HUKUM
Skandal Djoko Tjandra Dan Integritas Penegak Hukum
by Dr. Abdullah Hehamahua Jakarta FNN – Jum’at (17/07). Gubernur Hong Kong, Sir Murray Mac Lehose tahun 1974, membentuk KPK. Lembaga ini bernama Independent Agency Against Corruption (ICAC). Tugas pertama adalah membersihkan kepolisian dari korupsi. Sebab, waktu itu Jenderal Polisi, Peter Fitzroy Godber memiliki rekening gendut U$ 600.000. Uangnya disimpan di bank Kanada. Dia juga punya asset senilai senilai 4,3 juta dollar Hong Kong. ICAC berhasil menangkapnya. Namun, penangkapan Wakil Kepala Polisi Kowloon itu telah memicu bawahannya menggerebek kantor ICAC. Komisioner ICAC bergeming. ICAC dalam waktu relative singkat menangkap 247 koruptor. Sebanyak 143 orang adalah polisi. ICAC lalu menjadi ‘role model’ proses pemberantasan korupsi di dunia. Pejabat dan pegawai KPK biasa mengunjungi kantor ICAC. Pimpinan ICAC biasa juga bertandang ke kantor KPK. Drama Djoko Tjandra Publik dihebohkan dengan berita Djoko Tjandra. Buronan 11 tahun ini mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Tragisnya, Djoko Tjandra bisa menghadiri sidang PK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 8 Juni 2020. Dahsyatnya lagi, Djoko bisa membuat e-KTP di Kelurahan Grogol Selatan, Jakarta Barat pada tanggal 8 Juni pagi. Djoko Tjandra disambut langsung oleh Lurah Grogol Selatan di Kantor Kelurahan. KTP-nya selesai hanya dalam waktu dua jam. Tanggal 23 Juni 2020, Djoko membuat paspor di Kantor Imigrasi Jakarta Utara. Anehnya, Djoko sudah menjadi warga negara Papua Nugini, pada Juni 2009. Namun bisa mendapatkan e-KTP dan diberikan Paspor oleh Imigrasi Jakarta Utara. Bagaimana Djoko yang buron bisa masuk Indonesia tanpa ditangkap ? Apakah hal tersebut disebabkan ketidak-tertiban adminstrasi Imigrasi dan aparat penegak hukum.? Mungkin juga tidak ada kordinasi antar instansi terkait sehingga Djoko bisa leluasa memiliki e-KTP. Datang sendiri ke Pengadilan, dan membuat paspor tanpa ditangkap. Menurut Juru Bicara Ditjen Imigrasi, Arvin Gumilang, Djoko tidak pernah tercatat masuk ke Indonesia. Ada dua kemungkinan. Pertama, Djoko masuk Indonesia tanpa melalui imigrasi. Beliau bisa melalui jalan tikus di perbatasan Papua Nugini dan Papua. Kedua, Djoko masuk Indonesia dengan menggunakan nama lain sehingga tidak terditeksi di Imigrasi. Apalagi, imigrasi sudah menghapus nama Djoko dari daftar pengawasan pada 13 Mei lalu. Alasannya, interpol sudah menghapus status red notice untuk Djoko. Arvin Gumilang menyebut pihak Imigrasi baru menerbitkan status cekal untuk Djoko, 27 Juni lalu. Setelah kejaksaan memasukkan nama buron itu ke Daftar Pencarian Orang (DPO). Kesimpulan pertama, kelalaian Kejaksaan yang membiarkan nama Djoko terhapus dalam senarai DPO. Kemungkinan Ada KKN? Pejabat atau karyawan yang tidak berintegritas? Tanyakan sendiri ke rumput yang bergoyang. Bencana baru menimpa dunia penegakkan hukum Indonesia ketika terpublikasi berita, Djoko Tjandra mendapat surat tugas dari Bareskrim (18 Juni) untuk meninggalkan Jakarta menuju Pontianak. Aneh bin ajaib. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menggelar sidang pengadilan PK bagi seorang boron, 29 Juni 2020. Apakah pejabat Pengadilan tidak tau kalau Djoko seorang buron.? Ada KKN atau pegawai Pengadilan yang tidak berintegritas.? Tanyakan juga ke rumput yang bergoyang. Anehnya lagi, Jaksa Agung mendapat informasi kalau Djoko Tjandra sudah berada di Jakarta selama tigabulan. Lagi-lagi masalah integritas aparat penegak hukum menjadi taruhan. Terbayang kenangan, bagaimana SOP, Kode Etik, dan Peraturan Kegawaian KPK menjadi “malaikat” pengawas dalam balutan integritas setiap insan yang bekerja di KPK. Tangkap Jenderal Polisi Pertama kali mengikuti Rapim KPK (Maret 2005), saya mengusulkan agar ditangkap beberapa jenderal polisi, baik yang di Mabes maupun Polda. Sebab, KPK Hong Kong memulai debutnya dengan menangkap Jenderal Polisi Hongkong. Namun, sanggah seorang komisioner, “Jaksa Hong Kong relative baik, dan hakimnya diimpor dari Inggeris. Indonesia, ketiga lembaga tersebut bermasalah sehingga tidak bisa meniru pola KPK Hong Kong,” katanya. Saya terdiam. Kalau begitu, gaji kepolisian dinaikkan minimal 100%. Sebab, salah satu penyebab korupsi di kalangan PNS, termasuk instansi penegak hukum adalah gaji yang sangat rendah. Candaan saya ketika menjadi narasumber di Bimtek DPRD dan Kementerian tertentu: “PNS yang jujur akan mengalami ‘kematian’ tiga kali dalam sebulan. Sebab, gaji PNS hanya cukup untuk 10 hari.” (SBY setiap tahun menaikan gaji PNS secara gradual sebagai respons atas rekomendasi KPK). Kemenkeu dalam merespons sikap KPK menyatakan, keuangan negara tidak mampu untuk menaikan gaji kepolisian sebesar 100 persen. Sebab, jumlah mereka relative banyak. Hal yang sama juga berlaku terhadap Kejaksaan. Akhirnya, kebijakan Komisioner KPK (jilid 1), peningkatan gaji PNS dimulai dari para Hakim. Filosofinya, jika bola kejahatan dapat menembus pertahanan kepolisian dan kejaksaan, maka Hakim sebagai penjaga gawang keadilan terakhir, dapat menangkapnya. Apalagi, jumlah Hakim dan Panitera relative kecil sehingga bisa ditanggulangi APBN. KPK pun menetapkan tiga instansi sebagai pilot project: Kemenkeu, MA, dan BPK. Filosofinya, jika bendahara negara kelaparan, uang rakyat dapat dicuri. BPK sebagai eksternal auditor perlu diamankan ‘perut’ mereka. Sehingga bisa independen dalam mengaudit keuangan negara. KPK berdasarkan strategi itu memasuki kompleks MA (2005) melalui kasus Probosutejo. KPK lalu membantu membenahi manajemen MA. Hasilnya, kasus-kasus kasasi yang bertahun-tahun numpuk di meja Hakim Agung, dalam waktu relative singkat, dapat diselesaikan. Bahkan, putusan Pengadilan dapat dipantau di Web MA dalam waktu relative singkat. Sayang, ketika KPK jilid dua, Lembaga ini diobok-obok oleh kasus cicak-buaya, sehingga kelanjutan reformasi birokrasi di Kementerian dan Lembaga, termasuk MA, terabaikan. Wajar, muncul kembali kasus-kasus korupsi yang melibatkan apparat penegak hukum. Kasus terakhir, mantan Sekretaris MA yang ditangkap KPK. Integritas dan Keteladanan Hilang Gus Dur pernah bilang, di kepolisian hanya ada dua orang jujur. Jenderal Hoegeng dan polisi tidur. Candaan Gus Dur tersebut, berlebihan. Sebab, selama delapan tahun di KPK, saya temukan banyak anggota polisi yang hebat-hebat. Apakah mereka adalah anggota polisi terbaik yang direkomendasikan untuk berkiprah di KPK.? Bisa iya, dapat juga tidak. Saya mau berkongsi tentang beberapa anggota polisi yang “hebat” itu. Novel Baswedan dan beberapa Penyidik memasuki ruang kerja saya ketika terjadi kasus cicak-buaya (2007). “Bapak harus pertahankan KPK agar tidak sampai dibubarkan,”. Itu pernyataan Novel yang saya masih ingat. Mengapa? tanya saya. Kalau kami, ‘nothing to lose’, katanya. “Tapi, kami tidak mau jadi orang jahat lagi,” tambahnya. Mereka Tegas! Saya juga terkejut ! Setelah mereka meninggalkan ruanganku. Lalu saya merenung. Penyidik KPK berasal dari Kepolisian yang Mabesnya hanya beberapa kilometer dari Kuningan. Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Agung yang kantornya juga hampir sama jaraknya dari KPK. Kedua instansi tersebut dianggap bermasalah oleh masyarakat. Hal tersebut juga merupakan alasan, mengapa dibentuk KPK. Saya pun teringat akan tingkah-laku kedua adik ipar saya yang juga anggota polisi. Namun, Penyidik dan JPU yang di KPK, setidaknya pada edisi satu dan dua, hebat-hebat. Mengapa mereka hebat? Penyebabnya, sistem yang diterapkan di KPK berbeda dengan di instansi lain. Di KPK, SOP, Kode Etik, dan Peraturan Kepegawaian dilaksanakan tanpa toleransi. ‘Zero tolerance’. Itulah integritas mereka. Mereka para Penyidik dan JPU ini ketika kembali ke instansi asal, dimana sistem di sana, belum berubah, maka mereka akan kembali lagi ke tradisi lama. Saya lalu paham, apa yang dimaksud dengan pernyataan Novel tadi. Sejak itu, di pelbagai kesempatan, saya selalu sosialisasikan konsep Reformasi Birokrasi yang digaungkan oleh KPK sejak 2005. Saya ketika di ILC, sering dihubungi salah seorang Penyidik KPK. Beliau biasa menyampaikan informasi tentang alasan, bukti, dan dasar hukum, mengapa KPK melakukan begini dan begitu. Poinnya, beliau betul-betul memertahankan nama baik KPK ketika dihajar dari kanan dan kiri panggung pemberantasan korupsi. Seorang anggota polisi yang bertugas di Pengawasan Internal (PI), selantai dengan saya, tidak pernah absen shalat berjamaah. “Pak Abdullah,” sapanya pada suatu kesempatan di mushallah lantai enam. “Seumur hidup, baru di KPK, saya shalat berjamaah empat kali sehari.” Teringat, yang usul agar pengajian ba’da shalat dzuhur, dari dua kali menjadi tiga kali sepekan adalah pegawai dari Kepolisian dan Kejaksaan. Beberapa bulan setelah usul tersebut dilaksanakan, mereka usul agar “di setiap lantai, ba’da shalat ashar, kita baca kitab.” Saya terharu mendengar usul tersebut. Mulailah di lantai enam, setiap ba’da sahalat ashar berjamaah, saya membaca satu dua hadits dari Bhulughul Maraam. Tamat, saya teruskan dengan Nailul Authar. Kedua kitab ini diprioritaskan karena berhubungan dengan hukum. Terakhir, sebelum pensiun, saya membaca Riyadush Shalihin. Sewaktu sudah purna bakti, dan ada cara di KPK, saya diajak shalat ashar berjamaah di mushalla yang sama, lantai enam. Ternyata, tradisi yang saya tinggalkan, masih berlanjut. Mereka membaca kitab Sirah Nabi Muhammad. KPK sudah berumur enam belas tahun. Puluhan alumninya yang sudah kembali ke Kepolisian dan Kejaksaan. Mengapa masih ada kasus di Bareskrim seperti itu? Jawabannya, reformasi birokrasi belum berjalan dan keteladanan pimpinan yang hilang. Semuanya bermuara dari integritas. Apakah ada hubungan di antara Brigjen PU, pembuatan e-KTP, paspor, PK di PN Jaksel, dan pertemuan Presiden dengan adiknya Djoko Tjandra di Papua Nugini? Biarlah ssaja Kompolnas yang mengusutnya. Semoga Penulis adalah Mantan Penasehat KPK
Jangan Alihkan Kesalahan Polri ke Surat Jalan Djoko Tjandra
by Asyari Usman Jakarta, FNN - Kamis (16/07). Sengaja atau tidak, pimpinan Polri berusaha mengalihkan fokus kesalahan Polri secara institusional menjadi kesalahan Brigjen Prasetijo Utomo (PU) yang mengeluarkan surat jalan (SJ) untuk Djoko Tjandra (DT). Cara pengalihan kesalahan ini sangat ‘high profile’. Tak kurang Kadiv Humas Irjen Argo Yuwono melakukan ‘spin doctoring’ (pengolahan opini) yang lumayan canggih. Tujuannya bisa ditebak. Yakni, supaya publik mengarahkan kritik atau celaan kepada Brigjen Prasetijo saja. Nah, publik harus disadarkan. Kesalahan terbesar dalam kasus Djoko Tjandra alias Joko Soegiarto Tjandra (JST) bisa keluar masuk Indonesia secara ilegal, dan melakukan berbagai kegiatan termasuk pembuatan e-KTP super cepat, bukanlah di tangan Brigjen PU. Kesalahan terbesar dalam drama ini ada di tangan Polri, khususnya jajaran intelijen dan Bareskrim. Mengapa? Karena alur utama drama DT (JST) adalah kegagalan Polisi menangkap buronan ‘most wanted’ korupsi itu. Jadi, yang harus dipersoalkan adalah mengapa DT tidak terdeteksi dan tidak bisa ditangkap? Ini yang teramat penting untuk dijawab. Apakah kesalahan Brigjen Prsetijo lebih fundamental atau kesalahan institusi Polri yang fatal? Ini yang harus diurai tuntas. Surat jalan atas nama DT yang dikeluarkan oleh mantan Karokorwas PPNS Bareskrim Polri, memang tindakan yang salah. Dan Brigjen PU wajar mendapatkan hukuman administratif. Sudah tepat dia dicopot dari jabatannya. Tapi, pembuatan surat jalan oleh Brigjen PU itu bukan kesalahan utama dalam drama yang berbau busuk ini. Surat jalan untuk DT hanya ‘satu adegan kecil’ diantara adegan-adegan yang mungkin melibatkan bintang-bintang besar di Polri dan juga di instusi-institusi lain. Surat jalan itu hanya digunakan dalam perjalanan Djoko dari Jakarta ke Pontianak dan balik ke Jakarta lagi. SJ itu hanya berlaku dari 19 Juni sampai 22 Juni. Padahal, DT berada di Indonesia selama tiga (3) bulan. Keberadaan DT yang cukup lama ini (yakni antara akhir Maret 2020 sampai akhir Juni 2020) diungkapkan oleh Jaksa Agung ST Burhanuddin ketipa rapat kerja dengan Komisi III DPR pada 29 Juni 2020. Jaksa Agung mengakui intelijen Kejakgung lemah. Gagal menangkap DT (JST). Tapi, Menkum HAM Yasonna Laoly mengatakan pihaknya tidak mempunyai data tentang keberadaan Djoko Tjandra selama tiga (3) bulan itu. Kalau Kejaksaaan berkilah intelijen mereka lemah, tentu tidak begitu halnya dengan intelijen Polri. Intel Polisi pasti sangat kuat. Dengan ribuan personel yang terlatih. Nah, mengapa kepolisian “tak tertarik” untuk menangkap Djoko. Padahal, polisi tahu si buronan ini pernah dalam status Red Notice (buronan) di Markas Interpol atas permintaan Kejaksaan Agung. Dari 2009 sampai 2015. Red Notice dihapus karena tidak ada permintaan perpanjangan dari Kejaksaan. Ini pun cukup mengherankan. Mengapa tidak diperpanjang? Sangat menakjubkan! Patut diduga Red Notice itu dihapus atas permintaan dari pihak DT dengan imbalan yang cukup besar. Kepolisian perlu menjelaskan mengapa mereka “tak mendeteksi” keberadaan DT di Indonesia seperti disebut di atas. Sungguh sangat aneh kalau Polisi juga beralasan intelijen mereka lemah. Manko Polhukam Mahfud MD merasa kesal mengapa Polisi –dan juga Kejaksaan— tidak mau atau tidak bisa menangkap DT. Menurut Mahfud, Indonesia sangat malu dipermainkan oleh Djoko Tjandra. Padahal, kata Mahfud, Polisi itu hebat sekali. Dan juga Kejaksaan Agung. Karena itu, kesalahan Polri secara institusional tidak wajar kalau ditimpakan kepada Brigjen Prasetijo Utomo. Brigjen PU memang nyata melakukan kesalahan dengan penerbitan SJ untuk Djoko Tjandra. Untuk keselahan itu dia membayarnya dengan pencopotan yang mempermalukan dirinya. Bahkan, kalau ada celahnya, bagus juga perbuatan Prasetijo itu ditelusuri tuntas. Kalau ada unsur pidananya, tentu harus diproses. Bila perlu, Prasetijo dipecat saja sekalian dari Polri. Namun, jangan sampai ‘adegan kecil’ Brigjen itu diolah sedemikian rupah sehingga kesalahan Kepolisian menjadi tertutupi. Tidaklah adil mengalihkan kesalahan Polri ke surat jalan Djoko Tjandra. Penulis adalah Wartawan Senior
Ayo Tebak, Tuan Besar Djoko Tjandra Pakai Sogok atau Tidak?
