HUKUM
Korupsi Marak Saat Rakyat Menderita, Dimana Jokowi?
by Ubedilah Badrun Jakarta FNN – Ahad (06/12). Hampir satu tahun lalu kita semua dibuat penasaran tentang penyuap Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI yang menghilang tak tentu rimbanya. Sementara komisioner KPU-nya sudah dipenjara. Entah mengapa KPK sampai saat ini belum menemukan sosok yang dekat dengan petinggi partai berkuasa tersebut. Lalu kita dihebohkan dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Edhy Prabowo Menteri Kelautan dan Perikanan pada akhir November lalu. OTT ini membuat publik marah, dan sampai saat ini belum sirna dari ingatan publik. Diduga kuat Edhy Prabowo menerima suap sebesar Rp3,4 Milyar. Tiba-tiba awal Desember ini, publik kembali dihebohkan dengan berita OTT pejabat Kementerian Sosisl RI. KPK sudah menetapkan bahwa Juliari Peter Batubara (Menteri Sosial) sebagai tersangka. Publik tentu semakin marah, karena diduga kuat yang dikorupsi itu uang bantuan sosial untuk mereka yang terdampak pandemi Covid-19. Yang dikorupsi di Kemensos juga uang untuk mereka yang berpenghasilan kecil. Uang untuk mereka yang miskin dan menderita. Uang untuk mereka yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Angka korupsinya cukup fantastis. Diduga mencapai Rp. 14,5 miliar Jika dicermati, dana untuk penanganan pandemi Covid-19 mencapai Rp 677,2 triliun. Ini dana yang sangat besar, tetapi rawan dan berpotensi dikorupsi karena lemahnya pengawasan publik dan lemahnya pengawasan internal akibat situasi pandemi covid-19. Pesan Jokowi & Maraknya Korupsi Masih lekat dalam ingatan publik bahwa satu tahun lalu lebih, pada 23 oktober 2019 lalu, saat melantik 34 menterinya, Presiden Jokowi mengingatkan, "Saya telah perintahkan seluruh kabinet yang sudah saya umumkan, yang pertama jangan korupsi. Supaya menciptakan sistem yang menutup celah terjadinya korupsi". Peringatan Jokowi kepada para menterinya itu dilakukan berkali-kali. Kalau begitu, pertanyaanya adalah mengapa masihg tetap saja terjadi korupsi? Mencermati kondisi tersebut, setidaknya menunjukkan terdapat lima hal penting. Pertama, peringatan Presiden Jokowi tidak didengar oleh para menterinya. Peringatan Presiden Jokowi hanya didengar sambil lalu saja. Tidak dianggap sebagai hal penting. Bahkan kemungkinan dinilai hanya sebagai pemanis bibir, dan bumbu citra rasa bagi seorang Presiden. Kedua, kepemimpinan Presiden dalam menjaga kabinetnya untuk tidak korupsi terlihat lemah. Presiden tidak mampu memanage, dan mengontrol menterinya untuk tidak korupsi. Bukankah setiap rapat kabinet ada update laporan dari para menterinya? Pada setiap laporan, mestinya Presiden mampu temukan celah potensi korupsi? Tetapi jika menemukan celah, potensi kemungkinam korupsi lalu dibiarkan dan tidak ditegur, ini berarti kemungkinan ada semacam pembiaran atau kepercayaan Presiden yang berlebih kepada para menterinya. Ketiga, itu menunjukkan saat proses pengangkatan Menteri cenderung mengabaikan sisi integritas calon menterinya. Lebih dominan faktor transaksional politisnya. Ini sudah diduga dari awal, karena proses pengangkatan para menteri diawal periode kedua Jokowi ini memang tidak melibatkan KPK dalam seleksinya. Berbeda dengan saat periode pertama yang meminta KPK. Ada semacam menseleksi dari sisi track record (rekam jejak) integritas nama nama calon menterinya. Keempat, menunjukkan bahwa sang menteri, sejak awal memang tidak memiliki integritas yang baik. Selain itu, perlu ditelusuri, apakah praktek korupsi tersebut sengaja dibiarkan, disetujui, atau diperintah oleh partai politiknya? Kelima, menunjukkan tidak jera nya para elit politik dalam melihat penangkapan OTT yang dilakukan KPK. Termasuk tidak takut untuk malukukan korupsi, karena hukuman bagi koruptor ternyata ringan. Bahkan boleh lagi menjadi caleg, atau calon kepala daerah setelah keluar dari penjara. Meminjam terminologi Inge Amundsen yang disebutkan dalam artikel yang berjudul Research on Corruption: A Policy Oriented Survey (2000) karakteristik koruptif bribery (suap), embezzlement (penggelapan), dan nepotism (kedekatan hubungan) tampaknya lebih dominan di Indonesia. Peristiwa dan analisis di atas adalah obyek empiriknya. Dimana Tuan Presiden? Pada titik inilah kita patut bertanya di mana integritas Presiden Jokowi di tengah masih maraknya korupsi? Di mana posisi Presiden Jokowi dalam mendorong hukuman berat bagi para koruptor? Di mana komitmen Presiden dalam upaya pencegahan praktek korupsi di Kementrian dan Lembaga di bawah kekuasaannya sebagai kepala pemerintahan? Korupsi di tengah situasi bencana pandemi covid-19, dan situasi krisis ekonomi, bahkan dalam situasi resesi ekonomi menuntut penegakan hukuman yang sangat berat. Bila perlu hukuman mati sangat dimungkinkan menurut Undang-Undang. Lantas, di mana posisi dan komitmen Presiden Jokowi yang dulu berkampanye untuk hukum berat koruptor? Dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. Kemudian pada ayat berikutnya (2) disebutkan, dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Di dalam aturan penjelasan ayat (1) diterangkan yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” di dalam pasal ini mencakup melawan hukum dalam arti formil maupun materiil. Artinya, meski perbuatan tersebut tidak diatur di dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial di masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi dapat dimaknai sebagai delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan. Bukan dengan timbulnya akibat. Sedangkan pada ayat (2) dijelaskan yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah menetapkan Corona sebagai bencana nasional. Maka