HUKUM
Kalau Komnas HAM Oleng Menghadapi KM-50, Selesailah Semua
by Asyari Usman Medan FNN - Selasa (29/12). Penyelidikan atas pembunuhan 6 anggota FPI oleh Komnas HAM mulai menampakkan titik terang. Kemarin (28/12/2020), Komnas menjelaskan tentang proyektil dan selongsong peluru yang mereka temukan di lokasi peristiwa. Komnas mengatakan, barang bukti ini didapat pada hari peristiwa pembunuhan itu terjadi. Ini artinya Komnas cukup sigap mengirimkan tim penyelidik ke lokasi. Barang bukti berupa proyektil dan selongsong tsb sangat penting. Bisa jadi pelor yang lepas dari selongsong yang ditemukan itulah yang menembus tubuh para korban KM-50. Komnas juga mengatakan mereka sudah memiliki berbagai bukti rekaman wawancara dengan orang-orang dari kedua pihak yang terlibat dalam peristiwa ini. Pembunuhan 6 anggota FPI itu menggemparkan publik Indonesia. Bahkan diberitakan oleh media-media besar di Inggris, Amerika Serikat, Australia, dlsb. Banyak kontroversi dan kejanggalan di seputar peristiwa pembunuhan itu. Semua sepakat bahwa pembunuhan ini paling rendah masuk kategori “extrajudicial killing” (pembunuhan sewenang-wenang) atau “unlawful killing” (pembunuhan tanpa dasar hukum). Inilah kategori minimal untuk tindakan yang menyebabkan 6 nyawa manak-anak muda itu melayang. Publik memperhatikan dengan saksama penjelasan awal Komnas HAM. Sebab, pembunuhan 6 anggota FPI tsb memiliki semua karakteristik pelanggaran HAM berat. Ada tanda-tanda kesadisan, kebrutalan, dan kesewenang-wenangan. Bahkan, seperti ditulis wartawan senior FNN, Mochamad Toha, investigasi majalah TEMPO tentang pembunuhan itu menyiratkan pesan bahwa pembunuhan ini sangat pantas diduga berlangsung dengan satu perencanaan. Penyelidikan atas pembunuhan ini merupakan “the moment of truth” bagi Komnas HAM. Inilah momen untuk mengetahui jatidiri Komnas. Ujian penting bagi Komisi tentang kapasitas, kapabilitas, keberanian dan independensi lembaga penting ini. Publik dengan mudah bisa melihat apakah keempat parameter ini ada pada Komnas. Semua itu akan terbaca ketika para komisioner nantinya harus membuat kesimpulan tentang pembunuhan sewenang-wenang itu. Akankah Komnas berani memaparkan secara transparan dan apa adanya? Atau, akankah Komisi terbawa juga oleh suasana otoritarianisme yang sedang menyungkup bangsa dan negara ini? Fyi, publik masih sangat berharap pada Komnas HAM. Dan, sebetulnya, di lembaga ini pulalah tersandar harapan pertama dan terakhir untuk mengurai peristiwa pembunuhan 6 anggota FPI itu. Kalau Komnas oleng, menghadapi tantangan KM-50, selesailah semua. Ambruklah harapan masyarakat. Sebab, penyelidikan oleh kepolisian tidak akan pernah dipercaya oleh publik. Fyi juga, piblik melihat Komnas HAM persis seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dulu, KPK pra-Perppu. Dalam arti, untuk pengungkapan tindak kekerasan dan pembunuhan sewenang-wenang oleh siapa pun juga, rakyat masih sangat berharap pada Komnas. Sebagaimana rakyat berharap kasus-kasus korupsi besar bisa diungkap tuntas oleh KPK. Para komisioner Komnas HAM pasti memahami harapan rakyat pada mereka. Semua gerak-gerik Komnas dalam proses penyelidikan ini akan selalu dicermati dan dinilai oleh masyarakat. Terus terang, di balik harapan publik pada Komnas, cukup kuat pula rasa pesimis. Banyak yang apriori. Tapi, apakah harapan itu akhirnya akan pupus? Bisa saja. Anda bisa buka lagi catatan tentang tindakan Komnas dalam menyelidiki sekian banyak pelanggaran HAM semasa pilpres 2019, mulai periode kampanye hingga penyelesaian sengketa. Ada sejumlah orang yang terbunuh dan mengalami penyiksaan di tangan aparat. Sampai hari ini tidak jelas rimbanya. Jadi, penyelidikan kasus pembunuhan 6 anggota FPI bisa dijadikan platform oleh Komnas HAM untuk segera melepaskan diri dari kungkungan ketakutan, dependensi, intervensi dan intimidasi. Jika tidak, maka kepercayaan publik akan kandas sampai ke dasar tong.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id
Ketika Jenazah 6 Laskar FPI Bicara (1)
By Mochamad Toha Surabaya FNN - Senin (28/12). Dalam investigasi Majalah TEMPO, pada 7 Desember 2020, sebanyak enam Laskar FPI tertembak. Argumentasi polisi, para korban terbunuh ketika merebut senjata para personil. Namun, tubuh para jenazah itu secara fisik berbicara: Mereka terbunuh akibat disiksa! Bagian-bagian tubuh mereka terluka. Mereka tewas akibat tembakan jarak dekat. Dibuktikan dengan adanya kulit yang gosong di sekitar luka tembakan. Mereka ditembak jarak dekat agar diam, tak membongkar kekejaman yang dialami. Mereka tertembak dalam modus sama. Di sekitar dada kiri. Arah jantung untuk membunuh. Masihkah tidak ada empati bagi masyarakat Indonesia atas pelanggaran HAM berat ini? Apakah kita harus menunggu Mahkamah Internasional turun ke Indonesia? Sekarang ini masih menunggu keberanian Komnas HAM, apakah berani mengungkap semua bukti yang telah ditemukan. Terkait “rumah kejadian” yang disebut-sebut sudah ditemukan Komnas HAM saja, ternyata dinyatakan “Tidak Benar” alias Hoax! Hal tersebut disampaikan Komnas HAM dalam Konferensi Pers Tim Penyelidikan Komnas HAM Atas Peristiwa Kematian 6 Laskar FPI di Karawang: Perkembangan Penyelidikan dan Hasil Temuan Lapangan, pada Senin, 28 Desember 2020. Ironinya Temuan Seperti dilansir Tempo.co, Senin (28 Desember 2020 11:28 WIB), Komnas HAM menyebut belum mengeluarkan kesimpulan atau rekomendasi terkait insiden tewasnya enam laskar FPI pada Senin, 7 Desember 2020. “Kami tegaskan hingga saat ini, Komnas HAM belum mengeluarkan rekomendasi apapun, kami masih berproses mendetailkan insiden ini,” kata Komisioner Komnas HAM Choirul Anam saat konferensi pers pada Senin, 28 Desember 2020. Anam mengatakan beberapa pekan terakhir, lembaga ini telah mewawancarai sejumlah orang mulai dari kubu FPI, penyidik Polda Metro Jaya, Bareskrim, dokter forensik, bahkan Jasa Marga sebagai pengelola jalan tol. Komnas telah turun ke lapangan untuk mewawancarai saksi masyarakat yang melihat peristiwa dan memeriksa CCTV di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek. Mereka juga memperoleh rekaman di jalan tol sebelum kejadian dan sesudah kejadian. Komnas HAM juga memperoleh proyektil peluru dan bekas pecahan mobil yang diperoleh dari lapangan. Komnas HAM mengantongi bukti-bukti ini, sebab mereka turun ke lokasi di hari yang sama saat insiden tersebut terjadi. “Kami turun sebelum ada voice note yang beredar di masyarakat,” ungkap Anam. Menurut Anam, proyektil dan selongsong ini akan diuji balistik. Ia berjanji uji balistik ini akan terbuka. Anam mengatakan dari hasil pemeriksaan lapangan ada tujuh proyektil dan empat selongsong. “Kami berjanji akan menggelar uji balistik secara terbuka dan transparan,” katanya. Anam mengatakan, dari hasil pemeriksaan lapangan ada tujuh proyektil. “Namun yang kami yakin hanya enam, karena satu bentuknya sudah tidak jelas,” kata Anam. Berarti 3 selongsong “hilang”, padahal ada 7 proyektil yang ditemukan. Seharusnya, jumlah selongsongnya ada 19 biji, karena total lubang peluru di tubuh jenazah itu ada 19. Di mana 12 proyektil lainnya? Juga, ada di mana 16 selongsong lainnya? Biasanya, selongsong peluru itu jatuhnya tidak jauh dari penembak. Komnas HAM seharusnya bisa mengungkap hal ini. Karena, tubuh jenazah itu bisa berbicara, tidak akan hoax! Anam mengatakan, Komnas HAM sama sekali belum mengeluarkan rekomendasi apapun terkait insiden ini. Sebab, kata dia, Komnas HAM masih harus mengecek sejumlah hal. Sebelumnya, seperti dilansir Detik.com, Kamis (24 Des 2020 19:23 WIB), Komnas HAM meminta keterangan polisi terkait insiden konta- tembak antara polisi dan laskar FPI di Km 50 Tol