HUKUM
Penetapan Tersangka Habib Rizieq Pengalihan Isu?
by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Kamis (10/12). Polda Metro Jaya menetapkan Habib Rizieq Shihab (HRS) sebagai tersangka kerumunan massa di Markas FPI Petamburan. Ancaman hukumannya sampai 6 tahun penjara. Begitu berita yang dirilis sejumlah media online hari ini Kamis (10/12). Di media sosial, berita tersebut menjadi perbincangan yang seru. Ada yang menilai langkah polisi itu pengalihan isu. Polisi sedang tertekan dan terpojok dalam kasus terbunuhnya 6 orang laskar FPI. Benarkah penetapan HRS sebagai tersangka merupakan pengalihan isu. Bukan proses hukum biasa? Dalam kasus kerumunan massa di Petamburan, polisi sebenarnya sudah melayangkan panggilan kedua pada hari Senin (7/12). Namun pada Senin dini hari terjadi peristiwa mengenaskan itu. Tanpa kehadiran HRS, penyidik rupanya telah melakukan gelar perkara kasus Selasa (8/12). Berdasarkan itu, penyidik menyimpulkan, status HRS secara resmi ditingkatkan menjadi tersangka. Kalau benar seperti dicurigai publik ada pengalihan isu, maka dari sisi komunikasi publik/politik, polisi menerapkan strategi yang cerdik. Polisi tengah menerapkan manajemen pengelolaan isu, berupa pencegahan krisis. Harus diakui, posisi polisi tengah tertekan. Kasus penembakan 6 orang laskar FPI membuat komunikasi publik polisi kedodoran. Mereka hanya leading beberapa jam saja. Setelah Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Fadil Imran menggelar jumpa pers pada Senin (7/12) siang. Semua media mainstream mengunyah informasi yang disampaikan. “6 orang lasykar FPI Ditembak Mati Karena Menyerang Petugas.” Media-media mainstream menjadikan berita besar. Kategorinya Breaking News. Konferensi pers yang digelar oleh Kapolda ini sesungguhnya sangat mengejutkan. Sebab sebelumnya FPI hanya mengumumkan bahwa 6 orang laskarnya yang mengawal HRS hilang. Diculik orang tak dikenal. Pengakuan Kapolda Metro Jaya membuka tabir. Ternyata mereka bukan diculik orang tak dikenal. Mereka ditembak mati polisi. Andai Kapolda tidak menggelar jumpa pers, kemungkinan besar kasusnya sampai hari ini masih menjadi misteri. Setelah itu peta penguasaan informasi berubah total. FPI melalui Sekum FPI Munarman membuat bantahan. Yang paling telak bantahan bahwa para laskar FPI ini tidak pernah membekali diri dengan senjata. Apalagi senjata api. Hal itu sangat terlarang. Jadi bagaimana mungkin mereka menyerang? Tak lama kemudian muncul rekaman suara komunikasi ( voice note ) antar-laskar FPI yang mengawal HRS. Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Tubagus Ade Hidayat menyebut, voice note itu sebagai bukti adanya niat pengawal HRS menyerang polisi. Voice note itu segera menyebar luas. Namun setelah dicermati secara detil, publik dan media punya kesimpulan yang berbeda dengan polisi. Dari voice note tersebut justru diketahui rombongan HRS dikuntit oleh kelompok tak dikenal. Para pengawal mencoba menghalang-halangi, agar penguntit tak bisa mendekat mobil yang ditumpangi HRS. Pada akhir percakapan, salah satu mobil mengaku melanjutkan perjalanan ke Bandung untuk mengecoh penguntit. Setelah itu komunikasi terputus. Rombongan HRS selamat. FPI menyampaikan ke publik 6 orang laskarnya hilang diculik. Kelanjutan cerita, seperti sama-sama kita baca di berbagai media. Beberapa saksi yang berada di rest area KM 50 memberi keterangan berbeda dengan polisi. Arus opini publik berbalik. Apalagi kemudian kelompok civil siciety rame-rame mendesak dibentuk tim pencari fakta. Komnas HAM juga mulai menurunkan timnya. Langkah Mabes Polri menarik kasusnya dari Polda, dan menurunkan Tim Divisi Propam tidak menurunkan tekanan opini publik. Memilih medan pertempuran Dengan menetapkan HRS sebagai tersangka, polisi tampaknya berupaya mengalihkan isu. Setidaknya bisa memecah fokus perhatian publik. Penetapan HRS sebagai tersangka, bagaimanapun juga pasti akan memancing kemarahan pendukungnya. Apalagi kalau sampai HRS kemudian ditangkap dan ditahan. Kemungkinan besar mereka akan kembali ramai-ramai ke Jakarta. Ini bisa menjadi santapan media. Khusus bagi media elektronik, pengerahan massa yang sangat besar secara visual sangat menarik. Layak menjadi berita utama. Fokus media dan publik terpecah. Dari sisi opini, penetapan sebagai tersangka ini sepenuhnya bisa dikendalikan oleh polisi. Ini menjadi domain penyidik. Kalau terjadi perdebatan, levelnya pada ranah hukum. Bisa lebih dikelola ( manageable ). Beda dengan kasus penembakan. Media dan publik bahkan bisa rame-rame menantang argumen polisi. Temuan media di lapangan. Pengakuan para saksi, membuat Humas Polri kewalahan melayani argumen publik. Ini lapangan becek yang tak bisa lagi dikendalikan. Jadi lapangan permainan harus dialihkan. Sekarang kita tinggal menyaksikan. Apakah FPI dan publik terpancing dan terpecah konsentrasinya. Polisi mulai bermain cerdik dan kalkulatif. Mereka memilih medan pertempuran yang pasti bisa dimenangkan. Bagi praktisi kehumasan, mengamati strategi polisi mengelola isu HRS ini, akan menjadi studi yang menarik. Kegagalan komunikasi publik sebuah institusi, dampaknya bisa sangat serius. Paling berat adalah rusaknya reputasi ( brand reputation ). Kalau sampai hal itu terjadi, apapun yang disampaikan kepolisian, tidak akan dipercaya publik. Publik tidak lagi menimbang benar, apa salah. Muncul sikap apriori. Soal ini harus benar-benar mendapat perhatian para pimpinan Polri. Itu kalau masih peduli dengan reputasi lho….End Penulis wartawan senior FNN.co id
Polisi dan Pelanggaran HAM Berat
by Abdullah Hehamahua Jakarta FNN - Kamis (10/12). Anak muda itu baru selesai shalat dhuha. Selesai shalat, beliau langsung memanggul rangsel kecilnya lalu menuju lift. Kami berpapasan di depan lift. Beliau mengangguk ke arah saya sambil senyum. Saya langsung menyalaminya sambil berbisik, “semoga berhasil.” Beliau hanya senyum “nyengir,” tanpa berkata apa-apa. Begitulah kejadian yang sering saya saksikan bertahun-tahun di lantai 6 Kantor KPK, C1, Kuningan, Jakarta Selatan. Itulah kegiatan “surveillance” yang dilakukan KPK. Senyap, tidak diberitakan pers. Apalagi sampai timbul bentrokan di antara petugas KPK dengan masyarakat. Namun, laksana petir di siang bolong ketika Polda Metro Jaya mengatakan, polisi dalam kegiatan “surveillance,” berhasil membunuh enam orang pengawal HRS. Apakah tindakan polisi ini sudah terkategori sebagai pelanggaran HAM.? Bahkan, pelanggaran HAM berat? Surveillance Surveillance” menurut Kamus berarti pengawasan. Maknanya, kegiatan “surveillance” adalah suatu proses mengawasi subjek tertentu oleh pihak-pihak terkait Apa yang dilakukan laki-laki di lantai 6 KPK di atas adalah tugas “surveillance.” Direktorat Pengaduan Masyarakat (Dumas) KPK, mempunyai salah satu tugas, melakukan kegiatan “surveillance.” Kegiatan ini dilakukan dalam rangka mengumpulkan bahan keterangan