ALL CATEGORY
Fahri Hamzah: Putusan MK Memastikan Otonomi Daerah Menjadi Lebih Bermakna
JAKARTA | FNN - Wakil Ketua Umum Partai Gelora Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah mengatakan, bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai ambang batas pencalonan calon kepala dan wakil kepala daerah telah mengubah lanskap Pilkada 2024 di banyak daerah. Hal ini memastikan otonomi daerah (otda) menjadi lebih bermakna, serta memperkuat partisipasi rakyat karena semua suara diperhitungkan, tidak hanya yang memiliki kursi saja. Demikian disampaikan Fahri Hamzah dalam diskusi Gelora Talk dengan tema \'Pilkada, Otonomi Daerah dan Percepatan Pembangunan di Era Prabowo-Gibran, Rabu (4/9/2024) sore. \"Kotak kosong pecah menjadi suara-suara yang berserakan, dan kandidat bertambah banyak di mana-mana. Putusan Mahkamah Kontitusi tidak lain atau tidak bukan dalam rangka memperkuat partisipasi rakyat. Partisipasi ini juga adalah dalam rangka memastikan bahwa otonomi daerah itu lebih bermakna,\" kata Fahri Hamzah. Menurut Fahri, perubahan lanskap Pilkada 2024 usai putusan MK ini menjadi nafas penting bagi otda agar pembangunan dapat terselenggara lebih masif dan cepat di era pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Walaupun demikian, ia mengingatkan agar otda pasca-Pilkada 2024 tidak membuat perlambatan pembangunan, karena adanya \'raja-raja kecil di daerah\' dalam rangka melakukan bergaining (tawar-menawar) dengan pusat yang dapat mengganggu pembangunan. \"Seharusnya pemimpin-pemimpin baru yang dipilih dari Pilkada 2024 dapat mewujudkan Indonesia untuk tumbuh menjadi negara industri yang lebih maju atau menuju Indonesia Emas 2045,\" katanya. Selain itu, dia mengatakan pemimpin baru nantinya perlu memikirkan terobosan untuk mempercepat peningkatan pendapatan per kapita nasional. Sehingga target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen, bahkan dua digit pertumbuhan di era Prabowo-Gibran dapat tercapai. \"Pemerintah ke depan juga harus mewaspadai gejala pengelolaan otonomi daerah yang bisa menjadi faktor penghambat, karena kontrol partai politik terkandang berbeda dengan pemerintah pusat di daerah,\" katanya. Karena itu, Fahri mengusulkan agar pelaksanaan Pilkada gubernur ke depan ditiadakan, cukup ditunjuk saja. Sebab, berdasarkan undang-undang, gubernur adalah wakil pemerintah pusat di daerah. Sementara Pilkada di kabupaten/kota tetap diadakan. \"Karena pada dasarnya, gubernur merupakan elemen dari pemerintah pusat, dan memperbanyak membantu pemerintah pusat di daerah. Sekarang ini banyak gubernur yang tidak kompak dengan walikota atau bupatinya. Sehingga Pilkada gubernur sebaiknya ditiadakan,\" katanya. Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019 ini, berpandangan akibat tidak harmonisnya hubungan antara gubernur dengan bupati/walikota, banyak pembangunan dan pelayanan publik di daerah menjadi terbengkalai. \"Posisi gubernur ini dilematis, terkadang juga menggangu pemerintah pusat seperti di Jakarta, karena beda partai. Sekarang oposisi di pilkada gubernur di Jawa Tengah juga sudah mulai bergerak. Pilkada gubernur yang berbau politis, seharusnya bisa dikurangi. Pemerintahan Prabowo ini akan berlari kencang. Kalau sopirnya berlaring kencang, maka gandengannya juga harus sama, sehingga ada percepatan pembangunan menuju Indonesia Emas 2045,\" pungkasnya. *Distribusi Kewenangan dan Percepatan Pembangunan* Sementara itu, pengamat politik Andi Alfian Malarangeng mengatakan, pada dasarnya pelaksanaan otda dalam rangka mendistrisbusikan kewenangan dan memperpecepat pembangunan di daerah, serta memberikan kesempatan rakyat untuk menyalurkan aspirasinya secara demokratis. \"Tren yang ada sekarang di dunia itu, membuat provinsi dan memilih gubernur seperti di Prancis. Tadinya tidak ada itu provinsi, yang ada kabupaten/kota, tapi kemudian dibentuk provinsi, dilakukan distribusi keuangan dan kewenangan,\" kata Andi Malarangeng. Sebagai salah satu anggota tim pakar penyusun Otda bersama Prof Ryas Rasyid, kata Andi Malarangeng, dan pelaksanaan pilkada gubernur tetap diperlukan dalam rangka distribusi kewenangan dan keuangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. \"Menurut saya, jangan terus disalahin pemberian otonomi daerah kepada pemerintah daerah, sehingga terkadang menimbulkan perselisihan. Tetapi pemerintah pusat juga salah, karena norma-norma standarnya, pasal-pasalnya belum dibuat sampai sekarang, soal distribusi kewenangan itu,\" tegasnya. Andi Malarangeng yang kini menjadi politisi Partai Demokrat menilai gubernur yang dihasilkan dari pilkada di 38 provinsi, akan memudahkan pemerintah pusat berkoordinasi dengan bupati/walikota di 514 kabupaten/kota melalui gubernur, daripada pemerintah secara