HUKUM

Kasus MeMiles, “Kapolda Jatim Permalukan Polisi”

By Kisman Latumakulita Yth. Pembaca setia Portal Berita FNN.co.id yang budiman, khususnya member MeMiles,,, Dengan Hormat !!! Mengingat tulisan dengan judul “Kasus MeMiles, Kapolda Jatim Permalukan Polisi” kini punya frekwensi pembaca yang tinggi. Sejak ditayangkan Jum’at sore 31 Januari 2020, sekitar pukul 16.00 WIB sampai saat ini Senin 3 Februari 2020, pukul 15,18 WIB telah dibaca 16.855 kali. Dan yang memberikan tanggapan sebanyak 242 kali. Dari jumlah tanggapan yang masuk, sekitar 99% menyatakan sangat sangat dan sangat diutungkan dengan adanya MeMiles. Sebaliknya, hanya sekitar 1% menolak kehadiran Memiles. Mereka yang yang menyatakan diuntungkan perekonominan mereka, terutama ibu-ibu para janda yang menanggung dan menghidupi sendiri anak-anaknya, yang jumlahnya antara 2-5 orang Berkaitan dengan itu, Redaksi Portal Berita FNN.co.id telah memutuskan untuk melanjutkan tulisan MeMiles tersebut dari berbagai sudut pandang. Misalnya, 1. aspek hukum secara keseluruhan, khususnya dari sudut pandang tata negara, 2. kaitan dengan persaingan di pelaku bisnis top up, 3. skema piramida ponzi, 4. dampak keberadaan dan penutupan MeMiles terhadap perekonomian nasional, khususnya 270.000 an para member MeMiles. Untuk itu, kami sangat membutuhkan data-data untuk mendukung penulisan nanti. Misalnya, akte pendirian PT. Kim and Kim, SIUP PT. Kim and Kim, SITU PT. Kim and Kim dan NPWP PT. Kim and Kim. Begitu juga dengan cerita-cerita para members tentang manfaat atau keuntungan yang sudah didapat dari menjadi members MeMiles Data-data tersebut sangat penting bagi kami. Tujuannya, untuk menghindari kami menulis dengan sebutan “mengarang bebas dotcom”. Artinya, tulisan yang kami tulis tidak diperkuat dengan data-data pendukung yang memadai. Kalau punya data dan cerita tentang MiMiles, tolong japri ke Kisman Latumakulita, telepon/WA 0813-87517000 atau Sri Widodo, telepon/WA 0812- 82312841 Terima kasih atas kesediaannya. Semoga bisa bermanfaat menolong dan membenatu, amin amin amin Salam Hormat !!! Jakarta, FNN - MeMiles, yang disebut sebagai aplikasi investasi, menghebohkan Indonesia. Perkaranya sederhana. Investasi ini dianggap bodong. Tetapi entah bagaimana tersiar kabar terdapat sejumah selebriti ikut di dalamnya. Bahkan Ari Sigit, seorang keluarga Cendana disebut ikut dalam investasi ini. Ari, dalam berbagai berita, telah mendapat mobil dari keikutsertaan di Memiles. Entah sebagai komisi atau bonus. Tidak hanya Ari, selebriti lain, bahkan politisi di Senayan juga ikut berinvestasi di MeMiles. Politisi ini, dalam sejumlah berita mungkin akan diminta keterangannya oleh penyidik. Gali lobang tutup lobang. Begitulah sebagian orang menyebut pola ini, entah investasi atau bukan. Uang dari anggota baru, dipakai menutup uang dari peserta sebelumnya. Begitu katanya. Namun apa iya begitu? Disitu soalnya. Hanya dalam delapan bulan PT. Kam and Kam yang menyelenggarakan MeMiles telah berhasil meraup uang dari anggotanya sebanyak Rp 750 miliar. Pada saat penangkapan, penyidik berhasil menyita uang sebesar Rp 122 miliar. Luki Hermawan, yang berpangkat Irjen Polisi, dan menjabat sebagai Kapolda Jawa Timur menyebut selama delapan bulan beroperasi, MeMiles berhasil menarik sebanyak 264 ribu anggota (Liputan6.com 18/1/2020). Sistem kerja invesatasi ini, setiap anggota yang berhasil merekrut anggota baru mendapat komisi dan bonus dari perusahaan. Jika ingin memasang iklan, anggota harus memasang top up, dan dana dimasukan ke rekening PT. Kam and Kam. Dengan melakukan top up, anggota bakal memperoleh bonus bernilai besar. Dana yang masuk antara Rp 50.000. (lima puluh ribu rupiah) hingga Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah). Anggota banyak tergiur karena bonus yang bakal (Liputan6.com 18/1/2020). Masalahnya adalah apa betul orang yang “katanya” top up Rp 50.000 atau Rp 200.000, benar-benar memperoleh bonus? Terlepas dari apapun bentuknya. Bila bonus atau reward berbentuk barang seperti mobil, motor, hand phone tentu bisa disita. Tetapi bagaimana bila yang diterima sebagai bonus itu bentuknya umroh? Bagaimana menyita umroh? Itu masalahnya. Itulah soalnya, yang mau tidak mau Pak Kapolda harus menjelaskannya secara rasional. Apalagi dalam kasus ini sesuai berita yang beredar, ada kemungkinan diterapkan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Ini semakin menambah persoalan baru lagi. Ini berarti Kapolda harus dapat menjelaskan bahwa bonus atau reward yang diterima mereka itu adalah uang illegal. Mereka yang telah menerima bonus dan sejenisnya itu adalah bagian integral dari perbuatan kejahatan. Itu berarti Kapolda harus dapat pastikan bahwa usaha ini illegal. Ada orang tergiur dengan bonus sehingga berlomba menjadi anggota MeMiles. Apakah bonus sebagai godaan itu salah? Ini juga persoalan lain Pak Kapolda. Tetapi yang paling penting adalah apakah orang-orang itu benar-benar mendapat bonus atau apapun namanya dari uang top up, yang menurut berita di atas masuk ke dalam rekening PT. Kam and Kam yang menyelenggarakan apilkasi investasi itu? Ini semakin rumit Pak Kapolda. Kenapa menjadi rumit? Apakah dengan beli atau top up itu sama dengan berinvestasi? Bila itu investasi, apakah sebelum top up mereka telah dijelaskan bahwa dengan menaruh uang disini, dan anda akan dapat uang berlipat-lipat? Meski demikian, lupakah pembicaraan yang menunjukan bahwa PT. Kam and Kam meyakinkan atau mengajak orang berinvestasi. Persoalannya bila mereka mendapat manfaat, bonus atau reward atau apapun namanya lebih besar dari uang yang di top up tersebut. Apakah mendapatkan dengan keuntungan yang lebih besar dari modal dikeluarkan itu adalah salah Pak Kapolda? Padahal mereka, anggota-anggota tersebut merasa ini masuk akal. Taruh uang kecil, tetapi pada saat tertentu dapatnya lebih banyak. Kan itu masuk akal Pak Kapolda. Bila begitu adanya, apanya yang salah Pak Kapolda? Dimana letak bohongnya? Dimana letak kerugian orang yang melakukan top up? Kalau tidak top up, bagaimana mereka bisa pasang iklan di market place?, Lalu soalnya barang apa yang diiklankan, dan punya siapa barang itu? Kalau barang yang diiklankan itu punya anggota, dan melalui iklan tersebut barangnya ternyata dapat dibeli orang. Lalu apanya yang salah Pak Kapolda? Dimana posisi kerugian anggota Pak Kapolda? Sebagai jurnalis yang memulai karir di bidang ekonomi, dari Harian Ekonomi NERACA, dan sering meliput di Pasar Modal, kasus ini menjadi menarik. Apalagi penydik menggunakan pasal 24 jo pasal 106 dan pasal 105 jo 9 Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Kabar terakhir, pinyidik Krimsus Polda Jawa Timur juga menggunakan pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) jo pasal 16 ayat (1) Undang-Undang No. 10 tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dalam kasus MeMiles ini (Kompas, 16/1/2020). Kalau dicek pasal 106 jo pasal 24 dan atau pasal 105 jo psl 105 Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, itu bercerita tentang perdagangan tanpa izin. Sedangkan khusus pasal 9 jo pasl 105 itu bercerita tentang perdagangan dengan skema berjenjang. Kalau perdagangan tanpa izin, maka yang bertanggung jawab adalah yang melakukan perdagangan itu. Itu berarti, anggota yang melakukan top up, sama dengan membeli jasa yang didagangkan oleh pedagang. Pedagang dalam hal ini adalah PT. Kam and Kam. Orang yang membeli atau top up, mungkin mengajak orang lain untuk ikut top up. Apakah dengan mengajak orang lain ini masuk dalam kategori skema perdagangan berjenjang? Bagi saya ini persoalan lain yang semakin serius Pak Kapolda. Ini bukan persoalan kecil. Kalau beli atau top up, yang tak tahu bahwa pelaku perdagangan itu tak memiliki izin, atau perdagangan itu bersifat skema berjenjang, apakah orang ini juga salah? Orang yang tidak tahu hal-ihwal perusahan, ikut disalakan? Mereka membeli dari pedagangan yang menjalankan usahanya tanpa izin. Pak Kapolda tolong tunjukan, ada aturan hukum di planet mana, bila orang yang mau membeli sesuatu barang harus memperoleh izin terlebih dahulu sebelum membeli? Kalau sampai itu terjadi, bisa rusak tatanan pedagangan dan ekonomi bangsa ini Pak Kapolda. Indonesia bakal menjadi negara dengan sistem perdagangan paling aneh di muka bumi ini, karena membeli harus dengan izin. Pak Kapolda Jawa Timur sebaiknya membaca lagi berulang-ulang Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan. Sebab di undang-udang perdagangan ini, tidak ditemukan ada satu pasalpun yang mengatur izin bagi pembeli. Atau pembeli harus mendapatkan izin terlebih dulu sebelum membeli. Rasanya tidak masuk akal, harus menghukum pembeli, Pak Kapolda. Hanya karena membeli barang dari usaha yang tidak punya izin. Walau bukan sarjana hukum, rasanya tidak mungkin menyalahkan pembeli yang membeli barang dari pedagang, termasuk perusahaan yang menjalankan usaha tanpa izin usaha. Sebaliknya kalau usaha ini dikatakan usaha perbankan, menghimpun dana masyarakat tanpa izin, maka persoalannya juga sama. Yaitu bukan nasabah yang harus diminta bertanggung jawab. Menurut saya yang harus tanggung jawab adalah yang menyelenggarakan usaha perbankan itu. Memang sekilas orang bisa menyatakan atau menyamakan usaha Kam and Kam itu layaknya usaha perbankan. Tetapi menurut saya ini juga menjadi persoalan lain. Tidak ada instrument, misalnya deposito, kliring, penarikan uang melalui ATM, atau penarik secara manual, atau lainnya sebagai lazimnya unit usaha perbankan. Uang memang masuk ke rekening PT. Kam and Kam, tetapi rasanya tidak tepat disebut usaha ini sebagai usaha perbankan. Tidak mungkin, karena tidak ada uang yang ditarik seperti penarikan uang di bank. Kalau diperhatikan berita-berita yang dikutip di atas, seperti uangnya anggota yang dipakai untuk top up, tidak lagi menjadi miliki pembeli top up. Jadi bagaimana disamakan dengan usaha perbankan? Dalam usaha perbankan uang nasabah, sampai kapanpun tetap sebagai uang nasabah. Itu sebabnya nasabah dapat menarik, dan mengambil kembali uang itu kapan pun nasabah mau. Inilah yang saya sebut kasus ini sangat menarik Pak Kapolda. Anehnya lagi, uang yang disita ditujukan kepada masyarakat. Nah ini juga menarik Pak Kapolda. Yang saya tidak mengerti adalah uang yang disita itu sangat besar nilainya. Besarannya mencapai ratusan miliar. Bukan soal sitanya dan besaran atau jumlah uang disita. Bukan itu Pak Kapolda. Yang menjadi soal adalah uang yang disita tersebut. Dengan jumlahnya yang sangat luar biasa besar itu dibawa ke Polda Jawa Timur. Ditunjukan kepada publik sebagai barang sitaan. Rasa-rasanya tidak begitu juga Pak Kapolda. Yang saya tahu, sebagai wartawan yang beralih meliput di bidang hukum dan politik, terutama ketika di Majalah FORUM Keadilan, sita uang di bank dilakukan hanya dengan cara memblokir rekening para tersangka. Uangnya tidak diambil atau dikeluarkan dari bank, seperti yang dilakukan Polda Jawa Timur. Uangnya tetap dibiarkan di rekening itu dengan status disita. Ada soal lain lagi Pak Kapolda. Yaitu penyitaan terhadap mobil. Yang saya tahu, hanya mobil yang telah disita. Yang menarik adalah jumlah mobilnya tidak seberapa. Kalau tidak salah tidak lebih dari enam unit mobil. Soalnya mengapa hanya mobil yang disita. Penyidik Krimsus Polda Jatim tahu bahwa ada mereka yang melakukan top up itu dapat mobil, motor dan hand phone, bahkan ada yang dapat umrah. Mengapa motor, hand phone, dan lainnya tidak disita Pak Kapolda. Kalau jumlah anggotanya dua ratus ribu lebih, tentu motor dan hand phone, harusnya telah banyak. Nah yang motor, hand phone, dan umroh disita apa tidak Pak Kapolda? Ini harus dijelaskan Pak Kapolda. Apa pertimbangan yang Kapolda punyai sehingga Polda Jawa Timur perlu menunjukan uang itu, dalam arti dibawa ke Polda. Saya tidak ingin bertanya tentang ditaruh dimana uang itu saat ini, karena saya yakin akan ditaruh di bank dalam status uang sitaan, atau barang sitaan. Tetapi tetap Kapolda harus jelaskan tindakan penyidiknya membawa fisik itu ke Polda. Saya mengusulkan Pak Kapolri memerintahkan pengawas penyidikan untuk turun ke Polda Jawa Timur. Demi menjaga marwah Kepolisian yang sedang diusahakan terus menerus oleh Pak Kapolri saat ini, ada baiknya Pak Kapolri bentuk tim pengawas ke Polda Jawa Timur untuk memastikan semua tindakan penyidikan, penerapan pasal, dan penyitaan yang uangnya dibawa ke Polda, masuk akal secara hukum. Penulis adalah Wartawan Senior Kapolda Jawa Timur Irjen Polisi Luki Hermawan

