ALL CATEGORY
Jadikan Ramadhan sebagai Momentum untuk Mencegah Diri dari Tindakan yang Merusak Harmoni
Jakarta - FNN. Sekretaris Badan Penelitian Pengembangan dan Pendidikan Latihan (Sesbalitbangdiklat) Kementerian Agama H Muharram Marzuki mengatakan makna penting Ramadhan di antaranya adalah pencegahan atau menahan diri dari berbagai bentuk keburukan dan hal yang dapat merusak harmoni sosial.Karena itu Ramadhan menjadi momen tepat untuk mendidik diri menjadi pribadi yang santun, toleran, dan ramah untuk menciptakan perdamaian, katanya dalam siaran pers Pusat Media Damai Badan Nasional Penanggulangan Terorisme yang diterima, Jumat.Menurutnya bulan Ramadhan harus dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi umat Muslim untuk menegakkan ibadah dan membangun harmoni sosial.“Bulan Ramadhan itu sejatinya umat Muslim harus bisa memanfaatkan sebaik-baiknya, melakukan berbagai aktivitas kegiatan peribadatan baik ibadah yang sifatnya hubungan vertikal kepada Allah SWT, maupun ibadah yang berhubungan kepada umat manusia,” ujarnya.Dirinya melanjutkan, ibadah mahdhah atau ibadah wajib yang sudah syariatkan harus diperkuat baik kualitas maupun kuantitasnya. Namun Marzuki mengungkapkan bahwa ibadah muamalah sebagai amalan membangun hubungan kepada umat manusia juga menjadi ibadah yang wajib dilakukan, untuk mencegah diri dari tindakan intoleransi dan kekerasan juga tidak kalah penting.\"Hubungan horisontal, kemasyarakatan dan peribadahan harus diperbanyak baik kepada umat Islam sendiri maupun kepada umat yang berbeda agama. Sehingga akan muncul rasa ketentraman, kedamaian, rasa kerukunan yang menjauhkan dari sikap intoleransi dan kekerasan yang merusak harmoni sosial,\" kata Marzuki.Sebagaimana yang tertuang dalam QS Al-Hujurat:13 yang mengatakan, \"Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.\"\"Nah, dengan kita hidup saling mengenal, menghargai, saling berbagi maka akan mewujudkan hidup yang aman damai, kita diarahkan menjadi umat yang bertakwa,\" kata pria yang pernah menjabat sebagai Direktur Bina KUA dan Keluarga Sakinah, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Kemenag.Terkait ibadah membangun hubungan dan harmoni sosial masyarakat, ia menyinggung narasi negatif yang beredar di masyarakat bahwa praktik toleransi dan membangun hubungan baik antar umat beragama, bukanlah semata-mata sebagai praktik menggadaikan akidah dan keimanan.\"Tidak, tidak sama sekali. Tidak ada urusannya. Ini urusan kemanusiaan. Misalnya kita berbuka puasa dengan umat yang berbeda agama itu diperbolehkan dalam rangka memperkuat hubungan sosial kemasyarakatan,\" kata Marzuki menegaskan.Menurutnya, bulan Ramadhan harus menjadi momen untuk sama-sama bersuka cita dan berbagi kebahagiaan serta menunjukkan bagaimana agama Islam dapat menjadi penyejuk dan rahmat bagi alam semesta. Sehingga dalam membangun kerukunan tidak ada istilah menggadaikan akidah, menggadaikan agama.\"Kita menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan itu mewujudkan hati kita menjadi damai, sejuk, tentram dan toleran, dengan demikian maka itulah yang diharapkan oleh Tuhan. Kita berbagi kebahagiaan di bulan Ramadhan dengan seluruh umat, itu yang dinamakan ibadah,\" ujarnya.Disamping itu, dirinya menambahkan bula Ramadhan dapat menjadi momen yang tepat, baik bagi pemerintah maupun para tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk memasifkan pencegahan radikalisme dengan membangun ukhuwah wathaniyah. Misalnya dengan menggelar acara buka puasa bersama mengumpulkan berbagai kalangan.\"Pemerintah bisa libatkan semua unsur masyarakat yang berbeda suku, budaya dan agama untuk ikut merayakan dan merasakan suka cita Ramadhan, membahagiakan sesama umat manusia meskipun berbeda agama. Ini momentum yang sangat berharga dan masif. Bulan Ramadhan sebagai media silaturahmi,\" katanya.Terakhir, penulis buku ‘Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam Di Perguruan Tinggi Umum’ ini juga mengimbau masyarakat khususnya dalam menyambut Ramadhan untuk tidak hanya dapat menahan diri menahan lapar dan haus. Namun juga menahan diri dari nafsu untuk menyebarkan fitnah, hoaks, dan ujaran kebencian yang hanya akan membawa kepada kemudharatan.\"Bulan Puasa ini harus menjadi pembelajaran, untuk mulailah kita tidak menjadikan medsos sebagai alat untuk menyebarkan fitnah, berita bohong ataupun hal-hal yang mempengaruhi masyarakat menjadi resah. Itu dosa besar dan puasa baginya menjadi tidak ada artinya,\" kata Marzuki. (Ida/ANTARA)
