HUKUM

Sekarang Waktu Yang Tepat Untuk Bubarkan OJK

by Ahmad Suryono SH.MH. Jakarta FNN – Ahad (12/07). Saat menginisiasi Permohonan Uji Materi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Tahun 2014 di Mahkamah konstitusi (MK), banyak pihak yang belum percaya dengan apa yang kami perjuangkan. Terutama yang terkait Supremasi Absolut OJK yang berpotensi disalahgunakan. Supremasi itu berupa kewenangan yang sangat mutlak di satu tangan. Dimulai dari Pengaturan, Pengawasan, dan Penegakan Hukum di Industri Keuangan. Barulah enam tahun kemudian terbukti bahwa kewenangan sangat mutlak ini tidak dibarengi dengan protokol pengawasan internal yang memadai. Bagaimana mungkin praktik kotor, licik dan culas di asuransi yang jelas-jelas melanggar, dapat dengan mudah lolos dari pengawasan OJK? Boleh percaya, boleh juga tidak. Namun ini nyata terjadi. Bahkan andaikan OJK telah menilai praktik kotor asuransi tersebut bersalah dan melanggar hukum, mengapa OJK tidak berdaya mencegah? Apakah mungkin ada mekanisme hubungan kelembagaan di internal OJK yang memang bermasalah? Sehingga menjadi celah, serta luput untuk tidak diatur? Setidaknya ada tiga topik yang relevan untuk dibahas dan menjadi alasan mengapa pembubaran OJK menadji kebutuhan yang mendesak. Pertama, OJK secara konseptual gagal. Kasus Jiwasraya menunjukkan ada lubang terkait kewenangan pengawasan, dan atau mekanisme self control terhadap mekanisme pengawasan tersebut di internal OJK. Jadi, yang bermasalah atau sumber permasalahan itu adanya di OJK. Bukan di luar OJK. Jika memang pengawasan telah belangsung dengan baik dan proper, maka secara teori kasus Jiwasraya tidak mungkin terjadi. Jikapun terjadi, seharusnya terdapat pertanggungjawaban sistemik. Yang bertanggung jawab itu, bisa sampai kepada pengambil keputusan tertinggi, yaitu Dewan Komisioner. Faktanya, hingga detik ini hubungan koordinasi dan pengambilan keputusan tersebut menjadi putus. Keputusan itu seolah-olah terhenti hanya di tersangka Fahri Hilmy saja. Dewan Komisioner OJK sepertinya tidak punya kesalahan sedikitpun atas skandal perampokan ini. Yang lebih parah lagi. Jika memang secara konseptual, pengawasan terintegrasi yang selama ini menjadi senjata pamungkas OJK hanyalah omong kosong. Hanya utopia yang memang secara natural tidak mungkin diatur dan diawasi. Kalau seperti ini adanya untuk apa lagi kelembagaan OJK dipertahankan lagi? Kedua, terdapat celah protokol pengawasan internal yang tersumbat. Celah ini nampak nyata karena yang ditetapkan tersangka hanyalah bawahan. Berkaca dari kasus Bank Century, KPK setidaknya progresif dengan memanggil (berkali-kali) anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) yang terlibat dan ikut dalam pengambilan keputusan bailout Century. Jika memang kejahatan Jiwasraya hanya dilakukan oleh pejabat setingkat Kepala Departemen, maka patut dipertanyakan alarm system internal di OJK. Sejauh mana bisa alarm tersebut bisa mendeteksi potensi kejahatan pegawai internal mereka? Bukan tidak mungkin, di bagian lain dari OJK, juga terjadi hal serupa. Inilah waktunya untuk OJK dibubarkan. Ketiga, konsep independensi OJK yang salah kaprah. Filosofi independensi yang digaungkan oleh OJK akan sangat kontradiktif. Alasanya, karena OJK masih saja menjadi tukang pungut iuran. OJK masih mengambil kutipan dari pelaku usaha yg berpotensi mengurangi independensi. Lebih parah lagi, independensi yang dipraktekkan oleh OJK adalah independensi yang mau mengatur dirinya sendiri. OJK memang bebas, namun tidak mau diatur dan ditertibkan oleh pihak luar. Tidak mau diawasi. Tidak mau ada mekanisme self control yang transparan. Maunya berbuat sesuka hati. Organisasi sekelas OJK seharusnya dipatuhi dan disegani oleh para pelaku usaha. Tujuannya, agar OJK mampu menegakkan visinya untuk mengintegrasikan pengaturan dan pengawasan industri keuangan di satu tangan. Kalau masih jadi tukang pungut iuran, bagaimana mungkin mau disegani? Jika integritas masih belum terbentuk karena waktu, maka harus dibangun dengan sistem dan mekanisme kontrol yang ketat. Mekanisme yang tidak memungkinkan pelanggaran dan kejahatan dilakukan oleh pengawas OJK. Jangan sampai pelaku malingnya adalah satpam penjaga rumah sendiri. Jika ini yang terjadi, maka sudah waktunya untuk OJK dibubarkan. Oleh karena itu pembubaran OJK menjadi sangat relevan dan menemukan momentumnya, maka sekarang adalah waktu yang paling tepat. Membubarkan OJK tidaklah membuat negeri ini kolaps kok. Mending sekarang dibubarkan, daripada OJK berubah menjadi serigala baru dalam rimba industri keuangan nasional kita. Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jember dan Pemohon Uji Materi UU OJK pada Tahun 2014.

Mahkamah Kontitusi Harusnya Bagian Dari Mahkamah Agung (Bag-1)

by Prihandoyo Kuswanto Jakarta FNN – Ahad (12/07). Bagi pemerhati ketatanegaraan dan hukum, memang ada yang ganjil sejak UUD 1945 diamandemen trahun 2002. Kemudian lahir Makamah Konstitusi (MK). Padahal di dalam UUD 1945 yang asli, pemegang kedaulatan hukum tertinggi adalah Makamah Agung (MA). Sejak itulah, terjadi dua matahari di dalam kekuasaan hukum. Kenyataan ini tentu saja menjadikan hukum tidak lagi memberi kepastian hukum kepada para pencari keadilan . Setelah diamandemennya UUD 1945, memang terjadi karut-marut di dalam ketatanegaraan kita. Belum selesai polemik terkait Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasil (RUU HIP) yang dengan sengaja terjadi jungkir-balik Tata Urutan Hukum, Pancasila yang menjadi sumber dari segala sumber hukum dibalik menjadi hanya UU Haluan Ideologi Pancasila. Peraturan perundang-undangan, menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011) adalah “peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan”. Pada Jum’at 3 Juli 2020 lalu, Mahkamah Agung (MA) mengunggah hasil putusannya yang bisa menimbulkan kembali perdebatan dan polemik tentang hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 lalu. Keputusan tersebut sesungguhnya bukan keputusan yang baru kemarin. Namum baru dipublikasikan dalam website resmi MA pada 3 Juli lalu. Putusan Mahkamah Agung No 44 P/HUM/2019 tertanggal 28 Oktober 2019 tersebut, tentu saja berpotensi menimbulkan polemik mengenai keabsahan hasil Pilpres 2019. Intinya putusan itu menganggap Pasal 3 ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pangkal persoalannya mengenai pasangan capres-cawapres yang hanya dua orang. Peraturan KPU mengisi celah ruang kosong yang tidak diatur oleh UU Pemilu. Sehingga tanpa perlu ada putaran kedua dan tanpa mempertimbangkan syarat kemenangan suara dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah provinsi di Indonesia, KPU menetapkan pasangan capres-cawapres dengan suara terbanyak sebagai pemenangnya. Aturan ini ternyata dibatalkan oleh MA. Polemik tidak bisa dilantiknya Jokowi sebagai yang dimenangkan pilpres oleh KPU. Ternyata tidak serta merta bisa dilantik sebab telah berhadapan dengan UUD 1945. Mau direkayasa bagaimanapun jelas tidak mungkin. Kecuali dengan mengganti negara hukum menjadi negara kekuasaan. Apakah itu dimungkinkan? Ternyata UUD 1945 ditabrak dan ditafsir lain oleh KPU sesuka hatinya. Padahal Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 berbunyi: (i) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum; dan (ii) dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Ini adalah hasil dari amandamen UUD 1945, khususnya pasal tentang pemilihan presiden/wakil presiden. Melihat butir 2, secara implisit dapat dikatakan Jokowi belum bisa dinyatakan sebagai pemenang. Karena tidak suara terbanyak 17 propinsi, dan di beberapa propinsi perolehan suara kurang dari 20%. Ada yang berpendapat kalau sudah diputuskan MK melalui gugatan seseorang. Bahwa butir dua pasal 6A ayat 3 tidak berlaku jika paslon cuma dua. Kalau betul MK telah memutus sesuai paragraf di atas, maka keputusan MK adalah sah. Tanpa merubah isi dan norma dari pasal-pasal tersebut? Kalau sah, berarti kedudukan MK di atas UUD 1945. Padahal yang berhak merubah UUD 1945 adalah MPR. Kalau begitu, kedudukan MK di atas UUD 1945. Berikut petikan berita, bahwa MK tidak berhak merubah UUD 1945. Catat itu baik-baik. Merubah UUD 1945. Bukanmerubah undang-undang. Berita Detik.com 5 Maret 2014 berjudul “Bisakah UUD 1945 Diubah oleh MK? Ini Jawaban Calon Hakim Konstitusi” Calon hakim konstitusi Yohannes Usfunan yang mendapat giliran terakhir dalam uji kepatutan dan kelayakan di Komisi III DPR. Yohannes mendapat pertanyaan tentang bisa atau tidaknya UUD 1945 diubah oleh hakim MK? “Bisa tidak hakim MK mengubah UUD 1945?” tanya anggota tim pakar Komisi II DPR Saldi Isra di Gedung DPR Senayan pada Rabu (5/3/2014). Yohannes lalu menjawab bahwa menurut pasal 37 UUD 1945, pengubahan bisa dilakukan, dan diserahkan kepada MPR. Bukan kepada MK. Saldi yang tak puas, kembali mencecar Yohannes. “Secara teoritis bagaimana? Bisa tidak MK mengubah UUD 1945?” tanya Saldi lagi. “Secara diam-diam bisa. Secara implisit bisa ada perubahan. Tetapi secara formal tidak bisa, karena itu wewenang dari MPR,” jawab Yohannes. Jawabannya itu memunculkan pertanyaan dari Saldi. “Bagaimana itu caranya diam-diam?” tanya Saldi sambil menahan tawa. “Maksudnya implisit. Suatu putusan mengubah UU,” jawab Yohannes yang langsung dipotong Saldi. “UUD lho, bukan UU,” katanya tegas. “Berarti tidak boleh. Saya tidak temukan teorinya,” jawab Yohannes yang kemudian kembali dicecar Saldi. “Bapak sudah baca buku Konstitusi-Konstitusi Modern dari K.C Wheare?” tanya Saldi. Ternyata Yohannes belum membacanya. “Lho, itu kitab yang harus dibaca!” kata Saldi mengeluhkan Yohannes. Komisi III melaksanakan fit and proper test untuk calon hakim MK sejak Senin (3/3/2014) hingga hari ini dengan didampingi 8 orang tim pakar. Sebanyak 11 orang calon hakim diseleksi untuk mencari pengganti Akil Mochtar yang ditangkap KPK dan Harjono yang akan pensiun. Semakin rumit pilpres kali ini. Mangkanya Jokowi berbalik arah untuk menggandeng Prabowo. Mengapa? memang disamping tidak mempunyai legitimasi, juga tidak bisa dilantik tanpa power sharing dengan Prabowo. Jika mengacu pada pilpres, harusnya Prabowo yang menang. Sebab persyaratan menang tercukupi tapi sayang di rekayasa untuk kalah oleh KPU. Tetapi ternyata ada persoalan yang lebih urgent dibanding dengan sekedar memenangkan angka dengan kecurangan Terstruktur Sistematis dan Masif (TSM). Rupanya “becik ketitik oloh ketoro” berlaku dalam hukum pilpres. “Becik Ketitik Olo Ketoro“ berarti segala sesuatu perbuatan yang baik pasti akan menuai kebaikan. Sebaliknya, setiap perbuatan buruk dan jahat pastinya akan terkuak juga di kemudian hari. Sopo Sing Salah Bakal Saleh = orang yang berbuat salah akan memetik buah jeleknya. Lama kelamaan perbuatan itu akan ketahuan pula. Jadi, kecurang yang dilakukan secara terstruktur, tersistem dan masif akan terbuka walau ditutup-tutupi. “Gusti Alloh mboten sare”. Ungkapan nasehat yang sederhana ini adalah bentuk dan wujud dari ungkapan keikhlasan terhadap keadaan dan kondisi yang pasrah dengan ikhlas. Tentu saja tidak ada didunia ini tanpa sepengetahuan sang khaliq, termasuk sehelai daun kiring yang memang sudah waktunya jatuh. Bahwa benar putusan MA Nomor 44 P/HUM/2019 tertanggal 28 Oktober ini tidak berlaku surut (non-retroaktif). Keputusan KPU menetapkan Jokowi-Ma’ruf Amin sebagai pemenang itu tanggal 21 Mei 2019. Lima bulan sebelum keluarnya putusan dari MA. Kalau kita mendalami persoalan ini, maka tentu saja semakin tidak adanya kepastian hokum. Apa sudah betul, bahwa keputusan KPU itu tidak bisa dianulir oleh MA .Kalau begitu apa KPU lebih tinggi dari pada MA? Semakin bertambah ruwet lagi masalahnya. Repotnya, Pasal 416 UU Nomor 7/2017 itu merupakan norma yang disadur dari Pasal 6A ayat (3) UUD 1945. Artinya, ada kemungkinan UU Pemilu digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK), selama Pasal 6A UUD 1945 tidak diamandemen untuk mengakomodasi Pilpres hanya diikuti dua pasangan. Sayangnya celah hokum itu sudah tertutup. Sebenarnya dengan adanya dua putusan MK masing-masing No. 50/PUU-XII/2014 dan No. 39/PUU-XVII/2019, apakah MK bisa merubah norma yang ada di UUD 1945? Disinilah terjadi dua Matahari Kembar persoalan hokum di negeri ini. Antara MA dan MK sering mempunyai keputusan hukum yang berbeda. Terlepas dari argumen hukum yang digunakan oleh berbagai pakar, tetapi terjadinya dua Matahari Hukum ini berpotensi menimbulkan keruwetan dan ketidakpastian hukum bagi pencari keadilan. Apakah Makamah Konstitusi lebih rendah dibanding Makamah Agung? atau sebaliknya, Makamah Konstitusi lebih tinggi dari Makamah Agung ? atau Makamah Konstitusi dan Makamah Agung sederajat? Maka potensi kerancuan hukum dan ketidakpastian hukum pasti akan terjadi. Seharusnya Makamah Konstitusi itu bagian dari Makamah Agung. Bagian dari Kamar Konstitusi di Mahkamah Agung. Sama dengan Kamar Pidana, Kamar Perdata, Kamar Agama dan Kamar Militer. Praktek seperti ini yang berlaku hampir sebagian besar negara di dunia. Jadi tidak berdiri sendiri seperti Indonesia. Bersambung.