Yasonna Laoly Dipukul KO, Ronny Sompie Terkapar

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Ada pertanda virus Corona masuk ke Indonesia. Menkumham Yasonna Laoly, kemarin (28/1/2020) memecat Dirjen Imigrasi Ronny Sompie. Jhoni Ginting ditunjuk sebagai pelaksana harian (Plh). Tanpa bertanya mengapa dipecat, Anda tentu masih ingat perihal simpangsiur keberadaan Harun Masiku –tersangka penyuap bekas komisioner KPU, Wahyu Setiawan. Harun sampai sekarang belum juga “bisa ditangkap” KPK meskipun sudah berada di Indonesia. Sekadar mengingatkan, ketika KPK mau menangkap Harun pada 8 Januari 2020, Yasonna mengatakan kader PDIP yang menyogok komisioner KPU itu sedang berada di luar negeri. Tepatnya di Singapura. Padahal, berbagai sumber resmi mengatakan Harun ada di Indonesia. Harun pergi ke Singapura pada 6 Januari, pulang ke Jakarta keesokan harinya, 7 Januari. Waktu itu dia diduga bersembunyi di kompleks PTIK. Mengapa Ronny Sompie dipecat? Pertama, Ronny lupa bahwa dalam kasus Harun Masiku ini, Yasonna cenderung memposisikan dirinya sebagai petugas PDIP. Jadi, otomatis dia membawa misi #SelamatkanPDIP. Dalam hal ini, Yasonna seolah menjadikan Kemenkumham sebagai bagian dari struktur PDIP. Artinya, Yasonna pun berharap Ronny Sompie menjadi “orang PDIP” juga dalam ribut-ribut soal Harun. Agar bertindak sesuai misi Yasonna. Di sinilah kekeliruan Ronny. Beliau ini abai membaca “mode switching” (perubahan moda) Yasonna dari Menteri Kumham ke petugas PDIP. Akibatnya, Ronny Sompie salah langkah. Ronny wrong-footed. Melenceng dari skenario yang sedang tayang. Akibatnya, Ronny bertabrakan “laga kambing” alias “head on” dengan Yasonna. Bagaimana tidak? Pada tanggal 16 Januari 2020, Yasonna mengatakan Harun masih berada di luar negeri. Sebaliknya, Ronny mengatakan bahwa pihak Imigrasi sudah tahu Harun kembali ke Indonesia pada 7 Januari 2020 tetapi datanya terlambat dilaporkan. Kedua, Ronny mempermalukan Pak Bos. Yasonna hancur di mata publik. Tetapi, Pak Menteri masih punya kekuasaan besar. Dia bisa lakukan apa saja terhadap Ronny yang dianggap “menyimpang” dari misi Yasonna sebagai orang partai. Mantan Dirjen Imigrasi yang juga pensiunan polisi berbintang dua (Irjenpol) itu tinggal tunggu waktu. Kemarin, 28 Januari 2020, tibalah waktu yang ditunggu. Yasonna memecat Ronny. Tapi, apakah kesimpangsiuran soal Harun Masiku sudah selesai dengan pemecatan ini? Belum. Masih jauh. Yasonna ingin mengembalikan reputasinya. Dia membentuk tim penyelidik gabungan untuk mengungkap secara “transparan” tentang simpangsiur keberadaan Harun. Dari sisi Ronny pun tidak bisa dikatakan selesai. Bisa saja Ronny akan melakukan manuver “nothing to lose” untuk melawan pemecatan dirinya oleh Yasonna. Bisa jadi Ronny merasa diperlakukan sewenang-wenang oleh Yasonna. Apalagi alasan pemecatan yang disebutkan Yasonna sangat tidak meyakinkan. Yaitu, bahwa Yasonna ingin agar penyelidikan tim gabungan antarlembaga nantinya bisa berjalan lancar tanpa ‘conflict of interest’ kalau Ronny masih menjadi Dirjen Imigrasi. Alasan ini berlebihan. Sebab, tim gabungan itu 99.99% tidak mungkin bisa didekati, apalagi diintervensi, oleh Ronny agar membuat kesimpulan yang menyenangkan dirinya. Sebaliknya, apakah hasil kerja tim gabungan pencari fakta tentang simpangsiur itu akan menguntungkan Yasonna? Dipastikan “big NO”. Tidak akan. Apa pun hasilnya, posisi “luka berat” Yasonna tidak terobati. Sebab, publik sejak awal mencermati perilaku bias Yasonna. Sebagai menteri, apalagi Menteri Hukum, Yasonna menunjukkan tindakan partisan yang hitam-putih, tidak abu-abu, ketika ikut dalam pembentukan tim hukum PDIP terkait kasus Harun Masiku. Di sini, Yasonna jelas, ‘crystal clear’, dan kental sekali mendahulukan kepentingan partainya, PDIP, di atas kepentingan negara, bangsa dan rakyat yang sedang berusaha memberantas korupsi. Dalam hal ini, kepentingan untuk menegakkan hukum ke atas Harun Masiku dan bekas komisioner KPU, Wahyu Setiawan, yang terbukti melakukan sogok-menyogok. Setelah ikut membidani tim hukum PDIP, Yasonna masih meneruskan langkah konyol. Dia menunjukkan bias yang kedua kalinya ketika menerobos masuk terlalu jauh ke perdebatan soal kebedaraan Harun. Di titik ini, Yasonna tidak memposisikan dirinya sebagai pejabat negara. Dia tidak berdiri sebagai wasit. Yasonna masuk ke gelanggang sebagai manajer tim silat PDIP. Yasonna memakai jaket merah Banteng ketika dia berhadapan “head on” dengan Ronny Sompie. Seharusnya, Yasonna cukup menyerahkan urusan keberadaan Harun itu kepada Ronny Sompie sebagai dirjen imigrasi waktu itu. Biarkan saja Ronny yang berbicara kepada media. Supaya tidak simpangsiur. Kalau sejak awal hanya Dirjen Imigrasi yang tampil ke publik, tentu tidak perlu Yasonna terjebak dalam kontroversi yang semakin rumit sekarang ini. Tapi, karena Yasonna sejak awal ingin mengendalikan itu agar sesuai dengan misi partisan yang dia emban, beginilah kesudahannya. Dia berhadapan dengan Ronny Sompie. Naik ring. Dalam dua ronde, Ronny memukul Yasonna sampai KO. Cuma, Yasonna main curang. Dia bangun dari KO dan secepat kilat mencabut senjata pamungkasnya. Ronny Sompie terkapar dengan hunjaman belati. Yasonna disoraki publik. Sedangkan Ronny dilepas sebagai pahlawan.[] 29 Januari 2020 Penulis wartawan senior.

