HUKUM

Djoko Tjandra Ditangkap Setelah Tiga Jenderal Korban

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (02/08). Buronan terpidana kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali Djoko S. Tjandra akhirnya tertangkap di Kuala Lumpur Malaysia. Uniknya tertangkapnya Djoko didahului dengan terbongkarnya kasus memalukan Mabes Polri. Bukan institusi Kepolisian. Sejumlah institusi negara lain juga terlibat dalam kasus Djoko Tjandra. Misalnya, Kejaksaan Agung, Ditjen Imigrasi Kemenkumham, Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kemengri, dan Ditjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan. Yang sangaty memalukan itu adalah Mabes Polri memberikan Surat Jalan kepada Djoko Tjandra. Sehingga seorang buronan bisa keluar masuk Indonesia dengan leluasa. Kolusi dengan koruptor yang terhukum tentu saja sangat mencoreng kesatuan Kepolisian. Korban dari perilaku Djoko S Tjandra ini sekurangnya tiga Jenderal Polisi dicopot. Mereka adalah Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo, Irjen (Pol) Napoleon Bonaparte, dan Brigjen (Pol) Nugroho Slamet Wibowo. Yang terberat tentu Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo sebagai pejabat Bareskrim yang menerbitkan Surat Jalan untuk Djoko Tjandra. Publik dapat menilai penangkapan cepat Djoko disebabkan tertekannya Mabes Polri, akibat terbongkar kasus yang berakibat pada pencopotan tiga perwira tinggi polisi. Andai tidak terjadi hal itu, maka diduga akan sulit untuk menangkap Djoko Tjandra. Sebab dia akan terus "dibiarkan" buron dan bebas keluar masuk Indonesia dengan mudah. Peristiwa ini menambah buruk citra kinerja aparat penegak hukum. Bukan hanya Kepolisian tentunya. Sedikitnya ada lima institusi yang negara yang terlibat. Penyalahgunaan kekuasaan semestinya bersanksi hukum berat, agar ada efek jera. Tanpa sanksi hukum yang berat, dipastikan peristiwa seperti ini akan terjadi berulang-ulang lagi. Kasus Djoko Tjandra ini jelas harus menjadi momentum perbaikan menyeluruh aparat penegak hukum kita. Ada tiga langkah yang dapat diperhatikan dalam perbaikan menyeluruh, khususnya di instansi Kepolisian agar terpulihkan citra dan kinerjanya, yaitu : Pertama, hentikan gagasan "democratic policing" yang implementasnya menjadi sangat multi fungsi di Polisi. Dimasa kini, Polisi menempati berbagai jabatan strategis. Mengingatkan dahulu masa Orba dengan Dwi Fungsi ABRI. Akar dari penyimpangan politik. Sekarang polisi bukan saja dwi fungsi, tetapi malah multi fungsi. Lebih farah dari ABRI dulu. Kedua, menyadari bahwa fungsi Kepolisian sebagai "alat negara". Bukan sebagai "alat pemerintah atau alat penguasa". Jika sebagai alat pemerintah, maka Kepolisian merupakan penegak hukum yang menjadi kepanjangan tangan kepentingan politik pemerintah, yang sekarang dinilai semakin pragmatis dan tidak demokratis. Ketiga, mengubah kebijakan yang diskriminatif. Kita semua tahu jika Polisi menangani kasus yang dilakukan oleh pengkritisi pemerintah, maka itu proses hukumnya sangat cepat dan kilat. Sebaliknya, jika pelakunya adalah pendukung pemerintah, maka bukan saja lambat tetapi dipastikan segera menguap. Diskriminasi ini harus diakhiri. Kasus Djoko Tjandra menjadi pelajaran penting bangsa untuk kembali mewaspadai bahaya "KKN", yang bukan hanya "Korupsi". Kini nampaknya mulai hilang dua nomenklatur "Kolusi" dan "Nepotisme". Akibatnya, terjadi kolusi masif antara pemerintah beserta "alatnya" dengan para pengusaha atau "cukong-cukong" yang mendukung. Begitu juga marak politik dinasti seperti kasus Gibran dan Bobby Nasution, anak dan mantu Presiden Jokowi. Perlu untuk segera menguatkan landasan hukum bahwa "kolusi" dan "nepotisme" adalah suatu kejahatan atau tindak kriminal. Sebagai Implementasi dari Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 dan Ketetapan MPR No. VII/MPR/2001. Undang-Undang mengenai KKN ini mendesak untuk segera dibuat. Munculnya kasus "kolusi" Djoko Tjandra serta "nepotisme" Gibran dan Bobby adalah momentum perbaikan tersebut. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Gerombolan Boedi Djarot, Vandalisme Khas Komunis

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Jum’at (31/07). Peristiwa aksi 27 Juli 2020 di depan Gedung DPR oleh "kelompok merah" yang jumlahnya sedikit saja membuat kehebohan. Yang aneh adalah asinya menyerang figur Habib Rizieq Shihab. Menistakan gambar atau baliho HRS dengan menginjak-injak, membakar dan merobeknya. Api yang tidak bisa membakar baliho bergambar HRS menjadi keunikan tersendiri. Padahal baliho HRS telah disirami dengan minyak, entah minyak bensin atau minya tanah. Tetap saja haliho yang kainnya sangat mudah terbakar itu tidak bisa terbakar. Kelompok merah ini dipimpin oleh Sekjen GJI Boedi Djarot adiknya Eros Djarot. Walaupun umat Islam tidak semua sefaham dengan langkah dan perjuangan HRS, akan tetapi penistaan terhadap HRS sebagai tokoh atau ulama cukup membuat umat Islam prihatin. Membuat gara-gara apa "kelompok merah" ini? Simpati kepada HRS dipastikan akan muncul dari mana-mana. Bahkan dari yang bukan muslim. Simpati dan pembelaan terhadap HRS bukan hanya dari organisasi yang dipimpinnya, yaitu FPI. Tetapi dipastikan lebih luas dari FPI, khususnya dari kalangan umat Islam. Sekurangnya para alumni 212 akan bersikap untuk mendukung HRS. Jumlahnya jutaan pasti puluhan juta. Militansi umat yang tinggi dalam melawan perilaku zalim. Sebab kelompok dan gerombolan merak Boedi Djarot layak untuk dikecam. Telah membuat kegaduhan baru di tengah banyaknya kegaduhan di negara ini. Bara permusuhan telah diciptakan. Terlepas dari motif yang mendasari gerombolan Boedi Djarot. Apakah memancing, ekspresi dendam, atau lainnya? Namun pembakaran atau perusakan secara demonstratif baliho bergambar HRS dinilai sangat tidak bermoral. Reaksi balasan diperkirakan bakal terjadi. Sebelumnya pelaku pembakaran bendera PDIP masih misterius. Bisa yang membakar adalah peserta aksi yang kontra terhadap RUU HIP. Namun bisa dari susupan PDIP sendiri. Bisa pula memang pihak ketiga yang memancing situasi agar semakin mamanas. Yang jelas peringatan "kudatuli" menunjukkan kenanehan tersendiri. Sebab tiba-tiba saja berfokus pada perusakan dan penistaan baliho yang bergambar HRS. HRS sendiri rasanya tidak memiliki hubungan apa-apa dengan peristiwa 27 Juli tersebut. Bahkan mungkin saja mengutuk keras peristiwa tersebut. Aada tiga kemungkinan konsekuensi dari penistaan dengan percobaan pembakaran dan perusakkan secara terencana baliho bergambar HRS oleh gerombolan Boedi Djarot ini, yaitu : Pertama, dilaporkan ke pihak Kepolisian prilaku Boedi Djarot cs. Tetapi dipastikan proses pengusutan tidak akan berjalan serius. Kasus Ade Armando, Abu Janda, dan Denny Siregar adalah contoh. Jadi, para simpatisan dan pendukung HRS jangan terlalu berjarap banyak dari kemungkinan pertama. Kedua, dilakukan pencarian sendiri terhadap Boedi Djarot cs oleh massa pendukung HRS. Tujuannya untuk meminta pertanggungjawaban atas perbuatan penistaan yang dilakukan oleh gerombolan Boedi Djarot ini. Ketiga, bisa saja budaya bakar bakar dan perusakan baliho atau poster terhadap tokoh menjadi kebiasaan. Pembalasan misalnya, dengan membakar baliho Megawati atau Djarot atau tokoh lain yang diduga terlibat dirusak, diinjak-injak, atau dibakar pula. Ke depan bisa saja baliho Presiden Jokowi, Menteri atau pejabat lain juga diperlakukan sama. Ini tentu sangat tidak sehat. Bila tidak ada langkah baik dari kekuatan politik protektor "kelompok merah" maupun aparat penegak hukum, maka isu bahwa perusakan dan pembakaran itu dilakukan oleh gerombolan neo PKI atau aktivis komunis bisa saja menggelinding. Modus adu domba sangat kentara. Yang dirobek, diinjak-injak, atau dibakar pada hakekatnya tidak lain adalah nilai-nilai moral. Gaya brutal dan vandalisme seperti ini menjadi karakter khas gerakan komunisme. Wajar rakyat Indonesia harus mulai waspada dan siaga. Neo PKI dan Komunisme mulai dan sedang bergerak. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Wahyu Setiawan: Dari Justice Collaborator Menjadi Justice Collaps-borator