Indonesia-Malaysia Mulai Membahas Kerja Sama Penanganan Penyelundupan Manusia
Jakarta - FNN. Presiden Joko Widodo mengatakan Indonesia dan Malaysia sepakat untuk memulai pembahasan kerja sama penanganan penyelundupan manusia sebagai salah satu hasil pertemuan dengan Perdana Menteri Dato\' Sri Ismail Sabri Yaakob yang berkunjung ke Istana Merdeka, Jakarta, Jumat.Presiden juga menyatakan bahwa kerja sama tersebut akan mencakup urusan penegakan hukum kedua negara dalam penanganan kasus-kasus penyelundupan manusia.\"Kita masih melihat maraknya kasus penyelundupan orang. Oleh karena itu, kita sepakat untuk memulai membahas kerja sama penanganan penyelundupan orang, termasuk dalam penegakan hukum,\" kata Presiden dalam jumpa pers bersama PM Ismail Sabri selepas pertemuan, disimak melalui kanal YouTube resmi Sekretariat Presiden, Jumat.Secara khusus pertemuan kali ini juga telah menghasilkan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) mengenai penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia di Malaysia.Presiden Jokowi dan PM Ismail Sabri menyaksikan langsung penandatanganan MoU oleh Menteri Ketenagakerjaan RI Ida Fauziyah dan Menteri Sumber Daya Manusia Malaysia Saravanan Murugan.Berkenaan dengan kasus penyelundupan manusia, kedua negara turut memandang pentingnya pembahasan mengenai isu Rohingya yang menimbulkan gelombang pengungsi, baik di Malaysia maupun Indonesia.Menurut PM Ismail Sabri, baik Malaysia maupun Indonesia, sepakat isu Rohingya harus selesai secara mendalam oleh pemerintah Myanmar meskipun tidak menampik hal tersebut menjadi isu penting di Malaysia.\"Isu Rohingya merupakan isu besar di Malaysia karena terdapat 200.000 pengungsi Rohingya di Malaysia,\" kata PM Malaysia.PM Ismail Sabri beserta rombongan tiba di Indonesia pada hari Jumat sekitar pukul 06.03 WIB. Dijadwalkan berada di Jakarta selama 2 hari sebelum bertolak kembali ke Kuala Lumpur.Selain Menaker Ida Fauziyah, turut mendampingi Presiden dalam menerima kunjung PM Malaysia adalah Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, dan Duta Besar RI untuk Malaysia Hermono.Sementara itu, dalam kunjungannya PM Malaysia didampingi rombongan, antara lain, Menteri Komunikasi dan Multimedia Annuar Musa, Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal Mahdzir Khalid, Wakil Menteri Luar Negeri Kamarudin Jaffar, dan anggota parlemen Malaysia Dato\' Tajuddin Abdul Rahman. (Ida/ANTARA)
Ketua Tim Pemekaran Papua Barat Daya Mundur
Jakarta, FNN. Ketua tim percepatan usulan pemekaran Provinsi Papua Barat Daya, Lambert Jitmau, menyatakan mundur dan mengembalikan surat keputusan (SK) sebagai ketua tim kepada gubernur Provinsi Papua Barat dengan alasan tidak mendapat dukungan.\"Saya segera kembali SK sebagai ketua tim percepatan pemekaran provinsi Papua Barat Daya kepada gubernur Papua Barat dan selanjutnya kewenangan gubernur untuk menunjuk kepada daerah siapa di wilayah Sorong Raya sebagai ketua tim pemekaran,\" ujar dia, di Sorong, Papua Barat, Jumat.Ia bilang, perjuangan pemekaran Papua Barat adalah janji politik gubernur Papua Barat pada masa kampanye lima tahun yang lalu. Namun tim percepatan pemekaran yang mendapat SK dari Gubernur tersebut tidak mendapat dukungan sama sekali.\"Baik dukungan finansial maupun dorongan untuk berkoordinasi serta berkomunikasi dengan pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian terkait agar proses pemekaran daerah otonom baru yang menjadi perjuangan bersama selama ini dapat terwujud,\" ujar dia.Selain itu, kata dia, aksi penolakan usulan pemekaran daerah otonom baru yang merupakan konspirasi pihak-pihak tertentu semakin marak. Bahkan dia sebagai ketua tim percepatan pemekaran menjadi sasaran unjuk rasa, bahkan dihina serta dicaci-maki.Sementara gubernur dan kepala daerah lain di wilayah Sorong Raya yang menjadi satu kesatuan usulan pemekaran Provinsi Papua Barat Daya tidak didemonstrasi.Karena itu, dia akan segera mengembalikan SK sebagai ketua tim percepatan pemekaran kepada gubernur agar dia tidak menjadi olok-olokan kelompok konspirasi menolak pemekaran.\"Saya nyatakan mendukung dan siap menjalankan apapun keputusan negara. Saya tetap bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan itu harga mati,\" kata Jitmau. (Ida/ANTARA)
Benarkah Sikap Panglima Tolak Diskriminasi Keturunan PKI Sesuai TAP I/MPR?