Harun Masiku, Bukan Oswald Penembak John F. Kennedy

By Dr. Margarito Kamis Jakarta, FNN - Harun Masiku, pria yang sebelum ledakan Operasi Tengkap Tangan (OTT), tak dikenal publik telah hilang dari orbit hukum, sejauh ini. Sebagai ikutannya, ketidakjelasan berserakan disepanjang kasus ini. Siapa Harun? Apa hebatnya dia? Harun bersembunyi atau disembunyikan? Apakah Harun punya fakta kunci, layaknya kunci kotak Pandora? Siapa Harun ini, sehingga Kementerian Hukum dan HAM yang dipimpin Yasona Laoli, yang juga Ketua Bidang Hukum DPP PDI-P, harus menggunakan kekurangan teknis menerangkan perbedaan data Harun keluar dan masuk kembali ke Indonesia? Harun takut berurusan dengan KPK atau orang lain lebih dari takut bila pengetahuan Harun ditulis dalam berita acara pemeriksaan oleh penyidik KPK? Harun kah yang berada di pusat gagasan “pergantian antar waktu” anggota DPR RI dari PDI-P atau siapa? Bila ya, hebat sekali Harun ini. Berada di urutan “tak masuk akal” dari orang lain pada “urutan masuk akal”, tetapi menjadi subjek hak “menggantikan” calon terpilih. Ini satu loophole. Serba tak jelas, dan memancing satu demi satu pertanyaan. Itulah kasus Harun. Ini mengingatkan siapapun yang memperlajari tata negara dan ilmu politik tentang pergantian Presiden Kenedy. Presiden tampan, muda dan pintar, yang mengagumi Bung Karno ini, mati ditembak. Fakta resminya Kenndedy ditembak oleh Lee Harvey Oswald. Harun Masiku tak mungkin, dengan pertimbangan apapun, bisa dianalogikan dengan Lee Harvey Oswald. Itu jelas tidak. Harun, kabarnya menurut Hasto adalah penerima beasiswa Ratu Inggris dan memiliki kompetensi dalam International Economic Law (Warta Ekonomi.co.id, 24/1/2020). Oswald tidak. Oswald juga bukan politisi. Harun, entah apa kehebatannya sejauh ini, belum ditemukan oleh KPK. Sungguhpun belum ditemukan, status hukumnya pada kasus OTT Komisioner KPU, telah dibuat jelas oleh penyidik KPK. Harun telah ditetapkan jadi tersangka. Oswald juga, tapi mati dua hari setelah Kennedy mati ditembak. Oswald menjadi tersangka hanya dua hari. Ia mati tak lama setelah Kenendy tertembak. Ia mati dirumah sakit Parklane Memorial Hospiptal Dalas, sama satu kota dengan matinya Kennedy. Oswald mati karena ditembak oleh Jack Ruby, penjaga keamaan di salah club malam di Dallas. Ia ditembak di ruang bawah Kantor Kepolisian New Orleans. Menariknya belakangan Ruby teridentifikasi sebagai agen CIA. Eksplosif, Oswald yang ditemak mati oleh Ruby, dinilai bukan Oswald yang diyakini sebagai menembak Kennedy. Sementara Oswald yang sebenarnya tidak diketahui rimba dan eksistensinya. Oswald adalah pria yang teridentifikasi sebagai mantan mariner. Ia pernah bertugas pada Office of Naval Intelligence (ONI). Setelah selesai berdinas di Marinir, Oswald ke Rusia. Ketika di Rusia ia betemu Mariana, dan cinta membawa keduanya kejalinan perkawinan. Siapa Mariana? Belakangan Mariana teridentifikasi sebagai agen KGB. Harun, entah telah berkeluarga atau belum, telah ditetapkan penyidik KPK menjadi tersangka. Tetapi Hasto, Sekjen PDPI-P, yang diberitakan diare sehingga tak bisa mengikuti gladi bersih (CNNIndonesia, 9/1/2020), usai diperiksa sebagai saksi di KPK, menyatakan Harun itu korban (CNNIndonesia, 25/1/2020). Akankah pernyataan ini membuat penyidik KPK gembira? Jangan berasumsi. KPK, dipastikan lebih tahu makna pernyataan itu dalam kerangka teknis penyidikan. Akankah penyidik KPK menilai pernyataan itu sebagai conclusive and determinative statement? Terserah KPK. Mungkin penyidik KPK menilai pernyataan itu based on fact? Penyidik KPK yang tahu dari siapapun. Harun caleg PDI-P, itu jelas. Tetapi siapa dia dipanggung publik tak banyak yang tahu. Sama dengan Harun, siapa Lee Harvey Oswald, yang mati dua hari setelah “katanya” menembak mati Kennedy, juga tak jelas. Oswald, pria beristri Mariana, agen KGB ini, dikatakan sebagai seorang marxis. Oswald, pria cerdas yang pernah berdinas di Angkatan Laut Amerika, khususnya di Office of Naval Intelliegenc (ONI), bekerja sendiri atau bekerja dalam satu plot besar, tetap menjadi soal hingga sekarang. Walau begitu kecenderungan mutakhir mengarah ke kongklusi Oswald tak sendirian. Ia hanya satu diantara serangkain elemen kunci dalam plot. Tidak sama persis, tetapi menarik, pada kasus Harun, Bidang Hukum DPP PDI-P membentuk Tim Hukum. Tim ini berisi ahli hukum dan politisi. Di sisi lain dalam kasus Oswald, Amerika membentuk Komisi Warren (Earl Warren adalah Ketua Mahkamah Agung). Pembentukannya diperintahkan oleh Lyndon B. Johnson berdasarkan resolusi Kongres. Komisi ini beranggotakan sejumlah politisi dan mantan Direktur CIA. Richard Russel (Senator), John Sherman (Senator, Republik), Gerald Ford (House of Representative), Halle Boggs (Demokrat, House of Representative), Allen Dulles (Former Dir. of CIA), John Mcloy (Former President of World Bank). Sebagian saksi diperiksa secara terbuka. Sebagian lagi tertutup. Mereka dilarang untuk menyebarkan keterangannya ke publik. Apa saja hasilnya? Tetap Standar. Oswald adalah pemain tunggal. Sialnya lagi, temuan komisi ini menuai ejekan. Harun bekerja sendiri menempatkan dirinya sebagai pengganti antar waktu? Ini jadi crussial point of analysis. Inilah soalnya. Akankah penyidik mengarahkan ketajaman profesional feelingnya mengenali kenyataan ini? Bukan malah mengabaikannya? Itu urusan penyidik. Jangan berspekulasi dulu. Lupakan teori konspirasi, sebagaimana ditunjuk Komisi Warren. Tetapi mari mengenali pernyataan Clarence Calley, mantan Direktur CIA yang secara malu-malu, seperti dilansir The Guardian (26/10/2017) mengungkap apa yang mereka alami. Calley menegaskan pada tahun 1987 bahwa bila saja CIA segera merespon info tentang penembakan Kennedy, tidak ada yang meragukan Kennedy tidak akan terbunuh. Dilansir The Guardian (24/11/2018) setahun kemudian, Roy Truly, Direktur dan Menejer Personalia pada The Texas School Book Depository, tempat yang diidentifikasi Oswald melepaskan tembakan, tidak pernah didatangi oleh FBI atau Secret Service. Tidak ada komunikasi, apalagi verifikasi tempat. Padahal cara ini lazim dilakukan bila satu daerah akan didatangi itu pejabat terkemuka. Cukup menantang, Kennedy ke Dallas, tetapi Kepolisian Dallas dan Secreet Service seperti dicatat Colleman, malah menarik perlindungan mereka. William McKinney, mantan anggota kelompok intelijen Militer ke-112 di Markas Besar Angkatan Darat ke-4, Fort Sam Houston, Texas, tulis Colemman, mengungkapkan bahkan baik Kolonel Maximillian Reich maupun Letnan Kolonel Joe Cabaza mengajukan protes keras ketika diperintahkan untuk “stand down - istirahat” pada 22 November 1963. McKinney menyatakan lebih jauh “yang harus Secret Service lakukan saat itu hanyalah mengangguk dan unit-unit ini, yang sudah dilatih oleh sekolah intelijen top Angkatan Darat di Kamp Halabird, Maryland, akan melaksanakan fungsi normal mereka, yaitu perlindungan untuk Presiden, di Dalas. Faktanya malah mereka disuruh istirahat. Mckinney lebih jauh menyatakan di Kamp Halabird, diberikan kelas-kelas sangat terspelisasi mengenai perlindungan. Ini mencakup pelatihan yang dirancang untuk menyiapkan unit tentara untuk membantu Secret Service. Seandainya dukungan kami tidak ditolak, kami akan berada di Dalas saat itu. Apakah Kennedy telah ditentukan akhir hidupnya? Itu soal besar lainnya. Tetapi Coleman menulis Kenndey pernah memberitahu istrinya “Henry Kisinger itu gila.” Kennedy juga melarang Kisinger mendekati gedung putih. Kennedy seperti diungkap John Colleman, dalam Committee 300, juga diketahui menganggap hubungan khusus Inggris dengan Amerika tidak lain adalah “Kendali khusus.” Dalam OTT awal tahun ini da Harun, ada Wahyu Setiawan, ada Agustina Tio Friedelima dan Syaiful Bahri, pihak swasta (Tempo.co.id, 16/1/2020). Disisi lain ada Oswald, Ferrie Russo yang mengenal Oswal sebagai Leon Oswald, dan Clay Bentrand tidak lain adalah Clay Shaw, dan David Ferrie yang tidak lain adalah Guy Baniester menjadi figur kunci, pemain lapangan pembunuhan Kennedy (JFK online). Sial, keterangan Russo dalam persidangan Clay Shaw tahun 1963 bahwa Clay Shaw tidak lain adalah Bertrand Shaw atau Bertrand Shaw tidak lain adalah Clay Shaw disanggah, baik oleh Shaw sendiri maupun saksi lainnya. Russo dianggap berada dalam pengaruh obatan-obatan. Padahal nama itu, Clay Bertrand yang tidak lain adalah Clay Shaw juga diterangkan oleh William Moris dan Jessie Parker. Tetapi akhir yang pahit sepertinya telah ditentukan. Hakim John Hasting yang memimpin sidang menerima sanggahan itu. Praktis kasus pembunuhan Kennedy, Presiden yang menurut John Delane William dalam bukunya Lee Harvey Oswal, Lyndon Johnson and the JFK, pintar dan cinta damai itu, telah lama berlalu. Telah menjadi sejarah buram, kelam, hukum dan demokrasi Amerika. Akhir yang pahit, itulah kenyataannya. Hanya orang lapangan dilevel kecil, terbawah yang dibawa ke pengadilan. Itulah hukum di dunia demokrasi. Begitu pulakah hukum dan politik bekerja pada kasus Harun? Dilarang berprasangka. Tidak ada alasan untuk mengatakan akhir kasus ini sama dengan akhir kasus Oswald. Faktalah yang bicara kalak. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

Harun Masiku, “Destroyer” Kandang Banteng!

