HUKUM

Apakah Ada Guna Membahas Korupsi Ahok?

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Di tengah kabar santer bahwa Basuki Tjahja Purnama (BTP) alias Ahok akan diangkat menjadi pejabat tinggi BUMN penting, beredar pembahasan yang gencar tentang sekian banyak dugaan korupsi mantan gubernur DKI itu. Tak mungkin dibantah bahwa pemunculan kasus-kasus korupsi itu dimaksudkan untuk memperingatkan semua pihak agar berhati-hati memberikan jabatan kepada Ahok. Banyak sekali bahasan tentang dugaan korupsi Ahok. Di media massa maupun di media sosial (medsos). Bahasan itu beragam. Mulai dari artikel-artikel serius dengan segudang bukti sampai status singkat di semua platform medsos. Bahkan ada buku khusus tentang kasus-kasus korupsi Ahok. Yang ini ditulis oleh pengamat masalah korupsi, Marwan Batubara. Dalam bentuk buku, pastilah sangat serius. Judul buku Marwan sangat gamblang. Di sampulnya tertulis dengan huruf kapital: KORUPSI AHOK. Judul buku ini terasa ingin meyakinkan publik bahwa Ahok banyak melakukan korupsi. Tapi, apakah ini hanya penggiringan opini? Tergantung di mana Anda berdiri. Kalau Anda pendukung setia Ahok, tentu apa saja yang menguraikan keburukan Ahok pasti tidak pernah ada benarnya. Sebaliknya, kalau Anda orang netral atau bukan pendukung Ahok, hampir pasti tidak ada masalah. Kedua pihak tak akan pernah sepaham terhadap bahasan-bahasan tentang korupsi Ahok. Artinya, bagi Anda yang berseberangan dengan Ahok, dia adalah figur yang penuh noda korupsi. Sedangkan bagi para pendukungnya, Ahok adalah orang yang bersih dari korupsi. Bahkan Anda akan mengatakan bahwa Ahok adalah pahlawan yang menutup peluang korupsi. Terlepas dari kedua penilaian yang kontras dari musuh dan kawan Ahok, apakah ada gunanya membahas kasus-kasus dugaan korupsi mantan gubernur DKI itu? Apakah pembeberan berbagai kasus korupsi itu bisa menggagalkan jalan Ahok menuju BUMN? Sebelum menjawab pertanyaan ini, perlu disebutkan bahwa jabatan-jabatan tinggi di BUMN vital selalu dikonsultasikan kepada Presiden Jokowi. Kabarnya, ini merupakan prosedur operasional baku (SOP). Untuk pengangkatan direktur utama atau komisaris utama di sejumlah BUMN vital, Jokowi harus tahu. Dan dialah yang membuat keputusan. Nah, dari sini kita bisa menduga bahwa Ahok hampir pasti akan masuk ke BUMN. Jokowi tidak akan menggubris pembeberan kasus-kasus korupsi mantan wakilnya di Balaikota DKI dulu itu. Kalau Jokowi mau melakukan sesuatu, atau terpaksa melakukan sesuatu, kelihatannya tidak ada seorang pun yang bisa mencegahnya. Jika dia ingin mengangkat Ahok untuk jabatan apa saja, Jokowi tak perduli apa pun yang dikatakan orang tentang Ahok. Anda mungkin menduga Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) tak ikut lagi di kabinet baru ini. Ternyata dugaan itu keliru. Terus, Anda tentu ingat kasus Archandra Tahar di awal kabinet 2014. Dengan mudah dilakukan renaturalisasi kewarganegaraannya agar dia bisa menjadi wakil menteri. Semua orang menentang. Jokowi tak perduli. Jadi, saya yakin Ahok akan diberi jabatan di BUMN walaupun banyak sekali bahasan tentang dugaan kasus-kasus korupsi yang dikatakan melibatkan mantan napi penista agama itu. Semua ini tergantung Jokowi. Apalagi sekarang ini Jokowi berada di periode “nothing to lose”. Tidak ada yang harus ditakutkan. Dia tidak bisa lagi menjadi presiden setelah ini. Lihat saja kabinet baru ini. Banyak orang mengatakan, entah siapa-siapa saja yang diangkat Jokowi menjadi menteri. Pemilik angkutan online menjadi Mendikbud. Menteri Agama diberikan kepada mantan jenderal yang kerjanya menimbulkan kegaduhan, dll. Kembali ke Ahok, pembeberan rekam jejak kontroversial dia tidak ada salahnya. Sebab, publik ingin agar sedapat mungkin orang-orang bersihlah yang mengelola BUMN. Atau lembaga-lembaga lain. Publik berhak untuk itu. Cuma, Presiden Jokowi mau atau tidak mendengarkan imbauan dan peringatan publik? [] 16 November 2019 Penulis adalah wartawan senior.

Top, Polda Metro Jaya Bongkar Mafia Internasional Skimming ATM

Cara yang mereka gunakan adalah melakukan survei pada lokasi yang tepat. Setelah itu mereka memasang skimmer untuk mencuri dan mengambil data. Dari data tersebut, mereka menggunakannya untuk transaksi perbankan dengan kartu nasabah yang sudah dikloning. Oleh Ninoy Karundeng Jakarta, FNN - Waspada! Kejahatan mafia internasional skimming kartu lewat Anjungan Tunai Mandiri (ATM) yang marak di seluruh dunia. Polda Metro pun berhasil membongkar jaringan mafia skimming internasional, yang berasal dari Rumania, bernama Solomev. Pelaku warga negara Rumania ini ditembak mati oleh jajaran Polda Metro. Kejadian ini sebagai bukti bahwa kejahatan penggandaan kartu ATM sedang marak terjadi di sekitar. Pola digunakan pelaku adalah, dengan pencurian data lewat skimming atau cloning terhadap kartu ATM. Sekarang ini penggunaan kartu ATM memang rawan untuk terjadinya kejahatan perbankan. Misalnya, seperti kloning kartu atau skimming. “Selian itu, dilakukan juga penyadapan lewat SMS, dan penggunaan alat-alat penyadap lainnya, ”kata Direktur Reserse Krimum Polda Metro Jaya Kombes Suyudi Ario Seto. Dijelaskan Suyudi, sekarang ini kejahatan perbankan lewat pencurian data nasabah tengah menjadi fenomena global. Hampir terjadi seluruh dunia. Di Indonesia kejahatan ini sejak beberapa tahun lalu. Misalnya yang terjadi di Bali, Bandung, Medan, Surabaya, Jakarta. Untuk itu, nasabah bank harus hati-hati menjaga dan menggunakan PIN kartu. Jika berada di ATM, perhatikan apakah ada yang mencurigakan pada alat pembaca atau card reader di ATM. Selain itu, perhatikan adanya kamera kecil yang bisa disembunyikan di lampu. Merata di Dunia Belom lama ini Kepolisian Hyderabad di India, juga membongkar dan menangkap dua orang warga negara Rumania. Dua orang pelaku kejahatan skimming dan cloning di India itu adalah Virgil dan George. Mereka melakukan skimming seperti yang dilakukan oleh Solomev di Jakarta. Biasanya meraka memasang skimmer di dalam ATM. Tujuanya, untuk mendapatkan data yang tersimpan dalam strip magnetik pada kartu debit atau kartu kredit. Untuk mendapatkan nomor pin mereka memasang camera micro atau spy camera. Kejadian yang sama juga pernah terjadi Amerika Serikat pada bulan Oktober lalu. Aparat berwenang Amerika ditangkap 18 orang anggota, yang menjadi geng spesialis pembobol rekening via ATM. Mereka kebanyakan berasal dari Rumania. Klop jadinya. Sebelumnya pada tahun 2017 aparat berwenang Amerika menangkap Lonela Vaduva (29), Danusia Trifu (48), Marion Trifu (20), Petrica Maradona Velcu (26), dan Benone Lapadat (39). Kelima orang pelaku ini ditangkap karena melakukan kejahatan skimming di Pennsylvania. Khusus di Amerika saja, pencurian dengan pola skimming ini merugikan nasabah mencapai U$ 20 juta dollar. Salah satu korban terbesar adalah Ismail Sali. Nasabah Ismail ini mengalami kerugian sebesar U$ 300 ribu dollar. Tak tanggung-tanggung perbuatan kelompok yang telah meresahkan nasabah bank ini. Mereka pencurian ini memasang alat skimmer di seluruh penjuru Amerika. Mereka beroperasi di berbagai kota dan Negara bagian di Amerika. Cara yang mereka gunakan adalah melakukan survei pada lokasi yang tepat. Setelah itu mereka memasang skimmer untuk mencuri dan mengambil data. Dari data tersebut, mereka menggunakannya untuk transaksi perbankan dengan kartu nasabah yang sudah dikloning. Sudah ratusan ATM menjadi sasaran para penjahat ini di seluruh wilayah Amerika. Paling kurang sudah 17 negara bagian menjadi sasaran mereka. Terkait penangkapan tersebut, arapat berwenang Amerika sedang melakukan sampai ke Mexico dan Italia. Secara teknologi, ATM buatan NCR, Diebold Nixdorf, dan GRG Banking, bisa menyesuaikan dengan alat skimmer, dan hacking. Mereka penjahat hanya membutuhkan waktu 20 menit sejak dipasang untuk mencuri data di rekening. Itu hasil temuan ahli dari Positive Technologies. Kejahatan terkait kartu ATM ini juga marak terjadi di Eropa. Polisi di bebrapa Negara Eropa telah melakukan penangkapan, dan menyita lebih dari 1.000 kartu debit yang telah digandakan. Pencurian data melalui mesin ATM ini telah merugikan perbankan Eropa antara € 250 - 350 juta euro per tahun. Kejahatan seperti selain terjadi di India, terjadi pula di Thailand, Hongkong, Indonesia, Mexico, Italia, Amerika Serikat, Fiji, China, Pakistan, Jepang, Filipina, Malaysia, Brazil, Kolombia, dan beberapa Negara lain. Bahkan pada tahun 2016, pencurian lewat kartu ATM dengan data yang dicuri dari Bank Afrika Selatan berhasil menggasak duit sebesar U$ 12,7 juta dollar.

