ALL CATEGORY

Bersikeras Gandeng Gibran, Prabowo Tak Percaya Dukungan Jokowi

Oleh Asyari Usman | Jurnalis Senior  MENGAPA Prabowo Subianto (PS) belakangan ini bersikeras atau ngotot sekali mau menggandeng Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden (cawapres)? Apakah karena Gibran hebat?  Sama sekali tidak. Prabowo ngotot karena dia tidak percaya seratus persen pada dukungan verbal Jokowi. Artinya, seberapa pun seringnya Jokowi mengeluarkan pernyataan mendukung dia menjadi presiden, Prabowo tidak percaya. Prabowo mau menggandeng Gibran bukan untuk menghormati Jokowi. Bukan juga untuk basa-basi. Melainkan karena Prabowo tak yakin bisa muncul di pilpres tanpa dukungan serius dari Jokowi.  Karena itu, salah satu cara untuk membuktikan dukungan Jokowi adalah menempatkan Gibran sebagai cawapres. Kata pepatah, pucuk dicita, ulam pun tiba. Kebetulan sekali Jokowi perlu kepastian tentang siapa yang akan melindungi dia setelah keluar dari Istana. Jokowi dengan sendirinya akan tersandera untuk menjadikan Prabowo presiden. Agar Gibran duduk sebagai wapres. Kalau sudah begini, mustahil Jokowi akan mendukung Ganjar Pranowo (GP) meskipun dia favorit Jokowi. Hanya loyalitas marxisme-leninisme yang membuat Jokowi tidak mati-matian memperjuangkan Gibran menjadi wapres Prabowo. Tetapi, apakah dapat dipastikan Gibran bisa menjadi cawapres untuk Prabowo? Inilah pertanyaan besarnya.  Kalau kita cermati keaslian sosial-politik Jokowi, maka jawabannya tidak mungkin. Mengapa?  Pertama, karena Jokowi sendiri tidak akan pernah percaya kepada Prabowo. Ada masalah “trust” yang tidak bulat dari Jokowi. Meskipun Prabowo menunjukkan loyalitas dan kejokowerannya. Hanya ilusi semata jika Prabowo berharap Jokowi percaya kepada mantan Danjen yang pernah tersangkut kasus penculikan mahasiswa itu.  Kedua, Jokowi adalah kader sejati PDIP. Dia tidak mungkin bisa nyaman kalau Prabowo presiden meskipun Gibran wakilnya. Sebab, Gibran tidak akan bisa berbuat banyak ketika Prabowo sebagai presiden kelak dikelilingi oleh para politisi senior dari koalisi parpol-parpol kawakan. Sementara Jokowi sendiri tidak punya parpol di koalisi Prabowo. Jokowi akan menjadi bukan siapa-siapa di tengah Koalisi. Suara Jokowi tak akan didengarkan lagi karena dia tidak lagi presiden. Artinya, tidak Ada jaminan Jokowi akan dilindungi. Karena itu, yang ketiga, Jokowi sadar bahwa hanya PDIP yang pasti akan memberikan perlindungan. Dengan pengaruh yang besar, PDIP tidak mungkin mencelakakan Jokowi sepanjang dia mendukung Ganjar sampai menjadi presiden. Dari tiga hal ini, dipastikan Gibran tidak akan menjadi cawapres untuk Prabowo. Jokowi akan kembali ke PDIP sebagai partai yang membesarkan dirinya. Dan akan melindungi dirinya jika Ganjar menjadi presiden. Tapi, apakah Ganjar bisa menang? Tulisan ini tidak mungkin dilanjutkan karena Anies Baswedan semakin kuat dan tak terbendung lagi.[]