sebanyak mungkin mengenai suatu kasus. SOP KPK menetapkan, Dumas boleh melakukan kegiatan “surveillance” jika sudah ada bukti awal yang menunjukkan terjadi suatu tindak pidana korupsi. Kegiatan “surveillance” yang dilakukan insan KPK, tak ubahnya “tuyul.” Sebab, kegiatan tersebut tidak diketahui siapa pun, baik oleh masyarakat di TKP maupun objek yang menjadi sasaran. SOP KPK juga menetapkan, baik dalam kegiatan “surveillance,” penyilidikan, maupun penyidikan, orang lain tidak boleh mengetahui operasi tersebut. Kawan seruangan pun tidak boleh mengetahui. Itulah sebabnya, lelaki di lantai 6 KPK di atas, tidak bicara sepatah pun dengan saya mengenai tugas yang akan dilaksanakan. Metode dan pola inilah yang mengakibatkan sekitar 95% kegiatan OTT KPK berhasil. Mungkin 99% terdakwanya dijatuhi hukuman di Pengadilan Tipikor. Kapolda Metro Jaya dalam konferensi persnya mengatakan, anggota polisi sedang melakukan kegiatan “surveillance” terhadap HRS. “Surveillance” kok demonstratif.? Mungkin ini gaya intel Indonesia. Berjumpa dengan orang lain. lalu memperkenalkan diri, “saya intel.” Lucunya, Kapolda Metro Jaya mengatakan, polisi menembak pengawal HRS karena membalas tembakan yang dilakukan pengawal HRS. Apakah pengawal HRS akan menembak mobil polisi jika kendaraan tersebut berada dalam rentang jarak ratusan meter atau beberapa kilometer di belakang rombongan HRS. ? Katanya “surveillance,” tapi kok berdekatan.? Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 1 angka 5 mengatakan, penyelidikan adalah "Serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini." Pertanyaannya, dugaan tindak pidana apa yang dilakukan HRS sehingga harus dibuntuti? Jika pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan, maka polisi sangat lebai. Mungkin polisi dapat dipidana dengan undang-undang Tipikor pasal 3. Sebab, mereka menyalahgunakan kesempatan atau jabatan yang ada dan mengakibatkan kerugian keuangan/perekonomian negara. Kerugian mana yang dilakukan anggota polisi tersebut. Bukankah, setiap proyek tersebut ada anggarannya? Kalaupun ada bukti HRS melakukan pelanggaran protokol kesehatan, bukankah puluhan bahkan ratusan pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan pejabat negara, partai politik ketika kampanye pilkada, ormas, dan anggota masyarakat yang melakukan kegiatan keagamaan, kebudayaan, dan perkawinan? Namun, tidak ada penyelidikan seserius ini. Kalau pun HRS sudah ditetapkan sebagai terperiksa, saksi, bahkan tersangka sekalipun, silahkan ikuti ketentuan yang ada dalam KUHAP, khususnya pasal 112 ayat 1 dan 2 KUHAP. Polisi dan Kebohongan Berantai Polda Metro Jaya mengatakan, pistol yang digunakan pengawal HRS adalah asli, bukan rakitan. Belakangan, dikatakan, pistol itu, rakitan. Keluar pula pernyataan lain, pengawal HRS yang merampas senjata polisi. Jika benar, kasian betul kualitas anggota polisi Polda Metro Jaya yang senjatanya dapat dirampas warga sipil. Keanehan lain, polisi mengatakan kejadian tersebut terjadi di KM 50, tol Jakarta – Cikampek. Mana “pollice line”-nya. Tunjukkan bekas tembakan yang ada di mobil polisi. Kalau tembakan pengawal HRS tidak mengenai mobil polisi atau penumpangnya, hal ini kontradiksi dengan pernyataan polisi yang mengatakan, pengawal HRS yang merampas senjata polisi. Kok bisa merampas senjata polisi, tapi tembakannya tidak mengenai sasaran? Mabes Polri mengatakan, kasus penembakan 6 pengawal HRS diambil alih oleh mereka. Anggota polisi yang menembak pengawal HRS dalam pengawasan Propam karena ada kesalahan prosedur dalam operasi tersebut. Apakah rakyat percaya keterangan Mabes Polri? Bukankah secara telanjang Polda Metro Jaya sudah melakukan kebohongan publik? Apakah dapat disimpulkan, yang dilakukan Polda Metro Jaya, kesalahan oknum, bukan institusi sehingga Mabes Polri dapat dipercaya dibanding Polda Metro Jaya? Sebagai orang yang punya dua adik ipar, anggota polisi, saya prihatin dengan runtuhnya citra polisi. Apalagi ketika 4 tahun menjadi Wakil Ketua Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dan 8 tahun lebih di KPK, saya bergaul dan mengetahui beberapa polisi yang berintegritas, professional, dan berkinerja tinggi. Tidak ada pilihan lain dalam menyelamatkan citra kepolisian selain tindakan tegas harus diambil terhadap Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan perwira polisi yang terlibat. Polisi dan Pelanggaran HAM Berat Pelanggaran HAM pertama yang dilakukan polisi adalah membuntuti perjalanan HRS. Beliau bukan teroris, pengedar narkoba, atau tersangka yang harus dibuntuti kegiatannya. Hak asasinya sebagai warganegara untuk pergi ke mana saja dalam wilayah Indonesia, sudah dirampas polisi. Pelanggaran HAM kedua, polisi telah melakukan teror psikologis terhadap HRS dan keluarganya. Pelanggaran ketiga, enam orang warga sipil yang tidak bersenjata, bukan teroris, pengedar narkoba atau tersangka, dibunuh tanpa suatu proses pengadilan. Pelanggaran keempat, otopsi yang dilakukan polisi terhadap keenam jenazah pengawal HRS tanpa persetujuan keluarga. Pelanggaran kelima, menurut pihak FPI, ada tanda-tanda penganiayaan di keenam jenazah di mana setiap jenazah terdapat lebih dari satu peluru dan mengarah ke jantung. Hal ini merupakan pelanggaran HAM berat. Sebab, wewenang tertinggi polisi dalam menghadapi seorang penjahat adalah melumpuhkan, yakni menembak bagian kaki. Fakta ini menunjukkan bahwa, polisi sudah merencanakan pembunuhan terhadap HRS dan pengawalnya. Peneliti KONTRAS Danu Pratama mengatakan, aksi kekerasan sepanjang 2019 mayoritas dilakukan aparat kepolisian. Jumlah aksi kekerasan tersebut mencapai 103 kasus. Mayoritas adalah kasus penganiayaan dan bentrokan, sebanyak 57 kasus. Peristiwa tersebut membuat 102 orang luka-luka dan dua orang meninggal. Kemudian 33 kasus penyiksaan dengan 32 orang luka dan sembilan oran meninggal, 5 kasus salah tembak dengan tiga orang luka dan lima orang meninggal, serta delapan kasus intimidasi. Simpulan Aksi penembakan dan penganiayaan terhadap enam pengawal HRS adalah tindakan pelanggaran HAM berat. Presiden harus segera mengambil tindakan tegas terhadap Kapolri dan Kapolda sebagaimana apa yang dilakukan terhadap Kapolda Jabar dan Metro Jaya dalam kasus pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan pendukung HRS. Komnas HAM, bersamaan dengan hari HAM internasional hari ini, segera membentuk Tim Pencari Fakta Independen, baik atas instruksi presiden maupun inisiatif sendiri sehingga kasus pembunuhan enam pengawal HRS harus diadili oleh Pengadilan HAM, bukan pengadilan biasa. Semoga! Penulis adalah Penasehat KPK 2005-2013
Penembakan 6 Anggota FPI, Pertaruhan Kepercayaan kepada Polisi