Jakarta-Cikampek. “Tim penyelidikan Komnas HAM, hari ini, 24 Desember 2020, telah melakukan permintaan keterangan petugas kepolisian dari Polda Metro Jaya terkait berbagai peristiwa kematian 6 orang anggota laskar FPI,” ungkap Anam. Permintaan keterangan ini berlangsung selama 5 jam dimulai pukul 11.30 WIB di Polda Metro Jaya yang diikuti oleh M Choirul Anam, Ahmad Taufan Damanik, beserta tim penyelidik Komnas HAM,” kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik. Taufan menerangkan pemeriksaan ini dilakukan guna memperjelas kronologi kejadian. Selain itu, sambungnya, untuk menguji kesesuaian dan keterangan yang telah didapat pihak Komnas HAM. “Pemeriksaan untuk memperjelas alur kronologi, menguji persesuaian dan ketidaksesuaian, serta memperdalam beberapa keterangan yang sudah didapat,” ucapnya. Tidak hanya itu, di tempat yang berbeda, Komnas HAM juga memeriksa saksi dari anggota FPI. Komnas HAM juga mendapati dua dokumen untuk ditelaah. Pada hari itu juga tim penyelidik Komnas HAM sedang melakukan pendalaman pada saksi dari anggota FPI. Di samping kedua aktivitas itu, tim penyelidik Komnas HAM mengambil beberapa dokumen penunjang lainnya di tempat berbeda dari dua lokasi tersebut. Komnas HAM menyebut proses investigasi sudah 70 persen. Komnas juga telah memeriksa tim Bareskrim Polri terkait dengan barang bukti senjata api milik polisi dan FPI serta handphone yang juga milik laskar FPI. “Keterangan detail soal 4 senjata api milik petugas dan 2 senjata non-pabrikan yang diklaim polisi milik anggota FPI. Data yang ada di HP milik anggota FPI serta cacat di senjata tajam,” kata komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara kepada wartawan, Rabu (23/12/2020). Versi polisi, laskar FPI dan polisi terlibat kontak-tembak di Km 50 Tol Jakarta-Cikampek pada Senin (7/12/2020) dini hari. Kejadian bermula ketika aparat melakukan penyelidikan terhadap pengikut Habib Rizieq Shihab di Tol Jakarta-Cikampek. Penyelidikan polisi dilakukan terkait adanya informasi pengerahan massa saat HRS diperiksa di Polda Metro Jaya pada Senin (7/12/2020). Namun, upaya pengejaran tersebut berujung perlawanan dari pengikut HRS. Anam mengatakan, perkembangan penyelidikan kasus tersebut kini dalam tahap konsolidasi bahan. Rencananya, temuan-temuan Komnas HAM akan diuji oleh para ahli. Jika semua tahapan sudah dilalui, Anam memastikan akan mengumumkan hasilnya. “Segera mungkin kalau semua prosesnya sudah kami lalui,” ujar dia kepada Tempo, Ahad, 27 Desember 2020. Versi Bareskrim Polri, pengikut HRS dan aparat kepolisian terlibat kontak-tembak hingga menewaskan 6 pengikut HRS. Benarkah memang terjadi “kontak-tembak” antara pengikut HRS dan polisi. Jenazah korban akan bicara faktanya! (Bersambung). Penulis wartawan senior FNN.co.id
Komnas HAM Smart, Proyektil dan Selongsong Dijadikan Public Domain
By Asyari Usman Medan FNN - Senin (28/12). Dalam konprensi pers (konpers) pagi tadi (28/12/2020) di kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, terkait penyelidikan peristiwa pembunuhan 6 anggota FPI pada 7 Desember, memang tidak banyak yang dijelaskan. Ada dua bukti kunci yang disebutkan. Yaitu, 6 proyektil dan 4 selongsong peluru yang mereka temukan di lokasi peristiwa. Selain itu, Komisaris Chairul Anam mengatakan pihaknya mengumpulkan banyak bukti lain, termasuk serpihan mobil. Dia juga menjelaskan bukti dalam bentuk wawancara dengan berbagai pihak yang relevan. Ada wawancara dengan orang FPI, dengan polisi, anggota masyarakat, dll. Ada juga ‘voice notes’ (rekaman suara) dari pihak FPI. Penjelasan Komnas masih ‘kering’ jika dilihat secara kuantitatif. Tetapi, publik sebaiknya membaca isyarat penting dari konpers ini. Bahwa Komnas ingin supaya 6 proyektil dan 4 selongsong peluru itu segera menjadi ‘public domain’ (pengetahuan publik). Kedua item ini sangat kualitatif. Tujuan Komnas menjadikan ini ‘public domain’ ialah agar barang bukti tsb langsung dikunci (locked) di kepala masyarakat dan disimpan oleh Komnas. Sehingga, tidak bisa lagi “ditukangi” oleh siapa pun. Mengapa dua item ini penting sekali? Sebab, proyektil dan selongsong peluru itu adalah pemeran utama pembunuhan KM-50. Tampaknya, Komnas menggelar konpers yang dipercepat ini dalam rangka mengamankan kedua bukti itu. Salah satu yang terbaca adalah bahwa Komnas boleh jadi sudah mendapatkan “clue” (petunjuk) tentang ke arah mana nanti pengustan proyektil dan selongsong itu akan bermuara. Sekarang, masyarakat sudah mencatat keberadaan dua bukti fisik tersebut. Kalau nanti, misalnya, hilang, dicuri atau dirusak maka publik bisa paham apa yang terjadi. Dan bisa pula menduga siapa yang paling berkepentingan agar proyektil dan selongsong itu hilang atau rusak. Komnas mengatakan terhadap kedua jenis barang bukti ini akan dilakukan uji balistik secepatnya. Sangat taktis. Komnas HAM ‘smart’ sekali. Menggelar konpers sedini mungkin untuk memberitahukan kepada khalayak tentang keberadaan dua barang bukti krusial tsb. Sekarang, kalau ada yang sangat ingin melakukan ‘upgrading’ atau ‘downgrading’ terhadap 6 proyektil dan 4 selongsong peluru itu, tentunya diperlukan kerja keras. Kedua bukti itu ada pada posisi ‘locked’ (digembok).[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)
Komnas HAM di Tengah Badai Hukum
by Dr. Margarito Kamis, SH.M.Hum Jakarta FNN – Ahad (27/12). Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), sejauh ini terlihat memasuki sudut-sudut eksplosif kematian 6 (enam) anak manusia di Kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek. Penyelidikan yang sejauh ini terlihat sangat kredibel dan hati-hati itu, sangat menarik. Mengapa? Pada saat yang sama Kepolisian juga sedang menyelidiki kasus ini. Dalam kerangka penyelidikan itu, Edy Mulyadi, Jurnalis FNN.co.id yang mempublikasi hasil investigasi jurnalistiknya, dimintai keterangan oleh penyelidik kepolisian. Apakah permintaan keterangan dari Edy Mulyadi merupakan realisasi dari sikap mereka bahwa siapa yang mengatakan enam orang mati itu tidak memiliki senjata akan diproses? Ini benar-benar menarik. Meta Etik Rule of Law Allah Subhanahu Wata’ala, Dia yang menciptakan langit dan bumi. Hidup dan kehidupan ini, sejauh pengetahuan saya yang serba sedikit, Allah sangat mengagungkan manusia, ciptaan-Nya ini. Bahkan lebih mulia dari malaikat. Dia, Sang Pencipta, mengagungkan manusia sedari dalam kandungan ibunya. Tidakkah sedari kandungan ibu, begitu penjelasan para ulama, manusia telah berikrar mengakui Allah Subhanahu Wata’ala sebagai Tuhannya, dan Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam sebagai Rasulnya. Memang dunia barat tidak terikat pada kaidah ini, tetapi tetap saja mengagumkan mengenali perdebatan mereka mengenai gagasan legalisasi aborsi. Manusialah, diandalkan Allah Subhanahu Wata’ala, mengenal dan menyampaikan perintah dan larangannya. Kata para ulama, manusia diciptakan tidak untuk berhianat kepada-Nya. Manusia diwajibkan mengormati nyawa manusia lainnya, juga menghormati hidup orang lain. Hal-hal itu memiliki sifat alamiah. Itulah, yang studi-studi filosofis barat konsepkan sebagai hak yang dimiliki setiap orang, karena mereka manusia. Dibekali dan melekat pada setiap manusia sedari lahir itulah, hak itu memiliki kapasitas sebagai asasi. Itulah basis terdalam etik rule of law, sebagai hak yang tidak bisa dikurangi, dengan alasan apapun. Cicero, ahli hukum yang gemilang dengan pernyataan “salus populi suprem lex esto”, yang dipakai rezim-rezim brutal untuk membentengi kebrutalannya, mengonsepkan kenyataan itu sebagai nature of human. Dengan dasar itu dignity bagi Cicero melekat pada setiap manusia. Ini alamiah bagi setiap