by Asyari Usman Jakarta FNN – Rabu (15/07). Djoko Tjandra memang hebat. Dia dalam status sebagai buronan ‘most wanted’ (paling dicari). Namun semua instansi yang diperlukannya memberikan “bantuan penuh”. Semuanya “memfasilitasi” keinginan Tuan Besar Djoko. Semuanya lancar jaya. Sangat huebat dan luar biasa. Berbagai bantuan yang ‘generous’ itu antara lain adalah masuk ke Indonesia tanpa ada hambatan di Imigrasi. Kemudian mengurus e-KTP sampai terbit dalam waktu satu jam lima belas menit di Kantor Lurah Grogol Selatan, Jakarta Barat. Terus, dia pergi ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk memasukkan gugatan PK (Peninjauan Kembali) atas putusan yang dia rasakan merugikan dirinya. Setelah itu, Tuan Besar Djoko mengikuti sidang pengajuan novum di Pengeadilan Negeri Jakarta Selatan. Beberapa hari selesai persidangan novum di pengadilan, Tuan Besar Djoko melakukan perjalanan ke Pontianak. Giliran Bareskrim Polri yang keluarkan surat perjalanan kepada Tuan Besar Djoko. Selesai semua urusan di Indonesia yang super cepat, karena difasilitasi oleh semua lembaga degara yang dibutuhkannya, Tuan Besar Djoko terbang kembali ke luar negeri tanpa terdeteksi. Dia kembali melanjutkan status buronannya. Tidak ada satupun instansi keamanan yang bisa mendeteksi si terpidana ini menghilang tinggalkan Indonesia. Imigrasi mengaku tidak tahu atau tidak kenal dengan Djoko Tjandra. Polisi bagai kena sihir tingkat tinggi. Kejaksaan juga seperti tak lagi berfungsi. Semua instansi penegak hukum ini bagaikan terlena, terhipnotis dan tersihir oleh “hiburan yang mengasyikkan” dari Tuan Besar Djoko. Djoko diburu oleh penegak hukum dengan kasus hak tagih (cessie) Bank Bali dengan kerugian negara 940 miliar rupiah. Dia menjadi buronan sejak 2009. Melarikan diri ke luar negeri. Pada 2012, Djoko Tjandra diketahui memiliki paspor Papua Nugini. Artinya sejak 2012 itu, Tuan Besar Djoko sudah menjadi warga Negara Papua Nigini. Menko Polhukam Mahfud MD kabarnya marah sekali. Dia mengatakan, negara sangat malu dipermainkan oleh Djoko Tajndra. Mahfud menyindir Polisi dan Kejaksaan yang tak bisa menangkap buronan ini. Padahal, menurut Mahfud, Polisi dan Kejaksaan adalah dua instansi yang hebat. Kekesalan Pak Mahfud itu bisa dipahami. Mungkin dia merasa instansi-instansi penegak hukum yang gagal menangkap Djoko itu terkesan dikangkangi oleh si buronan. Sekarang, mari kita main tebak-tebakan berhadiah. Tentang perilaku Tuan Besar Djoko. Silakan anda jawab deretan pertanyaan di bawah ini. Mungkinkah Djoko bisa masuk ke Indonesia tanpa sogok? Mungkinkah dia melewati Imigrasi tanpa bisa dikenali? Pihak Imigrasi mengatakan yang bertugas waktu itu adalah pegawai baru. Mungkinkah dia membuat e-KTP di Kantor Lurah Grogol Selatan dalam waktu satu jam lebih sedikit, tanpa uang sogok? Logiskah Pak Lurah tidak menerima apa-apa ketika dia “membantu” pembuatan e-KTP untuk Djoko dalam waktu singkat itu? Mungkinkah Pak Camat setempat juga tak mendapatkan apa-apa? Logiskah para pejabat yang terkait dengan pembuatan e-KTP untuk orang sepenting Djoko Tjandra, membantu si buronan dengan “senang hati” tanpa imbalan besar? Mendagri Tito Karnavian mengatakan di depan rapat dengan DPR bahwa pembuatan e-KTP untuk Tuan Djoko bisa cepat karena memang orientasi petugas di instansi Dukcapil adalah pelayan cepat. Begitu data seseorang ada di Dukcapil, langsung bisa cetak e-KTP. Nah, pertanyaan quiz berikutnya adalah, siapa diantara anda semua yang punya pengalaman membuat e-KTP dalam waktu satu jam lima belas menit? Ayo, atau pernah tahu teman atau tetangga yang bisa dapat e-KTP satu setengah jam? Hehe. Tuan Besar Djoko Tjandra memang mantap. Dia ini, layak, pantas dan bisa dijadikan Dirjen Dukcapil. Atau Mendagri sekalian. Mengapa? Karena dia bisa memerintahkan petugas kelurahan membuat e-KTP super cepat itu. Kembali ke quiz berhadiah. Apakah mungkin para pejabat tinggi yang terkait dengan kedatangan ilegal Djoko, tidak mendapatkan apa-apa? Apalagi mengingat statusnya sebagai buronan kelas satu, mungkinkah semua liku-liku perjalanan Tuan Djoko itu dia lalui secara gratis? Tanpa sogok sana-sini? Pemenang pertama quiz Tuan Besar Djoko Tjandra ini akan mendapatkan beberapa hadiah istimewa. Hadiah pertama, pembuatan e-KTP lima menit, langsung di kantor Mendagri. Hadiah kedua, tiket pesawat untuk berjumpa dengan Tuan Besar Djoko Tjandra di mana pun dia berada. Kemungkinan ada acara ‘morning coffee’ dengan si buronan super huebat dan luar biasa ini. Acara ‘kopi pagi’ ini nantinya sangat istimewa. Karena pemenang akan ditemani oleh Denny Siregar, Abu Janda, dan Ade Armando yang tidak terdengar suaranya mengenani kehebatan Tuan Besar Djoko Thandra selama berada di Indonesia. Diperkirakan akan ada hadiah kejutan dari Tuan Besar Djoko sendiri. Menurut bocoran, hadiah kejutan itu berbentuk kursus kilat tentang cara-cara untuk (maaf sebelumnya ya) “kentuti dan memberaki” mukanya para pejabat Indonesia. Penulis adalah Wartawan Senior
Adil Dong, Tangkap Juga Denny Siregar
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Selasa (14/07). Pembobol data pribadi Denny Siregar, yang berinisila FFH telah ditangkap oleh Kepolisian di Surabaya. Konon FFH terancam UU ITE dan lainnya. Publik menilai betapa cepatnya Polisi menindaklanjuti laporan Denny Siregar. Dan sangat luar biasa sikap sigap menangkap pelaku. Berbeda dengan respon laporan masyarakat Tasikmalaya atas perbuatan Denny Siregar, yang juga dinilai melanggar UU ITE. Bahkan bila serius, bisa-bisa Denny Siregar terkena pasal penodaan agama. Denny menyebut kalau Santri Tahfidz Qur'an sebagai "calon teroris". Masyarakat muslim Tasikmalaya marah berat. Mereka melaporkan Denny Siregar ke Polisi. Kasus Tasikmalaya tidak secepat dan sesigap penangkapan pembobol data pribadi Denny. Bahkan sampai sekarang Denny masih berkeliaran dalam marah- marahnya kepada Terlekosel. Malah hendak menuntut Telkomsel segala. Entah kapan Denny bakal diperiksa Polisi? Perbuatan Denny jelas-jelas telah menyinggung perasaan umat Islam. Bukan saja Tasikmalaya. Khususnya lingkungan Pesantren. Tak kurang dari Wakil Gubernur (Wagub) Jawa Barat (Jabar) asal Tasikmalaya pun ikut bersuara. Wagub sangat mengecam, dan meminta Polisi bertindak cepat. Denny lupa hukum dunia saja berbalas "siapa menabur angin, akan menuai badai". Sebelumnya Denny bully anaknya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Almira Yudhoyono. Sekarang giliran Denny bully anak-anak santri, dengan sebutan sebagai calon teroris. Kini giliran anaknya Denny yang habis dibully oleh warganet. Denny menyatakan gelisah. "Kalau anak-anaknya tidak kuat, bisa gila". Begitulah Denny mengeluh. Semua itu adalah akibat. Jangan salahkan dulu orang lain dulu. Sebaiknya evaluasi bacaan diri dalam pergaulan sosial Jika FFH ditangkap, maka adalah sanagat adil jika Denny Siregar juga ditangkap. Jika FFH ditahan, maka juga wajar secara hukum Denny ditahan. Keduanya sama sama diduga melanggar UU ITE. Jika FFH diproses dengan sangat cepat oleh pihak Kepolisian, maka semestinya Denny diproses tidak kalah cepatnya pula. Inilah kesamaan dan kesetaraan di depan hukum. Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 menyatakan , "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan hukum yang sama di hadapan hukum". Nah hak dan kewajiban Konstitusional seperti inilah yang patut menjadi perhatian semua pihak. Khususnya aparat penegak hukum. Karena bila terjadi diskriminasi dalam penegakkan hokum, maka bukan hanya kepercayaan yang akan merosot, akan tetapi kebencian yang akan tumbuh. Membantu membangun masyarakat penuh kebencian (hatred society). Dengan alasan apapun, Denny Siregar mestinya diperlakukan sama, sebagaimana perlakuan terhadap FFH. Bahwa kemudian dalam prosesnya, ada pembuktian yang berbeda pada masing-masingnya, maka itu merupakan suatu keniscayaan hukum. Hanya saja jangan sampai ketidakadilan diperlihatkan dan dipertontonkan dengan telanjang dan mencolok mata. Imej bahwa Denny Siregar dan teman-temannya kebal hukum mesti harus ditepis dengan tindakan nyata dari Polisi. Ditepis dengan perlakuakn yang sama di depan hukum. Sebaiknya, jangan pertontonkan secara telanjang sikap-sikap yang tidak adail kepada masyarakat, khususnya kepada umat Islam. Masyarakat, khususnya umat Islam ada yang berpandangan bahwa jika kasus pelaporan menimpa Denny Siregar, Ade Armando, Abu Janda, atau beberapa figur lainnya, dipastikan proses hukum akan lambat. Bahkan besar kemungkinan bisa menguap ditelan bumi. Untuk itu, mestinya dibuktikan bahwa pandangan tersebut keliru. Kini kasus Denny Siregar dengan tema "santri calon teroris" ada di depan mata Polisi. Aparat tentu tidak akan bermain-main, sebab ini masalah sangat sensitif dalam kacamata keumatan. Perlu langkah konkrit dan tidak diskriminatif. Jika FFH dengan cepat bisa ditangkap, maka seharusnya Denny Siregar tangkap juga bisa ditangkap. Adil kan? Penulis adalah Pemerhati Politik dan Hukum.
Pengakuan Hasto, Petunjuk Tentang Siapa Pengkhianat Pancasila?!
