ALL CATEGORY
Eks Ketum PWI Pusat Hendri Bangun Dilarang Berkantor di Gedung Dewan Pers
Jakarta, FNN | Dewan Pers melalui Surat Keputusan (SK) Dewan Pers Nomor: 1103/DP/K/IX/2024 secara resmi melarang eks Ketua Umum PWI Pusat, Hendry C Bangun, beserta jajarannya menggunakan kantor PWI yang berada di Gedung Dewan Pers mulai 1 Oktober 2024. Surat Dewan Pers ini merupakan pengakuan terhadap hasil Kongres Luar Biasa (KLB) PWI Pusat di Jakarta yang telah memilih pengurus baru dengan Ketua Umum, Zulmansyah Sekedang. \"Era kepemimpinan Hendri Ch. Bangun telah tamat,” tegas Jusuf Rizal, Ketua Umum PWMOI (Perkumpulan. Wartawan Media Online Indonesia) dan Indonesian Journalist Watch (IJW) di Jakarta, Selasa 1 Oktober 2024. Menurutnya, dengan dikeluarkannya SK Dewan Pers ini, Hendry C Bangun dan kelompoknya secara resmi kehilangan hak untuk menggunakan fasilitas dan sumber daya PWI. Hal ini tentunya menjadi pukulan telak bagi Hendry Ch Bangun yang sebelumnya ngotot mempertahankan posisinya sebagai Ketua Umum PWI. Secara internal di organisasi PWI, keputusan Dewan Pers itu juga diapresiasi. Zumansyah Sekedang, Ketum PWI hasil KLB serta Ketua Dewan Penasehat PWI Pusat, İlham Bintang mendukung langkah tegas Dewan Pers dalam menyikapi “mbalelonya” Hendri Ch. Bangun. PWMOI, IJW dan LSM LIRA (Lumbung Informasi Rakyat) juga mengapresiasi sikap tegas Dewan Pers itu. “Sikap tegas ini sejak lama kami imbau kepada Dewan Pers agar menyikapi kisruh di tubuh PWI Pusat yang berkepanjangan. Karena sikap tidak sportif Hendri Ch. Bangun telah mencoreng citra dan wibawa organisasi PWI dan Jurnalis ,” tegas Jusuf Rizal. Lebih jauh, Jusuf Rizal menyebutkan dengan terbitnya diharapkan akan dapat menyelesaikan konflik di tubuh PWI Pusat. Sebagaimana diketahui publik, kasus Hendri Ch.Bangun ini bergulir saat Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat, Sasongko Tedjo melansir ke publik atas dugaan penyalahgunaan bantuan dana Forum Humas BUMN untuk Pelaksanaan UKW (Uji Kompetensi Wartawan) senilai Rp1,7 Miliar dari total Rp6 milyar. Jusuf Rizal yang juga Presiden LSM LIRA membangkar kasus tersebut melalui media Anggota PWMOI dan MOI, sehingga viral dan memberi stimulus bagi Anggota PWI Pusat dan Daerah mengkonsolidasikan diri. Hendri Ch. Bangun yang terus ngotot merasa tidak bersalah sehingga melawan Dewan Kehormatan PWI Pusat. LSM LIRA turut melaporkan kasus dugaan penggelapan Dana yang dikuasai Hendri Ch. Bangun tanpa hak tersebut ke Bareskrim Mabes Polri. Dewan Kehormatan kemudian memecat Hendri Ch. Bangun sebagai Ketum PWI Pusat. Kartu keanggotaan PWI-nya dicabut PWI DKI Jakarta hingga kemudian dilaksanakan Kongres Luar Biasa (KLB) yang menghasilkan Ketua Umum PWI Pusat, Periode 2023-2028, Zulmasyah Sekedang. Sejumlah Pengurus PWI daerah juga mendatangi Kantor Dewan Pers. Mereka turut memberi apreasiasi atas sikap tegas Dewan Pers. Mereka yang hadir berasal dari PWI Riau, PWI Bangka Belitung, PWI Banten, PWI Jabar dan PWI DKI Jakarta. “PWMOI dan IJW berharap kisruh di tubuh PWI Pusat segera tuntas. Dan peristiwa memalukan yang dilakukan Hendri Ch. Bangun Cs tidak terjadi lagi di masa mendatangi,” tegas Jusuf Rizal yang juga penggiat anti korupsi itu.
Institut Peradaban Mendorong Polisi Lebih Beradab
Jakarta, FNN | Polisi sebagai bagian dari sistem penegakan hukum di negeri ini perlu digugat dan bersedia dikoreksi untuk menjadi lebih beradab. Demikian garis besar dari Dialog Peradaban bertajuk “Polisi dan Peradaban” dengan menghadirkan IrjenPol (P) Bekto Suprapto, mantan anggota Kompolnas sebagai pembicara. Acara ini diselenggarakan oleh Institute Peradaban, lembaga kajian isu-isu stretagis yang didirikan antara lain oleh Prof. Jimly Ashiddiqy dan Prof. Salim Said. Ketua Pelaksana Dialog Polisi dan Peradaban Dr. Zaki Mubarak dalam siaran persnya Rabu 1 Oktober 2024 mengatakan, kegiatan tersebut diharapkan mampu menggugah kesadaran publik akan pentingnya penegakan hukum yang berkeadaban. \"Wajah penegakan hukum kita masih centang perenang, oleh karena itu dibutuhkan masukan dan ide-ide yang konstruktif dari orang yang berpengalaman di bidang penegakan hukum, \" jelas Zaki Mubarak. Zaki, P.hD dari Universitas Saint Penang, Malaysia, menegaskan pentingnya budaya dialog yang lebih beradab dalam menyelesaikan masalah-masalah bangsa, termasuk soal penegakan hukum. \"Kita harus memberi contoh yang lebih beradab dalam memberi masukan, mengkritik, dan memperbaiki keadaan,\" pinta Zaki Mubarak. Menurut Direktur Eksekutif Institut Peradaban Mohamad Cholid, kegiatan tersebut merupakan bentuk tanggung jawab para pegiat isu-isu peradaban di Indonesia yang merasa terusik dengan praktik politik akhir-akhir yang dinilai mereka kurang beradab. \"Saya dan rekan-rekan serta para senior yang diskusi rutin di Institut Peradaban merasa resah dengan kondisi bangsa kita akhir-akhir ini. Kami merasa negara kita tidak sedang baik-baik saja,” katanya. Kegiatan tersebut, lanjut Cholid yang juga mantan jurnalis itu, dilakukan untuk menggugah seluruh warga bangsa agar ikut terlibat memikirkan dan mencari jalan terbaik bagi kepentingan bersama dalam ikatan NKRI. \"Penegakan hukum harus kita perbaiki segera, jika hukum tegak akan berdampak positif secara luas ke sektor dan bidang yang lain,\" jelas Cholid. Untuk itulah, Institut Peradaban tempat para cerdik pandai berdiakusi mengenai masalah-masalah strategis bangsa, bertekad untuk mendiskusikan secara terbuka masalah tersebut pada 2 Oktober 2024 di aula seminar Gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta. \"Melalui kegiatan dialog tersebut, kita kembali menjadi warga bangsa yang lebih beradab,\" ujar Zaki.