Pejabat Pemulihan Ekonomi Diburu Risiko Hukum

by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Janganlah engkau menjadi lampu yang membakar diri lalu menerangi orang lain. Keluarkan kecintaanmu terhadap dunia karena aku tak akan menyatukan antara cinta dunia dan cinta pada-Ku pada hati yang sama (Al-Ghazali). Jakarta FNN- Rabu (08/07). Pandemi corona masih terus menggerogoti daya tahan Indonesia. Orang sakit dan mati terus saja terjadi dari hari ke hari, sejauh ini. Akibat non klinis, terutama bidang ekonomi yang di bawanya pun luar biasa mengerikan. Sejumlah ekonom kredibel telah menemukan kenyataan bahwa perekonomian nasional terus memburuk. Orang kehilangan pekerjaan dan susah cari makan terus saja muncul. Hukum dan politik juga sama. Berantakan di sana-sini. Hukum menjadi andalan terhebat untuk mengepung orang-orang kritis. Kritik terhadap Presiden, disambut aparatur hukum dengan penangkapan dan penahanan. Hebatkah ini? Mungkin iya. Tetapi di dalamnya juga menyemburkan sisi lain yang mengerikan. Sisi itu adalah keangkuhan politik. Jebakan Perpu Administrasi negara, semenjak krisis ekonomi tahun 1929, dikenal sebagai unit terkompleks dalam organisasi negara. Dan administrasi keuangan negara, muncul sebagai sub-unit dalam administrasi pemerintahan terkompleks. Kompleksitas itu, mungkin ada yang tidak menyukainya. Itu merupakan konsekuensi langsung dari keharusan politik. Uang yang dikelola oleh kementerian dan lembaga misalnya, jelas. Uang itu bukan milik pribadi Presiden, Menteri, Sekjen, Dirjen, Direktur, dan Deputi dan lainnya. Bukan. Ini uang negara. Setidaknya bukan uang pribadi semua aparatur di dalam kementerian itu. Konsekuensinya pengeloaan dan tanggung jawab harus jelas pada semua aspeknya. Kejelasan tanggung jawab, tak bisa dikurangi dalam keadaan apapun dan dengan alasan apapun. Memang tatanegara dan administrasi negara kuno dan konyol, menyodorkan jalan keluar dalam mengatasi soal ini. Jalan keluarnya adalah mengaitkan tindakan yang melampaui batas hukum dengan tujuan dan manfaat besar tindakan itu. Esensi doktrin kuno itu adalah dalam keadaan darurat, aparatur negara bisa mengambil tindakan administrasi melampaui batasan hukum yang tersedia. Untuk mencapai tujuan dan manfaat yang lebih besar. Sesederhana itukah? Tidak juga. Mengapa? Manfaat itu harus dipertalikan secara ketat dengan keadaan yang nyata, dan obyektif. Keadaan nyata itu tidak bisa diperoleh dengan cara dibayangkan atau dirancang secara hipotetik. Apalagi dikarang-karang. Keadaan nyata itu harus memiliki bentuk obyektif –terlihat secara nyata. Dapat diukur dan dicek - oleh semua pihak. Pembaca FNN yang budiman, administrasi negara, setidaknya administrasi pemerintahan, dilaksanakan berdasarkan hokum. Bukan berdasarkan perasaan. Mengapa pakai hukum, bukan perasaan? Hukum dapat dicek. Sedangkan perasaan tidak bisa dicek. Hukum mengandalkan obyektifitas. Sementara perasaan mengandalkan subyektifitas. Obyektifitas disajikan oleh pikiran rasional untuk menghadirkan patokan bersama. Patokan bersama menjadi cara orang-orang rasional menyerukan agar orang memiliki harapan, atau berpengharapan. Karena hukum bekerja berdasarkan norma, yang semua orang dapat mengenal dan membacanya. Perasaan tidak dapat dikenal. Tidak menghadikan obyektifitas. Tuga tidak menghadirkan patokan bersama. Tidak. Perasaan seseorang berbeda dengan perasaan orang lain. Disebabkan tidak dapat dijadikan patokan bersama, maka orang tidak memiliki alasan untuk berpengharapan. Suka atau tidak, perasaan dapat berubah-ubah. Tergantung pada suasana hati dan keadaan. Perasaan justru menjadi pangkal lahirnya kolusi, nepotisme yang menjadi terdekat ke korupsi. Perpu No.1/2020 Jebakan Berbahaya Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang judulnya panjang sekali itu, pantas dibicarakan dalam konteks di atas. Perpu ini, sepintas terlihat hebat. Tetapi sejatinya justru menyediakan begitu banyak jebakan berbahaya. Tidak tersedia kepastian yang diperlukan menurut prinsi-prinsip hukum untuk dijadikan dasar yang kokoh dan tak meragukan tindakan administrasi negara, merupakan salah satu jebakan itu. Pasal 11 ayat (3) Perpu misalnya, layak disodorkan sebagai ilustrasi adanya ketidakmemadaian kepastian hukum. Dua soal hukum muncul dari pasal ini. Pertama, apa parameter hukum untuk; a penempatan dana. b. investasi atau c. penjaminan? Kedua, siapa yang menentukan, dalam makna memutus satu di antara tiga tindakan yang dimungkinkan itu? Ketiga, sahkah satu diantara tiga hal dalam pasal di atas dilakukan oleh, misalnya Menteri Keuangan atau Menteri BUMN? Bila satu di antara dua menteri ini melakukan tindakan itu dianggap sah, apa dasarnya? Perpu ini sebagai dasarnya? Tidak. Mengapa? Terminologi pemerintah dalam pasal ini (pasdal 11) Perpu tidak menunjuk menteri. Terminologi ini menujuk Presiden. Dapatkah Menteri melakukan tindakan itu? Bisa, tetapi bersyarat. Syaratnya harus dibuat peraturan tertentu. Peraturan itu harus secara spesifik menguasakan kewenangan Presiden kepada Menteri untuk melakukan tindakan dalam pasal 11 itu. Ini menarik. Ini hanya bisa dilakukan dengan satu bentuk hukum spesifik yang menjabarkan atau mengatur kewenangan, lengkap dengan ruang lingkupnya. Sayangnya PP Nomor 23 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Perekonomian Nasional, sebut saja begitu mengingat judul PP kelewat panjang, juga tidak menunjuk mengatur menteri siapa yang bertanggung jawab atau diberi kuasa oleh Presiden melakukan tindakan itu. Persis Perpu, PP ini juga menggunakan terminologi umum, yakni pemerintah. Seharusnya PP ini berisi pengaturan kuasa kewenangan itu secara spesifik kepada satu atau dua menteri. Bila diberi kuasa kepada dua menteri, maka harus diatur batas kewenangan kedua menteri itu, serta hubungan kewenangan kedua menteri itu. Ini telah tidak dilakukan. Takut itu Bagus Takut atas konsekuensi hukum yang muncul dikemudian hari setelah program pemulihan ekonomi nasional dilaksanakan, hemat saya itu bagus. Bagus, karena dua hal; Pertama, tanggung jawabn administrasi negara itu bersifat individual. Kedua, baik Perpu maupun PP sama-sama punya kelemahan yang sangat fatal. Baik Perpu maupun PP sama-sama tidak menyediakan skema kewenangan dan syarat-syarat hukum yang bersifat teknis. Perpu dan PP berbicara dengan bahasa yang sangat umum. Bahasa yang umum justru menghasilkan ketidakpastian. Ketidakpastian inilah yang membahayakan setiap pejabat. Penggunaan bahasa yang umum, mungkin dipilih sebagai cara menyediakan ruang diskresi sebesar mungkin kepada menteri, dirjen, deputi dan direktur. Diskresi bukan barang terlarang dalam penyelenggaraan administrasi negara. UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan membenarkan aparatur administrasi negara mengambil diskresi. Tetapi UU ini mengatur secara spesifik syarat, tata cara dan tujuan diskresi. Disebabkan diskresi diikatkan pada syarat, tata cara dan tujuan, maka diskresi tidak bisa begitu saja digunakan. Syarat cukup jelas digariskan dalam UU, juga tujuannya. Syarat tidak menyediakan ruang tafsir. Tujuan memerlukan tafsir. Ketepatan tafsir tergantung pada ketepatan merumuskan tujuan. Ketepatan merumuskan tujuan bergantung pada ketepatan identifikasi terhadap keadaan nyata secara obyektif. Pasal 11 ayat (5) Perpu misalnya terlihat menyediakan ruang diskresi itu. Kata-kata penempatan dana dan/atau investasi dapat dilakukan langsung oleh pemerintah dan/atau lembaga keuangan, manajer investasi dan/atau lembaga lain yang ditunjuk. Soal hukum dibawah ini harus dibuat jelas. Soal-soal itu adalah: (a) bagaimana parameter untuik pemerintah memilih penempatan dana dan bagaimana parameneter pemerintah memilih investasi. (ii) Apa saja lembaga keuangan itu. Bank atau nion bank. Mengapa Bank dan mengapa non bank. (c) Apa parameter menunjuk menajer investasi. (d) Apa yang dimaksud dengan lembaga lain yang ditunjuk? Bisakah soal-sioal itu dipecahkan dengan diskresi? Bisa saja, sejauh pejabat itu tahu mendefenisikan, dalam arti memberi bentuk terhadap syarat diskresi. Juga tepat dalam mengidentifikasi keadaan, sehingga diskresi itu tidak mengaburkan tujuan diskresi. Rumit memang, dan jelas mengganggu kenyamanan kerja pejabat. Itu sebabnya logis pejabat merasa ketakutan dalam bertindak. Lain soalnya bila kriteria-kriteria atas soal-soal di atas diatur dalam PP Nomor 23 Tahun 2020. Sayangnya tidak. Itulah masalahnya. Suka atau tidak, soal-soal di atas itulah yang akan menajdi obyek pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab pejabat itu oleh BPK. BPK tidak mungkin tidak mempertanyakan, misalnya mengapa anda memilih bank, bukan non bank atau sebaliknya. Ini soal prosedur. Prosedur adalah cara memastikan kebenaran mengejar tujuan besar yang hebat itu telah dicapai dengan cara yang benar. Ini penting. Lebih dari segalanya. Prosedur juga menjadi pijakan utama, satu-satunya penegak hukum membangun konstruksi hukum tentang ada atau tidak niat melakukan perbuatan melawan hukum, sekaligus menyatakan ada atau tidaknya tindakan melawan hukum. Memeriksa dasar hukum atas tindakan itu, telah menjadi pekerjaan standar BPK dalam tindakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggu jawab atas keuangan negara. BPK akan selalu begitu. Itulah BPK. Hidung dan penciumannya akan diarahkan ke soal-soal itu. Penciuman profesionalnya akan menuntun BPK untuk terus bertanya mana dasar hukum untuk tindakan ini dan itu. Mereka, seperti biasa, akan meminta semua itu –dasar hukum dan data teknis- disediakan dan disajikan layaknya sajian makanan pembesar, selengkap mungkin diletakan di atas meja pemeriksaan. Prosedur-prosedur tindakan administrasi negara dalam merealisasikan program pemulihan perekonomian nasional, tidak bisa dikarang oleh pejabat. BPK akan selalu mau mendengar suara manis pejabat yang diperiksa. Tetapi semanis dan seindah apapun suara pejabat, tetap tak mengubah apapun. BPK tak usah dibuat tersipu dengan manisnya tujuan yang didendangkan pejabat. Tidak. BPK hanya perlu dibuat tersipu, riang dan gembira dengan meletakan Perpu, PP, Perpres, Kepres dan Kepmen di atas meja pemeriksaan. Pejabat, andai bisa, sajikan saja itu sebagai nanyian terindah di musim pemeriksaan BPK. Sekjen, Dirjen dan Irjen, juga Deputi dan Direktur, tak perlu mengarang indah lalu menulis karangan tentang tujuan, keadaan nyata dan dasar hukum. Sekjen, Dirjen dan Irjen, hanya perlu dan harus memeluk erat seerat pelukan Dia yang dicintai dengan dasar hukum yang kokoh, data yang valid dan obyektif. Itu saja. Hukum telah begitu terang melarang Sekjen, Dirjen, Irjen, Deputi dan Direktur menampilkan diri sebagai pahlawan. Hukum mengharus semua orang itu berpegang teguh pada hukum dan data obyektif. Hukum akan memburu siapapun pejabat, yang teridentifikasi mengabaikan hukum dan data obyektif dalam bertindak. Mengerikan. Sekarang BPK belum akan masuk. Tahun anggaran belum berakhir. Hukum belum memungkinkannya. Itu jelas. Tidak mungkin saat ini pemerintah membuat Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP). Tetapi semua akan berubah segera setelah tahun anggaran berakhir. Sesaat setelah itu barulah hukum memungkinkan BPK masuk memeriksa. Sekjen, Irjen, Dirjen, Deputi dan Direktur hanya perlu tahu bahwa hukum terlalu buta untuk bisa mengenal kata-kata pahlawan. Bertekadlah sekuat yang bisa, dan nyatakanlah sekuat orang beriman bahwa tuan-tuan tak sudi jadi pahlawan kesiangan. Pastikanlah bahwa yang tuan-tuan besar rindukan dan inginkan hanyalah patuh pada hukum. Hindarkanlah sekuat mungkin kekeliruan-kekeliruan kecil. Sadarilah sedini mungkin kekeliruan yang mungkin terjadi. Akhir yang indah, dihasilkan oleh kemauan mengenal kekeliruan disaat ini. Esok yang indah bersama anak istri dan cucu-cucu tersayang dihasilkan dari takut pada hukum disaat ini. Bathin tak boleh tersiksa dihari esok. Tak usahlah jadi pahlawan, bila hari-hari esok terus diintai kekeliruan kecil saat ini. Takut pada hukum, sejatinya bagus untuk semua aspek untuk tuan-tuian. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate

Skandal Politik Pilpres 2019 Dibuka Mahkamah Agung

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Selasa (07/07). Tayangan video youtube dari konsultan media dan politik, yang juga penulis wartawan senior dari Forum News Network (FNN.co.id) Hersubeno Arief, cukup mengejutkan. Bahwa pada tanggal 28 Oktober 2019, Majelis Hakim Mahkamah Agung telah memutuskan, dengan mengabulkan permohonan uji materiel Bu Rachmawati Soekarnoputri cs. terhadap Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019 tentang penetapan pemenang Pilpres 2019. Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019 inilah yang digunakan oleh KPU sebagai alasan hukum untuk menetapkan Jokowi-Ma’ruf Amin sebagai pemenang Pilpres 2019. Anehnya, Putusan Mejelis Hakim Agung Nomor 44 P/HUM/2019 yang diputus tanggal 28 Oktober 2019 tersebut baru diumumkan ke publik Jum’at tanggal 3 Juli 2020. Bertindak sebagai Majelis Hakim Agung adalah Dr. H. Supandi SH. M.Hum sebagai Ketua Majelis, dan Dr. Irfan Fachruddin SH. CN. dan Is Sudaryono SH. MH. sebagai anggota majelis. Putusan ini baru diupload di website Mahkamah Agung pada Jum’at 3 Juli 2019. Dampaknya, selain mengakibatkan kejutan di masyarakat, termasuk luar negara, jugamembawa dampak politik dan hukum. Putusan ini menjadi dugaan telah terjadinya skandal besar, berupa penutupan informasi punlik yang sangat penting. Adapun diktum penting dari Putusan Majelis Hakim Agung tersebut, antara lain pada butir 2 dan 3, yaitu : “2. Menyatakan ketentuan Pasal 3 ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia No 5 tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi dan Penetapan Calon dalam Pemilihan Umum, bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum”. “3. Menyatakan ketentuan Pasal 3 ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia No 5 tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi dan Penetapan Calon dalam Pemilihan Umum, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat ". Nah sangat jelas bahwa Penetapan Pasangan Jokowi Ma'ruf Amin sebagai Presiden/Wakil Presiden itu ditetapkan KPU berdasarkan Pasal 3 ayat (7) yang telah dinyatakan Mahkamah Agung "bertentangan dengan UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum" dan "tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat". Oleh karena itu status Jokowi-Ma'ruf Amin sebagai Presiden/Wakil Presiden tersebut menjadi "batal demi hukum" (nietigheid van rechtswege) atau sekurang-kurangnya "dapat dibatalkan" (vernietigbaar). Aada tiga skandal yang berkaitan dengan Putusan Mahkamah Agung No. 44 P/HUM/2019 ini, yaitu : Pertama, pengendapan sampai 9sembilan bulan putusan penting adalah suatu kejahatan yang sangat luar biasa. Diduga melibatkan banyak pihak. Mereka terdiri dari penyuruh (medeplichtige), pelaku (dader), dan turut serta (mededader). Mesti segera diusut oleh aparat hukum. Kedua, skandal korupsi. Bahwa iklim politik yang kapitalistik dan transaksional membuat dugaan kuat terjadinya korupsi suap atau gratifikasi pada pejabat di lingkungan Mahkamah Agung. KPK seharusnya mulai bergerak melacak skandal ini. Ketiga, ini adalah skandal politik. Presiden Jokowi bekerja dengan tingkat keabsahan yang diragukan. Paling kurang tanpa tanpa keabsahan hukum sebagai Presiden. Ini dapat "sudden death". Berhentikan dengan cepat. KPU mesti mencabut keputusan pemenang. Informasi penting yang nanti yang sangat signifikan juga bakal didapat dari pihak pemohon, yaitu Bu Rachmawati cs. Info penting itu untuk memulai pembongkaran skandal besar dalam proses politik di negeri ini. Keraguan sejak dini tentang kemenangan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin akan segera terjawab. Kebenaran akan terkuak. Putusan Mahkamah Agung menjadi sinyal bahwa kemenangan memang didapat dengan curang dan tidak legal. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Tinjauan Yuridis (2): Polisi Tidak Boleh Hentikan LP TAKTIS

