ALL CATEGORY

Ide Bekto Kembalikan Citra Polisi, Okky Madasari: Potong Satu Generasi

Jakarta | FNN-Irjen Pol (Purn) Drs Bekto Suprapto, M.Si menyampaikan ide perbaikan citra polisi di tengah masyarakat. Ia mengilustrasikan tindakan tegas Presiden Georgia Mikheil Saakahvili. Pada tahun 2005 Saakahvili memecat polisi yang korup. Jumlahnya sampai 50 persen dari jumlah polisi negeri itu. Setelah itu Presiden Mikheil menaikkan gaji polisi hingga 1.500 persen agar polisi tidak korupsi. \"Ini dapat menjadi salah satu rujukan bagaimana bertindak tegas atas pelanggaran tersebut,\" ujarnya dalam Dialog Peradaban bertema \"Polisi dan Peradaban\" di Jakarta, Rabu 2 Oktober 2024. \"Hanya saja untuk Indonesia mungkin 10 persen saja sudah menjadi pelajaran,\" lanjut Bekto Suprapto. Selain Bekto Suprapto, dialog ini juga menghadirkan Dr Dipo Alam, Prof Dr Jimly Asshiddiqie, SH MH,  Irjen Pol Prof Dr Chrisnanda Dwilaksana, M. Si, Fahmi Wibawa, MBA, Okky Madasari, Ph.D, dan Jaya Suprana. Okky Madasari menanggapi ide Bekto mengatakan itu sama saja dengan potong satu generasi. \"Saya setuju, itu ide bagus,\" ujar Okky menjawab FNN. Teknisnya adalah dengan melakukan pensiun dini serta memberhentikan polisi-polisi yang  kotor. \"Selanjutnya dilakukan rekrutmen pada generasi baru yang lebih bersih,\" ujarnya. Bekto Suprapto melanjutkan para polisi yang melakukan penyimpangan dalam pelaksanaan tugas hendaknya ditindak tegas sesuai aturan yang sudah ada secara transparan. \"Melibatkan masyarakat, pengawas fungsional, dan pengawas eksternal, baik pelanggaran aturan disiplin, kode etik profesi kepolisian, maupun pelanggaran pidana,\" lanjutnya. Cara lainnya adalah berupaya dengan sungguh-sungguh meningkatkan profesionalisme, bekerja secara transparan, mampu memperbaiki sistem rekrutmen dan seleksi, bertindak tegas kepada para pelaku korupsi termasuk kepada anggotanya, bekerja dengan memanfaatkan data dan perkembangan teknologi, melaksanakan dengan sungguh-sungguh merit system dalam pembinaan karier anggota, memperbanyak latihan, memperbaiki sistem magang terutama kepada para penyidik dan penyelidik, menghilangkan sifat hedonisme, dan mau bekerjasama dengan semua pemangku kepentingan untuk menuju polisi professional, mandiri, dan beradab.  Menurut Bekto, masalah korupsi polisi ini sebenarnya sangat bergantung pada ketegasan seorang Presiden dan Kapolri yang sepatutnya berani melindungi anggota polisi yang bertindak profesional, independen, dan mandiri, serta adanya jaminan bebas intervensi oleh pihak manapun. Cermin yang Retak Polisi di mata masyarakat ibarat cermin yang retak. Bekto Suprapto mengatakan kasus Ferdi Sambo, Teddy Minahasa, penanganan kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan, Tragedi Kanjuruhan, banyaknya kasus rekayasa tilang, dan berita-berita tentang kejahatan dilakukan oleh oknum anggota polisi sangat mempengaruhi persepsi masyarakat, bahwa polisi kadang bertindak di atas hukum, ada yang suka memanipulasi perkara, dan sebagainya.  Apalagi dengan dikabulkannya gugatan praperadilan oleh Pengadilan Negeri Bandung bahwa penetapan tersangka dan penyidikan terhadap Pegi Setiawan oleh penyidik Polda Jawa Barat dinyatakan tidak sah -ditambah adanya perintah untuk segera membebaskan tersangka dari tahanan -menambah persepsi masyarakat terhadap polisi semakin buruk.  \"Menjaga netralitas Lembaga Polri dalam politik, termasuk dalam hal menjaga jarak dengan kegiatan politik maupun partai politik, mutlak diperlukan untuk merawat kepercayaan masyarakat,\" ujarnya.  