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Bahtera PDIP dikabarkan retak. Sejumlah faksi yang selama ini diam mulai bermunculan. Dan, dua faksi besar yang selama ini berseberangan saling intip untuk menjadi penguasa “kandang banteng” Megawati Soekarnoputri itu. Pemicunya tak lain dan tak bukan kasus buronan KPK Harun Masiku dan dugaan keterlibatan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto terkait suap yang dilakukannya. Sebuah kasus yang bermuara pada OTT Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Kandang banteng yang terbelah ini diduga melibatkan Puan Maharani dan Hasto. Dan, Puan Cs tampaknya jengah dengan kiprah Hasto yang diduga terlibat dalam kasus Harun Masiku dan Wahyu Setiawan. Sedangkan kubu Hasto, tampaknya ingin mempertahankan status quo. Apakah si Puteri Mahkota, yang meski sedikit mengelak mengomentari masalah keterlibatan Hasto dalam kasus Harun Masiku itu, berhasil “membersihkan” PDIP sekaligus yang citranya terpuruk saat ini? Ataukah justru Hasto Cs dengan kekuatan di belakangnya yang masih dapat mempertahankan status quo? Kuncinya ada pada ke mana faksi-faksi lain berlabuh. Juga, tingkat keberhasilan KPK “memaksa” Hasto buka suara siapa yang lindungi Harun Masiku. Fakta yuridis, Hasto Kristiyanto kini berada di pusaran kasus suap Wahyu Setiawan. Dalam statusnya sebagai saksi, Hasto telah dipanggil KPK, Jumat (24/1/2020). Jika hasil pemeriksaan saksi lainnya mengarah adanya keterlibatan Hasto, bisa jadi ia bakal menyusul jadi tersangka pula Di internal PDIP pasca terkuaknya kasus suap itu, beberapa kader gusar dengan aksi KPK menangkap dua mantan calegnya, yakni Saeful Bahri dan Agustiani Tio. Satu caleg PDIP lainnya, Harun Masiku, dimasukkan dalam daftar buronan. Citra partai jadi taruhan. PDIP terbelah menyikapi sengkarut kasus pengurusan PAW DPR dari almarhum Nazaruddin Kiemas kepada Harun Masiku di Dapil Sumsel I. Petinggi PDIP, Puan Maharani disebut ikut gusar melihat manuver partai banteng di bawah komando Hasto Kristiyanto ini. Mengutip sumber dari Merdeka.com di internal PDIP mengungkap kegusaran Puan atas kasus yang mencoreng wajah partai. Namun dia tak bisa berbuat banyak. Sebab, ada faksi lain yang tak kalah kuat di belakang petinggi partai yang disebut terlibat. Lalu Puan pun cenderung memposisikan diri di luar partai. “Itu tanyanya ke PDIP. Bukan ke Ketua DPR,” kata Puan saat ditanya tentang kasus Harun Masiku ditemui di Jogjakarta, 20 Januari lalu. Ketua DPP PDIP, Bambang Wuryanto mengakui, kandang banteng terbelah menyikapi kasus Harun Masiku. Namun, kata Bambang, dalam sebuah organisasi, perdebatan yang terjadi jelang pengambilan keputusan adalah hal biasa. Khususnya terkait pembentukan badan hukum untuk 'meluruskan' derasnya pemberitaan tentang Harun Masiku. PDIP bermanuver dengan membentuk tim hukum, sowan ke Dewan Pers dan polisi. Langkah ini dinilai berlebihan. Sejumlah kader PDIP menganggap hal ini sebagai sikap yang terlalu reaktif. “Itu biasa. Faksi A, faksi B, faksi C. Ada. Saya yakin di TNI pun ada di Polri saya yakin ada (kubu-kubuan),” jelas Bambang di DPR. Bambang juga menanggapi adanya orang-orang yang tak suka dengan keputusan PDIP yang seolah membela habis-habisan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dalam perkara ini. Termasuk kabar Puan Maharani yang tak berada di belakang Hasto. Sekali lagi Bambang menegaskan, perbedaan hal yang lumrah. Tapi, ketika itu sudah menjadi sebuah keputusan organisasi, maka semua harus dijalankan. Mau tidak mau atau suka tidak suka. “Kalau itu (ada yang tidak suka keputusan) misalnya subjektif sangat mungkin, tapi itu tidak mengurangi kalau dia diperintah kemudian berhenti. Misal anggap si X enggak cocok dengan keputusan partai misal pak sekjen, tapi kita pasti ikut,” lanjut Bambang. Sekretaris Fraksi PDIP di DPR Andreas Hugo Pareira sendiri membantah partainya reaktif menanggapi kasus Harun Masiku. Dia mengatakan, tim hukum dibentuk untuk melawan upaya framing yang dilakukan pihak tertentu untuk menyudutkan PDIP. Dia melihat ada opini yang hendak dibentuk bahwa PDIP melawan KPK. Hal ini yang perlu diluruskan. Hal itulah yang menjadi salah satu fungsi tim hukum. “Ada framing begini-begini, ini bahaya. Kejahatan framing itu berbahaya,” jelas Andreas. Sementara Politikus senior PDIP Effendi Simbolon ogah menanggapi perkara Harun Masiku yang membelit sejumlah caleg partainya. Effendi Simbolon yang selama ini dikenal keras berseberangan dengan internal PDIP, lebih memilih diam. Harun “Sakti” Hingga tulisan ini selesai, Harun Masiku belum juga ditemukan keberadaannya oleh KPK. Ia masih dinyatakan “buron”. Di sini mulai ada kecurigaan, ada “kekuatan besar” yang berusaha melindungi Harun Masiku sejak pulang dari Singapura, 7 Januari 2020. Koran Tempo membongkar data penerbangan dan kedatangan Harun di Bandara Soekarno-Hatta. Ia terbang menggunakan pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA 832 dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Bandara Changi, Singapura, pada 6 Januari lalu. Sehari kemudian, Harun kembali dari Singapura menumpang pesawat Batik Air dengan nomor penerbangan ID 7156. Pesawat dengan nomor registrasi PK-LAW ini terbang pada pukul 16.35 waktu setempat dari Gate A16 Bandara Changi. Hasil penelusuran Tempo diperkuat dengan rekaman kamera CCTV Bandara Soekarno-Hatta serta pengakuan Hildawati Jamrin, istri Harun. Pada saat operasi penangkapan, tim KPK mengejar Harun, tapi ia menghilang di kawasan kampus Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta Selatan. KPK hanya menangkap Wahyu dan tujuh orang lainnya. Wahyu diduga menerima suap dari Harun. Suap ini diduga untuk memuluskan jalan Harun menjadi anggota DPR lewat PAW di Dapil Sumsel 1. Wahyu dan Harun, bersama Saeful Bachri dan Agustiani Tio Fridelina ditetapkan sebagai tersangka. Ketiga tersangka sudah ditahan, kecuali Harun yang buron. Sementara Hasto masih menjadi saksi. Namun, jika menelisik upaya KPK yang “memburu” Harun sampai ke PTIK seperti ditulis Tempo itu menyebut ada Hasto di sana, berarti Hasto tersangka. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Asfinawati, menilai bahwa pengaburan informasi tentang keberadaan Harun menjadi indikasi perintangan penyidikan kasus dugaan suap Wahyu Setiawan. Asfi mendesak KPK mengusutnya. “Dalam semua kejahatan politik atau serius, enggak cuma perencanaan, tapi selalu ada penghilangan jejak dan upaya menghindari hukum,” kata Asfi. Tim KPK tak mungkin ke PTIK jika Harun tak di sana! Mengapa Harun dan Hasto ada di PTIK ketika KPK sedang memburu Harun? Dari sinilah sebenarnya KPK bisa dengan mudah menelisik keberadaan Harun. Jika Hasto memang ada, ngapain ia “janjian” ketemu Harun di PTIK segala? Sangat mudah sekali untuk dugaan keberadaan Harun dan Hasto di PTIK tersebut. Sebagai lembaga pendidikan yang mencetak Sarjana Ilmu Kepolisian, tentunya di sana juga terdapat CCTV pada jam-jam seperti pantauan KPK di sana. Jika PTIK tidak transparan mengenai keberadaan Harun dan Hasto di PTIK, seperti ditulis Tempo, maka dugaan adanya upaya melindungi keduanya dengan mengaburkan keberadaan mereka, menjadi semakin menguat: Harun dilindungi! Apalagi, memang ada upaya “menghambat” pantauan KPK atas Harun dan Hasto dari pihak PTIK. Direktur Eksekutif Global Future Institut (GFI) Prof. Hendrajit merinci beberapa aspek profil Harun Masiku. Pertama, dalam bidang kerjaan, konisisten di jalur hukum. Sebagai lulusan perguruan tinggi Inggris yang memilih studi hukum ekonomi internasional, mengisyaratkan bahwa kiprahnya sebagai ahli hukum, merupakan jangkar untuk menangani masalah-masalah bisnis dan perindustrian strategis. Terbukti Harun pernah jadi tenaga ahli di Komisi III bidang hukum. Satu catatan lagi terkait dirinya sebagai pakar hukum. Masiku pernah bekerja di beberapa kantor pengacara. Artinya, seringkali berpindah-pindah kantor hukum. “Biasanya yang punya kebiasaan begini, menggambarkan sosok yang punya bakat khusus menjalankan misi khusus, melampaui profesinya sebagai pengacara hukum,” ungkap Hendrajit. Kedua, berasal dari Makasar, Sulawesi Selatan. Sebuah fakta penting bahwa dirinya berada dalam lingkup pengaruh Jaringan Bugis-Makasar yang punya jaringan luas di berbagai daerah. Ketiga, fakta bahwa dirinya dengan begitu mudah pindah dari Partai Demokrat ke PDIP, padahal pernah jadi timses mantan Presiden SBY. Mengindikasikan adanya jaringan tidak kasat mata yang punya pengaruh kuat baik di Demokrat maupun PDIP. Dengan kata lain, Harun pindah dari Demokrat ke PDIP, bukan sekadar kutu loncat. Ada misi politik. Harun Masiku sepertinya berfungsi sebagai playmaker dalam permainan ini. “Entah kerja buat siapa,” lanjut Hendrajit. Profil Harun Masiku menunjukkan satu hal, bahwa apapun motifnya dia, sosok ini punya style. Kedua, dimanapun lokus permainannya, konsistensi kiprah geraknya adalah bidang hukum dan bisnis. “Jadi, orang ini bukan sekadar operator lapangan. Tapi tahu skema dan strategi permainan,” jelas Hendrajit. Penulis wartawan senior.

Harun Masiku Sedang Mengikuti Diklat Artificial Intelligent

Kelihatannya, sebelum rampung proses fabrikasi Harun menuju “manusia sempurna”, anda belum bisa berharap Harun akan tertangkap. Pantas diduga dia sedang mengikuti latihan menjawab pertanyaan interrogator KPK. Agar jawabannya tidak menjerumuskan pihak-pihak lain, khususnya para pembesar PDIP. By Asyari Usman Jakarta, FNN - Dari caleg PAW yang tak dikenal, Harun Masiku kini menjadi selebriti medsos sekaligus orang yang sangat dibenci PDIP. Tetapi, dia menjadi orang yang sangat, sangat penting. Dalam istilah keprotokolan, Harun disebut sebagai “Very, Very, Important Person”. Disingkat VVIP. Dengan status VVIP, Harun mungkin saja mendapatkan penjagaan keamanan berlapis. Ring 1, Ring 2, Ring 3, dst. Bila perlu dilengkapi dengan sniper (penembak jitu) yang dipasang di posisi-posisi strategis tanpa diketahui publik. Harun tidak boleh terancam. Dia harus berada di lingkungan “zero threat”. Tidak ada ancaman. Untuk itu, semua ruang yang akan dilalui Harun menuju Gedung Merah Putih KPK harus steril dari bahaya. Lebih-kurang, analogi inilah yang sedang berlaku terhadap Harun. Dia, boleh jadi, lebih penting dari pemilik PDIP. Tapi, jelas lebih penting dari Sekjen Hasto Kristiyanto. PDIP tidak akan cedera kalau Hasto diganti kapan saja, oleh siapa saja. Tetapi, kesaksian Harun bisa membuat Banteng luka parah jika apa yang dia katakan tidak sesuai dengan skenario #SelamatkanPDIP. Jadi, di manakah gerangan Harun Masiku berada? Tidak salah kalau Anda menduga dia masih mengikuti “diklat” yang bertujuan untuk mengubah Harun menjadi manusia yang memiliki “artificial intelligent” (kecerdasan buatan). Harun mungkin juga sedang digodok menjadi “scripted” alias “ternaskah” atau “bernaskah”. Artinya, apa yang disimpan Harun di kepalanya haruslah berupa “new knowledge” (pengetahuan baru). Terutama pengetahuan dia tentang politik PDIP. Tentang trik-trik partai. Tentang bahaya yang bakal menerpa PDIP dan Harun sendiri. Proses tranformasi Harun menjadi “smart robotic creation” (makhluk robotik pintar), melibatkan banyak aspek. Tidak mudah, tidak ringan. Bisa sangat “complicated” (rumit). Harun sedang direedukasi agar bisa menjadi politisi yang artikulat, lancar berbicara, dan memahami skala persoalan yang dihadapinya serta dampaknya terhadap PDIP. Harun haruslah “fully trained” (tergembleng penuh) dan “fully equipped” (bersenjata lengkap) sebelum dia dilepas ke KPK. Kelihatannya, sebelum rampung proses fabrikasi Harun menuju “manusia sempurna”, anda belum bisa berharap Harun akan tertangkap. Pantas diduga dia sedang mengikuti latihan menjawab pertanyaan interrogator KPK. Agar jawabannya tidak menjerumuskan pihak-pihak lain, khususnya para pembesar PDIP. Untuk itu, Harun kemungkinan sedang menjalani proses fortifikasi (penguatan). Dia sedang diperkuat dari segala segi untuk menghadapi KPK. Kuat mental dan kuat argumentasi. Tentu saja durasi “diklat” harus panjang panjang. Tak cukup 2-3 pekan. Sebab, banyak pakar “artificial intelligent” yang melakukan gemblengan one-to-one kepada Harun. Banyak yang harus dikuasai oleh politisi loncat partai itu. Bayangkan Harun berada di ruang bedah yang luas. Dengan alat-alat mutakhir. Tak salah kalau Anda teringat adegan film-film layar lebar seperti “The Terminator”, “I am Legend” atau “Matrix”, dan lain sebagaimanya. Ini skenario canggih. Yang sedihnya, Harun masih belum tertabgkap bukan karena dia sedang mengikuti diklat atau proses fortifikasi fisik dan inteligen. Melainkan disembunyikan sambil menunggu “suasana baru yang kondusif di KPK”. Artinya, menunggu restrukturisasi dan mandulisasi selesai di semua lini badan antikorupsi ini. Barulah kemudian Harun dilepas menuju gedung Merah Putih. Sehingga, begitu dia masuk ke gerbang KPK, tidak ada lagi lingkungan yang “hostile” (galak) di “kerajaan” Firli Bahuri itu. Penulis adalah Wartawan Senior

Logika Bingung Partai Banteng, Sampai Sprinlidik Bocor?