MK: Mahkamah Keluarga Suksesi Dinasti Politik Jokowi 2024

Oleh Faisal Sallatalohy | Mahasiswa S3 Hukum Trisakti  MAHKAMAH Konstitusi  (MK) resmi berubah menjadi Mahkamah Keluarga. MK secara nyata menunjukan dirinya dikendalikan kekuatan Istana untuk melindungi dan menjaga kepentingan dinasti keluarga Jokowi.  Ketua MK, Anwar Usman (paman Gibran-Adik Ipar Jokowi), memutuskan perubahan pasal 169 q UU No. 7 Tahun 2014 Tentang Pemilu: bahwa syarat pencalonan capres dan cawapres berusia paling rendah 40 tahun atau pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan.  Lewat keputusan ini, Gibran menemukan jalannya untuk bisa dicalonkan sebagai Cawapres Prabowo. Gibran memang belum mencapai usia 40 tahun. Tapi dia memenuhi syarat karena pernah menduduki jabatan Wali Kota Solo melalui pemilihan umum.  Keputusan MK ini menjadi preseden paling buruk untuk kesekian kalinya.  Meruntuhkan marwah MK sebagai lembaga hukum tertinggi negara. Merusak tatanegara hukum Indonesia.  Tak ada lagi kehormatan yang tersisah pada diri MK. Selain lembaga yang memperbudak diri sebagai alat polik pendukung kepentingan Dinasti keluarga Jokowi. Memalukan !!!  Jokowi sebagai Presiden dan Anwar Usman sebagai ketua MK sekaligus adik Ipar Jokowi, berkolaborasi dengan baik atas dasar ambisi politik: dimana hukum dijatuhkan kewibawaannya, dilecehkan logikanya dan dihinakan akal sehatnya.  Masalah pertama, atas dasar apa MK punya legitimasi merevisi Aturan Perundang-Undangan dengan maksud merubah syarat usia Capres dan Cawapres? Terkait batas usia Capres dan Cawapres minimal 40 tahun, dimana letak benturannya dengan UUD 1945 sampai harus di revisi? Tidak ada satu pasal-pun dalam konstitusi yg berseberangan dengan batas usia minimal 40 tahun sebagaimana bunyi pasal 169 q UU Pemilu. Terbukti dalam amar putusan MK, bahwa memang tidak ada pertentangan tersebut.  Jika tidak ada pertentangan, kenapa harus direvisi ? Bukankah MK hanya boleh merevisi UU jika terdapat pertentangan dengan konsitusi? Ketiadaan pertentangan antara aturan batas usia dengan UUD 1945, menunjukan bahwa perubahan usia Capres dan Cawapres bukan urusan dan kewenangan MK. Kenapa MK ngotot mengambil peran? Dengannya, maka keputusan MK tentang perubahan usia Capres dan Cawapres pada senin kemarin adalah keputusan yang tidak didasarkan atas kewenangan lembaga, MK tidak punya dasar legitimasi hukum alias keputusan ilegal.  Secara prosedural, perubahan UU yg tidak memiliki unsur pertentangan dengan UUD 1945, tidak bisa dilakukan di MK. Ini adalah bagian dari proses legislasi yg menjadi tanggung jawab DPR.  Di sinilah letak kecerdasan cawe-cawe politik Jokowi. Jika perubahan usia capres dan cawapres dilakukan Jokowi melalui proses legislasi di DPR, akan memakan waktu lama. Ada beberapa syarat yg memang harus dipenuhi. Misalnya masuk dalam prolegnas prioritas.  Momen politik pilpres tinggal hitung hari. Jika proses perubahan usia dilakukan melalui proses legislasi di DPR, maka dipastikan, ambisi Jokowi untuk mencalonkan Gibran tidak akan terwujud.  Inilah alasan kenapa Jokowi mempolitisasi MK sebagai alat instan dan cepat untuk merubah batas usia Wapres agar Gibran bisa memenuhi syarat sebagai Cwapres.  Di satu sisi, sikap Jokowi yg mempolitisasi MK, bukan saja menjatuhkan Marwah MK sebagai lembaga hukum tertinggi. Dengan perilaku ini, Jokowi juga turut melecehkan DPR sebagai lembaga tertinggi yg mewakili seluruh rakyat Indonesia.   Batas usia Capres dan Cawapres dalam UU pemilu itu, digodok, disetujui dan disahkan oleh partai-partai yg punya kursi di DPR. Tapi lewat MK, Jokowi memfasilitasi Garuda dan PSI yg sama sekali tidak punya kursi di DPR untuk menggugat hingga dikabulkan MK.  Jadi runutan kendali tangan keluarga Jokowi terlihat jelas. PSI partai yg diketuai Kaesang (Adik Gibran) ajukan gugatan. Ketua MK (Paman Gibran) mengabulkan gugatan. Dan Gibran (Anak Jokowi) menerima manfaat karena bisa memenuhi syarat sebagai Cawapres yg akan dipasangkan Jokowi temani Prabowo sebagai Capres. Luar biasa...  Hal ini menjadi cerminan betapa lihainya cawe-cawe politik Jokowi. Sangat terencana dan akurat. Bahkan dengan cara memutus kuasa partai-partai besar yg punya kursi di DPR. Jokowi mengendalikan Garuda dan PSI untuk menata politik dinastinya.  Jempol buat pak Jokowi. Hebat memang. Tak habis difikir. Bagaimana bisa Jokowi mampu mengalahkan partai-partai besar di DPR hanya dengan menggunakan Garuda dan PSI yg sama sekali tidak punya kursi di DPR.  Dua partai inilah yg didorong untuk menggugat pasal 169 q UU Pemilu tentang batas usia Capres dan Cawapres hingga berhasil dikabulkan MK.  Lalu kemana partai-partai besar yg menggodok, menyepakati dan mengesahkan pasal tersebut. Termasuk PDIP, kenapa tidak punya kuasa untuk melawan. Kemana Megawati, ketum PDIP yang katanya juragan Jokowi selama hampir dua periode.  Kenapa Megawati dan PDIP diam saja. Bukankah putusan MK ini adalah wujud pengkhianatan dan pembangkan amat nyata Jokowi terhadap Megawati.  Jika benar perubahan syarat usia ini adalah strategi licik Jokowi untuk memasangkan Gibran dan Prabowo, artinya, lewat paslon ini, Jokowi telah siap dan bertekad menjadi King Maker untuk bertarung dengan pihak manapun.  Bukan saja dalam rangka melawan Anies-Cak Imin, tetapi juga paslon sokongan PDIP yakni Ganjar yg belum diketahui siapa cawapresnya.  Begitulah politik. Hanya sebatas pertukaran kepentingan. Cepat berubah. Jarak peralihan dari Kawan menjadi lawan hanya setipis benang. Dekat sekali.  Namun, lewat keputusan perubahan batas usia Capres dan Cawapres serta ambisi Jokowi memasanng Gibran sebagai Cawapres makin menyadarkan masyarakat tentang eksistensi MK yg saat ini telah berubah menjadi Mahakamah Keluarga.  Shame On you...

