpal dengan kesewenangan mereka. Jika rakyat kehilangan kuping, maka para pelaku kezaliman harus kehilangan kuping. Siapa pun pelakuknya. Jika rakyat kehilangan nyawa karena kesewenangan para penguasa, maka para penguasa pun wajib dihukum secara adil dan setimpal dengan pembunuhan yang mereka lakukan. Itulah cara lain melihat proses penahanan HRS. Ada semacam pesan Langit kepada seluruh umat bahwa mereka sedang diseleksi dengan sistem yang tidak sama dengan cara pengrekrutan di Bumi. Seleksi cara Langit bisa sangat sulit dipahami. Tetapi, proses itu akan berjalan dengan sendirinya. Semua pejuang keadilan yang diperlukan Langit akan terkumpulkan secara natural. Akan berbondong-bondong umat yang mengikuti seleksi Alam itu. Ini yang mungkin tidak terkalkulasikan oleh lingkaran kezaliman. Wallahu a’lam.[] Penulis, wartawan senior FNN.co.id
Tetapkan Gibran & Bobby Sebagai Tersangka
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (13/12). Penetapan tersangka kepada Habib Rizieq Shihab (HRS) dan lima orang lainnya adalah preseden buruk penegakan hukum negeri ini. Pada kekuasaan Jokowi inilah hukum ditegakkan suka-suka seleranya penguasa saja. Persoalan keadilan dan kezaliman, itu urusan nanti. Yang penting, tangkap saja dulu. Salah atau benar, juga itu urusan belakangan. Model kegiatan serupa yang berfokus pada adanya kerumunan oarang dalam jumlah banyak harusnya juga dapat ditetapkan sebagai tersangka. Pilkada sangat potensial untuk menetapkan banyak orang menjadi tersangka. Salah satunya adalah Pilkada Solo dimana Gibran bin Jokowi telah melakukan unjuk massa pendukung untuk berkerumun. Begitu juga yang terjadi dengan Bobby Nasution, suaminya Kahiyang Ayu Siregar bin Jokowi. Bobby juga mengumpulkan orang dalam jumlah banyak. Mulai dari rangkaian kegiatan pra pendaftaran di Komisi Pemilihan Umum (KPU), sampaing dengan pendaftaran di KPU dan kampanye-kapmpanye pasangan Bobby di pemilihan Walikota Medan. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa semua warga negara berkedudukan sama dalam hukum. Tidak boleh ada diskriminasi, termasuk kepada putera dan anak mantu Presiden Gibran dan Bobby. Asas "equality before the law" itu berlaku universal untuk semua warga negara. Karenanya tidak berbeda antara HRS dengan Gibran dan Bobby Nasution. Proses hukum juga harus diberlakukan kepada Gibran bin Jokowi dan Bobby Nasution dengan tuduhan sama kepada HRS. Tersangkakan Gibran bin Jokowi dan Bobby Nasution, serta orang-orang sekitarnya yang ikut menentukan terjadinya kerumunan dalam melanggar protokol kesehatan. Masyarakat berhak bertanya, mengapa urusan Pilkada dibenarkan untuk berkerumun? Apakah karena dilakukan oleh pendukung dari kalangan partai politik penguasa? Mengapa kerumunan di pasar-pasar tradisional masih dibolehkan, mengapa acara pernikahan di tempat lain, meski dengan anjuran mengikuti protokol kesehatan tetap berkerumun juga tidak ditersangkakan? Maksimum hanya ditegur. Memang persoalan HRS dilihat penguasa bukan lagi masalah hukum. Tetapi persoalan stabilitas politik . Masalah represivitas penguasa dan keangkuhan politik terasa sangat dominan. Nah kini dalam kasus proses politik, maka hal yang membahayakan kesehatan masyarakat harus diberi sanksi pula. Gibran bin Jokowi dan Bobby Nasution, mantu Jokowi termasuk di dalamnya. Kegiatan dan proses politik yang nyata-nyata membahayakan keselamatan masyarakat. Karena itu harus ada pertanggungjawaban atas kerumunan para pendukung dalam kemenangannya. Apakah memang polisi mennganggap bahwa tidak ada pelanggaran protokol kesehatan pada kumpulan banyak orang yang dilakukan Gibran bin Jokowi dan Bobby Nasution? Ketika ada pejabat beralasan bahwa kasus Gibran dan Bobby Nasution berada di bawah aturan UU Pilkada, sehingga jadinya berbeda dengan perlakukan kepada HRS. Jika demikian yang menjadi alasan, maka ini nyata-nyata pembodohan publik namanya. Sebab keduanya berada dalam kondisi yang sama, yaitu sedang musim pandemi Covid 19. Bahwa yang satu diatur dengan UU Pilkada, maka yang lainnya juga diatur oleh UU Perkawinan. Jika diberlakukan UU Kekarantinaan Kesehatan sebagai "Lex Specialis", maka keduanya sama-sama dalam mendapatkan perlakuan hukum. Kalau HRS ditersangkakan, maka layak untuk