HUKUM

Harapan Kepada Ketua Mahkamah Agung Terpilih M. Syarifuddin

By TM Luthfi Yazid Jakarta FNN – Selasa (07/04). Di tengah keprihatinan pandemik Covid-19 atau corona virus yang belum memberikan kepastian kapan akan berakhir, Mahkamah Agung (MA) RI mengadakan sidang paripurna khusus untuk memilih ketuanya yang baru, menggantikan M Hatta Ali. Setelah dilakukan pemilihan melalui voting oleh para hakim agung (dengan 47 kartu suara) dalam dua kali putaran. Terpilihlah Ketua Mahkamah Agung yang baru, yaitu Dr. H. M. Syarifuddin SH. MH. yang memperoleh 32 suara, meninggalkan pesaingnya Dr. H. Andi Samsan Nganro SH. MH. yang hanya mengantongi 14 suara. Dalam pidato setelah terpilih sebagai Ketua MA dalam pemilihan yang berlangsung demokratis, M Syarifuddin, itu berjanji bahwa dunia peradilan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Dunia peradilan esok harus lebih baik dari hari ini. Syarifuddin juga berjanji bahwa kepemimpinannya bukan hanya akan dipertanggungjawabkan kepada rakyat dan negara, namun juga kepada Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT. Janji ini merupakan amanah dan tanggungjawab, sehingga karenanya harus diwujudkan. Selamat kepada Dr. H. M. Syarifuddin. Beberapa tugas berat telah menunggu untuk disikapinya, sekaligus sebagai harapan publik kepada Ketua MA yang baru. Pertama, Ketua MA Syarifuddin harus melanjutkan reformasi dunia peradilan. Blue print reformasi dunia peradilan perlu diteruskan dan direalisasikan. Reformasi ini mencakup integritas personal para hakim maupun kelembagaan. Integritas personal hakim menyangkut integritas pribadi dan kapabilitas. Soal integritas adalah persoalan yang sangat fundamental dalam pembaruan dunia peradilan. Sebab sesungguhnya norma-norma atau aturan hukum itu, kata Pitlo, hanyalah tumpukan benda-benda mati. Dan karenanya tergantung kepada hakimnya. Itu sebabnya yang utama dituntut dari seorang hakim adalah integritas. Setelah itu, baru kapabilitas. Bukan kapabilitas dahulu, baru integritas. Karena itu seorang hakim dituntut bukan hanya memiliki kapabilitas membaca teks-teks hukum (legal text) dan menguasai teknik-teknik hukum, namun juga harus sanggup menggali jiwa keadilan (essence of justice). Tentu saja tidak cukup syarat integritas dan kapabilitas. Melainkan harus ditambah dengan kearifan (wisdom). Seorang hakim yang memiliki integritas, kapabilitas dan wisdom inilah yang akan sanggup mendistribusikan keadilan sesuai amanat Sila kelima Pancasila “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Hakim yang memiliki syarat lengkap seperti inilah yang sanggup menjaga independensinya terhadap diri sendiri, terhadap orang lain maupun terhadap lembaga. Tujuannya, agar sang hakim meletakkan keadilan di atas dirinya. Dia harus bersandar hanya pada nilai keadilan dan kebenaran (truth and justice). Kedua, Ketua MA yang baru Syarifuddin diharapkan memiliki kemampuan manajerial, termasuk meningkatkan kualitas para hakim yang jumlahnya sekitar 8.000 hakim di seluruh Indonesia, yakni bagaimana dapat melahirkan hakim-hakim yang bersih, jujur dan amanah. Catatan gelap dunia peradilan di masa lalu, seperti pernah ditulis oleh Sabastian Pompe, The Indonesian Supreme Court: A Study of Institutional Collapse (Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung) harus dikubur dan tak boleh terulang kembali. Termasuk di sini adalah bagaimana agar penumpukan perkara (backlog cases) dapat terus diminimalisasi. Untuk itu penyelesaian perkara secara mediasi di pengadilan (court connected mediation) harus ditingkatkan keberhasilannya secara substantif. Selama ini upaya mediasi di pengadilan hanyalah sekedar pelengkap formalitas saja. Padahal di negara-negara maju keberhasilan mediasi di pengadilan prosentasenya sangat tinggi. Ketiga, jika syarat pertama dan kedua di atas terpenuhi, maka yang akan tercipta adalah Justice Machinery System. Sistem pendistribusian keadilan yang berjalan secara otomatis. Inilah cara mendistribusikan pelayanan guna menciptakan kepastian hukum yang berkeadilan sesuai mandat konstitusi Pasal 28 UUD 1945. Keempat, Ketua MA Syarifuddin harus sanggup menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga negara lainnya dengan tetap menjaga marwah dan independensinya sebagai lembaga utama tempat berlindung bagi para pencari keadilan (justice seeker). Pada titik inilah faktor kepemimpinan (leadership) menjadi sangat penting. Kelima, Ketua MA Syarifuddin perlu melanjutkan kebijakan pendahulunya Ketua Mahkamah Agung M. Hatta Ali terkait Organisasi Advokat. Bagaimana pun Organisasi Advokat adalah salah satu pilar penegakan hukum di dunia peradilan. Dalam Refleksi Akhir Tahun, mantan Ketua MA Hatta Ali menyatakan bahwa MA tidak akan terlibat dan tidak akan berpihak kepada organisasi advokat yang ada. Hatta Ali tak akan mengintervensi soal kisruh wadah tunggal organisasi advokat. Ia menyatakan, biarkan pasar dan masyarakat pencari keadilan yang menentukan sendiri. Kebijakan mantan Ketua MA M. Hatta Ali sudah tepat dan sudah sejalan dengan mandat konstitusi, UUD 1945. Yang perlu dibenahi adalah bagaimana agar dibuat limited threshold of lawyers association, seperti parliamentary threshold dalam partai politik. Organisasi Advokat yang tidak memenuhi threshold dan beberapa kualifikasi lainnya, maka harus didiskualifikasi. Sejarah telah membuktikan bahwa upaya yang hanya membentuk single bar telah banyak menguras energi, dan dalam sejarah terbukti telah mengalami kegagalan. Penulis adalah Wakil Presiden Kongres Advokat Indonesia

