ALL CATEGORY

Senjakala Politik Jokowi

Oleh Saidiman Ahmad | Manager Program SMRC 10 tahun lalu, pamor politik Jokowi menanjak karena dinilai baik oleh kelompok masyarakat sipil pro-reformasi, akademisi, dan diamplifikasi oleh media. Tiga elemen ini memang kerap mengambil posisi yang kritis pada kekuatan politik dominan. Soliditas tiga elemen ini yang membuat publik teryakinkan untuk menitipkan harapan pada Jokowi. Di atas harapan itu, Jokowi menjadi presiden dua periode. Namun, di akhir masa jabatan, Jokowi mengambil jalan menyimpang. Dia yang sebelumnya diharapkan menjadi penjaga demokrasi justru merusak tatanan politik dengan manuver mempertahankan kekuasaan melalui agenda tiga periode, penambahan masa jabatan, penundaan Pemilu, Cawapres dengan keputusan MK nir-etika, merapel bantuan sosial menjelang pemilihan, isu intervensi aparat dalam kampanye, melemahkan penegakan hukum, menyandera kasus hukum ketua partai, hingga mengkooptasi Ormas dan media. Seluruh aktivitas merusak itu membuat tiga elemen utama yang sebelumnya ikhlas memberi dukungan sekarang mengambil posisi berlawanan. Jokowi mungkin menganggap hal ini oke saja karena dia sudah dikelilingi kawan-kawan baru: konglomerat, oligark, pemilik partai, dan pejabat dari segala penjuru. Dukungan dari kawan-kawan baru itu terasa lebih berarti karena punya power yang langsung terlihat. Empuk. Sementara masyarakat sipil, kalangan kampus, intelektual, dan media, siapa mereka? Apa kekuatan mereka? Kira-kira begitu. Yang mungkin tidak dia sadari adalah bahwa betapa pun besarnya kekuasaan dari kawan-kawan baru ini, dukungan mereka bersifat pragmatis-temporer. Mereka mendekat karena dia sedang ada dalam kekuasaan. Kedekatan pada seorang presiden membuat mereka memiliki kesempatan untuk menambah kuasa. Ketika selesai masa jabatannya, pelan-pelan kawan-kawan baru itu mulai berhitung. Mari kita lihat beberapa kasus mutakhir. Pertama, wawancara Tempo dengan Aguan. Sang pengusaha papan atas itu blak-blakan membuka aib mantan presiden soal barter investasi pengusaha lokal di IKN. Ini menunjukkan, rasa hormat dan segan pengusaha pada Jokowi mulai luntur. Rasa segan mulai hilang. Kedua, soal tawaran partai politik. Ketika masih menjabat, santer terdengar Jokowi akan masuk dan memimpin partai besar. Hingga kini, isu itu mulai mereda. Bahkan dalam sebuah talkshow TV beberapa waktu lalu, seorang elit Golkar menyatakan bahwa posisi strategis di partainya sudah penuh. Sementara untuk menjadi kader biasa kemungkinan kurang pantas untuk seorang mantan presiden. Artinya, sebenarnya Jokowi tidak lagi punya pamor untuk diterima masuk dan ujug-ujug menjadi petinggi di partai orang. Pernyataan bahwa posisi strategis atau posisi penting partai sudah terisi adalah pernyataan penolakan. Ketiga, media massa yang sebelumnya dilaporkan terkooptasi kini mulai kian gencar menunjukkan sikap kritis. Memang ada media yang menghapus berita soal nominasi tokoh terkorup dunia, tapi umumnya media lain terus menayangkan laporan objektif dan kritis. Media umumnya semakin berani menolak swa-sensor. Tidak perlu ada lagi yang harus diantisipasi dari sang mantan.  Selain itu, sikap kritis dari kelompok masyarakat sipil, seperti akademisi dan aktivis NGO, yang tak henti-hentinya menyuarakan mudarat politik yang telah terjadi membuat posisi Jokowi semakin goyah. Selain tak lagi memiliki kekuasaan formal, sang mantan presiden juga bermasalah secara moral. Di hadapan sahabat-sahabat barunya yang pragmatis, kemungkinan Jokowi sudah kehilangan nilai.  Partai mana yang ingin terasosiasi dengan figur yang masuk nominasi tokoh terkorup dan terjahat di dunia oleh sebuah organisasi jurnalis investigasi global? Partai apa yang ingin dekat dengan figur yang sekarang menjadi musuh bersama para aktivis sosial, masyarakat sipil pro-reformasi, akademisi berintegritas, dan media independen? Sayang sekali. (*).

THE PROSECUTOR, Elliot Ness dalam Fok Zi Hou

Oleh Sabpri Piliang | Wartawan Senior      Ini bukan cerita tentang Agen Elliot Ness (Kevin Costner). Bukan pula tentang \"pembersihan\" Kota Cincinnati dan Cleveland (AS) terhadap gangster Al-Capone.     \"Untouchable\"! Kejahatan terorganisir, terlebih di AS era 1940 hingga 80-an, menginspirasi kejahatan serupa, di mana pun. Kisah Al Capone, dan gigihnya Elliot Ness (Untouchable),  lalu  kegigihan Fok Zi Hoi (The Prosecutor). Adalah dua \"mata pisau\" se-genre: kejahatan, dan penegak hukum.      Pembersihan satu Kota, dengan segala perniknya, tentu tidaklah mudah. Hong Kong semasa 70-an, di era  Bruce Lee, Chi Kuan Chin, dan Alexander Fu Sheng (pendahulu Donnie Yen), tentu jauh berbeda dengan keadaan sekarang.      Namun, yang namanya kejahatan sejalan dengan usia dunia, dan kehidupan manusia. Film \"The Prosecutor\" adalah sebuah \"true story event\", menyangkut sisi kelam kejahatan terorganisir dan peradilan di sebuah Kota.      Kebintangan dan daya tarik Donnie Yen, sekaligus menyutradarai. Adalah modal mendatangkan penonton. Donnie Yen, yang didampingi oleh \"screen writer (screenplay) Edmond Wong, mengemas film berdurasi hampir dua jam ini dengan adegan \"fighting\" yang seram.     Menggetok jari tangan sampai hancur. Sebagai hukuman kegagalan tugas dari anggota \"crime organisation\" , ditampilkan sangat vulgar.      Atau, ketika seorang calon saksi kunci dihabisi,  dengan genangan darah melimpah. Merupakan sisi lain dari \"The Prosecutor\" yang menarik, untuk menyebut film ini minim sensor.     \"The Prosecutor\" berkisah tentang seorang pemuda miskin yang tertipu oleh sindikat kejahatan bahan terlarang. Barang yang diterimanya, tartangkap tangan oleh polisi yang kemudian memprosesnya.       Tak sampai di situ. Peradilan  yang juga telah disusupi oleh sindikat, mengarahkan pemuda miskin ini untuk mengakui saja perbuatannya. Sang kakek menemui mantan polisi yang bermutasi menjadi jaksa, Fok Zi Hoi (Donnie Yen) untuk siap bersaksi bahwa cucunya tidak bersalah.      Donnie Yen, bintang  kisah guru mahabintang Bruce Lee, \"If Man\". Menggarap \"film Prosecutor\" dengan bintang-bintang Hong Kong masa kini. Permainan watak: Julian Cheung sebagai (Au Paak Man), Shirley Chan (Lei Si Man), Ho Yeung Fung (Maa Gaa Git), Michael Hui (Hakim Hui), Kent Cheng (Bao Ding), Francis Ng (Joeng Tit Lap).     Menyaksikan The Prosecutor, memberi inspirasi kepada penonton dan juga penegak hukum. Keadilan dan membela kepentingan \"si Kecil\", adalah naluriah hakiki setiap orang.     Film yang dirilis mengawali tahun baru, 1 Januari 2025 di Jakarta. Sesungguhnya telah tayang di bioskop Hong Kong 21 Desember 2024. Ayo, nonton di Sabtu ini! Pokoknya bagus. (*).