Gibran dan Bobby juga jadi tersangka. Sebagai anak Presiden tentu tidak bisa dibedakan dan diringankan hukumannya. Malah seharusnya menjadi teladan, sehingga perlu diberatkan hukumannya. Pelanggaran atas asas "equality before the law" adalah pelanggaran juga terhadap UUD 1945. Artinya Presiden telah melanggar konstitusi negara. Hanya satu pilihan opsional untuk keadaan ini, yaitu bebaskan HRS dari tuduhan pelanggaran UU Kekarantinaan Kesehatan dan penghasutan berdasarkan Pasal 160 KUHP atau segera tersangkakan dan proses hukum Gibran bin Jokowi dan Bobby Nasution, suami Kahiyang Ayu Siregar bin Jokowi. Apapun yang ditimpakan kepada HRS, berlaku pula untuk Gibran daqn Bobby. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Sangkaan Pidana HRS, Jangan Lupakan Kejahatan HAM 6 Syuhada
by Sugito Atmo Pawiro Jakarta FNN - Ahad (13/12). Ada tanda tanya besar ketika terjadi penetapan tersangka terhadap Habib Rizieq Shihab (HRS) pada Jumat (10/12) lalu, terkait dengan dasar ketentuan pidana yang ditetapkan kepolisian. Kebingungan ini semakin menguat setelah HRS diperiksa sebagai tersangka, Minggu (12/12 kemarin di Mapolda Metro Jaya. Sebagaimana diketahui bahwa HRS telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pelanggaran protokol kesehatan sebagaimana Pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, dan dugaan perbuatan pidana penghasutan di muka umum sebagaimana dimaksud Pasal 160 KUHP. Kepolisian menyampaikan kepada publik, didukung dengan opini ahli hukum yang mendukung proses penyidikan oleh polisi, bahwa HRS dikenakan Pasal 160 KUHP tentang penghasutan di muka umum terkait dengan perbuatannya "menghasut orang-orang untuk berkumpul di kediamannya" ketika berlangsung acara pernikahan putrinya yang dirangkaikan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, bulan lalu. Meluruskan Sangkaan & Perbuatan. Untuk itu sudah sepatutnya diluruskan logika jumpalitan dalam fenomena unik terkait penegakan hukum terhadap perbuatan HRS ini, yang pokok-pokoknya sebagai berikut: Pertama, semua pihak harus menyadari bahwa satu-satunya perbuatan yang dapat dipersangkakan kepada HRS hanyalah mengumpulkan orang atau menciptkan kerumunan pada masa berlangsungnya karantina kesehatan menghadapi wabah penyakit, yaitu pandemik Covid 19 di kediamannya. Bahwa perbuatan ini dapat diancam dengan pidana bila merujuk pada Pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan. Kedua, HRS pada mulanya hanya dimintakan keterangannya sebagai saksi menyangkut berkumpulnya orang-orang atau kerumunan di kediamannya tersebut. Namun pada 10 Desember ditetapkan sebagai tersangka untuk perbuatan pidana yang mengumpulkan orang-orang atau menciptakan kerumunan tersebut. Abila semula HRS akan diperiksa sebagai saksi dalam dugaan tindak pidana, kemudian dikembangkan menjadi tersangka tindak pidana Pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, ditambahkan (diakumulasikan) dengan Pasal 160 KUHP tentang penghasutan di muka umum. Ketiga, dalam pemeriksaan oleh penyidik pada 12 Desember, dinyatakan bahwa HRS ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka tidak hanya dengan Pasal 93 UU Karantina Kesehatan, juga disangkakan dengan Pasal 160 KUHP atas perbuatannya “menghasut orang-orang untuk berkumpul” atau “menciptakan kerumunan” di kediamannya sehubungan dengan acara pernikahan anaknya dan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW. Keempat, dengan demikian HRS diancam dengan pidana paling lama 1 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100 juta untuk Pasal 93 UU Karantina Kesehatan, dan diancam dengan pidana penjara maksimal 6 (enam) tahun untuk sangkaan Pasal 160 KUHP junto Pasal 216 KUHP. Dikumpulkan atau diakumulasi. Mengapa akumulasi ancaman pidana ini yang diterapkan penyidik? Sebab mungkin hanya dengan alasan akumulasi inilah HRS bisa dipaksakan untuk ditahan. Dari sinilah benar jika ada yang menganggap bahwa penggunaan pasal-pasal pidana kepada HRS adalah dipaksakan alias ‘maksain banget’. Memaksakan Kehendak Mencermati pasal-pasal pidana yang diterapkan kepada HRS, maka kita sudah bisa memastikan bahwa ada usaha dari penyidik untuk memaksakan kehendak agar HRS dapat ditangkap dan ditahan. Kebetulan Pasal 93 UU Karantina