by Mochamad Toha Jakarta FNN - Selasa (14/07). Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto Kristiyanto sudah mengakui kalau Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) memang diusulkan oleh partainya di DPR RI. Pernyataan Hasto ini menjawab teka-teki soal fraksi pengusul RUU HIP. Melansir Law-justice.co, Senin (29/06/2020 09:04 WIB), selama ini fraksi-fraksi di DPR RI, terutama di Badan Legislasi (Baleg), enggan mengungkap fraksi yang mengusulkan aturan itu. Mereka hanya menyebut RUU HIP adalah inisiatif DPR. Hasto menyebut, pihaknya membuka dialog dengan siapapun mengingat banyaknya polemik dimasyarakat terkait rancangan undang-undang tersebut. Dia memastikan, RUU HIP saat ini masih berupa rancangan, sehingga bisa diubah. “Maka dengan adanya RUU yang kami usulkan, PDI Perjuangan tentu saja membuka dialog. Kami selalu bermusyawarah, PDI Perjuangan bukan partai yang menang-menangan. Dibakar kantornya saja kita menempuh jalur hukum,” katanya. Hasto menyatakan itu dalam webinar berjudul “Jas Merah: Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah, Ciptakan Sejarah Positif Bagi Bangsa” dalam Rangka Peringatan Bulan Bung Karno 2020, Minggu 28 Juni 2020 malam. Meski begitu, lanjutnya, selama ini ada pihak-pihak yang menunggangi isu RUU HIP dengan menjadikan PDIP sebagai partai yang ingin merubah Pancasila menjadi Ekasila dan Trisila. “Tidak etis untuk mengatakan bahwa trisila atau ekasila bukan usulan dari PDI Perjuangan. Tetapi kita melihat bahwa itu dulu adalah suatu gagasan otentik dari Bung Karno,” ujarnya. Kata dia, gagasan Ekasila dan Trisila muncul saat Ketua BPUPKI Radjiman Wedyoningrat meminta Bung Karno untuk menyampaikan gagasannya terkait dengan rencana dasar negara Indonesia. Kemudian, Bung Karno mengajukan tiga alternatif, yaitu, pancasila, trisila atau ekasila yang merupakan intisari kepribadian bangsa Indonesia yakni gotong-royong. “Tetapi itu adalah suatu perjalanan sejarah kita sebagai bangsa. Untuk itu hendaknya jangan ditunggangi kepentingan politik, karena PDIP, kita yang paling kokoh dalam jalan Pancasila itu. Kita enggak mungkin merubah Pancasila karena itu digali Bung Karno,” terangnya. Menurut Hasto, PDIP setuju agar nomenklatur RUU HIP diubah menjadi RUU Pembinaan Ideologi Pancasila (PIP). Hal ini untuk mengatur dan memperkuat Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). “Terkait dengan RUU HIP, PDIP setuju untuk dirubah menjadi RUU Pembinaan Ideologi Pancasila. Mengapa? yang namanya pramuka saja ada UU-nya, arsip nasional ada UU, BNN ada UU. Masa kita tidak jaga ideologi yang otentik digali dari bumi Indonesia,” tegasnya. Belakangan ini, RUU HIP menjadi polemik sejak beberapa hari terakhir. Ada beberapa poin yang dipersoalkan sejumlah pihak. Pertama, TAP MPRS No. XXV tahun 1966 tentang Pelarangan Partai Komunis Indonesia dan Ajaran Komunisme, Marxisme, Leninisme tak dijadikan peraturan konsideran. Sejumlah fraksi partai politik menilai TAP MPRS itu perlu dimasukkan dalam bagian menimbang. Kedua, ada pasal dalam RUU HIP yang mengatur tentang Trisila dan Ekasila. Sebagian pihak merasa Pancasila dikerdilkan, sehingga menolak keberadaan pasal tersebut. Kelompok yang menolak RUU HIP itu sempat berunjuk rasa di depan Gedung DPR, Jakarta pada Rabu (24/6/2020). Mereka mendesak untuk ungkap siapa yang mengusulkan rancangan yang dianggap bermasalah tersebut. Sebelum adanya pernyataan Hasto, selama ini fraksi-fraksi di DPR RI, terutama di Badan Legislasi (Baleg), enggan mengungkap fraksi yang mengusulkan aturan itu. Mereka hanya menyebut RUU HIP adalah inisiatif DPR. Anggota Panitia Kerja RUU HIP dari Fraksi Partai Demokrat Herman Khaeron sebelumnya juga sempat menyebut Fraksi PDIP di DPR RI sebagai inisiator rancangan perundangan itu. Sejauh ini, pemerintah juga meminta pembahasan RUU HIP usulan DPR agar ditunda. Namun, kelompok penolak menyatakan, pembahasan RUU HIP itu harus dihentikan, tidak perlu ada penundaan, apapun alasannya! Tapi, ternyata masih ada pihak tertentu yang tetap ingin melanjutkan pembahasan RUU HIP. Qubah Putih Wartawan senior Edy Mulyadi mengungkap adanya upaya tersebut. Pertama, adalah Raker Komisi III DPR RI dengan pemerintah yang diwakili Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, ternyata, tidak mencabut RUU HIP yang ditolak rakyat, khususnya umat Islam dari program legislasi nasional (Prolegnas) 2020. Kedua, ada operasi ‘Qubah Putih’ yang menyasar petinggi Majelis Ulama Indonesia (MUI) daerah, baik tingkat kabupaten/kota maupun kecamatan. “Dengan dukungan dana nyaris tak terbatas, orang-orang PKI ingin menggembosi MUI di daerah-daerah dengan iming-iming uang dan berbagai fasilitas, bahkan ancaman-ancaman,” demikian disampaikan Edy Mulyadi dalam video pendeknya, Minggu (12/7/2020). Menurut Edy, penolakan umat Islam yang terjadi di hampir seluruh wilayah, ternyata tidak didengar oleh pemerintah. Mereka masih mau berkelit dengan mengganti istilah dari RUU HIP berubah menjadi RUU PIP (Pembinaan Ideologi Pancasila). “Mau diganti dengan apa pun, umat Islam tetap menolak. Karena ini akan menjadi pintu masuk atau media bagi komunis untuk tampil formal,” tambahnya, seperti dikutip Duta.co, Minggu (12/7/2020). Kecurigaan Edy bahwa pemerintah dan DPR RI ‘main api’, rasanya tak berlebihan. Buktinya, di saat agenda DPR mencabut sejumlah 0RUU dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2020, RUU HIP ternyata aman-aman saja. Wakil Ketua Baleg DPR RI Willy Aditya menyampaikan hampir seluruh fraksi mengusulkan pencabutan RUU yang mereka bahas. Sebab mereka merasa tak akan bisa merampungkan pembahasan hingga batas akhir bulan Oktober 2020. Komisi I DPR misalnya, mengajukan pencabutan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber serta RUU Penyiaran. Mereka akan fokus merampungkan RUU Perlindungan Data Pribadi tahun ini. Lalu komisi II DPR RI mencabut RUU Pertanahan. Komisi IV DPR RI juga berniat mencabut RUU Kehutanan dan RUU Perikanan. Komisi VIII DPR RI mengajukan pencabutan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Adapun Komisi X DPR RI hendak mencabut RUU Pramuka. Sementara Komisi XI DPR RI juga berencana menunda RUU Bea Meterai dan RUU Fasilitas Perpajakan. Ironisnya, di sini RUU HIP masih menggantung meski sudah menuai sejumlah aksi protes dalam beberapa pekan terakhir. Menurutnya, kader PKI paham bahwa halangan mereka adalah umat Islam. Apalagi faktanya, penolakan umat Islam dan rakyat Indonesia terhadap RUU HIP terjadi sangat massif di mana-mana. PKI paham betul, ganjalan utama RUU ini ada pada umat Islam. “Maklumat MUI Pusat dan MUI 34 Provinsi yang menolak RUU ini, benar-benar jadi energi bagi umat dan rakyat untuk menolak dan melawan. Itulah sebabnya PKI kini melancarkan operasi Qubah Putih untuk mendekati MUI-MUI Kabupaten/Kota bahkan Kecamatan.” Edy mengingatkan agar umat dan rakyat terus waspada. Jangan sampai lengah. Khusus untuk para pengurus MUI di daerah, jaga ghirah perjuangan dan tetap istiqomah. Sekali saja kalian melenceng, akan jadi catatan buruk di mata rakyat, dan tentu saja, di hadapan Allah SWT. “Kalau kemudian ada beda sikap dengan MUI pusat, berarti masuk angin. Mohon maaf kiai, ustdaz, kalau kemudian secara sumir mendukung HIP, saya tidak syu’udhon, operasi qubah putih berhasil mengamankan kalian,” ungkap Edy. “Ini catatan amat buruk bagi umat dan dalam pandangan Allah,” tegas Edy Mulyadi yang juga Sekretaris Jenderal Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama. Legal Opinion Ahli Hukum Pidana Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH menulis Legal Opinion terkait dengan RUU HIP yang diusulkan oleh PDIP tersebut. Menurutnya, Pasal 14 ayat 1 UU Peraturan Hukum Pidana menunjuk pada adanya suatu perbuatan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong. Berita bohong ini terkait dengan keberadaan Keadilan Sosial yang disebutkan dalam RUU HIP sebagai sendi pokok Pancasila. “Padahal yang menjadi sendi pokok adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal ini memang termasuk delik materil yang mensyaratkan harus adanya keonaran di kalangan masyarakat,” tulis Abdul Chair Ramadhan. Faktanya, pengusulan RUU HIP sebagai hak inisiatif DPR telah menimbulkan keonaran di kalangan masyarakat secara meluas. Berbagai Ormas besar seperti MUI Pusat dengan MUI Daerah, PB NU, PP Muhammadiyah dan lain-lainnya telah menyatakan sikap penolakan dan meminta dihentikannya pembahasan RUU a quo. Kesemuanya itu menunjukkan fakta terjadinya kegaduhan/kegemparan yang demikian sangat. Hal ini dibuktikan dengan berbagai aksi demontrasi yang demikian meluas di berbagai wilayah dalam rentang waktu yang cukup lama. Pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Peraturan Hukum Pidana menentukan perbuatan “dengan sengaja”. Hal ini bermakna terjadinya keonaran melingkupi tiga corak (gradasi) kesengajaan yakni “dengan maksud”, “sadar kepastian” atau “sadar kemungkinan”. Ketiga corak kesengajaan itu bersifat alternatif. Pada suatu kondisi, timbulnya akibat berupa keonaran walaupun tidak dikehendaki, namun menurut doktrin harus dipertanggungjawabkan secara hukum pidana. Tidak dikehendakinya akibat yang berujung pertanggungjawaban pidana menunjuk pada corak kesengajaan sadar kepastian atau sadar kemungkinan. Perihal dengan sengaja ini juga berlaku pada Pasal 156a huruf a KUHP. Karena itu, semua pihak yang terlibat dalam pengusulan RUU HIP harus bertanggungjawab. Walaupun RUU HIP telah dihentikan/dibatalkan dari Prolegnas, namun hal tersebut tidaklah menghilangkan pertanggungjawaban pidana terhadap pihak-pihak terkait. “Terutama Partai pengusul dan aktor intelektualnya,” tegasnya. Mereka harus bertanggung jawab secara pidana! Penulis adalah Wartawan Senior
