HUKUM
DPR Provinsi Papua Bentuk Pansus Kemanusiaan, “Terobosan Penting”
By Marthen Goo Jakarta, FNN - Sudah menjadi rahasia umum, bahwa pelanggaran terhadap hak-hak kemanusiaan di Papua terjadi sejak pertama kali Trikora digelar. Trikora dicanangkan oleh Soekarno di Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1961. Setelah itu, diiukiti dengan pendudukan militer yang melakukan berbagai operasi militer di Papua. Tentu dari berbagai operasi militer yang dilaksankan di Papua, tidak sedikit rakyat Papua menjadi korban. Tidak hanya berhenti sampai pada tahun 1963. Ketika Papua diserahkan ke Indonesia oleh UNTEA. Namun kejahatan hak asasi manusia masih terus berlangsung hingga Pepera 1969. Anehnya lagi, dalam implementasi Pepera, kejahatan terhadap hak asasi manusia masih dilakukan. Bahkan, dalam Pepera 1969 tidak ada proses demokrasi. Kejahatan terhadap kemanusian di Papua masih terus berlangsung dari tahun 1969 hingga 1998. Tahun 1998, di Indonesia dikenal sebagai puncak dari implementasi demokrasi. Pemilihan Presiden di era demokrasi dilaksanakan tahun 1999, dan memilih Gus Dur sebagai Presiden Indonesia. Gus Dur yang memimpin Indonesia, sejak tanggal 20 Oktober 1999 sampai dengan 23 Juli 2001 cukup berhasil membuat tidak terjadi lagi pelanggaran hak asasi manusia di Papua. Walau demikian, rentetan kasus pelanggaran hak asasi manusia belum diselesaikannya. Gus Dur telah meletakan peradaban baru dengan gaya kepemimpinannya yang tidak ada lagi ditemukan pelanggaran hak asasi manusia. Selama kepemimpinan Gus Dur tidak ada pelanggaran HAM. Sayangnya, setelah setelah Gus Dur dilengserkan, palangaran HAM di Papua kembali terjadi. Walau tidak memenuhi kepastian hukum, karena belum dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Konstitusi, Papua kemudian dibuat dasar hukum baru. Dasar hokum baru itu dikenal dengan istilah “Desentralisasi Asimetrik”. Dalam regulasinya dikenal dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua. Sejak diberlakukan Otonomi Khusus Papua tersebut, sampai tahun ini, tidak menghilangkan kasus kejahatan kemanusiaan. Banyak kasus kejahatan kemanusiaan terjadi walau Papua dikenal dengan Propinsi yang berstatus Otonomi Khusus. Kasus di Nduga adalah kejahatan kemanusiaan yang serius, jika merujuk pada pasal 8, dan 9 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. Patut diduga pelanggaran HAM yang terjadi di Papua saat ini telah memenuhi pasal 8 dan 9 UU No.26 Tahun 2000. Untuk kasus Nduga, tentu butuh penyelidikan Komnas HAM sebagai lembaga Negara yang memiliki otoritas untuk menyimpulkan kasus tersebut. Selain kasus Nduga, kini rentetan kasus terjadi kembali, seperti di Intan Jaya, dimana ada warga sipil menjadi korban kekerasan. Tidak Boleh Melupakan Sejarah Tidak sedikit tokoh nasional dengan gagah dan percaya dirinya menyampaikan “Bangsa Yang Besar adalah Bangsa Yan tidak Boleh Meninggalkan Sejarahnya”. Begitu kata Soekarto tentang pentingnya mengingat sejarah. Tentu saja pernyataan itu sangat kren dan berkelas. Kemudian pengertian itu dibuat dalam istilah “Jas Merah”. Yang artinya, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Dengan berpegang pada pernyataan “jangan pernah melupakan sejarah” tersebut, tentu kejahatan kemanusiaan pun harus dilihat sebagai kejahatan sejarah kelam. Apalagi jika proses hukum tidak pernah dilaksanakan. Kasus pelanggaran HAM di Papua harus dilihat sebagai catatan buruk terhadap negara yang wajib hukumnya untuk diselesaikan. Tentu Indonesia sebagai negara, harus melihat bahwa kasus kejahatan terhadap kemanusiaan adalah masalah serius negara. Setiap pelakunya harus dihukum. Para pelakunya juga harus berkomitmen untuk tidak melakukan perbuatan kejahatan terhadap kemusiaan sejak sekarang dan seterusnya. Tujuannya, untuk membersihkan sejarah kelam bangsa. Karena setiap kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi saat ini, akan terus menjadi sejarah buruk dalam berbangsa dan bernegara. Juga akan menciptakan ketidakpercayaan terhadap Negara. Negara harus berani, jujur dan terbuka untuk menyelesaikan berbagai masalah HAM. Tidak hanya di Papua. Tentu saja termasuk untuk kasus Talang Sari, Tanjung Priok, Semanggi, Trisakti. Jika kata-kata Soekarno tentang sejarah bisa diartikan dalam prespektif yang mengakar, maka bisa dibuat istilah “Pemimpin yang bijaksana adalah pemimpin yang berani menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Selain itu, mematikan kasus pelanggaran HAM tidak terjadi lagi di Indonesia”. Apresiasi DPR Propinsi Papua Tentu kita tahu bahwa undang-undang tentang HAM di Indonesia dirumuskan dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Dalam undang-undang tersebut, lembaga yang diberi kewenangan merumuskan dan menetapkan kasus pelanggaran HAM adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM). Yang disayangkan sikap dari Komnas HAM sekarang adalah “pasif”. Pengertian pasif dalam sifat Komnas HAM adalah menunggu datangnya lapora. Setelah itu barulah dilakukan tindakan lanjut sesuai dengan laporan. Jadi, jika tidak ada laporan ke Komnas HAM, terkadang Komnas HAM kesulitan untuk mencari kasus-kasus HAM yang terjadi di seluruh Indonesia. Karena Komnas HAM lebih pada menunggu laporan, sementara rentetan pelanggaran kasus HAM jalan terus, seperti di Papua, maka, langkah kongkrit harus dipikirkan untuk dilakukan. Terkait dengan Pansus Kemanusiaan oleh DPR Provinsi Papua tersebut, ada dua hal yang bisa tercapai, dan itu membantu Komnas HAM dan Negara adalah; Pertama, membantu Komnas HAM mengumpulkan fakta tentang berbagai kasus HAM di Papua. Setelah itu dibuatkan laporan pengaduan, agar Komnas HAM bisa mulai melakukan pekerjaannya. Selain itu, sebagai tugas pokok DPR untuk memproteksi warga negara. Kedua, membantu negara, agar bisa memproteksi rakyat dari kejahatan kemanusiaan. Selain itu, menghapus kejahatan kemanusiaan terjadi di Indonesia. Sekali lagi, patut untuk mengapresiasi langkah kongkrit sebagai tahapan awal yang sudah dilakukan DPR Papua, dengan membentuk Pansus Kemanusiaan. Ini terobosan yang sangat luar biasa. Sebab bisa dijadikan sebagai sarana memproteksi rakyat. Langkah ini juga bagian dari tujuan nasional yang kongrit, yakni melindungi segenap rakyat. Karena melindungi rakyat itu adalah bagian dari tujuan nasional kita dalam berbangsa dan bernegara, maka, semua pihak wajib memberikan apresiasi kepada DPR Provinsi Papua. Selain itu, memberikan mendukungan, agar kerja-kerja Pansus Kemanusiaan DPR Provinsi Papua bisa berjalan dengan lancar. Yang Bisa Dilakukan Pansus Dari pikiran luar biasa yang dilahirkan oleh DPR Provinsi Papua, lahirlah Pansus Kemanusiaan.Untuk itu, ada beberapa hal yang bisa dilakukan sebagai proses kerja Pansus. Misalnya, Pansus Kemanusiaan segera melakukan Forum Group Discussion (FGD)dengan berbagai stakeholder guna mendengarkan masukan-masukan sebagai dasar dan bijakan kerja Pansus. Pansus Kemanusiaan bisa mendorong pembentukan Pansus Kemanusiaan di Setiap Kabupaten atau Kota di Papua. Namanaya Pansus DPR Daerah untuk di seluruh Kabupaten atau Kota. Tujuannya, untuk mempermudah hubungan kerja dan investigasi setiap kasus. Merumuskan tahap-tahapan Advokasi. Selain itu, membuat laporan tahunan tentang kasus pelanggaran HAM di Papua. Setelah itu, evaluasi dan publikasi kepada publik setiap hasil kerja Pansus. Tentu dengan kerja-kerja kongkrit Pansus tersebut, diharapkan akan meminimalisir kejahatan kemanusiaan di Papua. Jika kejahatan kemanusiaan di Papua dapat diminimalisir, bahkan hilang dari Papua, maka tujuan nasional yakni melindungi segenap warga negara akan terwujud. Mari kita dukung kerja-kerja Pansus Kemanusiaan untuk memproteksi kemanusiaan di Papua. Harapnnya, kerja Pansus Kemanusiaan ini bisa berjalan maksimal. Semoga Tuhan memberkati pekerjaan Pansus Kemanusiaan. Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan dari Papua
Kontrak Pecatur Irene Kharisma Sukandar Contoh Nyata Korupsi Dana Hibah KONI
