NASIONAL

Tragedi Kanjuruhan Diatasi dengan Pendekatan Proyek

Oleh: Tjahja Gunawan - Wartawan Senior FNN  IBARAT orang sakit kepala tapi dokternya memberi obat sakit perut. Jika pun ada yang demikian, dapat dipastikan itu dokter abal-abal alias palsu. Analogi ini sepertinya tepat untuk menggambarkan pilihan kebijakan yang diambil Presiden Jokowi dalam menyikapi terjadinya tragedi kemanusiaan di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang pada tanggal 1 Oktober 2022. Sudah sangat jelas bahwa penyebab utama tewasnya 132 penonton dalam tragedi itu akibat tembakan gas air mata oleh aparat kepolisian, tapi Presiden Jokowi justru membuat keputusan aneh dan di luar nalar sehat yakni memerintahkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk membongkar Kanjuruhan Malang dan membangun stadion baru. Untuk membenarkan keputusannya tersebut, Jokowi sengaja mengundang Presiden FIFA Gianni Infantino ke Istana Merdeka Jakarta. Walaupun sebenarnya FIFA juga memahami bahwa penggunaan gas air mata dilarang dalam menangani keributan dalam pertandingan sepak bola dimanapun. FIFA dalam Stadium Safety and Security Regulation Pasal 19 menegaskan bahwa penggunaan gas air mata dan senjata api dilarang untuk mengamankan massa dalam stadion. Sementara itu akibat penggunaan gas air mata  yang tidak sesuai prosedur, mengakibatkan suporter di tribun stadion Kanjuruhan Malang satu sama lain saling berdesakan mencari pintu keluar, sesak nafas, pingsan dan akhirnya saling bertabrakan. Hal tersebut diperparah dengan over kapasitas stadion dan pertandingan big match yang dilakukan pada malam hari. Itu loh Pak Presiden akar persoalannya!  Kenapa jalan keluarnya justru stadionnya yang dirobohkan ? Supaya ada proyek baru ? Sehingga dengan begitu nanti stadion lain yang belum memenuhi standar FIFA juga bisa dirobohkan dan dibangun baru lagi. Lalu dana untuk membongkar dan membangun stadion baru dari mana? Bukankah sekarang ada masalah urgent yang perlu segera ditangani pemerintah, misalnya  mengatasi jalan dan jembatan yang terputus akibat longsor dan hujan deras di berbagai akhir-akhir ini ? Kenapa cara berpikir seorang presiden selalu proyek dan proyek terus ya? Dulu Diresmikan Megawati Seharusnya menjelang berakhirnya masa jabatan sebagai Presiden, Jokowi bisa meninggalkan legacy bagi masyarakat Indonesia. Bukan malah justru mewariskan beragam persoalan bagi generasi mendatang. Jika kilas balik ke belakang, stadion Kanjuruhan, ternyata  diresmikan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 9 Juni 2004. Stadion tersebut dibangun sejak tahun 1997 dengan biaya lebih dari Rp 35 miliar.  Ketika Jokowi pergi ke Malang untuk mencari akar persoalan tragedi kemanusiaan di Kanjuruhan, sejak awal dia sudah \"menyalahkan\" pintu stadion yang kecil dan sebagian terkunci serta tangga stadion yang curam. Luar biasa seorang Presiden sudah seperti mandor proyek saja. Sekali kunjungan langsung bisa menyimpulkan penyebab tragedi kemanusiaan itu semata masalah teknis.  Lalu untuk apa dibentuk Tim Independen Gabungan Pencari Fakta (TIGF) yang dipimpin Menko Polhukam Mahfud MD dengan wakilnya Menpora dimana para anggotanya terdiri dari berbagai unsur masyarakat yang independen. Dan hasil temuan TIGPF sebenarnya sudah cukup obyektif dan telah memenuhi harapan masyarakat terutama para pecinta sepak bola. ****