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Presiden PDIP. Ketua DPR-RI PDIP. Menkumham PDIP. Jaksa Agung PDIP. MenPANRB PDIP. Mensekab PDIP. Motor RUU KPK PDIP. PDIP: Kami Korban Pemerasan Oknum-Oknum Berkuasa. Yang Berkuasa PDIP! Jadi, Oknum PDIP Peras PDIP! Bingung kan jadinya? Apalagi, ternyata politisi PDIP sampai bisa “pegang” Sprinlidik KPK dalam kasus mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan yang diduga terima suap dari politisi PDIP Harun Masiku yang hingga kini dinyatakan “buron” oleh pihak KPK. Bahkan, KPK memeringatkan mereka yang turut menyembunyikan atau membantu pelarian tersangka kasus suap penetapan PAW anggota DPR RI Fraksi PDIP Harun Masiku. Peringatan ini disampaikan Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan Ali Fikri Menurutnya, mereka yang turut menyembunyikan Harun Masiku bisa dijerat Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. “Sangat memungkinkan (diterapkan Pasal 21). Ancaman hukumannya 3 sampai 12 tahun penjara atau denda Rp 150 juta dan maksimal Rp 600 juta,” kata Fikri di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Senin (20/1/2020). Fikri memastikan, KPK tak akan menoleransi pihak-pihak yang melindungi pelaku kejahatan korupsi. Menurut Fikri, KPK sangat membutuhkan keterangan Harun untuk pengembangan kasus suap yang melibatkan mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Fikri meminta tersangka Harun Masiku juga koorporatif karena nanti akan menjadi bahan pertimbangan meringankan hukuman. “Siapa pun yang tak kooperatif akan dipertimbangkan menjadi alasan yang memberatkan,” tegas Fikri. Ketua KPK Firly Bahuri mengimbau Harun Masuki agar segera menyerahkan diri. Baik itu kepada KPK maupun kepolisian. “Saya imbau HM di mana pun Anda berada, silakan Anda bekerja sama dan kooperatif,” katanya. “Apakah dalam bentuk menyerahkan diri ke penyidik KPK maupun pejabat kepolisian,” ujar Firly Bahuri di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (20/1/2020). Pihaknya juga bekerja sama bersinergi dengan aparat kepolisian. “Itu sudah kami buat suratnya permohonan permintaan pencarian dan penangkapan lengkap dengan identitas yang bersangkutan,” ungkap Firly Bahuri. Sekarang ini KPK harus bekerja keras untuk menangkap Harun Masiku! Mengapa? Harun Masiku adalah “kunci padora” yang bakal membuka siapa saja yang terlibat dalam upaya suap Wahyu Setiawan. Apalagi, belakangan PDIP memastikan, pihaknya telah menjadi korban pemerasan oknum-oknum tak bertanggung jawab. Seperti dilansir JPNN.com, Kamis (16 Januari 2020 – 06:00 WIB), Tim Pengacara DPP PDIP menyebut bahwa konstruksi hukum yang terjadi (dalam kasus itu) sebenarnya adalah perkara penipuan dan pemerasan yang diduga dilakukan oleh oknum tertentu. Demikian kata Koordinator Tim Pengacara DPP PDIP Teguh Samudra dalam konferensi pers di Kantor DPP PDIP, Jakarta Pusat, Rabu (15/1/2020). Menurutnya, DPP PDIP tak meminta KPU untuk melakukan PAW Nazarudin Kiemas ke Harun Masiku. Namun, yang dilakukan oleh DPP PDIP adalah mengajukan penetapan calon terpilih setelah wafatnya caleg Nazaruddin Kiemas. Dalam mengajukan permohonan penetapan itu, partainya mengacu pada Putusan MA. Dalam putusan MA itu menyebut, permohonan penetapan bisa dilakukan oleh partai politik. “Persoalan sederhana sebagai bagian dari kedaulatan Parpol,” katanya. Teguh menceritakan kronologis bagaimana PDIP meski memiliki kewenangan dalam menentukan anggota DPR, tetapi menempuh jalur hukum. Awalnya, MA mengabulkan permohonan PDIP untuk menentukan pengganti Nazarudin Kiemas. Namun setelah putusan itu diberikan kepada KPU, lembaga penyelenggara pemilu menafsirkan lain sehingga menolak petunjuk MA itu. Karena ditolak KPU, partainya meminta MA untuk mengeluarkan fatwa memperjelas makna sebenarnyas secara hukum yuridis. Saat putusan itu keluar dan diteruskan ke KPU, lagi-lagi lembaga yang dipimpin Arief Budiman menolaknya. Menurut Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto, partai politik sebenarnya punya kedaulatan politik menentukan penetapan calon terpilih. Bahkan, DPP PDIP juga telah mengantongi perintah dari MA untuk menjalankan penunjukan Harun Masiku mengisi kekosongan kursi Nazarudin Kiemas. “Penetapan anggota legislatif terpilih, di mana kursi itu adalah kursi milik partai, maka kami telah menetapkan berdasarkan putusan MA tersebut bahwa calon terpilih itu adalah Saudara Harus Masiku. Hanya saja ini tidak dijalankan oleh KPU,” kata Hasto. Hasto mengingatkan KPU punya kekuasaan yang sangat besar dalam menentukan siapa yang bisa duduk sebagai anggota dewan. Tapi, ia melihat ada oknum-oknum yang menggunakan kekuasaan itu. Karenanya, Hasto mendorong KPK untuk memproses hal tersebut. “Bahwa KPU secara kolektif kolegial sejak awal telah mengambil keputusan untuk menolak permohonan resmi dari DPP Partai. Namun kemudian, ada pihak-pihak tertentu menawarkan upaya-upaya dan itu di luar sepengetahuan partai,” kata Hasto. PDIP Sakti? Sangat ironis sekali jika Hasto Kristiyanto melihat ada oknum-oknum yang menggunakan kekuasaan, karena, seperti kata Teguh Samudera, sebenarnya adalah perkara penipuan dan pemerasan yang diduga dilakukan oleh oknum tertentu. Siapa “oknum tertentu” itu? Apakah PDIP lupa bahwa Presiden RI itu PDIP. Ketua DPR-RI PDIP. Menkumham PDIP. Jaksa Agung PDIP. MenPANRB PDIP. Mensekab PDIP. Motor RUU KPK PDIP. Ingat, yang berkuasa ya PDIP! Jadi, Oknum PDIP Peras PDIP?! Itu sama halnya Hasto mengatakan, Presiden Joko Widodo sebagai oknum yang memeras PDIP! Karena, KPU maupun KPK berada di bawah Presiden. Hasto saharusnya hati-hati dalam berucap! Pakailah logika! Jangan asal cuap! Ucapan Hasto seperti itu berpotensi memecah-belah PDIP sendiri. Dan, ini sangat berbahaya ketika ucapan Hasto dibawa ke rana hukum. Tapi, pejabat partai semacam Hasto koq masih dipertahankan di PDIP? Seorang teman berkelakar, PDIP itu “sakti”. Makanya, sulit menyentuh Hasto. Termasuk saat politisi PDIP Masinton Pasaribu sampai bisa tahu Sprinlidik KPK atas Wahyu Setiawan yang diduga terlibat suap PAW dari politisi PDIP Harun Masiku itu. “PDIP punya tuyul di KPK, Mas!” tegas teman tadi. Wow, makanya Masinton bisa tahu ada agenda penggeledahan Kantor PDIP di mana Hasto berkantor juga di sana. Meski kasus ini sudah berlanjut ke tahap penyelidikan tak semestinya Masinton bisa dapat. Jangankan Masinton, staf KPK pun bisa dipastikan tidak tahu menahu soal isi Sprinlidik yang ditandatangani oleh Ketua KPK periode 2016-2019 Agus Rahardjo. Ketika itu Masinton sedang membahas ada tidaknya sprint untuk penyelidik yang ingin menyegel ruangan di DPP PDIP. Di sini tampak adanya orang dalam (Internal KPK) yang memberikan surat tersebut kepada PDIP sebelum KPK datang untuk menggeledah kantor yang berada di kawasan Menteng itu. Tak wajar jika PDIP sudah mengetahui isi atau substansi yang akan dilakukan KPK. Tapi, karena ingin membuktikan kepada publik, sang politisi keceplosan mengungkap isi dari Sprinlidik tersebut. Padahal, pihak KPK membantah kalau memberikan surat tersebut kepada pihak yang tidak berkepentingan. Artinya, Masinton dalam hal ini mengatasnamakan PDIP telah dibantu oleh orang internal di KPK bernama Novel Yudi Harahap. Namun anehnya, nama yang disebut Masinton tidak ada dalam manivest data pegawai di KPK. Hal ini terkuak setelah media massa mencoba mengklarifikasi terkait nama yang disebut Mansinton kepada Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo Harahap. Masinton menjelaskan asal-usul surat itu sampai ke tangannya. Ia mengklaim mendapatkan surat itu pada Selasa, 14 Januari sekitar pukul 14.00 dari seseorang yang mendatanginya di Gedung DPR, Senayan, Jakarta. Artinya, surat itu didapat Masinton beberapa jam sebelum tampil di ILC. Ini bermula ketika Masinton mengacungkan Sprinlidik kasus Wahyu Setiawan dalam acara ILC, Selasa malam, 14 Januari 2020 lalu mengindikasikan PDIP “dekat” dengan KPK. Jadi, tak salah kalau teman saya tadi bilang, PDIP punya tuyul di KPK! Makanya, Sprinlidik pun bisa bocor sampai ke Masinton. Penulis wartawan senior.