Sekarang Waktu Yang Tepat Untuk Bubarkan OJK
by Ahmad Suryono SH.MH. Jakarta FNN – Ahad (12/07). Saat menginisiasi Permohonan Uji Materi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Tahun 2014 di Mahkamah konstitusi (MK), banyak pihak yang belum percaya dengan apa yang kami perjuangkan. Terutama yang terkait Supremasi Absolut OJK yang berpotensi disalahgunakan. Supremasi itu berupa kewenangan yang sangat mutlak di satu tangan. Dimulai dari Pengaturan, Pengawasan, dan Penegakan Hukum di Industri Keuangan. Barulah enam tahun kemudian terbukti bahwa kewenangan sangat mutlak ini tidak dibarengi dengan protokol pengawasan internal yang memadai. Bagaimana mungkin praktik kotor, licik dan culas di asuransi yang jelas-jelas melanggar, dapat dengan mudah lolos dari pengawasan OJK? Boleh percaya, boleh juga tidak. Namun ini nyata terjadi. Bahkan andaikan OJK telah menilai praktik kotor asuransi tersebut bersalah dan melanggar hukum, mengapa OJK tidak berdaya mencegah? Apakah mungkin ada mekanisme hubungan kelembagaan di internal OJK yang memang bermasalah? Sehingga menjadi celah, serta luput untuk tidak diatur? Setidaknya ada tiga topik yang relevan untuk dibahas dan menjadi alasan mengapa pembubaran OJK menadji kebutuhan yang mendesak. Pertama, OJK secara konseptual gagal. Kasus Jiwasraya menunjukkan ada lubang terkait kewenangan pengawasan, dan atau mekanisme self control terhadap mekanisme pengawasan tersebut di internal OJK. Jadi, yang bermasalah atau sumber permasalahan itu adanya di OJK. Bukan di luar OJK. Jika memang pengawasan telah belangsung dengan baik dan proper, maka secara teori kasus Jiwasraya tidak mungkin terjadi. Jikapun terjadi, seharusnya terdapat pertanggungjawaban sistemik. Yang bertanggung jawab itu, bisa sampai kepada pengambil keputusan tertinggi, yaitu Dewan Komisioner. Faktanya, hingga detik ini hubungan koordinasi dan pengambilan keputusan tersebut menjadi putus. Keputusan itu seolah-olah terhenti hanya di tersangka Fahri Hilmy saja. Dewan Komisioner OJK sepertinya tidak punya kesalahan sedikitpun atas skandal perampokan ini. Yang lebih parah lagi. Jika memang secara konseptual, pengawasan terintegrasi yang selama ini menjadi senjata pamungkas OJK hanyalah omong kosong. Hanya utopia yang memang secara natural tidak mungkin diatur dan diawasi. Kalau seperti ini adanya untuk apa lagi kelembagaan OJK dipertahankan lagi? Kedua, terdapat celah protokol pengawasan internal yang tersumbat. Celah ini nampak nyata karena yang ditetapkan tersangka hanyalah bawahan. Berkaca dari kasus Bank Century, KPK setidaknya progresif dengan memanggil (berkali-kali) anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) yang terlibat dan ikut dalam pengambilan keputusan bailout Century. Jika memang kejahatan Jiwasraya hanya dilakukan oleh pejabat setingkat Kepala Departemen, maka patut dipertanyakan alarm system internal di OJK. Sejauh mana bisa alarm tersebut bisa mendeteksi potensi kejahatan pegawai internal mereka? Bukan tidak mungkin, di bagian lain dari OJK, juga terjadi hal serupa. Inilah waktunya untuk OJK dibubarkan. Ketiga, konsep independensi OJK yang salah kaprah. Filosofi independensi yang digaungkan oleh OJK akan sangat kontradiktif. Alasanya, karena OJK masih saja menjadi tukang pungut iuran. OJK masih mengambil kutipan dari pelaku usaha yg berpotensi mengurangi independensi. Lebih parah lagi, independensi yang dipraktekkan oleh OJK adalah independensi yang mau mengatur dirinya sendiri. OJK memang bebas, namun tidak mau diatur dan ditertibkan oleh pihak luar. Tidak mau diawasi. Tidak mau ada mekanisme self control yang transparan. Maunya berbuat sesuka hati. Organisasi sekelas OJK seharusnya dipatuhi dan disegani oleh para pelaku usaha. Tujuannya, agar OJK mampu menegakkan visinya untuk mengintegrasikan pengaturan dan pengawasan industri keuangan di satu tangan. Kalau masih jadi tukang pungut iuran, bagaimana mungkin mau disegani? Jika integritas masih belum terbentuk karena waktu, maka harus dibangun dengan sistem dan mekanisme kontrol yang ketat. Mekanisme yang tidak memungkinkan pelanggaran dan kejahatan dilakukan oleh pengawas OJK. Jangan sampai pelaku malingnya adalah satpam penjaga rumah sendiri. Jika ini yang terjadi, maka sudah waktunya untuk OJK dibubarkan. Oleh karena itu pembubaran OJK menjadi sangat relevan dan menemukan momentumnya, maka sekarang adalah waktu yang paling tepat. Membubarkan OJK tidaklah membuat negeri ini kolaps kok. Mending sekarang dibubarkan, daripada OJK berubah menjadi serigala baru dalam rimba industri keuangan nasional kita. Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jember dan Pemohon Uji Materi UU OJK pada Tahun 2014.
Mahkamah Kontitusi Harusnya Bagian Dari Mahkamah Agung (Bag-1)
by Prihandoyo Kuswanto Jakarta FNN – Ahad (12/07). Bagi pemerhati ketatanegaraan dan hukum, memang ada yang ganjil sejak UUD 1945 diamandemen trahun 2002. Kemudian lahir Makamah Konstitusi (MK). Padahal di dalam UUD 1945 yang asli, pemegang kedaulatan hukum tertinggi adalah Makamah Agung (MA). Sejak itulah, terjadi dua matahari di dalam kekuasaan hukum. Kenyataan ini tentu saja menjadikan hukum tidak lagi memberi kepastian hukum kepada para pencari keadilan . Setelah diamandemennya UUD 1945, memang terjadi karut-marut di dalam ketatanegaraan kita. Belum selesai polemik terkait Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasil (RUU HIP) yang dengan sengaja terjadi jungkir-balik Tata Urutan Hukum, Pancasila yang menjadi sumber dari segala sumber hukum dibalik menjadi hanya UU Haluan Ideologi Pancasila. Peraturan perundang-undangan, menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011) adalah “peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan”. Pada Jum’at 3 Juli 2020 lalu, Mahkamah Agung (MA) mengunggah hasil putusannya yang bisa menimbulkan kembali perdebatan dan polemik tentang hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 lalu. Keputusan tersebut sesungguhnya bukan keputusan yang baru kemarin. Namum baru dipublikasikan dalam website resmi MA pada 3 Juli lalu. Putusan Mahkamah Agung No 44 P/HUM/2019 tertanggal 28 Oktober 2019 tersebut, tentu saja berpotensi menimbulkan polemik mengenai keabsahan hasil Pilpres 2019. Intinya putusan itu menganggap Pasal 3 ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pangkal persoalannya mengenai pasangan capres-cawapres yang hanya dua orang. Peraturan KPU mengisi celah ruang kosong yang tidak diatur oleh UU Pemilu. Sehingga tanpa perlu ada putaran kedua dan tanpa mempertimbangkan syarat kemenangan suara dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah provinsi di Indonesia, KPU menetapkan pasangan capres-cawapres dengan suara terbanyak sebagai pemenangnya. Aturan ini ternyata dibatalkan oleh MA. Polemik tidak bisa dilantiknya Jokowi sebagai yang dimenangkan pilpres oleh KPU. Ternyata tidak serta merta bisa dilantik sebab telah berhadapan dengan UUD 1945. Mau direkayasa bagaimanapun jelas tidak mungkin. Kecuali dengan mengganti negara hukum menjadi negara kekuasaan. Apakah itu dimungkinkan? Ternyata UUD 1945 ditabrak dan ditafsir lain oleh KPU sesuka hatinya. Padahal Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 berbunyi: (i) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum; dan (ii) dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Ini adalah hasil dari amandamen UUD 1945, khususnya pasal tentang pemilihan presiden/wakil presiden. Melihat butir 2, secara implisit dapat dikatakan Jokowi belum bisa dinyatakan sebagai pemenang. Karena tidak suara terbanyak 17 propinsi, dan di beberapa propinsi perolehan suara kurang dari 20%. Ada yang berpendapat kalau sudah diputuskan MK melalui gugatan seseorang. Bahwa butir dua pasal 6A ayat 3 tidak berlaku jika paslon cuma dua. Kalau betul MK telah memutus sesuai paragraf di atas, maka keputusan MK adalah sah. Tanpa merubah isi dan norma dari pasal-pasal tersebut? Kalau sah, berarti kedudukan MK di atas UUD 1945. Padahal yang berhak merubah UUD 1945 adalah MPR. Kalau begitu, kedudukan MK di atas UUD 1945. Berikut petikan berita, bahwa MK tidak berhak merubah UUD 1945. Catat itu baik-baik. Merubah UUD 1945. Bukanmerubah undang-undang. Berita Detik.com 5 Maret 2014 berjudul “Bisakah UUD 1945 Diubah oleh MK? Ini Jawaban Calon Hakim Konstitusi” Calon hakim konstitusi Yohannes Usfunan yang mendapat giliran terakhir dalam uji kepatutan dan kelayakan di Komisi III DPR. Yohannes mendapat pertanyaan tentang bisa atau tidaknya UUD 1945 diubah oleh hakim MK? “Bisa tidak hakim MK mengubah UUD 1945?” tanya anggota tim pakar Komisi II DPR Saldi Isra di Gedung DPR Senayan pada Rabu (5/3/2014). Yohannes lalu menjawab bahwa menurut pasal 37 UUD 1945, pengubahan bisa dilakukan, dan diserahkan kepada MPR. Bukan kepada MK. Saldi yang tak puas, kembali mencecar Yohannes. “Secara teoritis bagaimana? Bisa tidak MK mengubah UUD 1945?” tanya Saldi lagi. “Secara diam-diam bisa. Secara implisit bisa ada perubahan. Tetapi secara formal tidak bisa, karena itu wewenang dari MPR,” jawab Yohannes. Jawabannya itu memunculkan pertanyaan dari Saldi. “Bagaimana itu caranya diam-diam?” tanya Saldi sambil menahan tawa. “Maksudnya implisit. Suatu putusan mengubah UU,” jawab Yohannes yang langsung dipotong Saldi. “UUD lho, bukan UU,” katanya tegas. “Berarti tidak boleh. Saya tidak temukan teorinya,” jawab