orang. Hak-hak untuk hidup tidak diberikan oleh negara (sifat positif) menurut konsep Isaiah Berlin, Filosof Inggris ini. Menurut konsepnya, hak untuk hidup bersifat asasi. Karena telah terbekali hukum alam pada setiap manusia. Berlin mengkategorikan hak ini dengan hak yang bersifat negative. Rule of law menunjuk itu semua sebagai meta etiknya. Harus diselami, dimengerti dengan benar oleh setiap penguasa. Meta etik itulah mengalir gagasan rule of law. Meta etik ini meminta, dengan nada mendesak, aparatur politik dan hukum, tak memelihara kebencian dalam menegakan hukum. Meta etik itu pulalah yang mengalirkan keharusan kepada pemimpin politik dan hukum untuk menarik jarak sejauh mungkin dari kecongkakan dan keangkuhan ala Fir’aun, Musolini, Lenin, Hitler, Salazar, Juan Franco, dan lainnya. Begitu mendekat pada pandangan tiran-tiran iin, habislah human dignity. Hitler, ambil sebagai ilustrasi kecil. Menurut Mark Neocleous, dalam artikelnya “The Facist Moment, Security, Exclussion Extermination”, mengandalkan Secret State Police (Geheime Staatpolizie, Gestapo) polisi rahasia. Gestapo menjadi masin Hitler untuk menangkap orang sesuka-sukanya atas nama menjaga keamanan nasional (national security). Selain Gestapo, Hitler juga menggunakan Order Police (Ordnungspolizei). Polisi ini berfungsi menangani kasus kriminal. Polisi terakhir ini diciptakan Himler, yang kala itu mengepalai Gestapo. Hitler dengan organ Gestapo dan Ordnungspolizie boleh menangkap siapa saja mengkritiknya, atau tak disukainya. Rule of law konyol dan angkuh, yang Hitler sinonimkan dengan Rechstaat, tidak memberi tempat pada individu. Rechstaat khas Nazi Hitler mengagungkan kolektivisme. Dalam kenyataanya, Hitler menjadi “penentu” keamanan nasional itu negara. Neocleus menulis “He may well have said, at the end of security, there is Hitler”. Konsep ini dijustifikasi secara akademik oleh gagasan Gustav Rudbruch dan Carl J. Smith, dua ahli hukum Rusia itu. Gustav Rudbruch, pencipta teori tujuan hukum, keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Gustav dikenal terlepas dari spekulatif atau tidak, sebagai seorang nihilis. Tujuan hukum khasnya harus dimengerti dalam kerangka dirinya sebagai nihilis. Disisi Schimitian (Carl Schimith), yang poisisi filosofisnya membenarkan perang, tidak untuk alasan keadilan, melainkan untuk mengidentifikasi musuh dan kawan, jelas dalam semua aspeknya mengenai security. Baginya, security merupakan sifat alamiah dari politik. Berbeda seribu derajat dengan Hobbes. Bagi Schimid, perang semua melawan semua. Bukan individu melawan individu menurut konsep Hobbes, ilmuan Inggris ini. Bahaya eksis, setidaknya secara potensial, ketika terjadinya satu serangan kepada seseorang, sama dalam pandangannya, dengan seranggan kepada masyarakat secara keseluruhan. Satu keputusan untuk perjuangan berdarah, menurutnya, menjadi karakteristik politik. Juga merupakan cara politik mengidentifikasi kawan dan lawan. Baginya, dunia bisa dihindarkan dari perang. Tetapi baginya dunia tanpa perang, sama dengan dunia tanpa politik. Cara pandang ini, tentu tidak sedang melambung, mengukir jagat politik dan hukum Indonesia. Cara pandang ini konyol dalam semua sudutnya. Ini merendahkan kemuliaan manusia. Cara pandang ini tentu saja bertentangan tujuan bernegara kita “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah”. Itulah gagasan mulia dan bernilai tinggi yang diwariskan para pembuat konstitusi negara UUD 1945. Bentengi Dengan Kejujuran Rule of law mengariskan “kematian” sebagai peristiwa hukum yang menghapuskan tanggung jawab pidana dari orang yang disangka sebagai pelaku. Hak menuntut dari negara hapus dengan sendirinya. Ini rasional. Bagaimana cara meminta orang mati bicara? Tetapi justru disitulah menariknya. Mengapa kasus ini terus diselidiki? Kemana arah penyelidikan ini? Meminta tanggung jawab pidana pada orang-orang FPI yang ikut mengawal Habib, yang tidak mati? Bila ya, itu juga menarik. Apa saja yang membuatnya menarik? Asumsi penyelidikan itu yang menarik. Apa asumsinya? Petugas polisi yang bertugas itu benar dalam semua aspeknya. Sebaliknya, orang-orang Habib yang mengawal dirinya, salah pada semua aspeknya. Titik. Rasionalkah ini? Itulah soal terbesarnya. Mengapa ini menjadi soal terbesar? Fakta tercecer sajauh ini, mendesakan logika lain yang sangat rasional. Bagaimana mengonfirmasi keberadaan senjata itu kepada orang mati? Apakah penyelidik sedang menelurusi asal-usul senjata itu? Ini mutlak dilakukan, agar valid hukumnya. Jelas itu tidak akan tetrcapai, karena orang yang akan dikonfirmasi sudah mati. Sisi lain yang menantang datang dari keterangan orang tua salah satu almarhum di Komisi III DPR. Andai saja keterangan ini benar-benar tak tersanggah dengan fakta lain, baru yang berbeda, maka tentu saja konsekuensinya juga jelas. Tetapi sejenak tinggal dulu soal itu. Mari bicara rule of law dulu. Dalam konteks ini, harus diakui keangkuhan sekaliber apapun, sulit untuk menyangkal peristiwa kilometer 50 ini menusuk, dan merobek-robek kemanusiaan kita sebagai bangsa, dan sebagai manusia ber-Tuhan. Rule of law memang memungkinkan orang dihukum mati, tetapi rule of law juga mengharuskan adanya justifikasi hukuman mati itu yang rasional secara etik. Orang yang akan dihukum mati misalnya, harus, tanpa dapat ditangguhkan, diadili secara jujur di peradilan. Tidak itu saja, orang yang akan menjalani hukuman mati itu, diberi kesempatanm untuk menyampaikan permintaan atau pesan terakhir kepada ayah, ibu, istri atau anaknya, yang akan ditinggalkan. Begitulah adab etik rule of law. Begitulah etik rule of law menampilkan derajat penghormatannya terhadap nyawa manusia dan kemanusiaan. Adab itu juga akan bekerja dengan cara para penembak, yang akan menembak mati terpidana, tak diberi tahu senjata mana yang telah terisi peluru. Para penembak itu tak bakal tahu bahwa senjata yang digunakannya yang mematikan terpidana mati itu. Sebab penembak itu juga manusia. Cara itu dimaksudkan untuk tak melukai rasa etik para penembak. Komnas HAM telah bekerja. Tak usah ditawarkan aspek-aspek teknis invesitgasi dan apa yang harus didapat dalam investigasi mereka. Fakta parsial yang terekam dalam investigasi mereka, terlihat begitu meyakinkan di permukaan. Seberapa detil dan apakah setiap detilnya kredibel, masih harus dianalisis. Komnas HAM, harus diakui, tak punya apa-apa. Disisi lain medan kerja mereka berada ditengah rule of law yang telah keropos. Ketidakpastian, kata lain dari dinamika politik, yang selalu dapat menghasilkan “keadaan baru yang tak tertebak,” telah menjadi ikon rule of law mutakhir. Itu tantangan terbesar Komnas HAM. Bagaimana dan dengan apa Komnas HAM membimbing penyelidikan yang terus berlangsung ini? Komnas HAM hanya perlu membekali diri dengan keyakinan bahwa pekerjaan ini mulia dalam semua dimensinya. Jujurlah dalam semua aspek. Cukupkan saja investigasi ini dengan “jujur” sebagai jiwanya. Ukirlah dan bungkuslah seluruh temuan dengan itu kemuliaan yang tinggi. Semoga kemanusiaan yang selalu mulia dan agung itu, terus bersinar dihari-hari esok. Tuan-tuan Komnas HAM, jujur itu benteng tertangguh di dunia dan diakhirat, begitu pesan bijak Syech Abdul Kadir Jailani. Ungkaplah semua aspek peristiwa melayangnya enam nyawa manusia di kilometer 50 itu, dengan sejujur-jujur-jujurnya. Kaidah republik menggariskan kekuasaan hukum harus digunakan menurut kaidah rule of law. Sombong, angkuh, benci kelompok ini dan sayang kelompok itu, bukan kaidah republik dan rule of law. Selamat bekerja. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Mungkinkah "Dark Forces" Yang Melakukan Pembunuhan di KM-50?