Sprin Lidik Bocor Mirip Skandal Watergate

Pembaca yang terhormat. Tulisan dengan judul "SPP Bocor Dan Derita PDI-P" ini sudah dimuat Portal Berita Online fnn.co.id edisi 19 Januari 2020, dengan link berita https://fnn.co.id/7190-2/. Namun entah mengapa, hari ini Senin 20 Januari 2010, sekitar pukul 13.00 WIB, link berita ini hilang atau dihilangkan tanpa sepengetahuan Redaksi dari laman website fnn.co.id. Akibatnya, berita yang ditulis oleh Dr. Margarito Kamis itu tidak lagi dapat diakses oleh pembaca setia fnn.co.id. Banyak pembaca kami yang menelapon untuk menanyakan hilangnya link berita tersebut. Untuk itu, Redaksi memutuskan untuk kembali memberitakan tulisan tersebut dengan judul “Sprin Lidik Bocor Mirip Skandal Watergate”. Atas peristiwa ini, Redaksi fnn.co.id memohon maaf kepada para pembaca. By Dr. Margarito Kamis Jakarta, FNN - Berita acara mirip asli acap beredar terbatas di media tertentu. Pernyataan resmi KPK akan ada tersangka baru, sudah tertakdir menjadi ciri Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK terbingkai dalam cara itu disepanjang kehebatan khas kupu-kupu kertas selama ini. Setiap kali sebuah kasus yang terlihat memiliki bobot politik, cara kotor khas spy itu terjadi. Tipikal spy kotor ini terlihat melilit kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) Wahyu Setiawan, Komisioner KPU. Kali ini yang tersaji bukan berita acara. Yang tersaji adalah Purat Perintah Penyelidikan (SPP). Terlepas dari apakah benar atau tidak SPP itu. Asli atau tidak, praktis polanya saja yang bergeser. Bukan media masa terbatas atau media tertentu yang pertama kali mendapatkannya. Tetapi kali ini Pak Masinton Pasaribu, anggota DPR dari PDI-P, yang paling kritis terhadap KPK, yang pertama dikirimkan. Pola bocor-bocoran data dalam penegakan hukum, tipikal kerja spy. Pola kerja seperti ini pernah terjadi secara sistimatis. Dirancang dengan tujuan yang jelas dan pasti dalam kasus Watergate 1972. Dalam kasus ini jelas semua akibatnya. Richard Nixon, Presiden Amerika itu tersudut, terkepung pada semua apeknya. Nixon tidak bisa berkelit dari kasus itu. Akhirnya Nixon diimpeach tahun 1973. Orang Dalam Mark Felt, akan ditunjukan pada uraian selanjutnya adalah figur kunci bocornya sejumlah dokumen dan temuan penyelidikan FBI dalam kasus Watergate. Felt adalah Associate Deputy investigasi FBI. Felt berada dibawah Clyde Tolson, Deputinya. Di atas Tolson ada Edwar J. Hoover sebagai Direktur FBI. Ketika kasus Watergate muncul ke permukaan, bukan Felt, tetapi William Sullivan yang ditugaskan Hover melakukan domestic spying operation. Hover, disini terlihat, entah apa namanya, mungkin “mengintip” atau mungkin juga “tidak sepenuhnya memercayai” Sulivan. Hover, seperti ditulis Felt dalam Memoarnya Hover mengatakan “I need who some one control Sulivan”. Tidak ada yang dapat mengendalikan hari esoknya. Saat tidur malamnya, Hover malah meninggal dunia. Untuk mengisi posisi Direktur FBI yang kosong, Deputinya Clyde Tolson, diangkat memegang Direktur FBI untuk sementara waktu. Yang menarik, Tolson tak lama diposisi tersebut. Sebab L. Patrice Gray segera diangkat Nixon menjadi Direktur FBI juga untuk sementara menggantikan Tolson. Padahal menurut Felt, Gray tidak memiliki pengalaman dibidang ini. Tetapi Nixon memerlukan orang politik di posisi itu. Setelah Gray diangkat menjadi Direktur sementara FBI, William Ruckelhaus tampil menjadi acting Direktur FBI menggantikan Tolson. Tolson langsung mengundurkan diri dari FBI. Dan Felt diangkat mengisi jabatan deputi yang ditinggalkan Tolson. Suasana bergerak terus kearah eksplosif, karena sikap Felt. Mengapa? Begitu Hover meninggal dunia, dan Tolson naik menggantikannya, Hellen Gandy, sekertaris Hover selama lima dekade, membongkar 12 Box berisi file rahasia. Di dalamnya terdapat sejumlah nama yang diinvestigasi Hover. Sebelum diserahkan ke kepala devisi investigasi, file-file tersebut terlebih dahulu singgah ke Felt. Mark Felt akhirnya diperiksa di Komite Inteljen House of Representative. Dia disalahkan karenanya, tetapi Felt membantah tuduhan itu. Menurut Felt, justru dengan terbukanya box dan file-file tersebut, kita dapat mengetahui segala sesuatu yang salah. Bagaimana semua informasi itu bisa sampai ke pers dalam sifatnya yang sangat lengkap? Ternyata Felt yang membocorkan temuan-temuannya tersebut ke dua wartawan Washington Post. Keduanya adalah Bob Woodward dan Karl Benstein. Belakangan diketahui bahwa ternyata Woodward telah berteman dengan Felt, sekitar tahun 1969 atau 1970. Woodward juga diketahui pernah bekerja di Gedung Putih, sebelum akhirnya berhenti dari Gedung Putih, dan bekerja sebagai jurnalis. Kontak Felt dengan Woodward menggunakan kode tertentu. Seperti biasa di dunia spy. Felt meminta Woodward menyamarkan sumber berita. Itu sebabnya Woodward menggunakan “My friend” sebagai sumber beritanya. Apa yang terjadi sesudahnya? Situasi semakin eksplosif, terutama setelah berita Washington Post adisi tanggal 18 Mei 1972. Pada tahap ini Felt memberitahukan Woodward bahwa E. Howard Hunt terlibat dalam kasus ini. Tetapi Gedung Putih melindungi orang ini. Bersama dengan H.R Haldeman, Chief Staff-nya, Nixon menekan FBI untuk mengurangi laju investigasi. Sayangnya tekanan dari Nixon ini tidak berhasil. Felt malah bergerak semakin jauh lagi. Menariknya, di tengah situasi eksplosif yang semakin tinggi ini, Nixon malah hendak mempermanenkan Gray sebagi Direktur FBI yang definitif. Sayangnya, upaya ini tidak berhasil. April 1973 Gray mengundurkan diri sebagai pelaksana tugas Direktur FBI. Yang menarik, Gray malah menominasikan Felt, orang yang dicugai Nixon sebagai informan utama untuk semua berita terkait skandal Watergate di Wahington Post. Untuk itu, Nixon, beralih ke William Ruckelhaus, dan mengangkatnya sebagai acting Direktur FBI. Situasi semakin tak terkendali. Chief staf gedung putih diganti. Alaxanedr Haigh naik ke jabatan ini menggantikan Hadelman. New York Times, yang menyebut Felt “Deep Throat” memberitahukan kepada Chief Staf Gedung Putih bahwa Felt adalah informaan dari semua berita di Washington Post. Ruckelhause menindaklanjuti info itu. Ia memanggil Felt dan menanyakan kebenaran info itu. Felt menyangkal. Tetapi akhir yang pahit telah tiba untuk Felt. Keesokan harinya, persis tanggal 22 Juni 1973, Felt mengundurkan diri dari FBI. Buat Terang Jelas sekali penyelidikan perkara apapun, di negara demokratis, yang mengagungkan rule of law dengan segenap aspek teknisnya sekalipun, sama sekali tidak ditentukan secara determinatif oleh hukum. Aspek-aspek non hukum, khususnya aspek aparatur justru jauh lebih dominan dan menentukan. Aspek non hukum ini, untuk alasan integritas penegakan hukum dalam kasus bocornya SPP, terlepas dari asli atau tidak, harus dibuat jelas. Lika-liku Watergate mengharuskan adanya pertanyaan siapa yang menjadi, meminjam istilah Washington Post sebagai “My Friend” atau “Deep Throat” atau “Control Point”. Soal ini tidak bisa diserahkan jawaban ke rerumputan yang bergoyang. Pimpinan baru KPK, sembari mengenali hari-hari yang telah berlalu, ditemukan fakta empiris sempat diragukan. Penolakan kecil-kecilan terhadap mereka, setidaknya untuk sebagian, begitu terbuka dan meluas. Ini bisa jadi point kecilnya. Nyatanya OTT didasarkan pada SPP yang terlihat telah diterbitkan oleh pimpinan KPK sebelum periode Komisioner yang baru ini. Apa mungkin pimpinan baru sengaja menggunakannya? Bila tidak, siapa yang mengontrol dan memegang wewenang mengendalikan dan mengarahkan kehidupan menejemen tindakan-tindakan hukum di KPK? Mungkinkah pimpinan baru tidak memiliki jangkauan kontrol seluruh tindakan hukum, meliputi penggunaan surat itu? Logiskah meminta pemeriksaan terkordinasi dan mendalam tentang kemungkinan penyakit klik-klikan mewabah di KPK? Tetapi apapun itu, bila pimpinan memegang kontrol penuh, maka siapapun harus berpendapat tindakan OTT dan penggeledahan gagal sepenuhnya berada dalam kendali. Dalam arti diperintahkan dan diarahkan oleh pimpinan KPK. Bila begitu adanya, maka soalnya menjadi sangat sederhana. KPK oke dalam semua aspeknya. Konsekuensinya penggunaan surat itu, plus isu penggeledahan gagal tidak lebih dari sekadar sebagai cara pimpinan baru KPK memanggil kehebohan pertama di tahun 2020 ini. Tidak lebih. Itu juga bernilai tidak ada gelombang panas, apalagi klik-klikan amburadul dan mematikan di KPK. Tetapi hal-hal kecil itu, tidak dapat mengisolasi tuntas kegelisahan beralasan PDI-P yang diekspresikan oleh TIM Hukumnya. Apa rasionya? Faktanya hingga detik ini tidak terjadi penggelendahan, apalagi penyitaan di ruang-ruang, entah ruang siapapun di kantor PDI-P. Padahal telah tersiar luas penyidik KPK mau menggeledah ruangan tertentu di kantor DPP PDI-P. Sampai pada titik ini, yang dialami PDI-P terlihat memiliki kemiripan tipis dengan apa yang dialami Nixon pada skaldal Watergate. Gedung putih dan Nixon tersudut dalam kepungan sistimatis, terencana dan terarah dari Washington Post. Berita-berita Watergate bersumber dari Felt “My Friend” sebutan yang diberikan Woodward, atau “Control Point” dan “Deep Throat” sebutan yang diberikan New York Times. Penggeledahan telah tak terjadi, tetapi berita telah menyebar, dan PDI-P terlihat tersudut, bahkan menderita. Akankah ada orang “anonimus” persis seperti dilakukan New York Times membuka siapa “control point” dalam hiruk-pikuk kotor ini? Derita PDI-P, untuk alasan hukum, harus dianggap rasional. Tetapi terlepas dari derita yang dialami PDI-P, demi kelangsungan integritas penegakan hukum, eloknya, pimpinan KPK harus bicara. Terangilah alam penegakan hukum yang sangat kotor dan amburadul ini dengan kata-kata yang berbasis pada fakta terverikasi dan kredibel. Di ujung sana, Dewas KPK tak hanya bisa berdiam diri dalam menyikapi persoalan ini. Bicaralah secara terbuka wahai Dewas KPK. Bicaralah dengan kejujuran sebagai panduan utamanya. Buatlah semuanya menjadi terang-benderang demi bangsa yang besar ini. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

KPK Ditantang PDIP: Siapa Lindungi Harun Masiku?