Yohannes yang kemudian kembali dicecar Saldi. “Bapak sudah baca buku Konstitusi-Konstitusi Modern dari K.C Wheare?” tanya Saldi. Ternyata Yohannes belum membacanya. “Lho, itu kitab yang harus dibaca!” kata Saldi mengeluhkan Yohannes. Komisi III melaksanakan fit and proper test untuk calon hakim MK sejak Senin (3/3/2014) hingga hari ini dengan didampingi 8 orang tim pakar. Sebanyak 11 orang calon hakim diseleksi untuk mencari pengganti Akil Mochtar yang ditangkap KPK dan Harjono yang akan pensiun. Semakin rumit pilpres kali ini. Mangkanya Jokowi berbalik arah untuk menggandeng Prabowo. Mengapa? memang disamping tidak mempunyai legitimasi, juga tidak bisa dilantik tanpa power sharing dengan Prabowo. Jika mengacu pada pilpres, harusnya Prabowo yang menang. Sebab persyaratan menang tercukupi tapi sayang di rekayasa untuk kalah oleh KPU. Tetapi ternyata ada persoalan yang lebih urgent dibanding dengan sekedar memenangkan angka dengan kecurangan Terstruktur Sistematis dan Masif (TSM). Rupanya “becik ketitik oloh ketoro” berlaku dalam hukum pilpres. “Becik Ketitik Olo Ketoro“ berarti segala sesuatu perbuatan yang baik pasti akan menuai kebaikan. Sebaliknya, setiap perbuatan buruk dan jahat pastinya akan terkuak juga di kemudian hari. Sopo Sing Salah Bakal Saleh = orang yang berbuat salah akan memetik buah jeleknya. Lama kelamaan perbuatan itu akan ketahuan pula. Jadi, kecurang yang dilakukan secara terstruktur, tersistem dan masif akan terbuka walau ditutup-tutupi. “Gusti Alloh mboten sare”. Ungkapan nasehat yang sederhana ini adalah bentuk dan wujud dari ungkapan keikhlasan terhadap keadaan dan kondisi yang pasrah dengan ikhlas. Tentu saja tidak ada didunia ini tanpa sepengetahuan sang khaliq, termasuk sehelai daun kiring yang memang sudah waktunya jatuh. Bahwa benar putusan MA Nomor 44 P/HUM/2019 tertanggal 28 Oktober ini tidak berlaku surut (non-retroaktif). Keputusan KPU menetapkan Jokowi-Ma’ruf Amin sebagai pemenang itu tanggal 21 Mei 2019. Lima bulan sebelum keluarnya putusan dari MA. Kalau kita mendalami persoalan ini, maka tentu saja semakin tidak adanya kepastian hokum. Apa sudah betul, bahwa keputusan KPU itu tidak bisa dianulir oleh MA .Kalau begitu apa KPU lebih tinggi dari pada MA? Semakin bertambah ruwet lagi masalahnya. Repotnya, Pasal 416 UU Nomor 7/2017 itu merupakan norma yang disadur dari Pasal 6A ayat (3) UUD 1945. Artinya, ada kemungkinan UU Pemilu digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK), selama Pasal 6A UUD 1945 tidak diamandemen untuk mengakomodasi Pilpres hanya diikuti dua pasangan. Sayangnya celah hokum itu sudah tertutup. Sebenarnya dengan adanya dua putusan MK masing-masing No. 50/PUU-XII/2014 dan No. 39/PUU-XVII/2019, apakah MK bisa merubah norma yang ada di UUD 1945? Disinilah terjadi dua Matahari Kembar persoalan hokum di negeri ini. Antara MA dan MK sering mempunyai keputusan hukum yang berbeda. Terlepas dari argumen hukum yang digunakan oleh berbagai pakar, tetapi terjadinya dua Matahari Hukum ini berpotensi menimbulkan keruwetan dan ketidakpastian hukum bagi pencari keadilan. Apakah Makamah Konstitusi lebih rendah dibanding Makamah Agung? atau sebaliknya, Makamah Konstitusi lebih tinggi dari Makamah Agung ? atau Makamah Konstitusi dan Makamah Agung sederajat? Maka potensi kerancuan hukum dan ketidakpastian hukum pasti akan terjadi. Seharusnya Makamah Konstitusi itu bagian dari Makamah Agung. Bagian dari Kamar Konstitusi di Mahkamah Agung. Sama dengan Kamar Pidana, Kamar Perdata, Kamar Agama dan Kamar Militer. Praktek seperti ini yang berlaku hampir sebagian besar negara di dunia. Jadi tidak berdiri sendiri seperti Indonesia. Bersambung.
Pejabat Pemulihan Ekonomi Diburu Risiko Hukum
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Janganlah engkau menjadi lampu yang membakar diri lalu menerangi orang lain. Keluarkan kecintaanmu terhadap dunia karena aku tak akan menyatukan antara cinta dunia dan cinta pada-Ku pada hati yang sama (Al-Ghazali). Jakarta FNN- Rabu (08/07). Pandemi corona masih terus menggerogoti daya tahan Indonesia. Orang sakit dan mati terus saja terjadi dari hari ke hari, sejauh ini. Akibat non klinis, terutama bidang ekonomi yang di bawanya pun luar biasa mengerikan. Sejumlah ekonom kredibel telah menemukan kenyataan bahwa perekonomian nasional terus memburuk. Orang kehilangan pekerjaan dan susah cari makan terus saja muncul. Hukum dan politik juga sama. Berantakan di sana-sini. Hukum menjadi andalan terhebat untuk mengepung orang-orang kritis. Kritik terhadap Presiden, disambut aparatur hukum dengan penangkapan dan penahanan. Hebatkah ini? Mungkin iya. Tetapi di dalamnya juga menyemburkan sisi lain yang mengerikan. Sisi itu adalah keangkuhan politik. Jebakan Perpu Administrasi negara, semenjak krisis ekonomi tahun 1929, dikenal sebagai unit terkompleks dalam organisasi negara. Dan administrasi keuangan negara, muncul sebagai sub-unit dalam administrasi pemerintahan terkompleks. Kompleksitas itu, mungkin ada yang tidak menyukainya. Itu merupakan konsekuensi langsung dari keharusan politik. Uang yang dikelola oleh kementerian dan lembaga misalnya, jelas. Uang itu bukan milik pribadi Presiden, Menteri, Sekjen, Dirjen, Direktur, dan Deputi dan lainnya. Bukan. Ini uang negara. Setidaknya bukan uang pribadi semua aparatur di dalam kementerian itu. Konsekuensinya pengeloaan dan tanggung jawab harus jelas pada semua aspeknya. Kejelasan tanggung jawab, tak bisa dikurangi dalam keadaan apapun dan dengan alasan apapun. Memang tatanegara dan administrasi negara kuno dan konyol, menyodorkan jalan keluar dalam mengatasi soal ini. Jalan keluarnya adalah mengaitkan tindakan yang melampaui batas hukum dengan tujuan dan manfaat besar tindakan itu. Esensi doktrin kuno itu adalah dalam keadaan darurat, aparatur negara bisa mengambil tindakan administrasi melampaui batasan hukum yang tersedia. Untuk mencapai tujuan dan manfaat yang lebih besar. Sesederhana itukah? Tidak juga. Mengapa? Manfaat itu harus dipertalikan secara ketat dengan keadaan yang nyata, dan obyektif. Keadaan nyata itu tidak bisa diperoleh dengan cara dibayangkan atau dirancang secara hipotetik. Apalagi dikarang-karang. Keadaan nyata itu harus memiliki bentuk obyektif –terlihat secara nyata. Dapat diukur dan dicek - oleh semua pihak. Pembaca FNN yang budiman, administrasi negara, setidaknya administrasi pemerintahan, dilaksanakan berdasarkan hokum. Bukan berdasarkan perasaan. Mengapa pakai hukum, bukan perasaan? Hukum dapat dicek. Sedangkan perasaan tidak bisa dicek. Hukum mengandalkan obyektifitas. Sementara perasaan mengandalkan subyektifitas. Obyektifitas disajikan oleh pikiran rasional untuk menghadirkan patokan bersama. Patokan bersama menjadi cara orang-orang rasional menyerukan agar orang memiliki harapan, atau berpengharapan. Karena hukum bekerja berdasarkan norma, yang semua orang dapat mengenal dan membacanya. Perasaan tidak dapat dikenal. Tidak menghadikan obyektifitas. Tuga tidak menghadirkan patokan bersama. Tidak. Perasaan seseorang berbeda dengan perasaan orang lain. Disebabkan tidak dapat dijadikan patokan bersama, maka orang tidak memiliki alasan untuk berpengharapan. Suka atau tidak, perasaan dapat berubah-ubah. Tergantung pada suasana hati dan keadaan. Perasaan justru menjadi pangkal lahirnya kolusi, nepotisme yang menjadi terdekat ke korupsi. Perpu No.1/2020 Jebakan Berbahaya Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang judulnya panjang sekali itu, pantas dibicarakan dalam konteks di atas. Perpu ini, sepintas terlihat hebat. Tetapi sejatinya justru menyediakan begitu banyak jebakan berbahaya. Tidak tersedia kepastian yang diperlukan menurut prinsi-prinsip hukum untuk dijadikan dasar yang kokoh dan tak meragukan tindakan administrasi negara, merupakan salah satu jebakan itu. Pasal 11 ayat (3) Perpu misalnya, layak disodorkan sebagai ilustrasi adanya ketidakmemadaian kepastian hukum. Dua soal hukum muncul dari pasal ini. Pertama, apa parameter hukum untuk; a penempatan dana. b. investasi atau c. penjaminan? Kedua, siapa yang menentukan, dalam makna memutus satu di antara tiga tindakan yang dimungkinkan itu? Ketiga, sahkah satu diantara tiga hal dalam pasal di atas dilakukan oleh, misalnya Menteri Keuangan atau Menteri BUMN? Bila satu di antara dua menteri ini melakukan tindakan itu dianggap sah, apa dasarnya? Perpu ini sebagai dasarnya? Tidak. Mengapa? Terminologi pemerintah dalam pasal ini (pasdal 11) Perpu tidak menunjuk menteri. Terminologi ini menujuk Presiden. Dapatkah Menteri melakukan tindakan itu? Bisa, tetapi bersyarat. Syaratnya harus dibuat peraturan tertentu. Peraturan itu harus secara spesifik menguasakan kewenangan Presiden kepada Menteri untuk melakukan tindakan dalam pasal 11 itu. Ini menarik. Ini hanya bisa dilakukan dengan satu bentuk hukum spesifik yang menjabarkan atau mengatur kewenangan, lengkap dengan ruang lingkupnya. Sayangnya PP Nomor 23 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Perekonomian Nasional, sebut saja begitu mengingat judul PP kelewat panjang, juga tidak menunjuk mengatur menteri siapa yang bertanggung jawab atau diberi kuasa oleh Presiden melakukan tindakan itu. Persis Perpu, PP ini juga menggunakan terminologi umum, yakni pemerintah. Seharusnya PP ini berisi pengaturan kuasa kewenangan itu secara spesifik kepada satu atau dua menteri. Bila diberi kuasa kepada dua menteri, maka harus diatur batas kewenangan kedua menteri itu, serta hubungan kewenangan kedua menteri itu. Ini telah tidak dilakukan. Takut itu Bagus