HUKUM

Jaksa Agung ST. Burhanuddin Sebaiknya Mundur (Bagian-1)

by Kisman Latumakulita Jakarta FNN – Ahad (06/09). Skandal pengurusan Fatwa Mahkamah Agung senilia U$ 100 juta dollar untuk menunda eksekusi Joko Tjandra telah sangat merusak wajah penegakan hukum Indonesia. Kondisi ini ditambah lagi dengan rencana pengajuan Peninjuan Kembali (PK) untuk membebaskan Tjoko Tjandra dari hukuman dua tahun penjara, entah berapa besar nilainya proposalnya? Joko Tjandra pasti ingin diperlakukan sama adilnya dengan kasus Sudjiono Timan (Yujin) yang bisa mendapatkan pembebasan murni melalui pengajuan PK. Padahal dalam putusan kasasi dan PK sebelumnya menghukum Sudjiono Timan 15 tahun dalam kasus BLBI di PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia senilai U$ 120 juta, setara Rp 1,2 triliun. Skandal Joko Tjandra melibatkan tiga kementrian, dan dua institusi negara setingkat kementerian. Kabarnya, Presiden Jokowi sudah menyampaikan sikapnya. Presiden marah berat atas kasus yang memalukan penegakan wajah hukum di era Jokowi ini. Tiga kemeneterian yang terlibat itu adalah Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, Ditjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri dan Ditjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan. Sedangkan dua institusi nergara adalah Kepolisian Negara dan Kejaksaan Agung. Korban pun sudah berjatuhan. Tiga jendral polisi dicopot dari jabatannya, yaitu Irjen Pol. Napoleon Bonaparte dari Kepala NCB Interpol, Brigjen Pol. Nugroho Prabowo dari Sekretaris NCB Interpol dan Brigjen Pol. Prasetyo Oetomo dari Kepala Biro Korwas PPNS Bareskrim Polri. Bahkan Napoleon Bonaparte dan Prasetyo Oetomo telah ditetapkan oleh Bareskrim Polri sebagai tersangka dugaan gratifikasi, dan terima suap. Selama kenal dengan tiga jendral polisi tersbut, sejak Perwira Menengah (pamen) sampai menjadi Perwira Tinggi (Pati) polisi, tidak ditemukan hal-hal yang aneh dari ketiganya. Mereka bertiga juga bukan masuk katagori polisi lingkangan utama yang bisa dipromisikan dengan cepat. Jalur yang dilalui mereka bertiga normal-normal saja. Bisa mendapatkan jendral, karena pengabdian dan profesional dalam tugas dan jabatan. Keterlibatan tiga jendral polisi itu dalam skandal Joko Tjandara hanya akibat Kejaksaan tidak memperpanjang Red Notice atas terhukum Joko Tjandra. Padahal yang punya kewenangan untuk memantau dan mengawasi sepak terjang Joko Tjandra adalah Kejaksaan selaku ekosekutor. Begitu juga yang punya kewenangan untuk memperpanjang atau tidaknya Red Notice adalah Kejaksaan. Bukan Polisi. Begitulah aturannya. Polisi hanya melaksanakan permintaan dari Kejaksaan. Kalau diperpanjang Red Notice, maka Polisi tidak dapat mencabut nama Joko Tjandra dari daftar buruan Interpol. Namun kalau tidak diperpanjang oleh Kejaksaan, maka tidak ada alasan hukum bagi Polisi memperpanjang Red Notice di Interpol. Pinangki Dekat Petinggi Nasdem Dari jajajaran Kejaksaan, Jan Maringka yang dicopit dari Jaksa Agung Muda Intelejen (Jemdatun), dan Pingaki Sirna Malasari yang ditetapkan sebagai tersangka. Pinangki adalah oknum jaksa yang berkali-kali menemui terhukum Joko Tjandra di Kualalumpur Malaysia. Duagaan sementara Pinangki memberikan jaminan kepada Tjoko Tjandra, kalau semua urusan hukumya di Indonesia bakal aman dan beres di bawah kerja timnya. Presiden Jokowi dalam Rapat Terbatas (Ratas) Bidang Polhukam belum lama ini, yang di dihadiri Menkopolhukam Mahfuz MD, Kapolri Jendral Idham Azis, Jaksa Agung ST Burhanuddin, Mendagri Tito Karnavian, Menkumham Yasona Laoly, Kepala BIN Budi Gunawan telah menyatakan sikapnya. Presiden memerintahkan agar kasus Joko Tjandra ini diusut tuntas sampai ke akar-akarnya. Siapa saja yang terlibat, harus diproses secara hukum. Sikap Presiden Jokowi yang keras dan tegas atas kasus yang sangat memalukan ini kemungkinan bakal menemui hambatan. Apalagi kalau Jaksa Agung masih dijabat Sanitiar Burhanuddin, atau yang biasa disapa dengan ST. Burhanuddin. Untuk itu, Presiden Jokowi sebaiknya memberhentikan dulu Jaksa Agung ST Burhanuddin. Atau paling kurang ST. Burhanudin yang mengundurkan diri atas kemaun atau kesadaran sendiri. Untuk melaksanakan tugas pengamanan segala urusan hukum Joko Tjandra ini, Pinangki tidak bekerja sendirian. Pinangki melibatkan Anita Kolopaking, teman kuliah di Bandung sebagai Pengacara Joko Tjandra. Dalam tim dengan proposal senilai U$ 100 juta ini, ada juga nama Rahmat dan Andi Irfan Jaya. Nama terakhir ini adalah Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Nasdem Sulawesi Selatan. Andi Irfan Jaya telah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Pidsus Kejaksaan. Hubungan Pinangki dengan Andi Irfan Jaya sudah terjalin sejak Jaksa Agung masih dijabat mantan politisi Partai Nasdem HM. Prasetyo. Dari sinilah awal mula Pinangki menjalin komunikasi, dan punya hubungan erat dengan sejumlah petinggi DPP Partai Nasdem yang berasal dari Pulau Sulawesi. Meskipun belom dibuktikan secara otoritatif, namun dugaan sementara, yang mempertemukan Pinangki dengan Joko Tjandra adalah petinggi DPP Nasdem dari Pulau Sulawesi. Kader Partai Nasdem yang ditugaskan sebagai pelaksana lapangan di dalam tim dengan proposal senilai U$ 100 adalah Andi Irfan Jaya. Rencananya sekitar U$ 10 juta dari dana U$ 100 juta itu, bakal dialokasikan untuk pembangunan pengbangkit listrik (Power Pland) di Kalimantan Barat. Dari proyek Power Pland di Kalimantan Barat inilah muncul juga nama baru “Pujianto Gondokusumo”. Nama yang terakhir ini belom pernah diungkap ke publik. Tidak jelas juga institusi mana yang belum mau untuk menungkapkan keterlibatan Pujianto Gondokusumo. Apakah dari Polri atau Kejaksaan? Yang jelas, Pujianto Gondokusumo mempunyai kaitan dengan prosposal U$ 100 untuk minta Fatwa Mahkamah Agung. (bersambung) Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Gedung Kejaksaan Terbakar, Kasus Korupsi Ambyar