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Selanjutnya, Pasal 40 ayat 5 UU Parpol menunjuk pada keberadaan Parpol yang menganut dan mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham komunisme/Marxisme-Leninisme. Jadi, Pasal 40 ayat 5 UU Parpol terkait dengan Pasal 107e huruf a dan Pasal 107a UU Keamanan Negara sebagaimana disebutkan sebelumnya. Ketiga pasal itu tergolong delik formil, yakni perbuatan yang tidak mempersyaratkan/membutuhkan adanya suatu akibat tertentu. Kedua, Pasal 107d UU Keamanan Negara. Pasal ini merupakan delik pemberat atau delik spesialis dari Pasal 107a. Pada Pasal 107a atas perbuatan menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme tidaklah dimaksudkan untuk mengubah atau mengganti Pancasila. Pelaku hanya melakukan menyebarkan atau mengembangkannya. Tidak demikian halnya dengan Pasal 107d, pelaku menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme -Leninisme ”dengan maksud” mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar Negara. Sama halnya dengan Pasal 107a pembentuk UU menambahkan frasa ”dan atau melalui media apapun” mengandung pengertian yang luas. Menurut Abdul Chair Ramadhan termasuk dalam kaitan perumusan rancangan undang-undang (in casu RUU HIP). “Sepanjang dilakukan dengan maksud itu mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar Negara, maka Partai pengusul RUU HIP bisa dijerat dengan Pasal 107d,” ujar Abdul Chair Ramadhan. Pada tindakan mengubah atau mengganti Pancasila, maka kesengajaan sebagai maksud memang diarahkan guna mencapai tujuan yang dikehendaki. Perubahan dimaksud antara lain yang paling prinsip adalah perihal Ketuhanan Yang Maha Esa dan Keadilan Sosial. “Keadilan Sosial disebutkan dalam RUU HIP sebagai sendi pokok Pancasila (Pasal 6 ayat 1 RUU HIP). Dengan demikian, posisinya menggantikan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Tegasnya terjadi perubahan posisi (mutasi) sila,” tegasnya. Hal ini secara tidak langsung juga mengamandemen Pasal 29 ayat 1 UUD 1945, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, tergantikannya dengan “Negara berdasar atas Keadilan Sosial”. Dalam kaitan ancaman dan bahaya ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, maka terjadinya perubahan demikian memberikan peluang masuknya konsep Keadilan Sosial versi Sosialisme -Komunisme. Kemudian perihal ketuhanan yang berkebudayaan dalam RUU-HIP (Pasal 7 ayat 2 RUU HIP) melekat erat dengan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi yang kemudian terkristalisasi dalam Ekasila, yaitu gotong-royong. Walaupun pemahaman ini diambil dari pidato Bung Karno saat sidang di BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, namun itu tidak menjadi keputusan BPUPKI. Oleh karenanya, penggunaan istilah ketuhanan yang berkebudayaan adalah sama dengan merubah atau mengganti Pancasila (in casu Ketuhanan Yang Maha Esa). Pasal 107d juga tergolong delik formil. Ketiga, Pasal 107e huruf b UU Keamanan Negara menunjuk pada perbuatan mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan kepada organisasi, baik di dalam maupun di luar negeri; Yang diketahuinya berasaskan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atau dalam segala, bentuk dan perwujudannya dengan maksud mengubah dasar negara atau menggulingkan Pemerintah yang sah. Sepanjang Parpol melakukan perbuatan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 107e huruf b, maka delik telah selesai. Delik ini tak memerlukan adanya suatu akibat atas hubungan dengan organisasi di luar negeri; “Yang diketahuinya berasaskan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Dengan demikian tak perlu menunggu terjadinya perubahan atas Pancasila sebagai dasar negara (delik formil),” ungkap Abdul Chair Ramadhan. Empat, Pasal 156a huruf a KUHP menunjuk pada rumusan RUU HIP yang mengandung sifat penodaan suatu agama. Penodaan pada suatu agama yang dianut di Indonesia adalah melakukan perbuatan yang oleh umat penganut agama yang bersangkutan dinilai sebagai menodai agama tersebut. Penodaan di sini mengadung sifat penghinaan, melecehkan atau meremehkan dari suatu agama (in casu Islam). Perbuatan konkrit dalam RUU HIP adalah mengganti kedudukan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dengan sila Keadilan Sosial. Sebagaimana bunyi Pasal 6 ayat 1 RUU HIP yang menyatakan sendi pokok Pancasila adalah keadilan sosial. Oleh karenanya, menempatkan sila Keadilan Sosial pada posisi sila pertama dan menempatkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa pada posisi yang paling bawah (sila ke-5). Dengan demikian, sila Ketuhanan Yang Maha Esa tidak lagi melingkupi, mendasari dan menjiwai sila-sila lainnya. Kemudian, Ketuhanan Yang Maha Esa digantikan dengan ketuhanan yang berkebudayaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat 2 RUU HIP. Rumusan demikian termasuk penodaan terhadap agama dalam hal ini terhadap Allah SWT. Selain itu, agama tidak termasuk dalam pembangunan nasional. Agama hanya menjadi sub-bidang dari pembangunan nasional disandingkan bersama rohani dan kebudayaan (Pasal 23 huruf a RUU HIP). Pembinaan agama sebagai pembentuk mental dan karakter bangsa dengan menjamin syarat-syarat spiritual dan material untuk kepentingan kepribadian dan kebudayaan nasional Indonesia dan menolak pengaruh buruk kebudayaan asing (Pasal 23 huruf a RUU HIP). “Rumusan demikian terkait dengan paham ketuhanan yang berkebudayaan. Agama hanya menjadi alat pembentukan mental dan kebudayaan,” tegas Abdul Chair Ramadhan. Kedudukan agama semakin termarginalisasi, hanya untuk mental dan kebudayaan. Pasal 1 angka 10 RUU HIP menyebutkan, “tata Masyarakat Pancasila yang berketuhanan”, tanpa sebutan, “Yang Maha Esa”. Tata Masyarakat Pancasila bertujuan membentuk Manusia Pancasila (Pasal 12 ayat 1 RU HIP). Ciri Manusia Pancasila disebut, “beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.” Pasal 12 ayat 3 huruf a RUU HIP. Frasa “menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab” telah mengalahkan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Agama Islam akan semakin termarginalkan, harus berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab. Pasal 156a huruf a KUHP juga termasuk delik formil. Kelima, Pasal 14 ayat 1 UU Peraturan Hukum Pidana menunjuk pada adanya suatu perbuatan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong. Berita atau pemberitahuan bohong ini terkait dengan keberadaan Keadilan Sosial yang disebutkan dalam RUU HIP sebagai sendi pokok Pancasila. Padahal yang menjadi sendi pokok adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal ini memang termasuk delik materil yang mempersyaratkan harus adanya keonaran di kalangan masyarakat. Padahal faktanya, pengusulan RUU HIP sebagai hak inisiatif telah menimbulkan keonaran di kalangan masyarakat secara meluas. Berbagai Ormas besar seperti MUI Pusat dengan MUI Daerah, PBNU, PP Muhammadiyah dan lain-lainnya telah menyatakan sikap penolakan dan meminta dihentikannya pembahasan RUU a quo. Kesemuanya itu telah menunjukkan fakta terjadinya kegaduhan/kegemparan yang demikian sangat. Hal tersebut dibuktikan dengan berbagai aksi demontrasi yang demikian meluas di berbagai wilayah dalam rentang waktu yang cukup lama. Pasal 14 ayat 1 UU Peraturan Hukum Pidana menentukan perbuatan “dengan sengaja”. Hal ini bermakna terjadinya keonaran melingkupi tiga corak (gradasi) kesengajaan yakni “dengan maksud”, “sadar kepastian” atau “sadar kemungkinan”. Ketiga corak kesengajaan tersebut bersifat alternatif. Pada suatu kondisi, timbulnya akibat berupa keonaran walaupun tidak dikehendaki, namun menurut doktrin harus dipertanggung-jawabkan secara hukum pidana. Tidak dikehendakinya akibat yang berujung pertanggungjawaban pidana menunjuk pada corak kesengajaan sadar kepastian atau sadar kemungkinan. Perihal dengan sengaja ini juga berlaku pada Pasal 156a huruf a KUHP. Kesemua rumusan tindak pidana tersebut di atas berhubungan dengan Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP (delik penyertaan). Pada delik penyertaan, antara satu peserta dengan peserta yang lainnya adalah satu kesatuan. Jadi, trdapat dua bentuk kesengajaan dalam penyertaan. Pertama, elemen melawan hukum subjektif yakni sikap batin diantara para pelaku. Kesengajaan untuk mengadakan kerjasama dalam rangka mewujudkan suatu delik. Kedua, elemen melawan hukum objektif. Adanya kerjasama yang nyata dalam mewujudkan delik. Delik penyertaan tersebut bukanlah perluasan perbuatan pidana namun perluasan pertangungjawaban pidana. Jadi, “Kesemua pihak yang terlibat dalam pengusulan RUU HIP harus bertanggungjawab,” tegas Abdul Chair Ramadhan. Menurutnya, meski RUU HIP telah dihentikan/dibatalkan dari Prolegnas, namun hal tersebut tidaklah menghilangkan pertanggungjawaban pidana terhadap pihak-pihak terkait, terutama Partai pengusul dan aktor intelektualnya. Artinya, petugas Kepolisian harus tetap memproses LP dari TAKTIS. Bukan lagi Dumas! (Bersambung) Penulis Wartawan Senior