Takut atas konsekuensi hukum yang muncul dikemudian hari setelah program pemulihan ekonomi nasional dilaksanakan, hemat saya itu bagus. Bagus, karena dua hal; Pertama, tanggung jawabn administrasi negara itu bersifat individual. Kedua, baik Perpu maupun PP sama-sama punya kelemahan yang sangat fatal. Baik Perpu maupun PP sama-sama tidak menyediakan skema kewenangan dan syarat-syarat hukum yang bersifat teknis. Perpu dan PP berbicara dengan bahasa yang sangat umum. Bahasa yang umum justru menghasilkan ketidakpastian. Ketidakpastian inilah yang membahayakan setiap pejabat. Penggunaan bahasa yang umum, mungkin dipilih sebagai cara menyediakan ruang diskresi sebesar mungkin kepada menteri, dirjen, deputi dan direktur. Diskresi bukan barang terlarang dalam penyelenggaraan administrasi negara. UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan membenarkan aparatur administrasi negara mengambil diskresi. Tetapi UU ini mengatur secara spesifik syarat, tata cara dan tujuan diskresi. Disebabkan diskresi diikatkan pada syarat, tata cara dan tujuan, maka diskresi tidak bisa begitu saja digunakan. Syarat cukup jelas digariskan dalam UU, juga tujuannya. Syarat tidak menyediakan ruang tafsir. Tujuan memerlukan tafsir. Ketepatan tafsir tergantung pada ketepatan merumuskan tujuan. Ketepatan merumuskan tujuan bergantung pada ketepatan identifikasi terhadap keadaan nyata secara obyektif. Pasal 11 ayat (5) Perpu misalnya terlihat menyediakan ruang diskresi itu. Kata-kata penempatan dana dan/atau investasi dapat dilakukan langsung oleh pemerintah dan/atau lembaga keuangan, manajer investasi dan/atau lembaga lain yang ditunjuk. Soal hukum dibawah ini harus dibuat jelas. Soal-soal itu adalah: (a) bagaimana parameter untuik pemerintah memilih penempatan dana dan bagaimana parameneter pemerintah memilih investasi. (ii) Apa saja lembaga keuangan itu. Bank atau nion bank. Mengapa Bank dan mengapa non bank. (c) Apa parameter menunjuk menajer investasi. (d) Apa yang dimaksud dengan lembaga lain yang ditunjuk? Bisakah soal-sioal itu dipecahkan dengan diskresi? Bisa saja, sejauh pejabat itu tahu mendefenisikan, dalam arti memberi bentuk terhadap syarat diskresi. Juga tepat dalam mengidentifikasi keadaan, sehingga diskresi itu tidak mengaburkan tujuan diskresi. Rumit memang, dan jelas mengganggu kenyamanan kerja pejabat. Itu sebabnya logis pejabat merasa ketakutan dalam bertindak. Lain soalnya bila kriteria-kriteria atas soal-soal di atas diatur dalam PP Nomor 23 Tahun 2020. Sayangnya tidak. Itulah masalahnya. Suka atau tidak, soal-soal di atas itulah yang akan menajdi obyek pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab pejabat itu oleh BPK. BPK tidak mungkin tidak mempertanyakan, misalnya mengapa anda memilih bank, bukan non bank atau sebaliknya. Ini soal prosedur. Prosedur adalah cara memastikan kebenaran mengejar tujuan besar yang hebat itu telah dicapai dengan cara yang benar. Ini penting. Lebih dari segalanya. Prosedur juga menjadi pijakan utama, satu-satunya penegak hukum membangun konstruksi hukum tentang ada atau tidak niat melakukan perbuatan melawan hukum, sekaligus menyatakan ada atau tidaknya tindakan melawan hukum. Memeriksa dasar hukum atas tindakan itu, telah menjadi pekerjaan standar BPK dalam tindakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggu jawab atas keuangan negara. BPK akan selalu begitu. Itulah BPK. Hidung dan penciumannya akan diarahkan ke soal-soal itu. Penciuman profesionalnya akan menuntun BPK untuk terus bertanya mana dasar hukum untuk tindakan ini dan itu. Mereka, seperti biasa, akan meminta semua itu –dasar hukum dan data teknis- disediakan dan disajikan layaknya sajian makanan pembesar, selengkap mungkin diletakan di atas meja pemeriksaan. Prosedur-prosedur tindakan administrasi negara dalam merealisasikan program pemulihan perekonomian nasional, tidak bisa dikarang oleh pejabat. BPK akan selalu mau mendengar suara manis pejabat yang diperiksa. Tetapi semanis dan seindah apapun suara pejabat, tetap tak mengubah apapun. BPK tak usah dibuat tersipu dengan manisnya tujuan yang didendangkan pejabat. Tidak. BPK hanya perlu dibuat tersipu, riang dan gembira dengan meletakan Perpu, PP, Perpres, Kepres dan Kepmen di atas meja pemeriksaan. Pejabat, andai bisa, sajikan saja itu sebagai nanyian terindah di musim pemeriksaan BPK. Sekjen, Dirjen dan Irjen, juga Deputi dan Direktur, tak perlu mengarang indah lalu menulis karangan tentang tujuan, keadaan nyata dan dasar hukum. Sekjen, Dirjen dan Irjen, hanya perlu dan harus memeluk erat seerat pelukan Dia yang dicintai dengan dasar hukum yang kokoh, data yang valid dan obyektif. Itu saja. Hukum telah begitu terang melarang Sekjen, Dirjen, Irjen, Deputi dan Direktur menampilkan diri sebagai pahlawan. Hukum mengharus semua orang itu berpegang teguh pada hukum dan data obyektif. Hukum akan memburu siapapun pejabat, yang teridentifikasi mengabaikan hukum dan data obyektif dalam bertindak. Mengerikan. Sekarang BPK belum akan masuk. Tahun anggaran belum berakhir. Hukum belum memungkinkannya. Itu jelas. Tidak mungkin saat ini pemerintah membuat Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP). Tetapi semua akan berubah segera setelah tahun anggaran berakhir. Sesaat setelah itu barulah hukum memungkinkan BPK masuk memeriksa. Sekjen, Irjen, Dirjen, Deputi dan Direktur hanya perlu tahu bahwa hukum terlalu buta untuk bisa mengenal kata-kata pahlawan. Bertekadlah sekuat yang bisa, dan nyatakanlah sekuat orang beriman bahwa tuan-tuan tak sudi jadi pahlawan kesiangan. Pastikanlah bahwa yang tuan-tuan besar rindukan dan inginkan hanyalah patuh pada hukum. Hindarkanlah sekuat mungkin kekeliruan-kekeliruan kecil. Sadarilah sedini mungkin kekeliruan yang mungkin terjadi. Akhir yang indah, dihasilkan oleh kemauan mengenal kekeliruan disaat ini. Esok yang indah bersama anak istri dan cucu-cucu tersayang dihasilkan dari takut pada hukum disaat ini. Bathin tak boleh tersiksa dihari esok. Tak usahlah jadi pahlawan, bila hari-hari esok terus diintai kekeliruan kecil saat ini. Takut pada hukum, sejatinya bagus untuk semua aspek untuk tuan-tuian. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate
Skandal Politik Pilpres 2019 Dibuka Mahkamah Agung
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Selasa (07/07). Tayangan video youtube dari konsultan media dan politik, yang juga penulis wartawan senior dari Forum News Network (FNN.co.id) Hersubeno Arief, cukup mengejutkan. Bahwa pada tanggal 28 Oktober 2019, Majelis Hakim Mahkamah Agung telah memutuskan, dengan mengabulkan permohonan uji materiel Bu Rachmawati Soekarnoputri cs. terhadap Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019 tentang penetapan pemenang Pilpres 2019. Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019 inilah yang digunakan oleh KPU sebagai alasan hukum untuk menetapkan Jokowi-Ma’ruf Amin sebagai pemenang Pilpres 2019. Anehnya, Putusan Mejelis Hakim Agung Nomor 44 P/HUM/2019 yang diputus tanggal 28 Oktober 2019 tersebut baru diumumkan ke publik Jum’at tanggal 3 Juli 2020. Bertindak sebagai Majelis Hakim Agung adalah Dr. H. Supandi SH. M.Hum sebagai Ketua Majelis, dan Dr. Irfan Fachruddin SH. CN. dan Is Sudaryono SH. MH. sebagai anggota majelis. Putusan ini baru diupload di website Mahkamah Agung pada Jum’at 3 Juli 2019. Dampaknya, selain mengakibatkan kejutan di masyarakat, termasuk luar negara, jugamembawa dampak politik dan hukum. Putusan ini menjadi dugaan telah terjadinya skandal besar, berupa penutupan informasi punlik yang sangat penting. Adapun diktum penting dari Putusan Majelis Hakim Agung tersebut, antara lain pada butir 2 dan 3, yaitu : “2. Menyatakan ketentuan Pasal 3 ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia No 5 tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi dan Penetapan Calon dalam Pemilihan Umum, bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum”. “3. Menyatakan ketentuan Pasal 3 ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia No 5 tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi dan Penetapan Calon dalam Pemilihan Umum, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat ". Nah sangat jelas bahwa Penetapan Pasangan Jokowi Ma'ruf Amin sebagai Presiden/Wakil Presiden itu ditetapkan KPU berdasarkan Pasal 3 ayat (7) yang telah dinyatakan Mahkamah Agung "bertentangan dengan UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum" dan "tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat". Oleh karena itu status Jokowi-Ma'ruf Amin sebagai Presiden/Wakil Presiden tersebut menjadi "batal demi hukum" (nietigheid van rechtswege) atau sekurang-kurangnya "dapat dibatalkan" (vernietigbaar). Aada tiga skandal yang berkaitan dengan Putusan Mahkamah Agung No. 44 P/HUM/2019 ini, yaitu : Pertama, pengendapan sampai 9sembilan bulan putusan penting adalah suatu kejahatan yang sangat luar biasa. Diduga melibatkan banyak pihak. Mereka terdiri dari penyuruh (medeplichtige), pelaku (dader), dan turut serta (mededader). Mesti segera diusut oleh aparat hukum. Kedua, skandal korupsi. Bahwa iklim politik yang kapitalistik dan transaksional membuat dugaan kuat terjadinya korupsi suap atau gratifikasi pada pejabat di lingkungan Mahkamah Agung. KPK seharusnya mulai bergerak melacak skandal ini. Ketiga, ini adalah skandal politik. Presiden Jokowi bekerja dengan tingkat keabsahan yang diragukan. Paling kurang tanpa tanpa keabsahan hukum sebagai Presiden. Ini dapat "sudden death". Berhentikan dengan cepat. KPU mesti mencabut keputusan pemenang. Informasi penting yang nanti yang sangat signifikan juga bakal didapat dari pihak pemohon, yaitu Bu Rachmawati cs. Info penting itu untuk memulai pembongkaran skandal besar dalam proses politik di negeri ini. Keraguan sejak dini tentang kemenangan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin akan segera terjawab. Kebenaran akan terkuak. Putusan Mahkamah Agung menjadi sinyal bahwa kemenangan memang didapat dengan curang dan tidak legal. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Tinjauan Yuridis (2): Polisi Tidak Boleh Hentikan LP TAKTIS
Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Selanjutnya, Pasal 40 ayat 5 UU Parpol menunjuk pada keberadaan Parpol yang menganut dan mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham komunisme/Marxisme-Leninisme. Jadi, Pasal 40 ayat 5 UU Parpol terkait dengan Pasal 107e huruf a dan Pasal 107a UU Keamanan Negara sebagaimana disebutkan sebelumnya. Ketiga pasal itu tergolong delik formil, yakni perbuatan yang tidak mempersyaratkan/membutuhkan adanya suatu akibat tertentu. Kedua, Pasal 107d UU Keamanan Negara. Pasal ini merupakan delik pemberat atau delik spesialis dari Pasal 107a. Pada Pasal 107a atas perbuatan menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme tidaklah dimaksudkan untuk mengubah atau mengganti Pancasila. Pelaku hanya melakukan menyebarkan atau mengembangkannya. Tidak demikian halnya dengan Pasal 107d, pelaku menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme -Leninisme ”dengan maksud” mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar Negara. Sama halnya dengan Pasal 107a pembentuk UU menambahkan frasa ”dan atau melalui media apapun” mengandung pengertian yang luas. Menurut Abdul Chair Ramadhan termasuk dalam kaitan perumusan rancangan undang-undang (in casu RUU HIP). “Sepanjang dilakukan dengan maksud itu mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar Negara, maka Partai pengusul RUU HIP bisa dijerat dengan Pasal 107d,” ujar Abdul Chair Ramadhan. Pada tindakan mengubah atau mengganti Pancasila, maka kesengajaan sebagai maksud memang diarahkan guna mencapai tujuan yang dikehendaki. Perubahan dimaksud antara lain yang paling prinsip adalah perihal Ketuhanan Yang Maha Esa dan Keadilan Sosial. “Keadilan Sosial disebutkan dalam RUU HIP sebagai sendi pokok Pancasila (Pasal 6 ayat 1 RUU HIP). Dengan demikian, posisinya menggantikan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Tegasnya terjadi perubahan posisi (mutasi) sila,” tegasnya. Hal ini secara tidak langsung juga mengamandemen Pasal 29 ayat 1 UUD 1945, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, tergantikannya dengan “Negara berdasar atas Keadilan Sosial”. Dalam kaitan ancaman dan bahaya ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, maka terjadinya perubahan demikian memberikan peluang masuknya konsep Keadilan Sosial versi Sosialisme -Komunisme. Kemudian perihal ketuhanan yang berkebudayaan dalam RUU-HIP (Pasal 7 ayat 2 RUU HIP) melekat erat dengan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi yang kemudian terkristalisasi dalam Ekasila, yaitu gotong-royong. Walaupun pemahaman ini diambil dari pidato Bung Karno saat sidang di BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, namun itu tidak menjadi keputusan BPUPKI. Oleh karenanya, penggunaan istilah ketuhanan yang berkebudayaan adalah sama dengan merubah atau mengganti Pancasila (in casu Ketuhanan Yang Maha Esa). Pasal 107d juga tergolong delik formil. Ketiga, Pasal 107e huruf b UU Keamanan Negara menunjuk pada perbuatan mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan kepada organisasi, baik di dalam maupun di luar negeri; Yang diketahuinya berasaskan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atau dalam segala, bentuk dan perwujudannya dengan maksud mengubah dasar negara atau menggulingkan Pemerintah yang sah. Sepanjang Parpol melakukan perbuatan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 107e huruf b, maka delik telah selesai. Delik ini tak memerlukan adanya suatu akibat atas hubungan dengan organisasi di luar negeri; “Yang diketahuinya berasaskan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Dengan demikian tak perlu menunggu terjadinya perubahan atas Pancasila sebagai dasar negara (delik formil),” ungkap Abdul Chair Ramadhan. Empat, Pasal 156a huruf a KUHP menunjuk pada rumusan RUU HIP yang mengandung sifat penodaan suatu agama. Penodaan pada suatu agama yang dianut di Indonesia adalah melakukan perbuatan yang oleh umat penganut agama yang bersangkutan dinilai sebagai menodai agama tersebut. Penodaan di sini mengadung sifat penghinaan, melecehkan atau meremehkan dari suatu agama (in casu Islam). Perbuatan konkrit dalam RUU HIP adalah mengganti kedudukan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dengan sila Keadilan Sosial. Sebagaimana bunyi Pasal 6 ayat 1 RUU HIP yang menyatakan sendi pokok Pancasila adalah keadilan sosial. Oleh karenanya, menempatkan sila Keadilan Sosial pada posisi sila pertama dan menempatkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa pada posisi yang paling bawah (sila ke-5). Dengan demikian, sila Ketuhanan Yang Maha Esa tidak lagi melingkupi, mendasari dan menjiwai sila-sila lainnya. Kemudian, Ketuhanan Yang Maha Esa digantikan dengan ketuhanan yang berkebudayaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat 2 RUU HIP. Rumusan demikian termasuk penodaan terhadap agama dalam hal ini terhadap Allah SWT. Selain itu, agama tidak termasuk dalam pembangunan nasional. Agama hanya menjadi sub-bidang dari pembangunan nasional disandingkan bersama rohani dan kebudayaan (Pasal 23 huruf a RUU HIP). Pembinaan agama sebagai pembentuk mental dan karakter bangsa dengan menjamin syarat-syarat spiritual dan material untuk kepentingan kepribadian dan kebudayaan nasional Indonesia dan menolak pengaruh buruk kebudayaan asing (Pasal 23 huruf a RUU HIP). “Rumusan demikian terkait dengan paham ketuhanan yang berkebudayaan. Agama hanya menjadi alat pembentukan mental dan kebudayaan,” tegas Abdul Chair Ramadhan. Kedudukan agama semakin termarginalisasi, hanya untuk mental dan kebudayaan. Pasal 1 angka 10 RUU HIP menyebutkan, “tata Masyarakat Pancasila yang berketuhanan”, tanpa sebutan, “Yang Maha Esa”. Tata Masyarakat Pancasila bertujuan membentuk Manusia Pancasila (Pasal 12 ayat 1 RU HIP). Ciri Manusia Pancasila disebut, “beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.” Pasal 12 ayat 3 huruf a RUU HIP. Frasa “menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab” telah mengalahkan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Agama Islam akan semakin termarginalkan, harus berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab. Pasal 156a huruf a KUHP juga termasuk delik formil. Kelima, Pasal 14 ayat 1 UU Peraturan Hukum Pidana menunjuk pada adanya suatu perbuatan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong. Berita atau pemberitahuan bohong ini terkait dengan keberadaan Keadilan Sosial yang disebutkan dalam RUU HIP sebagai sendi pokok Pancasila. Padahal yang menjadi sendi pokok adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal ini memang termasuk delik materil yang mempersyaratkan harus adanya keonaran di kalangan masyarakat. Padahal faktanya, pengusulan RUU HIP sebagai hak inisiatif telah menimbulkan keonaran di kalangan masyarakat secara meluas. Berbagai Ormas besar seperti MUI Pusat dengan MUI Daerah, PBNU, PP Muhammadiyah dan lain-lainnya telah menyatakan sikap penolakan dan meminta dihentikannya pembahasan RUU a quo. Kesemuanya itu telah menunjukkan fakta terjadinya kegaduhan/kegemparan yang demikian sangat. Hal tersebut dibuktikan dengan berbagai aksi demontrasi yang demikian meluas di berbagai wilayah dalam rentang waktu yang cukup lama. Pasal 14 ayat 1 UU Peraturan Hukum Pidana menentukan perbuatan “dengan sengaja”. Hal ini bermakna terjadinya keonaran melingkupi tiga corak (gradasi) kesengajaan yakni “dengan maksud”, “sadar kepastian” atau “sadar kemungkinan”. Ketiga corak kesengajaan tersebut bersifat alternatif. Pada suatu kondisi, timbulnya akibat berupa keonaran walaupun tidak dikehendaki, namun menurut doktrin harus dipertanggung-jawabkan secara hukum pidana. Tidak dikehendakinya akibat yang berujung pertanggungjawaban pidana menunjuk pada corak kesengajaan sadar kepastian atau sadar kemungkinan. Perihal dengan sengaja ini juga berlaku pada Pasal 156a huruf a KUHP. Kesemua rumusan tindak pidana tersebut di atas berhubungan dengan Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP (delik penyertaan). Pada delik penyertaan, antara satu peserta dengan peserta yang lainnya adalah satu kesatuan. Jadi, trdapat dua bentuk kesengajaan dalam penyertaan. Pertama, elemen melawan hukum subjektif yakni sikap batin diantara para pelaku. Kesengajaan untuk mengadakan kerjasama dalam rangka mewujudkan suatu delik. Kedua, elemen melawan hukum objektif. Adanya kerjasama yang nyata dalam mewujudkan delik. Delik penyertaan tersebut bukanlah perluasan perbuatan pidana namun perluasan pertangungjawaban pidana. Jadi, “Kesemua pihak yang terlibat dalam pengusulan RUU HIP harus bertanggungjawab,” tegas Abdul Chair Ramadhan. Menurutnya, meski RUU HIP telah dihentikan/dibatalkan dari Prolegnas, namun hal tersebut tidaklah menghilangkan pertanggungjawaban pidana terhadap pihak-pihak terkait, terutama Partai pengusul dan aktor intelektualnya. Artinya, petugas Kepolisian harus tetap memproses LP dari TAKTIS. Bukan lagi Dumas! (Bersambung) Penulis Wartawan Senior