by Asyari Usman Medan FNN - Minggu (27/12). Kepolisian mengaku pembunuhan 6 anggota FPI di KM-50 dilakukan oleh anggota mereka. Tetapi, penjelasan polisi tentang insiden itu memunculkan berbagai pertanyaan. Ada sekian banyak simpangsiur. Kesimpangsiuran itu antara lain soal adanya tembak-menembak antara keenam korban dan aparat kepolisian. Polisi menegaskan ada kontak senjata. Sedangkan pihak FPI mengatakan anggota mereka tidak memiliki senjata. Juga simpangsiur perihal senjata api (senpi) dan senjata tajam (sajam) yang dikatakan dibawa oleh keenam anggota. Semula polisi mengatakan para korban memiliki senpi, tapi kemudian dikatakan anggota FPI itu merampas senpi dari petugas kepolisian. FPI konsisten mengatakan mereka tidak memiliki senpi maupun sajam. Akumulasi kejanggalan itu menyulut rasa ingin tahu tentang apa sebenarnya yang terjadi? Siapa-siapa saja di tim kepolisian yang bertanggung jawab dalam penembakan KM-50? Ini yang harus digali tuntas oleh Komnas HAM. Kejanggalan dan simpangsiur itu perlu diurai. Agar pengusutan berjalan transparan dan adil. Penjelasan versi FPI menyebutkan, mereka mencatat adanya penguntitan (surveillance) terhadap Habib Rizieq Syihab (HRS). Itu terjadi di sekitar rumah keluarga di Sentul, Bogor, sejak beberapa hari sebelum peristiwa KM-50, dinihari 7 Desember 2020. Waktu itu, para penguntit tidak diketahui identitas mereka. Polisikah mereka? Atau ‘orang lain’? Imajinasi publik pasti cukup liar. Bahkan, menurut versi FPI, ketika terjadi percobaan oleh kendaraan para penguntit untuk masuk ke dalam konvoi HRS di jalan tol Jakarta-Cikampek, para pengawal Habib tidak tahu kalau rombongan penguntit itu adalah polisi. Mereka menyebut para penguntit itu dengan istilah “orang tak dikenal” (OTK). Setelah Polda Metro mengumumkan bahwa OTK itu adalah aparat kepolisian, barulah pihak FPI tahu siapa yang menguntit mereka. Nah, bisakah dipastikan mereka itu aparat kepolisian? Pihak polisi mengatakan orang-orang yang menembak mati anggota FPI sudah ditahan oleh Divisi Propam Polri. Artinya, mereka itu benar polisi. Namun, hingga saat ini yang ditahan tsb masih belum bisa diverifikasikan. Baik oleh media massa sebagai sumber informasi publik maupun oleh pihak-pihak lain. Kalaupun sudah ada tatap muka antara Komnas HAM dengan para terduga yang ditahan, bisa saja hasilnya meragukan. Jadi, ini yang perlu dipastikan, dikukuhkan. Benarkah aparat kepolisian yang terlibat “tembak-menembak” dengan anggota FPI? Bagi publik, masalah ini belum klar. Jangan-jangan bukan polisi. Karena itu, diperlukan penelusuran cermat. Kepolisian harus transparan tentang ini. Sangat wajar kalau ada yang bertanya: apakah mungkin para pembunuh 6 anggota FPI adalah personel dari kesatuan lain? Mungkinkah ada ‘tim luar’ yang numpang berselancar? Mungkinkah mereka itu aparat yang sudah sangat terlatih menghabisi target? Terutama target-target ‘sitting duck’ (empuk)? Mungkinkah mereka itu aparat yang beroperasi senyap, tanpa ada yang tahu? Mungkinkah ada ‘splinter group’ (kelompok sempalan)? Atau, mungkinkah mereka itu bukan aparat negara? Yaitu, hanya semacam “mercenary” (eksekutor bayaran) saja? Mungkinkah itu salah satu dari kemungkinan tadi? Banyak sekali pertanyaan yang kelihatannya tidak mudah dijawab. Banyak pembunuhan di muka Bumi ini yang dilakukan oleh “pasukan hitam” alias “pasukan siluman”. Yang biasa disebut “dark forces”. Mereka beroperasi karena instansi penegak hukum bisa dikangkangi. Bisa dikapling-kapling. Bahkan bisa dikendalikan oleh beberapa petinggi saja. Pasukan hitam atau siluman pada umumnya muncul karena pemimpin negara tak mampu menguasai situasi nasional. Pemimpin yang tak berwibawa. Ini yang kemudian memunculkan persaingan antarinstitusi keamanan atau penegak hukum. Bahkan persaingan terjadi diantara faksi-faksi di lingkungan suatu instansi. Di satu instansi bisa ada banyak kubu (clan) yang sering diistilahpasarkan sebagai “geng”. Misalnya, di intansi itu atau ini ada Geng-A, Geng-B, Geng-C, Geng-D, dst. Dan semua geng mempunyai kemampuan untuk menunjukkan eksistensi mereka masing-masing. Dari sini kita bertanya: mungkinkah “dark forces” yang melakukan pembunuhan di KM-50? Untuk menjawab ini perlu dicermati apakah penyebab kemunculan “pasukan siluman” itu bisa Anda lihat dan Anda rasakan.[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)
Hukum dan Senjata, Dua Alat Utama Rezim Otoriter
by Dr. Margarito Kamis, SH.M.Hum Jakarta FNN – Kamis (24/12). Sejarah kekuasaan tirani menyajikan banyak hal yang seluruh aspeknya menarik. Monopoli kebenaran, dan mobilisasi pendapat umum, hanyalah dua aspek kecil menarik menandai rezim barbarian ini. Berbahaya, itu jelas. Tetapi sebahaya-bahanya monopoli kebenaran dan mobilisasi pendapat umum, masih tidak lebih berbahaya dibandingkan penggunaan hukum dan senjata. Hukum dan senjata, tersaji begitu telanjang dalam sejarah kekuasaan tirani. Sebagai dua alat utama penopang kekuasaan. Hukum dan senjata menjadi dua pilar penyangga terhebat di sepanjang garis eksistensinya yang dapat diperiksa. Kedua senjata mematikan itu sepenuhnya merupakan will of the ruler’s. Tyran, yang menurut Benedikt Forchner dalam artikelnya “Law’s Nature: Philosophy Argument in Cicero’s Writing” oleh Cicero disebut “belua” that is, as a wild animal. Penilian menjadi alasan tepat menyatakan Cicero tidak hendak menjadi “salus populi supreme lex esto” menghabisi individu. Rules by rulers, bukan rule of law, teridentifikasi sejarah sebagai inti penegakan hukum dan politik pada rezim-rezim tiran. Law adalah titah, decree, sang tiran. Law, dalam semua aspeknya, pembentukan dan penegakannya, sepenuhnya merupakan ekspresi kehendak sang tiran. Dalam beberapa kasus, khususnya Jerman, tipikal itu ditunjukan dengan sangat jelas melalui apa yang dikenal dengan Enabling Act 1933. Anabling Act ini yang memungkinkan Hitler menjadi Fuhrer. Yang mengakhiri semua prilege krule of law yang digaris dalam Wimar Constitution 1919. Konstitusi demokratis ini dicampakan secara kasar, khas politik rezim binasa. Freedom from illegal arrest, and from search and seizure, inviolable secrecy of all communication by mail, telegraph or telephon, freedom of speech freedom of the press, freedom of assembly, and freedom to organized club and association, tulis Fredercik Hoefer, semuanya diberangus. Hitler sejak saat itu, segera memanfaatkan polisi yang berada dibawah kendali Frcik dan Hermann Goring, Menteri Dalam Negeri, memenjarakan para oposan. Frcik secara terbuka menyatakan don’t worry, when we are in power we shal putt of you guys in cenocentration camp. Tidak lama setelah itu, 40.000 political opponent melarikan diri keluar negeri, dan 45.000 orang ditempatkan di komp konsentrasi. Agar terlihat sebagai rechstaat, pemerintahan teroro ini mendirikan special court untuk mengadili mereka. Enabling Act 1933, membenarkan hukum yang bersifat ex post facto. Hukum ini mengalihkan legislative power dari parlemen ke tangan Hitler. Judiciary independent, oleh Enabling Act juga dihapus. Judiciary independent hanya bisa indah dalam mimpi hakim-hakim merdeka. Mengerikan hukum ini juga menjungkalkan apa yang dalam ilmu hukum pidana kenal dengan nulla siene poena sine lege. Dua tahun kemudian, tepatnya tangal 15 September 1935, ketika berpidato di Nuremberg, Hitler mendekritkan (decree), apa yang dikenal dengan nurember law atau The Reich Citizen law. Diskriminasi rasial, teridentifikasi sebagai gagasan dasar The reich Citizen law ini. Tetapi harus diakui tidak seorangpun dihukum karena bermimpi. Mimpi tidak dikualifikasi sebagai kejahatan yang dapat dihukum. Padahal tipikal totalitarian, rezim ini telah menyediakan tatanan ganda untuk hukum. Benar-benar rezim teror, totalitarian, extra judicial arrest, extra murder and extra punishment, dilembagakan di dalam hukum pidana substantifnya. Pada saat yang sama rezim ini juga melembagakan judicial arrest. Khusus untuk extra judicial arrest and murders, disajikan sertas dilembagakan dalam tatanan politik dan hukumnya untuk justifikasi kehadiran concentration camp. Kajian-kajian hukum terhadap pemerintahan teror memang tidak menemukan kenyataan penggunaan “mobilisasi rakyat” dalam mempropagandakan pernyataan Marcus Tulius Cicero “salus populi suprema lex esto”. Sama sekali tidak begitu. Tidak juga seperti