yang sejak lama disadari memiliki kelemahan, karena cenderung tidak memiliki kepastian hukum, bersifat pasal karet, dan tidak selaras dengan asas legalitas dalam Hukum Pidana itu, bisa ditarik kesana-kemari. Dan tampaknya terbukti menimpa HRS. Adanya sanksi pidana penjara yang dapat juga diakumulasi dengan sanksi denda menjadikan norma hukum ini tidak sesuai dengan asas kepastian atau (lex certa). Juga kurang tegas dalam mengatur (lex stricta). Bahayanya, pelakunya bisa saja cuma didenda secara administrative atau dipenjarakan, atau bisa juga kedua-duanya. Semua tergantung pada aparat penegak hukum. Selain itu, dalam pemidanaan semestinya berlaku prinsip "ultimum remedium". Dimana sanksi pidana penjara adalah pilihan terakhir, apabila sanksi administrative masih bisa diberikan. Lebih celaka lagi, jika digandengkan secara akumulatif dengan Pasal 160 KUHP (penghasutan di muka umum) dan 216 KUHP (melawan perintah pejabat yang menjalankan undang-undang). Bukankah jika sudah ada aturan pidana khusus, maka aturan pidana umum dapat dikesampingkan (lex specialis drogat legi generali). Pasal 93 UU Karantina Kesehatan sudah menentukan “setiap orang yang tidak mematuhi karantina kesehatan dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan kekarantinaan Kesehatan” diancam dengan pidana sebagaimana dalam norma pasal ini. Dengan demikian ketentuan pidana tentang penghasutan dimuka umum dengan mengumpulkan orang yang dikaitkan dengan Pasal 160 KUHP, serta melawan perintah undang-undang sebagaimana Pasal 216 KUHP sudah tidak dapat dipergunakan karena sudah termaktub dalam frase “menghalang-halangi penyelenggaraan kekarantina kesehatan” (Pasal 93 UU Karantina Kesehatan). Faktanya pada hari ini, untuk kasus HRS, kita tidak hanya disuguhi dengan praktek ketidakadilan hukum yang telanjang. Tetapi juga praktek ketidakpastian (uncertainty) dalam penegakan hukum. HRS begitu patuh memenuhi seluruh perlakuan penegak hukum terhadap dirinya. Semua itu dimaksudkan untuk menciptakan ketenangan, agar pengusutan dan pengungkapan kasus pelanggaran HAM berat atas penembakan oleh polisi terhadap enam syuhada, 7 Desember lalu tidak tertutup oleh isu ini. Mudah-mudahan publik menyadari kejanggalan dalam penegakan hukum terhadap HRS hari-hari ini. Jangan sampai melengahkan kontrol publik terhadap upaya menuntut keadilan atas kematian enam orang syuhada laskar FPI tersebut. Na'udzubillah min dzalik. Penulis adalah Ketua Bantuan Hukum FPI.
Detik-Detik Foto dan Video 6 Janazah FPI Dibuka
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Sabtu (12/12). Pengakuan sejumlah saksi di Komisi III DPR benar-benar mengagetkan publik. Mereka mengaku melihat tubuh para jenazah ena anggota Laskar Fron Pembela Islam (FPI) itu tampak sangat mengerikan. Ada yang tertembak di mata sebelah kiri hingga tembus ke bagian belakang. Ada yang tertembak sekitar telinga satu tembus ke telinga yang sebelahnya. Hampir sebagian besar tembakan di dada bagian kiri. Tepat pada jantung janazah ditembus lebih dari satu peluru. Ada juga janazah yang tangannya tampak terkelupas seperti akibat terseret atau diseret. Ada luka memar yang diperkirakan bekas penganiayaan. Ada sebagian tubuh yang gosong seperti bekas pembakaran. Benar-benar sangat mengenaskan! Cerita para saksi di Komisi III itu membuat tubuh kita spontan bergetar dan menggigil. Emosi kita juga ikut tersentuh. Perasaan terasa seperti diaduk-aduk. Terbayang apa yang terjadi kepada enam pemuda itu. Sakit sekali. Setelah itu mereka mati. Ada sejumlah orang yang tak lagi segan-segan untuk mengungkapkan bahwa ini adalah pembantaian. Bukan tembak-menembak. Luar biasa mengenaskan. Sebab menanggapi pengakuan para saksi itu, ada yang langsung menangis. Mengekspresikan betapa pedih apa yang dialami oleh enam anak muda itu. Kebayang jika itu terjadi pada anak atau saudara mereka. Ada yang menunjukkan kekesalan dan kemarahannya. Sebagian mengupkannya melalui berbagai komentar dan video. Disisi lain, ada yang menganggap kesaksian itu hanya mengada-ada. Sepertinya bukan kejadian yang telah terjadi. Ada yang malah nyumpahin enam jenazah tersebut dengan kalimat "mampus kalian". Ada juga yang berseloroh, "kenapa sedih. Bukannya mereka sudah ketemu 72 