by Edy Mulyadi Jakarta FNN - Senin (24/08). Gedung Kejaksaan Agung terbakar, Sabtu (22/8). Api barkobar dahsyat, dan baru bisa dipadamkan pada Ahad pagi. Rakyat pun bertanya, ini terbakar atau dibakar? Maklum, di gedung itu tersimpan berkas-berkas kasus korupsi. Terbakar atau dibakar, bisa membahayakan kelangsungan penyelesaian kasus-kasus korupsi, yang bukan saja kelas kakap, tapi sudah level ikan paus. Tapi belum apa-apa, Menkopolhukam Mahfud MD di akun twitternya menyatakan, bahwa berkas-bekas kasus korupsi aman. Dengan begitu, kata dia, kelanjutan penanganan perkara tak kan terlalu terganggu. Mahfud bahkan mengklaim sudah bicara langsung dengan Jaksa Agung Burhanuddin dan Jampidum Fadhil Zumhana. Mahfud boleh saja super PD dengan keamanan berkas-berkas kasus korupsi. Tapi Kabid Humas Polda Metro Jaya Yusri Yunus menyebut titik kebakaran ada di Gedung Utama. Artinya, semua berkas tak selamat. Jadi bagaimana? Kepada siapa publik harus percaya? Mahfud apa polisi? Terlepas dari keduanya, Tempo menulis berita dengan judul Kebakaran di Kejaksaan Agung Dicurigai untuk Hilangkan Bukti Kasus Djoko Tjandra. Proposal US$100 juta Masih belum selesai, kawan. Tempo.co menulis jaksa Pinangki mengajukan proposal fatwa untuk pembebasan Djoko Tjandra seharga US$100 juta. Dia mengaku melaporkan pertemuannya dengan Djoko kepada Jaksa Agung. Nah… Adakah kaitan antara peristiwa terbakar atau dibakarnya gedung Kejagung dengan upaya penghilangan berkas kasus-kasus korupsi, khususnya terkait skandal hak tagih Bank Bali yang melibatkan Djoko? Bisa ya, bisa juga tidak. Tapi untuk media sekelas Tempo tentu terlalu harga yang harus mereka bayar, andai menurunkan berita asal-asalan. Apalagi media yang punya jam terbang puluhan tahun ini antara lain memang dikenal dengan liputan investigatifnya. Omong-omong, besar sekali nilai proposal fatwa pembebasan Djoko, ya? US$100 juta! Dengan kurs US$1 setara Rp15.000, maka harga fatwa tersebut mencapai Rp1,5 triliun. Dahsyat! Tentu saja, namanya juga proposal. Pasti akan ada tawar-menawar. Berapa angka finalnya? Hanya mereka dan iblis, juga tentu saja Allah SWT, yang tahu. Tapi semua ini menggambarkan betapa amburadulnya penegakan hukum di negeri ini. Di mata para elit itu, hukum benar-benar menjadi komoditas yang gurih diperdagangkan. Ingat, Proposal tadi bukan ditawarkan pak Dullah, tukang cendol yang keliling keluar masuk gang menjajakan dagangannya. Proposal itu juga bukan dibuat oleh mpok Minah, tukang gado-gado di samping rel kereta. Tapi proposal itu diajukan oleh jaksa. Bukan sembarang jaksa, melainkan jaksa yang menangani kasus korupsi tersebut. Benar-benar rusak! Ini pula yang menjelaskan kenapa rakyat tidak terus terpuruk nasibnya, kendati hidup di negeri yangtelah 75 tahun merdeka. Ini pula yang mengabarkan, betapa cita-cita para pendiri bangsa seperti yang tercantum dalam paragraph keempat UUD 1945, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, makin jauh. Apa arti dari semua ini? Artinya, Indonesia tidak sedang baik-baik saja. Indonesia sedang dalam masalah besar. Indonesia sedang sakit. Sekarat. Indonesia di ambang ambyarrr… Presiden pas-pasan Semua ini terjadi karena presiden yang tengah berkuasa gagal memenuhi mandat konstitusi. Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan tidak memiliki kemampuan yang dibutuhkan untuk memimpin negara besar seperti Indonesia. Negara yang nyaris remuk-redam karena selama enam tahun ini penguasa telah salah urus. Kapasitas dan kapabalitas Joko Widodo sebagai presiden jauh di bawah standar yang dibutuhkn seorang pemimpin. Jangan pula bicara soal integritas, wuiihhh… sangat mengerikan! Bagaimana mungkin seorang pemimpin berintegritas bisa menggunakan Istana untuk urusan pribadi dan keluarga. Di Istana pula dia memanggil lawan politik anaknya untuk diminta mundur. Yang lebih buruk lagi, dia menyogok dengan menawarkan jabatan kepada orang yang diminta mundur itu. Jadi, kalau Indonesia mau bangkit, mau lepas dari krisis yang membelit, tidak ada jalan lain kecuali meminta dengan hormat agar Presiden mengundurkan diri. Kasihan rakyat yang harus berjibaku sendiri mempertahankan hidup di tengah pandemi dan himpitan harga-harga yang melangit. Kasihan petani dan nelayan kita karena impor yang ugal-ugalan. Kasihan Indonesia yang sumber daya alamnya dikuras secara brutal dan illegal. Kasihan bangsa ini yang kedaulatannya jatuh ke titik nadir akibat utang luar negeri yang serampangan dan berbunga amat mahal. Jadi, mas Joko, mbok mundur, lah. Please, deh… Penulis adalah Wartawan Senior FNN.CO.ID