Ketua MK Pengecut, Bersandiwara Soal Batas Usia Capres-Cawapres

Oleh Asyari Usman - Jurnalis Senior  Mau disebut Mahkamah Keluarga, tidak salah. Mau dikatakan Mahkamah Kepentingan, bisa juga.  Hari ini Ketua dan para hakim di Mahkamah Konstitusi (MK) mempertontonkan martabat terendah mereka. Yaitu, pengecut dan bersandiwara. Tidak berani tegas memutuskan gugatan terhadap batas usia capres-cawapres.  Mereka membuat rangkaian putusan yang seolah menjunjung konstitusi UUD 1945. Padahal, mereka merekayasa kepura-puraan yang tujuannya hanya satu, yakni untuk membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka ikut pilpres 2024. Ada banyak pihak yang menggugat. Dua yang terkemuka diantaranya adalah PSI (Partai Solidaritas Indonesia) dan Partai Garuda. Gugatan kedua parpol ini ditolak. Tetapi, Ketua MK Anwar Usman (adik ipar Jokowi) dan para hakim lainnya mengabulkan gugatan mahasiswa UNS Solo, Almas Tsaqibirru. Singkatnya, pasal 169 huru q UU No. 7 tahun 2017 tentang pemilu tetap membatasi usia minimal capres-cawapres 40 tahun. Tetapi kalau orang itu berpengalaman menjadi kepala daerah boleh ikut pilpres walaupun belum 40 tahun. Ini jelas dimaksudkan untuk Girban. Tak bisa dibantah sandiwara tulen di MK yang pertahankan batas usia 40 tahun tetapi memberikan jalan kepada yang punya pengalaman sebagai kepala daerah. Sandiwara untuk memuluskan jalan Gibran ikut pilpres. Indonesia betul-betul menjadi ajang permainan elit politik dan eilit taipan jahat. Jokowi bisa mengatur apa saja yang dia dan taipan inginkan. Logis saja. Untuk siapa frasa “berpengalaman menjadi kepala daerah meskipun belum 40 tahun” itu? Bukan untuk Gibran? Apakah ada manusia waras yang mengatakan putusan MK ini bukan untuk Gibran? Seharusnya Ketua MK gentleman saja. Tidak usah berputar-putar untuk membukakan jalan bagi Gibran. Menolak penurunan batas usia, tetapi membolehkan orang yang sedang menjadi kepala daerah atau pernah menjadi kepala daerah. Ini jelas sandiwara hukum. Ketua MK Anwar Usman tidak bisa mengelak kalau dituding sebagai sutradara sandiwara ini. Memuakkan. Menjijikkan sekali. Anda menghina akal sehat publik.  Anda pengecut, Pak Ketua MK. Putuskan saja batas usia menjadi 35 tahun. Tidak usah malu-malu berbuat untuk Gibran. Tidak perlu berbelit-belit dengan frasa “pengalaman sebagai kepala daerah” segala. Mengapa harus berbasa-basi?  Anda tidak hanya bersandiwara dengan kepura-puraan, Pak Ketua. Tapi Anda sekarang malah memunculkan masalah baru. Apa masalah baru itu? Bahwa putusan Anda ini mendiskriminasikan orang-orang di bawah 40 tahun yang sangat berpotensi tapi tidak punya pengalaman sebagai kepala daerah. Entah menunggu kesewenangan apalagi sebelum rakyat bangkit menghentikan perbuatan tercela para penguasa bangsat.[]