langsung mengurusi kabupaten/kota tersebut. \"Kalau pemerintah secara langsung mengurusi itu, agak susah membayangkan. Kalau mau meniadakan pilkada gubernur, pemilihannya bisa melalui DPRD. Judulnya tetap daerah otonom, tapi pemilihannya melalui DPRD. Itu memang ada wacana seperti itu, gubernurnya di DPRD, sedangkan kabupaten/kotanya langsung,\" ujarnya. Andi Malarangeng berharap agar Otda tetap dilaksanakan, namun dibarengi evaluasi secara berkala untuk mencari solusi terhadap permasalahan yang ditimbulkan dalam konteks demokrasi dan desentralisasi, sehingga menjadi lebih baik lagi. Sedangkan mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah (PUOD) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Djohermasyah Djohan mengatakan, Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri berbagai etnis dengan jumlah penduduk mencapai 280 juta jiwa, tidak bisa dikelola secara terpusat. \"Sehingga undang-undang mengamanatkan, Indonesia harus diurus dengan otonomi daerah, dan harus dibagi dengan pemerintah daerah. Konsepnya membangun Indonesia dengan tata kelola sendiri. Gampangnya, menumbuhkan demokrasi lokal di daerah, dan Pak Jokowi salah satu contoh kaderisasi yang tumbuh di daerah,\" kata Djohermansyah. Melalui konsep otda, maka sebagai daerah otonom, semua daerah yang terdiri dari provinsi, kabupaten/kota dibolehkan untuk memilih pemimpin di eksektuf (gubernur, bupati/walikota) dan di legislatif (DPRD). Sementara pemerintah pusat tetap melakukan pembinaan dan supervisi pelaksanaan pemerintahan. \"Sekarang yang perlu dirapikan adalah soal kepartaian, rekruitmen kepemimpinan yang maju di Pilkada. Agar pemimpin yang maju betul-betul pemimpin yang berkapasitas dan berkompeten, serta berintegritas, jangan hanya karena isi tas,\" katanya. Kemudian ketika terpilih dan menjalankan pemerintahan daerah, maka kepala daerah harus menjalankan prinsip meritokrasi dengan memilih bawahannya, karena prestasi. Bukan sebaliknya, karena suka atau tidak suka, atau bahkan mereka yang menjadi tim suksesnya selama pilkada. Sekretaris Jenderal Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Anggawira menambahkan, kunci utama keberhasilan pelaksanaan otda adalah \'unity of the leader\' (kesatuan para pemimpin) seperti yang disampaikan Presiden terpilih Prabowo Subianto. \"Pak Prabowo ingin semua elite bersatu, karena tanpa adanya persatuan, stabilitas dan solidaritas, nggak mungkin ada akselerasi pembangunan di daerah dan bisa tercapai dengan baik,\" kata Anggawira. HIPMI merekomendasikan agar ada perbaikan sistem sistem pemilihan kepala daerah dan revisi paket undang-undang politik agar terciptanya sistem meritokrasi. Sehingga hanya orang yang terbaik yang menjadi pemimpin. \"Kalau kami di HIPMI, membatasi ketua umum hanya bisa dipilih satu kali, tidak bisa dua kali. Karena kami ingin ada regenerasi dan menciptakan kader-kader pemimpin. HIMPI adalah organisasi kader, dan kami ingin memberikan contoh,\" tandasnya. (*)
KPK Periksa Pimpinan dan Anggota Baleg DPR RI
Oleh Sutrisno Pangaribuan | Presidium Kongres Rakyat Nasional BELUM lama berselang terjadinya proses legislasi yang super kilat dengan akrobat politik Baleg DPR RI bersama Mendagri, Menkum HAM. UU Pilkada yang tidak masuk dalam RUU prioritas program legislasi nasional (Prolegnas) 2024, mendadak dibahas. Dalam (1×24) jam pasca putusan MK 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024 dibacakan, Baleg DPR RI gelar rapat super cepat. DPR RI dan pemerintah sangat reaktif bahkan agresif atas putusan MK 60 dan 70 tersebut. Berbeda sikap dengan saat Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden/ wakil presiden dibacakan. DPR RI bersama pemerintah pasif, namun memberi ruang bagi KPU untuk proaktif. KPU merevisi PKPU demi memuluskan “raja jawa muda” maju di Pilpres. Dengan menabrak hukum, etika, moral, asas kepantasan, dan kepatutan, Baleg DPR RI bersama pemerintah memaksa melakukan revisi UU Pilkada. KIM Plus membabi buta merevisi UU Pilkada tanpa memedomani putusan MK. DPR RI dan Pemerintah secara sengaja mengabaikan putusan MK yang bersifat final dan mengikat, demi keinginan melahirkan UU Pilkada baru yang dapat mengakomodasi “raja jawa muda kedua” maju di Pilkada. Namun permufakatan jahat antara DPR RI yang dimotori KIM Plus bersama pemerintah kandas. Mahasiswa, buruh, artis, komika, siswa SMA/SMK, dan kelompok masyarakat pro demokrasi lainnya turun ke jalan. Massa aksi dengan tegas menolak rencana DPR RI dan pemerintah merubah UU Pilkada. KIM Plus akhirnya mengalah, karena takut berhadapan dengan rakyat. Massa aksi marah jika UU Pilkada diubah berbeda dengan putusan MK. Massa aksi bergerak di seluruh kota- kota besar dengan tagar #kawalputusanmk. MK yang namanya sempat diplesetin menjadi “mahkamah keluarga” akibat putusan MK 90, akhirnya mendapat dukungan moral ( kembali ) dari publik pasca Putusan MK 60 dan 70 dibacakan. Pembangkangan hukum, pembegalan konstitusi, pembelokan arah reformasi, dan perusakan demokrasi kandas. Parpol anggota KIM Plus buru- buru cuci tangan, memilih sejalan dengan aspirasi rakyat. Pimpinan DPR RI, Sufmi Ahmad Dasco putar haluan 180 derajat mengumumkan sidang paripurna pengambilan keputusan revisi UU Pilkada tidak dapat dilanjutkan. Aksi nekat DPR RI bersama pemerintah tersebut berdampak buruk bagi masa depan Indonesia sebagai negara hukum. Namun risiko besar tersebut diduga tidak gratis, sebab ada pengaruh kekuasaan politik yang dapat melakukan bujuk rayu. Ada intervensi dan transaksi politik yang melampaui kekuasaan hukum dan politik DPR RI sehingga berani melawan putusan MK. Maka untuk membongkar para sutradara, aktor intelektual dari aksi pembegalan hukum, pembangkangan konstitusi, serta pembelokan arah reformasi tersebut, perlu dilakukan tindakan sebagai berikut: Pertama, bahwa untuk tindakan pembegalan konstitusi diduga telah terjadi suap, pemberian hadiah atau janji, baik berupa uang, atau bentuk lain. Maka diminta kepada KPK untuk memeriksa semua pihak yang terlibat dalam Rapat Kerja Badan Legislasi DPR RI bersama Menteri Dalam Negeri RI, Menteri Hukum dan HAM RI, Menteri Keuangan RI, dan DPD RI pada Rabu (21/8/2024). Kedua, bahwa seluruh pimpinan dan anggota Baleg DPR RI harus dipanggil dan diperiksa Mahkamah Kehormatan DPR RI (MKD) atas rapat yang diduga tidak sesuai tata tertib DPR RI. Memeriksa dugaan pelanggaran kode etik DPR RI, terkait rapat kerja Baleg bersama pemerintah hingga rencana sidang paripurna yang mengakibatkan kemarahan publik. Ketiga, bahwa MKD harus memanggil dan memeriksa pimpinan dan anggota Baleg DPR RI atas dugaan pelangaran etik terkait sikap arogansi membenturkan sesama lembaga negara, DPR RI Vs MK. Baleg DPR RI diduga melakukan pelecehan harkat dan martabat MK lewat upaya revisi UU Pilkada tanpa dasar putusan MK. Keempat, bahwa Komisi ASN harus memeriksa seluruh ASN yang terlibat dalam rapat Baleg DPR RI bersama Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM. Kehadiran ASN dalam rapat yang sengaja melawan putusan MK adalah pelangaran UU ASN. Kelima, bahwa seluruh biaya yang timbul akibat rapat kerja Baleg DPR RI tersebut tidak dapat dibebankan kepada anggaran Setjend DPR RI. Maka seluruh biaya yang timbul akibat rapat tersebut di atas menjadi tanggung jawab sepenuhnya Pimpinan dan Anggota Baleg DPR RI. Dari peristiwa tersebut di atas, bangsa ini harus belajar untuk tidak sembarangan menggunakan lembaga negara secara ugal- ugalan. Lembaga negara seperti DPR RI seharusnya menciptakan kesejukan, bukan kegaduhan yang memancing kemarahan rakyat. (*)
Indonesia Darurat, Tidak Sudi Dijajah Cina - 15
Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Politik Merah Putih DALAM sejarah perjalanan politik di Nusantara sejak era kolonial etnis Cina adalah bagian dari penjajah. Sejarah tersebut sangat dipahami oleh Soekarno maka sepanjang Orde Lama di bawah pemerintahan Soekarno, warga Cina sangat dibatasi dalam pergaulan politik, ekonomi dan hukum. Diawasi, dikendalikan dan dikontrol sangat ketat, Presiden Soekarno sampai mengeluarkan PP No.10 Tahun 1959 yang berisi melarang warga Cina melakukan kegiatan ekonomi masuk di pedesaan. Begitupun eksistensi keturunan Cina dalam politik dan pemerintahan, Soekarno tak memberi kesempatan dan panggung untuk mereka. Soekarno dan Soeharto sama-sama membatasi warga Cina, baik dalam soal keagamaan, kepercayaan dan adat istiadat. Begitupun dalam soal ekonomi dan politik, termasuk membatasi etnis Cina dalam wilayah pemerintahan. Pasca peristiwa G 30 S PKI warga Cina semakin dikekang dengan Inpres No. 14 Tahun1967 tentang larangan kegiatan keagamaan, kepercayaan dan adat istiadat. Orde Baru mengeluarkan beberapa kebijakan untuk mengendalikan dan mengawasi gerak gerik etnis Cina. Bahkan pergerakan masyarakat Cina dikontrol melalui Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC). Soekarno maupun Soeharto menganggap, etnis Cina masih berorientasi pada negeri leluhurnya. Masih sangat eksklusif, primordial dan sektarian. Etnis Cina merupakan masyarakat yang memiliki kultur agresif dan ofensif secara ekonomi dan politik. Sehingga rezim pemerintahan keduanya melakukan proteksi masyarakat pribumi dari ancamannya etnis Cina. Pengawasan dan pengendalian terhadap etnis Cina mulai dijebol pada masa pemerintahan Habibie keluar Inpres dikeluarkan Presiden Habibie no. 26 tahun 1998 kita dilarang nyebut \"Pribumi\". Beruntun pada masa pemerintahan Gus Dur keluar Keppres No. 6 Tahun 2000, menghapus apa yang dianggap sebagai diskriminasi terhadap