Penguasa Jahat Akan Ditumbangkan oleh Budak Angon: Jadi Tumbal untuk Perbuatannya Sendiri

Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Politik Merah Putih  Seperti biasa diskusi rutin setiap malam Jumat, pada tanggal 02 Januari 1925, dari sekian banyak naskah Wangsit Siliwangi, sepakat membatasi diri untuk mendapatkan komentar dan fokus pada beberapa point untuk di lepas ke masyarakat luas. Dalam naskah yang cukup rumit dipelajari / dipahami setelah diiterjemahkan ke bahasa Indonesia akan menjadi mudah mendapatkan pemahaman dari isi teks aslinya. Prabu Siliwangi  moksa atau strategi politik, secara misterius pada tahun 1579. Meninggalkan pesan sering di kenal seperti ramalan karena memprediksi kejadian yang akan terjadi pada ratusan tahun di kemudian hari, antara lain ; Masa setelah meninggalnya Presiden Sukarno (tanpa menentukan waktu kejadiannya) akan muncul pemimpin di Indonesia yang buta tuli sambil menyembah berhala. Melambangkan pemimpin yang tidak mau mengerti penderitaan rakyat. Memerintah tidak dengan hati tapi segala sesuatunya hanya mengandalkan akal pikiran/logika dan kepentingan pribadi ataupun kelompok sebagai berhalanya.  Digambarkan banyak muncul peristiwa di luar penalaran. Menjadikan pemimpin merasa sebagai  pintar tetapi hanya bisa omong alias pinter keblinger. Pemimpin ini di gambarkan seperti bunga teratai hampa sebagian, bunga kapas kosong buahnya, buah pare banyak yang tidak masuk kukusan. Sebab yang di janjikan kepada rakyat hanya kebohongan hanya janji janji kosong. Pada saat itu datang pemuda berjanggut, datangnya memakai baju serba hitam sambil menyanding sarung tua. Membangunkan semua yang salah arah, mengingatkan pada yang lupa, tapi tidak dianggap. Karena pintar keblinger, maunya menang sendiri. Mereka tidak sadar, langit sudah memerah, asap mengepul dari perapian. Pemuda berjanggut itu malah ditangkap dimasukan ke penjara.  Karena pemimpin itu takut ketahuan, bahwa dirinya akan di tuduh menjadi penyebab gara gara terjadinya kekacauan dan kerusakan negaranya. Dia tetap tidak sadar sebagai penguasa yang buta, semakin hari semakin berkuasa melebihi kerbau bule, mereka tidak sadar melakukan sudah seperti hewan liar. Pemuda berjanggut itu sesungguhnya seorang yang tekun dan taat beribadah serta kuat dalam memegang ajaran leluhur (dilambangkan dengan menyanding sarung tua).  Digambarkan situasi negeri semakin panas membara (carut marut) dimana para penguasa negeri ini dipenuhi nafsu angkara murka.  Kekuasaan penguasa buta tidak berlangsung lama, karena sudah kelewatan menyengsarakan rakyat yang sudah berharap agar ada mu’jizat datang untuk mereka. _*Penguasa itu akan menjadi tumbal, tumbal untuk perbuatannya sendiri*_ Merasa sudah lelah, seluruh rakyat sedang berharap-harap menunggu datangnya mu’jizat di tengah-tengah carut marut yang sedang berlangsung di negeri ini. Prabu Siliwangi dalam teks wejangannya mengatakan : \"Nanti, saat munculnya Anak Gembala ( Budak Angon ) akan menumbangkan penguasa yang jahat.  Kemunculannya ditandai dengan banyak terjadi huru-hara yang bermula di daerah lalu meluas ke seluruh negeri.\" Siapa sebenarnya Anak Gembala ( Budak Angon ) itu semua peserta diskusi hanya termangu karena masih misterius. Salah seorang mahasiswa merasa dari perguruan tinggi Agama nekad mengatakan itu Imam Mahdi. Ketika Dia datang sangat mungkin kita semua sudah kembali ke alam baka. Semua hanya ketawa dengan terpaksa mengamini saja. (*)

Revolusi Hukum, Perbaiki Negeri

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan Ini sudah pasti peristiwa di Indonesia bukan di Korea Utara atau China dimana koruptor yang dihukum pasti menangis, menyesal, bahkan pasrah karena akan berpindah ke alam kematian.  Adalah Harvey Moeis yang terlihat gembira, berpelukan dan bahagia seperti mendapat undian lotere gede-gedean. Seisi ruang sidang menyambut kemenangan itu, termasuk senyuman bahagia dari sang Hakim Ketua.  Pemandangan atau tayangan langka ini sesungguhnya mengerikan. Betapa bobroknya Pengadilan di Indonesia. Merugikan negara hingga 300 trilyun hanya divonis 6,5 tahun penjara. Jika dibuka pendaftaran untuk bisnis seperti ini, maka dipastikan akan banyak atau membludak para pendaftar atau pelamar. Komisi Yudisial tidak bisa tinggal diam harus memeriksa Hakim Ketua Eko Aryanto beserta dua Hakim Anggota lainnya. Bau skandal tercium menyengat. Demikian juga Ketua Pengadilan Jakarta Pusat mesti memanggil Majelis Hakim yang bertindak di luar kelaziman tersebut. Ulah Hakim Ketua dan Hakim Anggota telah mencoreng dan menyebabkan PN Jakpus menjadi obyek kecurigaaan publik atas kredibilitas, profesionalitas, dan integritasnya. Dengan peristiwa ini contempt of court atau penistaan pengadilan harus mendapat perluasan makna. Bukan saja berlaku bagi pihak-pihak dan pengunjung persidangan tetapi juga bagi Hakim dan atau Hakim Ketua. Eko Artanto yang ikut senyum-senyum atau mesam mesem bersama kebahagiaan terdakwa Harvey Moeis dan keluarga adalah contoh dari penistaan atau contempt of court oleh Hakim.  Institusi peradilan lebih tinggi baik Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung (MA) harus lebih jeli membaca perasaan keadilan masyarakat melalui reaksi keras atas Putusan PN Jakarta Pusat ini. Kewaspadaan juga menyangkut kemungkinan operasi terselubung yang mempengaruhi Putusan Hakim. Bukankah mafia peradilan itu ada dan merajalela ? Korupsi yang merugikan negara hingga 300 trilyun adalah kasus besar. Jika korupsi seperti ini dianggap biasa dan hukuman atas pelakunya itu ringan, maka betapa bahaya dan rusaknya mental dan moral bangsa ini. Bangsa rapuh yang segera akan runtuh. Penanganannya harus mendasar dan revolusioner. Revolusi hukum. Tambal sulam, persuasif, penyuluhan, atau pembinaan-pembinaan reguler sudah tidak mempan lagi untuk perbaikan. Ruang hukum sudah rusak parah. Korupsi dan kolusi sudah menjadi paradigma mainstream di ruang ini. Inilah yang mungkin dimaksud dengan \"tidak ikut edan tidak kebagian\". Wong edan kabeh. Jangankan aturan dan sanksi, Tuhan pun sudah tidak ditakuti lagi. Dihukum kok bahagia, sama dengan narasi menghukum kok bahagia. Sama-sama bahagia.  Jika terdakwa tidak bersalah kemudian dibebaskan, maka pantas semua bahagia. Yang celaka, adalah sudah salah besar merampok uang rakyat, dihukum ringan kemudian bahagia bersama. Ini bisa bermakna sukses dalam kerjasama.  Hukum kini telah menjadi alat kepentingan politik dan bisnis. Kedaulatan hukum hanya ilusi.  Rezim Jokowi telah memperkosa hukum dengan hebat. Hukum untuk merekayasa kemenangan, hukum  menjadi sarana jabatan, membangun dinasti, menguras sumber daya alam, melindungi konglomerasi, menyandera teman, menghukum lawan, menutupi korupsi, memiskinkan rakyat, memperkaya diri, menjual kedaulatan negeri, serta mengokohkan penjajahan kaum oligarki.  Seperti masa lalu cara melawan penjajahan harus dilakukan dengan revolusi. Revolusi karakter, revolusi moral, revolusi sosial, revolusi hukum, revolusi politik maupun revolusi agama. Revolusi untuk mengembalikan ideologi sebagaimana yang dikehendaki oleh para pendiri bangsa.  Kini ideologi itu telah dipinggirkan dan dikorupsi oleh petinggi negeri keji. (*).

BUZZER GUNAWAN (BG)

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan Berita di berbagai media mengungkap pembelaaan Jenderal Pol Purn Budi Gunawan Menkopolkam atas rilis OCCRP yang menempatkan Joko Widodo sebagai finalis person terkorup dunia 2024. Ia menyatakan bahwa Presiden Jokowi adalah Warga Negara terbaik yang harus dijaga marwahnya. Jurnalis  Eddy Mulyadi menyebut Menkopolkam yang sebelumnya Kepala BIN ini telah terdegradasi marwah diri menjadi seorang Buzzer.  Buzzer Gunawan (BG) memang payah. Jokowi itu sekarang bukan Presiden kemudian tidak semua rakyat sepakat bahwa Jokowi adalah Warga Negara terbaik. Bahkan banyak yang setuju dan mendukung hasil dari investigasi OCCRP. Ketika menjilat menjadi budaya dan kepengecutan melanda pemimpin bangsa, maka rilis OCCRP menjadi angin penyegar dan penggoyah dari perbudakan.  Tidak ada hubungan dengan menjaga marwah Jokowi. Jika Presiden menjadi penindas, perampok, atau penjual negara, maka tidak ada marwah yang harus dijaga. Bukti bahwa Jokowi adalah Warga Negara terbaik atau terburuk mesti kita lihat pada pembuktian obyektif melalui jalur Pengadilan. Karenanya solusi uji Warga Negara Jokowi adalah tangkap, tahan dan adili. Di sana kita dapat melihat ia bermutu atau tidak. Bersih atau berlumuran lumpur. Buzzer Gunawan (BG) yang menjadi Buzzer Jokowi (BJ) telah lama diduga bahu membahu dalam kejahatan bersama melakukan penindasan, penggelapan, dan penghianatan politik yang menyengsarakan rakyat dan merusak demokrasi. Jokowi mengakui telah memata-matai partai politik atas input intelijen. BG adalah Kepala Badan Intelijen Negara. BG yang asal dekat dengan PDIP berpindah kubu ke Jokowi. Rilis OCCRP membuat Jokowi dan para buzzer kebakaran jenggot, panik dan berteriak-teriak. Kaget di luar dugaan bahwa borok Jokowi di bongkar di luar negeri. Tidak perlu meragukan kredibilitas dan peran OCCRP dalam membuka ketertutupan korupsi terorganisasi para pemimpin dunia. OCCRP membantu memuliakan transparansi dan menendang ambivalensi. Hasilnya Jokowi adalah koruptor yang harus ditindaklanjuti. Buzzer seperti Noel, Irma, dan BG berusaha menghadang serangan. Mencoba mengeksploitasi sentimen kebangsaan. Jaga marwah Presiden, katanya. Rakyat bilang..preet. Jokowi juga tidak pernah menjaga marwah rakyat, marwah DPR/MPR, marwah Pengadilan, marwah KPK, Kepolisian, maupun ulama dan tokoh agama. Semua direndahkan dan dihancurkan. BG, Tito, Listyo, dan Burhanuddin adalah orang-orang yang harus menjadi prioritas untuk diganti. Mereka bukan saja tidak berprestasi, tetapi juga menghambat dan berbahaya. Demi kebaikan untuk perubahan yang lebih cerah ke depan, maka Prabowo harus punya nyali. Berani untuk mengganti. Mulai dari ganti Kapolri! (*).

Tragis dan Sadis Lembaga Peradilan Seperti Vampir

Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Politik Merah Putih  \"Vampir makhluk mitologi yang hidup dengan memakan darah kehidupan makhluk hidup lain, yang  gentayangan keluar dari kuburnya mencari mangsa\" \"Sebaliknya massa akan mulai membakar dan membunuh, ketika keadilan gagal, opini publik mengambil alih. Ketika hukum tersesat pada kejumudan Undang-Undang atau bengkok karena uang\" Organ hukum di Indonesia sudah  hancur lebur,  metamorfosa menjadi komoditas bisnis yang bisa diperdagangkan dengan harga yang bisa dinego. Bagi memilik modal seperti Oligarki (pencetak dan pengendali  uang) organ konstitusi hukum tidak hanya dibeli sebagian tetapi bisa diborong semua pelaksana hukum tanpa sisa. Cuap cuap bahwa hukum terminal akhir untuk mendapatkan keadilan, hanya omong kosong, karena ketok palu fonis di pengadilan akan mengayun sesuai pesanan yang telah disepakati bersama. Tidak heran jika tidak ada seorang pun saat ini masyarakat  yang benar-benar dapat memercayai hukum di Indonesia.  Gemuruh tuntutan hukum untuk Jokowi diadili, yang sudah terang benderang gendruwo pelanggaran hukum kekuasaan dengan dampak kerusakan dimana mana (menjual kedaulatan negara), masih tampak percaya diri,  bahkan seperti tanpa beban dan merasa berdosa mengelak telah membuat kejahatan. Ketika negara telah berlaku hukum rimba, wajar mantan penguasa memelihara  monyet monyet menyerupai Buser dan influenzer bekerja berdasarkan kuasa yang diberikan untuk menggonggong dan menggigit kepada siapapun yang akan menghalangi kejahatannya. Dalam berbagai kesempatan Presiden Prabowo Subianto (PS) berjanji akan \"menyikat\" koruptor sekalipun sampai ke antartika. Dicibir hanya omon omon oleh masyarakat ketika PS apa salah alamat,  memburu koruptor ke antartika arahnya ke Solo, ternyata kompromi makan bersama dengan gembong korupsi. Isu korupsi dan menjual kedaulatan negara nempel pada Jokowi dan gerbongnya justru membuat kita mengernyitkan dahi, ternyata kasusnya membelit saling terkait dengan para pelaku  kekuasaan. \"Korupsi di Indonesia hampir tidak mungkin bisa di atasi karena beresiko membahayakan kekuasaan bahkan bisa  membunuh satu sama lain dengan jaringan yang sangat luas\". Hakim, Polisi , MA dan KPK semacam stempel pos untuk memutus perkara korupsi  di pengadilan harus sesuai alamat pos yang sudah di tempel di meja kerjanya. \"Tragis dan sadis benar bangsa ini, otoritas hak-hak kewargaannya terpenjara sistem yang buruk, yang tak bermodal kesalehan sosial, keadilan untuk tegaknya daulat rakyat, yang terjadi lembaga keadilan telah menjadi Vampir\" (*)

Menyibak Tabir Misteri Nusantara: Budak Angon dan Budak Janggotan (3)

Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Politik Merah Putih  Kita coba cocokkan prediksi (ramalan) Prabu Siliwangi dengan kondisi saat ini, justru warga terdampak yang harus menanggung kesusahan dan kepedihan adalah masuk di wilayah (tlatah) kekuasaan Prabu Siliwangi saat itu. Di samping sedang menimpa di seluruh Nusantara. Waktu terus berganti digambarkan semakin maju semakin banyak penguasa yang buta tuli, memerintah sambil menyembah berhala. Kondisi ini melambangkan pemimpin yang tidak mau mengerti penderitaan rakyat. Memerintah tidak dengan hati tapi segala sesuatunya hanya mengandalkan akal pikiran/logika dan kepentingan pribadi ataupun kelompok sebagai berhalanya.  Sehingga yang terjadi digambarkan banyak muncul peristiwa di luar penalaran. Menjadikan orang-orang pintar hanya bisa omong alias pinter keblinger, seperti yang dikatakan oleh Prabu Siliwangi, sbb : Mingkin hareup mingkin hareup, loba buta nu baruta, naritah deui nyembah berhala. Laju bubuntut salah nu ngatur, panarat pabeulit dina cacadan; da nu ngawalukuna lain jalma tukang tani. Nya karuhan: taraté hépé sawaréh, kembang kapas hapa buahna; buah paré loba nu teu asup kana aseupan. Da bonganan, nu ngebonna tukang barohong; nu tanina ngan wungkul jangji; nu palinter loba teuing, ngan pinterna kabalinger. ”Semakin maju semakin banyak penguasa yang buta tuli, memerintah sambil menyembah berhala. Lalu anak-anak muda salah pergaulan, aturan hanya menjadi bahan omong­an, karena yang membuatnya bukan orang yang mengerti aturan itu sendiri. Sudah pasti: bunga teratai hampa sebagian, bunga kapas kosong buahnya, buah pare banyak yang tidak masuk kukusan. Sebab yang berjanjinya banyak tukang bohong, semua diberangus janji-janji belaka, terlalu banyak orang pintar, tapi pintar keblinger.” Lalu dalam situasi dan kondisi tersebut yang tidak berbeda dengan saat ini kemudian muncul sosok orang yang dikatakan dalam naskah Wangsit Siliwangi sbb : Ti dinya datang budak janggotan. Datangna sajamang hideung bari nyorén kanéron butut, ngageuingkeun nu keur sasar, ngélingan nu keur paroho. Tapi henteu diwararo! Da pinterna kabalinger, hayang meunang sorangan. Arinyana teu areungeuh, langit anggeus semu beureum, haseup ngebul tina pirunan. Boro-boro dék ngawaro, malah budak nu janggotan, ku arinyana ditewak diasupkeun ka pangbérokan. Laju arinyana ngawut-ngawut dapur batur, majarkeun neangan musuh; padahal arinyana nyiar-nyiar pimusuheun.Sing waspada! Sabab engke arinyana, bakal nyaram Pajajaran didongengkeun. Sabab sarieuneun kanyahoan, saenyana arinyana anu jadi gara-gara sagala jadi dangdarat. Buta-buta nu baruta; ming­kin hareup mingkin bedegong, ngaleuwihan kebo bulé. Arinyana teu nyaraho, jaman manusa dikawasaan ku sato! \"Pada saat itu datang pemuda berjanggut, datangnya memakai baju serba hitam sambil menyanding sarung tua. Membangunkan semua yang salah arah, mengingatkan pada yang lupa, tapi tidak dianggap. Karena pintar keblinger, maunya menang sendiri. Mereka tidak sadar, langit sudah memerah, asap mengepul dari perapian. Alih-alih dianggap, pemuda berjanggut ditangkap dimasukan ke penjara. Lalu mereka mengacak-ngacak tanah orang lain, beralasan mencari musuh tapi sebenarnya mereka sengaja membuat permusuhan. Waspadalah! sebab mereka nanti akan melarang untuk menceritakan Pajajaran. Sebab takut ketahuan, bahwa me­reka yang jadi gara-gara selama ini. Penguasa yang buta, semakin hari semakin berkuasa melebihi kerbau bule, mereka tidak sadar jaman manusia sudah dikuasai oleh kelakuan hewan.\" Sosok ”Pemuda Berjanggut” di atas adalah lambang laki-laki sejati yang sangat kuat prinsip dan akidahnya serta selalu eling (dilambangkan dengan baju serba hitam). Dan dia juga seorang yang tekun dan taat beribadah serta kuat dalam memegang ajaran leluhur (dilambangkan dengan menyanding sarung tua).  Digambarkan bahwa di tengah situasi negeri yang panas membara (carut marut) dimana manusia dipenuhi nafsu angkara, ”Pemuda Berjanggut” datang mengingatkan yang pada lupa untuk kembali eling. Namun tidak dianggap. Lalu pada alinea menjelang akhir dikatakan : \"Jayana buta-buta, hanteu pati lila; tapi, bongan kacarida teuing nyangsara ka somah anu pada ngarep-ngarep caringin reuntas di alun-alun. Buta bakal jaradi wadal, wadal pamolahna sorangan. Iraha mangsana? Engke, mun geus tembong budak angon! Ti dinya loba nu ribut, ti dapur laju salembur, ti lembur jadi sanagara! Nu barodo jaradi gélo marantuan nu garelut, dikokolotan ku budak buncireung. Matakna garelut? Marebutkeun warisan. Nu hawek hayang loba, nu boga hak marénta bagianana. Ngan nu aréling caricing. Arinyana mah ngalalajoan. Tapi kabarérang.” ”Kekuasaan penguasa buta tidak berlangsung lama, tapi karena sudah kelewatan menyengsarakan rakyat yang sudah berharap agar ada mu’jizat datang untuk mereka. Penguasa itu akan menjadi tumbal, tumbal untuk perbuatannya sendiri.  Kapan waktunya? Nanti, saat munculnya Anak Gembala! Di situ akan banyak huru-hara, yang bermula di satu daerah semakin lama semakin besar meluas di seluruh negara.  \"Yang tidak tahu menjadi gila dan ikut-ikutan menyerobot dan bertengkar, dipimpin oleh pemuda gendut. Sebabnya bertengkar?, memperebutkan tanah. Yang sudah punya ingin lebih, yang berhak meminta bagiannya. Hanya yang sadar pada diam, mereka hanya menonton tapi tetap terbawa-bawa.” Pemuda Gendut merupakan lambang orang yang rakus dan serakah serta memiliki kepentingan pribadi. Situasi tersebut di atas adalah gambaran apa yang terjadi sekarang ini. Kalau kita perhatikan dengan cermat alinea ini, saat ini seluruh rakyat sedang berharap-harap menunggu datangnya mu’jizat di tengah-tengah carut marut yang sedang berlangsung di negeri ini. Huru-hara terjadi di mana-mana. Dan akhir-akhir ini banyak sekali terjadi kasus perebutan tanah. Pengusiran rakyat pribumi, kekerasan aparat keamanan tidak melindungi rakyat malah ikut menyiksa rakyat. Dalam bait ini dikatakan bahwa penguasa tersebut akan tumbang pada saat munculnya “Budak Angon”. Dimana kemunculannya ditandai dengan banyak terjadi huru-hara yang bermula di daerah lalu meluas ke seluruh negeri. Dalam mengkaji Wangsit Siliwangi ini kita telah menemui lelakon atau pemeran utama yang dikatakan dengan istilah ”Budak Angon” (Anak Gembala) dan ”Budak Janggotan” (Pemuda Berjanggut). (Bersambung).

Menyibak Tabir Nusantara: Kerbau Bule dan  Monyet-Monyet (2)

Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Politik Merah Putih  Menyambung tulisan; (1) tentang sosok Budak Angon tetap masih misteri - yang sudah muncul dan terjadi adalah Kerbau Bule dan Monyet Monyet, dikatakan oleh Prabu Siliwangi : \"Aya nu wani ngorehan terus terus, teu ngahiding ka panglarang, ngorehan bari ngalawan, ngalawan sabari seuri. Nyaéta budak angon, imahna di birit leuwi, pantona batu satangtungeun, kahieuman ku handeuleum, karimbunan ku hanjuang. Ari ngangonna? Lain kebo lain embe, lain meong lain banténg, tapi kalakay jeung tutunggul. Inyana jongjon ngorehan, ngumpulkeun anu kapanggih. Sabagian disumputkeun, sabab acan wayah ngalalakonkeun. Engke mun geus wayah jeung mangsana, baris loba nu kabuka jeung rareang menta dilalakonkeun. Tapi, mudu ngalaman loba lalakon, anggeus nyorang: undur jaman datang jaman, saban jaman mawa lalakon. Lilana saban jaman, sarua jeung waktuna nyukma, ngusumah jeung nitis, laju nitis dipinda sukma.\" \"Ada yang berani menelusuri terus menerus, tidak mengindahkan larangan, mencari sambil melawan, melawan sambil tertawa. Dialah anak gembala, rumahnya di belakang sungai, pintunya setinggi batu, tertutupi pohon handeuleum dan hanjuang. Apa yang dia gembalakan, bukan kerbau bukan domba, bukan pula harimau ataupun banteng, tetapi ranting daun kering dan sisa potongan pohon. Dia terus mencari, mengumpulkan semua yang dia temui, tapi akan menemui banyak sejarah /kejadian, selesai jaman yang satu datang lagi satu jaman yang jadi sejarah / kejadian baru, setiap jaman membuat sejarah. Setiap waktu akan berulang itu dan itu lagi.\" Dari bait di atas digambarkan bahwa sosok ”Budak Angon” adalah sosok yang misterius dan tersembunyi. Apa yang dilakukannya bukanlah seperti seorang penggembala pada umumnya, akan tetapi terus berjalan mencari hakekat jawaban dan mengumpulkan apa yang menurut orang lain dianggap sudah tidak berguna atau bermanfaat. Dalam hal ini dilambangkan dengan ranting daun kering dan tunggak pohon. Sehingga secara hakekat yang dimaksudkan semua itu sebenarnya adalah hal-hal yang berkaitan dengan sejarah kejadian (asal-usul/sebab-musabab) termasuk karya-karya warisan leluhur seperti halnya yang kita baca ini. Karena kemajuan jaman oleh generasi saat ini catatan sejarah masa lalu dianggap sudah usang /kuno tidak berguna dan bermanfaat. Pada akhirnya  hakekat perjalanan panjang sejarah negeri ini dianggap seperti berputarnya roda Cokro Manggilingan (pengulangan perjalanan sejarah). Gambaran situasi jaman dalam naskah Wangsit Siliwangi diawali dengan lambang datangnya \"Kerbau Bule dan juga Monyet-monyet\" yang kemudian ganti menyerbu selepas Kerbau Bule pergi.  Ilustrasi ini melambangkan saat datangnya para penjajah yang berdatangan ke negeri ini, baik itu Portugis maupun Belanda. Dengan politik adu domba mereka maka terjadi peperangan antar saudara. Sejarah banyak yang hilang dan diputarbalikkan.  Sebagai perlambang dalam naskah Wangsit Siliwangi bahwa situasi carut marut yang terjadi akan ada yang menghentikan yaitu orang seberang, dengan peristiwa jatuhnya bom atom di Nagasaki dan Hiroshima Tertulis :  \"Laju hawar-hawar, ti tungtung sagara kalér ngaguruh ngagulugur, galudra megarkeun endog. Génjlong saamparan jagat. Ari di urang, Ramé ku nu mangpring. Pangpring sabuluh-buluh gading. Monyét ngumpul ting rumpuyuk. Laju ngamuk turunan urang; ngamukna teu jeung aturan. loba nu paraéh teu boga dosa. Puguh musuh, dijieun batur; puguh batur disebut musuh. Ngadak-ngadak loba nu pangkat nu marentah cara nu edan, nu bingung tambah baringung, barudak satepak jaradi bapa. nu ngaramuk tambah rosa, ngamukna teu ngilik bulu. Nu barodas dibuburak, nu harideung disieuh-sieuh. Mani saheng buana urang, sabab nu ngaramuk, henteu beda tina tawon, dipalengpeng keuna sayangna. Sanusa dijieun jagal. Tapi, kaburu aya nu nyapih; nu nyapihna urang sabrang.” (Lalu sayup-sayup dari ujung laut utara terdengar gemuruh, burung menetaskan telur. Riuh seluruh bumi, sementara di sini. Ramai oleh perang, saling menindas antar sesama. Penyakit bermunculan di sana sini. Lalu keturunan kita mengamuk, mengamuk tanpa aturan. Banyak yang mati tanpa dosa, jelas-jelas musuh dijadikan teman, yang jelas-jelas teman dijadikan musuh. Mendadak banyak pemimpin dengan caranya sendiri,  yang bingung semakin bingung. Banyak anak kecil sudah menjadi bapa. Yang mengamuk tambah berkuasa, mengamuk tanpa pandang bulu. Yang Putih dihancurkan, yang Hitam diusir. Kepulauan ini semakin kacau, sebab banyak yang mengamuk, tidak beda dengan tawon, hanya karena dirusak sarangnya. Seluruh nusa dihancurkan dan dikejar. Tetapi, ada yang menghentikan, yang menghentikan adalah orang seberang.) Selanjutnya terdapat suatu masa yang digambarkan dengan munculnya seorang pemimpin negeri ini dengan gambaran sbb : ”Laju ngadeg deui raja, asalna jalma biasa. Tapi mémang titisan raja. Titisan raja baheula jeung biangna hiji putri pulo Dewata. da puguh titisan raja, raja anyar hésé apes ku rogahala” ( Lalu berdiri lagi penguasa yang berasal dari orang biasa. Tapi memang keturunan raja dahulu kala dan ibunya adalah seorang putri Pulau Dewata. Karena jelas keturunan raja, penguasa baru susah dianiaya!) Siapakah sosok yang dimaksud dalam bait ini. Dia adalah Soekarno, Presiden RI pertama. Ibunda Soekarno adalah Ida Ayu Nyoman Rai seorang putri bangsawan Bali. Ayahnya seorang guru bernama Raden Soekeni Sosrodihardjo.  Wangsit Siliwangi diawali dengan lambang datangnya \"Kerbau Bule dan juga Monyet-monyet\" yang kemudian ganti menyerbu selepas Kerbau Bule pergi. Artinya Belanda pergi setelah Jepang datang. Prabu Siliwangi memerintah Kerajaan Pajajaran pada 1482–1521 M. Prabu Siliwangi  meninggal dunia , menghilangnya (Moksa) atau strategi politik, secara misterius pada tahun 1579. Namun dalam cerita rakyat Sunda, ada legenda yang menyebutkan bahwa ia menghilang atau berubah menjadi harimau putih Jepang datang tahun 1942 jauh sekali masa waktunya, Prabu Siliwangi sudah memberikan wangsit diawali dengan lambang datangnya \"Kerbau Bule dan juga Monyet-monyet\"  yang kemudian ganti menyerbu selepas Kerbau Bule pergi.  Budak Angon tetap masih menjadi misteri - kapan akan muncul, karena paska Sukarno, di ramalkan Prabu Siliwangi yang akan muncul Presiden yang tidak punya hati bahkan sikap dan prilakunya akan membawa kerusakan dan menyengsarakan rakyatnya.  (Bersambung).

Menyibak Tabir Misteri Nusantara: Budak Angon (1)

Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Politik Merah Putih  RASA prihatin atas carut marut yang sedang terjadi di Ibu Pertiwi membutuhkan pencerahan cakrawala pemahaman tentang apa dan bagaimana kejadian yang telah dan sedang berlangsung dan prediksi apa yang akan terjadi di negeri ini membutuhkan kearifan super kehati-hatian sebagai pertimbangan untuk sampai pada tahap minimal kesimpulan awal. Tidak ada salahnya membedah warisan leluhur yang sarat dengan perlambang sehingga sedikit demi sedikit terkuak tabir misteri jagad Nusantara. Hal ini sepatutnya bisa dipahami oleh seluruh anak cucu leluhur bangsa ini sebagai pewaris sah tataran surgawi yang bernama Nusantara. Dalam tulisan ini akan ditulis diambil dari blog literatur yang ada. Ibarat mentari mata rantai yang hilang (missing link) nampaknya misteri sekalipun samar samar tetap harus dicari. Mungkin perlu bantuan dengan di kumpulkannya ahli ahli Thoriqoh negeri ini yaitu Mursyid yang telah mencapai maqom ma\'rifat Mukasyafah. Penanda-penanda agama Hindu, Bhiksu-bhiksu agama Budha yang telah sempurna serta kasepuhan Waskita dari Keraton Jogja, Solo, Cirebon dan sesepuh dari Keraton lainnya di Nusantara. Bersama sama memohon petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Esa, mencari siapa sosok yang mampu mengatasi keadaan saat ini dan menjadi jawaban dari misteri yang telah diungkapkan oleh para leluhur kita. Memohon petunjuk - Nya, insya Allah jika mendapat ijin dan ridlo-Nya akan menemukan jawabannya. Dari tulisan ini akan dicoba dituangkan dengan singkat kearifan pemikiran para leluhur kita : Uga Wangsit Siliwangi Serat Musarar Joyoboyo, Pemikiran (ramalan) Ronggowarsito. Mereka hidup di jaman yang berbeda tetapi perlambang selalu berkaitan, sekalipun karakter penyampaiannya berbeda-beda. Seperti memberi petunjuk bahwa hanya mengandalkan akal (otak) akan mengantarkan kita pada jalan buntu. Campur tangan kuasa, pertolongan dan petunjuk - Nya tidak bisa diabaikan. Sekalipun dalam sebuah pemikiran sering di kenal dengan ramalan para spiritual penuh Riadhah selalu mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa sering di sebut pujangga, bisa di maknai berbeda-beda.  Tabir misteri kebenarannya hanya dapat di baca dari nurani yang suci, bersih dan dekat dengan Tuhan Yang Maha Esa, sebagai rujukan ramalannya (bukan dari Iblis yang selalu menyesatkan . Uga Wangsit Siliwangi Di dalamnya menggambarkan situasi kondisi sosial, karakter pemimpin pada masa tertentu dalam kurun waktu perjalanan panjang sebuah sejarah paska kepergian Prabu Siliwangi (hilang/menghilang).  Bersamaan dengan menghilangnya Padjajaran dengan mengatakan \"kelak kemudian akan banyak orang yang berusaha membuka misteri Pajajaran. Namun yang terjadi mereka yang berusaha mencari hanyalah *orang orang sombong dan takabur*\". Seperti dalam naskahnya tertulis : \"Ti mimiti ieau, Pajajaran lenguit ti alam hirup, Lenguit dayeuhna, lenguit nagarana. Pajajaran moal ninggalkeun tapak, jaba ngaran pikeun nu mapay. Sebab bukti anu kari, bakal rea nu malungkir !. Tapi engke jaga bakal aya nu nyoba - nyoba, supaya anu lalenguit kapanggih deui. Nya bisa, Ngan mapayna kudu make amparan. Tapi anu marapayna lomba nu arieu-aing pang pinterna. Mudu aredan heula\" \"Sejak hari ini, Hilang dari alam nyata. Hilang kotanya, hilang negaranya. Pajajaran tidak akan tinggalkan jejak, selain nama yang mereka berusaha menelusuri. Sebab bukti yang ada akan banyak menolak tapi suatu saat akan ada yang akan mencoba, supaya yang hilang bisa di temukan kembali. Bisa saja, hanya menelusurinya harus memakai dasar. Tapi yang menelusurinya banyak yang sok pinter dan sombong. Bahkan berlebihan kalau bicara\"). Dalam \"Wangsit Siliwangi\" tersebut dikatakan bahwa akhirnya yang mampu membuka adalah sosok yang di katakan sebagai Budak Angon (anak gembala). Sebagai perlambang sosok yang dikatakan oleh Prabu Siliwangi, sebagai orang yang baik perangainya . \"Sakabeh turunan dia ku ngaing bakal di langlang. Tapi, Ngan di waktu anu perelu. Ngaing bakal datang deui, nulungan nu barutuh, anu sarusah, tapi ngan nu hade laku - lampahna. Mun ngaing datang moal kadeuleu, mun ngaing nyarita moal kadenge. Memang ngaing bakal datang. Tapi ngan ka nu rancage hatena, ka nu weruh di semu anu saestu, anu ngarti kana wangi anu sejati jeung nu surti lantip pikirna , nu hade laku lampahna. Mun ngaing datang, teu ngarupa teu nyawara, tapi were cere ku wawangi\" Semua keturunan kalian akan aku kunjungi, tetapi hanya pada waktu dan saat di perlukan. Aku datang lagi, menolong yang perlu, membantu yang susah, rapi hanya mereka yang bagus perangainya. Apabila aku datang takkan terlihat, apabila aku berbicara takkan terdengar. Memang aku akan datang tetapi hanya untuk mereka yang baik hatinya, mereka yang mengerti dan satu tujuan, yang mengerti tentang harum sejati juga mempunyai jalan pikiran yang lurus dan bagus tingkah lakunya. Ketika aku datang tidak berupa dan bersuara tetapi memberi ciri dengan wewangian\" (Bersambung - Siapa Sosok Budak Angon?)

Jokowi Harus Ditangkap dan Diadili untuk Membuktikan Alibinya

Oleh Syafril Sjofyan | Pemerhati Kebijakan Publik, Aktivis Pergerakan 77-78, Sekjen APPTNI Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) mengumumkan Presiden RI ketujuh Joko Widodo masuk dalam nominasi finalis tokoh Kejahatan Terorganisasi dan Korupsi 2024.  OCCRP merupakan salah satu organisasi jurnalisme investigasi terbesar di dunia. Kantor pusatnya di Amsterdam dan memiliki staf di enam benua. Organisasi ini bertujuan untuk mengungkap kejahatan dan korupsi yang sering kali luput dari perhatian media arus utama.  Organisasi ini juga dikenal karena dedikasinya dalam membantu media investigasi lokal di seluruh dunia untuk berkembang. OCCRP melaporkan isu-isu kompleks seperti perang, perubahan iklim, kesenjangan, dan ancaman terhadap demokrasi, yang semuanya sering dipicu oleh kejahatan dan korupsi. Dengan kemitraan bersama berbagai outlet media, OCCRP mempublikasikan laporan sesuai tindakan nyata di lapangan. Termasuk mengumumkan Pemerintah Jokowi yang korup ini melanggar HAM, memanipulasi pemilu, menjarah sumber daya alam dan memperdagangan kebijakan yang melekat pada diri Jokowi.  Tanggapan Jokowi terhadap OCCRP Organisasi Internasional ini dengan muncul cengegesan nampil di media mainstream lokal, dengan memasang wajah bodoh berujar;  “saya korupsi apa? hahaha, buktikan apa?” “fitnah dan framing jahat” hehehe. Reaksi Jokowi ketawa yang seharusnya bermoral , dia  merasa malu dan kecewa karena sudah dinyatakan sebagai tokoh kejahatan korupsi 2024.  Jokowi pura-pura tidak tahu hukum dan kriteria korupsi atau memang tolol (istilah Rocky Gerung). Untuk membuktikan ya harus melalui Pengadilan. Untuk itu Polri, Kejaksaan, KPK ditantang harus segera melakukan melakukan penyelidikan, penyidikan, untuk pembuktikan, agar  Jokowi tidak lagi berkata dia difitnah atau diframing. Dengan kata lain untuk pembuktian. Tangkap dan adili Jokowi!. Namun begitu mari kita bedah tentang Kriteria Korupsinya Jokowi. Biar Jokowi dan keluarganya bersiap untuk dipenjara. Korupsi adalah tindakan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan yang dilakukan oleh pejabat publik atau individu yang memiliki posisi penting untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, dengan mengorbankan kepentingan publik.  Kesatu, Penyalahgunaan Wewenang, ketika Jokowi memiliki kekuasaan, menggunakan wewenangnya untuk memutuskan Proyek Strategis Nasional (PSN) bagi Swasta seperti Rempang, PIK2, IKN kepentingan pribadi Aguan, Tomi Winata, Anthoni Salim dkk. atau kelompok perusahaan swasta tertentu yang bertentangan dengan tugas dan tanggung jawabnya.  Dipastikan mereka yang diuntungkan akan memberikan upeti seumur hidup bagi Jokowi dan keluarganya. Jangankan Jokowi, Ara (Maruar Sirait) yang dekat dengan kekuasaan Jokowi saja mendadak sangat kaya melalui Aguan (penjelasan om nya Panda Nababan).  Kedua, Dugaan Pemerasan dan Gratifikasi, menerima atau meminta sesuatu yang berhubungan dengan pemberian imbalan dalam bentuk uang, barang, atau fasilitas lainnya dengan harapan mendapatkan keuntungan tertentu yang tidak sah. Kasus anak bungsunya Kaesang dan menantunya Jokowi  yakni Bobby Nasution yang menggunakan privat jet, yang bisa berujung kepada kekuasaan Jokowi. Tidak diusut tuntas oleh KPK bisa jadi pimpinan KPK dipilih dan berada dibawah Presiden Jokowi. Ketiga, Dugaan mengambil atau menyalahgunakan aset Negara yang seharusnya digunakan untuk kepentingan publik, akhirnya  memperkaya diri sendiri dan keluarga. Contoh kasus pertambangan blok Medan tambang yang diberikan kepada puterinya Jokowi, Kahiyang dan suaminya Bobby Nasution. Keempat, Nepotisme, mengutamakan keluarga, anaknya Gibran Rakabuming Raka, melalui pengambilan keputusan MK memuluskan Gibran yang belum cukup umur menjadi capres. Seharusnya berdasarkan merit atau kompetensi berusia 40 tahun.  Dengan tujuan memperoleh keuntungan atau keuntungan pribadi, Ketua MK Anwar Usman  “adik iparnya”  Jokowi melakukan pelanggaran etika berat. Kasus hukum dugaan tindak pidana Nepotisme tersebut diduga dilakukan oleh Anwar Usman, Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka dan Iriana melanggar/ vide pasal 1 angka 5 jo, Pasal 22 UU No. 28 Tahun 1999 dengan hukuman maksimal 12 tahun.   Tindak Pidana Nepotisme sudah dilaporkan ke Bareskrim oleh Forum Alumni Perguruan Tinggi berijazah Asli (ForAsli) dan Petisi 100,  setahun yang lalu pada tanggal 5 Januari 2024 sampai sekarang belum diusut. Diduga karena Kapolrinya merupakan pilihan dan diangkat oleh Jokowi.  Kelima, Pengaruh terhadap Keputusan Kebijakan, menggunakan posisi atau pengaruh untuk mempengaruhi keputusan kebijakan yang seharusnya menguntungkan publik, tetapi lebih mengutamakan keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.  Kasus dugaan Money Laundring oleh Gibran  dan Kaesang yang mendapatkan ratusan milyar modal dari Penguasa bermasalah hukum  yang dihukum dan didenda sangat besar karena membakar hutan. Konon hukuman dendanya diringankan dan pengusaha tersebut diangkat menjadi dubes oleh Jokowi. Kasus ini dilaporkan ke KPK tiga tahun yang lalu oleh akademisi Ubaidillah Badrun, sampai sekarang belum diusut karena KPK telah dilemahkan melalui revisi UU KPK oleh rejim Jokowi. Keenam, Penyalahgunaan Anggaran Negara, tentang KCIC yang semula adalah B to B menjadi tanggungan APBN adanya dana tambahan pengelembungan biaya pembangunan kereta api cepat tersebut secara sepihak oleh Jokowi. Termasuk penggunaan anggaran Pendidikan di pindahkan menjadi anggaran bantuan desa.  Penggunaan anggaran negara yang tidak sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan merupakan tindak pidana pelanggaran UU APBN. Jika diusut banyak lagi penyalahgunaan tersebut, namun dengan adanya koalisi gendut parpol di DPR semasa Jokowi, pelanggaran tersebut didiamkan saja. Tidak ada kata lain bahwa Jokowi adalah tokoh kejahatan terorganisasir korupsi. Dan tidak ada kata lain Jokowi sekeluarga harus diusut, ditangkap dan diadili. Apakah bisa?. Tergantung Presiden Prabowo. Tinggal memanggil KPK dan Kapolri. Untuk mengusut secara tuntas. Jika KPK dan Kapolri  tidak mau. Ganti Kapolrinya. Begitu juga Komisioner KPK yang baru. Harus diganti semua.  Jokowi telah melakukan pelanggaran UU KPK dengan melakukan pembentukan Pansel dan mengajukan Calon pengganti  Komisioner KPK ke DPR RI secara terburu-buru pada masa jabatannya. Bisa jadi melindungi kepentingannya. UU KPK mensyaratkan seharusnya pemilihan Komisioner KPK yang baru dilakukan pada masa jabatan Presiden yang berbeda. Yakni Presiden Prabowo. Dengan demikian Komisoner KPK terpilih tersebut tidak sah. (*)