dari itu, jika terjadi tindak pidana korupsi terhadap dana anggaran untuk penanganan Corona, maka sesungguhnya bisa ditindak sesuai dengan Pasal 2 UU tindak pidana korupsi tersebut. Saat ini Indonesia sedang dalam kondisi bencana nasional pandemi covid-19. Kita dalam kondisi krisis ekonomi dan moneter. Lalu apakah hukuman mati akan diterapkan? Ini momentum penting bersejarah dalam penegakan hukuman bagi para koruptor agar semua elit politik yang berniat korupsi jera dan tidak akan melakukan tindakan korupsi lagi. Pertanyaanya, sampai saat ini, usai KPK menetapkan Mensos JPB sebagai tersangka korupsi bantuan sosial, apa suara Presiden Jokowi? Jokowi hanya mengatakan bahwa dirinya tidak akan melindungi menterinya yang korupsi. Itu benar Tuan Presiden. Tetapi ini situasi bencana nasional dan krisis ekonomi. Di mana suara lantangmu soal hukuman mati Tuan Presiden? Penulis adalah Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Hati-hatilah, Doa Bayi Lobster Itu Didengar Juga
by Asyari Usman Medan FNN - Kamis (26/11). Ekspor benih lobster adalah kejahatan yang dikutuk di langit dan di bumi. Inilah bentuk kekejaman yang tak pernah dipikirkan oleh manusia, khususnya para penguasa negeri. Inilah egoisme penguasa yang sangat ceroboh. Bayi-bayi lobster itu ditangkap, dikurung, kemudian dikirim ke negeri jauh. Terpisah untuk selama-lamanya dari ayah-ibu mereka. Ekspor yang bertujuan hanya untuk memuaskan keserakahan pemegang kekuasaan. Sungguh Anda sangat tega. Anda bergembira-ria mengantungi duit hasil penjualan bayi-bayi lobster itu. Kemudian, duit hasil kekejaman itu Anda bawa jalan-jalan ke luar negeri. Anda belikan barang-barang mewah. Anda tidak memikirkan bayi-bayi lobster itu menangis sepanjang perjalanan. Anda paksa mereka pindah ke lingkungan yang asing. Kalian tidak pikirkan betapa pedihnya perasaan mereka ketika kalian renggut dari keluarga mereka. Tidak kalian pikirkan bahwa bayi-bayi lobster itu mengalami ‘bullying’ di tempat yang baru. Mungkin juga mereka sampai korban nyawa akibat tindak kekerasan di lingkungan asing. Belum lagi mereka kehilangan lantunan sholawat dan azan menjelang waktu-waktu sholat di negeri asal mereka. Wahai para penguasa yang rakus! Hentikanlah penganiayaan terhadap bayi-bayi lobster itu. Hentikanlah kezaliman kalian terhadap makhluk yang bening rupa dan bening hati itu. Sama seperti kalian, lobster juga tersayat ketika bayi-bayi mereka kalian ambil paksa. Biarkanlah mereka bermain, bercanda-ria, bersuka-cita bersama keluarga mereka. Tunggulah mereka dewasa dan paham tentang peranan mereka dalam mata-rantai kehidupan ini. Sampai mereka mengerti tentang posisi mereka dalam “food-chain” (rantai makanan) yang selalu diceramahkan oleh manusia. Kalian menyangka bahwa makhluk Allah yang tak berdaya itu bisa diperlakukan semena-mena. Kalian pikir bayi-bayi mungil itu tidak bertasbih kepada Yang Maha Pencipta. Kalian keliru total. Berhentilah kawan! Bayi-bayi lobster itu selalu “online” ke Sang Khaliq yang menjadikan semesta alam ini. Doa bayi-bayi lobster yang kalian zalimi itu didengar juga oleh-Nya. Hati-hatilah kawan.[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)
Taruhan, 99.99% Prabowo Subianto Tidak Akan Mundur Karena OTT Edhy
by Asyari Usman Medan FNN - Rabu (25/11). Ada yang berspekulasi bahwa Prabowo Subianto (PS) akan mengundurkan diri dari kabinet Jokowi gara-gara penangkapan Edhy Prabowo –menteri Kelautan dan Perikanan. Mungkinkah itu terjadi? Tidak akan. Boleh taruhan, 99.99% Prabowo tidak akan mundur. Hanya 0.01% kemungkinan dia meninggalkan Jokowi. Mengapa? Karena beberapa hal yang berkaitan dengan ambisi mantan Danjen Kopassus itu. Pertama, PS sudah terlanjur yakin bahwa dia akan didukung oleh Jokowi dan Megawati sebagai capres di Pilpres 2024. Artinya, kehilangan Edhy Prabowo jauh lebih kecil timbangannya dibandingkan harapan besar untuk menjadi presiden. Konon pula, harapan itu sangat solid. Harapan yang sangat logis. Walaupun banyak orang meragukannya. Harapan logis itu maksudnya adalah bahwa PS merasa tidak akan ada calon yang bakal mendapatkan dukungan besar di Pilpres 2024 itu. Kecuali dia. PS yakin ‘karomah’ Jokowi dan kekuatan politik Bu Mega akan dikerahkan untuk mencapai angan-angan lama beliau itu. Kedua, PS tidak akan mundur karena beliau masih belum lagi memulai misi ‘perbaikan dari dalam’ yang mendorong dia ikut kabinet Jokowi, hari itu. Bagi Prabowo, misi ini sangat sakral. Belum lagi mengayunkan satu-dua langkah untuk misi suci itu, tidak mungkinlah mengundurkan diri hanya gara-gara OTT Edhy. Ketiga, PS tidak akan mundur karena dia sudah terlanjur membuang basis dukungannya. Dukungan akar rumput sudah nyaris tidak ada lagi. Hanya tersisa para loyalis “pokok-e” saja. Dalam bahasa netizen haluan keras, PS mengkhianati puluhan jutaan pendukung yang telah mempertaruhkan segalanya. Mereka ini memisahkan diri dari begitu dia masuk ke kabinet Jokowi. Artinya, pengunduran diri dari kabinet Jokowi akan mengakhiri semua kemungkinan karir politik Prabowo. Dia tidak akan bisa kembali seperti masa-masa perlawanan pra-Pilpres 2019. Puluhan juta pendukung yang telah dikecewakan itu, tidak mungkin kembali berkumpul dengan PS. Singkatnya, Prabowo tak punya pilihan lain. Dia harus tetap bertahan di bawah kendali Jokowi. Dia harus rela mendengar pernyataan Jokowi terkait OTT Edhy Prabowo bahwa dia (Jokowi) akan menghormati proses hukum di KPK. Dengan kata lain, jangan harapkan mantra Jokowi untuk melepaskan jerat yang kini melilit kaki Edhy –the Golden Boy. [] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Mungkinkah Pemerintah Jokowi Guncang Akibat OTT Edhy Prabowo?