etnis Cina. Beruntun rezim sesudahnya berlomba menjadi budak etnis Cina dan puncaknya pada rezim Jokowi sempurna menjadikan boneka sembilan naga. Benar apa yang dikhawatirkan Soekarno dan Soeharto tentang pembatasan ruang gerak etnis Cina di Indonesia. Tak cukup terkait betapa kuatnya kesetiaan pada negara leluhurnya. Kehadiran etnis Cina sebagai pengkhianat sudah terjadi sejak masa pergerakan kemerdekaan, pergolakan dan situasi genting NKRI dalam Orde Lama, Orde Baru, dan Orde selanjutnya. Bukan sekadar karakter agresif dan ofensif dalam aspek ekonomi politik, kecenderungan etnis Cina juga terlalu dominan dan hegemoni dalam banyak aspek kehidupan. Terlebih setelah beternak penguasa berjalan mulus defakto sebagai penguasa Indonesia Etnis Cina yang minoritas sudah berhasil menguasai rakyat mayoritas. Saat ini sudah pada puncak kekuasaanya bahkan dengan jumawa setelah berhasil membeli jabatan presiden di Indonesia. Semakin kuat posisinya menjadi \"inner circle\" kekuasaan penyelenggaraan negara. Prabowo tidak ada jaminan akan bisa keluar dari \"inner circle\" karena kekuasaan yang dimiliki hakekatnya milik sembilan naga. Sama dengan Presiden Jokowi tidak lebih hanya sebagai pelaksana ( boneka ) kebijakan sembilan naga. \"Indonesia darurat benar benar sudah terjadi\". Kemarahan rakyat sudah menyatu dengan geramnya mahasiswa sudah pada titik klimaks, hanya ada satu jalan yaitu \"Revolusi untuk menghentikan, menghukum, dan membersihkan para pengkhianat negara\" (*)
Forum Tanah Air Kecam APDESI yang Kriminalisasi Said Didu
Jakarta | FNN - Forum Tanah Air (FTA), sebuah komunitas Diaspora Indonesia di berbagai negara mengecam upaya APDESI (Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia) yang melaporkan ke pihak kepolisian M. Said Didu yang aktif melakukan membongkar ketidakadilan dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) PIK-2. Demikian rilis yang diterima redaksi FNN, Senin (2/9/2024) di Jakarta. Pelaporan itu kata FTA melanggar hak asasi manusia yang melekat pada setiap individu sebagai fitrah seorang manusia. FTA menegaskan bahwa kebebasan pikiran, berpendapat, dan berekspresi sebagai bagian dari hak dasar setiap manusia telah diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang dicetuskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam pasal 19 yang berbunyi: Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas (wilayah). Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 28Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang menyatakan Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. dan dipertegas lagi pada Pasal 28E ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) menyebutkan Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, secara tegas negara menjamin dan melindungi Hak dan Kemerdekaan setiap orang (bukan hanya warga negara Indonesia tetapi juga warga negara asing) untuk mengeluarkan pendapat (freedom of expression) sebagai bagian Hak Asasi Manusia (HAM) dan sebagai fungsi kontrol terhadap jalannya pemerintahan yang bersih dan berkeadilan. Bahwa hak dan kemerdekaan berserikat, berkumpul dan menyampaikan pendapat juga diatur dan dijamin dalam International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) yang telah diratifikasi Indonesia menjadi UU Nomor 12 Tahun 2005. FTA berkomitmen untuk mengawal demokrasi dan menjaga konstitusi serta hak dan keadilan warga negara sebagai wujud dari kedaulatan rakyat. Berkaitan dengan pelaporan dan pengaduan yang dilakukan oleh APDESI Tangerang yang melaporkan Saudara M. Said Didu atas pernyataan dan kritik terhadap Proyek Strategis Nasional (PSN) PIK 2, Forum Tanah Air menyatakan sikap sebagai berikut: 1. Mengecam dan Menentang Keras setiap tindakan yang menghalangi hak kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. 2. Mendukung rekan M. Said Didu dalam mengungkap dan membongkar semua pembohongan yang dilakukan oleh pemerintah setempat terhadap warga Tangerang dan sekitarnya, yang lahannya di ambil untuk dijadikan PSN PIK 2. 3. FTA bersama-sama organisasi dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Muhammadiyah dan lainnya, akan mengawal terus kasus yang sedang di jalani rekan M. Said Didu sampai akhir. 4. FTA mengecam atas dinaikkannya kasus M. Said Didu ke tahap penyidikan, yang kami lihat sebagai upaya pembungkaman hak warga negara untuk mengeluarkan pendapat. FTA mengajak masyarakat mencermati sekelompok oknum yang sedang memberikan karpet merah bagi para pengembang yang berakibat pada perampasan hak-hak rakyat secara tidak adil. (*)
Dari Penjajahan Bangsa Asing ke Penjajahan Bangsa Sendiri