Jakarta, FNN. Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah menilai sikap Panglima TNI Jenderal TNI Andika Perkasa yang menolak diskriminasi keturunan PKI untuk menjadi prajurit TNI sesuai dengan TAP I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum TAP MPRS dan MPR Tahun 1960—2000.\"Kebijakan Panglima TNI menolak larangan anak keturunan anggota PKI sebagai calon prajurit TNI pada dasarnya selain karena tidak ada larangan dalam TAP XXV/MPRS/1966, juga dalam perkembangannya telah ada Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum TAP MPRS dan MPR Tahun 1960—2000,\" kata Basarah dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.Hal itu dikatakannya terkait pernyataan Jenderal TNI Andika dalam sebuah rapat rekrutmen calon prajurit TNI 2022 yang mengoreksi salah satu poin persyaratan dalam rekrutmen prajurit TNI, yaitu larangan keturunan mantan anggota PKI sebagai calon prajurit TNI.Panglima TNI menegaskan bahwa hal tersebut tidak ada dalam ketentuan hukum TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 yang melarang keturunan PKI untuk memperoleh hak-hak kewarganegaraannya.Basarah menilai TAP XXV/MPRS/1966 adalah TAP tentang pembubaran PKI, pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bagi PKI. Selain itu, larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran komunis/marxisme-leninisme.\"Dalam TAP XXV/MPRS/1966 dimuat ketentuan pembubaran PKI, termasuk semua bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai ke daerah beserta semua organisasi yang seazas/berlindung/bernaung di bawahnya dan pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah kekuasaan NKRI bagi PKI,\" ujarnya.Dalam TAP MPRS itu, kata dia, memuat pernyataan larangan setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan paham atau ajaran tersebut.Basarah juga menegaskan bahwa dalam Pasal 2 TAP I/MPR/2003 dinyatakan TAP XXV/MPRS/1966 tetap berlaku dengan ketentuan yaitu diberlakukan dengan berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi, dan hak asasi manusia.\"Keberadaan Pasal 2 TAP I/MPR/2003 masih berlaku hingga saat ini sebagaimana dinyatakan Pasal 7 ayat (1) dan penjelasannya di UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,\" katanya.Selain TAP XXV/MPRS/1966 dan TAP I/MPR/2003, kata dia, juga terdapat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 011-017/PUU-I/2003 tanggal 24 Februari 2004 yang bersifat final dan mengikat yang menyatakan setiap pelarangan yang mempunyai kaitan langsung dengan hak dan kebebasan warga negara harus didasarkan atas putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap.Selain itu, menurut dia, dalam putusan tersebut juga dinyatakan suatu tanggung jawab pidana hanya dapat dimintakan pertanggungjawabannya kepada pelaku (dader) atau yang turut serta (mededader) atau yang membantu (medeplichtige).\"Maka, menjadi suatu tindakan yang bertentangan dengan hukum, rasa keadilan, kepastian hukum, serta prinsip-prinsip negara hukum apabila tanggung jawab tersebut dibebankan kepada seseorang yang tidak terlibat secara langsung,\" ujarnya.Berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut dan untuk menjunjung tinggi prinsip supremasi hukum, dia menilai sudah tepat Panglima TNI menyampaikan pernyataan yang menolak diskriminasi latar belakang keluarga calon prajurit TNI.Menurut dia, Jenderal Andika sebagai Panglima TNI sangat menyadari jika TNI tidak berpedoman pada hukum, akan menimbulkan kekacauan kehidupan bernegara. (Ida/ANTARA)
DPD FPPI Jabotabek Dikukuhkan
Jakarta, FNN -Setelah sukses pengukuhan DPP FPPI (Dewan Pimpinan Pusat Forum Purnawirawan Pejuang Indonesia) di Bandung, kemudian berturut turut pengukuhan pengurus DPD FPPI Jatim, DPD FPPI Sumut, DPD FPPI Banten, kini Rabu 30 Maret 2022 pukul 09.00 bertempat di GOR Kalisari Jakarta Timur, telah dikukuhkan pengurus DPD FPPI JABODETABEK dan beberapa DPC FPPI Jabodetabek, yang dihadiri beberapa tokoh pengurus, tamu undangan DPP FPPI antara lain Mayjen Pur Kivlan Zen, Mayjen Purn. Sunarko, BrigJen Purn. Mahu Amin, tamu dan undangan. Brigjen Pur Amin Mahu, yang dikukuhkan sebagai kordinator FPPI JABODETABEK telah menerima pataka sebagai simbol amanah, peran, fungsi, tugas pokok dan tanggung jawab yang diserahkan oleh Kol. Purn Sugeng Waras selaku ketua presidium FPPI. Dalam acara pengukuhan yang dihadiri ratusan orang itu, juga diisi sambutan sambutan oleh para tokoh pengurus pusat DPP FPPI termasuk Kapten Ruslan Buton Dalam esensi sambutan sambutan itu Ketua Presidium FPPI Kol Purn Sugeng Waras menyampaikan garis besar benang merahnya antara lain sebagai berikut ; FPPI sebagai ormas melaksanakan gerakan moral yang bisa beresiko nyawa berperan sebagai jembatan dan perekat antara rakyat dengan pemerintah dan penegak hukum. FPPI bervisi sebagai mitra pemerintah bersama elemen elemen bangsa lainya akan mendukung, mengiringi, mendorong dan menjaga terhadap kebijakan yang sesuai keinginan rakyat seperti yang tertuang dalam UUD\'45 tentang tujuan