by Dr. Ari Yusuf Amir, SH., MH. Jakarta FNN - Rabu (09/12). Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Riziq Shihab (HRS) bersama keluarga (anak dan cucu-cucu), ingin melaksanakan agenda keluarga, yaitu ritual sholat Subuh berjamaah di sekitar Karawang, Jawa Barat. Perjalanan keluarga inti HRS dikawal oleh anggota laskar FPI pada Senin dinihari (7 Desember). Rombongan tersebut rupanya dikuntit aparat kepolisian. Mereka menghadang rombongan di jalan tol Cikampek, dan kemudian terjadilah penembakan terhadap enam anak bangsa itu. Menurut versi kepolisian, sebagaimana disampaikan Kapolda Metro Jaya, anggota Laskar FPI melakukan perlawanan dengan senjata tajam dan dua pucuk pistol. Karena itu petugas kepolisian, mengambil tindakan tegas dengan menembak mati keenam anak bangsa dan warga sipil itu. Penjelasan Kapolda Metro Jaya ini bukanlah sesuatu yang final dan tidak mungkin diamini secara taken for granted. Ini masalah serius. Ini masalah hilangnya nyawa enam orang warga sipil di tangan aparatur kepolisian. Menkopolhukam harus bentuk Tim independen Ada dua kelompok di masyarakat yang merespon peristiwa memilukan ini. Kelompok yang membenci dan resisten terhadap HRS dan FPI, termasuk beberapa media massa mainstream, mendukung tindakan kepolisian itu. Mereka menganggap tindakan polisi sudah tepat. Kematian enam warga sipil dan anak-anak bangsa di moncong senjata polisi dipandang pantas, tanpa melihatnya dari perspektif yang lain. Kelompok kedua, termasuk pegiat media sosial yang bernafaskan semangat juang pada pembelaan hak-hak kemanusiaan, memiliki perspektif berbeda. Sekalipun ada di antara kelompok ini yang tidak suka dengan FPI dan HRS, namun mereka memandang tindakan aparat kepolisian yang mengambil nyawa anggota Laskar FPI tersebut berlebihan, kelewat batas, melawan hukum dan keadilan, serta menyebabkan krisis percayaan terhadap polisi dalam memegang kewenangan menciptakan kamtibmas. Dalam perspektif kelompok kedua inilah muncul wacana publik untuk mendorong dibentuknya Tim Independen Pencari Fakta (TIPF) yang bebas dari anasir politik dan bekerja secara objektif. TIPF ini sekaligus menjadi pembanding temuan Komnas HAM RI yang juga mengumpulkan fakta ihwal kasus ini. Tujuannya sama, yaitu untuk mengungkap kebenaran hakiki, dan siapapun yang bersalah harus dimintakan pertanggungjawaban hukum. Semestinya tim ini dibentuk oleh Menkopolhukam. Anggotanya terdiri dari kalangan independen yang telah teruji kredibilitas dan keberaniannya, seperti akademisi, aktivis NGO, ulama, praktisi hukum dan dokter forensik. Formulasi tim pencari fakta ini serupa dengan TGPF pengungkapan kasus penembakan di Kabupaten Intan Jaya, Papua, pada 17 September lalu. Hal ini sangat penting untuk membuktikan bahwa pemerintah berlaku adil kepada semua warga negara, sekalipun berbeda pandangan politik. Hal terpenting yang harus diungkap ialah siapa yang bersalah, sesuai kebenaran fakta peristiwa. Jika tidak diungkap kebenarannya, maka peristiwa ini akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di negeri ini, di mana aparat negara dapat melakukan kekerasan hingga menghilangkan nyawa warga tanpa konsekuensi apapun, seolah-olah polisi berada di atas hukum (above the law). Promoter Polri dipertaruhkan PERTANYAAN sederhana muncul dalam perspektif hukum yang mudah untuk dikemukakan: Apakah HRS, yang sedang diduga melakukan kesalahan berupa pelanggaran protokol kesehatan di masa pandemi Covid 19, layak untuk dikuntit, dikejar dan dihadang serta ditangkap di KM 57 ruas tol Cikampek oleh petugas kepolisian, sekalipun ada issu rencana pengerahan massa? Kedua, kasusnya sendiri masih dalam penyelidikan, dan panggilan kepada HRS hanya panggilan klarifikasi, yang tidak ada konsekuensi hukumnya jika ia tidak hadir, berbeda kalau sudah masuk penyidikan dan pro justisia, maka akan berlaku ketentuan di KUHAP. Mengapa HRS diperlakukan sama dengan tersangka pelaku kejahatan dengan pemberatan, seperti perampokan, curat, atau terorisme. Adakah alasan hukum untuk menangkapnya dalam perjalanan Senin dini hari tersebut? Jika tidak ada, untuk apa ia dikuntit? Apakah HRS dan rombongannya adalah para tersangka pelaku kejahatan berat yang sedang dikejar dan hendak ditangkap oleh polisi, namun karena melakukan perlawanan, terjadilah peristiwa penembakan terhadap para tersangka tersebut? Jika tidak, inilah kesalahan substansial pihak aparat.Mengapa polisi begitu agresif dan sigap membuntuti setiap aktivitas HRS? Apakah agresifitas polisi ini inisiatif dari perintah pemimpin kepolisian di tingkat daerah ataupun pusat, yang ingin menunjukkan keberanian dalam bertindak, sebagaimana isyarat dari kriteria pemimpin Polri yang dikehendaki Presiden, yaitu berani, tegas dan tidak takut kehilangan jabatan? Sayangnya keberanian ini disalahtafsirkan dan justru jadi blunder, karena berisiko menjadi berlebihan. Keganjilan inilah yang menyebabkan munculnya tudingan sinis dan keras kepada kepolisian sebagai institusi negara. Peristiwa penembakan terhadap orang sipil yang menghilangkan nyawa enam anggota FPI tersebut dianggap merupakan bentuk kekerasan negara terhadap warga negara, serta dikategorikan sebagai kejahatan melawan kemanusiaan (crime against humanity), serta pelanggaran HAM berat. Tindakan kekerasan dengan menggunakan senjata api oleh petugas kepolisian bukanlah tanpa dasar regulasi yang ketat, Pada masa masa sebelumnya, tindakan kepolisian di lapangan secara terukur dan konsisten harus merujuk pada prinsip kepatutan dan proporsionalitas, setidaknya berdasarkan Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri dan Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan. Ketika itu Kapolri Tito Karnavian yang mengarsiteki terbangunnya Kepolisian RI yang promoter (profesional, modern, dan terpercaya) tidak memberikan ruang terjadinya peristiwa konyol seperti ini. Polisi yang profesional tidak mungkin melakukan penembakan terhadap warga sipil yang tidak setara dengan pelanggaran hukum yang dilakukannya. Apalagi hingga menghilangkan nyawa warga negara secara sia-sia. Jika ini terjadi maka tidak ada alasan pembenarnya. Aparat kepolisian dibolehkan menggunakan senjata api hanya terhadap mereka yang memiliki bukti cukup telah melakukan kejahatan berat dan melakukan perlawanan ketika hendak ditangkap, hingga dinilai membahayakan nyawa petugas. Itupun harus melewati prosedur baku sebelum bertindak: yakni petugas harus menunjukkan identitasnya, memberikan peringatan, memberikan waktu kepada tersangka untuk menyerah, dan jika melawan barulah diberikan tembakan peringatan. Dengan semua pertimbangan tersebut, maka patutlah untuk segera diungkap bagaimana sebenarnya kondisi riil yang terjadi di balik peristiwa penembakan terhadap keenam warga sipil anggota Laskar FPI pada 7 Desember kelabu tersebut. Tim independen perlu segera dibentuk dan mulai bekerja sejak sekarang. Dunia kini sedang menyoroti negeri ini. Jangan sampai negeri kita dilabeli sebagai bangsa yang seenaknya merampas hak hidup warga negaranya.*** Penulis adalah praktisi hukum.