Jika memang benar telah terjadi dugaan korupsi “kontrak atlet” tentunya harus ada pihak yang bertanggung jawab! Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Lembaga Penegak Hukum seperti KPK, Kejaksaan, maupun Polri, mulai menyelidiki dugaan penyalahgunaan Dana Hibah Olahraga KONI Jawa Timur ketika PON XIX/2016 di Bandung. Salah satunya terkait “Kontrak Atlet” pecatur nasional. Dilansir Liputan6.com (10 Jul 2013, 03:25 WIB), pecatur nasional Grand Master Wanita (GMW) Irene Kharisma Sukandar dipastikan batal pindah ke Jatim, setelah PB Percasi dan KONI Jabar melakukan pertemuan membahas terkait kasus mutasi atlet itu. “Ya KONI Jabar sudah bertemu dengan PB Percasi terkait masalah Irene, intinya PB Percasi menyatakan Irene atlet Jabar,” ungkap Ketua Umum KONI Jabar H Azis Syarif di Bandung, Selasa (9/7/13). Pertemuan yang berlangsung di sebuah hotel di Kota Bandung tersebut dihadiri oleh Ketua PB Percasi Hasyim Djojohadikusumo, Wakil Ketua PB Percasi Utut Adianto, Ketua KONI Jabar H Azis Syarif, Ketua II KONI Jabar M Yudha Saputra, Ketua Pengda Percasi Jabar Syarif Bastaman serta orang tua Irene, Singgih H. Dalam pertemuan itu, kata Azis Syarif, memastikan tidak ada kepindahan Irene ke Jatim, meski sebelumnya atlet nasional itu telah melakukan penandatanganan kerja sama dengan KONI Jatim pada 2012, serta mendapat bantuan dana pembinaan. “Dalam pertemuan itu sudah jelas posisinya, Irene tetap atlet Jabar dan akan memperkuat dalam berbagai kejuaraan dan PON XIX/2016,” kata Azis Syarif. Terlepas dari gagalnya kepindahan Irene ke Jatim, kata Azis Syarif, KONI Jabar tidak merasa menang. Ini karena yang terpenting aturan main telah ditegakkan dan semuanya bisa menerimanya, termasuk atlet yang bersangkutan. “Bukan kalah menang dalam hal ini, namun hal yang baru terjadi itu harus menjadi pelajaran bersama, kepindahan atlet itu harus ditempuh melalui mekanisme yang benar. KONI Jabar selama ini memperjuangkan karena selama ini turut memberi dukungan dan membina Irene Kharisma,” kata Azis Syarif. Terkait kewajiban atlet yang bersangkutan mengembalikan dana kepada KONI Jatim, kata Azis Syarif, menjadi tanggung jawab atlet yang bersangkutan. Namun, ia mengapresiasi PB Percasi yang menyatakan siap mendukung Irene Kharisma dalam berbagai kegiatan. “Kami apresiasi semua pihak bisa melihat permasalahan ini sesuai dengan yang seharusnya, sesuai mekanisme. Dan ke depan Irene akan menjadi tumpuan dan harapan Jabar termasuk di ajang PON XIX/2016,” kata Azis Syarif. Sumber di KONI Jatim mengakui, Irene memang belum mengembalikan dana pembinaan PON 2016. Secara hukum Irene salah tidak mengembalikan dana. Namun, KONI Jatim juga salah. Telah mengalirkan dana pembinaan ketika kesepakatan kontrak belum selesai. Jadi, jelas melanggar hukum. Penyelewengan anggaran dana Hibah Olahraga. Belum kembalinya dana pembinaan Irene, telah jadi rahasia umum. Semua pengurus KONI Jatim yang terlibat dalam PON 2016 sudah tahu ini. Demikian pula, KONI Kabupaten/kota dan Pengprov Percasi Jatim. Ironisnya mereka semua diam. Kabarnya, soal “kontrak atlet” Irene ini yang salah satu bahan pendalaman lembaga hukum. Karena, kontrak belum pasti, dan pindahan belum jelas, tapi KONI Jatim sudah berikan dana pembinaan. Nilainya lumayan besar sekitar Rp15 juta/bulan. Dan. sudah dibayar sekitar 2 tahun lebih. Juga, sebagian dana transfer yang nilainya sama, sekitar Rp500 juta. Menurut Advokat Subagyo, SH, suatu pembayaran dari pihak ke pihak lain itu ada dasar atau alasannya. Apakah itu hibah, atau karena prestasi tertentu, atau karena janji tertentu. Tinggal dilihat kontrak atau perjanjian antara Irene dengan KONI Jatim. Jika misalnya kontraknya adalah agar Irene menjadi atlet Jatim, dan itu tidak bisa terealisasi, berarti kan kontraknya batal. Secara hukum, jika kontraknya batal kan dikembalikan pada posisi semula. Irene harus mengembalikan dana itu ke KONI Jatim. Lalu bagaimana jika dana itu tidak dikembalikan atau Irene tidak mampu mengembalikan? “Ya unsur melawan hukumnya terpenuhi, karena Irene tidak memenuhi kewajiban untuk mengembalikan uang yang bukan haknya kepada KONI Jatim,” tegas Subagyo. Pasal 1360 KUHPerdata jadi dasar kewajiban Irene mengembalikan uang dari KONI Jatim tersebut. “Jika uangnya dari uang negara ya bisa jadi kasus korupsi. Pengurus KONI Jatim yang terlibat ya juga bisa jadi pelaku penyerta dalam kasus korupsinya,” lanjutnya. Sekarang tinggal diperiksa saja terhadap pembayaran itu apakah Irene sudah menjalankan prestasi menurut kontraknya. Terlebih lagi jika penggunaan dana dengan cara pembayaran kepada Irene itu menyalahi peraturan peruntukannya ya bisa jadi perkara. Melihat keseriusan aparat penegak hukum menelusur dugaan penyelewengan penggunaan dana hibah olahraga KONI Jatim ini, sebaiknya Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa segera melakukan klarifikasi ke KONI Jatim. Jika memang benar telah terjadi dugaan korupsi “kontrak atlet” tentunya harus ada pihak yang bertanggung jawab! *** Penulis wartawan senior.
Periodesasi Jabatan Hakim, Logika Menyesatkan Atas Kekuasaan Kehakiman
Patut diduga, bahwa pihak yang mengajukan JR atas UU Mahkamah Agung adalah pihak yang menghendaki runtuhnya Indonesia sebagai negara hukum. Sebab yang terjadi adalah adanya pelemahan terhadap kekuasaan kehakiman. Jika kekuasaan kehakiman menjadi tidak berdaya dan lemah dalam menjalankan fungsinya, maka sudah dipastikan akan terjadi dominasi kekuasaan yang terpusat pada satu kekuasaan tertentu. By Dr. Ismail Rumadan Jakarta, FNN - Jabatan hakim adalah suatu jabatan yang dijamin kebebasan dan kemerdekaannya. Hakim yang harus bebas itum baik di dalam konstitusi maupun prinsip- prinsip universal kekuasaan kehakiman. Article A.1-A.2 International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence,1982, menyebutkan bahwa, “hakim harus mendapatkan independensi personal dan independensi substantif." Independensi personal, mengartikan bahwa syarat dan kondisi pelayanan peradilan dijamin secara memadai. Harus dipastikan bahwa hakim tidak tunduk pada kontrol eksekutif. Sedangkan Independensi substantif, mengartikan bahwa dalam melaksanakan fungsi yudisialnya, hakim tidak tunduk pada tekanan apapun selain hukum dan hati nuraninya. Untuk itu, kekuasaan kehakiman secara keseluruhan harus mendapatkan otonomi dan independensi. Berkaitan dengan itu, patut dipertanyakan apa rasio legis yang digunakan oleh pihak yang mengajukan Judicial Review (JR) terhadap UU Nomor 3 tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung, terkait dengan masa jabatan hakim Agung? Logika yang dibangun oleh pihak yang mengajukan JR terhadap UU Mahkamah Agung adalah sebuah logika yang sangat dangkal dan minim landasan filosofis. Logika yang dibangun tak lain hanya bersandarkan kepada kepentingan praktis semata. Apalagi dengan membandingkan jabatan hakim dengan jabatan yang lain, seperti jabatan Presiden dan Jabatan Wakil Presiden, yang dipilih lima tahun sekali. Sangat dangkal sekali. Setelah itu, Presiden dan Wakil Presiden dapat dipilih kembali dalam periode berikutnya, untuk jangka waktu lima tahun. Tanpa melihat pada apa karakter dan jenis kewenangan yang melekat pada kekuasaan kehakiman tersebut. Membandingkan kekuasaan Presiden dan Wakil Presiden dengan kekuasan kehakiman adalah penyesatan yang mengada-ada. Jika dibandingkan dengan kekuasaan lain, seperti Presiden dan DPR. Secara esensial, masing-masing jabatan memiliki karakter yang berbeda-beda. Dari sisi fungsi dan kewenanganya, juga masing-masing berbeda. Tidak dapat disamakan, atau dicoba untuk disamakan. Demikian juga dengan cara pengisian jabatan terkait kekuasaan kehakiman. Berbeda dengan cara pengisian jabatan kekuasaan Presiden dan Wakil Presiden, Begitu juga dengan kekuasaan DPR. Kekuasaan Kehakiman adalah suatu kekuasaan yang dikonstruksikan sebagai kekuasaan yang merdeka. Yang terbebas dari segala bentuk intervensi dan campur tangan kekuasaan lain. Oleh karena itu, di Amerika Serikat misalnya, masa jabatan Hakim Agung itu seumur hidup. Setelah ditetapkan atau dipilih oleh Kongres, Hakim Agung dapat menjalankan tugas dan kewenangannya selama seumur hidup. Kewenangan ini diberikan, agar Hakim Agung yang terpilih tidak terikat atau tergantung dengan kepentingan politik apapun. Pada tahun 1953, ada usaha untuk mengubah masa jabatan Hakim Agung, termasuk hakim Negara Federal. Dari sebelumnya dari seumur hidup, menjadi usia 75 tahun melalui amandement Konstitusi Amerika Serikat. Usul ini diajukan oleh American Bar Association yang diterima oleh Senat tahun 1954. Akan tetapi upaya ini kemudian ditolak oleh Hose Representative, sehingga upaya amandement untuk mengurangi masa pensiun Hakim Agung itupun tidak berhasil. Upaya pembatasan masa jabatan Hakim Agung ini ditolak. Penolakan semata-mata untuk menjaga agar independensi keluasaan kehakiman tetap terjaga. Para hakim terbebas dari tekanan politik. Para hakim juga harus bebas dalam menguji undang-undang sebagai produk Kongres dan tindakan-tindakn kekuasaan Eksekutif yang bertentangan dengan Kinstitusi. Sudah dapat dipastikan jika saja hakim agung diseleksi setiap lima tahun sekali, maka sangat rawan dan rentan akan intervensi politik. Hakim Agung yang diseleksi sangat memiliki ketergantungan secara politik dengan kekuasaan maupun partai-partai politik yang ada di DPR. Jika kondisi ini yang terjadi, maka para hakim tidak bebas dan tidak mandiri dalm menjalankan kekuasaan kehakiman. Dapat dikatakan bahwa kekuasan yudikatif terbelenggu oleh kekuatan dan tekanan politik dari kekuasan legislatif maupun kekuasaan eksekutif. Patut diduga, bahwa pihak yang mengajukan JR atas UU Mahkamah Agung adalah pihak yang menghendaki runtuhnya Indonesia sebagai negara hukum. Sebab yang terjadi adalah adanya pelemahan terhadap kekuasaan kehakiman. Jika kekuasaan kehakiman menjadi tidak berdaya dan lemah dalam menjalankan fungsinya, maka sudah dipastikan akan terjadi dominasi kekuasaan yang terpusat pada satu kekuasaan tertentu. Pada kondisi semacam inilah, sangat dikhawatirkan akan terjadi penyalagunaan kewenangan. Korupsi bisa terjadi di setiap sektor pelayanan publik. Bahkan tindakan-tindakan zolim bisa saja terjadi setiap saat kepada masyarakat. Jaminan akan kepastian hukum dan keadilan bagi warga masyarakat pencari keadilan tak kunjung diperoleh akibat lemahnya kekuasaan kehakiman. Sekali lagi, patut diduga bahwa pihak yang mengajukan JR atas UU Mahkamah Agung adalah pihak yang menghendaki, agar pelaksanaan fungsi checks and balances system antar pelaksana kekuasaan dalam mengontrol jalannya pemerintahan tidak berjalan normal sebagaimana mestinya. Penulis adalah Dosen Fakuktas Hukum Universitas Nasional Jakarta
