ALL CATEGORY

Usut KM 50, Nepotisme, dan Ijazah Palsu Jokowi, Pak Listyo!

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan Tantangan rakyat untuk Kapolri Listyo Sigit Prabowo adalah mengusut tiga kasus besar yang terkait dengan Jokowi. Tiga kasus tersebut adalah KM 50, Nepotisme, dan Ijazah Palsu. Tanpa ada pengusutan maka pertaruhan bagi Kapolri adalah pengunduran diri atau segera diganti.  Pengusutan kembali peristiwa KM 50 merupakan tagihan atas janji Kapolri Listyo Sigit di depan Rapat DPR yang menyatakan bahwa jika ada bukti baru atau Novum maka Polri akan membuka kembali kasus kejahatan kemanusiaan tersebut.  Sekurangnya sudah ada tiga Novum untuk kasus ini, yaitu : Pertama, pengakuan AKBP Ari Cahya Nugraha (Acay) dalam kasus Sambo bahwa ia yang merusak  CCTV rumah Sambo dan juga  KM 50.  Kedua, sopir derek yang menyaksikan bahwa pada KM 51,2 tidak terjadi apa-apa. Penembakan tidak dilakukan di KM 51,2 sebagaimana diskenariokan palsu. Ketiga, dalam kasus Bahar Smith para saksi menyatakan jenazah 6 syuhada ada bekas luka penyiksaan. Artinya peristiwa \"hanya ditembak\" itu bohong.  Tindak pidana Nepotisme Jokowi telah diadukan oleh Petisi 100 dan For Asli Bandung ke Bareskrim Mabes Polri. Jokowi, Iriana, Usman dan Gibran adalah pihak yang dilaporkan/diadukan. Jokowi melanggar Pasal 22 UU No 28 tahun 1999 tentang KKN  dengan ancaman 12 tahun penjara. Hingga kini proses hukum mandeg.  Dugaan ijazah palsu Jokowi pun sudah dilaporkan/diadukan ke Mabes Polri oleh TPUA pimpinan Eggy Sudjana. Seperti kasus lain pihak Mabes Polri sampai sekarang belum juga  memproses. Kekhawatiran akan pengaruh kekuassan Jokowi tentu tidak beralasan, karena Jokowi sudah tidak lagi menjabat sebagai Presiden. Gonjang-ganjing ijazah p0alsu harus diselesaikan. Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Polri bekerja diharapkan lebih profesional dalam menjalankan tugas pokoknya yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum,  mengayomi dan melindungi  masyarakat.  Sebagaimana dalam Tri Brata Polri harus senantiasa bersandar pada keyakinan dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tri Brata atau Tri Ganti menjadi pilihan dan konsekuensi.  Tri Brata adalah pengusutan kasus KM 50, Nepotisme, dan Ijazah Palsu Jokowi. Jika Kapolri gagal memenuhi kewajibannya maka berlaku Tri Ganti, yang di antaranya adalah mengganti Kapolri dengan Kapolri baru pilihan Prabowo. Ganti lainnya adalah mengganti Pimpinan KPK yang tak sah dan Jaksa Agung yang masih berada dalam bayang-bayang Jokowi.  KPK menjadi intitusi ruwet sejak dipimpin Firli Bahuri yang menjadi terperiksa Polda Metro Jaya. Setelah Firli maka Johanis Tanak, Nurul Gufron, dan Alexander Marwata juga diperiksa untuk kasus mantan Kepala Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmanto. Pimpinan KPK saat ini merupakan \"orang-orang Jokowi\" yang dipaksakan. Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit akan dihargai dan mungkin dimaafkan segala kesalahannya jika secara sukarela mengundurkan diri. Toh suatu kelaziman bahwa Kapolri itu mengikuti jabatan Presidennya. Listyo Sigit adalah Kapolri masa pemerintahan Jokowi dan kini Presiden Prabowo yang dituntut untuk memiliki Kapolri sendiri.  Pembaruan dan penyegaran menjadi harapan publik dalam rangka membangun kehidupan  politik yang demokratis, adil, dan berkeadaban. Polisi baru itu dicintai rakyat, bukan yang dibenci dan dimaki-maki. (*)

Kronologi Oligarki Asing Paksa Pemerintah Turunkan PPh 22% dan Naikkan PPN 12 %

Oleh Faisal S Sallatalohy | Pemerhati Kebijakan Publik Ceritanya bermula pada tahun 2015, tepatnya di era Menteri Keuangan, Bambang Brojonegoro. Sejumlah pengusaha, oligarki termasuk asing meminta pemerintah turunkan PPh Badan dari 25% menjadi 17%.  Pengusaha ngotot maksa pemerintah turunkan PPh Badan agar dapat bersaing dengan singapura dalam rangka menjamin peningkatan masuknya modal asing berinvestasi di Indonesia.  Selaku Menkeu, Bambang bertanya, jika PPh Badan diturunkan sesuai keingingan pengusana, lalu bagaimana pemerintah bisa tetap menjaga sisi penerimaan pajak.  PPh Badan yang diturunkan, tentu saja berdampak pada berkurangnya penerimaan pajak negara yang disetor pengisaha. Hal ini dapat berimplikasi pada rendahnya penerimaan negara.  Para pengusaha menjawab dengan enteng: pemerintah bisa menambal kekurangan penerimaan pajak dari turunnya PPh Badan dengan cara menaikan tarif PPN secara bertahap.  Jawaban yang terdengar sangat BANGSAT !!!  Bagaimana mungkin, para pengusaha, para konglomerat besar dengan perusahan yang telah berstatus wajib pajak atau berpenghasilan tinggi itu, meminta porsi pembayaran pajaknya diturunkan, sebagai gantinya, masyarakat yang dipaksa membayar kekurangan penerimaan pajak negara lewat kenaikan PPN secara bertahap?  Para konglomerat memang bangsat. Perusahan wajib pajak yang mereka dirikan dan kendalikan, memiliki pemdapatan yang sangat tinggi. Tidak puas dengan keuntungan tinggi tersebut, masih berambisi menggelembungkan keuntungan lewat paksaan pengurangan kewajiban PPh Badan.  Agar ambisi rakusnya dapat berjalan tanpa mengganggu atau menurunkan penerimaan pajak negara, mereka mendikte pemerintah naikan PPN secara bertahap. Mereka untung, rakyat mampus.  Bambang mengatakan, dirinya lantas menolak solusi instan tersebut lantaran hanya menguntungkan sisi pengusaha sementara memberatkan rakyat.  Selepas dirinya tidak lagi menjabat, siasat licik pengusaha ini terus dipaksakan. Ketemu jalannya di era menkeu Sri Mulyani.  Dengan tangan terbuka, Sri Mulyani menerima desakan pengusaha. Jokowi bertindak cepat mengeluarkan Surpres pada 5 Mei 2021. Dikirimkan ke DPR mendesak revisi UU No.6 Tajun 1983 tentang pajak.  Proses revisi melahirkan UU No.7 Tahun 2021 yg secara resmi mulai berlaku 1 Janurai 2022. Sesuai perkataan Bambang, pemerintah dan DPR akhirnya menetapkan PPh badan diturunkan dari 25% jadi 22%.  Sementara dalam pasal 7, PPN dinaikan secara bertahap, 11% di 2022 dan 12% paling lambat 1 Januari 2025.  Jadi kenaikan pajak secara bertahap dilatar belakangi desakan pengusaha dan dijawab pemerintah-DPR dengan baik.  Kenaikan ini tidak didasarkan pada pertimbangan hitung-hitungan ekonomi yg matang. Tidak disandarkan atas kajian ketahanan perekonomian masyarakat.  Liat saja, dalam keadaan ekonomi rakyat yg tidak stabil, PHK meluas, pengangguran bertambah, kemiskinan akut, pendapatan rendah, banyak rakyat terjerat pinjol, jatuhnya kelas menengah, pemerintah tetap saja ngotot jalankan perintah pengusaha naikan PPN 12%.  Hal ini menunjukan, tidak ada bedanya Prabowo dan Jokowi. Sama-sama menuruti perintah ologarki. Padahal Prabowo punya pilihan untuk membatalkan kenaikan PPN.  Sebagaimana tertuang dalam pasal 7 ayat 3, kenaikan PPN bisa dinaikan sampai 15%, sebaliknya bisa diturunkan ke 5%.  Jika Prabowo memang sejak awal memang berjowa patriot, pahlawan pembela HAM sebagimana yg selalu, harusnya memilih untuk menurunkan di bawa 11%, bukannya menaikan.  Sama saja. Rajin berpidato berapi-api bela kepentingan. Nyatanya hanya omon-omon yg omong kosong. Penjajah berbaju patriot. Dengan lapang dada lanjutkan tugas Jokowi jalankan keinginkan pengusaha naikan PPN secara berkala. (*)