by Asyari Usman Medan FNN - Rabu (25/11). Sebesar apa dampak yang mungkin muncul akibat penangkapan Edhy Prabowo --menteri Kelautan dan Perikanan? Jawaban atas pertanyaan ini bisa beragam. Tergantung sikap Prabowo Subianto (PS) sebagai pimpinan Gerindra yang menjadi wadah politik Edhy. Edhy Prabowo (EP) terkana operasi tangkap tangan (OTT) yang dipimpin oleh penyelidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan. EP baru saja mendarat di bandara Soekarno-Hatta dari Hawaii (AS) pada pukul 23.40, Selasa (24/11/2020). Konsekuensi penangkapan ini bisa biasa-biasa saja. Tetapi, bisa juga mengguncang pemerintahan Presiden Jokowi. Yang jelas, penangkapan EP pastilah membuat Prabowo merasa tidak enak ‘tingkat tinggi’. Prabowo juga kehilangan besar. EP adalah ‘the most trusted person’ (orang yang paling dipercaya) oleh PS di lingkungan Partai Gerindra. Paling dipercaya itu dalam arti PS yakin EP tidak mungkin melakukan hal-hal yang konyol seperti korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. OTT kemarin malam itu terkiat dengan dugaan korupsi ekspor bibit lobster ke sejumlah negara, terutama ke Vietnam. Banyak pihak yang menentang ekspor itu karena merugikan nelayan kecil. Mantan menteri kelautan, Susi Pudjiastuti, termasuk yang tidak setuju. Bersama EP, KPK juga menggelandang Iis Rosita Dewi, anggota Komisi V DPRRI. Iis Rosita adalah istri EP. Beberapa orang lainnya juga dibawa dengan mobil KPK. Mungkinkah pemerintah Jokowi akan mengalami terpaan keras akibat penangkapan menteri kubu PS itu? Bisa saja itu terjadi kalau Prabowo Subianto mengundurkan diri. Koalisi Jokowi bisa guncang jika PS keluar. Sebab, pengunduran diri Prabowo akan menciptakan mush baru pada saat Jokowi sangat memerlukan banyak teman. Jadi, kalau Prabowo bereaksi temperamental seperti biasanya, sangat mungkin akan terjadi kekacauan. Apalagi kalau beliau sampai gebrak-gebrak meja di Kemenhan. Pasti bakal ramai. Jokowi bisa guncang besar dan sempoyongan. Walaupun belum tentu tersungkur. Tapi, kalau Prabowo tetap dengan sikap “siap Ndan” di kabinet, maka dipastikan tidak akan ada riak. Jokowi tetap aman-aman saja. Penuli adalah Waratwan Senior FNN.co.id
Ketidakadilan Hukum Kepada HRS & Anies
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Kamis (19/11). Al-Qur'an Surat Annisa 58 mengingatkan kepada orang yang beriman dan juga umat manusia tentang dua hal. Kedua hal tersebut sangat relevan dengan peran kepemimpinan yang sedang diambannya. Pertama, perlunya menunaikan amanat. Dan amanat itu harus teralokasi kepada yang berhak (innallaha ya'murukum an tu-addul amanati ilaa ahliha). Amanat rakyat harus kembali kepada rakyat, bukan hanya sampai kepada keluarga, kerabat atau kroni. Kedua, jika menegakkan hukum, maka tegakkan dengan adil (wa Idza hakamtum bainan naas an tahkumuu bil adl). Keadilan adalan nilai tertinggi dalam hukum. Asas keadilan adalah kesamaan kedudukan di depan hukum (equality before the law). Konstitusi negara RI menjamin asas kesamaan kedudukan tersebut sebagai konsekuensi dari prinsip negara hukum. Fenomena tersebut sekarang di negeri ini, terutama pada dua hal di atas amburadul atau acak-acakan. Amanat jabatan dikhianati dan rakyat tidak menjadi prioritas. Banyak pejabat yang lebih mementingkan diri, keluarga, dan kroni. Akibatnya korupsi, kolusi, nepotisme merajalela. Itu dilakukan secara bersama-sama, terang-terangan dan tanpa rasa malu. Pelaksanaan hukum aktual menampilkan wajah ketidakadilan. Covid 19 telah menjadi tongkat pemukul untuk memukul siapa saja yang dikehendaki. Ada yang dipukul dengan keras. Namun ada yang nyaman-nyaman saja karena sengaja memukul angin. Habib Rizieq Shihab (HRS) dan Anies Baswedan dipukul dengan keras, karena adanya "kerumunan" banyak orang. Dampaknya dua Kapolda dan dua Kapolres dicopot dari jabatannya. Wilayah DKI Jakarta dan Jawa Barat menjadi sasaran pukulan itu. Di sisi lain, kerumunan di acara Kliwonan Habib Luthfi yang menjadi anggota Watimpres di Pekalongan dan Long march 9.000 Banser di Banyumas Jawa Tengah lancar-lancar saja. Untuk dua acara ini, tanpa teguran. Apalagi sampai pencopotan Kapolda dan Kapolres segala. Begitu juga tanpa ada pemanggilan Gubernur Jawa Tengah. Maklum dia kader PDIP. Pendaftaran KPU anak Presiden Gibran Rakabuming di Solo dengan kerumunannya juga aman-aman saja. Sementara di Medan, menantu Presiden Jokowi, Bobby Nasution dan kerumunan Pilkada lain sami mawon. Satu kalimat cukup untuk ini adalah "ketidakadilan hukum". Rakyat sudah tahu dan merasakan bahwa Pemerintahan Jokowi tidak adil. Banyak mempermainkan hukum untuk kepentingan politik. Dari mulai Perppu, RUU HIP, UU Omnibus Law, UU ITE, hingga Covid 19 yang menjadi alat pemukul untuk memberangus lawan-lawan politik. Kini dua tokoh menjadi target, yaitu HRS dan Anies. Akan tetapi magnet keduanya dipastikan juga cukup kuat untuk meraih simpati dan dukungan rakyat. Bisa dibayangkan ketika keduanya mengikuti tahapan proses pemeriksaan Polisi, bahkan mungkin juga di Pengadilan nanti. Rakyat dan umat akan ikut berkerumun membesar dengan dukungan dahsyat. Gelombang perlawanan dapat bereskalasi di luar dugaan. Rezim Jokowi telah membuka jalan bagi peningkatan kejengkelan bahkan kemarahan. Di belahan dunia manapun, dan sejarah kapanpun telah dibuktikan bahwa ketidakadilan adalah gerbang strategis dari perubahan. Kembali kepada ayat Qur’an Surat Annisa 58 di atas, maka soal amanat dan keadilan merupakan pelajaran sempurna dari Allah "Innallaha ni'imma ya'idhukum bih". Urusan amanat yang dikhianati atau hukum yang dijauhkan dari keadilan, maka "Innallaha kaana samii'an bashiiro"-- Sesungguhnya Allah SWT Maha Mendengar dan Maha Melihat. Jika Allah SWT sudah membuat keputusan atas dasar Pendengaran dan Penglihatannya. Maka tak ada suatu kekuatan apapun yang bisa mencegah dan menghindar dari hukuman-Nya. Na'udzubillah min dzalik. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Antara Anies dan Penyidik, Mushalla Kecil Itu Jadi Saksi
