HUKUM

Denny Siregar Teror Santri Penghafal Alqur'an

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN - Jum'at (03/07). Bikin masalah lagi Denny Siregar ini. Setelah membully Almira Yudhoyono, kali ini Denny menyebut calon teroris kepada anak anak santri yang sedang berfoto bersama. Payah memang orang ini. Atas ungkapan berbau kebencian pada umat Islam ini, Denny dilaporkan ke Polisi. Tak urung Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhamul Ulum pun angkat bicara. Wagub Jabar ikut mendukung pelaporan atas Denny Siregar. Tidak boleh ada orang yang kebal terhadap hukum, jika menyerang atau menteror anak-anak yang masih polos dan lugu, termasuk Denny Siregar. Anak-anak belom dan tidak mengerti apa itu politik dan kepentingan politik. Makanya Denny harus diproses sampai ke pengadilan. Tulisan "calon teroris" yang diarahkan kepada anak santri adalah "teror" yang dilakukan Deni Siregar. Melukai hati umat Islam, dan melakukan serangan psikologis kepada anak-anak santri. Tak pantas dan sangat menistakan. Meski kalimatnya seperti lembut, tetapi hal itu adalah ujaran kebencian. Melanggar UU ITE. Juga melanggar KUHP tentang penodaan agama. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPI) juga bisa bertindak. Denny tidak membayangkan andai saja anaknya sendiri yang sedang berfoto bersama teman-temannya, lalu disebut sebagai calon provokator. Atau juga calon perampok dan calon koruptor. Bukan hanya orang tua yang tersinggung, tetapi juga bisa berpengaruh pada kejiwaan anak. Stigma buruk telah ditempelkan kepada anak-anak yang masih polos dan lugu. Terorisme adalah kejahatan khusus. UU No. 5 tahun 2018 membuat rumusan dengan formulasi yang sangat "keras". Ada unsur kekerasan atau ancaman kekerasan, membuat teror atau rasa takut, korban massal, kerusakan obyek vital yang strategis, bermotif ideologi, politik, dan keamanan. Nah tuduhan calon teroris adalah calon pelaku perbuatan kekerasan di atas. Tuduhan yang sangat keji. Denny pernah menyatakan "ya benar, saya syi'ah, any problem with that?" Syi'ah berkarakter pembenci, pelaknat, bahkan penoda. Syiah melaknat shahabat dan istri Nabi Muhammad SAW. Syari'at dilecehkan. Orang yang bukan Syi'ah dikafirkan. Orang Syi'ah memendam dendam pada muslim Sunni. Peristiwa Karbala diungkit-ungkit sebagai spirit Syi'ah untuk menumpahkan darah. Syi'ah adalah teroris. Nah apakah kesyi'ahan Denny Siregar yang membuat pernyataan soal anak-anak santri pesantren Tahfidz Qur'an Darul Ilmi Tasikmalaya ini? Entahlah. Tapi yang jelas ungkapannya patut diduga dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan yang layak untuk diproses secara hukum oleh pihak kepolisian. Uji kebenaran formil dan materielnya. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi da'wah, pesantren, dan aktivis di Tasikmalaya yang keberatan atas postingan facebook Denny itu sudah tepat melangkah. Kini masyarakat melihat adakah hukum di negara kita masih tegak, adil, dan obyektif ? Denny selama ini sering disebut kebal hukum. Tapi kita yakin bahwa semua sama kedudukan di depan hukum. Yang salah patut dihukum. Semua bergerak sebelum hukum hakiki di hari nanti berlaku bagi para pendosa dan pendusta agama. Itulah mereka yang menyakiti hati umat. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Perlawanan Rakyat, Kekerasan Polisi dan Reformasi Institusi

