NASIONAL
Peristiwa Kanjuruhan Bukan Tragedi tapi Kriminal, Harus Ada yang Bertanggung Jawab!
SOMASI dari Aremania yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo untuk segera meminta maaf tak digubris Istana. Bahkan, menyusul tembakan polisi dengan gas air mata pada penonton di Stadion Kanjuruhan itu sedang disorot dunia. “Kasus ini membuat Aremania atau rakyat Indonesia marah, bahkan sampai ke seluruh dunia. Di Eropa bahkan orang pakai pita hitam. Itu menunjukkan bahwa ini kasusnya itu bukan sekadar pintu, Pak Jokowi. Jadi, minta maaf dululah, baru kita ngomong tentang bagaimana memperbaiki,” tegas Rocky Gerung, dalam Kanal Rocky Gerung Official, Kamis (6/10/2022). Menurut pengamat politik itu, ini persoalan serius, tetapi ditanggapi seolah peristiwa biasa itu. Lalu dipakai istilah tragedi. Tragedi artinya sesuatu yang tidak mungkin dihindarkan karena dia bukan faktor manusia. “Manusia itu dicemplungkan nasibnya oleh kekuatan-kekuatan di luar kemampuan manusia, di luar kapasitas dia, artinya alam yang membuat tragedi. Kalau ini bukan alam yang membuat,” tegas Rocky Gerung dalam dialognya dengan Wartawan Senior FNN Hersubeno Arief. “Itu pentingnya Pak Jokowi di dalam keadaan krisis semacam ini datang ke publik, kasih public address. Pak Jokowi datang kasih pidato pendek yang menenangkan. Jadi, jangan defensif atau apologetik,” lanjutnya. Berikut ini petikan dialog lengkapnya. Halo halo... Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Waduh, kita mesti mengawali hari ini dengan keberkahan Bung Rocky, karena terlalu banyak masalah di negeri kita ini dan kalau nggak kita kuat-kuat nggak banyak-banyak berdoa, ini berat situasinya Bung Rocky. Doa itu kita panjatkan setelah kita berniat untuk menyelesaikan masalahnya. Kan Tuhan bilang, kalau Anda tidak mampu menyelesaikan masalah jangan berdoa tuh. Jadi selesaikan masalahmu, maka doamu akan kami kabulkan. Ya, kira-kira itu. Ya, sepekat. Kita ikhtiar dulu ya. Ikhtiar dulu baru berdoa. Jangan nggak ngapa-ngapain lalu berdoa. Itu salah fatalis namanya. Iya, itu fatalis namanya. Dalam pepatah bahasa Latin namanya Ora Et Labora, bekerja dan berdoa. Jadi bekerja dulu gitu. Iya, agama juga mengajarkan begitu ya. Jadi, Tuhan tidak akan mengubah nasib sebuah bangsa kalau bangsa itu tidak mengubah sendiri. Nah, ini yang terjadi justru Pak Jokowi yang mau mengubah pintu di Kanjuruhan, karena kemarin Pak Jokowi rupanya melakukan inspeksi dan akhirnya beliau melihat satu pintu di situ yang disebut sebagai kuburan massal. Ada satu pintu yang terkunci. Ini yang orang heran kenapa pintu bisa terkunci. Biasanya kan kalau pertandingan selesai pintu-pintu itu langsung dibuka. Bagus kalau pintunya terkunci, asal yang disemprotkan itu adalah parfum. Orang nggak akan berebut keluar tuh. Tetapi, kalau yang disemprot adalah gas air mata kan, jadi kelihatannya Pak Jokowi dia ada pepatah bilang begini, “You cannot see the wood for the trees” ‘Anda tidak bisa melihat hutan kalau terpaku pada pohon-pohon’. Demikian juga Pak Jokowi, dia nggak bisa lihat problem besarnya karena terpaku pada hal-hal remeh-temeh itu. Kunci digembok segala macam. Kan semuanya bermula karena kepanikan. Datangnya kepanikan kenapa? Karena ada gas air mata. Kalau parfum yang disemprotkan, orang gembira-gembira saja tuh. Jadi, hal semacam ini menunjukkan juga pemahaman beliau tentang akar persoalan itu kurang sekali. Orang tentu akan kecewa ini bagaimana kok urusannya urusan pintu, itu kan urusan gampang saja. Kan ini semua tempat juga bisa bikin perbandingan. Tapi, kasus ini membuat Aremania atau rakyat Indonesia marah, bahkan sampai ke seluruh dunia. Bahkan di Eropa itu orang pakai pita hitam, itu menunjukkan bahwa ini kasusnya bukan sekedar pintu, Pak Jokowi. Jadi, minta maaf dululah baru kita ngomong tentang bagaimana memperbaiki. Karena rasa empati pada korban itu kurang diperlihatkan. Langsung ya nanti kita usut segala macam. Bukan sekadar Pak Jokowi, tapi juga Ketua PSSI segala macam. Jadi, nggak ada semacam pendalaman batin tentang peristiwa itu. Itu kan masalahnya. Karena itu, kemudian Arema atau masyarakat umum bahkan Persebaya, bahkan segala macam, kan kita lihat sekarang adalah seluruh suporter yang dulu berkelahi atau musuh-musuhan sekarang berkompak untuk mengatakan itu karena aparat. Jadi suporter di mana-mana juga sekarang merasa bahwa kami juga bisa kena hal yang sama tuh. Jadi, bagian ini yang musti didalami oleh Presiden Jokowi. Kita ingin Presiden Jokowi itu punya perspektiflah. Kini, seluruh masyarakat menunggu itu. Apa perspektif presiden. Ternyata, perspektifnya sesempit pintu yang dimasalahkan. Ya, dan kemudian beliau meminta diaudit seluruh stadion. Padahal, persoalannya bukan di stadionnya. Jelas ada Komnas HAM sudah memberikan semacam gambaran awal, dari pertemuan awal mereka persoalannya bukan di suporter yang turun ke lapangan yang membuat kerusuhan. Kemudian, secara khusus New York Times yang menyoroti. Kalau New York Times serius menyorotinya, karena ternyata memang polisi kita tidak terlatih dan kemudian juga tidak pernah diminta tanggung jawab. Jadi selalu berulang. Setiap kali ada kesalahan, ya tidak ada tanggung jawab. Itu sebenarnya inti persoalannya. Betul. Jadi, tanggung jawab itu yang kita tagih pada aparatur tentu saja. Aparat tertinggi dikendalikan oleh Presiden. Tetapi, mungkin terlalu tinggi kalau ke Presiden. Kapolda ada tuh. Ini bukan sekadar siapa yang di lapangan atau panitia yang ada di lapangan. Kan aparat yang tidak terlatih, aparat yang tidak mengerti cara penanganan kerusuhan di dalam ruangan tertutup, itu yang mustinya diaudit atau minimal ditata ulang. Pak Presiden ngomong tentang aparat, bukan tentang infrastruktur yang sempit di situ. Kan begitu cara kita melihat soal. Dari awal kita sudah bisa lihat gerakan gas itu ke mana. Harusnya, misalnya kalau mau sekadar asal-asalan, mestinya gas itu ditembakkan ke pintu yang terkunci. Lah itu pintunya jebol baru gitu kan. Tapi, tetap orang menghitung itu lapangan sepak bola ya pasti potensial ada kerusuhan. Karena itu, latih cara mengatasi kerusuhan, bukan dengan membabi-buta menembakkan kiri-kanan tuh. Jadi, bagian-bagian teknis itu kan mudah dibaca, tetapi Presiden juga harus mengerti bahwa penyelesaiannya bukan penyelesaian teknis. Ini satu sistem pengamanan yang buruk di mana-mana tuh. Pengamanan mahasiswa juga buruk segala macam, demonstrasi. Ini sistem pengamanan pelatihan aparat kita. Itu yang mesti diperbaiki Pak Presiden. Bukan mata Anda itu tertuju pada pintu yang sempit. Itu juga jadi sempit perspektif Anda. Karena kalau kemudian dipersoalkan Stadion Kanjuruan ini bisa jadi persoalan dengan Bu Megawati, karena ini stadion yang meresmikan Ibu Megawati loh. Jangan-jangan Pak Jokowi juga nggak tahu tuh. Oh, ya akhirnya orang kait-kaitkan hal semacam itu. Tapi Ibu Megawati nggak pernah berpikir bahwa aparat penjaga ketertiban pertandingan itu tak terlatih. Tentu Ibu Megawati merasa sudah terlatih sehingga ya bagian-bagian tersebut sebetulnya akhirnya orang kaitkan lagi kan. Ya Ibu Mega nanti akan berkomentar, ya kan saya buat itu dengan asumsi Bapak Jokowi akan melatih kepolisian. Jadi, jangan salahkan saya. Kira-kira begitu. Sebenarnya, seluruh dunia juga, yang dari jauh pun, sudah bisa langsung mengambil kesimpulan ketika kita tahu bahwa korban itu akibat ada orang berlarian karena semprotan gas air mata. Kenapa mereka bisa menyimpulkan