by Asyari Usman Jakarta FNN - Jumat (24 Juli 2020). Banyak yang sempat bersemangat. Pasalnya? Mantan komisioner KPU, Wahyu Setiawan (WS), akan membongkar kecurangan dalam pemilu, Pilpres dan pilkada 2019. Wuih! Pasti bakal seru sekali. Om Wahyu akan maju sebagai ‘justice collaborator’. Artinya, dia akan menjadi ‘rekanan keadilan’. Hebat, bukan? Pastilah. Menjadi ‘rekanan keadilan’ atau ‘rekanan penegakan hukum’ itu sangat mulia. Akan membongkar kecurangan Pilpres 2019 pula lagi. Makin mantaplah barang ‘tu. Eh, eh. Sehari kemudian berbalik. Tim pengaranya mengatakan, itu tidak benar. Tidak benar Om Wahyu akan menjadi ‘juctice collaborator’. Itu hanya pernyataan pribadi Saiful Anam –salah seorang anggota tim pembela Om WS. Yang mengatakan bahwa itu adalah pernyataan pribadi adalah Tony Akbar Hasibuan (22/7/2020), juga pengacara. Kata Tony, yang akan dibongkar WS hanya hal-hal yang terkait dengan kasus sogokan dari Harun Masikhu. Yaitu, kemungkinan keterlibatan partai, lembaga, perorangan, hingga komisioner KPU terkait proses penggantian antar waktu (PAW) untuk Masikhu. Banyak yang geleng kepala. Kok Om Wahyu berubah sikap. Dalam waktu 24 jam saja. Tapi, publik perlu paham bahwa membongkar kejahatan Pilpres 2019 sangat tinggi taruhannya. Siraman air keras bisa jadi harga yang terendah. Om Wahyu bisa menakar konsekuensi yang akan dia terima. Kecuali dia sudah paham bahwa membongkar kejahatan Pilpers 2019 akan membuat dia menjadi terhormat setelah kehinaan yang dirasakannya karena menerima sogok. Apakah ada tekanan terhadap WS? Bisa jadi juga. Sebab, para pelaku kecurangan Pilpres 2019 pastilah sadar apa yang akan terjadi kalau Om Wahyu benar-benar membongkar kecurangan itu. Para pelaku tak bakalan bisa mengelak. Karena si mantan komisioner KPU itu tentu tahu seluruh proses kecurangan. Sekarang, publik gigit jari. Kecurangan Pilpres 2019 itu secara otomatis diakui keberadaanya oleh WS lewat pernyataan Saiful Anam. Tetapi, tak jadi dibeberkan oleh si mantan komisioner yang memilih untuk tetap menjadi orang yang hina. Wahyu lebih suka menjadi ‘justice collaps-borator’ alias ‘ penghancur keadilan’ alias ‘peruntuh penegakan hukum’. Dia memilih untuk terus-menerus menjadi buronan penyesalan. Di dunia dan di akhirat. Semoga besok-lusa berbalik lagi menjadi ‘juctice collaborator’.[] (Penulis adalah wartawan senior)

Wahyu Setiawan Bongkar Kecurangan Pilpres 2019?

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Kamis (23/07). Kesiapan Wahyu Setiawan, mantan komisioner KPU untuk menjadi Justice Collaborator terhadap korupsi pada Pemilihan Presiden 2019 menjadi penting. Meski terlambat, karena saat ini sudah masuk persidangan, tetapi "simpanan" informasi bisa terkuak. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyesalkan "kerjasama" tidak sejak awal. Akan tetapi, dari data keterlibatan pihak-pihak yang terbuka, meski terlambat, sebenarnya sangat bermanfaat. Tidak ada istilah keterlambatan terhadap informasi penting yang berkaitan dengan “kejahatan korupsi dan kejahatan demokrasi”. Pengacara Wahyu Setiawan menjelaskan bahwa Justice Collaborator (JC) ini terbatas pada kasus suap Harun Masiku. Namun dengan bahasa "terbatas" sebenarnya ada informasi "tak terbatas" yang dimiliki Wayu. Semua faham bahwa kasus Masiku adalah bagian dari permainan politik tingkat tinggi. KPK belum bersikap atas tawaran JC dari Wahyu. KPK hanya menilai bahwa itikad dan apa yang "dikerjasamakan" itu dapat menjadi unsur yang meringankan bagi pertimbangkan mejelis hakim. Meskipun demikian sekurang-kurangnya fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan dapat menjadi bahan bagi KPK untuk pengusutan lebih lanjut. Ada pihak lain yang terlibat dalam kasus ini. Konon Hasto atau Megawati pun bisa diuji. Apapun kelak ujung dari proses hukum Wahyu Setiawan akan berkaitan dengan sikap Wahyu sendiri. Apakah "ilmu" nya akan terus dikeluarkan atau tidak. Maknanya adalah Wahyu Setiawan memiliki "pengetahuan luas" mengenai perilaku dan kebusukan dan kebobrokan komisioner KPU. Keterangan Wahyu tentu bukan saja untuk kasus Harun Masiku, tetapi juga yang lainnya Pilkada. Bahkan mungkin saja berkaitan dengan Pilpres. Keterbukaan Wahyu Setiawan inilah yang ditunggu-tunggu publik. Pilpres dengan hasil kontroversial masih menjadi misteri hingga kini. Kemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin masih diragukan publik. Sejak Quick Count hingga Putusan MK yang dinilai janggal. Pertanyaan besar masih menggelayut. Komisioner KPU dan Tim Pemenang tentulah yang lebih tahu, dan Wahyu Setiawan adalah salah satu komisioner saat pelaksanaan pemilu legislative dan Pelpres 2019 lalu. Tawaran JC berfungsi sebagai batu ujian bagi KPK. Sekarang KPK pun diuji keseriusan dalam pengusutan kasus korupsi. Bila KPK ragu atau tidak serius, maka publik akan menilsi bahwa KPK bukan saja bermain hukum. Tetapi juga ikut juga bermian politik. Ini tentu tidak diharapkan. Karena kasus Harun Masiku bagai sodokan permainan bola bilyard. Dapat menyodok bola lain. Wahyu Seiawan mantan komisioner KPU mesti kini menjadi pesakitan masih dapat berbuat sebagai pahlawan. Wahyu Setiawan bisa menjadi pahlawan kejujuran. Pahlawan untuk membongkar kecurangan dan kejahatan korupsi. Sakaliguas membongkar kejahatan terhadap demokrasi. Pelaku yang terlibat kemungkinan hanya dua pihak, yaitu KPU sebagai penyelenggara pemilu dan peserta pemilu. Bisa dari partai politik. Namun bisa juga pasangan Capres. Kebenaran itu biasanya selalu datang dan terbukti belakangan. Sedikit sekali yang terbukti di awal-awal kejadian. Bangsa dan negara butuh kepahlawanan Wahyu Setiawan. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Djoko Tjandra, Pembeli Kekuasaan dengan Predikat “Best Buyer”