bidadari". Kalimat nyindir, nyinyir dan bahkan seperti mengejek juga. Supaya tak terus jadi polemik di masyarakat, ada baiknya semua foto dan video yang menggambarkan kondisi fisik para janazah tersebut dibuka saja kepada publik. Diviralkan saja di media sosial. Ini untuk mengkroscek pengakuan dari para saksi itu adalah keluarga dan pengacara korban. Apakah atau salah. Sekaligus sebagai sebuah pertanggungjawaban hukum dan sosial atas kesaksian tersebut. Jangan sampai terlambat momentum. Keburu basi dan bergeser ke isu-isu yang lain. Mumpung sebelum ada intervensi dan intimidasi kepada keluarga korban dan para saksi. Tidak boleh ada celah untuk kompromi, sehingga foto dan video itu tidak jadi dibuka ke publik. Jangan jadikan jenazah-jenazah itu untuk bertransaksi. Jika ini terjadi, kebenaran akan selamanya terbungkam dan tenggelam. Fakta dan kebenaran akan mennadi kenangan pahit. Kapan saja peristiwa tersebut bisa saja terulang kembali. Karena nggak ada pertanggungjawaban kepada publik. Kalau dibuka kepada publik, kita semua berhadarap kejadian tersebut, tidak lagi terulang. Kalaupun sampai terjadi juga, maka jangan sampai yang kejadiannya menggigil dan mengerikan seperti ini. Jauh dari nilai-nilai kemanusian yang menjadi penduan kesepakatan berbangsa dan bernegara kita. Jika foto dan video enam jenazah tersebut dibuka ke publik, dan ternyata tidak sama dengan apa yang disampaikan para saksi dan keluarga korban itu, maka harus ada saksi pidananya. Namanya kesaksian bohong nggak boleh dibiarkan terjadi. Begitu seharusnya kita berhukum. Sebaliknya, jika kesaksian itu benar-benar adanya, maka ini akan mengungkap banyak kepalsuan yang harus juga harus dipidanakan. Kebohongan tak boleh dibiarkan dan leluasa merusak pikiran rakyat. Siapapun orangnya harus dihukum. Harus menerima saksinya. Tidak perduli pelakunya aparat atau rakyat jelata. Hukum harus berdiri tegak di atas kebenaran. Jika apa yang diungkapkan para saksi tersebut benar adanya. Ada foto dan videonya, lengkap dengan data forensiknya, juga video pengakuan para saksi yang berada di TKP KM 50, dan harus saksi beneran. Bukan saksi hasil rekayasa, maka masyarakat akan semakin sulit percaya bahwa ada peristiwa tembak menembak. Tuduhan kubu FPI bahwa ada penculikan, penganiayaan, bahkan pembantaian tentu saja akan memenangkan opini publik. Berbagai kejanggalan kasus ini sejak awal penguntitan sampai penembakan yang berujung kematian enam laskar FPI harus segera dibongkar. Fakta-fakta itu mesti dibuka ke publik, apa adanya. Setansparan mungkin. Jangan ada yang ditutup-tutupi. Supaya semuanya terang benderang. Pertanyaannya, elokkah memposting foto dan video jenazah dalam kondisi fisik sebagaimana yang didiskripsikan oleh para saksi dan keluarga korban itu? Kebenaran punya jalan dan standarnya sendiri. Apapun yang diperlukan untuk membuka kebenaran, tidak boleh dihalangi karena alasan keelokan. Kasus penembakan enam anak muda FPI itu sudah jadi konsumsi publik. Masyarakat berhak untuk tahu dengan sejelas-jelasnya. Setransparan mungkin. Ini sekaligus nantinya akan menjadi alat kontrol bagi proses investigasi dan sidang di pengadilan. Jika foto atau video tidak dibuka, kasus ini hanya akan menjadi kegaduhan di media massa dan media sosial. Menambah deretan keganjilan dalam penegakan hukum di negeri ini. Opini liar yang justru akan terus bersaing. Fitnah akan terus bertebaran. Karena itu, masyarakat menuntut foto dan video janazah itu segera dibuka. Kasus harus segera dibongkar. Pembukaan foto dan video enam jenazah Laskar FPI menjadi penting saat ini. Supaya tak berkembang berbagai prasangka yang akan mengaburkan dan menenggelamkan kebenaran itu sendiri. Dan ini tidak boleh terjadi! Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Indonesia Yang Kini Menjadi Milik Polisi