Perpu Terbit, Wewenang Dari DPR BPK dan Pengadilan Hilang

Wahai Manusia, sekarang aku memimpin urusan kalian. Padahal aku bukanlah manusia terbaik di antara kalian. Jika aku melakukan kebenaran, dukunglah aku. Namun, jika aku berbuat kesalahan luruskanlah aku! Ingatlah, sesungguhnya aku adalah orang yang lemah di antara kalian, Dia kuat dalam pandanganku hingga aku berikan hak kepadanya. Dan sesungguhnya orang kuat di antara kalian, dia lemah dalam Pandanganku hingga aku mengambil hak darinya. Patuhilah aku, selama aku menaati Allah dan Rasul-Nya. Dan janganlah kalian patuhi aku, jika aku mengingkari Allah dan Rasul-nya! (Sayidina Abubakar As Siddiq RA) By Dr. Margarito Kamis Jakarta FNN – Selasa (07/03). Ya Allah ya Rab Al Haq. Engkau cek kualitas iman kami pada-Mu, dengan mengutus mahluk-Mu yang bernama corona. Sungguh dia menyeramkan. Kami hampir tak berdaya. Corona, mahluk tak terlihat dengan indra kasar itu. Datang dengan cara yang satu dan lainnya belum dapat dijelaskan hingga kini. Subhanallah. Mahluk tak berbentuk dan tak terlihat itu, dengan kuasa alam-Mu, membuat manusia terlihat jauh lebih kecil darinya. Tak sedikit orang di seantero dunia ini terhenyak, terdekap takut tak berujung, tak berdaya dan harus sembunyi darinya. Sungguh ini ujian, yang terlalu sulit untuk dilupakan. Orang-orang berseru tinggal saja dirumah. Jangan begini dan jangan begitu. Seruan itu membahana, memekik telinga lalai dan hati yang abai, untuk sekadar saling mengingatkan. Kematian yang tak seorangpun dapat mendekatkannya, dan tak seorang juapun yang dapat menjauhkan dari setiap mahluk yang memiliki ruh, kini menyempitkan nafas setiap orang. Itu menjadi sebab banyak hal berantakan. Ekonomi, begitu para ahli di bidang ini menyebut, berantakan. Korporasi, dengan tabiat bawaannya yang cerdas menindas dalam keadaan normal. Jago dalam urusan lobi-melobi, atur sana atur sini dengan cara yang tak dapat dijangkau orang kecil, ternyata oleng juga. Orang-orang kehilangan kerja. Duit menjauh, sebegitu jauhnya sehingg tak lagi dapat dibayangkan datangnya. Tak bisa bayar ini dan bayar itu. Utang melekat dalam setiap denyut nadi. Ia menyatu dalam setiap hentakan nafas. Sesak. Berat jadinya. Korporasi yang ahli akal-akal laporan keuangan, terpojok juga. Uang berkurang. Rugi muncul menjadi nyanyian nelangsa disepanjang waktu teror corona. Seperti anak ayam diteror elang kecil, lari meminta proteksi ke induknya. Seperti bocah yang tak mampu menghalau gangguan dengan tangisannya, lari menuju bundanya meminta perlindungan. Rakyat pun menanti uluruan tangan ihlas dan tulus pemerintah. Begitulah panorama di sepanjang teror corona ini. Sedih, sungguh sedih. Marahkah engkau Ya Rab? Sungguh alam kecil para Wali terus menyeru betapa Rahim-Mu terlalu besar. Sebegitu besarnya sehingga tak terbayangkan dibandingkan dengan marah-Mu. SayangMu, begitu seruan para Wali dengan kejuhudannya, lebih besar dari dunia dan seisinya. Sedih Ya Allah, ujian kecil-Mu ini telah mengakibatkan akal sehat sebagian orang melayang. Entah kemana. Padahal kalam-Mu mengingatkan kelak disuatu hari nanti, semua raga akan bicara. Mulut terkunci. Tiada sepatah kata pun dapat terucap sekadar meluruskan keterangan raga lain. Sungguh sedih, di tengah peringatan tak tertimbang nilainya itu, keluarlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020, yang judulnya amat sangat panjang itu. Ya Allah Azza wa Jallah. Kau siapkan hari akhir, hari perhitungan, hari meminta penjelasan dari hamba-hamba-Mu. Itu hari yang berat, dan menakutkan. Tetapi duhai Allah Yang Maha Tahu, Perpu ini membenarkan, memberi hak kepada beberapa pejabat untuk tidak bisa diminta pertanggung jawaban, dan bebas dari harus memberi penjelasan. DPR, yang memang sudah begitu payah, sudah begitu sulit diharapkan, juga tak bisa minta penjelasan mereka para pejabat itu. Mereka, para pejabat yang nyaring menyanyikan syair lagu transparansi, akuntabilitas dan profesionalitas di sepanjang nafasnya, menurut Perpu ini, tak bisa dituntut di pengadilan perdata dan pidana. Bahkan pengadilan tata usaha negara sekalipun. Duhai Allah Yang Maha Rahman, rahmatilah kami dengan rahmat-Mu yang tak terbilang. Hindarkanlah kami ya Allah dari tipuan hukum dunia ini. Tolonglah duhai Allah Yang Maha Penolong. Jauhkan kami dari hukum yang terlalu sulit untuk kami mengerti ini. Ya Allah Yang Maha Pelindung. Lindungi kami semua dari akibat yang bisa membuat kami melalaikan-Mu. Duhai Engkau Yang Maha Bijak. Hidupkanlah akal fikiran kami dalam urusan ini dengan petunjuk-petunjuk-Mu. Jangan biarkan pejabat-pejabat kami tenggelam dalam kelalaian yang membinasakan kami. Entah hadis atau ucapan Sayidina Ali Bin Abu Thalib, Jalaluddin Rumi mengutip dan memenuliskan “Barang siapa yang akalnya bisa menguasai nafsunya, ia menjadi lebih mulia dari malaikat. Barangsiapa yang nafsunya mengalahkan akalnya, ia sungguh lebih rendah dari binatang. Subhanallah. Sinarilah para pejabat yang mengurus urusan ini dengan Nur Muhammad Rasulullah Sallahi Alaihi Wasallam, kekasih-Mu yang Agung itu. Ya Allah, beritahukanlah mereka tentang bagaimana mengetahui sesuatu itu buruk, kalau tak ditunjukan sesuatu yang lain. Buruk ada karena dilawankan dengan baik. Hitam ada karena dilawankan dengan putih.Warak ada karena dilawankan dengan tamak. Kalau uang negara yang dikeluarkan untuk urusan penanganan efek Corona terhadap ekonomi dan keungan tak bisa dikualifikasi kerugian keuangan negara, tak usah dijelaskan. Lalu BPK mau diapakan? Mau periksa apa? Untuk apa? Cari kerjaan apa? Jangan mengada-ada. Kan yang diperiksa adalah level dan derajat akuntabilitas pengeloaan dan tanggung jawab penggunaan keuangan negara. Subhanallah. Ini Perpu membikin DPR tak bisa minta penjelasan mengenai rencana penambahan belanja, sumbernya, dan ruang defisit yang diperlebar lebih dari 3%. Masa Allah, pengadilan juga tak bisa cek pengelolaan dan tanggung jawab pejabat yang menangani urusan besar ini. Uang negara untuk semua biaya kebijakan ini, tak bisa dikualifikasi kerugian negara. BPK mau periksa apa? Untuk apa? Cilaka betul Perpu ini. Bagaimana tidak? Selain soal-soal di atas, soal lainnya adalah menurut UUD 1945, Perpu ini harus diajukan ke DPR pada persidangan berikut untuk mendapatkan persetujuan. Apa nalarnya? Cek argument dibalik Perpu. Untuk apa? Untuk mengetahui apakah alasan yang digunakan masuk akal atau tidak. Apa maknanya? Akuntabilitas. Titik. Praktis DPR, Pengadilan dan BPK yang menajdi tiga organ yang kewenangannya diatur dalam konstitusi. Subhanallah, semuanya dipukul telak dengan Perpu ini. Perpu ini mencabut kewenangan utama lembaga-lembaga negara itu. Ini ilmu apa? Entahlah, mungkin ilmu konstitusi ala Wall Street dari negeri kapitalistik, Amerika. Ilmu tentang pelebaran defisit anggaran kan ilmunya Harry Hopkins, Marriene Eccless, Henry Wallace, orang-orang di lingkaran utama Franklin D. Rosevelt. Ilmu ini, dalam sejarah Amerika muncul di tengah Krisis Keuangan Hebat tahun 1929-1933. Tahun 1933 itu juga Franklin D. Rosevelt dilantik jadi presiden. Memang Henry Morgenthau Jr, menteri keuangan Rosevelt mengusulkan “balanced budget”. Tetapi usul ini dikesampingkan Rosevelt. Selain orang-orang di atas, Rosevelt juga mendapat nasihat dari John Meynard Keynes, Ekonom kenamaan itu. Ilmuan ini memiliki tesis “permanent budget deficit”. Dia, Keynes dipertemukan dengan Rosevelt oleh Felix Frankfurther, penasihatnya yang ahli hukum kenamaan dari Harvard Law School. Sebelum dibawa ke Rosevelt, Felix Frankfurther terlebih dahulu jumpa Keynes, Ekonom top yang dikenal berhaluan politik Socialis Democrat. Sama dengan Rosevelt. Setelah jumpa Frankfurther, Keynes menulis satu artikel di New York Times. Materinya seputar cara menangani krisis. Artikel ini dibawa Felix Frankfurther ke Rosevelt. Dan Rosevelt menyetujuinya, lalu mengikutinya. Berubahlah Tata Negara dan ekonomi Amerika mengikuti alur gagasan Keynes, dan untuk sebagian pemain-pemain utama di Wall Street. Perpu ini tidak spesifik bicara tentang Bank Sentral. Disitulah keanehannya. Apa anehnya? Terdapat ketentuan tentang kewenangan baru Bank Sentral. Sungguhpun tidak persis sama dengan perluasan organ The Fed tahun 1935, tetapi dalam sifatnya sama. Apa samanya? Krisis itu membawa Amerika menambah kewenangan dewan Gubernur The Fed. Itu diatur dalam The Banking Act 1935. Bank sentral kita juga dapat kewenangan baru. Mirip. Kewenangan siginifikan yang dimunculkan The Banking Act 1935 adalah Dewan Gubenur The Fed diberi wewenang mengontrol kebijakan moneter nasional. Di Perpu ini, Bank Indonesia yang tidak lain merupakan Bank Sentral itu, diberi kewenangan memberi bantuan likuiditas tanpa syarat tertentu sebagaimana UU Bank Indonesia sebelumnya. Karena semuanya telah dinyatakan tidak bisa dicegah, maka tidak ada faedahnya bicara prinsip-prinsip hukum administrasi. Presumption of legalitiy, presumption of authenticity, dan presumption of veracity, dan administrative due process. Semuanya tak perlu. Tak ada gunanya. Itu sampah. Tidak berlaku di sini. Sampai kapan keadaan itu? Setidak-tidaknya sampai tahun 2022. Mengapa? Pasal 2 huruf a angka 1 mengatur durasi bahaya dan atau ancaman bahaya corona sampai tahun 2022. Itulah hukum dari ketentuan yang menyatakan defisit APBN sebesar di 3 % (tiga persen) berlaku sampai tahun 2022. Praktis sampai dengan tahun itu, semua tindakan administrasi dalam kerangka menangani bahaya dan ancaman bahaya corona tidak bisa dicek. Titik. Top Markotop. Masa Allah. Lalu bagaimana? Pemerintah sudah sedemikian kuat. DPR saudah sedemikian tak berdaya, sehingga yang bisa dilakukan hanyalah menghaturkan kata bjiak Ibnu As-Sammak kepada Harun Ar-Rasyid, Amirulmukinin ini. Amirulmukinin berkata kepada As-Sammak apa yang bisa engkau berikan kepadaku? Sammak menjawab “saya ingin anda selalu ingat bahwa kelak anda akan berdiri sendirian dihadapan Allah Subhanahu Wata’ala. Kemudian anda akan dimasukan ke surga atau neraka”. Mendengar kata-katanya begitu tajam, seorang pelayan Harun menyela. Tapi As-Sammak tak gentar. Dengan tatapan matanya yang tajam kepada Harun, As-Samak melanjutkan “anda tidak akan didampingi orang ini untuk membela anda pada hari itu.” Masih ada waktu, begitu judul lagu Ebit G. Ade, lagu lama yang dilantunkan kembali bersama Andrea, anaknya. Dan baru saja dirilis. “Mumpum masih ada kesempatan buat kita kumpulkan bekal untuk perjalanan abadi.” Itulah sebait syairnya yang terlalu berat untuk diabaikan. Burung terbang dengan kedua sayapnya, seorang mukmin terbang dengan tekdanya, kata Jalaludin Rumi. Wallau A’alam Bissawab. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

Saya Ini Menko, Kekuasaan Saya Besar, Kalian Mau Apa?