itu? Karena FIFA sudah jelas melarang ada penggunaan gas air mata, sementara Kapolda misalnya menyatakan bahwa itu sesuai dengan SOP. Dari situ saja makanya seorang kolumnis di New York Times atau juga Bayern Munchen atau bahkan pemain seluruh dunia bisa langsung menyimpulkan ada persoalan yang serius pada petugas keamanan, bukan pada suporter atau pada stadionnya. Nah, informasi-informasi begini yang aparatnya Pak Jokowi atau staf khusus segala macam nggak brief. Pak Jokowi perlu diberi briefing tuh, internasional begini. Terjemahkan New York Time, terjemahkan koran-koran yang di Eropa supaya Pak Jokowi ngerti: Oh, iya ya, semua sepakat bahwa ini melanggar aturan FIFA, bahwa seluruh dunia langsung bisa melihat apa penyebab dari kejadian brutal itu. Jadi, dunia nggak melihat pintunya. Jadi, Pak Jokowi mesti diajarin supaya bisa berpikir lebih lebar, supaya dia dapat perspektif dengan perbandingan-perbandingan tuh. Ini bukan cuma salah Pak Jokowi, itu memang kapasitas beliau begitu. Tapi staf di sekitar beliau tidak kasih informasi yang benar sehingga Pak Jokowi akhirnya merasa ya ini cuma soal karena pintu kecil itu. Jadi hal-hal begini yang dari dulu kita ajarkan pada istana, supaya berpikirnya itu lebar dan dalam. Itu masalahnya. Kita jadi penasihat informal juga nih. Apa boleh buat Bung Rocky, karena kan kemarin juga kita baca bagaimana staf khusus Presiden Jokowi yang tetap bersikukuh atas somasi Aremania terhadap Presiden Jokowi dan juga para otoritas yang lain. Tetapi, menurut mereka apa urusannya Pak Jokowi harus minta maaf. Ini yang saya kira mesti kita jelasin. Ini staf khusus dungu juga nih. Kan itu somasi untuk meminta perhatian Pak Jokowi terhadap keadaan psikososial dari masyarakat yang getir, yang marah segala macam. Kan somasi itu artinya teguran etis. Memang dia disebut somasi karena cuma itu jalannya. Tapi kan dalam hukum yang beradab, kalau disomasikan orang mesti oh iya, gua salah, jangan-jangan ya. Itu namanya somasi. Somasi itu bukan tuntutan hukum. Itu adalah awal dari menyadarkan orang yang bersalah. Itu somasi. Jadi, staf khusus presiden ini, siapa mereka mereka, nggak paham tentang dasar pertama dari somasi adalah etika imperatif. Itu dia nggak ngerti belajar dari mana dungu-dungu ini. Ini betul-betul membuat membuat publik menjadi sangat kecewa dan ternyata sikap-sikap semacam itu ya sikap lari dari tanggung jawab itu diikuti juga oleh di bawahnya, misalnya PSSI. Ketua umum PSSI mengatakan bahwa tanggung jawabnya bukan pada PSSI. Tanggung jawabnya itu pada panpel. Haduh... Saya jadi speechless deh mau ngomong. Kalau begitu tanggung jawabnya ada pada si pemegang kunci pintu itu. Jadi, begitu kan. Atau kunci pintunya yang tanggung jawab. Kan ini gila reasoning dari istana kan. Itu kayak orang nggak terdidik dalam berpikir, asal jeplak saja. Kami nggak akan minta maaf karena nggak perlu lagi karena presiden sudah pastikan diusut. Memang itu presiden ngomong diusut apa nggak ngomong diusut, itu pasti harus diusut. Jadi, yang lebih penting adalah dimensi etik dari peristiwa itu yang membuat orang jengkel, marah, sedih, geram, segala macam. Kan itu disomasi. Jadi, hati nurani publik minta presiden minta maaflah. Nanti Istana bilang kenapa kita minta maaf, itu kan yang salah adalah juru kunci, yang pegang kunci kan. Itu saya bayangkan cara berpikir istana ini yang betul-betul ya sering saya sebut dungu itu. Bukan orangnya yang dungu, tapi cara berpikirnya dungu. Keadaan dunia marah, lalu dianggap bahwa ya nggak perlu minta maaf. Loh, seluruh dunia itu marah, FIFA marah karena kalian itu nggak ngerti manajemen kerusuhan itu. Jadi, itu intinya tuh. Ini bahayanya kalau presiden dikelilingi oleh orang-orang yang hanya punya keahlian teknis, teknis hukum apalagi. Itu nggak ngerti bahwa di belakang teknikaliti dari hukum itu ada desain etis di situ, ada moral clarity. Somasi itu untuk minta moral clarity. Begitu cara berpikirnya tuan-tuan dan puan-puan yang ada di istana. Saya kira wajar kalau Anda pagi ini kelihatan rada emosional. Karena ini serius betul, tapi ditanggapi seolah peristiwa biasa itu, yang nggak perlu minta maaf segala macam. Lalu dipakai istilah tragedi. Di mana ada tragedi. Di dalam peradaban, kalau kita baca asal-usul kata tragedi, tragedi artinya sesuatu yang tidak mungkin dihindarkan karena dia bukan faktor manusia. Manusia itu dicemplungkan nasibnya oleh kekuatan-kekuatan di luar kemampuan manusia, di luar kapasitas dia, artinya alam yang membuat tragedi. Kalau ini bukan alam yang membuat. Ini yang membuat adalah petugas keamanan, dan itu yang nggak dipahami oleh istana. Oh, ini tragedi kemanusiaan. Nggak ada. Tragedi kemanusiaan itu tidak bisa diprediksi. Nah, peristiwa di Malang itu bisa diprediksi. Sesuatu yang bisa diprediksi pasti bisa dikontrol. Nah, gagal kontrol itu artinya gagal prediksi tuh. Itu bukan karena kehendak alam. Kalau tragedi karena kehendak alam. Di luar kapasitas manusia. Kalau ini ada di dalam manajemen yang dikelola oleh sistem yang gagal untuk memberi rasa aman. Itu yang mesti dipahami dungu-dungu yang berkeliling di sekitar Pak Jokowi, sehingga Pak Jokowi nggak ngerti sebetulnya beda antara tragedi dan kriminal. Oke. Kita teruskan evaluasinya ya, karena kalau kita tadi lihat New York Times, jelas. Dia jelas menuding langsung petugas keamanan, dalam hal ini kepolisian, ada memang tentara tapi di situ diperbantukan gitu ya. Dan, ini sebenarnya kalau kita lihat memang terjadi soal serius kelihatannya di internal kepolisian. Kemarin, ini kita geger ada dua Bintara polisi Polda di Polda Papua Barat yang rupanya diminta mengantarkan kue ulang tahun untuk TNI yang kemarin itu merayakan ulang tahun ke-77, tapi malah melakukan pelecehan. Kue ulang tahunnya malah dijilat, dia menyatakan supaya tidak panjang umur, dan sebagainya. Dan ini membuat pimpinan Polri kalang kabut dan harus minta maaf pada pimpinan TNI. Dalam keadaan semacam ini, kita selalu minta pertanggungjawaban. Saya ini rumuskan kembali bahwa tragedi tidak perlu ada pertanggungjawaban karena itu desain semesta. Tetapi, ini butuh pertanggungjawaban. Nah, karena itu, kemudian orang merasa bahwa kalau nggak ada pertanggungjawaban, jadi semua orang bisa suka-sukanya gitu melecehkan atau menghina segala macam. Jadi, satu paket bahwa institusi Polri itu memang disorot publik dan nggak ada pembenahan. Sudah dari kasus Pak Sambo itu nggak ada pembedahan, lalu terjadi ekses-akses semacam itu. Bayangkan misalnya kalau kemarahan itu tumpah bersama dengan kemarahan buruh, kembaran suporter, dan kemarahan TNI. Kan berantakan. Nah, itu pentingnya Pak Jokowi di dalam keadaan yang krisis semacam ini datang ke publik, kasih public address. Itu biasa dalam hal yang betul-betul dramatis. Ada bencana, ada segala macam. Itu Pak Jokowi datang kasih pidato pendek yang menenangkan. Itu intinya. Jadi, jangan defensif atau apologetik. Jadi, lakukan sesuatu secara dorongan keras dari batin bahwa bangsa ini sedang retak. Suatu peristiwa yang barusan terjadi di Malang itu ternyata tidak dipahami oleh anggota polisi yang ada di Papua, misalnya. Jadi, emang ini yang anggota di Papua mungkin ya sangat junior, dia belum bisa paham bahwa kita ada dalam kecemasan, bahwa institusi polisi itu ada dalam sorotan tajam, bahkan dari internasional menganggap bahwa polisi itu memang nggak terlatih gitu. Dan orang akan anggap bahwa polisi Indonesia juga berbahaya kalau begitu, menangani potensi rakyat segala macam kalau terjadi G20, misalnya. Cara memandang kita itu lihat hutannya, bukan sekadar lihat pohon-pohonnya. (Ida/sws)