Undang-undang mengatur dengan jelas bahwa anggota polisi harus bersikap netral dalam kehidupan politik.  Lalu, apakah semua polisi seperti dipersepsikan masyarakat tersebut di atas? \"Tentu saja tidak,\" kata Bekto.  Sebenarnya, kata Bekto Suprapto lagi, jauh lebih banyak polisi baik dan penolong dalam pelaksanaan tugasnya, terutama yang bertugas di daerah, seperti polisi Polsek atau Polres di wilayah pedalaman.  \"Namun kebaikan polisi tersebut tidak atau kurang terpublikasi dibandingkan dengan pemberitaan tentang polisi kotor, polisi brutal, polisi korup, dan polisi hedonis,\" katanya.  Kondisi yang demikian ini menjadi tantangan tersendiri bagi Lembaga Polri untuk segera membenahinya.  Menurutnya, perubahan paradigma Polri penting untuk dipikirkan bersama oleh para petinggi Polri, bagaimana mau dan berani mengubah paradigma: Dari polisi yang memiliki kekuasaan dan kewenangan sangat besar, dari kebiasaan mencari kesalahan orang, menjadi polisi sebagai pelayan untuk melindungi dan mengayomi masyarakat. Lembaga Polri perlu mendesain ulang reformasi kultural yang mandeg, melalui perubahan kurikulum pendidikan dan pelatihan dengan penekanan pada masalah etika profesi dan hak asasi manusia. Bekerjasama dengan masyarakat dalam menyelesaikan masalah-masalah yang ada, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pelayanan kepada masyarakat, memanfaatkan teknologi dalam pelayanan kepada masyarakat, mencegah dan memberantas dengan keras adanya penjahat berseragam dalam tubuh Polri, dan lebih mengutamakan pendekatan pencegahan kejahatan daripada penegakan hukum.  \"Tidak semua masalah hukum harus diselesaikan melalui penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana,\" katanya.  Polisi memiliki kewenangan diskresi dan dapat menyelesaikan masalah hukum yang bersifat ringan bersama tokoh masyarakat, memanfaatkan kearifan lokal yang berlaku dalam masyarakat.  Untuk memperkuat fungsi, peran, dan tugas polisi sesuai dengan kewenangannya, lembaga polisi sebenarnya dapat menjadi penggerak sebagai agen perubahan.

Cucu Pahlawan Nasional di NTB Terkuat Survei Poltracking, Pilkada Lombok Timur

Mataram | FNN - Calon Bupati dan Wakil Bupati Lombok Timur, H Muhammad Syamsul Luthfi-H Abdul Wahid, unggul jauh dari para pesaingnya di Pilkada Lombok Timur. Survei Poltracking Indonesia, elektabilitas pasangan Luthfi-Wahid tembus 35,5 persen meninggalkan pesaing terdekatnya pasangan Haerul Warisin-Edwin Hadiwijaya dengan elektabilitas 18,8 persen. ”Hasil survei ini patut kami syukuri sebagai hasil kerja keras selama empat bulan terakhir. Sekaligus sebagai motivasi untuk lebih sering turun ke masyarakat,” kata Ketua Tim Pemenangan Pasangan Luthfi-Wahid, TGH Yahya Ibrahim Saleh Moyot, Selasa (1/10/2024). Hasil resmi sigi elektabiltias lima pasangan calon bupati dan wakil bupati Lombok Timur tersebut telah didapat secara langsung Tim Pemenangan Luthfi-Wahid dari Poltracking Indonesia. Publikasi kepada publik secara resmi menyusul akan dilakukan oleh peneliti lembaga survei di Indonesia dengan rekam jejak paling akurat dan presisi tersebut. Survei dilakukan Poltracking sepanjang 5-12 September 2024. Survei sendiri bertujuan antara lain untuk mengukur popularitas, akseptabilitas, dan elektabilitas calon bupati dan wakil bupati Lombok Timur. Juga mengukur peta sebaran (crosstab) elektabilitas seluruh kandidat. Sebanyak 440 warga Lombok Timur