Terbongkar: Ada Tim Spesialis Perusak CCTV di KM 50, Duren Tiga, dan Kanjuruhan

KABAR mengejutkan datang dari Tim Gabungan Independen Pencari Fakta atau TGIPF yang mengungkap berbagai temuan soal CCTV yang merekam Tragedi Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, menyusul tewasnya 133 penonton Aremania. Salah satunya adalah adanya rekaman CCTV selama 3 jam saat kejadian yang sudah dihapus. Rekaman yang dihapus yaitu setelah pertandingan Arema FC melawan Persebaya pada 1 Oktober 2022. Usai pertandingan yang berakhir dengan skor 3 : 2 untuk Persebaya, penonton turun ke stadion, dan rangkaian Baracuda melakukan evakuasi terhadap tim Persebaya. “Dapat terekam melalui CCTV yang berada di Lobby Utama dan Area Parkir,” demikian tertuang dalam dokumen TGIPF Kanjuruhan yang sudah dilaporkan kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada 14 Oktober. Rekaman CCTV tersebut mulai dari pukul 22.21.30 dapat merekam peristiwa dengan durasi selama 1 jam 21 menit. “Selanjutnya rekaman hilang (dihapus) selama 3 jam, 21 menit, 54 detik,” tulis dokumen TGIPF. Rekaman baru muncul kembali kemudian, selama 15 menit saja. Walhasil, hilangnya durasi rekaman CCTV ini menyulitkan atau menghambat tugas tim TGIPF untuk mengetahui fakta yang sebenarnya terjadi. Sehingga, TGIPF melaporkan bahwa mereka sedang berupaya untuk meminta rekaman lengkap ke Mabes Polri. Penghilangan (penghapusan) petunjuk rekaman CCTV di Stadion Kanjuruhan ini mengingatkan kembali “hilangnya” CCTV saat menjelang tewasnya 6 laskar Front Pembela Islam (FPI). Belakangan terungkap di persidangan Ferdy Sambo, tim JPU menyebut, nama Tim CCTV yang menghapus CCTV di rumah dinas Duren Tiga, sama dengan Tim CCTV KM 50 Tol Jakarta-Cikampek. Tak hanya itu. Sepertinya, penghilangan TKP KM 50 juga akan dilakukan atas Stadion Kanjuruhan. Konfirmasi soal ini sudah disampaikan Presiden Joko Widodo, dengan alasan disesuaikan dengan standar FIFA. Pengamat politik Rocky Gerung membahas soal ini dengan wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam Kanal Rocky Gerung Official, Selasa (18/10/2022). Halo halo, apa kabar Anda semua. Semoga selalu dalam keadaan sehat walafiat. Ketemu kita di hari Selasa. Hari selasanya cerah ini karena melihat situasi politik  Indonesia yang makin dinamis. Saya memakai bahasa yang netral, makin dinamis. Ya, di luar cerah. Saya lagi di Denpasar karena mau kasih kuliah umum di Universitas Udayana. Serius nih, Anda bisa masuk di Udayana sekarang? Luhut effect. Jadi, mahasiswa sekarang merasa sudah cukup berani karena mengundang saya, Faisal Basri, dan Zainal Arifin. Dan, itu sebetulnya kan pikiran-pikiran yang pasti menghajar Jokowi lagi atau pemerintahan. Tapi, kita mau uji apakah kampus itu bisa memulihkan keyakinan bahwa poin akademis, pikiran akademis, tidak boleh dihambat oleh kepentingan politik. Mudah-mudahan. Tetapi, yang ingin kita melihat sekarang adalah peristiwa-peristiwa politik yang susul-menyusul. Betul tadi dinamis sekali tuh. Anies (Baswedan) mulai dipertanyakan ini mau continuity atau mau change sebetulnya. Oke. Kalau nggak salah sebulan yang lalu, Anda masih di tetangganya Bali sedikit, di Mataram Anda masih dicekal di kampus Universitas Mataram. Sekarang Anda sudah bicara di tengah kabinet dan di depan riil presiden gitu, jadi rupanya sekarang orang loh kalau di depannya Pak Luhut saja bisa bicara, kalau Gibran saja datang ke rumah, masa kampus enggak boleh. Gitu kira-kira ya. Betul. Selain persidangan ijazah, persidangan Sambo, macam-macam. Kan mesti ada persidangan akademis memang tempat orang bersidang akademis. Ngapain ditahan-tahan orang untuk bicara di kampus. Itu intinya tuh. Dan semua juga kampus yang lain melakukan hal yang sama. Demikian juga halnya tunjuk menunjuk Rektor, macam-macam itu, hilangin-lah. Rektor, semua calon pemimpin bisa diuji di kampus, mulai dari menguji pimpinan Universitas sendiri tuh. Jadi, money politic mesti dihilangkan. Oke Bung. Ini sekalian kita omongin supaya kalau ada mahasiswa yang mau mahasiswa PTN gitu yang menggunakan Anda enggak ragu lagi, karena dua pekan yang lalu kalau tidak salah saya dan Anda kan diundang bicara di UNJ, terus saya tanya sama mahasiswa “Ini serius, kalian mengundang saya sama Bung Rocky? Coba tanya rektornya dulu deh. Nggak lama kemudian dia bilang, oke, rektor setuju Pak Hersu, nggak ada masalah. Pemulihan politik memang mulai dari pemulihan akal sehat. Bung Rocky, kita ngomongin yang saya kira fokus publik kemarin bagaimana kepolisian kemarin sudah mulai berlangsung sidang dari Ferdy Sambo. Dan orang mencermati dengan jelas bagaimana bukan hanya konstruksi hukum, bahkan sampai gestur tubuhnya, pakaian yang digunakan, dan sebagainya itu diperhatikan orang. Itu artinya apa, memang publik betul-betul masih tetap mengawal apakah betul sudah ada keseriusan dari kepolisian untuk berubah setelah kemarin dipanggil, dimarahi oleh Pak Jokowi selama 15 menit. Ya betul. Dan efek yang bagus dari Pak Jokowi akhirnya diperlihatkan bahwa delegitimasi di dalam kepolisian itu berlangsung drastis. Walau Pak Jokowi di ujungnya itu masih memberi sinyal otoriter itu, hajar, tegas, segala macem. Presiden boleh kasih perintah melalui saluran institusi, bukan di depan publik meminta polisi untuk tegas dan dengan bahasa yang dihubungkan dengan pidato Pak Jokowi beberapa tahun lalu, bulan lalu, hajar mereka, kalau bisa door kalau sesuai dengan hukum. Itu dengan wajah yang pada akhirnya orang sambungkan, ya tidak begitu demokrasi. Demokrasi itu menuntut percakapan. Kalau bisa percakapan ngapain pakai senjata kan? Itu soalnya. Jadi, sekali lagi, ini persidangan-persidangan ini juga akan dipakai untuk memulihkan yang kita sebut akal sehat berpolitik. Nggak boleh ada saling mengintai lewat CCTV lalu kalau ternyata yang kena adalah bagian yang bisa jadi opini publik lalu disembunyikan CCTV-nya. Padahal CCTV itu dimaksudkan untuk memperjelas perkara, bukan untuk mengaburkan. Ya buat apa dikasih CCTV kalau akhirnya dikaburkan. Ya biarin saja kalau begitu. Jadi, soal-soal semacam itu yang saya…. Ini kemarin Anda menyinggung soal CCTV. Saya kira kalau soal persidangan Sambonya biar proses berjalan dan kemudian kita akan melihat fakta-fakta yang terungkap dan Anda mungkin sudah membaca di media-media lain. Tapi ada angle yang menarik yang tadi Anda sampaikan itu. Ternyata ada benang merahnya ini berkaitan dengan kepolisian. Kemarin terungkap dalam sidang-sidang Sambo bahwa itu sebenarnya tim yang menghancurkan CCTV di rumah dinas Ferdy Sambo itu ternyata sama dengan tim yang mengambil CCTV di KM 50. Itu media-media memberitakan semua seperti itu. Wah, saya jadi terkejut langsung, kita tahu benang merahnya. Tetapi, saya lebih terkejut lagi ketika TGIPF kemudian dalam dokumen yang menyebutkan bahwa CCTV di Stadion Kanjuruhan, di lobi Kanjuruhan, 3 jam lebih itu hilang, ada bagian yang hilang. Dan itu bagian yang sangat penting. Jadi, ini kelihatannya sudah menjadi semacam SOP. Nah, kalau ini baru SOP ini, setiap kali menghilangkan CCTV. Nah, menurut saya, ini sangat serius Bung Rocky. Wah, kalau itu betul-betul jadi SOP, ya dipublikasi dong bahwa polisi sekarang punya tim khusus CCTV gitu. Kan itu bahayanya, karena nanti orang nggak percaya lagi penegakan hukum. Ya, CCTV-CCTV itu kan barang bukti, kenapa dihilangkan? Menghilangkan barang bukti itu kriminal loh. Jadi, bagian-bagian itu juga mesti kita ingatkan bahwa polisi juga bisa diadukan sampai menghilangkan barang bukti. Yang lebih berbahaya, fungsi dari CCTV ini untuk menjelaskan duduk perkara yang itu bisa diedit kembali. Itu yang lebih gila lagi kan. Kalau ternyata edit- mengedit itu didasarkan pada kepentingan untuk menyelamatkan seseorang. Jadi, dalam negara demokrasi kita ingin agar semua kota kalau bisa dikasih CCTV, walau itu petanda buruk bahwa nggak ada lagi kebebasan manusia. Tetapi, justru kalau mau dibuat pengamanan, ya fair, dibuka saja apa yang tertangkap di dalam CCTV. Kan enggak ada sebetulnya rasa aman kalau di mana-mana ada CCTV. Sama seperti orang bilang di kampung gua ini aman banget, karena di mana-mana ada CCTV, di mana-mana ada polisi. Itu enggak aman artinya. Aman artinya ada kesederhanaan, ada kehangatan antara tetangga, itu fungsinya.  