itu. Tetapi mobilisasi pendapat rakyat atas tindak tanduk pemerintah, menjadi tipikal rezim teror ini. Rezim ini, tentu dengan alasan yang khasnya, melembagaan “penghianatan tingkat tinggi “high treason” dalam hukum pidana. Sesuai tipikalnya, defenisi kejahatan ditentukan oleh sang tiran melalui decree. Hukum ini lalu dipertalikan dengan keamanan nasional. Apa yang dihiananti? Nazi, yang dipuncaknya bertengger sang Fuhrer. Demi keamanan, sisi esensial dari “salus populi suprema lex esto” itulah, rezim totalitarian ini menyatakan “hight and low treason” sebagai kejahatan. Populi yang beroposisi menemukan diri berada dalam titik bidik brutal, norak dan konyol rezim teror ini. Yang suprema bukan populi, tetapi elit rezim. Bahaya, tidak hanya disebabkan rezim ini memiliki aparatur bersejnata dalam menegakan hukum. Namun juga hukuman mati disediakan untuk mereka yang berhianat. Sebut untuk kaum opisisi, tetapi lebih dari itu. Aparatur hukum bersenjata, yang juga menyandang aparatur politik ini mendefenisikan hukum dalam praktek kekuasaanya. Aparatur hukum, termasuk hakim identik dengan kaki tangan Nazi. Mereka inilah yang mengenergizer hukum dan kamp konsentrasi. Untuk apa kamp konsentrasi itu? Extra judicial punishment atau illegal punishment atau unlawfull punishment. Hakim-hakim yang mengabdi pada nuraninya, dan dengan itu menjaga judiciary independency, juga dihukum. Otto Weis, anggota parlemen dari Social Democratic Party, terlempar karena mengeritik Anabling Act. Pejabat berotak waras, tak mau jadi domba pemerintahan Hitler, yang mengeritik Nazi, ambil misalnya Hans von Dohnanyi, juga dihukum. Hans von Dohnanyi, anak muda ahli hukum ini, diidentifikasi Hans Peter Graver dalam artikelnya yang dimuat di German Law Journal Vol. 19 No.04, tahun 2018, memegang jabatan tinggi di Kementerian Kehakiman dihukum. Dohnanyi dihukum atas tuduhan berkonspirasi dengan Canaris melawan Nazi. Latza dan Kanter’s, sekalipun tidak seheroik Hans von Dohnanyi, juga dihukum untuk hal yang sama. Kalau mau mati, setidaknya masuk penjara, silakan beroposisi. Rezim ini tidak memiliki kemampuan untuk sekadar senyum kepada orang yang mencetak Koran, yang memberitakan kritik terhadap pemerintahan ini. Rezim ini juga tak mampu senyum terhadap berita radio yang kritis. Rezim totaliter ini menyediakan hukuman penjara lima tahun untuk mereka yang sekadar bersuara kritis terhadap rezim. Sungguhpun begitu, tidak logis membayangkan orang-orang tidak bisa bicara politik sama sekali. Selalu bisa, bahkan perlu. Rezim ini malah membutuhkan para penggembira, tukang tepuk tangan, terlatih menyanyikan lagu berlirik puji-pujian konyol terhadap rezim. Bagaimanapun rezim tiran selalu picik dan kerdil dalam banyak aspek. Itu sebabnya rezim-rezim tiranis memerlukan polesan yang khas. Polesan itu berbentuk propaganda atas hal-hal, yang dengannya kelangsungannya menemukan pijakannya. Itu yang dikerjakan Joseph Goeble, propagandis kawakan andalan Hitler. Apakah hukum totalitarian memenuhi persyaratan ontologi dan epistemologi sebagai hukum? Ilmu hukum barat, jelas mengagungkan positivisme. Esensinya positivisme barat mengesampingkan penyatuan moralitas dan etika dengan hukum. Keduanya, dalam pandangan positivisme khas H. A.L Hart, harus dipisahkan. Ini jelas berbeda, dengan ontologi dan epistemologi hukum alam. Hukum alam tidak memisahkan, apalagi rigid antara norma hukum buatan, yang diciptakan manusia, dengan etika atau moralitas. Tetapi apapun itu, bagaimana menemukan justifikasi rasional terhadap pelembagaan, tidak hanya diskriminasi ras, termasuk agama minoritas, dan kebebasan berbicara, berorganisasi atau berkumpul? Rasio macam apa yang dapat disodorkan untuk menjustifikasi norma hukum yang melarang orang berserikat dan berbicara? Mau disebut apa orang mati di Kamp konsesentrasi, tanpa dapat membela diri? Logiskah extra court punishment, bahkan extra court killing dilembagakan? Stephen Riley, yang pandangannya dikutip Simon Lavis dan dimuat dalam disertasinya, menilai Nazi law is not law. Penilaiannya memang berbeda dengan H.A.L Hart, positivist tulen dalam khasanah ilmu hukum. Hart tetap menganggap Nazi law is law. Baginya, law harus dibedakan dengan moralitas. Penilaian Hart ternyata disanggah oleh Llon Fuller. Penyangkalannya didasarkan serangkaian fakta, terutama extra judicial killing di kamp konsentrasi. Bagi Fuller penghukuman jenis ini tidak dapat dibenarkan, dengan semua alasan yang mungkin. Baginya nazi law is not positive law. Llon Fuller memang tidak sezaman dengan Cicero. Memang itu jelas. Tetapi kenyataan itu tidak menjadi alasan Fuller, tidak menjustifikasi pernyataan Cicero “salus populi suprema lex esto” yang disukai oleh rezim-rezim teror dan otoriter. Fuller, yang memperlakukan etika ditempat terhormat semua hukum, tahu Cicero menolak hukum yang berwatak terror, dan merendahkan human dignity. Itu menjadi alasan valid Fuller “salus populi suprema lex esto” tidak dimaksudkan Cicero untuk membenarkan tindakan teror demi keamanan masyarakat. Bagi Fuller, Cicero memperlakukan hukum sebagai cara masyarakat menjaga keamanannya. Fuller tahu Cicero memahami hukum sebagai refleksi human nature. Hukum diapresiasi tinggi sebagai sarana untuk memelihara human dignity. Pandangan Cicero tentang hukum itu juga terlihat jelas pada kajian Yasmina Benferhat. Dalam artikel berjudul Cicero and the Small World of Roman Jurist, diedit Paul J. du Plessis, yang dimuat dalam buku berjudul Cicero’s Law, Rethingking Roman Law of the Late Republic, Cicero menempatkan “populous was the prime sources of legitimacy for all form of government and constitution. Hukum tidak dibuat untuk menyangkal sifat bawaan alamiah manusia. Dalam konteks filsafat, menurutnya hukum dipertalikan dengan kondisi manusia dalam eksistesinya hidup berdampingan satu dengan lainnya secara alamiah. Hukum dibuat untuk memastikan eksistensi alamiah itu. Dalam konteks itu, hukum, menurutnya harus dimengerti sebagai sesuatu yang ideal secara alamiah untuk kehidupan bersama. Cicero memang mengawali diskurusnya dengan bicara masyarakat, tetapi hal itu tidak dapat dimengerti bahwa Cicero menempatkan masyarakat secara kolektif pada jantung pandangannya. Kombinasi semua pandangan Cicero itu, menjadi alasan siapapun untuk menyanggah “salus populi suprema lex esto” digunakan di luar kerangka hukum berspirit human nature, untuk menghasilkan terpeliaranya human dignity. Apalagi Cicero juga menyatakan just as law contradiction nature, must not be called law. Tidak ada human dignity yang menjustifikasi extra court murder dan extra judicial killing. Tidakkah Allah Subhanauhu Wata’ala, yang menciptakan hamba-hambanya, menghukum orang yang membunuh orang lain? Semoga tatanan hukum Indonesia tidak bergeser. Tidak masuk ke dalam tatanan polititik dan hukum totaliter yang fasis. Semoga.* Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Gurihnya Dana Bansos
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Rabu (23/12). Anggaran bansos per paket seharga 300 ribu rupiah. Ini angka resminya. Untuk apa saja? Beras 10 kg harga Rp. 129.390 (Rp. 12.939/kg). Minyak goreng 2 liter harga Rp. 27.800 (Rp.13.900/lt). Sarden 9 kaleng harga Rp. 71.550 (Rp. 7.950/kaleng) Mie instan 12 bungkus harga Rp. 34.260 (2.855/bks). Sambel kecap harga Rp. 7.000. Goodie bag Rp. 15.000. Keuntungan rekanan Rp. 15.000.Total: Rp. 299.990 (Genapin jadi Rp. 300.000). Coba anda lihat harga barang-barang itu di super market, mini market, agen, atau warung biasa. Jauh lebih murah. Apalagi kalau belinya glosiran. Murah banget! Kenapa untuk bansos lebih mahal? Satu alasan, buat bagi-bagi! Untuk bisa berbagi, harus ada selisih. Makin besar selisihnya, makin banyak yang dapat bagian. Caranya? Pertama, dimark up harganya. Otak-atik cocok, sikat. Kedua, volume barang dikurangi. Dengan cara ini, selisih jadi besar, dan bagi-baginya menjadi semakin besar. Ini lagu lama bro! Lagu Korupsi jaman bahula dulu. Dipakai lagi sekarang. Coba cek ke penerima bantuan. Kadang berasnya bulukan, kadang 5 kg, sarden dan mie instan cuma 5 biji. Kasus seperti ini, kabarnya banyak sekali ditemukan di masyarakat penerima bantuan. Anda bisa cek ke lapangan. Dari selisih harga saja, sudah untung besar. Kok masih nggak puas? Barang dikurangi pula. Taksiran harga beras 10 kg Rp. 82.000. Minyak goreng 2 liter Rp. 25.000. Sarden 10 kaleng Rp. 22.500. Mie instan 12 Rp. 7.200. Sambel kecap Rp. 4.100. Goodie bag Rp. 9.000. Jadi totalnya Rp. 149.000 Dengan begitu, ada selisih sekitar Rp. 150.000. Kemana saja selisih ini? Beberapa sumber mengatakan bahwa Rp. 25.000 untuk rekanan. Rp. 25.000 untuk oknum-oknum di Kementerian Sosial (Kemensos). Yang Rp.100.000 kemana? Ini tugas KPK menelusuri aliran dana Rp.100.000 itu? Adakah dana itu nyasar ke partai dan ke lingkaran istana? Dengan skema seperti ini, para pengusaha berebut. 