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Ini bukan bercanda. Saya mau bertanya kepada pakar hukum pidana. Khususnya pakar pidana UU ITE. Sekaligus bertanya kepada para pakar politik dan demokrasi. Juga para pakar kebebasan berbicara. Yang ingin saya tanyakan begini. Saya duduk sebagai Menko yang memegang kekuasaan sangat besar. Dan saya juga punya bisnis yang menggurita. Saya mengurusi semua hal. Apa saja yang muncul, presiden selalu menghubungi saya dan meminta pendapat saya. Apa yang saya katakan, selalu diterima oleh persiden. Sering juga saya sendiri yang membisikkan berbagai solusi masalah kepada persiden. Dan persiden selalu setuju. Publik sudah sangat muak dengan kelakuan saya. Bahkan banyak yang jijik melihat cara saya mengendalikan pemerintahan. Cukup banyak pula yang mengatakan bahwa persiden adalah boneka saya. Sayalah persiden yang sesungguhnya. Terserah saja. Nah, sebelum pertanyaan itu saya tuliskan, ada baiknya saya akui terus terang peranan saya sebagai menteri yang memilik kekuasaan besar. Saya akui bahwa saya memang diberi wewenang eksekutif yang tidak pernah ada dalam sejarah kabinet di mana pun di dunia ini. Kekuasaan yang saya pegang itu boleh dikatakan tanpa batas sektoral. Plus, tanpa ada etika ministerial. Pokoknya, semua saya campuri. Semua saya yang atur. Semua menteri bisa saya kendalikan. Menteri bidang apa saja. Saking besarnya kekuasaan yang diberikan persiden kepada saya, saya bisa membungkam menteri apa saja. Sebaliknya, saya tidak bisa dilawan oleh menteri mana pun juga. Mereka semua harus patuh kepada saya. Resminya, saya dulu mengurusi masalah ombak laut saja. Tetapi, saya berhasil meyakinkan persiden bahwa masalah investasi pun harus saya yang urus. Siapa saja yang mau membawa modal ke sini, harus lewat saya. Yang saya utamakan adalah modal dari Cheena. Sekarang ini, apa saja yang mau dibangun harus diserahkan kepada Cheena. Pemerintah juga banyak ‘ngutang ke sana. Pokoknya, saya arahkan persiden untuk memperkuat kehadiran Cheena di sini. Tidak hanya duit Cheena yang dimasukkan ke sini. Orang-orang mereka pun dibawa untuk mengerjakan proyek-proyek yang dibiayai oleh mereka. Kebetulan pula, Cheena membuat syarat bahwa semua proyek yang mereka biayai harus ditangani sendiri oleh orang mereka. Saya sebagai Menko mengikuti saja apa yang diinginkan Cheena itu. Bahkan saya bantu mereka dengan kekuasaan besar yang saya miliki. Kalau, misalnya, ada instansi yang mencoba-coba menjalankan aturan izin masuk dan izin tinggal terhadap orang-orang Cheena, saya langsung turun tangan. Semua beres. Mereka bisa masuk dan bekerja. Semua pejabat lain diam. Tak berani melawan saya. Lantas, apakah saya dapat keuntungan pribadi dari semua ini? Nah, soal ini ‘kan tidak ada bukti. Orang di luar sana banyak yang bilang saya dapat komisilah, fee proyeklah, hadiahlah, dlsb. Tapi, bisakah mereka buktikan itu? Kalau saya lihat, tidak bisa. Itulah sebabnya saya ancam orang-orang yang mengatakan bahwa saya ini hanya memikirkan duit, duit, duit saja. Saya tersinggung. Dari mana mereka tahu bahwa saya mendapat keuntungan pribadi? Silakan mereka buktikan. Kalau tempohari ada laporan utama sebuah majalah bergengsi yang menguraikan tentang dugaan bahwa perusahaan-perusahaan saya memainkan pajak ekspor-impor, memang tidak saya layani. Saya diam saja. Kalian bisa menerka-nerka bahwa ke-diam-an saya itu pertanda isi laporan majalah itu benar. Terserah kalianlah. Ok. Kembali ke pertanyaan yang belum saya tuliskan di sini. Saya mau bertanya kepada para pakar hukum pidana, apakah labelisasi bahwa “saya ini hanya memikirkan duit, duit, duit saja” adalah ucapan kebencian dan penghinaan? Bagi saya, itu penghinaan. Karena itu, saya mengultimatum orang yang mengatakan itu agar meminta maaf kepada saya. Kalau tidak, saya akan bawa ke ranah hukum. Saya pasti menang. Orang itu pasti masuk penjara. Karena semua orang bisa saya atur. Belakangan saya dengar banyak publik yang membela orang itu. Saya tak peduli. Silakan saja. Biar mereka tahu siapa saya. Biar mereka tahu siapa yang punya negara ini. Biar mereka tahu siapa yang mengatur persiden. Terus, apakah ucapan itu bisa disebut kritik? Bagi saya, tidak. Itu bukan kritik. Kalau para pakar demokrasi mengatakan itu kritik, saya tak perduli. Saya mau hajar itu orang. Supaya yang lain-lain tak berani lagi mengkritik saya. Kebebasan berbicara? Kebebasan berpendapat? No way. Tidak ada itu. Mau kalian bawa ke mana, silakan saja. Saya ini Menko. Kekuasaan saya besar. Saya berkuasa penuh. Kalian mau apa?[] 04 April 2020. Penulis Wartawan Senior

Tuntutan LBP Antara Reputasi dan Hak Asasi

Oleh DR. Eddy Rifai, SH., MH. Jakarta, FNN - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi sekaligus Menhub Ad Interim Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) akan menuntut mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Muhammad Said Didu (MSD), atas pernyataan yang dianggap menyudutkan dirinya. Hal itu merupakan buntut dari pernyataan Said Didu yang menyatakan Luhut dinilai mementingkan keuntungan pribadi saja tanpa memikirkan penanganan virus corona (Kompas.com, 3/4/2020). Jodi Mahardika, juru bicara LBP, melalui keterangan tertulis, membenarkan bahwa pimpinannya tersebut telah mengetahui kejadian pencemaran nama baik LBP. Maka dari itu, melalui Jodi, LBP meminta agar Said Didu menyatakan maaf secara langsung kepadanya dan melalui semua media sosialnya terhitung mulai hari ini. “Secara keseluruhan, seseorang dapat dikenakan pasal hate speech, Pasal 317 KUHP dan 318 KUHP dan juga dapat dikenakan Pasal 45A ayat (2) UU No. 19 Tahun 2016 terkait ITE jika menyebarkan ujaran kebencian, yaitu bisa memprovokasi, menghasut, serta penyebaran kabar atau berita bohong melalui media sosial,” tegas Jodi. Asal mula tuntutan ini terjadi dari kanal YouTube Said Didu, Muhammad Said Didu yang diwawancarai Hersubeno Arief berdurasi 22 menit beberapa waktu lalu. Dalam video tersebut, Said Didu menyoroti soal isu persiapan pemindahan ibu kota negara (IKN) baru yang masih terus berjalan di tengah usaha pemerintah dan semua pihak menangani wabah Covid-19. Penghinaan dalam KUHP dan UU ITE Dalam KUHP, istilah pencemaran nama baik dikenal dengan istilah “penghinaan” yang diatur secara khusus dalam Bab XVI tentang Penghinaan yang dimuat dalam Pasal 310 s.d. Pasal 321 KUHP. R. Soesilo menjelaskan, “menghina” dapat diartikan sebagai menyerang kehormatan dan nama baik seseorang. Adapun kehormatan yang dimaksud berkaitan dengan rasa malu seseorang. Penghinaan dalam KUHP dibagi menjadi 6 (enam) jenis, yakni: Penistaan (Pasal 310 ayat (1) KUHP), yakni perbuatan menuduh seseorang telah melakukan perbuatan tertentu yang bertujuan agar tuduhan tersebut diketahui oleh orang banyak. Penistaan dengan surat (Pasal 310 ayat (2) KUHP), yakni perbuatan tuduhan tersebut dilakukan secara tertulis. Fitnah (Pasal 311 KUHP), yakni apabila perbuatan yang dituduhkan sebagaimana dimaksud pada Pasal 310 KUHP tidak benar. Penghinaan Ringan (Pasal 315 KUHP), yakni jika penghinaan dilakukan di tempat umum yang berupa kata-kata makian yang sifatnya menghina, maupun berupa perbuatan. Pengaduan palsu atau pengaduan fitnah (Pasal 317 KUHP) dan Perbuatan fitnah (Pasal 318 KUHP). UU ITE lebih menekankan pada media atau cara dari pencemaran nama baik tersebut dilakukan. Hal ini diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE yakni: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau menstransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” Adapun berdasarkan penjelasan pasal tersebut, definisi pencemaran nama baik mengacu pada pencemaran nama baik dan/atau fitnah yang diatur dalam KUHP. Dalam UU ITE lama, pencemaran nama baik merupakan delik atau tindak pidana biasa yang dapat diproses secara hukum meski tidak adanya pengaduan dari korban. Namun, ketentuan ini telah mengalami perubahan yang telah diatur di dalam UU ITE baru (2016). Di mana, dalam UUITE baru, tindak pidana pencemaran nama baik berubah menjadi delik aduan (klacht delict) yang mengharuskan korban membuat pengaduan kepada pihak yang berwajib. Berdasarkan Putusan MK No. 50/PUU-VI/2008 ketentuan pencemaran nama baik menjadi tindak pidana aduan tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP yang mensyaratkan adanya pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut di hadapan Pengadilan. Oleh karena itu, jika seseorang mendapatkan kasus pencemaran nama baik, ia harus melakukan pengaduan ke pihak yang berwenang. Karena kasus pencemaran nama baik hanya akan diproses jika pihak yang menjadi korban melakukan pengaduan kasus tersebut. Bunyi pasal 45A ayat (2) UUITE adalah “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”. Berdasarkan ketentuan KUHP dan UUITE, terdapat pelbagai bentuk delik pencemaran nama baik berupa penghinaan, fitnah, pengaduan fitnah dan perbuatan fitnah, juga terdapat delik penyiaran kabar bohong dan SARA. Antara Reputasi dan Hak Asasi Sebagaimana putusan MK di atas yang mengkualifikasikan delik pencemaran sebagai delik aduan, MK juga menentukan genus dari delik pencemaran terdapat dalam Pasal 310 dan 311 KUHP. Merujuk penjelasan R. Soesilo dalam Pasal 310 KUHP, perbuatan dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP tidak masuk menista atau menista dengan tulisan (tidak dapat dihukum), apabila tuduhan itu dilakukan untuk membela kepentingan umum atau terpaksa untuk membela diri. Dalam hal ini hakim barulah akan mengadakan pemeriksaan apakah betul-betul penghinaan itu telah dilakukan oleh terdakwa karena terdorong membela kepentingan umum atau membela diri, jikalau terdakwa meminta untuk diperiksa (Pasal 312 KUHP). Apabila soal pembelaan itu tidak dapat dianggap oleh hakim, sedangkan dalam pemeriksaan itu ternyata, bahwa apa yang dituduhkan oleh terdakwa itu tidak benar, maka terdakwa tidak disalahkan menista lagi, akan tetapi dikenakan Pasal 311 KUHP (memfitnah). Dalam perkara Prita Mulyasari yang telah dibebaskan dari hukuman berdasarkan putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung terdapat kaedah hukum penting untuk mengkualifikasikan, apakah suatu pernyataan di dunia maya merupakan delik pencemaran atau hanya kritik yang dijamin konstitusi dan tidak dapat dipidana. Seperti diketahui, kasus Prita Mulyasari berawal dari tulisannya melalui surat elektronik atau email yang berisi tentang keluhannya atas pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutera Tangerang, yang kemudian menyebar, dan berbuah gugatan perdata, dan pidana oleh pihak RS Omni Internasional. Kebebasan berekspresi merupakan salah satu hak asasi manusia yang sangat strategis dalam menopang jalannya kehidupan demokrasi. Hak ini dijamin dan dilindungi oleh Negara. Namun, dalam rezim hukum dan hak asasi manusia, selain menjamin kebebasan berekspresi ini, negara juga menjamin hak individu atas kehormatan atau reputasi. Dalam banyak kasus, Pengadilan lebih memilih untuk mendahulukan hak atas reputasi daripada mempertimbangkan keduanya secara seimbang dan seksama. Perlindungan terhadap hak atas reputasi tidak boleh mengancam kebebasan berekspresi. Berdasarkan kaedah hukum di atas, apakah pernyataan MSD merupakan delik pencemaran atau merupakan kritik yang tidak dapat dipidana adalah tergantung bagaimana penegak hukum menempatkan antara reputasi dan hak asasi. Apabila reputasi didahulukan, maka hal itu merupakan delik. Sebaliknya apabila hak asasi diutamakan sebagaimana putusan PK MA, maka pernyataan MSD bukan delik dan tidak dapat dipidana.*** Penulis Pengajar Fakultas Hukum Universitas Lampung

Perpu Corona Aneh, "Korupsi Dana Stimulus Tidak Boleh Dipidana"