Denny Siregar Teror Santri Penghafal Alqur'an

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN - Jum'at (03/07). Bikin masalah lagi Denny Siregar ini. Setelah membully Almira Yudhoyono, kali ini Denny menyebut calon teroris kepada anak anak santri yang sedang berfoto bersama. Payah memang orang ini. Atas ungkapan berbau kebencian pada umat Islam ini, Denny dilaporkan ke Polisi. Tak urung Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhamul Ulum pun angkat bicara. Wagub Jabar ikut mendukung pelaporan atas Denny Siregar. Tidak boleh ada orang yang kebal terhadap hukum, jika menyerang atau menteror anak-anak yang masih polos dan lugu, termasuk Denny Siregar. Anak-anak belom dan tidak mengerti apa itu politik dan kepentingan politik. Makanya Denny harus diproses sampai ke pengadilan. Tulisan "calon teroris" yang diarahkan kepada anak santri adalah "teror" yang dilakukan Deni Siregar. Melukai hati umat Islam, dan melakukan serangan psikologis kepada anak-anak santri. Tak pantas dan sangat menistakan. Meski kalimatnya seperti lembut, tetapi hal itu adalah ujaran kebencian. Melanggar UU ITE. Juga melanggar KUHP tentang penodaan agama. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPI) juga bisa bertindak. Denny tidak membayangkan andai saja anaknya sendiri yang sedang berfoto bersama teman-temannya, lalu disebut sebagai calon provokator. Atau juga calon perampok dan calon koruptor. Bukan hanya orang tua yang tersinggung, tetapi juga bisa berpengaruh pada kejiwaan anak. Stigma buruk telah ditempelkan kepada anak-anak yang masih polos dan lugu. Terorisme adalah kejahatan khusus. UU No. 5 tahun 2018 membuat rumusan dengan formulasi yang sangat "keras". Ada unsur kekerasan atau ancaman kekerasan, membuat teror atau rasa takut, korban massal, kerusakan obyek vital yang strategis, bermotif ideologi, politik, dan keamanan. Nah tuduhan calon teroris adalah calon pelaku perbuatan kekerasan di atas. Tuduhan yang sangat keji. Denny pernah menyatakan "ya benar, saya syi'ah, any problem with that?" Syi'ah berkarakter pembenci, pelaknat, bahkan penoda. Syiah melaknat shahabat dan istri Nabi Muhammad SAW. Syari'at dilecehkan. Orang yang bukan Syi'ah dikafirkan. Orang Syi'ah memendam dendam pada muslim Sunni. Peristiwa Karbala diungkit-ungkit sebagai spirit Syi'ah untuk menumpahkan darah. Syi'ah adalah teroris. Nah apakah kesyi'ahan Denny Siregar yang membuat pernyataan soal anak-anak santri pesantren Tahfidz Qur'an Darul Ilmi Tasikmalaya ini? Entahlah. Tapi yang jelas ungkapannya patut diduga dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan yang layak untuk diproses secara hukum oleh pihak kepolisian. Uji kebenaran formil dan materielnya. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi da'wah, pesantren, dan aktivis di Tasikmalaya yang keberatan atas postingan facebook Denny itu sudah tepat melangkah. Kini masyarakat melihat adakah hukum di negara kita masih tegak, adil, dan obyektif ? Denny selama ini sering disebut kebal hukum. Tapi kita yakin bahwa semua sama kedudukan di depan hukum. Yang salah patut dihukum. Semua bergerak sebelum hukum hakiki di hari nanti berlaku bagi para pendosa dan pendusta agama. Itulah mereka yang menyakiti hati umat. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Perlawanan Rakyat, Kekerasan Polisi dan Reformasi Institusi