Bicara Radikalisme, Jangan Lupa Korupsi dan UU KPK

By Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Tudingan dan labelisasi radikalisme terhadap umat Islam, dipastikan tidak akan berhenti. Para penguasa rakus, oligarki berbasis uang, golongan anti-Islam, kekuatan asing dan entah siapa lagi, akan berkolaborasi memusuhi Islam dan umat Islam. Ini akan terus berlangsung. Mereka itu dibantu oleh kelompok-kelompok liberal dan sekte sesat. Mereka akan senantiasa melakukan “concerted effort” (tindakan berjemaah) untuk melecehkan, meremehkan dan melemahkan umat Islam. Kalau melemahkan Islam, pasti tidak mungkin. Karena Islam itu urusan Allah SWT. Yang mereka lakukan adalah langkah-langkah untuk memojokkan umat Islam. Supaya umat tak berkutik. Agar umat ketakutan. Sekali lagi, proyek ini akan berlanjut dan berkepanjangan. Sebab, proyek ini adalah sumber uang dan sumber utang. Baik. Saat ini, kita sudah cukup bernarasi tentang rencana busuk mereka untuk menghancurkan umat Islam. Kita semua sudah paham apa tujuan mereka. Dan kita pun sudah hafal gerak-gerik mereka. Cukuplah itu. Sekarang, kita kembali ke isu korupsi. Kita harus kembali mempersoalkan langkah terkutuk pemerintah dan DPR dalam melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Presiden Jokowi belum juga menerbitkan Perppu yang membatalkan pemberlakuan UU KPK hasil revisi. Boleh jadi juga tak akan pernah diterbitkan. Jangan sampai kita lupa pada masalah yang sangat urgen ini. Korupsi dan KPK perlu kita pertanyakan terus. Radikalisme tak akan pernah selesai. Sangat mungkin isu radikalisme itu, hari ini, sengaja diapungkan (being afloated) agar publik lupa dengan penghancuran KPK. Supaya publik tidak ingat dengan pembunuhan terhadap KPK. Kalangan mahasiswa sudah menyampaikan tuntutan kepada pemerintah agar membatalkan UU KPK hasil revisi. Sebab, UU ini jelas diolah untuk menjadikan KPK sebagai “singa ompong” dan tak berkuku. KPK bakal dikendalikan oleh Dewan Pengawas (DP) yang akan dibentuk oleh pemerintah atau DPR, atau oleh keduanya secara bersama-sama. DP adalah borgol yang diikatkan ke tangan KPK. Badan antikorupsi ini tidak bisa lagi melakukan penyadapan telefon secara bebas. Harus diizinkan dulu oleh Dewan. Kalau penyadapan tidak dibolehkan, itu berarti selesailah kisah-kisah heroik KPK dalam melakukan OTT (Operasi Tangkap Tangan). Dengan kehadiran DP, tampilan KPK berubah total. Wajah lembaga antikorupsi itu menjadi kunyu, gembel, loyo. Matanya kabur. Kupingnya pekak. Ototnya lisut. Tak bertenaga. Begitulah gambaran tentang KPK di bawah UU hasil revisi. KPK dihajar habis oleh DPR. Dalam kondisi lungai, KPK dibawa oleh Presiden Jokowi ke klinik bedah plastik untuk ganti kelamin. Agar tidak lagi garang. Masih adakah peluang untuk menyelamatkan KPK dari bedah plastik? Kelihatannya masih bisa. Kalau kita semua berperan. Mari kita persoalkan terus pemberantasan korupsi yang kini dilemahkan oleh DPR. Terutama oleh PDIP. Kenapa PDIP? Karena merekalah yang paling keras bersuara di DPR agar KPK dihancurkan.[] 29 Oktober 2019

Menteri “Bernoda” Korupsi (1): Tito Karnavian dan Erick Thohir?

Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Ketika mengumumkan susunan Kabinet Indonesia Maju (KIM) periode 2019-2024, Presiden Joko Widodo perintahkan 7 hal untuk para menteri: 1. Jangan korupsi, ciptakan sistem yang menutup celah terjadinya korupsi; 2. Tidak ada visi misi Menteri, yang ada visi misi Presiden-Wakil Presiden; 3. Kerja keras, kerja cepat, kerja produktif; 4. Jangan terjebak rutinitas yang monoton; 5. Kerja berorientasi hasil nyata, tugas kita tidak hanya menjamin sent, tapi delivered. 6. Selalu cek masalah di lapangan dan temukan solusinya; 7. Serius dalam bekerja. Yang tak bersungguh-sungguh, dipastikan dicopot. Presiden Jokowi juga mengancam menteri korupsi langsung dicopot. Ini ancaman untuk menteri yang “bernoda” korupsi. Adakah di antara para menteri dan wakil menteri yang baru dilantik Presiden Jokowi tersebut “bernoda” korupsi? Berdasarkan jejak kasus dan digital news terdapat beberapa nama yang berpotensi akan berhadapan dengan penegak hukum. Siapa saja? Tito Karnavian Sehari setelah pelantikan menteri KIM, Jum’at (25 Oktober 2019 00:08 WIB), Tempo.co kembali mengungkit skandal “buku merah” yang di dalamnya tertulis nama Tito Karnavian yang buktinya sudah “diselamatkan” penyidik. Melansir Tempo.co, KPK menyatakan tidak ikut mengambil keputusan untuk menghentikan penyidikan kasus penyobekan barang bukti dalam kasus impor daging atau yang lebih dikenal sebagai skandal buku merah yang dilakukan Roland dan Harun. Kedua penyidik KPK asal Polri yang telah dikembalikan oleh KPK itu dilaporkan melakukan pengrusakan buku merah pada 12 Oktober 2018. Roland dan Harun, dua penyidik polri yang dipulangkan dari KPK setelah diduga merusak bukti tersebut. Menurut Jubir KPK Febri Diansyah, kewenangan untuk menghentikan penyidikan itu ada di kepolisian. “Kewenangan untuk melanjutkan atau menghentikan sebuah perkara itu berada pada penyidik, penyidik dalam hal ini tentu adalah yang berada di Polri,” katanya. Tim KPK yang datang dalam perkara itu cenderung hanya mendengarkan pemaparan dari kepolisian. KPK, tidak berwenang untuk menyepakati atau menolak penghentian penyidikan kasus tersebut. “Karena domain dari pokok perkara itu ada di kepolisian,” tegasnya. Sebelumnya, kepolisian telah menghentikan penyidikan kasus pengrusakan buku merah. Keputusan tersebut telah diambil dalam gelar perkara di Polda Metro Jaya pada 31 Oktober 2018. “Bahwa faktanya tidak ditemukan adanya perusakan catatan tersebut,” kata Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Muhammad Iqbal di kantornya, Jakarta Selatan, Kamis, 24 Oktober 2019, seperti dilansir Tempo.co. Menurut Iqbal, gelar perkara itu diikuti unsur kepolisian, KPK, dan Kejaksaan. Kata Iqbal, ketiga lembaga termasuk KPK sepakat tidak ditemukan adanya dugaan perbuatan melawan hukum berupa pengerusakan barang bukti kasus suap daging impor Basuki Hariman ini. Polri mulai menyidik kasus pengrusakan buku merah pada 12 Oktober 2018. Terlapor dalam kasus itu ialah Roland dan Harun, dua penyidik polri yang dipulangkan KPK setelah diduga merusak bukti tersebut. Keduanya diduga telah merobek 15 lembar catatan transaksi dan membubuhkan tip-ex untuk menghapus sejumlah nama penerima uang dari perusahaan Basuki yang diduga mengarah ke petinggi polri (baca: Tito Karnavian, kini Mendagri). Perobekan itu terekam dalam CCTV di ruang kolaborasi lantai 9 gedung KPK pada 7 April 2017. Indonesialeaks, kanal bagi para informan publik berbagi dokumen penting tentang skandal, baru-baru ini merilis video CCTV soal pengrusakan buku merah tersebut. Rekaman itu menunjukkan peristiwa saat Roland dan Harun diduga melakukan pengrusakan terhadap buku. KPK telah menyerahkan salinan rekaman itu ke Polda Metro Jaya pada Oktober 2018. Rekaman video itupun sudah viral di medsos. Media mainstream sekelas Tempo.co yang tergabung dalam Indonesialeaks tidak mungkin menyebar berita hoax terkait rekaman video CCTV soal pengrusakan buku merah tersebut. Keberanian KPK mengusut kasus ini sangat ditunggu rakyat. Dari 7 lembar yang disobek itu dan dinyatakan “hilang” tersebut, antara lain ada data: Tgl 21/3/2016, untuk Kapolda/Tito USD 75.872 x 13.180 = 999.992.960; Tgl 20/4/2016, untuk Bp Tito/Polda USD 75.988 x 13.160 = 1.000.000.000; Tgl 19/5 2016 untuk Bp Tito (Kapolda) USD 73.882 x 13.535 = 999.992.870; Tgl 14/7/2016 untuk Bp Tito USD 76.160 x 13.130 = 999.980.800. Bukti 316: 1 (satu buah buku Bank berwarna merah bertuliskan Ir. Serang Noor No. Rek 4281755174 BCA KCU Sunter Mall beserta 1 (satu) bundel rekenng Koran PT Cahaya Sakti Utama Periode 4 November 2019 s.d. 16 Januari 2017. Langkah Presiden Jokowi menarik Tito Karnavian menjadi Mendagri bisa disebut sebagai langkah cerdik, mencerabut pengaruh dan kekuasaan Jenderal Tito di institusi Polri. Dengan menjabat Mendagri, KPK lebih leluasa mengusut skandal buku merah. Erick Thohir Konon, ada dana Asian Games 2018 lalu yang miss mencapai sekitar Rp 1,2 triliun, dan itu nasibnya ada di BPK. Sinyal itu ditegaskan oleh Ketua KPK Agus Rahardjo dan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang. Memang mereka tidak menyebut nama dan perilaku secara spesifik yang mengarah ke sana, namun ungkapan itu memang ada peluang besar ke Imam Nahrowi dan Erick Thohir yang kini menjadi Menteri BUMN dalam KIM. Imam Nahrowi kini menghadapi proses hukum di Pengadilan Tipikor Jakarta terkait skandal dana hibah KONI. Sementara Erick Thohir ditunjuk Presiden sebagai Menteri BUMN karena dinilai sukses sebagai Ketua Inasgoc dalam perhelatan Asian Games 2018 lalu. Akankah Erick Thohir digiring oleh penyidik KPK ke arah tersangka, sebagaimana Menpora jadi tersangka? Agus Rahardjo sebelumnya mengatakan, pihaknya masih mendalami siapa saja yang terlibat dalam kasus kickback dana hibah Kemenpora ke KONI. Bahkan, KPK juga akan mengembangkan kasus dana hibah Kemenpora ke KONI itu hingga kemana-mana. Termasuk diantaranya menyelidiki hingga dana untuk Asian Games 2018 itu. “Kami masih dalami siapa saja yang akan terlibat kemudian rangkaiannya kemana,” ujarnya. “Kalau Kemenpora pasti tidak hanya dana hibah Kemenpora ke KONI, tapi ada juga yang ke International Olympic Committee (IOC). Ya kami bisa men-trace juga misalnya penggunaan dana Asian Games kemarin ya,” tegas Agus Rahardjo. Meski begitu, Agus enggan menyampaikannya secara detail mengingat hal itu saat ini sedang dalam penelusuran tim KPK. “Jadi, kami akan telusuri itu. Kami belum bisa melaporkannya secara komplit, secara jelas,” lanjut Agus Rahardjo. Wakil Ketua KPK Saut Situmorang lebih tegas lagi. Institusinya telah menemukan indikasi-indikasi korupsi menjelang dan saat pergelaran Asian Games 2018 lalu. “Kami sudah melihat indikasi-indikasi (korupsi) waktu itu,” ujar Saut Situmorang. Semua data, semua percakapan, termasuk mutasi rekening dan bukti-bukti lain sudah ada di tangan. KPK tinggal menunggu waktu yang tepat untuk membongkar semuanya. Termasuk dugaan penyimpangan dana terkait Asian Games 2018. Sudah tiga bulan berlalu pesta akbar Asian Games 2018 yang terbilang sukses pelaksanaan dan sukses prestasi, menjadi sorotan banyak mata dunia. Namun dibalik kemeriahan itu KPK mencium aroma korupsi menjelang dan saat pergelaran Asian Games 2018. Pelan tapi pasti KPK mengusut indikasi korupsi atas even olahraga Internasional tersebut, sebab dana yang digunakan sekitar Rp 30 triliun, bukan tidak mungkin ada tangan nakal pejabat yang memanfaatkan uang tersebut untuk masuk kantong pribadi. Kabarnya, ada dana senilai Rp1,2 triliun yang tak bisa dipertanggungjawabkan. “Kami sudah melihat indikasi-indikasi (korupsi) waktu itu, tapi kami mau kelancaran acara (Asian Games 2018),” ujar Saut Situmorang kepada wartawan. Kini, Erick Thohir bakal menghadapi laporan mantan Wakapolri Komjen Purn. Oegroseno. “Hukum dibuat mainan oleh Erick Thohir dan beberapa oknum pengurus KOI,” ungkapnya kepada Pepnews.com, Senin (28/10/2019). Oegroseno melaporkan mantan petinggi Komite Olimpiade Indonesia (KOI), Erick Thohir dan Helen Sarita de Lima, ke Polri karena ia merasa dirugikan setelah atlet tenis meja tidak dikirimkan ke SEA Games 2019 Filipina. Pengurus Pusat Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia (PP PTMSI) pimpinan Oegroseno, menyiapkan 4 atlet putra dan 4 atlet putri itu menuju SEA Games 2019 yang dilangsungkan mulai 31 November hingga 11 Desember 2019. Mereka dipatok target 1 medali emas, 2 perak, dan 4 perunggu. Tapi, KOI memutuskan untuk tidak menyertakan tenis meja ke SEA Games 2019. Sebab, PTMSI disebut sedang memiliki tiga kepengurusan. “Harapan atlet yang sudah menjalani latihan sejak Maret 2019 telah diluluhlantakkan oleh saudara Erick Thohir sebagai Ketum KOI masa bakti 2015 - 2019,” kata Oegroseno seperti dikutip dari Detiksport , Jumat (25/10/2019). Oegroseno bersikukuh dualisme kepengurusan PTMSI berakhir dengan munculnya Putusan PTUN pada pertengahan 2014 sampai dengan akhir 2015 dan sudah mendapatkan Putusan MA Nomor: 274K/TUN/2015 yang berkekuatan hukum tetap (inkracht). Isinya, KONI segera mengukuhkan kepengurusan PP PTMSI dengan Ketua Umum Komjen Pol (Purn) Drs Oegroseno, SH. “Kami mengalami kerugian anggaran yang telah dikeluarkan oleh swadaya PP PTMSI mencapai Rp 15 miliar,” ungkapnya. “Karena atlet sudah bertanding melawan atlet-atlet dari delapan negara tingkat Asia yang juga Kualifikasi Olimpiade Tokyo 2020 serta ke Kejuaraan Internasional bulan depan di Batam,” ujar Oegroseno. ***

Misteri Buku Merah KPK Kembali, Cicak vs Buaya Jilid Baru?

Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba kasus “Buku Merah KPK” kembali mencuat. Apakah ada agenda bersih-bersih di internal KPK? Dan, siapakah yang diuntungkan atau dirugikan? Benarkah KPK sarat dengan kepentingan? Sejumlah pertanyaan tersebut tentu saja mengemuka seiring dengan mencuatnya kembali kasus Buku Merah. Sebab, diduga “penghangusan” alat bukti yang menyeret orang “berpengaruh” terjadi di sana. Bukan main-main, dugaan keterlibatan orang berpengaruh itu menyeret orang nomor satu di institusi Kepolisian RI. Apalagi, bersamaan dengan mencuatnya ini, Presiden Joko Widodo menagih kasus Novel Baswedan yang belum “tuntas”. Siapa lagi yang dimaksud kalau bukan Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian! Nama Tito Karnavian tertulis sebagai penerima dana dalam 7 lembar Buku Merah yang diduga disobek oleh penyidik KPK dari unsur Kepolisian tersebut. Rekaman CCTV di kantor KPK pada 7 April 2017 mengungkap dugaan perusakan buku laporan keuangan CV Sumber Laut Perkasa milik pengusaha Basuki Hariman, terpidana penyuap hakim konstitusi Patrialis Akbar. Video tersebut didapatkan dan ditayangkan sejumlah media massa yang tergabung dalam IndonesiaLeaks, sebuah platform jurnalisme investigasi kolaboratif. Temuan lain dalam investigasi itu adalah dugaan aliran dana ke Tito Karnavian. Dalam laporan investigasi tersebut, salah satunya yang ditayangkan Tirto.id, IndonesiaLeaks menduga perusakan buku catatan yang disebut sebagai “buku merah” itu dilakukan beberapa penyidik KPK dari unsur Kepolisian. Dalam laporan IndonesiaLeaks itu juga menduga, perusakan tersebut satu rangkaian dengan penyerangan terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan. Pada 11 April 2017, Novel disiram air keras oleh orang tak dikenal. Namun, hingga batas waktu 19 Oktober 2019 ini, belum ada satu pun tersangka penyerangan itu yang ditangkap, meski Polri telah membentuk tim gabungan pencari fakta dan tim teknis. Temuan lain dalam investigasi IndonesiaLeaks itu adalah dugaan aliran dana dari perusahaan milik Hariman Basuki kepada pejabat Polri. Direktur LBH Pers, Ade Wahyudin, menyebut laporan investigasi IndonesiaLeaks itu sebagai wujud nyata fungsi kontrol sosial yang diemban pers. Menurut Ade Wahyudin, setiap pihak dalam berita itu, yang keberatan dikaitkan dengan dugaan perbuatan hukum, dapat mengajukan komplain atau keberatan sesuai ketentuan UU 40/1999 tentang Pers. “Laporan ini sudah melalui proses jurnalistik. Kalau ada yang dianggap merugikan pihak tertentu, mekanismenya adalah hak jawab,” kata Ade Wahyudin kepada BBC Indonesia, Jumat (18/10/2019). LBH Pers merupakan salah satu mitra dalam kerja kolaboratif IndonesiaLeaks. Kelompok masyarakat sipil lain dalam platform ini antara lain ICW, Greenpeace, dan Auriga. Adapun beberapa media massa yang tercatat sebagai anggota IndonesiaLeaks adalah Tempo, Tirto.id, dan Kantor Berita Radio (KBR). Ade Wahyudin menilai kepolisian semestinya menindaklanjuti fakta-fakta yang ditemukan dalam laporan investigasi ini. Namun, sayangnya pihak Kepolisian tampaknya enggan bicara terkait dengan laporan IndonesiaLeaks tersebut. BBC sudah berusaha menghubungi Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Muhammad Iqbal, dan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri, Brigjen Dedi Prasetyo, untuk mengkonfirmasi langkah Polri terkait temuan jurnalistik tersebut. Juru bicara KPK, Febri Diansyah, juga tidak menjawab pertanyaan tentang tindak lanjut laporan investigasi IndonesiaLeaks. Ia mengatakan, KPK sudah lama menyerahkan salinan rekaman CCTV kepada penyidik Polri dengan alasan untuk kepentingan penanganan kasus. “Dan salinan CCTV itu tadi saya cek juga ke bagian pemeriksa internal, salinan CCTV itu juga sudah pernah disampaikan sebelumnya ke pihak Polri untuk kebutuhan pemeriksaan lebih lanjut,” ujar Febri kepada wartawan, Jumat (18/10/2019). KPK menyerahkan salinan rekaman CCTV ketika penyidik Polda Metro Jaya memeriksa sejumlah pegawai KPK pada Oktober 2018 untuk menyelidiki dugaan perusakan buku merah di Gedung KPK pada 7 April 2017. IndonesiaLeaks menyebut di salah satu buku merah itu ada catatan pengeluaran uang dari CV Sumber Laut Perkasa milik pengusaha Basuki Hariman ke sejumlah pejabat dari berbagai instansi negara, termasuk petinggi polisi. LBH Pers mendorong para pejabat publik yang berkaitan dengan isu perusakan buku merah untuk angkat bicara. Alasannya, ada kepentingan publik dalam persoalan itu. “Keputusannya ada di narasumber, mengklarifikasi atau diam saja,” kata Ade Wahyudin. Tapi, sebaiknya terbuka, kalau memang ada yang keliru atau proses hukum memang sedang berjalan, katakanlah kepada publik karena ada kepentingan publik dalam isu ini. Jika tentang persoalan pribadi, pejabat berhak diam. "Jadi sebaiknya pejabat publik bersuara dalam isu ini," tegasnya. Platform peraih penghargaan Udin Award Tahun 2018 dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) ini merupakan wadah publik untuk menyampaikan informasi kepada media massa anggota IndonesiaLeaks. Salah satu tujuan dari pembentukan platform ini adalah memperkuat peran media massa guna mengawasi dan membongkar korupsi dan memberi tempat bagi kelompok yang terbungkam. Basis kerja pengiriman informasi publik ke IndonesiaLeaks adalah anonimitas atau kerahasiaan pemberi sumber awal. Karena situs yang terenkripsi, IndonesiaLeaks juga tidak dapat melacak pemberi informasi. Hingga saat ini, tidak ada satu pun keterangan dari mana mereka mendapatkan rekaman CCTV yang memperlihatkan dugaan perusakan alat bukti KPK. Dalam laporannya, Tempo menyebut rekaman yang mereka terima berdurasi 1 jam 48 menit. Rekaman itu mereka terima pertengahan 2019. Proses kerja jurnalistik IndonesiaLeaks sama dengan platform serupa di beberapa negara, seperti LeaksNG (Nigeria), Publeaks (Belanda), dan Mexicoleaks (Meksiko). Awal pendiriannya Desember 2017, IndonesiaLeaks mendapat asistensi Global Investigative Journalism Network, jejaring pers yang bergiat di laporan mendalam dan investigatif. Copy rekaman CCTV yang viral sekarang ini jelas menampar Jenderal Tito. Pasalnya, KPK sudah menyerahkan salinan rekaman CCTV ketika penyidik Polda Metro Jaya memeriksa sejumlah pegawai KPK pada Oktober 2018 untuk menyelidiki dugaan perusakan buku merah di Gedung KPK pada 7 April 2017. Ditagih Presiden Bersamaan dengan viralnya rekaman CCTV “perusakan” barang bukti Buku Merah oleh 2 oknum penyidik dari Kepolisian itu, Presiden Joko Widodo menagih Jenderal Tito terkait perkembangan kasus penyiraman air keras pada penyidik KPK Novel Baswedan. Hal itu disampaikan Kepala Staf Presiden Moeldoko. Sebelumnya, pada 19 Juli 2019, Jokowi memberi waktu tiga bulan kepada Jenderal Tito untuk mengusut kasus penyerangan terhadap Novel setelah Tim Pencari Fakta menyelesaikan tugasnya pada bulan yang sama. “Kebiasaan yang dijalankan oleh Pak Jokowi begitu. Selalu mengecek atas perkembangan pekerjaan yang telah beliau perintahkan,” kata Moeldoko, di Kantor KSP, Jakarta, Jumat (18/10/2019). Pada Juli 2019 lalu, Presiden Jokowi mengapresiasi kerja TPF bentukan Polri selama enam bulan ke belakang. Ia pun berharap hasil kerja TPF bisa ditindaklanjuti oleh tim teknis yang diketuai Kepala Bareskrim Komisaris Jenderal Idham Azis. Ketika itu Presiden Jokowi menyatakan penyiraman air keras ke Novel bukan kasus yang mudah. Menurutnya, jika kasus yang menimpa salah satu penyidik senior KPK itu mudah, maka dalam waktu satu sampai dua hari pelaku sudah bisa diungkap. Saat ditanya apakah akan membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) independen jika dalam waktu tiga bulan tim teknis belum berhasil mengungkap pelaku penyiraman air keras ke Novel Bawesdan, saat itu Jokowi mengaku akan melihat hasilnya terlebih dahulu. “Saya beri waktu tiga bulan, saya lihat nanti setelah tiga bulan hasilnya kayak apa. Jangan sedikit-sedikit larinya ke saya, tugas Kapolri apa nanti,” ujarnya. Hampir 3 bulan usai Jokowi menyampaikan hal itu, belum terdapat tanda-tanda Polri berhasil mengungkap siapa pelaku penyiraman air keras terhadap salah satu penyidik senior lembaga antirasuah itu. Polri seakan jalan di tempat menangani kasus tersebut. Adakah viralnya rekaman CCTV perobekan barang bukti Buku Merah oleh 2 penyidik dari Kepolisian tersebut untuk menekan Jenderal Tito? Apakah ini bisa disebut sebagai perang Cicak versus Buaya Jilid Baru? ***

Advokat Sahlan: Status Medsos Istri Dandim Tidak Ada Unsur Pidana!