yang sudah memiliki hak pilih menjadi responden survei ini. Menggunakan metode Multistage Random Sampling, survei ini memiliki margin of error +/- 4.7 persen dengan tingkat kepercayaan95 persen. Berdasarkan hasil survei tersebut, elektabilitas pasangan Lutfi-Wahid unggul jauh dari empat kandidat lainnya yang bertarung di Pilkada Lombok Timur. Pasangan Haerul Warisin-Edwin Hadiwijaya terpaut sangat signifikan dengan elektabilitas 18,8 persen. Sementara di posisi ketiga ada pasangan H Rumaksi-Sukisman Azmy dengan 17,6 persen, Suryadi Jaya Purnama-TGH Khairul Fatihin (10,3 persen), dan pasangan Tanwirul Anhar-Daeng Palori (3,2 persen). Sementara 14,6 persen responden tidak menjawab atau tidak tahu. Secara sebaran, dari 21 kecamatan di Lombok Timur, pasangan Lutfi-Wahid unggul di 13 kecamatan. Sementara pasangan Haerul-Edwin unggul di empat kecamatan. Sedangkan pasangan Rumaksi-Sukisman unggul di tiga kecamatan, dan pasangan Suryadi-TGH Fatihin unggul di satu kecamatan. Tak cuma elektabilitas. Tingkat popularitas atau pengenalan publik Lombok Timur terhadap sosok HM Syamsul Luthfi juga sangat tinggi. Tertinggi dari seluruh figur yang bertarung di Pilkada Lotim. Sebanyak 65,2 persen publik Gumi Patuh Karya mengenal cucu Almagfurulahu Maulanasyaikh TGKH Zainuddin Abdul Madjid ini. Jauh meninggalkan popularitas H Rumaksi, yang berada di posisi kedua dengan 56,8 persen. Demikian halnya dengan tingkat kesukaan publik Lombok Timur terhadap Lutfhi. Sebanyak 57,9 persen publik menyukai politisi Senayan dua periode ini. Lagi-lagi meninggalkan akseptabilitas H Rumaksi yang berada di posisi kedua dengan 43,9 persen. Sementara figur H Abdul Wahid sebagai kandidat wakil bupati juga sangat memuaskan. Popularitas tokoh yang menjadi Anggota DPRD Provinsi NTB ini mencapai 35,5 persen. Sementara tingkat tingkat kesukaan publik terhadap politisi Partai Kebangkitan Bangsa ini menembus angka 32,7 persen. Selain mengukur elektabilitas, popularitas, dan akseptabilitas, Poltracking Indonesia juga melakukan simulasi surat suara. Responden menjawab pertanyaan kunci dalam simulasi ini yakni, saat datang ke TPS dan berada di bilik suara, siapa kandidat yang akan dipilih? Dalam simulasi surat suara ini, pasangan Lutfi-Wahid meraih 39,1 persen. Unggul telak atas pasangan Rumaksi-Sukisman yang meraih 19,9 persen. Sementara di posisi ketiga pasangan Haerul-Edwin dengan 19,2 persen, pasangan Suryadi-TGH Fatihin 10,3 persen, dan pasangan Tanwirul-Daeng Palori dengan 3,2 persen. Hanya 8,2 persen responden yang tidak menjawab atau tidak tahu dalam simulasi surat suara ini. Menanggapi hasil survei tersebut, HM Syamsul Luthfi menyampaikan rasa syukurnya. Sepenuhnya dia merasa terhormat. Namun begitu, Luthfi menegaskan, dirinya dan seluruh Tim Pemenangan menyadari, bahwa di balik hasil survei tersebut adalah sebuah amanah dan tanggung jawab yang besar dari masyarakat Lombok Timur pada pasangan Lutfi-Wahid. “Kami akan terus bekerja keras untuk mendengar, melayani, dan memenuhi harapan masyarakat,\" ucapnya. Ditegaskannya, hasil survei tersebut adalah bentuk kepercayaan yang sangat berharga dari masyarakat. Namun, perjalanan masih panjang, dan pasangan Baju Ijo akan tetap fokus pada kerja nyata demi kebaikan bersama. “Hasil survei ini bukan tentang saya pribadi. Tetapi tentang kerja keras tim dan kepercayaan masyarakat. Kami akan menjaga semangat ini untuk terus membawa perubahan positif bagi Lombok Timur,\" tutup Luthfi. (H Wardi).