Semua Menteri Harus Dicurigai Sebagai Koruptor
by Asyari Usman Medan FNN - Selasa (08/12). Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) mengatakan pada 27 November 2020 terkait penangkapan Edhy Prabowo, bahwa tidak semua orang jelek. Menurut Luhut, Edhy itu orang baik. Menko meminta agar KPK tidak berlebihan. Berlebihan? Di mana KPK berlebihan? Lembaga musuh koruptor ini hanya menjalankan tugas pokok mereka. Tidak ada yang berlebihan. Bahkan, KPK melewatkan banyak kesempatan untuk menangkap koruptor. Kita tidak tahu entah sudah berapa puluh orang pejabat yang lolos dari OTT KPK sejak lembaga ini dimandulkan oleh perubahan UU tentang KPK yang disetujui bersama oleh DPR dan Presiden Jokowi. Tapi, sudahlah. Sekarang KPK berusaha kembali bekerja. Kembali menjalankan fungsinya. Semoga sungguh-sungguh telah dilepaskan dari kerangkengnya. Semoga juga bukan karena ‘politcal game’. Mari kita lihat apa arti penangkapan dua menteri Jokowi lewat OTT dalam rentang 10 hari. Edhy Prabowo (menteri kelautan) ditangkap pada 25 November 2020 dan Juliari Batubara (menteri sosial) diberi rompi oranye pada 5 Desember 2020. Dari penangkapan ini, ke mana pandangan harus diarahkan? Apa saja yang semestinya dilakukan oleh Presiden? Tidak sulit mencari makna penangkapan kedua menteri itu. Hanya ada satu tafsiran OTT kedua menteri tsb. Bahwa dari kedua OTT ini, Presiden Jokowi harus mencurigai semua anggota kabinetnya sebagai pelaku korupsi. Sebagai koruptor. Sekali lagi: harus mencurigai. Tak peduli apakah dia Menko, menteri, atau pejabat setingkat menteri. Tanpa kecuali. Dari latar belakang apa pun mereka. Mengapa semua mereka wajar dan harus dicurigai sebagai koruptor? Karena selama ini, selain dua menteri yang ditangkap itu, ada sekian menteri atau pejabat setingkat menteri yang terindikasi melakukan tindak pidana korupsi. Tempo hari ada Lukman Hakim Saifuddin (sewaktu menjabat sebagai menteri agama 2014-2019) yang dilaci kerjanya ditemukan uang tunai senilai 600 juta rupiah ketika KPK, pada 18 Maret 2019, melakukan penggeledahan di kantor Lukman terkait kasus jual-beli jabatan di lingkungan Kemenag. Entah mengapa, Lukman akhirnya lolos dari jerat KPK. Ada pula kasus “Buku Merah”. Yaitu, kasus korupsi (sekitar Oktober 2018) yang diduga kuat melibatkan seorang pejabat tinggi setingkat menteri. Kasus ini sempat menimbulkan kericuhan di KPK karena “Buku Merah”, sebagai barang bukti, patut diduga telah dirusak oleh dua penyidik KPK yang berasal dari Polri. “Buku Merah” adalah buku berisi catatan yang berkaitan dengan perkara suap Basuki Hariman –seorang pengusaha daging. Basuki divonis menyuap mantan hakim konstitusi Patrialis Akbar. Skandal “Buku Merah” akhirnya ditutup oleh Kepolisian. Tapi, waktu itu kuat sekali dugaan keterlibatan orang yang sangat tinggi di Polri. Seterusnya, belum lama ini Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin nyaris terseret masuk ke kasus suap yang dilakukan oleh pengusaha terpidana korupsi, Joko Tjandra (JT). Joko diduga memberikan sogok kepada para pejabat Kejaksaan Agung (Kejakgung) dalam upaya untuk mendapatkan fatwa bebas dari Mahkamah Agung (MA). Sekarang ini masih berlangsung persidangan Jaksa Pinangki Sirna Malasari (PSM). Dia ini disebut-sebut memiliki kedekatan dengan ST Burhanuddin. Ada proposal yang disebut ‘action plan’ sebesar 140 miliar untuk mendapatkan fatwa pembebasan JT. Joko menyatakan kesediaannya menandatangani kontrak ‘action plan’ itu dengan Jaksa Pinangki. Untuk mendapatkan fatwa dari MA itu, mustahil bisa dilakukan oleh Pinangki sendirian. Sebab, diperlukan semacam rekomendasi dari Jaksa Agung. Saat ini, dakwaan jaksa PU terhadap Pinangki direduksi agar tertuju hanya kepada Pinangki saja. Seolah pemangkasan atau pembonsaian dakwaan itu dilakukan untuk melindungi orang-orang besar di Kejakgung. Dalam babak fatwa 140 miliar ini, sangat patut diduga adanya peranan Jaksa Agung ST Burhanuddin. Sebab, sekali lagi, mustahil secara administratif dan struktural Jaksa Pinangki bisa mendapatkan fatwa pembebasan JT dari Ketua MA. Pada periode pertama, dua menteri Jokowi ditangkap KPK karena melakukan korupsi. Mereka dihukum penjara. Keduanya adalah Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi dan Menteri Sosial Idrus Marham kabinet 2014-2019. Jadi, ada empat menteri tertangkap melakukan korupsi dalam 6 tahun belakangan. Pantas diambil sebagai pelajaran besar. Mereka menjadi simbol yang sangat memalukan bagi Jokowi. Sebagai usul saja, sebelum tertangkap lagi menteri-menteri lain, ada baiknya Jokowi melakukan terapi preventif. Cek ulang saja mereka semuanya. Bebas atau tidak dari virus korupsi. Agar virus jahat itu tidak sampai masuk ke ruang kerja Presiden.[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)
Korupsi Bansos, Pengkhianatan Terhadap Rakyat Indonesia
by Tjahja Gunawan Jakarta FNN - Selasa (08/12). Praktek korupsi pada periode kedua Jokowi sebagai Presiden, sangat merajalela. Betapa tidak, dalam waktu dua minggu, ada dua menteri bawahan Jokowi yang terjerat kasus korupsi. Yakni Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan Menteri Sosial Juliari Batubara. Keduanya telah dijadikan tersangka dan ditahan KPK . Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dari Partai Gerindra, ditangkap pada Kamis 25 November 2020. Dari hasil penyidikan KPK, Edhy Prabowo diduga menerima suap Rp 3,4 miliar dan uang sebesar 1.000 Dollar AS (Rp 1,4 miliar) terkait izin ekspor untuk benih lobster. Sedangkan Mensos Juliari Peter Batubara dari PDI Perjuangan, menjadi tersangka korupsi program bantuan sosial penanganan virus corona (Covid-19). Dalam kasus tersebut, KPK juga menetapkan 4 orang lainnya sebagai tersangka. Dari OTT ini, KPK menemukan uang dengan sejumlah pecahan mata uang asing. Masing-masing yakni sekitar Rp 11,9 miliar, sekitar 171.085 dollar AS, dan sekitar 23.000 dollar Singapura. Ini benar-benar sangat melukai hati rakyat. Di saat rakyat hidup prihatin akibat krisis ekonomi dan pandemi Covid-19, Mensos malah menyalahgunakan bantuan sosial. Na'udzubillah mindzalik. Jika ada bawahan yang tersangkut kasus pidana (korupsi) maka secara moral atasannyalah yang seharusnya bertanggung jawab. Oleh karena itu, Presiden Jokowi seharusnya bertanggungjawab atas praktek korupsi yang dilakukan menterinya. Bukan malah justru lepas tangan dengan berdalih menyerahkan sepenuhnya kasus korupsi tersebut kepada KPK. Di era rezim Jokowi ini, jumlah menteri