Jakarta, FNN - Seorang advokat asal Kota Surabaya, Sahlan, tertarik dengan polemik status hukum Ny. Irma Purnama Dewi Nasution, istri mantan Dandim 1417 Kendari Kolonel Kav Hendi Suhendi. Ia membuat Pendapat Hukum terkait dengan persoalan tersebut. Alumni STIH Sunan Giri Malang itu tertarik untuk memberikan pendapat hukum karena ada yang janggal dalam sanksi yang diberikan KSAD Jenderal TNI Andika Perkasa pada Kolonel Hendi. Banyak pertanyaan seputar persoalan suami-istri itu. Bagaimana pendapat hukum Sahlan terkait dengan persoalan yang menimpa Kolonel Hendi dan istrinya tersebut, berikut petikan wawancara Mochamad Toha dari FNN dengan advokat muda ini: Apa yang bisa Anda sampaikan dalam permasalahan Kolonel Hendi Suhendi dan istrinya, Irma Nasution ini? Perlu dicatat, TNI tidak boleh terlibat dalam politik praktis sedangkan istrinya diperbolehkan. Hal itu sesuai UU TNI Nomor 34 Tahun 2014 tentang TNI hanya mengatur prajurit TNI yang tidak boleh terlibat dalam politik praktis. Kalau itu yang menyangkut suaminya selaku anggota TNI. Untuk istrinya? Ada Surat Telegram Panglima TNI Nomor: ST/1378/XI/ 2014 tanggal 24 November 2014 disebutkan, istri para prajurit TNI diperbolehkan untuk melakukan kegiatan politik sehingga nanti ada yang bisa menjadi bupati atau gubernur. Jadi, tidak ada larangan berpolitik pada istri tentara? Di dalam undang-undang, yang dilarang berpolitik praktis adalah prajurit TNI, sedangkan bagi istri prajurit TNI tidak ada larangan dan hal tersebut diperbolehkan. Ini tidak melanggar Sapta Marga dan Sumpah Prajurit & UU Nomor 25 Tahun 2014 Pasal 8a dan Pasal 9 karena yang melakukan adalah istrinya. Maksudnya? Komandan Korem 143/Ho Kendari Kolonel Inf Yustinus Nono Yulianto mengatakan, dasar hukum pencopotan Dandim Kendari karena dianggap melanggar Sapta Marga di tubuh TNI sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2014 Pasal 8a dan Pasal 9. Mungkin bisa dijelaskan lebih lanjut? Baiklah. Kita coba baca dulu tentang Sapta Marga TNI dan Ketentuan Pasal 8a dan Pasal 9 UU Nomor 25 Tahun 2014. Sapta marga TNI adalah sebagai berikut: 1. Kami warga Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersendikan Pancasila 2. Kami Patriot Indonesia, pendukung serta pembela ideologi Negara yang bertanggung jawab dan tidak mengenal menyerah 3. Kami Kesatria Indonesia, yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta membela kejujuran, kebenaran, dan keadilan 4. Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia, adalah Bhayangkari Negara dan Bangsa Indonesia 5. Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia, memegang teguh disiplin, paruh dan taat kepada pimpinan serta menjunjung tinggi sikap dan kehormatan Prajurit 6. Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia, mengutamakan keperwiraan di dalam melaksanakan tugas, serta senantiasa siap sedia berbakti kepada Negara dan Bangsa 7. Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia, setia dan menepati janji serta Sumpah Prajurit. Ketentuan Pasal 8a dan Pasal 9 UU Nomor 25 Tahun 2014. Ketentuan Pasal 8a dan Pasal 9 UU Nomor 25 Tahun 2014 adalah mengatur tentang Jenis Pelanggaran Hukum Disiplin Militer. Ketentuan Pasal 8a, menyebutkan, "Segala perbuatan yang bertentangan dengan perintah kedinasan, peraturan kedinasan, atau perbuatan yang tidak sesuai dengan Tata Tertib Militer”. Sementara, Pasal 9 mengatur tentang dua jenis hukuman disiplin militer yang bisa diberikan jika seorang anggota melakukan pelanggaran, Hukuman bisa berupa teguran dan penahanan. Penahanan disiplin ringan paling lama adalah 14 hari, sedangkan penahanan untuk kasus disiplin berat bisa mencapai 21 hari. Pasal 10, yang berbunyi, "Penjatuhan Hukuman Disiplin Militer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 diikuti dengan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Dalam pasal tersebut bukankah tidak ada kaitannya dengan perbuatan istrinya? Benar. Seharusnya, pencopotan jabatan suaminya itu dilakukan setelah dibuktikan tindak pidana yang dilakukan istri. Sebagai negara hukum dengan asas praduga tidak bersalah maka harus terlebih dahulu dibuktikan dan berkekuatan hukum tetap. Jadi, sanksi KSAD terhadap Kolonel Hendi tidak tepat? Penghukuman yang diberikan tersebut memang tidak tepat. Meskipun hukuman itu terkait pembinaan, kurungan 14 hari dalam sel tahanan yang dikenakan kepada para prajurit, sekali lagi menurut kami, tidaklah tepat. Apakah status Facebook Irma Nasution itu ada unsur pidananya? Status Facebook istri Kolonel Hendi tersebut tidak mengandung unsur pidana. Berdasarkan informasi yang beredar terdapat 2 (dua) status istri eks.Dandim Kendari yang dipersoalkan, yaitu: “Jangan cemen, Pak … Kejadianmu, tak seberapa dibanding dengan jutaan jiwa yang melayang”. “Jadi teringat kasus Setnov. Ada lanjutannya ternyata. Menggunakan peran pengganti”. Berkaitan dengan hal tersebut bagaimana pendapat hukum Anda? a. Bahwa status “Jangan cemen, Pak … Kejadianmu, tak seberapa dibanding dengan jutaan jiwa yang melayang”. Menurut pendapat saya dapat dinilai sebagai bentuk “curahan hati” dan/atau “panggilan hati” melihat kondisi negeri ini. Dan/atau juga dapat dinilai sebagai motivasi agar segera bangkit dan tidak merasa kalah atau lemah atau Cemen; b. Bahwa apabila ada maksud melaporkan istri eks Dandim Kendari ke aparat, atas dasar apa? Atas unsur-unsur pidana apa? Apabila atas dasar pasal 28 (1) dan (2) UU ITE No.19/2016 Jo. UU No. 11/2008 tentang hoax dan ujaran kebencian. Di mana letak frasa dari status tersebut yang bermuatan ujaran dan/kalimat dan/frasa yang mengandung kebencian? Dan/atau adakah status tersebut berupa ujaran kebohongan? Berita hoax (pasal 28 ayat 1) yang disebarkan melalui media elektronik (sosial media) yang dapat dipidana menurut UU ITE tergantung dari muatan konten yang disebarkan. Jika bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dipidana berdasarkan Pasal 27 ayat (3) UU ITE dan Jika bermuatan menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA dipidana berdasarkan Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Saya berpendapat bahwa tidak terdapat keterkaitan antara yang dituduhkan hoax dan ujaran kebencian, dan juga tidak terdapat status yang berupa ujaran kebencian dan/atau yang dinilai sebagai hoax; c. Bahwa apabila akan dilaporkan atas delik pencemaran nama baik, pasal 27 ayat (3) UU ITE. Apakah status tersebut menyebutkan nama Wiranto? Frasa “jangan Cemen, pak….” bisa jadi yang dimaksud adalah bukan Pak Wiranto, barangkali bapak” yang lain? Kalau Wiranto merasa tersinggung mestinya Wiranto yang melaporkan? Karena pasal ini adalah delik aduan; d. Bahwa atas dasar penjelasan di atas, untuk saat ini saya berpendapat tidak terdapat unsur pidana pasal 27 ayat (3), atau pasal 28 (1) dan (2) UU ITE No.19/2016 Jo. UU No. 11/2008. Karenanya, semua polemik hukum terkait status FB istri Eks Dandim Kendari seyogyanya dihentikan. Saran Anda pada institusi TNI? Seharusnya pimpinan TNI tidak menjatuhkan sanksi terlebih dahulu kepada para suami dari istri TNI yang belum tentu bersalah secara hukum. Apalagi, tidak ada aturan dalam UU TNI yang mengatur soal sanksi atas perbuatan istrinya.

UU Contempt of Court Tidak Hanya Melindungi Hakim

Jakarta, FNN - Para hakim saat ini sangat memerlukan lahirnya undang-undang tentang Contempt of Court. Walaupun demikian, kehadiran undang-undang tentang Contempt of Court bukan hanya bertujuan memberikan perlindungan kepada para hakim semata. Lebih dari itu, undang-undang ini juga dimaksudkan untuk melindungi semua pihak yang berkepentingan dengan tegaknya keadilan. Karena keadilan adalah kebutuhan hidup masyarakat bangsa Kepala Pusat Penelitian Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung Dr. Hasbi Hasan menyampaikan hal tersebut dalam sesi sambutan Pembukaan Desiminasi Hasil Riset Tentang Contempt of Court oleh Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung di Surabaya pada Kamis, (03/10). Kegiatan Desiminasi hasil riset Litbang Mahkamah Agung merupakan kerja sama antara Puslitbang Mahkamah Agung dengan Fakuktas Hukum Universitas Airlangga Surabaya. Desiminasi ini sebagai tindak lanjut dari penandatangan Memorandum of Understading (MoU) antara Puslitbang Mahkamah Agung dan Fakultas Hukum Unair sebelumnya. Kegiatan Desiminasi ini menghadirkan beberapa pakar sebagai narasumber. Mereka para pakar tersebut, baik yang berasal dari lingkungan Mahkamah Agung maupun Fakultas Hukum Unair. Para pakar menyampaikan berbagai pandangan dan gagasan tentang perlunya undang-undang tentang Contempt of Court Pada kesempatan tersebut Prof. Dr. Didik Endro Purwoleksono, Guru Besar Fakultas Hukum Unair yang tampil sebagai narasumber. Beliau menegaskan bahwa sangat penting bagi pemerintah untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentang Contempt of Court. “Walaupun demikian, draf RUU tentang Contemp of Court yang ada saat ini masih perlu beberapa perbaikan dan revisi. Sebelum disahkan menjadi undang-undang, sebaiknya diperbaiki lagi. Sebab masih terdapat rumusan pasal-pasal yang tidak konsisten antara satu ketentuan dengan ketentuan yang lain, “ujar Didik Endro Purwoleksono Sementara itu Dr. Maraudin Naenggolan dan Dr. Andriani Nurdin yang merupakan narasumber internal dari Mahkamah Agung, pada kesempatan tersebut, lebih menekankan pentingnya undang-undang tentang Contempt of Court untuk menjaga keseimbangan hak dari para pihak. Sebab menyerang salah satu pihak dalam proses persidangan di pengadilan bukan saja bentuk pelanggaran. Namun juga sebagai bentuk menciderai rasa keadilan pihak lain. "Oleh karena itu, hadirnya undang-undang tentang Contempt of Court ini sebagai bentuk perlundungan yang seimbang bagi para pihak. Bukan saja untuk melindungi hakim, tetapi para pihak yang terlibat di persidangan. Selian hakim dan panitra, juga ada jaksa, dan terdakwa. Selain itu untuk melidungi penggugat maupun tergugat, serta para saksi. Selanjutnya, kedua narasumber ini lebih menekankan pada pengalaman mereka sebagai hakim. Baik Dr. Maraudin Naenggolan maupun Dr. Andriani Nurdin sering mengalami ancaman dari pihak-pihak yang merasa diri paling benar. Ancaman tersebut, baik dalam proses persidangan, maupun pada tahapan eksekusi terhadap putusan pengadilan. Pembicara lainnya adalah Dr. Lilik Mulyadi yang merupakan koordinator tim riset dari Litbang Mahkamah Agung tentang Contempt of Court. Dia menyebutkan bahwa dari hasil riset yang dilakukan, hampir 85% responden menghendaki adanya undang-undang tentang Contempt of Court. Kehadiran dan keberadaan undang-undang ini sudah sangat mendesak untuk saat ini. Lebih lanjut Dr. Lilik Mulyadi menyebutkan bahwa, Berdasarkan pengalaman di negara-negara maju, undang-undang tentang Contempt of Court hadir sebagai bentuk perlindungan bagi terwujudnya independensi peradilan. Bahwa menjaga independensi peradilan adalah wujud dari penjagaan terhadap terwujudnya rasa keadilan. “Oleh karena itu, sudah saatnya Indonesia harus memiliki undang-undang tentang Contempt of Court. Kehadiran undang-undang tentang Contempt of Court tidak hanya melindungi institusi peradilan saja. Namun juga melindungi semua pihak yang terlibat dalam proses peradilan. Misalnya polisi, jaksa, hakim dan masyarakat pencari keadilan, “ujar Lilik Mulyadi. (Lohy)