by Farouk Abdullah Alwyni & Kamal Abdullah Alwyni Jakarta FNN – Kamis 918/06). Belajar dari kasus demonstrasi besar-baran akibat kematian George Floyd di Amerika Serikat. Baru-baru ini kita semua menyaksikan sebuah hal yang sangat dramatis. Demonstrasi yang berlangsung di banyak kota-kota di Amerika Serikat (AS). Demonstrasi yang berlangsung mulai dari kota-kota besar di Amerika seperti Minneapolis, Washington, New York, Los Angeles, Las Vegas, Michigan. Demonstrasi yang sama juga terjadi di kota-kota besar dunia seperti London, Paris, Sydney, Melbourne, Berlin, Lisbon, Tokyo, dan masih banyak lagi. Berdasarkan temuan para peneliti, protes yang ada sekarang merupakan yang terluas dalam sejarah Amerika. Telah menyebar di lebih dari 650 kota di 50 negara bagian (The Washington Post, 7 Juni 2020). Demo-demo ini dipicu oleh kematian seorang warga kulit hitam George Floyd, akibat perlakuan kekerasan polisi kulit putih, beserta tiga rekan polisi lainnya. Kematian George Floyd ini memancing amarah publik setelah sebuah video viral yang menunjukkan bagaimana sang polisi menekan dengkulnya secara dingin selama sembilan menit, mengabaikan permohonan sang warga kulit hitam yang mengeluh berkali-kali bahwa yang bersangkutan tidak bisa bernafas (I can’t breathe). Spontan, segera setelah video itu viral beredar di media-media sosial dan berbagai media mainstream di Amerika Serikat seperti New York Times, Los Angeles Times, Washington Post, NBC News, dan lain sebagainya. Banyak masyarakat Amerika Serikat dari berbagai latar belakang dan warna kulit di berbagai kota besar di Amerika Serikat turun kejalan meminta keadilan untuk George Floyd. Mereka mendesak agar otoritas memecat, mengadili, dan menghukum sang pelaku dan ketiga kawannya. Sejauh ini tuntutan para demonstran mulai membuahkan hasil. Sang pelaku utama telah dipecat, dan sekarang mulai diproses untuk diadili dengan tuntutan “Second Degree Murder”. Ketiga kawannya yang pada awalnya belum dipecat, akhirnya juga menyusul dipecat dan juga ikut diproses sebagai bagian dari pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembunuhan tersebut. Dampak yang tidak terelakkan dari demo besar-besaran di banyak kota di Amerika Serikat adalah terjadinya looting dan rioting dari berbagai pihak yang ingin mengambil manfaat dari kejadian ini. Bahkan yang sebelumnya tidak pernah terjadi, masuk ke daerah-daerah elite di Los Angeles, seperti Beverly Hills, Santa Monica, dan West Los Angeles. Motif dari berbagai tindakan destruktif tersebut memang berbagai macam. Mulai dari kemarahan yang tidak terkontrol, sampai kriminalitas murni. Bahkan dari sekelompok far right/White Supremacy yang ingin memicu lebih jauh konflik rasial di Amerika Serikat. Namun ddemikian, dampak negatif tersebut perlu dilihat secara proporsional. Sebab ada sebagain kecil yang ingin menumpang dari gelombang besar demo damai ini. Yang awalnya hanya menuntut keadilan untuk George Floyd, berubah menjadi sebuah bentuk perlawanan rakyat terhadap kekerasan polisi, khususnya dari kelompok minoritas kulit hitam. Ada kelompokl yang dianggap sebagai ketidakadilan dalam proses penegakan hukum kepada para polisi dan pelaku-pelaku kekerasan sebelumnya. Demo-demo ini pada dasarnya menyatukan sebuah keterpanggilan untuk menciptakan AS yang lebih adil untuk semua. Black Lives Matter menjadi satu slogan penting pergerakan tersebut. Banyak purnawirawan Jenderal di Amerika yang mengkritik respon Presiden Donald Trump. Mantan Menteri Pertahanan Amerika Serikat Jenderal Purnawirawan James Mattis termasuk yang mengkritik respon Presiden Serikat Donald Trump terhadap demo-demo. Karena Trump dianggap membatasi hak-hak kebebasan sipil yang tercantum dalam Bill of Rights, dan merupakan pelecehan terhadap konstitusi. Mattis bahkan menuding bahwa Trump adalah seorang Presiden yang memecah Amerika Serikat. Tidak punya niat baik untuk menyatukan Amerika Serikat. Mittis beranggapan semua ini terjadi sebagai akibat dari tiga tahun kepemimpinan Trump yang tidak matang. Kemarahan banyak elite dan para mantan elite politik dan pemerintahan Amerika Serikat, diantaranya dipicu oleh sikap Presiden Trump yang dianggap tidak sensitif ketika yang bersangkutan berjalan dari White House ke sebuah Gereja Historis (St. John’s Episcopal Church). Hanya satu blok dari White House, di Washington untuk hanya berfoto dengan para pembantunya, dan juga berfoto sendiri dengan memegang Bible. Persoalannya adalah proses sampainya Trump ke lokasi Gereja itu dengan cara polisi membubarkan secara paksa demo damai di seputaran White House. Hal ini dilihat sebagai sebuah pelanggaran hukum dari seorang Presiden Amerika Serikat terhadap hak konstitusional warga Amerika untuk berdemo secara damai. Trump dilihat sebagai seorang Presiden yang sudah melecehkan hukum dan menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingannya sendiri. Terakhir Kepala Staf Gabungan Angkatan Bersenjata Amerika Serikat Jenderal Mark A. Milley. Chairman of the Joint Chiefs of Staff itu juga menyampaikan penyesalan dan maafnya karena ikut berfoto di gereja dengan Trump di atas. Begitu juga Menteri Pertahanan (Defense Secretary), Mark Esper menyatakan bahwa dia tidak tahu jika tujuan perjalanan Trump ke gereja hanya untuk berfoto. Esper sendiri tidak setuju dengan cara Trump yang ingin menggunakan militer untuk meredam demonstrasi. Sebenarnya apa yang terjadi sekarang ini di Amerika merupakan akumulasi kekesalan publik terhadap kekerasan polisi, khususnya kepada orang hitam. Kecenderungan bahwa kekerasan tersebut tidak selalu mendapatkan hukuman yang memadai. Mengingat di beberapa kejadian sebelumnya, proses hukum panjang tidak selalu memberikan hukuman yang setimpal kepada polisi yang melakukan keker san. Selama demo-demo anti kekerasan yang berlangsung ini, banyak sikap kekerasan polisi yang tertangkap kamera. Kondisi ini akhirnya menyatukan banyak elemen masyarakat Amerika lepas dari ras dan warna kulit yang melihat perlunya reformasi institusi kepolisian. Juga rasa keterpanggilan melakukan terhadap sistim yang lebih baik an berkeadilan. Magnitude demo yang sekarang ini terjadi, yang menunjukkan sebuah perlawan rakyat secara massif. Kondisi ini nampaknya mulai mendorong kembali refleksi dasar untuk mereformasi kepolisian (police reform) yang ada. Banyak para tokoh di Amerika Serikat seperti mantan Presiden Barack Obama, Bill Clinton, George Bush, dan bahkan Jimmy Carter yang menginginkan police reform. Para senator dan congressman, serta para walikota dan gubernur juga punya keinginan yang sama. Tentang perlunya police reform. Semua memberikan pernyataan terkait kebutuhan perlunya menciptakan institusi keadilan yang lebih baik. Bahkan survey terakhir dari Reuters/Ipsos (ipsos.com) menemukan bahwa mayoritas warga Amerika (73%) mendukung demo-demo damai yang ada. Terakhir seorang senator sedang menyiapkan usulan hukum untuk menghilangkan imunitas polisi dari hukuman. Apalagi jika yang bersangkutan dianggap telah melakukan penyalahgunaan hukum dalam proses penegakan hukum kepada para warga. Sebab seharusnya warga negara Amerika dilayani dan dilindungi oleh polisi. Tidak kurang evaluasi akademik mulai dilakukan untuk melihat kembali proses panjang peradilan untuk menghukum polisi. Hukunman terhadap polisi yang bersalah seharusnya tidak memakan waktu yang lama. Apalagi jika polisi tersebut terbukti melakukan kesewenang-wenangan terhadap warga dengan penggunaan excessive force. Sistim Kepolisian secara menyeluruh di Amerika mulai disorot. Walaupun demikian, juga harus diakui bahwa pada kenyataannya tidaklah semua polisi yang ada tersebut buruk. Banyak juga polisi yang baik-baik. Yang ditunjukkan selama belangsunya demo-demo yang ada di seluruh wilayah Amerika. Dimana sebagian polisi, mulai dari yang berada di New York, Michigan, Los Angeles, dan kota-kota lainnya menunjukkan solidaritas dan berbaur dengan para demonstran. Polisi tersebut ikut merunduk. Mereka meletakkan satu dengkulnya untuk menunjukkan duka dan solidaritas terhadap apa yang menimpa seorang George Floyd. Perdebatan terjadi, apakah persoalan kekerasan polisi yang ada terkait sistim kepolisian? Yang kemudian akan perlu direformasi, atau diakibatkan hanya oleh the bad apples. Dari yang terjadi di Amerika sekarang ini, tentunya banyak pelajaran yang bisa kita ambil. Jika kita juga mau melihat beberapa kasus kekerasan polisi terhadap masyarakat. Kejadian yang mungkin masih segar dalam ingatan kita adalah apa yang dilakukan oknum aparat kepolisian pada tanggal 21-23 Mei 2019, menyusul demo di depan Bawaslu. Ketika itu pihak kepolisian dianggap telah melakukan excessive force. Amnesti Internasional Indonesia pada waktu itu membuat pernyataan bahwa Korps Brigade Mobil (Brigade Mobil) Polri telah melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) serius terhadap warga yang tidak berdaya. Terutamaketika saat melakukan penyisiran di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta tanggal 22 Mei 2019. Sejauh ini kita tidak pernah mendengar para oknum polisi yang melakukan excessive force tersebut telah diadili dan diberikan hukuman yang setimpal. Kalau di Amerika, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dalam kasus-kasus demo seperti yang ada sekarang ini, paling tidak kita melihat bahwa jika ada persoalan yang menjadi viral dan diketahui secara luas, maka otoritas yang ada segera mengambil tindakan optimal. Mulai dari penonaktifan, pemecatan, bahkan melakukan proses hukum. Belajar dari apa yang terjadi di AS, kita perlu mengambil pelajaran terkait kebutuhan untuk menciptakan mekanisme akuntabilitas untuk segenap aparat kepolisian. Jika negara seperti Amerika dengan sistim hukum dan peradilan yang dianggap jauh lebih baik dari kita dalam perspektif internasional, masih terus dikritisi. Mereka juga selalu melakukan instropeksi dan evaluasi untuk terus memperbaiki sistim yang ada. Tentunya ini adalah sebuah panggilan untuk kita semua di Indonesia. Jangan segan-segan untuk mengevaluasi dan memperbaiki sistim kepolisian. Terutaman yang terkait dengan isu-isu politik dan penanganan demo-demo damai. Jangan sampai hanya sekelompok oknum kepolisian yang melakukan excessive force dengan seenaknya kepada segenap anggota masyarakat. Namun tanpa ada konsekuensi dan hukuman setimpal. Harus ada sanksi hukum setimpal yang diberikan kepada para polisi pelanggar hukum. Kita Indonesia hendaknya tidak harus menunggu demo besar-besaran terjadi, barulah memperbaiki kondisi yang ada. Khususnya yang terkait dengan sistim penegakan hukum dan keadilan kepada segenap pihak yang bertugas sebagai penegak hokum. Seperti yang dinyatakan oleh Gubernur New York –Andrew Cuomo bahwa “polisi harus menegakkan, bukan menyalahgunakan hukum” (Police officers must enforce –not abuse- the law). Sebagai sebuah negara mayoritas muslim, banyak contoh-contoh imparsialitas hukum dan teladan penegakan keadilan yang luar biasa. Yang ditunjukkan dalam sejarah Islam sebagai sumber inspirasi bagi kita semua. Mulai dari pernyataan Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa “jika Fatimah anakku mencuri, maka beliau sendirilah yang akan memotong tangannya”. Ini menunjukkan bahwa penegakan keadilan tidak akan melihat siapa yang melakukan pelanggaran keadilan tersebut. Juga contoh bagaimana seorang Khalifah Ali Bin Abu Thalib bisa dikalahkan dalam persidangan oleh seorang rakyat Yahudi biasa. Ada lagi kasus pada masa Khalifah Umar Bin Khatab. Dimana beliau mengecam keras sikap Gubernur Mesir Amr Bin Al-Ash yang ingin menggusur rumah seorang wanita tua Yahudi karena tidak mau tanahnya dibebaskan untuk pembangunan Masjid Hukuman akan diberikan oleh Khalifah Umar Bin Khatab kepada Gubernur Mesir Amr Bin Al-Ash, karena sang Gubernur tersebut telah bersikap sewenang-wenang dengan jabatannya. Gubernur Mesir juga telah bersikap zolim kepada seorang anak Kristen Koptik yang mengalahkannya dalam pacuan kuda. Sikap yang sangat ditolak oleh Khalifah Umar Bin Khatab. Akhirnya, kebesaran suatu bangsa akan ditentukan oleh sejauh mana keadilan dapat tegak di negara tersebut. Dan ini adalah sebuah proses yang harus terus berlangsung (keep improving) seperti yang kita lihat sekarang ini di Amerika sekarang. Menarik untuk menyimak kata-kata seorang Nelson Mandela yang menyatakan bahwa a nation should not be judged by how it treats its highest citizens, but its lowest ones. Penulis adalah Chairman, Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development (CISFED) & Praktisi Bisnis Property Management di Los Angeles, Amerika Serikat.