nasional yaitu peningkatan kecerdasan bangsa dan kesejahteraan rakyat, namum FPPI bersama elemen elemen bangsa lainya akan bersikap mengoreksi, meluruskan, mengingatkan bahkan melawan terhadap kebijakan kebijakan pemerintah yang tidak sesuai aspirasi rakyat atau berpotensi merugikan dan membahayakan kedaulatan, keamanan dan keselamatan NKRI. FPPI bermisi dalam.jangka pendek, sedang dan panjang secara bertahap, bertingkat dan berlanjut secara prioritas berkesinambungan, terpadu, terukur terkordinir, terkomando dan terkendali, berdasarkan Pancasila dan UUD\'45. FPPI berjiwa agamis nasionalis, senantiasa berupaya untuk meciptakan situasi dan kondisi kondusif negara. FPPI beretos kerja berketuhanan konstitusional, kompak, bersatu niat, berbulat tekad dan bersandar kepada Allah swt, TYME. Sugeng Waras juga menambahkan bahwa kita yakin FPPI akan berkembang terus keseluruh pelosok tanah air dari Sabang hingga Merauke, meskipun para pensiunan itu rata rata telah berusia 59 tahun hingga 77 tahun, namun FPPI memiliki anggota kehormatan dari para pakar dan praktisi dari berbagai fungsi dan profesi seperti para Prof, DR,Dr, Ir,SH, MH, MM, para Ulama, Umaroh, Kyai, pendeta dll, serta anggota LUAR BIASA yang terdiri dari kluarga besar FPPI, masyarakat 18 tahun keatas termasuk mantan anggota partai atau ormas apapun yang berjiwa Agamis Nasionalis yang berlandaskan Pancasila, UUD \'45 dan ber Bhineka Tunggal Ika , yang sepaham, sevisi dan semisi dengan FPPI, yang mencintai NKRI tanpa pandang suku, agama, ras dan golongan apapun dan dari manapun asal statusnya, yang bisa mencapai jumlah berpuluh juta. (*)
Mobilisasi Kepala Desa dan Agenda Presiden Tiga Periode
Oleh Gde Siriana - Direktur Eksekutif INFUS dan penulis buku \"Keserakahan Di Tengah Pandemi. PADA awal Desember 2021 Ketua Umum Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia (Apdesi), Surta Wijaya, menyatakan bahwa organisasinya akan menganugerahi Presiden Joko Widodo dengan gelar \"Bapak Pembangunan Desa\" dan \"Bapak Kepala Desa Senusantara\". Manuver Apdesi untuk terlibat dalam konstelasi politik nasional kemudian berlanjut. Pada 29 Maret lalu, Apdesi mengklaim bahwa setelah Idul Fitri, seluruh kepala desa berencana untuk mendeklarasikan dukungan \"Jokowi tiga periode\". Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, tentu saja sumringah dan para pembantunya, seperti Staf Khusus Presiden, Ngabalin, dan Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia, menyambut umpan lambung ini dengan smash menukik untuk memberi pembenaran pada dukungan big data Luhut, yang telah disangkal berbagai pihak. Luhut mengklaim punya big data yang menunjukkan bahwa 110 juta warganet ingin pemilihan umum 2024 ditunda. Tentu saja, memobilisasi kepala desa untuk mendukung Jokowi tiga periode ini sudah sangat telanjang di mata publik. Menteri Desa, Abdul Halim Iskandar, adalah kakak kandung Cak Imin, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa yang melontarkan gagasan perpanjangan masa jabatan presiden. Adapun Wakil Menteri Desa, Budi Arie Setiadi, adalah Ketua Umum Projo, relawan pendukung Jokowi pada pemilihan presiden 2014 dan 2019. Maka, sudah jelas mengapa para kepala desa dikerahkan untuk melancarkan agenda Jokowi tiga periode ini. Sejauh ini, tidak ada teguran atau kemarahan yang terlontar dari Jokowi untuk menertibkan manuver para pembantunya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa gerakan Jokowi tiga periode atau pun perpanjangan masa jabatan presiden ini merupakan gerakan yang sistematis dan dikendalikan dari dalam Istana. Mobilisasi kepala desa tampaknya merupakan upaya untuk membentuk opini publik. Mobilisasi dukungan akar rumput ini akan membelah masyarakat. Misalnya, beberapa pihak dalam Apdesi menyangkal klaim bahwa organisasi itu mendukung Jokowi tiga periode. Nafsu kekuasaan ternyata tidak mempedulikan kohesi sosial masyarakat dan bahkan cenderung memecah belahnya. Posisi Presiden Jokowi sudah terjepit akibat agenda ini. Sikap Megawati yang menolak penundaan pemilihan umum juga memperlebar keretakan di dalam lingkaran kekuasaan. Pembatalan agenda tiga periode dan penundaan pemilihan umum juga akan lebih merugikan Jokowi, terutama terkait dengan calon-calon yang dia kehendaki untuk memenangi pemilihan presiden 2024. Ini tampaknya berhubungan dengan sindrom petahana atau sindrom periode kedua. Petahana memiliki impian untuk terus dikenang oleh rakyat, dipuja sebagai pemimpin yang berhasil, dan mewariskan kejayaan. Ia juga ingin terus menjadi bagian dari orang yang mengatur kekuasaan berikutnya. Hal ini pernah terjadi juga ketika lingkaran kekuasaan SBY mencoba menggoda SBY untuk tiga periode tetapi SBY berhasil menolak gagasan itu. Kini Jokowi tergoda dan bahkan sudah terjebak dan tersandera oleh lingkarannya sendiri ketika anak-mantunya didorong menjadi kepala daerah—suatu hal yang belum pernah terjadi di era presiden sebelum-sebelumnya. Kini, gagasan menambah masa kekuasaan presiden sudah turun pada