Pengacara Bajingan

by Zainal Bintang Jakarta FNN – Sabtu (15/08). Hari ini di Indonesia, di Jakarta dan di ibukota republik tiga perwira tinggi polri, PU, NB dan NSW, pengacara ADK serta seorang Jaksa PSM, rontok. Mereka dijebloskan ke dalam tahanan. Terseret kasus penyuapan dan pemalsuan dokumen untuk buronan Djoko Tjandro, tersangka kasus cessie Bank Bali. Buronan sebelas tahun lalu itu, diringkus sehari sebelum Hari Raya Idul Adha (30/07). Bertepatan malam takbiran menyambut hari raya Idul Qurban, dimana umat Islam diwajibkan menyembelih hewan kurban. Djoko Tjandara diringkus oleh Pilisi Diraja Malaysia (PDRM). Kemudian diserahkan kepada tim Polri di salah satu Kantor Polisi atau Bandara di Malaysia. Memperingati ulang tahun proklamasi kemerdekaan yang ketujuh puluh lima, bangsa ini dilanda duka dan luka yang dalam. Terkoyak oleh penangkapan pejabat penegak hukum yang terjerumus ke dalam lembah kenistaan pelanggaran hukum. Lantas, pada saat ulang tahun bangsa ini, hadiah dan tanda kesyukuran apakah yang akan diberikan kepadanya? Noda hitam penyuapan dan penyalahgunaan jabatan yang melanggar sumpah sangat memukul hati dan melukai perasaan rakyat sebagai bangsa yang beradab. Kasus Djoko Tjandra yang menghebohkan itu mendorong saya membaca ulang novel yang berjudul “Rogue Lawyer” atau “Pengacara Bajingan” karya John Grisham. Novelis, kelahiran Jonesboro, Arkansas, AS, 8 Februari 1955. Novel itu dirilis Oktober 2015 di Amerika. Di Indonesia, novel berjudul “Pengacara Bajingan” sudah diterjemahkan dan diterbitkan grup penerbit Gramedia (2017). Sang novelis itu mantan politikus dan pensiunan pengacara Amerika Serikat. Dia dikenal sebagai penulis novel bertema hukum. Telah melahirkan puluhan novel, yang semuanya boleh dikata best seller di seantero dunia. Novel “Pengacara Bajingan” menceritakan tentang pengacara jalanan yang bernama Sebastian Rudd. Tidak punya kantor tetap. Bekerja sesuai dengan waktunya. Kegiatannya berlangsung di dalam mobil van kargo besar merk Ford yang dilengkapi oleh jendela anti peluru. Ada Wi-Fi. Kulkas kecil. Bar untuk minuman keras. Kasur dan perlengkapan senjata lainnya. Selain itu, Sebastian Rudd juga tidak memiliki perusahaan, mitra kerja, karyawan maupun petugas lainnya. Hanya sendirian tinggal di sebuah apartemen kecil. Sehari-hari didampingi seorang yang disebut partner penunjukan Negara Bagian. Grisham memulai ceritanya dengan mengatakan : Namaku Sebastian Rudd. Meskipun aku pengacara jalanan terkenal, kau tak akan melihat namaku di papan iklan, di bangku-bangku halte bus atau meneriakimu dari buku telepon. Aku tak sudi mengeluarkan uang untuk dilihat orang di TV, meskipun sering menjadi berita di TV. Namaku tak ada di buku-buku telepon. Aku juga tak punya kantor konvensional. Secara resmi aku membawa pistol. Soalnya nama dan wajahku cenderung menarik perhatian orang-orang yang juga membawa senjata dan tidak keberatan menggunakannya. Sebastian juga membenci asosiasi pengacara. Gemar memberi bocoran kepada wartawan secara cuma-cuma. Grisham menjelaskan pada sebuah wawancara, kisahnya bukan terinspirasi dari pengalaman pribadi. "Aku diam-diam mengagumi pengacara yang memiliki sedikit waktu di kantor, dibandingkan mereka yang bertempur di depan juri atau klien". Diapun tidak pernah menawarkan diri mengambil kasus pria yang akan dihukum mati. Memiliki profesi sebagai pengacara selama sepuluh tahun membuatnya benar-benar ingin menjadi pengacara nakal. Sebagai anggota Badan Pembuat Undang-Undang di Mississippi, Grisham memiliki pengetahuan yang luas mengenai lika-liku “lorong gelap” permainan hukum di Amerika. Hal itu sangat membantunya menciptakan karakter setiap tokoh dalam banyak novel yang bertema hukum. Dia kenyang dengan permainan intrik dan berbagai kebusukan. Termasuk penjungkirbalikan kejahatan menjadi kebenaran. Grisham tidak segan-segan mengkritik sistem hukum di negaranya. Hal ini dapat ditemui dalam novelnya yang mengecam sikap seorang jaksa yang menutup mata dan hatinya terhadap kebenaran, meskipun sesungguhnya adalah fakta. “Sistem yang gila dan sangat tidak adil. Saksi-saksi yang dipersiapkan pihak kejaksaan yang bersaksi untuk Negara Bagian ditutup-tutupi dengan legitimasi, seolah-olah mereka disucikan oleh otoritas”. Grisham melalui Sebastian Rudd berucap, “Polisi, ahli, bahkan informan yang dimandikan dan dibersihkan dan disuruh memakai pakaian rapi, semua bersaksi dan berbohong dalam upaya terkordinasi untuk mengkesekusi klienku. Tapi saksi-saksi yang tahu kebenarannya, dan memberitahu yang sebenarnya, langsung diabaikan dan dibuat agar terlihat bodoh”. Dengan nada lirih Rudd mengatakan, “seperti banyak sidang lain, ini bukan demi kebenaran, melainkan kemenangan”. Mayoritas klien yang ditangani oleh Rudd adalah para kriminal di kotanya yang kecil. Dan mayoritas berumur rata-rata dibawah duapuluh tahun. Bahkan ada yang baru berumur dua belas tahun. Dan di dalam memperjuangkan penyelamatan klien kecilnya, Rudd benar-benar berjibaku menggunakan semua instink, ketajaman feeling dan juga sering berupa nasib baik. Melalui tokoh “ciptaannya” yang bernama Sebastian Rudd, Grisham memiliki pijakan yang kuat membuka kebobrokan sistem hukum di negaranya. Rudd menjelaskan kasusnya dengan menuliskan, “aku sedang membela pemuda putus sekolah delapan belas tahun yang menderita kerusakan otak, dan dituduh membunuh dua gadis kecil dalam salah satu kejahatan paling keji yang pernah kutemui”. Ruud mengakui, “pekerjaanku berlapis-lapis dan rumit. Aku dibayar oleh Negara Bagian untuk penyediaan pembelaan kelas satu bagi seorang terdakwa pembunuhan. Ini mengharuskanku berupaya mati-matian di ruang sidang tempat tak seorangpun mendengarkan. Gardy sudah dianggap bersalah pada hari dia ditangkap, dan sidangnya hanya formalitas”. Yang menarik dari karya-karyanya yang bertemakan hukum, Grisham selalu memadukan duet pengacara dengan wartawan. Pemberitaan media yang kredibel yang mewakili luka hati masyarakat akibat merebaknya praktik “mafia” hukum, diyakininya masih dapat menjadi rem tangan kelajuan praktik pagar makan tanaman yang dilakukan aparat penegak hukum. Namun demikian, ada yang membedakan posisi Sebastian Rudd sebagai pengacara bajingan dengan pengacara salon. Rudd hanya menangani klien-klien manusia terbuang yang tidak punya status sosial dan eknomi yang jelas. Dianalogikan sebagai “bajingan” yang ongkos persidangannya ditanggung oleh negara. Dengan menggunakan kehidupan liar, para “bajingan” tersebut sebagai latar belakang novelnya, Grisham menemukan ruang terbuka untuk membeberkan secara dramatis berbagai ketimpangan, kecurangan dan praktik kongkalikong pejabat hukum, justru oleh mereka hukum itu dikoyak-koyak. Novel kedua Grisham berjudul The Firm adalah yang pertama dibikin film, dengan judul yang sama dibintangi oleh Tom Cruise. Film ini menjadi salah satu film box office di tahun 1993. Kisah keluarga Joey Morolto Mafia Chicago. Mitra perusahaan hukum tempat Mitch (Tom Cruise) bekerja serta sebagian besar rekan, semua terlibat dalam skema penipuan pajak dan pencucian uang besar-besaran yang bermarkas di Cayman Island yang dikenal dengan Tax Haven Island (Pulau Surga Pajak). Novel Grisham yang lain yang sukses ketika diangkat ke layar lebar (1994) adalah The Pelican Brief (Catatan Kasus Pelikan), dibintangi Julia Roberts dan Denzel Whasington yang berperan sebagai wartawan. Berkisah tentang keuletan seorang mahasiswi fakultas hukum bersama sang wartawan membongkar kebusukan kolusi politisi dan pengusaha. Bahkan ada benang merah yang menghubungkan kasus ini dengan presiden dan seorang pengusaha kaya kerabat Istana. Ketika digalakkan kampanye Tax Amnesty (pengampunan pajak) di Indonesia (2016 – 2017), pemerintah permah menyebut dan tersebar di media, bahwa ada sejumlah pengusaha kakap Indonesia menyimpan uangnya di Tax Haven Island dalam jumlah fantastis Rp. 11 ribu triliun. Seperti biasa, sebuah pesan masuk di WhatsApp. Mempersoalkan sampai dimana implementasinya di Indonesia motto dunia hukum yang berbunyi : “Fiat Justitia Ruat Caelum”, (Hendaklah Keadilan Ditegakkan, Walaupun Langit Akan Runtuh), sebagaimna diucapkan Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM). Di bawah bayang-bayang hitam kasus brutal Djoko Tjandra. Di langit Indonesia saat ini mendung gelap bergelantungan. Di tengah nafas kemerdekaan yang terasa menyesakkan dada, saya hampir saja tidak sanggup membaca pesan yang lain via WhatsApp : “Selamat Menyambut HUT Kemerdekaan RI 17 – 08 – 45 yang ke – 75. Dirgahayu Bangsa Indonesia”. Penulis dalah Wartawan Senior dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya.