Koalisi Aktivis Perubahan Terus Bergerak Menangkan Anies-Muhaimin

Jakarta, FNN - Dalam rangka memperkuat gerakan dan mematangkan agenda perubahan, sejumlah mantan pimpinan Cipayung Plus, melakukan roadshow tokoh nasional. Kali ini yang ditemui adalah Tamsil Linrung, politisi senior asal Sulawesi Selatan, Senin (16/10) kemarin. Ini bagian dari konsolidasi kekuatan perubahan baik di level elit, aktivis maupun kelompok grass root untuk Pilpres 2024. \"Kita ingin agenda perubahan tersosialisaikan ke banyak tokoh sekaligus konsolidasinya semakin meluas, \" jelas Muhammad Rodli Kaelani, mewakili Koalisi Aktivis Perubahan. \"Kita juga sudah menjadwalkan menemui beberapa tokoh lainnya yang semakin prihatin dengan kondisi demokrasi dan kehidupan bernegara, untuk bergerak bersama Capres-Cawapres  AMIN (Anies-Muhaimin),\" tambah Rodli yang juga Mantan Ketua Umum PB PMII. Sementara menurut Yusuf Blegur, mantan Presidium GMNI, para aktivis, mahasiswa dan kaum muda tidak boleh hanya berpangku tangan dengan momentum suksesi nasional bangsa ini pada tahun 2024. \"Kita harus bersikap dan berpihak, dan tentu yang konsisten terhadap nilai-nilai perbaikan dan kemajuan bangsa-negara, bukan sekedar melanggengkan kekuasaan, apalagi hegemoni rezim, tegas Yusuf. Sementara Tamsil Linrung anggota DPD RI merasa bangga dan salut dengan masih konsistennya para aktivis mahasiswa-pemuda ini dengan agenda dan cita-cita reformasi politik-ekonomi Indonesia. Para mantan pimpinan nasional Cipayung Plus yang turut serta mewakil Koalisi Aktivis Perubahan dalam pertemuan tersebut diantaranya dari PMII, GMNI, KAMMI, HMI dan PII#

Safari Presiden PKS dan Tokoh NU di Jatim Hilangkan Sekat Satukan Umat

Oleh Laksma Ir. Fitri Hadi S, MAP | Analis Kebijakan Publik TATKALA segelintir orang mencari perbedaan, memecah belah umat dengan narasi NU dan PKS ibarat air dan minyak, diperlakukan seperti apapun tidak akan bisa bersatu, tapi Presiden PKS mengabaikan isu isu perbedaan itu. Ahmad Syaikhu  Presiden PKS justru berkeliling Jawa Timur mendatang sowan ke tokoh tokoh NU dan temu kader untuk membuktikan narasi memecah belah umat itu adalah tidak betul.  Pernyataan PKS dengan NU tidak bisa bersatu itu betul namun amat salah kaprah, karena PKS adalah partai politik atau Parpol berbeda dengan NU adalah organisasi kemasyarakatan atau Ormas. Ruang gerak partai politik atau Parpol dan Ormas berbeda, Parpol dan Ormas adalah  dua entitas yang memiliki peran masing masing dalam hal partisipasi politik. Segelintir orang melakukan penyebaran konten provokatif untuk membenturkan warga Nahdlatul Ulama (NU) dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), agar seolah ormas terbesar di Indonesia ini bermusuhan atau saling membenci di antara mereka. Sesungguhnya kenyataan di lapangan  berbeda, warga NU sangat terbuka dengan PKS. Safari yang dilakukan Presiden PKS dengan rombongannya baru baru ini di Jawa Timur meliputi beberapa kota dan kabupaten menunjukkan begitu cairnya hubungan antara warga NU dengan tim PKS. Didampingi Kiyai Ghozi Wahid Wahab dan Gus Aam Wahib Wahab akrab dipanggil Gus Aam yang merupakan cucu  KH Wahab Chasbullah adalah salah satu pendiri NU menunjukkan kedekatan hubungan warga NU dengan PKS.  Kedatangan mereka disambut warga pendukungnya dari berbagai kalangan termasuk warga NU tentunya. Lantunan lagu Yaa Lal Wathan merupakan lagu wajib, Lagu kebangsaan NU dan brand yang begitu populer di kalangan generasi muda Islam, terutama nahdliyin. Lagu ini menjadi lagu wajib bagi kader muda NU dinyanyikan bersama para kader PKS, mereka begitu pas menyanyikan lagu wajib tersebut. Bagaimana tidak, cucu pendiri NU Gus Aam sekaligus pengarang lagu tersebut merupakan bagian dari warga PKS yang kali ini menjadi caleg PKS dari dapil 8 Mojokerto. Tidak itu saja, Gus Aam bahkan tidak segan segan naik panggung menyemangati ratusan pendukung atau simpatisan PKS yang hadir pada setiap lokasi yang dikunjungi oleh Presiden PKS guna memenangkan Pemilu tahun 2024, kemudian ditutup dengan doa  oleh Kiyai Ghozi. KH Wahab Hasbullah merupakan ulama besar Indonesia. Beliau lahir pada 31 Maret 1888 dan wafat pada 29 Desember 1971. KH Wahab Chasbullah  adalah salah satu pendiri NU dan juga pahlawan Nasional Indonesia serta mantan merteri agama Indonesia. Salah satu karya monumental KH Wahab Hasbullah adalah lagu Yaa Lal Wathan. Dengan demikian kehadiran Kiyai Ghozi Wahid Wahab dan Gus Aam dalam rombongan menggabarkan bahwa tidak ada masalah hubungan antara PKS dengan warga NU termasuk ketika anggota PKS menyanyikan lagu lagu Yaa Lal Wathan karena cucu pengarang lagu tersebut adalah anggota PKS.  NU memang tidak berafiliasi dengan salah satu partai politik (parpol), dalam menyalurkan aktifitas politiknya, warga NU menyebar ke berbagai parpol diantaranya PKS dan PKB. Karena itu, dengan bergabungnya PKB bersama PKS dan Nasdem dalam Koalisi Perubahan bersama-sama melakukan sinergitas dalam membangun keumatan dan kebangsaan Indonesia. PKS dan PKB serta Nasdem mencari persamaan  pada umat Islam Indonesia yang  terkotak kotak dan dipinggirkan dengan narasi kadrun, intoleran radikal bahkan disebut teroris. Dengan Koalisi Perubahan Berkeadilan Bersama Anies Rasyid Basewdan dan Muhaimin Iskandar atau AMIN, sekat antar umat  dihilangkan,  disatukan  membangun peradaban dengan menjadikan Islam rahmatan lil \'alamin atau rahmad bagi alam semesta yang kokoh dan terdepan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat dan membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai yang dicita citakan.  Semoga pasangan AMIN atau Anies dan gus Imin memenangkan Pemilu tahun 2024 dan dibawah kepemimpinan kedua putra terbaik bangs ini Indonesia dapat mewujudkan tujuan nasional bangsa Indonesia sesuai yang dicita citakan dan menjadi negara yang bermartabat serta lepas dari ketergantungan pada bangsa lain apalagi dari keterjajahan secara langsung maupun tidak langsung.  Surabaya Jumat 13 Okt 2023