tataran operasional, meski harus membeli dukungan publik maupun kader partai pemilik suara di DPR demi menyiasati konstitusi. Gagasan perpanjangan masa jabatan ini juga akan lebih menarik minat kader partai yang merupakan petahana di DPR dan DPD karena masa jabatan mereka pun akan ikut diperpanjang. Singkatnya, SPS: semua petahana senang. Jika agenda Jokowi tiga periode atau perpanjangan masa presiden gagal, sudah disiapkan rencana cadangan untuk menempatkan orang-orang pilihan sebagai penggantinya melalui berbagai mekanisme yang mungkin. Dengan demikian, dua agenda tersebut tampaknya akan terus dipaksakan semaksimal mungkin, apa pun risiko dan berapa pun biayanya. Yang perlu disadari para elite dan tokoh masyarakat desa adalah bahwa pertarungan elite yang merambah ke akar rumput akan menimbulkan konflik horisontal, yang sangat memungkinkan menimbulkan pertumpahan darah. Di desa juga ada kader-kader partai politik dan mungkin akan terjadi konflik di antara mereka sebagai turunan dari sikap partai di pusat. Namun, tidak semua hal dapat dipertukarkan. Loyalitas masyarakat pada konstitusi, akhlaknya, dan harapan tentang hari esok yang lebih baik tidak selalu dapat ditukar dengan materi yang ditawarkan para elite. Memobilisasi masyarakat, yang sudah terbelah sejak pemilihan presiden 2014, akan sangat berbahaya karena akan berbenturan dengan kelompok-kelompok penjaga konstitusi yang juga sudah bergerak, termasuk aksi-aksi mahasiswa. Potensi konflik sosial antara pendukung dan penolak agenda Jokowi tiga periode atau perpanjangan masa presiden akan dapat memicu kekacauan serta ketidakstabilan politik dan keamanan. Inilah yang harus dicegah sedini mungkin. (*)
Pilpres 2024, Titik Balik Indonesia Bersama Anies Baswedan
Oleh Asyari Usman - Jurnalis Senior FNN LELAH dan jenuh. Bercampur marah juga. Rata-rata rakyat merasa seperti itu. Jengkel sekali melihat kelakuan para penguasa. Dari hari ke hari mereka semakin bebal. Bukan penderitaan rakyat yang menjadi perhatian. Bukan keselamatan Indonesia yang mereka pikirkan. Bukan kedaulatan negara yang mereka khawatirkan. Tidak pula kegagalan yang mereka sesalkan. Melainkan, perpanjangan masa kekuasaan yang malah diperjuangkan siang-malam. Dengan segala cara, para penguasa melancarkan macam-macam strategi dan kelicikan. Agar pemilu bisa ditunda 2-3 tahun. Bahkan, agar masa jabatan presiden bisa lebih dari dua periode. Mereka tak peduli UU tentang pemilu. Mereka juga anggap enteng UUD yang mengekang presiden dua periode. Sungguh rezim ini ugal-ugalan dan sangat berbahaya. Semua kita paham mengapa ini terjadi. Yaitu, karena ada hajat pribadi Presiden Jokowi. Plus, kerakusan para oligarki cukong. Keinginan pribadi Jokowi dan kerakusan oligarki berkolaborasi membentuk kekuatan dahsyat. Tidak tanggung-tanggung. Mereka menggunakan kendaraan otoriter di atas jalan demokrasi. Melihat ke belakangan, rezim ini menyiakan-nyiakan waktu cukup banyak. Dari kaca mata kepentingan rakyat, 7-8 tahun waktu terbuang. Memang iya, dari kaca mata kepentingan pemodal rakus, mereka telah menumpuk banyak kekayaan pribadi. Banyak yang pantas diduga menyimpan kekayaan di luar negeri. Sebaliknya, rakyat semakin susah. Keperluan hidup mereka melonjak harganya. Bahkan harus antre untuk mendapatkannya. Itu terjadi tanpa rasa bersalah di pihak penguasa. Pemerintah pamer membangun fasilitas yang tidak atau belum diperlukan publik. Presiden Jokowi senang proyek-proyek besar. Beban utangnya harus dipikul rakyat. Aspek lainnya, Pemerintah tidak serius memberantas korupsi, kolusi, nepotisme (KKN). Bahkan, para penguasa yang sangat tinggi banyak yang melakukan KKN itu. Pegiat-pegiat yang mencoba membongkar praktik busuk para penguasa itu dijadikan tersangka. Di ruangan lain, para pemodal menguras kekayaan bumi Indonesia tanpa peduli kerusakan alam. Tanpa perasaan tentang generasi penerus. Mereka ini mengajak para pejabat negara untuk ikut ambil bagian. Para pejabat yang seharusnya mencegah eksploitasi semena-mena, malah masuk ke lingkaran jahat itu.Mereka melindungi operasi pengurasan yang lakukan oleh pengusaha-pengusaha konglomerat. Jadi, tidak ada cerita keadilan sosial. Dan jangan harapkan keadilan hukum. Slogan “semua sama di mata hukum” menjadi sekadar memori pelajaran tentang idiom. Kesewenang-wenangan seperti sekarang bisa berlanjut sekian tahun lagi kalau rakyat tidak waspada. Rezim zalim ini jangan sampai diberi waktu tambahan maupun periode ketiga. Pilpres 2024 haruslah menjadi titik balik (turning point) Indonesia. Hanya ada dua pilihan. Semakin hancur berantakan, atau memulai pekerjaan rehabilitasi di bawah pemimpin baru. Indonesia memiliki figur yang mampu memimpin rehabilitasi (perbaikan) itu. Tetapi, rakyat haruslah paham atau diberi pemahaman tentang tokoh yang memiliki kapabilitas, kapasitas dan integritas untuk memimpin misi ini. Kita punya sejumlah pilihan. Ada Anies Baswedan, ada Ganjar Pranowo, ada Ridwan Kamil, ada Puan Maharani, dan Prabowo Subianto. Rakyat tahu siapa tokoh yang layak. Yang terbaik. Hari ini, sesuai fakta, yang banyak menjadi perbincangan publik di warung kopi, media utama dan berbagai platform media sosial adalah Anies Baswedan (ABW). Ini menunjukkan rakyat sepakat bahwa Indonesia harus ”balik kanan” dengan nakhoda ABW. Rakyat menginginkan titik balik Indonesia bersama Anies, 2024.[]