Membaca Pikiran Sukarno tentang Komunisme

Oleh Joko Sumpeno, Pemerhati Sejarah dan Hukum   Presiden Sukarno dalam bukunya berjudul  \"Di bawah Bendera Revolusi\" berkata sebagai berikut: \"... maka, walaupun sosialisme atau komunisme itu diperangi sehaibat-haibatnja atau ditindas sekeras-kerasnja, walaupun pengikut-pengikutnja dibui, dibuang, digantung, didrel atau dibagaimanakan djuga: walaupun oleh penindasan jang keras dan pemerangan jang haibat ia kadang-kadang seolah-olah bisa binasa dan tersapu sama sekali, maka tiada henti-hentinjalah ia muntjul lagi dan muntjul lagi dinegeri jang kapitalistis, tiada henti-hentinjalah ia membikin gemparnja kaum jang dimusuhinja, menjatakan diri didalam riwajat dunia, sebagai ditahun 1848, ditahun 1871, ditahun 1905 dan ditahun 1917, — tiada henti-hentinja ia memperingatkan djurus riwajat jang menulis tambonja negeri-negeri Perantjis, Djerman, Inggeris, Rusia, Amerika, dan lain-lain negeri kapitalistis didalam abad kesembilanbelas dan abad kedua puluh, bahwa riwajat dunia-kapitalistis, tak dapatlah tertulis djikalau riwajat itu tidak dihubungkan dengan riwajatnja dan pengaruhnja pergerakan sosialisme atau komunisme tahadi. Selama kapitalisme sendiri belum lenjap, selama sumber-asalnja sosialisme atau komunisme sendiri masih mengalir, selama aturan jang memeras tenaga dan kehidupan kaum buruh itu belum berhenti, maka ...\"  Begitulah Bung Karno meyakini paham komunisme adalah sebagai kenyataan pilar perlawanan terhadap penjajahan kolonialis Belanda di tanah Hindia Belanda pada dua dekade abad XX. Namun ketika Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang didahului dengan Sidang-sidang BPUPKI sejak 29  Mei sampai dengan 16 Juli 1945 dilanjutkan oleh PPKI 10-19 Agustus 1945, jelas tak ada peran PKI. Mantan Ketua PKI 1926, Tan Malaka yang telah berubah menjadi pemimpin nasionalis yang sekaligus komunis,  melalui gerilya politik  oleh kaki tangannya seperti Sukarni, Chairul Saleh , Wikana dan beberapa pemuda Menteng 31 Jakarta menolak hasil kerja BPUPKI dan PPKI, disebabkan itu merupakan proses dan hasil dari kaum fasis dan pengikutnya. Maka dari itu, datanglah Muso sejak Agustus 1948 dengan bersatunya kaum komunis Indonesia memberontak dan mendeklarasikan Negara Soviet di Madiun. Pasca kericuhan politik sepanjang 1950-1959, maka Bung Karno melahirkan konsep Nasakom atas obsesinya Persatuan Nasional dengan memberikan ruang bergerak bagi kekuatan kiri, khususnya bagi PKI . Bung Karno selalu mendorong agar PKI  diterima oleh kaum Nasionalis dan Agama ke dalam  Kabinet. Namun partai-partai Islam (Masyumi, NU dan PSII ....Perti diam saja) menolaknya, juga PNI terpaksa enggan menerima PKI. Bagi kekuatan Islam politik, PKI hanya berpura-pura menerima Pancasila.