Oleh Yusuf Blegur | Mantan Presidium GMNI Refleksi sejati keindonesiaan adalah kesadaran bahwasanya negeri ini hanya merdeka dan berdaulat satu hari saja yakni pada tanggal 17 Agustus 1945. Sebelum dan sesudah itu, bangsa ini hanya hidup dari penjajahan ke penjajahan berikutnya, bahkan hingga saat ini. Indonesia dengan visi Pancasila, UUD 1945 dan NKRI sesungguhnya adalah mitos. Faktanya dalam 79 tahun usia republik, Indonesia menjadi negara yang semu kemerdekaannya. Hanya formalitas menggengam legalitas dan legitimasi, namun kenyataannya negara merdeka dan berdaulat hanya sebatas utopi atau mimpi atau sekedar ilusi. Sebelum kelahiran negara yang bernama Republik Indonesia hingga sekarang ini. Rakyat tetap hidup di alam feodalisme dan kolonialisme. Kemerdekaan yang hakiki dan substansi hanya ada pada tanggal 17 Agustus 1945. Dengan makna lain, Indonesia hanya merdeka sehari saja. Sebelum dan sesudah peristiwa proklamasi kemerdekaan yang historis dan heroik itu, rakyat hanya menjadi populasi jajahan. Sebelum 17 Agustus 1945, jauh berabad-abad lamanya rakyat berada dalam cengkeraman sistem kerajaan, kongsi dagang VOC, Portugis, Belanda dan Jepang. Dari Monarki, perdagangan dan ekspansi wilayah, hingga akhirnya nusantara kala itu berada dalam cengkeraman koloni dan imperium asing. Sungguh pesona kekayaan alam dan wilayah strategis secara ekonomi dan politik, nusantara layak dijadikan bumi jajahan. Indonesia hanya terus menjadi langganan negara jajahan, bedanya dulu oleh bangsa asing, sekarang oleh bangsanya sendiri, oleh pemimpin dan elit politik. Tak terkecuali dengan oligarki dan politik dinasti. Sehari setelah 17 Agustus 1945, Republik Indonesia kembali dalam pangkuan penjajahan. Kehilangan kemerdekaan dan kedaulatan, yang ironisnya dilakukan oleh bangsanya sendiri meski tak lepas dari hegemoni dan dominasi bangsa asing. Soekarno-Hatta dan para pendiri bangsa lainnya terjebak dalam konflik berlarut-larut. Bahkan hanya berselang sehari, kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia perlahan tapi pasti telah lepas. Pemberontakan, kudeta dan saling membunuh sesama anak bangsa kerap terjadi hingga saat ini. Ambisi, kebencian dan dendam sekaligus hasrat materialisme menyeruak pada sesama pemimpin. Seiring itu rakyat terpapar penderitaan berkepanjangan dan kekayaan negara terus dieksploitasi bangsa asing dan segelintir bangsa sendiri. Di penghujung satu dekade rezim yang feodal, fasis dan tiran. Para pemimpin, elit politik bersama korporasi kapital mengukuhkan kelompoknya sebagai penganut neo kolonialisme dan neo imperialisme meski tetap menjadi sub ordinat globalisme. Bukan hanya presiden dan para menteri, semua lembaga tinggi negara, ada sebagian TNI-Polri, ada sebagian ulama dan intelektual, ada sebagian mahasiswa dan aktifis pergerakan yang telah ikut bergabung dalam satu paduan suara kejahatan konstitusi dan demokrasi. Begitu banyak yang terhipnotis oleh tipu daya dan hasrat duniawi. Kehancuran nilai-nilai dan bangkitnya materialisme pada bangsa Indonesia, sejauh ini bukan semata karena pemimpin yang repredif dan dzolim. Bukan karena kekuatan dan keperkasaan elit, melainkan karena malas, penakut dan lemahnya rakyat. Kelompok terdidik dan tercerahkan yang sedikit tak mampu membangkitkan kesadaran rakyat mayoritas. Rakyat yang bodoh, miskin dan lapar telah menjadi senjata ampuh bagi elit politik untuk terus mencabik-cabik dan memangsanya. Tak cukup upaya perlawanan kaum sadar kritis dan perlawanan, untuk melawan penjajahan dan perbudakan modern. Sejatinya, hidup bangsa pada hari ini dan masa depan anak-cucunya turun temurun sangat ditentukan oleh keberanian dan mental baja rakyat itu sendiri. Perubahan hanya datang dari yang susah payah mencari makan, susah payah mendapat pendidikan, susah payah mendapat pelayanan kesehatan dan pelbagai kesusahan untuk kelayakan hidup. Rakyat yang terpinggirkan yang papa dan nestapa itu yang menjadi korban-korban ketamakan struktural. Semua mungkin sudah sadar dan kini termanggu. Apa yang harus dan bisa dilakukan? Masihkan layak rakyat menyebut dirinya sebagai warga negara? Hidup terjajah dan menjadi budak di negara sendiri dan oleh bangsanya sendiri. Atau harus bangkit merebut kembali kemerdekaan dan kedaulatan bangsa yang telah lama hilang. Merdeka sekali lagi dan selamanya setelah sehari pada tanggal 17 Agustus 1945. Ayo, merdeka sekali lagi. (*)
Jakarta, dan Gerakan Coblos Semua: Sebuah Perlawanan