sebanyak 34 orang. Kalau ditambah dengan Wakil Menteri dan pejabat sekelas menteri jumlahnya 43 orang. Sangat boleh jadi kasus dua menteri yang diciduk KPK ini, hanyalah puncak gunung es korupsi di negeri ini. Hal itu membuktikan bahwa Revolusi Mental yang digembar gemborkan Jokowi sejak tàhun 2014 telah gagal, karena korupsi masih merajalela di jajaran pemerintahan. Di saat rakyat menderita karena Covid19, justru dana bansos yang menjadi hak rakyat dikorupsi pejabat. Ini sungguh pengkhianatan besar terhadap rakyat Indonesia. Jika Presiden Jokowi cuci tangan atas ulah para menterinya yang melakukan korupsi, maka tinggal menunggu waktu terjadinya akumulasi kemarahan masyarakat terhadap rezim penguasa saat ini. Saat ini banyak masyarakat yang merasakan penderitaan ekonomi dan korban ketidakadilan. Kini keadaan situasi psikologis masyarakat sudah bagaikan api dalam sekam. Suatu saat nanti akan meledak. Masyarakat diperkirakan akan melampiaskan kekecewaan mereka terhadap para menteri yang korupsi melalui ajang Pilkada yang akan berlangsung secara serentak pada 9 Desember 2020. Calon-calon kepala daerah yang diusung oleh parpol dua menteri yang korup tersebut, diperkirakan akan jeblok dalam Pilkada nanti. Sulit bagi Partai Gerindra dan PDIP untuk dapat menyelamatkan para calon kepala daerahnya yang akan berkompetisi dalam Pilkada. Itu merupakan sesuatu yang wajar sebab kasus korupsi Bansos ini, menambah luka dan derita rakyat. Secara keseluruhan dana yang dialokasikan pemerintah untuk program penanganan Covid19 sebesar Rp 677 triyun. Alokasi angggaran Covid 19 ini terus bertambah. Bahkan Menkeu Sri Mulyani sebagaimana diberitakan CNN Indonesia 19 Juni 2020, menyebutkan program penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional diperkirakan memakan biaya sebesar Rp 905,1 triliun. Dana sebesar itu harus bisa dipantau oleh lembaga hukum dan institusi audit yang independen dan kredibel. Hal itu dilakukan untuk mencegah kemungkinan terjadinya penyelewengan seperti yang dilakukan oleh Mensos dan oknum pejabat di Kemensos.Sekali lagi, pengawasan terhadapdana besar yang dialokasikanuntuk penanggulangan Covid 19, perlu dilakukan karena berpotensi untuk dikorupsi. Apalagi dengan adanya Peraturan Presiden Pengganti Undang-undang (Perppu) yang kemudian berubah jadi UU No2 Tahun 2020, tentang penanggulangan Covid 19, dana tersebut bisa menjadi ajang korupsi bersama yang dilakukan oknum pejabat pemerintah dan swasta. Betapa tidak, UU tersebut memberi kewenangan penuhkepada pihak pemerintah untuk menyusun anggaran dan bahkan memberi imunitas kepada para pejabat tertentu di bidang keuangan untuk tidak boleh digugat. Sebenarnya ini membuka peluang terjadinya korupsi. Alih-alih menyelamatkan rakyat dari pandemi Covid19, uang rakyat justru dikorupsi. Sebenarnya pada Maret 2020 lalu atau pada awal bencana Covid 19 merebak di Indonesia, Ketua KPK, Firli Bahuri, pernah mengingatkan ancaman pidana mati bagi pihak-pihak yang melakukan korupsi anggaran bencana yang dialokasikan untuk menangani virus corona atau covid-19. Dalam aturan, jelas disebut bahwa orang yang melakukan tindak pidana korupsi saat bencana, maka ancaman hukumannya pidana mati. Sekarang kita tunggu saja pelaksanaan pidana mati terhadap pihak-pihak yang terbukti telah mengkorupsi angggaran untuk penanganan Covid19. Jika itu terjadi, akan menjadi preseden baik bagi penegakan hukum di Tanah Air yang selama ini tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Wallohu a'lam bhisawab. Penulis, wartawan senior FNN.co.id
Kematian 6 Orang Anggota FPI, Polisi Harus Bertanggungjawab
by Sugito Atmo Pawiro Jakarta FNN - Senin (07/12). Kepolisian RI jelas harus memikul tanggungjwab hukum terhadap peristiwa penembakan hingga menewaskan 6 (enam) orang anggota Laskar FPI yang mengawal Imam Besar FPI Habib Riziq Shihab (HRS) dalam perjalanannya bersama keluarga, di KM 50 Tol Cikampek, dinihari (Senin, 7 Desember 2020). Menyusul peristiwa kelabu ini, sebuah rekayasa cerita tiba-tiba dipertontonkan kepada publik oleh Kapolda Metro Jaya, Irjen Fadil Imran, bahwa seolah-olah polisi terpaksa membela diri dengan menembak keenam pengawal HRS yang menyerang lebih dahulu dengan tembakan senjata api. Alibi yang dibangun polisi itu menjadi sebuah ilusi. Pertama, untuk apa aparat kepolisian berada dalam iringan rombongan HRS dan keluarga yang sedang dalam perjalanan menuju suatu tempat di Karawang dan sekitarnya untuk menjalankan acara dakwah pada Senin Subuh itu. Bukankah tidak ada urgensi dan kepentingan aparat kepolisian untuk berada di antara iringan kendaraan HRS dan keluarga yang akan menjalankan ibadah Sholat Subuh berjamaah, dini hari tadi?. Jika begitu berarti tidak ada sesuatu yang kebetulan dalam peristiwa ini. Jelaslah betul ada aktivitas tertentu dalam bentuk semacam operasi khusus yang senyap dari aparat kepolisian untuk menguntit HRS, keluarga dan rombongannya. Sebuah agenda kegiatan dari aparatur negara yang mengingkari kebebasan asasi warga negara. Penembakan terhadap keenam anggota Laskar FPI yang mengawal HRS dan keluarga adalah puncak kekonyolan dalam operasi yang tidak memiliki manfaatnya bagi negara ini. Kedua, cara-cara yang dilakukan kepolisian ini bersifat terencana, sistematis dan berkesinambungan untuk mengikuti setiap gerak perjalanan dan aktivitas HRS sejak kepulangannya ke Indonesia awal bulan lalu. Tampaknya aparat kepolisian mendapatkan perintah khusus untuk mencari cela agar menimbulkan sebuah peristiwa yang dapat membuat surut kiprah HRS. Peristiwa tewasnya keenam pengawal HRS sebagai puncak dari kegiatan operasi kepolisian yang melampaui batas dan kepatutan hukum. Ketiga, adalah mustahil keenam pengawal HRS melakukan penyerangan lebih dahulu terhadap petugas kepolisian, oleh karena fokus kerja keenam anggota Laskar FPI adalah pengawalan kepada HRS dan keluarga, dan bukannya untuk menyerang orang lain. Selain itu tidak ada seorang pun anggota Laskar FPI yang mengawal HRS dan keluarga menggunakan senjata api. Perlu ditegaskan bahwa rombongan HRS dalam perjalanan di KM 50 Tol Cikampek tersebut tidak dapat melakukan identifikasi terhadap aparat kepolisian di antara rombongan di jalan tol Cikampek itu. Dalam dugaan semula, para penembak yang mencegat pengawal HRS adalah orang-orang yang tidak dikenal (OTK). Justru identitas penembak diketahui kemudian sebagai aparat kepolisian setelah mendengar klarifikasi dari Kapolda Metro Jaya. Pelanggaran