Jadi, balik lagi pada soal tadi. Itu harus diterangkan, dijelaskan, kalau memang ada tim yang dilatih untuk memanipulasi CCTV, itu adalah kejahatan, lepas dari apapun. Nah, soal terorisme mungkin dijadikan dasar, tapi ya nggak ada terorisme di lapangan bola lah. Kira-kira begitu. Jadi, fungsi-fungsi security ini betul-betul harus diawasi justru oleh mata publik. Publik tahu, CCTV untuk kepentingan publik, bukan untuk memanipulasi peristiwa. Dan yang menarik, ini yang di KM 50 dan yang di rumah dinas Duren Tiga, itu timnya sama, dari Divisi Propam. Ini yang bikin kita kaget. Ini kan tugasnya dia juga mengawasi atau menjadi komisi etik dari polisi. Nah, kita belum tahu apakah yang terjadi di Stadion Kanjuruhan juga dilakukan oleh Divisi Propam atau tidak. Kalau itu terjadi, ini dobel-dobel ini, serius sekali Bung Rocky.  Ya, itu transparansi mestinya dari awal. Kalau kita merasa bahwa kita ingin propam itu melindungi kita dari perilaku aparat kepolisian, sekarang justru propam melindungi aparat kepolisian yang berupaya untuk mengkriminalisasi rakyat. Kan itu yang kita anti sebetulnya? Kita ingin betul-betul polisi melakukan hal dengan maksud yang sempurna, yaitu rasa aman publik. Rasa aman publik itu bisa terganggu oleh kelakuan oknum-oknum yang buruk. Nah, kelakuan itu yang harusnya di-wash oleh Propam. Kan gitu. Betul, dia adalah komisi etik dari kepolisian atau bahkan offersite commitee itu yang bisa melihat semua hal dengan perspektif kejujuran. Jadi, kalau Propam sendiri enggak jujur dan sekarang Propam menjadi masalah karena ada soal Sambo, orang menganggap bahwa ya sudahlah, kita perlu polisi memang, tapi lebih baik nggak ada polisi daripada polisi menghalang-halangi kejujuran. Jadi, sinyal tersebut mesti kuat ditangkap oleh Pak Kapolri supaya kalau ada reformasi polisi, bagian-bagian ini justru yang mesti diucapkan lebih dahulu, bukan soal anggaran, bukan soal persiapan untuk persenjataan. Enggak itu. Polisi tanpa senjata itu pasti dihormati rakyat. Kan itu yang kita contoh dari Jepang, dari Inggris segala macam. Polisi itu diam-diam di pojok saja tapi semua orang memberi salam, bahkan polisi di China itu dielu-elukan oleh rakyat. Jadi, hal ini yang mesti kita ulangi, yaitu civilian value, nilai-nilai sipil, harus melekat di dalam watak publik kepolisian. Watak publik artinya begitu dia keluar rumah, Pak Polisi itu tahu bahwa dia akan menghadapi berbagai macam kepentingan publik yang beragam, dan itu yang dianggap sebagai tugas dia, memelihara keragaman pikiran publik, bukan menyatukan dengan ancaman kekerasan.  Ya. Saya kira ini penting diseriusin. Orang mungkin tidak terlalu memperhatikan soal ini, tapi saya kira orang mulai tertarik begitu melihat benang merahnya, loh, kok ini sudah mulai ada modus yang sama, selalu seperti itu. Itu baru yang terungkap ke publik. Kita tidak tahu dalam kasus-kasus yang lain gitu. Dan, kebetulan kasus ini kan saya kira kasus-kasus besar yang mesti kita perhatikan dari kepolisian. Kasus KM 50, bagaimanapun itu juga masih jadi dark number karena itu walaupun sudah ada tersangkanya tapi dibebaskan. Itu juga bisa disebut dark number. Kemudian juga soal Sambo ini yang sudah mulai diadili. Nah, Kanjuruhan, kita belum tahu sampai sekarang bagaimana prosesnya. Hari ini, ketua umum PSSI yang juga polisi katanya akan dipanggil oleh kepolisian untuk diperiksa di Polda Jawa Timur. Akhirnya, satu-satu mulai terawasi. Bukan sekedar terbuka, tapi terawasi oleh publik. Publik kritis untuk melihat algoritma, di sana timnya ini, di sini timnya itu, sama, sasarannya CCTV. Jadi, ada tim khusus yang memang ahli CCTV, ahli untuk memanipulasi data. Kan itu yang ada di benak publik. Ini pertanda bahwa kita masuk di dalam republic of fears, republik kecemasan, karena diintai terus, dan bisa pengintaian itu dimanipulasi. Buku Republic of Fears itu menggambarkan aktivitas intelijen di zamannya Sadam Husein. Semua orang merasa ketakutan, semua orang merasa diawasi, tapi semua orang juga merasa ingin dilindungi. Jadi psikologi itu yang dimainkan oleh kekuasaan, ingin dilindungi supaya aman, tapi sebetulnya sedang diawasi sehingga kita cemas kan. Jadi, filosofi itu yang juga saya ingin sampaikan pada teman-teman polisi, supaya diperhatikan. Rakyat ingin dilindungi, bukan ingin diawasi. Itu soalnya. Oke. Kan sekarang orang mulai menagih gara-gara ini, ketiga di Komisi III Pak Sigit mengatakan ada novum, ada bukti baru pada kasus KM 50. Nah, orang mulai menghubungkan soal ini. Ini penting Pak Listyo Sigit. Dan kita tahu kan, setelah kemarin habis dikumpulkan di istana, itu semacam secara tidak langsung kita mendapat isyarat dari Pak Jokowi bahwa Pak Listyo Sigit aman dan diminta untuk meneruskan reformasi di Polri, memperbaiki situasi di tubuh Polri. Saya kira dengan mandat dari Pak Jokowi, walaupun sempat tidak disalami di HUT TNI, tapi tetap sekarang Pak Listyo Sigit saya kira ini untuk sementara reda, office politik ingin dongkel mendongkel Kapolri. Ya. Itu artinya orang melihat ya siapapun yang mengganti sama juga. Mending Pak Sigit saja yang nerusin. Jenderal Sigit yang paling mungkin diminta untuk memulihkan kepolisian. Ya sudah, kita harus terima kemudian Pak Sigit, tapi dengan satu alasan kuat bahwa Pak Sigit harus kembalikan polisi pada etika sipil, karena polisi itu datangnya dari orang sipil. Jadi bagian itu sebetulnya yang penting kita sampaikan kepada Pak Sigit. Yang kedua, mumpung Pak Sigit itu mungkin lagi dimusuhi oleh semua kelompok, kan semua kelompok musuhin Pak Sigit, ya sudah, tutup mata saja, jalan terus saja kan. Kan dimusuhi semua orang artinya nggak ada beban bagi dia. Lain kalau cuma dimusuhi satu pihak. Itu bahaya. Jadi, karena dia justru dimusuhi semua orang, dia ambil jalan lurus saja. Dan yang musuhan itu biarin saja berkelahi di belakang dia kan. Tapi dia ingin membenahi yang di depan tuh. Saya kira begitu masalahnya. Jadi, kalau memang masih ada perang antar geng, pasti terjadi itu. Karena yang diincar adalah kedudukan terakhir, yaitu Kapolri. Tetapi, justru dengan perang antar geng yang habis-habisan tadi, yang tersisa pasti mereka yang bersih kan. (sof/sws)