Ahmad Yani Bantah Bertemu Hakim Agung Syamsul Chaniago

Jakarta, FNN - Sehubungan dengan pemberitaan yang termuat di berbagai media massa, baik media cetak, maupun online, sejak Minggu 29 September 2019 hingga saat ini, ikhwal adanya kontak hubungan, antara antara saya Dr. Ahmad Yani SH. MH dengan Hakim Agung Syamsul Rakan Chaniago yang memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara BLBI atas nama terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung pada tingkat kasasi di Cafe Segafredo di dalam Mall Plaza Indonesia pada tanggal 28 Juni 2019, antara pukul 17.38- 18.30 WIB, maka perkenankan saya menyampaikan sebagai berikut : Pertama, bahwa saya nyatakan tidak ada sama sekali kontak hubungan yang saya lakukan dengan Hakim Agung Syamsul Rakan Chaniago, terkait dengan perkara pada tingkat kasasi dalam kasus BLBI yang menjerat Syafruddin Arsyad Temenggung. Saya mempertegas bahwa di dalam berbagai pemberitaan yang ada, terkesan seolah-olah muncul pra-kondisi yang mengkaitkan adanya kontak hubungan di antara saya dengan Syamsul Rakan Chaniago, yang dihubungkan dengan perkara kasus BLBI atas nama terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung. Kedua, patut saya jelaskan dan pertegas bahwa tidak ada pertemuan yang terjadi di antara saya dengan Syamsul Rakan Chaniago. Terkesan pertemuan tersebut terjadi atas inisiasi atau perencanaan terlebih dahulu. Saya mengklarifikasi bahwa keadaan yang sebenarnya ialah saya pada waktu tersebut, yaitu pada tanggal 28 Juni 2019 sekitar pukul 17.38 - 18.30 WIB, berada di Cafe Segafredo Mall Plaza Indonesia. Keberadaan saya di tempat tersebut dalam agenda melakukan wawancara interaktif dengan para teman–teman wartawan (journalist). Ketika saya tiba di Cafe Segafredo, Hakim Agung Syamsul Rakan Chaniago juga sedang atau sudah lebih dulu berada di dalam cafe tersebut. Dan akhirnya, saya bertegur sapa secara on the spot pada momen tersebut dengan Syamsul Rakan Chaniago. Perlu diketahui bahwa sejatinya momen sebagaimana dimaksud, terjadi di tempat keramaian atau termpat terbuka. Karena di tempat terbuka, maka dapat diekspose oleh siapapun. Apalagi pertemuan bukan di tempat yang tertutup (privat). Ketika itu, justru terdapat teman-teman media wartawan (journalist), yang akan berdiskusi dan bertemu dengan saya di Cafe Segafredo tersebut. Ketiga, bahwa adapun kronologis pertemuan sebagaimana dimaksud ialah terjadi dalam kurun waktu menjelang ibadah sholat magrib (sore hari), dimana maksud dan tujuan saya datang ke Cafe Segafredo Mall Plaza Indonesia tersebut ialah untuk menemui teman-teman wartawan (journalist) yang memang sudah membuat janji (via handphone) terlebih dahulu dengan saya. Teman-teman wartawan ingin minta keterangan atau pendapat saya ikhwal proses sengketa pilpres di MK, yang banyak berbicara tentang peran dan fungsi MK dalam menangani sengketa pilpres. Oleh karenanya, begitu saya tiba di Cafe Segafredo tersebut, secara tidak sengaja bertemu dengan Syamsul Rakan Chaniago, tanpa ada appoinment sebelumnya. Setelah bertegur sapa sebentar, akhirnya waktu ibadah magrib tiba, sehingga kami beramai ramai bersama menunaikan ibadah magrib di mushola Mall Plaza Indonesia. Setelah selesai sholat maghrib, kami kembali lagi ke Cafe Segafredo untuk melanjutkan pertemuan dengan teman-teman wartawan. Saya tidak hanya terfokus kepada Syamsul Rakan Chaniago, namun saya berpindah-pindah ke tempat duduk yang lain. Sebab keadaan waktu itu ramai atau terbuka untuk umum. Pada saat di Cafe Segafredo, saya memang fokus berdiskusi interaktif dengan teman-teman jurnalis media yang sudah membuat janji untuk mewawancarai saya. Keempat, perlu diklarifikasi dan patut menjadi catatan bahwa di dalam moment yang tidak disengaja tersebut tidak ada sama sekali membicarakan ikhwal perkara BLBI atas nama terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung. Bahkan saya tidak mengetahui sama sekali jikalau Syamsul Rakan Chaniago merupakan salah satu hakim dalam majelis pada tingkat kasasi yang memeriksa/mengadili/memutus perkara kasasi BLBI atas nama terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung. Adapun materi pembicaraan singkat yang terjadi, yang berlangsung secara informal. Pembicaraan hanya terkait dengan berbagai isu di dalam pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2019 yang lalu. Juga terkait proses pencalegan saya pribadi sebagai Caleg DPR dari Partai Bulan Bintang. Kelima, perlu juga untuk diklarifikasi bahwa status dan posisi saya yang dalam kurun waktu pertemuan tersebut berlangsung, dimana ketika itu saya sudah tidak ikut terlibat secara aktif dan partisipatif di dalam Tim Kuasa Hukum Syafruddin Arsyad Temenggung, khususnya pada saat pengajuan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung. Sedari awal pengajuan upaya hukum kasasi tersebut, saya memang sudah memohon izin (pamit), baik kepada tim kuasa hukum dan khususnya kepada Syafruddin Arsyad Temenggung. Saya tidak lagi terlibat lebih jauh di dalam proses pengajuan upaya hukum kasasi, karena pada kurun waktu yang bersamaan, saya sedang memprioritaskan proses pencalegan saya yang mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif dari Partai Bulan Bintang untuk daerah pemilihan DKI Jakarta I periode 2019 - 2024. Berkaitan dengan itu, sedari awal pengajuan upaya hukum kasasi, saya sudah tidak pernah lagi mengikuti rapat-rapat tim kuasa hukum Syarifuddin Arsyad Tumenggung dan atau pertemuan terkait dengan penyusunanpengajuan memori kasasi. Keenam, bahwa sedari awal polemik ini muncul, saya sama sekali tidak pernah diklarifikasi. Oleh karenanya, saya sangat merasa berkeberatan dengan 'simpang siurnya' pemberitaan yang menyudutkan nama baik saya. Kenyataan ini ditambah dengan 'penggiringan opini' yang juga telah dapat dilihat sebagai 'character assassination' terhadap pribadi saya. Perlu saya pertegas kembali bahwa saya secara prinsip sangat mendukung upaya pengusutan kasus BLBI secara tuntas dan menyeluruh. Demikianlah press release ini dibuat sebagai bentuk klarifikasi dengan harapan dapat menjelaskan keadaan, peristiwa yang sesungguhnya terjadi, sehingga dapat meluruskan 'simpang siurnya' pemberitaan yang muncul. Atas perhatian dan atensi-nya saya ucapkan terima kasih.

Tegasnya KPK, Koruptor Koalisi Juga Disikat!

Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Siapa yang tidak kenal dengan Imam Nahrawi? Namanya mulai mencuat sejak menjadi Ketua DPW PKB Jatim. Jejak digital mencatat, Minggu (20/7/2008), bersama PKB kubu Muhaimin Iskandar, ia bersukaria atas kekalahan KH Abdurrahman Wahid. Mereka melakukan syukuran paska kemenangan kubu Imin setelah MA menolak kasasi PKB kubu Gus Dur itu. Ia mencukur gundul rambutnya. Ketika itu, Ketua Dewan Syuro, KH Azis Mansyur sendiri yang memotong rambut Imam. Itulah jejaknya. Setelah 11 tahun aksi gundul itu, Menpora Imam Nahrawi harus menjadi pesakinan dan telah ditetapkan KPK karena diduga menerima gratifikasi senilai Rp 16,5 miliar dari KONI sebagai commitment fee pengurusan pencairan dana hibah Kemenpora. Kasus dugaan tipikor pemberian dana hibah KONI ini telah sampai pada penetapan Menpora Imam Nahrawi sebagai tersangka oleh KPK. Sebelum Imam, KPK telah menjerat lima orang tersangka kasus dana hibah tersebut. Mereka adalah Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy, Bendahara Umum KONI Johnny E. Awuy, dua staf Kemenpora yakni Adhi Purnomo dan Eko Triyanto, serta Mantan Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kemenpora, Mulyana. Ending dan Johnny telah divonis bersalah oleh majelis hakim tipikor. Ending selaku Sekjen KONI dihukum 2 tahun delapan bulan penjara, sementara Johnny sebagai Bendahara Umum KONI divonis penjara 1 tahun delapan bulan. Selain itu, Adhi Purnomo, Eko Triyanto, dan Mulyana juga baru saja menerima vonis majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta pada 12 September 2019 lalu. Ini merupakan bukti atas komitmen Presiden Joko Widodo dalam pemberantasan korupsi. Presiden Jokowi tidak ikut campur tangan terkait dengan mitra Parpol Koalisi yang terlibat kasus korupsi. Tanda-tanda Imam bakal menjadi tersangka seusai Sesmenpora Gatot Dewa Broto diperiksa dalam penyelidikan KPK, Jum’at (26/72019). Saat itu Gatot mengaku diperiksa KPK terkait pengelolaan anggaran di Kemenpora. “KPK ingin tahu tentang pola pengelolaan anggaran dan program sepanjang tahun 2014 sampai dengan 2018. Kenapa harus saya? Karena saya sebagai Sesmenpora,” kata Gatot. Alhasil, ungkap KPK, Imam menerima suap dan gratifikasi sebesar Rp 26,5 miliar sepanjang pada 2014 hingga 2018. Isyarat penetapan tersangka kepada Imam sudah mulai tercium sejak KPK tiba-tiba menahan asisten pribadinya, Miftahul Ulum, Rabu (11/9/2019. Saat itu, penetapan tersangka pada Ulum belum diumumkan KPK. Sepekan setelah menahan Ulum, KPK pun akhirnya mengumumkan Ulum dan Imam sebagai tersangka. Imam merupakan menteri Kabinet Kerja jilid I pemerintahan Presiden Jokowi yang dijerat sebagai tersangka. Sebelumnya ada Menteri Sosial Idrus Marham yang dijerat dalam kasus suap PLTU Riau-1. Idrus divonis 5 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Idrus terbukti menerima suap Rp 2,250 miliar. Uang tersebut diberikan oleh pengusaha sekaligus salah satu pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited, Johannes Budisutrisno Kotjo. Dalam kasus ini, Idrus terbukti menerima suap bersama-sama Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih. Eni merupakan anggota Fraksi Partai Golkar. Baik Eni maupun Idrus adalah sama-sama “orang” Golkar. Imam Nahrawi dari PKB. Kedua parpol itu adalah mitra Parpol Koalisi Jokowi. Sebelumnya, KPK menetapkan Bupati Kotawaringin Timur Supian Hadi, yang juga kader PDIP sebagai tersangka dugaan korupsi dalam proses pemberian izin usaha pertambangan pada 3 perusahaan di lingkungan Pemkab Kotawaringin Timur. “KPK meningkatkan status penanganan perkara ke Penyidikan dan menetapkan SH sebagai tersangka,” ujar Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif dalam jumpa pers di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, seperti dilansir Merdeka.com, Jumat (1/2/2019). Diduga Supian Hadi selama periode 2010-2015 telah merugikan keuangan negara dalam pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada PT Fajar Mentaya Abadi), PT Billy Indonesia, dan PT. Aries Iron Mining di Kabupaten Kotawaringin Timur. Syarif menjelaskan, Supian saat diangkat menjadi Bupati Kotawaringin Timur periode 2010-2015, langsung mengangkat teman-teman dekatnya yang merupakan tim suksesnya sebagai petinggi di perusahaan-perusahaan itu. Diduga negara dirugikan sekitar Rp 5,8 triliun. Sebelum revisi UU KPK, menurut catatan peniliti ICW Kurnia Ramadhan, catatan lima tahun terakhir, setidaknya ada 23 anggota DPR RI masa bakti 2014-2019 telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Bahkan Ketua DPR Setya Novanto bersama Wakil Ketua DPR Taufik Kurniwan, pun tidak luput dari jerat hukum KPK. Dari 23 kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR, delapan diantaranya dari Partai Golkar. Partai berlambang pohon beringin ini penyumbang terbesar dalam kasus korupsi di Senayan. Selanjutnya, tiga PDIP, tiga Demokrat, tiga PAN, dua Hanura, dan masing-masing satu PKS, PKB, PPP, Nasdem. “Perkara yang sedang ditangani KPK banyak melibatkan anggota DPR,” kata Kurnia, seperti dilansir Tirto.id, Minggu, (15/9/2019). Publik tentu masih mengingat salah satu kasus mega korupsi e-KTP. Korupsi itu merupakan hasil kongkalikong banyak pihak; eksekutif, legislatif, maupun swasta. Persekongkolan jahat itu membuat duit negara sebesar Rp 2,3 triliun raib dalam proyek bernilai Rp5,9 triliun. Akibat mega korupsi itu, tiga politisi dijebloskan ke Lapas Sukamiskin; Miryam S. Haryani (Hanura), Markus Nari (Golkar), dan Setya Novanto (Golkar). Dalam pembacaan tuntutan Setnov pada Maret 2018, Jaksa KPK Eva Yustisia mengungkap, terdakwa (Setnov) bersama Djamal Azis, Chairuman Harahap, Markus Nari, dan Akbar Faisal (Anggota Komisi III) melakukan penekanan kepada Miryam agar mencabut BAP saat persidangan Irman dan Sugiharto. Dalam BAP itu, Miryam menjawab secara rinci aliran dana yang mengalir ke anggota DPR. Hal itu menyebabkan para politisi ketakutan. Bahkan, Setnov sempat menjamin Miryam tak akan dipenjara bila mencabut keterangannya tentang korupsi e-KTP. Bujukan Setnov itu akhirnya meyakinkan Miryam untuk mencabut BAP pada 23 Maret 2017. Selain itu, anggota Komisi III DPR yang tersangkut dalam kasus korupsi lainnya, Patrice Rio Capella. Mantan Sekjen Partai NasDem terkait penanganan kasus bansos di Kejaksaan Tinggi Sumut dan Kejaksaan Agung. Akibatnya Rio meringkuk di balik jeruji selama 1,6 tahun, lebih kecil dari tuntutan Jaksa 2 tahun. Rio dianggap terbukti menerima hadiah Rp 200 juta dari Gubernur nonaktif Sumut Gatot Pujo Nugroho (dari PKS) dan istrinya, Evy Susanti. Duit itu diserahkan untuk mengamankan kasus dugaan korupsi dana bansos di Kejaksaan Agung. Tak hanya Rio, anggota Komisi III lainnya yang tersangkut korupsi adalah I Putu Sudiartana dari Partai Demokrat dan mantan Ketum DPP PPP Muhammad Romahurmuziy alias Romy (kasusnya sudah masuk Pengadilan Tipikor Jakarta). I Putu Sudiartana, Wakil Bendahara Partai Demokrat periode 2015-2020, divonis 6 tahun penjara karena terbukti menerima suap dan gratifikasi Rp500 juta terkait rencana proyek pembangunan 12 ruas jalan di Sumatera Barat pada 2016. Sementara, mantan Ketua PPP Romy itu diduga terlibat dalam kasus jual-beli jabatan Kanwil Kemenag Jawa Timur dan Gresik. Kecuali Gatot Pujo Nugroho dan I Putu Sudiartana, para napi, terdakwa, dan tersangka adalah dari Parpol Koalisi Jokowi. Yakni: PDIP, Golkar, NasDem, Hanura, PKB, dan PPP. Jika melihat jejak digital, ada kader Parpol Koalisi Jokowi lain, seperti Mendag Enggarsiasto Lukito (NasDem), Menag Lukman Hakim Sarifuddin (PPP), dan Ketum PKB Muhaimin Iskandar, berpotensi menyusul. Ketegasan pimpinan KPK yang diketuai Agus Rahardjo dan Presiden Jokowi terkait dengan penanganan kasus korupsi yang tanpa pandang bulu itu tentunya patut diapresiasi. Dan, diharapkan pula, pimpinan KPK yang baru juga mengikuti jejaknya. Semoga saja sebelum pelantikan pimpinan KPK yang baru, Agus Rahardjo sudah mengeksekusi tiga nama terakhir yang disebut di atas tersebut. Bravo KPK!

Tegasnya KPK, Koruptor Kubu Koalisi Juga Disikat!