Pasal 27 ayat (1) Perpu 01 tahun 2020 ini mengatakan “Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah …. merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara”. Ayat (2) dan ayat (3) menegaskan semua pihak tidak bisa digugat dan dituntut. Luar biasa perlindungan itu. Enak sekali menjadi pejabat yang mengelola dana stimulus. By Anthony Budiawan Jakarta FNN – Kamis (02/04). Setelah terkesan main-main dalam menangani wabah Covid-19 selama sebulan, pemerintah akhirnya memberi stimulus Rp 405,1 triliun untuk memerangi wabah dan krisis ekonomi. Stimulus terdiri dari empta kelompok. Pertama, bidang kesehatan dapat Rp 75 triliun. Kedua, bidang kemanusiaan alias jaring pengaman sosial dapat Rp 110 triliun. Ketiga, insentif perpajakan dan stimulus KUR (Kredit Usaha Rakyat) dianggarkan Rp 70,1 triliun. Keempat, pemulihan ekonomi nasional diberikan Rp 150 triliun. Krisis ekonomi dan pemberian stimulus di Indonesia mempunyai catatan hitam. Selalu digunakan kesempatan untuk korupsi. Pertama, ketika krisis moneter dan ekonomi tahun 1998. Pemerintah, ketika itu diwakilkan Bank Indonesia (BI), memberi dana bantuan likuiditas (BLBI) Rp 144,5 triliun kepada 48 bank. Tetapi, menurut audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang tepat sasaran hanya Rp 6,5 triliun. Sisanya, sekitar Rp 138 triliun menguap, diselewengkan dan dikorupsi. Banyak pelakunya yang sudah dihukum, tetapi banyak juga yang masih lolos dari hukuman. Karena dalam proses hukum, sering kali yang salah bisa jadi benar, sehingga lolos mereka. Kedua, krisis keuangan global tahun 2008. Bank Century pada awal Oktober 2008 mengalami kesulitan likuiditas. Pemerintah turun tangan memberi pinjaman dan suntikan likuiditas hingga Rp 6,7 triliun, yang kemudian ternyata bermasalah. Proses hukum berjalan hanya untuk beberapa orang saja. Yang lain sepertinya kebal hukum. Sampai sekarang, kasus ini tidak tuntas. Sisanya menguap. Melihat pengalaman di atas, masyarakat patut curiga krisis sekarang juga rentan untuk disalahgunakan. Apalagi Perpu No. 1 tahun 2020 tersebut seolah-olah sudah disiapkan untuk melindungi para pejabat dari jerat hukum pidana. Perlindungan ini tercantum di Pasal 27. Pasal 27 ayat (1) Perpu ini mengatakan “Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah …. merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara”. Ayat (2) dan ayat (3) menegaskan semua pihak tidak bisa digugat dan dituntut. Luar biasa perlindungan itu. Enak sekali menjadi pejabat yang mengelola dana stimulus. Pasal 27 ini tidak pantas dan tidak layak ada di negara yang mengedepankan supremasi hukum. Negara yang menghormati dan menjunjung tinggi hukum. Oleh karena itu, seharusnya ditolak. Karena, tidak mungkin semua biaya pengeluaran dari stimulus ini harus dianggap sah. Ini namanya aji mumpung. Pasal 27 ini jelas membuka peluang untuk pejabat negara melakukan perampokan keuangan negara. Perampokan itu melalui stimulus secara besar-besaran dan terang-terangan. Karena, mungkin saja terjadi penyimpangan dan penyelewengan dalam menggunakan dana stimulus tersebut. Seperti terbukti di dua krisis ekonmi sebelumnya tahun 1998 dan 2008. Misalnya, pengadaaan peraalatan kesehatan seperti masker, Alat Perlindungan Diri (APD), ventilator dan lainnya. Apakah biaya sebesar apapun harus diterima dan dianggap sah? Apakah proses pengadaannya boleh menyimpang dari proses normal? Kalau ternyata biayanya jauh lebih tingga dari harga normal, apakah juga dianggap sah? Kalau belinya hanya dari satu atau dua pemasok saja, apakah juga harus dianggap sah? Apakah tidak boleh diselidiki lebih lanjut tentang keungkinan ada kolusi dalam proses pengadaannya? Nilai “proyek” bidang kesehatan ini Rp 75 triliun, sangat besar, dan akan dilaksanakan secara cepat. Seluruh komponen bangsa seharusnya bersama-sama mengawasi agar stimulus yang besar ini benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat Indonesia yang sedang tertimpa musibah Covid-19. BPK, DPR, Kepolisian, KPK serta semua komponen masyarakat seharusnya wajib turut mengawasi. Agar terjadi transparansi, hasil pengadaan barang harus diumumkan ke masyarakat. Berapa jumlah pembelian masker, APD, ventilator dan seterusnya? Beli dari siapa, dengan harga berapa? Dengan demikian, diharapkan tidak ada monopoli atau kartel yang bisa mengakibatkan terjadi kerugian negara. Semoga tidak ada penguasaan impor oleh sekelompok pengusaha yang dekat dengan penguasa. Dan juga, izin impor dan izin produksi barang-barang tersebut harus dibuat seterang-terangnya. Jangan usaha kecil disusahkan dan pengusaha besar dipermudah. Begitu juga dengan bantuan kepada masyarakat, baik pangan, non pangan, dan bantuan tunai. Semua harus dibuat transparan dan diumumkan secara rinci. Jumlah penerima bantuan per Provinsi, Kabupaten atau Kota dan desa. Setiap bantuan tersebut harus diketahui oleh perangkat desa sampai Provinsi. Bukan hanya oleh Kementerian terkait di pusat. Terakhir, stimulus untuk pemulihan ekonomi nasional. Anggarannya Rp 150 triliun. Belum jelas bagaimana pelaksanaannya. Sekilas, bantuan ini terkait dengan rencana penerbitan surat utang negara yang dinamakan recovery bond. Sedang diupayakan, bond ini bisa dibeli langsung oleh BI, yang menurut UU tentang BI saat ini, BI tidak boleh membeli bond secara langsung dari pemerintah. Oleh karena itu, untuk membuat BI membeli bond dari pemerintah ini mungkin atau legal, maka pemerintah harus mengeluarkan Perpu lagi, yang menghapus larangan tersebut. Hasil uang dari penerbitan surat utang recovery bond ini akan diberikan secara langsung kepada perusahaan, sebagai pinjaman dari pemerintah. Cara ini bisa bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Seharusnya, pemerintah tidak boleh memberi pinjaman langsung kepada perusahaan swasta. Bantuan tersebut seharusnya melalui sektor keuangan. Kalau tidak, masyarakat bisa saja curiga bahwa bantuan stimulus hanya disalurkan kepada perusahaan dan pengusaha tertentu yang dekat dengan penguasa. Sekali lagi, demi transparansi, setiap bantuan kepada perusahaan harus diumumkan kepada public. Termasuk jumlah bantuan yang akan diberikan. Transparansi di atas sangat diperlukan untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan. Kemungkinan juga penyalahgunaan dana stimulus. Pasal 27 Perpu No 1 Tahun 2020 seyogyanya dihapus. Meskipun dihapus, diharapkan tidak ada yang terpidana korupsi karena transparansi di atas. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

Corona Membuat Jokowi Digugat Enggal ke Pengadilan

By Luqman Ibrahim Soemay Jakarta, FNN – Rabu (01/04). Teror virus Corona di Indonesia memasuki babak baru. Seorang pemuda bernama Enggal Pamukty mewakili kelompok UMKM (pedagang eceran) mengajukan gugatan Class Action kepada Presiden Jokowi. Enggal menganggap orang nomor satu di Indonesia tersebut telah melakukan kelalaian fatal yang mengancam nyawa 260 juta rakyat Indonesia. Gugatan Enggal didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakpus pada hari Kamis 1 April 2020. Ditemui seusai pendaftaran gugatan di PN Jakpus, saudara Enggal mengkonfirmasi pernyataan tersebut. "Kabar itu betul. Bahwa saya menggugat Presiden Jokowi karena kelalaiannya yang fatal dalam penanganan teror virus Covid-19, “ujar Enggal. Enggal mengatakan, bahwa tindakan dan langkah-langkah yang dilakukan pemerintah pusat sejak awal dalam menghadapi ancaman virus corona merebak di Wuhan Cina “sangat melecehkan akal sehat”. Juga sangat membahayakan nyawa jutaan rakyat dengan kebijakan yang gila dan primitif. Misalnya, dengan program mendatangkan turis saat teror Covid-19 masih berlangsung. Begitu juga dengan kebijakan mendatangkan Tenaga Kerja Asing (TKA) China yang ilegal itu. "Tiongkok sejak awal berani menutup Kota Wuhan dan sekaligus Provinsi Hubei yang berpenduduk 54 juta untuk memerangi teror virus Covid-19. Langkah penutupan itu tanpa memikirkan kerugian ekonomi. Bagi pemerintah Tiongkok nyawa rakyatnya jauh lebih daripada investasi. Ini yang tidak kita lihat pada kebijakan pemerintah Jokowi. Jokowi lebih mementingkan kepentingan investasi dan pariwisata di saat wabah dahsyat Covid-19. Langkah ini bukan hanya melecehkan akal sehat, tetapi juga mendatangkan malapetaka besar bagi bangsa Indonesia. Kita Indonesia jadi bahan olok-olokan dunia Internasional. Sebab pada saat yang sama, negara-negara lain di dunia justru menutup negaranya dari masuknya turis. Seperti diketahui, teror virus Covid-19 menjadi isu nomor wahid di seluruh dunia. Kedahsyatannya digadang-gadang sebagai wabah terbesar dalam sejarah modern umat manusia. Bermula dari kota Wuhan di Provinsi Hubei, Tiongkok. Kini virus corona sudah menyebar ke hampir 200 negara di dunia. Jumlah korban yang terjangkit lebih dari setengah juta kasus, dengan memakan korban jiwa 20.000 orang yang meninggal, hanya dalam 3 bulan. Teror Covid-19 juga telah membuat ekonomi banyak negara terpuruk. Termasuk Amerika Serikat selaku negara adidaya nomor satu dunia. Ancaman resesi sudah semakin mendekat di depan. Sangat sulit untuk bisa dihindari. Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga bakal mengalami tekanan yang keras. Sejak awal Tiongkok menyadari bahwa satu-satunya cara menghentikan teror Covid-19 adalah dengan mengisolasi penduduk secepat mungkin. Kecepatan bertindak, kedisplinan serta tidak menganggap enteng ancaman virus corona menjadi rumus paten sejak awal. Begitu seriusnya pemerintah Tiongkok menerapkan rumus tersebut, hingga tak segan-segan untuk mengkarantina satu Provinsi Hubei, yang berpenduduk 54 juta selama hampir dua bulan. Tentu dengan kerugian ekonomi luar biasa besar. Dengan rumus di atas, Pemerintah Tiongkok berhasil menghindarkan rakyatnya dari malapetaka dan ancaman nyawa yang besar. Grafik kasus juga menurun drastis. Bahkan pernah menyentuh angka 0 kasus selama 3 hari beruntun. Kini rumus penanganan teror Covid-19 di Tiongkok telah dibagikan ke seluruh dunia dan menjadi pedoman semua negara. Sebagai pekerja harian, saya sangat merasakan dampak dari lambannya penanganan Pemerintah Pusat terhadap ancaman corona ini. Kalau saja Pemerintah Pusat sejak awal serius menangani teror Covid-19 ini, tentu saya dan kawan-kawan pedagang eceran dan UMKM masih bisa mencari nafkah sehari-hari. Lambannya penanganan oleh Pemerintah Pusat ini jadi bikin kami kehilangan pendapatan. Sementara pemerintah belum juga kasih solusi bantuan seperti apa kepada kami. Saya kecewa melihat awal-awal teror Covid-19. Sebab di televisi saya melihat ada menteri yang bisa becanda-canda. Sekarang kalau sudah begini pendapatan kami menurun sangat drastis. Bagaimana nasib kami? Menjawab pertanyaan tentang kemungkinan akan menarik gugatan karena intimidasi pihak-pihak yang tidak senang dengan gugatan tersebut, Enggal menegaskan tidak akan mundur. “Saya tidak akan pernah mundur karena didukung mulai dari para dokter, perawat, ojol, taksol, pedagang-pedagang kaki lima”. “Mereka semua mendukung saya menggugat Jokowi, karena mereka pun terancam periuk nasinya. Jadi sampai titik darah penghabisan kita akan tuntut pemerintah untuk bertanggungjawab atas kerugian kami semua,“ kata Enggal. Penulis adalah Wartawan Yunior