Universitas Muhammadiyah Demo Tolak Kenaikan BBM

Jakarta, FNN – Unjuk rasa menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi masih terus berlanjut. Di depan Patung Kuda, Monas, Jakarta Pusat, kembali digelar aksi tolak kenaikan harga BBM dari Universitas Muhammadiyah Jakarta. Dengan jumlah massa aksi sekitar 100 orang hadir pada pukul 15.00 WIB, Selasa (18/10/2022). Terlihat massa aksi datang dengan sejumlah atribut, mulai dari jas almamater, bendera, dan spanduk yang di antaranya bertuliskan \"Tolak Kenaikan Harga Bbm Bersubsidi\" dan \"Rakyat Menjerit\". Adapun tuntutan dari aksi tersebut adalah menolak dan kembali menurunkan harga BBM bersubsidi. Dan, massa aksi akan terus melakukan unjuk rasa tolak kenaikan harga BBM bersubsidi bila Pemerintah belum juga memenuhi tuntutan yang dilayangkan. Selain dari orasi, nyanyian, dan pembacaan puisi. Massa aksi juga melakukan pembakaran ban di tengah aksi. (Rac)

Rocky Gerung: Saya Tetap Menganggap bahwa Frustrasi Publiklah yang Menyebabkan Anies Meledak sebagai Figur