by Asyasi Usman Jakarta FNN - Kamis (23 Juli 2020). Terima kasih Tuan Djoko Tjandra. Anda telah menunjukkan kepada seluruh dunia bahwa Anda bisa mengatur siapa saja di negeri ini. Anda bisa membeli siapa saja yang Anda perlukan. Anda bisa menyewa siapa saja yang Anda inginkan. Anda bisa membeli orang-orang berbintang yang sedang berkuasa. Anda bisa merekrut ‘bodyguard’ berpangkat brigjen. Anda bisa membeli pengacara yang memberikan ‘bantuan hukum’ dan ‘bantuan untuk melanggar hukum’. Saya bisa memahami perasaan Anda sekarang. Dan bisa juga memahami perasaan Anda sejak dulu. Yaitu, perasaan Anda yang bahagia luar biasa. Karena Anda yang berhasil menginjak-injak harga diri bangsa kami. Bangsa Indonesia. Anda tidak salah. Anda hanya berperilaku sebagai seorang pembeli. Pembeli kekuasaan semata. Pepatah mengatakan, “Pembeli itu Raja”. Tentunya maksud pepatah ini adalah bahwa penjual kekuasaan akan melayani Anda seperti raja. Anda itu adalah seorang ‘customer’ istimewa di mata para pedagang kekuasaan. Pastilah para pedagang kekuasaan akan selalu mendekati Anda. Mulai dari pedagang kekuasaan level asongan sampai pedagang kekuasaan level plaza. Anda memang beruntung bisa membeli kekuasaan apa saja yang Anda perlukan. Anda juga bisa membeli kekuasaan di tingkat kelurahan sampai ke tingkat menteri. Berbahagialah Anda, Tuan Djoko. Berbahagia karena berhasil mempermalukan kami yang masih merasa terhina oleh tindakan Anda. Harus diakui, banyak orang yang merasa tidak terhina oleh perilaku Anda. Anda tidak salah, Tuan Djoko. Yang salah adalah kami-kami yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan perasaan normal para pemimpin dan pejabat tinggi kami. Yang sejak lama sudah terbiasa direndahkan, dihina, dan dilecehkan oleh orang-orang hebat seperti Anda. Kami belum sanggup seperti mereka. Mereka merasa tak terhina, tak tercela, ketika mendengar Anda bisa keluar-masuk di ruangan kerja para petinggi negara yang kami anggap mewakili martabat rakyat. Anda tidak salah, Tuan Djoko. Yang salah adalah kami semua. Kami sangka Pancasila itu diamalkan oleh para pemimpin kami sesuai dengan ceramah mereka. Ternyata sudah lama dilakukan ‘penyesuaian’ pengamalan Pancasila dengan ‘kebutuhan’ zaman. Rupanya, selama ini para pemimpin atau pejabat kami meneriakkan Pancasila hanya untuk menyebut kami teroris, radikal, ISIS, khilafatis, anti-NKRI, dan lain sebagainya. Kami sangka mereka benar-benar berpancasila. Kami tak menduga kalau mereka itu sudah lama berpura-pura. Kami yang tak sadar bahwa Pancasila sudah disimplifikasikan menjadi panduan yang luwes (fleksibel) agar para petinggi bisa beradaptasi dengan suasana kompetitif. Kami terlambat tahu bahwa belakangan ini memang dibangun kompetisi di kalangan para petinggi. Yaitu, kompetisi menjual kekuasaan supaya ada ‘penerimaan non bujeter’ yang lebih besar. Dengan kompetisi itu, para pemegang kekuasaan akan berlomba atau bersaing untuk mendapatkan hasil penjualan terbanyak. Termasuk bersaing dalam merebut pembeli kekuasaan kelas paus. Tampaknya, Tuan Djoko bisa dikategorikan ke dalam daftar pembeli papan atas. Bisa diberi penghargaan “best buyer”. Pembeli terbaik. Pantasanlah kemarin itu Tuan Djoko Tjandra memberikan teladan kepada para konsumen penikmat kekuasaan. Teladan tentang bagaimana cara melecehkan martabat rakyat, bangsa dan negara ini. Penulis adalah Wartawan Senior.