by Asyari Usman Medan FNN - Jumat (11/12). Sehari setelah Polisi menembak mati 6 laskar FPI, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus memperingatkan publik bahwa kalau ada yang mengatakan laskar FPI tidak punya senjata dalam insiden penembakan itu, maka dia dapat dikenai pasal pidana. Masuk kategori menyiarkan kebohongan. Artinya, pernyataan Polisi bahwa para laskar FPI yang ditembak mati itu memiliki senjata api, tidak boleh dipersoalkan. Itu harus diterima sebagai kebenaran mutlak. Sama seperti putusan pengadilan. Padahal, putusan pengadilan saja masih bisa digugat sampai ke tingkat kasasi, dsb. Pernyataan Yusri itu pastilah membuat orang, termasuk para wartawan, menjadi takut untuk mengutip ucapan seseorang yang tidak sejalan dengan pernyataan Polisi. Jelaslah takut. Bisa masuk penjara. Cuma, apakah begitu negara ini dikelola? Apakah sekarang sudah ada ketentuan bahwa semua yang dikatakan polisi wajib benar? Apa dasar kepolisian bisa mengeluarkan pernyataan yang tidak boleh dipertanyakan? Tidak boleh dibantah? Mari kita lihat kembali ultimatum Kombes Yusri Yunus tadi. Menurut Yusri, kalau ada orang yang mengatakan laskar FPI tidak bersenjata ketika mereka ditembak mati oleh polisi, maka itu berarti penyebaran kebohongan. Mengikuti logika Kombes Yusri, siapa pun terduga atau tersangka yang ingin membantah pernyataan Polisi, berarti dia melakukan perbuatan pidana tambahan. Pidana berbohong. Persoalannya, apakah sekarang sudah tidak boleh lagi orang membela diri dengan mengatakan sesuatu yang tak sesuai dengan apa kata Polisi? Bukankah, dalam suatu kasus, orang berhak membantah meskipun pihak lain mengatakan punya bukti? Bukankah hanya hakim pengadilan yang berwenang memutuskan benar-tidaknya suatu pernyataan? Sejak kapan Kepolisian memiliki hak istimewa yang membuat semua penjelasan mereka wajib benar, tak boleh dibantah? Kalau mereka bilang laskar FPI memiliki senjata, maka seluruh dunia harus mengiyakannya. Tak boleh dipertanyakan. Kalau sudah seperti itu, berarti negara ini telah berubah menjadi milik Polisi. Kapan-kapan nanti Anda bagus juga tanya ke BPN (Badan Pertanahan Nasional) apakah mereka sudah menerbitkan sertifikat hak milik seluruh wilayah Indonesia atas nama Polisi. Kalau sudah, berarti kita harus bayar sewa tanah ke Mabes Polri. Dan semua urusan yang menyangkut kehidupan kita di Indonesia ini menjadi kewenangan Polisi. Sebagai contoh, ada peristiwa pembegalan di jalan. Jika keinginan Kombes Yusri Yunus yang digunakan, maka polisilah yang berhak menyimpulkan apakah Anda benar kena begal atau tidak. Jika Polisi mengatakan begal tidak bersenjata meskipun Anda bisa tunjukkan luka di tangan, maka kata polisilah yang diterima sebagai kebenaran. Anda mau bantah Polisi? Kena pasal penyebaran hoax. Polisi tidak boleh diselisihi. Jadi, Indonesia tidak hanya disebut negera kepolisian (police state) karena begitu besarnya kekuasaan polisi. Melainkan, menurut jalan pikiran Kombes Yusri, negara ini sudah menjadi miliki Polisi sepenuhnya.[] Penulis adilah Wartawan Senior FNN.co.id
Pemerintah Memilih Politik Jalan Buntu
by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Jumat (11/12). Pemerintah tampaknya memilih politik jalan buntu. Jalan keras, dengan pendekatan kekuasaan. Pintu dialog dengan Imam Besar Front Pembela Islam Habib Rizieq Shihab (HRS), ditutup rapat-rapat. Sikap pemerintah itu tercermin dari keputusan Polda Metro Jaya, meningkatkan status HRS menjadi tersangka. Kabareskrim Mabes Polri Komjen Listyo Sigit langsung turun tangan, mengambil alih kasus. Menurutnya ada bukti kuat laskar FPI menyerang polisi. Dengan pernyataan itu, berarti Divisi Propam Mabes Polri tak perlu lagi melanjutkan kerjanya. Tak perlu lagi diselidiki apakah ada kesalahan dan pelanggaran standar operasi dan prosedurnya. Polisi sudah menyimpulkan, kasusnya adalah pembelaan diri. Aparatnya diserang. Jadi wajar bila penyerang ditembak mati. “Tindakan terukur,” begitu seperti dikatakan Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Fadil Imran. Sejalan dengan Presiden Kebijakan Mabes Polri ini tampaknya sejalan dengan sikap Presiden Jokowi. Setelah berhari-hari diam, banyak yang menanti-nanti apa pernyataan Presiden. Bagaimana dia menyikapinya. Apa instruksinya? Kasus penembakan enam orang laskar FPI oleh polisi, bukan hanya menjadi sorotan nasional, tapi juga internasional. Kredibilitas Indonesia sebagai negara demokrasi dipertaruhkan. Enam orang aktivis Islam, menjadi korban kekerasan aparat negara, di sebuah negara demokrasi dengan penduduk Islam terbesar di dunia, adalah ironi besar. Sayangnya harapan publik seperti menggantang asap. Momen yang ditunggu