AHAD, 16 Oktober 2022, menjadi hari terakhir Anies Rasyid Baswedan jadi Gubernur DKI Jakarta. Dan, Ahad itu pula, dia berpamitan tinggalkan Balai Kota Jakarta yang selama 5 tahun menjadi tempat kerjanya. Jutaan warga Jakarta melepas Anies Baswedan untuk kemudian disambut oleh rakyat Indonesia. “Itu pertanda ada kerelaan. Itu namanya relawan,” kata pengamat politik Rocky Gerung kepada Wartawan Senior FNN Hersubeno Arief dalam Kanal Rocky Gerung Official, Ahad (16/10/2022). “Jadi, kelihatannya Indonesia mengubah atau publik pemilih mengubah cara berpolitik. Nggak menunggu lagi serangan fajar. Jadi betul-betul Anies adalah antitesis dari pemerintahan Pak Jokowi,” lanjut Rocky Gerung. Menurutnya, dengan cara itu, orang mengerti, semakin bisa dipastikan Anies pemenang Pemilu 2024. “Tetapi, semakin dipastikan juga Anies akan dapet rompi orange,” ungkap Rocky Gerung. Bagaimana Rocky Gerung melihat semua ini? Lebih lengkapnya ikuti dialog Hersubeno Arief dengan Rocky Gerung. Halo halo, apa kabar Anda semua. Hari ini, Ahad 16 Oktober 2022. Hari ini di Jakarta dan di berbagai wilayah terjadi kemeriahan karena melepas Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Saya dapat laporan di berbagai daerah. Saya baca saja ya ini, bukannya di Jakarta, ini di Jabar, itu ada konvoi parade nelayan, di Jawa Tengah juga jalan santai di Simpang Lima, Jateng, Magelang, Jateng; di Purworejo, di Temanggung, di Wonosobo, di Surakarta, di luar Jawa Bengkulu, Sulteng, kemudian di Banyumas, ke Sulawesi Tenggara, banyak sekali. Jadi menurut saya menarik ya, bagaimana kemudian ada seseorang yang baru melepas jabatan sebagai Gubernur tapi kemudian sambutannya luar biasa di seluruh Indonesia. Ya, itu pertanda ada kerelaan. Itu namanya relawan. Saya juga dapat banyak banget undangan itu, dari nelayan yang mengundang para sastrawan. Jadi, kalau sekarang dianggap hari Pemilu, itu berbondong-bondong orang nyoblos Anies, itu bisa aklamasi. Jadi, itulah kekuatan dari kesederhanaan, kesadaran relawan, relawan yang bisa deklarasi dari pinggir pantai, dari kios-kios bengkel. Jadi, kelihatannya Indonesia mengubah atau publik pemilih mengubah cara berpolitik. Nggak menunggu lagi serangan fajar. Bayangkan kalau relawan Anies menunggu amplop, itu nggak pernah terjadi. Jadi, itu bedanya dengan peristiwa kemarin-kemarin yang proses pemilihan presiden itu penuh dengan ampop. Anies nggak pasang baliho di mana-mana tuh. Ada baliho kecil-kecil dan cuman kalimat-kalimat. Belum pasang baliho Anies sudah dimobilisasi oleh keinginan untuk mempercepat perubahan. Jadi, betul-betul Anies adalah antitesis dari pemerintahan Pak Jokowi. Dengan cara itu, orang mengerti, semakin bisa dipastikan Anies jadi pemenang Pemilu. Tetapi semakin dipastikan juga Anies akan dapet rompi orange. Kan begitu tuh jadinya. Tetapi, sekali lagi, konfrontasi ini konfrontasi etis, karena memang ada soal-soal yang kriminal itu pasti dipaksakan. Jadi, pikiran publik sudah sampai di situ. Apalagi kalau dianggap bahwa Anies bersalah. Oke, kalau begitu yang lain juga bersalah. Jadi, Pemilu enggak bisa jadi karena semua calon itu juga punya komorbit sebetulnya. Apa saja orang bisa cari-cari, tapi sekali lagi, kelegaan kita bahwa Anies bisa menyelesaikan Jakarta dan ada yang menyambut dia kembali. Nah, kita bayangkan misalnya kalau Pak Presiden Jokowi lengser pada 2024, mustinya ada yang menyambut dengan sambutan semacam ini dan sambutan itu mesti otentik, bukan sambutan yang ada panitia pusatnya. Enggak begitu tuh. Panitia pusat selalu berupaya untuk cari donor ke oligarki soalnya. Jadi, kelihatan bahwa ada oligarki, tapi oligarki hati nurani. Itu yang membuat Anies diasuh oleh oligraki hati nurani. Itu kerelaan betul. Ini dalam minggu ini saya 3-4 kali ke daerah dan kerelaan itu betul-betul datang dari keinginan untuk melihat Indonesia yang bersih. Ini supaya jangan terlalu dianggap bahwa kita bagian dari tim kampanye Anies Baswedan, saya usulkan dua sudut pandang dalam mendiskusikan fenomena hari ini karena fenomena ini tidak hanya di Jakarta, tapi betul-betul fenomena di seluruh Indonesia kalau kita lihat itu. Di luar yang saya bacakan, saya juga dapat banyak WA. Saya mengusulkan dua, tapi silakan Anda kalau nanti mau melihat dengan persepsi yang berbeda. Pertama, itu bahwa sebenarnya fenomena Anies ini adalah semacam frustrasi publik terhadap situasi saat ini sehingga mereka membutuhkan sebuah figur antitesa. Publik ingin keluar dari situ. Kedua, kita ingin mendorong bahwa ke depan harusnya politik kita ini keluar dari jeratan oligarki dan untuk keluar dari jeratan oligarki tersebut harus ada kesadaran dan kerelaan publik untuk sebagai relawan tadi. Jadi, siapapun nanti, ke depan juga, kalau presiden yang kita inginkan kita pilih dan kita rame-rame mengusungnya. Saya usul itu Bung Rocky, silakan kalau Anda mau menambahkan. Yang pertama memang frustasinya karena keadaan ekonomi, dan sosial segala macam, sehingga orang ambil jalan pintas saja bahwa Anies, apapun dia Anies saja tuh. Jadi, itu yang first image, image pertama, satu persepsi pertama publik adalah kami frustrasi dengan keadaan, keadaan ekonomi, keadaan kehidupan sosial, keadaan keberagaman, segala macam. Dan, itu orang ekspresikan Anies bisa lakukan perbaikan. Tetapi tetap kita mau bilang Anies 0% apa enggak? Anies punya potensi untuk berimpit lagi dengan oligarki apa nggak? Pasti ada impitan-impitan ke depan tuh. Tapi bagi publik ini anggap ya sudahlah nanti saja diberesin itu. Pokoknya Anies dulu deh. Jadi, kira-kira sudah sampai di situ ya. Kenapa? Karena ketidakjujuran dalam proses pemilu kan, termasuk yang menghambat 0%. Publik tentu kalau saya ngomong di mana-mana, ya benar Pak Rocky, 0% itu penting buat Anies. Tapi buat sementara sudahlah nggak usah dibikin itu, nanti toh Anies akan ubah itu. Jadi sudah segitu persepsi publik. Itu terkait juga dengan keterangan Pak Presiden kemarin pada polisi itu bahwa keadaan kita memasuki pemilu itu rentan atau sangat rawan, karena memang Pak Jokowi betul-betul tahu bahwa elu-elu pada Anies sudah nggak bisa lagi ditahankan sehingga itu memungkinkan terjadi krisis sosial. Lalu Pak Jokowi perintahkan supaya jangan ragu-ragu polisi untuk menindak yang masih kira-kira sinyal politik identitas justru yang diberikan oleh Pak Jokowi kemarin. Padahal, sebetulnya orang tahu Anies itu dipolitikidentitaskan oleh persaingan yang tidak bisa diselesaikan oleh Pak Jokowi sendiri kan. Jadi, kalau ditanya kenapa ada ketegangan sosial seperti yang dikonsentrasi Pak Jokowi kemarin, karena Pak Jokowi tak berhasil membuat perbandingan antara pemerintahan dan oposisi. Kalau oposisi jalan, nggak akan ada semacam kecurigaan bahwa oh, ini Islomofobia. Karena kita langsung tahu yang beroposisi pasti terhadap kebijakan. Yang beroposisi pasti namanya antitesis. Kan itu intinya. Jadi, sekali lagi fenomena Anies ini betul-betul fenomena keinginan untuk melihat politik yang bersih. Bahwa Anies tetap akan kita tagih 0% itu adalah problem akademis kita supaya Pemilu itu dituntun dengan rasionalitas, bukan dengan 20% yang adalah permainan tukar tambah itu. Jadi, tetap saya menganggap bahwa frustrasi publiklah yang menyebabkan Anies meledak sebagai figur. Itu intinya. Dan, kita mesti ingat bahwa politik Indonesia kadang kala di ujung dipasang palang untuk mencegah orang yang dielu-elukan rakyat. Tapi, rakyat pasti akan melawan. Itu susahnya tuh. Nah, kalau rakyat melawan dengan alasan bahwa Anies itu sudah dinyatakan sebagai calon presiden rakyat, itu susah tuh. Karena tetap akan ada upaya, ini kan calon presiden rakyat mana calon presiden partai wong dia belum punya wapresnya. Dan, threshold-nya mungkin nggak bisa dicapai kalau cuma dua partai mengusung Anies. Jadi, sekali lagi kita balik pada apa yang disebut persepsi publik yang bisa mendahului seluruh aturan Pemilu. Jadi, aturan pemilu bisa dibalik nanti karena ada tekanan publik yang besar-besar. Jadi, seperti ini sudah semi revolusi sebetulnya, sudah semi people power. Oke, tapi kita bahwa ternyata publik tetap percaya dengan sistem demokrasi. Kan kita kemarin khawatir dengan sistem demokrasi itu. Tapi ternyata mereka tetap anggap oke ini jalan yang terbaik dan kita mesti mencari, mungkin karena persoalannya figur yang salah yang kita dukung gitu ya. Ya, kalau dibahasakan secara terbalik, iya. Banyak juga yang frustrasi yang merasa kami salah pilih itu. Kenapa? Itu karena Pak Jokowi ternyata tidak memperhatikan kesejahteraan rakyat. Pak Jokowi lebih banyak memperhatikan proyek-proyek mercusuar. Jadi, kesadaran itu datang dari keadaan politik dan ekonomi sendiri yang memang digagas oleh Pak Jokowi. Kan sebetulnya Pak Jokowi nggak memenuhi janji, lepas dari isu ijazah segala macam, memang tidak dicapai. Memang pencitraan tetap dilakukan Ibu Sri Mulyani, oleh menteri-menteri. Tapi, itu kan palsu. Orang tahu itu data, bukan fakta. Orang bilang datanya bagus, iya, tapi faktanya adalah kemiskinan. Data pertumbuhan meningkat, iya, tapi faktanya subsidi dicabut, macam-macam tuh. Jadi, segala hal yang berhubungan dengan keadaan masyarakat yang real, itu dirasakan oleh para relawan Anies, itu langsung dinyatakan sebagai hak Anies untuk memperbaiki bangsa ini. Dan, itu yang saya sebut tadi, euforia yang tak tertahankan. Ini menarik Anda bicara soal ijazah. Saya sendiri itu terheran-heran gitu ya. Ijazah ini ternyata menjadi isu yang sangat besar kalau kita amati. Dan itu bukan hanya level bawah loh. Itu level kalangan atas juga sangat mempercayai soal itu. Saya cuma heran saja, pertama sudah ada bantahan dari UGM. Jadi sudah ada otoritas resmi dan itu pun tetap di-denial oleh publik. Kedua, kalau katakanlah misalnya memang betul itu ada ijazah palsu, terus apa pentingnya sekarang, karena kan itu sebagai syarat untuk maju pilpres dan Pak Jokowi kan nggak akan maju lagi gitu. Tapi orang tetap makan isu itu. Apa sebenarnya yang memahami situasi ini. Jadi, kecurigaan ada di setiap sudut gang. Bahkan, kecurigaan terhadap apa benar presiden kita kemarin itu berijazah apa tidak. Padahal, sebetulnya apa pentingnya sih ijazah. Kan kalau dia sudah memimpin, selesai. Tetapi orang menuntut justru aturan yang mensyaratkan seseorang itu harus sarjana. Jadi, bagian ini sebenarnya juga ngaco. Ngapain nuntut presiden jadi sarjana tuh. Ya bagus juga kalau dia sarjana, tapi kalau dia sarjana tapi tidak bisa berpikir, apa gunanya tuh. Kan seringkali saya katakan ijazah itu tanda seseorang pernah belajar, bukan karena dia pernah berpikir. Itu prinsipnya dulu tuh. Nah, kalau begitu, nanti kita melihat bahwa memang ada kualifikasi tertentu, yaitu kemampuan untuk membuat desain pikiran. Ibu Susi Pudjiastuti itu akhirnya mesti nyari-nyari ijazah SMA atau apa yang orang nggak pentinglah, ngapain. Jadi, nanti saja kalau betul-betul kekuatan rakyat menginginkan, ya sudah dianulir saja tuh ijazah. Sebaliknya, ada yang punya Profesor berderet-deret sebagai pemimpin, itu juga enggak bisa mikir. Kan itu yang terjadi. Dan, masih menunggu lagi dapat guru besar dari mana-mana. Tetapi, balik pada pembuktian ijazah tadi, keterangan Ibu Rektor itu nggak ada gunanya. Karena palsu tidaknya ijazah itu mudah diforensik. Jadi, kan sama dengan mencari tahu ini uang palsu atau beneran. Ya bandingkan saja dengan uang benarnya. Apa? Ya semua ijazah itu sama dengan uang, ada jejak kimianya tuh. Jadi, kertasnya palsu apa enggak? Kan kertas ijazahnya itu kan kertas yang khusus. Jadi beda. Kan saya pakai kertas yang saya punya tahun ‘50 sama kertas tahun ‘90 beda. Beda kualitasnya atau beda pabrik yang nge-print. Printing-nya juga bisa. Itu teknologi dengan mudah bisa membedakan ini uang palsu, ini uang benar, ini ijazah palsu, ini ijazah bener. Jadi, bukan karena keterangan administrasi dari Rektor. Orang juga tahu itu bahwa Rektor bisa saja beri keterangan, tetapi pembuktian palsu tidaknya itu atas barangnya. Kan itu. Jadi, nanti di pengadilan pasti akan dibuka, secara teknis ini palsu atau aspal (asli tapi palsu) karena kok kertasnya beda dengan kertas cetakan yang ada pada mereka yang betul-betul memperoleh ijazah. Tapi kita mesti kasih satu sinopsis bahwa publik memang akhirnya mengintai dan mencari-cari apa yang bisa membuat Presiden Jokowi dipermalukan, kira-kira begitu kan. Tentu kita ingin supaya ya dipermalukan tapi apa ujungnya tuh. Kan tetap, presiden Jokowi mungkin bisa bilang iya memang ini ada soal, tapi saya sudah selesai jadi presiden. Itu juga apologi. Jadi, tetap satu Indonesia itu nuntut. Nah, itu sebetulnya bagus karena Indonesia menuntut penyelesaian di pengadilan dan itu silakan berdebat di pengadilan. Saya mendorong supaya Pak Presiden juga cari arsipnya, kasih tahu saja ini ijazah saya dan silakan dideteksi pakai mungkin alat untuk memeriksa dollar palsu atau rupiah palsu, sama juga. Gampanglah secara teknis. (ida/sws)