RUU Omibus Ciptakan “Fasilitas Kerja Untuk Korporasi”
By Dr. Margarito Kamis (Bagian Pertama) Jakarta FNN - Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus (artinya semua – multi aspek, multi faset, ragam materi) Cipta Kerja, yang telah diserahkan ke DPR untuk dibahas bersama Presiden, sejauh ini disebut-sebut bertujuan mengakselerasi investasi. Tetapi tujuan ini, nampaknya bukan tujuan tunggal. Ini disebabkan Airlangga Hartarto, Menteri kordinator Ekonomi, menyatakan RUU ini menghindarkan Presiden dari kemungkinan pemakzulan. Pemakzulan akibat dari kesalahan menterinya, (RMol, 20/2/2020). Andai benar inilah tujuan utamanya, maka masalahnya apakah cara ini tepat, dan perlu? Tidakkah cara ini memilki potensi jebakan? Presiden, tentu lebih mengerti. Presiden Pusat Kontrol Tetapi terlepas dari logis atau tidaknya pernyataan Airlangga. Baik juga untuk menerimanya. Entah tujuan atau apapun namanya, otoritatif RUU ini. Ini menarik. Dimana letak menariknya? Hal-hal menarik itu akan ditunjukan sejauh yang bisa pada uraian selanjutnya. Tetapi simpan sebentar analisis teknis atas norma. Mari mengenal nalar. Tentu saja yang terlihat dibalik gagasan menjadikan presiden sebagai pusat kontrol pemerintahan dibidang investasi. Pointnya adalah presiden muncul sebagai pusat kontrol. Inilah point strategisnya. Sebagai pusat kontrol, presiden dari waktu ke waktu di sepanjang hari dalam menyelengarakan pemerintahan harus memperoleh laporan terbaru tentang hal-ihwal investasi. Presiden, dengan demikian, dari hari ke hari juga harus mengeluarkan seluruh energi politik dan teknisnya memastikan kelangsungan investasi. Menteri-menteri, suka atau tidak, dari hari ke hari harus memberi kepastian informasi pasti dan terbaru kepada Presiden bahwa tindakan-tindakan administrasi mereka tidak teridentifikasi menjadi barir investasi. Ini logis. Mengapa? Presiden, menurut pasal 166 dan 170 RUU ini diberi kewenangan khusus, eksklusif mengubah semua peraturan perundangan yang dinilai bertentangan dengan UU ini. Selain menteri, para investor dapat, tentu saja dengan cara dan argumen mereka, memberi informasi terbaru. Strategis atau tidak, apapun yang mereka hadapi atau alami, informasih itu perlu sampai kepada Presiden. Ini logis. Mengapa? Toh kewenangan memutus, bahkan mengatur telah diletakan pada Presiden. Logis para investor memberi informasi langsung ke Presiden. Sampai dititik itu, pola pemberian kewenangan kepada Presiden terlihat rasional menurut sudut pandang konsititusi. Polanya eksplisit. Diatur dan dinyatakan dalam undang-undang. Bukan implisit, yakni ditarik dari fungsi presiden sebagai kepala pemerintahan. Sebagaimana terbiasa digunakan oleh Presiden Soeharto di masa lalu dan presiden-presiden Amerika sejak era Abrahan Lincoln. Mereka menggunakan executive order. Kebijakan dalam RUU ini dengan tegas menguatkan Presiden. Bukan Wakil Presiden. Presiden menjadi satu-satunya figur tata negara dan adinistrasi negara yang menentukan arah kebijakan investasi. Wapres Pak Kiyai Ma’ruf Amin mungkin saja bisa ikut memikirkan, tetapi tidak bisa mengambil tindakan bersifat decisive. Wapres Pak Ma’ruf tidak bisa berperan layaknya Pak JK dimasa lalu. Pada saat menjadi Wakil Presidennya Pak Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009), Pak Jusuf Kalla (JK) pernah menangani Excon Mobil yang beroperasi di Natuna. Tahu mengapa Pak JK berkeras harus mengubah konrak itu? Karena formula bagi hasinya tidak adil menurut Pak JK. Tahu bagaimana komposisi bagi hasilnya? 80 untuk Exon dan 20 untuk Indonesia. Timpang sekali menurut Pak JK. Niat Pak JK itu disampaikan ke eksekutif Exon ketika Pak JK berada di Amerika. Eksekutif Exon bereaksi, dalam nada yang menolak. Tetapi Pak JK, pria Bugis yang cerdas nan lincah ini bertahan pada sikapnya. Apa yang terjadi? Eksekutif Exon menempuh cara khasnya, melobi Pak JK. Tetapi Pak JK tidak mau dilobi. Pak JK memberi alasan mau ke Arab menunaikan ibadah umrah. Eksekutif Exon, tidak patah arang. Eksekutif ini mau menyertai Pak JK ke Arab. Pak JK menolak. Pak JK mengatakan ini urusan pribadi. Tetapi Eksekutif Exon tetap kukuh. Si eksekutif bilang kalau begitu di Jakarta saja. Hebat, Pak JK tidak mau. Pak JK bilang dia mau langsung ke Makassar. Pada satu kesempatan, yang menurut saya ini menarik. Pak JK mengatakan kalau saja dirinya suka uang, pastilah “imannya” goyang dengan lobi Exon itu. Tetapi karena konsisten dengan apa yang dilakukannya, semata untuk negara dan bangsa, JK sepelekan lobi Exon tersebut. Hebat Pak JK. Pada kasus lain, khususnya penjualan gas di Lapangan Tangguh ke Cina, yang menurt identiikasi Pak JK sangat murah itu sasngat mengusik Pak Jk. Karena itu, Pak JK berencana mengubah kontraknya. JK menyampaikan niatnya itu ke Wapres Cina pada satu pertemuan. Sang Wapres Cina terkaget-kaget. Tetapi Pak JK segera menenangkan sang Wapres. Pak JK memberi kepastian dukungan suplai tidak dikurangi. Mendapat jaminan itu, Wapres Cina pun sepakat untuk mencari cara mengubah kontrak tersebut. Hanya saja Wapres Cina menyatakan, dalam arti memberi syarat harus dilakukan melalui perundingan antara pemerintah atau G to G (Lihat JK Ensiklopedia, 2012:305-307). Kecuali diotorisasi secara khusus oleh Presiden, cara tipikal Pak JK dalam pemerintahan Pak SBY ini jelas tidak bisa dilakukan oleh Pak Wapres Ma’ruf. Ini, sekali lagi merupakan akibat logis dari wewenang eksklusif di bidang ini telah diletakan, dikonsentrasikan hanya kepada Presiden. Berurusan dengan pemegang otoritas eksklusif jauh lebih masuk akal, dibanding berurusan dengan pejabat lain, apapun fungsi mereka. Toh pejabat lain tidak bisa memberi keputusan. Karena wewenang untuk memutuskan telah dikonsentrasikan secara eksklusif pada Presiden. RUU Omnibus ini, sejauh pasal-pasal yang telah dikenali secara terbuka, cukup jelas dalam satu hal. Hal itu adalah menciptakan iklim yang lebih bersahabat dengan investasi. Untuk alasan apapun, RUU in jelas disukai oleh korporasi. Mereka, dengan tabiat ekspansifnya, terus menemukan ladang usaha baru, apapun itu. Dengan nalar logis, tidak mungkin mengeritik RUU ini. Kasus Exon yang diceritakan Pak JK hanya satu di antara sejumlah kasus tentang korporasi. Prilaku koporasi yang meraup untung dari kebijakan investasi, yang didahului pembentukan UU. Freeport juga muncul diujung lain dalam spektrum itu. Hak eksklusif mereka dalam menambang dibenarkan oleh UU Penanaman Modal Asing dan UU Pertambangan Tahun 1967. Di luar kebijakan-kebijakan investasi yang diatur melalui UU, Indonesia dalam rute liberalisasi ekonomi tahun 1980-an, mengandalkan hukum-hukum administrasi untuk tjuan itu. Singkatnya, keputusan-keputusan Presiden dindalkan dalam rute ini. Dalam konteks ini, maka spirit RUU Omnibus sama dalam esensinya dengan spirit kebijakan-kebijakan liberalisasi Orde Baru. Rezim Orde Baru menempatkan Presiden sebagai pusat kontrol kebijakan itu. Tetapi yang diandalkan adalah Kepres. Bukan Perpres. Masalahnya adalah, seberapa potensial kebijakan-kebijakan investasi di tangan presiden dirancang dan dimanifestasikan menurut kaidah dan spirit transparansi? Jangan lupa, soal ini gagal dimanifestasikan oleh orde baru. Dan disitulah masalahnya. David Bouchier dalam artikel “Magic Memos, Collusion and Judges With Attitude, dalam buku Law Capitalism and Power in Asia dengan Kaniskya Jayasuriya (ed) di masa orde baru, koneksi politik muncul menjadi faktor penting dan determinan menentukan keberhasilan usaha. Anna Erliyana disisi lain, dalam studi doktoralnya di Fakultas Hukum UI tahun 2004 menyuguhkan satu kasus menarik. Gugatan dari Gerakan Masyarakat Peduli Harta Negara yang dioreguister dengan Nomor Register 091/G.TUN/1998/PTUN-JKT tanggal 30 September 1998. Di antara 15 (lima belas) Kepres yang dijadikan objek gugatan, satu di antaranya adalah Kepres Nomor 3 Tahun 1991 Tentang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Singapura Tentang Pengembangan Sumber-Sumber Air di Provinsi Riau dan Pemasokan Air dari Indonesi ke Singapura. Dalam pelaksanaannya, tulis Anna, Keputusan Presiden itu memberikan hak khusus kepada perusahaan patungan yang dimiliki kelompok Salim. Grup Salim diberikan diberikan mandat eksklusif untuk mengusahakan pengembangan dan pemasokan air baru dari setiap sumber di Riau (Anna Arliyana, 2004: 128). Pada isu lain, khusus impor berbagai jenis di bawah kategori baja dan besi, menunjukan adanya kebijakan pemberian hak yang eksklusif itu. Rizal Malarangeng mencatat PT Krakatau Steel dan PT Giwang Selogam semula diberi hak eksklusif untuk mengimpor. Setelah tahun 1985, Rizal menulis semua perusahaan lain yang bergerak di bidang yang sama disingkirkan, kecuali PT Krakatau Steel dan PT Giwang Selogam. Dengan nada tanya yang kritis, Rizal menulis siapa yang menguasai perusahaan yang disebut terakhir? Ternyata Lim Sio Liong, Sudwikatmono dan rekan-rekan bisnis mereka (Rizal Malarangeng, 2002: 162). Inilah bahaya nyata dari konsentrasi kewenangan untuk banyak urusan teknis pada Presiden. (bersambung) Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khiarun Ternate