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Kamis (19/11). Manusia boleh berencana dan merekayasa, tetapi Tuhan yang menjadi penentu takdirnya. Banyak peristiwa tak terduga telah menyadarkan kita betapa Tuhan ada dan hadir dalam kehidupan kita. Dengan iman, ada kepasrahan dan petunjuk jalan. Iman menuntun dan memberi kemampuan untuk menjemput keputusan takdir-Nya Allah Subhanahu Wata’ala. Pahit-manis dan suka-duka, itu hanya panampakan di dalam perasaan manusia belaka. Karena hidup itu pada hakekatnya adalah kejujuran. Allahu Akbar... Allahu Akbar... Takbir adzan itu hanya bisa dirasakan oleh hati-hati yang di dalamnya Tuhan memberikan tempat. Tuhan tak hadir pada manusia yang tidak merasa butuh, apalagi alergi mendengar suara takbir-Nya. Mushalla kecil di pojok ruangan Polda Metro Jaya itu jadi saksi. Di sela-sela pemeriksaan, Anies datang menyambut panggilan itu. Kali ini bukan polisi yang panggil, tetapi Tuhan. Allah Pemilik Semua Istana. Istana langit maupun istana merdeka. Ditinggalkannya para penyidik, lalu Anies datang ke tempat dimana takbir itu memanggil. Tak ada yang bisa menghalangi saat penguasa alam ini berkehendak. Anies keluar dari ruang pemeriksaan dan melangkah ke mushalla kecil itu. Ambil air wudhu, lalu shalat dhuhur empat raka'at. Begitu juga saat waktu ashar tiba. Panggilan Tuhan tetap yang utama. Otentik, tanpa rekayasa. Anies datang tanpa beban, karena Tuhan yang memanggil itu sungguh Maha Adil dan Penyayang. Arsy Tuhan beda dengan istana manusia yang sarat dengan intrik dan tekanan. Matahari merangkak pulang. Gelap datang merayap tanda waktu magrib tiba. Adzan lagi-lagi berkumandang. Muadzin di mushalla mensosialisasikan takbir Tuhan. Ayo Shalat. Waktunya menghadap Tuhan, kata muadzin itu. Keluar dari ruangan, Anies bergegas ke mushalla. Sampai di Mushalla, Gubernur DKI ini didaulat menjadi imam. Jika anda jadi imam shalat dhuhur dan ashar, nggak perlu takut. Karena nggak ada yang tahu bagaimana kualitas bacaan anda. Salah benar, hanya Tuhan yang tahu. Mungkin anda sendiri juga nggak tahu. Tidak usah ragu. Orang juga nggak tahu anda paham atau tidak arti ayat yang anda baca. Yang penting di imam sholat dhuhur dan ashar adalah pastikan jumlah raka'at anda benar. Usahakan takbir anda agak sedikit fasih. Terutama jika ada kamera sedang menyorot anda. Bagaimana jika anda ditawari jadi imam shalat magrib? Untuk yang ini anda harus ukur diri. Tajwid, fashahah dan penghayatan makna mesti anda perbaiki dulu sebelum anda menyanggupi tawaran itu. Jangan gara-gara kamera, anda bersemangat terima tawaran dan nggak peduli defisit kemampuan. Tak ragu, tak ada was was, Anies maju dan menjadi imam shalat magrib. Nampak memang ia terbiasa jadi imam. Baik imam shalat, maupun imam di luar shalat. Allahu Akbar, shalat dimulai. Raka'at pertama, Anies membaca al-Fatihah. Ini bacaan wajib. Tanpa al-Fatihah, tidak sah shalatnya. Kecuali bagi pengikut mazhab Hanafi. Setelah membaca al-Fatihah, Anies membaca surat al-Insyirah. Ini surat pilihan. Mengapa Anies memilih surat al-Insyirah? Kita perlu tahu apa kandungan di dalam surat al-Insyirah itu. Dari situ kita akan bisa membaca apa maksud Anies memilih untuk membaca surat ke-94 ini. Surat al-Insyirah, "Tidakkah Kami (Allah) telah melapangkan dadamu. Dan Kami telah meletakkan darimu bebanmu. Yang telah membebani punggungmu. Dan Kami telah tinggikan namamu. Sesungguhnya di dalam kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya di dalam kesulitan ada kemudahan. Jika kamu sudah selesai, lanjutkan pekerjaan. Dan kepada Tuhanmu hendaknya engkau berharap" Surat al-Insyirah menjelaskan pertama, tentang perlunya kelapangan dada. Kedua, kelapangan dada membuat semua beban ditanggalkan. Ketiga, dari situlah sebuah nama akan diangkat dan ditinggikan. Keempat, bahwa setiap kesulitan selalu ada kemudahan Dua kali narasi ini diungkapkan dalam surat itu. Berarti, ini sunnatullah. Kelima, perintah untuk move on. Selesai satu urusan, lanjut urusan yang lain. Jangan diratapi. Nggak boleh baper. Ketujuh, tetap rendah hati, dan sadari bahwa semua itu Tangan Tuhan yang menggerakkan. Karena itu, jadikan Tuhan sebagai kiblat dan arah tujuan. Kandungan surat al-Insyirah yang sengaja dipilih Anies di raka'at pertama seolah menggambarkan situasi obyektif yang sedang dihadapinya. Ada kesadaran bahwa untuk menghadapi masalah perlu berlapang dada. Dengan begitu, semua kesulitan akan menjadi mudah. Badai akan berlalu, dan bersegeralah untuk move on. Kemudian melanjutkan tugas berikutnya. Kalau peristiwa ini menyebabkan banjir dukungan dan nama makin ditinggikan, itu bonus, sebagaimana ayat itu telah mengkonfirmasinya. Anies sepertinya mengerti betul kandungan makna dari surat yang dibacanya. Faktual dan kontekstual. Tepat dengan situasi yang sedang dihadapinya. Dari surat ini, sepertinya Anies menjadikannya sebagai pondasi dan referensi untuk menghadapi persoalan yang sedang menimpanya. Raka'at kedua Anies membaca al-Fatihah lagi. Ini surat yang wajib dibaca. Setelah membaca al-Fatihah, Anies membaca surat al-Baqarah 286, sebagai ayat pilihan. Surat al-Baqarah ayat 286 berbunyi, "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ada pahala untuk kebajikan yang diperbuatnya, dan ada siksa untuk kejahatan yang dilakukannya....." Membaca ayat ini Anies sepertinya sadar betul. Pertama, betapa Tuhan selalu bertindak proporsional. Mengukur kemampuan sebelum pelajaran itu diturunkan kepada setiap hamba. Kedua, benar-salah dan baik-buruk, semua akan dipertanggungjawabkan. . Membaca ayat ini memberi keyakinan dan optimisme Anies bahwa setiap masalah pasti bisa diselesaikan. Karena itu, hadapi saja. Jangan pernah lari dan hindari masalah. Apakah itu masalah beneran atau direkayasa, hadapi. Toh salah-benar dan baik-buruk, sejarah akan membuka dan pasti akan meminta tanggung jawabnya. Anies hadir di Polda Metro Jaya, tepat waktu. Meski pemanggilan terkesan tergesa-gesa dan mendadak. Anies datang, hadapi dan jawab 33 pertanyaan. Rakyat menunggu sejarah membuka fakta-fakta yang sebenarnya. Dua surat pilihan yang dibaca Anies dalam shalat magrib bisa jadi "rujukan" bagi setiap warga negara yang dipanggil dan sedang menghadapi penyidik. Di dalam kedua surat itu, selain bicara kemudahan, juga menyinggung soal salah dan benar yang masing-masing ada tanggung jawabnya. Penulis Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Nikita Dipelihara Siapa?