Selamat Ginting Ingatkan Andika, Komunis Itu Bahaya Laten
Jakarta, FNN – Keputusan kontroversial dalam rapat panitia penerimaan prajurit TNI tahun anggaran 2022 yang mencabut aturan larangan anak cucu Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi prajurit TNI, terus mendapatkan penolakan dari berbagai pihak. Pengamat komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Selamat Ginting mengingatkan Panglima TNI Andika Perkasa bahwa komunis menjadi musuh laten bagi TNI sepanjang masa. Demikian benang merah yang bisa disimpulkan dari perbincangan Selamat Ginting dengan wartawan FNN, Hersubeno Arief dalam kanal Hersubeno Point, Kamis, 31 Maret 2022. Ginting mengingatkan bahwa TNI memiliki Sapta Marga, terutama marga pertama dan kedua. Marga pertama ‘Kami warga negara kesatuan Republik Indonesia yang bersendikan Pancasila’ lalu marga yang kedua ;Kami patriot Indnesia pendukung serta pembela ideologi negara yang bertanggungjawab dan tidak mengenal menyerah.’ “Jadi, ideologi TNI adalah Pancasila, tidak bisa menerima ideologi lain selain Pancasila. Bahkan, di marga kedua itu pembela ideologi, bertanggungjawab serta tidak mengenal menyerah. Jadi, TNI itu soldier never die, maka ketika pensiun pun tetap menjadi patriot pembela ideologi negara,” paparnya. Ginting menegaskan pentingnya terus waspada terhadap PKI, sebab sejarah telah membuktikan PKI berulangkali mencoba menguasai Indonesia dengan memusuhi TNI AD dan umat Islam. “Kita tahu TNI pernah menjadi musuh utama PKI. Musuh utama PKI ada dua yakni, TNI Angkatan Darat dan Islam. TNI juga selalu mengingatkan pada bangsa dan negara bahwa ada beberapa pemberontakan yang dilakukan oleh PKI yakni tahun 1926, tahun 1948, dan tahun 1965,” paparnya. Ginting menyatakan bahwa pada tahun 1926 tokoh-tokoh PKI seperti Muso kabur ke Uni Soviet lalu tahun 1948 muncul lagi sehingga TNI mengingatkan bahwa, PKI tidak pernah terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia tahun 1945, karena tahun 1948 mereka baru balik ke Indonesia. Kemudian tahun 1965 terjadi Gerakan 30 September oleh PKI. “Jadi rentang 20 tahunan itu selalu terjadi, sampai kemudian, TNI mengindikasikan PKI bermain ketika era reformasi. Mereka bersembunyi melalui partai atau ormas dan segala macam kelompok. Jadi bagi TNI, komunis itu bahaya laten. Sampai sekarang tidak pernah dicabut itu,” paparnya paf. Menurut Ginting upaya menggusur Tap MPRS No. 25 tahun 1966 dulu juga sempat diwacanakan oleh Presiden Gus Dur. Mengetahui hal itu, TNI langsung bergerak melakukan penolakan, bahkan sampai Menkumham Yusril Ihza Mahendra melawan Gus Dur. Kalau Gus Dur tetap ngotot maka bukan tidak mungkin TNI beserta kelompok Islam akan menggulingkannya, karena bahaya sekali. Tak hanya itu, pada 2003 ketika Megawati menjadi presiden, ada keinginan yang kuat dari PDIP untuk menghapus Tap MPRS No. 25 tahun 1966 ini, tetapi dia harus berhadapan dengan kelompok-kelompok yang menentangnya. Saat itu masih ada fraksi ABRI, fraksi Utusan Golongan, fraksi Golkar dan fraksi Reformasi termasuk fraksi PPP di DPR. Dan di sini dalam Panitia AdHoc-2, PDIP bahkan ngotot ingin melakukan voting. Upaya mencabut Tap MPRS ini sudah berulangkali dilakukan. “Sekarang repotnya TNI dan Polri tidak ada di Parlemen dan MPR seperti dulu. Generasi TNI sekarang perlu menyimak bagaimana tahun 1960-1961 muncul organisasi SOKSI yang dipimpin oleh Brigjen Suhardiman, Kosgoro dipimpin oleh Brigjen Mas Isman lalu MKGR oleh Brigjen Sugandhi,” paparnya. Hal ini adalah upaya mereka ketika Soekarno sudah menggaungkan Nasakomisasi. “Jadi, TNI AD betul-betul melawan konsep Nasakom Bung Karno yang ujung tombaknya adalah komunis. Jadi bagi TNI AD, Soekarno sudah menyimpang dari Sapta Marga itu,” tegasnya. Ginting menegaskan, SOKSI memiliki beberapa organisasi underbow untuk melawan PKI karena pada waktu itu PKI berusaha untuk mempercepat Pemilu. “Mereka mendesak tahun 1963 pemerintah melakukan Pemilu, bahkan DN Aidit, Ketua CC PKI mengtakan oke soal Pancasila, Pancasila adalah pemersatu bangsa, tetapi kalau bangsa sudah bersatu Pancasila tidak diperlukan lagi,” tegasnya. Saat itu, katan Ginting, ada kekhawatiran dari jenderal-jenderal Angkatan Darat untuk melawan PKI, sebab kalau Pemilu dilakukan pada 1963, maka PKI menjadi pemenang, karena beberapa partai sudah tercerai berai, lantaran ada konflik di internal sejumlah partai. Harus diingat bahwa Pemilu 1955 PKI menempati urutan keempat, setelah PNI 22 persen, Masyumi 20persen, NU 18 persen, dan PKI 16 persen. Padahal, tahun 1948 baru memberontok, 7 tahun kemudian sudah menempati urutuan keempat. Ini artinya PKI cepat sekali melakukan