Novel Baswedan, Orang Buta Dalam Obor Kehidupan
By Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta FNN – Saya benar-benar Bangga. Saya telah bangga sebelumnya, ketika mengetahui akan dipanel dengan Novel Baswedan kemarin sore dalam pengajian di sebuah daerah di pondok bambu Jakarta Timur. Subhanallaah, Alhamdulillaah. Novel dikenal sebagai penegak hukum tangan besi bagi para koruptor. Novel juga berani mengambil resiko besar terhadap ke hidupnya yang selalu terancam mati. Matanya sendiri sudah disiram air keras sejaK dua tahun lalu. Itulah resiko perjuangan yang harus ditanggung Novel. Dr. Ahmad Yani MH, ahli hukum dan bekas anggota DPR RI bercerita kepada saya tentang Novel. Dalam sebuah pertemuan kebetulan dengan Novel di sebuah bandara, beberapa waktu bahwa “mata Novel yang buta atau hampir buta saat itu”. Novel bertanya kepada Yani, coba tebak, mata mana saya yang masih bisa melihat? Yani melihat, lalu mengatakan mata kanan. Jawaban Yani salah. Kenapa? Jawaban yang benar adalah mata kiri yang terlihat buta, justru masih bisa sedikit melihat. Sedang mata kanan yang kelihatan normal, justru sudah buta. Karena disiram dengan air keras. Kemarin, saya telah berbincang-bincang dengan Novel Baswedan selepas sholat Maghrib sambil menunggu Isya. Sekalian makan nasi kebuli. Karena acara kemarin akan berlangsung habis sholat Isya. Pertemuan itu mengupas berbagai kejahatan korupsi di negara ini. Novel, misalnya, mengingatkan hati-hati tentang Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja. Nanti bisa jadi, akan lebih gampang lagi kejahatan pengurasan sumber daya alam bangsa Indonesia. Untuk bayar biaya politik. Saya celetuk, "bukankah biaya politik sudah selesai dengan Jiwasraya?" Kebanggaan saya sirna setelah sholat Isya. Acara dimulai dengan paparan pertama dari Novel Baswedan. Setelah Novel menegaskan bahayanya korupsi di Indonesia serta tantangannya yang lebih besar saat ini. Novel menutup ceramahnya dengan berkata “sesungguhnya saya harus memberitahu anda semua, tadinya mata kiri saya masih bisa melihat secara samar. Namun, mata inipun sudah buta. Saya tidak dapat lagi melihat anda semua". Hilangnya kebanggaan saya setelah saya mengetahui bahwa Novel Baswedan tidak pernah melihat sosok siapa Syahganda Nainggolan itu. Novel Baswedan “is a Blind Man”. Panjang lebar perbincangan saya sebelumnya, antara Maghrib dan Isya, "hanyalah"pada orang yang tidak bisa melihat saya”. Itu membuat saya sama sekali tidak bangga. Tentu awalnya. Buta Mata, Terang di Hati Untuk memulihkan kebanggaan saya bertemu dengan Novel yang buta, saya harus membaca cerita-cerita tentang orang buta. "The Blind Man and The King", "The Blind Man and The Lamp", "The Blind Man and The Lame", "Jesus and the Blind", "Nabi Isa dan Orang Buta, Cerita tentang Si Buta Dari Gua Hantu, dan cerita orang butan lainnya. Orang buta ternyata bukanlah orang buta. Itu pertama ketika pernyataan terkahir Novel Baswedan dalam ceramahnya. "Mata saya telah menjadi buta. Namun, saya tidak akan pernah menyesalinya. Saya lebih takut kalau saya memilih jalan yang salah". "Tale story" maupun "true story" tentang orang buta yang banyak berguna bagi kehidupan kemanusian. Ternyata mengartikan buta sama dengan "jalan yang salah". Kebutaan yang benar-benar buta adalah jalan sesat. Jalan kejahatan. Manusia-manusia yang matanya benar-benar buta sesungguhnya manusia-manusia yang hidup dalam kesesatan, seperti koruptor-koruptor itu. Novel Baswedan awalnya matanya terang dan hatinya bersinar. Namun, mafia-mafia perampokan asset bangsa dan boneka-bonek nya telah memerintahkan penyiraman air keras kepada Novel. Kita tahu ketika Novel keluar dari Masjid sehabis Subuh di dekat rumahnya, pelaku pembutaan menyiramkan air keras ke mata Novel. Untuk mempertahankan matanya, sehabis kejadian 11 April 2017, Novel di bawa ke Eye Center Jakarta kemudian dirawat di Singapore General Hospital. Setelah hampir tahun tahun, Novel akhirnya buta. Matanya sudah tidak bersinar lagi. Namun, hati Novel tetap bersinar terang. Sebab Novel tidak menyesali resiko matanya . Novel berkata tadi, "saya lebih takut kalau berada dijalan yang salah". Artinya dia lebih takut kalau hatinya tidak bersinar, bukan matanya. Dan Novel, dalam ceramahnya, mengatakan, "Saya akan berjalan sendiri, jika memang kalau itu harus sendiri, dalam melawan kezaliman para koruptor-koruptor" Tantangan Kita Novel adalah petugas resmi negara. Bertahun-tahun penyiram air keras ke Novel raib tak ditemukan. Mirip Harun Masiku. Meski akhirnya ada dua opsir polisi yang mengaku beberapa bulan lalu. Pengakuan itu tidak menghilangkan misteri. Karena rakyat percaya bahwa penyiram mata Novel adalah sebuah kejahatan besar dari "organisasi mafia" besar yang terlibat. Pada saat Novel disiram air keras, matanya, KPK masih berjaya. Namun, saat ini KPK telah tersandera. Menggeledah sebuah kantor partaipun sudah kesulitan. Berbagai kasus atau 36 kasus, akhirnya di SP3 alias “dipetieskan”. Era pemberantasan korupsi, sebagai ikon perjuangan paska reformasi kelihatannya berakhir saat ini. Mati felan-felan Lalu bagaimana tantangan pemberantasan korupsi ke depan? Tentu saja "kematian" KPK bukan kematian rakyat dalam mengawasi korupsi dan melawan koruptor2 itu. Dukungan besar kepada KPK sepanjang sejarahnya, selama ini ditunjukkan dengan aksi rakyat ke KPK, aksi simpati. Sampai-sampai Jubir Jokowi, Fadjroel Rachman, tercatat dalam sejarah membotakkan kepalanya di KPK, disorot semua TV. Padahal semua aktifis ITB tahun 80an pernah botak kepalanya karena ikut OS, Ospek. Plonco. Hanya Fadjroel yang dulu tidak ikut Plonco, sehingga belum pernah gunduli kepala. Nah, dukungan rakyat pada pemberantasan korupsi saat ini akhirnya tidak punya saluran lagi. Kita lihat massa rakyat dalam tema anti korupsi Jumat kemarin sudah ke istana negara. Bukan lagi ke KPK. Begitu juga berbagai aktifitas para aktifis dalam menyuarakan anti korupsi, selain ke jalan, saat ini memenuhi ruang media sosial dan diskusi publik. Sekitar sepuluh ribu massa tumpah ruah kemarin di depan istana. Itu adalah sebuah langkah awal rakyat yang baik menyoroti korupsi. Menyalurkan aspirasi langsung ke istana. Dan Mahfud MD, Menteri Kordinator Polhukam, mengapresiasi isu dan aksi tersebut. Pola baru tuntutan massa rakyat ini akan membutuhkan ujian serius. Apakah suara mereka didengar para penguasa atau tidak? Jika praktek korupsi tetap merajalela, maka massa itu mungkin bukan lagi sepuluh ribu, bisa jadi bergerak ke angka aksi 212, yakni sepuluh juta jiwa. Penutup Kebanggaan saya berkenalan dengan Novel Baswedan yang awalnya sirna, ketika mengetahui bahwa beliau telah buta total.Novel tidak lagi mengenali audiens, berangsur membuat saya bengga kembali bangga kembali. Karena ternyata buta mata Novel bukanlah buta mata hatinya. Kebutaan mata fisik hanyalah bagian kecil dari perjuangan Novel. Dia lebih takut jika mata hatinya yang buta. Novel memastikan perjuangannya melawan korupsi dan mafia-mafia akan terus berlanjut. Menurutnya, buta itu adalah berada di jalan yang sesat. Dan dia memilih tidak di jalan yang sesat itu. Setelah Novel pergi dari majelis pengajian kemarin malam, dan saya mulai berbicara. Saya sampaikan "perjuangan ideologis itu bukanlah mempertentangkan Pancasila vs Agama. Namun, perjuangan ideologis adalah seperti Novel Baswedan. Mengambil resiko buta, tapi memilih hidup dijalan yang benar. Novel menyatakan “tidak akan kompromi dengan koruptor dan mafia-mafia itu”. Atas keberanianya, Novel mendapat peghargaan internasional dari Perdana Internasional Anticorruption Champion Foundation (PIACFF) tahun 2020. Kita harus belajar tentang kehidupan dari Novel Baswedan, "Orang Buta Yang Menjadi Obor Kehidupan". Bravo, Novel! Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle
Kasus Imam Nahrawi, Pintu Masuk Skandal KONI Daerah!
Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Siapa yang tidak kenal dengan Imam Nahrawi? Namanya mulai mencuat sejak menjadi Ketua DPW PKB Jatim. Jejak digital mencatat, Minggu (20/7/2008), bersama PKB kubu Muhaimin Iskandar, ia bersukaria atas kekalahan KH Abdurrahman Wahid. Mereka melakukan syukuran paska kemenangan kubu Imin setelah MA menolak kasasi PKB kubu Gus Dur itu. Ia mencukur gundul rambutnya. Ketika itu, Ketua Dewan Syuro, KH Azis Mansyur sendiri yang memotong rambut Imam. Itulah jejaknya. Setelah 11 tahun aksi gundul itu, Menpora Imam Nahrawi harus menjadi pesakinan dan telah ditetapkan KPK karena diduga menerima gratifikasi senilai Rp 16,5 miliar dari KONI sebagai commitment fee pengurusan pencairan dana hibah Kemenpora. Kasus dugaan tipikor pemberian dana hibah KONI ini telah sampai pada penetapan Menpora Imam Nahrawi sebagai tersangka oleh KPK. Sebelum Imam, KPK telah menjerat lima orang tersangka kasus dana hibah tersebut. Mereka adalah Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy, Bendahara Umum KONI Johnny E. Awuy, dua staf Kemenpora yakni Adhi Purnomo dan Eko Triyanto, serta Mantan Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kemenpora, Mulyana. Ending dan Johnny telah divonis bersalah oleh majelis hakim tipikor. Ending selaku Sekjen KONI dihukum 2 tahun delapan bulan penjara, sementara Johnny sebagai Bendahara Umum KONI divonis penjara 1 tahun delapan bulan. Selain itu, Adhi Purnomo, Eko Triyanto, dan Mulyana juga baru saja menerima vonis majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta pada 12 September 2019 lalu. Tanda-tanda Imam bakal menjadi tersangka seusai Sesmenpora Gatot Dewa Broto diperiksa dalam penyelidikan KPK, Jum’at (26/7/2019). Saat itu Gatot mengaku diperiksa KPK terkait pengelolaan anggaran di Kemenpora. “KPK ingin tahu tentang pola pengelolaan anggaran dan program sepanjang tahun 2014 sampai dengan 2018. Kenapa harus saya? Karena saya sebagai Sesmenpora,” kata Gatot. Alhasil, ungkap KPK, Imam menerima suap dan gratifikasi sebesar Rp 26,5 miliar sepanjang pada 2014 hingga 2018. Isyarat penetapan tersangka kepada Imam sudah mulai tercium sejak KPK tiba-tiba menahan asisten pribadinya, Miftahul Ulum, Rabu (11/9/2019). Saat itu, penetapan tersangka pada Ulum belum diumumkan KPK. Sepekan setelah menahan Ulum, KPK pun akhirnya mengumumkan Ulum dan Imam sebagai tersangka. Fantastis nilainya! Total uang Rp 26,5 miliar yang disangkakan sebagai gratifikasi yang telah diterima mantan Menpora Imam Nahrawi sepanjang tahun 2014 hingga 2018 itu tentu bukan hanya dipakai Imam pribadi. Pasti juga mengalir ke pihak lain. Jum’at (14/2/2020) Imam mulai disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Dalam perkara suap KONI itu, KPK menetapkan Imam dan asisten pribadinya Miftahul Ulum sebagai tersangka. Imam disangka menerima uang sebesar Rp 26,5 miliar. Uang itu diduga merupakan imbalan atas pengurusan proposal hibah yang diajukan KONI kepada Kemenpora TA 2018, imbalan sebagai ketua Dewan Pengarah Satlak Prima, dan penerimaan lain yang berhubungan dengan jabatan Imam sebagai Menpora. Uang tersebut diduga digunakan untuk kepentingan pribadi Menpora dan pihak lain yang terkait. Dalam rentang 2014-2018, Menpora melalui Ulum diduga telah menerima uang sejumlah Rp 14,7 miliar. Menurut Jaksa KPK Ronald Worotikan, selain penerimaan uang, dalam rentang waktu 2016-2018, Imam diduga juga meminta uang sejumlah total Rp 11,8 miliar. Imam dan Ulum disangka melanggar pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 12 B atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Melansir Tempo.co, Jumat (14 Februari 2020 13:13 WIB), Imam menyebut bahwa dakwaan yang dibacakan JPU KPK fiktif. “Banyak narasi fiktif di sini, nanti kami akan lihat,” kata Imam usai menjalani sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (14/2/2020). Hibah Daerah Skandal korupsi Dana Hibah KONI yang menjerat Imam Nahrawi Cs tersebut berpotensi merembet ke daerah. KONI Provinsi yang berpotensi dijaring KPK dan Kejaksaan, yaitu yang banyak melakukan Kontrak Atlet untuk PON 2008, 2012, dan 2016. Dalam setiap penyelenggaraan PON pasti terjadi Transfer Atlet Nasional antar provinsi yang menggunakan Dana Hibah Olahraga dari Pemprov. Padahal, Dana Hibah Olahraga Provinsi itu targetnya untuk Pembinaan Atlet Daerah. Kalau lembaga penegak hukum tak mampu mengungkap dan seret Pengurus KONI Provinsi ke penjara, berarti ada sistem hukum yang “salah urus”. Karena, ada banyak atlet provinsi lain yang ditransfer untuk PON. Penyelewengan Dana Hibah Olahraga Daerah semakin besar dilakukan oleh KONI Provinsi di posisi 3 besar PON 2008, 2012, dan 2016. Ketiga besar PON itu adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Ketiga daerah dipastikan melakukan penyelewengan Dana Hibah Olahraga dari Pemprovnya. Untuk fee transfer dan kontrak atlet nasional dari provinsi rival. Nilainya terbanyak dibanding daerah lain. Kasus korupsi Imam Nahrawi itu hanya sebagai pintu masuk. Karena nilainya kecil. Ini justru yang terbanyak itu terjadi di daerah. Penyelewengan yang dilakukan KONI Provinsi tersebut berkendok permainan kontrak pemain. Tapi, kebocoran yang terjadi mencapai ratusan miliar rupiah pada setiap tahun. Konon, KPK dan Kejaksaan sedang “membidik” ini. KONI Daerah yang jadi target pengungkapan korupsi Dana Hibah Olahraga dari Pemprov itu adalah: tiga besar PON 2008, 2012, dan 2016. Ketiga daerah peserta kontingen PON 2008, 2012, dan 2016 itu yang banyak kontrak atlet nasional milik provinsi lain. Karena, dana Hibah Olahraga dilarang digunakan untuk bayar Fee Transfer dan kontrak pemain. UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, PP Nomor 16, 17, dan 18 Tahun 2007 sudah memastikan dana Hibah Olahraga hanya untuk Pembinaan Atlet Daerah. Bukan Dana Transfer Atlet! Dalam setiap penyelenggaraan PON, dipastikan terjadi transfer atlet nasional antar provinsi yang menggunakan Dana Hibah Olahraga. Kalau mulus tanpa manuver politik, semua KONI Daerah siap-siap dijerat terkait Dana Hibah yang diselewengkan untuk fee transfer atlet. Modusnya, pengembalian Sisa Dana dari Kwitansi tersebut menggunakan Rekening Pribadi Bendahara Umum KONI Provinsi. Tujuannya, supaya tidak terlacak. Kwitansi berstempel KONI Provinsi itu Bernilai A, yang diterima atlet 1/3A - 1/2A, sisanya wajib dikembalikan. Kabarnya, bukti skandal Dana Hibah KONI Provinsi itu sudah di tangan institusi penegak hukum. Termasuk Kwitansi dan Rekaman Video. Indra Gunawan, 31 tahun, adalah salah satu atlet renang nasional yang pada PON 2016 lalu membela kontingen Jawa Timur. Ia dikontrak Jawa Timur bersama beberapa atlet nasional lainnya seperti Glenn Victor Sutanto. Mengutip Kompas.com (11/02/2016, 20:07), Indra Gunawan merupakan peraih satu-satunya medali emas buat tim renang Indonesia di ajang SEA Games di Singapura, Juni 2015. Ketika itu Indra meraih medali emas di nomor 50 meter gaya dada. Indra Gunawan yang dikontrak Jatim setelah pindah dari Sumatera Utara adalah salah satu bukti adanya kontrak atlet antar provinsi. Penulis wartawan senior.
Transformasi FPI dan Revolusi Sosial
By Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta FFN – Jumat lusa, 21/2 Front Pembela Islam(FPI) akan menggelar demo besar-besaran untuk melawan wabah korupsi yang merajalela di Indonesia. Wabah korupsi itu semakin menjadi sejak kepemimpinan Jokowi. Pembobolan institusi keuangan, misalnya, di jaman Habibie berjumlah sebesar Ro. 400 milar, kasus "cessie" Bank Bali. Pembobolan jaman SBY naik tajam sebesar Rp. 6,7 triliun pada Kasus Bank Century. Nah, di jaman Jokowi ini naik menjadi 17 Triliun, kasus Jiwasraya. Ditambah Asabri akan menjadi Rp. 25 Triliun. Semua ini berujunga pada sebuah skandal politik. Pembobolan perusahaan asuransi milik negara. Umumnya perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu terkait dengan kekuasaan. Bahkan, Soesilo Bambang Yudhoyono menantang rezim Jokowi dan DPR untuk membongkar keterkaitan pembobolan Jiwasraya dengan pendanaan pilpres 2019. Ini adalah gerakan FPI pertama kali dalam tema strategis. FPI bergerak di luar urusan keagamaan an sich. Atau dengan kata lain, perjuangan Islam memang dikatakan strategis kalau perjuangan itu sudah masuk kepada tema-tema struktural. Menyangkut dengan nasib rakyat yang dihancurkan melalui agenda-agenda korupsi kekuasaan. Transformasi Besar FPI Beberapa bulan lalu ketika saya di panel dengan Rocky Gerung (RG), di acara talk show Rahma Sarita, saya kaget dengan statement RG. Katanya, dia dulu paling benci lihat FPI dan Munarman. Dulu, di mata RG, FPI hanyalah preman berjubah putih. Namun, RG mengatakan bahwa FPI saat ini sungguh luar biasa. Larena FPI, dimata Rocky, telah mengambil peran yang sangat positif, sebagai pembela rakyat. Beberapa hari lalu, hal senada kita lihat dalam berita yang menyajikan pandangan Rizal Ramli. Rizal sangat kagum ketika menjadi pembicara pada acara yang diadakan FPI (bersama GNPF dan Alumni 212) tentang BPJS (Badan Pelaksana Jaminan Sosial). Rizal tidak membayangkan FPI dan kelompok-kelompok Islam militan ini konsern pada isu strategis seperti kenaikan iuran BPJS yang menyakitkan rakyat banyak. Bagi Rizal Ramli dan Rocky Gerung, tokoh sekuler yang di masa lalu alergi dengan FPI, memberi apresiasi terhadap FPI, bisa dimaknai dengan terjadinya transformasi FPI. Menjadi organisasi yang lebih dewasa dan bertanggung