Jaksa Fedrik “Man of The Week”

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Korps Kejaksaan punya bintang baru. Namanya Robertino Fedrik Adhar Syaripudin dari Kejaksaan Negeri Jakarta Utara. Sepanjang pekan kemarin namanya paling banyak diperbincangkan. Di media massa, berita seputar Fedrik Adhar paling menyedot perhatian. Media berusaha mengulik habis profilnya. Mulai dari latar belakang sekolahnya, pangkatnya, keluarganya, sampai kekayaan pribadinya. Di media sosial lebih heboh lagi. Namanya menjadi trending topik.Foto-fotonya tampil dengan barang-barang branded banyak tersebar. Kebetulan Pak Jaksa yang satu ini cukup eksis di medsos. Jadi sangat mudah bagi netizen untuk menguliknya. Cukup ketik kata kunci Jaksa Fedrik Adhar, maka info seputar jaksa muda berusia 37 tahun itu muncul bertebaran. Saking populernya, dalam tiga hari terakhir pada mesin pencari Google, namanya bahkan mengalahkan Jaksa Agung. Fedrik jauh lebih populer dan paling banyak dicari. Namanya layak masuk dalam Man of The Week. Sebuah torehan “prestasi” yang cukup membanggakan untuk seorang jaksa berpangkat pratama. Kalau di Polri pangkatnya selevel Ajun Komisaris Polisi, atau Kapten di lingkungan TNI. Masuk kelompok perwira pertama. Jaksa tidak mandiri Nama Fedrik mencuat menyusul kontroversi tuntutan jaksa atas dua orang penyerang penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan. Fedrik menjadi salah satu Jaksa Penuntut Umum (JPU) bersama Ahmad Patoni dan Satria Irawan. Kamis (11/6) JPU dari Kejaksaan Negeri Jakarta Utara itu menuntut mereka 1 tahun penjara. Publik dan praktisi hukum menilai tuntutan itu tidak masuk akal. Dibandingkan dengan kasus serupa, berupa penyiraman air keras, tuntutan itu paling rendah. Padahal kasus ini selain menyita perhatian publik, bobotnya juga jauh lebih berat. Novel adalah penyidik KPK yang banyak menangani kasus-kasus korupsi kelas berat. Melibatkan sejumlah petinggi negara dan petinggi penegak hukum. Kasus ini menjadi kontroversi dan mengundang perhatian. Tidak hanya di dalam negeri, tapi sampai ke manca negara. Beberapa media Internasional juga menyoroti kasus ini. Komnas HAM dan Amensty Internasional juga mempersoalkan. Salah satu alasan jaksa menuntut ringan adalah faktor “tidak sengaja,” menjadi olok-olok di dunia maya. Bintang Emon seorang komedian muda mendadak viral karena aksinya menyoroti rendahnya tuntutan itu. Tagar #tidaksengaja menjadi trending dan banyak dicuitkan oleh para pesohor di medsos. “Konyolnya luar biasa. Saya sampai bingung harus marah atau ketawa ya, “ kata Novel kepada media. Reaksi publik yang muncul menunjukkan kemarahan sekaligus sikap frustrasi terhadap proses penegakan hukum di negeri ini. Mereka tambah kesal ketika mendapati para aparat penegak hukum rendahan, sekelas Fedrik gaya hidupnya sangat woowwww. Di luar batas kewajaran. Sebagai ASN dengan golongan IIIC, harta kekayaan yang dimilikinya juga membuat tercengang. Dari Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) pada tahun 2018 diketahui hartanya sebesar Rp 5.8 miliar. Kendaraan yang dimiliki cukup banyak. Salah satunya sedan kelas atas merek Lexus. Peneliti Indonesian Corruption Watch Kurnia Ramadhana minta agar Fedrik menjelaskan asal usul harta kekayaannya kepada publik. Sebab tak sesuai dengan masa kerja dan gajinya sebagai ASN. Jadilah Fedrik sasaran kemarahan dan bullying orang sak-Indonesia. Barangkali banyak yang lupa atau bahkan tidak tahu, bahwa seorang jaksa tidak mandiri dalam mengajukan tuntutan. Tidak bisa semaunya sendiri. Ada sebuah prosedur di Kejaksaan yang disebut dengan rencana penuntutan (rentut). Sebelum menyampaikan tuntutan, JPU menyampaikan rentut secara berjenjang ke atasannya. Untuk kasus-kasus yang menarik perhatian publik, rentutnya sampai ke meja Jaksa Agung. Kasus sekelas Novel Baswedan yang sudah bertahun-tahun menyita perhatian publik domestik maupun internasional, rasanya tidak mungkin diserahkan begitu saja tuntutannya kepada Fedrik Dkk. Atasan Fedrik mulai dari Kepala Kejari Jakut sampai Jaksa Agung patut diduga mendapat rentutnya. Mereka bisa mengubah, menambah, bahkan mengurangi sebuah tuntutan. Jaksa Agung Abdurahman Saleh (2004-2007) pernah mengubah rentut dari hukuman mati menjadi bebas. Seorang ibu di Bandung bernama Aniq Qoriah dituntut hukuman mati karena membunuh tiga orang anaknya. Arman —begitu dia biasa dipanggil— curiga ada gangguan kejiwaan pada Aniq. Dengan begitu dia tidak bisa dituntut pidana. Instink Arman benar. Di persidangan dokter membuktikan Aniq mengalami gangguan jiwa. Pada 15 Januari 2007 Pengadilan Negeri Bandung membebaskannya. Bisa disimpulkan Fedrik Adhar Dkk hanya menjalankan tugas. Namun mereka bisa menjadi pintu masuk bagi publik untuk memahami wajah aparat penegak hukum dan proses penegakan hukum di negeri kita. Fedrik adalah perca kecil yang bila kita susun, akan menjadi sebuah mozaik besar. Setelah itu Anda bisa mengambil kesimpulan sendiri. So…Mau jengkel, marah, kasihan, iba, atau malah iri dengan Jaksa Fedrik? Selamat datang di negeri #tidaksengajahhhh. End Penulis Wartawan Senior