Empat Langkah Teknis Antisipasi Krisis Pangan

Oleh Bachtiar Nasir - Ketua Umum DPP Jalinan Alumni Timur Tengah Indonesia (JATTI) RESESI global yang kian menghantui perekonomian dunia, bagaikan berlomba dengan krisis pangan dunia. Faktor iklim yang tidak menentu memang menjadi alasan utama terjadinya krisis pangan. Akan tetapi, situasi geopolitik yang semakin memanas akibat konflik Rusia-Ukraina, menjadi pemicu semakin dekatnya bencana kemanusiaan itu nyata di depan mata.  Saat ini, lonjakan harga minyak dan gas, menyebabkan biaya pupuk dan panen, juga transportasi hasil bumi ikut merangkak naik. Komoditi pangan utama dunia seperti gandum sangat terpengaruh. Harga olahan makanan yang berbahan dasar gandum seperti mie dan roti juga semakin mahal.  Walaupun bahan pokok makanan orang Indonesia masih beras, akan tetapi akibat efek domino kelangkaan gas dan minyak; seluruh lini produksi akan tetap terpengaruh. Muaranya, harga-harga pangan di dalam negeri juga akan tetap merangkak naik dan orang-orang yang terancam kelaparan akan semakin banyak.  Data Badan Pangan dan Pertanian Dunia (Food and Agriculture Organization/ FAO), patut membuat kita khawatir. FAO mengungkapkan, angka kelaparan di dunia terus meningkat dengan bertambah hingga 46 juta orang sejak 2020 atau melonjak 150 juta orang sejak 2019 dikarenakan kenaikan harga pangan. Kondisi ini diprediksi akan lebih buruk pada tahun 2022. Kondisi ini membutuhkan solusi cepat dan nyata sebelum apa yang dikhawatirkan benar-benar terjadi.  Oleh karena itu, sangat penting untuk meng-up grade kualitas sumber daya manusia umat ini, untuk segera membendung masalah kerawanan pangan agar tidak semakin membesar.  Yang pertama dengan meningkatkan kompotensi sumber daya dan teknologi pangan. Kita melihat bahwa sebagian besar generasi muda umat ini sangat kecil ketertarikannya untuk bergerak di sektor pertanian maupun kelautan. Itu sebabnya, pada masa mendatang, krisis petani dan nelayan menghantui bangsa Indonesia.  Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2019 jumlah petani di Indonesia mencapai 33,4 juta orang. Adapun dari jumlah tersebut, petani muda berusia 20-39 tahun jumlahnya hanya 8% atau setara dengan 2,7 juta orang. Kemudian, sekitar 30,4 juta petani atau 91% berusia di atas 40 tahun, dengan mayoritas usia mendekati 50-60 tahun. Kondisi ini diperparah dengan penurunan jumlah regenerasi petani muda. Dalam data yang sama, dari periode 2017 ke 2018, penurunan jumlah petani muda mencapai 415.789 orang. Melihat kondisi ini, bila dengan cara konvensional pertanian dan perikanan terlihat tidak menarik, maka diperlukan terobosan-terobosan baru untuk membuat sektor pertanian dan kelautan berteknologi tinggi dan menjadi profesi bergengsi. Yang tentunya, juga harus ditunjang dengan kompetensi generasi milenial untuk menguasai teknologi ke-agrobisnisan dan ke-agromaritiman.  Seperti yang dilakukan oleh generasi milenial petani Australia yang telah menggunakan sejumlah perangkat berteknologi canggih untuk membantu proses penyemaian bibit hingga panen. Mereka menggunakan pesawat untuk menyemai bibit dan menggunakan mesin panen modern untuk memanen. Sehingga gabah dapat langsung dikeluarkan dan diolah untuk mendapatkan bulir beras. Bahkan New South Wales, negara bagian Australia, telah berhasil panen raya dengan hasil 1, 1 juta ton per tahun 2013. Padahal, Australia sendiri bukan negara pengkonsumsi beras seperti Indonesia dan negara di Asia lainnya.  Intensifikasi di bidang pangan ini sangat mendesak untuk dilakukan. Semakin meningkatnya kualitas SDM akan sangat menentukan kualitas pangan yang dihasilkan dan manajemen ketahanan pangan yang diterapkan; guna menjamin ketersediaan.   Kedua, dengan memanfaatkan lahan tidur. Indonesia saat ini memiliki jutaan hektare lahan tidur. Terutama di pulau Sulawesi dan Kalimantan.  Adapun jenis tanaman yang ditanam atau peternakan yang diupayakan di atasnya, dapat disesuaikan dengan kondisi alam sekitar. Pemanfaatan lahan yang terlantar ini sebenarnya tidak hanya di daerah pedalaman saja, tetapi juga dapat dilakukan di daerah perkotaan dengan luas tanah yang tidak terlalu besar sekalipun.  Oleh karena itu, intensifikasi sumber daya dan pemanfaatan lahan tidur ini sebenarnya membutuhkan campur tangan pemerintah. Agar tidak memunculkan konflik atau penyelewengan hasil pemanfaatan lahan.  Ketiga adalah pemanfaatan sumber daya lokal. Banyak komoditi unggulan tiap daerah yang bisa dimanfaatkan untuk mempertahankan ketersediaan pangan. Alangkah baiknya, jika tiap daerah memiliki tanaman pangan unggulan dan sumber pangan hewani berkualitas yang berasal dari tanah sendiri. Dan, masyarakatnya juga mau mengkonsumsi hasil tanah sendiri itu sebagai bahan pangan pokok. Seperti di daerah yang banyak memproduksi ubi dan ketela pohon, maka bukan masalah bila hasil bumi tersebut yang lebih diutamakan untuk dikonsumsi ketimbang beras.  Pemerintah pada fase ini juga harus memberikan dorongan dalam usaha memperluas kreasi pangan. Sehingga masyarakat dapat terlepas dari ketergantungan mengkonsumsi satu jenis bahan pokok. Seperti yang dilakukan oleh warga Kampung Cirendeu, Bandung, Jawa Barat yang sudah melepaskan ketergantungan mereka dari beras dan menjadikan singkong sebagai bahan makan pokok. Lebih dari seabad yang lalu, tepatnya tahun 1918.  Meski, bukan berarti sama sekali menolak mengkonsumsi nasi, tetapi alangkah baiknya jika kita mulai membiasakan diri dan keluarga untuk mengkonsumsi bahan makanan pokok lain. Sehingga, pameo di masyarakat “bila belum makan nasi berarti belum makan”, bisa segera pupus. Keempat, banyak bersyukur dan tidak mubadzir. Inilah yang sebenarnya sangat diharapkan dari perilaku konsumsi umat, terutama kaum muslimin di negeri ini. Kebiasaan untuk bersyukur dan tidak mubadzir dalam mengkonsumsi makanan akan sangat positif untuk mendukung pemerataan pangan.  Allah Ta\'ala berfirman, وَلَقَدْ مَكَّنَّٰكُمْ فِى ٱلْأَرْضِ وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيهَا مَعَٰيِشَ ۗ قَلِيلًا مَّا تَشْكُرُونَ \"Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur.\" (Surat Al-A’raf: 10). Mari gunakan apa yang kita miliki semaksimal mungkin untuk kebaikan hidup dan optimalisasi ibadah. Apa yang masih tersisa, sangat baik jika kita gunakan untuk sedekah kepada mereka yang membutuhkan.  Sejatinya, sedekah adalah resep yang paling manjur untuk pemerataan pendapatan dan penanggulangan rawan pangan. Ketika setiap orang tergerak untuk meringankan penderitaan tetangga atau orang-orang di dekatnya yang membutuhkan, maka bahaya kelaparan akan lebih mudah dihindari.  Kesadaran untuk hemat dan berbagi inilah yang secara mental harus dibangun untuk menanggulangi ancaman krisis pangan, di samping berbagai langkah teknis seperti intensifikasi pertanian dan peternakan, percepatan teknologi, pembangkitan lahan tidur, serta peningkatan kualitas dan kreasi komoditi lokal unggulan. Islam sendiri menekankan pentingnya ketahanan pangan dan usaha umat manusia untuk menjaganya. Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda, إن قَامَتِ السَّاعَةُ وَفِي يَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لَا تَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَغْرِسْهَا  “Jika terjadi hari kiamat sementara di tangan salah seorang dari kalian ada sebuah tunas, jika ia mampu sebelum terjadi hari kiamat untuk menanamnya, maka tanamlah.” (Riwayat Bukhari dan Ahmad). Artinya, meski kondisi genting layaknya hari kiamat sekalipun, Rasulullah Shallallahu \'alaihi wasallam berpesan agar manusia tetap mengupayakan ketersediaan makanan; salah satunya dengan cara menanam, sebagai mana yang beliau perintahkan.