pada perayaan Hari HAM Se-dunia, Jumat (10/12) menjadi anti klimaks. Tak sepatah katapun Presiden menyinggung kasus tersebut. Apalagi mengutuk dan menyampaikan duka cita. Pandangan mata, dan pendengaran Presiden seakan terkurung rapat di balik tembok istana. Padahal jaraknya hanya lebih kurang 50 Km dari istana! Sayang sekali! Dalam pidato dengan durasi 5 menit 7 detik itu, Presiden Jokowi malah bicara komitmen pemerintah menuntaskan pelanggaran HAM di masa lalu. Sebuah komitmen yang diulang-ulang terus setiap tahun, sepanjang enam tahun dia berkuasa. Presiden juga bicara rencana aksi HAM 2020, pemenuhan hak sipil, hak politik dan hak sosial budaya. Hak para anak muda yang tewas secara mengenaskan di tangan polisi, sama sekali tak disinggungnya. Publik membandingkan dengan sikapnya, ketika terjadi penembakan pendeta di Papua pada bulan September lalu. Pemerintah segera membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Kurang dari dua pekan berselang —akhir November— juga terjadi pembantaian satu keluarga di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Polisi menyebut pelaku pembantaian gerilyawan Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Rumah korban digunakan sebagai pos pelayanan gereja. Presiden Jokowi bersikap sangat keras. Mengutuk keras pembantaian itu. Memerintahkan Kapolri mengusut tuntas sampai ke akar-akarnya. Sebuah sikap yang correct. Seorang Presiden, seorang kepala negara memang harus bersikap seperti itu. Masalahnya mengapa terjadi perbedaan perlakuan. Ada standar ganda? Isu ini menjadi sensitif karena bisa dikait-kaitkan dengan masalah SARA. Sangat berbahaya bila kemudian muncul kesimpulan, pemerintahan Jokowi memusuhi umat Islam. Untuk kasus yang nun jauh di sana, di Papua dan di Sigi, Presiden bisa dengan jelas melihat duduk persoalannya. Mengambil langkah yang tepat. Instruksinya kepada aparat penegak hukum juga tegas dan jelas. Mengapa untuk kasus yang berada di depan mata, ibarat kata hanya sepelemparan batu dari istana, Presiden tiba-tiba nanar pandangannya? Bibirnya kelu, bahkan hanya untuk sekadar mengucapkan bela sungkawa. Konon pula memberi instruksi dan arahan yang tegas bagi aparat bawahannya. Sikap diam dan membisunya Presiden ini sangat berbahaya. Stabilitas, bahkan integrasi bangsa jadi taruhannya. Ekonomi negara sedang sangat berat. Pandemi masih belum jelas kapan berakhir. Kehidupan rakyat secara ekonomi sangat berat. Secara psikis rakyat juga sangat tertekan. Belum lagi kalau kita bicara residu Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019. Sampai saat ini bukannya menyurut, malah kian mengental. Pembelahan kian terasa. Jerami kering itu tumpukannya kian tinggi. Sudah menggunung. Hanya butuh sebatang korek api memantiknya. Harus ada kesadaran dari pemerintah untuk membangun jembatan dialog. Bukan malah menggali keterbelahan itu semakin dalam. Mengapa Presiden tidak membuka diri. Mengulurkan tangan. Tunjukkan welas asihmu kepada anak bangsa, tanpa memandang golongan. Jangan dilihat mereka mendukung atau tidak mendukungmu. Presiden Jokowi harus ingat, dia adalah Presiden. Seorang kepala negara. Paling bertanggung jawab dan akan diminta pertanggungjawabannya atas semua yang terjadi. Tolong diingat, para pendukung Jokowi sering mencoba menyamakannya dengan Khalifah Umar Bin Khattab. Seorang sahabat Nabi Muhammad, khalifah kedua yang sangat tegas dan berlaku adil tanpa pandang bulu. Khalifah Umar sangat tegas dan keras terutama kepada keluarga dan para petinggi negara. Dalam bahasa sekarang sikapnya terhadap pelanggaran dan penyimpangan sekecil apapun. Zero tolerance. Suatu hari beliau pernah berkata. “Jika ada seekor keledai yang terperosok di negeri Syam. Umar lah yang berdosa dan bertanggung jawab.” Negeri Syam —sekarang Suriah— sangat jauh dari Madinah. Ribuan kilometer jaraknya. Komunikasi juga tidak bisa dibandingkan dengan masa kini. Sekarang ada enam orang anak bangsa, tewas ditembak di KM 50. Presiden Jokowi hanya diam saja? Pak Jokowi, bersikaplah layaknya Umar Bin Khattab seperti digambarkan oleh para pengikut Anda. Tolong setidaknya jangan kecewakan mereka. End Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id
“Tembak-Tembakan”, Blunder Narasi Kapolda Metro!