HAM Berat Penguntitan dan penghadangan terhadap rombongan HRS dan keluarga yang hendak menjalankan aktivitas dakwah dan berbuntut penembakan hingga menewaskan para pengawal yang juga anggota Laskar FPI, untuk sementara, dapat disebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) oleh aparatur negara terhadap warga negara biasa. Suatu tindakan yang tidak patut dan tidak diperlukan dalam upaya pengamanan dan penciptaan ketertiban di masyarakat. Justru kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan aparat kepolisian ini merupakan bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terklasifikasi berat. Pihak kepolisian sejauh ini masih membangun sebuah alibi bahwa anggota FPI yang menyerang aparat kepolisian terlebih dahulu. Pernyataan luas ini menimbulkan kesan bahwa kepolisian yang menembak dan menewaskan keenam anak manusia itu hanyalah cara bela diri oleh aparat negara. Demikian dianggap tidak memiliki implikasi hukum apa pun. Seolah-olah hal keji tersebut dapat dibenarkan demi tegaknya hukum. Padahal pertanyaannya adalah: hukum manakah yang ingin ditegakkan ketika aparat kepolisian berpakaian preman untuk terus menguntit dan menghadang rombongan warga negara yang hendak menjalankan ritual agama dalam perjalanan di jalan bebas hambatan? Untuk membuka kebenaran dalam peristiwa kejahatan melawan kemanusiaan oleh aparat negara terhadap warga negara ini, maka urgensinya saat ini adalah membentuk semacam Tim Pencari Fakta (TPF) guna menemukan fakta sejelas-jelasnya (fact finding) ihwal siapa yang seharusnya bertanggungjawab di muka hukum atas peristiwa kelabu ini. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) harus membentuk TPF ini dari berbagai unsur anggota yang kredibel dan bebas dari anasir politik. Apabila nanti ditemukan fakta bahwa prosedur penembakan terhadap warga negara biasa yang mengawal HRS dalam kegiatan keagamaan itu adalah tidak patut dan menyalahi norma hukum, maka diperlukan Langkah penegakan hukum berdasarkan prinsip equality before the law. Siapa pun memiliki kesamaan di muka hukum, dan jika terang-benderang bersalah, maka harus dimintakan pertanggungjawabannya di muka hukum. Siapa pun berhak memperdebatkan kiprah HRS dan FPI dalam pro dan kontra. Akan tetapi tidak ada alasan hukum yang dapat membenarkan kesewenang-wenangan negara untuk membunuh warga negara mana pun. Untuk itu marilah kita ungkap kebenaran.*** Penulis adalah Ketua Bantuan Hukum FPI.
Buntut Penembakan Laskar FPI, Presiden Jokowi Didesak Copot Kapolri dan Kabaintelkam Polri
by Neta S. Pane Jakarta FNN - Senin (07/12). Presiden Jokowi harus segera mencopot Kapolri Jenderal Idham Azis dan Kabaintelkam Polri Komjen Rycko Amelza, sehubungan terjadinya kasus penembakan yang menewaskan enam anggota FPI di Tol Cikampek, Jawa Barat pada Senin 7 Des 2020 subuh. Selain itu, Indonesia Police Watch (IPW) mendesak agar segera dibentuk Tim Pencari Fakta Independen untuk mengungkapkan, apa yg terjadi sebenarnya. Sebab antara versi Polri dan versi FPI sangat jauh berbeda penjelasannya. Polri mengatakan, anggotanya ditembak Laskar Khusus FPI yang mengawal Rizieq. Apakah benar bahwa Laskar PFI itu membawa senjata dan menembak polisi? Agar kasus ini terang benderang anggota Polri yg terlibat perlu diamankan terlebihdahulu untuk dilakukan pemeriksaan. Sebab menurut Siaran Pers FPI, rombongan Rizieq lah yang lebih dulu dihadangan sekelompok orang yang berpakaian sipil, sehingga mereka menduga akan dirampok orang tak dikenal di jalan tol. Dalam kasus Cikampek ini muncul sejumlah pertanyaan. Pertama, jika benar FPI mempunyai laskar khusus yang bersenjata, kenapa Baintelkam tidak tahu dan tidak melakukan deteksi dan antisipasi dini serta tidak melakukan operasi persuasif untuk "melumpuhkannya". Kedua, apakah penghadangan terhadap rombongan Rizieq di KM 50 Tol Cikampek arah Karawang Timur itu sudah sesuai SOP, mengingat polisi penghadang mengenakan mobil dan pakaian preman. Ketiga, jika Polri menyebutkan bahwa anggotanya ditembak lebih dulu oleh Laskar Khusus FPI, berapa jumlah tembakan itu dan adakah bukti bukti, misalnya ada mobil polisi yang terkena tembakan atau proyektil peluru yg tertinggal. Keempat, dimana TKP tewas tertembaknya keenam anggota Laskar Khusus FPI itu karena menurut rilis FPI keenam anggotanya itu diculik bersama mobilnya di jalan tol. Kelima, bahwa keenam anggota FPI yang tewas ditembak itu bukanlah anggota teroris, sehingga polisi wajib melumpuhkannya terlebih dahulu karena polisi lebih terlatih dan polisi bukan algojo tapi pelindung masyarakat. Keenam, jalan tol adalah jalan bebas hambatan sehingga siapa pun yang melakukan penghadangan di jalan tol adalah sebuah pelanggaran hukum, kecuali sipengandara nyata nyata sudah melakukan tindak pidana. Ketujuh, penghadangan yang dilakukan oleh mobil sipil dan orang orang berpakaian preman, patut diduga sebagai pelaku kejahatan di jalan tol, mengingat banyak kasus perampokan yang terjadi di jalanan yang dilakukan orang tak dikenal. Jika polisi melakukan penghadangan seperti ini sama artinya polisi tsb tidak promoter. Dengan tewas tertembaknya keenam anggota FPI itu, yang paling bertanggungjawab dalam kasus ini adalah Kapolri Idham Azis. Tidak promoternya Idham Azis dalam mengantisipasi kasus Rizieq sudah terlihat sejak kedatangan pimpinan FPI itu di Bandara Soetta, yang tidak diantisipasi dengan profesional tapi terbiarkan hingga menimbulkan masalah. Penulis adalah Ketua Presidium Indonesia Police Watch
Penjelasan Polisi Soal Penembakan Laskar FPI Tidak Boleh Menjadi “Putusan Pengadilan”