Eks Pemain Timnas: Penundaan Liga Indonesia Dua Pekan Merupakan Kerugian
Jakarta, FNN - Setelah terjadi tragedi kanjuruhan pada Sabtu (1/10/22) lalu, Presiden Joko Widodo mengintruksikan PSSI dan PT LIB untuk menunda kompetisi sepak bola Indonesia hingga selesai pengusutan kasus tragedi Kanjuruhan yang menewaskan ratusan korban jiwa. Namun, pengamat sepak bola nasional Sigit Nugroho dan mantan pemain timnas Oktovianus Maniani menilai penundaan kompetisi Liga Indonesia selama dua pekan sebagai kerugian. Sigit dan Okto tidak sepakat kompetisi mengalami penundaan. Keduanya kompak menginginkan turnamen Liga 1, Liga 2, dan Liga 3 segera digulirkan. Hal ini disampaikan keduanya dalam acara Gelora Talks secara daring yang bertajuk ‘Duka Sepak Bola Tanah Air, Duka Untuk Indonesia’ pada Rabu (5/10/22). Bukan bermaksud tidak bersimpati kepada korban, tetapi menurutnya saat ini prestasi sepak bola Indonesia tengah dalam performa terbaik sehingga dibutuhkan kompetisi yang mendukung. Di level senior terbukti Timnas Indonesia di bawah asuhan Shin Tae Yong kembali berlaga di Piala Asia 2023 di Qatar seusai terakhir ikut pada edisi 2007. Selain itu, di level junior, Garuda Nusantara baru menjadi juara untuk kelompok umur U-16 dan lolos ke Piala Asia U-20 2023 yang rencananya akan digelar di Uzbekistan. Maka dari itu, Sigit berharap PSSI kembali mengkaji penundaan kompetisi mengingat jika terlalu larut, federasi sepak bola dunia (FIFA) bisa menjatuhkan hukuman akibat adanya campur tangan pemerintah. Okto Maniani juga mengatakan apabila kompetisi ditunda selama dua pekan maka dapat membuat para pemain mengalami penurunan performa dan membutuhkan recovery yang lama untuk kembali ke kondisi awal. “Pemerintah harus memikirkan pemain dan pelatih saat kompetisi dihentikan. Ada banyak orang menggantungkan hidupnya di sepak bola. Takut kalau lama ditunda akan menimbulkan dampak yang tidak diinginkan,\" pungkasnya. (Lia)
Ngotot Jadikan Anies Tersangka, KPK Bisa Menjebak Anies Sekaligus Jokowi
TAMPAKNYA Ketua KPK Firli Bahuri masih bersikeras melanjutkan proses “hukum” Anies Rasyid Baswedan ke tingkat penyidikan terkait gelaran balap mobil listrik Formula E. “Kan kemarin saya bilang, pasti akan dilanjutkan karena duel habis-habisan sebetulnya. Kalau diloloskan ya sudah, habislah. Ganjar habis, Puan habis, segala macam itu. Kan begitu KPK bilang oke, kami hentikan penyelidikan itu, maka elektabilitas Anies naik gila-gilaan kan. Karena itu orang merasa ini dia penyelamat kita,” kata pengamat politik Rocky Gerung. “Tapi, sebagai teman dan sebagai orang yang melihat bahwa potensi Anies untuk maju itu harus kita dukung, sama seperti potensi Ganjar untuk maju sebagai presiden juga kita dukung, kita menginginkan ada satu standar bahwa semua orang boleh maju di dalam kompetisi,” lanjutnya kepada Wartawan Senior FNN Hersubeno Arief dalam dialognya di Kanal Rocky Gerung Official, Rabu (5/10/2022). “Padahal kita cuma ingin ada satu aura, yaitu kompetisi. Kompetisi adalah kemampuan akal pikiran untuk mengucapkan program, untuk berdebat dengan lawan politik,” tegas Rocky Gerung. Lebih lengkapnya, berikut ini petikan dialog Hersubeno Arief dengan Rocky Gerung. Halo halo Bung Rocky, ketemu lagi kita, ngobrol. Kemarin kalau nggak salah saya bertanya kepada Anda, ini setelah Nasdem mendeklarasikan capresnya, berani tidak KPK meneruskan kasus ini. Dan kalau kita simak pernyataan dari wakil ketua KPK, Alexander Marwata, mereka bilang jalan terus, karena ini kan belum resmi pencalonan, baru satu partai saja. Jadi, ini tidak menghalangi proses penyidikan yang harus dilakukan oleh KPK. Ya, kemarin saya bilang, pasti akan dilanjutkan karena ini duel habis-habisan sebetulnya. Kalau diloloskan ya sudah, habislah. Ganjar habis, Puan habis! Begitu KPK bilang oke, kami hentikan penyelidikan itu, maka elektabilitas Anies naik gila-gilaan. Karena orang merasa ini dia penyelamat kita. Psikologi itu akan terjadi. Nah, pasti kekuasaan menghitung itu. Karenanya, saya bikin teori bahwa pasti Anies akan dijegal. Bukan saya ingin Anies dijegal, tetapi secara kalkulasi politik real Anies pasti dijegal. Jadi, KPK pasti akan melawan deklarasi itu tuh. Nah, sekarang kita bandingkan, bayangkan misalnya begitu KPK bilang “enggak kami akan terus” maka akan ada reaksi. Dari mana reaksi? Pertama pasti dari pendukung Anies. Siapa pendukung Anies yang pasti akan marah. Pertama, pasti 212. Kira-kira begitu jalan pikirannya kan? Lalu negara bilang, nah, tuh kan Anies cuma didukung 212. Lalu Nasdem mungkin akan bilang, iya, kita sudah lakukan yang maksimal, tapi ya sudah kita percaya pada sistem hukum, lalu Nasdem kemudian melemah lagi. Ya, ini karena KPK kita hormati. Habis juga akhirnya Anies. Itu yang saya uji sebagai jebakan-jebakan kecil yang berbahaya bagi Anies. Tapi, oke, mungkin Anies juga sudah antisipasi itu. Tetapi, sebagai teman dan sebagai orang yang melihat bahwa potensi Anies untuk maju itu harus kita dukung, sama seperti potensi Ganjar untuk maju sebagai presiden juga kita dukung, kita menginginkan ada satu standar bahwa semua orang boleh maju dalam kompetisi. Kan orang akan bilang ya Ganjar juga masih ada kasus sprindik, sama saja sebetulnya. Begitu Ganjar dicalonkan, lawan politiknya mulai aduk-aduk lagi itu. Ada soal e-KTP. Tetapi, kita musti fair, kasih kesempatan pada Anies, kasih kesempatan pada Ganjar Pranowo, Ibu Puan, siapapun, AHY atau Ridwan Kamil bahkan, supaya ada kegembiraan dalam politik ini. Jadi, jangan hal-hal kecil itu dipakai untuk menjegal seseorang. Kalau memang faktanya kriminal, ya sudah putuskan itu sebagai kriminal. Dan sebenarnya gini ya, kita ini sekarang dengan peristiwa ini membuat publik semakin paham dan semakin terbuka permainan di balik layar yang selama ini. Kan selama ini coba ditutupi gitu, kemarin misalnya Pak SBY nyebut soal turun gunung gitu, Beny Harman menyebut genderuwo, dan kita sekarang jadi tahu siapa genderuwonya itu. Tapi kan genderuwo, setan, dan lain-lain tuyul kan biasanya ada yang memelihara juga, begitu. Ya jelas, tuyul diumpankan. Kalau genderuwo dijadikan sebagai pengganggu. Lalu kita berpikir bahwa berarti banyak dukun yang lagi bermain di belakang politik. Padahal kita cuma ingin ada satu aura, yaitu kompetisi. Itu intinya. Kompetisi ya kemampuan akal pikiran untuk mengucapkan program, untuk berdebat dengan lawan politik. Kalau begini ini, bagaimana kita menikmati perdebatan intelektual di forum-forum publik tentang siapa yang layak jadi capres kalau isu di belakang itu genderuwo, tuyul, segala macam, kan nggak fair itu. Apalagi kalau soal Anies. Anies ini to be or not to be bagi negara. Lain halnya kalau Anies bilang oke, saya mencalonkan diri karena saya ingin meneruskan program-program strategis dari Bapak Presiden Jokowi, maka kedudukan Anies sama dengan Pak Prabowo, sama dengan Ganjar, sama dengan siapapun yang ingin meneruskan. Tetapi, karena Anies itu dianggap berbeda secara ideologi perencanaan pembangunan dengan Pak Jokowi, maka dia akan dijegal. Itu bahayanya. Sebetulnya biasa saja kan? Orang nggak ingin meneruskan program Pak Jokowi, emang kenapa? Kan setiap 5 tahun programnya berubah sesuai dengan visi presiden baru. Itu dasar pertandingannya di situ selalu. Tapi gini