OLIGARKHI ATAU OKHLOKRASI?

Oleh: Irawan Santoso Shiddiq | Jurnalis  Oligarkhi, ini kosakata trending era kini. Hampir semua negara kebingungan dengan kemunculan oligarkhi. Karena realitasnya ada, tapi defenisinya susah. Oligarkhi, sebentuk golongan elit penguasa ekonomi. Merekalah para kartel bisnis, yang mengendalikan sebuah negeri.  Kaum akademisi tak punya jalan keluar. Karena oligarkhi muncul dari system yang menyajikan kesempatan. Harold Laski, pakar tata negara Inggris berkata, “Hampir seluruh system terpengaruh dari kondisi jamannya.” Jadi, oligarkhi tercipta dan terkondisi karena system yang menyediakan.  Polybios, sejarawan Romawi, sejatinya punya defenisi tentang oligarkhi. Dia memiliki teori siklus kekuasaan. Mulai dari Monarkhi-Tirani-Aristokrasi-Oligarkhi-Demokrasi-Okhlokrasi-kemudian beralih kembali ke Monarkhi. Dari siklus Polybios, kosakata ‘oligarkhi’ tertera. Tapi defenisinya berbeda dengan realitas kini.  Oligarkhi, tentu fase model tatapemerintahan pasca aristokrasi. Sementara dunia kini jamak membanggakan system yang digeluti adalah demokrasi. Maka, untuk melihatnya perlu perbandingan sahih.  Romawi, seperti Dr. Ian Dallas –ulama besar asal Eropa--, adalah prototype system yang berlangsung di dunia. “Memahami sejarah dunia, cukup dengan memahami Romawi,” tegasnya dalam bukunya ‘The Entire City.’ Karena Romawi memiliki segala macam fase model pemerintahan. Mulai dari monarkhi sampai okhlokrasi, Romawi telah mengalaminya. Karenanya merujuk Romawi adalah gambaran paling pas untuk membedah ‘oligarkhi.’ Karena dalam Al Quran, ‘Romawi’ juga ditabalkan secara khusus. Ini satu-satunya sebuah peradaban yang disebut langsung dalam Kitabullah.  Dallas menguraikan, suatu fase kala Romawi dipimpin Kaisar Oktavianus. Itulah fase Romawi memasuki era okhlokrasi. Bukanlah lagi demokrasi. Pasca perang Triumvirat, Romawi mengalami fase penurunan. Demokrasi mati suri. Kemudian beralih menjadi okhlokrasi. ‘Karena Kaisar dikendalikan oleh para Legiun,’ katanya. Legiun Romawi, inilah deretan militer Romawi yang melegenda. Legiun kemudian mengambil alih kekuasaan, dengan menjadikan Kaisar Oktavianus –cucu Julius Caesar—sebagai seorang pemimpin. Sejak itu, Romawi berubah total. Kaisar hanya menjadi boneka. Ujungnya, inilah yang kemudian membuat kehancuran peradaban Romawi. Pasca itu, Romawi memasuki era monarkhi. Terbelah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Siklus Polybios terbukti. Kekuasaan dipergilirkan.  Modern state, tentu fase yang seolah mengusung kosakata demokrasi. Tapi sejatinya bukanlah demokrasi. Karena ‘head of state,’ pasca Perang Dunia II, tidaklah memimpin. Melainkan dibawah kendali kaum okhlokrasi. Inilah rezim elit yang sangat merusak. Karena sifat okhlokrasi, adalah merusak tatanan peradaban. Persis yang terjadi di era Romawi tadi.  Lantas, siapa para okhlokrasi tadi? Ini kaum yang tak semata oligarkhi. Karena melebihi kekuasaan para oligarkh. Merekalah kaum perusak, yang mengendalikan tatanan pemerintahan seantero dunia. Karena kekuasaan, bukan sekedar mengendalikan suatu barang. Tapi monopoli atas uang. “Dulu Legiun, kini adalah para banker,” papar Dallas lagi. Elit banker –yang mayoritas Yahudi—inilah pengendali dan pengontrol negara-negara. Bretton Wood, 1946, menjadi parameter yang bisa dijadikan pijakan. Mereka kaum yang mengendalikan suatu negara dan bahkan negara-negara.  Matinya Nixon, Moammar Khadafi sampai dilengserkannya Soeharto, adalah bentuk kedigdayaan para elit banker tadi. Hanya dengan permainan kurs, mereka berhasil menjatuhkan seorang Presiden dalam sebuah negara. Tak perlu bala tentara. Melainkan dengan permainan byte computer, kekuasaan kemudian bisa dialihkan.  Karena perihal kurs uang, inilah segmen yang tak berada dalam kedaulatan negara. Tak ada sovereignty ala Jean Bodin. Itu hanya teori basi abad pertengahan. Karena suatu ‘state’, tak ada yang mandiri mengatur uangnya sendiri. Demokrasi ala Romawi, uang masih berada dalam kendali kekaisaran. Julius Caesar, sebagai Kaisar Romawi masih mencetak uang perunggu. Sementara pencetakan uang emas dan perak, menjadi otoritas Senat. Modern state, tak ada kendali pencetakan uang berada di tangan Senat atau Parlemen. Melainkan diluar otoritas state, yang berada dalam kekuasaan central bank. Sementara entitas ini, berada diluar dari struktur trias politica, seperti teori Montesquei. Karena central bank, tak bertanggungjawab pada eksekutif, legislative atau berada di bawah yudikatif. Tampaknya Trias Politica hanya impian semu ‘modern state.’  Demokrasi era modern, tentu berbeda dengan teori dan praktek demokrasi era Romawi. Karena masa Romawi-lah parameter untuk memahami demokrasi. Makanya fase kini tak bisa disebutkan sebagai pola demokrasi. Karena tak ada satupun ‘head of state’ yang mampu mengendalikan uangnya sendiri. Maka, inilah yang layak disebut sebagai era okhlokrasi.  Kendali uang berada di elit bankir. Mereka telah merintisnya sejak Revolusi Inggris, 1660. Raja William menjadi boneka para baron, yang memberikan utang. Tapi meminta hak mengatur ekonomi Inggris lewat Bank of England. Mereka kemudian berjaya di Revolusi Perancis, 1789. Kaisar Napoleon berubah menjadi boneka para bankir. Bank de France, jadi ajang kendali atas republic modern Perancis. Tipikal inilah yang digunakan seantero dunia. Para banker ini tentu menyembah riba. Mereka melegalkan perbuatan riba, yang dulunya ditentang Gereja Roma. Karena Eropa masih dalam kendali Imperium Romanum Socrum. Pasca kudeta atas otoritas agama di Eropa, maka para filosof merancang positivism, agar riba menjadi legal. Sekulerisme jadi pondasi. Maka para banker pun merajalela. Dari yang punya nasabah para individu, berubah memiliki nasabah para Presiden atau King.  Mereka bergerak memonopoli uang. Karena entitas inilah sumber utama kekuasaan. “Tak ada penguasa tanpa mengendalikan harta,” kata Stendhal, sejarawan Inggris. Artinya, kekuasaan (power) dan kekayaan (wealth) adalah menyatu padu. Makanya, otoritas mencetak uang, hanya berada di tangan para bankir. Bukan ditangan Senat atau Raja. Demokrasi era modern, mengikuti itu. Maka era kini tak layak disebut sebagai demokrasi.  Kaum pengendali uang, itulah pemangku kekuasaan sejati. Mereka tak duduk dalam istana negara, mereka tak hadir dalam tatanan Trias Politica. Apalagi masuk dalam susunan cabinet. Tapi keberadaannya menjadi sasaran para politisi. Karena politis modern, hanya sibuk bekerja dengan kaum banker. Partai politik, berubah jadi industry donasi. Mengharap donasi dari kaum okhlokrasi tadi. Tanpa donasi, partai politik tak ada memiliki mesin untuk bekerja. Karena mesin dikendalikan oleh uang. Mesin pencetak uang, dikontrol oleh para okhlokrasi. Sehingga seorang King sekalipun, tak memilki kuasa untuk mengendalikan negerinya. Walhasil, model riba wajib untuk ditaati. Positivisme hanya diperalat agar system itu menjadi legal.  Inilah wajah modernisme sejati. Realitas yang tak terbantah, tapi tak terteori. Makanya tak bisa dibaca para akademisi.  Namun kedidayaan kaum okhlokrasi ini tak akan lestari. Karena tak ada yang kekal dalam alam dunia. Semuanya fana. Sebagaimana fase runtuhnya okhhlokrasi era Romawi. Demikian pula keruntuhan penguasa moneter era kini. Mereka akan runtuh dengan sendirinya. Karena model tipu daya setan ini, seperti kata Goethe, akan berakhir sendiri.  Goethe, pujangga Jerman, telah meyakini para bankir yang mencipta system fiat money ini, hasil bisikan dari setan. Karenanya ini tak akan letari.  Okhlokrasi masa Romawi berakhir dengan hadirnya kaum agamawan. Mereka yang kemudian mendirikan kerajaan-kerajaan kecil, meruntuhkan imperium Romawi. Monarkhi-monarkhi menjadi fase pasca okhlokrasi. Seperti Romus dan Romulus dalam mendirikan Romawi. Mereka menolak menjadi penyembah api, yang memuja setan, pengikut majusi. Romus mendirikan Romawi, karena bertentangan dengan aqidah.  Okhlokrasi, tentu beranjak dari aqidah neo qadariyya, dimana mereka terkesima pada model inderawi yang jadi pondasi. Inilah penyimpangan aqidah, yang berujung manusia berada pada nihilism –sebagaimana istilah Nietszche--. Nihilisme, model dimana manusia kehilangan nilai-nilai. Okhlokrasi hanya dikalahkan dengan model manusia yang kembali pada fitrah. Itulah Rijallah. Manusia yang berwujud menjadi hamba Allah semata.  Karena okhlokrasi, sebagaimana lahirnya, dimulai dari perusakan atas aqidah. Dari pengikut jabariyya ala Roma, sampai kemudian dikudeta dengan paham ateisme-qadariyya. Model kini tentulah berujung ke sana.  Dallas berkata, monarkhi akan segera kembali. Maka kita harus menyambut era sebagaimana ungkapan Hamlet dalam dramanya: “The Interim is Mine!” Masa dari okhlokrasi ke monarkhi, inilah era interim. Interim itulah yang harus direnggut. Dengan menghancurkan kaum okhlokrasi. Jalannya adalah menegakkan yang haq, maka kebathilan akan musnah.  Para okhlokrasi –banker—tentu bekerja atas pondasi sekulerisme. Inilah ajaran aqidah neo qadariyya, yang menghalalkan ‘being’ adalah perbuatan manusia. Bukan Kehendak Tuhan. Mereka berada dalam doktrin manusia sebagai subjek yang mengamati. Bukan objek yang diamati. Dalih paham itu, yang membuat seolah manusia berhak mengatur perdagangan, mengatur dan menciptakan hokum sendiri. Dengan eliminasi atas Kitab Suci. Inilah jalan lahirnya okhlokrasi.  Maka jalan kembali, bukan dengan menjadi sekuler untuk mengalahkan para oligarkhi atau okhlokrasi. Karena mereka berada dalam sekulerisme, yang beranjak dari qadariyya. Antitesanya adalah dengan kembali pada aqidah Ahlu Sunnah Wal Jamaah. Inilah Tauhid murni, yang menyembah Allah Subhanahuwataala semata. Bukan mengingkari perintahnya, dan tak berada dalam ketakutan pada Tuhan. Karena sekuleris-ateis, berada dalam fase emoh pada Kitab Suci. Artinya kaum yang tak takut pada Tuhan. Model begini hanya bisa dikalahkan oleh kaum yang menghamba pada Tuhan. Itulah wujud monarkhi terbaik. Sebagaimana Rasulullah Shallahuallaihiwassalam menciptakan dan menghadirkan Madinah al Munawarah. Fase okhlokrasi ini akan berakhir dan akan kembali ke monarkhi. Wali Songo menghadirkan Kesultanan Demak, sebagai fase pasca okhlokrasi yang berlangsung di Majapahit. Era itu akan kembali kini. Itulah jalan meruntuhkan dominasi okhlokrasian. Mereka bukanlah kuat. Tapi lemah seperti sarang laba-laba. Ini hanya bisa dibaca dengan kacamata kaum beriman.

Mengenali Prabowo Asli

Oleh: Luthfi Pattimura | Wartawan Senior Majalah FORUM Keadilan PADA saat Jokowi berkuasa, kenyataan-kenyataan dasar disembunyikan di mana-mana. Di awali dengan tag Jokowi adalah kita, sebagai orang biasa, lalu disusuli kebijakan yang diklaim pro rakyat. Dari sana, Jokowi pun banjir dukungan. Ini modal awal. Setelah ketahuan segala bentuk pencitraan, Jokowi akhirnya menyandang predikat presiden pencitraan. Jokowi bahkan dinilai lain di bibir lain di hati. Bibirnya buat rakyat, tapi hatinya buat keluarga dan kroni. Bukan rahasia, kalau sebahagian geng Solo dan jaringan UGM, sempat menjadi petinggi di berbagai pos, sekaligus menjadi benteng Jokowi selama berkuasa.. Sebagai langkah preventif Jokowi, anak menantunya juga harus disiapkan agar tidak dipukul balik oleh elit politik setelah dia lengser: Gibran kini menjadi Wapres, Kaesang mejadi Ketum PSI, dan Bobi Nasution, kini menjadi Gubernur Sumut. Pada titik ini, apa artinya bom waktu ala Connie Rahakundini Bakrie, menyusul KPK menetapkan status Hasto Kristiyanto, Sekjen PDI-P sebagai tersangka dugaan korupsi? Connie, pengamat militer, sohib dekat Hasto, mengaku penyimpan sejumlah dokemen penting, yang diklaim berisi kelakuan Jokowi dan kroninya. Gegerkah, kalau sampai dokumen itu terbongkar? Bila dilihat dari satu sisi, Hasto dan karenanya PDI-P, adalah pendukung Jokowi, dari Pilpres 2014-2019 hingga Pilpres 2019-2024, meski mereka akhirnya “pisah ranjang.” Melihat aneka versi pemberitaan soal kasus Hasto, karena gambaran tentang Hasto juga gambaran tentang latar partai penguasa sejak Jokowi menjadi Presiden RI selama dua periode. Sebagai simbol kekuatan arus bawah, PDI-P kuat mengkonsolidasikan sukarelawan dalam wujud yang lebih solid terhadap Jokowi. Kini, simbol kekuatan itu berada di titik bawah. Akan tetapi, jika dilihat dari sisi lain, dari sudut pandang orang awam, mendengar cerita klasik tentang pisah ranjang, dapat menjadi alasan untuk menanyakan lagi. Bukan soal panggung apa perpisahan itu terjadi, melainkan ujung dari penerus nafsu kekuasaan tadi. Kalau definisi pisah ranjang dirumuskan sebagai tindakan menjauh, bukan kematian permanen, maka pusat kekuasaan yang kini di tangan Prabowo-Gibran, membikin seorang bodoh pun akan berpikir, betapa wajarnya jika masih ada fenomena Jokowian. Meskipun PDI-P dan Jokowi sudah pisah ranjang, perpisahan itu ternyata tidak menghapus jejak dukungan terhadap Jokowi. Pastilah, karena ini panggung kekuasaan politik. Apa saja bisa terjadi. Dalam politik, bahkan sering tampak merah adalah putih, kuning adalah hijau. Pohon tempat berkumpulnya hantu dan pelacur. Karena susah dipegang buntutnya, dunia politik juga sering dianalogikan sebagai binatang tak berekor. Tak usah gelisah, toh, manusia juga tergolong binatang yang berakal.  Aslinya, setiap orang punya tanggal: Kelahiran dan kematian. Pula, punya bagian terindah dan tersulit saat kelahiran atau kematian. Juga, punya waktu kebangkitan dan keruntuhan. Saat lahir atau mati, di antara orang-orang terdekat, di sebuah ruangan, orang-orang itu ada, ruangan itu ada. Bagaimana jika kesunyian itu bahasa Tuhan, dan orang-orang terdekat di sebuah ruang, itu hanya terjemahan dari kehausan akan pertolongan? Pertanyaan begini perlu disisihkan, karena aslinya, ada sepersekian detik bagi siapa pun untuk bertanya, apa, kenapa, dan seterusnya, ketika ia jatuh. Ini percakapan batin yang tak bisa dihapus, kecuali ditransformasikan dalam kehidupan termasuk di partai. Megawati, Jokowi, bahkan Prabowo yang maju, kalah, maju, kalah lagi, maju lagi dan akhirnya menang di Pilpres 2024, atau Anda yang membaca tulisan ini, pasti juga sering melakukan percakapan model ini. Memang, dalam politik, percakapan yang sah hanya percakapan yang menawarkan kepentingan, ideologis, bukan batin. Gagal dalam percakapan politik bahkan bisa berujung konflik. Sekarang, orang menginjak orang lain sudah dengan tangan dingin dan perencanaan yang canggih. Sampai di sini, mereka yang matanya sudah lulus sekolah cahaya, akan ingat pertama kali memegang kamera. Di sana: Lensa didefinisikan sebagai kumpulan cahaya-cahaya, dan memutar lensa bukan itu cahaya sesungguhnya. Betul. Setiap bangsa punya gagasan untuk bangkit, namun apa kata dunia, bila di dalam kebangkitan, masih berisi bermacam pelacuran: Otak, ilmu, keyakinan, hingga pelacuran hak dan wewenang, untuk memainkan berapa jumlah wajah seorang pemimpin bisa kena sorotan cahaya kamera. Bila kehormatan bangsa ibarat seorang wanita, yang menyingkap sendiri pahanya. Amboi. Reduplah cahaya jiwa. Pingsanlah kehormatan bangsa. Dulu, di Mesir, Anwar Sadat menyebut dirinya presiden yang saleh, tetapi pada akhirnya ia runtuh di negerinya sendiri. Kenapa? Karena ia sering mengotak-atik kenyataan dasarnya, dengan cahaya kamera, untuk dikagumi tapi malah terpencil di dunianya sendiri. M. Heikal, sohib dekat Sadat, menulis kisah itu sebagai contoh orang haus pembenaran karena nafsu kekuasaan berujung tragedy, dalam bukunya, Anwar Sadat: Kemarau Kemarahan.Orang bisa saja memiliki penilaian yang lebih tepat tentang PDI-P, jika melihat makna obyektif yang muncul dalam sirkulasi budaya politik demi kesatuan NKRI. Nah, karena kekuasaan sudah beralih dari Jokowi-Ma’ruf ke Prabowo-Gibran, masalahnya di sini sudah bukan peralihan, melainkan garisnya.Apa yang dipisahkan oleh garis—kata Bourdieu dalam bukunya Bahasa dan Kekuasaan Simbolik—tentu saja adalah sesuatu yang ada sebelumnya dan sesuatu yang hadir sesudahnya. Pencitraan, utang bertumpuk, korupsi, adalah kondisi bangsa sebelum Pilpres 2024. Sesudahnya, mulai diangkat tinggi-tinggi bendera perang terhadap para geng koruptor. Melihat bom waktu ala Connie Bakrie, dikaitkan dengan mereka yang memelototi wajah presiden yang masih setengah Jokowi setengah Prabowo, jelas, supaya Indonesia punya presiden yang Prabowo asli seratus persen, bisa dikenali.

Pemusnahan Kaum Pribumi Sedang Berlangsung

Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Politik Merah Putih  Awal bencana datang dari hulu : Madeleine Albright (Yahudi Polandia) mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat dan Ketua National Democratic Institute (NDI), aktor dibalik layar proses amandemen UUD 1945 menjadi UUD  2002.  Proses amandemen UUD 1945 sejak tahun 1999 sampai 2002, tonggak penting dalam sejarah pemusnahan kaum pribumi dan aneksasi imperialis akan kuasai Indonesia.  Rekayasa NDI terlibat aktif dalam proses amandemen UUD 1945 cukup panjang dan matang dengan memberikan bantuan teknis, pendidikan, dan finansial, dengan  dukungan dana sebesar Rp 4 triliun ( klaim yang pernah muncul di berbagai sumber ) dialokasikan untuk berbagai kegiatan seperti seminar, lokakarya, pelatihan bagi anggota parlemen, dan penyebaran informasi kepada publik. Yang menarik rekayasa ini bukan hanya anggota parlemen yang harus di lumpuhkan tetapi para ilmuwan juga harus di tundukkan, di miskinkan otaknya, dan prilakunya di jadikan  pengemis. Digendam sihir imperialisme berlomba lomba masuk gerbong NDI terkesan tidak mau terlambat ikut mengais mendapatkan dana operasional  yang akan mereka terima sebagai imbalannya. Bersama ahli konstitusi internasional sewaan NDI untuk memberikan masukan dan pandangan pasal pasal secara bertahap ( dari tahun 1999 sampai 2002 ) yang harus di rubah ( diamandemen ). Mereka juga bertugas menyiapkan kampanye publik seakan lebih bijak dan ahli dari para pendiri bangsa, melalui kampanye publik seolah olah sebagai negarawan. Menyembunyikan dan menekan kesadarannya sebagai penghianat negara tega membunuh Negara Proklamasi 17 Agustus 1945.  *Benar terjadi pada amandemen keempat tahun 2002 negara di padamkan, Negara Proklamasi 1945 di bubarkan*. ( Prof Kaelan). Ingatlah ...  pada  tahun 1997 hingga 2001 Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden Bill Clinton dan Madeline Albright menjabat sebagai Menteri Luar Negeri, James Riady sudah keluar masuk Gedung Putih, karena jasanya sebagai salah satu sponsor Pilpres Bill Clinton.  Terkoneksi dengan Jokowi bisa jadi Presiden adalah atas rekayasa yang sama oleh  Madeline Albright ( pernah datang ke Solo) dugaan kuat kerja sama dengan James Riady. Benang merah yang terjadi di Indonesia bukan kebetulan. Setelah beredar pernyataan diduga James Riyadi mengatakan bahwa 10 Tahun mendatang rakyat China akan eliminasi Pribumi Indonesia. ( Pernyataan  tersebut diunggah oleh akun Facebook “Informasi Kegubernuran 9 Naga”, seperti dikutip dari terkini.id., pada Kamis, 6 Mei 2021). Sampai di sini apakah masih belum yakin bahwa Proyek Strategis Nasional Strategi Nasional ( PSN ), adalah milik Madeline Albright dan James Riady bersama imperialis lainnya yang saat ini sudah menguasai Nusantara. Rencana aneksasi terhadap Indonesia, mulai dari mengganti UUD 45 sampai munculnya PSN ( perampasan tanah dan pengusiran warga pribumi ) untuk macam macam proyek selanjutnya akan dibagi dengan pengusaha / pemilik modal asing, benar-benar sudah dan sedang terjadi. Saat ini terpulang kepada rakyat Indonesia akan menyerah atau melawan agar negara selamat dari perampasan, penindasan, pengusiran, pemusnahan kaum pribumi, perampokan dan penaklukan kedaulatan negara oleh para imperialis  sedang terjadi akan kembali menjajah Indonesia (*)

Hancur, Seluruh Anggota Komisi XI DPR RI Kecipratan Dana CSR, Kini Dikorupsi

Oleh Faisal S Sallatalohy | Pemerhati Kebijakan Publik Korupsi tak pernah ada habisnya. Kali ini giliran terungkapnya penyelewengan Dana CSR Bank Indonesia (BI) yang disalurkan kepada seluruh anggota komisi XI DPR RI.  Ternyata sebagian besarnya dikorupsi untuk membayar kepentingan pribadi.  Hal ini terkuak lewat pernyataan anggota komisi XI, Satori saat diperiksa KPK pada Jumat kemarin.  Satori mengatakan, bukan cuma dirinya, seluruh anggota komisi XI, secara berjamaah kecipratan CSR BI. Satori mengungkapkan, dana tersebut digunakan untuk membiayai program sosialisasi para anggota di Dapil masing-masing.  Penggunaan dana SCR yang seharusnya dilakukan secara profesional. Justru dimandatkan kepada anggota DPR yang tentu saja kental syarat muatan politik dan kepentingan pribadi.  Benar saja, dalam pengembangan kasus, KPK mengkonfirmasi, bahwa telah terjadi penyalahgunaan CSR untuk kepentingan pribadi di luar tujuan sosial CSR. Alih-alih digunakan untuk membangun fasilitas sosial atau publik, dana ditengarai justru untuk kepentingan pribadi.  Tanpa memberikan keterangan rigid, KPK memberi petunjuk, dari 100% dana CSR yang disalurkan BI, 50% digunakan untuk membayar kepentingan pribadi Anggota DPR.  Modus operansi yang digunakan adalah BI menyalurkan dana CSR kepada kepada yayasan yg didirikan dan kendalikan oleh Anggota DPR Komisi XI. Selanjutnya, dana tersebut dengan leluasa digunakan dan diselewengkan untuk kepentingan Pribadi. Jadi yayasan hanyalah alat (kedok) bagi BI dan Anggota DPR menyalurrkan dan menerima dana CSR.  Dalam kaiatan ini, Direksi BI dan Anggota DPR memahami betul. Bahwa sesuai aturan dan prosedur CSR serta tatakelola dana Program Sosial Bank Indonesia (PSBI), hanya bisa disalurkan kepada yayasan yang ditetapkan sesuai kriteria. Tidak boleh disalurkan langsung kepada anggota DPR yang statusnya adalah individu.  Dalam kerangka pemahaman ini, dapat dikatakan, bahwa ada potensi korupsi dan suap. Hal ini sejalan dengan pernyataan wakil ketua KPK Alexander Marwata, bahwa, BI menyalurkan dana CSR kepada yayasan yang didirikan dan dikendalikan oleh calon tersangka atau anggota DPR.  Bahkan aliran dana ditengarai mengalir ke sejumlah yayasan fiktif yang disodorkan anggota DPR dan akhirnya ditetapkan oleh BI.  Pernyataan wakil ketua KPK ini perlu diatensi dan ditelusuri lebih lanjut. Dapat dijadikan jalan untuk membuka pandora korupsi dan suap dalam tahapan pengambilan keputusan di BI serta penyelahgunaan dana oleh Anggota DPR.  Sungguh sangat hancur wibawa, integritas dan moral BI serta anggota DPR komisi XI, jika benar terbukti secara berjamaah menyalahgunakan dana CSR untuk keuntungan-keuntungan pribadi.  Kenyataan ini, tentu saja membuat rakyat semakin marah. Pemerintah dan DPR seenak-jidatnya memalak rakyat lewat kebijakan PPN 12%. Tapi DPR-nya justru ditengarai, secara berjemaah merampok dana CSR yang menjadi hak sosial masyarakat.  Kenyataan ini juga hampir berbanding lurus dengan wacana pengampunan koruptor asal mengembalikan kerugian negara. Ternyata, seluruh anggota komisi XI ditengarai korupsi. Apakah wacana Prabowo itu untuk melindungi mereka? (*)

Jokowi Bermain Api, Terbakar Nanti

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan  Pembelaan kepada Hasto Kristiyanto terus menguat. Bukan dalam arti melawan proses hukum, tetapi lebih kepada menentang ketidakadilan dan pemaksaan politik melalui perangkat hukum. Betul kasus Harun Masiku telah membawa pejabat KPU ke penjara, namun semua tahu peristiwa 2019 itu menjadi mainan politik Jokowi. Kini mainan itu di otak-atik. Jokowi jumawa tetapi mengalami sindroma di masa pensiun.  Ketika di IKN malam hari Jokowi melakukan penghormatan pahlawan di depan api. Entah sekedar menerangi atau sengaja membuat simbolisasi. Dalam konteks keagamaan penyembah api adalah kaum Majusi. Dalam Islam dan beberapa agama lain, api yang menyala-nyala diperuntukan bagi penghuni Neraka.  Mungkin terlalu jauh mengaitkan dengan Neraka meski tetap penting mengingatkan bahaya pengabaian pertanggungjawaban akherat saat menjabat di dunia. Api tidak boleh dimain-mainkan, terbakar nanti.Viral di media seseorang membakar Qur\'an kemudian meniup api dan api itu membakar janggut lebat dan mukanya. Ia panik dan menjerit kepanasan.  Bermain politik dapat seperti menendang-nendang bola api. Berpanas-panas. Salah satunya kasus Hasto yang ditarik ulur dan kini ditarik. KPK itu tangan dan mainan Jokowi. Suara ketidakabsahan Pimpinan KPK mulai terdengar. Presiden Prabowo seharusnya yang mengajukan. Bukan menyetujui ajuan Jokowi. Yusril keliru, tidak ada \"teori jalan tengah\" dalam pengajuan Pimpinan KPK. Itu teori pembenaran namanya. Jokowi mengajak perang kepada PDIP. Hasto dan Megawati merupakan simbol partai. Keduanya coba dikuyo-kuyo. Prediksinya PDIP pasti akan melawan. Perpolitikan nasional akan hangat bahkan panas akibat Jokowi bermain api yang dapat membakar muka sendiri. Hasto sudah membuat \"tabungan\" video, entah apa isinya tapi konon penting, hangat dan mungkin membakar.  Bocoran status Tersangka Hasto pernah disampaikan oleh Connie dan kini Connie Bakrie yang berada di Rusia dititipi video-video Hasto soal korupsi para petinggi. Dokumen titipan yang sudah di Notaris Rusia itu menurut Connie dapat menjadi bom waktu. Rakyat menunggu tayangan video bongkaran \"syur\" tersebut. Connie Rahakundini adalah tokoh yang memiliki akses luas, ia bisa bergerak dari satu negara ke negara lainnya. Orang-orang penting Jokowi mulai panas dingin. Demam politik melanda negeri yang terus kacau akibat keserakahan penguasa. Post power syndrome Jokowi menambah semrawut keadaan. Ia sedang melakukan gerakan Cina mabuk. Tubruk sana tubruk sini, bakar sana bakar sini. Lucunya Jokowi membuat patung dirinya di Gunung Sunu Timor Tengah Selatan NTT dan di Mandalika NTB. Konon sedang disiapkan patung di IKN Kaltim. Sungguh narsis tuh orang, tidak sadar bahwa kemarahan dan kebencian rakyat dapat membuat patung-patung fir\'aun jawa itu akan dirusak dan diinjak-injak. Mungkin juga dibakar.  Sejalan dengan semangat Presiden Prabowo yang ingin membasmi korupsi, maka mulailah dengan tiga hal yang disebut dengan Tri Ganti, yakni : Ganti pimpinan KPK yang tidak sah, Ganti Jaksa Agung boneka Jokowi, dan Ganti Kapolri yang lebih banyak basa-basi ketimbang konsistensi. Presisi yang tidak transparan dan berkeadilan. Prabowo harus mandiri dan melepaskan diri dari kendali Jokowi. Untuk itu jalankan tiga misi suci Tri Ganti. (*)

KALADEISKOP TIMNAS:  'Perigee' dan 'Apogee' Coach STY

Oleh Sabpri Piliang | Wartawan Senior         KURUN 2024. Sepak bola Indonesia, memberi stimulasi yang menjanjikan. Pikiran publik nasional, terasah oleh gaya intelektual dan seniman sepak bola Eropa.  Indah, cantik, dan \"delicious\".      Sepak bola adalah \"nabi\"! Hampir semua orang membicarakan sepak bola. Setelah Timnas Indonesia maju ke putaran ke-3 Pre-World Cup 2026, atau setelah Timnas U-23 maju ke semifinal Piala Asia 2024.     Jangan khianati publik! Sungguh-sungguhlah mengelola sepak bola nasional. Jangan \"wasting time\". Rasa cinta dan penabian sepak bola, bukanlah omong kosong. Atau sekadar \'gimmick\'. Apa buktinya?      Kekalahan Jay Idzes-Marselino Ferdinan-Calvin Verdonk dkk atas Jepang dengan skor telak 0-4 di \"matchday\" ke-5. Tidak membuat publik surut, marah, atau emoh \"maning\" mendukung pembinaan sepak bola nasional.       Realitas, plus-minus. Sepak bola kita tengah menuju \"Bulan\". Untuk sampai titik terdekat orbit Bulan dengan bumi (perigee), harus ada pesawat dengan waktu tempuh 72 jam. Apollo XI bersama Neil Armstrong dan Edwin Aldrin telah membuktikan.      Titik \"perigee\" , lolos ke putaran final Piala Dunia 2026, sudahlah cukup. Tak usah bermimpi sampai ke orbit \"apogee\", titik orbit terjauh bumi ke Bulan. Tak perlu bermimpi untuk lolos ke-16 besar, atau 24 besar (format baru 48 Tim).      Berputar di lingkaran \"elips\", yaitu kurva yang tegak lurus pada dua sumbu simetris. Menjadikan Timnas Indonesia makin bersinar terang.     Mengejutkan dunia sudah cukup. Jangan sampai orang lebih mengenal Bali ketimbang Indonesia. Caranya, lolos dulu ke Piala Dunia. Karenanya,  semua pemain Indonesia, harus simetris.     Simetris, di mana semua pemain memiliki kemampuan setara, di semua lini. Mulai dari pertahanan, gelandang, dan penyerang dalam posisi \"on fire\", hidup dengan \"possesion ball\" yang menawan.     Tuntasnya naturalisasi penyerang FC Utrecht Elo Romeny, semakin meyakinkan \"coach\" Shin Tae Yong (STY) versus Australia di \"matchday\" ke-6  dan \"away\" (tandang) pada 20 Maret 2025.        Dua pemain muda lain: Dion Markx dan Tim Geypens, yang juga akan rampung seperti Ole Romeny. Diharapkan mampu menjadi \"substituted\" bagi lini belakang dan sayap Timnas.      Titik \"apogee\" adalah titik terjauh prestasi Timnas Indonesia. Sejauh ini, pesawat ruang angkasa seperti Apollos XI belum sampai ke sana. Neil Armstrong baru di titik \"perigee\", titik awal permukaan bulan. STY, cukup sampai \"perigee\" dulu, cukup lolos ke World Cup 2026 (AS-Kanada-Meksiko).     Saya kurang sependapat, hasil pertandingan ekuivalen dengan prestasi. Kegagalan Timnas U-22 di Piala AFF 2024, sebenarnya anomali. Melihat permainan Ahmad Maulana dkk, terbersit satu harapan.  Tim ini, sudah jadi dan tinggal memetik hasil di saat yang tepat.      Setidaknya, tiga pemain: Ahmad Maulana, Viktor Dethans, dan penjaga gawang Cahya Supriadi, merupakan bibitnyang bisa di bawa kebPiala Dunia. Seandainya Jay Idzes dkk, mampu memenangkan dua pertandingan \'home\' melawan Aussie (Australia) dan Bahrain.     Dedikasi \"coach\" Shin Tae Yong, dan silabus pembinaan Timnas sudah memadai. Dua Sosok terdahulu: Tonny Pogacnick dan Anatoly Polosin, untuk menyebut mereka yang telah berdedikasi menukangi Timnas Indonesia.       Ketua Umum PSSI juga mengakui, pelatih STY adalah sosok yang punya komitmen dan berdedikasi. STY juga pelatih yang memiliki \"harga diri\", tidak bisa di intervensi dalam banyak hal, terutama yang menjadi domainnya sebagai pelatih.      Menang atau kalah adalah proses. Yang diinginkan publik adalah fundamental program. Kalah dan menemukan sebab kekalahan, Itu lebih baik. Daripada menang, beruntung karena lawan bermain buruk.    Mengibaratkan titik terdekat orbit \"perigee\" (jarak bumi ke Bulan), dan titik terjauh \"apogee\" (jarak bumi ke Bulan). Adalah satu metode untuk melihat perjalanan prestasi STY dalam membangun sepak bola Indonesia.     \"Coach\" Shin Tae Yong, sesungguhnya adalah pelatih yang sudah tepat. Untuk kondisi sepak bola Indonesia. Ibarat membangun dari dasar. STY, butuh waktu.      Mengganti pelatih, bukan solusi. Percayakah, hari ini STY kita ganti. Besoknya,  banyak negara yang menginginkannya. (**).

Korban Perusahaan Pialang Pasar Berjangka Menuntut Kepastian Hukum

JAKARTA, FNN | Perusahaan pialang yang menjalankan perdagangan berjangka atau future trading diduga melakukan aksi tipu-muslihat dengan memanfaatkan keawaman nasabah. Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), Kementerian Perdagangan dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kurang berperanan aktif untuk melakukan pengawasan dan penindakannya meskipun jumlah korban kerugian terus bertambah. “Sudan banyak ratusan orang, mungkin ribuan para nasabah yang ikut trading komoditas (fures trading) mengalami kerugian. Biarlah saya dan teman-teman yang telah rugi yang lain jangan sampai terjebak dengan tipu daya agen atau pemasaran,” kata salah satu nasabah yang mengalami kerugian Rp20 miliar, di Jakarta Jumat. Roediyanto, salah satu nasabah perusahaan pialang PT Equityworld dan PT Rifan Financindo Berjangka (Rifan), menyampaikan keluhannya, dirinya mengalami kerugian hingga Rp20 miliar akibat bujuk rayu dari agen perusahaan pialang Futures Trading, PT Rifan dan Equityworld. Ia menyampaikan pengalamannya, nasabah terutama yang berinvestasi besar tidak akan pernah menang. Sebab, semua proses ‘permainan’ sudah ditentukan oleh para penjaga layar komputer atau pialang yang terus stand-by menggiring nasabah. Para pialang akan tetap memastikan, nasabah tak dapat untung dengan melakukan recovery, yaitu menambah modal untuk mengembalikan atau mengambil kembali dana losses atau kekalahan. \"Memang umumnya nasabah terpancing menambah modal dengan harapan uang kembali melalui kemenangan. Tetapi, harapan semcam itu ternyata palsu,” ujar Roediyanto. Menurutnya, pihaknya telah memberitahukan kepada Bappebti dan Kementerian Perdagangan atas aksi jahat perusahaan pialang itu. Namun, hingga sekarang tidak ada tanggapan bahkan kepastian. \"Saya dan teman-teman harus mengadu ke mana. Nasib dana investasi yang telah dikeluarkan semakin tidak jelas,\" tuturnya. Kementerian Perdagangan tidak mengambil tindakan tegas untuk melindungi nasabah. Hal ini menjadi indikasi serius terkait kelalaian atau bahkan perlindungan terhadap praktik ilegal yang dilakukan oleh pialang berjangka. Tindakan ini mencoreng citra institusi pengawas termasuk Wakil Pialang Berjangka (WPB) yang bertugas untuk itu dan pasti merugikan masyarakat luas. Roediyanto menuturkan telah melaporkan terkait dugaan saya tentang penipuan, perbuatan curang, penggelapan dan tindakan pencucian uang oleh beberapa yang mengaku karyawan PT Rifan. “Semula perusahaan pialang PT Equityworld Futures menawarkan investasi emas menggunakan robot trading dan menjanjikan kemenangan atau untung besar. Tetapi ternyata dalam beberapa perusahaan pemiliknya masih satu atau dua orang. Itu perlunya orang jeli dan hati-hati untuk tidak tertipu,\" katanya. Di tempat sama, karyawan PT Rifan (2018-2023) Boby Darmawan membenarkan pernyataan Rudi, karena sejak ia bekerja di tempat itu, jika ada nasabah yang untung yang disalahkan adalah pengampu dari nasabah itu, sehingga dapat dipastikan investasi dalam bentuk futures trading lebih bayak ruginya dari pada untungnya. Hal ini juga ditayakan kepada teman-teman saya yang bekerja sebagai admin (pengampu) nasabah. Rizki Rivaldi juga mengatakan, dirinya tidak lagi mau bergabung dalam perusahaan futures trading karena adanya pemanfaatan ketidak tahuan bagi pemilik uang. “Mereka mengajari investor yang awam, tetapi ilmu yang disampaian tidak sepeuhnya utuh,” katanya. Menjawab pertanyaan, dia mengatakan, seiring berjalan waktu tidak ada informasi lengkap dari kedua PT itu, pihak akan terus mencari keadilan melalui jalur hukum, karena apa yang dikerjakan sangat bertentangan dengan Undang-Undang (UU) No 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang atau TPPU. Persoalan tersebut juga telah dilaporkan ke Bareskrim Polri melalui Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus pada tanggal 28 April 2022 dengan rujukan UU No.8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). (DH)

Isa Zega Selebrgram Transgender Ditetapkan sebagai Tersangka Pencemaran Nama Baik

SURABAYA | FNN — Isa Zega kembali tersandung kasus hukum. Berdasarkan informasi, selebgram transgender itu ditetapkan tersangka oleh Polda Jatim. Dugaan pidananya terkait pencemaran nama baik. Sumber di kepolisian menjelaskan, laporan itu dibuat Shandy Purnamasari yang tidak lain istri Gilang Juragan 99. Artis Nikita Mirzani yang beberapa waktu lalu mendatangi Polda Jatim karena panggilan sebagai saksi berkaitan dengan kasus itu. “Nikita menjadi salah satu saksi yang diajukan oleh Shandy,” katanya sembari mewanti agar namanya tidak disebutkan, Jum’at, (27/12/2024). “Status Isa Zega yang awalnya sebagai terlapor sekarang sudah dinaikkan menjadi tersangka,” lanjutnya. Dalam perkara itu, kata dia, Isa Zega juga sudah dipanggil penyidik sebagai saksi dan datang. Dia dikabarkan dicecar sekitar delapan pertanyaan. “Yang jelas pertanyaannya berkaitan dengan dugaan pidana yang dilaporkan,” katanya. Isa Zega sebelumnya juga telah diwawancarai sejumlah media. Dia mengaku tidak takut. “Oh yang ke Polda Jawa Timur? Aman, sehat, sentosa, lancar, jaya,” ucap Isa Zega ketika dijumpai di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan, seperti dilansir Kumparan. Isa menyebut, tidak menemui kesulitan ketika menjalani pemeriksaan. Dalihnya, dia merasa tidak pernah mencemarkan nama baik siapa pun. “Oh gak ada (kesulitan), karena memang Mami tidak merasa mencemarkan nama baik seseorang. Karena Mami hanya berkata-kata, Mami tuh ngatain kambing,” jelas Isa. “Cuma Mami bingung kenapa ada manusia yang tersinggung. Ya kalau merasa dirinya kambing ya gak tau sih ya. Kan aku bilang kambing atau Shawn the Sheep,” lanjutnya. Lebih lanjut, Isa Zega menegaskan, bahwa dirinya tidak takut dengan laporan tersebut. Ia akan menghadapinya dengan percaya diri. “Tidak ada yang aku takuti di muka bumi ini kecuali Allah SWT. Selagi makan nasi ya, bukan makan beton atau makan seng saya ga takut,” ungkapnya. Sebelumnya, November lalu, Kabid Humas Polda Jatim Kombes Pol Dirmanto, membenarkan bahwa Nikita diperiksa sebagai saksi atas kasus dugaan pencemaran nama baik. “Iya, itu Nikita Mirzani dipanggil sebagai saksi. LP terkait pencemaran nama baik di media digital,” kata Dirmanto, pada 13 November 2024 lalu. Namun, dia belum menjelaskan lebih lanjut soal perkara yang dilaporkan oleh istri Juragan 99 tersebut. “Belum tahu terkait pencemaran masalah apa. Tapi intinya, soal pencemaran nama baik,” ungkapnya. Tersandung Kasus Penistaan Agama Sebelumnya, Polres Metro Jakarta Selatan, juga menerima laporan penistaan agama yang diduga dilakukan oleh selebgram Isa Zega saat umrah lantaran berpakaian muslimah. “Laporan diterima Rabu kemarin tanggal 20 November,” kata Kepala Seksi (Kasi) Humas Polres Metro Jakarta Selatan, AKP Nurma Dewi kepada wartawan di Jakarta. Nurma mengatakan, laporan itu dilayangkan oleh pria berinisial HK yang didampingi pengacara ke kantor Polres Metro Jakarta Selatan. Laporan tersebut teregistrasi bernomor LP/B/3624/XI/SPKT/POLRES METRO JAYA JAKSEL/POLDA METRO JAYA. Adapun bukti yang dibawa merupakan konten media sosial yang nantinya polisi akan meminta keterangan dan mengundang terlapor untuk memberikan klarifikasi lebih lanjut. Terkait jadwal pemanggilan, akan dijadwalkan oleh penyidik dalam waktu dekat. “Pasal yang disangkakan Pasal 156 tentang penistaan agama, dengan ancaman 5 tahun paling lama. Kemudian juga pasal UU ITE Pasal 45 dengan ancaman 6 tahun,” ujarnya. Isa Zega merupakan seorang transgender sehingga diduga melakukan penistaan agama karena mengenakan busana muslimah saat pergi umrah. Sampai berita ini ditayangkan, Isa Zega belum bisa dikonfirmasi. (*).