konsolidasi. Kewaspadaan terhadap bahaya laten PKI dipantau terus oleh organisasi-organisasi underbow Golkar. “Tahun 1964 organisasi seperti SOKSI bersatu dalam Sekber Golkar untuk melawan PKI. Ini yang menjadi cikap bakal dari Golkar. Lahirnya Golkar tidak bisa dipisahkan dari TNI AD melawan PKI. Cerita ini yang seharusnya tetap muncul pada generasi TNI sekarang,” pesannya. Intinya, Ginting berpesan, TNI tidak boleh merekrut orang yang terpapar ideologi selain Pancasila. “Indonesia punya pengalaman bagaimana TNI menghadapi ideologi komunis, liberalis, Islam radikal DI/TII dan lainnya. TNI adalah institusi yang memegang ideologi Pancasila, berbeda dengan militer negara-negara lain. Makanya TNI AD sangat keras menentang Nasakomisasi. (ida, sws)
Langgar Kampung Jawa
Oleh Ridwan Saidi - Budayawan SETELAH serangan terhadap Kalapa dari gerombolan tak dikenal pada tahun 1540, walau kerusuhan dengan pembakaran Pasar Pisang di Jalan Kunir dapat diatasi, Syahbandar Kalapa ke Sumedang menemui Prabu Geusan Ulun. Syahbandar Wa Item bermaksud minta bantuan Prabu agar dapat kontak dengan Sultan Mataram agar sudi pasukan Mataram memperkuat pertahanan Kalapa. Ternyata Mataram bersedia. Pasukan Mataram ditempatkan di sebuah areal di balik bukit Tambora. Nama tempat satu-satunya yang ada di situ Pekancilan, kemudian Gg Kancil, jalan tembus di celah2 bukit menuju Pasar Pagi. Tempat ini kemudian dikenal sebagai Kampung Jawa. Ini tempat sekitar pelabuhan Kalapa yang merujuk etnik lokal Jawa. Etnik lokal lain yang menjadi toponim di sekitar labuhan Kalapa: Banda, Maluku, di samping tentu native Betawi. Kampung-kampung merujuk nama asal migran dan etnik: 1. Yapat Embrat: Moro dan Amrat Oman 2. Beos, hunian orang Bey, Turki 3. Tana Mera, orang Maya 4. Brok, atau Berok, hunian orang Bir, Turki. 5. Kampung Asem, hunian orang Achem, Aljazair. 6. Pekojan, hunian orang Koja, Malabar, India. 7. Majakatera, Daleman di Kota Inten, dan Kapuk Muara hunian native Betawi 8. Roa Malaka, hunian Melayu Malaka. 9. Sionka, dibaca Siongka, hunian orang Arya penganut Zion. 10. Macao Po, hunian orang Portugis dari Macao. 11. Kampung Bandan, hunian orang Banda. Bandan dan Banda soal logat. 12. Kampung Jawa hunian tentara Mataram dan keluarga. Pemukiman etnik lokal hanya Jawa dan Banda sampai dengan abad XVII M, selain native Betawi, tentunya. (*)
Desa yang Terusik Jokowi Tiga Periode
Oleh Gde Siriana - Direktur Eksekutif INFUS dan penulis buku \"Keserakahan Di Tengah Pandemi\" PADA awal Desember 2021 Ketua Umum Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia (APDESI) Surta Wijaya menyampaikan bahwa APDESI akan menganugerahi Presiden Joko Widodo atau Jokowi sebagai \"Bapak Pembangunan Desa\" serta \"Bapak Kepala Desa Se-Nusantara\". Manuver APDESI untuk terlibat dalam konstelasi politik nasional berlanjut. Pada 29 Maret 2022 APDESI mengklaim setelah Idul Fitri, seluruh kepala desa berencana mendeklarasikan dukungan untuk Presiden Joko Widodo 3 periode. LBP (Luhut Binsar Panjaitan) tentu saja sumringah, dan para pembantunya seperti Stafsus Ngabalin dan Menteri Investasi Bahlil menyambut umpan lambung ini dengan smash menukik demi memberi pembenaran pada dukungan Big Data yang diklaim LBP, yang telah disangkal berbagai pihak. Sementara Kemendagri masih malu-malu mendukung secara terbuka, menyatakan menyangkal terlibat dalam operasi mobilisasi Kepala Desa. Tentu saja manuver memobilisasi kepala desa untuk mendukung Jokowi Tiga Periode sudah sangat telanjang di mata publik. Menteri Desa Abdul Halim Iskandar adalah kakak kandung Cak Imin, Ketua Umum PKB yang melontarkan gagasan perpanjangan masa jabatan presiden. Sedangkan Wamen Desa Budi Arie Setiadi adalah ketua umum Projo, relawan pendukung Jokowi di Pilpres 2014 dan 2019. Maka tidak perlu lagi diperdebatkan mengapa kepala desa ikut-ikutan dikerahkan demi melancarkan agenda Jokowi Tiga Periode. Jika melihat sikap Presiden Jokowi yang marah terhadap WAG TNI yang masih mempersoalkan IKN dengan alasan itu sudah diputuskan pemerintah dan DPR, maka tentunya konsistensi sikap Jokowi juga diterapkan kepada para pembantunya yang melontarkan gagasan Tiga Periode, bilamana pernyataan Jokowi taat konstitusi adalah benar dan dapat dipercaya publik. Yang terjadi adalah tidak satupun teguran atau kemarahan yang terlontar dari Jokowi untuk menertibkan manuver para pembantunya. Apalagi tindakan mencopot mereka dari jabatan. Jadi dapat disimpulkan bahwa gerakan Jokowi tiga periode atau pun perpanjangan masa jabatan presiden, yang saya singkat menjadi GJTP/PMJP merupakan gerakan yang sistematis dan dikendalikan oleh istana. Menarik untuk mengamati bahwa para kepala desa dimobilisasi untuk kepentingan politik elit di pusat, selain mobilisasi ormas dan kelompok/golongan lainnya. Karena meskipun pertarungan pamungkas nya akan terjadi di DPR/MPR, dukungan formal, meskipun hanya klaim dan tidak mencerminkan sikap akar rumput, dirasakan perlu oleh GJTP/PMJP untuk membentuk opini publik. Yang patut