Penangkapan Joko Tjandra, Konfirmasi Masalah Besar di Kepolisian

by Asyari Usman Jakarta FNN - Jumat (07/08). Banyak yang memberikan aplus, bertepuk tangan. Memuji Polri, khususnya Bareskrim. Mereka berhasil menangkap Joko Tjandra (JT), narapidana buronan dalam kasus Bank Bali. Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Poengky Indarti, termasuk yang memuji Kepolisian. Kata Poengky, penangkapan ini akan memulihkan kepercayaan publik terhadap berbagai institusi penegak hukum. Sekjen Pemuda Pancasila (PP), Arief Rahman, juga memuji Polri, tepatnya Kabareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo. Menurut Arief, penangkapan itu adalah prestasi yang pantas diapresisasi. Banyak lainnya yang turut memuji-muji. Mohon maaf. Kita, publik, tidak perlu lagi memberikan respon konvensional dalam bentuk pujian. Hari ini, kita harus melihatnya berbeda. Bagi saya, penangkapan Joko Tjandra merupakan konfirmasi bahwa ada masalah besar di Polri. Institusi ini, kelihatannya, dihuni oleh banyak oknum yang bermental bobrok. Persoalan inilah yang sejak lama dikeluhkan publik. Kebobrokan di kalangan para oknum pemegang jabatan penting di Kepolisian. Mungkin juga di instansi-instansi penegak hukum lainnya. Penangkapan yang ‘high profile’ ini bukanlah perstasi. Ada yang mengatakan itu prestasi Kepala Bareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo. Bagi saya, bukan. Listyo Sigit tidak perlu disanjung sebagai pahlawan. Mengapa itu bukan pretasi Komjen Listyo Sigit? Sederhana saja alur logika untuk itu. Pertama, Joko Tjandra bisa keluar-masuk Indonesia seenaknya antara bulan Maret dan Juni 2020. Lolos begitu saja. Bebas ke mana-mana. Tidak ada yang menangkap dia. Bahkan dibuatkan surat jalan, surat bebas Covid-19, dan entah dokumen papa lagi. Nah, siapa Kabareskrim-nya? Komjen Listyo Sigit bukan? (Dia dilantik pada Desember 2019). Kedua, kalau Joko Tjandra bisa ditangkap pada 30 Juli 2020 di Kuala Lumpur, terus apa rintangan untuk menangkap buronan pencoleng uang negara itu ketika dia berkeliaran di Jakarta? Mengapa tak ditangkap ketika Joko Tjandra membuat e-KTP di Kantor Kelurahan Jakarta Selatan? Mengapa Joko Tjandra tak bisa diciduk ketika mendatangi pengadilan negeri Jakarta Selatan untuk urusan sidang Penijauan Kembali (PK) perkaranya? Publik menuntut penjelasan, mengapa Joko Tjandra tidak ditangkap, atau tidak bisa ditangkap ketika dia melakukan banyak kegiatan di Indonesia dalam rentang tiga bulan. Apa alasan Pak Bareskrim Polisi? Ketiga, ada tiga polisi berbintang yang terlibat membantu Joko Tjandra. Semuanya sudah dijatuhi hukuman administrasi. Pertanyaannya, bisakah langsung disimpulkan bahwa ketiga polisi senior itu bertindak sendiri-sendiri? Mungkinkah itu tanpa koneksi dengan atasan mereka? Baik itu atasan dalam arti struktural maupun atasan dalam jenjang kepangkatan? Salah seorang yang jendral berbintang itu adalah Prasetijo Utomo, bekerja di lingkungan Bareskrim. Dialah yang menerbitkan surat jalan untuk Joko Tjandra. Lagi-lagi, siapa Kabareskrimnya waktu itu? Apakah ada Kabareskrim selain Komjen Listyo Sigit? Publik harus mengubah cara melihat ‘prestasi’ Polri. Atau juga institusi lain. Maksudnya begini. Bisa atau mampu menangkap buronan adalah keberhasilan yang biasa-biasa saja bagi Kepolisian. Polisi memang wajib bisa menangkap buronan. Tidak ada yang istimewa di situ. Penangkapan Joko Tjandra baru bisa disebut atau dikatagorikan istimewa kalau saya yang melakukannya. Itu baru bisa dikatakan luar biasa. Karena saya hanya masyarakat awam. Tidak dilatih seperti halnya polisi. Dan saya juga tidak punya apa-apa. Tidak dilengkapi dengan senjata dan kewenangan. Polri? Intitusi ini punya semuanya. Punya dana besar ratusan triliun setahun. Punya sistem pelatihan yang canggih. Alat-alatnya juga yang canggih-canggih. Punya jajaran intelijen kelas dunia. Plus, tingkat IQ yang tinggi-tinggi. Pintar, cerdas, dan sangat cendekia. Bareskrim itu, setahu saya, diisi oleh orang yang hebat-hebat. Bahkan paling hebat untuk ukuran negara-negara di kawasan ASEAN. Sejumlah orang penting di berbagai lembaga Hankam lainnya mengatakan, sebetulnya Polri itu jauh lebih canggih. Mereka ‘well-funded’, ‘well-maintained’, ‘well-resourced’. Pokoknya, semua ‘well-‘ ada di Polri. Semua hal yang bagus-bagus ada di sana. Yang jelas, lebih banyak uang dari APBN yang dikucurkan di Kepolisian dibandingkan anggaran pertahanan yang digunakan untuk tiga angkatan TNI, darat, laut, udara, Mabes TNI dan Kemenhan. Artinya, kalau cuma menangkap Joko Tjandra di Kuala Lumpur, pasti tidak ada sulitnya. Sebab, polisi dilengkapi macam-macam fasilitas perangkat lunak (software) yang diperlukan. Hubungan Polri dengan Polisi Di Raja Malaysia (PDRM), sangat bagus. Makanya yang menangkap Joko Tjandra di Malaysia pasti bukanlah dari Bareskrim Polri. Yang menangkap Joko Tjandara pastilah Polisi Malaysia (PDRM) atas permintaan dari Polri. Setelah ditangkap, barulah Joko Tjandra diserahkan kepada Bareskrim Polri untuk dibawa ke Indonesia. Penyerahan tersebut bisa saja di salah satu kantor Polisi di Malaysia. Bisa juga di salah satu bandar udara di Malaysia. Terus, ada juga kerja sama intelijen kedua negara. Ada saluran diplomatik lewat Kemenlu. Ada Interpol, dan lain sebagainya. Bisa melakukan operasi intelijen yang mampu membuat Joko Tjandra terlihat seperti ayam masuk comberan. Intinya, tidak ada yang berat bagi Polri untuk menangkap si penjahat rakus itu. Sangat tidak relevan memberikan tepuk tangan kepada Bareskrim Polisi, karena bisa menangkap buronan yang terbukti tidak ada apa-apanya. Kalau Joko Tjandra orang yang sangat kuat, dikawal Yakuza, Triad, dan geng Mafia, atau tentara bayaran (mercenary) boleh jadi sulit diciduk. Ternyata, tidak ada masalah ketika dia “ditangkap”. Barangkali, yang sulit itu adalah meminta maaf kepada Joko Tjandra bahwa dia “terpaksa” dibawa pulang. Dan harus diborgol di depan media. Tidak ada jalan lain. Publik terlanjur sudah tahu liku-likunya. Jadi, penangkapan Joko Tjandra adalah ‘operasi plastik’ untuk menyelamatkan muka sejumlah orang. Selain itu, ada aroma incar jabatan. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