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Selasa (17/11). Nikita Mirzani menjadi sangat populer untuk tiga hal. Pertama, sebagai artis yang paling seronok. Kedua, menghina Habib Rizieq Shihab (HRS). Ketiga, dilindungi oleh Polisi. Kontroversi dirinya bukan semakin terkendali, tetapi justru tambah "menantang". Belakangan Nikita Mirzani berani mengklaim kalau dirinya sebagai aset negara. Apakah dia memang sedang dipelihara? Sebab Ade Armando saja menduga kalau Nikita Mirzani sedang menjalankan misi Presiden Jokowi. Ironi kan? Toleransi dan support atas akting dan tampilannya menjadi cermin bobroknya moral bangsa sekarang. Jika, kalau kekuasaan berada di belakangnya, maka sama saja dengan mendukung moral dekaden. Hal ini berarti pelecehan yang nyata-nyata terhadap hukum. Nikita semestinya bukan dilindungi aparat. Tetapi segera diproses secara hukum karena beberapa alasan. Pertama, penghinaan atau pencemaran terhadap Habib Rizieq Shihab, yang artinya telah nyata-nyata melanggar ketentuan Pasal 310 ayat (1) KUHP maupun Pasal 27 ayat (3) Jo Pasal 45 ayat (3) UU Informatika dan Teknologi Elektronika (ITE). Tentu ini adalah klacht delict. Kedua, melanggar UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi. Pasal 10 UU Pornografi menyatakan, "setiap orang mempertontonkan diri dan orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya". UU No. 44 tahun 2008 Pasal 36 mengatur sanksi pidana atas perbuatan dalam Pasal 10 tersebut di atas dengan hukuman penjara 10 tahun dan/atau denda sebesar Rp 5 miliar. Dengan video yang beredar, Nikita Mirzani sudah terkena ketentuan UU Pornografi tersebut, karena diduga elemen delik yang ada pada pasal-pasalnya akan mudah untuk dipenuhi. UU Pornografi dibuat untuk mencegah terjadinya dekadensi moral. Konsideran UU ini antara lain menyatakan, "bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasar Pancasila dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati kebinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap warga negara". Nah sudah sangat jelas kan? Sebenarnya tinggal proses hukum terhadap Nikita Mirzani dilaksanakan saja. Agar tidak ada pembiaran terhadap dugaan perilaku pornografi atau pornoaksi. Ataukah Indonesia akan semakin bobrok karena membiarkan borok-borok yang seperti ini? Kita tidak perlu mengulangi jaman Orde Lama, dimana saat pelacur-pelacur dari Gerwani menari-nari telanjang di lubang buaya. Mereka bersuka ria atas terbunuhnya para Jendral TNI-AD oleh pasukan Cakrabirawa pimpinan Letkol Untung. Para pelacur Gerwani menari telanjang sebagai wujud dan alat perjuangan komunis yang berprinsip menghalalkan segala cara. Atau juga para pelacur yang dimanfaatkan oleh Soekarno untuk menjadi bagian dari pergerakan kemerdekaa? Soekarno merujuk pada keberadaan pelacur yang menjadi tokoh di Perancis seperti Madame de Pompadoure dan Theroigne de Merricourt. Sayangnya, kita kini sudah merdeka. Negara telah berkomitmen untuk membangun bangsa dengan berbasis pada nilai-nilai moral yang luhur. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Hukum.
Anies Tegas, Beri Sanksi Kepada HRS
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (16/11). Habib Rizieq Shihab (HRS) punya magnet sosial yang luar biasa. Fenomena ini terlihat dari penyambutan massa di bandara saat Habib Rizieq pulang dari Makkah Arab Saudi. Ada puluhan, mungkin ratusan ribu, bahkan ada medias asing yang mengatakan jutaan massa yang menjemput kepulangan Habib Rizieq. Sepulang dari Makkah, massa terus berdatangan. Dimanapun Habib Rizieq berada massa memburunya seperti semut mengerumuni gula. Begitulah faktanya. Antusiasme untuk bertemu dan melepas rindu kepada Habib Rizieq tak bisa dibendung lagi. Semua berebut untuk melihat, berdekatan dan bersalaman. Ada nuansa heroisme. Hari-hari berikutnya, massa tetap berdatangan ke rumah Habib Rizieq. Mereka yang datang tidak hanya dari Jakarta dan wilayah Jawa. Banyak yang datang dari Bali, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Kabarnya, ada yang datang dari Maluku dan Papua. Sambutan terhadap Habib Rizieq juga terjadi di Gadog Puncak, sepanjang arah menuju Mega Mendung, tempat dimana Habib Rizieq mendirikan pesantren. Keluar dari tol Ciawi, massa berjubel memenuhi seluruh penggiran jalan raya. Sabtu kemarin, di rumah Habib Rizieq digelar acara pernikahan putrinya. Juga bersamaan dengan sacara Maulid Nabi. Acara tersebut mengundang banyak massa. Mereka memanfaatkan momen terbuka ini untuk berjumpa dan bersalaman dengan Habib Rizieq. Dalam acara walimah dan Maulid Nabi itu, kerumunan terjadi. Meski menggunakan masker, massa terlihat tak berjarak. Satu dengan yang lain berdesakan. Social distancing tak berlaku. Semangat untuk bertemu Habib Rizieq membuat massa lupa akan protokol kesehatan dan aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Mereka tak disiplin dan melanggar aturan kesehatan. Aturan tetap saja aturan. Harus ditegakkan kepada siapapun. Tak pandang bulu. Bagi Anies, Gubernur Jakarta ini, tak perlu ada dilema. Habib Rizieq salah, ya harus diberi sanksi. Peraturan berlaku untuk semua. Untuk pegawai honorer Pemprov DKI yang dipecat, untuk Habib Rizieq, dan untuk masyarakat secara luas. Siapapun yang melanggar, aturan diberlakukan. Habib Rizieq langgar Pergub No. 79 Tahun 2020 tentang Protokol Kesehatan, dan Pergub No. 80 tentang PSBB. Sanksi atas pelanggaran kedua pergub ini adalah denda 50 juta rupiah. Atas pelanggaran ini, Pemprov DKI Jakarta melalui Kasatpol PP DKI melayangkan surat pemberian sanksi denda kepada Habib Rizieq. Surat Nomor 2250/-1.75 telah diterima, dibaca, lalu Habib Rizieq membayar denda. Cash! Tidak tebang pilih, Anies menegakkan aturan untuk semua. Siapapun yang melanggar aturan Pergub Covid, maka akan diberikan sanksi. Tak peduli dia pejabat atau rakyat. Konglomerat atau tokoh masyarakat. Semua sama di depan hukum. Keadilan untuk semua. Anies, sebagai Kepala Daerah sudah tepat mengambil sikap tegas ini. Atas sanksi denda tersebut, Habib Rizieq juga berjiwa besar. Habib Rizieq bahkan mendukung langkah dan sikap tegas Anies ini. Kalau Habib Rizieq nggak diberi sanksi, bagaimana nantinya umat? Semua bisa ikutan melanggar tanpa sadar. Kalau Anies nggak tegakkan aturan, bagaimana dia bertanggung jawab di depan rakyat. Orang-orang yang pernah dapat denda bisa protes dan minta duitnya kembali. Bisa berabe. Cebong akut, buzzer dan infulencer rupiah sudah bersiap-siap dengan sejumlah jurus untuk menyerang Anies. Sayangnya gagal. Jika pemimpin di Indonesia tegas dan adil, maka negeri ini punya harapan untuk menjadi negara besar. Negara yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) seperti Indonesia ini tak kunjung maju karena faktor penegakan