by Farouk Abdullah Alwyni & Kamal Abdullah Alwyni Jakarta FNN – Kamis 918/06). Belajar dari kasus demonstrasi besar-baran akibat kematian George Floyd di Amerika Serikat. Baru-baru ini kita semua menyaksikan sebuah hal yang sangat dramatis. Demonstrasi yang berlangsung di banyak kota-kota di Amerika Serikat (AS). Demonstrasi yang berlangsung mulai dari kota-kota besar di Amerika seperti Minneapolis, Washington, New York, Los Angeles, Las Vegas, Michigan. Demonstrasi yang sama juga terjadi di kota-kota besar dunia seperti London, Paris, Sydney, Melbourne, Berlin, Lisbon, Tokyo, dan masih banyak lagi. Berdasarkan temuan para peneliti, protes yang ada sekarang merupakan yang terluas dalam sejarah Amerika. Telah menyebar di lebih dari 650 kota di 50 negara bagian (The Washington Post, 7 Juni 2020). Demo-demo ini dipicu oleh kematian seorang warga kulit hitam George Floyd, akibat perlakuan kekerasan polisi kulit putih, beserta tiga rekan polisi lainnya. Kematian George Floyd ini memancing amarah publik setelah sebuah video viral yang menunjukkan bagaimana sang polisi menekan dengkulnya secara dingin selama sembilan menit, mengabaikan permohonan sang warga kulit hitam yang mengeluh berkali-kali bahwa yang bersangkutan tidak bisa bernafas (I can’t breathe). Spontan, segera setelah video itu viral beredar di media-media sosial dan berbagai media mainstream di Amerika Serikat seperti New York Times, Los Angeles Times, Washington Post, NBC News, dan lain sebagainya. Banyak masyarakat Amerika Serikat dari berbagai latar belakang dan warna kulit di berbagai kota besar di Amerika Serikat turun kejalan meminta keadilan untuk George Floyd. Mereka mendesak agar otoritas memecat, mengadili, dan menghukum sang pelaku dan ketiga kawannya. Sejauh ini tuntutan para demonstran mulai membuahkan hasil. Sang pelaku utama telah dipecat, dan sekarang mulai diproses untuk diadili dengan tuntutan “Second Degree Murder”. Ketiga kawannya yang pada awalnya belum dipecat, akhirnya juga menyusul dipecat dan juga ikut diproses sebagai bagian dari pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembunuhan tersebut. Dampak yang tidak terelakkan dari demo besar-besaran di banyak kota di Amerika Serikat adalah terjadinya looting dan rioting dari berbagai pihak yang ingin mengambil manfaat dari kejadian ini. Bahkan yang sebelumnya tidak pernah terjadi, masuk ke daerah-daerah elite di Los Angeles, seperti Beverly Hills, Santa Monica, dan West Los Angeles. Motif dari berbagai tindakan destruktif tersebut memang berbagai macam. Mulai dari kemarahan yang tidak terkontrol, sampai kriminalitas murni. Bahkan dari sekelompok far right/White Supremacy yang ingin memicu lebih jauh konflik rasial di Amerika Serikat. Namun ddemikian, dampak negatif tersebut perlu dilihat secara proporsional. Sebab ada sebagain kecil yang ingin menumpang dari gelombang besar demo damai ini. Yang awalnya hanya menuntut keadilan untuk George Floyd, berubah menjadi sebuah bentuk perlawanan rakyat terhadap kekerasan polisi, khususnya dari kelompok minoritas kulit hitam. Ada kelompokl yang dianggap sebagai ketidakadilan dalam proses penegakan hukum kepada para polisi dan pelaku-pelaku kekerasan sebelumnya. Demo-demo ini pada dasarnya menyatukan sebuah keterpanggilan untuk menciptakan AS yang lebih adil untuk semua. Black Lives Matter menjadi satu slogan penting pergerakan tersebut. Banyak purnawirawan Jenderal di Amerika yang mengkritik respon Presiden Donald Trump. Mantan Menteri Pertahanan Amerika Serikat Jenderal Purnawirawan James Mattis termasuk yang mengkritik respon Presiden Serikat Donald Trump terhadap demo-demo. Karena Trump dianggap membatasi hak-hak kebebasan sipil yang tercantum dalam Bill of Rights, dan merupakan pelecehan terhadap konstitusi. Mattis bahkan menuding bahwa Trump adalah seorang Presiden yang memecah Amerika Serikat. Tidak punya niat baik untuk menyatukan Amerika Serikat. Mittis beranggapan semua ini terjadi sebagai akibat dari tiga tahun kepemimpinan Trump yang tidak matang. Kemarahan banyak elite dan para mantan elite politik dan pemerintahan Amerika Serikat, diantaranya dipicu oleh sikap Presiden Trump yang dianggap tidak sensitif ketika yang bersangkutan berjalan dari White House ke sebuah Gereja Historis (St. John’s Episcopal Church). Hanya satu blok dari White House, di Washington untuk hanya berfoto dengan para pembantunya, dan juga berfoto sendiri dengan memegang Bible. Persoalannya adalah proses sampainya Trump ke lokasi Gereja itu dengan cara polisi membubarkan secara paksa demo damai di seputaran White House. Hal ini dilihat sebagai sebuah pelanggaran hukum dari seorang Presiden Amerika Serikat terhadap hak konstitusional warga Amerika untuk berdemo secara damai. Trump dilihat sebagai seorang Presiden yang sudah melecehkan hukum dan menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingannya sendiri. Terakhir Kepala Staf Gabungan Angkatan Bersenjata Amerika Serikat Jenderal Mark A. Milley. Chairman of the Joint Chiefs of Staff itu juga menyampaikan penyesalan dan maafnya karena ikut berfoto di gereja dengan Trump di atas. Begitu juga Menteri Pertahanan (Defense Secretary), Mark Esper menyatakan bahwa dia tidak tahu jika tujuan perjalanan Trump ke gereja hanya untuk berfoto. Esper sendiri tidak setuju dengan cara Trump yang ingin menggunakan militer untuk meredam demonstrasi. Sebenarnya apa yang terjadi sekarang ini di Amerika merupakan akumulasi kekesalan publik terhadap kekerasan polisi, khususnya kepada orang hitam. Kecenderungan bahwa kekerasan tersebut tidak selalu mendapatkan hukuman yang memadai. Mengingat di beberapa kejadian sebelumnya, proses hukum panjang tidak selalu memberikan hukuman yang setimpal kepada polisi yang melakukan keker san. Selama demo-demo anti kekerasan yang berlangsung ini, banyak sikap kekerasan polisi yang tertangkap kamera. Kondisi ini akhirnya menyatukan banyak elemen masyarakat Amerika lepas dari ras dan warna kulit yang melihat perlunya reformasi institusi kepolisian. Juga rasa keterpanggilan melakukan terhadap sistim yang lebih baik an berkeadilan. Magnitude demo yang sekarang ini terjadi, yang menunjukkan sebuah perlawan rakyat secara massif. Kondisi ini nampaknya mulai mendorong kembali refleksi dasar untuk mereformasi kepolisian (police reform) yang ada. Banyak para tokoh di Amerika Serikat seperti mantan Presiden Barack Obama, Bill Clinton, George Bush, dan bahkan Jimmy Carter yang menginginkan police reform. Para senator dan congressman, serta para walikota dan gubernur juga punya keinginan yang sama. Tentang perlunya police reform. Semua memberikan pernyataan terkait kebutuhan perlunya menciptakan institusi keadilan yang lebih baik. Bahkan survey terakhir dari Reuters/Ipsos (ipsos.com) menemukan bahwa mayoritas warga Amerika (73%) mendukung demo-demo damai yang ada. Terakhir seorang senator sedang menyiapkan usulan hukum untuk menghilangkan imunitas polisi dari hukuman. Apalagi jika yang bersangkutan dianggap telah melakukan penyalahgunaan hukum dalam proses penegakan hukum kepada para warga. Sebab seharusnya warga negara Amerika dilayani dan dilindungi oleh polisi. Tidak kurang evaluasi akademik mulai dilakukan untuk melihat kembali proses panjang peradilan untuk menghukum polisi. Hukunman terhadap polisi yang bersalah seharusnya tidak memakan waktu yang lama. Apalagi jika polisi tersebut terbukti melakukan kesewenang-wenangan terhadap warga dengan penggunaan excessive force. Sistim Kepolisian secara menyeluruh di Amerika mulai disorot. Walaupun demikian, juga harus diakui bahwa pada kenyataannya tidaklah semua polisi yang ada tersebut buruk. Banyak juga polisi yang baik-baik. Yang ditunjukkan selama belangsunya demo-demo yang ada di seluruh wilayah Amerika. Dimana sebagian polisi, mulai dari yang berada di New York, Michigan, Los Angeles, dan kota-kota lainnya menunjukkan solidaritas dan berbaur dengan para demonstran. Polisi tersebut ikut merunduk. Mereka meletakkan satu dengkulnya untuk menunjukkan duka dan solidaritas terhadap apa yang menimpa seorang George Floyd. Perdebatan terjadi, apakah persoalan kekerasan polisi yang ada terkait sistim kepolisian? Yang kemudian akan perlu direformasi, atau diakibatkan hanya oleh the bad apples. Dari yang terjadi di Amerika sekarang ini, tentunya banyak pelajaran yang bisa kita ambil. Jika kita juga mau melihat beberapa kasus kekerasan polisi terhadap masyarakat. Kejadian yang mungkin masih segar dalam ingatan kita adalah apa yang dilakukan oknum aparat kepolisian pada tanggal 21-23 Mei 2019, menyusul demo di depan Bawaslu. Ketika itu pihak kepolisian dianggap telah melakukan excessive force. Amnesti Internasional Indonesia pada waktu itu membuat pernyataan bahwa Korps Brigade Mobil (Brigade Mobil) Polri telah melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) serius terhadap warga yang tidak berdaya. Terutamaketika saat melakukan penyisiran di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta tanggal 22 Mei 2019. Sejauh ini kita tidak pernah mendengar para oknum polisi yang melakukan excessive force tersebut telah diadili dan diberikan hukuman yang setimpal. Kalau di Amerika, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dalam kasus-kasus demo seperti yang ada sekarang ini, paling tidak kita melihat bahwa jika ada persoalan yang menjadi viral dan diketahui secara luas, maka otoritas yang ada segera mengambil tindakan optimal. Mulai dari penonaktifan, pemecatan, bahkan melakukan proses hukum. Belajar dari apa yang terjadi di AS, kita perlu mengambil pelajaran terkait kebutuhan untuk menciptakan mekanisme akuntabilitas untuk segenap aparat kepolisian. Jika negara seperti Amerika dengan sistim hukum dan peradilan yang dianggap jauh lebih baik dari kita dalam perspektif internasional, masih terus dikritisi. Mereka juga selalu melakukan instropeksi dan evaluasi untuk terus memperbaiki sistim yang ada. Tentunya ini adalah sebuah panggilan untuk kita semua di Indonesia. Jangan segan-segan untuk mengevaluasi dan memperbaiki sistim kepolisian. Terutaman yang terkait dengan isu-isu politik dan penanganan demo-demo damai. Jangan sampai hanya sekelompok oknum kepolisian yang melakukan excessive force dengan seenaknya kepada segenap anggota masyarakat. Namun tanpa ada konsekuensi dan hukuman setimpal. Harus ada sanksi hukum setimpal yang diberikan kepada para polisi pelanggar hukum. Kita Indonesia hendaknya tidak harus menunggu demo besar-besaran terjadi, barulah memperbaiki kondisi yang ada. Khususnya yang terkait dengan sistim penegakan hukum dan keadilan kepada segenap pihak yang bertugas sebagai penegak hokum. Seperti yang dinyatakan oleh Gubernur New York –Andrew Cuomo bahwa “polisi harus menegakkan, bukan menyalahgunakan hukum” (Police officers must enforce –not abuse- the law). Sebagai sebuah negara mayoritas muslim, banyak contoh-contoh imparsialitas hukum dan teladan penegakan keadilan yang luar biasa. Yang ditunjukkan dalam sejarah Islam sebagai sumber inspirasi bagi kita semua. Mulai dari pernyataan Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa “jika Fatimah anakku mencuri, maka beliau sendirilah yang akan memotong tangannya”. Ini menunjukkan bahwa penegakan keadilan tidak akan melihat siapa yang melakukan pelanggaran keadilan tersebut. Juga contoh bagaimana seorang Khalifah Ali Bin Abu Thalib bisa dikalahkan dalam persidangan oleh seorang rakyat Yahudi biasa. Ada lagi kasus pada masa Khalifah Umar Bin Khatab. Dimana beliau mengecam keras sikap Gubernur Mesir Amr Bin Al-Ash yang ingin menggusur rumah seorang wanita tua Yahudi karena tidak mau tanahnya dibebaskan untuk pembangunan Masjid Hukuman akan diberikan oleh Khalifah Umar Bin Khatab kepada Gubernur Mesir Amr Bin Al-Ash, karena sang Gubernur tersebut telah bersikap sewenang-wenang dengan jabatannya. Gubernur Mesir juga telah bersikap zolim kepada seorang anak Kristen Koptik yang mengalahkannya dalam pacuan kuda. Sikap yang sangat ditolak oleh Khalifah Umar Bin Khatab. Akhirnya, kebesaran suatu bangsa akan ditentukan oleh sejauh mana keadilan dapat tegak di negara tersebut. Dan ini adalah sebuah proses yang harus terus berlangsung (keep improving) seperti yang kita lihat sekarang ini di Amerika sekarang. Menarik untuk menyimak kata-kata seorang Nelson Mandela yang menyatakan bahwa a nation should not be judged by how it treats its highest citizens, but its lowest ones. Penulis adalah Chairman, Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development (CISFED) & Praktisi Bisnis Property Management di Los Angeles, Amerika Serikat.

Jaksa Fedrik “Man of The Week”