UU Minerba, Skandal Konstitusi Terbesar Abad Ini

by Kisman Latumakulita Undang-undang boleh saja dibanggakan para ahli hukum formalis dan politisi picisan dan kacangan sebagai benteng keadilan. Dalam kenyataannya tidak selalu begitu. Undang-undang atau hukum juga dapat berubah fungsi menjadi benteng terkuat bagi para korporasi dan oligarkis licik, picik, tamak srta culas. Jakarta FNN – Selasa (04/08). Orang-orang berduit besar ini dapat menggunakan uangnya untuk menciptakan politik pembentukan undag-undang untuk kepentingan mereka. Seperti itu menajdi hal biasa dalam semua permainan politik, termasuk politik pembentukan UU. Kalau uang telah bicara, maka semuanya dipastikan akanberes dan cepat. Argumentasi yang bersifat justifikasi atas Rancangan Undang-Undang (RUU) itu bisa berdatangan dari berbagai sudut, dan berbagai kalangan. Begitulah adanya dunia politik hukum liberal. Kalau korporasi licik, picik, tamak dan culas yang punya mau, maka uangkah yang bemain dibalik prakarsa pembentukan UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahabn Atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara? Tak ada bukti otoritatif yang menunjukan uang telah bekerja secara signifikan dibalik munculnya prakarsa ini. Tidak ada juga bukti otoritatif untuk dijadikan sandaran penilaian bahwa uang telah bekerja dengan caranya yang khas dibalik pembahasan RUU Perubahan Atas UU Nomor 4 Tahun 2009. Sekali lagi, belum dan tidak ditemukan bukti itu. Bekerjanya uang dibalik cepatnya waktu pembahasan dan pengesahan RUU Perubahan Atas UU Nomor 4 Tahun 2009 itu ibarat kentut. Bunyi dan bau kentut hanya bisa untuk didengar dan dicium. Namun wujudnya kentut seperti apa? Nggak bisa dilihat atau dipegang. Uang hanya terasa bekerja dengan caranya yang paling sunyi dan senyap dibalik pembahasan aturan pertambangan umum ini. Inilah UU Yang Sangat Brutal Dari sejarahnya, diketahui DPR teridentifikasi sebagai pemrakarsa, pengusul perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara. DPR menggunakan kewenangan dan mandat yang tekenal bernama "Hak Usul Inisiatif Dewan". Tidak banyak undang-undang yang dilahirkan DPR bersama Pemerintah berdasarkan celah "Hak Usul Inisiatif Dewan" ini. Apalagi UU untuk kepentingan rakyat bawah. Sebaiknya berharap banyak kepada DPR, karena ujungnya hanya kekecewaan semata. Prakarsa ini meraih sukses besar. Harap dimaklumi saja. Sebab UU bukan untuk kepentingan rakyat bawah. Pihak yang paling berkepentingan dibalik perubahan atas UU No 4 Tahun 2009 adalah para korporasi dan konglomerat tambang. Dengan perubahan UU ini, maka izin usahanya bisa diperpanjang secara otomatis, tanpa perlu ada pengurusan perpanjangan baru lagi. Jangka waktunya tetap 20 tahun, namun dievaluasi setiap sepuluh tahun. Luas bisa hebatnya kan? Apakah aturan yang super brutal dan amburadul seperti ini hanya karena keinginan dan maunya DPR semata? Silahkan menjawabnya sendiri. Namun jangan kasih tau teman dan kerabat yang duduk atau berdiri di sebelah anda. Yang pasti Sekarang UU Nomor Tahun 2009 itu telah resmi berubah menjadi UU Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Perubahan UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara. Begitu cerit awalnya. Tanggal 4 Februari 2016 menjadi tanggal paling bersejarah untuk UU Nomor 3 Tahun 2020 ini. Pada tanggal, bulan dan tahun itu langit politik hukum mencatat sebuah peristiwa bersejarah. Sebab pada tanggal tersebut, DPR khususnya Badan Legislasi (Baleg) mengadakan Rapat Dengar Pendapat dengan para akademisi dan pakar. Namanya saja rapat dengar pendapat. Tentu saja yang disajikan dalam rapat tersebut adalah pandangan-pandangan dari para pakar dan akademisi. Apa saja pendapat mereka? Hanya mereka para pakar dan anggota DPR di Baleg itulah yang tahu. Rapat tanggal 4 Februari tahun 2016 itu tercatat sebagai satu-satunya rapat disepanjang sejarah DPR dari tahun 2016 sampai dengan 8 Maret tahun 2018. Disepanjang dua tahun itu hanya ada satu kali rapat resmi di DPR, khususnya rapat di Baleg. Rapatnya juga dengan agenda yang sangat istimewa, yaitu membicarakan RUU perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara ini. Aneh? Ya pasti aneh bin ajaiblah. Dengan merujuk pada praktik pembahasan RUU yang baku, dan berlaku selama ini. Maka harus diakui secara jujur bahwa rapat di Baleg, apalagi rapat dengar pendapat antara Baleg dengan para ahli, pakar dan akademisi, tentu tidak dihadiri oleh pemerintah. Itu sudah pasti. Teman-teman ahli hukum telah meyakinkan beta bahwa RDP di Baleg selalu begitu aturan mainnya. Tidak dihadiri oleh pemerintah. Lantas bagaimana kelanjutannya? Tanggal 7 Maret 2018 barulah Baleg melakukan Pleno bersama dengan para anggota DPR pengusul. Tentu saja untuk memperoleh penjelasan dari para anggota DPR pengusul. Tiga minggu kemudian, tepatnya tanggal 29 Maret 2018 Baleg melakukan lagi rapat. Esensi rapat kali ini adalah melakukan harmonisasi. DIM Pemerintah Tanpa Paraf Setelah rapat tanggal 29 Maret 2018, menujuk (CNNIndonesia, Kamis 18/07/2019) Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Gus Irawan Pasaribu telah menyerahkan Daftar Infentarisasi Masalah (DIM) RUU Minerba untuk dibahas dengan pemerintah sejak April 2018. Dua bulan kemudian, tepatnya bulan Juni 2018 pemerintah juga menyerahkan DIM. Sayangnya, berdasarkan penelusurn CNNIndonesia, DIM yang diserahkan pemerintah itu tanpa adanya paraf dari pemerintah. DIM ini diserahkan bulan Juni 2019. DIM itu, merujuk CNNIndonesia, baru berasal dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. (Lihat CNNIndonesia, 18 Juni 2019). Orang gila macam apa yang akan atau mau untuk menerima DIM tanpa paraf sebagai DIM resmi pemerintah? terus DPR gila dan sinting macam apa, yang mau juga untuk menerima DIM dari Kementerian ESDM yang tanpa paraf itu? Anda tidak usah menjadi ahli hukum untuk mengatakan DIM itu abal-abal, dongo, dungu, keleng-kaleng dan beleng-beleng. Yang pasti DIM yang tanpa paraf itu pastinya tidak sah. Tragisnya, terlihat kalau DIM yang tidak sah ini disadari betul oleh anggota DPR yang terhormat. Merujuk pada pemberitaan Kontan.co.Id, tanggal 29/8/2019, Komisi VII DPR RI kala itu masih berkeinginan untuk merampungkan revisi atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Namun sangat disayangkan, dan ini jangan sampai membuat pembaca FNN kaget setengah mampus. Hingga kini Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) itu masih mandek di pihak pemerintah. Belom sampai ke DPR. Hebat kan? Meskipun RUU Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 sudah disahkan menjadi UU Nomor 3 tahun 2020. Namun DIM-nya masih di tangan pemerintah sampai sekarang. Jadi, UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara itu disahkan DPR tanpa DIM yang resmi dari pemerintah. Artinya, UU ini memang sudah cacat sejak lahir. Kalau meminjam istilah keren yang sering digunakan para penasehat hukum ketika peracara di pengadilan, “UU ini cacat secara formil”. Proases pembuatannya sudah cacat, kacau-balau dan amburadul. Pembuatannya kejar tayang untuk menampung kepentingan korporasi dan oligarki yang izin habis di tahun 2020 ini. Sudah cacat bawaan sebelum lahir menjadi UU. Cacat sejak masih dalam kandungan di DPR. (bersambung). Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Djoko Tjandra Ditangkap Setelah Tiga Jenderal Korban