DN Aidit, Ada Apa dengan Jawa Tengah dan Reinkarnasi PKI ke Depan
Oleh : Joko Sumpeno, Pemerhati Sejarah dan Hukum Dipa Nusantara Aidit adalah sebuah nama pengesahan di sebuah Kantor Notaris Batavia dari nama Achmad Aidit menjadi Dipa Nusantara Aidit bin Abdullah Aidit. Ketika ia berusia 17 tahun. Achmad Aidit alias DN Aidit lahir pada 30 Juli 1923, hari Senin Pahing di Tanjungpandan Belitung. Kelak dikenal sebagai Ketua CC PKI/ Menko - Wakil Ketua MPRS, penerima Bintang Mahaputera R. Ipada Agustus 1965. Sobron Aidit, adik Aidit menyapanya Bang Mamat. Pada 23 November 1965 dini hari ,Selasa Legi di Boyolali , tokoh PKI yang amat dekat dengan Bung Karno pada kurun 1960-1965 ini, menemui ajalnya di hadapan eksekusi regu tentara dari Brigade IV ( Tiga Batalyon F, G dan H ) di bawah Komandan Letkol Yasir Hadibroto di Boyolali Jawa Tengah. Entah secara kebetulan atau tidak, jelas pada 23 November 2019 , Sabtu Pahing, sekitar 55 tahun kemudian ini berlangsunglah Pertemuan Bedah Buku: PKI, Dalang dan Pelaku G30S/ PKI karya sejarahwan Prof. Dr Aminudin Kasdi, di Jakarta. Revolusi yang ia terus dengungkan di panggung sejarah R.I terutama.pada kurun 1960-1965, nampaknya memakan Aidit sendiri di akhir pelariannya di Jawa Tengah, khususnya di segitiga Jogja- Solo- Semarang, lebih khusus lagi di Solo- Klaten - Boyolali, sekitar hampir dua bulan diburu tentara ( 2 Oktober sampai dengan 22 November 1965 ). Ada apa kaitan pelarian dan atau persembunyian Aidit dengan nasib PKI dan pilihannya ke Jawa Tengah ? Tentu bisa ditelisik dari sepakterjang Aidit dengan PKI dan Jawa Tengah sebagai \"daerah basis\" kaum merah, khususnya lahir dan besarnya PKI di kawasan ini. Aktivis Ketika usia Aidit menginjak dewasa, di Batavia kemudian Jakarta, Aidit dikenal sebagai pemuda aktivis yang dengan sadar memilih jalur kiri. Sempat menjadi murid Mohammad Hatta. Aidit hanya menyelesaikan di Sekolah Dagang di Jakarta. Aktif di Barisan Pelopor, juga di Angkatan Pemuda Indonesia ( API ). Pada masa Revolusi Agustus, Aidit beserta teman-teman kiri - sosialis dan komunis - memilih bergerak di bawah tanah yang kemudian muncul pasca Proklamasi sebagai relawan pemuda pengawal Bung Karno, khususnya ketika berlangsung Rapat Akbar September 1945 di Lapangan Ikada Jakarta, sebagai ungkapan tekad: Merdeka atau Mati. Sejalan dengan kepindahan ibukota R.I sejak awal Januari 1946, maka PKI pun juga memindahkan pusat aktivitasnya ke Jogja dan sekitarnya. Nampaknya, PKI lebih semarak dan bergairah di kawasan ini, khususnya di Surakarta. Pada Kongres PKI ke empat di Solo Juli1946, Aidit mulai masuk jajaran CC ( Central Committee ) PKI atau Pengurus Pusat, sekaligus Ketua Fraksi Komunis dalam keanggotaanya di KNIP ( Komite Nasional Indonesia Pusat, semacam MPR/ DPR, lengkap dengan Badan Pekerja KNIP = DPR ). Sebelumnya, Aidit dianggap berjasa kepada PKI ber kaitan cuci-tangannya partai dalam Peristiwa Tiga Daerah ( Brebes, Tegal dan Pemalang ) yang berlangsung 3 bulan ( Oktober-November dan Desember 1945/) sebagai kesembronaan aktivis PKI antara lain Widarta dan Ali Archam cs menangani Revolusi Sosial yang gagal. Sedangkan Revolusi Sosial di Surakarta dianggap berhasil dengan penghapusan Daerah Istimewa Surakarta, sejak Juli 1946. Pada aktivitasnya di Solo inilah, DN Aidit menemukan jodohnya dengan menikahi Sutanti binti Mudigdo yang dokter dan anggota KNIP juga. Yang menikahkan adalah ideolog Komunis- Islam bernama Achmad Dasuki, alumni Sekolah Islam ( Mamba\'ul Ulum Surakarta Acmad Dasuki adalah ideolognya Islam yang miring ke komunis, pernah dibuang ke Digul bersama KH Misbach, sebelum menjadi aktivis SI merah Surakarta, KH Misbach adalah orang Muhanmadiyah seangkatan dengan Fahrudin murid KHAchmad Dahlan. Sedangkan Mudigdo adalah mantan Kepala Polisi di Semarang, asal Tuban, pernah aktif di Partindo / searah juang dengan PKI pula, mengajar di MULO Muhammadiyah Solo, dan terlibat Peristiwa Madiun yang kemudian dijatuhi hukuman mati. Pada Agustus 1948, terbentuklah fusi kekuatan politik kaum kiri ( PKI, Partai Buruh - Setiajid, Partai Sosialis Amir Syatifudin, dll ) kedalam front bersama : FDR - Front Demokrasi Rakyat yang diketuai Musso, tokoh senior komunis I ndonesia yang lama bermukim di Moskow; seangkatan Semaun, Darsono dan Alimin. Di FDR ini, Aidit sebagai Sekretaris Dewan Eksekutif. FDR tak berumur panjang, menyusul kemudian meletus Peristiwa Madiun 18 September 1948 yang diawali pemogokan buruh kapas dan goni pada Mei sampai Juli di Delanggu, kekacauan antar lasykar (/Pesindo/ PKI dan Hizbullah/ Masyumi; antar kesatuan tentara Divisi Pasopati yang kiri melawan Siliwangi tentara reguler yang hijrah ke daerah Republik ( Jogja - Soloa - Kedu sampai Kediri akibat perjanjian Renville Juli 1946. Kegagalan PKI di FDR membawa tewasnya Musso, Amir Syarifudin (mantan Perdana Menteri/ Menhan di Kabinet yang dilimpinnya ), Setiajid dll. Selepas kegagalan PKI pada 1948, para aktivisnya yang sebagian tewas - bahkan Tan Malaka dan Menteri Soepeno yang tak terlibat Peristiwa Madiun, menemui ajal di hadapan sekelompok tentara, masing-masing di Tulungagung dan Nganjuk Jawa Timur - kekuatan kiri kocar kacir. Para aktivis tua dan muda yang tak terbunuh melarikan diri/ bersembunyi. Bersembunyi Pada 7 Januari 1951 Aidit muncul dari persembunyiannya antara Matraman Raya - Kramat Raya- Gondangdia, namun di koran Sinpo dan sempat dirumorkan, seolah-olah Aidit dan MH Lukman melarikan diri ke RRT. Itu kreasi Syam, agen ganda sejak dengan kelompoknya di Patuk Jogja. Rupanya, hoax pun sudah ada sejak dulu. Pada saat itulah, Aidit disebut sebagai Sekretaris Jenderal CC PKI dengan beberapa deputy yang mereka sebut Pendowo Limo ( DN Aidit, MH Lukman, Nyoto, Sakirman dan Sudisman ). Sakirman kakak kandung Jenderal S. Parman ( terbunuh pada 30 September 1965 ) pada awal 1950an menjadi Ketua Fraksi PKI di DPR. Pada tahun 1953 berakhirlah karir tokoh tua komunis Alimin dan Tan Ling Jie, digantikan Pendowo Limo di atas. Mulailah PKI agresif kembali, dengan puncak pencapaian pada Pemilu 1955 berhasil menjadi salah satu Empat Besar kekuatan politik di Indonesi: PNI 22,1 %, Masyumi 20,9 %, NU 18,4 %/dan PKI 16,3 %. Bagi PKI , hasil pemilu 1955 itu semakin menebalkan kepercayaan diri sebagai kekuatan politik yang harus diperhitungkan. Peristiwa Madiun, aksi-aksi pemogokan 1950-1951, seakan tidak mempengaruhi penampilan PKI sebagai partai yang rusuh dan pernah memberontak R.I. Bahkan Aidit malah berorasi dalam pembelaaan PKI atas keterlibatan apada Peristiwa Madiun 18 September 1948 sebagai reaksi atas pernyataan Mr Syamsudin dari Masyumi yang membandingkan kekecauan di berbagai daerah dengan petualangan PKI itu. Mr Syamsudin adalah mabatan Walikota Sukabumi, kini namanya diabadikan di RS Samsudin Sukabumi. Hasil suara untuk PKI, sebagian besar berasal dari penduduk di Pulau Jawa ( 89 % ), sisanya disumbang oleh Sumatera ( 8,6 % ) dan sisanya lagi dari