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Korps Kejaksaan punya bintang baru. Namanya Robertino Fedrik Adhar Syaripudin dari Kejaksaan Negeri Jakarta Utara. Sepanjang pekan kemarin namanya paling banyak diperbincangkan. Di media massa, berita seputar Fedrik Adhar paling menyedot perhatian. Media berusaha mengulik habis profilnya. Mulai dari latar belakang sekolahnya, pangkatnya, keluarganya, sampai kekayaan pribadinya. Di media sosial lebih heboh lagi. Namanya menjadi trending topik.Foto-fotonya tampil dengan barang-barang branded banyak tersebar. Kebetulan Pak Jaksa yang satu ini cukup eksis di medsos. Jadi sangat mudah bagi netizen untuk menguliknya. Cukup ketik kata kunci Jaksa Fedrik Adhar, maka info seputar jaksa muda berusia 37 tahun itu muncul bertebaran. Saking populernya, dalam tiga hari terakhir pada mesin pencari Google, namanya bahkan mengalahkan Jaksa Agung. Fedrik jauh lebih populer dan paling banyak dicari. Namanya layak masuk dalam Man of The Week. Sebuah torehan “prestasi” yang cukup membanggakan untuk seorang jaksa berpangkat pratama. Kalau di Polri pangkatnya selevel Ajun Komisaris Polisi, atau Kapten di lingkungan TNI. Masuk kelompok perwira pertama. Jaksa tidak mandiri Nama Fedrik mencuat menyusul kontroversi tuntutan jaksa atas dua orang penyerang penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan. Fedrik menjadi salah satu Jaksa Penuntut Umum (JPU) bersama Ahmad Patoni dan Satria Irawan. Kamis (11/6) JPU dari Kejaksaan Negeri Jakarta Utara itu menuntut mereka 1 tahun penjara. Publik dan praktisi hukum menilai tuntutan itu tidak masuk akal. Dibandingkan dengan kasus serupa, berupa penyiraman air keras, tuntutan itu paling rendah. Padahal kasus ini selain menyita perhatian publik, bobotnya juga jauh lebih berat. Novel adalah penyidik KPK yang banyak menangani kasus-kasus korupsi kelas berat. Melibatkan sejumlah petinggi negara dan petinggi penegak hukum. Kasus ini menjadi kontroversi dan mengundang perhatian. Tidak hanya di dalam negeri, tapi sampai ke manca negara. Beberapa media Internasional juga menyoroti kasus ini. Komnas HAM dan Amensty Internasional juga mempersoalkan. Salah satu alasan jaksa menuntut ringan adalah faktor “tidak sengaja,” menjadi olok-olok di dunia maya. Bintang Emon seorang komedian muda mendadak viral karena aksinya menyoroti rendahnya tuntutan itu. Tagar #tidaksengaja menjadi trending dan banyak dicuitkan oleh para pesohor di medsos. “Konyolnya luar biasa. Saya sampai bingung harus marah atau ketawa ya, “ kata Novel kepada media. Reaksi publik yang muncul menunjukkan kemarahan sekaligus sikap frustrasi terhadap proses penegakan hukum di negeri ini. Mereka tambah kesal ketika mendapati para aparat penegak hukum rendahan, sekelas Fedrik gaya hidupnya sangat woowwww. Di luar batas kewajaran. Sebagai ASN dengan golongan IIIC, harta kekayaan yang dimilikinya juga membuat tercengang. Dari Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) pada tahun 2018 diketahui hartanya sebesar Rp 5.8 miliar. Kendaraan yang dimiliki cukup banyak. Salah satunya sedan kelas atas merek Lexus. Peneliti Indonesian Corruption Watch Kurnia Ramadhana minta agar Fedrik menjelaskan asal usul harta kekayaannya kepada publik. Sebab tak sesuai dengan masa kerja dan gajinya sebagai ASN. Jadilah Fedrik sasaran kemarahan dan bullying orang sak-Indonesia. Barangkali banyak yang lupa atau bahkan tidak tahu, bahwa seorang jaksa tidak mandiri dalam mengajukan tuntutan. Tidak bisa semaunya sendiri. Ada sebuah prosedur di Kejaksaan yang disebut dengan rencana penuntutan (rentut). Sebelum menyampaikan tuntutan, JPU menyampaikan rentut secara berjenjang ke atasannya. Untuk kasus-kasus yang menarik perhatian publik, rentutnya sampai ke meja Jaksa Agung. Kasus sekelas Novel Baswedan yang sudah bertahun-tahun menyita perhatian publik domestik maupun internasional, rasanya tidak mungkin diserahkan begitu saja tuntutannya kepada Fedrik Dkk. Atasan Fedrik mulai dari Kepala Kejari Jakut sampai Jaksa Agung patut diduga mendapat rentutnya. Mereka bisa mengubah, menambah, bahkan mengurangi sebuah tuntutan. Jaksa Agung Abdurahman Saleh (2004-2007) pernah mengubah rentut dari hukuman mati menjadi bebas. Seorang ibu di Bandung bernama Aniq Qoriah dituntut hukuman mati karena membunuh tiga orang anaknya. Arman —begitu dia biasa dipanggil— curiga ada gangguan kejiwaan pada Aniq. Dengan begitu dia tidak bisa dituntut pidana. Instink Arman benar. Di persidangan dokter membuktikan Aniq mengalami gangguan jiwa. Pada 15 Januari 2007 Pengadilan Negeri Bandung membebaskannya. Bisa disimpulkan Fedrik Adhar Dkk hanya menjalankan tugas. Namun mereka bisa menjadi pintu masuk bagi publik untuk memahami wajah aparat penegak hukum dan proses penegakan hukum di negeri kita. Fedrik adalah perca kecil yang bila kita susun, akan menjadi sebuah mozaik besar. Setelah itu Anda bisa mengambil kesimpulan sendiri. So…Mau jengkel, marah, kasihan, iba, atau malah iri dengan Jaksa Fedrik? Selamat datang di negeri #tidaksengajahhhh. End Penulis Wartawan Senior

Novel, Didu dan Ruslan Menanti Keagungan Hukum

by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Kepala desa atau kepala rakyat wajib menyelenggarakan keinsafan keadilan rakyat. Harus senantiasa memberi bentuk (Gestaltung) kepada rasa keadilan dan cita-cita rakyat. Oleh karena itu kepala rakyat “memegang adat” (kata pepatah Minangkabau) senantiasa memperhatikan segala gerak-gerik dalam masyarakatnya, dan untuk maksud itu, senantiasa bermusyawarah dengan rakyat atau dengan kepala-kepala keluarga dalam desanya, agar supaya pertalian bathin antara pemimpin dan rakyat seluruhnya senantiasa terpelihara (Pidato Soepomo di depan BPUPKI tanggal 31 Mei 1945). Jakarta FNN – Senin (15/06). Novel Baswedan, Muhammad Said Didu dan Ruslan Buton, menemukan nasib yang ralatif sama. Novel yang satu matanya cacat permanen karena disiram air keras, harus berjuang lama untuk memperoleh keadilan. Said Didu dan Ruslan Buton di sisi lain, cepat sekali lagi diurus Kepolisian. Didu dilaporkan oleh kuasa hukum Menko Maritim dan Investasi pada kabinet Presiden Joko Widodo. Pak Menko tersinggung oleh sepenggal kalimat Said Didu. Kalau Novel butuh waktu puluhan bulan hingga perkaranya disidangkan. Said Didu tidak. Cepat sekali laporan untuk dirinya diurus sama Polisi. Ruslan Buton, purnawirawan Tentara, disisi lain, juga mirip Didu. Ruslan Buton yang pernah bertugas di Kampung Halaman Saya, di Ternate, segera ditangkap Polisi di rumahnya. Ini terjadi tak lama setelah Polisi menerima laporan atas tindakannya. Perkaranya juga sepele, sesepele perkara Said Didu. Ruslan Buton membuat pernyataan agar Jokowi mundur dari jabatannya sebagai presiden. Kalau tidak salah, Ruslan menyatakan kalau tak mundur, bukan tak mungkin rakyat akan melawan melalui revolusi rakyat. Pernyataan ini disiarkan melalui media social, kabarnya begitu. Hanya itu. Tak lebih. Mens Rea Dimulai Dari KPK Para terdakwa pada kasus Novel Baswedan telah disidangkan. Dalam sidang itu, mereka telah dituntut oleh Jaksa Penuntut. Mereka dituntut, kalau tak salah, dengan hukuman penjara satu tahun. Ringan? Jelas ringan. Satu mata rusak permanen, tetapi pelakunya dituntut satu tahun, jelas ini dinilai ringan. Malah boleh dibilang mengada-ada dan badut-badutan. Ada juga yang bilang, “Jaksa jadi pengacara buat terdakwa”. Mengapa Jaksa Penuntut Umum hanya menutut satu tahun untuk terdakwa? Adakah yang meringangkan mereka? Apa hal yang meringankan itu? Kabarnya Jaksa menemukan fakta, tentu dalam persidangan terdakwa “tidak memiliki niat merusak mata Novel”. Disitulah soalnya. Bagaimana Jaksa Penuntut Umum tahu terdakwa tak punya niat merusak mata Novel? Tidakkah niat orang, siapapun, tidak akan bisa diketahui? Mengapa tidak bisa diketahui? Dalam ilmu hukum pidana niat orang itu bersifat subyektif, psichisch element. Ini merupakan tipikal mens rea. Hal subyektif ini tidak bisa diketahui berdasarkan pernyataan atau