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (02/08). Buronan terpidana kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali Djoko S. Tjandra akhirnya tertangkap di Kuala Lumpur Malaysia. Uniknya tertangkapnya Djoko didahului dengan terbongkarnya kasus memalukan Mabes Polri. Bukan institusi Kepolisian. Sejumlah institusi negara lain juga terlibat dalam kasus Djoko Tjandra. Misalnya, Kejaksaan Agung, Ditjen Imigrasi Kemenkumham, Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kemengri, dan Ditjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan. Yang sangaty memalukan itu adalah Mabes Polri memberikan Surat Jalan kepada Djoko Tjandra. Sehingga seorang buronan bisa keluar masuk Indonesia dengan leluasa. Kolusi dengan koruptor yang terhukum tentu saja sangat mencoreng kesatuan Kepolisian. Korban dari perilaku Djoko S Tjandra ini sekurangnya tiga Jenderal Polisi dicopot. Mereka adalah Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo, Irjen (Pol) Napoleon Bonaparte, dan Brigjen (Pol) Nugroho Slamet Wibowo. Yang terberat tentu Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo sebagai pejabat Bareskrim yang menerbitkan Surat Jalan untuk Djoko Tjandra. Publik dapat menilai penangkapan cepat Djoko disebabkan tertekannya Mabes Polri, akibat terbongkar kasus yang berakibat pada pencopotan tiga perwira tinggi polisi. Andai tidak terjadi hal itu, maka diduga akan sulit untuk menangkap Djoko Tjandra. Sebab dia akan terus "dibiarkan" buron dan bebas keluar masuk Indonesia dengan mudah. Peristiwa ini menambah buruk citra kinerja aparat penegak hukum. Bukan hanya Kepolisian tentunya. Sedikitnya ada lima institusi yang negara yang terlibat. Penyalahgunaan kekuasaan semestinya bersanksi hukum berat, agar ada efek jera. Tanpa sanksi hukum yang berat, dipastikan peristiwa seperti ini akan terjadi berulang-ulang lagi. Kasus Djoko Tjandra ini jelas harus menjadi momentum perbaikan menyeluruh aparat penegak hukum kita. Ada tiga langkah yang dapat diperhatikan dalam perbaikan menyeluruh, khususnya di instansi Kepolisian agar terpulihkan citra dan kinerjanya, yaitu : Pertama, hentikan gagasan "democratic policing" yang implementasnya menjadi sangat multi fungsi di Polisi. Dimasa kini, Polisi menempati berbagai jabatan strategis. Mengingatkan dahulu masa Orba dengan Dwi Fungsi ABRI. Akar dari penyimpangan politik. Sekarang polisi bukan saja dwi fungsi, tetapi malah multi fungsi. Lebih farah dari ABRI dulu. Kedua, menyadari bahwa fungsi Kepolisian sebagai "alat negara". Bukan sebagai "alat pemerintah atau alat penguasa". Jika sebagai alat pemerintah, maka Kepolisian merupakan penegak hukum yang menjadi kepanjangan tangan kepentingan politik pemerintah, yang sekarang dinilai semakin pragmatis dan tidak demokratis. Ketiga, mengubah kebijakan yang diskriminatif. Kita semua tahu jika Polisi menangani kasus yang dilakukan oleh pengkritisi pemerintah, maka itu proses hukumnya sangat cepat dan kilat. Sebaliknya, jika pelakunya adalah pendukung pemerintah, maka bukan saja lambat tetapi dipastikan segera menguap. Diskriminasi ini harus diakhiri. Kasus Djoko Tjandra menjadi pelajaran penting bangsa untuk kembali mewaspadai bahaya "KKN", yang bukan hanya "Korupsi". Kini nampaknya mulai hilang dua nomenklatur "Kolusi" dan "Nepotisme". Akibatnya, terjadi kolusi masif antara pemerintah beserta "alatnya" dengan para pengusaha atau "cukong-cukong" yang mendukung. Begitu juga marak politik dinasti seperti kasus Gibran dan Bobby Nasution, anak dan mantu Presiden Jokowi. Perlu untuk segera menguatkan landasan hukum bahwa "kolusi" dan "nepotisme" adalah suatu kejahatan atau tindak kriminal. Sebagai Implementasi dari Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 dan Ketetapan MPR No. VII/MPR/2001. Undang-Undang mengenai KKN ini mendesak untuk segera dibuat. Munculnya kasus "kolusi" Djoko Tjandra serta "nepotisme" Gibran dan Bobby adalah momentum perbaikan tersebut. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Gerombolan Boedi Djarot, Vandalisme Khas Komunis