pulau lain. Meskipun PKI memperoleh suara lebih kecil ketimbang Masyumi, NU dan PNI di Jakarta Raya dan Jawa Barat, namjn PKI boleh bangga di Jawa Tengah, PKI nomor dua setelah PNI dengan prosentase 25,8 %. Suara PKI di Jawa Tengah meningkat lagi pada pemilu DPRD Provinsi dan Kab/ Kotapraja bulan September 1957, sehingga PKI Jawa Tengah menggeser PNI. PKI menjadi partai nomor 1, dengan prosentase suara 34 %, PNI menjadi nomor 2, disusul NU dan terakhir Masyumi. Bahkan di Jawa Timur, meskipun NU tetap nomor satu namun jarak prosentasenya menipis. Semula NU 34,1% dan PKI 23,3 %...pada 1957 itu, jaraknya tinggal 3 %, dengan PNI hanya nomor 3 disusul Masyumi nomor 4. Nampaklah, bahwa Jawa Tengah merupakan daerah basis \" PKI khususnya dan Merah pada umunya. Suara PKI Jawa Tengah menyumbang 38,1 % suara nasionalnya PKI. Ditujuh kabupaten yakni Klaten (/prosentase terbesar dengan hampir 55 % sejumlah 204.128 suara bagi PKI dari semua suara yang masuk sejumlah 387.640 ), Cilacap, Boyolali, Grobogan dan Sukoharjo, PKI menang mutlak dengan suara lebih dari 50 %. Di beberapa kabupaten dan kota lainnya di Jateng, suara PKI juga mengesankan dan sebagai juara 1 yakni di Kabupaten -kabupaten Semarang, Kota Semarang, Temanggung, Blora, Gunung Kidul, Kota Surakarta dan Kota Yogyakarta. Dengan demikian, PKI dan Aidit pasti tahu bahwa Jawa Tengah adalah harapan besar di atas kenyataan yang menggembirakannya. Kelak terbukti pada 1965, ketika Jakarta gagal memimpin kudeta, Jawa Tengah terutama di Segitiga Solo- Klaten dan Boyolali, Aidit melarikan diri dan bergerak di kawasan tersebut. Bahkan setelah terbunuhnya Aidit pada 23 November 1965 dinihari lalu di Boyolali itu, pengurus CC PKI lainnya ( Rewang Cs ) memilih Blitar Selatan Jawa Timur sebagai kelanjutan gerpolisasi PKI. Blitar adalah peraih suara PKI terbesar di Jawa Timur - seperti halnya Klaten di Jawa Tengah - dengan 179.810 suara dari jumlah p suara semua yang masuk 386.355 suara. Bersiasat Pada 30 September 1965, malam Jum\'at Legi itu, PKI berharap merebut kemenangan revolusi di balik kewibawaan dan kekuasaan Soekarno yang merapuh. Kendati Aidit cs plus Subandrio cs bersiasat dengan manipulasi politiknya menuduh keberadaan Dewan Jenderal dan semata sebagai masalah intern Angkatan Darat, tetapi gagal sudah. Bahkan Aidit harus menyudahi kehidupannya melalalui pengejaran oleh tentara ( RPKAD dan Brigade IV Kodam Diponegoro ) dan tertangkap hampir tengah malam di rumah seorang buruh kereta api bernama Kasim, di Kampung Sambeng, Kelurahan Banjarsari - Kota Solo atas kerja intelijen Sriharto orangnya Jenderal Nasution yang disusupkan lama di Solo kemudian menjadi salah satu ajudan Aidit di Solo. Kemudian pada 23 November/dini hari,Selasa Wage 1965, Aidit tewas diujung letusan senjata api regu penembak dari Brigade Yasir Hadibroto di Boyolali. Sementara Soekarno ingin mengambil tindakan penyelamatan PKI sebagai partai yang revolusioner melalui penafian G30S/ PKI dan mengantikannya sebagai Gestok ( Gerakan Satu Oktober berdalih pada teknis perwaktuan, 30 September dinihari dianggapkan sebagai 1 Oktober ) ; disusul pembentukan Barisan Soekarno dan hampir perang antar Angkatan ( RPKAD dan Angkatan Darat pada umumnya versus AURI dan KKO serta AKRI Jatim ) serta tak tertahankannya aksi pemuda dan mahasiswa KAMI/ KAPPI di Jakarta, Bandung, Solo dan Jogja yang merupakan himpunan gerakan kaum muda Muslim plus angkatan muda Katholik dan Kristen serta Nasionalis kanan di bawah Osa Maliki dan Usep Rabuwiharjo berhadapan dengan massa PKI plus Nasionalis kiri Ali Sastroamijoyo dan Surahman ( ASU ), namun nasib sejarahnya kian meluncur ke jurang kehancuran. Berbulan- bulan kemudian, sejak Oktober 1965 sampai dengan 1968 dengan dualisme kekuasaan antara Istana dan Markas Kostrad ( Soeharto dan AH Nasution ) yang memuncakkan suhu politik dan menjatuhkan kursi kepresidenan Soekarno, maka akibatnya kian jelas bahwa PKI kalah di hadapan tentara dan rakyat yang tak mau dengan PKI. Muhammadiyah dan NU bersatu melawan PKI yang kian limbung di hadapan sejarah. Bahu membahu dengan teman-teman dari Partai Katholik dan Parkindo , menggumpalah kekuatan melawan PKI di bawah kepemimpinan Angkatan Darat blok Kostrad : Jenderal Soeharto dan Jenderal A.H Nasution. Aidit dalam usia yang sebenarnya merupakan awal kehidupan manusia yang sesungguhnya ( 42 tahun ) dan berhasil membawa PKI pada kurun 1955-1965 sebagai kekuatan politik yang disegani dan selangkah lagi masuk Istana, ternyata tragis di akhir kehidupannya. Kantor CC PKI di Jalan Kramat Raya nomor 57 dan paling megah dibanding Kantor Masyumi, NU, PNI dan Parkindo di kawasan Kramat Raya. Bahkan, PKI juga telah menyiapkan lahan ( kini dipakai Kemparpostel R. I dan Indosat ). Mendekati lokasi Istana Negara. Lubang Hitam Hampir saja juga menenggelamkan R.I ke lubang hitam. Akibat tragedi G30S/ PKI itu hingga kini masih meninggalkan jejak dendam yang setiap waktu bisa memicu keretakan sebagai bangsa dalam menegara. Diantara media sosial yang mengecam PKI dengan Aidit sebagai gembong pemberontakan, kini merembes pula pembelaan yang justru menempatkan PKI sebagai korban perang dingin, dikambinghitamkan oleh Angkatan Darat yang sejak 1950 -an akhir menakutkan Bung Karno sendiri. Berkelit dan berkelindan pula pembelaan terhadap Bung Karno seakan bersih dari noda sejarah kelam itu. Itu hak para pembelanya, namun didepannya juga harus diakui bahwa para korban kekiri-kirian politik Soekarno yang ditopang progresif revolusionernya PKI sejak 1960-1965 pun punya hak sejarah menuduh PKI dan kekuatan militer tertentu yang pejah-gesang nderek Bung Karno dengan segala manifestasnya terhadap kekuatan Islam. Hebat...juga PKI dan pendukungnya mengaku Pancasila yang sila pertamanya Ke Tuhanan Yang Maha Esa. Bukankah mereka anti agama, sebutlah anti Islam dalam doktrin dan getol memusuhi kekuatan pelajar Islam ( PII dan HMI ). Menyerangnlatihan kader PII di Kanigoro Kediri, minta pembubaran HMI. Hal itu kini terulang kebencian terhadap Islam dibalik tuduhan politik identitas, Kadrunisasi dan kebijakan yang ingin mengubur politik dan eksistensi Islam di tanah air. Sinyal itu telah jelas ditunjukkan sebagaimana PKI pada era pasca Pemilu 1955 sampai gagal meledakkan revolusi kaum tani dengan sokongan Mao dan PKC. Kawan, ideologi tak pernah pernah akan mati. Terjadi revitalisasi, pribumisasi, inkarnasi di atas basis kontradiksi yang menjadi alat utamanya. Bukankah pada Revolusi Agustus yang PKI bersembunyi kemudian bangkit lagi sejak 1946 dan berkuasa melalui kekuatan kiri yang sehaluan. PKI memang tak pernah berkuasa. Selalu ditentang oleh kekuatan politik Islam dan nasionalis kanan meski main mata dengan nasionalis kiri. Kehebatan PKI adalah kekuatan infiltrasi dan parasitologi yang hampir merebut kekuasaan dengan bertopengkan pada konflik internal Angkatan Darat. Memakan korban sejak 1960-1965, tapi mengaku sebagai korban. Padahal itulah konsekuensinya atas revolusi yang mereka kobarkan sendiri. Mao bersedih Di hari-hari setelah kematian Aidit, Mao yang menjadi tutor bagi PKI Indonesia yang lebih memilih RRC ketimbang Uni Sovyet sebagai pelindungnya, Mao bersedih dan berharap juga, suatu saat PKI hidup dan semerbak lagi kelak di kemudian hari, sebagaimana diungkapkan Mao dalam pusinya yang dipersembahkan kepada Aidit di bawah ini. BELASUNGKAWA UNTUK AIDIT ( dalam irama Pu Saun Zi ) Di jendela dingin berdiri reranting jarangberaneka bunga di depan semarak riangapa hendak dikata kehembitaan tiada bertahan lamadimusim semi malah jatuh berguguran Kesedihan tiada terhinggamengapa gerangan diri diri mencari kerisauanBunga telah berguguran, di musim semi nanti pasti mekar kembali simpan harum wanginya hingga di tahun mendatang Nah, Anda bisa berintrepetasi : Apa dan bagaimana potensi Jawa Tengah sebagai kantong tebal bagi suara yang merah dan kiri itu....? *