ya, kalau toh kemudian KPK tetap nekat dan artinya KPK itu, kita nyebut juga bukan hanya KPK ya, itu ada kepentingan-kepentingan di belakangnya, dalam hal ini kekuasaan. Apakah dalam situasi sekarang ini mereka tidak menyadari bahwa melakukan mitigasi gitu ya. Situasinya berbeda. Pemerintah sekarang tidak sepowerfull sebelumnya. Ya, dia tahu. Tapi, dia anggap kami cuma alat. Kami juga nggak mungkin lakukan hal yang sebaliknya kalau nggak ada perintah dari agen-agen yang lebih tinggi dari dia. Kan sinyal itu dari awal kita tangkap gituan selalu kita hubungkan dengan memangnya status KPK sekarang itu sama seperti KPK di awal-awal? Kan enggak. Dan orang-orang kritis di KPK justru tersingkir. Jadi, bagian-bagian ini yang orang anggap ya KPK sebetulnya paham bahwa nggak etis mempersoalkan sesuatu yang masih bersifat administratif. Penyelenggaraan administrasi kegubernuran Anies itu dikait-kaitkan dengan potensi Anies untuk melawan Jokowi. Kan di benak kepala orang, kalau KPK menghalangi Anies, dianggap bahwa Anies memang akan melawan kebijakan Jokowi. Ya memang, kan harus ada kontras. Orang bosen misalnya dengan kepemimpinan Pak Jokowi, biasa saja kan. Lalu, terbaca di dalam elektabilitas bahwa kepuasan publik menurun, tetapi kemudian dimanipulasi oleh lembaga survei. Tapi faktanya Anies tidak pernah mengatakan akan melanjutkan kepemimpinan Jokowi, melanjutkan program Pak Jokowi, itu yang saya anggap kejujuran dari Anies mengatakan bahwa saya memang berbeda dengan Pak Jokowi. Kalau Anies sama dengan Pak Jokowi ngapain gua dukung Anies, mending gua dukung Pak Jokowi saja. Kan beliau yang lebih lebih dulu memberi jalan bagi kemajuan Indonesia. Kalau begitu. Apalagi kalau ilmunya lebih rendah dari Pak Jokowi. Untuk apa kita pilih lagi ya. Iya, kalau retorika Anies buruk, ya sudah. Kan Anies akan bilang saya akan ikuti cara diplomasi Pak Jokowi, yaitu pergi ke forum internasional sambil nenteng-nenteng laptop atau apa, ya nggak begitulah. Kan orang mau lihat ada orang yang masuk dalam forum internasional dengan pikiran yang cerdas dan manfaatkan momentum internasional untuk menagih kepentingan Indonesia di forum internasional. Itu yang Pak Jokowi enggak pernah lakukan, bertahun-tahun Pak Jokowi nggak pernah hadiri persidangan internasional yang memerlukan kecepatan berpikir. Bukan saya katakan Jokowi tidak mampu, tapi Pak Jokowi memang wataknya begitu. Dia mungkin nggak suka forum-forum internasional, tapi Anies suka. Nah, kita, orang yang suka pada forum internasional dimanfaatkan pasti akan menganggap Anies harus lakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Jokowi. Apakah Jokowi buruk karena nggak masuk forum internasional? Nggak juga. Karena itu wataknya Pak Jokowi itu. Tetapi, dalam kalkulasi kita seharusnya presiden memanfaatkan forum-forum internasional. Itu intinya. Iya. Oke. Beginilah. Tadi Anda memperkirakan bahwa misal kalau kemudian pemerintah nekat itu mungkin mereka bisa kendalikan dan Nasdem juga bisa buang badan gitu, kalau orang Medan bilang gitu. Tetapi kalau Anda lihat mood publik yang sangat merasakan, kita bisa merasakannya, mood publik ingin ada perubahan, apakah yang ini akan kembali lagi seperti kasus-kasus serupa gitu, ketika ada banyak korban tewas pada saat Pilpres lalu, kemudian juga banyak kasus-kasus unlawfull killing dan sebagainya, rakyat akan diam saja kalau itu sampai dilakukan oleh KPK. Ini akan terjadi yang disebut public justice itu. Orang akan tagih keadilan di jalanan, atau street justice. Jadi, itu bahayanya. Karena orang-orang di sekitar Pak Jokowi itu seolah-olah ingin menyelamatkan Pak Jokowi dengan menutupi mata Pak Jokowi tentang keresahan publik. Pak Jokowi saya kira tidak punya akses yang riil untuk merasakan bahwa ada kemarahan publik. Ini adalah kesalahan dari orang-orang di luar Pak Jokowi itu. Ketidakmampuan Jokowi untuk berinteraksi langsung secara intelektual dimanfaatkan oleh mereka supaya Pak Jokowi terlindungi. Padahal, itu justru berbahaya. Saya ingin menyelamatkan figur Pak Jokowi jutru supaya Pak Jokowi ngerti bahwa bagian-bagian masyarakat itu ada yang dimanipulasi untuk sekedar menjilat-jilat beliau. Itu intinya. Dan kita mulai meragukan apakah betul Pak Jokowi bisa menyelesaikan periode kepemimpinannya sampai 2024. Potensi social unrest, potensi kekacauan kita hari ini. Jadi tingkat kemarahan publik itu tinggi sekali hari ini. Itu yang tidak dikenali Pak Jokowi. Kenapa? Karena akses Pak Jokowi untuk mengerti itu dihalangi oleh para penasihatnya tuh. Saya pikir itu. Selain kritik saya yang langsung tertuju pada Pak Jokowi, ya saya juga menganggap bahwa ada lingkungan yang jadi bemper di situ. Tentu itu disewa oleh oligarki, disewa oleh intelijen segala macam. Itu bahayanya, presiden yang kapasitasnya kurang, lalu dimanfaatkan oleh mereka yang punya kepentingan. Jadi, artinya bukan hanya Anies dong yang terjebak ya. Pak Jokowi juga mungkin tanpa sadar juga bisa dijebakkan dalam situasi semacam ini. Iya, tentu banyak orang yang menganggap Pak Jokowi, Anies nanti akan memenjarakan Anda setelah dia terpilih. Lalu, Pak Jokowi mulai pasang strategi, kalau begitu kita upayakan supaya Anies jangan maju tuh. Kan padahal nggak ada percakapan itu di publik. Orang Indonesia adalah pemaaf, orang Indonesia mengerti bahwa kapasitas Pak Jokowi tidak mampu untuk dipakai membuktikan janji-janjinya. Ya sudah, orang sudah anggap itu kan. Dan semua publik internasional juga tahu bahwa Pak Jokowi nggak punya kapasitas melebihi yang dia janjikan, yang ekonomi akan tumbuh sekian, oposisi nanti tidak diperlukan segala macam, itu berbalik kan? Jadi, biasa saja di ujung kepemimpinan seseorang yang sudah 7 tahun, Pak Jokowi ngerti tentang politik, tetapi publik menganggap bukan itu yang kita tagih dari Pak Jokowi. Janji-janjinya itu musti diperlihatkan dan itu nggak terjadi. Lalu, Pak Jokowi berdasarkan informasi penasihatnya, ini kan ada covid, karena segala macam. Loh, sebelum covid pun Indonesia sudah nggak tumbuh. Jadi apologia itu yang justru membuyarkan harapan kita bahwa Jokowi bisa tampil sebagai pemimpin bermutu dan dicatat dalam sejarah kita. Nanti setelah 2024 orang akan tanya apa sejarah Pak Jokowi? Yang orang ingat adalah beliau nggak mau minta maaf soal Arema. Apa prestasi Pak Jokowi? Prestasi dia adalah menghalangi Anies jadi presiden. Kan itu buruk ya, dan itu yang kita ingatkan sebetulnya. Kalau saya katakan Istana itu dungu karena cara itu, bukan pribadi orang yang dungu tapi cara mereka melindungi Pak Jokowi itu dungu. Itu yang nggak mungkin berubah dari cara saya menganalisis. Jadi sikap KPK akan tetap terus maju untuk menghalangi Anies Baswedan ini sesungguhnya tidak hanya menjebak Anies saja tapi juga menjebak Pak Jokowi juga ya. Betul. Itu Pak Jokowi terjebak di situ tuh. Mungkin dia ingin bercakap-cakap dengan Anies, tapi lingkungannya bilang jangan. Mungkin Pak Jokowi ingin bercakap-cakap dengan Habib Rizieq Shihab, tapi lingkungannya yang bilang jangan, berbahaya itu, tuker tambahnya berat segala macam. Jadi ini soalnya tuh. Jadi, Pak Jokowi dihipnosis oleh lingkungannya sendiri untuk makin tidak punya kapasitas membaca arah demokrasi itu. Dan bagi kita semua sebenarnya kita nikmati saja soal ini dan karena kita sebenarnya mengingatkan bahwa biang persoalan seluruhnya itu adalah 0%. (Sof/sws)
Partai Gelora Optimistis Timnas Indonesia Makin Berprestasi Pasca Tragedi Kanjuruhan,Tapi?