by Asyari Usman Medan FNN - (Senin 07/12). Penjelasan pihak Polri, dalam hal ini Polda Metro Jaya (PMJ), mengenai insiden penembakan mati enam pengawal Habib Rizieq Syihab (HRS) dipenuhi banyak kejanggalan. Penjelasan itu tidak bisa dianggap sebagai kebenaran dan pembenaran atas penembakan yang menewaskan keenam pengawal tsb. Klarifikasi sepihak Polisi dalam insiden yang menyebabkan begitu banyak nyawa melayang, tidak boleh dijadikan “putusan pengadilan”. Seperti disarankan sejumlah pihak, ada baiknya segera dilakukan misi pencarian fakta independen yang melibatkan Komnas HAM, Kontras, YLBHI, dan pihak-pihak lain yang berkompeten. Jika disimak dengan cermat, banyak yang aneh di dalam rangkaian penjelasan Kepolisian yang disebarluaskan oleh media online. Mari kita telisik hal-hal yang janggal itu dalam klarifikasi yang disampaikan oleh Kapolda Metro Irjenpol Fadil Imran. PARAGRAF PERTAMA"Sekitar pukul 00.30 WIB di jalan Tol Jakarta-Cikampek KM 50 telah terjadi penyerangan terhadap anggota Polri yang sedang melaksanakan tugas penyelidikan terkait rencana pemeriksaan MRS yang dijadwalkan berlangsung hari ini jam 10.00 WIB," jelas Fadil yang didampingi Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman di Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (7/12/2020). Kejanggalan 1: Untuk apa Polisi melakukan penyelidikan di jalan tol tentang rencana pemeriksaan HRS. Kalau pun ada informasi intelijen mengenai massa pendukung HRS akan dikerahkan ke Polda, kenapa rombogan HRS yang sedang berjalan tengah malam itu yang diselidiki. Bukankah polisi seharusnya memburu pengorganisasian massa yang bakal datang ke Mapolda Metro? Kejanggalan 2: Ketika menyampaikan klarifikasi, untuk apa Kapolda Metro harus didampingi oleh Pangdam Jaya Mayjen Dudung Abdurachman? Apa urgensinya? Bukankah insiden itu 100% urusan kepolisian? Polisi bukan sedang mengejar teroris atau anggota separatis. Satu-satunya jawaban untuk kejanggalan ini adalah bahwa Kapolda Fadil Imran merasa perlu “ditemani” oleh seseorang yang dia anggap berposisi kuat dan sekaligus pernah berselisih dengan HRS. Kehadiran Pangdam Jaya sangat politis sifatnya. PARAGRAF KETIGA“Terkait hal tersebut, kami kemudian melakukan penyelidikan kebenaran informasi tersebut. Dan ketika anggota PMJ mengikuti kendaraan yang diduga adalah pengikut MRS, kendaraan petugas dipepet, lalu kemudian diserang dengan menggunakan senjata api dan senjata tajam sebagaimana yang rekan-rekan lihat di depan ini.” Kejanggalan: Laskar FPI dikatakan punya senjata api. Ini tentu menjadi tanda tanya besar. Hampir tidak mungkin mereka memiliki senjata api secara legal. Kalau begitu, FPI memiliki senjata api secara legal? Malah semakin runyam. Masuk akalkah Polisi tak mengetahui senjata ilegal di tangan FPI? Mungkinkah Intelijen kepolisian kecolongan? Tidak bisa mendeteksi senjata ilegal di kalangan FPI? PARAGRAF KEDELAPAN“Selanjutnya kami, saya dan Pangdam Jaya, mengimbau kepada saudara MRS dan pengikutnya untuk tidak menghalang-halangi proses penyidikan. Karena tindakan tersebut adalah tindakan yang melanggar hukum dan dapat dipidana, dan apabila tindakan menghalang-halangi petugas membahayakan keselamatan jiwa petugas, kami, saya, bersama Pangdam Jaya tidak akan ragu untuk melakukan tindakan yang tegas.” Kejanggalan: Kapolda Irjen Fadil Imran kembali “membawa” Pangdam Jaya. Lagi-lagi untuk tujuan apa? Apakah sedang terjadi kerusuhan skala besar sehingga Polisi harus meminta bantuan TNI? Itulah antara lain berbagai kejanggalan di dalam klarifikasi Kapolda Metro. Sementara itu, pihak FPI mengatakan bahwa mereka dihadang dan diserang di jalan tol Cikampek KM-50 oleh orang tak dikenal (OTK) yang ternyata kemudian adalah aparat kepolisian seperti penjelasan Kapolda. Menurut FPI, jangankan membawa senjata api, pentungan saja pun tidak ada mereka bawa. Lembaga pemantau kepolisian, Indonesia Police Watch (IPW), juga meminta agar dilakukan penyelidikan independen untuk menemukan fakta-fakta dalam insiden penambakan mati enam lascar FPI itu. IPW juga menyebutkan banyak kejanggalan dalam peristiwa ini. IPW meminta Presiden Jokowi agar mencopot Kapolri Idham Aziz dan Kabaintelkam Komjen Rycko Amelza. IPW pun ingin mengetahui apakah benar anggota FPI membawa senjata api di dalam insiden ini sebagaimana dijelaskan Kapolda Metro. Ketua Presidium IPW Neta S Pane mempersoalkan penghadang kepolisian yang mengunakan pakaian preman dan mobil tanpa atribut Polri. Ada tujuh aspek yang dipertanyakan oleh Pane. Termasuk penghadangan beratribut sipil yang dilakukan oleh petugas kepolisian di jalan tol. Dia mengatakan, siapa yang melakukan penghadangan dengan tampilan sipil do jalan tol berarti melakukan pelanggaran hukum. Mengingat penembakan keenam laskar FPI itu berpotensi menjadi pelangaran HAM berat, publik menuntut agar Komnas HAM secepatnya turun tangan.[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)
Hukum Mati Mensos, Logika Hukum Firli dan Mahfud MD
by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Senin (07/12). Anda yang berharap Mensos Juliari P Batubara dihukum mati, bersiap-siaplah kecewa. Jangan lupa Anda masih hidup di Indonesia. Presidennya juga masih Jokowi. Partai yang berkuasa juga masih PDIP. Come on. Wake Up! Cobalah lebih menjejak bumi. Harapan yang terlalu melambung tinggi, bisa membuat kita kecewa. Sedih dan depresi. Kalau sudah begitu, imunitas tubuh bakal menurun. Rentan terkena Covid-19. Tambah berat lah beban hidup Anda! Silakan cermati kembali apa yang dikatakan oleh Ketua KPK Firli Bahuri. Dia hanya menyatakan, KPK tengah mendalami penerapan pasal hukuman mati. KPK juga tengah mendalami apakah ada aliran dana ke PDIP. Tolong dicatat! Hanya mendalami ya. Jangan langsung berkesimpulan bahwa KPK akan menerapkan hukuman mati. Jangan pula berkesimpulan PDIP akan dibubarkan karena menerima aliran dana korupsi. Itu namanya kesimpulan yang terlampau jauh. Jumping to conclusions. Nggege mongso, kata orang Jawa. Hiduplah dalam kenyataan. KPK hanya menerapkan pasal 12 dan 11 UU No 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana sudah diubah menjadi UU No 20 Tahun 2001. Dalam pasal 12 disebutkan, seorang penyelenggara negara yang menerima gratifikasi, ancaman hukumannya dipidana seumur hidup, paling singkat 4 tahun, dan paling lama 20 tahun. Sementara dendanya paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. Bagaimana dengan pasal 11? Nah ini lebih asyik lagi. Ancaman hukumannya paling singkat 1 tahun. Paling lama 5 tahun. Dendanya paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta. Hukuman mati diatur dalam pasal 2. Tapi ada syaratnya. Dalam ayat 1 dinyatakan: Setiap orang yang secara melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara, atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun. Denda paling sedikit Rp. 200 juta dan paling banyak Rp. 1 Milyar. Ayat 2, dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Dalam keadaan tertentu ini bersifat interpretatif. Pemerintah menafsirkan bahwa keadaan tertentu itu adalah bencana alam. Sementara Covid-19 bencana non alam. Benar bahwa Firli tidak secara tegas menyebut Covid-19 bencana non alam. Tapi berbagai pernyataannya terkesan ambigu. Ketika berbicara di Komisi 3 DPR RI Firli menyatakan, pelaku korupsi dana Covid-19 bisa dihukum mati. Begitu juga