Novel, Didu dan Ruslan Menanti Keagungan Hukum

by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Kepala desa atau kepala rakyat wajib menyelenggarakan keinsafan keadilan rakyat. Harus senantiasa memberi bentuk (Gestaltung) kepada rasa keadilan dan cita-cita rakyat. Oleh karena itu kepala rakyat “memegang adat” (kata pepatah Minangkabau) senantiasa memperhatikan segala gerak-gerik dalam masyarakatnya, dan untuk maksud itu, senantiasa bermusyawarah dengan rakyat atau dengan kepala-kepala keluarga dalam desanya, agar supaya pertalian bathin antara pemimpin dan rakyat seluruhnya senantiasa terpelihara (Pidato Soepomo di depan BPUPKI tanggal 31 Mei 1945). Jakarta FNN – Senin (15/06). Novel Baswedan, Muhammad Said Didu dan Ruslan Buton, menemukan nasib yang ralatif sama. Novel yang satu matanya cacat permanen karena disiram air keras, harus berjuang lama untuk memperoleh keadilan. Said Didu dan Ruslan Buton di sisi lain, cepat sekali lagi diurus Kepolisian. Didu dilaporkan oleh kuasa hukum Menko Maritim dan Investasi pada kabinet Presiden Joko Widodo. Pak Menko tersinggung oleh sepenggal kalimat Said Didu. Kalau Novel butuh waktu puluhan bulan hingga perkaranya disidangkan. Said Didu tidak. Cepat sekali laporan untuk dirinya diurus sama Polisi. Ruslan Buton, purnawirawan Tentara, disisi lain, juga mirip Didu. Ruslan Buton yang pernah bertugas di Kampung Halaman Saya, di Ternate, segera ditangkap Polisi di rumahnya. Ini terjadi tak lama setelah Polisi menerima laporan atas tindakannya. Perkaranya juga sepele, sesepele perkara Said Didu. Ruslan Buton membuat pernyataan agar Jokowi mundur dari jabatannya sebagai presiden. Kalau tidak salah, Ruslan menyatakan kalau tak mundur, bukan tak mungkin rakyat akan melawan melalui revolusi rakyat. Pernyataan ini disiarkan melalui media social, kabarnya begitu. Hanya itu. Tak lebih. Mens Rea Dimulai Dari KPK Para terdakwa pada kasus Novel Baswedan telah disidangkan. Dalam sidang itu, mereka telah dituntut oleh Jaksa Penuntut. Mereka dituntut, kalau tak salah, dengan hukuman penjara satu tahun. Ringan? Jelas ringan. Satu mata rusak permanen, tetapi pelakunya dituntut satu tahun, jelas ini dinilai ringan. Malah boleh dibilang mengada-ada dan badut-badutan. Ada juga yang bilang, “Jaksa jadi pengacara buat terdakwa”. Mengapa Jaksa Penuntut Umum hanya menutut satu tahun untuk terdakwa? Adakah yang meringangkan mereka? Apa hal yang meringankan itu? Kabarnya Jaksa menemukan fakta, tentu dalam persidangan terdakwa “tidak memiliki niat merusak mata Novel”. Disitulah soalnya. Bagaimana Jaksa Penuntut Umum tahu terdakwa tak punya niat merusak mata Novel? Tidakkah niat orang, siapapun, tidak akan bisa diketahui? Mengapa tidak bisa diketahui? Dalam ilmu hukum pidana niat orang itu bersifat subyektif, psichisch element. Ini merupakan tipikal mens rea. Hal subyektif ini tidak bisa diketahui berdasarkan pernyataan atau pengakuan calon tersangka, tersangka atau terdakwa. Tidak bias itu Pak Jaksa. Niat orang, siapapun dia, hanya bisa diketahui dengan cara meneliti, memeriksa secara detail dan cermat, serta seksama rangkaian perbuatan orang itu. Soal esensial di level ini adalah memastikan perbuatan pelaku benar-benar melawan hukum, actus reus. Feit atau perbuatannya harus benar-benar unlawfull atau straafbaar. Tidak boleh lebih Pak Jaksa. Berdasarkan rangkaian perbuatan yang telah diteliti secara seksama dan detail itulah penyidik, penuntut umum, bahkan hakim menyimpulkan, “ada atau tidaknya mens rea”. Tidak di luar itu. Ini berkenaan dengan adagium actus reus nisi mens sit rea. Adagium ini menyaratkan apa yang disebut concurence of a wrongfull act, dan wrongfull intent. Pahami itu baik-baik. Konstruksi atas ada atau tidaknya mens rea, sekali lagi, harus bertolak dari perbuatan nyata, dan obyektif. Berdasarkan rangkaian perbuatan itulah dikonstruksi adanya niat atau perbuatan dilakukan secara sadar atau lalai. Bila perbuatan diniatkan dan direncanakan. Perbuatan perencanaannya panjang, maka perbuatn itu harus diangap dilakukan secara sadar. Disebabkan perbuatan itu dilakukan secara sadar, maka perbuatan dan akibatnya harus dianggap dikehendaki atau dituju oleh pelaku. Tersangka atau terdakwa boleh saja menyangkal dengan segala dalih dan alibinya. Tetapi bila perbuatan obyektif, nyata-nyata menunjukan perbuatan itu direncanakan (ada waktu yang cukup untuk berpikir, termasuk membatalkan perbuatannya), maka perbuatan dan akibatnya harus dianggap diniatkan, dikehendaki. Ada mens rea disitu. Baik actus reus maupun maupun mens rea, sama-sama penting diperiksa pada persidangan di pengadilan. Gunanya mendapatkan pemahaman meyakinkan tentang perbuatan dan sikap bathin pelaku yang sebenarnya. Gabungan ketat dua hal ini menjadi dasar penentu berat-ringannya hukuman. Perlu Obyektiflah Sikap bathin pelaku, menurut Profesor Andi Zainal Abidin Farid, penguji saya di Strata 1 (semoga Allah merahmati beliau) disebut toerekeningsvatbaarheid. Pengertiannya adalah, kemampuan bertanggung jawab atau kemampuan jiwa, misalnya tidak gila. Bila tersangka atau terdakwa tidak gila, maka kepada dia dapat dipertanggungjawabkan kesalahannya atas perbuatan pidana yang dilakukan, toerekenbaarheid. Praktis penentuan ada atau tidaknya mens rea, harus dicari dari perbuatan obyektif. Tidak bisa diluar itu, apapun alasannya. Pada titik itulah dapat dimengerti mengapa dunia hukum menjadi begitu gaduh ketika KPK menyatakan tidak ada mens rea dalam kasus Rumah Sakit Sumber Waras. Bagaimana KPK memperoleh mens rea atau sampai pada kesimpulan itu, jelas sangat logis untuk dipertanyakan. Tetapi apapun itu, secara faktual kasus Sumber Waras itu teleh melayang ke dalam alam, entah apa namanya. Berakhir sudah kasus itu, karena KPK tidak menemukan mens rea. Aneh? Entahlah. Namun begitulah hokum berbicara. Begitulah dunia dengan segala dekorasinya. Para terdakwa dalam kasus Novel telah berkali-kali menjalani pemeriksaan di pengadilan. Fakta tentunya telah berunculan dalam sidang itu. Secara hipotetik dapat dikatakan faktanya tidak tunggal. Rangkaian fakta itulah yang diperiksa, dan dinilai untuk selanjutnya dikonstruksi. Konstruksinya meliputi dua aspek, “actus reus dan mens rea”. Ini telah dilakukan oleh JPU melalui tuntutannya. Harus diakui, apapun alasannya, siapapun yang tak setiap hari, menit ke menit mengikuti sidang itu, tak akan tahu fakta obyektif sidang itu. Itu sebabnya, maka siapapun hanya bisa melakukan konstruksi secara hipotetik. Misalnya, andai terdakwa merencanakan perbuatan itu, maka secara silogistis rusaknya mata Novel beralasan dianggap sebagai hal yang diniatkan atau dikehendaki oleh pelaku. Bagaimana nalarnya? Pertama, secara hipotetik ada rencana. Kedua, alat yang digunakan. Andai fakta hipotetiknya alat yang digunakan adalah air keras, maka dengan penalaran logis dapat dikonstruksi alat itu pasti merusak tubuh orang yang terkena. Kongklusi silogistisnya kerusakan tubuh itu dikehendaki. Tentu saja mens rea. Andai saja hipotesis ini berkorelasi signifikan dengan fakta persidangan, maka tuntutan JPU, logis dipertanyakan. Mata novel itu tidak dapat dikembalikan lagi ke sedia kala. Disitulah letak soalnya tuntutan JPU. Tetapi apapun itu, dan di atas itu semua, mari menantikan dengan seksama penalaran obyektif dan keyakinan hebat hakim bekerja pada kasus Novel ini. Didu dan Ruslan Akibat Keangkuhan Mari menantikan juga bagaimana nalar kasus Said Didu dan Ruslan Buton. Kedua kasus ini meminta kejelasan atas dua hal. Pertama, apa seluruh rangkaian kata-kata Didu, mengandung unsur actus reus dan mens rea? Tidakah subyek yang dituju diketahui memiliki fungsi koordinasi urusan pemerintahan di bidang investasi? Apa itu investasi? Bagaimana merumuskan actus reus ditengah kenyataan subyek yang dituju secara obyektif benar-benar menunaikan kewajiban konstitusional sebagai warga negara? Bukankah bagus setiap menteri menunaikan kewajibannya membantu Presiden? Lalu, apa yang keliru dari kenyataan itu? Terlalu sulit, bahkan mustahil menyatakan keliru. Konsekuensinya sulit, bahkan mustahil menemukan actus reus, apalagi mens rea dalam kasus ini. Sama sulitnya dengan menemukan actus reus dan mens rea dalam kasus Ruslan Buton. Mengapa? Apa kata-katanya dalam media sosial itu telah menghasilkan keadaan gaduh? Bagaimana merumuskan, dalam arti memberi kualifikasi hukum pada kalimat- kalimat Ruslan yang, kabarnya, disebarkan melalui media sosial, sebagai kabar bohong atau berita yang sebagian atau seluruhnya bohong? Hal apakah dalam kenyataan ketatanegaraan saat ini yang dapat dianalogi dengan kenyataan tata negara tahun 1946? UU Nomor 1 Tahun 1946 diundangkan pada tanggal 26 Februari 1946. Kenyataan tata negara pada bulan Februari 1946 itu karena dua sebab. Pertama, sistem pemerintahan Indonesia adalah parlementer. Suttan Sjahrir sebagai Perdana Menteri, dikenal dengan Kabinet Sjahrir I. Kedua, nyata-nyata disebut dalam pasal 17 bahwa UU 1 Tahun 1946 berlaku untuk Jawa dan Madura. Pasal 15 UU ini nyata-nyata mengatur norma “kabar berlebihan” atau “tidak lengkap” dan “menimbulkan keonaran.” Bagaimana mengonstruksi norma “kabar berlebihan” itu? Juga bagaimana mengonstruksi norma menimbulkan “keonaran’? Apakah keonaran sama dengan kegelisahan? Keonaran pasti di dalamnya terdapat kegelisahan, tetapi apakah kegelisahan sama dengan keonaran? Bisakah imbauan disamakan dengan berbohong? Bisakah pendapat orang dikualifikasi sebagai berita atau kabar bohong? Tidakkah terminologi berita menunjuk adanya informasi yang diterima, lalu disebarkan? Taruhlah pendapat Ruslan itu disiarkan, sehingga jadi berita, tetapi dapatkah pendapat yang diberitakan itu berkualifikasi sebagai berita bohong? Pembaca FNN yang budiman. Terlalu sulit, bahkan mustahil mengonstruksi pendapat seseorang yang disiarkan sekalipun, melalui semua alat penyiaran yang tersedia, dikualifikasi sebagai berita. Lebih sulit lagi bila hendak dikonstruksi sebagai berita bohong. Kegelisahan, sebut saja, secara obyektif ada. Soalnya adalah apakah kegelisahan itu dapat dikualifikasi sebagai bahaya nyata? Apakah dengan pendapat itu, kedudukan presiden berada dalam bayaya nyata didepan mata? Sembari memberi hormat yang wajar pada usaha penegakan hukum, secara obyektif sulit menemukan actus reus dan mens rea dalam dua kasus terakhir ini. Sulit betul untuk bisa menjadikan Said Didu tersangka. Sulit juga, bahkan mustahil mengualifikasi tindakan Ruslan Buton sebagai kejahatan. Obyektifitas, yang merupakan anak kandung kejujuran, lawan tangguhnya keangkuhan penguasa, jelas dinantikan pada semua kasus ini. Kejujuran seutuhnya dalam menegakan hukum harus jadi panduan utama. Levelnya harus setara kejujuran setiap orang kelak berada dan berdiri dipengadilan akhir, di hadapan Allaah SWT Yang Maha Tahu. Insya Allaah. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Ketika Jaksa Menjadi Pembela Terdakwa Kasus Novel