Eks Ketum PWI Pusat Hendri Bangun Dilarang Berkantor di Gedung Dewan Pers

Jakarta, FNN | Dewan Pers melalui Surat Keputusan (SK) Dewan Pers  Nomor: 1103/DP/K/IX/2024 secara resmi melarang eks Ketua Umum PWI Pusat, Hendry C Bangun, beserta jajarannya  menggunakan kantor PWI yang berada di Gedung Dewan Pers mulai 1 Oktober 2024.  Surat Dewan Pers ini merupakan pengakuan terhadap hasil Kongres Luar Biasa (KLB) PWI Pusat di Jakarta yang telah memilih pengurus baru dengan Ketua Umum, Zulmansyah Sekedang. \"Era kepemimpinan Hendri Ch. Bangun telah tamat,” tegas Jusuf Rizal, Ketua Umum PWMOI (Perkumpulan. Wartawan Media Online Indonesia) dan Indonesian Journalist Watch (IJW) di Jakarta, Selasa 1 Oktober 2024.  Menurutnya, dengan dikeluarkannya SK Dewan Pers ini, Hendry C Bangun dan kelompoknya secara resmi kehilangan hak untuk menggunakan fasilitas dan sumber daya PWI. Hal ini tentunya menjadi pukulan telak bagi Hendry Ch Bangun yang sebelumnya ngotot mempertahankan posisinya sebagai Ketua Umum PWI. Secara internal di organisasi PWI, keputusan Dewan Pers itu juga diapresiasi. Zumansyah Sekedang, Ketum PWI hasil KLB serta Ketua Dewan Penasehat  PWI Pusat, İlham Bintang mendukung langkah tegas Dewan Pers dalam menyikapi “mbalelonya” Hendri Ch. Bangun. PWMOI, IJW dan LSM LIRA (Lumbung Informasi Rakyat) juga mengapresiasi sikap tegas Dewan Pers itu. “Sikap tegas ini sejak lama kami imbau kepada Dewan Pers agar menyikapi kisruh di tubuh PWI Pusat yang berkepanjangan. Karena sikap tidak sportif Hendri Ch. Bangun telah mencoreng citra dan wibawa organisasi PWI dan Jurnalis ,” tegas Jusuf Rizal. Lebih jauh, Jusuf Rizal menyebutkan dengan terbitnya  diharapkan akan dapat menyelesaikan konflik di tubuh PWI Pusat. Sebagaimana diketahui publik, kasus Hendri Ch.Bangun ini bergulir saat Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat, Sasongko Tedjo melansir ke publik atas  dugaan penyalahgunaan bantuan dana Forum Humas BUMN untuk Pelaksanaan UKW (Uji Kompetensi Wartawan) senilai Rp1,7 Miliar dari total Rp6 milyar.  Jusuf Rizal yang juga Presiden LSM LIRA membangkar kasus tersebut melalui media Anggota PWMOI dan MOI, sehingga viral dan memberi stimulus bagi Anggota PWI Pusat dan Daerah mengkonsolidasikan diri. Hendri Ch. Bangun yang terus ngotot merasa tidak bersalah sehingga melawan Dewan Kehormatan PWI Pusat. LSM LIRA turut melaporkan kasus dugaan penggelapan Dana yang dikuasai Hendri Ch. Bangun tanpa hak tersebut ke Bareskrim Mabes Polri. Dewan Kehormatan kemudian memecat Hendri Ch. Bangun sebagai Ketum PWI Pusat. Kartu keanggotaan PWI-nya dicabut PWI DKI Jakarta hingga kemudian dilaksanakan Kongres Luar Biasa (KLB) yang menghasilkan Ketua Umum PWI Pusat, Periode 2023-2028, Zulmasyah Sekedang. Sejumlah Pengurus PWI daerah juga mendatangi Kantor Dewan Pers. Mereka turut memberi apreasiasi atas sikap tegas Dewan Pers. Mereka yang hadir berasal dari PWI Riau, PWI Bangka Belitung, PWI Banten, PWI Jabar dan PWI DKI Jakarta. “PWMOI dan IJW berharap kisruh di tubuh PWI Pusat segera tuntas. Dan peristiwa memalukan yang dilakukan Hendri Ch. Bangun Cs tidak terjadi lagi di masa mendatangi,” tegas Jusuf Rizal yang juga penggiat anti korupsi itu.