dikritisi adalah sikap memobilisasi dukungan akar rumput dilakukan oleh instrumen kekuasan, yang tentu saja ini akan membelah masyarakat. Misalnya beberapa pihak dalam APDESI menyangkal klaim bahwa APDESI mendukung GJTP/PMJP. Hal yang sama juga terjadi ketika mahasiswa mengkritisi kelompok mahasiswa yang tergabung dalam Ormas Cipayung Plus menemui Presiden Jokowi di Istana. Meskipun yang disampaikan adalah dukungan pada proyek IKN dan puja-puji kepada Jokowi, tentu saja tidak menutup kecurigaan sebagai bagian dari dukungan kepada GJTP/PMJP. Jadi nafsu kekuasaan istana tidak lagi memperdulikan kohesitas kehidupan sosial masyarakat. Bahkan cenderung memecah belah masyarakat. Saya melihat, posisi presiden Jokowi sudah terjepit akibat agenda ini. Dalam lingkaran kekuasaan, sikap Megawati yang menolak GJTP/PMJP bagaimanapun juga telah memperlebar keretakan yang sebelumnya sudah ada. Sedangkan membatalkan GJTP/PMJP juga akan lebih merugikan presiden Jokowi terutama terkait dengan calon-calon yang dikehendaki Jokowi untuk memenangkan Pilpres 2024. Landasan teorinya adalah Sindrom Petahana atau Sindrom Periode Kedua. Petahana memiliki impian untuk terus dikenang oleh rakyat, dipuja puji sebagai pemimpin yang berhasil dan mewariskan kejayaan. Juga ingin terus menjadi bagian dari God Father yang mengatur kekuasaan berikutnya. Hal ini pernah terjadi juga ketika lingkaran kekuasaan SBY mencoba menggoda SBY untuk tiga periode, tetapi SBY berhasil menolak gagasan itu. Kini Jokowi tergoda. Bahkan sudah terjebak dan tersandera oleh lingkarannya sendiri, ketika anak-mantunya dikarbitkan jadi kepala daerah. Suatu hal yang belum pernah terjadi di era presiden sebelum-sebelumnya. Sindrom Petahana Jokowi bukan lagi sekedar gagasan. Kini gagasan menambah masa kekuasaan presiden sudah turun pada tataran operasional meski harus membeli dukungan publik maupun kader partai pemilik suara di DPR demi mensiasati konstitusi. Terkait membeli kader-kader partai, gagasan perpanjangan masa jabatan presiden akan sangat lebih menarik bagi kader partai yang merupakan petahana di DPR. Juga petahana di DPD. Karena masa jabatan mereka pun ikut diperpanjang sepaket dengan presiden. Singkatnya SPS, semua petahana senang. Jika GJTP/PMJP gagal, sudah disiapkan rencana cadangan untuk menempatkan orang-orang pilihan sebagai penggantinya melalui berbagai mekanisme apapun yang mungkin terjadi bilamana terjadi deadlock politik yang menyebabkan peralihan kekuasaan ataupun mekanisme Pilpres 2024. Jadi dengan demikian saya memandang GJTP/PMJP akan terus dipaksakan semaksimal mungkin, apapaun resiko dan berapapun biayanya. Sepertinya publik akan sia-sia berargumen bahwa menurut Undang-undang Kepala Desa tidak boleh berpolitik praktis. Jangankan melanggar UU, konstitusi pun dilawan oleh GJTP/PMJP. Yang perlu disadari para elit dan tokoh masyarakat desa adalah bahwa pertarungan elit ketika di bawa ke akar rumput akan menimbulkan konflik horisontal, yang sangat memungkinkan menimbulkan pertumpahan darah. Dalam kehidupan politik desa, juga ada kader-kader partai politik, yang memungkin terjadi konflik di antara mereka sebagai turunan dari sikap politik yang tegas antara partai pendukung GJTP/PMJP dan partai yang menolak. Misalnya kader-kader PDIP yang loyal dengan Ketumnya Megawati Soekarnoputeri akan berkonflik dengan kader-kader PKB atau Golkar yang mendukung GJTP/PMJP. Sangat mungkin kehidupan sosial di masyarakat desa juga terusik bilamana ada improvisasi tak terkontrol para operator GJTP/PMJP misalnya memobilisasi para ketua RT/RW dan majelis taklim emak-emak dan pemuda karang taruna. Dengan situasi ekonomi yang masih mencekik masyarakat menengah-bawah sejak pandemi Covid19 ditambah belakangan terjadi kenaikan harga sembako, gas, BBM, kelangkaan minyak goreng menjelang puasa Ramadhan, memang sepertinya akan mudah memobilisasi kepala desa dengan iming-iming materi. Tetapi patut disadari juga bahwa tidak semua hal dapat dipertukarkan. Loyalitas masyarakat pada konstitusi, akhlaknya, harapan-harapannya tentang esok yang lebih baik paska Jokowi, tidak selalu dapat ditukar dengan materi yang ditawarkan penguasa. Di sinilah potensi kerusuhan sosial dapat terjadi di desa-desa. Yang harus dicermati adalah dalam beberapa waktu mendatang, eskalasi akan semakin meningkat, dan besar kemungkinan akan ada mobilisasi dukungan GJTP/PMp oleh kelompok lain yg digerakkan oleh LBP cs. Memobilisasi masyarakat yang sesunggguhnya memang sudah terbelah sejak Pilpres 2014 akan sangat berbahaya karena akan berbenturan dengan kelompok-kelompok penjaga konstitusi yang juga sudah bergerak termasuk aksi-aksi mahasiswa. Potensi konflik sosial antara pendukung dan penolak GJTP/PMJP di desa-desa serta yang terjadi di kota-kota besar akan mengakibatkan chaos serta ketidakstabilan politik dan keamanan nasional. Jika politik dan keamanan tidak stabil, justru pemerintah sendiri lah yang akhirnya menyebabkan para investor asing enggan berinvestasi di Indonesia. (*)