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (14/06). Tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada dua orang Polisi aktif Ronny Bugis dan Rahmat Kadir, yang diduga sebagai penyerang Novel Baswedan hanya satu tahun. Tuntutan ini dinilai tidak adil. Mencengangkan untuk tindak pidana bertitel penganiayaan berat yang terencana. Semua suah tahu. Akibat dari penyiraman air keras ke wajah Novel Baswedan, telah menyebabkan sebelah mata Novel menjadi cacat. Mata Novel menjadi cacat secara permanen. Tidak dapat disembuhkan lagi. Sejak awal Novel sendiri meragukan keseriusan penyidikan dilakukan oleh polisi. Apalagi tersangka adalah anggota Polri aktif. Kasus Novel sendiri sangat kental bernuansa politik. Ada aktor intelektual dibelakang penyiram air keras. Walapun demikian, jangankan untuk bias mengungkap aktor intelektual yang "dibelakang", pada tersangka yang ada saja masih banyak tanda Tanya. Sangat diragukan kebenaran materielnya. Cerita novel yang bertele tele dan tuntutan seperti main-main dan badut-badutan. Jaksa mengakui ada perencanaan. Juga diyakini sebagai delik penganiayaan berat. Rencana penganiayaan Novel dapat dibuktikan di depan persidangan. Tersangka juga telah mengakui perbuatan perencanaan itu. Tapi ironinya JPU hanya menuntut satu tahun penjara saja kepada para pelaku. Aneh tapi nyata. Pasal 355 ayat ( 1) KUHP menyatakan bahwa untuk perbuatan penganiayaan berat dengan rencana itu, sanksi hukumannya 12 tahun penjara. Itu adalah dakwaan primer. Terhadap dakwaan subsidair Pasal 353 ayat (2), maka ancaman hukumannya adalah 7 tahun. Sungguh aneh. Bagaimana bisa JPU hanya menuntut satu tahun penjara. Lucu-lucuan saja. Jika alasannya adalah, kedua terdakwa tidak sengaja menyiram air keras ke badan namun yang terkena adalah wajah. Justru menunjukkan kebodohan hukum dari sang Jaksa secara nyata. Kebodohan yang diumbar ke publik untuk ditertawakan. Yang namanya sengaja (opzet) itu ada tiga jenis. Pertama, sengaja sebagai maksud (opzet als oogmerk). Kedua, sengaja dengan kesadaran akan kepastian (opzet als zekerheidsbewustzijn). Ketiga, sengaja dengan kesadaran akan kemungkinan (dolus eventualis). Nah, menyiram air keras dari motor berboncengan jika tidak kesengajaan pertama, maka akan terpenuhi yang kedua dan ketiga. Jadi, menyiram air keras yang berakibat rusak pada wajah adalah sengaja juga. Semua unsur sengaja yang direcanakan sudah terpenuhi syaratnya. Bisa "zekerheidsbewustzijn" atau "dolus eventualis". Adapun unsur sengaja adalah menghendaki dan mengetahui (willens en wetens). Apa yang dilakukan oleh kedua Polisi aktif ini sangat kuat memenuhi rumusan delik baik Pasal 355 ayat (1) atau 353 ayat (2) KUHP. Terlepas aspek teknis hukum, maka apa yang terjadi dengan tuntutan satu tahun adalah menggelikan. Juga menistakan hukum, dan jauh dari rasa keadilan. Jaksa Penuntut Umum ini terkesan menjadi pembela dari terdakwa. Biasanya JPU mencari sanksi atas perbuatan yang terberat. Dalam kasus Novel Baswedan ini justru aneh, karena yang terjadi adalah sebaliknya. Jaksa justru mencari yang teringan. Semua tahu itu tugas Pembela, bukan tugas Jaksa. Memang, lamanya waktu untuk menemukan tersangka saja sudah janggal. Tiga tahun dan ternyata ditemukan di ruang yang dekat-dekat saja. Ditemukan di kantor Polisi sendiri. Kemudian diproses dengan bertele-tele pula. Kini masuk Pengadilan. Lalu sampailah pada tuntutan JPU yang kontroversial tersebut. Bravo JPU. Anda layak dapat bintang. Bintang cerita telenovela. Bertele tele dan mampu membuat cerita sedih dalam kepura-puraan. Akibatnya, keadilan yang menjadi korban dari penganiayaan berat. Telah luka wajah hukum disiram dengan air keras kekuasaan. Katanya kan tidak sengaja. Ya sudah, ngga apa apa. Namanya juga cerita. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Hukum.

Antara George Floyd dan Said Didu

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (12/05). George Floyd mendadak jadi terkenal. Tak saja di Amerika, tetapi di seluruh dunia. Kematian lelaki kulit hitam oleh polisi Amerika ini telah menciptakan gelombang massa. Karena kematian satu nyawa ini, diprotes dengan demonstrasi. Bahkan penjarahan dan kerusuhan terjadi di hampir semua negara bagian di Amerika. Menghadapi situasi yang tak terkendali, Donald Trump terpaksa siapkan tentara. Sayangnya, permintaan Trump ditolak oleh Menteri Pertahanan, Mark Esper. Trump berang. Sang menteri pun mau dipecat. Tetapi tak jadi, karena ada masukan dari sejumlah penasehat presiden. Segawat itulah Amerika, sehingga harus menurunkan pasukan tempur? Apakah situasi Amerika sudah tak terkendali? dan Trump sudah tidak sanggup lagi menghadapi situasi di Amerika? Di setiap negara ada Floyd. Seorang korban kesewenang-wenangan kekuasaan. Ada yang mati dibunuh, ada yang diculik, ada yang ditangkap, ada yang dijadikan tersangka, dan ada pula yang diteror dan diintimidasi . Masing-masing negara punya caranya sendiri untuk menghadapi protes rakyatnya. Faktor utama kejatuhan Soekarno dan Soeharto karena kesewenang-wenangan dari kedua penguasa tersebut. Kasus pemberontakan PKI dan krisis ekonomi ketika itu hanya sebagai trigger belaka. Siapapun panguasa, jika nenggunakan kekuasaan dengan seweng-wenang, pasti jatuh. Jika di Amerika ada George Floyd, di Indonesia juga ada Said Didu. Memang beda. Floyd dituduh memakai kupon yang sudah kedaluwarsa. Sedangkan Said Didu dituduh mencemarkan nama baik Menteri Kordinator Bidang Maritim dan Invetasi Luhut Binsar Panjaitan. Orang kuat di kekuasaan sekarang. Bedanya lagi, Floyd mati dengan cara yang sadis, dan videonya ditonton oleh masyarakat di seluruh dunia. Sementara Said Didu ditetapkan menjadi tersangka. Surat penetapan tersangkanya beredar luas dan menggegerkan dunia maya. Pencemaran nama baik atau karena kritik Said Didu? Tak mudah untuk bisa membedakannya. Dalam konteks ini, persepsi penguasa dan rakyat seringkali berbeda. Tergantung sudut pandang kepentingan masing-masing Sempat diberi kesempatan untuk minta maaf kepada Menko Luhut Binsar Panjaitan. Namun Said Didu menolak. Karena merasa tidak bersalah. Ia hanya mengkritik, bukan mencemarkan nama baik pejabat. Jawaban Said Didu yang tegas dan sangat jelas! Nampaknya, Said Didu lebih memilih menjadi martir daripada minta maaf. Siap dengan segala konsekuensinya, termasuk akan dipenjara. Apakah kasusnya akan jadi trigger terjadinya protes nasional? Sejarah yang akan membuktikan nantinya. Yang jelas, berdasarkan surat yang beredar di media sosia dengan nomor B/47/VI/2020/Diitibitsiber Bareskrim Polri, tertanggal 10 Juni 2020, Said Didu telah ditetapkan menjadi tersangka. Menyusul Ruslan Buton yang lebih dulu jadi tersangka dalam kasus meminta Pak Jokowi mundur. Status tersangka Said Didu mengacu pada surat yang beredar. Tetapi, pihak kepolisian melalui Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Arga Jowono membantahnya. Apakah bantahan itu akan menganulir status tersangka Said Didu dalam surat yang beredar di media social tersebut? Rakyat bertanya-tanya, kok seperti ada keraguan menetapkan Said Didu menjadi tersangka. Apakah ada yang khawatir bahwa Said Didu akan menjadi Floyd di Indonesia? Memancing gelombang protes dan demonstrasi massa dari seluruh elemen bangsa? Memang dilematis! Nasi sudah jadi bubur. Said Didu tersangka boleh jadi akan memicu terjadinya protes nasional yang semakin kencang. Tapi, jika lepas, ini akan jadi tamparan keras buat Pak Menteri Luhut Panjaitan. Rakyat terus berharap kepada pihak kepolisian agar bersikap netral, obyektif dan profesional. Ini taruhan nama baik bagi institusi terhormat itu. Sekaligus akan menjadi sejarah keadilan di negeri ini. Yang pasti, kasus Said Didu telah menjadi sorotan. Tidak saja di media, tetapi bahkan jadi perhatian seluruh aktifis di Indonesia. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Tuntutan Badut JPU Untuk Eksekutor Novel Baswedan