Ketua DPD RI Apresiasi Kapolri yang Tegas ke Dalam

Jakarta, FNN – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, memberikan apresiasi kepada Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo, yang melakukan pembenahan serius dalam institusi Polri. LaNyalla menilai Jenderal Sigit tegas ke dalam, demi mengembalikan marwah dan citra kepolisian yang menurun di mata masyarakat. “Apresiasi harus diberikan kepada Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang serius membenahi institusi Polri. Ia bahkan bergerak cepat dalam pembenahan itu,” kata LaNyalla, Sabtu (15/10/2022). Senator asal Jawa Timur itu mengatakan, Kapolri tidak segan mencopot dan memecat anggota Polri yang merugikan institusinya. “Polri harus bersih dari orang-orang yang menyalahgunakan jabatan dan wewenang. Karena, Polri bertugas mengayomi dan melindungi masyarakat. Kepercayaan masyarakat harus dijaga,” tandasnya. Dengan alasan tersebut, LaNyalla memberikan dukungan atas pembenahan yang dilakukan Jenderal Listyo Sigit Prabowo. LaNyalla juga berpesan agar Polri tidak tebang pilih dalam mengusut perkara. Karena salah satu sorotan masyarakat adalah adanya perbedaan perlakuan terhadap laporan-laporan yang diajukan masyarakat. “Jenderal Sigit jangan ragu. Lurus saja. Kita pasti mendukung pembenahan yang dilakukan, agar Polri menjadi lebih baik,” katanya. LaNyalla pun berharap tidak ada lagi kasus-kasus yang dilakukan atau melibatkan anggota Polri. Belakangan ini, sorotan tajam memang sedang diterima Polri menyusul berbagai aksi yang melibatkan anggotanya. Kasus pertama adalah pembunuhan terhadap Brigadir J yang melibatkan atasannya, Irjen Ferdy Sambo. Belum selesai kasus ini, muncul Tragedi Kanjuruhan yang melibatkan sejumlah anggota polisi akibat melepaskan tembakan gas air mata ke tribun. Terbaru, Kapolda Jawa Timur Irjen Teddy Minahasa, yang baru beberapa hari dipilih menggantikan Irjen Nico Afinta, terjerat kasus narkoba. Padahal, Irjen Teddy belum dilantik menjadi Kapolda Jawa Timur. (mth/*)

Pejabat Polri Dipreteli Lalu Dipanggil Presiden ke Istana

Jakarta, FNN – Presiden Joko Widodo memanggil para petinggi Polri ke Istana Negara pada Jumat (14/10/2022) untuk memberikan arahan dan petunjuk dalam menjalankan tugas. Arahan ini berlangsung secara tertutup dan Polri yang datang wajib menggunakan seragam dinas tanpa penutup kepala dan tongkat. Bahkan, handphone juga dilarang dan hanya alat tulis yang diizinkan untuk dibawa. Analis Komunikasi Politik & Militer UNAS, Selamat Ginting di channel Youtube Hersubeno Point mengatakan. seakan-akan pejabat Polri dipreteli. Menurutnya, pertemuan ini spesial karena berbeda dari sebelumnya. Bahkan Presiden juga mengimbau untuk anggota Polri melakukan sholat Jum’at di Istana. “Seperti dipreteli, tidak bawa senjata, tidak boleh bawa handphone, tidak boleh bawa tongkat komando, tidak boleh bawa ajudan, bahkan topi juga tidak. Jadi seperti dalam tanda petik, dipreteli,” kata Selamat Ginting kepada wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Hersubeno Point, Jumat (14/10). Menurutnya, memang ada beberapa kasus yang membuat Polri terpuruk. Kasus Ferdy Sambo dan Stadion Kanjuruhan membuat posisi Polri di mata masyarakat jatuh. Ia merasa Polri merasa defensif dan tidak menunjukkan rasa empati dari kasus Kanjuruhan. Sementara temuan Komnas HAM berbeda dari pernyataan Humas Polri mengenai penggunaan gas air mata yang tidak berbahaya. “Ini menimbulkan efek bahwa kenapa polisi begitu defensif. Padahal temuan Komnas HAM misalnya dan juga hampir semuanya mengatakan bahwa persoalan ini dipicu oleh penggunaan senjata gas air mata yang tidak lazim di lapangan sepakbola,” jelas Selamat. Ia menambahkan, saat petinggi Polri disuruh datang dengan syarat dan ketentuan yang banyak, itu adalah tanda bahwa Presiden marah, jadi bukan marah dengan pernyataan tapi dengan cara simbolisasi. Pada pertemuan ini, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengaku ada 559 anggota Polri yang hadir. Ada 24 pejabat utama Mabes Polri dan 33 Kapolda. Namun, ada 3 orang berhalangan dan diwakili. (Fer)

Kapolda Jatim Ditangkap, Rocky Gerung Sebut Ini Sebagai Tamparan ke Kapolri

Jakarta, FNN – Kapolda Jatim Irjen Teddy Minahasa ditangkap Propam terkait dugaan jual barang bukti 5 kg sabu pada Jumat (14/10/2022). Padahal, Teddy baru menjabat selama 4 hari sebagai Kapolda Jatim setelah diangkat langsung oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Rocky Gerung menanggapi penangkapan ini di channel Youtube pribadinya setelah beberapa jam berita penangkapan tersebut beredar. Menurutnya ini adalah sebuah keadaan untuk membuat delegitimasi Kapolri. “Untuk mendelegitimasi Kapolri. Kan ini sebagai tamparan pada Pak Sigit. Masa baru diangkat udah diberhentiin lagi dan bahkan dengan desain yang agak mendebarkan, yaitu jual beli narkoba”, jelas Rocky kepada wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official, Jumat (14/10/22). Nantinya, Listyo Sigit kemungkinan akan ikut bertanggung jawab karena ia adalah orang yang mengangkat. Rocky juga menambahkan ada sinyal untuk membersihkan bagian tertentu di kepolisian. Karena momentum penangkapan tepat dengan pertemuan para pejabat Polri di Istana Negara. “Jadi kalau kita lihat itu sebagai publikasi. Ya itu dalam upaya untuk sekaligus bilang Polri itu memang enggak pandang bulu bahkan sebelum Presiden bicara, udah dilakukan hal yang mendebarkan”, katanya. Menurutnya, jika proses kasus Teddy Minahasa ini berjalan dengan baik. Maka publik akan penasaran mengenai pengganti Kapolda Jatim berikutnya, “Apakah pengganti Kapolda Jatim punya reputasi yang sama?”. Jika nantinya Listyo Sigit tidak bisa menjawab, maka jabatan Kapolri akan dilepas dan diganti. Teddy Minahasa sebelumnya menjabat sebagai Kapolda Sumatera Barat. Irjen Nico Afinta yang sebelumnya menjabat sebagai Kapolda Jatim dipindahtugaskan dan kemudian diganti oleh Teddy. Diketahui, polisi terkaya di Indonesia saat ini dipegang oleh Teddy dengan jumlah kekayaan mencapai 29,97 miliar rupiah. (Fer)