Skandal Djoko Tjandra Dan Integritas Penegak Hukum

by Dr. Abdullah Hehamahua Jakarta FNN – Jum’at (17/07). Gubernur Hong Kong, Sir Murray Mac Lehose tahun 1974, membentuk KPK. Lembaga ini bernama Independent Agency Against Corruption (ICAC). Tugas pertama adalah membersihkan kepolisian dari korupsi. Sebab, waktu itu Jenderal Polisi, Peter Fitzroy Godber memiliki rekening gendut U$ 600.000. Uangnya disimpan di bank Kanada. Dia juga punya asset senilai senilai 4,3 juta dollar Hong Kong. ICAC berhasil menangkapnya. Namun, penangkapan Wakil Kepala Polisi Kowloon itu telah memicu bawahannya menggerebek kantor ICAC. Komisioner ICAC bergeming. ICAC dalam waktu relative singkat menangkap 247 koruptor. Sebanyak 143 orang adalah polisi. ICAC lalu menjadi ‘role model’ proses pemberantasan korupsi di dunia. Pejabat dan pegawai KPK biasa mengunjungi kantor ICAC. Pimpinan ICAC biasa juga bertandang ke kantor KPK. Drama Djoko Tjandra Publik dihebohkan dengan berita Djoko Tjandra. Buronan 11 tahun ini mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Tragisnya, Djoko Tjandra bisa menghadiri sidang PK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 8 Juni 2020. Dahsyatnya lagi, Djoko bisa membuat e-KTP di Kelurahan Grogol Selatan, Jakarta Barat pada tanggal 8 Juni pagi. Djoko Tjandra disambut langsung oleh Lurah Grogol Selatan di Kantor Kelurahan. KTP-nya selesai hanya dalam waktu dua jam. Tanggal 23 Juni 2020, Djoko membuat paspor di Kantor Imigrasi Jakarta Utara. Anehnya, Djoko sudah menjadi warga negara Papua Nugini, pada Juni 2009. Namun bisa mendapatkan e-KTP dan diberikan Paspor oleh Imigrasi Jakarta Utara. Bagaimana Djoko yang buron bisa masuk Indonesia tanpa ditangkap ? Apakah hal tersebut disebabkan ketidak-tertiban adminstrasi Imigrasi dan aparat penegak hukum.? Mungkin juga tidak ada kordinasi antar instansi terkait sehingga Djoko bisa leluasa memiliki e-KTP. Datang sendiri ke Pengadilan, dan membuat paspor tanpa ditangkap. Menurut Juru Bicara Ditjen Imigrasi, Arvin Gumilang, Djoko tidak pernah tercatat masuk ke Indonesia. Ada dua kemungkinan. Pertama, Djoko masuk Indonesia tanpa melalui imigrasi. Beliau bisa melalui jalan tikus di perbatasan Papua Nugini dan Papua. Kedua, Djoko masuk Indonesia dengan menggunakan nama lain sehingga tidak terditeksi di Imigrasi. Apalagi, imigrasi sudah menghapus nama Djoko dari daftar pengawasan pada 13 Mei lalu. Alasannya, interpol sudah menghapus status red notice untuk Djoko. Arvin Gumilang menyebut pihak Imigrasi baru menerbitkan status cekal untuk Djoko, 27 Juni lalu. Setelah kejaksaan memasukkan nama buron itu ke Daftar Pencarian Orang (DPO). Kesimpulan pertama, kelalaian Kejaksaan yang membiarkan nama Djoko terhapus dalam senarai DPO. Kemungkinan Ada KKN? Pejabat atau karyawan yang tidak berintegritas? Tanyakan sendiri ke rumput yang bergoyang. Bencana baru menimpa dunia penegakkan hukum Indonesia ketika terpublikasi berita, Djoko Tjandra mendapat surat tugas dari Bareskrim (18 Juni) untuk meninggalkan Jakarta menuju Pontianak. Aneh bin ajaib. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menggelar sidang pengadilan PK bagi seorang boron, 29 Juni 2020. Apakah pejabat Pengadilan tidak tau kalau Djoko seorang buron.? Ada KKN atau pegawai Pengadilan yang tidak berintegritas.? Tanyakan juga ke rumput yang bergoyang. Anehnya lagi, Jaksa Agung mendapat informasi kalau Djoko Tjandra sudah berada di Jakarta selama tigabulan. Lagi-lagi masalah integritas aparat penegak hukum menjadi taruhan. Terbayang kenangan, bagaimana SOP, Kode Etik, dan Peraturan Kegawaian KPK menjadi “malaikat” pengawas dalam balutan integritas setiap insan yang bekerja di KPK. Tangkap Jenderal Polisi Pertama kali mengikuti Rapim KPK (Maret 2005), saya mengusulkan agar ditangkap beberapa jenderal polisi, baik yang di Mabes maupun Polda. Sebab, KPK Hong Kong memulai debutnya dengan menangkap Jenderal Polisi Hongkong. Namun, sanggah seorang komisioner, “Jaksa Hong Kong relative baik, dan hakimnya diimpor dari Inggeris. Indonesia, ketiga lembaga tersebut bermasalah sehingga tidak bisa meniru pola KPK Hong Kong,” katanya. Saya terdiam. Kalau begitu, gaji kepolisian dinaikkan minimal 100%. Sebab, salah satu penyebab korupsi di kalangan PNS, termasuk instansi penegak hukum adalah gaji yang sangat rendah. Candaan saya ketika menjadi narasumber di Bimtek DPRD dan Kementerian tertentu: “PNS yang jujur akan mengalami ‘kematian’ tiga kali dalam sebulan. Sebab, gaji PNS hanya cukup untuk 10 hari.” (SBY setiap tahun menaikan gaji PNS secara gradual sebagai respons atas rekomendasi KPK). Kemenkeu dalam merespons sikap KPK menyatakan, keuangan negara tidak mampu untuk menaikan gaji kepolisian sebesar 100 persen. Sebab, jumlah mereka relative banyak. Hal yang sama juga berlaku terhadap Kejaksaan. Akhirnya, kebijakan Komisioner KPK (jilid 1), peningkatan gaji PNS dimulai dari para Hakim. Filosofinya, jika bola kejahatan dapat menembus pertahanan kepolisian dan kejaksaan, maka Hakim sebagai penjaga gawang keadilan terakhir, dapat menangkapnya. Apalagi, jumlah Hakim dan Panitera relative kecil sehingga bisa ditanggulangi APBN. KPK pun menetapkan tiga instansi sebagai pilot project: Kemenkeu, MA, dan BPK. Filosofinya, jika bendahara negara kelaparan, uang rakyat dapat dicuri. BPK sebagai eksternal auditor perlu diamankan ‘perut’ mereka. Sehingga bisa independen dalam mengaudit keuangan negara. KPK berdasarkan strategi itu memasuki kompleks MA (2005) melalui kasus Probosutejo. KPK lalu membantu membenahi manajemen MA. Hasilnya, kasus-kasus kasasi yang bertahun-tahun numpuk di meja Hakim Agung, dalam waktu relative singkat, dapat diselesaikan. Bahkan, putusan Pengadilan dapat dipantau di Web MA dalam waktu relative singkat. Sayang, ketika KPK jilid dua, Lembaga ini diobok-obok oleh kasus cicak-buaya, sehingga kelanjutan reformasi birokrasi di Kementerian dan Lembaga, termasuk MA, terabaikan. Wajar, muncul kembali kasus-kasus korupsi yang melibatkan apparat penegak hukum. Kasus terakhir, mantan Sekretaris MA yang ditangkap KPK. Integritas dan Keteladanan Hilang Gus Dur pernah bilang, di kepolisian hanya ada dua orang jujur. Jenderal Hoegeng dan polisi tidur. Candaan Gus Dur tersebut, berlebihan. Sebab, selama delapan tahun di KPK, saya temukan banyak anggota polisi yang hebat-hebat. Apakah mereka adalah anggota polisi terbaik yang direkomendasikan untuk berkiprah di KPK.? Bisa iya, dapat juga tidak. Saya mau berkongsi tentang beberapa anggota polisi yang “hebat” itu. Novel Baswedan dan beberapa Penyidik memasuki ruang kerja saya ketika terjadi kasus cicak-buaya (2007). “Bapak harus pertahankan KPK agar tidak sampai dibubarkan,”. Itu pernyataan Novel yang saya masih ingat. Mengapa? tanya saya. Kalau kami, ‘nothing to lose’, katanya. “Tapi, kami tidak mau jadi orang jahat lagi,” tambahnya. Mereka Tegas! Saya juga terkejut ! Setelah mereka meninggalkan ruanganku. Lalu saya merenung. Penyidik KPK berasal dari Kepolisian yang Mabesnya hanya beberapa kilometer dari Kuningan. Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Agung yang kantornya juga hampir sama jaraknya dari KPK. Kedua instansi tersebut dianggap bermasalah oleh masyarakat. Hal tersebut juga merupakan alasan, mengapa dibentuk KPK. Saya pun teringat akan tingkah-laku kedua adik ipar saya yang juga anggota polisi. Namun, Penyidik dan JPU yang di KPK, setidaknya pada edisi satu dan dua, hebat-hebat. Mengapa mereka hebat? Penyebabnya, sistem yang diterapkan di KPK berbeda dengan di instansi lain. Di KPK, SOP, Kode Etik, dan Peraturan Kepegawaian dilaksanakan tanpa toleransi. ‘Zero tolerance’. Itulah integritas mereka. Mereka para Penyidik dan JPU ini ketika kembali ke instansi asal, dimana sistem di sana, belum berubah, maka mereka akan kembali lagi ke tradisi lama. Saya lalu paham, apa yang dimaksud dengan pernyataan Novel tadi. Sejak itu, di pelbagai kesempatan, saya selalu sosialisasikan konsep Reformasi Birokrasi yang digaungkan oleh KPK sejak 2005. Saya ketika di ILC, sering dihubungi salah seorang Penyidik KPK. Beliau biasa menyampaikan informasi tentang alasan, bukti, dan dasar hukum, mengapa KPK melakukan begini dan begitu. Poinnya, beliau betul-betul memertahankan nama baik KPK ketika dihajar dari kanan dan kiri panggung pemberantasan korupsi. Seorang anggota polisi yang bertugas di Pengawasan Internal (PI), selantai dengan saya, tidak pernah absen shalat berjamaah. “Pak Abdullah,” sapanya pada suatu kesempatan di mushallah lantai enam. “Seumur hidup, baru di KPK, saya shalat berjamaah empat kali sehari.” Teringat, yang usul agar pengajian ba’da shalat dzuhur, dari dua kali menjadi tiga kali sepekan adalah pegawai dari Kepolisian dan Kejaksaan. Beberapa bulan setelah usul tersebut dilaksanakan, mereka usul agar “di setiap lantai, ba’da shalat ashar, kita baca kitab.” Saya terharu mendengar usul tersebut. Mulailah di lantai enam, setiap ba’da sahalat ashar berjamaah, saya membaca satu dua hadits dari Bhulughul Maraam. Tamat, saya teruskan dengan Nailul Authar. Kedua kitab ini diprioritaskan karena berhubungan dengan hukum. Terakhir, sebelum pensiun, saya membaca Riyadush Shalihin. Sewaktu sudah purna bakti, dan ada cara di KPK, saya diajak shalat ashar berjamaah di mushalla yang sama, lantai enam. Ternyata, tradisi yang saya tinggalkan, masih berlanjut. Mereka membaca kitab Sirah Nabi Muhammad. KPK sudah berumur enam belas tahun. Puluhan alumninya yang sudah kembali ke Kepolisian dan Kejaksaan. Mengapa masih ada kasus di Bareskrim seperti itu? Jawabannya, reformasi birokrasi belum berjalan dan keteladanan pimpinan yang hilang. Semuanya bermuara dari integritas. Apakah ada hubungan di antara Brigjen PU, pembuatan e-KTP, paspor, PK di PN Jaksel, dan pertemuan Presiden dengan adiknya Djoko Tjandra di Papua Nugini? Biarlah ssaja Kompolnas yang mengusutnya. Semoga Penulis adalah Mantan Penasehat KPK