Stop Politik Dinasti: Gibran Bukan Cawapres 2024

Oleh Sutrisno Pangaribuan |  Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas) MAHKAMAH Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Senin (16/10/2023). MK memutuskan seseorang yang belum berusia 40 tahun dapat mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden selama berpengalaman pernah atau sedang menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum. Gugatan tersebut dimohonkan oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta (Unsa) bernama Almas Tsaqibbirru.  \"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,\" kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan. Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sedianya berbunyi, “Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah: berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun.” Atas putusan MK tersebut, seseorang yang pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah atau pejabat negara lainnya yang dipilih melalui pemilu bisa mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden meski berusia di bawah 40 tahun. \"Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan, “berusia paling rendah 40 tahun” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah,\" ujar hakim Anwar Usman. Sehingga, Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu selengkapnya berbunyi, “berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. 8MK berpendapat, pembatasan usia minimal capres-cawapres 40 tahun berpotensi menghalangi anak-anak muda untuk menjadi pemimpin negara. \"Pembatasan usia yang hanya diletakkan pada usia tertentu tanpa dibuka syarat alternatif yang setara merupakan wujud ketidakadilan yang inteloreable dalam kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden,\" ujar Hakim MK Guntur Hamzah. Putusan tersebut berlaku mulai Pemilu Presiden 2024. Gibran Tidak Akan Maju di Pemilu 2024 Gibran Rakabuming Raka (Gibran) pasti tidak akan maju sebagai calon presiden atau wakil presiden pada Pemilu 2024, meski MK lewat putusannya membolehkannya. Gibran akan \"setia\" pada proses yang telah dirintis oleh \"role model pemimpin nasional\" bapaknya, Presiden Joko Widodo (Jokowi). Jokowi sendiri memulai karir politik sebagai walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta, hingga menjadi Presiden. Terkait hal tersebut, Kongres Rakyat Nasional ( Kornas) menyampaikan pandangan dan sikap sebagai berikut: Pertama, bahwa putusan MK tidak dapat dimaknai demi kepentingan politik Gibran. Putusan MK tersebut justru memberi peluang kepada semua kepala daerah yang dinilai berprestasi memimpin daerahnya. Gibran tidak memiliki ambisi untuk maju sebagai capres atau cawapres di Pemilu 2024. Gibran sebagai putra Jokowi sedang dimanfaatkan untuk menggarap suara dari pendukung Jokowi dalam dua pilpres sebelumnya. Jika Gibran mendapat manfaat popularitas dari aksi para elit politik yang mencoba memanfaatkannya, hal tersebut sebagai konsekuensi logis dari relasi aksi reaksi. Kedua, bahwa upaya mendorong Gibran maju pada Pemilu 2024 sebagai upaya menjerumuskan Jokowi dan keluarganya persis sama dengan upaya menjerumuskan Jokowi saat didorong dan didukung sebagai presiden tiga  (3) periode atau melakukan penundaan Pemilu. Kelompok relawan dan Parpol yang mendorong Gibran sebagai upaya cari muka kepada Jokowi demi mendapat dukungan politik Jokowi jelang Pemilu 2024. Ketiga, bahwa Gibran akan fokus melanjutkan tugas sebagai Walikota Solo hingga 2024, dan akan kembali maju sebagai Walikota Solo periode kedua pada Pilkada serentak 2024. Sehingga Gibran tidak perlu dirisak dan dihujat karena dianggap memuluskan politik dinasti. Tuduhan politik dinasti tidak dapat diarahkan hanya kepada Jokowi, tetapi kepada semua elit politik yang dengan posisi dan kewenangannya memberi karpet merah bagi anak, istri, menantu, dan keluarganya, baik di partai politik, maupun jabatan politik lainnya. Keempat, bahwa Jokowi sebagai role model kepemimpinan nasional menjadi mentor utama politik Gibran. Maka Gibran pasti akan mengikuti proses persis sama dengan Jokowi seperti ungkapan yang selalu disampaikan oleh Jolkowi; \"ojo kesusu\". Sehingga Gibran pasti tidak akan buru- buru meninggalkan tanggung jawab sebagai Walikota Solo untuk maju sebagai capres atau cawapres. Kelima, bahwa Jika Gibran tergoda untuk maju sebagai capres atau cawapres di Pemilu 2024, maka meski dapat menang dan meraih jabatan politik yang lebih tinggi, langkah tersebut justru akan menjadi antiklimaks bagi karir politik Gibran. Jokowi tidak mau karir politik putranya dan nama baiknya rusak hanya karena kepentingan politik sesaat. Sebagai negarawan, Jokowi tidak akan membiarkan putranya Gibran sebagai politisi \"aji mumpung\". Keenam, bahwa meski Gibran berpeluang maju sebagai capres atau cawapres di Pemilu 2024, Jokowi pasti tidak akan merestui Gibran maju. Namun meski tidak maju, bargaining politik Gibran akan semakin tinggi karena dukungan politik Gibran akan sangat menentukan kemenangan. Ketujuh, bahwa meski dapat maju pasca putusan MK, Gibran memilih tidak akan maju untuk menyampaikan pesan kepada elit dan membangun persepsi publik bahwa Jokowi tidak memberikan karpet merah dan membangun dinasti politik untuk Gibran. Gibran lebih memilih menjadi \"pahlawan baru\" yang tidak memanfaatkan posisi bapaknya sebagai presiden. Gibran sadar betul meski saat ini ada momentum baginya, tetapi Gibran menyadari belum waktunya. Kedelapan, bahwa Jokowi sebagai pemimpin yang suka mengambil risiko dan suka berpolitik di tepi jurang selalu mampu menjadikan setiap momentum dalam memperkokoh posisinya sebagai tokoh sentral politik, sekaligus memetakan teman dan lawan politik. Maka meski Gibran dapat maju, tetapi tidak diizinkan oleh Jokowi, namun semua keputusan politik strategis nasional akan tergantung dan dipengaruhi sepenuhnya oleh Jokowi dengan melibatkan Gibran. Kornas akan terus mengawal proses transisi demokrasi jelang Pemilu 2024 yang semakin berkualitas dengan menggerakkan \"orang biasa\" untuk terlibat dalam pesta demokrasi yang menggembirakan. (*)