Andi W. Syahputra Jakarta FNN – Jum’at (12/06). Tidak terlalu sulit untuk menebak tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis. Dua pelaku penyiraman air keras kepada Novel Bawesdan. Tuntutan yang super ringan satu tahun penjara adalah dagelan dan badut hukum yang patut diduga memang sudah diskenariokan sedari awal. Betapa tidak. Kendati JPU beranggapan bahwa para pelaku terbukti telah merencanakan penyerangan terhadap Novel. Namun JPU mengesampingkan perbuatan para pelaku yang mengakibatkan kebutaan permanen bagi korban sebagai perbuatan yang direncanakan. Disinilah konstruksi dagelan dan badut itu disusun dengan apik. JPU dengan sengaja menghilangkan mans rea dari kedua pelaku. Jaksa menganggap target para pelaku hanya sekadar mencederai. Bukan untuk memuat korban cacat, mata buta secara permanen. Dalam teori pidana, penilaian terhadap pelaku kejahatan atau tindak pidana dibangun atas dua unsur penting. Pertama, menilai perbuatan pelaku sebagai pelanggaran ketentuan pidana (actus reus). Kedua, motif pelaku ketika melakukan tindak pidana (mens rea). Dua prinsip hukum pidana ini tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain. Oleh karenanya, para ahli hukum terutama penegak hukum kerap menggunakan kedua unsur pidana tersebut dalam prosedur penegakkan hukum pidana (acara pidana). Bukan seperti yang dilakukan JPU kasus Novel ini. Memang terjadi perdebatan. Mana yang mesti didahulukan? Actus reus atau mens rea? Namun, secara umum, ketika memulai penyelidikan, lazimnya penyelidik akan mendahulukan untuk menggali dari actus reus-nya ketimbang menggali motif (mens rea) pelaku. Ibaratnya, mengenali yang batin (abstrak) dari seseorang, jauh lebih sulit ketimbang menemukan perbuatan (fisik). Karena perbuatan pasti lebih dahulu terlihat dan dijadikan dasar untuk pemeriksaan lanjutan. Dalam hal tertangkap tangan pun, mens rea masih penting untuk dibuktikan di tahap berikutnya. Dari penjelasan singkat tersebut, mudah diketahui bahwa JPU telah lebih dahulu menemukan unsur perencanaan dari perbuatan pelaku. Fakta persidangan mengungkap, penyiraman terhadap Novel telah direncanakan dengan matang. Mulai dari penggunaan bahan (alat) hingga pada waktu eksekusi. Penggunaan asam sulfat sebagai bahan untuk membantu menyempurnakan kejahatan. Sementara waktu di kala sholat subuh, adalah pemilihan waktu yang sangat tepat. Itu merupakan hasil pilihan dari sebuah perencanaan yang matang oleh para pelaku. Asam sulfat dipilih oleh para pelaku agar korban mengalami cacat permanen, sehingga membuat jera korban. Dari rangkaian perencanaan tersebut semestinya JPU sudah dapat mudah menggali bahwa tindakan para pelaku masuk dalam rumpun penganiayaan berat yang direncanakan. Target para pelaku sangat jelas dan terang-benderang. Targetnya melumpuhkan dan membuat cacat korban, agar timbul efek jera pada diri korban. Makanya dipilih bahan kimia yang sangat berbahaya. Targtenya tidak yang abu-abu. Lantas, bagaimana dengan menilai mens rea para pelaku, yang menurut JPU percikan ke mata korban bukan unsur kesengajaan yang menyebabkan kebutaan permanen? Pengakuan para pelaku di persidangan a quo, cairan asam sulfat yang disiramkan mengenai mata kiri Novel bukan sebagai target, tetapi sebagai insiden yang tidak disengaja. Motif (mens rea) para pelaku adalah rasa benci kepada korban, sehingga perlu diberikan pelajaran. Bagaimana mungkin perbuatan yang didasari kebencian dengan menggunakan asam sulfat supaya korban cacat permanen dapat dinilai JPU sebagai perbuatan tak sengaja? Sekali lagi. Target para pelaku itu adalah melumpuhkan dan membuat cacat korban. Sehingga timbul efek jera pada diri korban. Makanya dipilih bahan kimia yang sangat berbahaya. Tingkat merusaknya tidak main-main. Hal yang perlu diingat adalah, mens rea menjadi unsur penting untuk menentukan pertanggungjawaban pidana dari para pelaku. Dalam peristiwa pidana kasus Novel, perbuatan pidana para pelaku harus menitikberatkan pada kombinasi antara actus reus dan mens rea. Tidak bias tidak. Perbuatan pelaku dengan menyiramkan asam sulfat yang tergolong bahan kimia sangat berbahaya. Pelaku sengaja melakukan dengan niat kebencian agar Novel Baswedan jera. Sangat jelas mens rea adalah grudge (dendam). Bukan yang lain. Jelas sekali motifnya. Dalam peristiwa ini tidak ada itu unsur kelalaian atau ketidaksengajaan. Dalam setiap perbuatan pidana, yang didahului dengan motif rea dendam terhadap korban, selalu saja berujung pada penganiayaan berat. Bukan penganiayaan ringan atau kebetulan. Berbeda dengan, umpamanya dalam kasus pembunuhan akibat dari kelalaian. Misalnya, saat pengemudi ugal-ugalan menabrak orang hingga mati. Pelaku yang menabrak korban tetap dapat didakwa menghilangkan nyawa orang lain. Hanya saja pasalnya akan berbeda, karena mens rea berbeda. Seharusnya, dalam pertimbangan tuntutan JPU, berapapun rasio perbandingan mens rea dan actus reus, terlepas dari aaspek mana yang harus timbul duluan, keduanya adalah unsur yang harus ada dalam pertanggungjawaban pidana. Menyimak fakta persidangan a quo, JPU telah sengaja mengesampingkan semua unsur yang terbukti dalam dakwaan primer pasal 355 ayat (1). Di mana semua rangkaian perbuatan telah diakui oleh para pelaku sendiri dan terbukti di muka persidangan. Dengan begitu, semestinya JPU menetapkan dakwaan primer pasal 355 telah terbukti secara menyakinkan. Anehnya, justru sebaliknya. Tuntutan JPU itu justru menilai dakwaan primer pasal 355 tidak terbukti . JPU langsung meloncat kepada dakwaan subsider pasal 353 ayat (2). Ini suatu kejanggalan yang disengaja sebagai dagelan dan badut murahan yang mencoreng wibawa pengadilan Indonesia. Terlepas dari polemik Tuntutan Super Ringan kasus penyiraman Novel Bawesdan, penilaian dan pendalaman dengan seksama dalam memahami actus reus dan mens rea menjadi sangat penting. Keduanya tak boleh dipisahkan hanya sekadar untuk mengaburkan substansi dari perbuatan pidana para pelaku. Bahkan dalam era digital saat ini, justru mens rea lebih dikedepankan dalam menggali perbuatan pidana pelaku. Tuntutan Super Ringan JPU terhadap para pelaku penyiraman Novel Bawesdan menambah bukti baru bahwa JPU dapat diintervensi oleh atasannya. Bisa juga diintervensi oleh pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan perkara. JPU tak punya kemandirian dalam mengajukan rencana tuntutan (rentut) karena harus terlebih dahulu diketahui oleh atasanya. Lazimnya, JPU yang hadir di persidangan adalah Jaksa pada level bawahan yang tidak bisa diintervensi. Namun Jaksa yang lebih tinggi yang mudah diintervensi. Dalam konteks kasus Novel, seorang “jenderal polisi berpengaruh” sebagaimana pernah disebut oleh Novel sendiri, punya kepentingan atas tuntutan ringan JPU tersebut. Oleh sebab itu, lantaran Hakim sendiri tak punya pedoman vonis (putusan), maka JPU mencoba memagari kemandirian Hakim supaya kelak Hakim menjatuhkan putusan tak melebihi tuntutan JPU. Publik tentu saja berharap Majelis Hakim akan tetap mandiri dan independent. Tidak ada ketentuan atau panduan bagi Hakim harus menjatuhkan putusan lebih rendah, tinggi atau sama dengan tuntutan JPU. Hakim dapat menjatuhkan putusan lebih berat karena kemandiriannya. Hakim tidak punya atasan siapapun, kecuali kepada Tuhan. Wallahu’alam bi sawab. Penulis adalah Praktisi Hukum

Mengapa Polisi Membantah Status Tersangka Said Didu?