Jakarta,FNN - Partai Gelombang Rakyat (Gelora) optimis persepakbolaan di Indonesia akan semakin maju pasca tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang yang menewaskan 131 supoter Aremania beberapa waktu lalu. Tragedi Kanjuruan akan menjadi momentum perbaikan persepakbolaan Indonesia di segala lini. Mulai dari fasilitas stadion, pembinaan suporter dan wasit, pengamanan pertandingan hingga perekrutan pemain Timnas Indonesia. \"Partai Gelora Optimis masa depan sepak bola Indonesia akan semakin maju, apalagi kalau melihat bibit-bibit Timnas yang ada saat ini. Mereka memiliki mental yang keras dan bisa berprestasi,\" kata Ketua Bidang Gaya Hidup, Hoby & Olahraga (Gahora) DPN Partai Gelora Kumalasari Kartini (Mala) dalam Gelora Talks \'Duka Sepak Bola Tanah Air, Duka untuk Indonesia\', Rabu (5/10/2022). Menurut Mala, Timnas Indonesia dibawah asuhan pelatih Bima Sakti untuk U-17 dan Shin Tae Yong untuk U-19, U-23 dan Timnas Senior memiliki mental juara. \"Kita melihat sepak terjang pelatih Shin Tae yong dan Bima Sakti, Timnas memiliki mental yang keras. Dan ternyata kita bisa lho berprestasi. Karena itu, Partai Gelora optimis Timnas akan semakin berprestasi,\" kata Mala. Hal senada disampaikan eks pemain Timnas Indonesia asal Papua Oktovianus \'Okto\' Maniani. Okto menilai pemain sepak bola Indonesia memiliki kualitas dan talenta seperti pemain Eropa, terutama dari Indonesia Timur. Karena itu, Okto mendorong pemain Indonesia semakin banyak bermain di luar negeri untuk meningkatkan kualitas dan skillnya. Ia berharap tragedi Kanjuruhan tidak memadamkan semangat pemain sepak bola Indonesia untuk bermain di luar negeri. \"Bermain bola itu jangan sampai padam, motivasinya harus tinggi. Kalau ada tawaran keluar dari Indonesia, silahkan itu di ambil. Itu akan membuat karakter dan kualitas kalian lebih bagus. Dan bisa mewakili Garuda di luar negeri,\" kata Okto. Okto yang kini bermain di PSBS Biak di Liga 2 itu berharap agar kompetisi tidak dihentikan terlalu lama, karena akan mempengaruhi masa depan pemain, menyangkut kualitas bermain dan finansial mereka. \"Tragedi Kanjuruhan cukup mencoreng muka kita, tetapi namanya musibah. Kita berharap pemerintah tidak menghentikan kompetisi sampai 2 tahun, cukup dua pekan saja karena akan mempengaruhi seluruh pemain. Kita berharap kompetisi tetap dilanjutkan,\" pinta Okto. Pengamat Sepak Bola dan Tokoh Suporter Nasional Sigit Nugroho juga berharap agar kompetisi bisa dilanjutkan, dan tidak dihentikan terlalu lama. Namun, dengan catatan jumlah penonton dibatasi dan pengamanan pertandingan harus lebih humanis, serta tidak ada lagi penggunaan gas air mata. \"Sepak bola nasional memang harus direstorasi sebelum kompetisi digulirkan lagi. FIFA perlu turun tangan untuk melakukan investigasi dan perbaikan. Jangan pemerintah, nanti kita bisa kena banned lagi,\" kata Sigit. Sigit menilai perhatian PSSI dibawah kepemimpinan Mochamad Iriawan sebagai Ketua Umum PSSI terhadap pembinaan atau edukasi suporter sangat kurang, padahal didukung anggaran yang cukup besar. \"Tapi begitu sekarang ada kejadian di Kanjuruhan, buru-buru mau melakukan edukasi kepada supoter, ini yang kita sayangkan, kenapa baru setelah ada jumlah korban besar, baru memberikan perhatian, serius,\" katanya. Sigit lantas membandingkan ketika PSSI dibawah kepemimpinan Djohar Arifin dalam melakukan edukasi kepada suporter. Saat itu, Sigit diminta membina suporter di Bandung, Jakarta, Surabaya dan Malang. \"Jadi kita saat itu membantu PSSI agar suporter tidak brutal dan bisa memahami regulasi. Di Bandung kita berhasil membina Bobotoh Bertakwa, Bonek Hijrah di Surabaya. Dan di Malang sebenarnya juga sudah terkendali dan embrio-embrio kebaikan itu ada,\" katanya. Selain itu, Tokoh Suporter Nasional ini juga mengaku saat kepemimpinan Djohar Arifin berhasil mengumpulkan seluruh suporter di tanah air di Puncak, Bogor diberikan pelatihan jurnalistik untuk mengelola website masing-masing klub. \"Jadi kita berikan kegiatan positif untuk supoter sebagai edukasi. Kita dapat apresiasi dari Pak Djohar Arifin karena dianggap telah membantu PSSI saat itu. Tapi sekarang dananya jauh lebih besar, tapi tidak ada perhatian sama sekali,\" tegas Sigit Nugroho. (*)
Aktivis Petisi 28 Curigai Semua Institusi Terlibat Kasus Sambo
Jakarta, FNN – Kasus pembunuhan Brigadir J adalah pintu dugaan adanya dugaan kejahatan yang dilakukan Satgassus Merah Putih. Haris Rusly, aktivis Petisi 28 merasa ada sikap tidak serius dari penguasa untuk mengusut tuntas kasus ini. Seminar \"Satgassus Merah Putih Polri Terlibat Mafia Tambang!?\" dilaksanakan pada Rabu (5/10/2022) di Hotel Sofyan, Jakarta Pusat. Terdapat 5 pembicara yang hadir dalam seminar ini: Said Didu, Anthony Budiawan, Yusri Usman, Boyamin Saiman dan Haris Rusly. Menurut Haris, kejahatan Satgassus yang sudah terbongkar dan juga telah diumumkan seperti mafia judi online, perdagangan manusia, dan pencucian uang. Ia berharap bukan hanya kasus pembunuhan Brigadir J saja yang ditangani serius dan jangan sampai ada sikap lepas tangan. “Jangan sampai ada kesan pembiaran. Ada kesan, apa ya? Kalau kita perhatikan yang ada di negara kita hari ini. Jangan-jangan semua terima, semua terlibat. Sehingga tidak ada pejabat yang berani bertindak,” ungkap Haris. Aktivis Petisi 98 itu merasa pejabat dan penegak hukum hanya memberikan pernyataan di depan publik. Tapi setelah itu tidak ada tindakan nyata. Publik pun akan menciptakan rasa curiga menurutnya. Haris juga meminta kepada Presiden Joko Widodo secara langsung untuk membenahi institusi Polri. Saat ini wajah Polri sudah bonyok dan berbau busuk. Menurutnya, walau Polri sudah melakukan pencitraan, itu tak akan cukup. Jadi ia meminta kepada Presiden untuk memimpin dan manata ulang Polri secara langsung. “Presiden harus pimpin langsung, menata ulang. Mengajukan revisi terhada Undang-Undang Polri agar kewenangannya itu dibatasi. Lalu menempatkan Polri seperti TNI di bawah Departemen Keamanan Dalam Negeri Amerika. Supaya apa? Supaya Polri ini lebih fokus pada fungsi utamanya,\" pungkas Haris. (Fer)
Anies Baswedan Tuntaskan Program Relokasi Tugu 66 di Taman Menteng
Jakarta, FNN - Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Anies Rasyid Baswedan pada Rabu, 5 Oktober 2022 telah resmi menuntaskan program relokasi Tugu 66 ke Taman Menteng, Jakarta Pusat setelah sebelumnya berada di jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan. Pemindahan tugu ini dilakukan karena pada tempat sebelumnya, tugu yang melambangkan perjuangan pemuda pada tahun 1966 ini terhalangi oleh pembangunan stasiun LRT yang hingga sekarang masih berlanjut sehingga mendistorsi fungsi dari tugu itu sendiri. \"Pemindahan ini dilakukan karena di tempat sebelumnya, di Rasuna Said, Tugu ini terhalangi oleh adanya stasiun LRT sehingga fungsinya sebagai pengingat terhadap perjuangan pemuda masa lalu kurang tersampaikan,\" ujarnya pada acara peresmiam relokasi Tugu 66 di Taman Mentang, Jakarta Pusat, Rabu 5 Oktober 2022. Gubernur DKI Jakarta Periode 2017-2022 itu berharap, semoga dengan adanya pemindahan ini fungsi dari tugu itu sendiri dapat memberikan inspirasi kepada gerasi baru khususnya untuk pemuda untuk selalu bergerak melakukan perubahan. \"Saya yakin tempat ini, monumennya akan lebih nampak dari pada di tengah jalan yang hampir tidak ada orang jalan kaki yang mampir ke monumen itu. Tapi di tempat ini memungkinkan banyak orang untuk mampir dan biarkan mereka membaca kisahnya dan mereka akan terinspirasi dengan mengatakan bahwa di masa lalu, ada anak muda yang tidak pilih menonton, tidak pilih diam tapi memilih bergerak dan melakukan perubahan,\" ujarnya. Tugu 66 adalah monumen memorial perjuangan para pemuda pada tahun 1966 atas dikeluarkannya Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura) terhadap pemerintah orde lama yang berisi (1) Bubarkan PKI, (2) Rombak Kabinet Dwikora dan (3) Turunkan Harga Pangan. Program relokasi Tugu 66 ini pertama kali dilakukan pada 20 Juli 2022, dan telah dinyatakan resmi tuntas pada Rabu, 5 Oktober 2022. Program ini merupakan salah satu program terakhir yang dituntaskan oleh Anies Baswedan sebelum habis masa jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta pada tanggal 16 Oktober 2022 mendatang. (Habil)
Pembacaan Naskah Prestasi Anies Baswedan di Depan Gedung KPK