1 SPK (Surat Perintah Kerja) minimal dapat 200.000 paket. Silahkan kalikan keuntungan dan bagi-baginya. Gede banget. Itu baru 1 SPK. Kalau sekian SPK? Karena itu, para pengusaha nggak segan-segan keluarin uang di muka untuk si A, si B, si C, sampai si Z. Bagi-bagi di awal. Uang pelicin! Bansos jelas dikorup. Dilakukan dengan telanjang mata dan terang-terangan. Nggak perlu kepandaian KPK untuk mengungkap ini. Karena jenis korupsinya sangat transparan. Dan praktek ini terjadi sejak dari awal. Jadi gosip di warung kopi dan cafe-cafe. Kenapa perampok uang negara ini terkesan dibiarkan? Anda jangan berpikir KPK hebat telah menangkap Mensos Julian Batubara. Tidak. Kalau lihat kasus ini dari awal, KPK justru dianggap telat. Mestinya nangkap dari awal. Katanya UU KPK yang baru lebih berorientasi pada pencegahan? Ini harus dibuktikan. Tugas KPK adalah membongkar kasus ini sampai ke seakar-akarnya. Julian Batubara tidak sendiri. Korupsi uang gede, kecil kemungkinan sendirian. Pasti berjama'ah. Lalu, siapa anggota jama'ahnya? KPK harus kejar siapa saja yang terlibat. Semua rekanan harus diusut. Tanpa terkecuali. Jangan pakai random smpling. Ini bukan survei! Penyedia kantongnya harus juga diinvestigasi. Dalam hal ini adalah PT. Sritex. Plus siapa yang saja yang merekomendasukan PT. Sritex jadi rekanan. Adakah uang gratifikasi yang mengalir ke orang itu. Nggak usah pedulikan siapa dan anak siapa dia. Kalau terlibat, usut! Semua pihak ketiga yang menjadi mediator dan ikut menikmati bagi-bagi dana bansos juga harus diusut. Jangan berhenti di Julian Batubara saja. Bawahan, bahkan partai Julian Batubara berasal, semua harus ditelusuri terkait aliran dana bansos ini. Kasus ini mesti dituntaskan. Adakah kemauan KPK untuk menuntaskan kasus bansos ini sebagai tanda bahwa KPK masih ada dan sudah siuman dari tidur panjangnya? Kita tunggu! Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Hukuman Mati Menanti Juliardi Batubara, KPK Macan Ompong?
by Furqan Jurdi Jakarta FNN – Rabu (23/12). Kita sedang menghadapi krisis ekonomi dan krisis Kesehatan Akibat Pandemi Covid~19. Pada tanggal 13 April Presiden menetapkan Covid 19 sebagai bencana nasional. Hal itu tertuang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2020 tentang penetapan bencana non alam penyebaran corona virus disease 2019 (COVID-19) sebagai bencana nasional. Artinya sampai saat ini kita masih menghadapi bencana. Untuk mengatasi dampak dari bencana itu, presiden telah mengeluarkan beberapa paket kebijakan yang untuk menstimulasi dampak Covid di berbagai sektor. Salah satunya adalah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 yang namanya sangat panjang itu. Lalu kemudian di sahkan menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020. Dalam Pasal 27 UU a quo, terdapat imunitas bagi pejabat dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya selama itu berkaitan dengan covid~19. Namun dalam hal imunitas, menurut Prof. Eddy Oemar Syarif Hiariej, ada dua postulat. Pertama, impunitas continuum affectum tribuit delinquendi. Berarti imunitas yang dimiliki seseorang membawa kecenderungan kepada orang itu untuk melakukan kejahatan. Kedua, impunitas semper ad deteriora invitat. Yang berarti imunitas mengundang pelaku untuk melakukan kejahatan yang lebih besar. Berdasarkan kedua postulat itu, imunitas dalam hukum pidana pada dasarnya tidak dikenal. Imunitas dalam hukum pidana hanya diberikan kepada orang tertentu atas tindak pidana yang dilakukan di luar teritorial negaranya. Berdasarkan Pasal 50 KUHP “barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana”. Bahwa seorang pejabat memiliki imunitas, hal tersebut tidak berlaku apabila ada perbuatan yang memenuhi pasal-pasal pidana. Jadi, imunitas dalam UU Nomor 2 Tahun 2020 adalah imunitas bersyarat. Pertama, diterapkannya prinsip iktikad baik dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dalam UU Nomor 2/2020. Kedua, tugas pokok dan fungsi aquo dilaksanakan sesuai ketentuan dengan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu tidak ada kekebalan hukum apabila ditemukan itikad jahat (mensrea) dan menyalahi peraturan perundang-undangan. Setiap tindakan pejabat negara yang menyalahi ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dan tidak memiliki itikad baik dalam mengeluarkan keputusan, entah itu ada pasal imunitas atau tidak, tetap akan dipertanggungjawabkan dihadapan hukum. Jadi, dalam konteks apapun, setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, kapan saja dapat dihukum. Ada atau tanpa imunitas. Hukum Mati Koruptor Korupsi adalah kejahatan extra ordinary crime. Sehingga tingkat kerusakannya demikian besar. Ada beberapa kerusakan akibat dampak korupsi ini. Berdasarkan Background Paper Declaratioan of 8 International Conference Against Corruption di Lima, Peru 2002, ada tujuh dampak korupsi yang melatarbelakangi internasionalisasi kejahatan korupsi. Pertama, korupsi dianggap merusak demokrasi. Kedua, sambung najih, korupsi dianggap merusak aturan hukum, teristimewa pembuatan undang-undang yang sarat dengan praktik suap-menyuap dan dalam penegakan hukum. Ketiga, korupsi menghambat pembangunan berkelanjutan. Keempat dari korupsi adalah merusak pasar. Kelima, korupsi merusak kualitas hidup, khususnya korupsi di sektor pendidikan dan kesehatan. Keenam, korupsi dapat membahayakan keamanan manusia. Terakhir, korupsi melanggar hak asasi manusia. Melihat dampak Korupsi yang sedemikian besar tersebut di atas, jelas bahwa korupsi bukanlah kejahatan biasa. Melainkan kejahatan yang luar biasa. Sehingga dalam melakukan upaya pemberantasannya harus dengan cara-cara yang luar biasa juga. Karena itu, di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), kita mengenal istilah hukuman mati bagi koruptor. Hal itu terbaca dalam Pasal 2 ayat (1) yang menyebutkan “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”. Sedangkan, di dalam ayat (2) disebutkan “dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”. Keadaan tertentu dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) tercantum, bahwa yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi. Korupsi di Kemensos Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa anggaran penanganan covid sudah mencapai Rp. 677 triliun. Dengan pembagian struktur PEN menjadi sebanyak Rp.87,55 triliun untuk kesehatan, perlindungan sosial Rp. 203,9 triliun, insentif usaha Rp. 120,61 triliun, UMKM Rp. 123,46 triliun, pembiayaan korporasi Rp. 53,57 trilun dan sektoral/pemerintah daerah Rp. 106,11 triliun. Melihat data tersebut, anggaran perlindungan sosial yang dikelola oleh Kementrian Sosial sangat besar, yaitu senilai Rp. 203,9 triliun. Sedangkan realisasi anggaran sudah mencapai Rp 144,4 triliun. Namun dibalik anggaran besar, dan realisasi anggaran tersebut, ternyata ada praktek korupsi yang masif terjadi di Kementerian Sosial. Hal ini sangat melukai perasaan masyarakat. Oleh karena itu, dalam situasi bencana nasional sebagaimana yang telah di tetapkan oleh presiden dalam Kepres Nomor 12 Tahun 2020, sampai saat ini masih berlaku, maka sesuai dengan rumusan Pasal dalam UU Tipikor di atas, terbuka peluang hukuman mati bagi para koruptor yang melakukan korupsi dana bantuan sosial terkait bencana nasional yang sedang dihadapi negara saat ini. Apalagi anggaran tersebut diperuntukan untuk pemulihan ekonomi nasional akibat krisis ekonomi dan moneter yang sedang menimpa Indonesia saat ini. Karena itu, dalam perspektif hukum pidana, tersangka korupsi di Kementrian Sosial dapat di dakwah melakukan tindak pidana korupsi dalam keadaan tertentu dan dapat dijatuhi hukuman mati. Wallahualam Bis shawab. Penulis adalah Ketua Presidium Nasional Pemuda Madani & Ketua Lembaga Dakwah DPP IMM
Kata Netizen, “#Tangkap Anak Pak Lurah!”