Keputusan MK Timbulkan Instabilitas Politik Nasional

Jakarta, FNN - Analis politik Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting mengatakan, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu yang menetapkan batas usia calon presiden dan wakil presiden (capres/cawapres) paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah, dapat menimbulkan instabilitas politik nasional dalam pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) 2024. “Keputusan MK di luar kewenangannya dapat menimbulkan instabilitas politik yang membahayakan persatuan nasional,” kata dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas, Selamat Ginting di Jakarta, Senin (16/10). Menurutnya, MK dianggap melampaui batas kewenangannya, karena Undang Undang Pemilu merupakan masalah politik yang menjadi kewenangan DPR dan Presiden sebagai pembuat undang-undang. Keputusan MK membuat kegaduhan politik nasional dan mencabik-cabik rasa keadilan masyarakat. “Diperkirakan akan muncul lautan demonstrasi menolak keputusan kontroversial MK. Bahkan bukan tidak mungkin gelombang massa yang menuntut pembubaran MK,” ujar Ginting. Dikemukakan, MK masuk ke wilayah yang diharamkan, karena masalah UU Pemilu merupakan open legal policy sebagai kewenangan pembuat undang-undang.  Penyimpangan yang dilakukan MK membuat Indonesia bisa kembali ke titik nadir seperti otoritarianisme di era Orde Baru Presiden Soeharto dan Demokrasi Terpimpin Presiden Sukarno. “Kali ini penguasa meminjam tangan MK untuk melakukan tindakan mengarah kepada otoritarianisme, karena diduga ada campur tangan kekuasaan dalam keputusan kontroversial itu,” kata Ginting yang lama menjadi wartawan bidang politik. Dikemukakan, konflik kepentingan politiknya sangat tinggi sekali, karena menyangkut nama besar keluarga Presiden Jokowi untuk bisa mengikuti kontestasi pemilihan presiden (pilpres) 2024. “Publik sudah dapat membaca dengan kasat mata, keputusan ini ditujukan untuk memuluskan Gibran Rakabuming Raka mendapatkan tiket mendaftar Pilpres 2024,” ungkapnya. Jokowi, lanjut Ginting, akan dikenang sebagai Presiden Indonesia yang buruk, karena melakukan politik dinasti. Menjadikan trio keluarganya, yakni Gibran Rakabuming dan Kaesang Pengarep, serta menantunya Boby Nasution ke tampuk kekuasaan dengan cara instan mengabaikan etika politik.  “MK yang dipimpin adik ipar Jokowi dapat dituduh membuat Jokowi bagai Kim Jong Il dan Gibran seperti Kim Jong Un model Indonesia. Contoh buruk Indonesia di era Reformasi,” pungkas Ginting menyesalkan. (sws)