Oleh: Ady Amar | Kolumnis SEGALA cara merampas keikutsertaan Anies Baswedan dalam Pilkada DKJ 2024 berhasil dilakukan. Anies yang dicintai warga Jakarta dibuat tak bisa berlaga. Meski elektabilitas Anies tinggi, jauh melampaui pasangan calon gubernur yang diusung KIM Plus--koalisi partai-partai minus PDIP yang direstui istana lama dan baru--juga Pramono Anung-Rano Karno pasangan yang diusung PDIP. Pasangan ini belum masuk radar bisa dilihat elektabilitasnya. Pramono Anung pun disebut calon yang direstui istana. Juga kemunculan pasangan independen, Dharma Pongrekun-Kun Wardana, yang boleh dilihat sebelah mata, atau bahkan boleh tidak dilihat sebagai pesaing yang menguatirkan pasangan yang diusung KIM Plus, Ridwan Kamil-Suswono, yang sepertinya akan melenggang mulus sesuai harapan istana. Skenario menghentikan Anies agar tak ada partai politik berani mengusungnya berhasil dilakukan. Anies dihentikan dengan cara menyelisih demokrasi dengan tak menganggap mayoritas suara konstituen Jakarta, yang menghendaki ia memimpin Jakarta untuk periode ke-2 nya. PDIP pun \"dipaksa\" untuk tak coba-coba nekat mengusungnya. Lalu Pramono jadi pilihan. Melihat Anies diperlakukan dengan tak sepantasnya memunculkan konstituennya melakukan perlawanan dengan caranya. Muncul \"Gerakan Coblos Semua\". Itulah protes. Bentuk perlawanan warga Jakarta memilih dengan tidak memilih ketiga pasangan yang dimunculkan. Pasangan calon yang lebih pada suka-suka penguasa. Tanpa ada yang mengorkestrasi. Digerakkan oleh perasaan yang sama. Gerak perlawanan yang sama. Mereka tetap datang ke tempat pemungutan suara. Tetap mencoblos. Dengan mencoblos semua pasangan yang ada. Mau menunjukan, bahwa ketiga paslon itu bukan pilihannya. Pilihan mencoblos semuanya, itu jika melihat lembaga media berlomba membuat polling. Memunculkan pilihan ketiga nama paslon, dan satu lagi pilihan untuk tidak memilih. Hasilnya, pilihan tidak memilih dipilih di atas 70%. Luar biasa. Pemilih polling itu tentu tidak semua warga Jakarta, tapi diikuti juga warga luar Jakarta. Menandakan pilkada Jakarta jadi perhatian warga seluruh negeri. Apa yang dirasakan warga Jakarta terhadap Anies, itu juga dirasakan warga seluruh negeri. Menandakan spektrum cakupan Anies tidak hanya sebatas Jakarta. Kemarahan mayoritas warga Jakarta diekspresikan lewat perlawanan gerakan coblos semua. Itu sama dengan tidak memilih ketiga paslon yang ada. Mencoblos semuanya itu tanda ketidakpercayaan pada paslon yang diusung partai politik yang ada. Tidak mustahil gerakan coblos semua akan merembet ke provinsi lain, ke kabupaten kota di seluruh negeri. Rezim menghentikan Anies mengikuti Pilkada DKJ, itu berhasi dilakukan. Anies menjadi tak bisa berlaga. Namun rezim mustahil bisa mencegah bergulirnya gerakan coblos semua. Rakyat berhak tidak memilih pasangan calon gubernur yang bukan pilihannya. Itu pun hak konstitusional. Pilkada DKJ dengan \"mematikan\" Anies Baswedan itu tengah disorot berbagai media internasional. Menyebutnya absurd. Bagaimana Anies yang punya elektabilitas tinggi tidak ikut berlaga. Tidak bisa dibayangkan bagaimana jika nantinya gerakan coblos semua, itu yang justru keluar sebagai pemenang pilkada DKJ. Tak mustahil media-media itu akan mengangkatnya jadi berita yang mengundang gelak tawa terbahak.**
Bambrod Sebut Minum Air Kemasan Bisa Jatuh Miskin, Anthony: Konyol
Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Bambang Brodjonegoro memberi pernyataan, bahwa konsumsi air galon atau air kemasan menjadi salah satu faktor kelas menengah jatuh miskin. https://www.cnbcindonesia.com/news/20240830130611-4-567764/air-galon-jadi-sebab-kelas-menengah-jatuh-miskin-ini-penjelasannya Pernyataan dan pendapat mantan menteri keuangan rezim Jokowi ini sungguh menyedihkan, tidak masuk akal sama sekali, absurd. Pernyataan Bambang jelas sebagai upaya mencari kambing hitam atas ketidakmampuan dan kegagalan pemerintahan Jokowi dalam meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi tingkat kemiskinan, tetapi menyalahkan masyarakat karena kebiasaan konsumsi air kemasan. Bambang berkilah, konsumsi air kemasan tidak terjadi di semua negara. Menurut Bambang, masyarakat kelas menengah di negara maju terbiasa konsumsi air minum (dari kran) yang disediakan pemerintah di tempat-tempat umum. Niatnya mau membela kegagalan pemerintahan Jokowi, dengan mencari kambing hitam “konsumsi air kemasan”. Tetapi yang didapat justru sebaliknya. Pernyataan Bambang justru mengungkap fakta dan sekaligus validasi, bahwa pemerintahan Jokowi selain telah gagal dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat menengah bawah, tetapi juga telah gagal dalam penyediaan air siap minum di tempat-tempat umum. Karena, masyarakat hanya bisa konsumsi air siap minum dari keran-keran di tempat umum kalau pemerintah mampu menyediakan fasilitas tersebut. Faktanya, pemerintah tidak mampu menyediakan fasilitas air siap minum di tempat-tempat umum, sehingga masyarakat tidak bisa mengkonsumsinya. Artinya, masyarakat mengkonsumsi air kemasan karena tidak ada pilihan lain, karena pemerintah telah gagal menyediakan air siap minum yang aman, di tempat-tempat umum. —- 000 —-
Raja Jawa atau Raja Dedemit, Sih?
Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan MASIH terngiang pidato bahlul Bahlil di depan pimpinan dan kader Golkar soal Raja Jawa yang ngeri-ngeri sedap dan berbahaya. Bisa celaka jika main-main sama barang itu. Bahlil tidak membantah dugaan bahwa Raja Jawa itu adalah Jokowi. Jokowi sendiri \'cicing wae\' mungkin mesam mesem. Baru pidato perdana, Bahlil sudah bikin gara-gara. Terma Raja Jawa langsung meraja lela di jagad maya. Raja Jawa atau Raja Dedemit, sih ? Ini pertanyaan tidak serius banget. Tapi lumayan bahan renungan saja. Sejak awal pelantikan periode kedua Jokowi bulan Oktober tahun 2019 atas kemenangan kontroversialnya, area pelantikan dipenuhi banyak dedemit. Menurut \'pakar\' dedemit Ki Sabdo hadir Nyi Roro Kidul, Nyi Blorong dan dedemit lain termasuk Jin Kahyangan. Menurut Mbah Yadi paranormal Pati, Jokowi itu ahli laku spiritual dan sosok gaib pelindungnya bukan asal-asalan. Ada penguasa laut Nyi Roro Kidul, Khadam Soekarno, demit burung Garuda hingga pasukan Prabu Siliwangi. Presiden ditemani tokoh-tokoh gaib dilihat dari sehari-harinya, ujarnya. Konon Jokowi suka semedi. Di IKN dulu di samping upacara kendi dan tanah, juga menyengaja bertenda. Dulu Raja Jawa Brawijaya dari Kerajaan Majapahit memiliki \'teman\' Sabdo Palon. Saat Brawijaya masuk Islam, ia mengajak Sabdo Palon masuk Islam tetapi ia menolak. \"Kulo mboten angrasuk agomo Islam\", katanya. Ia mengaku harus \"momong marang anak putu\" melindungi anak cucu. Dedemit Sabdo Palon mengakui kemenangan Islam, tapi ia berjanji nanti akan mengganti Islam dengan ajaran budi. Sumpahnya \"Jangkep gangsal atus taun awit dinten puniko, kulo gentos ing agami, gami budi kulo sebar tanah Jawi\". Ia menyatakan lima ratus tahun sejak hari ini, ia akan ganti agama dengan agama budi. Entah yang Sabdo Palon ramalkan adalah sipritualitas atau pedukunan yang tersebar ? Faktanya meski beragama Islam banyak yang perilakunya tidak berbasis syari\'at. Kuat pengaruh mistik atau paranormalisme. Jokowi berlindung pada dedemit, para tokoh politik justru berlindung pada Jokowi. Partai politik berantakan di bawah kendali Presiden Jokowi. Hampir semua Ketum seperti berada di bawah ketiaknya. Bahlil dengan percaya diri mengancam pimpinan dan Kader Golkar atas \"kesaktian\" sang Raja. Mungkin Bahlil sudah pernah diizinkan melihat Khadam Jokowi. Seorang beriman tidak boleh berlindung kepada Jin. Jin bawaannya menyesatkan. Berlindung kepada Allah adalah perlindungan yang kokoh, sebaliknya berlindung kepada selain Allah itu perlindungan lemah bagai berlindung pada sarang laba-laba. Dari jauh terlihat laba-laba itu membuat jaringan yang hebat. Tetapi jika kita tahu, maka dengan sedikit sentuhan saja sudah putus. Qur\'an mengingatkan hal itu dalam Surat Al Ankabuut (Laba-Laba) Ayat 41. Ketum partai yang berlindung kepada Jokowi seperti kuat demikian juga jika Jokowi berlindung pada dedemit, kelak akan terbukti bahwa semua itu adalah perlindungan yang lemah. Bahkan dari kaca mata iman, berlindung pada selain Allah dapat dikategorikan musyrik. Menurut syari\'at Islam percaya dan mengikuti jalan paranormal merupakan perilaku syirik. Jika ia tidak bertobat, maka dosanya tidak akan diampuni. Indonesia sebagai negara ber-Ketuhanan Yang Maha Esa harus menjaga kebersihan beragama. Para pemimpin lazim memberi teladan. Jangan sampai muncul pertanyaan apakah Jokowi itu Raja Jawa atau Raja Dedemit ? Celaka bangsa ini jika pempimpinnya tidak rasional atau selalu mengikuti petunjuk Jin dan Jun. (*)
Ingin Bubarkan DPR? Ya Revolusi
Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan KEKECEWAAN atas peran partai politik yang tidak menjadi alat perjuangan rakyat berimbas pada fungsi DPR yang mandul, seremonial dan banyak gaya ketimbang kerja. Gaya hidup hedonis di tengah rakyat yang semakin sulit untuk hidup. Harga melambung, pajak mendera dan phk meningkat. Segala penyelesaian harus pakai uang. DPR tidak mampu menjadi pengawas efektif bagi pemerintah, budgeting berbau komisi bahkan korupsi, fungsi legislasi membaguskan narasi tapi buruk aspirasi. Mengabdi pada kepentingan pragmatis. Rakyat tidak merasakan sentuhan kerja nyata DPR. Pelesetan bagi DPR adalah Dewan Perwakilan Rezim bahkan Dewan Penindas Rakyat. Untuk menjadi anggota DPR harus berbiaya tinggi. Miskin tak mungkin. Akibatnya muncul spirit bagaimana mengembalikan \"political cost\" yang tinggi tersebut. Jadilah DPR sebagai institusi kerja, dagang atau usaha. Diisi oleh mereka yang kaya, pengusaha atau anak-anak pejabat negara. Istri juga ada. Wajar jika kesehariannya tidak berada pada ruang masyarakat bawah. Kekecewaan rakyat menimbulkan pengkritisan pada keburukan sistem pemilu, budaya otorirarian partai politik, cuanisme, maupun oligarki. Muncul celetukan sudah bubarkan saja DPR toh negara tidak akan bubar tanpa DPR, ada pula pernyataan perlunya berpolitik tanpa