jawab. Namun, sebenarnya di sisi lain kita bisa juga melihat bahwa baik Rizal Ramli maupun RG, mungkin juga bertransformasi ke arah pemahaman yang utuh tentang pergerakan Islam. Kedua hal di atas, apapun faktanya, perlu diteliti dan di apresiasi. Pergerakan Islam maupun pergerakan ideologis lainnya memang ditahap awal membutuhkan doktrin tunggal kepada pengikutnya. Hal ini penting untuk menjaga pertumbuhan awal organisasi agar tidak disusupi pemikiran lain yang merusak maupun pembelokan arah gerakan. Dengan begitu, kita melihat sejak berdirinya FPI tahun 1998 sampai tahun 2014, tema-tema perjuangan FPI masih fokus pada isu "sektarianisme". Misalnya, anti maksiat, anti Syiah, anti Ahmadiyah, anti Komunis serta fokus melindungi diri dengan ajaran Ahlussunnah Waljamaah (versi Habaib). Pada tahun 2015, khususnya sejak aksi Parade Tauhid, bulan Juni, FPI masuk pada agenda kekuasaan (power). Pada tahun yang sama, bulan Desember, pada aksi 4/11 dan 2/12, gerakan FPI total berkembang pada isu kekuasaan. FPI akan selalu di garda paling depan mengahadapi kekuasan yang korup, zalim, dan semena-mena. Isu kekuasaan maksudnya adalah FPI secara terbuka menentang kekuasaan yang sedang eksis, yakni kekuasaan Jokowi. Bahkan, pada tahun 2017, FPI berhasil mendongkel Ahok dari kekuasaannya di Jakarta. Padahal Ahok di dukung penuh oleh semua kekuasaan rezim Jokowi. Setelah masuk pada isu kekuasaan, FPI berkembang seiring dengan munculnya “mazhab Rizieqisme". Mazhab yang menggambarkan pergolakan pikiran dan ajaran Habib Rizieq tentang Ideologi Negara, Pancasila. Pembelaan atas orang-orang miskin, konsep negara syariah. Dalam tulisan saya sebelumnya, “mazhab Rizieqisme” yang saya maksud itu mencakup ajaran HRS. Pertama, perjuangan Islam adalah perjuangan keadilan sosial. Kedua, perjuangan harus diakar rumput. Ketiga, Islam sebagai alat persatuan. Keempat, radikal atau tidak mengenal kompromi. Kelima, tanggung jawab sosial alias solidaritas. Informasi Prof. Dr. Sri Edi Swasono, Guru Besar ekonomi UI, yang juga menantu Proklamator Bung Hatta, ternyata HRS menguasai Pancasila jauh di atas rata-rata elit nasional. Hal ini dikatakannya setelah Sayidiman, jenderal tertua yang masih hidup, bersama dia, berdiskusi soal Pancasila dengan HRS. Banyak hal yang luar biasa tentang konsep Pancasila dari HRS. Pemehaman HRS melebihi pemahaman Jenderal Sayidiman dan Prof Dr. Sri Edi tersebut. Kembali pada perubahan sikap Rocky pada FPI, memang kita melihat bahwa tranformasi telah terjadi pada FPI secara keseluruhan. Dengan agenda-agenda besar negara, seperti menolak merajalelanya korupsi di kubu rezim Jokowi, transformasi FPI telah menjadikan organisasi itu sebagai kekuatan "civil society" terdepan untuk mengawal penyelenggara negara. Revolusi Sosial Sebuah perjuangan pada akar rumput selalu berarah pada revolusi sosial. Jean Jacques Rousseau, pemikir besar revolusi Prancis beberapa abad lalu, sebagaimana dikutip Wikipedia, berpikir bahwa "Rousseau posits that the original, deeply flawed Social Contract (i.e., that of Hobbes), which led to the modern state, was made at the suggestion of the rich and powerful, who tricked the general population into surrendering their liberties to them and instituted inequality as a fundamental feature of human society." Jean Jacques pada intinya mengatakan, segelitir orang-orang kaya dan penguasa yang curang telah memanipulasi masyarakat. Targetnya, meraka terus bisa memperkaya diri dan agar percaya ketimpangan sosial merupakan kewajaran. Pembebasan manusia dari cengkraman "kontrak sosial palsu”, yang menghancurkan peradaban, menurut Jean Jacques adalah keharusan. Manusia adalah makhluk mulia yang dipasung sistem kekuasaan masyarakat jahat. Ajaran Jean Jacques tentang kontrak sosial baru yang berisi kebebasan dan persamaan derajat semua manusia, telah mengantarkan revolusi di Francis pada abad ke 18 dulu. Rizieq ddan FPI i Indonesia dan telah bertransformasi dari ajaran perjuangan ahlak dan baik buruk. FPI telah berkembang pesat menjadi ajaran revolusioner saat ini. Mereka telah mendorong adanya sebuah konsep sosial baru di mana keadilan harus diletakkan pada rakyat mayoritas. Bukan pada segelintir taipan sebagai pengendali negeri alias sembilan naga. Pikiran dan ajaran FPI ini bukan lagi dengan membenturkan antara Pancasila vs Islam. Namun ini adalah pertentangan historic, antara yang disebut Jacques Rousseau tadi, yaitun "Kontrak Sosial Palsu" melawan "Kontrak Sosial Sempurna". Keuntungan kelompok FPI dalam perjuangannya adalah pikiran mereka sejalan dengan cita-cita pendiri negara (founding fathers). Bahwa negera dalam kontrak sosial adalah melindungi segenap tumpah darah dan menciptakan keadilan sosial secara total. Tidak dan selain itu. Penutup Perubahan sikap yang dalam dari tokoh-tokoh sekuler seperti Rocky Gerung dan Rizal Ramli terhadap eksistensi FPI terjadi belakangan ini. Mereka tidak lagi menganggap FPI sebagai preman bersorban putih. Mereka meyakini telah terjadi transformasi, dimana FPI saat ini adalah organisasi perjuangan rakyat yang utama. Organisasi yang selalu tampil membela rakyat. Memang, tanpa disadari, selama lima tahun terkahir, FPI masuk pada perjuangan strategis dengan isu-isu keadilan sosial. FPI yang anti korupsi dan berharap pemerintah yang membela rakyat. Basis argumentasi FPI dan khususnya Habib Rizieq, semakin lama semakin kuat dan komprehensip. Perjuangan yang dahulu terkenal sektarian, kini menjadi terbuka pada front nasional yang lebih luas. Dalam agenda terbaru, FPI masuk pada kritik kenaikan iuran BPJS yang memberatkan rakyat. Sedangkan pada Jumat, 21/2, nanti FPI masuk pada agenda aksi anti korupsi (Jiwasraya, Asabri, dan Bumiputra). Sebuah agenda besar rakyat untuk menghancurkan kezaliman struktural. Situasi ke depan Indonesia akan masuk pada tahun-tahun sulit. Akibat dari kemunduran pembangunan ekonomi. Keploporan FPI dalam perjuangan rakyat mungkin akan disambut diseluruh pelosok negeri. Tinggal rakyat berharap sejauh apa perubahan sosial yang mampu tercipta. Semoga ada kontrak sosial baru tentunya. Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle
Merajalelanya Korupsi dan Moralitas Kekuasaan (Bagian Kedua)
By Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta, FNN - Apakah korupsi itu budaya kita? Banyak peneliti yang mencari adanya hubungan korupsi dengan sistem birokrasi dan kekuasaan. Namun banyak juga mencoba mencari korelasi korupsi pada persoalan moral dan budaya para pemimpin. Para filosof, sebagaimana dikatakan dalam "Stanford Encyclopedia of Corruption: Philosophers, at least, have identified corruption as fundamentally a moral, as opposed to legal, phenomenon. Acts can be corrupt even though they are, and even ought to be, legal. Moreover, it is evident that not all acts of immorality are acts of corruption; corruption is only one species of immorality." Dari sini terlihat para filosof sangat mengaitkan korupsi dengan perbuatan amoral. Tentu saja kebanyakan filosop ini berbeda dengan Machiavelli yang menyatakan korupsi itu adalah godaan yang alami. Sebagaimana di atas disebutkan, Sarah Chayes mengutip Machiavelli dalam "Thieve of State". Luhut Binsar Panjaitan, salah satu arsitek utama rezim Jokowi, pada tahun 2018, mengatakan bahwa semua orang memiliki gen maling. Pikiran LBP ini terlihat mirip dengan pandangan Machiavelli, bahwa tidak jelas soal kaitan moral dan korupsi. Namun, dahulu Bung Hatta misalnya mengatakan, sampai matipun korupsi itu sebuah kejahatan. Cerita yang jadi legenda tentang keteladanan Bung Hatta adalah menahan keinginan beliau membeli sepatu Bally seumur hidupnya. Bung Hatta terus menabung selama sebelas tahun ketika menjabat Wakil Presiden Republik Indonesia. Tabungan itu diletakkan diatas meja Wakil Presiden dan disisinya ada iklan sepatu Bally. Sepatu yang sangat populer masa itu. Namun, sayang sekali, tabungannya tidak pernah cukup untuk membeli sepatu Bally itu. Dan dia tidak pernah menerima suap dan tidak korupsi. Sebaliknya, banyak elit kekuasaan sekarang hanya butuh beberapa tahun untuk menumpuk kekayaan dari hasil korupsi. Tampak selain masalah moral, korupsi juga sering dihubungkan dengan kelemahan sistem pemerintahan (struktural). Namun, kita yakin persoalan moral tetap menjadi kunci utama. Nasib Revolusi Mental Jokowi sudah jelas dalam tesisnya pada "Revolusi Mental", bahwa korupsi akan melumpuhkan bangsa kita. Sementara kita melihat bahwa belum ada tanda-tanda Jokowi akan bersikap tegas pada korupsi. Apa itu sikap tegas? Jika membandingkan dengan rezim Xi Jin Ping di RRC, di sana banyak pejabat ditembak mati karena kasus korupsi. Namun, kita tetap mengharapkan Jokowi mampu menjadi "role model" atau simbol moral anti korupsi. Sebuah agenda non sistem atau structural. Jokowi harus mampu menghadirkan agenda moral itu. Hal itu pertama harus keluar dari dirinnya Jokowi. Dalam kaitan korupsi, yakni tidak mengambil keuntungan pribadi dari agenda publik, kebijakan publik, nepotisme, suap dan lain-lain. Jokowi harus menjadi inspirasi bagi kekuasaannya. Setidaknya di lingkungan keluarga, istana dan kabinet, seperti Bung Hatta, sang Proklamator hebat itu. Di luar sebagai inspirator yang personal, Jokowi juga harus membangun moral kelompok pada elit kekuasaan untuk tidak tergiur dengan urusan-urusan yang bersifat material. Namun, baik sebagai simbol moral maupun agenda struktural, pemberantasan korupsi