Presiden Joko Widodo Wajib Berhenti Dalam Masa Jabatan, Ini Alasannya (Bagian 2)
Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) SELAMA menjabat Presiden dua periode 2014-2019 dan 2019-2024, Jokowi telah melakukan banyak pelanggaran peraturan perundang-undangan dan Konstitusi. Ada tiga modus pelanggaran peraturan perundang-undangan yang dilakukan rezim Jokowi. Pertama, Peraturan Presiden melanggar sejumlah Undang-Undang (UU) dan Konstitusi. Kedua, Undang-Undang melanggar sejumlah Undang-Undang lainnya dan Konstitusi. Ketiga, pelaksanaan pemerintahan melanggar sejumlah Undang-Undang yang berlaku dan Konstitusi. Peraturan Presiden yang melanggar sejumlah UU dan Konstitusi sudah dijelaskan di bagian 1 dari tulisan ini. Pelanggaran modus kedua, UU melanggar sejumlah UU lainnya dan Konstitusi, menjadi topik bahasan dalam tulisan ini, sebagai berikut: 1. PERPPU No 1 Tahun 2020 / UU No 2 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 …”. Selanjutnya disebut PERPPU Covid-19. Pertama, PERPPU Covid-19 yang “mewajibkan” Bank Indonesia membeli Surat Utang Negara di pasar perdana, melanggar peraturan tentang independensi Bank Indonesia, seperti diatur di dalam Konstitusi, Pasal 23D UUD 1945, yang berbunyi “Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang”. Yang kemudian diatur dan ditegaskan di dalam Pasal 55 ayat (4) UU No 17 Tahun 2003: “Bank Indonesia dilarang membeli untuk diri sendiri surat-surat utang negara … kecuali di pasar sekunder.” Artinya, bentuk dari independensi Bank Indonesia, antara lain “tidak boleh membeli surat utang negara, kecuali di pasar sekunder”, yang merupakan bagian dari kebijakan moneter. Kedua, PERPPU Covid-19 mengatur APBN ditetapkan dengan Peraturan Presiden. Hal ini melanggar Pasal 23 ayat (1) UUD, yang berbunyi: “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang …. PERPPU Covid-19 juga melanggar Pasal 3 ayat (2) UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara yang menegaskan, “APBN dan Perubahan APBN setiap tahun ditetapkan dengan UU”. 2. Undang-Undang No 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN), melanggar sejumlah UU dan Konstitusi. UU IKN menetapkan Pemerintah Daerah IKN dinamakan Otorita, dengan Kepala Daerah dinamakan Kepala Otorita, yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, serta tidak memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). UU IKN ini melanggar Pasal 18 ayat (1) sampai dengan ayat (6) UUD 1945, yang menyatakan bahwa Indonesia dibagi atas, atau terdiri dari, daerah-daerah Provinsi, dan daerah Provinsi terdiri dari Kabupaten dan Kota, dengan Kepala Daerah masing-masing dinamakan Gubernur, Bupati dan Walikota yang dipilih secara demokratis. Pemerintah daerah memiliki DPRD yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum, dan pemerintah daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi. UU IKN juga melanggar UU Pemerintahan Daerah No 23/2014, bahwa pembentukan daerah baru (provinsi, kabupaten atau kota) melalui pemekaran daerah, dan wajib mendapat persetujuan dari DPRD pemerintah daerah yang dimekarkan, serta wajib memenuhi persyaratan administrasi lainnya. Dampak atas pelanggaran ini, sebagian teritori milik dua kabupaten di Kalimantan Timur, yaitu Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Timur, direbut alias “dianeksasi” oleh pemerintah pusat, melalui Otorita IKN (setara Kementerian atau Lembaga) yang merupakan bagian dari pemerintah pusat. Artinya, pendapatan asli daerah yang seharusnya masuk APBD kedua Kabupaten tersebut direbut dan diakui sebagai pendapatan Otorita, dan masuk APBN. Kenekatan Jokowi memanipulasi bentuk Pemerintahan Daerah menjadi Otorita didasari niat jahat agar Pembangunan Daerah Otorita IKN dapat dilaksanakan oleh pemerintah pusat dengan menggunakan dana APBN. Laporan BPK menunjukkan banyak masalah dalam proyek pembangunan IKN, indikasi terjadi banyak kebocoran. Sebagai konsekuensi, maka semua pengeluaran negara terkait Otorita IKN yang cacat hukum ini menjadi tidak sah, dan harus diakui sebagai penyimpangan APBN dan menjadi kerugian negara. Apalagi kalau proyek pembangunan Otorita IKN ini benar-benar menjadi mangkrak. 3. Undang-Undang Cipta Kerja dan PERPPU Cipta Kerja, melanggar sejumlah UU dan Konstitusi. PERPPU Cipta Kerja memanipulasi faktor “Kegentingan Memaksa”, dengan alasan akan ada “krisis ekonomi global”, untuk memaksakan penerbitan PERPPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) yang menjadi dasar ditetapkannya Proyek Strategis Nasional (PSN). Hal ini melanggar Pasal 22 UUD terkait “Kegentingan Memaksa”, yang pada prinsipnya tidak boleh berdasarkan prakiraan, tetapi harus berdasarkan fakta nyata, bahwa peristiwa genting sedang berlangsung. Dalam hal PERPPU Cipta Kerja, faktor genting “krisis ekonomi global” harus sedang terjadi, dan di samping itu tidak ada UU yang bisa mengatasi peristiwa genting “krisis ekonomi global” tersebut, sehingga terjadi kekosongan hukum, dan karenanya diperlukan UU (atau PERPPU) dalam waktu secepatnya untuk mengisi kekosongan hukum tersebut. Faktanya, tidak ada “krisis ekonomi global”. Tidak ada kegentingan memaksa. Karena itu, penetapan PERPPU Cipta Kerja tidak sah, menipulatif, karena tidak memenuhi persyaratan “Kegentingan Memaksa” Pasal 22 UUD. Kemudian, pelaksana PSN seharusnya adalah negara (pemerintah, pemerintah daerah, BUMN, BUMD). Tetapi kemudian dimanipulasi dengan mengikutsertakan proyek swasta, seperti Rempang, PIK-2 atau BSD, dan karena itu melanggar PERPPU Cipta Kerja tersebut. Selain itu, penetapan PSN dalam PERPPU Cipta Kerja juga melanggar Konstitusi terkait Hak Asasi Manusia, Pasal 28H ayat (4) UUD yang berbunyi “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.” Sedangkan status PSN disalahgunakan untuk mengusir dan “merampas” lahan milik masyarakat secara paksa, seperti yang terjadi di Wadas, Rempang, PIK-2, BSD, dan lainnya. Masih banyak UU yang dibuat rezim Jokowi yang bertentangan dengan UU lainnya dan Konstitusi. Antara lain, Undang-Undang tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang mewajibkan masyarakat untuk menabung, melanggar hak masyarakat untuk memilih apakah konsumsi sekarang atau nanti (menabung). Mengingat pelanggaran peraturan perundang-undangan yang sudah begitu banyak, Jokowi tidak layak lagi menjabat Presiden, dan harus diberhentikan. (*)