pengakuan calon tersangka, tersangka atau terdakwa. Tidak bias itu Pak Jaksa. Niat orang, siapapun dia, hanya bisa diketahui dengan cara meneliti, memeriksa secara detail dan cermat, serta seksama rangkaian perbuatan orang itu. Soal esensial di level ini adalah memastikan perbuatan pelaku benar-benar melawan hukum, actus reus. Feit atau perbuatannya harus benar-benar unlawfull atau straafbaar. Tidak boleh lebih Pak Jaksa. Berdasarkan rangkaian perbuatan yang telah diteliti secara seksama dan detail itulah penyidik, penuntut umum, bahkan hakim menyimpulkan, “ada atau tidaknya mens rea”. Tidak di luar itu. Ini berkenaan dengan adagium actus reus nisi mens sit rea. Adagium ini menyaratkan apa yang disebut concurence of a wrongfull act, dan wrongfull intent. Pahami itu baik-baik. Konstruksi atas ada atau tidaknya mens rea, sekali lagi, harus bertolak dari perbuatan nyata, dan obyektif. Berdasarkan rangkaian perbuatan itulah dikonstruksi adanya niat atau perbuatan dilakukan secara sadar atau lalai. Bila perbuatan diniatkan dan direncanakan. Perbuatan perencanaannya panjang, maka perbuatn itu harus diangap dilakukan secara sadar. Disebabkan perbuatan itu dilakukan secara sadar, maka perbuatan dan akibatnya harus dianggap dikehendaki atau dituju oleh pelaku. Tersangka atau terdakwa boleh saja menyangkal dengan segala dalih dan alibinya. Tetapi bila perbuatan obyektif, nyata-nyata menunjukan perbuatan itu direncanakan (ada waktu yang cukup untuk berpikir, termasuk membatalkan perbuatannya), maka perbuatan dan akibatnya harus dianggap diniatkan, dikehendaki. Ada mens rea disitu. Baik actus reus maupun maupun mens rea, sama-sama penting diperiksa pada persidangan di pengadilan. Gunanya mendapatkan pemahaman meyakinkan tentang perbuatan dan sikap bathin pelaku yang sebenarnya. Gabungan ketat dua hal ini menjadi dasar penentu berat-ringannya hukuman. Perlu Obyektiflah Sikap bathin pelaku, menurut Profesor Andi Zainal Abidin Farid, penguji saya di Strata 1 (semoga Allah merahmati beliau) disebut toerekeningsvatbaarheid. Pengertiannya adalah, kemampuan bertanggung jawab atau kemampuan jiwa, misalnya tidak gila. Bila tersangka atau terdakwa tidak gila, maka kepada dia dapat dipertanggungjawabkan kesalahannya atas perbuatan pidana yang dilakukan, toerekenbaarheid. Praktis penentuan ada atau tidaknya mens rea, harus dicari dari perbuatan obyektif. Tidak bisa diluar itu, apapun alasannya. Pada titik itulah dapat dimengerti mengapa dunia hukum menjadi begitu gaduh ketika KPK menyatakan tidak ada mens rea dalam kasus Rumah Sakit Sumber Waras. Bagaimana KPK memperoleh mens rea atau sampai pada kesimpulan itu, jelas sangat logis untuk dipertanyakan. Tetapi apapun itu, secara faktual kasus Sumber Waras itu teleh melayang ke dalam alam, entah apa namanya. Berakhir sudah kasus itu, karena KPK tidak menemukan mens rea. Aneh? Entahlah. Namun begitulah hokum berbicara. Begitulah dunia dengan segala dekorasinya. Para terdakwa dalam kasus Novel telah berkali-kali menjalani pemeriksaan di pengadilan. Fakta tentunya telah berunculan dalam sidang itu. Secara hipotetik dapat dikatakan faktanya tidak tunggal. Rangkaian fakta itulah yang diperiksa, dan dinilai untuk selanjutnya dikonstruksi. Konstruksinya meliputi dua aspek, “actus reus dan mens rea”. Ini telah dilakukan oleh JPU melalui tuntutannya. Harus diakui, apapun alasannya, siapapun yang tak setiap hari, menit ke menit mengikuti sidang itu, tak akan tahu fakta obyektif sidang itu. Itu sebabnya, maka siapapun hanya bisa melakukan konstruksi secara hipotetik. Misalnya, andai terdakwa merencanakan perbuatan itu, maka secara silogistis rusaknya mata Novel beralasan dianggap sebagai hal yang diniatkan atau dikehendaki oleh pelaku. Bagaimana nalarnya? Pertama, secara hipotetik ada rencana. Kedua, alat yang digunakan. Andai fakta hipotetiknya alat yang digunakan adalah air keras, maka dengan penalaran logis dapat dikonstruksi alat itu pasti merusak tubuh orang yang terkena. Kongklusi silogistisnya kerusakan tubuh itu dikehendaki. Tentu saja mens rea. Andai saja hipotesis ini berkorelasi signifikan dengan fakta persidangan, maka tuntutan JPU, logis dipertanyakan. Mata novel itu tidak dapat dikembalikan lagi ke sedia kala. Disitulah letak soalnya tuntutan JPU. Tetapi apapun itu, dan di atas itu semua, mari menantikan dengan seksama penalaran obyektif dan keyakinan hebat hakim bekerja pada kasus Novel ini. Didu dan Ruslan Akibat Keangkuhan Mari menantikan juga bagaimana nalar kasus Said Didu dan Ruslan Buton. Kedua kasus ini meminta kejelasan atas dua hal. Pertama, apa seluruh rangkaian kata-kata Didu, mengandung unsur actus reus dan mens rea? Tidakah subyek yang dituju diketahui memiliki fungsi koordinasi urusan pemerintahan di bidang investasi? Apa itu investasi? Bagaimana merumuskan actus reus ditengah kenyataan subyek yang dituju secara obyektif benar-benar menunaikan kewajiban konstitusional sebagai warga negara? Bukankah bagus setiap menteri menunaikan kewajibannya membantu Presiden? Lalu, apa yang keliru dari kenyataan itu? Terlalu sulit, bahkan mustahil menyatakan keliru. Konsekuensinya sulit, bahkan mustahil menemukan actus reus, apalagi mens rea dalam kasus ini. Sama sulitnya dengan menemukan actus reus dan mens rea dalam kasus Ruslan Buton. Mengapa? Apa kata-katanya dalam media sosial itu telah menghasilkan keadaan gaduh? Bagaimana merumuskan, dalam arti memberi kualifikasi hukum pada kalimat- kalimat Ruslan yang, kabarnya, disebarkan melalui media sosial, sebagai kabar bohong atau berita yang sebagian atau seluruhnya bohong? Hal apakah dalam kenyataan ketatanegaraan saat ini yang dapat dianalogi dengan kenyataan tata negara tahun 1946? UU Nomor 1 Tahun 1946 diundangkan pada tanggal 26 Februari 1946. Kenyataan tata negara pada bulan Februari 1946 itu karena dua sebab. Pertama, sistem pemerintahan Indonesia adalah parlementer. Suttan Sjahrir sebagai Perdana Menteri, dikenal dengan Kabinet Sjahrir I. Kedua, nyata-nyata disebut dalam pasal 17 bahwa UU 1 Tahun 1946 berlaku untuk Jawa dan Madura. Pasal 15 UU ini nyata-nyata mengatur norma “kabar berlebihan” atau “tidak lengkap” dan “menimbulkan keonaran.” Bagaimana mengonstruksi norma “kabar berlebihan” itu? Juga bagaimana mengonstruksi norma menimbulkan “keonaran’? Apakah keonaran sama dengan kegelisahan? Keonaran pasti di dalamnya terdapat kegelisahan, tetapi apakah kegelisahan sama dengan keonaran? Bisakah imbauan disamakan dengan berbohong? Bisakah pendapat orang dikualifikasi sebagai berita atau kabar bohong? Tidakkah terminologi berita menunjuk adanya informasi yang diterima, lalu disebarkan? Taruhlah pendapat Ruslan itu disiarkan, sehingga jadi berita, tetapi dapatkah pendapat yang diberitakan itu berkualifikasi sebagai berita bohong? Pembaca FNN yang budiman. Terlalu sulit, bahkan mustahil mengonstruksi pendapat seseorang yang disiarkan sekalipun, melalui semua alat penyiaran yang tersedia, dikualifikasi sebagai berita. Lebih sulit lagi bila hendak dikonstruksi sebagai berita bohong. Kegelisahan, sebut saja, secara obyektif ada. Soalnya adalah apakah kegelisahan itu dapat dikualifikasi sebagai bahaya nyata? Apakah dengan pendapat itu, kedudukan presiden berada dalam bayaya nyata didepan mata? Sembari memberi hormat yang wajar pada usaha penegakan hukum, secara obyektif sulit menemukan actus reus dan mens rea dalam dua kasus terakhir ini. Sulit betul untuk bisa menjadikan Said Didu tersangka. Sulit juga, bahkan mustahil mengualifikasi tindakan Ruslan Buton sebagai kejahatan. Obyektifitas, yang merupakan anak kandung kejujuran, lawan tangguhnya keangkuhan penguasa, jelas dinantikan pada semua kasus ini. Kejujuran seutuhnya dalam menegakan hukum harus jadi panduan utama. Levelnya harus setara kejujuran setiap orang kelak berada dan berdiri dipengadilan akhir, di hadapan Allaah SWT Yang Maha Tahu. Insya Allaah. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Ketika Jaksa Menjadi Pembela Terdakwa Kasus Novel