Putusan Batas Usia Capres-Cawapres Berlaku Mulai Pemilu 2024

Jakarta, FNN - Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa putusan mahkamah terkait uji materi Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum berlaku mulai Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2024.“Ketentuan Pasal 169 huruf (q) UU 7/2017 sebagaimana dimaksud dalam putusan a quo berlaku mulai pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 dan seterusnya,” kata Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dalam Sidang Pengucapan Putusan/Ketetapan di Gedung MK RI, Jakarta, Senin.Guntur mengatakan bahwa hal tersebut penting untuk ditegaskan agar tidak menimbulkan keraguan mengenai penerapan pasal dalam menentukan syarat batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).“Hal ini penting ditegaskan mahkamah agar tidak timbul keraguan mengenai penerapan pasal a quo dalam menentukan syarat keterpenuhan usia minimal calon presiden dan wakil presiden sebagaimana rumusan dalam amar putusan a quo,” ucapnya.MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengenai batas usia capres dan cawapres diubah menjadi berusia 40 tahun atau pernah berpengalaman sebagai kepala daerah.Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 itu diajukan oleh perseorangan warga negara Indonesia (WNI) bernama Almas Tsaqibbirru Re A yang berasal dari Surakarta, Jawa Tengah.Mahkamah berkesimpulan bahwa permohonan pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Oleh sebab itu, MK menyatakan Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI 1945.\"Sehingga Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi ‘berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah’,\" ucap Ketua MK Anwar Usman membacakan amar putusan.Di sisi lain, MK menolak gugatan uji materi yang dilayangkan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang memohon batas usia capres dan cawapres menjadi 35 tahun.Kemudian, MK juga menolak gugatan uji materi Partai Garuda dan sejumlah kepala daerah yang memohon batas usia capres-cawapres diubah menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara.Terkait hal itu, Guntur menegaskan bahwa putusan yang berlaku adalah putusan yang terbaru, yakni putusan yang mengabulkan batas usia capres-cawapres menjadi 40 tahun atau pernah menjadi kepala daerah.“Terhadap pemaknaan norma Pasal 169 huruf (q) UU 7/2017, penting bagi mahkamah untuk menegaskan bahwa dalam hal terdapat dua putusan yang menyangkut isu konstitusionalitas yang sama, namun karena petitum yang tidak sama dalam beberapa putusan sebelumnya dengan perkara a quo sehingga berdampak pada amar putusan yang tidak sama, maka yang berlaku adalah putusan yang terbaru,” kata Guntur.(sof/ANTARA)

Saldi Isra Mengakui Merasa Aneh Luar Biasa Dengan Putusan MK

Jakarta, FNN - Hakim Konstitusi Saldi Isra menjadi salah satu hakim yang menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian permohonan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.Ketika menyampaikan poin-poin pendapat berbeda, Saldi mengakui aneh luar biasa dan menyebut putusan tersebut jauh dari batas penalaran yang wajar, karena dia mengklaim mahkamah berubah pendirian dalam sekejap.“Sejak saya menapakkan kaki sebagai Hakim Konstitusi di gedung mahkamah ini pada 11 April 2017, atau sekitar enam setengah tahun yang lalu, baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar: mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat,” kata Saldi di Gedung MK RI, Jakarta, Senin.MK mengabulkan permohonan yang diajukan oleh perseorangan warga negara Indonesia (WNI) bernama Almas Tsaqibbirru Re A yang berasal dari Surakarta, Jawa Tengah.Mahkamah berkesimpulan bahwa permohonan pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Oleh sebab itu, Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.Sementara itu, MK menolak gugatan uji materi Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 yang dilayangkan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang memohon batas usia capres dan cawapres menjadi 35 tahun.Kemudian, MK juga menolak gugatan uji materi Partai Garuda (Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023) dan sejumlah kepala daerah (Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023) yang memohon batas usia capres-cawapres diubah menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara.“Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU- XXI/2023, mahkamah secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya. Padahal, sadar atau tidak, ketiga putusan tersebut telah menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang,” kata dia.Saldi mengatakan mahkamah memang pernah berubah pendirian dalam memutus suatu perkara, tetapi tidak pernah terjadi secepat ketika memutus Perkara Nomor 90 yang diklaimnya terjadi dalam hitungan hari.Perubahan itu, kata dia, tidak hanya sekadar mengenyampingkan putusan sebelumnya, tetapi juga didasarkan pada argumentasi yang kuat setelah mendapat fakta-fakta penting yang berubah di tengah-tengah masyarakat.“Pertanyaannya, fakta penting apa yang telah berubah di tengah masyarakat sehingga mahkamah mengubah pendiriannya dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 dengan amar menolak sehingga berubah menjadi amar mengabulkan dalam Putusan a quo?” ucap dia.Lebih lanjut dia mengungkap bahwa ketika rapat permusyawaratan hakim (RPH) untuk memutus Perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 pada tanggal 19 September 2023, RPH dihadiri oleh delapan hakim konstitusi kecuali Ketua MK Anwar Usman.“Hasilnya, enam Hakim Konstitusi, sebagaimana amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51- 55/PUU-XXI/2023, sepakat menolak permohonan dan tetap memosisikan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) pembentuk undang-undang. Sementara itu, dua Hakim Konstitusi lainnya memilih sikap berbeda (dissenting opinion),” ungkapnya.Kemudian, dalam RPH berikutnya untuk membahas putusan perkara nomor 90-91/PUU-XXI/2023, RPH dihadiri oleh seluruh hakim konstitusi.Beberapa hakim konstitusi yang dalam Perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 telah memposisikan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagai opened legal policy, kata Saldi, tiba-tiba menunjukkan ketertarikan dengan model alternatif yang dimohonkan dalam petitum Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.“Meski model alternatif yang dimohonkan oleh pemohon dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 secara substansial telah dinyatakan sebagai kebijakan hukum terbuka dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023,” ucap Saldi.Tanda-tanda berubah pandangan beberapa hakim konstitusi itu, menurut Saldi, memicu pembahasan yang lebih detail dan ulet, sehingga pembahasan terpaksa ditunda dan diulang beberapa kali.“Tidak hanya itu, para pemohon Perkara Nomor 90-91/PUU-XXI/2023, sempat menarik permohonannya dan kemudian sehari setelahnya membatalkan kembali penarikan tersebut,” ucapnya.Di samping itu, Saldi juga mengungkap bahwa sebagian hakim konstitusi berubah haluan dari semula menyatakan Perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 merupakan kebijakan hukum terbuka, menjadi mengambil posisi akhir untuk mengabulkan sebagian Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.Atas putusan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, terdapat alasan berbeda (concurring opinion) dari dua orang hakim konstitusi, yaitu Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foekh, serta pendapat berbeda (dissenting opinion) dari empat hakim konstitusi, yakni Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo.Sementara itu, terhadap putusan perkara nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 diwarnai pendapat berbeda (dissenting opinion) dari dua hakim konstitusi, yakni Suhartoyo dan M. Guntur Hamzah atas putusan tersebut.(sof/ANTARA)

MK Tidak Dapat Menerima Dua Gugatan Terkait Batas Usia Capres-Cawapres

Jakarta, FNN - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan tidak dapat menerima dua  gugatan uji materi Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang diajukan oleh dua perorangan bernama Arkaan Wahyu Re A dan Melisa Mylitiachristi Tarandung.“Menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan di Gedung MK RI, Jakarta, Senin.Arkaan, selaku pemohon pada Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023, memohon batas usia capres-cawapres diturunkan menjadi sekurang-kurangnya 21 tahun. Sementara Melisa, selaku pemohon pada Perkara Nomor 92/PUU-XXI/2023, memohon batas usia capres cawapres diubah menjadi berusia paling rendah 25 tahun.Mahkamah tidak dapat menerima dua permohonan tersebut karena pasal yang diajukan uji materinya itu telah memiliki pemaknaan baru, sebagaimana putusan MK yang mengabulkan sebagian Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.Dalam sidang yang sama, MK memutus berkesimpulan bahwa permohonan pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Kini, Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu selengkapnya berbunyi “Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.Atas dasar itu, mahkamah berkesimpulan permohonan Arkaan dan Melisa telah kehilangan objek, sehingga tidak relevan lagi untuk mempertimbangkan kedudukan hukum pemohon dan pokok permohonan.“Permohonan pemohon kehilangan objek, kedudukan hukum pemohon dan pokok permohonan tidak dipertimbangkan,” kata Anwar Usman.Dalam sidang hari ini, MK mengabulkan sebagian Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh perseorangan warga negara Indonesia (WNI) bernama Almas Tsaqibbirru Re A yang berasal dari Surakarta, Jawa Tengah.Sementara itu, MK menolak gugatan uji materi Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 yang dilayangkan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang memohon batas usia capres dan cawapres menjadi 35 tahun.Kemudian, MK juga menolak gugatan uji materi Partai Garuda (Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023) dan sejumlah kepala daerah (Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023) yang memohon batas usia capres-cawapres diubah menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara.Atas putusan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, terdapat alasan berbeda (concurring opinion) dari dua orang hakim konstitusi, yaitu Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foekh, serta pendapat berbeda (dissenting opinion) dari empat hakim konstitusi, yakni Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo.Sementara itu, terhadap putusan perkara nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 diwarnai pendapat berbeda (dissenting opinion) dari dua hakim konstitusi, yakni Suhartoyo dan M. Guntur Hamzah atas putusan tersebut.(sof/ANTARA)