hukum yang seringkali bermasalah. Produknya tumpang tindih, dan penegakan hukumnya terbang pilih. Tak ada negara maju di dunia jika produk dan penegakan hukumnya bermasalah. Ini PR bagi para pemimpin dan para penegak hukum. Meski punya hubungan baik, tak mengurangi ras hormat dan ta'dzimnya Anies kepada HRS. Gubernur DKI, tetap memiliki komitmen untuk menegakkan aturan yang berlaku. Apalagi, Pergub No. 79 dan 80 Tahun 2020 ini dibuat dan ditanda tangani oleh Anies sendiri. Anies pasti tahu konsekuensi atas tanda tangannya. Ini bukti bahwa Anies telah membaca semua pasal di dalam aturan itu sebelum dia tanda tangan. Emang ada yang tanda tangan sebelum baca? Jangan nyindir dan nyinyir doooooooong! Menerima surat denda, Habib Rizieq bersedia mematuhinya. Pendiri FPI ini menyadari kesalahan itu, dan dengan suka rela telah membayar denda tersebut. Lunas! Sebagai warga negara yang baik, Habib Rizieq menyatakan akan selalu taat pada aturan yang berlaku. Habib Rizieq tak mengelak. Tidak juga membantah. Apalagi lari dari hukuman. Habib Rizieq bukan Harun Masiku. Kader PDIP yang menghilang setelah ditetapkan jadi tersangka oleh KPK. Bukan juga Djoko Djandra, koruptor yang bisa mengatur para pejabat hukum sesuka hatinya. Sikap Habib Rizieq ini bisa jadi panutan buat seluruh masyarakat Indonesia. Ketaatan kepada hukum adalah hal paling utama dalam bernegara. Dari sinilah ketertiban sosial akan terajut. Kebangkitan bangsa punya optimisme untuk terwujud. Harapan sebagai bangsa besar terpampang di depan mata. Sikap Habib Rizieq ini jawaban terhadap penegakan hukum di Indonesia sangat memprihatinkan selama ini. Ada kesan tebang pilih. Lawan diperjarakan dan dihakimi. Sedangkan kawan dilindungi. Orang kaya boleh dinegoisasi. Yang miskin langsung masuk bui. Institusi hukum tak banyak bisa diharapkan untuk menegakkan keadilan. Harus dirombak. Anies dan Habib Rizieq telah memberi contoh yang sangat baik untuk bangsa ini. Meskipun keduanya berkawan, namun hukum tetap harus ditegakkan. Ini berlaku juga kepada yang lain. Tak pandang bulu. Pemimpin sejati bukanlah orang yang hanya bisa tegas kepada lawan. Tetapi lembek di depan kawan. Seseorang yang belum bisa bersikap adil kepada kawan dan lawan, dia bukan pemimpin. Mereka hanya orang-orang yang sedang berkuasa. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Quo Vadis Peradilan Kita
by Zulkifli S Ekomei Jakarta FNN - Sabtu (14/11). Latar belakang saya menggugat UUD 45 palsu melalui pengadilan, tidak menempuh cara lain adalah, bahwa Indonesia ini adalah negara hukum. Negara hukum (Rechtstaat) adalah negara yang menempatkan hukum sebagai panglima, "Equality before the law" semua berkedudukan sama di depan hukum. Hal ini sesuai konsitusi kita bahwa "Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum." Sehingga semua persoalan hukum sudah seharusnya diselesaikan di lembaga peradilan, dan tentu saja gugatan saya memakai dasar adanya temuan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh MPR periode 1999-2004 yang diketuai oleh Amien Rais, yaitu adanya Ketetapan MPR tanpa nomor tertanggal 10 Agustus 2002. Saya ingin update perkembangan apa yang saya alami selama mengikuti semua acara persidangan, sehingga bisa menjadi pelajaran bagi semua pihak yang akan beracara di lembaga peradilan. Beberapa catatan yang ingin saya sampaikan adalah: Pertama, soal waktu, jadwal persidangan ternyata molor, dan ini sepertinya sudah menjadi kebiasaan, awalnya waktu yang disepakati adalah jam 10.00, tetapi molor menjadi jam14.00 atau bahkan lebih, sehingga tidak ada seorangpun bisa memprotes termasuk saya, karena seolah sudah menjadi budaya. Kedua, ada beberapa pertanyaan muncul ketika pengadilan gagal menghadirkan prinsipal dalam sidang mediasi. Para tergugat dan turut tergugat hanya diwakili penasehat hukumnya, dan akhirnya mediasi gagal. Lalu saya selaku penggugat menyatakan secara resmi bahwa proses mediasi gagal sehingga persidangan dilanjutkan. Ketiga, sebagai lanjutannya saya mengikuti acara sidang berikutnya yaitu pembacaan gugatan, kemudian sidang pembacaan eksepsi dari tergugat dan turut tergugat, selanjutnya sidang pembacaan replik dari pihak penggugat, diteruskan dengan sidang pembacaan duplik dari pihak tergugat dan turut tergugat dan diakhiri dengan pembacaan putusan sela. Ada kejadian menarik, pada saat sidang pembacaan putusan sela tanggal 11 Agustus 2020, hakim menunda persidangan, dengan alasan karena ada urusan keluarga sehingga belum siap membacakan putusan sela, setelah itu terjadilah penundaan demi penundaan sampai akhirnya terjadi sidang pembacaan putusan sela tanggal 3 November 2020. Dalam sidang pembacaan putusan sela majelis hakim menyatakan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili gugatan saya menolak UUD'45 palsu. Setelah membacakan putusan sela, hakim menanyakan pada pihak tergugat dan pihat turut tergugat apakah menerima putusan sela, mereka menyatakan menerima, kemudian menanyakan pada pihak penggugat apakah menerima atau melakukan perlawanan terhadap putusan sela tersebut, spontan saya menjawab akan melakukan perlawanan, lalu saya diberikan waktu 2 minggu untuk menyatakan perlawanan dan berkas putusan sela bisa diambil paling lambat 3 hari setelah sidang. Tanggal 12 November kemudian, saya mengambil berkas putusan sela di Pelayanan Terpadu Satu Pintu, ajaibnya ternyata berkas belum turun, setelah dicek di Panitera, berkas putusan sela belum ditandatangani hakim karena cuti sampai tanggal 16 Nopember 2020. Sampai disini, saya hanya bisa mengambil nafas panjang….ternyata saya hanya punya waktu satu hari untuk mengajukan perlawanan terhadap putusan sela. Saya tidak akan menyerah karena gugatan menolak UUD'45 palsu ini bukan untuk kepentingan saya pribadi, tapi kepentingan banyak orang, untuk kepentingan generasi mendatang, persoalan sebesar ini hanya dihindari dengan putusan sela bahwa Pengadilan tidak berwenang mengadili, padahal acara persidangan sudah berjalan setahun lebih, sehingga saya bisa menyimpulkan bahwa majelis hakim seperti prajurit yang lari dari medan pertempuran, seperti kata pepatah Jawa "tinggal gelanggang colong playu", pepatah yang sering disematkan pada siapapun yang menghindari tanggung jawab. Ok, mengakhiri catatan saya ini, saya kembali mengingat kisah tauladan Nabi Musa a.s. Ketika rasionalitas Nabi Musa a.s. berucap, “Bagaimana umatku yang lemah dan tanpa senjata akan mengalahkan pasukan Fir'aun yang kuat?” Allah SWT menjawab, “Urusanmu hanya istiqamah dan taat, selainnya adalah kehendak-Ku.”Maka, teguhlah dalam memperjuangkan kebenaran. Karena, Allah pasti bersama kita. "Perjuangan milik kita, Kemenangan milik ALLAH" Salam Patriot Proklamasi! Penulis, praktisi hukum.