Institut Peradaban Mendorong Polisi Lebih Beradab

Jakarta, FNN |  Polisi sebagai bagian dari sistem penegakan hukum di negeri ini perlu digugat dan bersedia dikoreksi untuk menjadi lebih beradab. Demikian garis besar dari Dialog Peradaban bertajuk “Polisi dan Peradaban”  dengan menghadirkan IrjenPol (P) Bekto Suprapto, mantan anggota Kompolnas sebagai pembicara. Acara ini diselenggarakan oleh Institute Peradaban, lembaga kajian isu-isu stretagis yang didirikan antara lain oleh Prof. Jimly Ashiddiqy dan Prof. Salim Said.  Ketua Pelaksana Dialog Polisi dan Peradaban Dr. Zaki Mubarak dalam siaran persnya Rabu 1 Oktober 2024 mengatakan, kegiatan tersebut diharapkan mampu menggugah kesadaran publik akan pentingnya penegakan hukum yang berkeadaban.  \"Wajah penegakan hukum kita masih centang perenang, oleh karena itu dibutuhkan masukan dan ide-ide yang konstruktif dari orang yang berpengalaman di bidang penegakan hukum, \" jelas Zaki Mubarak.  Zaki, P.hD dari Universitas  Saint Penang, Malaysia,  menegaskan pentingnya budaya dialog yang lebih beradab dalam menyelesaikan masalah-masalah bangsa, termasuk soal penegakan hukum.  \"Kita harus memberi contoh yang lebih beradab dalam memberi masukan, mengkritik, dan memperbaiki keadaan,\" pinta Zaki Mubarak.  Menurut Direktur Eksekutif Institut Peradaban Mohamad Cholid, kegiatan tersebut merupakan bentuk tanggung jawab para pegiat isu-isu peradaban di Indonesia yang merasa terusik dengan praktik politik akhir-akhir yang dinilai mereka kurang beradab.  \"Saya dan rekan-rekan serta para senior yang diskusi rutin di Institut Peradaban merasa resah dengan kondisi bangsa kita akhir-akhir ini. Kami merasa negara kita tidak sedang baik-baik saja,” katanya.  Kegiatan tersebut, lanjut Cholid yang juga mantan  jurnalis itu, dilakukan untuk menggugah seluruh warga bangsa agar ikut terlibat memikirkan dan mencari jalan terbaik bagi kepentingan bersama dalam ikatan NKRI.   \"Penegakan hukum harus kita perbaiki segera, jika hukum tegak akan berdampak positif secara luas ke sektor dan bidang yang lain,\" jelas Cholid.  Untuk itulah, Institut Peradaban tempat para cerdik pandai berdiakusi mengenai masalah-masalah strategis bangsa, bertekad untuk mendiskusikan secara terbuka masalah tersebut pada 2 Oktober 2024 di aula seminar  Gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta.  \"Melalui kegiatan dialog tersebut, kita kembali menjadi warga bangsa yang lebih beradab,\" ujar Zaki.

DN Aidit, Ada Apa dengan Jawa Tengah dan Reinkarnasi PKI ke Depan

Oleh : Joko Sumpeno, Pemerhati Sejarah dan Hukum  Dipa Nusantara Aidit adalah sebuah nama pengesahan di sebuah Kantor Notaris Batavia dari nama Achmad Aidit menjadi Dipa Nusantara Aidit bin Abdullah Aidit. Ketika ia berusia 17 tahun.  Achmad Aidit alias DN Aidit lahir pada 30 Juli 1923,  hari Senin Pahing di Tanjungpandan Belitung.  Kelak dikenal sebagai Ketua CC PKI/ Menko - Wakil Ketua MPRS, penerima Bintang Mahaputera  R. Ipada Agustus 1965. Sobron Aidit, adik Aidit menyapanya Bang Mamat. Pada 23 November 1965 dini hari ,Selasa Legi di Boyolali , tokoh PKI yang amat dekat dengan Bung Karno pada kurun 1960-1965 ini, menemui ajalnya  di hadapan eksekusi  regu tentara dari Brigade IV ( Tiga Batalyon F, G dan H ) di bawah Komandan Letkol Yasir Hadibroto di Boyolali Jawa Tengah.  