partai politik, ataupula ganti DPR dengan syuro. Mulai muncul berbagai fikiran nakal yang membuli kesakralan DPR. Semestinya pengambil kebijakan sadar akan kekecewaan tersebut lalu melakukan upaya perbaikan. Akan tetapi hal itu tidak mudah bahkan cenderung normatif. Prakteknya justru menganggap saatnya untukmenikmati \"hasil berjuang\" selama ini. DPR menjadi tempat yang nikmat untuk bersenang-senang dan masuk dalam komunitas borjuasi. Secara hukum membubarkan DPR seperti juga membangun negara tanpa partai tentu tidak bisa. Hukum tatanegara mengakui eksistensi \"lembaga demokrasi\" ini. Jadi, jika rakyat ingin membubarkan jalan satu-satunya adalah revolusi. Revolusi akan mampu membongkar akar formalisme dan dogmatisme hukum. Kekuasaan otoriter yang memperalat DPR dan partai politik biasanya diruntuhkan dengan jalan politik Revolusi. Revolusi Amerika, revolusi Perancis, revolusi Rusia, revolusi Iran, revolusi Indonesia dan revolusi-revolusi lain di dunia selalu menggusur totalitarian dan membuat fondasi kenegaraan yang memperbaharui kebusukan sistem dan praktek kenegaraan yang telah jauh disimpangkan. Jadi bagi yang sedang berdiskursus tetang pembubaran DPR atau partai politik maka ia harus memulai dengan diskursus Revolusi atau pemberontakan Rakyat Semesta. Agar semua tidak hanya berkhayal atau berada dalam ruang romantisme tentang idealitas. (*)
Mulyono Tukang Main Kayu
Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan MULYONO adalah pengganjal Anies Baswedan menurut Ketua DPD PDIP Jawa Barat Ono Surono saat mengajukan Anies-Ono untuk Pilgub Jabar. Sebelumnya Anies Baswedan digagalkan maju untuk DKJ atas operasi besar dan terang-terangan pengganjalan. Mulyono alias Joko Widodo alias Jokowi adalah \"trouble maker\" dari penggagalan Anies Baswedan. Jokowi memang penjahat besar, Joko Widodo pendusta sedangkan Mulyono itu tukang main kayu. Beberapa bulan menjelang akhir jabatan Jokowi mundur ke awal kehidupan dengan nama Mulyono. Mahfud MD keceplosan menyebut Jokowi sebagai Mulyono. Begitu juga Masinton Pasaribu yang menyatakan turunkan Raja Mulyono sebelum 20 Oktober. Dhimam Abror mengucapkan \"Selamat ulang tahun Presiden Mulyono\". Kompas.com menjelaskan asal usul Jokowi yang berasal dari Mulyono. Mulyono memang menjadi trending topik di twitter atau x. Mulyono yang kuliah di Fakultas Kehutanan UGM konon Prodi Teknologi Kayu kemudian lulus dengan ijazah yang diragukan atau dimasalahkan sampai ke Pengadilan. Hingga kini ijazah itu masih sembunyi belum jelas juga. Foto ijazah Jokowi diragukan dihubungkan dengan adik ipar Jokowi bernama Hari Mulyono yang meninggal tahun 2018. Beredar di media Kutipan Akta Kelahiran Jokowi bahwa pada tanggal 21 Juni 1961 telah lahir anak bernama \"Joko Widodo\" yang tentu menjadi gambaran simpang siur dengan asal lahir bernama \"Mulyono\". Lagi pula dikaitkan dengan ejaan lama yang seharusnya \"Djoko Widodo\". Mulyono menjadi tukang kayu yang dapat dimaknai pandai main kayu. Menurut KBBI main kayu itu artinya berbuat curang, berbuat yang keji-keji, berbuat mesum, main keras yang menjurus menyakiti lawan, dan main kasar. Jadi main kayu (play dirty) berkonotasi negatif. Mulyono yang bertransformasi menjadi Jokowi sudah ditakdirkan menjadi pemain kayu dari wujud meubeul hingga politik curang atau keji. Mutakhir main kayu Mulyono adalah mencurangi, main kasar dan menyakiti lawan politik Anies Baswedan. Kasar sekali bermain untuk mengganjal agar Anies agar tidak dapat mencalonkan di Jakarta dan Jawa Barat. Sungguh hanya iblis yang mampu dan tega melakukan kecurangan seperti ini. Mulyono memang Dajjal. Tapi rakyat dipastikan berpihak pada korban kekejian dan akan melawan aktor utama di balik fenomena tidak bermoral ini. Mulyono alias Joko Widodo alias Jokowi adalah sang penjahat itu. Ia harus tumbang dan diadili baik sebelum 20 Oktober atau setelahnya. Proses peradilan itu absolut baginya. Jokowi memang tukang makan korban. Judul skripsinya pola konsumsi kayu lapis. Aneh skripsi tanggal 14 Nopember 1985 tapi ijazahnya tanggal 5 Nopember 1985. Rakyat Indonesia bisa-bisa jadi korban penipuannya. Kayu lapis saja dikonsumsi apalagi rakyat. Mungkin nanti ada mahasiswa ilmu politik membuat skripsi \"pola main kayu Mulyono mengkonsumsi rakyat Indonesia\". Pertanyaan yang perlu diklarifikasi ialah apakah Mulyono itu \'deception\' dari Joko Widodo sehingga rakyat terkecoh ? Apa hubungan dengan Hari Mulyono ? Mengapa Mulyono muncul akhir-akhir ini yang diakui sebagai nama kecil \"sakit-sakitan\" Jokowi ? Adakah munculnya Mulyono menandakan Jokowi sekarang sedang sakit-sakitan ? Mengapa tidak ada Mulyono pada Akta Kelahiran Joko Widodo? Mulyono memang tukang main kayu. Curang, culas, keji, jahat dan sebutan buruk lain bagi penjahat yang pantas didakwa dengan dakwaan berlapis dan dikonsumsi atau dijerat tali gantung pada tiang kayu. (*)