ketika berbicara dalam wawancara di sejumlah media. Sekarang dia mencoba mencari jalan aman. Mengambangkannya dengan kata “tengah mendalami.” Soal dalam atau tidak dalamnya, lain lagi urusannya. Yang penting tekanan publik bisa diredam. Firli saat ini tengah menikmati “kesuksesan” KPK menangkap dua orang menteri. Fakta itu setidaknya bisa meredam sikap skeptis publik terhadap KPK, di bawah kepemimpinannya. Firli sekarang mengambil alih peran. Dia langsung tampil dalam setiap jumpa pers mengenai OTT Mensos. Sebelumnya ketika OTT Menteri Kelautan cukup diserahkan ke wakilnya. Dia tengah menikmati sorotan kamera. Sambil berhitung-hitung jangan sampai menggigit tulang yang terlalu keras. Bagi Firli —bukan bagi penyidik ya— beberapa OTT ini semacam lucky blow, pukulan keberuntungan dalam tinju. Dia mencoba memanfaatkan second wind, semangat baru setelah sebelumnya limbung terkena hook keras berbagai kasus pribadinya. Syukur kalau dia bisa membuat lompatan kodok karirnya karena "sukses" memimpin KPK. Mahfud dukung Firli Bagaimana dengan Menko Polhukam Mahfud MD? Menurutnya, syarat yang dimaksud dalam undang-undang sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat 2 UU Tipikor ialah negara dalam keadaan bahaya. Saat ini tak ada negara yang dinyatakan dalam keadaan bahaya. Covid-19, kata Mahfud MD, tidak termasuk dalam bencana alam. Walaupun begitu dia tidak membantah dampak Covid-19 ini lebih besar daripada bencana alam nasional. Mahfud menyatakan Indonesia juga tidak sedang mengalami krisis ekonomi, melainkan resesi. "Yang dinyatakan resesi itu tidak sama dengan krisis ekonomi. Resesi itu adalah manakala pertumbuhan ekonomi kita minus dua kuartal berturu-turut, itu resesi namanya," ujarnya. Berdasarkan penjelasan itu, Mahfud menilai Ketua KPK Firli Bahuri saat ini sulit menemukan kaitan antara syarat-syarat dalam UU Tipikor dengan kasus yang menjerat Juliari Batubara. Penjelasan Mahfud MD harus dilihat dalam posisinya sebagai Menko Polhukam. Bukan pakar hukum. Itu adalah sikap resmi dari pemerintahan Jokowi. Pernyataan itu merupakan signal sekaligus dukungan karena Firli telah “berada di jalan yang benar.” Tidak menerapkan hukuman mati. Signal itu juga harus ditangkap oleh lembaga penegak hukum lainnya, dalam hal ini hakim di pengadilan Tipikor. Ada alternatif hukuman paling berat dan paling ringan. Bisa diambil jalan tengah. Untuk meredam kemarahan publik jangan dihukum terlalu ringan. Tapi juga jangan terlalu berat. Yang sedang-sedang saja. Toh nanti bisa banding ke pengadilan tinggi. Kasasi atau peninjauan kembali (KPK) di Mahkamah Agung. Setelah itu, jangan lupa ada potong masa tahanan berupa remisi, asimilasi, dan kalau perlu……. grasi. Sampai di sini paham khan? Ah jangan terlalu sering bermimpi lah. Apalagi mimpi yang indah! Anda masih hidup di Indonesia Bro! Bangun…..bangun!!!! EndPenulis wartawan senior FNN.co.id
Siapa Menteri Ketiga Diambil KPK?
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Ahad (06/12). Setelah Menteri Kelautan dan Perikanan Eddy Prabowo, salah satu kader terbaik Partai Gerindra terjerat korupsi benih lobster (benur), kini giliran Menteri Sosial Juliari Peter Batubara, salah satu kader terbaik dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketam Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dikabarakan marah-marah atas kelakuan “anak selokan" terbaik binaannya. Entah dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Apakah juga ikut marah-marah atau seperti Prabowo terhadap Edhy Prabowo, atau tidak atas kerjaan dan kelakuan Wakil Bendahara Umum PDIP ini. Marah-marah itu bisa karena mencemarkan nama baik pribadi Ketum atau partai. Namun bisa juga karena cara kerja mencuri yang kok bisa ketahuan. Apapun itu, ketika awal ramai penyusunan Kabinet Pemerintahan Jokowi, partai-partai berlomba untuk menempatkan kadernya di posisi-posisi yang dianggap basah, penting dan strategis. Pertengkaran antar koalisi kadang hanya disebabkan memperebutkan posisi basah dan kering seperti ini. Setelah Menteri dari Gerindra dan PDIP terjerat korupsi, timbul pertanyaan kader partai mana lagi yang menjadi target berikutnya dari KPK. Pertanyaan aneh, tetapi wajar saja sebab semua juga tahu bahwa kader-kader partai yang ditempatkan pada jabatan-jabatan pemerintahan, baik di Kementrian maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak dapat dipisahkan dari misi partai, baik pengaruh maupun untuk pengisi kas partai. Presiden Jokowi tentu saja tidak tuli dan buta pada kepentingan partai. Terutama melalui pembagian jabatan di pemerintahan. Jadi, logisnya Presiden mampu memainkan ritme dan fluktuasi politik di lingkungan internal pemerintahan. Kejaksaan Agung atau KPK bukan barang yang steril. Toh, Dewan Pengawas KPK bisa menjadi jembatan komunikasi yang bagus dengan pusat kekuasaan. Maknya publik mungkin ragu, jika tertangkapnya dua menteri Edhy Prabowo dan Juliari Peter Batubara adalah kejutan bagi Presiden Jokowi. Keraguan yang wajar-wajar saja. Dua partai yang juga potensial untuk diredam oleh aksi KPK berikutnya yaitu Partai Golkar dan Nasdem. Kedua partai ini mulai "nakal". Nasdem mulai aktif mendekati Anies Baswedan yang selama ini menjadi "musuh utama istana". Sedangkan Golkar, disamping tidak dukung prolegnas RUU HIP, juga memiliki tapak pada Jusuf Kalla (JK) yang membuat poros politik baru JK-Surya Paloh-Anies-HRS. JK adalah sesepuh dan mantan Ketum Partai Golkar. Untuk satu tahap, Jokowi dapat sukses menekan dan meredam KPK. Tetapi kondisi ini dapat menjadi api dalam sekam. Jika partai-partai pendukung mulai gerah karena kader-kadernya digoyang terus, maka pemerintahan Jokowi akan menjadi "tidak lagi berpartai". Kondisi akan rawan pula untuk digoyahkan ke depan. Secara politik terbuka ruang balas dendam. Dua Menteri dihajar korupsi suap. Apakah suap model seperti ini hanya dilakukan dua Menteri itu saja? Patut diduga tidak mungkin. Perlu dilakukan pengusutan yang menyeluruh. Pesiden harus meminta KPK, baik langsung maupun melalui Dewan Pengawas untuk bekerja keras seobyektif mungkin. Akan tetapi sebenarnya persoalan berat yang dihadapi adalah apakah Presiden juga bersih? Kini kita tunggu saja siapa menteri ketiga yang telah masuk agenda "permainan" bongkar-bongkar borok demi kepentingan politik ini? Satu catatan terpenting adalah bahwa pertarungan internal telah dimulai.Ke arah mana angin akan berhembus? Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.