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (14/06). Tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada dua orang Polisi aktif Ronny Bugis dan Rahmat Kadir, yang diduga sebagai penyerang Novel Baswedan hanya satu tahun. Tuntutan ini dinilai tidak adil. Mencengangkan untuk tindak pidana bertitel penganiayaan berat yang terencana. Semua suah tahu. Akibat dari penyiraman air keras ke wajah Novel Baswedan, telah menyebabkan sebelah mata Novel menjadi cacat. Mata Novel menjadi cacat secara permanen. Tidak dapat disembuhkan lagi. Sejak awal Novel sendiri meragukan keseriusan penyidikan dilakukan oleh polisi. Apalagi tersangka adalah anggota Polri aktif. Kasus Novel sendiri sangat kental bernuansa politik. Ada aktor intelektual dibelakang penyiram air keras. Walapun demikian, jangankan untuk bias mengungkap aktor intelektual yang "dibelakang", pada tersangka yang ada saja masih banyak tanda Tanya. Sangat diragukan kebenaran materielnya. Cerita novel yang bertele tele dan tuntutan seperti main-main dan badut-badutan. Jaksa mengakui ada perencanaan. Juga diyakini sebagai delik penganiayaan berat. Rencana penganiayaan Novel dapat dibuktikan di depan persidangan. Tersangka juga telah mengakui perbuatan perencanaan itu. Tapi ironinya JPU hanya menuntut satu tahun penjara saja kepada para pelaku. Aneh tapi nyata. Pasal 355 ayat ( 1) KUHP menyatakan bahwa untuk perbuatan penganiayaan berat dengan rencana itu, sanksi hukumannya 12 tahun penjara. Itu adalah dakwaan primer. Terhadap dakwaan subsidair Pasal 353 ayat (2), maka ancaman hukumannya adalah 7 tahun. Sungguh aneh. Bagaimana bisa JPU hanya menuntut satu tahun penjara. Lucu-lucuan saja. Jika alasannya adalah, kedua terdakwa tidak sengaja menyiram air keras ke badan namun yang terkena adalah wajah. Justru menunjukkan kebodohan hukum dari sang Jaksa secara nyata. Kebodohan yang diumbar ke publik untuk ditertawakan. Yang namanya sengaja (opzet) itu ada tiga jenis. Pertama, sengaja sebagai maksud (opzet als oogmerk). Kedua, sengaja dengan kesadaran akan kepastian (opzet als zekerheidsbewustzijn). Ketiga, sengaja dengan kesadaran akan kemungkinan (dolus eventualis). Nah, menyiram air keras dari motor berboncengan jika tidak kesengajaan pertama, maka akan terpenuhi yang kedua dan ketiga. Jadi, menyiram air keras yang berakibat rusak pada wajah adalah sengaja juga. Semua unsur sengaja yang direcanakan sudah terpenuhi syaratnya. Bisa "zekerheidsbewustzijn" atau "dolus eventualis". Adapun unsur sengaja adalah menghendaki dan mengetahui (willens en wetens). Apa yang dilakukan oleh kedua Polisi aktif ini sangat kuat memenuhi rumusan delik baik Pasal 355 ayat (1) atau 353 ayat (2) KUHP. Terlepas aspek teknis hukum, maka apa yang terjadi dengan tuntutan satu tahun adalah menggelikan. Juga menistakan hukum, dan jauh dari rasa keadilan. Jaksa Penuntut Umum ini terkesan menjadi pembela dari terdakwa. Biasanya JPU mencari sanksi atas perbuatan yang terberat. Dalam kasus Novel Baswedan ini justru aneh, karena yang terjadi adalah sebaliknya. Jaksa justru mencari yang teringan. Semua tahu itu tugas Pembela, bukan tugas Jaksa. Memang, lamanya waktu untuk menemukan tersangka saja sudah janggal. Tiga tahun dan ternyata ditemukan di ruang yang dekat-dekat saja. Ditemukan di kantor Polisi sendiri. Kemudian diproses dengan bertele-tele pula. Kini masuk Pengadilan. Lalu sampailah pada tuntutan JPU yang kontroversial tersebut. Bravo JPU. Anda layak dapat bintang. Bintang cerita telenovela. Bertele tele dan mampu membuat cerita sedih dalam kepura-puraan. Akibatnya, keadilan yang menjadi korban dari penganiayaan berat. Telah luka wajah hukum disiram dengan air keras kekuasaan. Katanya kan tidak sengaja. Ya sudah, ngga apa apa. Namanya juga cerita. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Hukum.