Komisi III DPR Harus Bongkar Mafia TKA China, Bukan Salahkan Polisi

By Kisman Latumakulita Jakarta FNN – Sabtu (21/030). Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), yang mengepung Indonesia hari-hari ini mengawali penyebarannya dari Wuhan, Ibu Kota Provinsi Hubei, Republik Rakyat China (RRC). Entah karena itu atau bukan, tetapi Donald Trump, Presiden Amerika Serikat menyebut “Virus China”. Terang saja China protes. Trumph dianggap tidak memahami pengorbanan rakyatnya, berjuang menyelamatkan ummat manusia. Trumph malah dianggap rasis. Dan Trump? Ya seperti biasanya, tak peduli dengan omongan orang lain. Trump mungkin saja jengekel, karena virus itu mengganggu ketenangan hidup rakyatnya. Sama dengan Amerika, negerinya Trumph itu, di Indonesia, negeri yang dipimpin Jokowi setelah memenangkan pemilu mematikan sekitar tujuh ratusan Petugas Pemungutan Suara (PPS) juga sedang oleh dikepung virus mematikan ini. Sama dengan China, rakyat Indonesia juga terlihat panic. Setidaknya was-was menghadapi virus ganas ini. China boleh bernapas lega. Karena kecenderungan fatal yang dibawa virus ini terlihat mulai terkendali. Kota Wuhan perlahan-lahan terlihat hidup kembali. Tetapi Indonesia? Semakin Gawat. Kecenderungan wilayah penyebarannya meluas. Dari ke hari dalam seminggu jumlah kasus orang terinfeksi terus meninggkat. Yang mati juga terlihat sama, meningkat. Yang sembuh ada juga. Celakanya, di tengah mengganasnya serangan yang virus mematikan ini, eh pekerja-pekerja asal China malah datang. Setelah transit di Thailand, mereka masuk ke Indonesia. Masuknya melalui Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Dari Jakarta, mereka yang berjumlah 49 orang tersebut terbang ke Kendari, Sulawesi Tenggara melalui Bandara Haluoleo. Terang saja dan normal saja, kalau orang-orang Kendari, bahkan siapapun yang ada di Bandara malam itu terpana, terperanga, heran atau apapun namanya. Ko, bisa-bisanya mereka dating, di tengah virus mematikan yang berawal dari negerinya. Virus tersebut sekarang lagi mengepung negeri ini. Mereka lenggang kangkung datang untuk bekerja di PT Virtue Dragon Nickel Industri (VDNI) yang berlokasi di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. PT VDNI adalah perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) yang bergerak di bidang industri pengalohan atau pemurnian biji nikel (smelter). Perusahaan milik China ini sudah beroperasi sejak 5-6 tahun yang lalu. Terdorong oleh rasa itu atau bukan, normal saja kalau orang mengambil foto. Tentu saja ambil fotonya diam-diam atas pekerja illegal asal China itu. Logis saja orang menganggap aneh atau apapun namnya dengan kedatangan mereka. Bagaimana tidak aneh, negerinya sendiri belum benar-benar beres dari virus. Sementara negeri kita sedang terkepung oleh virus yang memeatikan ini, eh mereka malah datang. Logis bila orang tak habis piker dengan kenyataan ini. Foto diri tibanya 49 TKA China di Bandara Haluoleo lalu viral. Difoto dan diviralkan oleh Hariono yang ketika itu berada di bandara Haluoleo. Hebohlah jagad media sosial. Sial bagi Harjono. Malam itu juga Harjono ditangkap oleh Polisi Militer (PM) Lanud Bandara Haluoleo. Selanjutnya, Harjono diserahkan ke Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara untuk dimintain keterangan lebih lanjut. Kabarnya, ada orang meminta kepada Kapolda agar Harjono ditahan. Namun menurut sejumlah sumber, Kapolda tidak mau mengiayakan permintaan tersebut. Sebagai Polisi beneran, maksudnya polisi yang profesional, Kapolda jelas tak bisa menahannya. Enak aja main minta orang ditahan. Tahan itu kalau peristiwanya benar-benar ada. Melakukan perbuatan melawan hukum yang memiliki sifat kejahatan, cukup alat bukti, ada saksi-saksinya, dan orang yang menjadi calon tersangka itu waras, tidak sinting, tidak gila. Tidak bisa asal tahan begitu saja. Kalau semua syarat-syarat itu terpenuhi baru bisa ditahan. Itu hanya bisa dilakukan setela diperiksa secara professional. Ini malah datang-datang minta ditahan. Enak aja. Ini bukan negara bandit. Ini negara hukum, malah negara hukum yang berdasarkan Pancasila. Ini negara punya KUHAP. Nah di KUHAP itulah yang mengatur syarat-syarat untuk bisa menahan seseorang. PT VDNI Tampung TKA Ilegal Eh tindakan pemeriksaan itu, juga viral di media sosial. Lalu seperti terskenario, ramai-ramai orang salahkan Kapolda Sulewesi Tenggara. Ada yang minta agar Kapolda harus dicopot lah, beginilah, begitulah. Macam-macam. Ganas betul nadanya. Terus-terusan begitu dalam beberapa hari. Kewarasan orang terlihat melayang, dan hilang seketika. Tak lagi mampu berpikir cermat. Komisi III DPR malah lebih galak lagi. Rencananya mau minta penjelasan ke Kapolri, kelak setelah reses. Keras betul nadanya. Modalnya ya hanya Polda periksa seseorang yang memviralkan foto kedatangan TKA asal China. Cuma hanya itu. Payah betul DPR kita ini. Belakangan setelah heboh pemeriksaan itu, barulah diketahui mereka adalah TKA illegal asal China. Negeri yang miliki Wuhan sebagai Ibu Kota Hubei RRC. Tempat asal-muasalnya virus mematikan ini bermula. Mestinya Komisi III memiliki kepekaan politik kelas tinggi. Mestinya Komisi III bergegas membuka kotak Pandora tentang hal-ihwal pekerja asal China di PT VDNI. Mestinya Komisi III menghidupkan memori tentang adanya sekitar 5.000–10.000 TKA China di Sulawesi Tenggara, yang selama ini menggunakan fasilitas Visa Kunjungan untuk bekerja di PT VDNI. Praktek penggunaan fasilitas Visa Kunjungan untuk bekerja di VDNI sudah berlangsung lama sekali. Sudah bertahun-tahun sejak PT VDNI berdiri di Kabupaten Konawe. Kabarnya, praktek ini diback up sepenuhnya anggota menteri di Kabinet Jokowi sekarang. Namanya Menteri ASU (Atasi Semua Urusan). Seharusnya, praktek busuk dan illegal, yang sudah berlangsung dan bertahun-tahun ini yang dibuka oleh Komisi III DPR. Praktek ini sepintas terlihat banyak tenaga kerja asing di Indonesia. Namun tidak ada pemasukan kepada negara dari TKA China yang menggunakan Visa Kunjungan tersebut. Kalau TKA China itu masuk resmi sebagai pekerja, maka mereka wajib membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar 100 dollar per orang setiap bulan. Praktek kotor inila yang wajib untuk dibuka dan dibongkar oleh Komisi III DPR. Bukan malah main langsung-langsung minta penjelasan ke Kapolri. Ah, payah juga ni Komisi III. Bukan Negeri Bandit & Cukong Apa yang salah dari pemeriksaan Harjono di Polda Sultra itu? Apakah peristiwa mengambil foto itu tidak ada? Apakah Harjono sampaikan informasi yang sifatnya mengarang bebas dotcom atau menyebarkan informasih hoax? Apa mengambil foto itu adalah rekayasa Polisi semata? Apa pengambilan foto dan menyebarkannya itu tidak pernah ada? Apakah Polisi yang menangkap Harjono situkang foto itu? Kalau pengambilan foto yang akhirnya viral itu tidak ada, maka bagaimana bisa mengetahui peristiwa kedatangan TKA Ilegal China itu bisa muncul di media sosial? Bagaimana memastikan semuanya itu? Dengan cara apa? Kalau tidak memeriksa, lalu pakai cara apa untuk mengetahuinya? Gebuk buk-buk? Begitu yang harus dilakukan oleh Polda? Enak aja, main salah-salahin Polda Sultra. Dengan atau tanpa klarifikasi Polda lebih dahulu ke Kepala Bandara Halueleo. Polda juga mengecek PT VDNI sebagai pengguna 49 TKA asal China. Pihak PT VDNI maupun Bandara Haluoleo memberikan jawaban yang seragam kepada Polda Sultra bahwa, “benar mereka akan bekerja di PT VDNI. Mereka bukan tenaga kerja baru di PT VDNI, tetapi yang baru selesai melakukan pernjangan Visa di Jakarta”. Kepala Imigrasi Imigrasi Sultra ketika dikonfirmasi Polda hari itu sedang tidak berada di Tempat. Jawabannya Kepala Imigrasi sedang berada di Jakarta. Informasih yang akurat dan sahih mengenai 49 asal-usul TKA asal China hanya datang dari Otoritas Bandara Haluoleo dan PT VDNI. Sampai disini, Polda Sultra berhak untuk memeriksa siapapun. Syaratnya, harus ada sebuah peristiwa, yang diduga sebagai peristiwa pidana. Ada orangnya yang diduga sebagai pelaku peristiwa tersebut. Sampai di situ titik. Begitulah cara hukum berbicara dan bekerja. Persoalan Imigrasi punya data yang berbeda, itu persoalan lain. Itu persoalan otoritas Imigrasi, baik yang di Jakarta maupun Wilayah Sulawesi Tenggara. Bukan lagi persoalan Polisi. Polisi baru bisa masuk ke persoalan itu bila diminta oleh otoritas imigrasi. Sebaliknya, bila ada peristiwa, yang diduga Polisi sebagai peristiwa pidana, maka dengan atau tanpa laporan masyarakat atau siapapun, Polisi berhak mengambi tindakan hukum, memeriksa. Jadi? Mari hidupkan kewarasan kita. Untuk apa? Supaya negeri ini perlahan-lahan berkembang jadi negeri beradab dalam urusan hukum. Negeri ini tidak menjadi negeri gossip hukum. Juga agar negeri ini tidak jadi negeri bandit-banditan. Tidak menjadi negeri cukong-cukongan hukum. Hukum itu memerlukan otak dan hati. Hukum memanggil kedua hal itu pada setiap detik kehidupan ini. Hukum itu tidak bisa ditegakan pakai emosi. Pakai sentiment ini dan itu. Politik yang diminta hukum adalah politik yang dapat ditakar nalarnya. Punya argumen, punya parameter objektif. Politik jenis itulah yang menjadi fondasi terbentuknya kehidupan hukum dan politik yang sehat. Politik yang menghasilkan masyarakat yang Baldatun Tayyibatun Warobbun Gafur. Begitu titah alamiah hukum. Sindikat TKA Ilegal China Komisi III saya sarankan buka mata. Buka hati dan hidupkan kepekaan politik mengenal soal TKA China ini, termasuk cara penanganan Corona ini. Komisi III harus tahu lebih jelas peristiwa ditolaknya TKA asal China yang kembali masuk ke Indonesia pada tanggal 19 Maret lalu. Ini adalah peristiwa kedua setelah peristiwa pertama. Saya sebut peristiwa 49 TKA heboh itu. Mengapa saya minta itu? Karena ada tiga hal. Pertama, pada peristiwa kedua, yaitu peristiwa tanggal 19 Maret, Otoritas Imigrasi Bandara Soekarno-Hatta menolak masuk 43 TKA Asal China. Apa penyebabnya? Dilansir oleh RMol, 19/3/2020, mereka tidak lolos tes kesehatan dari otoritas kesehatan Bandara Soeta. Kedua, apa dasar tes kesehatan itu? Menurut Gidam seperti dilansir RMol pada tanggal yang sama, dasar tindakan itu adalah Peraturan Menteri Hukum dan HAM No.7 Tahun 2020 Tentang Pemberian Visa dan Izin Tinggal Dalam Upaya Pencegahan Masuknya Virus Corona. Peraturan ditetapkan dan ditandangani pada tanggal 22 Februari 2020 lalu. Gidam juga menjelaskan, berdasarkan sertifikat kesehatan Bandara Soeta, mereka tolak 43 TKA asal China. Keputusan ini diambil berdasarkan rekomendasi otoritas kesehatan Bandara. Gidam menegaskan lebih jauh berdasarkan Visa yang dimiliki mereka menggunakan jenis Visa B.211, yaitu dalam rangka uji coba calon tenaga kerja asing di Indonesia. Ditambahkan juga, 43 TKA warga negara China itu datang ke Indonesia, lagi-lagi melalui atau transit di Thailand. Mereka diduga akan bekerja di PT VDNI di Konawe, Sulawesi Tenggara. Tuan-tuan Komisi III yang hebat-hebat harus tahu, bahwa Permenkumham No. 7 diatas menggantikan Peraturan Menteri Hukumham No. 3 Tahun 2020 Tentang Penghentian Sementara Bebas Visa Kunjungan, Visa dan Pemberian Izin Tinggal Keadaan Terpaksa Bagi Warga Negara Republik Tiongkok. Ketiga, apakah peraturan ini tidak berlaku untuk 49 TKA Ilegal asal China, yang berdasarkan pemeriksaan Tim Pemeriksa Kemenaker, yang dinyatakan oleh Dita Indahsari, Staf Khusus Menaker, illegal itu? Apakah 49 orang itu beres kesehatannya? Apa mereka bebas dari virus Corona mematikan itu? Apa mereka punya sertifikat kesehatan dari otoritas kesehatan Bandara Soeta? Tuan-tuan hebat di Komisi III DPR. Tuan-tuan harus gunakan kemuliaan politik yang tuan-tuan punyai untuk lebih cermat. Tuan-tuan perlu lebih cerdas lagi dari kecerdasan yang tuan-tuan sudah punyai untuk mengenali fenomena TKA asal China ini? Tidakkah tuan-tuian dapat mengetrti bahwa dalam waktu yang berjarak dekat, telah datang 92 orang TKA asal China? Apa tuan-tuan punya data akurat tentang jumlah TKA Asal China di Kendari? Apa tuan-tuan juga punya data akrat TKA asal China yang ada di Morowali, Sulawesi Tengah? Apa tuan-tuan juga punya data TKA asal China di Weda, Halmahera Tengah, Maluku Utara? Apa tuan-tuan juga punya data TKA asal China di Pulau Obi, Halmahera Seltan, Maluku Utara? Ah, tuan-tuan jangan sok jagoan pada soal pemeriksaan Polda terhadap Harjono, anak yang sudah menjadi Pahlawan itu? Tuan harus lebih jauh mengenal Permenkumham di atas. Corona menyarang, membabi buta, dan ganas. Orang-orang Indonesia lalu disuruh tinggal di rumah, tetapi Menteri Hukumham membikin kebijakan itu. Apa tuan-tuan tak punya kepekaan? Sudahlah tuan-tuan, waraslah. Tindakan Polda Sultra itu, tidak bisa dengan alas an apapun, atau sengaco apapun, mau diaggap salah, dan tidak masuk akal. Karena itu, tuan-tuan minta penjelasn ke Pak Kapolri. Susdahlah, mari kita gunakan akal waras, agar bangsa ini tetap menjadi yang waras di tengah Corona yang ganas dan mematikan ini. Penulis adalah Wartawan Senior