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Jum’at (31/07). Peristiwa aksi 27 Juli 2020 di depan Gedung DPR oleh "kelompok merah" yang jumlahnya sedikit saja membuat kehebohan. Yang aneh adalah asinya menyerang figur Habib Rizieq Shihab. Menistakan gambar atau baliho HRS dengan menginjak-injak, membakar dan merobeknya. Api yang tidak bisa membakar baliho bergambar HRS menjadi keunikan tersendiri. Padahal baliho HRS telah disirami dengan minyak, entah minyak bensin atau minya tanah. Tetap saja haliho yang kainnya sangat mudah terbakar itu tidak bisa terbakar. Kelompok merah ini dipimpin oleh Sekjen GJI Boedi Djarot adiknya Eros Djarot. Walaupun umat Islam tidak semua sefaham dengan langkah dan perjuangan HRS, akan tetapi penistaan terhadap HRS sebagai tokoh atau ulama cukup membuat umat Islam prihatin. Membuat gara-gara apa "kelompok merah" ini? Simpati kepada HRS dipastikan akan muncul dari mana-mana. Bahkan dari yang bukan muslim. Simpati dan pembelaan terhadap HRS bukan hanya dari organisasi yang dipimpinnya, yaitu FPI. Tetapi dipastikan lebih luas dari FPI, khususnya dari kalangan umat Islam. Sekurangnya para alumni 212 akan bersikap untuk mendukung HRS. Jumlahnya jutaan pasti puluhan juta. Militansi umat yang tinggi dalam melawan perilaku zalim. Sebab kelompok dan gerombolan merak Boedi Djarot layak untuk dikecam. Telah membuat kegaduhan baru di tengah banyaknya kegaduhan di negara ini. Bara permusuhan telah diciptakan. Terlepas dari motif yang mendasari gerombolan Boedi Djarot. Apakah memancing, ekspresi dendam, atau lainnya? Namun pembakaran atau perusakan secara demonstratif baliho bergambar HRS dinilai sangat tidak bermoral. Reaksi balasan diperkirakan bakal terjadi. Sebelumnya pelaku pembakaran bendera PDIP masih misterius. Bisa yang membakar adalah peserta aksi yang kontra terhadap RUU HIP. Namun bisa dari susupan PDIP sendiri. Bisa pula memang pihak ketiga yang memancing situasi agar semakin mamanas. Yang jelas peringatan "kudatuli" menunjukkan kenanehan tersendiri. Sebab tiba-tiba saja berfokus pada perusakan dan penistaan baliho yang bergambar HRS. HRS sendiri rasanya tidak memiliki hubungan apa-apa dengan peristiwa 27 Juli tersebut. Bahkan mungkin saja mengutuk keras peristiwa tersebut. Aada tiga kemungkinan konsekuensi dari penistaan dengan percobaan pembakaran dan perusakkan secara terencana baliho bergambar HRS oleh gerombolan Boedi Djarot ini, yaitu : Pertama, dilaporkan ke pihak Kepolisian prilaku Boedi Djarot cs. Tetapi dipastikan proses pengusutan tidak akan berjalan serius. Kasus Ade Armando, Abu Janda, dan Denny Siregar adalah contoh. Jadi, para simpatisan dan pendukung HRS jangan terlalu berjarap banyak dari kemungkinan pertama. Kedua, dilakukan pencarian sendiri terhadap Boedi Djarot cs oleh massa pendukung HRS. Tujuannya untuk meminta pertanggungjawaban atas perbuatan penistaan yang dilakukan oleh gerombolan Boedi Djarot ini. Ketiga, bisa saja budaya bakar bakar dan perusakan baliho atau poster terhadap tokoh menjadi kebiasaan. Pembalasan misalnya, dengan membakar baliho Megawati atau Djarot atau tokoh lain yang diduga terlibat dirusak, diinjak-injak, atau dibakar pula. Ke depan bisa saja baliho Presiden Jokowi, Menteri atau pejabat lain juga diperlakukan sama. Ini tentu sangat tidak sehat. Bila tidak ada langkah baik dari kekuatan politik protektor "kelompok merah" maupun aparat penegak hukum, maka isu bahwa perusakan dan pembakaran itu dilakukan oleh gerombolan neo PKI atau aktivis komunis bisa saja menggelinding. Modus adu domba sangat kentara. Yang dirobek, diinjak-injak, atau dibakar pada hakekatnya tidak lain adalah nilai-nilai moral. Gaya brutal dan vandalisme seperti ini menjadi karakter khas gerakan komunisme. Wajar rakyat Indonesia harus mulai waspada dan siaga. Neo PKI dan Komunisme mulai dan sedang bergerak. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Wahyu Setiawan: Dari Justice Collaborator Menjadi Justice Collaps-borator

by Asyari Usman Jakarta FNN - Jumat (24 Juli 2020). Banyak yang sempat bersemangat. Pasalnya? Mantan komisioner KPU, Wahyu Setiawan (WS), akan membongkar kecurangan dalam pemilu, Pilpres dan pilkada 2019. Wuih! Pasti bakal seru sekali. Om Wahyu akan maju sebagai ‘justice collaborator’. Artinya, dia akan menjadi ‘rekanan keadilan’. Hebat, bukan? Pastilah. Menjadi ‘rekanan keadilan’ atau ‘rekanan penegakan hukum’ itu sangat mulia. Akan membongkar kecurangan Pilpres 2019 pula lagi. Makin mantaplah barang ‘tu. Eh, eh. Sehari kemudian berbalik. Tim pengaranya mengatakan, itu tidak benar. Tidak benar Om Wahyu akan menjadi ‘juctice collaborator’. Itu hanya pernyataan pribadi Saiful Anam –salah seorang anggota tim pembela Om WS. Yang mengatakan bahwa itu adalah pernyataan pribadi adalah Tony Akbar Hasibuan (22/7/2020), juga pengacara. Kata Tony, yang akan dibongkar WS hanya hal-hal yang terkait dengan kasus sogokan dari Harun Masikhu. Yaitu, kemungkinan keterlibatan partai, lembaga, perorangan, hingga komisioner KPU terkait proses penggantian antar waktu (PAW) untuk Masikhu. Banyak yang geleng kepala. Kok Om Wahyu berubah sikap. Dalam waktu 24 jam saja. Tapi, publik perlu paham bahwa membongkar kejahatan Pilpres 2019 sangat tinggi taruhannya. Siraman air keras bisa jadi harga yang terendah. Om Wahyu bisa menakar konsekuensi yang akan dia terima. Kecuali dia sudah paham bahwa membongkar kejahatan Pilpers 2019 akan membuat dia menjadi terhormat setelah kehinaan yang dirasakannya karena menerima sogok. Apakah ada tekanan terhadap WS? Bisa jadi juga. Sebab, para pelaku kecurangan Pilpres 2019 pastilah sadar apa yang akan terjadi kalau Om Wahyu benar-benar membongkar kecurangan itu. Para pelaku tak bakalan bisa mengelak. Karena si mantan komisioner KPU itu tentu tahu seluruh proses kecurangan. Sekarang, publik gigit jari. Kecurangan Pilpres 2019 itu secara otomatis diakui keberadaanya oleh WS lewat pernyataan Saiful Anam. Tetapi, tak jadi dibeberkan oleh si mantan komisioner yang memilih untuk tetap menjadi orang yang hina. Wahyu lebih suka menjadi ‘justice collaps-borator’ alias ‘ penghancur keadilan’ alias ‘peruntuh penegakan hukum’. Dia memilih untuk terus-menerus menjadi buronan penyesalan. Di dunia dan di akhirat. Semoga besok-lusa berbalik lagi menjadi ‘juctice collaborator’.[] (Penulis adalah wartawan senior)

Wahyu Setiawan Bongkar Kecurangan Pilpres 2019?