Dr. Ahmad Yani Dipanggil Penyidik, Apa Konsekuensinya?
by Dr. Margarito Kamis SH. MHum Barang siapa bisa menguasai nafsunya, ia menjadi lebih mulia daripada malaikat. Namun barang siapa nafsunya mengalahkan akalnya, ia sungguh lebih rendah dari binatang (Jalaludin Arumi, 1207-1273). Jakarta FNN – Sanin (02/11). Dr. Ahmad Yani, SH.MH, dipanggil penyidik. Yani akan diperiksa sebagai saksi. Pemanggilan tersebut terkait dengan dugaan perkara tindak pidana menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan individu dan/atau kelompok berdasarkan Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) melalui media sosial. Kata Ahmad Yani, saksi itu kan orang yang mengetahui dan melihat peristiwa pidana. Tetapi sayangnya di surat itu tidak dijelaskan siapa tersangkanya? Dimana lokasinya? Cukup membingungkan memang, tetapi sebagai warga negara wajib hadir," jelasnya ((RMol, 1/11/2020). Pemeriksaan ini, normatifnya, merupakan kebutuhan penyidikan. Pasti dikerangkakan pada kebutuhan membuat kasus yang sedang disidik, bukan diselidiki, menjadi terang. Terang untuk dua hal, peristiwa pidananya dan pelakunya. Ini menarik untuk dianalisis. Kasus Hipotetik Menjadi saksi untuk tersangka siapa? Oleh karena tidak jelas, maka peristiwa “percobaan penangkapan” atau “ngobrol-ngobrol” beberapa waktu lalu di kantor Dr. Ahmad Yani beralasan untuk dipakai membuat kasus hipotesis. Yani menjadi saksi pada kasus ini. Perbuatan apa yang mengakibatkan Anton Permana ditetapkan jadi tersangka? Beritanya cukup beragam. Tidak ada penjelasan spesifik. Tetapi dari berita itu dapat dibuat hipotesis tentang kasusnya. Kasus hipotetiknya, Anton disuruh, atau mengambil sendiri atau diberikan pernyataan tertulis resmi KAMI dari personil KAMI, siapapun itu. Pernyataan itu dibuatkan narasi lalu dimuat di media elektronik, video atau apapun itu, miliknya. Setelah itu disebarkan. Begitulah kurang lebih kasus hipotetiknya. Bila dalam pemeriksaan atas dirinya atau saksi fakta lain, diperoleh fakta bahwa Yani mengetahuinya, pemanggilan ini beralasan. Kenyataan inilah yang dapat dipastikann diminta penyidik untuk diterangkan. Namun adakah saksi lain yang menerangkan hal yang sama? Setidaknya sebagiannya mirip? Bagaimana bila tidak ada, dan Yani punya alibi? Menarik. Bagaimana Juris memeriksa kasus hipotetik ini? Juris pasti memulai penalarannya dengan mengidentifikasi, mengorganisasikan, dan mengkategorisasi perbuatan itu, lalu memeriksa hukumnya. Ini sangat standar. Ini konsekuensi ajaran negara hukum, dan norma hukum selalu bersifat hipotetik. Tidak ada peristiwa, apapun itu, yang dapat dikualifikasi pidana, bila tak ada hukum positif mengkualifikasi peristiwa itu sebagai peristiwa pidana. Ingat itu baik-baik. Juris juga akan menginferensi kasus itu dengan cara mengajukan beberapa pertanyaan primer. Pertama, apakah pernyataan KAMI yang dibuatkan narasi, entah oleh Anton sendiri atau orang lain, sebagian atau seluruhnya melawan hukum? Lalu disebarkan oleh Anton? Kedua, siapa yang membuat pernyataan tertulis itu? Dan siapa yang menandatanganinya? Serta siapa yang menyebarkan pernyataan itu untuk pertama kalinya? Nalar serendah apapun, tidak mungkin menyatakan bahwa sifat melawan hukum atau kualitas pidana serta-merta disandang pada peristiwa penyebaran pernyataan KAMI itu, hanya karena media elektronik. Tidak begitu. Tidak ada nalar hukumnya. Isi, sekali lagi isi materi pernyataan pada media elektronik you tube atau instagram itulah penentu determinatif kualifikasi hukum atas peristiwa itu. Tidak lebih dari itu. Hanya Itu saja. Konsekuensinya isi pernyataan-di dalam you tube atau instagram itulah yang pertama-tama harus dianalisis hukumnya. Apa saja isi pernyataan tertulis KAMI itu? Apakah pernyataan itu berisi seruan kepada buruh untuk melakukan mogok nasional? Bagaimana hukumnya bila pernyataan itu tidak berisi seruan, melainkan menyatakan dukungan verbal kepada buruh yang akan melakukan mogok nasional? Apakah pemogokan benar-benar terjadi? Bila terjadi, apakah berskala nasional? Bagaimana bila pemogokan itu terjadi secara parsial? Diatas semua itu, apakah hukum positif mengekategorikan pemogokan nasional atau parsial sebagai peristiwa melawan hukum, dan sifatnya pidana? Hukum positif mengakui mogok sebagai hak dasar pekerja atau buruh. Itu sebabnya hukum positif memberi kategori atas mogok itu. Kategorinya mogok yang sah dan mogok yang tidak sah. Untuk mogok yang tidak sah, ditentukan syaratnya untuk dapat dikategorikan sebagai peristiwa pidana. Itulah esensi pasal 186 UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Pasal 186 ini menunjuk mogok pada pasal 137 dan 138 ayat (1) sebagai tindak pidana “sejauh” sekali lagi “sejauh” mogok itu tidak memenuhi keadaan-keadaan yang disyaratkan pada pasal 137 dan 138 itu. Hipotesiskan saja bahwa mogok itu benar-benar terjadi. Itu untuk sekadar menjaga nalar analisis. Dititik ini muncul masalah hukum sederhana yang sangat menarik. Masalahnya siapa yang mogok? Buruh atau pekerja? Siapa mereka, serta dimana peristiwa mogok itu? Bila ada buruh atau pekerja yang mogok, siapa tersangka dalam peristiwa mogok itu? Adakah itu? Bila ada, maka masalah melawan hukum pernyataan KAMI menjadi mudah dikonstruksi. Sebaliknya, bila tidak ada buruh atau pekerja yang ditersangkakan oleh penyidik, maka muncul soal hukum yang tidak sederhana. Mengapa? Untuk alasan apapun, kenyataan itu harus dianggap secara hukum pemogokan, sekalipun benar-benar terjadi, tidak dapat dikategori sebagai mogok yang tidak sah, yang memiliki kapasitas sebagai peristiwa pidana. Kenyataan itu menimbulkan konsekuensi yang sangat elementer. Apa konsekuensinya? Pertama, pernyataan tertulis KAMI tidak memiliki kapasitas sebagai pernyataan yang menyandang sifat melawan hukum. Apalagi melawan hukum pidana. Sekali lagi tidak. Kedua, karena pernyataan KAMI tidak memiliki kapasitas atau sifat melawan hukum, maka berlakulah prinsip “cesante causa cessat efectus” (dari penyebabnya, dapat