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Pagi hari tadi (11/6/2020), portal berita online, “kumparan”, sempat memicu adrenalin banyak orang. Portal berita ini membuat judul berita “Said Didu Ditetapkan Sebagai Tersangka Ujaran Kebencian Terkait Luhut”. Menurut “kumparan”, penetapan tersangka itu tertuang di dalam surat Dittipidsiber Bareskrim Polri tertanggal 10 Juni 2020. Sekitar jam 12 siang, berita itu dibantah oleh kepolisian. Sangat cepat. Sebagaimana diberitakan “kumparan” juga. Bantahan itu langsung datang dari Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono. Muhammad Said Didu (MSD) belum ditetapkan sebagai tersangka. Dikatakan, polisi hanya melakukan gelar perkara pencemaran nama baik Luhut Binsar Pandjaitan (LBP). Tapi, sumber-sumber di lingkaran penyidikan menyebutkan sebenarnya status tersangka terhadap MSD sudah ditetapkan. Gelar perkara sudah dilakukan kemarin dan disepakati penetapan tersangka itu. Namun, Polisi tampaknya mengambil sikap ‘cautious’ (hati-hati). Mengingat kasus MSD vs LBP menjadi perhatian nasional. Artinya, reaksi publik akan menjadi faktor penting. Tanpa harus melakukan survei, tidak perlu ragu menyimpulkan bahwa lanjutan perkara MSD vs LBP adalah jadwal yang sangat ditunggu-tunggu khalayak. Ketika pagi tadi muncul berita ‘ditetapkan sebagai tersangka’, media sosial langsung bersemangat. Semangat yang berinklinasi ke MSD. Publik menantikan lanjutan perkara ini karena mereka melihat bahwa MSD tidak mencemarkan nama baik LBP. Masyarakat melihat tindakan LBP memperkarakan MSD sebagai langkah pamer kekuasaan. Sebagai bentuk arogansi kekuasaan. Meskipun pihak LBP sibuk mengatakan bahwa langkah ini semata-mata tindakan hukum. Para pakar hukum berpendapat MSD hanya mengkritik pemikiran dan kebijakan publik LBP. Tetapi, pihak LBP berkeras dengan pendapat mereka bahwa yang dilakukan MSD adalah penghinaan. Tentu ini tidak masalah. Sekarang, posisi MSD masih belum menjadi tersangka. Yang menjadi pertanyaan, mengapa Polisi membantah berita pertama? Apakah para wartawan, termasuk wartawan “kumparan”, yang mendapatkan surat Dittipidsiber (Direktorat Tindak Pidana Siber) itu ‘salah paham’? Kelihatannya bukan wartawan yang salah paham. Ada kalkulasi lain. Patut disangka bahwa penetapan MSD sebagai tersangka akan membangkitkan semangat pubik untuk melawan kesewenangan. Sekaligus membangkitkan solidaritas untuk MSD. Sejak awal, kasus ini senantiasa mendapatkan perhatian luas. Mungkin perkara ini didaulat oleh publik sebagai pertarungan antara ‘yang kuat’ lawan ‘yang lemah’. Sejak kasus MSD vs LBP mengemuka, publik langsung memposisikan MSD sebagai ‘orang lemah’ dan LBP sebagai ‘orang kuat’. Dari sinilah menggumpal opini publik yang sangat solid berada di belakang MSD. Orang bisa saja mengabaikan opini publik dalam perkara ini. Tetapi kasus MSD itu, suka atau tidak suka, lebih banyak mengambil aspek politis ketimbang aspek hukum. Vonis hukum terhadap MSD, kalau itu terjadi, akan dilihat oleh publik sebagai vonis politik. Ini yang membuat berbagai pihak yang berwenang kelihatannya ingin ‘mutar-mutar’ dulu. Banyak yang memperkirakan kasus ini akan ditangani dengan ‘lebih bijak’ agar aspek politisnya tidak membesar. Memenjarakan MSD pastilah tidak sulit. Membuktikan MSD melakukan pencemaran nama baik atau ujaran kebencian, pasti juga bukan masalah besar. Hanya saja jika MSD dijebloskan ke penjara, dia tidak akan dipandang sebagai narapidana biasa. Said Didu akan menyandang status ‘martyr’. Akan dianggap sebagai korban kesewenangan. Ini yang tak akan terbendung. Dan prospek ini yang bisa sangat merepotkan. MSD bisa dengan cepat membola salju. Akan menjadi simbol perlawanan terhadap arogansi kekuasaan. Dalam sejarah di mana pun juga, bola sajlu yang meluncur akan sulit dihadang. Kemungkinan ini yang kelihatannya menjadi salah satu perhitungan cermat berbagai pihak. MSD bukan ‘calon tersangka’ biasa. Dia sudah menjadi ‘milik’ rakyat. Akan dijaga oleh rakyat. MSD ada dalam kedaulatan rakyat. Yang nilanya lebih tinggi dari kedaulatan ministerial.[] 11 Juni 2020(Penulis Wartawan Senior)

Soal Penangkapan, Belajar dari Soekarno dan Soeharto

By M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Jum’at (05/06). Bagaimana bisa, hanya dengan bermodalkan pelaporan biasa dari seorang Aulia Fahmi, dapat ditindak lanjuti dengan penangkapan Ruslan Buton. Pelaksanaan penangkapan seperti menangkap seorang teroris. Ada Densus 88 segala. Bukan hanya tidak lazim, tetapi terlihat berlebihan. Juga berlebihan di luar hukum acara yang berlaku. Apalagi dengan cepat menetetapkan Ruslan Buton sebagai tersangka lagi. Ini domein hukum atau politik? Jika hukum tentu tidak seperti ini. Jika politik mungkin wajar. Harus diingat pula bahwa jika penangkapan Ruslan Buton, karena pertimbangan ranah politik, maka akan menghasilkan dan memproduksi sikap politik pula. Bisa berupa protes politik yang jauh lebih banyak dan besar. Polisi perlu belajar dari Presiden yang sudah-sudah bahwa memenjarakan dan membungkam sikap kritis bukan cara terbaik menyelesaikan masalah bangsa. Belajarlah pada Presiden Soekarno dan Soeharto. Berapa banyak tokoh masyarakat dan tokoh publik yang dijebloskan ke penjara oleh kedua penguasa ini? Tidak juga membuat sikap anak-anak bangsa yang selalu kritis terhadap kedua penguasa ini ciut atau surut. Sebaliknya, semakin menambah dan memproduksi kelompok-kelompok kritis di masyarakat. Belajar juga dari SBY yang bisa menyelesaikan masa pemerintahan selama sepuluh tahun. Kritik sekeras apapun dari kelompok kritis kepada SBY, ditanggapi dengan bijak dan elegan. Selasa sepuluh tahun berkuasa, tidak ada kelompok kritis di masyarakat yang dipernjarakan oleh SBY. Tanggal 15 Januari 2007, dalam rangka memperingati kejadian Malari 1974, dilakukan demonstrasi besar-besaran di bundaran Hotel Indonesia (HI) sampai depan Istana Negara. Temanya mencabut mandat rakyat yang diberikan kepada SBY-Jusus Kalla. Tidak ada satupun demonstran yang ditangkap atau dipenjarakan oleh pemerintah SBY. Pada Februari 2010, ada demontran yang membawa sapi gendut dan besar di bundaran HI. Sapi tersebut bertuliskan SiBuYa (SBY). Tulisan di sapi itu menggambarkan dan menyindir Presiden SBY yang gemuk besar, lambat bersikap, dan malas bekerja, sehingga negara tidak disurus dengan baik. Anehnya, tidak ada pendemo yang ditangkap dan dipernjarakan SBY. Sebaiknya, kebiasaan buruk penguasa untuk melakukan tindakan hukum dengan "meminjam" tangan pelapor harus dihentikan. Sebab kelompok kritis tidak mungkin bisa dibungkam dengan penangkapan dan penjara. Namun menjadi kultur buruk wajah hukum di Indonesia. Menjadi catatan sejarah kelam yang tak mudah dihapus. Akan selalu diingat dan dikenang sebagai penguasa yang anti terhadapa kritik dan kebebasan berpendapat. Dua hal yang mesti mendapat support publik. Pertama, memberikan dukungan pra-peradilan atas penetapan tersangka Ruslan Buton yang dilakukan oleh Pengacara. Pra-peradilan ini sebagai bentuk perlawanan hukum atas kesewenang-wenangan penguasa. Kedua, dukung pelaporan balik terhadap saksi pelapor Aulia Fahmi SH. Saksi pelapor perlu disidik, untuk mengetahui apa juga motif dari pelaporan yang dilakukan Aulia Fahmi? Apa krugian hhkum yang diderita oleh dari Aulia Fami? Apakah murni karena hukum, atau kepanjangan tangan politik. Seruan untuk penangkapan juga cukup berimbang. Mengingat urusannya lapor melapor antara pihak Ruslan Buton dengan Aulia Fahmi, maka pihak Kepolisian harus bersikap obyektif dalam menangani masalah hukum. Kontennya menjadi kepentingan kedua belah pihak. Jangan sampai berat di sebelah. Jika ada hubungan dengan negara, maka biasakan negara bertindak sendiri. Bukan dengan cara negara meminjam tangan masyarakat. Negara dapat menindak sendiri makar atau pemberontakan misalnya. Agar publik merasa yakin tidak terjadi proses kriminalisasi atau politisisasi. Andai pelapor yang dilaporkan balik juga sama-sama ditangkap, sebagaimana seruan yang muncul di media. Maka akan semakin jelas obyektivitas penanganan. Rakyat akan sangat percaya pada proses penegakkan hukum oleh penegak hukum. Bila aparat kepolisian selalu menggunakan tangan tangan "pelapor" hanya sebagai alat untuk melakukan proses penyelidikan dan penyidikan, maka independensi menjadi kabur. Publik meragukan kerja aparat penegak hukum. Kelak akan muncul figur "spesialis" pelaporan. Kasus pelaporan terhadap Said Didu oleh orang yang mengaitkan dengan pencemaran kepada Menko Luhut Binsar Panjaitan (LBP) adalah contoh buruk. Luhut yang mestinya melaporkan sendiri atas pencemaran nama baik dirinya. Menempatkan diri dalam kedudukan yang sama di depan hukum. Meskipun Luhut adalah seorang Menteri. Obyektivitas dalam penanganan hukum, seharusnya menjadi prioritas dari penegak hukum. Terutama pada situasi kebutuhan mendesak adanya stabilitas politik dan hukum. Apalagi ketika kepercayaan kepada Pemerintah sedang merosot. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Hukum.