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Kamis (23/07). Kesiapan Wahyu Setiawan, mantan komisioner KPU untuk menjadi Justice Collaborator terhadap korupsi pada Pemilihan Presiden 2019 menjadi penting. Meski terlambat, karena saat ini sudah masuk persidangan, tetapi "simpanan" informasi bisa terkuak. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyesalkan "kerjasama" tidak sejak awal. Akan tetapi, dari data keterlibatan pihak-pihak yang terbuka, meski terlambat, sebenarnya sangat bermanfaat. Tidak ada istilah keterlambatan terhadap informasi penting yang berkaitan dengan “kejahatan korupsi dan kejahatan demokrasi”. Pengacara Wahyu Setiawan menjelaskan bahwa Justice Collaborator (JC) ini terbatas pada kasus suap Harun Masiku. Namun dengan bahasa "terbatas" sebenarnya ada informasi "tak terbatas" yang dimiliki Wayu. Semua faham bahwa kasus Masiku adalah bagian dari permainan politik tingkat tinggi. KPK belum bersikap atas tawaran JC dari Wahyu. KPK hanya menilai bahwa itikad dan apa yang "dikerjasamakan" itu dapat menjadi unsur yang meringankan bagi pertimbangkan mejelis hakim. Meskipun demikian sekurang-kurangnya fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan dapat menjadi bahan bagi KPK untuk pengusutan lebih lanjut. Ada pihak lain yang terlibat dalam kasus ini. Konon Hasto atau Megawati pun bisa diuji. Apapun kelak ujung dari proses hukum Wahyu Setiawan akan berkaitan dengan sikap Wahyu sendiri. Apakah "ilmu" nya akan terus dikeluarkan atau tidak. Maknanya adalah Wahyu Setiawan memiliki "pengetahuan luas" mengenai perilaku dan kebusukan dan kebobrokan komisioner KPU. Keterangan Wahyu tentu bukan saja untuk kasus Harun Masiku, tetapi juga yang lainnya Pilkada. Bahkan mungkin saja berkaitan dengan Pilpres. Keterbukaan Wahyu Setiawan inilah yang ditunggu-tunggu publik. Pilpres dengan hasil kontroversial masih menjadi misteri hingga kini. Kemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin masih diragukan publik. Sejak Quick Count hingga Putusan MK yang dinilai janggal. Pertanyaan besar masih menggelayut. Komisioner KPU dan Tim Pemenang tentulah yang lebih tahu, dan Wahyu Setiawan adalah salah satu komisioner saat pelaksanaan pemilu legislative dan Pelpres 2019 lalu. Tawaran JC berfungsi sebagai batu ujian bagi KPK. Sekarang KPK pun diuji keseriusan dalam pengusutan kasus korupsi. Bila KPK ragu atau tidak serius, maka publik akan menilsi bahwa KPK bukan saja bermain hukum. Tetapi juga ikut juga bermian politik. Ini tentu tidak diharapkan. Karena kasus Harun Masiku bagai sodokan permainan bola bilyard. Dapat menyodok bola lain. Wahyu Seiawan mantan komisioner KPU mesti kini menjadi pesakitan masih dapat berbuat sebagai pahlawan. Wahyu Setiawan bisa menjadi pahlawan kejujuran. Pahlawan untuk membongkar kecurangan dan kejahatan korupsi. Sakaliguas membongkar kejahatan terhadap demokrasi. Pelaku yang terlibat kemungkinan hanya dua pihak, yaitu KPU sebagai penyelenggara pemilu dan peserta pemilu. Bisa dari partai politik. Namun bisa juga pasangan Capres. Kebenaran itu biasanya selalu datang dan terbukti belakangan. Sedikit sekali yang terbukti di awal-awal kejadian. Bangsa dan negara butuh kepahlawanan Wahyu Setiawan. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Djoko Tjandra, Pembeli Kekuasaan dengan Predikat “Best Buyer”

by Asyasi Usman Jakarta FNN - Kamis (23 Juli 2020). Terima kasih Tuan Djoko Tjandra. Anda telah menunjukkan kepada seluruh dunia bahwa Anda bisa mengatur siapa saja di negeri ini. Anda bisa membeli siapa saja yang Anda perlukan. Anda bisa menyewa siapa saja yang Anda inginkan. Anda bisa membeli orang-orang berbintang yang sedang berkuasa. Anda bisa merekrut ‘bodyguard’ berpangkat brigjen. Anda bisa membeli pengacara yang memberikan ‘bantuan hukum’ dan ‘bantuan untuk melanggar hukum’. Saya bisa memahami perasaan Anda sekarang. Dan bisa juga memahami perasaan Anda sejak dulu. Yaitu, perasaan Anda yang bahagia luar biasa. Karena Anda yang berhasil menginjak-injak harga diri bangsa kami. Bangsa Indonesia. Anda tidak salah. Anda hanya berperilaku sebagai seorang pembeli. Pembeli kekuasaan semata. Pepatah mengatakan, “Pembeli itu Raja”. Tentunya maksud pepatah ini adalah bahwa penjual kekuasaan akan melayani Anda seperti raja. Anda itu adalah seorang ‘customer’ istimewa di mata para pedagang kekuasaan. Pastilah para pedagang kekuasaan akan selalu mendekati Anda. Mulai dari pedagang kekuasaan level asongan sampai pedagang kekuasaan level plaza. Anda memang beruntung bisa membeli kekuasaan apa saja yang Anda perlukan. Anda juga bisa membeli kekuasaan di tingkat kelurahan sampai ke tingkat menteri. Berbahagialah Anda, Tuan Djoko. Berbahagia karena berhasil mempermalukan kami yang masih merasa terhina oleh tindakan Anda. Harus diakui, banyak orang yang merasa tidak terhina oleh perilaku Anda. Anda tidak salah, Tuan Djoko. Yang salah adalah kami-kami yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan perasaan normal para pemimpin dan pejabat tinggi kami. Yang sejak lama sudah terbiasa direndahkan, dihina, dan dilecehkan oleh orang-orang hebat seperti Anda. Kami belum sanggup seperti mereka. Mereka merasa tak terhina, tak tercela, ketika mendengar Anda bisa keluar-masuk di ruangan kerja para petinggi negara yang kami anggap mewakili martabat rakyat. Anda tidak salah, Tuan Djoko. Yang salah adalah kami semua. Kami sangka Pancasila itu diamalkan oleh para pemimpin kami sesuai dengan ceramah mereka. Ternyata sudah lama dilakukan ‘penyesuaian’ pengamalan Pancasila dengan ‘kebutuhan’ zaman. Rupanya, selama ini para pemimpin atau pejabat kami meneriakkan Pancasila hanya untuk menyebut kami teroris, radikal, ISIS, khilafatis, anti-NKRI, dan lain sebagainya. Kami sangka mereka benar-benar berpancasila. Kami tak menduga kalau mereka itu sudah lama berpura-pura. Kami yang tak sadar bahwa Pancasila sudah disimplifikasikan menjadi panduan yang luwes (fleksibel) agar para petinggi bisa beradaptasi dengan suasana kompetitif. Kami terlambat tahu bahwa belakangan ini memang dibangun kompetisi di kalangan para petinggi. Yaitu, kompetisi menjual kekuasaan supaya ada ‘penerimaan non bujeter’ yang lebih besar. Dengan kompetisi itu, para pemegang kekuasaan akan berlomba atau bersaing untuk mendapatkan hasil penjualan terbanyak. Termasuk bersaing dalam merebut pembeli kekuasaan kelas paus. Tampaknya, Tuan Djoko bisa dikategorikan ke dalam daftar pembeli papan atas. Bisa diberi penghargaan “best buyer”. Pembeli terbaik. Pantasanlah kemarin itu Tuan Djoko Tjandra memberikan teladan kepada para konsumen penikmat kekuasaan. Teladan tentang bagaimana cara melecehkan martabat rakyat, bangsa dan negara ini. Penulis adalah Wartawan Senior.