ALL CATEGORY
Kesultanan Banten Sentral Perlawanan
Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan Sejak kedatangan VOC ke Pulau Jawa, Banten menjadi daerah sasaran penaklukan utama mengingat pelabuhan Banten dinilai strategis bagi hegemoni perdagangan VOC. Rakyat Banten di bawah kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa melakukan perlawanan. Tercatat perang besar pada tahun 1656, tahun 1680 serta berbagai perang sebelumnya. Tahun 1683 Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap dan dipenjara di Batavia. Penjajah Belanda di samping ingin memonopoli perdagangan di pesisir pulau Jawa juga bertekad untuk menguasai Banten melalui adu domba Sultan Ageng Tirtayasa dengan puteranya Sultan Haji. VOC membantu Sultan Haji dalam konflik ini. Targetnya adalah penguasaan penuh atas pelabuhan Banten. Perjuangan heroik Sultan Ageng Tirtayasa menjadi model dari sikap anti penjajahan. Pelabuhan Karang Antu saat itu menjadi pintu masuk bagi penguasaan dan pertahanan Batavia. Etnis Cina bersama Belanda menjadi lawan pasukan Sultan Ageng Tirtayasa. Etnis Cina berdatangan dari daratan Tiongkok untuk berdagang dan mendapat perlindungan VOC. Disadari atau tidak, kini Pantai Indah Kapuk 1 (PIK 1) dan Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2) berposisi sebagai pintu strategis penguasaan bisnis dan politik Jakarta dan Banten. Isu destinasi pariwisata bagi pengunjung mancanegara menjadi alasan buatan dari proyek pembangunan. Bahkan berstatus Proyek Strategis Nasional (PSN). Aguan dan Salim merampas tanah-tanah rakyat pribumi atas kuasa Jokowi. Penguasaan paksa melalui kebijakan politik adalah cara licik ala VOC dahulu. Pengerahan aparat dan adu domba adalah upaya meredam perlawanan dan mengendus kelemahan atau ketidakberdayaan. Setelah pantai utara Jakarta jatuh (PIK 1) kini pantai utara Banten (PIK 2) menjadi sasaran. Rakyat Banten pantas untuk menolak cara-cara manipulasi bernarasi pariwisata atau lainnya. Faktanya alam dirusak dan tanah dibeli dengan harga murah. Dahulu Sultan memimpin perlawanan atas hegemoni VOC. Kesultanan menjadi sentral penggalangan kekuatan. Kini meski dengan kondisi berbeda Sultan Banten bersama pemuka Banten dapat menjadi pemersatu untuk perjuangan menegakkan kedaulatan, harga diri dan keadilan. Anak bangsa ini tidak boleh dijajah oleh siapapun dan atas nama apapun. Proyek Strategis Nasional (PSN) hanya akal-akalan untuk merampas hak-hak rakyat. Melawan berarti harapan, menyerah menghancurkan masa depan. (*).
Penghukuman Jokowi Mulai dari PDIP
Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan Telah lama muncul desakan Jokowi untuk mundur dari jabatan Presiden, kemudian DPR/MPR dituntut memakzulkan berdasar Pasal 7 A UUD 1945 namun hingga akhir jabatan 20 Oktober 2024 hal itu tidak terealisasi. Di sisi lain kasus-kasus Jokowi terus diangkat bahkan melalui jalur hukum. Namun sepanjang Jokowi masih Presiden, semua bisa diatasi. Kekuasaan mampu mengendalikan hukum. Upaya menghukum Jokowi atas dosa politik yang bertumpuk terus membentur. Nepotisme telah diadukan ke Bareskrim, ijazah palsu berkali-kali di Pengadilan, KM 50 ditagih sebagai hutang, IKN simbol kesewenangan dan pemborosan, Rempang dilawan karena menggadai kedaulatan kepada RRC, PIK 1 dan PIK 2 Jokowi dan Pengusasaha jahat merampas tanah rakyat, dan masih banyak kasus Jokowi sang Presiden yang tidak bermutu dan pantas ditangkap lalu diadili. Setelah tidak menjabat, Jokowi terus ingin mempertahankan pengaruh dan mencari perlindungan. Untuk pengaruh ia pegang Prabowo \"Singa Sirkus\" nya dan titip \"anak Samsul\" nya. Berbagai Kepala Daerah juga hasil cawe-cawe. Ada jalur partai politik, konglomerat, aparat dan birokrat, ada pula jalur hukum. Semua menjadi jaringan bagi pengaruhnya. Sementara serangan untuk menangkap dan mengadili Jokowi juga gencar. Ia harus berlindung. Tiga otoritas dijadikan tempat berlindung di samping awalnya adalah PDIP partai yang membesarkan. Ketiganya yaitu konglomerasi 9 Naga peliharaan dan ATM nya, Presiden Prabowo produk politiknya dan Kapolri-Jaksa Agung sebagai mesin hukumnya. Penghukuman dimulai dengan pemecatan Jokowi dari keanggotaan PDIP SK No. 1649 untuk Jokowi, No.1650 untuk Gibran dan 1651 bagi Bobby Nasution. Pemecatan resmi ini melegitimasi permusuhan Megawati dengan Jokowi. Meski dinilai terlambat tetapi lumayan juga sebagai awal dari penghukuman. Berikut yang potensial adalah mundurnya Naga dari kebersamaan. Berpindah majikan. PIK 2 menjadi titik rawan dan IKN yang akan belepotan. Jika Prabowo berani segera mengganti Kapolri dan Jaksa Agung, maka penghukuman Jokowi akan berlanjut. Bukan hal mustahil peristiwa tumbang dan larinya Assad terjadi pula pada Jokowi yang harus berlari-lari menghindari kejaran rakyat yang marah kepadanya. Prabowo pun tidak bisa berlama-lama untuk melindunginya. Jokowi adalah penjahat dan perusak negara. (*).
Prabowo Sebagai Penerus Jokowi Akan Datang Bencana Besar
Oleh Sutoyo Abadi | . Koordinator Kajian Politik Merah Putih Bung Karno dikenal sebagai penyambung lidah rakyat Indonesia, pejuang pra dan paska kemerdekaan RI, harus tergelincir karena mengabaikan tuntutan rakyat yang sudah meluas tentang turunkan harga, bubarkan PKI dan bersihkan pemerintahan dari unsur PKI. Bung Karno memilih tidak kehilangan muka di mata dunia, meski harus kehilangan “mahkota” kekuasaan. Keberadaan Bung Karno di Halim, pada pagi 1 Oktober 1965, ketika nyaris tidak ada yang tahu pasti kemana para jendral itu diculik. Keadaan malah dipicu salah ucap Presiden Soekarno yang menyebut penculikan atau hilangnya pemimpin pemimpin TNI AD sebagai “riak kecil dalam gelora gelombang samudra nya revolusi. Suharto sebagai Pangkopkamtib, dengan tanggap dan trengginas ambil keputusan cepat, berani dan tegas memenuhi tuntutan rakyat. Membubarkan PKI serta pembersihan pemerintahan dari sisa-sisa dan simpatisan PKI. Bahkan Suharto dengan cepat bertindak melacak para penculik para Jenderal, memburu dan membasmi PKI yang telah menculik dan membunuh Jenderal TNI AD. Semestinya fenomena ini dapat ditangkap dengan baik oleh intuisi Pak Prabowo, sebagai figur pemimpin yang sudah kenyang makan asam garam, terjun di berbagai medan. Jokowi ada hubungannya dengan trah PKI telah melakukan kejahatan memberi karpet merah untuk etnis Cina menguasai kekayaan negara, merampas tanah rakyat dan tampak jelas akan membangun negara dalam negara. Kesalahan Jokowi sebagai penghianat negata lebih berat di bandingkan dengan Bung Karno yang meremehkan PKI membunuh para Jenderal. Suharto bukan hanya mengambil jarak dengan Bung Karno, terpaksa menahan Bung Karno menjadi tahanan rumah di Wisma Yaso oleh Soeharto setelah Soeharto mengambil alih kekuasaan dari Bung Karno untuk menyelamatkan Bangsa dan Negara. Prabowo malah mengingatkan kita semua untuk tidak mencaci, memaki Jokowi, termasuk mau memaafkan dan menghargai keberhasilan maupun memaklumi kekurangan mantan Presiden Jokowi — dipersepsikan akan kecenderungan melindungi Jokowi. Bahkan dalam suatu acara bersama segenap pengurus dan anggota Gerindra, menyatakan : _\"akan ikut merasa sakit bila Jokowi dicubit dan juga akan berdiri di belakangnya.\"_ Presiden Prabowo terkesan ambigu. Ada yang berpandangan beliau sedang melalukan langkah-langkah “sandi yudha” — langkah kuda atau menyamar— hingga waktunya. Tetapi itu tidak analog — karena dalam operasi sandi yudha ada tempat melapor dan pengendalinya tidak ada dalam kasus Jokowi. Pak Prabowo lebih tajam lagi memilah perannya sebagai presiden, eksekutif atau pribadi Ketua Dewan Pembina Partai. Allah Tuhan Yang Maha Besar yang memberi kemuliaan padanya, dan juga yang akan mencabutnya. Semoga Presiden Prabowo bukan menjadi penerus Jokowi, kalau itu terjadi akan menjadi petaka bagi Presiden Prabowo. Tidak cepat merespon tuntutan rakyat justru melindungi pejabat dan penghianat negara. Sama sekali tidak ada hubungannya _\"mikul duwur mendem jero\"_ untuk Jokowi yang tidak memiliki jasa kepahlawanan untuk negara, selain kerusakan, kehancuran dan tergadainya kedaulatan negara dalam bahaya. Semoga Presiden Prabowo Subianto diberi Allah kekuatan, kejernihan berpikir, dan keberanian mengambil tindakan cepat dan tepat seperti Presiden Suharto ketika negara dalam kondisi kritis dalam menjaga dan menyelamatkan kedaulatan bangsa Indonesia. Prabowo Subianto sebagai penerus Jokowi akan datang petaka dan bencana lebih besar. (*)
Jahatnya Jokowi Sekeluarga
Oleh Syafril Sjofyan | Pemerhati Kebijakan Publik, Aktivis Pergerakan 77-78, Sekjen APPTNI Akhirnya palu Godam pemecatan Joko Widodo sekeluarga dari keanggotaan partai secara formal diumumkan oleh PDI Perjuangan. Walaupun telat. Apa fatsal. Karena baik sewaktu Pilpres & Pileg 2024 awal maupun sewaktu proses Pilkada yang baru ini berlangsung, Jokowi sekeluarga telah berseberangan dengan PDIP yang selama ini menaungi mereka. Bukan saja berseberangan Jokowi sekeluarga bersama antek-anteknya berusaha menghancurkan basis historis partainya tersebut. Atas kelakuannya tersebut jangankan meminta maaf, sekadar ucapan berterima kasih pun tidak diucapkan oleh Jokowi. Padahal jika tidak diusung dan dicalonkan jadi Presiden oleh PDIP. Jokowi bukanlah siapa-siapa, bahkan seumur-umur Jokowi hanya akan menjadi tukang kayu. Pada umumnya, pemecatan seorang anggota partai seperti Jokowi bisa terjadi karena perbedaan pandangan atau kebijakan antara individu tersebut dengan partai. Namun pemecatan Jokowi sekeluarga dipastikan bukan perbedaan, akan tetapi berupa kejahatan Jokowi tanpa moral karena ambisi kekuasaannya semata. Jokowi bukan seorang Pancasilais dengan penekanan kekuasaan pada moral & etika. Jokowi seorang Machiavelis, yang menekankan bahwa penguasa harus pragmatis, dan menggunakan cara apa pun untuk meraih serta mempertahankan kekuasaan. Fakta bagaimana Jokowi merekayasa untuk memperpanjang kekuasaannya menjadi 3 periode melalui ketua-ketua partai yang sudah berhasil “disandera”. Ditolak keras oleh masyarakat sipil dan oleh partainya PDI-P. Begitu juga keinginannya untuk memperpanjang masa jabatan presiden 2 tahun itupun digagalkan. Kemudian Jokowi secara jahat. Melalui tindakan Nepotisme dengan adik iparnya yang jadi ketua MK melakukan pelanggaran etika berat merubah UU Pemilu sehingga meloloskan anaknya Gibran yang belum cukup umur menjadi calon wakil presiden. Jokowi dengan para begundalnya melakukan pembegalan Parpol. Partai Demokrat “dibegal” namun gagal, tetapi SBY sebagai pemilik partai berhasil “dijinakan”. PPP “berhasil” dibegal, kemudian partai tersebut redup. Kemudian partai Golkar juga “berhasil” dibegal. Menjadikan orang “kepercayaannya” menjadi Ketua Umum tanpa melalui Munas yang seharusnya. PAN berhasil “dipecah” pendiri partainya Amien Rais disingkirkan, dan besannya menjadi Ketua Umum partai “dihadiahkan” jabatan Menteri, sampai sekarang menjadi “pendukung setia” Jokowi. Secara singkat. Mari kita selisik kemunculan Jokowi menjadi Presiden. Patut dicatat tanpa dukungan PDI-P Jokowi bukanlah siapa-siapa. Jokowi sebagai Wali Kota Solo (2005-2012), pertama kali maju sebagai calon Wali Kota Solo melalui dukungan PDI-P. Popularitasnya diangkat sebagai pengusaha dan figur yang dekat dengan rakyat (wong cilik). Kemudian Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta (2012-2014) diusung oleh PDI-P dan didukung oleh Partai Gerindra untuk maju dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Dengan pencitraan mobil nasional ESEMKA yang disiarkan secara luas oleh media mainstream. Konon cerita lain PDI-P mencalonkan Jokowi sebagai Presiden (2014) akibat desakan beberapa tokoh/ pemilik media mainstream. Para tokoh tersebut “mendatangi kediaman” Megawati dan “mendesak” agar Megawati tidak mencalonkan diri jadi Capres pada Pilpres 2014. Ketika itu Megawati “masih berkeinginan” untuk maju karena baru 2 tahun menjadi Presiden setelah Gusdur. Para tokoh media tersebut “merayu” Megawati bahwa dia akan kalah melawan Prabowo lebih baik mencalonkan Jokowi. Mereka bersama oligarki ekonomi “mendukung” Jokowi. Oligarki ekonomi “punya kepentingan” karena Jokowi “dipandang gampang diatur”. Jokowi bukanlah pemilik/ pengurus partai. Mereka menggerakan para buzzer dan influencer untuk “memojokan” Megawati dan “memuji” elektabilitas Jokowi. Konon setelah itu Megawati dan alm. suaminya Taufik Kiemas “menyerah” tentu dengan “berat hati” mencalonkan Jokowi menjadi capres pada pileg 2014. Hal ini yang menjelaskan kenapa Jokowi yang sudah menjadi Presiden tidak pernah diberi jabatan di Partai. Padahal didaerah jika ada yang berhasil jadi Walikota/Bupati atau Gubernur di beri jabatan pada kepengurusan partai. Kemudian PDI-P kembali mendukung Jokowi sebagai calon presiden untuk Periode Kedua 2019-2024 PDI-P karena rekayasa dukungan melalui pencitraan media yang luar biasa, dianggap sebagai langkah strategis untuk memanfaatkan \"coattail effect\" atau efek ekor jas dari popularitas Jokowi, bagi PDI-P. Sayangnya PDI-P “tidak belajar” bahwa data menunjukan selama proses mendukung Jokowi sebagai Walikota Solo, Gubernur DKI, maupun Presiden periode pertama tidak mendapatkan manfaat \"coattail effect\" yang signifikan dari Jokowi. Selama 4 kali pileg 2004, 2009, 2014, 2019, PDI-P stag memperoleh kursi di DPR antara 19 – 21 %, tanpa ada kenaikan yang berarti. Begitu juga dukungan PDI-P terhadap putranya Gibran Rakabuming Raka menjadi Walkota Solo karena dia putra sulung Presiden Joko Widodo dan merupakan kader PDI-P dan Bobby Nasution didukung karena dia menantu Presiden Jokowi sebagai Wali Kota Medan yang juga kader PDI-P. Pada hal pada hasil pileg tidak menaikan keterpilihan partainya di DPRD secara signifikan di kota tersebut. Kota Solo adalah salah satu basis tradisional PDI-P dan memiliki nilai historis bagi partai PDI-P, dengan semula mengusung Gibran Rakabuming Raka sebagai calon Wali Kota Solo pada Pilkada 2020, PDI-P ingin memastikan kontrol politik tetap di tangan mereka. Tetapi pada Pilkada 2024 basis mereka direbut oleh Jokowi termasuk Jawa Tengah. Kota Medan adalah salah satu kota penting di Pulau Sumatera, tetapi secara tradisional bukan basis kuat PDI-P dengan mencalonkan Bobby Nasution sebagai Wali Kota Medan, PDI-P melihat peluang untuk memperluas pengaruh politik di Sumatera Utara. Sama seperti mertuanya Bobby menelikung partainya, pindah partai. Sekarang di Sumut PDI-P “pupus harapan”, ulah pengkhianatan kadernya sang menantu Jokowi. Dukungan PDI-P terhadap Gibran dan Bobby pada awalnya untuk menjadi walikota didasarkan pada popularitas Jokowi sebagai Presiden. Strategi mempertahankan basis elektoral, serta perluasan pengaruh politik PDI-P di daerah strategis. Bagaikan membesarkan anak macan satu persatu keluarga Jokowi membelot dan berkhianat. merekalah kemudian menerkam dan menghancurkan basis dan harapan PDI-P. Dari kajian tersebut betapa Jokowi sekeluarga menerapkan tujuan menghalalkan segala cara. Prinsip dasar dalam Machiavelisme bahwa tindakan seorang pemimpin harus dinilai berdasarkan hasil akhirnya, bukan berdasarkan moralitas atau etika. Jika tindakan \"jahat\" seperti kekerasan, tipu daya, atau manipulasi diperlukan untuk meraih kekuasaan, maka tindakan tersebut dibenarkan selama tujuan akhirnya adalah mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Jelas nya. PDI-P dengan ”keberanian” memecat Jokowi sekeluarga. Kini masih mempunyai hutang moral kepada rakyat Indonesia. Kader mbalelo telah merusak moral Pancasila. PDI-P berkewajiban menuntaskan sampai ke akar-akarnya. Agar cara-cara meraih kekuasaan ala machiavelisme tidak terulang lagi bagi generasi mendatang. Jokowi harus diadili. Gibran yang terkait dugaan money laundring yang di tuntut oleh Ubaidillah Badrun seorang akademisi di KPK. Harus didukung dan didesak untuk diusut sampai kepengadilan. Serta kelahiran Gibran sebagai calon wapres melalui kejahatan konstitusi di MK serta perbuatan tindakan tercela tidak bermoral melalui akun Fufufafa, harus segera di makzulkan. Begitu juga dugaan KKN Bobby Nasution di pertambangan dan penggunaan jetpri kolabotasi dengan pengusaha. Harus diusut tuntas. (*)
Korbankan Perang Suci, Presiden Cabut PSN atau Rakyat Cabut Paksa
Oleh Sutoya Abadi | Koordinator Kajian Politik Merah Putih RAHASIA motivasi dan menjaga moral perlawanan adalah keyakinan ini perang suci melawan kebiadaban dan kekejaman kekuatan yang terus, menindas dan merampas pekarangan atau rumah seseorang dengan paksa yang miliki dengan syah Satukan suasana hati dan emosi perlawanan suci. Pimpinan pergerakan pimpinlah dari depan agar rakyat tertindas melihat Anda di garis depan berkorban demi perjuangan, ini akan jadi mukjizat dan menutup kekurangan apapun dalam sumber daya material. Inilah yang digambarkan Panglima Besar Jenderal Sudirman, rakyat bergerak bersama dalam perang gerilya, mereka melepaskan apapun yang dimiliki sebagai logistik menopang pergerakan perjuangannya. Berjuanglah dengan ikhlas itu akan tercium sebagai perang suci. Napoleon Bonaparte pernah mengatakan \"Perbandingan moral dengan fisik adalah tiga berbanding satu\" dalam sebuah pertempuran prajurit yang termotivasi (perang suci) sanggup mengalahkan pasukan yang tiga kali lebih banyak dari pasukannya. Untuk menciptakan dinamika perlawanan terbaik : \"Satukan kekuatan di seputar yang layak. Ini perjuangan suci untuk melawan kedzaliman dan kebiadaban harus di lawan karena jalan perdamaian adalah mustahil\" \"Bahu membahu periksa kebutuhan fisik mereka. Sifat alami mereka yang mementingkan diri sendiri akan muncul di permukaan dan mereka akan memisahkan diri dari barisan perjuangan perlawanan ketika kebutuhan fisik mereka rentan dimangsa oleh Taipan\" \"Pimpin mereka dari depan. Sejak awal pemimpin harus terlihat memimpin dari depan, siap menanggung bahaya, bukan mendorong mereka dari belakang, biarlah mereka berlari untuk mengimbangi pimpinannya\". \"Konsentrasikan energi kekuatan dan semangat yang mengalir dalam pikiran dan pergerakan. Setiap aksi dan bertindak harus jelas dan terarah\" \"Jaga emosi mereka. Cara terbaik memotivasi bukan dengan cara menukar, tetapi melalui emosi. Bahwa perjuangannya perang suci ini hanya akan dicapai dengan bergerak bersama dengan semangat baja\" \"Campurkan sikap tegas dan kemurahan. Kunci sumber daya manusia adakah keseimbangan antara sikap tegas dan kemurahan. Jarang jarang lah menunjukkan kemurahan, komentar hangat atau kemurahan. Anda mundur atau saya libas. \"Bangun mitos kelompok. Pergerakan dengan moral tertinggi adalah pergerakan yang telah teruji bahwa leluhur pahlawanku di daerahku tidak pernah terkalahkan. Jangan kamu coba akan mengganggu apalagi akan menindas anak anak cucunya dengan kejam dan sadis\" \"Berilah sinyal tidak mengenal ampun untuk pada penindas. Yakini bukan jumlah atau kekuatan yang akan memberikan kemenangan dalam sebuah perlawanan - melainkan gerakan apapun yang melawan dengan jiwa yang kuat akan meraih kemenangan gemilang\". Lebih baik kita mempunyai pemimpin seorang Kapten yang sederhana, berpakaian sederhana yang mengetahui apa yang harus diperjuangkan, mencintai apa yang sedang diperjuangkan dari pada seorang Jenderal yang sudah terkontaminasi otak dan prilakunya sebagai penghianat negara. Perang suci membela keadilan, membela rakyat dari perampasan, penyiksaan dan penindasan akan melahirkan pejuang militan dan tidak mungkin akan bisa di kalahkan dan dibeli dengan uang. Tanaman samangat ini perang suci, ridak ada jalan mundur Presiden membubarkan PNS atau terpaksa rakyat harus membubarkan dengan cara paksa*. (*)
Strategi Shin Tae Yong, "Outside The Box" vs "Inside The Box"
Oleh: Sabpri Piliang | Wartawan Senior INI bukan soal. \"Meludah naik ke Langit, muka juga yang basah\"! Ini bukan pula soal melawan timnas Vietnam yang \"berkuasa\" (senior dan berpengalaman). Yang berujung kekalahan Timnas Indonesia 0-1. Sejatinya, kekalahan ini sudah diprediksi sejak awal. Empat \"Nguyen\": Nguyen Tien Linh (27), Nguyen Quang Hai (27), Nguyen Van Toan (28), dan Nguyen Filip (32), empat nama yang telah lama muncul. Jauh, sebelum \"Coach\" Shin Tae Yong (STY), dan Ketum PSSI Erick Thohir \"potong\" generasi, dalam revolusi sepak bola Indonesia. Saya tidak ingin mengatakan, kemenangan Timnas Vietnam melawan Timnas 20-an tahun (Indonesia), lusa kemarin. Sebagai satu kemenangan kualitatif. Kemenangan kualitatif, justru didapat Timnas Indonesia dengan \"line up\", dari 22 anggota skuad berusia belia. Bahkan 11 diantaranya adalah debutan Timnas senior. Dalam pelajaran matematika, saat saya SMA dulu, ada sub-bab yang disebut \"modal\". Kurun jangka panjang, \"matchday\" ke-3 melawan tim berjuluk \"Ngoi Sao Vang\" (The Golden Star), adalah modal. Bagi pemain-pemain muda berbakat: Cahya Supriadi (kiper), Achmad Maulana (bek/tengah), dan Victor Dethan, merupakan pengalaman yang berkualitas. Secara empiris, ini melatih mereka bertarung dalam kompetisi yang kompetitif. Melawan pemain-pemain \"super\" (senior) Vietnam seperti: Tien Linh, Quang Hai, Van Toan, Nguyen Filip, bukanlah \"cek kosong\". Ada residu yang berguna, sebagai bekal. Vietnam, memang sedang kurang \"kerjaan\". Mereka tidak punya lagi target \"reputable\" untuk lolos ke Piala Dunia 2026. Karena itu, ASEAN Cup menjadi ajang kompensasi untuk menghibur diri. \"Membesarkan hati\". Hampir semua pemain senior, bahkan super senior Vietnam sudah \"berkarat\": Doan Ngoc Tan (30 thn), Vu Van Thanh (28), Nguyen Xuan Son (27), Nguyen Dinh Trieu (33 thn), Do Duy Manh (28), Bui Tien Dung (29), Pham Xuan Manh (28), Ho Tan Tai (27), Nguyen Thanh Cung (27), Le Pham Thanh Long (28), dan Chau Ngoc Quang (28). Kemenangan Vietnam, yang mendapat perlawanan sengit darl Timnas Indonesia belia. Adalah sekadar kemenangan kuantitatif. Hanya kemenangan \'numeric\' (angka), itu pun hanya 1-0. Hal tersebut memperlihatkan keberanian pemain-pemain muda Asuhan STY: Achmad Maulana, Arkhan Fikri, dan Rivaldo Pakpahan, bertarung di lini tengah. Mereka tidak inferior menahan gempuran pemain-pemain bernilai Rp 126 milyar (Timnas Vietnam). Berusia paling tinggi 25 tahun (Asnawi Mangku Alam), dan pemain termuda \"bomber\" Arkhan Kaka (17 tahun), Arhan Pratama (22 tahun), Dony Tri Pamungkas (19), Marselino Ferdinan (20), Kadek Arel (19), Mikael Tata (20). Lalu, Rayhan Hannan (20), Arkhan Fikri (19), Victor Dethan (20), Hoki Caraka (20), Raffael Struick (21), Zanadin Fariz (20), Ronaldo Kwateh (20), Cahya Supriadi (21), Vietnam hanya menang kuantitatif terhadap Timnas muda Indonesia. Kita berani mengatakan, di bawah asuhan STY, terutama: Cahya Supriadi, Achmad Maulana, dan Victor Dethan, akan menjelma menjadi pemain-pemain bermutu, dan cepat disemai (dipanen). Ketenangan Achmad Maulana di garis pertahanan. Kecepatan Victor Dethan menerobos, dengan bola \"lengket\" berhadapan dengan Nguyen Filip. Serta responsif Cahya Supriadi menahan tendangan penyerang Vietnam. Adalah modal. Lupakan kekalahan, dan \"frustrasi\" Vietnam hingga menit ke-75. Lupakan kekalahan tipis yang nyaris bermain draw. Lupakan kekurangan Achmad Maulana dkk di Stadion Viet Tri (Hanoi), beberapa hari lalu. Hasil draw Laos vs Filipina (1-1), sangat menguntungkan Timnas Indonesia. Sekalipun kita kalah lawan Vietnam. Pertandingan terakhir Indonesia vs Filipina (21/12) di Stadion Manahan (Solo) adalah kunci untuk lolos mendampingi Vietnam (semisal juara Group) ke semifinal. Laos dan Filipina yang masing-masing baru mengumpulkan dua poin. Tak akan mampu mengejar Indonesia dengan tujuh poin (sekarang 4). Seandainya mampu mengalahkan Filipina dengan skor berapa pun. Laos, semisal menang lawan Myanmar, maksimal hanya 5 poin. Apa yang dilakukan \'coach\' Shin Tae Yong (STY) sudah baik. Berkebalikan dengan pelatih Vietnam Kim Sang-sik(KSS). STY berpikir \"Outside The Box\". STY berani melakukan eksperimen dengan risiko tidak juara. Sementara Kim Sang-sik, tak berani bereksperiman yang bermanfaat untuk \"kaderisasi\". Kim Sang-sik tetap menggunakan \"Inside The Box\". Pemain tersebut terbukti Unggul. Dengan begitu, Vietnam ingin menjuarai ASEAN Cup 2024 lewat pemain-pemain mayoritas berusia di atas 27 tahun. Secara konvensional (alur vertikal), itu betul. Namun bola itu \"bundar\". Dia bisa berkelok-kelok, membingkai dan mengelabui asumsi. Apalagi, boleh jadi Kim Sang-sik, dibatasi oleh asumsi dari dirinya sendiri. Meski kalah 0-1 dari Vietnam. Timnas Indonesia tetap disebut \"menang\". Bila bisa mengalahkan Filipina di \"matchday\" ke-4 (terakhir) dan masuk ke semifinal. Bisa jadi, Timnas Indonesia bertemu Vietnam lagi, di partai puncak (final), 5 Januari 2025 mendatang. Bola itu bundar! (*).
Said Didu dalam Perjalanan
Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Politik Merah Putih Pria kelahiran Pinrang, Sulawesi Selatan, 2 Mei 1962 ini bernama Muhammad Said Didu. Malang melintang di alam birokrasi akhirnya mundur dari semua jabatannya, pasti karena ada alam lain menyelinap dalam pikiran dan rasa sebagai manusia yang memiliki nurani dan kemanusiaan bersandar nilai Ilahiah. Semua manusia sesuai kodrat kemanusiaan pasti memilikinya - hanya kadar kepekaan pada pilihan baik atau buruk, bermuara pada sikap melawan atau hanyut terbawa arus kebathilan, sangat tergantung pada standar ilahiah dalam dirinya. Said Didu menyimpan secarik kertas bertuliskan \"kebebasan berpendapat lebih penting daripada jabatan\" . Apa hanya karena itu, Didu bangkit melawan kedzaliman penguasa, atau karena telah masuk dalam dirinya ada gelombang radar bisa merasakan kesedihan, kepedihan, keprihatinan bahkan nangis bathn adanya penindasan dan penyiksaan sesama manusia. Setan masuk ke garba manusia lewat aliran darah manusia, sesuai nash yang sudah tercatat, manusia utuh sebagai manusia dalam kendali dan bimbingan-Nya atau berubah menjadi \"Setan Manusia\". Berubah menjadi Qobil atau Habil akan terlihat secara lahiriah dari ucapan dan tingkah lakunya. Kalau atas kehendak- Nya Said Didu ditakdirkan masuk nafasnya menyertai Habil - jejak sejarahnya telah melahirkan manusia di arus \"hak\" pasti akan menerjang kebathilan. Perlawanan dari manusia Qobil yang melihat dunia adalah akhir kehidupannya akan diterjangnya. Sekuat apapun Qobil yang tega membunuh Habil harus menerima takdirnya pasti akan tumbang. \"Kebenaran telah datang dan yang batil telah lenyap\", Q.S. Surat Al-Isra Ayat 81, sebagai orang Mukmin (bukan hanya Muslim) pasti meyakini dan itu akan menjadi kompas hidupnya. Diancam, ditekan bahkan akan dibunuh pun, bagi Said Didu itu kecil, tidak akan bisa meredam nilai dan makna kehidupan abadi di sisi-Nya. Sekadar saran sesama pejuang dalam posisinya masing-masing beberapa manusia bijak dari Yogyakarta yang terhimpun di Maklumat Yogyakarta, menitip harapan kepada Said Didu -\"sebagai pejuang dan penggerak Nusantara\" Pageblug bencana kemanusiaan di Indonesia, bukan hanya di PIK 1 dan 2 tetapi sudah mengancam kedaulatan negara di Nusantara. Said Didu dalam perjalanan tentu bersama pejuang lainnya, InsyaAllah mendapatkan kekuatan, perlindungan dari Tahun YME. Rakyat bisa tersenyum kembali dengan dimusnahkannya kebiadaban - Fajar segera menyingsing, Indonesia kembali merdeka. (*).
Gantung Jokowi, Bongkar Pagar Laut
Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan Beredar viral video Said Didu dan rekan-rekannya di PIK 2 dengan latar belakang laut yang dipagar. Menurut Didu panjang pagar itu 23,3 KM dan jarak dari bibir pantai 1 hingga 2 KM. Konon 9 lembaga termasuk TNI bungkam dengan pemagaran laut ini. Sinyalemen bahwa ada Negara dalam Negara semakin terbukti. Inikah benteng yang merujuk pada Great Wall of China? Di dalam Kota Beijing ada Forbidden City atau Kota Terlarang. Area tertutup Kekaisaran China. Benteng raksasa itu dibuat untuk melindungi serangan kaum barbar, fungsi imigrasi dan perdagangan. Benteng Changcheng menjadi simbol dari kedaulatan China yang tidak bisa diganggu. Di zaman pemerintahan Hindia Belanda dibuat benteng di Tangerang Banten untuk menahan serangan dari pasukan Sultan Banten. Warga etnis Cina mendapat perlindungan dan berada di dalam benteng tersebut. Di kemudian hari mereka dikenal sebagai Cina Benteng. Sisa-sisa keturunan dan situsnya kini masih terlihat. Setelah bentrok dan kerusuhan, etnis Cina banyak yang kabur. Kenangan tentang kebijakan pemerintahan kolonial itu kini terbayang kembali. Sulit membantah bahwa pemerintahan Jokowi sangat memanjakan etnis Cina. \"Negara\" PIK 1 dan sekarang PIK 2 adalah karya Jokowi. Di masa sebelum Jokowi etnis Cina hanya menguasai ekonomi, namun kini ekonomi dan politik. Rakyat khawatir TNI dan Polisi juga telah berada dalam pengaruhnya. Mendaur ulang Cina Benteng merupakan pabrik monster yang membahayakan. PIK 2 faktanya telah dibentengi di darat dan di laut. Gerbangnya patung Naga Raksasa. Pengusaha besar Cina dipelihara dan dilindungi oleh penguasa penjajah Oligarki. Indonesia tergadai oleh berbagai kebijakan Jokowi. Jokowi yang pro Cina sesungguhnya adalah penghianat Negara. Secara sadar makar telah dilakukan oleh seorang Presiden yang pandai berpura-pura. Pura-pura bersih, sederhana, pro rakyat bahkan spiritualis. Pejabat dan lingkarannya seperti terkena sihir hingga mendewakan. Presiden yang ini menjadi musuh dalam selimut bagi Negara Pancasila. Makar merupakan perbuatan yang diancam dengan hukuman mati. Bukan mengada-ada jika muncul seruan tangkap dan adili Jokowi. Bahkan ada desakan agar Jokowi dihukum mati. Bersandar pada Pasal 11 KUHP maka hukuman mati itu dengan cara digantung. \"Pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri\" Prabowo tidak boleh melindungi pengkhianat negara. Prabowo harus tunduk pada ketentuan hukum. Biarlah hukum berbuat secara independen dan berdaulat. Era politik yang merekayasa hukum di zaman Jokowi telah usai. Prabowo jangan diam saja atau membuat Indonesia paradoks. PIK 2 karya Jokowi harus dibatalkan. Status PSN atas PIK 2 segera cabut. Aguan telah memanipulasi PSN di depan hidung Jokowi, di depan mata Prabowo, serta di hadapan seluruh rakyat Indonesia. Rakyat wajar untuk tidak dapat menerima dan marah besar. Bongkar pagar laut PIK 2 dan beri sanksi pembuatnya. Pagar pembunuh nelayan. Begitu juga dengan pejabat yang telah membiarkan penyerobotan wilayah Negara ini. Mereka terang-terangan berbuat jahat untuk menciptakan Negara dalam Negara. Menipu rakyat dengan berbagai narasi palsu termasuk bunga-bunga pariwisata. Bersihkan dan basmi para penghianat negara yang masih merajalela di bumi persada. Gantung Jokowi dan bongkar pagar laut. Banten bukan Propinsi Republik Rakyat China. Sekali merdeka, tetap merdeka. (*)
Presiden Prabowo Perlu Selamatkan Polri Dari Cengkraman Ferdy Sambo (Bagian-2)
Oleh Joharuddin Firdaus/Pemerhati Politik Sosial dan Budaya “Kasus pembunuhan Brigadir Polisi Yosua Hutabarat ini terlalu mudah dan gampang untuk diungkap siapa pelaku dalam waktu secepatnya. Tidak butuh waktu lama berhari-hari untuk mengungkapkan pelakunya. Locus dan tempus delicti sangat jelas. Paling butuh waktu tiga sampai lima jam saja sudah menemukan pelaku sebenarnya. Masalahnya ada kemauan tidak dari penyidik dan atasan penyeidik, “ujar Komisaris Jendral Polisi (Purn.) Dharma Pongrekun dalam suatu kesempatan sambil bercanda. PAK Kapolri Jendral Polisi Listyo Sigit yang hebat dan baik hati. Sekedar mengingatkan kalau masih banyak anggota Polisi yang baik, bagus dan hebat yang belum mendapat promosi jabatan dan kenaikan pangkat sampai sekarang. Mungkin saja jumlah mereka itu ada puluhan ribu, bahkan ratusan ribu anggota polisi baik, bagus dan hebat itu masih di posisi dan jabatan yang sama selama bertahun-tahun. Para polisi baik, bagus dan hebat itu sudah bertugas di pedalaman Kalimantan, Maluku, Papua, Aceh dan daerah lain. Mungkin mereka sudah bertugas selama tiga tahun, lima tahun atau tujuh tahun. Namun sampai sekarang polisi-polisi baik, bagus dan hebat itu belum dipromosikan oleh Pak Kapolri Jendral Sigit. Mereka tetap setia untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawab yang diberikan dengan ikhlas dan sabar. Pak Kapolri Jendral Sigit, kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Polisi Yosua Hutabarat ini kejadiannya belum terlalu lama. Pasti masih segar dalam ingatan seluruh anggota polisi baik, bagus, hebat dan publik Indonesia. Apalagi kasus ini juga menyeret polisi berdarah biru yang menjadi Kepala Devisi Provesi dan Pengamanan (Propam) Polri Irjen Polisi Ferdy Sambo sebagai aktor utama. Kasus ini jelas menghebokan seluruh jagat Indonesia Pak Kapolri Jendral Sigit. Pastinya Kapolri Pak Jendral Sigit tidak anggap remeh dan merasa kasus ini biasa-biasa saja. Kejadian ini membuat masyarakat dunia ikut terheran-heran dan terkaget-kaget. Bisa ya di Polisi Indonesia ada kejadian yang seperti ini? Mudah-mudahan saja ini bukan dikenang sebagai kegagalan Pak Jendral Sigit ketika memimpin institusi Polri? Sekedar mengingatkan Pak Kapolri Jendral Sigit bahwa pembunuhan berencana kepada Brigadir Polisi Yosua Hutabarat itu tidak mudah dilupakan publik begitu saja. Apalagi waktu kejadiannya itu belum terlalu lama dari sekarang. Kalau tidak salah ingat Brigadir Polisi Yosua Hutabarat itu ditembak mati dua tahun, lima bulan dan tujuh hari silam. Tepatnya terjadi pada hari Jum’at tanggal 8 Juli dan tahun 2024. Namun yang paling mengagetkan publik Indonesia karena puluhan anggota polisi yang diperiksa secara etika dan profesi diguga terlibat melakukan rekayasa, mempengaruhi, berusaha menghalangi proses hukum dari sebenarnya. Mereka memberikan keterangan palsu. Juga berusaha menyembunyikan bukti-bukti dari kepolisian dan kejaksaan (Obstruction of Justice) terkait pembunuhan Brigadir Polisi Yisua Hutabarat itu, kini diberikan karpet merat di institusi Polri oleh Pak Kapolri Jendral Sigit. Sejak tahun 2023 sampai sekarang, tercatat ada enam anggota Polisi yang terlibat skandal Obstruction of Justice pembunuhan terhadap Brigadir Polisi Yosua Hutabat telah diberikan kenaikan pangkat dan promosi jabatan oleh Kapolri (TEMPO.Co Senin 10/12/2024). Diduga Kapolri telah dengan sengaja mengusik dan menciderai rasa keadilan publik. Luar biasa hebatnya Pak Kapolri Jendral Sigit ini. Memberikan karpet merah kepada anggota polisi mantan anak buah Irjen Polisi Ferdy Sambo yang terlibat skandal Obstruction of Justice pembunuhan Brigadir Polisi Yosua Hutabarat itu memang kewenangan Pak Kapolri Sigit. Cuma kurang baik dan kurang bijak saja Pak Kapolri. Tidak adil kepada puluhan ribu atau ratusan ribu anggota polisi baik, bagus dan hebat yang belum dipromosikan dan dinaikan jabatan serta pangkat mereka. Mungkin saja mereka tidak berani protes Pak Kapolri karena takut kepada atasan. Pak Kapolri Sigit terkesan mengabaikan merit system di polisi terkait promosi jabatan. PRESISI yang Kapolri Sigit pidatokan di depan Pak Presiden Prabowo Subianto saat Apel Kasatwil Polri tahun 2024 di Akpol Semarang itu seperti basa-basi saja. Berkaitan dengan skandal Obstractio of Justice pembubuhan Brigadir Polisi Yosua Hutabarat itu, PRESISI dimana Pak Kapolri Sigit umpetin ya? PRESISI mungkin bukan lagi tagline istimewa karena Pak Kapolri Sigit berikan karpet merah kepada anggota Palisi yang terlibat skandal Obstraction of Justice pembunuhan Brigadir Polisi Yosua Hutabarat. Bagaimana dengan nasibnya puluhan ribu, bahkan mungkin juga ratusan ribu anggota polisi baik, bagus dan hebat yang belum dapat promosi jabatan dan kenaikan pangkat itu Pak Kapolri Jendral Sigit? Pak Kapolri Jendral Sigit itu hebat, low prifile, pekerja keras dan sangat disiplin. Masih segar dalam ingatan kita skandal pembunuhan Brigadir Poplisi Yosua Hutabarat itu. Mungkin bukan begitu kerja-kerjanya PRESISI. Kasus ini hampir saja membuat institusi Polri tergenlinncir jatuh ke titik nadir. Kasus ini dibumbui dengan keterlibatan gerombolan anggota polisi yang sengaja merekayasa perkara seakan-akan Irjen Ferdy Sambo yang dipersiapakan menjadi Kapolri masa depan itu tidak terlibat. Hanya berselang beberapa bulan, mereka mendapat promosi jabatan dan kenaikan pangkat. Seperti inikah kerja-kerja PRESISI yang Pak Kapolri Sigit banggakan itu? Publik Indonesia dan civil society berprasangka baik kalau Pak Kapolri Sigit tidak punya beban hutang budi atau perasaan tidak enak kepada Ferdy Sambo karena sesuatu hal. Walaupun demikian, lamanya pengungkapan kasus ini hampir satu bulan itu, diduga penuh tarik-manerik kepentingan tingkat tinggi di Polri. Awalnya diduga ada upaya Mabes Polri selamatkan Ferdy Sambo yang dipersiapkan menjadi calon Kapolri kelak. Akibatnya publik menduga telah terjadi saling sandra-menyandra antara Mebes Polri di satu pihak dengan Fardy Sambo di pihak lain. Dampaknya, Kapolri Sigit tidak bisa melapor kepada Presiden Joko Widodo ketika itu sejak hari pertama kejadian. Diduga Kapolri Sigit baru malapor Presiden Joko Widodo pada hari ketiga setelah kejadian. Masalah ruwet, sehingga lambat mengungkapkan. Padahal untuk kawasan ASEAN dan Asia, Polisi negaraku Indonesia itu terkenal sangat hebat, cepat, tepat dan sangat teliti dalam mengungkapkan perkara kriminal seperti pembunuhan. Lihat itu hebatnya kerja Densus 88 Antiteror Polri. Densus 88 Antiteror Polri tidak butuh waktu lama untuk mengungkap dan menangkap pelaku teroris yang merencanakan dan meledakan bom dimanapun wilayah Indonesia. Anehnya untuk kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Polisi Yasua Hutabarat, polisi Indonesia yang terkenal hebat itu, mendadak menjadi tidak hebat. Seperti lemah syahwat. Padahal locul delicti dan tempus delicti sanagat jelas. Locul delicti dan tempus delicti terang-bernderang di depan mata polisi. Waktu dan tempat kejadiannya itu pasti di rumah dinas Kepala Devisi Propam Polri Irjen Polisi Ferdy Sambo. Sayangnya, butuh waktu tiga hari, dari tanggal 8 - 10 Juli sejak kejadian pembunuhan terhadap Brigadir Polisi Yosua Hutabarat, baru ada keterangan resmi dari Karo Penmas Devisi Humas Polri Brigjen Ahamd Ramadhan. Humas Polri secara official adalah organ pelaksana dari Kapolri. Jadi, keterangan Humas Polri itu official atas nama Kapolri. Sudah terlambat, namun keterangan resmi yang disampaikan Brigjen Ahmad Ramadhan masih berisi informasi bohong kepada publik. Isinya masih sesuai skenaria awal, yaitu tembak-menembak antara Brigadir Yosua Hutabarat dengan Bharada Polisi Richard Eliezer. Tangan Ferdy Sambo diduga sedang mengacak-acak institusi Polri. Untuk itu diperlukan tangan Presiden Prabowo untuk menyelamatkan Polri dari cengkaraman Ferdy Sambo. (bersambung).
Saatnya Kita Harus Perang
Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Politik Merah Putih Kita harus perang:.\"manusia keluar dari perang dalam kondisi akan lebih baik, kuat untuk kebaikan ataupun kejahatan\" (Friderich Nietzsche)\" Perkembangan politik, ekonomi dan aspek lainnya di negara kita sudah pada titik nadir, didepan mata sudah muncul kekuatan yang siap melakukan apapun untuk merebut kedaulatan negara, tidak peduli nilai nilai kemanusiaan. Perampasan tanah, pengusiran kaum pribumi terjadi di seluruh belahan Nusantara. Indonesia sudah dalam kendali kekuatan kapitalis yang sangat kejam, menjelma sebagai penjajah. Pertempuran tanpa senjata sudah dimulai, penguasa dan para politisi pengendali negara, pelan tapi pasti sudah limbung dan menyerah tanpa syarat. Rakyat sedang bertarung sesama teman bangsanya sendiri. Sebagian ikut sebagai budak Taipan Oligarki sekedar mengais-ngais remah dan sisa sisa makanan, sebagai luar biasa biadab larut penjajah dengan paham yang penting ikut hidup mewah, sekalipun harus melacurkan harga dirinya. Keadaan makin rumit, menganggap sebagai kepala negara dengan pidato di kemas patriotik penuh harapan, kita anggap di pihak kita, akan melindungi dan menolong kita, ternyata musuh dalam ketiak sebagai antek asing yang sedang menghancurkan kedaulatan negara. Lebih sulit dikenali mereka selalu bermain pasif agresif terus berkata manis ternyata \"berbisa\", dipermukaan tampak bicara lembut, basa basi akan mensejahterakan rakyatnya . Dibelakang terus memperkuat kepentingan diri, keluarga kroni bisnis dan bandar politiknya. Dalan kondisi seperti ini, saat ini yang kita butuhkan sekarang bukan cita cita damai dan kompromi dengan penguasa atas kendali kekuatan penjajah. Kerjasama dan dialog secara normal sudah mustahil dan hanya akan menemui jalan buntu dan sia sia. Saat ini harus ada keberanian dengan pengetahuan strategi taktis dan praktis mencari jalan keluar dari kebuntuan, konflik setiap hari terjadi. Cara yang lebih rasional dan strategis adalah melawan untuk menyelamatkan negara. Secara psikologis dan sosiologis bahwa melalui konflik, perselisihan dan kebuntuan akan bisa selesaikan, dengan cara kekuatan melawan (perang). Mengindari cara tersebut justru akan memperburuk dan makin membesar perbuatan licik dan manipulatif yang sudah kronis dan membabi-buta, hanya akan memperburuk keadaan. Hilangkan ketakutan, keadaan tidak tertaklukkan adalah tergantung pada semangat perjuangan kita. Kehidupan adalah suatu pertempuran panjang, kita harus berjuang dalam setiap keadaan untuk mengatasi keadaan terburuk sekalipun. Sekarang Ini bukan saatnya lagi membuat penyataan sikap petisi atau sejenisnya tapi perang melawan perilaku binal, liar dan biadab kaum kapitalis Taipan Oligarki. Taipan Oligarki sudah menjelma menjadi State Corporate Crime (SCC) ingin membangun negara dalam negara. Terang benderang telah menjadi musuh Negara. Satukan Barisan Rakyat siap bertempur bukan berdiskusi lagi, untuk melawan, menangkap dan ambil kembali semua tanah yang telah mereka rampas, kembalikan kepada pemiliknya. Mereka melawan hancurkan apapun yang telah mereka bangun - bakar semua hasil rampasan kepada rakyat yang mereka kuasai - usir mereka dari Nusantara (ingatlah sejarah Kubilai Khan). Musuh Negara tidak bisa diajak berunding, Musuh Negara harus digempur, berlakukan hukum perang, maka musuh negara sangsinya.: Hukuman Mati dan seluruh asetnya harus dirampas untuk negara. Saat ini harus bertindak : It\'s now or never .. Tomorrow will be to late (sekarang atau tidak pernah - besok atau semua terlambat).