by Mochamad Toha Surabaya FNN - Selasa (22/12). Tangkap Anak Pak Lurah! Nggragas kok pol-polan. Tas bansos saja diembat. Vangke...” Begitu tulis netizen Arie Karimah, Pharma-Excellent, Alumni ITB, di akun Facebook-nya, Senin (21/12/2020). Respon pun beragam. Antara lain, seperti berikut: Wahyudi Gondin: Bukan gragas tapi original. Ani Rohani Panjaitan: Pengen denger komentar dari para 'pemuja' nya. Yang selama ini 'mengagungkan' keluarga pak lurah dan turunannya bersih, gak KKN, gak rakus jabatan, selalu berusaha mandiri. Preeeeettt.... Nelly Siswati Baswir: Ktnya nyambung jg ya ke anak bu Camat... Muhammad Ferdian Nuur: Dana bansos dikorupsi, tapi sibuk nuduh kotak amal sumber dana teroris. Budiwanti Nasution: Muhammad Ferdian Nuur, barusan beli soto di SSB...ada kotak ...terus perhatiin kotak amal .. Daan apa .. ah dengernya sakit hati . Cuma ujungnya dia bilang ..hati hati aja .. Antje Mtz II: Ngragas sudah bakat dari sebelum bapakne dadi lurah masih sbg "kader binaan" OomPung. Diah Nur Hayanti: Bisa jadi, danan operasional dari yang kecil-kecil menjadi besar. Ibarat iuran Bu. Ratih Oemiati: #TangkapAnakPakLurah#. Yusmainar 'Niar': Rakus serakus rakusnya... Rahmiyati Znoer: Tempo....keren ya..berani bongkar2. Sebelumnya, Majalah TEMPO Edisi 21-27 Desember 2020 dengan judul cover “Koruspi Bansos Kubu Banteng” menyoroti sepak terjang elit PDIP dalam korupsi Bansos. Dalam sebuah judul di Majalah TEMPO, “Otak-Atik Paket Bansos dan Jatah untuk Pejabat Negara” ditemukan adanya peran putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka dalam pengadaan goodie bag yang diproduksi PT Sritex. Konon, nama Sritex merupakan rekomendasi Gibran. Hanya saja penyebutan untuk Gibran disamarkan oleh sumber TEMPO dengan kode “Anak Pak Lurah”. Oleh TEMPO, kode “Pak Lurah” disebut mengacu ke Jokowi. Masih menurut laporan Majalah TEMPO, pada akhir April lalu, mantan Mensos Juliari Peter Batubara telah menyatakan mengajak perusahaan yang berbasis di Sukoharjo, Jawa Tengah untuk memproduksi goodie bag. Politikus PDIP Deddy Sitorus mempertanyakan data yang diperoleh Majalah TEMPO. Sebab seharusnya, data yang didapat tersebut menjadi dokumen hukum yang seharusnya dibuka di pengadilan. “TEMPO tahu dari mana? Terserah mereka-lah. Nanti di tingkat pengadilan, kalau tidak benar nanti kita sue (tuntut) TEMPO-nya,” ujarnya, seperti dilansir SuaraNasional.com, Minggu (20/12/2020). Perusahaan tekstil raksasa Sritex mendapat jatah pembuatan 1,9 juta kantong kemasan, berkat rekomendasi “Anak Pak Lurah”, Gibran Rakabuming Raka, yang baru memenangkan Pilkada Kota Solo pada Pilkada Serentak 2020, 9 Desember lalu. PDF, _screenshot_ majalah TEMPO menyebar dengan cepat di media sosial. Media-media online juga ikut ramai mengutip laporan TEMPO dan memberitakannya. Pemberitaan media dan tagar #TangkapAnakPakLurah ini, direaksi kubu pendukung Presiden Jokowi. “Sejak Senin pagi (21/12/2020) tagar #TempoMediaASU mulai bergema. Dan, masuk dalam trending topic Indonesia, namun belum bisa mengalahkan #TangkapAnakPakLurah,” ungkap wartawan senior Hersubeno Arief. Riuh rendahnya pemberitaan dan tagar Anak Pak Lurah ini juga membuat Gibran gerah. Dia menantang agar KPK segera menangkapnya. “Silakan tangkap kalau ada bukti,” tantangnya. Melihat pilihan kosa kata ASX, kita sesungguhnya sudah bisa menduga siapa yang bermain di belakang tagar ini. Kosa kata itu khas gaya Jawa Tengah-an, khususnya kota Solo. Kata itu adalah sebuah makian. Menunjukkan betapa kesal dan marahnya mereka kepada Majalah TEMPO. TEMPO Group dalam beberapa pekan terakhir memang tidak hanya menelanjangi Juliari dan PDIP, tapi juga menyerang “Anak Pak Lurah”. Masih ingat saat ramai-ramai menjelang Pilpres 2019 lalu? Bupati Boyolali Seno Samudro memaki Capres Prabowo ASX. Gara-garanya, hanya karena Prabowo Subianto mengucapkan guyonan “Tampang Boyolali”. Sebuah makian yang sangat tidak pantas terhadap seorang capres. Apalagi kini Prabowo malah menjadi Menhan dalam Pemerintahan Presiden Jokowi. *Rekom Gibran?* Dalam Laporan Utama Majalah TEMPO Edisi 21-27 Desember 2020 disebutkan, masuknya nama Sritex sebagai penyedia goodie bag bansos merupakan rekomendasi dari putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka. Juliari diduga bertemu dengan salah seorang anggota staf Puan Maharani – yang oleh netizen disebut “Anak Bu Camat” yang mengarah ke Megawati Soekarnoputri – berinisial L. Dalam pertemuan itulah duit miliaran rupiah diserahkan kepada perempuan tersebut. Dua hari sebelum ditahan di rutan KPK, Mensos Juliari menghadap Presiden Jokowi di Istana Bogor, Jumat pagi, 27 November lalu. Bersama Menko PMK Muhadjir Effendy dan Menkeu Sri Mulyani Indrawati, Juliari melaporkan perkembangan penyaluran bansos untuk masyarakat yang terdampak Corona virus Disease 2019 (Covid-19). Kepada TEMPO di kantomya pada Selasa, 15 Desember lalu, Muhadjir mengatakan, dalam pertemuan tersebut, Presiden Jokowi meminta tahun depan bantuan sosial diberikan dalam bentuk tunai selama 6 bulan. “Presiden bilang bansos sembako sudah cukup,” kata Muhadjir. Rencananya, duit yang dibagikan per bulan bemilai Rp 300 ribu. Menurutnya, pemberian bansos membetot perhatian Jokowi sejak awal. Sehari seusai pertemuan di Istana, Ketua KPK Firli Bahuri mengumumkan Juliari menjadi tersangka penerima suap bansos. Sebelumnya, KPK mencokok pejabat pembuat komitmen Kementerian Sosial, Matheus Joko Santoso, dan sopimya; Sanjaya, Presiden Direktur PT Tigapilar Agro Utama Ardian Iskandar Maddanatja; broker Harry van Sidabukke; serta beberapa orang lain di Jakarta dan Bandung. “Penyerahan uang dilakukan pada Sabtu pukul 02.00 di salah satu tempat di Jakarta,” kata Firli. KPK menyita duit Rp 14,5 miliar dalam penangkapan tersebut. Pemberian fulus itu diduga bertujuan agar Juliari dan anak buahnya memilih perusahaan Ardian dan Harry sebagai vendor penyedia bansos di kawasan Jabodetabek. Ardian dan Harry menjadi tersangka pemberi suap, sedangkan Juliari dan dua anak buahnya, Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono, menjadi tersangka penerima suap. Dari pengusaha ini, Juliari diduga telah menerima suap senilai Rp 17 miliar. Duit ini dipungut dari pemotongan dana bantuan sosial sebesar Rp 10 ribu dari paket bahan pokok seharga Rp 300 ribu. Selama 8 bulan ini, sudah 23,708 juta paket senilai Rp 6,464 triliun yang disalurkan. “Diduga disepakati adanya fee dari tiap-tiap paket pekerjaan yang haruss disetorkan para rekanan pada Kementerian Sosial