Preman Bubarkan Diskusi, Tragis dan Memalukan
Oleh Sutoyo Abadi | Kordinator Kajian Politik Merah Putih KEJADIAN pembubaran secara paksaSilaturahmi Kebangsaan Diaspora bersama Tokoh dan Aktivis Nasional yang di selenggarakan oleh Forum Tanah Air (FTA) di kawasan Kemang. Mampang Prapatan Jakarta Selatan, adalah menjadi tanggung jawab FTA. Kejadian tragis dan memalukan tetapi masalahnya juga sederhana kita tidak pernah dilatih dan dipersiapkan untuk damai dan kita sama sekali tidak di persiapkan menghadapi keadaan yang penuh konflik. Yang terjadi negara kita memang bukan gambaran cita cita damai, kerjasama, saling menghormati yang mustahil serta membingungkan , melainkan pengetahuan praktis cara menangani konflik yang setiap hari terjadi dan harus dihadapi. Pengetahuan ini bukanlah cara tentang apa yang kita inginkan melainkan akan lebih rasional dalam menangani konflik jangan ada kekerasan dan saling memaksakan kehendaknya Peristiwa pembubaran diskusi yang dilaksanakan oleh Forum Tanah Air (FTA) di kawasan Kemang. Mampang Prapatan Jakarta Selatan, 28 September 2024 dengan kekerasan adalah perbuatan licik, manipulatif, barbar, pemaksaan kehendak dengan cara kekerasan. Hanya situasinya menjadi sangat aneh karena sama sekali tidak ada persiapan antisipasi pengamanan. Terkesan justru adanya ketakutan untuk menghentikan sikap anarkis, arogan pengrusakan, pemaksaan menghentikan diskusi yang terjadi dengan bebas, leluasa tanpa kendala dan hambatan. Tidak ada perlawanan sama sekali karena alasan yang sedang berdiskusi para tokoh intelektual dan yang datang membubarkan diskusi adalah preman mungkin di ilusikan makhluk yang menakutkan, garang dan sadis dan tidak boleh dilawan. Lebih aneh lagi setelah pengrusakan dan diskusi berhasil di bubarkan anak anak bayaran hanya terjadi keributan kecil, mereka meninggalkan tempatnya tampak sangat bersahabat dengan aparat keamanan, Kejadian ini tidak terlalu spektakuler hanya tragis, memalukan dan memberikan stigma buruk akan terjadi lagi setiap pertemuan tokoh intelektual akan di bubarkan toh tidak akan ada perlawanan. Jadi, alasan tidak ada perlawanan karena adanya ketakutan menjadi ilusi membela diri: - karena peserta diskusi memiliki label tokoh dan intelektual maka tidak layak membela diri atau melakukan perlawanan.- karena yang datang adalah para preman atau Orang Tak Dikenal (OTK) makhluk sakral tidak boleh di lawan- karena itu tugas polisi, termasuk polisi boleh kerjasama dan membiarkan mereka beraksi dengan brutal Termonitor manusia deming di media sosial bahwa kehadiran Prof Din Syamsuddin tokoh Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) dijadikan alasan pembubaran kegiatan diskusi diframing sebagai salah satu inisiator kegiatan tersebut. yang berpotensi akan merusak Indonesia Kejadian tragis dan memalukan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Forum Tanah Air (FTA). Baik kerjasama dengan kepolisian atau dengan kekuatan lainnya harus bisa menyingkap aktor di belakang kejadian tersebut. (*)
Malam Jahanam September-November 1965
Melihat G30S tentu tidak semata dari tayangan film dan serpihan medsos, pun tak tak terbatas pada 1965 serta dua tahun berikutnya sebagai epilog. Catatan Joko Sumpeno, Pemerhati Masalah Sejarah dan Hukum MALAM jahanam yang menegangkan jagad politik 60 tahun yang lalu itu sampai kini masih berselimutkan awan sejarah. Ditandai sebagai Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI) menurut versi Dewan Revolusi pimpinan Letkol Untung Samsuri yang melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap 6 jenderal dan 1 perwira pertama Angkatan Darat. Juga melakukan pendudukan Kantor Postel dan RRI Jakarta. Siaran langsung mengumumkan terbentuknya Dewan Revolusi pada pagi hari, kemudian menyusul pukul 1.00 pada 1 Oktober 1965 diumumkan bahwa Presiden Sukarno dalam keadaan sehat dan aman dalam perlindungan Gerakan 30 September sebagaimana sebutan itu mereka umumkan sendiri. Sedangkan Bung Karno dan pengikutnya bersikukuh menyebutkan itu sebagai Gerakan 1 Oktober 1965 (Gestok), dengan alasan bahwa penculikan dan pembunuhan itu terjadi pada lintasan waktu dinihari 1 Oktober. Bahkan kini berkembang, bahwa G30S tidak harus diikuti tulisan garis miring PKI. Padahal 1 Oktober siang sampai petang, bergeraklah pasukan RPKAD (kini Kopassus) atas perintah dari Panglima Kostrad Mayjen Soeharto merebut instalasi Telkom dan RRI Jakarta yang semula mereka duduki dan kuasai. Kader Muhammadiyah Ketika itu, tentu saya tak tahu apa yang sesungguhnya terjadi tentang peristiwa Gerakan 30 September 1965. Karena memang saya masih kelas IV SD. Saya lahir pada 1 Mei 1956 di Klaten dan masuk SD pada usia 6 tahun. Gara-gara peristiwa yang istimewa inilah, masa kelas IV SD itu diperpanjang 6 bulan. Kemudian pada 1973, pada saat saya di SMA Muhammadiyah 1 Klaten, masa belajar diperpanjang lagi 6 bulan, karena ejaan bahasa Indonesia disempurnakan. Saya tidak tahu apa itu Lubang Buaya, Dewan Revolusi, Dewan Jenderal dan seterusnya. Namun saya tahu nama-nama Bung Karno, Aidit pemimpin PKI, Ali Sastroamijoyo itu Ketua PNI...dan suka menggambar semacam grafiti di tembok gudang minyak kelapa milik pedagang Cina. Gudang itu disebut orang Agentin. Orangtua kami yang Kepala SD dan ibu juga guru SD, berlangganan koran Kedaulatan Rakyat edisi Jogja dan kami punya Radio yang menggunakan batu battery sebanyak 30 buah disusun dalam kotak di bawah kedudukan Radio bermerk Ralin. Juga berlangganan Majalah berbahasa Jawa Panyebar Semangat edisi Surabaya. Saya suka membacanya dan mendengarkan siaran Radio, baik acara siaran berita maupun hiburan khususnya pagelaran Wayang Kulit atau Musik. Sejak kelas IV hingga lulus SD pada 1968, dengan rata-rata nilai 9 (berhitung 10, Bahasa Indonesia 8 dan Pengetahuan Umum 9) itu berkat dipaksa rajin membaca dan suka mendengarkan siaran RRI. SD kami adalah juara umum hasil ujian Negara SD se Kawedanan Delanggu - Kabupaten Klaten yang terdiri dari empat Kecamatan Ceper, Juwiring, Wonosari dan Delanggu. Upacara dan Latihan Baris Berbaris Pada tahun 1965, sepanjang mulai Mei, Juli menyusul Agustus sebelum meletusnya pembunuhan para jenderal di Jakarta dan dua perwira menengah di Jogjakarta, di Kawedanan Delanggu dan lainnya kawasan Jogja - Solo, seingatku selalu meriah dengan pawai dan pertunjukan hiburan. Dari ketoprak, pemutaran film di lapangan dan terutama pagelaran wayang kulit. Di lapangan bola di kawedanan Delanggu yang bernama Lapangan Merdeka, sering dilakukan upacara dan latihan baris berbaris oleh para pemuda yang dilatih