Sebelum revisi UU KPK, menurut catatan peniliti ICW Kurnia Ramadhan, catatan lima tahun terakhir, setidaknya ada 23 anggota DPR RI masa bakti 2014-2019 telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.Bahkan Ketua DPR Setya Novanto bersama Wakil Ketua DPR Taufik Kurniwan, pun tidak luput dari jerat hukum KPK. Dari 23 kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR, delapan diantaranya dari Partai Golkar. Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Siapa yang tidak kenal dengan Imam Nahrawi? Namanya mulai mencuat sejak menjadi Ketua DPW PKB Jawa Timur (Jatim). Jejak digital mencatat, Minggu (20/7/2008), bersama PKB kubu Muhaimin Iskandar, ia bersukaria atas kekalahan KH Abdurrahman Wahid. Mereka melakukan syukuran paska kemenangan kubu Imin setelah MA menolak kasasi PKB kubu Gus Dur itu. Ia mencukur gundul rambutnya. Ketika itu, Ketua Dewan Syuro, KH Azis Mansyur sendiri yang memotong rambut Imam. Itulah jejaknya. Setelah 11 tahun aksi gundul itu, Menpora Imam Nahrawi harus menjadi pesakinan dan telah ditetapkan KPK sebagai tersesangka. Imam diduga menerima gratifikasi senilai Rp 26,5 miliar dari KONI sebagai commitment fee pengurusan pencairan dana hibah Kemenpora. Kasus dugaan tipikor pemberian dana hibah KONI ini telah sampai pada penetapan Menpora Imam Nahrawi sebagai tersangka oleh KPK. Sebelum Imam, KPK telah menjerat lima orang tersangka kasus dana hibah tersebut. Mereka adalah Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy, Bendahara Umum KONI Johnny E. Awuy. Selian itu, dua staf Kemenpora yakni Adhi Purnomo dan Eko Triyanto. Mantan Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kemenpora, Mulyana juga jadi tersangka. Ending dan Johnny telah divonis bersalah oleh majelis hakim tipikor. Ending selaku Sekjen KONI dihukum dua tahun delapan bulan penjara. Sementara Johnny sebagai Bendahara Umum KONI divonis penjara satu tahun delapan bulan. Selain itu, Adhi Purnomo, Eko Triyanto, dan Mulyana juga baru saja menerima vonis majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta pada 12 September 2019 lalu. Ini merupakan bukti atas komitmen KPK dalam pemberantasan korupsi. Presiden Jokowi tidak ikut campur tangan terkait dengan mitra Parpol Koalisi yang terlibat kasus korupsi. Tanda-tanda Imam bakal menjadi tersangka seusai Sesmenpora Gatot Dewa Broto diperiksa dalam penyelidikan KPK, Jum’at (26/72019). Saat itu Gatot mengaku diperiksa KPK terkait pengelolaan anggaran di Kemenpora. “KPK ingin tahu tentang pola pengelolaan anggaran dan program sepanjang tahun 2014 sampai dengan 2018. Kenapa harus saya? Karena saya sebagai Sesmenpora,” kata Gatot. Alhasil, KPK mengungkapkan, Imam menerima suap dan gratifikasi sebesar Rp 26,5 miliar sepanjang pada 2014 hingga 2018. Isyarat penetapan tersangka kepada Imam sudah mulai tercium sejak KPK tiba-tiba menahan asisten pribadinya, Miftahul Ulum, Rabu (11/9/2019). Saat itu, penetapan tersangka pada Ulum belum diumumkan KPK. Sepekan setelah menahan Ulum, KPK pun akhirnya mengumumkan Ulum dan Imam sebagai tersangka. Imam merupakan menteri Kabinet Kerja jilid I pemerintahan Presiden Jokowi yang dijerat sebagai tersangka. Sebelumnya ada Menteri Sosial Idrus Marham yang dijerat dalam kasus suap PLTU Riau-1. Idrus divonis 5 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Idrus terbukti menerima suap Rp 2,250 miliar. Uang tersebut diberikan oleh pengusaha sekaligus salah satu pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited, Johannes Budisutrisno Kotjo. Dalam kasus ini, Idrus terbukti menerima suap bersama-sama Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih. Eni merupakan anggota Fraksi Partai Golkar. Baik Eni maupun Idrus adalah sama-sama “orang” Golkar. Imam Nahrawi dari PKB. Kedua parpol itu adalah mitra Parpol Koalisi Jokowi. Sebelumnya, KPK menetapkan Bupati Kotawaringin Timur Supian Hadi, yang juga kader PDIP sebagai tersangka dugaan korupsi dalam proses pemberian izin usaha pertambangan pada 3 perusahaan di lingkungan Pemkab Kotawaringin Timur. “KPK meningkatkan status penanganan perkara ke Penyidikan dan menetapkan SH sebagai tersangka,” ujar Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif dalam jumpa pers di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, seperti dilansir Merdeka.com, Jumat (1/2/2019). Diduga Supian Hadi selama periode 2010-2015 telah merugikan keuangan negara dalam pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada PT Fajar Mentaya Abadi), PT Billy Indonesia, dan PT. Aries Iron Mining di Kabupaten Kotawaringin Timur. Syarif menjelaskan, Supian saat diangkat menjadi Bupati Kotawaringin Timur periode 2010-2015, langsung mengangkat teman-teman dekatnya yang merupakan tim suksesnya sebagai petinggi di perusahaan-perusahaan itu. Diduga negara dirugikan sekitar Rp 5,8 triliun. Sebelum revisi UU KPK, menurut catatan peniliti ICW Kurnia Ramadhan, catatan lima tahun terakhir, setidaknya ada 23 anggota DPR RI masa bakti 2014-2019 telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.Bahkan Ketua DPR Setya Novanto bersama Wakil Ketua DPR Taufik Kurniwan, pun tidak luput dari jerat hukum KPK. Dari 23 kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR, delapan diantaranya dari Partai Golkar. Partai berlambang pohon beringin ini penyumbang terbesar dalam kasus korupsi di Senayan. Selanjutnya, tiga PDIP, tiga Demokrat, tiga PAN, dua Hanura, dan masing-masing satu PKS, PKB, PPP, Nasdem. “Perkara yang sedang ditangani KPK banyak melibatkan anggota DPR,” kata Kurnia, seperti dilansir Tirto.id, Minggu, (15/9/2019). Publik tentu masih mengingat salah satu kasus mega korupsi e-KTP. Korupsi itu merupakan hasil kongkalikong banyak pihak; eksekutif, legislatif, maupun swasta. Persekongkolan jahat itu membuat duit negara sebesar Rp 2,3 triliun raib dalam proyek bernilai Rp5,9 triliun. Akibat mega korupsi itu, tiga politisi dijebloskan ke Lapas Sukamiskin; Miryam S. Haryani (Hanura), Markus Nari (Golkar), dan Setya Novanto (Golkar). Dalam pembacaan tuntutan Setnov pada Maret 2018, Jaksa KPK Eva Yustisia mengungkap, terdakwa (Setnov) bersama Djamal Azis, Chairuman Harahap, Markus Nari, dan Akbar Faisal (Anggota Komisi III) melakukan penekanan kepada Miryam agar mencabut BAP saat persidangan Irman dan Sugiharto. Dalam BAP itu, Miryam menjawab secara rinci aliran dana yang mengalir ke anggota DPR. Hal itu menyebabkan para politisi ketakutan. Bahkan, Setnov sempat menjamin Miryam tak akan dipenjara bila mencabut keterangannya tentang korupsi e-KTP. Bujukan Setnov itu akhirnya meyakinkan Miryam untuk mencabut BAP pada 23 Maret 2017. Selain itu, anggota Komisi III DPR yang tersangkut dalam kasus korupsi lainnya, Patrice Rio Capella. Mantan Sekjen Partai NasDem terkait penanganan kasus bansos di Kejaksaan Tinggi Sumut dan Kejaksaan Agung. Akibatnya Rio meringkuk di balik jeruji selama 1,6 tahun, lebih kecil dari tuntutan Jaksa 2 tahun. Rio dianggap terbukti menerima hadiah Rp 200 juta dari Gubernur nonaktif Sumut Gatot Pujo Nugroho (dari PKS) dan istrinya, Evy Susanti. Duit itu diserahkan untuk mengamankan kasus dugaan korupsi dana bansos di Kejaksaan Agung. Tak hanya Rio, anggota Komisi III lainnya yang tersangkut korupsi adalah I Putu Sudiartana dari Partai Demokrat dan mantan Ketum DPP PPP Muhammad Romahurmuziy alias Romy (kasusnya sudah masuk Pengadilan Tipikor Jakarta). I Putu Sudiartana, Wakil Bendahara Partai Demokrat periode 2015-2020, divonis 6 tahun penjara karena terbukti menerima suap dan gratifikasi Rp500 juta terkait rencana proyek pembangunan 12 ruas jalan di Sumatera Barat pada 2016. Sementara, mantan Ketua PPP Romy itu diduga terlibat dalam kasus jual-beli jabatan Kanwil Kemenag Jawa Timur dan Gresik. Kecuali Gatot Pujo Nugroho dan I Putu Sudiartana, para napi, terdakwa, dan tersangka adalah dari Parpol Koalisi Jokowi. Yakni: PDIP, Golkar, NasDem, Hanura, PKB, dan PPP. Jika melihat jejak digital, ada kader Parpol Koalisi Jokowi lain, seperti Mendag Enggarsiasto Lukito (NasDem), Menag Lukman Hakim Sarifuddin (PPP), dan Ketum PKB Muhaimin Iskandar, berpotensi menyusul. Ketegasan pimpinan KPK yang diketuai Agus Rahardjo dan Presiden Jokowi terkait dengan penanganan kasus korupsi yang tanpa pandang bulu itu tentunya patut diapresiasi. Dan, diharapkan pula, pimpinan KPK yang baru juga mengikuti jejaknya. Semoga saja sebelum pelantikan pimpinan KPK yang baru, Agus Rahardjo sudah mengeksekusi tiga nama terakhir yang disebut di atas tersebut. Bravo KPK! Penulis adalah Wartawan Senior