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Hingga tulisan ini dibuat, Harun Masiku, tersangka politisi PDIP penyuap Komisioner KPU Wahyu Setiawan, belum juga ditemukan keberadaannya. Adakah yang melindungi Harun dari kejaran petugas KPK supaya tidak tertangkap? Benarkah Harun masih di luar negeri sejak Minggu (6/1/2020)? Pejabat Imigrasi, Kepolisian, dan KPK menyebut Harun pergi ke luar negeri dan hingga kini belum kembali juga. Namun, dari investigasi Tempo.co menemukan fakta berbeda. “KPK segera berkoordinasi dengan Polri untuk meminta bantuan Interpol,” ujar Komisioner KPK Nurul Ghufron. “Hingga hari ini belum ada data kembali ke Indonesia,” begitu kata Arvin Gumilang, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM. “Kami akan komunikasikan dengan Singapura bahwa Indonesia mencari seseorang yang sedang ada di negara tersebut,” ungkap Brigadir Jenderal Argo Yuwono, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri. Dalam tulisannya “Raibnya Politikus PDIP Harun Masiku yang Terlibat Suap KPU”, Kamis (16 Januari 2020 17:02 WIB), Tempo menemukan fakta berbeda pada data penerbangan dan penelusuran di kampung halaman politisi PDIP itu. 11.30 WIB, 6 Januari 2020, ke Singapura. Berdasar informasi yang dikumpulkan Tempo, Harun memang terbang ke Singapura pada 6 Januari 2020. Ia menggunakan penerbangan Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA 832 sekitar pukul 11.30 WIB. 16.35 Singapura, 7 Januari 2020, ke Jakarta. Ia semalam berada di negara itu dan terbang kembali ke Jakarta dengan menggunakan Batik Air. Pesawat dengan nomor penerbangan ID 7156 itu terbang dari Bandar Udara Changi terminal 16 pukul 16.35 waktu setempat. 17.03 WIB, & Januari 2020, ke Hotel. Ia tiba di Jakarta pukul 17.03 WIB. Dari catatan penerbangan, Harun tercantum duduk di kursi nomor 3C, menggunakan tiket kelas Charlie. Informasi lain menyebutkan bahwa Harun kemudian menuju ke sebuah hotel di pusat kota di Jakarta. 8 januari 2020, bertemu Hasto. Harun pada Rabu, 8 Januari lalu, disebutkan dijemput oleh koleganya, Nurhasan, untuk kemudian diantarkan ke kompleks Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Di sini, menurut sejumlah informasi, Hasto telah menunggu. 22.30 WITA, 12 Januari 2020, Pria Misterius. Infomasi keberadaan Harun diungkapkan seorang warga Perumahan Bajeng Permai, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, tempat tinggal Harun dan istrinya. Ia menyatakan melihat seorang pria datang ke tempat tinggal Harun pada sekitar pukul 22.30 Wita, Ahad malam, 12 Januari lalu. Pria itu mengendarai sepeda motor, berpakaian serba bitam, dan mengenakan penutup muka. "Saya tahu itu Harun dari perawakannya," katanya. Itulah data dan fakta yang ditemukan Tempo di lapangan. Jika menyimak tulisan Tempo itu, berarti sebenarnya posisi Harun Masiku sekarang ini sudah “berada” di Indonesia. Bukan di luar negeri, seperti yang disampaikan para pejabat di atas. Siapakah yang melindungi Harun Masiku? Padahal, Harun disebut-sebut sebagai penyedia uang untuk menyuap Wahyu Setiawan. Ia bisa menjadi “saksi kunci” dugaan keterlibatan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang belum “disentuh” KPK. Tulisan Majalah.tempo.co 13-19 Januari 2020 menguatkan fakta bahwa Harun Masiku ada di Indonesia dan sempat bertemu dengan Hasto Kristiyanto di kompleks PTIK di Jalan Tirtayasa Raya, Jakarta Selatan, Rabu malam, 8 Januari 2020. Ternyata gerak-gerik mereka dipantau oleh petugas KPK. Siang beberapa jam sebelumnya, KPK menangkap komisioner KPK Wahyu Setiawan, karena diduga menerima suap untuk meloloskan Harun Masiku ke DPR lewat PAW. Bersama Wahyu, 7 orang lain juga digulung. Dua diantaranya Saeful Bahri dan Donny Tri Istiqomah, kader PDIP yang dianggap dekat dengan Hasto Kristiyanto. Harun calon anggota legislatif dari PDIP dari daerah pemilihan Sumatera Selatan I. Pada Pemilu 2019, perolehan suaranya di urutan keenam. PDIP ingin mengganti Nazarudin Kiemas, calon legislator peraih suara terbanyak, yang meninggal tiga pekan sebelum hari pencoblosan, 17 April 2019. Tapi KPU menetapkan Riezky Aprilia, peraih suara terbanyak kedua, sebagai calon anggota DPR. Di PTIK, tim KPK terus mengamati keberadaan Harun dan Hasto, yang ditengarai mengetahui penyuapan. Nurhasan dilepaskan dari pengawasan karena bukan target kakap. Sehari-hari ia bekerja sebagai petugas keamanan di kantor Hasto di Jalan Sutan Syahrir Nomor 12A, Menteng. Sembari terus memantau keberadaan target, 5 penyelidik rehat sejenak untuk menunaikan salat isya di masjid Daarul ‘Ilmi di kompleks PTIK. Ketika hendak masuk masjid, mereka malah dicokok sejumlah polisi. Operasi senyap untuk menangkap Hasto dan Harun pun buyar. “Tim penyelidik kami sempat dicegah oleh petugas PTIK dan kemudian dicari identitasnya. Penyelidik kami hendak salat,” kata pelaksana tugas juru bicara KPK, Ali Fikri, Kamis, 9 Januari lalu. Diantara polisi yang menawan petugas KPK, salah seorangnya adalah Kepala Subdirektorat IV Direktorat Tindak Pidana Korupsi Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI Ajun Komisaris Besar Hendy Febrianto Kurniawan. Para polisi mengambil foto tim KPK dan memaksa mereka menyerahkan password ponsel masing-masing. Mendengar keributan, seorang petugas KPK yang bersiaga di sekitar pintu depan PTIK merapat ke masjid. Ia mengenali Hendy, yang pernah bertugas di KPK. Hendy mundur dari lembaga antirasuh dan kembali ke Polri pada 2012. Pada 2015, ia pernah menjadi saksi yang memojokkan KPK dalam sidang praperadilan penetapan tersangka Komjen Budi Gunawan, calon Kapolri saat itu. Disapa oleh mantan koleganya di KPK, Hendy menyatakan tak kenal. Ia dan para polisi kemudian menggelandang lima petugas KPK ke sebuah ruangan untuk diinterogasi. Polisi pun memaksa para penyelidik itu menjalani tes urine. Para penyelidik tersebut ditahan sekitar tujuh jam. Mereka baru dilepas setelah Direktur Penyidikan KPK R.Z. Panca Putra Simanjuntak tiba di sana sekitar pukul 03.30, Kamis, 9 Januari lalu. Menurut Ali Fikri, ada kesalahpahaman antara penyelidik KPK dan polisi. “Kemudian diberitahukan petugas KPK, lalu mereka dikeluarkan,” ujar Ali. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen R. Prabowo Argo Yuwono mengatakan proses interogasi merupakan hal yang lumrah. Dia mengklaim pemeriksaan berlangsung tidak lama karena tim KPK dijemput atasannya. “Namanya orang tidak dikenal masuk, kami cek enggak masalah,” kata Argo Yuwono. “Dari pemeriksaan, mereka hanya akan salat.” Tempo mencoba menghubungi dua nomor ponsel Hendy, tapi tak ada yang aktif. Hasto Kristiyanto membantah berada di kompleks PTIK pada Rabu malam itu. “Tidak,” ujar Hasto. Ia mengklaim sedang di suatu tempat karena sakit perut. Ironis, rasanya tak mungkin lima pasang mata petugas KPK tak kenal wajah Hasto. Hasto juga beralasan sedang sibuk menyiapkan Rakernas PDIP, yang bertepatan dengan hari ulang tahun ke-47 partai banteng, di Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat. Adapun Nurhasan saat dimintai konfirmasi mengaku pada Rabu malam itu sibuk mondar-mandir dari Sutan Syahrir 12A ke Kemayoran untuk membantu persiapan Rakernas PDIP. “Saya sakit karena dua hari ini hujan-hujanan di jalan,” kata pria 38 tahun itu. Nurhasan menyanggah mendapat perintah untuk mengantar Harun. “Tugas saya cuma buka-tutup pagar di rumah itu,” ujarnya, seperti dilansir majalah.tempo.co. Jika KPK tak berhasil menangkap Harun, bisa dipastikan, Hasto akan tetap aman-aman saja. Bahkan, bersama MenkumHAM Yasonna H. Laoly yang juga Ketua DPP PDIP, Hasto bisa memberikan pernyataan pers di kantor DPP PDIP, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta pada Rabu malam (15/1/2020). Dalam keterangan pers itu, memutuskan bahwa PDIP membentuk tim hukum untuk melawan KPK. Hal itu dilakukan terkait kasus dugaan korupsi yang melibatkan Wahyu Setiawan dan politisi PDIP Harun Masiku terkait dengan proses pergantian antar waktu atau PAW. Tim hukum dibentuk karena menurut PDIP, upaya penggeledahan kantor partai itu menyalahi UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Sebab, keinginan menggeledah tak disertai dengan prosedur yang diatur dalam UU, yakni melalui izin Dewan Pengawas atau Dewas. Tidak hanya itu. PDIP juga melaporkan petugas KPK ke Dewas karena dianggap menyalahi aturan. Beranikah Ketua KPK Firly Bahuri hadapi PDIP? Penulis adalah wartawan senior

Arief Budiman Terlibat Suap Wahyu Setiawan?