tentara. Juga peringatan hari kemerdekaan yang dihadiri banyak orang. Hadirlah berbagai barisan dari macam-macam ormas (organisasi massa petani, buruh, guru seperti Sarbupri- Sobsi/PKI, Gasbindo dari pekerja Islam, KBM- Kesatuan Buruh Marhaen/PNI, BTI sayap PKI, PETANI sayap PNI, GP Ansor/NU, Pemuda Muhammadiyah, PII, Gerakan Pemuda Marhaen/GPM dan orsospol seperti PKI, PNI, NU , Parkindo, Partai Katholik serta Muhammadiyah). Dari PKI tampil tarian Pentol Tembem, reog yang disaingi serupa oleh massa PNI. Sedangkan dari NU dan GP Ansor menampilkan Orkes Gambus, Muhammadiyah beratraksi dengan drumband dan musik Angklung dari Nasyiatul Asyiah. Saya masih ingat bintang NA adalah Mbak Aryati yang cantik dan ramah dan suka menyanyikan lagu Bandung Selatan dalam irama angklung. Banyak hiburan dan warung dengan makanan ala desa. Uang Rp10 sampai Rp100 masih berharga untuk beli es campur, soto, gulali, bakmi jowo dan kue. Rasanya menyenangkan, meskipun di sana sini suka terjadi perkelahian antarpara pendukung partai yang berbeda. Di Delanggu sering Pemuda Rakyat berkelahi lawan Pemuda Marhaen. Bahkan ada yang meninggal, ketika peringatan kelahiran PNI Juli 1927-1965 dan kelahiran PKI pada dua bulan sebelumnya, yakni 23 Mei 1920-1965. Bulan-bulan Agustus sampai Oktober 1965, terjadi kemarau panjang dan hama tikus merajalela. Panen gagal dan harga beras naik yang kemudian terjadi kekurangan pangan. Banyak pengungsi dari Gunung Kidul membanjiri Delanggu yang dikenal sebagai salah satu gudang beras di Jateng Tidak Bisa Bahasa Jawa Tibalah suatu sore di akhir bulan Oktober 1965, toko minyak tanah dan bensin di Delanggu kehabisan stok. Padahal lampu penerangan tiap rumah masih pakai teplok atau petromak, juga untuk memasak makanan/minuman. Juga bisik-bisik dari depot minyak dan bensin campur Nasakom milik Pak Subani di pinggir jalan raya Solo - Jogja yang melintas di Delanggu, bahwa besok akan datang tentara baret merah: Itu tentara Nekolim yang tidak bisa bahasa Jawa....akan tiba di Delanggu. Begitu tiba di rumah dengan hampa tanpa membawa sebotol belanjaan minyak tanah, bisik-bisik tadi saya sampaikan kepada ibu dan ayah. Ayah hanya diam....dan malamnya sampai beberapa malam-malam berikutnya ayah tidak pulang. Kemudian saya baru tahu, kalau ayah yang Ketua Ranting Muhammadiyah Desa Delanggu, suka berkumpul di Kantor Cabang Muhammadiyah Delanggu. Hari berikutnya pada akhir Oktober 1965, benar juga tentara baret merah yang dibaju lorengnya bertuliskan RPKAD. Menaiki truk Toyota bercat hijau lumut....turun di di pinggir jalan raya Delanggu. Jalan waktu itu dihalangi pohon yang ditumbangkan dan kabel telepon bergelantungan putus merintangi jalan raya antara Kartasura sampai dengan Klaten. Saya dan teman-teman yang suka berjamaah sholat Maghrib di Langgar Mbah Ahmad Sukemi, pagi itu mendekati tentara baret merah dan ingin mencoba bertanya dalam bahasa Indonesia terbata-bata. Karena terpengaruh beberapa orangtua pengikut PKI yang mengatakan bahwa tentara tersebut disangkakan sebagai tentara Nekolim dan tak bisa berbahasa Jawa, maka saya akan bertanya dalam bahasa Indonesia. Eh...nggak tahunya, tentara itu justru bertanya dalam bahasa Jawa: Le.. ngendi omahe Daryanto (Nak di mana rumahnya Daryanto). Saya jadi berani menjawab: Tonanggan pak, sambil menunjuk ke Utara. Nama sebuah dusun sebelah dari dusun saya yang bernama Dongkolan pada Desa yang sama: Delanggu. Kemudian beberapa orangtua menghampiri dan membimbing ke arah rumah Daryanto yang dikenal sebagai Ketua Pemuda Rakyat Delanggu. Kemudian...saya tahu dari ayahku, bahwa nama-nama Daryanto, Kunto, juga Pak Lurah Tarno serta Pak Sekretaris Desa Pak Yunanto, dibawa tentara pengganti RPKAD yakni Yon 411 yang dipimpin Pak Letkol Yasir Hadibroto. Dikabarkan tak pulang selamanya. Tiap malam kami mendengar letusan senjata api dari kejauhan. Setiap sore akhir Oktober sampai November 1965, saya dan teman-teman main ke lapangan Merdeka Delanggu. Melihat pasukan RPKAD berlatih melempar pisau komando. Kemudian kami diajak naik truk RPKAD berkeliling ke desa-desa sambil bernyanyi. Satu peleton (30 orang) RPKAD ditempatkan di Rumah Bola Pabrik Karung Delanggu. Kabarnya 2 batalyon diterjunkan di Jawa Tengah dengan pimpinan langsung komandan resimen RPKAD: Kolonel Sarwo Edhi Wibowo. Ditambah batalyon RPKAD yang berpangkalan di Kartasura, dekat Surakarta. Pada awal November pasukan RPKAD melatih baris berbaris puluhan pemuda dari GPM/PNI, Pemuda Muhammadiyah, GP Ansor dan dari pemuda gereja Katholik. Dilanjutkan latihan perang-perangan di beberapa lokasi. Entah kenapa beberapa anak seusiaku, termasuk aku mengikuti latihan mereka dari belakang. Kami didiamkan, malah kadang disuruh membeli es batu, es lilin dan rokok cap Menara..Kadang latihannya di lereng sungai dan dipinggiran desa. Beberapa kali saya mengikuti dari belakang (Jw:Ngintili...). Pada suatu kali, ketika kami para murid SD kelas IV bersama murid SMP dan SLTA berjajaran di pinggir jalan raya Solo Jogja yang melintasi Delanggu. Kami diminta oleh pak/ibu guru menunggu kedatangan defile tentara, katanya dari Magelang- Jogja menuju Solo. Melintaslah iringan sekian mobil, panser, berpuluh truk bermuatan tentara bersenjata AK, stengun, di depan jajaran barisan kami. Berteriak Hidup Bung Karno, Hidup Bung Karno....eh kami ditegur Bu guru Mujilah : Mboten pareng, ayo teriak Hidup ABRI, Hidup ABRI. Dan kami mengganti teriakan sesuai anjuran Bu Guru Mujilah dan para guru lainnya. Hidup ABRI pun berlantunan....dan ternyata ketika SMP saya baru tahu kalau Bu Mujilah adalah Ketua Aisyiah Delanggu, teman sesama Guru SD ayah ku yang menjadi Pengurus/Sekretaris Muhammadiyah Cabang Delanggu. Lalu ....beberapa bulan di tahun berikutnya yakni 12 Maret 1966 ketika saya naik ke kelas V SD, PKI dibubarkan dan keramaian jalanan pun berkurang berganti dengan KAMI dan KAPPI bentrok dengan kalangan pendukung Bung Karno di Solo, Jogja, Bandung dan Jakarta. Oknum KKO berkelahi dengan personil RPKAD ....dan terdengar di radio pada 17 Agustus 1966 Bung Karno menyampaikan pidato JASMERAH sebagai pidato terakhir. Tak Akan Pernah Selesai Jasmerah adalah pidato terakhir Bung Karno yang sebelumnya menggelora pidatonya berjudul: Manipol/Usdek, Resopim, Gesuri, Tavip, Berdikari di Gelora Senayan yang kini bernama Gelora Bung Karno. Sejarah belum dan tak akan pernah selesai, begitu pun sejarah G30S dengan sebutan PKI atau tidak atau sebutan Gestok sekalipun. Melihat G30S tentu tidak semata dari tayangan film dan serpihan medsos, pun tak tak terbatas pada 1965 serta dua tahun berikutnya sebagai epilog. Baca dan pahami juga kejayaan PKI mulai 1960, 1961, 1962, 1963 dan 1964 sebagai prolog PKI di ketiak Bung Karno yang tersanjung dan tanpa lawan. Karena lawan politiknya telah didiamkan dan diisolasi di tahanan militer dari Madiun sampai Jakarta.*** *Jsp, kini 69 tahun kurang 5 bulan.
Polisi Terlibat Penyerbuan Diskusi FTA?
Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan PERISTIWA memalukan dan memilukan terjadi pada tanggal 28 September 2028 di Ball Room Grand Kemang. Sekelompok preman yang seluruhnya bermasker menyerbu ruangan tempat yang akan digunakan untuk diskusi. Kelompok atau gerombolan ini langsung mencabuti dan merusak atribut atau fasilitas diskusi yang sedianya diselenggarakan oleh Forum Tanah Air (FTA) yang bermarkas di New York USA. Terjadi insiden kecil di luar antara gerombolan dengan Satpam Hotel. Sebagian tamu atau tokoh yang hadir hanya kaget dengan serbuan tiba-tiba tersebut. Setelah merusak dan membawa fasilitas yang ada, gerombolan preman tersebut segera keluar sambil berupaya membubarkan acara. Diskusi sendiri belum dimulai. Panitia dan para tokoh tidak membubarkan diri melainkan mengadakan Konperensi Pers darurat untuk menyikapi kejadian brutal dan tidak beradab tersebut. Lucunya, aparat keamanan sepertinya membiarkan kejadian tersebut. Bahkan setelah mereka digiring ke luar pagar hotel, terlihat petugas Kepolisian berangkulan hangat dengan pimpinan dan beberapa anggota gerombolan tersebut. Dugaan terjadinya kerjasama antara aparat dan gerombolan semakin menguat. Ini bukti yang dapat menjadi pintu masuk bagi pengusutan tindakan brutal dan kriminal tersebut. Dalam Konperensi Pers yang dipandu Hersubeno Arief, Ketua FTA Tanta Kesantra, Prof Dien Syamsuddin, Mayjen Purn Soenarko, Said Didu, Refly Harun, Bunda Merry, Marwan Batubara dan Rizal Fadillah pada pokoknya mengecam perilaku biadab gerombolan preman tersebut, mendesak Kepolisian untuk mengusut tuntas, serta akan menyiarkan peristiwa ke berbagai negara di lima benua. Pelanggaran hak-hak asasi manusia dan demokrasi seperti ini tidak dapat dibiarkan. Diskusi Kebangsaan FTA dihadiri juga oleh tokoh-tokoh seperti Jenderal Purn Fahru Rozi, Brigjen Purn Purnomo, Prof Sayuti, Gde Sriana, HM Mursalin, Ust Donny, Ir. Syafril Sofyan, Ida Kusdiyanti, Jumhur Hidayat, Abraham Samad dan lainnya. Tanpa memenuhi kemauan gerombolan, acara berlangsung santai hingga makan siang. Obrak-abrik mereka gagal mencapai target, hanya tindakan bunuh diri bagi preman-preman, kepolisian dan rezim Jokowi. Kini peranyaannya apa kata dunia? Tangkap dan proses hukum 25 anggota gerombolan preman-preman biadab. Kapolri Jenderal Listyo harus menindak aparat Kepolisian yang jelas-jelas terlibat, Jokowi harus bertanggung jawab. Forum Tanah Air (FTA) adalah kumpulan Warga Indonesia yang tersebar di berbagai belahan dunia. Kaum diaspora ini memiliki kepedulian dan kecintaan tinggi kepada tanah airnya. Ingin Indonesia menjadi lebih baik ke depan. Peristiwa penyerbuan acara FTA menjadi cermin wajah pemerintahan Jokowi yang semakin membusuk. Operasi premanisme, brutalisme, melanggar demokrasi dan hak asasi, haruslah mendapat sanksi. Apalagi melibatkan oknum-oknum Polisi. Tangkap anggota gerombolan dan proses hukum. Tindak anggota Kepolisian yang terlibat baik tingkat Polsek, Polres ataupun Polda. Hukum, demokrasi, dan HAM harus dihormati. (*)
FHUI, Selamat Dies Natalis 100 Tahun: Pendidikan Hukum di Indonesia
Oleh: Joko Sumpeno, Pemerhati masalah Hukum dan Sejarah SELAMAT Merajut Kembali Kenangan dalam rangka Dies Natalis 100 tahun Pendidikan Hukum di Indonesia ( 28 Oktober 1924-2024 ). Diawali Sekolah Hukum ( Recht School ) pada Juli 1909 yang kemudian ditutup pada 2028, berdirilah Sekolah Tinggi Hukum ( Recht Hoge School ) 4 tahun sebelum Recht School ( RS ) itu ditutup. Menghasilkan 189 lulusan yang lulusannya antara lain Mr. ( Meester in de Rechten - Sarjana Hukum ) Besar Martokusumo ( advokat pertama pribumi sejak zaman kolonial Hindia Belanda, pun pernah menjadi Residen di Karesidenan Pekalongan semasa Pemerintahan Bala Tentara Jepang 1942-1945 ). Juga R.Suprapto, pernah menjadi Hakim di Pengadilan Negeri Pekalongan yang mengadili Kutil tokoh lokal dalam Revolusi Sosial di Tiga Daerah ( Tegal, Brebes dan Pemalang ), kemudian menjadi Jaksa Agung R.I terlama ( 195-1959 ), serta mengundurkan diri dan tak mau serah terima jabatan di depan Presiden Soekarno. R.Suprapto tidak bergelar Mr. hanya lulus RS karena tidak melanjutkan ke RHS ataupun Universitas Leiden. Kemudian menjadi Jaksa Agung yang fenomenal dan dijadikan Bapak Kejaksaan R I yang patungnya dipajang di depang Gedung Kejagung R.I Lulusan RS, kemudian RHS adalah Moh Yamin pernah menjadi Menteri Kehakiman dan Ketua Dewan Perancang Nssional- kini Bappenas ; Amir Syarifudin mantan Perdana Menteri 1947.. Sedangkan Ketua Mahkamah Agung R.I pertama ( Mr. Kusmah Atmaja ), juga Prof Dr Mr Soepomo pernah Menteri Kehakiman R.I pertama..adalah lulusan Universitas Leiden setelah tamat R.S. Empat tahun RHS berjalan sejak 1924, kemudian RS ditutup pada 1928.... yang pada 28 Oktober 1928 itu Sumpah Pemuda dicetuskan dengan tokohnya mahasiswa Mr Moh Yamin yang sekolah lanjutannya diselesaikan di AMS Surakarta setelah meninggalkan Landbouw School ( Sekolah Pertanian dan Kehewanan di Bogor, cikal bakal Fakultas Pertanian dan Kehewanan Universitas Indonesia kemudian pada 1958 memisahkan diri menjadi Institut Pertanian Bogor. Nama Indonesia pada Universitas Indonesia kini itu berawal dari nama himpunan menghimpun Sekolah Tinggi Teknik Bandung ( Technische Hoge School ), Sekolah Tinggi Ekonomi di Makassar, Sekolah Tinggi Farmasi Surabaya, dan Sekolah Tinggi Hukum serta Kedokteran di Batavia atau sejak 1942 menjadi Jakarta. Awalnya bernama U van I diprakarsai oleh Pemerintah Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia ( NICA - Pemerintahan Sipil Hindia Belanda ).Sejumlah dosen dan gurubesar yang pro republik hijrah ke Jogja, mendirikan Balai Perguruan Tinggi R.I di Jogja pada Desember 1949 ,antara lain Prof Mr.Djoko Soetono .Sebagian lagi tetap di Jakarta mendirikan Universitas Nasional yang diprakarsai Prof Sutan Takdir Alisyahbana dan Adam Bachtiar ( ayahanda Prof Harsya W Bachtiar ). Bahkan Prof Djoko Soetono menjadi Dekan bukan saja FH, karena Fakultasnya dirangkap menjadi Fakultas Hukum, Ekonomi dan Sosial Politik yang kampusnya berada di Surakarta. Hanya beberapa bulan FHESP berkampus di Surakarta, karena rumornya Sunan Pakubuwono XII tidak begitu berkenan terkait dengan hengkangnya status Istimewa pada Surakarta itu. Dua bulan kemudian, pasca kesepakatan KMB 27 Desember 1949, yakni Februari 1950 lahirlah UI tanpa \'van\' di tengah dua huruf U dan I itu. Dan, Dekan FHESP dijabat oleh Prof Mr . Djoko Soetono. Sejak 1950-1959 iklim politik parlementer yang liberal, memanggil keprihstinan kaum militer yang sejalan dengan kehendak Bung Karno untuk memberikan ruang politik kepada tentara, maka lahirlah jalan tengah konsep Prof Mr.Djoko Soetono - pendiri Pendidikan Tinggi Ilmu Kepolisian - yang menjadi narasumber intelektualnya tentara menghadapi situasi politik desa itu. Kemudian konsep itu bergulir dan bermetamorhosa menjadi Dwifungsi yang dirasa represif dan ditinggalkan sejak reformasi 1998 menguncangnya. Sumbangan Fakultas Hukum UI kepada tumbuh-kembangnya hukum dan politik di Indonesia tak bisa dipisahkan dari langgam realitas politik Indonesia. Hampir saja impian tiga periode rezim Jokowi 3 terpenuhi, dan dimanakah prof hukum UI berdiri. Anda bisa lihat kembali pada sepanjang 2023, siapa yang siap menjadi \"tukang\" sekaligus teoritikusnya. Dan, ingat lah siapa saja profesor FHUi yang lantang berani mengingatkannya. Itulah FHUI kita..!! Jsp, pernah menjadi wartawan Forum Keadilan 1989-1991. Kini masih suka menulis apa saja.