by Mochamad Toha Surabaya FNN - Jumat (11/12). Narasi yang disampaikan Kapolda Metro Jaya Irjen Polisi Fadil Imran terkait penembakan 6 pengawal Habib Rizieq Shihab di Tol Jakarta-Cikampek yang melakukan perlawanan justru dianggap janggal dan tak masuk akal. “Sekitar pukul 00.30 WIB di jalan Tol Jakarta-Cikampek KM 50 telah terjadi penyerangan terhadap anggota Polri yang sedang melaksanakan tugas (untuk) penyelidikan terkait rencana pemeriksaan MRS yang dijadwalkan berlangsung hari ini jam 10.00 WIB,” ujarnya. Keterangan pers Fadil Imran didampingi Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman itu dilakukan di PMJ, Senin (7/12/2020). Pihaknya melakukan penyelidikan setelah mendapat informasi adanya rencana pengerahan massa mengawal HRS. “Berawal adanya informasi ada pengerahan massa pada saat MRS dilakukan pemeriksaan di Polda Metro Jaya dari berbagai sumber, termasuk rekan media mungkin dengar berita melalui WAG bahwa ada pengerahan massa untuk mengawal pemeriksaan MRS,” kata Fadil Imran. Dus, narasi selanjutnya pun sudah banyak diketahui publik. Termasuk cerita bagaimana polisi akhirnya menembak mati ke-6 pengawal HRS tersebut. Narasi terjadi “tembak-menembak” – lebih tepatnya: “tembak-tembakan” – juga disampaikan Fadil Imran. Andai Fadil Imran dan Dudung Abdurachman tak melakukan jumpa pers terkait peristiwa itu, mungkin hingga kini pihak FPI masih berkeyakinan, ke-6 pengawal HRS itu telah diculik OTK. Tapi, ternyata Fadil Imran “jujur”: polisi yang menembak mereka! Sangatlah wajar jika kemujdian ada reaksi dari pengawal HRS. Karena sudah sering terjadi kasus penganiayaan di jalanan oleh “orang-orang tidak dikenal”, seperti yang dialami para pengawal HRS ini, yang ternyata belakangan diketahui mereka itu polisi. Sebagai contoh, kasus pembacokan di Tol terhadap Hermansyah, ahli IT yang membongkar Chat Fake yang dituduhkan ke HRS. Perlu dicatat, rilis pertama FPI juga menyebut 6 orang anggotanya diculik OTK. Sayangnya, tanpa berpikir panjang dan tanpa logika, media langsung menelan percaya begitu saja, sehingga menyebut telah terjadi “tembak-menembak” yang menyebabkan tewasnya 6 pengawal HRS itu. Padahal yang terjadi adalah “tembak-tembakan”. Karena, faktanya kejadian itu justru baru diketahui secara luas oleh publik setelah 13-15 jam kemudian. Setelah Kapolda Metro Jaya melakukan konferensi pers bersama Pangdam Jaya tersebut. Dalam era medsos, tentunya kalau memang ada tembak-menembak, berarti terjadi saling adu tembak, bisa beberapa menit, maka sepuluh menit kemudian dapat dipastikan akan ramai di televisi, media online, dan medsos.. Seharusnya media (wartawan) menggali keterangan lebih dalam dari polisi agar informasi yang disajikan tidak menyesatkan kepada publik. Jika memang ada saling tembak, paling tidak, ada bekas tembakan di mobil yang dikendarai para “OTK” itu. Polisi menyebutkan, mereka terpaksa melakukan tindakan yang tegas dan terukur (menembak mati) karena para pengawal HRS sudah membahayakan nyawa petugas. Membahayakan itu yang bagaimana dan seperti apa? Pihak PMJ mengatakan, pistol yang digunakan pengawal HRS itu adalah asli, bukan rakitan. Tapi, belakangan disebutkan, pistol itu rakitan. Keluar pula pernyataan lain, pengawal HRS yang merampas senjata polisi. Jika benar ada perampasan, maka patut dipertanyakan kualitas anggota PMJ yang senjatanya dapat dirampas warga sipil. Polisi mengatakan peristiwa itu terjadi di KM 50, tol Jakarta-Cikampek. Namun, di sana tidak ada police line-nya. Ironisnya, tidak ada olah TKP di lokasi terjadinya “tembak-tembakan” ini. Sehingga, tidak bisa diketahui apakah ada atau tidak ada selonsong peluru. Jika ada perampasan, berarti ada body contact di antara kedua belah pihak yang saling berhadapan. Mabes Polri menyebutkan, kini kasus penembakan 6 pengawal HRS diambil-alih mereka. Dan, anggota polisi yang menembak pengawal HRS dalam pengawasan Propam karena ada kesalahan prosedur dalam operasi tersebut. Abdullah Hehamahua, penasehat KPK masa jabatan 2005-2013, mengkritisi alasan polisi menembak ke-6 pengawal HRS tersebut. Kapolda mengatakan, anggota polisi sedang melakukan kegiatan “surveillance” terhadap HRS.