ditetapkan akibatnya. Kalau penyebabnya berhenti, akibatnya juga berhenti). Oleh karena penyebabnya tidak melawan hukum, maka tindakan memberi dukungan itu, demi hukum, harus dianggap tidak melawan hukum. Karena tidak melawan hukum, maka isi pernyataan yang dinarasikan, lalu disebarkan secara elektronik itu, demi hukum tidak dapat dikualifikasi sebagai perbuatan melawan hukum. Begitu nalar hukum berbicara. Titik. Bisa Buntu Hipotesiskan saja pernyataan tertulis KAMI itu memiliki sifat melawan hukum. Apa konsekuensinya? Cukupkah Dr. Ahmad Yani seorang diminta keterangannya sebagai saksi? Jelas tidak, apapun alasannya. Tidak ada ilmu hukum pidana yang dapat dipakai untuk membenarkannya. Konsekuensinya? Pertama, keterangan Dr. Ahmad Yani akan jadi titik tolak pengembangan menuju saksi lain. Kemana arahnya? Pemeriksaan ini bisa saja berkerangka mencari dan menemukan tersangka baru. Begitu nalar normatifnya. Konsekuensi teknisnya? Penyidikan ini harus menemukan kenyataan-kenyataan berupa bagaimana pernyataan itu dirancang? Siapa konseptornya? Pernyataan KAMI itu dikonsep oleh seorang saja, atau dikonsepkan oleh beberapa orang? Setelah lebih dahulu dirapatkan dan diputuskan dalam rapat KAMI? Siapa saja yang bicara dalam rapat itu, dan siapa bicara apa? Semua harus dijadikan materi pemeriksaan. Kedua, siapa yang mengetiknya, siapa mengeditnya, hingga siapa yang menyodorkan pernyataan itu kepada presidium KAMI untuk ditandatangani. Bahkan siapa yang memfasilitasi press conference atau menyebarkan pernyataan itu ke media massa. Semuanya harus diperiksa. Sungguh menarik menganalisisnya dari sudut hukum. Terlihat jelas adanya masalah yang tak sederhana. Apa masalahnya? Sejauh ini tidak ada satu pun buruh atau pekerja yang ditersangkakan karena melakukan perbuatan mogok. Ini vocal pointnya. Tidak ada orang ditersangkakan atas perbuatan yang didukung, tetapi ada orang ditetapkan jadi tersangka karena memberi dukungan? Tidak ada perbuatan yang dikualifikasi pidana, dan tidak orang yang ditersangkakan, tetapi ada orang turut serta menjadi pelaku tindak pidana? Kecermatan profesional benar-benar harus bicara. Tetapi lupakan dulu keadilan, lupakan dulu prinsip minimum negara hukum, yang diputuskan pada International Commission of Juris dalam kongresnya di Athena, Yunani tahun 1968. Menurut Profesor Ismail Suny, salah satu sayarat esensial minimum Rule of Law yang diputuskan dalam kongres itu adalah keamanan pribadi harus dijamin. Profesor Suny menyatakan tak seorang pun dapat ditahan atau dipenjarakan tanpa satu keputusan hakim atau untuk maksud-maksud prefentif (Ismail Sunyi, 1981). Esensi syarat ini dilembagakan dalam KUHAP, dan belakangan dalam UUD 1945. Apabila rute ini ditempuh secara profesional, due process of law, maka kasus ini pasti, bahkan mutlak bergeser dari tindak pidana ITE, ke tindak pidana biasa. Konstruksi tentang pelaku dan turut serta berubah secara fundamental. Anggap saja eksponen KAMI kelak dituduh menghasut. Soal hukumnya, siapa yang dihasut? Untuk memastikan siapa yang dihasut, mau tidak mau, orang yang dihasut itu telah ditetapkan jadi tersangka. Suka atau tidak. Begitulah hukumnya. Siapa dia? Sejauh ini tidak tersaji fakta adanya buruh atau pekerja, atau siapapun itu yang ditetapkan menjadi tersangka, karena melakukan perbuatan yang diangap dihasut. Bila mogok dianggap sebagai hal yang dihasut, maka tanpa adanya tersangka karena pemogokan itu, demi hukum, harus dianggap hal yang dihasut tidak terjadi. Bagaimana bila dikerangkakan pada pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946? Terlihat dari rumusannya, elemen penentu dalam pasal ini adalah kabar bohong dan keonaran. Pembaca FNN yang budiman. Mau kabar bohong sehebat apapun, tetapi kabar bohong itu tidak mengakibatkan hal yang dilarang yaitu keonaran, maka tidak ada tindak pidana. Keonaran adalah hal (keadaan) yang diakibatkan dari kabar bohong. Keonaran menjadi hal inti larangan. Kalau akibatnya tidak terjadi, maka tidak ada, sekali lagi, tidak ada tindak pidana. Apa hukumnya bila pernyataan itu dikualifikasi menyebarkan kebencian atau fitnah kepada individu, golongan masyarakat, suku atau agama? Menggunakan pendekatan “isolasionis” atau “pragmatic encrichment” atau “purposivstis” dalam ilmu interpretasi, yang dikenal sebagai pendekatan terlonggar sekalipun, tidak bisa. Mengapa? Terminologi menguntungkan buruh asing, atau oligarki misalnya, tidak dapat diberi kapasitas dan sifat kebencian. Mengapa? Sifat itu dihilangkan sendiri oleh UU Omnibus Cipta Kerja. Dari data tersaji UU itu dibicarakan sebagai UU yang akan mengakselerasi investasi. Investor, dimana pun, selalu dapat membawa tenaga kerjanya, terlepas dari expert atau tidak. Menggunakan pendekatan itupun, tidak dapat mengubah kata-kata tertulis KAMI tentang dukungan verbal itu sebagai kebencian. Termasuk tidak dapat mengubah pengertiannya menjadi kabar bohong, yang mengakibatkan terjadinya keonaran. Bisakah unjuk rasa diinterpretasi menjadi bentuk ekspresif kebencian? Bisakah unjuk rasa diinterpretasi menjadi keonaran? Tidak bisa. Hukum membenarkan unjuk rasa di negeri ini. Disisi lain, kenyataannya RUU Omnibus Cipta Kerja telah disahkan menjadi UU. Tindakan pengesahan, tidak dapat diinterpretasi, sekalipun dengan pendekatan terlonggar di atas, sehingga pengertiannya berubah dari disahkan menjadi tidak disahkan. Pembuat UU, DPR dan Presiden tidak bisa diinterpretasi menjadi satu golongan masyarakat atau individu. Benar-benar menghancurkan UUD 1945, bila pembuat UU diberi kapasitas dan sifat hukum sebagai satu golongan atau individu. Diatas semua itu, menarik memang menantikan ujung proses kasus ini. Bisa saja buntu. Namu bisa juga berkembang. Akankah penghentian penyidikan segera datang? Atau justru terus bergerak sampai ke pengadilan? Kalau pakai ilmu hukum positif, maka nampaknya penghentian penyidikan yang paling mungkin segera datang. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.