Jakarta, FNN – Relawan Anies Baswedan membacakan prestasi Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan selama menjabat. Muhammad Hamim selaku Humas Kebangkitan Jawara dan Pengacara (Bang Japar) membacakan sejumlah prestasi yang digapai Anies. “Pak Anies dari tahun 2017 sampai dengan 2021 memberikan sederet prestasi. Pertama, dengerin nih prestasi Pak Anies, mendapatkan Transportasi Award 2020, kemudian dari Kemenag juga dapat penghargaan. Dari PT Transportasi Jakarta juga dapat, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) lima tahun berturut-turut memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP),” ucap Hamim memaparkan. “Kemudian Pak Anies juga berhasil membina BUMD terbaik selama 5 tahun, seluruh BUMD-nya mendapatkan Top Award dari tahun 2017 sampai 2022. Kemudian meraih sembilan kategori juara umum anugerah publik dari PTSP. Kemudian layanan JAKI (Aplikasi Jakarta Kini), kata Hamim menambahkan. Hamim juga mengatakan pencapaian Anies lainnya adalah banyaknya ruang terbuka hijau (RTH), Jakarta Internasional Stadium (JIS), juga jalan-jalan di Sudirman, Kota peduli Hak Azasi Manusia (HAM), serta penghargaan nasional dan internasional lainnya. Dan pencapaian Anies juga dapat dinikmati oleh para penyandang disabilitas sebagaimana yang dikatakan oleh Mia selaku Ketua Kemonitas Disabilitas Kreatif Indonesia (DKI). “Dengan program-program pak Anies ini, kota Jakarta jadi semakin maju dan pesat, dan juga semakin cantik dan bagus terutama untuk kaum disabilitas, terima kasih Pak Anies, telah memfasilitasi banyak sekali jalan-jalan untuk program-program disabilitas. Jalan dan akses untuk para disabilitas,” ucap Mia. “Salah satu yang mendukung kami, Rusunawa. Rusunawa dari pak Anies ada akses untuk disabilitas,” tukas Mia menambahkan. Selain itu, berdasarkan informasi dari Bang Japar, ketua KPK Firli Bahuri telah menerima perwakilan massa aksi untuk diskusi. Walaupun cuaca mendung, massa aksi tetap melanjutkan acara sekitar pukul 10.00 WIB. Acara berakhir sekitar pukul 11.00 WIB yang ditutup dengan foto bersama massa aksi di depan gedung KPK. Lalu massa aksi membubarkan diri dengan teratur. (Rac)
Relawan Anies Mendesak KPK Usut Kasus Besar, Bukan Formula E
Jakarta, FNN – Kebangkitan Jawara dan Pengacara (Bang Japar) menyatakan sikap menolak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi alat politik penguasa. Rabu, 5 Oktober 2022, Bang Japar yang disuarai oleh M. Hamim selaku Humas bersama elemen masyarakat dari Komunitas Aspirasi Emak-emak, Yayasan Disabilitas Kreatif Indonesia, dan Tokoh Masyarakat Makassar, menyatakan tujuh seruan terhadap KPK agar terus menjaga integritas dan independensi, yaitu: 1. KPK harus independen tidak boleh berpolitik praktis; 2. KPK harus mengusut tuntas kasus Sumber Waras yang merugikan negara; 3. KPK tidak boleh berpolitik dan mengkriminalisasi orang; 4. Jika KPK berpolitik, negeri ini akan semakin pelik; 5. Selamatkan KPK dari tangan orang-orang yang haus kuasa; 6. Saat hukum dijadikan alat politik, maka tinggal menunggu waktu negeri ini runtuh; 7. KPK lembaga antikorupsi, bukan lembaga penjegal capres yang punya integritas. Selain dari seruan sikap, Bang Japar juga akan terus mendukung Anies Baswedan dalam ajang Pemilihan Presiden 2024. Dan. juga Ketua Umum Komunitas Aspirasi Emak-emak meminta kepada ketua KPK, Firli Bahuri untuk fokus terhadap kasus Rumah Sakit Sumber Waras, Harun Masiku, dan Djoko Tjandra karena memberikan kerugian besar terhadap negara. Dan, tidak sekedar mengurus kasus Formula E yang tidak ada bukti terhadap Anies Baswedan selaku Gubernur DKI Jakarta. “Buat KPK, tolong KPK, Pak Firli fokus pada kasus-kasus besar dan kasus-kasus lama. Kasus lama itu salah satunya itu kasus Ahok (mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama) Sumber Waras (rumah sakit), terus kasus Harun Masiku yang tak ketemu, sampe sekarang masih berkeliaran. Tolong KPK fokus yang terbaru, ayo siapa nih yang kabur? Djoko Tjandra Rp107 triliun,” tukas Wati. Wati juga mendesak ketua KPK agar KPK terus memburu koruptor yang masih berkeliaran, “Halo Pak Firli buruan cari itu, jangan yang kecil yang ecek-ecek dikerjain. Tapi cari yang besar-besar, KPK itu ongkosnya mahal triliunan cari yang koruptor yang korupsinya itu triliun dan ratusan triliun.” “Jadi, tolong Pak Firli tangkap yang pada kabur itu, fokus ke sana jangan fokus yang kecil-kecil, apalagi Anies Baswedan gak ada korupsinya gak ada hubungannya ya kan semuanya?” ucap Wati menambahkan. (Fik)
Rocky Gerung: Amarah Itu Masih Ada pada Pendukung, juga Publik Indonesia, Keadaan Ini Bisa Menjadi Pemicu Kerusuhan Lebih Besar
KAPOLRI Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo mencopot Kapolres Malang, AKBP Ferli Hidayat dari jabatannya. Pencopotan Kapolres Malang ini terkait tragedi sepak bola di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang. Selain mencopot Kapolres Malang, Kapolri juga mencopot sembilan pejabat di kepolisian lainnya terkait dalam tragedi yang menewaskan ratusan orang itu. Berdasarkan rilis resmi, korban tewas mencapai 131 orang. Menurut Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo, keputusan menonaktifkan Kapolres tersebut setelah dilakukan analisa dan evaluasi dari tim investigasi yang dibentuk Kapolri. “Malam ini, Kapolri sudah mengambil satu keputusan, memutuskan untuk menonaktifkan sekaligus mengganti Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat,” kata Dedi yang dikutip dari Antara, Senin (3/10/2022). Dedi menjelaskan keputusan untuk menonaktifkan Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat tersebut tertuang dalam Surat Telegram Nomor ST 20 98 X KEP 2022. Ferli dimutasi sebagai Perwira Menengah Sumber Daya Manusia (SSDM) Polri. Ferli Hidayat digantikan AKBP Putu Kholis Arya yang sebelumnya menjabat sebagai Kapolres Pelabuhan Tanjung Priok Polda Metro Jaya. “Ferli Hidayat dimutasikan sebagai Pamen SSDM Polri dan digantikan AKBP Putu Kholis Arya,” kata Irjen Dedi Prasetyo. Dedi menuturkan sesuai dengan perintah Kapolri, Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Nico Afinta juga menonaktifkan jabatan Komandan Batalyon (Danyon), Komandan Kompi (Danki), dan Komandan Peleton (Danton) Brigade Mobile (Brimob). “Sesuai dengan perintah Kapolri, Kapolda Jatim juga melakukan langkah yang sama. Melakukan penonaktifan, jabatan Danyon, Danki, dan Danton Brimob sebanyak sembilan orang,” katanya. Nama-nama yang dinonaktifkan tersebut adalah AKBP Agus, AKP Hasdarman, Aiptu Solihin, Aiptu M Samsul, Aiptu Ari Dwiyanto, AKP Untung, AKP Danang, AKP Nanang, dan Aiptu Budi. Hingga ini, semua masih dalam proses pemeriksaan tim. “Semuanya masih dalam proses pemeriksaan tim malam ini,” katanya. Bagaimana pengamat politik Rocky Gerung melihat peristiwa Kanjuruhan ini? Ikuti dialognya dengan Wartawan Senior FNN Hersubeno Arief dalam Kanal Rocky Gerung Official, Selasa (4/10/2022). Berikut petikannya. Halo halo, apa kabar Anda semua. Semoga selalu dalam keadaan sehat wal’afiat, tetap semangat ya. Kita terus terang sampai sekarang masih terus berduka dengan apa yang terjadi di Kanjuruhan. Dan jujur ini sebenarnya membuat mood kita menjadi makin buruk hidup di negara Indonesia ini. Begitu ya Bung Rocky. Apalagi sampai sekarang belum ada satupun otoritas yang merasa bertanggung jawab dan menyatakan pasang badan. Ya, itu tadi kalimat yang benar, bukan bagus, tapi benar itu mood kita makin hilang itu. Dan memang kedukaan itu silih berganti, tapi khusus tentang soal Malang ini, orang mau mem-by pass itu dengan menyebutnya sebagai tragedi kemanusiaan. Itu juga keliru. Karena dalam tragedi itu tidak ada unsur manusia. Tragedi itu sesuatu yang terjadi karena nasib manusia dikendalikan oleh hal-hal di luar kemampuannya. Itu namanya tragedi. Sekarang, kita harus minta pertanggungjawaban. Artinya, dia bukan tragedi. Dia adalah satu add of commission atau minimal add commission, pembiaran. Kalau mungkin bukan kesengajaan itu masih orang catat juga, kalau bukan kesengajaan kenapa ditembakkan ke arah Tribun, sehingga itu bikin panik sebetulnya. Mungkin kita bisa sebut sementara itu add of commission, yaitu pembiaran. Nah, ini soalnya dan sampai sekarang yang saya ikuti keterangan pers dari PSSI, Kapolda, segala macam, seolah-olah itu datar saja, sebagai peristiwa biasa itu. Dan berupaya untuk bahkan ada yang menyalahkan boneknya tuh, ada yang menyalahkan panitianya tuh. Ya memang, kalau kita usut satu-persatu, ada emosi dari Arema itu. Tapi itu biasa di dalam pertandingan yang to be or not to be. Bahwa ada tambahan karcis yang dijual mungkin saja. Karena memang itu prime time, orang ingin dapat