Berpulangnya Jhon Titaley, Anak Ambon Penjual Kopi Keliling

By Ikhsan Tualeka Jakarta FNN – Rabu (18/03), Sama sekali beta seng mengenal atau pernah bertemu dengan anak muda ini. Tetapi dia adalah korban kesekian dari anak-anak muda Maluku yang mati sia-sia di perantauan. Mati ketika sedang menjual kopi keliling di jalanan. Mati karena harus meninggalkan kampung atau daerahnya yang miskin dan banyak pengangguran. Padahal daerahnya kaya akan sumber daya alam. Mati karena tak mampu bersaing akibat indeks pembangunan manusia yang rendah. Mati karena stigma orang Ambon (Maluku.red) adalah preman. Iya, tanpa bermaksud menggeneralisir. Tetapi sangat mungkin Jhon Titaley sang penjual kopi keliling di Mall Tangerang City yang meninggal, 16 Maret 2020 adalah dampak dari ketertinggalan selama ini. Ketertinggalan yang harus mendesaknya berjualan kopi dari gerobak butut hingga menemui ajal. Padahal ikan di Ambon kemarin sampai naik ke daratan. Jhon Titaley meninggal karena dianiaya oleh oknom anggota TNI dan oknom Anggota Pemuda Pancasila, hingga tak berdaya. Video pemukulan terhadap Titaley pun beredar luas di media sosial. Titaley yang sendirian tanpa perlawanan. Dia dipukul. diinjak dan ditendang hingga tak berdaya. Orang-orang yang ada di sekitar, nampak hanya menonton saja. Setelah selesai melakukan penganiayaan terhadap Titaley, para pelaku akhirnya melarikan diri. Meninggalkan Titaley terkapar. Beruntung, karena lokasi penganiayaan berada tepat di depan Mall Tangerang City. Saat itu karyawan ada yang menolong korban, serta melarikannya ke Rumah Sakit Umum Kota Tangerang untuk mendapatkan pertolongan pertama. Sayang, nyawa Titaley tak tertolong. Dia akhirnya meninggalkan istri dan anaknya yang masih kecil. Sebelum aksi pengeroyokan terhadap Titaley, ada bentrok yang terjadi antara kelompok Ali dan anak buahnya yang berasal dari Ambon dengan oknom anggota TNI di salah satu kafe di Tangerang. Beberapa jam kemudian oknom anggota TNI dan oknom Pemuda Pancasila kembali dengan beberapa rekan mereka di Mall Tangerang city. Mereka hendak mencari Ali dan anak buahnya. Namun orang yang dicari tidak ada yang kelihatan. Akhirnya Jhon Titaley sang penjual kopi keliling yang tidak tau apa-apa, menjadi sasaran penganiayaan. Sebagai bentuk luapan emosi para pelaku hanya karena Jhon Titaley berkulit hitam atau gelap. Ini kasus yang kesekian. Terlalu panjang daftarnya, hingga orang tak begitu peduli lagi bila ada kejadian yang begini. Ini juga mengingatkan beta pada pengalaman sekira tujuh tahun lalu. Juga di salah satu Mall di Tanggerang, disela-sela mengikuti pelatihan peneliti tata kolela pemerintahan. Salah satu peneliti asal Nusa Tenggara Timur ditahan oleh security Mall tersebut, dengan tuduhan pencurian. Ternyata tidak terbukti. Usut punya usut, ternyata dia ditahan karena diduga mirip dengan pelaku “Ambon” yang lolos. Lagi-lagi hanya karena kulitnya yang gelap. Kembali ke kasus yang menimpa Jhon Titaley. Sebelum dianiaya, Titaley sempat ditanya oleh para pelaku bahwa apakah kamu adalah anak buah Ali? Titaley membantah, dan mengatakan bukan bagian dari kelompok manapun. Akan tetapi mereka yang sudah dirasuki emosi, dan dalam jumlah lebih banyak, langsung mengeroyok hingga Titaley tak berdaya alias tak sadarkan diri di tempat. Setelah Titaley dilarikan ke rumah sakit, istrinya langsung menuju Polres Metro Tangerang untuk membuat laporan. Polisi kemudian dengan cepat memproses laporan tersebut dan bertindak cepat melacak identitas dan keberadaan para pelaku. Akhirnya, polisi mengantongi identitas para pelaku yang ternyata itu adalah oknom anggota TNI dan dari organisasi Pemuda Pancasila. Dini hari di Polres Metro Tanggerang,kuasa hukum dari keluarga Jhon Titaley telah berkoordinasi dengan penyidik. Untuk perkara yang terkait dengan anggota TNI, segera dilimpahkan ke Denpom Jaya I Tangerang untuk segera diproses sesuai dengan kewenangan institusi TNI. Sementara yang dari masyarakat sipil ditanggani oleh kepolisian. Kita semua tentu berharap kasus ini dapat di tangani dengan serius hingga tuntas. Semua yang terlibat harus diberikan hukuman yang setimpal. Namun ini juga jadi pelajaran bagi kita semua untuk tidak lagi menyelesaikan masalah hanya di hilir. Tetapi mau membenanahi problem harus dari hulu. Saatnya sumber daya manusia dan lapangan pekerjaan untuk orang Maluku diperhatikan. Agar tidak ada lagi orang Maluku yang menjadi korban karena stigama. Akibat dari pilihan pekerjaan yang keras dan menyerempet bahaya, hingga saudara yang tak bersalah pung menjadi korban sia-sia, hanya karena berkulit gelap dan berperawakan dari timur. RIP saudaraku Jhon Titaley. Katorang semua do’akan semoga Ale tenang di sisi Tuhan, dan keluarga, terutama istri dan anak-nya diberikan penghiburan. Bagi yang mau menyantuni korban, malam ini jenazah Titaley dipulangkan ke Ambon. Mari sama-sama kita ringankan keluarga korban, anak muda petarung hidup di ibu kota ini. Penulis adalah Pemerhati Kawasan Indonesia Timur

RUU Omnibus Cipta Kerja VS Pancasila, “Dimana BPIP Ngumpet?”