Entah secara kebetulan atau tidak, jelas pada 23 November 2019 , Sabtu Pahing,  sekitar 55 tahun kemudian ini berlangsunglah Pertemuan Bedah Buku: PKI, Dalang dan Pelaku G30S/ PKI  karya sejarahwan Prof. Dr Aminudin Kasdi, di Jakarta. Revolusi yang ia terus  dengungkan di panggung sejarah R.I terutama.pada kurun 1960-1965, nampaknya memakan Aidit sendiri di akhir pelariannya di Jawa Tengah, khususnya di segitiga Jogja- Solo- Semarang, lebih khusus lagi di Solo- Klaten - Boyolali, sekitar hampir dua bulan diburu tentara  ( 2 Oktober  sampai dengan 22 November 1965 ). Ada apa kaitan pelarian dan atau persembunyian Aidit dengan nasib PKI dan pilihannya ke Jawa Tengah ?  Tentu bisa ditelisik dari sepakterjang Aidit dengan PKI dan Jawa Tengah sebagai \"daerah basis\" kaum merah, khususnya lahir dan besarnya PKI di kawasan ini. Aktivis Ketika usia Aidit menginjak dewasa, di Batavia kemudian Jakarta, Aidit dikenal sebagai pemuda aktivis yang dengan sadar memilih jalur kiri. Sempat menjadi murid Mohammad Hatta. Aidit hanya menyelesaikan di Sekolah Dagang di Jakarta. Aktif di Barisan Pelopor, juga di Angkatan Pemuda Indonesia ( API ). Pada masa Revolusi Agustus, Aidit beserta teman-teman kiri - sosialis dan komunis - memilih bergerak di bawah tanah yang kemudian muncul pasca Proklamasi sebagai relawan pemuda pengawal Bung Karno, khususnya ketika berlangsung Rapat Akbar September 1945 di Lapangan Ikada Jakarta, sebagai ungkapan tekad: Merdeka atau Mati. Sejalan dengan kepindahan ibukota R.I sejak awal Januari 1946, maka PKI pun juga memindahkan pusat aktivitasnya ke Jogja dan sekitarnya. Nampaknya, PKI lebih semarak dan bergairah di kawasan ini, khususnya di Surakarta.  Pada Kongres  PKI ke empat di Solo  Juli1946, Aidit mulai masuk jajaran CC  ( Central Committee ) PKI atau Pengurus Pusat, sekaligus Ketua Fraksi Komunis dalam keanggotaanya di KNIP ( Komite Nasional Indonesia Pusat, semacam MPR/ DPR, lengkap dengan Badan Pekerja KNIP = DPR ).  Sebelumnya, Aidit dianggap berjasa kepada PKI ber kaitan cuci-tangannya partai dalam Peristiwa Tiga Daerah  ( Brebes, Tegal dan Pemalang ) yang berlangsung 3 bulan ( Oktober-November dan Desember 1945/) sebagai kesembronaan aktivis PKI antara lain Widarta dan Ali Archam cs menangani Revolusi Sosial yang gagal. Sedangkan Revolusi Sosial di Surakarta dianggap berhasil dengan penghapusan Daerah Istimewa Surakarta, sejak Juli 1946.   Pada aktivitasnya di Solo inilah, DN Aidit menemukan jodohnya dengan menikahi Sutanti binti Mudigdo yang dokter dan anggota KNIP juga. Yang menikahkan adalah ideolog Komunis- Islam bernama Achmad Dasuki,  alumni Sekolah Islam ( Mamba\'ul Ulum Surakarta Acmad Dasuki adalah ideolognya  Islam yang miring ke komunis, pernah dibuang ke Digul bersama KH Misbach, sebelum menjadi aktivis SI merah Surakarta, KH Misbach  adalah orang Muhanmadiyah seangkatan dengan Fahrudin murid KHAchmad Dahlan. Sedangkan Mudigdo adalah  mantan Kepala Polisi di Semarang, asal Tuban, pernah aktif di Partindo / searah juang dengan PKI pula, mengajar di MULO Muhammadiyah Solo, dan terlibat Peristiwa Madiun yang kemudian dijatuhi hukuman mati. Pada Agustus 1948, terbentuklah fusi kekuatan politik kaum kiri  ( PKI, Partai Buruh - Setiajid, Partai Sosialis Amir Syatifudin, dll ) kedalam front bersama : FDR - Front Demokrasi Rakyat yang diketuai Musso, tokoh senior komunis I ndonesia yang lama bermukim di Moskow;  seangkatan Semaun, Darsono dan Alimin. Di FDR ini, Aidit sebagai Sekretaris Dewan Eksekutif.  