tambahan buat panitia, misalnya. Begitu pikirannya. Dilakukan pada malam hari, karena mengejar jam tayang supaya iklan masuk. Itu segala macam hal bisa kita lukiskan di situ. Tidak ada narkoba segala. Itu upaya untuk mengalihkan masalah. Ini adalah kesalahan prosedur. Pertama-tama itu yang harus dipastikan. Dan FIFA menganggap itu yuridiksi kami kalau soal aturan, kenapa kalian langgar. Jadi, hal-hal semacam ini yang jadi kontroversi. Tetapi, dalam kontroversi ini harus ada satu orang datang ke depan publik dan saya bertanggung jawab. Setelah itu kemudian yang lain mungkin akan menganggap oke, kalau Anda bertanggung jawab, apa yang mesti Anda lakukan. Sebelum tim yang dibentuk Menkopolhukam atau siapa lakukan pekerjaan, semuanya musti mengundurkan diri, yang merasa terlibat sedikit pun harus mengundurkan diri. Ketua panitia, ketua PSSI, Menpora, segala macam. Jadi, ini pelajaran etik kita. Karena ini bukan tragedi kemanusiaan, tapi ini kekacauan koordinasi. Itu intinya. Kalau segala sesuatu tragedi kemanusiaan, nggak ada yang bertanggung jawab. Yang bertanggung jawab alam semesta, nggak mungkin begitu, nggak boleh begitu. Jadi etika pertanggungjawaban itu yang kita tagih sekarang, termasuk Kapolri. Kalau di tingkat akhir Kapolri bilang saja bahwa saya memang gagal karena tadi, publik akhirnya bertambah-tambah pada ketidaksiapan polisi untuk menangani hal yang paling remeh-temeh saja dia nggak mampu itu. Itu menjaga keamanan di dalam stadion, apalagi nanti menjaga lapangan yang lebih luas, lapangan politik Pemilu segala macam. Itu saya kira kemarahan kita akhirnya mesti kita ucapkan. Iya. Dan memang kalau kita amati, mix feeling di publik itu saja mereka yang terlibat langsung berduka, apalagi korban, mereka yang keluarganya menjadi korban, bahkan para pemain. Saya membaca mereka banyak yang kemudian mengalami traumatis karena mereka melihat bagaimana mayat bergelimpangan di ruang yang mencoba menyelamatkan ruang pemain, tapi di depan pemain. Saya kira ini panjang rangkaiannya ini, trauma healingnya masih panjang, dan karena ada 32 orang yang tewas itu anak-anak. Sebetulnya bisa dibuatkan simulasi sebelumnya kalau terjadi berantakannya pertandingan itu ke mana exit-nya. Polisi harusnya terlatih bikin antisipasi itu. Ada dana banyak untuk melatih aparat kepolisian kita. Kenapa hal itu terjadi? Kedisiplinan. Kenapa tidak ada disiplin. Mungkin juga itu bagian dari frustrasi sosial, boleh saja bikin analisis itu bahwa penonton atau suporter itu sebetulnya ada frustrasi itu bahwa nanti malam timnya kalah, tapi juga harga BBM buat pulang pakai motor tinggi. Jadi, itu sudah bertumpu di situ, antara kesulitan ekonomi dan kemarahan psikis itu. Tetapi, itu semua bisa diantisipasi. Kan manajemen sepak bola seluruh dunia standar dan kita tahu semua kemungkinan jenis kerusuhan sudah ada di video. Kita sudah belajar dari sejarah segala macam. Yang paling bahaya juga di Argentina berapa puluh tahun lalu. Jadi, semua hal, Liverpool. Jadi, ada sebetulnya modeling untuk bikin itu. Tetapi, terlihat ada arogansi juga di lapangan bahwa tembak kiri kanan itu pakai gas air mata kan. Ya, itu konyolnya di situ. Tetapi, sekali lagi, peristiwa itu sudah terjadi, harus ada yang bertanggung jawab sampai ke tingkat yang paling atas. Iya. Ini semua mata sebenarnya tertuju kepada aparat kepolisian. Ada juga memang tentara yang diperbantukan di situ dan juga mengambil tindakan-tindakan yang juga melakukan bukan hanya pelanggaran, menurut Panglima TNI, sudah pidana. Karena menghajar penonton yang tidak bersenjata, apalagi menendang dari belakang dan sebagainya. Saya kira ini tepat. Kapolri juga sudah mencopot Kapolres Malang, dan juga sejumlah Komandan Brimob. Tetapi, kita tetap melihat saja bahwa tidak ada sensitifitas terhadap situasi. Misalnya, mereka tidak sadar menjadi perhatian publik ketika ketua umum PSSI dalam pidatonya menyatakan “para hadirin yang berbahagia”. Itu pun membuat para netizen marah luar biasa, ditambah lagi ternyata ada akun Twitter dari Polsek yang mengucapkan kata-kata tidak pantas di Bantul, Yogyakarta, yang justru menyakan itu bencana ini. Kemudian ada juga, mungkin ini kesalahan informasi saja, ada seorang dosen yang menulis di Kompas cetak, yang menyebut itu akibat dipicu oleh tawuran Persebaya dengan Arema. Padahal, tidak ada penonton dari Persebaya. Ini semua orang marah dan Kompas juga harus minta maaf karena ini. Jadi, ini kekacauan pengertian apa yang disebut sebagai kerusuhan, apa yang disebut sebagai crowd. Tetapi selalu orang melihat apa sebetulnya yang terjadi pada bangsa ini sehingga hal yang betul-betul menyebabkan air mata hanya ditanggapi dengan konferensi pers. Kan itu soalnya. Jadi, dalil-dalil peradaban kita hilang. Nah, Panglima TNI mengambil atau memberi contoh yang juga terobosan itu. Oke, kami ambil-alih kalau aparat kami itu langsung kena pidana. Kan kepolisian juga bisa tiru itu kan. Oke, bahwa sudah terjadi semacam kekacauan maka untuk sementara Kapolri mengatakan oke, tersangka pertama adalah Kapolres. Kira-kira begitu. Lalu nanti yang akan kami proses pada Kapolda berlanjut begituan. Karena kalau orang sebenarnya lihat kalau itu sekedar Kapolres, ya apa? Emang ini hanya hal kecelakaan beruntun saja? Jadi, sebetulnya masyarakat kita kalau kita baca reaksi netizen itu, netizen betul-betul paham apa yang disebut keadilan, apa yang disebut kejujuran informasi. Karena itu, mereka marah. Bahkan, statement kecil netizen marah. Jadi, ada stok etika sebetulnya pada rakyat kita, yang baru bisa dimunculkan ketika ada peristiwa yang dramatis semacam ini. Jadi, bagian-bagian ini kita ucapkan terima kasih karena netizen peka sekali dengan ketidakadilan dan ketidakjujuran. Dan, itu juga sebenarnya energi kita untuk melakukan perubahan total dalam cara kita bernegara. Ya. Saya kira Kapolda layak untuk dicopot karena desakannya sangat kuat, apalagi pada statement pertamanya dia dengan tegas menyatakan bahwa penggunaan gas air mata itu sesuai dengan SOP. Bayangkan ada seorang Kapolda yang tidak memahami bahwa itu ada statuta FIFA hal macam ini. Ya, itu saja sudah menunjukkan bahwa itu kalimat apologetik atau kalimat defensif bahkan. Seolah-olah ya sudah itu prosedurnya betul. Jadi, fakta-fakta ini menunjukkan bahwa disiplin etik yang harusnya dipegang oleh polisi nggak ada tuh. Nah, seharusnya ketika terjadi peristiwa itu, Prima faci, si Kapolda bilang, itu, apapun, saya bertanggung jawab. Maka saya mengundurkan diri. Bahwa soal itu prosedur boleh nggak boleh, itu lain soal. Karena, ini ada jumlah yang fantastis dalam kasus sejarah persepakbolaan atau sejarah olahraga dunia. Oke, satu hal sebetulnya, kita satu mendapati, saya membaca juga ini menarik bagaimana komentar netizen, saya tertarik dengan apa yang dilakukan oleh komika Abdurahman (anak Malang), yang menyimpulkan kenapa semua ini terjadi, ya karena bangsa ini dipimpin oleh orang yang bodoh. Itu saya jadi teringat apa yang disampaikan oleh Bjorka juga. Dan, memang damoaknya ya seperti ini. Dan memang seperti tidak semata-mata Pak Jokowi, tetapi di hampir semua level terjadi semacam kebodohan itu. Ya, itu wisdon yang bisa ditangkap oleh seorang komika dan fasilitas yang dijalankan oleh negara untuk menghasilkan pemimpin yang cerdas memang tidak berjalan, dari atas sampai kepada pimpinan-pimpinan yang harusnya mengawasi potensi ketegangan sosial, kekacauan semacam ini, kan semua adalah kesalahan komandan. Kira-kira begitu harusnya diterjemahkan. Komandan tertinggi itu ya Presiden, komandan di wilayah keamanan ya Kapolri, demikian seterusnya. Jadi, betul komika itu mengatakan bahwa kita memang ada di dalam suasana seolah-olah kepemimpinan-pemimpinan di wilayah publik itu kekurangan pengetahuan. Jadi, hal-hal yang sepele tadi soal aturan FIFA, ya sudah, bilang oke memang kami salah, tapi jangan wah itu dimungkinkan segala macam, dan nanti ada debat, ini juga lapangan terbuka kan? Ya enggak, lapangan bola itu lapangan tertutup karena dikelilingi oleh tembok itu. Lapangannya terbuka, tapi di dalamnya enclav. Jadi, cara ngeyel-nya itu memang bodoh. Itu masalahnya. Jadi, si komika itu betul. Dia nangkap dengan baik suasana kepemimpinan kita atau kondisi kepemimpinan bangsa ini. Sementara ini, kan menurut saya nggak perlu terjadi, ini para suporter ada kemudian memberikan semacam ultimatum kepada pemerintah, kalau dalam 7 hari tidak ada yang bertanggung jawab mereka akan mencari sendiri. Karena mereka merasa bahwa mereka punya rekaman