melalui Matheus Joko,” ujar Firli. Pada Ahad dinihari, 6 Desember 2020 lalu, setelah anak buahnya ditangkap KPK, Juliari menyerahkan diri kepada komisi antikorupsi. Setelah diperiksa KPK, dia menyatakan akan mengikuti proses hukum. “Mohon doanya,” kata Juliari kepada para pewarta . Program bantuan sosial bagi masyarakat yang terdampak Covid-19, yang terdiri atas 14 tahap, dua diantaranya buat komunitas, diduga dirancang untuk menjadi proyek bancakan. Mendasarkan pada regulasi kedaruratan bencana. Kemensos pada Rabu, 8 April 2020, menetapkan mekanisme penunjukan langsung pada perusahaan penyedia paket bahan pokok, penyedia goodie bag, hingga untuk jasa pengiriman bantuan sampai ke kelompok penerima manfaat. Memilih vendor, Menteri Juliari Batubara membentuk tim khusus yang beranggota Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Pepen Nazaruddin serta dua pejabat pembuat komitmen, Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono. Dua pengusaha dan seorang sumber di Kemensos bercerita, tim Juliari itu kerap menggelar pertemuan dengan calon rekanan di restoran Sate Khas Senayan seberang Kemensos, Jalan Salemba, Jakarta Pusat. Sejak awal penunjukan, Matheus dan Adi meminta fee Rp 10 ribu per paket. Menurut sumber yang sama, duit itu diserahkan setelah perusahaan mereka mendapat surat perintah kerja dari Kementerian Sosial. Mereka bercerita, belakangan Matheus dan Adi meminta tambahan upeti, selain Rp 10 ribu untuk Juliari Batubara, sebesar 10-12 persen dari nilai pengadaan. Penyebabnya, paket itu ada pemiliknya, yakni sejumlah politikus dan pejabat pemerintah. Nilai rupiah yang “dicopet” itu, seperi informasi yang diterima KPK, mencapai Rp 100.000 per paket. Seperti ditulis Kompas.com, Senin (14 Desember 2020 | 16:13 WIB), bansos yang diterima masyarakat tersebut hanya senilai Rp 200.000 dari yang seharusnya Rp 300.000. “Kalau informasi di luar sih, itu dari Rp 300 ribu, paling yang sampai ke tangan masyarakat 200 (ribu), katanya, kan gitu,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Jakarta, Senin (14/12/2020), dikutip dari Tribunnews.com. Konon, duit hasil “copetan” dana bansos itu sebagian mengalir ke PDIP, dan dipakai untuk pemenangan calon dari PDIP pada Pilkada 2020 lalu. Benarkah? Ditunggu keberanian dan independensi KPK tentunya. Apalagi, Gibran sudah berani menantang KPK, jika “Anak Pak Lurah” ini terbukti ikut menikmati dana bansoss. Penulis wartawan senior fnn.co.id
Setelah Korupsi Juliari, Bagaimana Cara Menyelamatkan PDIP?
by Asyari Usman Medan FNN - Selasa (22/12). Inilah momen yang sangat menentukan bagi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Banteng sedang sekarat. Dikuliti habis oleh majalah TEMPO. Intinya, korupsi Bansos Covid-19 membuat nama PDIP semakin terperosok. Korupsi bansos oleh Juliari Batubara menunjukkan ada masalah serius di tingkat elit PDIP. Artinya, dalam jangka penjang, partai berlambang kepala banteng ini tidak akan menarik bagi generasi muda, khususnya generasi milenial. Ada yang mulai mempertanyakan apakah entitas politik seperti PDIP bisa dibubarkan gara-gara terlalu banyak kadernya melakukan korupsi. Sebetulnya tidak perlu berpikir untuk membubarkan PDIP. Sebab, partai ini sangat mungkin akan bubar dengan sendirinya. Alias auto-bubar. Mengapa bisa begitu? Pertama, ke depan ini kelangsungan hidup suatu partai akan sangat tergantung pada minat kalangan milenial untuk bergabung. Tanpa kaderisasi milenial yang serius, PDIP akan kehabisan darah untuk terus hidup. Ini yang menjadi masalah besar bagi Banteng. Konektivitasnya dengan generasi milenial sangat lemah, kalau tak bisa dikatakan nyaris tidak ada. Nah, secara umum, anak-anak milenial ‘tak masuk’ dengan cara berpikir dan bertindak Bu Megawati, Puan Maharani, Hasto Kristiyanto, dan para senior PDIP lainnya. Kedua, anak-anak milenial rata-rara sangat benci terhadap korupsi. Juga mereka tak suka kolusi dan nepotisme. Plus, mereka pasti tidak akan suka dengan feodalisme di kerajaan PDIP. Padahal, feodalisme inilah yang menjadi “AD-ART” Banteng. Sekali lagi, yang sangat tidak menarik bagi generasi milenial adalah reputasi jelek PDIP gara-gara korupsi yang dilakukan oleh begitu banyak kadernya. Ketiga, gambaran korupsi yang melilit PDIP saat ini sangat mencemaskan. Boleh dikatakan, Banteng dilanda penyakit korupsi akut. Sulit diobati. Sejauh ini, secara statistik, PDIP menempati urutan teratas sebagai partai dengan kader yang terbanyak terlibat korupsi. Yang terbaru, dalam rentang 10 hari terciduk tiga kader PDIP. Pada 27 November 2020, walikota Cimahi, Ajay Muhammad Priatna, kena OTT dan ditetapkan sebagai tersangka. Tak sampai sepekan kemudian, bupati Banggai Laut, Wenny Bukamo, terkena operasi yang sama pada 3 Desember 2020. Puncaknya, pada 5 Desember 2020, Juliari Peter Batubara yang waktu itu menjabat sebagai menteri sosial juga kena OTT. Juliari dijadikan tersangka penyunatan dana bansos setidaknya Rp10,000 per paket bantuan Covid-19. KPK menduga jumlah yang dikorupsi kemungkinan mencapai Rp100,000 per paket. Ada jutaan paket yang telah didistribusikan kepada warga yang berhak menerima. Sepanjang 2018, ada delapan (8) kepala daerah asal PDIP yang terjaring OTT korupsi. Dari 8 orang itu, tujuh bupati dan satu walikota. Ini dalam 12 bulan saja. Bisa dibayangkan sebesar apa dampak negatif dari OTT delapan kepala daerah ini. PDIP pastilah mandi comberan akibat penangkapan kedelapan kader seniornya itu. Dan juga akibat berbagai penangkapan lainnya. Baik itu sebelum 2018 maupun setelahnya. Pemberitaan tentang PDIP yang terkait dengan korupsi berlangsung masif. Tak terelakkan, publik mengidentikkan PDIP dengan korupsi. Begitulah kesan yang didapat kalangan milenial. Mereka tahu bahwa PDIP sarat dengan skandal korupsi. Generasi milenial juga menyimak banyaknya komentar di media mainstream dan media sosial yang menyebutkan bahwa PDIP adalah partai terkorup di Indonesia. Sepanjang 2002 hingga 2017, dari 341 kasus korupsi kader 12 parpol, 120 diantaranya (35%) adalah kader PDIP. Jadi, sangatlah berat bagi PDIP untuk membawa masuk anak-anak muda yang berpikiran lurus dan sangat membenci korupsi. Tapi, kalau PDIP tak peduli dengan reputasinya, tentu masih tersedia anak-anak muda yang siap melanjutkan praktik korupsi itu. Di tangan mereka inilah nanti PDIP punah dengan sendirinya. Jadi, setelah korupsi bansos Juliari Batubara, pertanyaan besarnya adalah bagaimana cara menyelamatkan PDIP. (Penulis wartawan senior fnn.co.id)