Post Power Syndrome Sungguh Menyakitkan
Oleh Miftah H. Yusufpati Jurnalis Senior INI kisah Pak Karyo, sebut saja namanya begitu. Dia adalah pejabat tinggi. Lebih tinggi dari wakil gubernur. Kala masih menjabat, wajahnya selalu berseri, penuh dengan semangat dan vitalitas. Ia sangat dihormati anak buah dan koleganya. Saban hari ia selalu bertabur pujian, sanjungan dari tetanga dan masyarakat sekitar . Setiap pagi, sopir mengantar ia berdinas ke kantor dengan dua pengawal yang selalu menjaganya. Pak Karyo selalu tampil gagah dengan seragam kebesarannya. Ia sungguh menikmati status kepejabatannya. Anak istrinya pun terlihat berpenampilan “wah”. Kenyamanan, kehormatan, pujian, diterima olehnya dengan senang hati dan mungkin dia merasa ini abadi. Pak Karyo kini sudah pensiun. Tapi Pak Karyo belum siap kehilangan jabatannya. Saban pagi ia masih mengenakan pakaian kebesarannya, dan meminta sang sopir mengantar berdinas ke kantornya. Awalnya, sang sopir bingung, hanya saja, lama-lama terbiasa. Pagi-pagi ia mengantar Pak Karyo ke kantor gubernuran, lalu berputar-putar, pulang. Pak Karyo masih menggaji dua orang pengawal dan seorang sopir. Tugas mereka sama persis laiknya ketika Pak Kayo masih menjabat. Pada saat menghadiri undangan dari LSM atau organisasi massa, dua pengawal itu dibawa serta. Tugasnya, membuka pintu mobil, memberi hormat saat akan turun dari mobil maupun saat akan naik ke mobil. Secara materi, Pak Karyo berkecukupan dan di atas rata-rata rakyat negeri ini. Tapi bila dilihat dari hakikat kekayaan, ia masih miskin. Ia masih berharap pemberian dari negara. Ia belum bisa lepas dari tunjangan dan fasilitas yang rutin diterimanya. Lebih dari itu ia masih butuh puja-puji dari tetangga dan anak-buahnya. Kadang susah, kadang senang. Kadang di atas, kadang di bawah. Kadang memimpin, kali lain dipimpin. Hari ini menjabat, besok kehilangan jabatan. Bagitulah hidup. Tapi Pak Karyo tak siap jatuh, ketika tengah menikmati kejayaan itu. Apa yang dialami Pak Karyo dalam dunia psikologi dikenal dengan post power syndrom . Ada tiga aspek kehidupan kita yang mesti terpenuhi, yaitu aspek fisik, aspek rohani dan aspek akal. Untuk benar-benar kaya, ketiga aspek tersebut harus terpenuhi. Dan sebaliknya, agar ketiganya terpenuhi, seseorang harus kaya. Namun dalam kasus Pak Karyo, fisiknya sudah pasti kaya. Begitu pula akal, intelejensinya tentu bagus, karena dia jadi pejabat. Hanya saja, rohani, jiwanya masih miskin. Hidupnya menjadi pincang karena melupakan aspek rohani. Boleh jadi ia termasuk orang yang rajin beribadah, cuma tidak benar-benar memenuhi kebutuhan rohaninya. Soalnya, rohani atau mental atau keyakinannya menolak untuk tak menjabat lagi. Presiden Jokowi dan para menterinya sebentar lagi akan meninggalkan kursinya. Tengoklah mereka, adakah di antaranya mengalami nasib seperti Pak Karyo? Post power syndrome sungguh menyakitkan
Kampus Trisakti Berstatus PTNBH Akan Lebih Bagus, Anak Agung: Omong Kosong
Jakarta | FNN - Ketua Pembina Yayasan Trisakti, Prof Dr Anak Agung Gde Agung tak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Dengan suara yang berat mantan Menteri Sosial dalam Kabinet Abdurahman Wahid itu mengungkapkan isi hatinya bahwa sebagai warga negara yang baik ia sudah menempuh seluruh jalur pengadilan untuk menegakkan keadilan dan kepastian hukum. Namun apa yang didapat justru sebaliknya, ia merasa dilecehkan dan diremehkan oleh anak muda bernama Nadiem Makarim yang saat ini kebetulan sedang menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. \"Saya sudah lelah, letih, capek, dan tak tahu harus berbuat apa lagi. Saya sudah menempuh jalur hukum untuk menyelesaikan masalah Yayasan Trisakti. Dari pengadilan tingkat pertama sampai tingkat tertinggi Mahkamah Agung, Yayasan Trisakti selalu menang. Sudah tiga kali kemenangan putusan pengadilan, sama sekali tidak diindahkan oleh Nadiem Makarim. Perilakunya mirip preman,\" kata Anak Agung kepada wartawan di halaman Kemendikbudristek, Senayan, Jakarta, Kamis (26/09/2024). Anak Agung didampingi pengacara dan para anggota Yayasan Trisakti lainnya mendatangi kantor Nadiem untuk mempertanyakan surat yang dikirim beberapa hari lalu perihal pelaksanaan putusan kasasi Mahkamah Agung. Maklum, sudah hampir dua bulan sejak Mahkamah Agung memenangkan Yayasan Trisakti, Mendikbudristek tidak menunjukkan itikad baik untuk keluar dari kantor yayasan yang diserobotnya. Bahkan surat yang dikirim dari pihak Anak Agung ke Mendikbudristek, tidak direspons dengan baik, malah dipingpong ke sana ke mari. \"Katanya suruh nanya ke Dirjen Dikti. Sungguh cara bernegara yang mirip preman,\" tegasnya dengan nada kesal. Anak Agung menegaskan bahwa sejak Agustus 2024, begitu terima putusan Mahkamah Agung, pihaknya langsung bersurat kepada Mendikbudristek, tetapi tidak direspons. \"Kita malah ditendang kiri kanan. Masyarakat bisa tahu bagaiman seorang menteri pendidikan bisa bertindak sewenang-wenang di luar hukum mengambil alih yayasan swasta,\" paparnya. \"Pengambilalihan yayasan atas nama meningkatkan kualitas pendidikan itu menurut saya omong kosong,\" tegasnya. Sebab, lanjut Anak Agung, dari 22 PTN yang diubah status menjadi PTNBH, biaya kuliahnya lebih tinggi dan memberatkan mahasiswa. Universitas Trisakti lanjut Anak Agung adalah kampus swasta, sudah berdiri tegak sejak tahun 1966 menghasilkan lulusan hebat dan berbakti kepada nusa dan bangsa.Tidak ada alasan untuk diambilalih dengan alasan apapun karena pihaknya tidak membutuhkan bantuan pemerintah. Mereka berdalih ingin meningkatkan mutu pendidikan dengan cara berubah status menjadi PTNBH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum), namun Anak Agung tidak mempercayainya. \"Yang bisa diubah menjadi PTNBH adalah perguruan tinggi negeri, bukan PTS. Sekarang mereka mencari cara, merekayasa menggunakan kekuasaan untuk tetap bisa menguasai kampus Trisakti setelah mereka gagal merekayasa yayasan melalui Keputusan Mendikbudristek. Mereka sekarang melakukan rekayasa berikutnya yaitu sedang menyiapkan RPP (Rancangan Peraturan Pemerintah) agar perguruan tinggi swasta bisa langsung menjadi PTNBH. Ini contoh nyata mereka mengutak-atik undang undang untuk kepentingan segelintir orang,\" tegasnya. Sementara penasihat hukum Yayasan Trisakti, Nugraha Bratakusumah menyarankan agar Nadiem Makarim untuk segera mematuhi putusan pengadilan dan mengembalikan nama baik Yayasan Trisakti. Kalau Nadiem Makarim tidak segera melakukan eksekusi sendiri, Yayasan Trisakti akan melakukan eksekusi melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. \"Saya percaya Nadiem Makarim punya reputasi untuk melaksanakan putusan pengadilan tanpa harus didesak-desak,\" pungkasnya. Pada kesempatan itu sempat terjadi keributan yang ditimbulkan oleh aparat keamanan. Setelah Anak Agung, lawyer dan rombongan lainnya keluar dari gedung Kemendikbudristek, puluhan wartawan melakukan wawancara doorstop di halaman kantor milik rakyat Indonesia itu. Tiba tiba staf Kemendikbudristek yang didampingi petugas security hendak mengusirnya. Sempat terjadi adu mulut antara staf kementerian dan wartawan. Anak buah Nadiem melarang wartawan melakukan wawancara. Tetapi oleh wartawan, mereka disemprot bahwa siapapun tidak boleh menghalangi kerja wartawan. \"Anda melanggar Undang undang Pers kalau masih melarang kami wawancara di sini. Anda menghalang- halangi kerja pers. Ini di area publik, apa salah kami,\" hardik salah satu wartawan. Para staf dan security pun terdiam dan membiarkan wawancara berlangsung hingga selesai. (ant/Ida).