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Penetapan tersangka Komisioner KPU Wahyu Setiawan dalam kasus suap politisi PDIP oleh KPK tidak akan berarti jika tak disusul dengan penetapan tersangka lain, yang tidak tertutup kemungkinan para komisioner KPU selain Wahyu. Dugaan korupsi (suap) komisioner yang menyeret Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto itu dikhawatirkan juga akan menyeret oknum Wakil Menteri dalam Kabinet Indonesia Maju ini. Kotor benar “mainnya”. Ini baru 1 yang ketahuan. Sebagai rakyat biasa, kita berharap semoga saja KPK berani ungkap semua permainan kotor seperti ini mulai dari tingkat Nasional hingga Daerah. Wahyu diduga menerima suap hingga Rp 900 juta dengan menjanjikan PAW politisi PDIP. Adalah Harun Masiku yang ingin menjadi anggota DPR RI 2019-2024 untuk menggantikan PAW Nazaruddin yang meninggal dunia. Nazaruddin terpilih dari Dapil 1 Sumatera Selatan dalam Pileg 2019. Namun, pada 31 Agustus 2019, KPU menetapkan Riezky Aprilia yang berhak menjadi PAW. Sebab, sesuai dengan perolehan suara, Riezky-lah yang berhak menggantikan Nazaruddin itu. Harun mencoba hendak menggeser Riezky. Harun yang sejak Minggu (6/1/2020) meninggalkan Indonesia itu diduga memberikan uang pada Wahyu agar bisa membantunya menjadi anggota legislatif melalui PAW. Saeful Bahri, tersangka lain, menyebut uang suap itu berasal dari Hasto. Wahyu pun pada akhirnya terkena OTT KPK dengan barang bukti uang suap Rp 400 juta. Harun Masiku bernasib apes, perjuangan untuk dilantik jadi DPR malah berujung penjara kena OTT KPK. Apalagi, Ketua KPU Arief Budiman menyebut ada tanda tangan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dalam surat permohonan PAW Harun Nasiku untuk menggantikan caleg terpilih yang meninggal dunia, Nazarudin Kiemas. Tiga surat dari DPP PDIP yang ditujukan kepada pihaknya dibubuhi tanda tangan Hasto. Hal itu diungkapkan Arief dalam konferensi pers di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (10/1/2020). Komisioner KPK Lili Pintauli Siregar mengatakan, selain Wahyu, KPK telah menetapkan Agustiani Tio Fridelina, orang kepercayaan Wahyu, mantan anggota Bawaslu. Kemudian, politikus PDIP Harun Masiku dan seorang pihak swasta bernama Saeful Bahri. Dua nama terakhir disebut Lili Pintauli Siregar sebagai pemberi suap. Sementara Wahyu dan Agustiani diduga sebagai penerima suap. Tersangka Harun sendiri tidak terjaring dalam OTT, Rabu (8/1/2020) lalu, saat ini masih belum diketahui keberadaannya. Harun Masiku adalah caleg PDIP yang menempati urutan keenam dalam perolehan suara. Meski urutan keenam, justru Harun yang dimajukan PDIP untuk menggantikan Nazaruddin yang meninggal sebelum Pileg 2019 digelar. Sedangkan posisi kedua hingga kelima ditempati Riezky Aprilia (nomor urut 3), Darmadi Jufri (nomor urut 2), Doddy Julianto Siahaan (nomor urut 5), dan Diah Okta Sari (nomor urut 4). Meski meninggal, Nazaruddin memperoleh suara terbanyak. Saat dikonfirmasi, Kamis (9/1/2020), Hasto Kristiyanto mengatakan, “Dia (Harun Masiku) sosok yang bersih. Kemudian, di dalam upaya pembinaan hukum selama ini cukup baik ya track record-nya,” kata Hasto meyakinkan. Benarkah? Semua itu nantinya akan terkuak dalam sidang DKPP yang kini sedang berlangsung di KPK. Setidaknya, Wahyu yang disidang terkait Kode Etik dipastikan tak akan mau “dikorbankan” sendirian. Dalam sidang Rabu (15/1/2020) saja ia mulai “nyanyi”. Meski Wahyu dan Arief menyatakan bahwa kasus yang menimpa Wahyu itu masalah pribadi, tapi keterangan Wahyu dalam sidang pertama sempat pula menyebut nama Ketua KPU Arief Budiman dan Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik. Bahkan, hingga nama anggota Komisi II DPR Fraksi PDIP Johan Budi, saat menjalani sidang dugaan pelanggaran kode etik itu. Wahyu mengatakan, ia sempat menyampaikan pada Arief dan Evi perihal PDIP yang menanyakan soal penetapan anggota DPR melalui proses PAW. Menurut Wahyu, hal ini disampaikan ke Arief dan Evi, lantaran ia mencium adanya potensi “permakelaran” dalam permohonan yang disampaikan DPP PDIP itu. “Saya bahkan sudah menyampaikan fenomena yang sedang saya hadapi,” ungkap Wahyu. “Saya pernah menyampaikan itu kepada Pak Ketua (Arief Budiman) dan Kak Evi (Evi Novida Ginting Manik),” kata Wahyu dalam persidangan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, seperti dilansir Kompas.com, Rabu (15/1/2020). “Saya pernah menyampaikan di chatting saya, saya mohon surat-surat penolakan terhadap PDI-P segera dikeluarkan karena ada situasi permakelaran,” lanjutnya. Kepada Arief, Wahyu bahkan sempat meminta supaya ia menghubungi Harun Masiku. Arief diminta Wahyu untuk menyampaikan bahwa permohonan PAW PDIP tidak bisa KPU laksanakan karena tak memenuhi ketentuan perundang-undangan. “Karena gelagatnya tidak enak, saya bilang ke ketua, ketua kalau ketua bisa berkomunikasi dengan Harun tolong disampaikan bahwa permintaan PDIP melalui surat tidak mungkin bisa dilaksanakan, kasihan Harun,” ujar Wahyu. Sementara itu, anggota Komisi II DPR Johan Budi sempat disebut Wahyu telah mengetahui adanya penolakan dari KPU untuk menetapkan Harun Masiku sebagai anggota DPR melalui proses PAW. Wahyu mengatakan, setelah dirinya menyampaikan ke Arief, Arief lantas menyampaikan sikap penolakan KPU ini ke sejumlah pihak, termasuk ke Johan Budi. “Ketua juga menceritakan pada kami, telah berupaya menjelaskan pada berbagai pihak soal sikap penolakan kami. Termasuk baru saja menceritakan pada Pak Johan Budi, Anggota Komisi II yang kebetulan bertugas sama ketua,” ujarnya. Tapi, Wahyu tak menyebutkan lebih lanjut bagaimana tanggapan Johan Budi. Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan sebagai tersangka kasus suap penetapan anggota DPR 2019-2024. Wahyu diduga menerima suap dari Politisi PDIP Harun Masiku yang juga telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Selain menetapkan Wahyu dan Harun, dalam kasus ini KPK juga menetapkan dua orang lainnya sebagai tersangka. Yaitu mantan anggota Bawaslu, orang kepercayaan Wahyu, Agustiani Tio Fridelina, dan pihak swasta bernama Saeful Bahri. Wahyu dan Agustiani diduga sebagai penerima suap. Sementara Harun dan Saeful disebut sebagai pihak yang memberi suap. Sebagai Ketua KPU yang sudah dilapori Wahyu, seharusnya Arief Budiman mewanti-wanti Wahyu agar tidak “bermain” dengan upaya PDIP yang memaksakan kehendaknya. Apalagi memberi “angin surga” seolah bisa mengurus PAW untuk Harun Masiku. Apalagi, semua Komisioner KPU sudah tahu bahwa dalam penyelenggaraan Pimilu itu KPU berpegang pada UU Pemilu yang kemudian diatur dalam Peraturan KPU (PKPU). Adanya putusan MA Nomor 57 P/HUM/2019 itu tak bisa mengalahkan UU Pemilu. Berdasarkan putusan MA Nomor 57 P/HUM/2019, partainya memiliki kewenangan dalam menentukan pengganti anggota legislatif terpilih yang meninggal dunia. Hasto menegaskan, dalam merekomendasikan nama Harun, PDIP pun berpegang pada aturan tersebut. “Proses penggantian itu kan ada putusan dari Mahkamah Agung. Ketika seorang caleg meninggal dunia, karena peserta pemilu adalah partai politik, maka putusan Mahkamah Agung menyerahkan hal tersebut (pengganti) kepada partai,” lanjut Hasto. Dari sini sebenarnya Hasto “tidak tahu” bahwa posisi UU Pemilu itu lebih tinggi dari PKPU, sehingga apapun putusan MA tidak bisa mengubah kedudukan hukum UU Pemilu yang ada di atas PKPU. Presiden Joko Widodo pada 15 Agustus 2017 telah mengesahkan UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. UU Nomor 7 Tahun 2017 ini menjadi dasar hukum penyelenggaraan Pemilu DPR, DPD, DPRD dan Pilpres tahun 2019 yang diselenggarakan secara serentak. Perlu dicatat, sukses Uji Materi PKPU di MA itu tak punya Kekuatan Hukum jika melanggar UU Pemilu. Sebab UU Memiliki Kekuatan di atas Segala Peraturan. Seharusnya Hasto dan para kader parpol belajar tahu, UU Pemilu itu lebih tinggi dari PKPU! Sehingga, para kader politik tidak selalu salah dalam berpolitik dan patuh hukum. Seharusnya juga tidak ngotot memaksakan kehendak parpol (PDIP). Putusan MA yang menyerahkan hal tersebut (pengganti) kepada partai, harus dibaca secara yuridis formal. Artinya, sebenarnya MA sudah mengarahkan PDIP supaya kembali ke aturan formal hukum, yakni UU Pemilu. Kalau pun akhirnya KPU menetapkan Riezky Aprilia sebagai pengganti Nazarudin untuk duduk di kursi Senayan, adalah sudah tepat. Cuma pertanyaannya, mengapa sampai ada uang suap segala meski sebenarnya KPU sudah melaksanakan UU Pemilu? Tidak salah jika kemudian muncul pertanyaan, jangan-jangan ini juga sudah pernah dilakukan sebelumnya, cuma tak ketahuan. Apalagi, selama ini Wahyu Setiawan dikenal sebagai Komisioner yang menggawangi Situng KPU yang hingga kini, konon, belum “selesai” juga. KPU sukses menipu rakyat dengan hasil Situng yang tak kunjung kelar sampai hari ini. Dengan kata lain, KPU sukses menipu rakyat melalui penetapan hasil pemilu dadakan pada tengah malam buta saat rakyat sedang tidur nyenyak! Sekarang gantian, Komisioner KPU dan yang terlibat suap KPU yang tidak bisa tidur nyenyak! Penulis wartawan senior.

PDIP Melecehkan KPK dan Hukum

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Kalau arogansi PDIP ketika menghadang aparat KPK yang datang untuk menyegel atau menggeledah kantor Hasto Kristiyanto, 8 Januari 2020, dijalin dalam satu kalimat, ada kemungkinan bunyinya seperti ini: “Kami tolak geledah, kalian mau apa?” Kira-kira begitulah gambaran keangkuhan orang-orang PDIP. Tidak ada narasi lain yang pas. Sebab, baru pertama kali ini KPK gagal melakukan penyegelan dan penggeledahan. Dulu, di awal 2016, Fahri Hamzah pernah mempersoalkan penggeledahan KPK. Tapi, akhirnya, penggeledahan di ruang kerja seorang anggota DPR terlaksana juga waktu itu. Tentu akan ada yang bertanya, mengapa PDIP bisa arogan? Bisa menghadang tim KPK yang menjalankan tugas sesuai peraturan? Jawabannya: karena mereka yang berkuasa. Mereka merasa sangat berkuasa. Mereka bisa mengatur apa saja. Mereka merasa semuanya ada dalam genggaman PDIP. Kantor Hasto (Sekjen PDIP) di Jalan Diponegero, Menteng, Jakarta, hendak digeledah terkait OTT komisioner KPK, Wahyu Setiawan (WS), pada 8 Januari 2020 juga. Wahyu diduga menerima uang sogok ratusan juta dari Harun Masiku, seorang kader PDIP. Hasto diduga ikut berperan. Harun Masiku adalah kader Bu Megawati yang ingin beliau naikkan menjadi anggota DPRRI sebagai pengganti antar waktu (PAW). KPU sudah menetapkan Riezky Aprilia sebagai PAW untuk Nazaruddin Kiemas yang meninggal dunia sebelum Pemilu 2019. Tapi, pimpinan PDIP ‘ngotot agar Harun yang dinaikkan. Herannya, banyak yang berpendapat PDIP sudah tamat gara-gara kasus suap WS. Nah, apakah iya PDIP bakal selesai lantaran kasus ini? Bagi orang luar, mungkin ada benarnya. Tetapi, bagi orang PDIP kelihatannya mereka merasaa tidak ada dampak apa-apa. Itu terbukti dari cara orang-orang Banteng bereaksi setelah Wahyu tertangkap. Mereka bukannya kooperatif terhadap KPK, melainkan menunjukkan arogansi. Kesombongan. Sekarang, apa arti penolakan PDIP terhadap penggeledahan KPK? Agak sulit mencarikan makna yang proporsional untuk penghalauan petugas KPK itu. Terminologi yang paling ringan adalah pelecehan. PDIP melecehkan KPK. Sekaligus juga melecehkan hukum. Kalau kata “melecehkan” mau diperhalus lagi, Anda malah akan ketemu kata-kata yang lebih vulgar. Bisa-bisa lebih konyol. Kata “melecehkan” sudah sangat ‘generous’ untuk menggambarkan arogansi PDIP terhadap KPK dan hukum. Selain kata “melecehkan”, urutan berikutnya yang lumayan ‘halus’ adalah “mengangkangi”. Setingkat di atasnya adalah “mengentuti”. Sehingga kalimatnya menjadi, “PDIP mengangkangi dan mengentuti KPK serta hukum”. Jadi, lebih baik tidak usah kita carikan alternatif untuk menghaluskan makna “melecehkan”. Inilah yang paling pas. Meskipun tetap getir. Sebetulnya, semua ini tidak mengherakan. PDIP memang sudah lama tak suka KPK. Soalnya, banyak kader mereka yang terkena OTT. Sampai-sampai mereka merasa “dikerjai”. Padahal, begitulah adanya. OTT juga mengguncang parpol-parpol lain. Bahkan, ketua umum Golkar yang juga ketua DPR, Setya Novanto, dan ketua umum PPP, Romahumuziy, pun ikut terjaring. Ketua MK Akil Muchtar juga. Saking dendamnya PDIP pada KPK, para anggota DPR fraksi Banteng paling vokal mengusulkan revisi UU KPK. Yang membuat lembaga antikorupsi itu menjadi seperti sekarang ini. Bisa dilecehkan. Bisa ditolak masuk ke kantor pusat PDIP. Jadi, tidak berlebihan kalau dikatakan PDIP sengaja melemahkan KPK dan kemudian melecehkannya. Secara sistematis dan terencana. Dilemahkan otoritasnya, diatur orang-orang yang memimpinnya. Disesuikan dengan kebutuhan primer parpol. Yaitu, kebutuhan untuk bergerak bebas mencari “kerja lembur” tanpa ancaman OTT.[] 16 Januari 2020 Penulis wartawan senior.