Lucuti Asesoris Polisi di Istana, Jokowi Marah ke Institusi Polri

Jakarta, FNN – Pengamat komunikasi dan militer, Selamat Ginting menyebut Presiden Joko Widodo marah terhadap institusi kepolisian terkait pemanggilan para perwira polisi yang diminta hadir ke istana dengan melucuti aksesori dinas, seperti topi dan tongkat pada Jumat (14/10).  Hersubeno Arief membahas persoalan ini bersama Selamat Ginting dalam video berjudul \"Presiden Sangat Marah ke Polri. Kumpulkan di Istana. Tak Boleh Pakai Topi Dinas & Tongkat Komando\" melalui kanal Youtube Hersubeno Point yang dipublikasikan pada Jumat, 14 Oktober 2022. Ginting mengaitkan bahwa arahan presiden terhadap pemanggilan perwira tersebut berhubungan dengan kasus-kasus yang membuat posisi polisi terpuruk. Ia menyebutkan dalam beberapa survei menunjukkan citra kepolisian yang menurun drastis. \"Bahkan dalam beberapa survei di bulan Agustus, September, dan Oktober ini turun drastis sampai di bawah 55%. Jadi, kasus Sambo, kasus Kanjuruhan itu kemudian membuat posisi polisi itu di mata masyarakat jatuh sekali,\" ujar Ginting kepada Wartawan Senior FNN Hersubeno Arief melalui kanal Youtube Hersubeno Point. Pengamat militer dari Universitas Nasional (Unas) tersebut mengatakan belum pernah terjadi pemanggilan pejabat utama polisi, seperti Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda), Kepala Kepolisian Kota Beaar (Kapoltabes), dan Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) ke istana sebelumnya. \"Bacaan saya presiden itu marah, marah kepada institusi polisi,\" ucap Ginting. Kemarahan presiden tersebut dispekulasi karena lambatnya penanganan kasus yang belakangan ini menjadi atensi masyarakat, bahkan seperti kasus Kanjuruhan yang sudah memasuki ranah internasional.  Menurut Ginting, arahan Jokowi yang meminta para perwira untuk hadir tanpa memggunakan aksesori dinas lengkap dianggap sebagai simbol komunikasi dari bentuk kemarahan presiden. \"Bukan dengan cara pernyataan- pernyataan keras, tapi menurut saya itu sudah simbol komunikasi. jadi ini kemarahan presiden terhadap institusi polisi,\" kata Ginting menambahkan. Seperti yang diberitakan, Presiden Joko Widodo menjadwalkan pemanggilan terhadap para perwira kepolisian dari seluruh Indonesia di Istana Negara pada Jumat (14/10) siang. Dengan perintah ini, Jokowi juga meminta agar para perwira datang hanya dengan baju dinas tanpa menggunakan topi ataupun tongkat komando. (oct)

Bela Ketum PSSI, Pelatih Timnas STY Ikut Mundur

Jakarta, FNN – Pelatih timnas Indonesia, Shin Tae-young mengaku akan mengundurkan diri apabila Mochamad Iriawan mundur dari jabatan Ketum PSSI. Wartawan senior FNN Hersubeno Arief dan Agi Betha dalam kanal YouTube Off The Record, Kamis (13/10/22) ikut menanggapi pernyataan yang disampaikan langsung oleh Shin Tae-young melalui akun instagramnya pada Rabu (12/10/22). Di unggahan itu, STY terlebih dahulu menyatakan bela sungkawa kepada para korban tragedi kanjuruhan. “Pertama-tama saya ingin mengucapkan turut berduka cita atas tragedi Kanjuruhan, Malang. Saya juga seorang suami dari istri dan bapak dari dua anak. Saya ingin memberikan dukungan penuh kepada korban dan keluarga korban.” Ujar Tae-yong. Kemudian, ia berkomitmen untuk terus memberikan harapan kepada korban dengan memberikan prestasi bagi Indonesia. “Saya Ingin memberikan harapan kepada semua orang yang tersakiti karena tragedi kali ini. Cara saya untuk memberi harapan adalah memberikan hasil baik dengan berprestasi di sepak bola yang masyarakat sukai.” Selain itu, Shin Tae-yong berpendapat, Ketua PSSI adalah orang yang sangat mencintai sepak bola. Juga memiliki komitmen kuat untuk mengembangkan sepakbola Indonesia. Dan STY siap ikut mundur jika Iwan Bule pada akhirnya harus mengundurkan diri. “Seseorang yang sangat mencintai sepakbola Indonesia dengan kesungguhan hati dan memberikan dukungan penuh dari belakang agar sepakbola dapat berkembang adalah Ketua Umum PSSI. Menurut saya, jika Ketua Umum PSSI harus bertanggung jawab atas semua yang terjadi dan mengundurkan diri, maka saya pun harus mengundurkan diri.” Di akhir pendapatnya, STY menegaskan bila ia dan Ketum PSSI adalah satu tim. Jadi, ia juga harus bertanggung jawab bila Iwan Bule juga dituntut untuk bertanggung jawab. “Saya pikir jika terdapat kesalahan dari rekan kerja yang bersama sama sebagai satu tim, Maka saya juga memiliki kesamaan yang sama. Kita adalah satu tim. Sepak bola tidak bisa sukses jika hanya performa 11 pemain inti saja yang bagus.” Pernyataan Shin Tae-young tersebut banyak dikomentari khalayak ramai dan cenderung menimbulkan kontrovensi. Hersubeno menyebut sebenarnya desakan terhadap Iwan Bule ini, sebelum TGIPF bekerja juga sudah banyak sekali desakan. “Saya kira ini menambah kekacauan diberbagai sektor kehidupan kita, bukan hanya sektor politik dan ekonomi, tapi juga dalam kehidupan sepak bola. Karena kita tau juga sepak bola di Indonesia nuansa politiknya sangat kencang sekali, ketika ada persoalaan-persoalaan politik dan kemudian melibutkan orang-orang politik di PSSI, ya imbasnya seperti sekarang ini,” ungkap Hersu. Menurut Hersu, saat ini negara perlu diriset baru lagi, “Dimulai start dari 0 seperti di pom bensi dimulai dari 0 lagi,” lanjutnya. Lebih lanjut, Agi Betha juga menyebut beberapa pemain timnas Indonesia seperti Asnawi Mangkualam, Egy Maulana Vikri, Elkan Baggott, Marc Klok, Hokky Caraka dan Saddil Ramdani merespons positif postingan Shin Tae-yong. “Bahkan, Asnawi kapten Timnas juga menjadi trending topic, karena dia mengunggah distory intagramnya,” tutur Agi. Asnawi menyebut bila Ketum PSSI Iwan Bule adalah Ketum PSSI terbaik saat ini. “This true, kurang lebih 10 tahun bersama timnas Indonesia, beberapa kali merasakan pergantian Ketum PSSI.” “Jika mau menilai sampai dengan saat ini memang Iwan Bule masih yang terbaik,” kata Asnawi. Meski demikian, warganet justru kecewa dengan pernyataan Shin Tae-young ini. (Lia)