By Margarito Kamis Jakarta FNN - Badan Pembinaan Idiologi Pancasila (BPIP), entah apa penyebabnya, sejauh ini tidak mendatangi rakyat Indonesia dengan pikiran-pikiran mereka tentang artikulasi Pancasila dalam RUU Omnibus Cipta Kerja. Padahal dalam kenyataannya, RUU multispektrum ini, telah menarik begitu banyak pikiran kritis. Langgamnya jelas, kelak bila diterima jadi UU, diyakini bakal menyengsarakan. Bukan bakal menyenangkan rakyat. Menariknya, BPIP telah begitu bergairah memasuki panggung bernegara dengan serangkaian gagasan. Setidaknya pikiran-pikiran kritisnya. Itu terlihat di pekan-pekan sebelumnya. Jadilah pekan-pekan itu sebagai pekan yang gaduh. Gaduh karena pikiran-pikiran yang terlontar, terlihat tidak terkerangkakan secara konseptual. Tetapi apapun itu, soalnya sekarang adalah mengapa BPIP diam dalam isu RUU Cipta Kerja ini? Apa karena kegaduhan yang melilit BPIP beberapa waktu lalu itu menjadi penyebab terbesarnya? Apakah BPIP memandang Pancasila hanya relefan dibicarakan, sejauh menyangkut tindak-tanduk sebagian atau seluruh ummat Islam? Apa Pancasila hanya dibicarakan dalam konteks radikalisme, intoleransi dan sejenisnya yang diasosiasikan secara signifikan pada Ummat Islam? Apa Pancasila hanya relefan dibicarakan untuk memastikan integrasi sosial ditengah pluralisme? Bila hanya itu relefansinya, apakah BPIP hendak mereduksi level Pancasila sebagai dasar negara, pandangan hidup, filsafat berbangsa dan bernegara? Sebagai dasar negara, sebagai filsafat bernegara dan sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara, Pancasila tidak bisa direduksi sekadar sebagai timbangan terhadap tindak-tanduk sosial dan kultural individu atau kelompok. Tidak bisa. BPIP, layak dibayangkan, harus memasuki isu hukum. Beralasan BPIP menakar setiap RUU. Bukan hanya RUU ini, tetapi juga UU lain dengan Pancasila. Dalam konteks itu, BPIP perlu berurusan dengan teknis penalaran hukum atas teks dalam pasal, ayat dan huruf RUU atau UU. BPIP perlu menakar level nilainya, level meta yuridisnya dan konsekuensi-konsekuensi implisitnya. Khusus meta yuridis, harus dikatakan dimanapun, selalu bertalian dengan nilai-nilai fundamental. Bukan pasal demi pasal atau UU itu saja, melainkan juga pandangan hidup sebuah bangsa di balik pasal-pasal tersebut. Pancasila dengan kelima silanya itu harus. Dengan demikian, diterima tanpa reserve sebagai genus nilai dalam pembentukan hukum. Pada konteks itu, BPIP layak mendemonstrasikan pikiran-pikiran brilian megenai derajat nilai kemanusiaan dalam pasal demi pasal RUU ini. BPIP mesti dapat memastikan bahwa kemanusiaan yang dikonsepkan RUU ini senafas dengan nilai kemanusiaan yang terkonsep dalam Pancasila, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Bukan kemanusiaan yang tidak adil dan tidak beradab. Menciptakan lapangan kerja, yang secara konstitusional tertakdir sebagai kewajiban pemerintah. Sepintas terlihat hebat. Tetapi tidak cukup hanya sampai disitu. Mengapa? Pancasila mengharuskan lapangan kerja yang tercipta itu menjadi sarana idiologis untuk “mengadabkan” manusia Indonesia. Poin idiologisnya adalah lapangan kerja yang diciptakan itu harus membuat pekerja mampu menghasilkan kehidupan yang adil, beradab dan bermartabat. Rasanya agar konsep kemanusiaan yang adil dan beradab itu teralisasikan, bukan didengungkan begitu saja oleh BPIP. Untuk itu, BPIP harus memiliki kriteria idiologis tentang, misalnya konsep kerja yang menurut satuan waktu. Konsep kerja satuan waktu ini terlihat dari rumusan waktu kerja, seminggu sekian jam atau sehari sekian jam. Konsep itu melahirkan konsekuensi kerja “jam-jaman.” Hebat bila BPIP dapat memproyeksikan konsekuensi legal dan teknisnya. Konsekuensi teknis legal yang saat ini dapat dibayangkan adalah korporasi dapat secara bebas dan leluasa menggunakan pasal “bekerja berdasarkan jam-jaman.” Ini masalahnya. Apakah konsep ini senafas dengan kriteria idiologis Pancasila? Apakah BPIP memiliki criteria itu? Yang saya maksudkan dengan kriteria idiologis adalah konsep itu harus menghasilkan kepastian bagi setiap pekerja merencanakan kehidupannya. Dengan merencanakan kehidupan masa depannya, maka mereka dapat hidup dengan level martabat dan adab yang diimpikan Pancasila. Masalahnya, apakah BPIP memiliki kriteria dan penalaran yang khas tentang itu? BPIP, mesti mempertimbangkan apakah logis “bekerja jam-jaman”? Tetapi kepada pekerja tidak diberikan, misalnya hak pensiun atau pesangon? Andai dianggap logis. Tidak diberi hak pensiun atau pesangon, karena sifat kerjanya adalah yang jam-jaman. Bukan bekerja secara permanen, maka soal idiologis segera muncul. Apa itu soalnya? Soalnya adalah beradabkah membangun sistem kerja yang tidak berkepastian bagi pekerja? Beradabkah menciptakan lapangan kerja bagi setiap orang yang memasukinya, tetapi tidak memilki dasar untuk membayangkan, apalagi merencanakan kehidupan masa depannya? Konseptualisasi kerja jam-jaman, harus diakui, telah menjadi hal biasa dalam tatanan kerja universal. Terlihat jelas pola itu disajikan sebagai salah satu cara paling tepat dan unggul. Yang memungkinkan sebagian negara, terutama liberal ke level ekonomi hebat. Liberalisasi tenaga kerja asing terlihat biasa saja dalam konteks ini. Korporasi, asing maupun dalam negeri, akan menerima sistem ini sebagai sistem yang hebat. Mereka terbebas dari berbagai kewajiban yang selama ini teridentifikasi memberatkan. Masalahnya, pasal 27 dan pasal 33 UUD 1945 menggariskan prinsip khusus yang harus dituruti oleh pemerintah. Pasal 27 mengharuskan pemerintah menomorsatukan Warga Negara Indonesia. Menyediakan mereka pekerjaan yang layak bagi perikemananusiaan dan perikeadilan. Perikemanusiaan dan perikeadilan yang dibayangkan sebagai cara menghasilkan kehidupan yang beradab dan bermartabat. BPIP harus dapat memastikan bahwa pemerintah merealisasikannya. Tidak itu saja. BPIP harus pada setiap saat memastikan pemerintah membangun sistem ekonomi yang selaras dengan konsep kekeluargaan, ya "gotong royong". Tidak yang lain. Pasal 33 UUD 1945 sangat jelas dalam soal itu. Pasal ini juga jelas membebani pemerintah dengan kewajiban menciptakan sistem ekonomi yang tidak merusak lingkungan sekitar, termasuk tidak merusak masyarakatnya. Lebih jauh menurut pasal 33 UUD 1945, juga mengharuskan pemerintah menciptakan sistem ekonomi yang efisien. Tetapi efisiensi yang digariskan pasal 33 UUD 1945 adalah efisiensi yang tidak “memberangus” nilai keadilan. Efisiensi tipikal ini tidak memiliki makna lain selain “efisiensi” yang menghidupkan perikemanusiaan. Praktis ini eifisiensi berkarakter idiologi Pancasila. Efisiensi jenis itu jelas bukan efisiensi liberal. Bukan juga efisiensi klasik maupun modern, yang bertumpu pada kebebasan berkontrak. Konsep kekebasan berkontrak, khas liberal, klasik maupun modern bertumpu pada otonomi individu. Dalam konsep ini, otonomi individu tertakdir menjadi genusnya dan kekebasan berkontrak menjadi sui generisnya sendiri, dan hanya itu dalam karakter ikutannya. Ini bukan pola hubungan hukum hubungan kerja khas yang dikehendaki oleh pasal 33 UUD 1945. Bila BPIP memiliki kehendak memasuki isu hukum, maka menarik menantikan bagaimana BPIP menjelaskan dengan langgam kongklusif nama RUU ini. Namanya RUU Cipta Kerja, tetapi isinya mencakup berbagai isu. Itukah yang menjadi soal? Tidak. Yang menjadi soal adalah bagaimana BPIP menjelaskan genus RUU ini, dan sui generisnya. Sesuai namanya, maka cipta kerja harus dianggap dan diterima sebagai genus RUU ini. Tetapi mengapa terdapat pengaturan mengenai investasi, izin dan lain sebagainya ikut menjadi materi muatan yang bersifat integral dalam RUU ini? Apakah pemerintah menggunakan penalaran berdasarkan genus proximum et diferentiam spesificam? Terus terang nalar ini cukup sulit diterapkan dalam RUU ini. Mengapa? Izin lingkungan, Amdal, dan sertifikasi halal misalnya, jelas bukan satu bentuk terdekat sui negeris. Bukan pula “diferentiam spesificam” pada konsep cipta kerja. Sungguh terlihat banyak kekaburan penalaran menyertai RUU ini. Soal ini logis dibayangkan sebagai masalah dasar RUU ini. Mengapa? RUU ini, kelak setelah menjadi UU tidak bakal menghasilkan kepastian hukum. Padahal kepastian hukum menjadi jantung dari hukum. Watak objektif dari hukum terletak ada kepastian hukum. Sekali watak ini hilang, maka yang muncul adalah tindakan sewenang-wenang. BPIP pada titik itu, logis untuk memasuki isu ini. Tentu saja dengan menggunakan atau menyodorkan pertimbangan dan penalaran idiologis yang berbasis Pancasila. Pancasila yang tidak mungkin memberi toleransi pada kesewenang-wenangan. Pasti itu tidak mungkin. Tetapi kesewenang-wenangan itu sangat mungkin bisa terjadi, karena kekaburan konsep dasar dari RUU ini. BPIP mau tidak mau harus menemukan cara. BPIP harus keluar untuk menyelaraskan RUU ini, khususnya materi muatan dalam pasal, ayat dan huruf, dengan nilai-nilai kebesaran Pancasila. BPIP tidak boleh hanya jago dalam berwacana sekitar radikalisme dan intoleransi. BPIP harus mengerti lebih dari siapapun di Indonesia bahwa UU merupakan cara sebuah bangsa menciptakan tatanan berbangsa dan bernegara. Di dalamnya ada hak dan kewajiban yang menemukan bentuknya yang kongkrit. Akhirnya mari menantikan pikiran-pikiran BPIP tentang Pancasila yang terkait dengan RUU ini. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