videonya, mereka juga melihat rekaman CCTV yang ada di situ, saksi-saksi mata mereka banyak, bahkan mereka bisa bercerita bagaimana ada satu pintu yang ditutup rapat dan itu kemudian jadi semacam kuburan massal karena orang berdesak-desakan di situ. Ya, ini suasana balas dendam itu, amarah itu masih ada pada pendukung. Bahkan, publik Indonesia marah sebetulnya. Dan keadaan ini yang bisa jadi pemicu kerusuhan yang lebih besar itu. Akan ada demonstrasi mahasiswa, demonstrasi buruh yang tertunda tapi agendanya tetap ada, lalu kemarahannya ini meledak, misalnya, karena diambil alih oleh para suporter yang memang tahu siapa-siapa pelaku itu. Walaupun mungkin si pelaku itu merasa kami cuma aparat. Tetapi, keadaan ini kan membutuhkan outlet, membutuhkan saluran kemarahan. Jadi, jangan sampai terjadi ada penghakiman jalanan lagi itu. Ini penting kenapa kondisi ini mesti dinyatakan sebagai kedaruratan sosial atau ada istilah di dalam hukum. Tetapi, sifat kedaruratan ini nggak boleh sekadar dicarikan penyelesaiannya lewat penghukuman yang kecil-kecilan atau keterangan pers yang terlalu dangkal. Jadi, musti betul-betul secara dalam diperlihatkan dari awal persiapan itu kacau, dari awal aspek-aspek bisnis lebih ditekankan daripada aspek-aspek keselamatan. Kan ini semuanya tuh. Karena itu, kalau ada tim, tim itu betul-betul harus berjarak dengan kekuasaan, berjarak dengan para sponsor, agar betul-betul terbuka apa yang terjadi di lapangan Kanjuruhan ini. Pemburukan Kita kemarin bicara bahwa ini kenapa terjadi pemburukan di seluruh sektor. Dan kita mesti bersiap-siap gitu ya bahwa ini bukan yang terakhir apa yang terjadi ini. Kita tidak tahu dalam bentuk apa. Kalau kemarin kita lihat ekonomi yang buruk, politik memburuk, sekarang bahkan olahraga yang menjadi ini salah satu, bahkan satu satunya mungkin, hiburan untuk kelas bawah, ini juga memburuk. Kita mesti bersiap-siap bahwa akan ada pemburukan-pemburukan lain. Ya, itu saya bisa tangkap bahwa sebagian besar publik menganggap memang polisi nggak bermutu lagi. Tetapi, demikian sebaliknya, polisi merasa kami tertekan terus dengan suasana. Kami juga orang sipil yang ditugaskan untuk membawa senjata. Keadaan ekonomi buruk, psikologi prajurit kelihatan tertekan karena soal psikososial yang disebabkan oleh kesulitan ekonomi. Jadi, nanti akan ada salah menyalahkan itu. Nah, ini bahayanya kalau akhirnya aparat kepolisian merasa jatuh mentalnya, lalu mengakui kalau begitu sudah deh, silakan kalian suka-suka. Padahal, tetap kita butuh satu institusi kepolisian yang di tengah keadaan yang berbahaya ini, tampil, tunjukkan bahwa kami tetap bersama dengan rakyat, kami tahu penderitaan itu, kami ingin perbaiki. Kalau itu enggak ada lagi maka lenyaplah yang disebut pembusukan institusi kepolisian ini. Ini hal yang mendasar dan saya kira Pak Kapolri harus bikin semacam, ya saya enggak tahu menyebut apa, tapi satu keputusan radikal untuk mengatakan bahwa saya masih akan memimpin dan saya akan memimpin itu dengan cara yang sangat cepat. Itu yang ditunggu. Kendati orang juga menganggap ya sebaiknya Kapolri sekaligus tinggalkan jabatan saja, kembalikan mandat itu pada Pak Presiden. Kalau itu terjadi juga akan ada peristiwa lainnya, yaitu persaingan para bintang ini untuk menjadi Kapolri. Padahal, masih ada kasus Sampo yang juga bagian dari kesulitan untuk menentukan pemimpin Polri selanjutnya. Jadi, betul tadi, kompleksitas ini seolah-olah dicurahkan dari langit supaya kita belajar sebagai bangsa bahwa problem kita banyak betul. Bukan sekadar deklarasi-deklarasian capres. Tapi begini ya, saya membayangkan, katakanlah Pak Kapolri sekarang ini memutuskan mundur karena banyak sekali persoalan yang dia tidak bisa tangani secara tuntas gitu. Tapi sebenarnya persoalannya, intinya itu pada internal lembaga institusi kepolisian itu sendiri. Saya teringat berkali-kali juga banyak yang menyatakan bahwa polisi kita itu memang sudah overloaded. Tugasnya banyak sekali: mengamankan sepak bola, urusan administrasi, sampai lalu-lintas. Mulai SIM, STNK, kemudian lalu-lintas, narkoba, macam-macam. Semua diurus kepolisian, sehingga akhirnya tugas pokok utama dia sebagai pelindung dan pengayom masyarakat jadi terabaikan. Belum lagi tugas-tugas politik yang juga harus dikerjakan. Iya, saya mau terangkan tadi, ada penugasan politik dan itu bikin frustrasi sebetulnya. Jadi, ambang frustrasi atau ambang kemarahan publik juga jatuh bersamaan dengan ambang frustrasi dalam lembaga kepolisian sendiri. Karena banyak juga teman-teman polisi yang agak berjarak melihat ini bagaimana ya institusi yang saya bayangkan kok jadi rapuh sekali. Jadi itu poinnya. Tapi, kalau kita mau katakan oke ini semacam penanda bahwa diperlukan reformasi total. Nah, kalau istilah reformasi total diajukan, itu betul-betul maksudnya total. Kita mungkin berpikir bahwa yaitu beban hirarki polisi itu terlalu besar. Dari Kapolri sampai ke Kapolres. Kenapa polisi nggak dikembalikan saja kepada kabupaten di bawah Bupati sehingga lebih enteng bebannya. Tapi kemudian orang akan menganggap wah itu berat betul, karena musti bongkar segala hal. Ya, memang itu konsekuensinya, mengubah sistem kepolisian itu. Yang lebih penting adalah memastikan bahwa polisi itu diasuh oleh masyarakat sipil. Jadi, misalnya pengangkatan Kapolri itu nggak perlu Presiden, masyarakat sipil saja bersepakat. Kami mau si polisi ini. Jadi, bukan fasilitas politik yang menentukan seorang itu jadi Kapolri dan dilambangkan bahwa kepolisian itu di bawah presiden. Enggak, polisi itu adalah hasil transaksi masyarakat sipil untuk meminta negara mengamankan atau memberi rasa aman. Itu poinnya. Jadi, yang berkepentingan adalah masyarakat sipil, bukan masyarakat politik. Itu yang saya anggap bahwa paradigma pengasuhan polisi itu kembalikan pada masyarakat sipil. Biarkan masyarakat sipil nentuin siapa Kapolres. Kira-kira begitu gampangnya. (Ida/sws)
Utang Makin Menggunung, Ketua DPD RI Minta Presiden Fokus Jaga Stabilitas Ekonomi
Jakarta, FNN – Semakin membengkaknya utang pemerintah, membuat Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, meminta pemerintah fokus menjaga stabilitas ekonomi. Hingga akhir Juli 2022, utang pemerintah diketahui mencapai Rp7.163 triliun. Belum lagi pemerintah harus membayar bunga utang sebesar Rp400 triliun tahun ini. Terlebih, dalam nota rancangan APBN Tahun 2023, Presiden Joko Widodo menegaskan jika pemerintah akan menambah utang lagi sekitar Rp700 triliun. Oleh karena itu, LaNyalla menilai pemerintah perlu membuat treatment khusus untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional. “Ini angka yang sangat besar, dan fakta sumber dari Pajak tidak mampu mengcover. Apalagi PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) yang angkanya segitu-gitu aja, sehingga utang baru menjadi jalan keluar terus menerus,” kata LaNyalla, Selasa (4/10/2022). Ditegaskannya, saat ini dunia dihadapkan pada badai resesi sekaligus ancaman krisis pangan dan energi. Kondisi ini memberi pengaruh besar terhadap perekonomian nasional. Oleh karenanya, pemerintah perlu untuk fokus menjaga kondisi perekonomian nasional agar terus stabil. “Salah satu cara bisa dengan melakukan evaluasi atas program dan proyek strategis nasional yang bisa ditunda atau dialihkan term waktunya,” tukasnya. Senator asal Jawa Timur itu juga menegaskan, sektor industri nasional kita belum mampu bergerak secara signifikan. Apalagi iklim investasi kian menurun. Seperti diketahui, Kementerian Keuangan mencatat pada akhir Agustus 2022, utang pemerintah mencapai Rp7.236,61 triliun. Secara nominal, posisi utang pemerintah tersebut naik Rp73 triliun dibandingkan dengan posisi utang pada akhir Juli 2022 yang senilai Rp7.163 triliun. Sementara itu, rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 38,30%. Angka tersebut meningkat dibanding rasio utang pada akhir Juli 2022 yang sebesar 37,91%. Secara rinci, utang pemerintah didominasi instrumen Surat Berharga Negara (SBN) yang kontribusinya sebesar 88,79%. Hingga akhir Agustus 2022, penerbitan SBN yang tercatat sebesar Rp 6.425,55 triliun. Penerbitan ini juga terbagi menjadi SBN domestik dan SBN valuta asing (valas). Kemenkeu juga memaparkan, utang pemerintah tersebut ada kontribusi 11,21% dari utang pinjaman pemerintah hingga akhir Agustus 2022 yang sebesar Rp811,05 triliun. Pinjaman ini dirincikan dalam dua kategori yakni pinjaman dalam negeri sebanyak Rp15,92 triliun dan pinjaman luar negeri sebesar Rp 795,13 triliun. (mth/*)