Jangan Alihkan Kesalahan Polri ke Surat Jalan Djoko Tjandra

by Asyari Usman Jakarta, FNN - Kamis (16/07). Sengaja atau tidak, pimpinan Polri berusaha mengalihkan fokus kesalahan Polri secara institusional menjadi kesalahan Brigjen Prasetijo Utomo (PU) yang mengeluarkan surat jalan (SJ) untuk Djoko Tjandra (DT). Cara pengalihan kesalahan ini sangat ‘high profile’. Tak kurang Kadiv Humas Irjen Argo Yuwono melakukan ‘spin doctoring’ (pengolahan opini) yang lumayan canggih. Tujuannya bisa ditebak. Yakni, supaya publik mengarahkan kritik atau celaan kepada Brigjen Prasetijo saja. Nah, publik harus disadarkan. Kesalahan terbesar dalam kasus Djoko Tjandra alias Joko Soegiarto Tjandra (JST) bisa keluar masuk Indonesia secara ilegal, dan melakukan berbagai kegiatan termasuk pembuatan e-KTP super cepat, bukanlah di tangan Brigjen PU. Kesalahan terbesar dalam drama ini ada di tangan Polri, khususnya jajaran intelijen dan Bareskrim. Mengapa? Karena alur utama drama DT (JST) adalah kegagalan Polisi menangkap buronan ‘most wanted’ korupsi itu. Jadi, yang harus dipersoalkan adalah mengapa DT tidak terdeteksi dan tidak bisa ditangkap? Ini yang teramat penting untuk dijawab. Apakah kesalahan Brigjen Prsetijo lebih fundamental atau kesalahan institusi Polri yang fatal? Ini yang harus diurai tuntas. Surat jalan atas nama DT yang dikeluarkan oleh mantan Karokorwas PPNS Bareskrim Polri, memang tindakan yang salah. Dan Brigjen PU wajar mendapatkan hukuman administratif. Sudah tepat dia dicopot dari jabatannya. Tapi, pembuatan surat jalan oleh Brigjen PU itu bukan kesalahan utama dalam drama yang berbau busuk ini. Surat jalan untuk DT hanya ‘satu adegan kecil’ diantara adegan-adegan yang mungkin melibatkan bintang-bintang besar di Polri dan juga di instusi-institusi lain. Surat jalan itu hanya digunakan dalam perjalanan Djoko dari Jakarta ke Pontianak dan balik ke Jakarta lagi. SJ itu hanya berlaku dari 19 Juni sampai 22 Juni. Padahal, DT berada di Indonesia selama tiga (3) bulan. Keberadaan DT yang cukup lama ini (yakni antara akhir Maret 2020 sampai akhir Juni 2020) diungkapkan oleh Jaksa Agung ST Burhanuddin ketipa rapat kerja dengan Komisi III DPR pada 29 Juni 2020. Jaksa Agung mengakui intelijen Kejakgung lemah. Gagal menangkap DT (JST). Tapi, Menkum HAM Yasonna Laoly mengatakan pihaknya tidak mempunyai data tentang keberadaan Djoko Tjandra selama tiga (3) bulan itu. Kalau Kejaksaaan berkilah intelijen mereka lemah, tentu tidak begitu halnya dengan intelijen Polri. Intel Polisi pasti sangat kuat. Dengan ribuan personel yang terlatih. Nah, mengapa kepolisian “tak tertarik” untuk menangkap Djoko. Padahal, polisi tahu si buronan ini pernah dalam status Red Notice (buronan) di Markas Interpol atas permintaan Kejaksaan Agung. Dari 2009 sampai 2015. Red Notice dihapus karena tidak ada permintaan perpanjangan dari Kejaksaan. Ini pun cukup mengherankan. Mengapa tidak diperpanjang? Sangat menakjubkan! Patut diduga Red Notice itu dihapus atas permintaan dari pihak DT dengan imbalan yang cukup besar. Kepolisian perlu menjelaskan mengapa mereka “tak mendeteksi” keberadaan DT di Indonesia seperti disebut di atas. Sungguh sangat aneh kalau Polisi juga beralasan intelijen mereka lemah. Manko Polhukam Mahfud MD merasa kesal mengapa Polisi –dan juga Kejaksaan— tidak mau atau tidak bisa menangkap DT. Menurut Mahfud, Indonesia sangat malu dipermainkan oleh Djoko Tjandra. Padahal, kata Mahfud, Polisi itu hebat sekali. Dan juga Kejaksaan Agung. Karena itu, kesalahan Polri secara institusional tidak wajar kalau ditimpakan kepada Brigjen Prasetijo Utomo. Brigjen PU memang nyata melakukan kesalahan dengan penerbitan SJ untuk Djoko Tjandra. Untuk keselahan itu dia membayarnya dengan pencopotan yang mempermalukan dirinya. Bahkan, kalau ada celahnya, bagus juga perbuatan Prasetijo itu ditelusuri tuntas. Kalau ada unsur pidananya, tentu harus diproses. Bila perlu, Prasetijo dipecat saja sekalian dari Polri. Namun, jangan sampai ‘adegan kecil’ Brigjen itu diolah sedemikian rupah sehingga kesalahan Kepolisian menjadi tertutupi. Tidaklah adil mengalihkan kesalahan Polri ke surat jalan Djoko Tjandra. Penulis adalah Wartawan Senior

Ayo Tebak, Tuan Besar Djoko Tjandra Pakai Sogok atau Tidak?

by Asyari Usman Jakarta FNN – Rabu (15/07). Djoko Tjandra memang hebat. Dia dalam status sebagai buronan ‘most wanted’ (paling dicari). Namun semua instansi yang diperlukannya memberikan “bantuan penuh”. Semuanya “memfasilitasi” keinginan Tuan Besar Djoko. Semuanya lancar jaya. Sangat huebat dan luar biasa. Berbagai bantuan yang ‘generous’ itu antara lain adalah masuk ke Indonesia tanpa ada hambatan di Imigrasi. Kemudian mengurus e-KTP sampai terbit dalam waktu satu jam lima belas menit di Kantor Lurah Grogol Selatan, Jakarta Barat. Terus, dia pergi ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk memasukkan gugatan PK (Peninjauan Kembali) atas putusan yang dia rasakan merugikan dirinya. Setelah itu, Tuan Besar Djoko mengikuti sidang pengajuan novum di Pengeadilan Negeri Jakarta Selatan. Beberapa hari selesai persidangan novum di pengadilan, Tuan Besar Djoko melakukan perjalanan ke Pontianak. Giliran Bareskrim Polri yang keluarkan surat perjalanan kepada Tuan Besar Djoko. Selesai semua urusan di Indonesia yang super cepat, karena difasilitasi oleh semua lembaga degara yang dibutuhkannya, Tuan Besar Djoko terbang kembali ke luar negeri tanpa terdeteksi. Dia kembali melanjutkan status buronannya. Tidak ada satupun instansi keamanan yang bisa mendeteksi si terpidana ini menghilang tinggalkan Indonesia. Imigrasi mengaku tidak tahu atau tidak kenal dengan Djoko Tjandra. Polisi bagai kena sihir tingkat tinggi. Kejaksaan juga seperti tak lagi berfungsi. Semua instansi penegak hukum ini bagaikan terlena, terhipnotis dan tersihir oleh “hiburan yang mengasyikkan” dari Tuan Besar Djoko. Djoko diburu oleh penegak hukum dengan kasus hak tagih (cessie) Bank Bali dengan kerugian negara 940 miliar rupiah. Dia menjadi buronan sejak 2009. Melarikan diri ke luar negeri. Pada 2012, Djoko Tjandra diketahui memiliki paspor Papua Nugini. Artinya sejak 2012 itu, Tuan Besar Djoko sudah menjadi warga Negara Papua Nigini. Menko Polhukam Mahfud MD kabarnya marah sekali. Dia mengatakan, negara sangat malu dipermainkan oleh Djoko Tajndra. Mahfud menyindir Polisi dan Kejaksaan yang tak bisa menangkap buronan ini. Padahal, menurut Mahfud, Polisi dan Kejaksaan adalah dua instansi yang hebat. Kekesalan Pak Mahfud itu bisa dipahami. Mungkin dia merasa instansi-instansi penegak hukum yang gagal menangkap Djoko itu terkesan dikangkangi oleh si buronan. Sekarang, mari kita main tebak-tebakan berhadiah. Tentang perilaku Tuan Besar Djoko. Silakan anda jawab deretan pertanyaan di bawah ini. Mungkinkah Djoko bisa masuk ke Indonesia tanpa sogok? Mungkinkah dia melewati Imigrasi tanpa bisa dikenali? Pihak Imigrasi mengatakan yang bertugas waktu itu adalah pegawai baru. Mungkinkah dia membuat e-KTP di Kantor Lurah Grogol Selatan dalam waktu satu jam lebih sedikit, tanpa uang sogok? Logiskah Pak Lurah tidak menerima apa-apa ketika dia “membantu” pembuatan e-KTP untuk Djoko dalam waktu singkat itu? Mungkinkah Pak Camat setempat juga tak mendapatkan apa-apa? Logiskah para pejabat yang terkait dengan pembuatan e-KTP untuk orang sepenting Djoko Tjandra, membantu si buronan dengan “senang hati” tanpa imbalan besar? Mendagri Tito Karnavian mengatakan di depan rapat dengan DPR bahwa pembuatan e-KTP untuk Tuan Djoko bisa cepat karena memang orientasi petugas di instansi Dukcapil adalah pelayan cepat. Begitu data seseorang ada di Dukcapil, langsung bisa cetak e-KTP. Nah, pertanyaan quiz berikutnya adalah, siapa diantara anda semua yang punya pengalaman membuat e-KTP dalam waktu satu jam lima belas menit? Ayo, atau pernah tahu teman atau tetangga yang bisa dapat e-KTP satu setengah jam? Hehe. Tuan Besar Djoko Tjandra memang mantap. Dia ini, layak, pantas dan bisa dijadikan Dirjen Dukcapil. Atau Mendagri sekalian. Mengapa? Karena dia bisa memerintahkan petugas kelurahan membuat e-KTP super cepat itu. Kembali ke quiz berhadiah. Apakah mungkin para pejabat tinggi yang terkait dengan kedatangan ilegal Djoko, tidak mendapatkan apa-apa? Apalagi mengingat statusnya sebagai buronan kelas satu, mungkinkah semua liku-liku perjalanan Tuan Djoko itu dia lalui secara gratis? Tanpa sogok sana-sini? Pemenang pertama quiz Tuan Besar Djoko Tjandra ini akan mendapatkan beberapa hadiah istimewa. Hadiah pertama, pembuatan e-KTP lima menit, langsung di kantor Mendagri. Hadiah kedua, tiket pesawat untuk berjumpa dengan Tuan Besar Djoko Tjandra di mana pun dia berada. Kemungkinan ada acara ‘morning coffee’ dengan si buronan super huebat dan luar biasa ini. Acara ‘kopi pagi’ ini nantinya sangat istimewa. Karena pemenang akan ditemani oleh Denny Siregar, Abu Janda, dan Ade Armando yang tidak terdengar suaranya mengenani kehebatan Tuan Besar Djoko Thandra selama berada di Indonesia. Diperkirakan akan ada hadiah kejutan dari Tuan Besar Djoko sendiri. Menurut bocoran, hadiah kejutan itu berbentuk kursus kilat tentang cara-cara untuk (maaf sebelumnya ya) “kentuti dan memberaki” mukanya para pejabat Indonesia. Penulis adalah Wartawan Senior

Adil Dong, Tangkap Juga Denny Siregar

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Selasa (14/07). Pembobol data pribadi Denny Siregar, yang berinisila FFH telah ditangkap oleh Kepolisian di Surabaya. Konon FFH terancam UU ITE dan lainnya. Publik menilai betapa cepatnya Polisi menindaklanjuti laporan Denny Siregar. Dan sangat luar biasa sikap sigap menangkap pelaku. Berbeda dengan respon laporan masyarakat Tasikmalaya atas perbuatan Denny Siregar, yang juga dinilai melanggar UU ITE. Bahkan bila serius, bisa-bisa Denny Siregar terkena pasal penodaan agama. Denny menyebut kalau Santri Tahfidz Qur'an sebagai "calon teroris". Masyarakat muslim Tasikmalaya marah berat. Mereka melaporkan Denny Siregar ke Polisi. Kasus Tasikmalaya tidak secepat dan sesigap penangkapan pembobol data pribadi Denny. Bahkan sampai sekarang Denny masih berkeliaran dalam marah- marahnya kepada Terlekosel. Malah hendak menuntut Telkomsel segala. Entah kapan Denny bakal diperiksa Polisi? Perbuatan Denny jelas-jelas telah menyinggung perasaan umat Islam. Bukan saja Tasikmalaya. Khususnya lingkungan Pesantren. Tak kurang dari Wakil Gubernur (Wagub) Jawa Barat (Jabar) asal Tasikmalaya pun ikut bersuara. Wagub sangat mengecam, dan meminta Polisi bertindak cepat. Denny lupa hukum dunia saja berbalas "siapa menabur angin, akan menuai badai". Sebelumnya Denny bully anaknya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Almira Yudhoyono. Sekarang giliran Denny bully anak-anak santri, dengan sebutan sebagai calon teroris. Kini giliran anaknya Denny yang habis dibully oleh warganet. Denny menyatakan gelisah. "Kalau anak-anaknya tidak kuat, bisa gila". Begitulah Denny mengeluh. Semua itu adalah akibat. Jangan salahkan dulu orang lain dulu. Sebaiknya evaluasi bacaan diri dalam pergaulan sosial Jika FFH ditangkap, maka adalah sanagat adil jika Denny Siregar juga ditangkap. Jika FFH ditahan, maka juga wajar secara hukum Denny ditahan. Keduanya sama sama diduga melanggar UU ITE. Jika FFH diproses dengan sangat cepat oleh pihak Kepolisian, maka semestinya Denny diproses tidak kalah cepatnya pula. Inilah kesamaan dan kesetaraan di depan hukum. Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 menyatakan , "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan hukum yang sama di hadapan hukum". Nah hak dan kewajiban Konstitusional seperti inilah yang patut menjadi perhatian semua pihak. Khususnya aparat penegak hukum. Karena bila terjadi diskriminasi dalam penegakkan hokum, maka bukan hanya kepercayaan yang akan merosot, akan tetapi kebencian yang akan tumbuh. Membantu membangun masyarakat penuh kebencian (hatred society). Dengan alasan apapun, Denny Siregar mestinya diperlakukan sama, sebagaimana perlakuan terhadap FFH. Bahwa kemudian dalam prosesnya, ada pembuktian yang berbeda pada masing-masingnya, maka itu merupakan suatu keniscayaan hukum. Hanya saja jangan sampai ketidakadilan diperlihatkan dan dipertontonkan dengan telanjang dan mencolok mata. Imej bahwa Denny Siregar dan teman-temannya kebal hukum mesti harus ditepis dengan tindakan nyata dari Polisi. Ditepis dengan perlakuakn yang sama di depan hukum. Sebaiknya, jangan pertontonkan secara telanjang sikap-sikap yang tidak adail kepada masyarakat, khususnya kepada umat Islam. Masyarakat, khususnya umat Islam ada yang berpandangan bahwa jika kasus pelaporan menimpa Denny Siregar, Ade Armando, Abu Janda, atau beberapa figur lainnya, dipastikan proses hukum akan lambat. Bahkan besar kemungkinan bisa menguap ditelan bumi. Untuk itu, mestinya dibuktikan bahwa pandangan tersebut keliru. Kini kasus Denny Siregar dengan tema "santri calon teroris" ada di depan mata Polisi. Aparat tentu tidak akan bermain-main, sebab ini masalah sangat sensitif dalam kacamata keumatan. Perlu langkah konkrit dan tidak diskriminatif. Jika FFH dengan cepat bisa ditangkap, maka seharusnya Denny Siregar tangkap juga bisa ditangkap. Adil kan? Penulis adalah Pemerhati Politik dan Hukum.

Pengakuan Hasto, Petunjuk Tentang Siapa Pengkhianat Pancasila?!

by Mochamad Toha Jakarta FNN - Selasa (14/07). Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto Kristiyanto sudah mengakui kalau Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) memang diusulkan oleh partainya di DPR RI. Pernyataan Hasto ini menjawab teka-teki soal fraksi pengusul RUU HIP. Melansir Law-justice.co, Senin (29/06/2020 09:04 WIB), selama ini fraksi-fraksi di DPR RI, terutama di Badan Legislasi (Baleg), enggan mengungkap fraksi yang mengusulkan aturan itu. Mereka hanya menyebut RUU HIP adalah inisiatif DPR. Hasto menyebut, pihaknya membuka dialog dengan siapapun mengingat banyaknya polemik dimasyarakat terkait rancangan undang-undang tersebut. Dia memastikan, RUU HIP saat ini masih berupa rancangan, sehingga bisa diubah. “Maka dengan adanya RUU yang kami usulkan, PDI Perjuangan tentu saja membuka dialog. Kami selalu bermusyawarah, PDI Perjuangan bukan partai yang menang-menangan. Dibakar kantornya saja kita menempuh jalur hukum,” katanya. Hasto menyatakan itu dalam webinar berjudul “Jas Merah: Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah, Ciptakan Sejarah Positif Bagi Bangsa” dalam Rangka Peringatan Bulan Bung Karno 2020, Minggu 28 Juni 2020 malam. Meski begitu, lanjutnya, selama ini ada pihak-pihak yang menunggangi isu RUU HIP dengan menjadikan PDIP sebagai partai yang ingin merubah Pancasila menjadi Ekasila dan Trisila. “Tidak etis untuk mengatakan bahwa trisila atau ekasila bukan usulan dari PDI Perjuangan. Tetapi kita melihat bahwa itu dulu adalah suatu gagasan otentik dari Bung Karno,” ujarnya. Kata dia, gagasan Ekasila dan Trisila muncul saat Ketua BPUPKI Radjiman Wedyoningrat meminta Bung Karno untuk menyampaikan gagasannya terkait dengan rencana dasar negara Indonesia. Kemudian, Bung Karno mengajukan tiga alternatif, yaitu, pancasila, trisila atau ekasila yang merupakan intisari kepribadian bangsa Indonesia yakni gotong-royong. “Tetapi itu adalah suatu perjalanan sejarah kita sebagai bangsa. Untuk itu hendaknya jangan ditunggangi kepentingan politik, karena PDIP, kita yang paling kokoh dalam jalan Pancasila itu. Kita enggak mungkin merubah Pancasila karena itu digali Bung Karno,” terangnya. Menurut Hasto, PDIP setuju agar nomenklatur RUU HIP diubah menjadi RUU Pembinaan Ideologi Pancasila (PIP). Hal ini untuk mengatur dan memperkuat Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). “Terkait dengan RUU HIP, PDIP setuju untuk dirubah menjadi RUU Pembinaan Ideologi Pancasila. Mengapa? yang namanya pramuka saja ada UU-nya, arsip nasional ada UU, BNN ada UU. Masa kita tidak jaga ideologi yang otentik digali dari bumi Indonesia,” tegasnya. Belakangan ini, RUU HIP menjadi polemik sejak beberapa hari terakhir. Ada beberapa poin yang dipersoalkan sejumlah pihak. Pertama, TAP MPRS No. XXV tahun 1966 tentang Pelarangan Partai Komunis Indonesia dan Ajaran Komunisme, Marxisme, Leninisme tak dijadikan peraturan konsideran. Sejumlah fraksi partai politik menilai TAP MPRS itu perlu dimasukkan dalam bagian menimbang. Kedua, ada pasal dalam RUU HIP yang mengatur tentang Trisila dan Ekasila. Sebagian pihak merasa Pancasila dikerdilkan, sehingga menolak keberadaan pasal tersebut. Kelompok yang menolak RUU HIP itu sempat berunjuk rasa di depan Gedung DPR, Jakarta pada Rabu (24/6/2020). Mereka mendesak untuk ungkap siapa yang mengusulkan rancangan yang dianggap bermasalah tersebut. Sebelum adanya pernyataan Hasto, selama ini fraksi-fraksi di DPR RI, terutama di Badan Legislasi (Baleg), enggan mengungkap fraksi yang mengusulkan aturan itu. Mereka hanya menyebut RUU HIP adalah inisiatif DPR. Anggota Panitia Kerja RUU HIP dari Fraksi Partai Demokrat Herman Khaeron sebelumnya juga sempat menyebut Fraksi PDIP di DPR RI sebagai inisiator rancangan perundangan itu. Sejauh ini, pemerintah juga meminta pembahasan RUU HIP usulan DPR agar ditunda. Namun, kelompok penolak menyatakan, pembahasan RUU HIP itu harus dihentikan, tidak perlu ada penundaan, apapun alasannya! Tapi, ternyata masih ada pihak tertentu yang tetap ingin melanjutkan pembahasan RUU HIP. Qubah Putih Wartawan senior Edy Mulyadi mengungkap adanya upaya tersebut. Pertama, adalah Raker Komisi III DPR RI dengan pemerintah yang diwakili Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, ternyata, tidak mencabut RUU HIP yang ditolak rakyat, khususnya umat Islam dari program legislasi nasional (Prolegnas) 2020. Kedua, ada operasi ‘Qubah Putih’ yang menyasar petinggi Majelis Ulama Indonesia (MUI) daerah, baik tingkat kabupaten/kota maupun kecamatan. “Dengan dukungan dana nyaris tak terbatas, orang-orang PKI ingin menggembosi MUI di daerah-daerah dengan iming-iming uang dan berbagai fasilitas, bahkan ancaman-ancaman,” demikian disampaikan Edy Mulyadi dalam video pendeknya, Minggu (12/7/2020). Menurut Edy, penolakan umat Islam yang terjadi di hampir seluruh wilayah, ternyata tidak didengar oleh pemerintah. Mereka masih mau berkelit dengan mengganti istilah dari RUU HIP berubah menjadi RUU PIP (Pembinaan Ideologi Pancasila). “Mau diganti dengan apa pun, umat Islam tetap menolak. Karena ini akan menjadi pintu masuk atau media bagi komunis untuk tampil formal,” tambahnya, seperti dikutip Duta.co, Minggu (12/7/2020). Kecurigaan Edy bahwa pemerintah dan DPR RI ‘main api’, rasanya tak berlebihan. Buktinya, di saat agenda DPR mencabut sejumlah 0RUU dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2020, RUU HIP ternyata aman-aman saja. Wakil Ketua Baleg DPR RI Willy Aditya menyampaikan hampir seluruh fraksi mengusulkan pencabutan RUU yang mereka bahas. Sebab mereka merasa tak akan bisa merampungkan pembahasan hingga batas akhir bulan Oktober 2020. Komisi I DPR misalnya, mengajukan pencabutan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber serta RUU Penyiaran. Mereka akan fokus merampungkan RUU Perlindungan Data Pribadi tahun ini. Lalu komisi II DPR RI mencabut RUU Pertanahan. Komisi IV DPR RI juga berniat mencabut RUU Kehutanan dan RUU Perikanan. Komisi VIII DPR RI mengajukan pencabutan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Adapun Komisi X DPR RI hendak mencabut RUU Pramuka. Sementara Komisi XI DPR RI juga berencana menunda RUU Bea Meterai dan RUU Fasilitas Perpajakan. Ironisnya, di sini RUU HIP masih menggantung meski sudah menuai sejumlah aksi protes dalam beberapa pekan terakhir. Menurutnya, kader PKI paham bahwa halangan mereka adalah umat Islam. Apalagi faktanya, penolakan umat Islam dan rakyat Indonesia terhadap RUU HIP terjadi sangat massif di mana-mana. PKI paham betul, ganjalan utama RUU ini ada pada umat Islam. “Maklumat MUI Pusat dan MUI 34 Provinsi yang menolak RUU ini, benar-benar jadi energi bagi umat dan rakyat untuk menolak dan melawan. Itulah sebabnya PKI kini melancarkan operasi Qubah Putih untuk mendekati MUI-MUI Kabupaten/Kota bahkan Kecamatan.” Edy mengingatkan agar umat dan rakyat terus waspada. Jangan sampai lengah. Khusus untuk para pengurus MUI di daerah, jaga ghirah perjuangan dan tetap istiqomah. Sekali saja kalian melenceng, akan jadi catatan buruk di mata rakyat, dan tentu saja, di hadapan Allah SWT. “Kalau kemudian ada beda sikap dengan MUI pusat, berarti masuk angin. Mohon maaf kiai, ustdaz, kalau kemudian secara sumir mendukung HIP, saya tidak syu’udhon, operasi qubah putih berhasil mengamankan kalian,” ungkap Edy. “Ini catatan amat buruk bagi umat dan dalam pandangan Allah,” tegas Edy Mulyadi yang juga Sekretaris Jenderal Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama. Legal Opinion Ahli Hukum Pidana Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH menulis Legal Opinion terkait dengan RUU HIP yang diusulkan oleh PDIP tersebut. Menurutnya, Pasal 14 ayat 1 UU Peraturan Hukum Pidana menunjuk pada adanya suatu perbuatan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong. Berita bohong ini terkait dengan keberadaan Keadilan Sosial yang disebutkan dalam RUU HIP sebagai sendi pokok Pancasila. “Padahal yang menjadi sendi pokok adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal ini memang termasuk delik materil yang mensyaratkan harus adanya keonaran di kalangan masyarakat,” tulis Abdul Chair Ramadhan. Faktanya, pengusulan RUU HIP sebagai hak inisiatif DPR telah menimbulkan keonaran di kalangan masyarakat secara meluas. Berbagai Ormas besar seperti MUI Pusat dengan MUI Daerah, PB NU, PP Muhammadiyah dan lain-lainnya telah menyatakan sikap penolakan dan meminta dihentikannya pembahasan RUU a quo. Kesemuanya itu menunjukkan fakta terjadinya kegaduhan/kegemparan yang demikian sangat. Hal ini dibuktikan dengan berbagai aksi demontrasi yang demikian meluas di berbagai wilayah dalam rentang waktu yang cukup lama. Pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Peraturan Hukum Pidana menentukan perbuatan “dengan sengaja”. Hal ini bermakna terjadinya keonaran melingkupi tiga corak (gradasi) kesengajaan yakni “dengan maksud”, “sadar kepastian” atau “sadar kemungkinan”. Ketiga corak kesengajaan itu bersifat alternatif. Pada suatu kondisi, timbulnya akibat berupa keonaran walaupun tidak dikehendaki, namun menurut doktrin harus dipertanggungjawabkan secara hukum pidana. Tidak dikehendakinya akibat yang berujung pertanggungjawaban pidana menunjuk pada corak kesengajaan sadar kepastian atau sadar kemungkinan. Perihal dengan sengaja ini juga berlaku pada Pasal 156a huruf a KUHP. Karena itu, semua pihak yang terlibat dalam pengusulan RUU HIP harus bertanggungjawab. Walaupun RUU HIP telah dihentikan/dibatalkan dari Prolegnas, namun hal tersebut tidaklah menghilangkan pertanggungjawaban pidana terhadap pihak-pihak terkait. “Terutama Partai pengusul dan aktor intelektualnya,” tegasnya. Mereka harus bertanggung jawab secara pidana! Penulis adalah Wartawan Senior