Ketika UUD 1945 Dijadikan Sebagai Panduan Makar

By Dr. Ahmad Yani, MH. Jakarta FNN – Selasa (02/06). Dalam UUD 1945, Negara Indonesia memperjelas posisinya sebagai negara yang mengakui hak dan kebebasan setiap warga negara. Pasal 28 Menyebutkan: “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan, dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Tidak berhenti sampai di situ saja. Masih ada pasal dalam UUD 1945 yang mengatur tentang kebebasan warga negara mengeluarkan pendapatnya. Selanjutnya Pasal 28E ayat (3) berbunyi “ Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Dipertegas lagi dengan pasal 28I ayat 1 yang berbunyi “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Hak asasi itu bukan hanya tidak boleh dibatasi oleh siapapun. Namun juga tidak bisa dikurangi dalam hal apapun. Sementara Pasal 28J ayat 1 mengatur batasan Hak Asasi itu dengan mengatakan : “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain”. Artinya, batasan itu hanya ada pada pergaulan antar sesama warga negara. Bukan antara negara (pemerintah) dengan rakyatnya. Oleh karena itu, tidak ada batas kebebasan bagi warga negara untuk menegur negara. Bahkan meminta presiden Mundur dari jabatannya sekalipun. Begitu aturannya. Mengkritik, mengecam, bahkan meminta mundur presiden dari jabatannya adalah aspirasi masyarakat yang sesuai dengan konstitusi negara. Presiden dipilih oleh rakyat untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai presiden. Kalau rakyat merasa presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden, rakyat berhak untuk memintanya mundur. Itu haknya rakyat yang memilih presiden. Kekuasaan itu tidak boleh membuat pejabatnya ”bertelinga tipis” atas kritikan rakyat. Jangan hanya mau mendengarkan pujian dan sanjungan semata-mata. Ini bukan negara feodal. Pengkritik dan penyanjung kekuasaan adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan dari kebebasan menurut pasal 28 UUD. Karena itu, kalau mau menghalangi kebebasan berpendapat, maka penyanjung kekuasaan juga harus dilarang. Tetapi penyanjung kekuasaan justru mendapatkan perlakuan yang istimewa. Ada orang yang senang menebarkan fitnah, adu domba, dan mengolok-olok orang lain. Mereka itu telah memenuhi unsur pidana. Namun mereka justru menjadi “binatang langka” yang tidak boleh disentuh oleh hukum. Hanya binatang langka yang masih dirawat, meski melakukan kejahatan. Maka di sini saya tegaskan, bahwa kebebasan berpendapat, dan kebabasan untuk menyatakan pikiran, baik itu memuji kekuasaan, atau mengkritik kekuasaan adalah hak warga negara yang tidak boleh di kurangi dalam hal apapun. Kebebasan berpendapat itu sah berdasarkan konstitusi negara. Meminta Presiden Mundur Kalau menganggap pemberhentian Presiden adalah makar dan tindakan pidana, maka konstitusi atau UUD bisa dikatakan buku panduan kejahatan. Hanya di dalam konstitusi UUD 1945, terdapat pasal yang mengatur tentang Pemberhetian Presiden. Tata cara tentang pemberhentian Presiden itu diatur dengan jelas dan terang benderang di Pasal 7A dan 7B UUD 1945. Kalau kita menganggap impeachment (pemberhentian) itu adalah kejahatan sebagaimana yang terjadi Pada Ruslan Buton yang meminta presiden Mundur, maka pasal ini harus dihilangkan dulu dari UUD 1945. MPR segera bersidang untuk mencabut Pasal 7A dan 7B dari batang tubuh UUD 1945. Sebagai warga negara, Ruslan tentu punya hak untuk menyampaikan pendapatnya. Ruslan berhak untuk menyataka tidak sejalan dengan pemerintah. Tidak sejalan dengan Presiden dalam hal mengelola negara. Pendapat Ruslan Buton itu sah dan konstitusional. Meminta presiden mundur atau berhenti adalah aspirasinya sebagai warga negara. Kalau meminta presiden mundur adalah pidana, maka konstitusi yang mengatur presiden diberhentikan juga dapat dianggap sebagai panduan makar. Buku tentang panduan kejahatan kepada negara. UUD 1945 mengatur dengan sangat jelas, dan terang bernderang tentang tata cara memberhentikan Presiden. Dengan Mekanisme yang jelas. Tidak ada yang sama-samar. Artinya, UUD 1945 memenuhi syarat sebagai “buku panduan makar” kepada pemerintah atau negara. Karena memuat skenario pemberhentian presiden. Begitu simpelnya. Padahal presiden diberhentikan itu dilakukan atas “Pendapat DPR”. Nah, “Pendapat DPR” itulah yang disebut “aspirasi rakyat”. Itulah yang menjadi aspirasinya Ruslan Buton. Bukan aspirasinya presiden atau pemerintah. Lalu kenapa rakyat yang bernama Ruslan Buton ditangkap ketika menyampaikan aspirasinya meminta presiden mundur? Apa yang salah ketika rakyat Ruslan Buton menyampaikan aspirasinya sesuai panduan sejumlah pasal yang ada di dalam batang tubuh UUD 1945? Anehnya DPD pun diam. Mengapa DPR diam ketika ada rakyat yang mereka wakili menyampaikan aspirasinya kemudian di tangkap? Ini pertanyaan serius lho! Cara Memberhentikan Presiden Ada dua cara untuk menghentikan Presiden dari jabatannya. Pertama, cara yang konstitusional. UUD 1945 menjelaskan bahwa usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Namun usul DPR ke MPR harus terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat DPR. Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota, dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR. Kedua, melalui tindakan extra konstitusional. Cara ini pernah dilakukan oleh Soekarno sebagai Presiden ketika membubarkan Badan Konstituante hasil Pemilu Tahun 1955. Soekarno mengumumkan dekrit Presiden 5 juli 1959. Yaitu menghentikan peroses perdebatan dalam menyusun konstitusi negara di Badan Kontituante, dengan kembali ke UUD Tahun 1945. Tindakan Soekarno waktu itu, sebenarnya bertentangan aturan hokum. Setidaknya tidak diatur dalam konstitusi negara, atau UUD Sementara Tahun 1950. Namun kemudian Dekrit Presden 5 Juli 1959 dapat dibenarkan menurut kondisi dan keadaan waktu itu. Selain itu desakan pemberhentian Presiden Soekarno diawali dengan demonstrasi memintanya mundur. Hingga akhirnya sidang Istimewa MPR meneruskan aspirasi itu, hingga akhirnya Soekarno berhenti. Begitu juga dengan Presiden Soeharto, desakan Mahasiswa dan Tokoh Reformasi akhirnya membuat Soeharto menyatakan mundur dari presiden. Setekag Soeharto mundur, BJ Habibie naik mengantikan Soeharto sebagai Presiden, dan meneruskan masa jabatan Soeharto, yang menurut UUD Tahun 1945 seharusnya sampai tahun 2003. Namun Presiden Habibie Mempercepat Pemilu yaitu Tahun 1999, dan MPR memilih Abdurrahman Wahid Sebagai Preside. Tindakan yang dilakukan Presiden Habibie juga extra konstitusional. Karena itu desakan atau permintaan dari rakyat, baik perorangan maupun kelompon yang meminta presiden mundur, bukanlah sebuah tidakan pidana. Permintaan itu wujud ekspresi rakyat atas aspirasi rakyat yang dijamin oleh UUD 1945. Hal ini pernah juga terjadi era Presiden SBY, yaitu gerakan turun ke jalan atau demontrasi besar-besaran untuk mencabut mandat rakyat yang diberikan kepada SBY. Gerakan nencabut mandat dari SBY sebagai Presiden ini dimotori Bang Hariman Siregar. Sampai ke depan Istana Negara. Pergerakan massa rakyat yang terorganisasi, atau parlemen jalanan, bisa meminta Presiden mundur. Apalagi kalau DPR tidak lagi dipercaya sebagai penyambung aspirasi rakyat. Dalam negara demokrasi, tidak ada institusi negara yang sakti mandraguna. Tidak ada jabatan negara yang dipegang seumur hidup seperti seorang raja. Tidak berlaku kultur feodalisme di dalam negara. Kekuasaan bisa berakhir kapan saja. Apalagi kalau rakyat sudah tidak lagi menghendakinya. Intinya rakyatlah yang berdaulat penuh atas negara. Apakah yang membuat presiden dapat diberhentikan? Berdasarkan Pasal 7A UUD 1945 pemakzulan presiden terdiri atas enam syarat. Presiden hanya dapat dilengserkan jika terbukti melakukan pelanggaran hukum, berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, perbuatan tercela, tindak pidana berat lainnya, dan terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden. Artinya, ada kriteria yang jelas. Ada mekanisme yang jelas untuk memberhentikan presiden. Dengan demikian maka jalan untuk meminta preisiden mundur adalah jalan konstitusional. Entah itu aspirasi tiap-tiap orang atau pendapat DPR. Semua sah. Tinggal mekanisme yang seperti apa untuk meminta Presiden mundur, itu tergantung situasi nasional dan dinamika politik yang terjadi. Berdasarkan penilaian atas enam kriteria tersebut, presiden bisa saja diberhentikan. Dengan demikian, setiap orang dapat menyampaikan aspirasinya. Bisa berupa meminta presiden mundur dari jabatannya sebagai presiden. Namun bisa juga meminta agar presiden tetap bertahan pada jabatannya. Penulis adalah Dosen Fak. Hukum dan FISIP UMJ dan Inisiator Masyumi Reborn