DPR Provinsi Papua Bentuk Pansus Kemanusiaan, “Terobosan Penting”

By Marthen Goo Jakarta, FNN - Sudah menjadi rahasia umum, bahwa pelanggaran terhadap hak-hak kemanusiaan di Papua terjadi sejak pertama kali Trikora digelar. Trikora dicanangkan oleh Soekarno di Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1961. Setelah itu, diiukiti dengan pendudukan militer yang melakukan berbagai operasi militer di Papua. Tentu dari berbagai operasi militer yang dilaksankan di Papua, tidak sedikit rakyat Papua menjadi korban. Tidak hanya berhenti sampai pada tahun 1963. Ketika Papua diserahkan ke Indonesia oleh UNTEA. Namun kejahatan hak asasi manusia masih terus berlangsung hingga Pepera 1969. Anehnya lagi, dalam implementasi Pepera, kejahatan terhadap hak asasi manusia masih dilakukan. Bahkan, dalam Pepera 1969 tidak ada proses demokrasi. Kejahatan terhadap kemanusian di Papua masih terus berlangsung dari tahun 1969 hingga 1998. Tahun 1998, di Indonesia dikenal sebagai puncak dari implementasi demokrasi. Pemilihan Presiden di era demokrasi dilaksanakan tahun 1999, dan memilih Gus Dur sebagai Presiden Indonesia. Gus Dur yang memimpin Indonesia, sejak tanggal 20 Oktober 1999 sampai dengan 23 Juli 2001 cukup berhasil membuat tidak terjadi lagi pelanggaran hak asasi manusia di Papua. Walau demikian, rentetan kasus pelanggaran hak asasi manusia belum diselesaikannya. Gus Dur telah meletakan peradaban baru dengan gaya kepemimpinannya yang tidak ada lagi ditemukan pelanggaran hak asasi manusia. Selama kepemimpinan Gus Dur tidak ada pelanggaran HAM. Sayangnya, setelah setelah Gus Dur dilengserkan, palangaran HAM di Papua kembali terjadi. Walau tidak memenuhi kepastian hukum, karena belum dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Konstitusi, Papua kemudian dibuat dasar hukum baru. Dasar hokum baru itu dikenal dengan istilah “Desentralisasi Asimetrik”. Dalam regulasinya dikenal dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua. Sejak diberlakukan Otonomi Khusus Papua tersebut, sampai tahun ini, tidak menghilangkan kasus kejahatan kemanusiaan. Banyak kasus kejahatan kemanusiaan terjadi walau Papua dikenal dengan Propinsi yang berstatus Otonomi Khusus. Kasus di Nduga adalah kejahatan kemanusiaan yang serius, jika merujuk pada pasal 8, dan 9 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. Patut diduga pelanggaran HAM yang terjadi di Papua saat ini telah memenuhi pasal 8 dan 9 UU No.26 Tahun 2000. Untuk kasus Nduga, tentu butuh penyelidikan Komnas HAM sebagai lembaga Negara yang memiliki otoritas untuk menyimpulkan kasus tersebut. Selain kasus Nduga, kini rentetan kasus terjadi kembali, seperti di Intan Jaya, dimana ada warga sipil menjadi korban kekerasan. Tidak Boleh Melupakan Sejarah Tidak sedikit tokoh nasional dengan gagah dan percaya dirinya menyampaikan “Bangsa Yang Besar adalah Bangsa Yan tidak Boleh Meninggalkan Sejarahnya”. Begitu kata Soekarto tentang pentingnya mengingat sejarah. Tentu saja pernyataan itu sangat kren dan berkelas. Kemudian pengertian itu dibuat dalam istilah “Jas Merah”. Yang artinya, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Dengan berpegang pada pernyataan “jangan pernah melupakan sejarah” tersebut, tentu kejahatan kemanusiaan pun harus dilihat sebagai kejahatan sejarah kelam. Apalagi jika proses hukum tidak pernah dilaksanakan. Kasus pelanggaran HAM di Papua harus dilihat sebagai catatan buruk terhadap negara yang wajib hukumnya untuk diselesaikan. Tentu Indonesia sebagai negara, harus melihat bahwa kasus kejahatan terhadap kemanusiaan adalah masalah serius negara. Setiap pelakunya harus dihukum. Para pelakunya juga harus berkomitmen untuk tidak melakukan perbuatan kejahatan terhadap kemusiaan sejak sekarang dan seterusnya. Tujuannya, untuk membersihkan sejarah kelam bangsa. Karena setiap kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi saat ini, akan terus menjadi sejarah buruk dalam berbangsa dan bernegara. Juga akan menciptakan ketidakpercayaan terhadap Negara. Negara harus berani, jujur dan terbuka untuk menyelesaikan berbagai masalah HAM. Tidak hanya di Papua. Tentu saja termasuk untuk kasus Talang Sari, Tanjung Priok, Semanggi, Trisakti. Jika kata-kata Soekarno tentang sejarah bisa diartikan dalam prespektif yang mengakar, maka bisa dibuat istilah “Pemimpin yang bijaksana adalah pemimpin yang berani menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Selain itu, mematikan kasus pelanggaran HAM tidak terjadi lagi di Indonesia”. Apresiasi DPR Propinsi Papua Tentu kita tahu bahwa undang-undang tentang HAM di Indonesia dirumuskan dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Dalam undang-undang tersebut, lembaga yang diberi kewenangan merumuskan dan menetapkan kasus pelanggaran HAM adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM). Yang disayangkan sikap dari Komnas HAM sekarang adalah “pasif”. Pengertian pasif dalam sifat Komnas HAM adalah menunggu datangnya lapora. Setelah itu barulah dilakukan tindakan lanjut sesuai dengan laporan. Jadi, jika tidak ada laporan ke Komnas HAM, terkadang Komnas HAM kesulitan untuk mencari kasus-kasus HAM yang terjadi di seluruh Indonesia. Karena Komnas HAM lebih pada menunggu laporan, sementara rentetan pelanggaran kasus HAM jalan terus, seperti di Papua, maka, langkah kongkrit harus dipikirkan untuk dilakukan. Terkait dengan Pansus Kemanusiaan oleh DPR Provinsi Papua tersebut, ada dua hal yang bisa tercapai, dan itu membantu Komnas HAM dan Negara adalah; Pertama, membantu Komnas HAM mengumpulkan fakta tentang berbagai kasus HAM di Papua. Setelah itu dibuatkan laporan pengaduan, agar Komnas HAM bisa mulai melakukan pekerjaannya. Selain itu, sebagai tugas pokok DPR untuk memproteksi warga negara. Kedua, membantu negara, agar bisa memproteksi rakyat dari kejahatan kemanusiaan. Selain itu, menghapus kejahatan kemanusiaan terjadi di Indonesia. Sekali lagi, patut untuk mengapresiasi langkah kongkrit sebagai tahapan awal yang sudah dilakukan DPR Papua, dengan membentuk Pansus Kemanusiaan. Ini terobosan yang sangat luar biasa. Sebab bisa dijadikan sebagai sarana memproteksi rakyat. Langkah ini juga bagian dari tujuan nasional yang kongrit, yakni melindungi segenap rakyat. Karena melindungi rakyat itu adalah bagian dari tujuan nasional kita dalam berbangsa dan bernegara, maka, semua pihak wajib memberikan apresiasi kepada DPR Provinsi Papua. Selain itu, memberikan mendukungan, agar kerja-kerja Pansus Kemanusiaan DPR Provinsi Papua bisa berjalan dengan lancar. Yang Bisa Dilakukan Pansus Dari pikiran luar biasa yang dilahirkan oleh DPR Provinsi Papua, lahirlah Pansus Kemanusiaan.Untuk itu, ada beberapa hal yang bisa dilakukan sebagai proses kerja Pansus. Misalnya, Pansus Kemanusiaan segera melakukan Forum Group Discussion (FGD)dengan berbagai stakeholder guna mendengarkan masukan-masukan sebagai dasar dan bijakan kerja Pansus. Pansus Kemanusiaan bisa mendorong pembentukan Pansus Kemanusiaan di Setiap Kabupaten atau Kota di Papua. Namanaya Pansus DPR Daerah untuk di seluruh Kabupaten atau Kota. Tujuannya, untuk mempermudah hubungan kerja dan investigasi setiap kasus. Merumuskan tahap-tahapan Advokasi. Selain itu, membuat laporan tahunan tentang kasus pelanggaran HAM di Papua. Setelah itu, evaluasi dan publikasi kepada publik setiap hasil kerja Pansus. Tentu dengan kerja-kerja kongkrit Pansus tersebut, diharapkan akan meminimalisir kejahatan kemanusiaan di Papua. Jika kejahatan kemanusiaan di Papua dapat diminimalisir, bahkan hilang dari Papua, maka tujuan nasional yakni melindungi segenap warga negara akan terwujud. Mari kita dukung kerja-kerja Pansus Kemanusiaan untuk memproteksi kemanusiaan di Papua. Harapnnya, kerja Pansus Kemanusiaan ini bisa berjalan maksimal. Semoga Tuhan memberkati pekerjaan Pansus Kemanusiaan. Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan dari Papua