tidak terlihat dalam periode kedua Jokowi. Burhanuddin Muhtadi, misalnya, dalam "Dilema Jokowi, Publik atau Kartel Politik?” (Media Indonesia, 18/12/19), melihat bahwa Jokowi tidak lagi masuk pada isu HAM dan pemberantasan korupsi pada era kedua berkuasa. Katanya, Jokowi hanya masuk pada isu-isu ringan, seperti pungutan liar (pungli) saja. Selain itu, sebagian besar rakyat, tidak dapat menerima gejala nepotisme yang ditunjukkan keluarga Jokowi, yang anak, menanti dan ipar ramai-ramai maju di pilkada saat ini. Dengan demikian, apakah nasib revolusi mental Jokowi sudah menjadi masa lalu? Reshuffle Kabinet Korupsi merajalela, yang terungkap dari kasus Jiwasraya dan Asabri, serta kasus kompleks Wahyu Setiawan dan Harun Masiku, menunjukkan kelemahan Jokowi dan rezimnya sejak awal berkuasa. Kelemahan ini ditandai dengan suasana ketidaktertiban rezim penguasa. Bahkan, Sekjen partai penguasa, Hasto Kristyanto, menuduh bahwa dia dijalimi oknum penguasa. Bagaimana mungkin Sekjen Partai penguasa dizalimi? Apakah itu menunjukkan keretakan dalam tubuh rezim? Diantara situasi kelemahan ini, elit Kantor Staf Presiden, saat ini melemparkan isu perombakam kabinet. Isu perombakan kabinet tentu saja memberi peluang bagi Jokowi untuk kembali pada cita-cita revolusi mental dan nawa citanya. Paling kurang Jokowi memberikan harapan baru bagi rakyat. Namun, isu perombakan kabinet juga menyisakan pertanyaan tentang "kenapa mengurus negara seperti main-main?" Seharusnya, desain organisasi pemerintahan, apalagi bagi petahana, sudah sejak awal dirancang dengan matang. Dasain organisasi pemereintah harus ditunjukkan dengan soliditas kabinet, yang disisi oleh orang-orang profesion dan membumi. Jika perombakan kabinet yang dihembuskan elit Kantor Staf Presiden merujuk pada perlunya koreksi moral pemerintahan Jokowi, maka hal itu menjadi penting. Sebaliknya, jika hanya merujuk isu salah komposisi kabinet, perombakan itu hanyalah politik kekuasaan yang kurang bermoral. Manggali lubang bukan untuk meneutup lubang, tetapi untuk menutup goa. Penutup Kita harus benar-benar mengembalikan spirit bernegara pada tempat dan arah yang benar. Bernegara dalam konstitusi kita adalah mengutamakan rakyat. Mengutamakan rakyat adalah konsep moralitas yang sudah diajarkan Bung Hatta, dan para founding fathers lainnya. Mengutamakan rakyat hanya bisa dilakukan jika penyelenggara negara mampu pisahkan kepentingan pribadi adan kelompoknya dengan kepentingan rakyat. Memisahkan kepentingan itu, lebih jauh lagi adalah membunuh ambisi-ambisi pribadi untuk memperkaya diri. Situasi merajalelanya korupsi saat ini menjadi ancaman serius bagi kelangsungan bangsa kita. Pada saat yang bersamaan, kondisi ekonomi kita semakin terpuruk. Kenyataan ini ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang jauh dari janji-janji kampanye Jokowi (petumbuhan ekonoimi 7 %) dan hutang negarapun yang menumpuk yang luar biasa besar. Kedua persoalan ini, korupsi yang merajalela dan pertumbuhan ekonomi di bawah 7% merupakan koeksistensi, di mana keduanya membuat Indonesia bisa terperangkap ke arah negara gagal. Sebuah negara yang tidak pernah stabil di sosial politik dan keamanan. Akibatnya, kemarahan rakyat akan meluas sebagai dampak dari korupsi yang kronis di kalangan pejabat. Sementara pada waktu yang bersamaan, kemiskinan dan ketimpangan sosial menganga lebar. Isu reshuffle kabinet yang dihembuskan kalangan istana belakangan ini, haruslah dikaitkan dengan moralitas kekuasaan. Bukan sekedar menakut-nakuti anggota kabinet dan sekedar "power sharing" kekuasaan. Menghentikan korupsi dan mengembalikan kekuasaan pada orang-orang bermoral adalah agenda urgen Presiden Jokowi secepatnya. (habis) Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle
Merajalelanya Korupsi dan Moralitas Kekuasaan (Bagian Pertama)
By Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta, FNN - Hariman Siregar dalam kebingungannya dikalangan aktifis, menyampaikan pertanyaan, kenapa jaman Habibie pembobolan Bank Bali hanya Rp. 400 Milyar, jaman SBY pembobolan Bank Century Rp. 6, 7 Triliun dan sekarang jaman Jokowi, kasus Jiwasraya, pembobolan naik pesat Rp. 13 Triliyun. Apakah semua elit kita sudah gila?, tanya Hariman diantara aktifis pengunjung ulang tahun seorang aktifis senior, akhir bulan lalu. "Space platform WhatsApp Group" memang dipenuhi tiga isu yang berebutan dan berhimpitan beberapa waktu belakangan ini. Isu itu adalah korupsi , WNI eks ISIS, dan Virus Corona. Isu terkait korupsi melibatkan nama-nama Harun Masiku, Hasto Kristyanto, Heru Hidayat, Benny Tjokro dan lain-lain. Semuanya dikaitkan dengan istana maupun kekuasaan rezim Jokowi. Para penghuni dunia medsos dari kalangan non pendukung Jokowi sering mengingatkan agar fokus saja di kasus korupsi. Ingatan ini dimaksudkan untuk penguatan atau gaung tentang isu Jiwasraya dan Masiku tidak hilang ditelan isu ISIS dan Corona. Namun, sebagian netizen tetap bersikukuh bahwa semua isu ini harus dihadapi. Tesis pendukung isu korupsi Jiwasraya dan Harun Masiku di "amplifier" oleh Susilo Bambang Yudhoyono, Rizal Ramli dan Said Didu. Ketiganya sangat fokus pada isu korupsi Jiwasraya. Tesis mereka, pembobolan uang asuransi BUMN (Badan Usaha Milik Negara) sebesar Rp 13 Triliyun di masa pemerintahan Jokowi pasti mempunyai arah ke pendanaan pilpres 2019. Arah itu perlu dikejar. Fokus mereka bertiga pada isu korupsi memang sangat beralasan. Bank Dunia sudah hampir dua puluh tahun ini melibatkan diri pada riset-riset terkait korupsi. Kepentingan Bank Dunia adalah agar uang yang dipinjamkan kepada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, digunakan semua untuk program pembangunan. Tanpa itu Bank Dunia khawatir pembangunan tidak akan mensejahterakan rakyat miskin. Sarah Chayes pengarang "Thieve of State" merujuk pada Machiavelli menyampaikan "corruption is the natural temptation of rulers, but it is often what ultimately brings them down". "The natural temptation" memang terkesan bahasa netral, yang bisa menghinggapi semua penguasa, siapapun. Sebagaimana di review oleh Giles Foden, The New York times, 2015, buku "Thieve of State" yang mengamati Afganistan dan Iraq, memperlihatkan bahwa korupsi bisa menjadi struktural dan mengumpulkan semua uang-uang korupsi secara hirarki untuk elit berkuasa. Ini bukan hanya kasus di sana saja katanya. Chayes mengatakan negara isinya hanyalah mafia berjenjang (vartically integrated criminal syndicates). Dalam "Corruption, Global Security and World Order: To Bribe or to Bomb: Do Corruption and Terrorism Go Together?", buku editan Robert I. Rotberg, 2009, korupsi selain ditempatkan sebagai center dalam persoalan keamanan dunia, disebutkan juga bahayanya korupsi yang mempunyai koeksistensi yang saling memperkuat dengan terorisme. Korupsi Jiwasraya berlanjut dengan isu korupsi uang Asabri. Pelakunya, otaknya sama, Benny Tjokro, pebisnis asal Solo. Kehilangan uang pensiun prajurit ini mencapai Rp 10. triliun. Artinya yang diakui pembobolnya. Pembobolan-pembobolan uang yang melibatkan kekuasaan resmi negara di asuransi ini berbeda dengan kasus investasi bodong maupun asuransi non negara seperti Bumiputra. Dalam kasus Jiwasraya dan Asabri, pimpinan perusahan adalah wakil resmi negara, yang ditunjuk menteri BUMN. Jadi, kasus ini masuk dalam isu korupsi. Di masa lalu, kasus yang mirip telah terjadi di Jamsostek. Pimpinan Jamsostek (BPJS) kala itu, Ahmad Junaidi dan Andi Alamsyah, masuk penjara. Semua tahu bahwa Jamsostek saat itu melayani kekuasaan dan bandar bandar kekuasaan. Nah, bagaimana Jiwasraya serta Asabri? Jika konsisten pada pikiran SBY, Rizal Ramli dan Said Didu, maka seharusnya kita menuntut kepada negara agar dibentuk komisi independen yang meriksa semua pihak yang terlibat dalam kasus Jiwasraya, secara transparan dan objektif. Karena mempercayakan pemeriksaan pada jajaran hukum dan DPR-RI saja, tentu sulit mendapatkan kebenaran objektif kasus ini. Disamping Jiwasraya, kasus Wahyu Setiawan (KPU) dan Harun Masiku adalah kasus besar lainnya, menyangkut korupsi dielit negara. Masiku yang misterius keberadaanya dan adanya koneksi kasus ini dengan Hasto Kristyanto, Sekjen PDIP, juga menghebohkan politik nasional. Dua isu di atas, Jiwasraya dan skandal KPU, memberi kesan adanya kebobrokan pada rezim Jokowi terkait isu pemberantasan korupsi dan pemerintahan yang bersih. Mengapa bobrok? Apa tolak ukurnya? Kebobrokan ini kita ambil tolak ukurnya dengan merujuk tulisan Revolusi Mental ala Jokowi yang ditulisnya di Kompas, 10 Mei, 2014. Menurut Jokowi reformasi yang terjadi sebelum dia memimpin hanyalah reformasi institusi yang tidak menyentuh mental manusia. Dalam bagian itu Jokowi mengatakan: "Korupsi menjadi faktor utama yang membawa bangsa ini ke ambang kebangkrutan ekonomi di tahun 1998 sehingga Indonesia harus menerima suntikan dari Dana Moneter Internasional (IMF) yang harus ditebus oleh bangsa ini dengan harga diri kita. Terlepas dari sepak terjang dan kerja keras KPK mengejar koruptor, praktik korupsi sekarang masih berlangsung, malah ada gejala semakin luas." Nyatanya, setelah Jokowi berkuasa, korupsi masih merajalela dan Jokowi malah ikut pula melumpuhkan KPK melalui revisi UU KPK tahun lalu. Dengan revisi UU KPK, Prof. Syamsudin Haris, anggota Dewan Pengawas KPK, sudah mengakui membuat KPK menjadi lemah. (Bersambung) Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle
Kasus MeMiles, Kapolri Perlu Hadirkan Makna Konstitusional
By Dr. Margarito Kamis Jakarta, FNN – Apakah hanya sebatas persoalan hukumkah kasus MeMiles ini? Terlihat sepertinya tidak. Persoalan ini, pada level tertetu bergerak memasuki dan menyentuh sendi-sendi tata negara kita. Terlihat pertaliannya yang erat dengan kewajiban konstitusional pemerintah kepada rakyat 270.000 member MeMiles. Sebab itu masalah ini terbilang strategis nilainya. Tindakan penyidikan dalam kasus ini, betapapun imperatif dalam kerangka UU 7 Tahun 2014, telah menimbulkan akibat tak terduga sejumlah orang. Sebut saja member yang kehilangan pendapatan. Pendapatan, sebut saja “musiman” dari jualan produk yang diiklankan, menjadi hilang dengan sendirinya. Mereka member MeMiles yang terlihat kehilangan pendapatan, sejauh ini tak teridentifikasi sebagai korporasi berkarakter oligarkis. Mereka juga bukan orang-orang besar berjumlah kecil, yang berpesta dibidang ekonomi dan politik. Mereka bukan juga orang-orang besar yang menguasai sebagian besar kekayaan Indonesia. Ya member MeMiles itu, mereka bukan para oligarki atau konglomerat. Karena bukan mereka, maka sejauh ini tak muncul gagasan bail out atau sejenisnya dari pemerintah. Tentu saja untuk menolong mereka. Suara-suara derita, pilu dan sejenisnya dari member MeMiles memang kalah daya getarnya. Suara mereka kalah bila dibandingkan dengan suara korporasi berkarakter oligarkis dan konglomerat ketika mereka terimpa masalah. Itu jelas dan nyata. Suara member sejauh ini terlihat tenggelam dalam hiruk pikuk RUU Cipta Lapangan Kerja, RUU Ibu Kota, yang dirancang dalam skema Ominbus. Kasus MeMiles membuat roda waktu berputar menyegarkan memori kita tentang peran pemerintah dalam menangani Kasus Bantuan Likuidatas Bank Indonesia (BLBI). Kasus ini membuktikan dengan sangat terang tentang, entah bagaimana, pemerintah atas nama penyelamatan ekonomi nasional, menyodorkan kewajiban konstitusonalnya. Pemerintah mau menggelontorkan uang dalam jumlah ratusan triliunan rupiah untuk menyelamatkan oligarki dan konglomerat dalam skandal BLBI. Pemerintah menyuntikan uang, bail out, ke korporasi-korporasi itu. Sebagai imbalannya mereka harus menyerahkan asset-asetnya ke pemerintah. Waktu berjalan dan memunculan luka-luka lama. Entah disangaja atau tidak. dalam kebijakan itu, sejauh ini sangat nyata. Ya korporasi besar selalu memiliki kemampuan untuk menarik pemerintah memasuki dan menggerakan kewajiban konstitusional. Tetapi bukan itu yang hendak disodorkan untuk menerangkan inisiatif pemerintah tahun 2016. Pada tahun itu, pemerintah melalui Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkoinfo) berinisiatif memperlancar investasi asing pada sektor e-xcommerce (bisnis daring). Inisiatif ini diapresiasi oleh para pemain asing. Inisiatif itu ditampilkan dalam Forum Jakarta Foreign Correspondents Club pada tanggal 8 Maret 2016. Adalah Rudiantara, Menkoninfo kala itu menyatakan bahwa investor asing boleh memiliki maksimal 49% saham di bisnis daring yang bernilai bersih Rp 10-100 miliar. Pemerintah, untuk tujuan itu akan mempercepat proses perijinan menjadi tiga jam saja. Syaratnya, nilai investasi harus di atas Rp 100 miliar atau perusahaan merekrut paling sedikit 1.100 pegawai di Indonesia. Kebijakan ini, kata Rudiantara bagian dari 31 prakarsa untuk mengembangkan bisnis daring di Indonesia, sembari mendorong usaha kecil dan menengah (UKM) (BBCIndonesia, 9 Maret 2026). Mengaitkan investasi asing dengan penggunaan tenaga kerja Indonesia dalam skema inisiatif Pak Rudy untuk bisnis e-commerce, yakni sebanyak “1.100 orang” untuk investasi di atas Rp.100 miliar, cukup jelas merefleksikan kesadaran berkerangka kewajiban konstitusional. Sampai dititik itu, inisiatif ini baik dalam semua aspeknya ke depan. MeMiles, sejauh ini tidak mempekerjakan tenaga kerja asing. Juga pekerja sebanyak 1.100 orang. Izin usahanya, sejauh ini teridentifikasi bermasalah menurut Polda Jawa Timur. Disisi lain terdapat kenyataan adanya inisiatif pemerintah menggelorakan investasi asing dibidang bisnis daring. Untuk itu, pemerintah hendak menyederhanakan proses perolehan izin. Pada titik ini, terdapat kesamaan substansial antara inisiatif pemerintah yang menggelorakan usaha daring dengan kehadiran PT Kam and Kam. MeMiles, cukup jelas bukan bisnis daring. Bukan pula investasi asing. MeMiles terlepas dari izin dan jenis usahanya yang dianggap bermasalah, secara faktual terlihat member yang umumnya warga negara, menerima maanfaat yang sangat berarti. Manfaat yang banyak dalam jumlah orang, maupun nilai ekonomi yang didapat. Tidak mungkin memanggil kecurigaan dalam mengenali sikap diam pemerintah sejauh ini. Jelas itu bukan. Tetapi beralasan mengundang pertanyaan hipotetik tentang kemungkinan adanya korporasi lain yang menemukan dirinya terpukul dengan keberadaan MeMiles? Tidak logiskan pemerintah menggunakan kewajiban konstitusional kecil, yang mirip tindakan menangani BLBI atau Bank Century? Bahkan mungkin sebentar lagi Jiwasraya dan Asabri? Pemerintah tidak perlu mengeluarkan uang untuk 270.000 member MeMiles. Yang perlu dilakukan pemerintah hanyalah memastikan MeMiles tetap berlangsung, menempatkannya di bawah kendali, pembinaan dan pengawasan terukur dari pemerintah? Pemerintah memperoleh fungsi karena dikerangkakan pada UUD 1945. Dalam kerangka itu, pemerintah terlilit berkewajiban untuk memastikan keadaan perekonomian memiliki daya yang menggembirakan warga negara. Ini kewajiban yang memilki level prioritas tinggi. Pada kerangka itu pula Undang-Undang Dasar 1945 menyodorkan dan menuntun kewajiban pemerintah tersebut dengan keharusan untuk berlaku adil kapada semua warga negara. Tidak berpihak dalam merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan negara. Pemerintah hanya perlu menemukan satu cara kecil untuk memastikan bahwa “skema piramida” tidak membuahkan atau menjadi modus spekulasi pengusaha, dengan hasil akhir yang pahit buat pembeli top up. Hanya itu saja. Tidak lebih dan tidak kurang. Ditemukan intended expectation dari larangan “skema piramida” yang tidak bergerak tak tanpa arah. Selain itu untuk mencegah spekulasi pengusaha, yang mungkin saja berakhir memilukan mitra. Spekulasi pengusaha itulah yang harus dicegah. Menemukan kebijakan pencegahan merupakan cara terukur memproteksi, melindungi anggota, mitra. Hilangkan potensi spekulasi tipikal Piramida Ponzi, yang ambil sana tutup sini. Begitu dan seterusnya dengan cara mengendalikan operasinya. Tugas konstitusional pemerintah membuat regulasi, yang mengendalikan penggunaan uang yang masuk ke korporasi. Ini sangat beralasan untuk dibayangkan sebagai salah satu cara yang pantas dipertimbangkan oleh pemerintah dalam kasus MeMiles. Respon tipikal ini, andai mungkin diambil, tidak harus dilihat sebagai cara pemerintah menemukan salah satu jalan keluar kecil. Apalagi pemerintah terlihat kesulitan merealisasikan janji menyediakan kartu pra kerja buat mereka yang belum bekerja. Jelas tidak beralasan. Tidak beralasan juga menilai bahwa sikap diam pemerintah, entah dengan apapun pertimbangannya, sebagai refleksi dari ketaatan yang agak naïf terhadap hukum yang ditegakan oleh Polda Jatim. Sungguh ada keharusan mengesampingkan sejauh mungkin praktik penanganan hukum memilukan kasus First Travel. Praktis sejauh ini mungkin harus dihindari. Negara yang diwakili Polda Jawa Timur, dengan alasan apapun, tak bisa menyodorkan penegakan hukum sebagai sarana untuk mengambil uang member yang dipakai untuk top up. Itu salah. Hsrusnya tidak begitu. Mengeluarkan himpitan dan ketidakberdayaan member MeMiles yang tak punya senjata politik, untuk alasan dan kewajiban konstitusional, pantas muncul menjadi prioritas tinggi dan utama dari pemerintah menangani kasus ini. Dimensi konstitusionel harus dipanggil dan dititi pemerintah memasuki kasus MeMiles ini. Kembalikan uang yang di top up. Cara ini mungkin bisa muncul sebagai jalan keluar kecil kedua untuk mereka yang top up, yang baru saat ini mengetahui bahwa perusahaan tak memiliki izin. Sebab mereka bukan korporasi, yang sejauh ini terilhat istimewa di dalam kehidupan konstitusional. Tetapi para member MeMiles jelas hanya warga negara. Terminologi konstitusi yang menjadi alasan pemerintah ada dan bekerja. Siapa yang mungkin dibayangkan berada di depan dalam kerangka pemecahan komprehensif kasus MeMiles ini? Terasa elok andai saja Pak Kapolri berada di depan merespon dengan cermat kasus ini. Menyajikan pemecahan yang selaras, harmoni dengan hukum dalam bingkai kewajiban konstitusional pemerintah, terasa wajar dan memadai. Andai Pak Kapolri bisa meletakan pemecahan kasus ini pada kerangka kewajiban konstitusional dari pemerintah. Bukan hanya bertumpu pada hukum pidana semata, maka sama nilainya dengan Pak Kapolri telah memberi makna yang sangat menakjubkan atas eksistensi konstitusional Kepolisian. Jika langkah ini dilakukan Pak Kapolri, maka disinilah fungsi dan peran pengayoman polisi dihadirkan secara nyata kepada pemegang saham polisi. Kepada pemilik polisi yang sesungguhnya, yaitu rakyat Indonesia 270.000 member MeMiles. Jika satu member MeMiles mempunyai satu istri atau suami, dan menghidupi tiga orang anak, maka ada sekitar satu juta lebih pemilik polisi, pemegang saham polisi yang numpang makan, minum dam sekolah dari operasional MeMiles ini. Semoga saja bermanfaat. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate