ALL CATEGORY

Pertumbuhan Ekonomi Q1/2024 Sebesar 5,11 Persen: Manipulatif!?

Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) BPS (Badan Pusat Statistik) mengumumkan pertumbuhan ekonomi triwulan I (Q1) 2024 sebesar 5,11 persen. Banyak yang terheran-heran. Tepatnya meragukan. Bagaimana mungkin!? Keraguan atas pertumbuhan ekonomi Indonesia bukan kali ini saja. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2019 yang mencapai sekitar 5 persen juga menjadi pertanyaan banyak pihak, termasuk dari luar negeri. Gareth Leather, ekonom Capital Economics Ltd yang berbasis di London, menyatakan ragu terhadap data pertumbuhan ekonomi Indonesia yang secara mencurigakan stabil selama beberapa tahun terakhir.  Gareth Leather: “We don’t have much faith in Indonesia’s official GDP figures, which have been suspiciously stable over the past few years.” Karena, berdasarkan pemantauan indikator ekonomi bulanan, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami penurunan tajam. https://www.bnnbloomberg.ca/indonesia-s-steady-gdp-figures-leave-some-economists-doubting-its-data-1.1342978 https://www.neraca.co.id/article/124392/pertumbuhan-ekonomi-indonesia-dipertanyakan-asing-wajarkah Ekonom lainnya yang berbasis di Hong Kong, Trinh Nguyen, juga menyatakan hal yang sama. Trinh Nguyen bingung bagaimana ekonomi bisa tumbuh pada tingkat yang relatif sama untuk jangka waktu yang sangat panjang, sedangkan belanja pemerintah melemah, investasi melambat dan impor turun tajam. https://www.bbc.com/news/world-asia-india-48609326 Ekonomi 2019 bertumbuh 5,06 persen (Q1), 5,05 persen (Q2), 5,01 persen (Q3) dan 4,96 persen dibandingkan periode sebelumnya (y.o.y). Secara tahunan, ekonomi 2019 tumbuh 5,02 persen. Lihat tabel. Data pertumbuhan ekonomi ini sangat meragukan, karena indikator ekonomi bulanan melemah, sehingga patut dicurigai ada manipulasi. Pertumbuhan ekonomi memang sangat mudah dibuat bias, alias dimanipulasi, dengan hanya mempermainkan tingkat inflasi (disebut deflator) pada setiap kategori konsumsi (rumah tangga, pemerintah, investasi, ekspor dan impor). Pertumbuhan ekonomi dapat dibagi menjadi dua, terdiri dari aktivitas domestik dan aktivitas perdagangan internasional (ekspor-impor). Pertumbuhan ekonomi 2019 dari aktivitas domestik secara konsisten turun terus dari 4,63 persen (Q1) menjadi 4,16 Persen (Q2), 3,86 persen (Q3) dan 3,16 persen (Q4). Data ini sesuai dengan data indikator bulanan yang terus melemah. Data perdagangan internasional (ekspor-impor) juga melemah. Tetapi, pertumbuhan net ekspor (ekspor – impor) bisa tumbuh positif sangat besar. Bahkan pertumbuhan net ekspor pada Q3/2019 mencapai 2,0 persen, lebih dari setengah pertumbuhan aktivitas domestik yang hanya 3,86 persen. Pertumbuhan net ekspor sebesar 2,0 persen ini diperlukan untuk ‘mempertahankan’ pertumbuhan ekonomi Q3/2019 menjadi sekitar 5,0 persen (dalam hal ini menjadi 5,01 persen). Caranya sangat mudah. Hanya memainkan tingkat inflasi (deflator) saja. Kalau inflasi dibuat lebih tinggi dari seharusnya, maka pertumbuhan ekonomi riil menjadi lebih rendah. Sebaliknya, kalau inflasi dibuat lebih rendah dari seharusnya, maka pertumbuhan ekonomi rill menjadi lebih tinggi: alias over-estimated, alias digelembungkan. Data inflasi (deflator) 2019 dapat dilihat di tabel di bawah ini. Pertama, indeks harga pembelian konsumsi pemerintah (deflator) jauh di bawah konsumsi rumahtangga (masyarakat). Kok bisa? Inflasi konsumsi pemerintah pada Q3/2019 hanya 0,77 persen, jauh di bawah inflasi konsumsi rumahtangga sebesar 3,46 persen. Bahkan inflasi konsumsi pemerintah pada Q4/2019 negatif 0,59 persen, alias deflasi. Sedangkan inflasi konsumsi rumahtangga pada Q4/2019 masih tinggi, 3,05 persen. Data inflasi untuk konversi nilai nominal menjadi nilai riil ini sangat aneh dan tidak bisa dipercaya.  Meskipun demikian, keanehan inflasi konsumsi pemerintah belum bisa membawa pertumbuhan ekonomi menjadi sekitar 5 lima persen. Untuk itu, perlu memainkan tingkat deflator (inflasi) ekspor-impor. Untuk ekspor, deflator dibuat rendah (agar nilai riil menjadi lebih tinggi), dan untuk impor deflator dibuat tinggi (agar nilai riil menjadi lebih rendah), sehingga net ekspor, yaitu ekspor minus impor, menjadi lebih tinggi. Sejalan dengan itu, maka inflasi (deflator) ekspor 2019 (dibuat) turun terus (deflasi) sejak Q1, dan terus membesar hingga mencapai minus (atau deflasi) 9,45 persen pada Q3. Sedangkan inflasi (deflator) impor dibuat relatif sangat tinggi, mencapai 5,22 persen pada Q1/2019, jauh lebih tinggi dari inflasi (deflator) konsumsi-konsumsi lainnya, dan kemudian secara perlahan-lahan turun (disesuaikan dengan target pertumbuhan 5 persen?). Kembali ke pertumbuhan ekonomi Q1/2024. Metodenya sama. Pertumbuhan ekonomi nilai nomial (harga berlaku) pada Q1/2024 hanya 4,26 persen saja. Tetapi pertumbuhan ekonomi riil (nilai konstan) pada Q1/2024 bisa mencapai 5,11 persen. Artinya, terjadi deflasi 0,81 persen pada Q1/2024 dibandingkan Q1/2023. Apa benar? Kemudian, yang perlu dipertanyakan secara kritis, apakah benar inflasi (deflator) investasi (Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto) hanya 1,14 persen, inflasi (deflator) ekspor minus 3,47 persen, dan inflasi (deflator) impor plus 2,11 persen? Atau sudah disesuaikan, alias dimanipulasi, untuk mendapatkan pertumbuhan ekonomi sekitar 5 persen? Kecurigaan ini masuk akal. Karena, banyak aktivitas ekonomi juga melambat pada Q1/2024. Antara lain, penjualan mobil dan penjualan motor, masing-masing turun 23 persen dan 4,87 persen pada Q1/2024. Maka itu, bagaimana mungkin ekonomi masih bisa bertumbuh 5,11 persen? https://otomotif.bisnis.com/read/20240414/46/1757301/penjualan-mobil-turun-23-pada-kuartal-i2024-cermin-ekonomi-tidak-baik-baik-saja https://otomotif.bisnis.com/read/20240421/273/1759087/penjualan-sepeda-motor-lesu-kuartal-i2024-aisi-berharap-harga-pangan-stabil Apakah BPS juga menggunakan sistem IT seperti Sirekap yang mempunyai bot otomatis, yang dapat menyesuaikan pertumbuhan ekonomi selalu di sekitar 5 persen, dalam kondisi apapun?

Sikap Politik PDIP Tak Jelas, Oposisi atau Koalisi

Jakarta | FNN - Dinamika yang terjadi dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PDI-Perjuangan pada akhir pekan dinilai menunjukkan “isyarat kuat” bahwa partai tersebut akan menjadi oposisi pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, menurut sejumlah pakar politik. Tapi mengapa PDIP belum mengumumkan sikap partainya secara resmi dan tegas? Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri menyatakan sikap partainya soal akan berada di dalam atau di luar pemerintahan “harus dihitung secara politik”. “Loh enak ae kalau menit ini saya ngomong, kan harus dihitung secara politik,” kata Megawati dalam pidato penutupan Rakernas PDIP di Jakarta pada Minggu (26/05) sambil menyinggung soal banyak pihak yang menantikan sikap politik partainya.\"Gua mainin dulu,\" kata Mega. Dia kemudian meminta kader-kader partainya untuk fokus pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang akan segera digelar. Namun Direktur Eksekutif Algoritma Research and Consulting Aditya Perdana sekaligus dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia menilai \"suasana kebatinan\" yang terlihat sepanjang rakernas menunjukkan bahwa PDIP tampaknya akan menempatkan diri sebagai oposisi. \"Tampaknya PDIP tidak akan masuk ke pemerintahan karena ada banyak kekecewaan kadernya terkait pelaksanaan Pemilu 2024,” kata Aditya kepada BBC News Indonesia. Dalam hasil rakernasnya, PDIP menyebut Pemilu 2024 sebagai \"yang paling buruk dalam sejarah demokrasi Indonesia\", meminta maaf atas perilaku kadernya yang \"tidak menjunjung tinggi etika politik\", dan menyoroti perlunya \"fungsi kontrol dan penyeimbang untuk meningkatkan kualitas demokrasi\". Pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor juga memprediksi bahwa kecenderungan PDIP untuk menjadi oposisi \"relatif kuat\". Hanya saja, PDIP disebut masih mempertimbangkan untung-rugi terkait sikap politik mereka hingga kepentingan elektoral jelang Pilkada. Apa hasil Rakernas PDIP? \"Pemilu 2024 adalah pemilu paling buruk dalam sejarah demokrasi Indonesia,\" kata Puan Maharani ketika membacakan hasil rakernas PDIP di Jakarta pada Minggu (26/05). Menurut PDIP, penilaian itu muncul karena telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan, intervensi aparat penegak hukum, pelanggaran etika, penyalahgunaan sumber daya negara, dan masifnya praktik politik uang. PDIP turut menyuarakan soal “evaluasi yang objektif” atas pelaksanaan Pemilu 2024. PDIP juga meminta maaf soal perilaku kader partai yang disebut tidak menjunjung tinggi etika politik, tidak berdisiplin, melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ideologi partai, serta melanggar konstitusi dan demokrasi. Poin lainnya menyoroti soal perlunya fungsi kontrol dan penyeimbang untuk meningkatkan kualitas demokrasi Indonesia. PDIP mendorong adanya perlakuan setara dan adil antara partai politik yang berada di dalam maupun di luar pemerintahan. Selain itu, suara arus bawah PDIP juga meminta agar Megawati hanya menjalin komunikasi politik dengan pihak-pihak yang berkomitmen tinggi menjamin agenda reformasi. Meski belum ada ketegasan dari Megawati selaku ketua umum partai, Ganjar Pranowo mengatakan bahwa poin-poin yang disampaikan dalam hasil rakernas tersebut telah menggambarkan arah politik PDIP. “Poin kedua dari rekomendasi tadi saya kira menjelaskan dengan sangat bagus bahwa mendorong pemerintah agar membuat regulasi yang adil terhadap partai yang berada di dalam pemerintahan dan di luar pemerintahan, saya kira pasti teman-teman sangat bisa membaca soal itu,\" kata Ganjar kepada wartawan. “Saya kira itu juga menggambarkan sikap politik yang ada di PDI Perjuangan, meskipun nanti resminya, ketua umum akan menyampaikan,” sambung Ganjar. Pengamat politik BRIN Firman Noor memprediksi bahwa sikap resmi PDIP nantinya tidak akan jauh melenceng dari rekomendasi yang disuarakan lewat rakernas. Firman mengatakan hubungan buruk dengan Jokowi akan menjadi penghalang terbesar bagi PDIP untuk bergabung ke dalam pemerintahan Prabowo-Gibran. \"Itu mengingat ada persoalan mendasar dari PDIP yang melihat bahwa pemerintahan yang baru ini dibentuk atas campur tangan sosok [Presiden Joko Widodo] yang punya riwayat buruk dengan PDIP,\" kata Firman ketika dihubungi. “Apalagi di dalam pemerintahan ini ada Gibran. Kalau PDIP bergabung ke dalam pemerintahan, itu sama saja seperti memberi pengakuan apa yang dilakukan oleh Gibran, Jokowi, itu sebagai sesuatu yang bisa diterima oleh PDIP,” jelas Firman. Pemilu 2024 disebut telah membuat PDIP merasakan \"tekanan rezim\" sehingga kandidat yang mereka usung gagal dan suara mereka dalam pemilu legislatif turun drastis. Menurutnya, permintaan maaf PDIP soal kader yang \"tidak menjunjung tinggi etika, melanggar konstitusi dan demokrasi\" hingga sindiran soal \"pemimpin otoriter populis\" jelas ditujukan kepada Jokowi. Jokowi sendiri tidak diundang untuk hadir dalam Rakernas V PDIP. Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan yang diundang adalah \"mereka yang memiliki spirit menjaga demokrasi hukum\". Hitung-hitungan politik PDIP Setelah memperlihatkan isyarat-isyarat itu, lalu mengapa PDIP belum juga menegaskan sikap politiknya? Pengamat politik UI Aditya Perdana menilai itu karena PDIP masih ingin menilik untung-rugi dari posisi yang mereka ambil dalam pemerintahan selanjutnya. Keputusan akhirnya, menurut Aditya, akan sangat bergantung pada seberapa jauh Jokowi dilibatkan dalam pemerintahan Prabowo-Gibran. \"Mereka masih akan melihat seberapa dominan peran Jokowi di pemerintahan Prabowo, dan seberapa jauh akomodasi politik yang bisa ditawarkan oleh Prabowo kepada PDIP,\" kata Aditya. Apalagi, hubungan politik Megawati dengan Prabowo dinilai masih tergolong baik meski berbeda kubu. Sementara itu, Firman Noor mengatakan PDIP akan mempertimbangkan kepentingan-kepentingan politiknya pada level daerah, terutama menjelang Pilkada 2024. \"Kalau sikap politik mereka diumumkan secara tegas, mereka khawatir itu akan menjadi hambatan politik dalam membangun koalisi di daerah-daerah,\" ujar Firman. \"Kecenderungannya pada pilkada kali ini, PDIP banyak bergabung dengan Golkar, bahkan juga membangun koalisi dengan Gerindra. Ini juga menjadi bagian perhitungan,\" tuturnya. Ketika dihubungi terpisah, kader PDIP Chico Hakim mengatakan bahwa hitung-hitungan politik yang dimaksud oleh Megawati bukan semata soal kursi kekuasaan. “Tapi juga soal ideologi, bagaimana visi dan misi dari presiden dan wakil presiden terpilih, apakah sesuai dengan visi-misi kami,” kata Chico. Menurutnya, PDIP juga akan mempertimbangkan bagaimana fungsi kontrol dan penyeimbang akan berjalan di pemerintahan selanjutnya. Fungsi kontrol dan penyeimbang, dalam pandangannya, bisa dilakukan dari dalam pemerintahan meskipun dia mengakui akan lebih efektif jika dlakukan dari luar pemerintah. Dia menuturkan bahwa PDIP tidak mau buru-buru menentukan sikap karena \"menyadari keputusan kami sangat penting bagi siapa pun yang akan menyusun pemerintahan ke depan\". Chico juga mengatakan bahwa komunikasi politik dengan kubu Prabowo \"tidak pernah tertutup\". \"Nanti kita lihat saja bagaimana ke depannya, dan seperti yang disampaikan Ibu Megawati, yang jadi fokus hari-hari ini adalah memperkuat barisan menghadapi pilkada serentak,\" kata Chico. Seberapa signifikan sikap PDIP?Sejauh ini, koalisi dari partai-partai pendukung Prabowo-Gibran akan menguasai lebih dari 50% kursi di parlemen. Koalisi itu terdiri dari Partai Golkar yang meraih 15,29% suara, Gerindra sebanyak 13,22% suara, Partai Amanat Nasional (PAN) sebanyak 7,24% suara, dan Partai Demokrat sebanyak 7,43% suara. Partai Nasdem (9,66%) dan Partai Kebangkitan Bangsa (10,61%) yang tadinya mendukung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar juga telah merapatkan barisan ke kubu Prabowo-Gibran. Itu artinya hanya tersisa dua partai yang belum menentukan sikap. Pertama, PDIP sebagai pemenang pileg dengan suara sah sebesar 16,72% dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan suara sah sebesar 8,42%. Meski kalah jumlah, Firman Noor mengatakan sikap politik PDIP “tetap penting” dalam mengawasi kinerja pemerintahan Prabowo-Gibran. Apalagi, posisi Ketua DPR diprediksi akan kembali diisi oleh Puan Maharani. “Setidaknya peran oposisi itu tetap ada dan dijalankan, sehingga pemerintah ketika membuat kebijakan itu tidak semudah raja menitahkan perintahnya,” kata Firman. (BBC).

Megawati Sukarnoputri: Saya Ini Dicap Ratu Preman

Jakarta | FNN - Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputri secara langsung menjuluki dirinya sendiri sebagai `ratu preman.  Pernyataan tersebut disampaikan Megawati saat pidato penutupan Rakernas V PDIP di Ancol, Jakarta Utara. Minggu (26/5). Awalnya, Megawati menyatakan bahwa sikap terbaik yang harus dilakukan PDIP sekarang yakni menyiapkan Pilkada. Para calon dan kader harus turun ke lapangan dan memberi edukasi politik ke masyarakat. \"Sikap yang terbaik sekarang adalah sudahlah turun ke akar rumput untuk persiapan Pilkada ini, digalang rakyat, dikasih pengetahuan. Jangan enak-enak kamu kasih tahu kalau di amplop itu ada Rp 1 juta. Eh ini permainan bener lho,\" katanya. \"Makanya ibu tuh suka penasaran aku nih kan dulu sama anak-anak waktu zaman PDI, mana si Rahmat, aku ini dibilangnya ratu preman lho, lho iya, kenapa? Kayak preman aja. Aku gak pernah mau percaya,\" lanjut dia. Megawati mengartikan ratu preman itu sebagai sosok yang tidak mudah goyah dengan segala bentuk godaan uang. Maka dari itu, dia meminta agar para kader tidak mudah tergiur dengan segala godaan jalan pintas politik memakai uang. \"Itu kebenaran lho, saya nanya ibu gimana ternyata isinya gak Rp 1 juta tapi Rp 300 ribu, ya siapa suruh nerima. Gitu aku. Enak aja. Mungkin tampangku kan cantik pintar seperti baik hati? Ratunya PDIP, eh tapi aku ratu preman lho,\" ucap dia. (ant)

Mengenang Sisi Lain Bung Salim Said

Oleh H. Zainal Bintang l Wartawan Senior Setelah dirawat kurang lebih dua puluh hari di RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo) Jakarta, Prof. Salim Haji Said akhirnya wafat pada hari Sabtu 18 Mei 2024 yang lalu.   Sejak hari wafatnya, sampai hari ini ruang publik dibanjiri sejumlah pemberitaan, tulisan khusus, testimoni dan riwayat hidup lengkap almarhum. Ditulis oleh teman – teman, sahabat dan pengamat politik, maupun pengamat media yang mengenal dekat almarhum. Termasuk riwayat pendidikan, masa kecil di kampung, masa muda di bangku kuliah. Termasuk ketika studi di Amerika Serikat dan memperoleh gelar sebagai ilmuwan politik dengan menyandang gelar Profesor. Namun ada kenangan khusus yang tertoreh  dengan tinta emas dalam memori batin tentang almarhum. Khususnya  yang terkait dengan posisinya sebagai kritikus film (Indonesia), yang terbilang keras dan blak – blakan pada awal 70an. Apalagi tulisan itu dimuat di media  bergengsi : Majalah Tempo. Almarhum secara blak - blakan menyebut film nasional sebagai “barang dagangan”. Padahal produksi film Indonesia saat itu baru saja mulai berjuang bangkit kembali di awal 70an itu , di era pemerintahan Orde Baru (Soeharto). Tentu saja pernyataan almarhum itu mendapat tentangan dan tantangan bahkan kecaman keras pula dari kalangan pembuat film, yang justru sedang bekerja keras membangkitkan kembali perfilman nasional  yang terpuruk oleh situasi politik di era Bung Karno. Pernyataan almarhum memantik kemarahan orang – orang film. Karena mereka merasa justru telah membuat film nasional yang mengusung misi sebagai produk kultural yang Indonesia. Dedengkot kebangkitan film Indonesia paskah peristiwa G30S/PKI yang marah itu, tercatat seperti Sumardjono, Wahyu Sihombing, Misbach Yusabiran, Syumanjaya, Arifin.C.Noer, Teguh Karya (Steve Liem) untuk menyebut beberapa nama. Nama – nama besar itu adalah tokoh seniman Orde Baru (film, teater dan sastra) di era awal pemerintahan Soeharto 1965 : mereka yang selama ini tertekan sekian lama oleh kiprah seniman beraliran kiri yang dimotori Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) – yang lebih politis ketimbang sebagai narasi seni  dan budaya, di era didalam kurun masa pemerintahan  Orde Lama Soekarno 1945 – 1965. Saya mengenal lebih dalam dengan almarhum pada tahun – tahun menjelang terbit Majalah Tempo, tahun 70an. Hingga kemudian terbitnya Majalah Tempo, Dimana almarhum salah seorang pendirinya. Pada saat itu, pada awal – awal terbit almarhum banyak berkunjung ke Makassar. Bertemu dengan tokoh – tokoh senior seniman – budayawan di dalam iklim kebebasan berekspresi pada era Orde Baru. Saya sebagai pendatang baru (yunior, umur saya lebih muda 3 tahun), memang tidak dikenal almarhum sebelumnya. Dia lebih familiar dengan tokoh – tokoh seniman, budayawan dan wartawan senior di Makassar. Sebutlah nama seperti Rahman Arge, Arsal Alhabsi, Husni Djamaluddin dan Ali Walangadi. Namun dikarenakan kunjungannya ke Makassar sangat sering, maka lama kelamaan sayapun menjadi dekat dengan almarhum. Ketika, pada awal – awal maraknya pertunjukan seni budaya (sastra, teater, film dan seni rupa serta seni tari)  di TIM (Taman Ismail Marzuki), persentuhan dengan Bung Salim, - demikian kami para sahabat dekatnya memanggilnmya -, semakin intens. Sebagaimana diketahui, TIM itu adalah sebuah kompleks kesenian dan kebudayaan. Sebuah “hadiah” kebudayaan yang dihibahkan oleh Gubernut DKI Jakarta waktu itu, Ali Sadikin. Sebuah kebijakan yang berharga dan amat sangat kultural yang dilakukan Ali Sadikn untuk memberi wadah berhimpun dan berkreasi yang representativ untuk kegiatan seni dan  budaya di Jakarta. Hal itu dipandang penting Ali Sadikin, mengingat fungsi Jakarta sebagai ibukota negara. Dengan sendirinya perlu suatu wadah representasi kegiatan kebudayaan yang berkualitas tinggi. Kurang lebih seperti itulah sudut pandang Ali Sadikin, menurut cerita teman – teman seniman dari seluruh Indonesia yang pernah menikmati pementasan karya seni dan budaya yang bergengsi dan lengkap itu. Terutama, karena mudahnya komunikasi antara awak media, baik cetak maupun televisi dengan para seniman – budayawan dari seluruh Indonesia yang bermarkas di TIM, maka dengan mudah pula pertunjukan kesenian tersebut terberitakan ke seluruh Indonesia, bahkan ke luar negeri. Saya beruntung sempat tinggal menetap selama kurang lebih enam bulan awal 70an di Wisma Seni, di TIM. Wisma Seni adalah suatu kompleks penginapan bagi seniman – budayawan dar seluruh Indonesia yang diundang oleh TIM ke Jakarta untuk menggelar kegiatan seni budaya ciri khas daerah masing . masing. Waktu itu saya kebetulan sedang mengikuti pendidikan atau Loka Karya Penulisan Skenario Film yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) bertempat di TIM. Saya bergabung sebagai delegasi dari Makassar (Sulsel). Meskipun hal itu adalah daya upaya saya pribadi. Pada momen itulah saya berkenalan banyak tokoh besar seniman sastra, teater, lukis, tari dan film kaliber nasional dan internasional. Dan selanjutnya, sayapun mangkal di TIM. Karena kemudian bertugas sebagai wartawan kebudayaan untuk menonton dan menulis resensi atau kritik pertunjukan teater dan film yang saya saksikan secara (tentunya) gratis. Saya menulis untuk Harian Angkatan Bersenjata Dimana saya bekerja salah sebagai salah seorang redaktur kebudayaan. Meskipun Harian Angkatan Bersenjata koran tantara, namun ada rubrik kebudayaan yang terbit sekali seminggu yang menyajikan tulisan terkait dengan masalah seni dan budaya, untuk memberi pesan kepada masyarakat, pemberitaan koran itu tidak mesti melulu dipenuhi berita disekitar panser dan granat (saya ingat, istilah inipun dilontarkan kepada saya oleh almarhum).  Mengingat posisi  saya sebagai wartawan, maka dapat dispensasi bebas menonton semua pertunjukan kesenian yang saya sukai, seperti, pementasan teater, pembacaan puisi dan pertunjukan film di TIM. Pada masa – masa penugasan itulah saya mengenal dekat sedjumlah dedengkot teater, seperti, sebutlah “Si Burung Merak”  WS. Rendra pemimpin “Bengkel Teater”, Yogya. Arifin C.Noer pimpinan “Teater Kecil”, Putu Wijaya ponggawa “Teater Mandiri” dan Wahyu Sihombing, alumni ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia) yang mengomandoi  grup teater Alumni LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta). Sebagai krtikus (penulis resensi film dan teater) dengan sendirinya saya banyak bersentuhan dengan tokoh – tokoh perfilman, seperti beberapa nama yang telah saya sebutkan diatas. Dari pergaulan akrab tersebutlah, saya sekaligus mendengar langsung komentar, reaksi dan kecaman keras mereka terhadap Bung Salim, yang dianggap sok tahu dan main kritik hantam kromo seenaknya. Soalnya, Bung Salim memberi label film Indonesia yang mulai bangkit di di awal Orde Baru itu, sebagai bukan karya seni – budaya, tapi diposisikan sebagai “barang dagangan” semata. Suatu konotasi negatif kepada  para produser film Indonesia diawal kebangkitan kembali film nasional, yang memang didominasi pengusaha orang India dan Tionghoa. Bagi Bung Salim, film Indonesia yang ramai diproduksi waktu itu : unsur kulturalnya nyaris Nol. Lebih didominasi semangat dagang!!. Produser itu dituduh almarhum lebih memikirkan bagaimana caranya biaya produksi film yang lumayan besar itu, dapat cepat menghasilkan uang banyak (keuntungan besar). Mayoritas produser itu adalah importir dan pengedar film India dan Mandarin. Itulah sebabnya, tidak mengherankan kemudian, apabila publik menyaksikan banyak produksi film Indonesia yang tema ceritanya diadopsi mentah – mentah, alias hanya “difotocopy”  dari film India dan Mandarin yang menjadi bisnis utama para produser tersebut. Keakraban saya dengan almarhum membuat saya setiap saat dapat datang ke pemondokannya, di bilangan Matraman Dalam. Sebuah lokasi eks bangunan kantor Koramil (kalau tidak salah ingat) yang sangat sederhana. Hanya terdiri satu kamar tamu merangkap kamar tidur. Berlantai ubin dan dinding batu. Tempat tinggal itu menurut informasi dan dibenarkan Bung Salim, adalah pemberian tokoh militer yang top pada awal pergerakan Orde Baru, yaitu Letkol Sarwo Edhie. Sebagai salah seorang tokoh aktifis demonstran Angkatan 66 dari Universitas Indonesia (UI), almarhum sangat dekat dengan Sarwo Edhie. Mertua mantan Presiden SBY ini adalah pembela gerakan mahasiswa Angkatan 66 yang mengalami tindakan penumpasan dan penangkapan dengan kekerasan oleh militer Orde Lama, sisa - sisa pendukung Bung Karno. Kedekatan almarhum dengan tokoh militer Orde Baru, karena almarhum adalah mantan wartawan surat kabar harian “Pelopor Baru” dan surat kabar harian “Angkatan Bersenjata”. Kedua surat kabar diterbitkan pemerintah Orde Baru yang mayoritas tokoh – tokohnya adalah perwira tinggi pendukung Jenderal Soeharto. Mereka juga mendirikan kantor berita militer yang bernama “PAB” (Pusat Pemberitaan Angktan Bersenjata). Lembaga kantor berita “PAB”  didirikan untuk menangkal dan mengcounter pemberitaan miring sejumlah media yang waktu itu kebanyakan dikuasai oleh wartawan beraliran kiri yang memanfaatkan kebesaran nama Bung Karno. Pada saat – saat mana Bung Karno sedang menggodok wadah penyatuan berbagai aliran berbeda dengan membentuk poros Nasakom (Nasional, Agama dan Komunis). Sebagai wartawan media militer, Bung Salim mendapat akses dengan petinggi militer yang bergerak di media. Khususnya dengan  Kolonel TNI – AD, R.H. Sugandhie atau lebih akrab dengan panggilan “Pak Gandi”. Rumahnya terletak di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Belakangan, di awal tahun 70an sayapun merapat di rumah Pak Gandi. Selain karena saya wartawan Harian Angkatan Bersenjata, saya juga menjadi pengurus salah satu ormas (organisasi kemasyarakatan), yang menjadi wadah generasi muda. Berinduk pada Ormas MKGR (Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong). Ketua Umumnya adalah Bapak R.H. Sugandhie. Ormas MKGR adalah salah satu dari Ormas “Tri Karya”. Yang dua lainnya adalah Ormas Kosgoro (Koperasi Gotong Royong) dipimpin oleh Kolonel Mas Isman, serta Ormas SOKSI (Sentral Organisasi Karyawan Seluruh Indonesia),dipimpin oleh Kolonel Suhardiman. Ketiga Ormas itu sengaja dibentuk oleh pemerintah Orde Baru Soeharto untuk menangkal  dan memotong kegiatan ormas bentukan pemerintah Orde Lama yang berbau kiri di tataran akar rumput. Untuk membersihkan pengaruh sisa – sisa komunis. Bung Salim tinggal sendirian di rumahnya itu (pondokan). Dibagian didepan, ruangan tamu merangkap ruangan tidurnya. Berukuran kurang lebih 3 x 4 meter. Disana tergelar kasur diatas ubin (tidak ada bangku tempat tidur).  Di kiri kanan nampak ratusan buku almarhum yang terawat dengan baik. Setiap kali almarhum, mau berangkat sekolah ke AS, dia sering ke rumah saya. Waktu itu saya ngontrak di daerah Tomang di depan Super Market Hero pada 1974 - 1980. Suatu ketika almarhum datang naik mobil dinas dari Majalah Tempo, yaitu Honda Life mini 2 pintu.  Warna merah tua maroon. Dia menyetir sendiri. Almarhum baru saja pintar nyetir mobil. Dia mendapat jatah kendaraan operasional tanpa sopir dari kantor. Yang terkesan sekali diingatan saya, ialah ketika pada suatu hari, almarhum datang ke rumah saya. Waktu itu tiba – tiba saja ada sedikit kehebohan. Rupanya, sebelum masuk menemui saya dalam rumah, almarhum menyuruh pembantu saya, perempuan muda bernama Inem. Umur belasan tahun. Baru datang dari Jawa. Rupanya Si Inem disuruh almarhum ke warung membelikan  rokok merk “Benson & Hedges” yang bungkusnya bahan karton berwarna kuning keemasan. Mewah sekali. Rokok kegemarannya. Tapi pembantu saya itu rupanya salah dengar. Ketika sang pembantu  cukup lama belum pulang kembali ke rumah, almarhum menunggunya depan rumah sambil berdiri depan pagar. Tidak lama kemudian, almarhum keheranan melihat pembantu itu kembali dengan menumpang becak, dan membawa jerigen berisi bensin lima liter. Kami semua berpandangan keheranan atas kedatangan pembantu tersebut dengan bawaannya yang “aneh”. Waahh..... Rupanya pembantu itu salah dengar. Dia menyangka disuruh beli bensin. Sebagai orang baru dari kampung, dia tidak mengerti kalau ada merk rokok bernama “Benson & Hedges”. Paling banter yang sering didengar dari percakapan di kampung mungkin cuma rokok Kansas atau kretek Gudang Garam. Sisi lain Bung Salim yang saya catat, dia termasuk tokoh humanis alias tidak menyenangi kekerasaan, meski dia berdarah Bugis. Suatu ketika, masih dalam kurun waktu usia 20an, saya ada sedikit masalah salah faham dengan seseorang di kalangan perfilman, yang berakhir dengan pemukulan oleh saya. Maklum baru beberapa tahun di Jakarta, dari Makassar. Bung Salim yang mendengar kasus itu memberi nasehat kepada saya, “kita merantau jauh – jauh dari kampung halaman karena mau menambah teman, bukannya harus mencetak musuh”. Kesan saya kemudian, almarhum menghadapi semua reaksi atas semua kritik kerasnya tidak dihadapi dengan kontra kekerasan. Tetapi dengan narasi ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, karena diolah dari hasil penelitiannya. Menurut saya, itulah akar kekuatan almarhum, berselancar dengan narasi objektif menghadapi reaksi atau serangan balik dari berbagai kalangan yang tentunya sangat subjektif dan berbasis emosional.Innalillahi Wainna Ilaihi Rajiun. Almarhum telah dipanggil oleh Sang Pencipta. Mari kita doakan, semoga almarhum mendapatkan tempat yang lapang dan layak disisi Allah Swt. Amin Yra. Wassalam... Jakarta, 25 Mei 2024

Bermula dari New York, Diaspora Mengkritisi Tanah Air

Oleh Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan MABRUK Forum Tanah Air (FTA) forum diaspora Indonesia lima benua. Sebaran di 21 Negara tentu strategis. Mulai dari AS, Inggris, Kanada, Perancis, Jerman, Belanda, Turki hingga Emirat, Jepang, Mesir dan lainnya. Berpusat di New York dan didukung oleh jaringan 38 Propinsi di tanah air. Bagi Tata Kesantra, Ketua Umum FTA perkembangan ini tentu membahagiakan karena menunjukkan bahwa semakin banyak diaspora Indonesia yang memiliki kepedulian terhadap tanah airnya.  Kepedulian itu berawal dari keprihatinan terhadap kondisi budaya, hukum, ekonomi dan politik Indonesia yang dinilai sangat tidak bagus. Khususnya pada 10 tahun terakhir. Kaum diaspora yang menjadi \"duta bangsa Indonesia\" merasa malu untuk menampilkan diri jika kondisi buruk negeri tidak segera diperbaiki. Inilah yang menjadi misi mulia FTA yakni ikut berkontribusi untuk menata kehidupan budaya, hukum, ekonomi dan politik tanah air tersebut.  Penguatan FTA di berbagai negara diharapkan berkonsekuensi pada penguatan perjuangan institusi perjuangan di tanah air. Dalam pertemuan halal bil halal FTA dengan tokoh dan aktivis nasional di Hotel Balairung Matraman tanggal 25 Mei 2024 tercetus keinginan untuk memperkuat perjuangan bersama dalam rangka perbaikan bangsa dan negara.  Filosofi yang hendak dibangun adalah agar Forum \"Tanah Air\" yang menghimpun diaspora Indonesia di berbagai negara dapat memancarkan \"Air Tanah\" yang subur dan menyejukkan. Kekuatan internal dalam negeri yang efektif dan strategis bagi perbaikan dan perubahan ke arah yang lebih baik, demokratis,  bermartabat dan berdaulat.  Sekurangnya empat kedaulatan yang harus dipulihkan dalam konteks perbaikan dan perubahan tersebut, yaitu : Pertama, kedaulatan Ilahi sebagaimana konstitusi mengingatkan bahwa kemerdekaan negara Indonesia itu adalah \"Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa\". Kedaulatan Tuhan harus ditegakkan dan menjadi pilar utama bagi kehidupan berbangsa. Tidak tergerus oleh penghambaan materi yang membawa perilaku budaya politik yang pragmatis, transaksional dan sekuler.  Kedua, kedaulatan rakyat. Pemulihan dengan melawan kedaulatan sekelompok kecil orang berkuasa yang bernama oligarki baik oligarki politik maupun bisnis. Parlemen yang terkooptasi dan aparat yang menjadi alat kekuasaan sentralistik. Rakyat yang teriming-iming dan termobilisasi sebagai korban dari pembodohan dan kezaliman penguasa.  Ketiga, kedaulatan hukum dengan mengupayakan agar hukum berkedudukan  sebagai panglima serta fungsional untuk mengendalikan kekuasaan. Mengubah kenyataan dimana hukum yang justru menjadi alat dari kekuasaan. Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat) bukan negara kekuasaan (machtstaat).  Keempat, kedaulatan negara dalam arti negara harus merdeka dan mandiri. Tidak terkendali oleh negara adidaya manapun. Mewaspadai negara China yang potensial menghegemoni dan mengkooptasi. Mulai dari hutang dan investasi kemudian infiltrasi dan invasi. China adalah ancaman negeri.  Air tanah yang memancar dan mengalir dari bumi sendiri diijaga dan dibela oleh para pejuang tanah air baik yang berada di luar maupun dalam negeri dengan motto \"hubbul wathon minal iman\"--cinta tanah air itu bagian dari iman.  Forum \"diaspora\" Tanah Air bermisi mulia untuk bersama \"pribumi\" menjaga dan membela Air Tanah yang merupakan wujud dari kedaulatan Ilahi, kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum dan kedaulatan negara.  Orisinalitas amanat \"the founding fathers\" negara indonesia ditujukan khusus untuk Forum Tanah Air (FTA) di lima Benua. Bermula dari New York Amerika.  Selamat berjuang! (*)

Gelora: Partai yang Tidak Dapat Kursi di DPRD Harus Diberikan Hak Ajukan Calon Seperti di Pilpres

Jakarta | FNN - Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia secara resmi telah mengajukan gugatan uji materi Pasal 40 ayat (3) Undang-undang Nomor 10 Tahuh 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Uji materi tersebut telah didaftarkan ke MK pada Selasa (21/5/2024) lalu. Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada yang berbunyi: Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan itu hanya berlaku untuk Partai Politik yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.  Hal itu dianggap bertentangan dengan pasal Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Ketentuan threshold dalam pilkada  tersebut juga dinilai tidak konsisten dalam penerapan basis threshold, antara ketentuan di Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), padahal masih dalam satu rezim Pemilihan Umum.  Dalam ketentuan presidential threshold tersebut, ditegaskan bahwa\"Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya\". \"Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada ini kita gugat, karena pengusulan pasangan kepala daerah oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki kursi di DPRD. Coba kita perbandingkan dengan penerapan di presidential threshold yang basisnya tegas yaitu hitungan kursi atau suara, tidak ditambahi embel-embel suara partai yang memperoleh kursi di DPR seperti dalam UU Pilkada tersebut,\" kata Amin Fahrudin, Ketua Bidang Hukum dan HAM DPN Partai Gelora dalam keterangannya, Senin (27/5/2024). Karena itu, apabila partai politik yang memperoleh suara pada Pemilu 2024 tetapi tidak memperoleh kursi DPRD, tidak diberikan hak untuk ikut mengusulkan pasangan calon. \"Saya kira ini perlu dicek kembali dalam risalah sidang revisi UU Pilkada 2016 mengapa memasukkan unsur suara partai harus memiliki kursi,\" katanya. Amin menilai, aturan pengusungan pasangan calon kepala daerah yang diatur dalam Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada tersebut merupakan dugaan penyelundupan pasal yang dilakukan oleh DPR sebagai Lembaga legislasi karena bertentangan dengan Putusan-Putusan MK sebelumnya dan sudah menjadi yurisprudensi. Bahwa substansi norma Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 a quo pada dasarnya sama dengan rumusan penjelasan Pasal 59 ayat (1) Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang berbunyi \"Partai politik atau gabungan partai politik dalam ketentuan ini adalah partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki kursi di DPRD\". Di mana Penjelasan Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU 32/2004) tersebut telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor No. 5/PUU-V/2007. Sehingga, dengan diberlakukannya kembali substansi norma yang jelas-jelas telah terjadi penyelundupan hukum dan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat ini telah menimbulkan ketidakpastian hukum terkait konstitusionalitasnya.  Adapun dalam Putusan itu, pada pokoknya MK menyatakan, parpol yang tidak mempunyai kursi DPRD, sepanjang memperoleh suara pada Pemilu DPRD, harus diberikan hak untuk ikut mengusulkan pasangan calon di Pilkada. \"Oleh karena MK sudah pernah menyatakan inkonstitusional aturan tentang pengusulan paslon yang hanya dikhususkan untuk parpol yang mempunyai kursi DPRD saja, maka logisnya MK juga bisa dengan mudah membatalkan kembali aturan tersebut,\" katanya. Menurut Amin, basis threshold dalam Pemilu adalah suara rakyat sebagai penghargaan terhadap sistem demokrasi, baik yang memperoleh kursi di DPRD maupun tidak memperoleh kursi. \"Apakah kemudian partai memperoleh kursi atau tidak, hal tersebut, tetap tidak bisa menghilangkan suara rakyat,\" tegas Amin. Partai Gelora berharap ada konsistensi penggunaan basis penggunaan threshold berdasarkan kursi atau suara harus diterapkan secara konsisten untuk menghadirkan keadilan dan kepastian hukum. \"Calon independen saja boleh yang mengumpulkan dukungan tidak lewat pemilu, mengapa suara sah partai dalam pemilu diabaikan,\" kritik Amin. Amin menambahkan, Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada bertentangan dengan setidaknya enam prinsip yang diatur dalam konstitusi, dalam hal ini UUD 1945. Di antaranya, prinsip kedaulatan rakyat yang diamanatkan Pasal 1 ayat (2), prinsip Negara Hukum diamanatkan Pasal 1 ayat (3), prinsip demokrasi pilkada diamanatkanbPasal 18 ayat (4), prinsip persamaan dimuka hukum diamanatkan Pasal 27 ayat (1), prinsip atas hak kolektif membangun masyarakat, bangsa, dan negara pada Pasal 28C ayat (2), serta prinsip kepastian hukum yang adil yang diatur Pasal 28D ayat (1). \"Kami sangat yakin permohonan ini akan dikabulkan dan diputus secara cepat oleh MK sebelum masuknya tahap pendaftaran pasangan calon tanggal 27 Agustus 2024,\" ujarnya. Seperti diketahui, Partai Gelora dan Partai Buruh bersama-sama mengajukan permohonan uji materiil Pasal 40 ayat (3) Undang-undang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK).  Ketua Tim Kuasa Hukum Partai Gelora dan Partai Buruh, Said Salahudin menyampaikan pihaknya menggugat norma pasal tersebut karena dinilai tidak adil. \"Sebab, Pasal 40 ayat (3) menentukan pencalonan di pilkada hanya bisa dilakukan oleh parpol atau gabungan parpol yang mempunyai kursi DPRD saja. Sedangkan parpol yang memperoleh suara di Pemilu 2024 tetapi tidak memperoleh kursi DPRD, tidak diberikan hak untuk ikut mengusulkan paslon,\"kata Said di Gedung MKRI, Jakarta Pusat, Selasa (21/5/2024). (*)

Mencari Pemimpin Tegas dan Mencerahkan

Oleh Darwin Zahedi Saleh l Pemerhati Energi(Menteri ESDM Era Presiden SBY dan Ekonom Universitas Indonesia) Pihak yang tidak mau diajak bergabung jangan ganggu pemerintahan saya,” tegas Pak Probowo Subianto sang Presiden Terpilih (Kompas, 16 Mei 2024). Mungkin bagi sebagian orang itu mengejutkan, tetapi boleh jadi biasa saja bagi sebagian yang lain. Yang jelas, terasa sebagai nada bicara yang teguh tanpa keraguan dan tetap hati untuk melangkah ke depan. Cocokkah gaya kepemimpinan demikian untuk kita? Mari tengok kesimpulan perbincangan Ali Wardhana, Jacob Oetama dan Rais Abin di tahun 2002.  Menurut ketiga tokoh terkemuka itu--kini telah wafat semua—Indonesia memiliki permasalahan yang kompleks sehingga memerlukan pemimpin yang memenuhi kriteria “enlightened autocratic leadership”. Kepemimpinan yg tegas sangat diperlukan, tetapi agar tidak menjadi otoriter atau diktator perlu ciri \"enlightened\", sehingga pemimpin dimaksud adalah seorang yg visioner, arif dan punya keteguhan jiwa. Tetapi juga beretika, dalam arti menjunjung norma dan nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat kita. Kompleksitas permasalahan di Indonesia bersifat unik, dipengaruhi oleh kondisi geografi, demografi dan kekayaan alamnya. Pengalaman menunjukkan bahwa sungguh tidak mudah mencukupi kebutuhan dasar—misalnya pangan atau energi—bagi penduduk yang jumlahnya nomor empat terbanyak di dunia ini. Pangan atau energi tidak hanya mesti tersedia (available), tetapi juga harus mudah dijangkau (accessible) dan terjangkau daya beli rakyat (affordable). Masalahnya, pola persebaran penduduk dan sumber daya alam di Indonesia berbeda: mayoritas penduduk (hampir 80%) tinggal di Jawa dan Sumatera, di lain pihak SDA (sumber pangan atau energi) tersebar di daratan dan perairan nusantara. Akibatnya, isu infrastruktur transportasi dan distribusi logistik di negeri kepulauan terbesar di dunia ini menjadi sangat problematis agar pangan atau energi dapat available, accessible dan affordable. Di sanalah masalahnya.  Pikiran pragmatis atau “short-sighted” kita cenderung memilih jalan mengimpor saja kebutuhan pangan atau energi, dengan alasan lebih murah, lebih mudah dan efisien. Tentu saja karena ada rente ekonomi di situ. “Mengutip” sedikit saja, asalkan rutin, dari kegiatan importasi —dari setiap nilai barel minyak atau BBM, ataupun dari setiap tonase impor gandum, kedelai atau daging sapi— menghasilkan keuntungan yang sangat besar.  Lebih dari cukup kalau untuk mensponsori arah suatu kebijakan atau sekadar membiayai kebutuhan kampanye calon pemimpin di tingkat nasional.Tetapi, impor energi atau pangan dapat membahayakan ketahanan ekonomi bangsa bila berlebihan. Itu mesti diwaspadai. Bagaimana bila sistem perizinan dan kebijakan importasi itu melibatkan atau mendapat kemudahan, misalnya, dari orang-orang penting di sekitar presiden?  Siapkah Pak Prabowo meng-“handle the truth” bila kelak kasus-kasus demikian dijumpainya? Mudah dibicarakan, sungguh sulit dipraktekkan! Dalam mengatasi kebutuhan energi dan pangan, selama ini kita sepertinya terperangkap dalam lingkaran setan (vicious cycle). Saat ini, Indonesia cuma mampu memenuhi 40% persen kebutuhan BBM-nya. Sudah hampir tiga puluh tahun tidak ada pembangunan kilang baru untuk mengolah minyak menjadi BBM.  Perlu kapasitas kilang 1,5 hingga 2 juta barel per hari agar Indonesia tidak perlu bergantung pada BBM impor. Pemerintahan Jokowi sudah merencanakan pembangunan kilang sejak tahun 2015—belakangan cukup serius dengan adanya proyek Refinery Development Master Plan dan Grass Root Refinery—tetapi belum ada kemajuan yang berarti.  Presiden pun suatu kali dibuat jengkel dan curhat tentang itu di ruang publik.Pembangunan kilang baru ataupun penambahan kapasitas kilang sebetulnya hanya menjawab sebagian masalah. Dari sisi penawaran, percepatan diversifikasi bahan bakar nabati ataupun segera meng-konkretkan gasifikasi atau likuifaksi batubara penting dalam mengurangi tingginya ketergantungan pada impor BBM. Dari sisi permintaan, kebijakan sektor transportasi ataupun pembangkitan listrik yg lebih tepat akan besar pengaruhnya.  Tetapi sungguh tidak mudah. Adabanyak vested di sektor energi, transportasi maupun industri otomotif.Impor minyak dan BBM untuk kebutuhan energi di negeri kita sudah terlalu besar, akibatnya surplus hasil ekspor nonmigas (2023:$ 57 milyar) terpangkas oleh defisit migas (2023:$ 20 milyar). Hal itu terutama disebabkan oleh begitu besarnya impor minyak mentah dan BBM senilai $ 32,1 milyar, untuk tahun 2023 lalu. Begitu pula kurang lebih gambaran tahun-tahun sebelumnya.  Kebutuhan impor minyak yang sangat besar itu pada hakikatnya diredam oleh hasil ekspor batubara, yang menyumbang 55-60% dalam ekspor non migas kita. Malangnya, itu semua dibayar mahal dengan penggalian drastis cadangan batubara kita, sehingga Indonesia menjadi eksportir batubara terbesar di dunia. Itu memprihatinkan, tidak pantas dibanggakan. Cadangan batubara Indonesia hanya sekitar 3% cadangan dunia. Bandingkan dengan negara lain yg cadangannya jauh lebih besar Amerika (23%), Rusia (15%), Australia (14%) cadangan duniatetapi ketiganya berada di urutan setelah Indonesia. Tujuan ekspor batubara Indonesia terutama ke India dan China, keduanya justru memiliki 3 hingga 4 kali lipat cadangan batu bara Indonesia, jauh lebih besar. Tidak seperti bangsa lain, kita abai dalam mengkonservasi penggunaan batubara ataupun SDA kita. Perlu sejumlah mata uang dollar yg sedemikian besar untuk impor minyak, akibatnya nilai tukar rupiah tertekan sehingga terus melemah. Padahal, enam dari sembilan komponen Sembakomasih diimpor, perlu devisa lebih besar bila nilai tukar rupiah terus melemah terhadap dollar. Lemahnya rupiah pada gilirannya juga ikut berpengaruh pada meningkatnya nilai subsidi listrik dan BBM yang mesti ditanggung APBN. Problem di neraca perdagangan LN itu merembet ke APBN. Di tataran identifikasi masalah, sudah tepat bila sang Presiden Terpilih memberi perhatian serius pada isu ketahanan energi, ketahanan pangan dan hilirisasi industri. Tetapi, ada berbagai kepentingan besar dan target-target nasional lain di sekitar itu, baik itu berupa target ekspor non migas, target pertumbuhan industri otomotif dan trade-off hubungan dagang yang mengikat dengan berbagai mitra luar negeri. Kita berharap Presiden Terpilih sanggup menangani semua the truth itu mana kala membahayakan ketahanan nasional dan kedaulatan bangsa.  Mengatasi penyakit kronis begini, perlu pemimpin yang sanggup dengan mantap menetapkan target waktu, menjadwalkan (scheduling) dan membuat tahapan (sequencing) langkah-langkah yg pasti untuk itu. Sungguh tidak mudah, mari doakan. Agaknya benar, kita perlu “enlightened autocratic leadership”, yang tetap hati dan punya keteguhan melangkah.

Anies Baswedan Akan Dijebak dan Diakhiri Karier Politiknya

Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Politik Merah Putih  ANIES Baswedan (AB) mantan Calon Presiden (Capres) harus bisa memahami suasana kebatinan para pendukung dan relawan, yang ikhlas berjuang, hingga mempersembahkan pengorbanan untuk sebuah misi perubahan, agar negeri ini berubah menjadi lebih baik. Dari sejak musim kampanye, pertarungan opini medsos, hingga sejumlah demonstrasi untuk melawan Pemilu curang.  Ada jaminan Pemilu dapat dilaksanakan secara jurdil.  AB sangat tidak bijak apabila memaknai bahwa Pilpres hanyalah sebuah kompetisi  yang hanya beresiko kalah atau menang. Agar terkesan demokratis, begitu cepat mengakui dan mendukungnya Capres yang telah dinyatakan menang oleh Mahkamah Konstitusi (MK), pemenang yang lahir telanjang dari dukun kekuasaan, Oligarki dan Xi Jinping yang mem-back up penuh sebagai sponsornya AB tidak boleh mengabaikan perjuangan para aktivis, relawan perubahan, pembela hukum dalam proses pengadilan MK, pejuang di media sosial dengan terus menerus bergerak memberikan peringatan dini saat itu, sedang dan telah terjadi kecurangan, bahkan angka kemenangan sudah ditentukan sebelum pelaksanaan Pemilihan Presiden. Kalau yang terjadi AB mengalah terhadap kecurangan Pilpres harusnya sejak awal sudah menyerah menerima keputusan KPU, tidak perlu sengketa Pilpres dibawa  ke MK. Buat apa membawa perkara ke MK, kalau ujungnya hanya untuk melegitimasi kecurangan. Buat apa pengorbanan untuk dukungan ke MK, jika akhirnya menyerah dan mengakui keputusan MK. Tidak ada kewajiban hukum, bagi paslon untuk mengucapkan selamat pada pemenang pasca putusan MK. Tidak ada juga kesalahan, mendiamkan kemenangan sebagai  sikap dan keyakinan perjuangan menegakkan, membela kejujuran, keadilan demokrasi. Pengakuan, penghormatan dan penghargaan terhadap tekad dan perjuangan rakyat dengan keyakinan ingin adanya perubahan hidup yang telah memberikan dukungan dan pilihan kepada Paslon sekalipun berahir dikalahkan oleh rekayasa kekuasaan, lebih bernilai dan berharga dari sekedar larut memberikan pengakuan pemenang hasil MK. \"Menemui para pendukung dan pemilihnya yang di lakukan saat ini jangan hanya menghibur dan menentramkan pendukungnya tetapi kembali konsolidasi agar kedepan lebih cerdas dan militan dengan segala pengalaman dan kejadian yang mengerikan sekaligus belajar kembali dari proses demokrasi yang menjijikkan\". \"Penguasa, petinggi partai dan para politisi busuk  terbiasa berdusta, bohong dan khianat, saat ini makin merajalela. Macan macan rekayasa politik busuk adalah biang kerok semua kebohongan dan pengkhianatan\". \"Anies Baswedan kembali akan di terjang badai issue untuk maju kembali di DKI sebagai gubernur dengan berbagai dalih dan rekayasa untuk masuk di kotak mati masa depan dan citra politiknya\". \"Hampir dipastikan nekad maju di DKI sebagai gubernur akan dibantai lebih kejam, ditenggelamkan oleh kekuatan yang maha besar untuk dikalahkan. Kalau itu terjadi karir politiknya akan berakhir menjadi ejekan dan mainan buzer Oligarki dan antek-anteknya\". (*)

Selamat Ginting: UU TNI dan Polri Wajib Direvisi dan Mengacu Konstitusi UUD 1945

Jakarta | FNN - Pengamat politik dan militer Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting menegaskan, undang-undang tentang TNI, Polri, Pertahanan Negara, dan Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara, mesti direvisi dan mengacu konstitusi UUD 1945. Terutama mengenai pertahanan keamanan negara (hankamneg), seperti disebutkan pada Pasal 30 Ayat (2) dan Pasal 27 Ayat (3) UUD 1945. “Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945 memuat dua norma yang harus menjadi pedoman bagi TNI, Polri, serta Kementerian Pertahanan (Keamanan). Pertama, usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (Sishankamrata). Kedua, usaha pertahanan dan keamanan negara (hankamneg) dilaksanakan oleh satu kekuatan utama yang terdiri atas TNI dan Kepolisian Negara RI (Polri),” kata Selamat Ginting di Bandung, Sabtu (25/5/2024).  Ia menanggapi rencana DPR melakukan revisi UU No 34/2004 tentang TNI dan UU No 2/2002 tentang Polri, dalam sisa masa pemerintahan serta parlemen periode 2019-2024.     TNI/Polri Kekuatan Utama Sishankamrata Menurut Selamat Ginting, nomenklatur yang digunakan dalam UUD 1945, TNI dan Polri merupakan kekuatan utama, sementara rakyat sebagai kekuatan pendukung dalam usaha pertahanan dan keamanan negara melalui sistem hankamrata. Jadi, ada kekuatan utama dalam hal ini TNI/Polri, dan kekuatan pendukung adalah rakyat.  “Oleh karena itu tidak ada pencampuran antara kekuatan utama dan kekuatan pendukung,” kata dosen tetap Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas itu. Dikemukakan, berdasarkan unsur norma tersebut, maka TNI dan Polri merupakan kekuatan utama dalam pertahanan dan keamanan. Sedangkan rakyat merupakan kekuatan pendukung, sebagaimana terkandung dalam makna norma Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945. “Maka, TNI dan Polri sebagai kekuatan utama Sishankamrata mestinya tetap berada dalam satu wadah Kementerian Pertahanan dan Keamanan (Hankam),” ujar Selamat Ginting yang lama menjadi wartawan bidang politik dan hankam. Disebutkan, Presiden Sukarno pada 1962 menyadari bahwa urusan pertahanan dan keamanan harus berada dalam satu kesatuan wadah. Implementasinya diwujudkan dengan membentuk Kementerian Pertahanan dan Keamanan (hankam) hingga akhir kekuasaannya. Kemudian dilanjutkan Presiden Soeharto dalam departemen Hankam hingga akhir kekuasaannya. “Jadi berdasarkan sejarah dan konstitusi UUD 1945, militer dan polisi Indonesia mesti berada dalam satu wadah dalam sistem hankamrata. Tidak bisa kita meniru militer dan polisi di negara liberalis, sosialis, dan komunis,” kata Ginting. Brimob Para Militer Menurut Selamat Ginting, dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, cikal bakal polisi Indonesia berawal dari polisi Istimewa yang kemudian berganti nama menjadi mobil brigade dan di-Indonesia-kan menjadi brigade mobil sebagai para militer. Sehingga idealnya Korps Brimob masuk dalam Kementerian Hankam, bukan di bawah Kementerian (Dalam) Negeri) atau Kementerian Hukum dan HAM, maupun Kejaksaan Agung.   Sedangkan polisi umum atau konvensional, kata Ginting, bisa dimasukkan dalam Kementerian (Keamanan) Dalam Negeri atau Kementerian Hukum dan HAM, maupun Kejaksaan Agung yang bersama Polri sama-sama memiliki kewenangan sebagai penyelidik dan penyidik. Mengingat fungsinya juga terkait dengan penegakan hukum. “Namun untuk Brimob itu seperti Constabulary di Filipina atau SWAT (Special Weapons and Tactics) di Amerika Serikat. Bukan polisi konvensional melainkan polisi para militer yang menangani tugas khusus yang tidak bisa dilaksanakan polisi umum atau konvensional, seperti misi berisiko tinggi yang dianggap terlalu berbahaya jika dilakukan polisi biasa dalam penegakan hukum,” kata Ginting. Selain itu, lanjutnya, bukan seperti UU TNI dan UU Polri bahwa TNI hanya mengurusi masalah pertahanan, sedangkan Polri mengurusi masalah keamanan. Itu jelas keliru dan harus dikembalikan kepada roh konstitusi UUD 1945. “Ada ancaman keamanan dari dalam negeri dan ancaman keamanan dari luar negeri. Termasuk serangan siber terhadap pertahanan dan keamanan negara. Ancaman pertahanan keamanan negara mesti ditangani bersama oleh TNI dan Polri sesuai dengan tingkat ancamannya,” ungkap Ginting.    *Wajib Militer* Menurut Selamat Ginting, setiap warga negara dalam konstitusi menyebutkan wajib ikut serta dalam upaya bela negara. Bela negara merupakan sikap dan tindakan warga negara dalam menjaga kedaulatan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dari berbagai ancaman.  Sehingga, kata dia, membela negara merupakan hak sekaligus kewajiban bagi setiap warga negara. Pernyataan itu tertuang dalam konstitusi UUD 1945, Pasal 27 (Ayat) 3 yang berbunyi: “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam Upaya pembelaan negara.”    Ia tidak sependapat dengan UU No.23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara. Nama undang-undangnya semestinya juga Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Keamanan Negara.  Selain itu, penyebutan bahwa ada tiga komponen yang terlibat dalam Upaya bela negara, menurutnya keliru. Dalam undang-undang itu disebutkan komponen utama dalam bela negara adalah TNI. Sedangkan Polri disebutkan sebagai komponen pendukung bersama warga terlatih, tenaga ahli, dan warga lain unsur warga negara, yaitu sarana dan prasarana. “Itu jelas keliru dan bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 30 Ayat (2). Polri itu bersama TNI sebagai kekuatan utama Sishankamrata. Jadi UU No.23 Tahun 2019 itu mesti direvisi total, karena bertentangan dengan UUD 1945,” ujar Ginting.   Ia mengharapkan pemerintah harus mengacu kepada UUD 1945 dalam hal bela negara, sehingga tidak perlu harus membuat komponen cadangan (komcad), tetapi harus ditingkatkan menjadi wajib militer (wamil) dalam bela negara. “Bela negara itu wajib. Jadi jangan ragu untuk melaksanakan wajib militer untuk bela negara bagi warga negara yang memenuhi syarat. Tidak usah takut dengan tudingan sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Itu perintah konstitusi untuk membela negara,” ungkap Ginting. Disebutkan setidaknya sekitar 20 negara di Asia memberlakukan wajib militer. Untuk lingkungan Asia Tenggara, seperti: Singapura, Thailand, Myanmar, Timor Leste.  Negara Asia lainnya, seperti: Korea Selatan, Korea Utara, Taiwan, Bhutan, Iran, Israel, Libanon, Suriah, Yaman, Pakistan, Turkmenistan, Kazakhstan, dan Uzbekistan.  “Umumnya diberlakukan kepada warga negara yang telah berusia 18 tahun ke atas atau lulus setingkat sekolah menengah atas dan dilakukan selama 1-3 tahun. Indonesia bisa berlakukan hal itu mengingat situasi geopolitik global yang sedang tidak baik-baik saja. Jangan menunggu kita sampai diinvasi negara lain, baru membuat aturan wajib militer,” ungkap Selamat Ginting mengingatkan. (sws).

Iran dan Timur Tengah Pasca Raisi

Oleh Smith Alhadar | Penasihat The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES)   PADA 19 Mei 2024, kabar mengejutkan menjalar ke seluruh Timur Tengah, bahkan dunia, menyusul kecelakaan helikopter di Iran yang ditumpangi, di antaranya, Presiden Ebrahim Raisi dan Menlu Hossein Amir Abdollahian. Semuanya meninggal dunia. Pemimpin Tertinggi Iran Ayatullah Ali Khamenei langsung melantik Wakil Presiden Utama Mohammad Mokhber sebagai presiden interim. Posisi Abdollahian digantikan Wakil Menlu Ali Bagher Kani sebagai Penjabat Menlu. Muncul pertanyaan: bagaimana masalah internal Iran dan kebijakan luar negerinya setelah tragedi yang menimbulkan spekluasi-spekulasi konspiratif ini?   Pertanyaan ini layak diajukan mengingat Raisi digadang-gadang sebagai calon pengganti Khamenei yang sudah berusia 85 tahun, sikap keras Raisi terhadap Israel, stabilitas kawasan, hubungan Iran-AS, dan isu program nuklir Iran. Setelah Raisi dan Abdollahian meninggal, perundingan rahasia Iran-AS di Oman – perunding Iran adalah Ali Bagher Kani yang mencakup berbagai isu – di antaranya isu perang Gaza dan program nuklir Iran, terbengkalai.   Masalah Internal   Raisi meninggal ketika ekonomi Iran dalam keadaan terpuruk. Mata uang riyal Iran terdepresiasi sangat dalam, harga bahan pokok melejit, kemiskinan meningkat, dan dan pengangguran meluas. Ini terjadi setelah AS di bawah Presiden Donald Trump, atas desakan Israel dan negara Arab Teluk, mundur secara sepihak dari kesepakatan nuklir Iran (JCPOA).  JCPOA ditandatangani Iran dan P5+1 (AS, Rusia, Tiongkok, Inggris, Perancis) plus Jerman pada 2015. Kesepakatan ini mengizinkan Iran mengekspor energinya ke pasar global dengan imbalan Teheran membatasi program nuklirnya.    Mundurnya AS pada 2018 diikuti sanksi ekonomi yang melumpuhkan. Anggota P5+1 lainnya, kecuali Rusia dan Tiongkok, terpaksa juga membatasi kerja sama ekonomi dengan Iran. Cobaan Iran berlipat ganda menyusul pandemi covid-19. Situasi ini menciptakan keresahan sosial. Di pihak lain, Raisi memberlakukan kode berbusana yang lebih ketat yang mengecewakan kaum perempuan. Padahal, Raisi terpilih melalui pilpres 2021 yang diboikot kubu moderat dan reformis. Untuk pertama kalinya sejak Republik Islam Iran berdiri pada 1979, jumlah pemilih terdaftar yang datang ke kotak suara hanya 40 persen lebih. Dus, pemerintahan Raisi memiliki legitimasi yang rendah.     Maka ketika perempuan muda, Mahsa Amini, tewas di tahanan kepolisian pada 2022 karena dituduh tidak mengenakan hijabnya dengan benar, demonstrasi besar-besaran terjadi di semua kota Iran selama berbulan-bulan. Demonstran Perempuan menanggalkan dan membakar hijab mereka. Tak kurang 500 orang meninggal dan 16 “provokator” dieksekusi mati. Pelapor ahli HAM PBB menyatakan Iran telah melakukan kejahatan kemanusiaan.    Gejolak internal dan tekanan eksternal membuat Iran makin mendekatkan diri dengan dua kompetitor utama AS dan NATO, yakni Rusia dan Tiongkok. Kerja sama ekonomi Iran dengan dua negara besar ini yang meningkat drastis membuat Iran bisa sedikit bernapas. Tiongkok menandatangani kesepakatan jaminan pasokan minyak Iran ke Tiongkok selama 25 tahun. Dan baru-baru ini, Organisasi Kerja Sama Ekonomi Shanghai (SCO) – terdiri dari Rusia, Tiongkok, India, dan negara-negara Asia Tengah – menerima lamaran Iran sebagai anggota.   Lebih penting dari semuanya, kepergian Raisi menghadapkan Iran pada masalah suksesi terhadap Khameneni yang mulai sakit-sakitan.  Memang suksesi terhadap pemimpin Velayat-e Faqeh  yang sangat strategis merupakan urusan Majlis-e Khubregan (Majelis Ahli), terdiri dari 88 anggota ulama senior. Tapi tidak mudah mencari pengganti Khamenei yang seloyal Raisi. Raisi juga merupakan pemersatu kubu konservatif di semua lini pemerintahan dan lembaga strategis. Sesuai konstitusi, Iran segera menyelanggarakan pilpres 50 hari setelah Raisi dinyatakan meninggal dunia.    Maka pilpres mendatang menjadi isu kritis karena diharapkan presiden terpilih akan menjadi calon pengganti Khamenei. Siapa dia? Tidak ada yang tahu. Mokhber adalah juga seorang konservatif dan dekat dengan Khamenei. Tapi dia bukan seorang ulama yang menjadi syarat mutlak bagi posisi Velayat-e Faqeh. Dus, hari-hari ini Khamenei -- dan Majelis Khubregan -- akan disibukkan  dengan pencarian  calon pengganti dirinya.    Perang Gaza   Lebih dari negara manapun, pemerintahan Iran di bawah Raisi sangat vokal dalam meneriakkan kekejian Israel terhadap Palestina. Raisi tak henti-hentinya memprotes keras operasi militer militer Israel (IDF) di Gaza yang, menurut PBB, pelanggaran HAM di Gaza tak ada presedennya Pasca Perang Dunia II.  Atas aduan Afrika Selatan, Mahkamah Internasional (ICJ) memerintahkan Israel menghentikan genosidanya.    Pada 20 Mei, Ketua Mahkamah Kriminal Internasional (ICC), Karim Khan, meminta panel jaksa ICC mengeluarkan perintah penangkapan (arrest warrants) terhadap PM Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant. Agar terlihat independen, Khan juga meminta penangkapan terhadap pemimpin Hamas: Ismail Haniya, Yahya Sinwar, dan Mohammad Deif.   Serangan Hezbollah (proksi Iran di Lebanon) ke Israel dan serangan milisi Houthi di Yaman ke kapal-kapal kargo yang melintasi Laut Merah – dengan tujuan membantu Hamas -- cukup merepotkan Israel dari sisi ekonomi dan keamanan. Untuk mengalihkan perhatian dunia dari operasinya di Gaza, Israel menyerang konsulat Iran di Damaskus, menewaskan dua jenderal Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Iran. Tentu saja serangan ini melanggar Konvensi Geneva yang menetapkan konsulat tak boleh dijadikan sasaran serangan. Apabila itu terjadi, maka negara pemilik konsulat boleh melakukan pembelaan diri.    Israel memang berharap provokasi ini dibalas sehingga terbuka front baru Iran-Israel yang akan menarik dukungan AS dan sekutu Barat terhadap Israel. Serangan Israel jelas menekan pemerintahan Raisi. Demi menjaga marwah Iran sebagai kekuatan regional, terutama di hadapan proksi-proksinya  -- di Irak, Suriah, Lebanon, Palestina, dan Yaman -- dan publiknya sendiri, Raisi tak punya pilihan lain kecuali membalas serangan kurang ajar itu. Maka, tak kurang dari 300-an drone, rudal balistik, dan rudal jelajah diluncurkan ke Israel.    Konflik bersenjata terbuka Israel-Iran yang terjadi untuk pertama kalinya sejak Republik Islam Iran berdiri 1979, membawa Timur Tengah ke tebing perang besar di kawasan panas itu. Belum ada tanda-tanda perang Hamas-Israel yang telah mencapai bulan kedelapan di mana Iran memainkan peran besar akan segera berakhir. Dengan demikian, situasi ini akan mempengaruhi pilpres Iran. Untuk sementara, presiden interim tidak akan mengambil kebijakan strategis yang mengubah status quo. Maka, penyelesaian perang Gaza yang harus melibatkan Iran belum akan terjadi sampai terpilih presiden Iran definitif.  Politik luar negeri Iran disusun oleh presiden, IRGC, dan Lembaga Keamanan Nasional dengan dukungan Velayat-e Faqeh (Khamenei).   Program Nuklir Iran   Serangan balasan Israel ke Kota Isfahan, pusat program nuklir Iran, membangkitkan alarm. Segera Raisi dan parlemen mulai bicara tentang perlunya Iran membuat bom atom. Iran pun mulai membatasi kerja samanya dengan Badan Atom dan Energi Internasional (IAEA) yang mengawasi program nuklirnya. Ini menimbulkan kekhawatiran AS, Israel, UE, dan negara-negara Arab Teluk. Menurut IAEA, Iran telah berhasil memperkaya uranium hingga 60 persen. Kalau mau, hanya perlu dua minggu bagi Iran untuk  membuat dua bom nuklir.   Dalam perundingan Iran-AS di Oman, selain membicarakan deeskalasi perang Hamas-Israel, mengganti pemerintahan Israel, dan status Palestina pasca perang, keduanya juga berunding soal pemulihan JCPOA. Kendati memperkuat posisinya dalam situasi ini, Raisi ingin JCPOA dipulihkan agar membuka akses Iran ke ekonomi global. Rakyat Iran butuh pembangunan dan pertumbuhan ekonomi untuk meringankan beban hidup mereka. Bagi AS, penting untuk mengendalikan program nuklir Iran guna menghentikan potensi perlombaan senjata  nuklir di kawasan.    Penutup   Kendati berhasil menormalisasi hubungan dengan Arab Saudi pada Maret tahun lalu, yang diharapkan meredakan ketegangan dua kekuatan yang saling berebut pengaruh di kawasan, perang Hamas-Israel merusak stabilitas Timur Tengah. Aktivitas program nuklir Iran di bawah Raisi juga mengganggu negara tetangga dan politik luar negeri AS yang hendak fokus pada persaingannya dengan Tiongkok di Asia Pasifik. Sebenarnya penyelesaian semua permasalahan ini bergantung pada AS.    Andaikan Washington serius menekan Israel untuk mengakhiri perang secepatnya, lalu mendorong pembentukan negara Palestina merdeka,  dan bersedia memberi konsesi yang diperlukan Iran untuk memulihkan JCPOA, maka sebagian besar masalah Timteng  dapat diatasi. Iran kehilangan alasan untuk membentuk “poros perlawanan” dengan membentuk proksi-proksi di kawasan untuk melawan AS dan Israel. Ini juga akan membangun kepercaya negara-negara Arab Teluk terhadap Iran, sehingga rekonstruksi Timur Tengah yang stabil, makmur, dan beradab pasca perang dapat dimulai. (*)   *) Tulisan ini sudah dimuat di Media Indonesia pada Jumat, 24 Mei 2024. Atas seizin penulis dimuat juga untuk FNN.