“Surveillance” yang demonstratif? Mungkin ini gaya intel Indonesia. Berjumpa dengan orang lain. lalu memperkenalkan diri, “saya intel.” Lucunya, Kapolda Metro Jaya mengatakan, polisi menembak pengawal HRS karena membalas tembakan yang dilakukan pengawal HRS. “Apakah pengawal HRS akan menembak mobil polisi jika kendaraan tersebut berada dalam rentang jarak ratusan meter atau beberapa kilometer di belakang rombongan HRS? Katanya “surveillance”, tapi kok berdekatan?” sindir Abdullah Hehamahua. Padahal di KUHAP pasal 1 angka 5 mengatakan, penyelidikan adalah “Serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Pertanyaanya, dugaan tindak pidana apa yang dilakukan HRS sehingga harus dibuntuti? Jika pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan, maka polisi sangat lebai. “Mungkin polisi dapat dipidana dengan undang-undang Tipikor pasal 3,” tegas Abdullah Hehamahua. Sebab, mereka menyalahgunakan kesempatan atau jabatan yang ada dan mengakibatkan kerugikan keuangan/ perekonomian negara. Kerugian mana yang dilakukan anggota polisi tersebut. Bukankah, setiap proyek tersebut ada anggarannya? Kalaupun ada bukti HRS melakukan pelanggaran prokes, bukankah puluhan bahkan ratusan pelanggaran prokes yang dilakukan pejabat negara, partai porpol ketika pilkada, ormas, dan anggota masyarakat yang melakukan kegiatan keagamaan, kebudayaan, dan perkawinan? "Namun, tidak ada penyelidikan seserius ini. Kalau pun HRS sudah ditetapkan sebagai terperiksa, saksi, bahkan tersangka sekalipun, silahkan ikuti ketentuan yang ada dalam KUHAP, khususnya pasal 112 ayat 1 dan 2 KUHAP," ungkap Abdullah Hehamahua. Saksi atau tersangka dipanggil dengan surat resmi dalam tenggang waktu yang proporsional. Kalau pun saksi atau tersangka tidak bisa hadir karena alasan-alasan tertentu, Penyidik dapat melakukan pemeriksaan di tempat saksi atau tersangka berada. “Apakah rakyat percaya keterangan Mabes Polri? Bukankah secara telanjang Polda Metro Jaya sudah melakukan kebohongan publik?” tanya Abdullah Hehamahua. Apakah dapat disimpulkan, yang dilakukan PMJ, kesalahan oknum, bukan institusi sehingga Mabes Polri dapat dipercaya dibanding Polda Metro Jaya? “Sebagai orang yang punya dua adik ipar, anggota polisi, saya prihatin dengan runtuhnya citra polisi,” lanjut Abdullah Hehamahua. Versi Saksi Hasil investigasi Forum News Network yang juga tayang di akun YouTube, ternyata ke-6 pengawal HRS itu digiring kembali masuk tol. Sesuai kronologis resmi yang dikeluarkan DPP FPI, mereka terus dipepet dan ditembaki selepas keluar pintu tol Karawang Timur. Dan, sesuai bukti rekaman suara bahwa OTK berhasil dihalangi, sehingga tidak berhasil mencapai HRS dan keluarga, lalu mereka terus mengecoh OTK dan dijauhkan dari HRS. Keenam pengawal HRS itu terus dikejar, dipepet, dan digiring masuk kembali ke dalam tol melalui pintu tol Karawang Barat menuju arah Cikampek, kemudian terus digiring ke km 50. Sesuai rekaman suara terakhir ada rintihan salah satu pengawal yang tertembak dan saat di km 50 ada 2 pengawal HRS yang sudah tewas tertembak di dalam mobil. Pantas, Polri sesumbar akan keluarkan rekamam CCTV drama baku tembak, ternyata polisi berusaha kondisikan mobil pengawal HRS digiring masuk kembali ke dalam tol untuk dibuat adegan seolah ada adegan kejar-kejaran, pepet-pepetan, dan tembak-tembakan. Menurut keterangan saksi bahwa ada 4 orang diturunkan oleh OTK dari mobil pengawal HRS itu masih dalam keadaan hidup. Ternyata para OTK itu di km 50 adalah polisi yang dibantu polisi berseragam hitam berenjata laras panjang (diduga Brimob/Densus 88) yang memang sudah menunggu di km 50. Kemudian 4 pengawal HRS itu diseret dan disiksa serta dibantai secara sadis di rest area km 50. Mereka pun mengancam para pedagang untuk bungkam dan memberitahunya bahwa 4 orang tersebut adalah teroris. Jadi jelas, “Ternyata Polri sudah menyiapkan km 50 sebagai ladang pembantaian HRS dan keluarga bersama para laskar pengawal yang tak bersenjata,” tulis akun Angin Gunung. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id