FDR tak berumur panjang, menyusul kemudian meletus Peristiwa Madiun 18 September 1948 yang diawali pemogokan buruh  kapas dan goni pada   Mei sampai Juli di Delanggu, kekacauan antar lasykar (/Pesindo/ PKI dan Hizbullah/ Masyumi; antar kesatuan tentara  Divisi Pasopati yang kiri melawan Siliwangi  tentara reguler  yang hijrah ke daerah Republik ( Jogja - Soloa - Kedu sampai Kediri akibat perjanjian Renville Juli 1946.  Kegagalan PKI di FDR membawa tewasnya Musso, Amir Syarifudin (mantan Perdana Menteri/ Menhan di Kabinet yang dilimpinnya ), Setiajid dll. Selepas kegagalan PKI pada 1948, para aktivisnya yang sebagian tewas - bahkan Tan Malaka  dan Menteri Soepeno yang tak terlibat Peristiwa Madiun, menemui ajal di hadapan sekelompok tentara, masing-masing di Tulungagung dan Nganjuk Jawa Timur - kekuatan kiri kocar kacir. Para aktivis tua dan muda yang tak terbunuh melarikan diri/ bersembunyi. Bersembunyi Pada 7 Januari 1951 Aidit muncul dari persembunyiannya antara Matraman  Raya - Kramat Raya-  Gondangdia, namun di koran Sinpo dan sempat dirumorkan, seolah-olah Aidit dan MH  Lukman melarikan diri ke RRT. Itu kreasi Syam, agen ganda sejak dengan  kelompoknya di Patuk Jogja. Rupanya, hoax pun sudah ada  sejak dulu.  Pada saat itulah, Aidit disebut sebagai Sekretaris Jenderal CC PKI dengan beberapa deputy yang mereka sebut Pendowo Limo ( DN Aidit, MH Lukman, Nyoto, Sakirman dan Sudisman ). Sakirman kakak kandung Jenderal S. Parman ( terbunuh pada 30 September 1965 ) pada awal 1950an menjadi Ketua Fraksi PKI di DPR. Pada tahun 1953 berakhirlah karir tokoh tua komunis Alimin dan Tan Ling Jie, digantikan Pendowo Limo di atas. Mulailah PKI agresif kembali, dengan puncak pencapaian pada Pemilu 1955 berhasil menjadi salah satu Empat Besar  kekuatan politik di Indonesi:  PNI 22,1 %, Masyumi 20,9 %, NU 18,4 %/dan PKI 16,3 %. Bagi PKI , hasil pemilu 1955 itu semakin menebalkan kepercayaan diri sebagai kekuatan politik yang harus diperhitungkan. Peristiwa Madiun, aksi-aksi pemogokan 1950-1951, seakan tidak mempengaruhi penampilan PKI sebagai partai yang rusuh dan  pernah memberontak R.I. Bahkan Aidit malah berorasi dalam pembelaaan PKI atas keterlibatan apada Peristiwa Madiun 18 September 1948 sebagai reaksi atas pernyataan Mr Syamsudin dari Masyumi yang membandingkan kekecauan di berbagai daerah dengan petualangan PKI itu. Mr Syamsudin adalah mabatan Walikota Sukabumi, kini namanya diabadikan di RS Samsudin Sukabumi.  Hasil suara untuk PKI, sebagian besar berasal dari penduduk di Pulau Jawa ( 89 % ), sisanya disumbang oleh Sumatera ( 8,6 % ) dan sisanya lagi dari pulau lain. Meskipun PKI memperoleh suara lebih kecil ketimbang Masyumi, NU dan PNI di Jakarta Raya dan Jawa Barat, namjn PKI boleh bangga di Jawa Tengah, PKI nomor dua setelah PNI dengan prosentase 25,8 %. Suara PKI di Jawa Tengah meningkat lagi pada pemilu DPRD Provinsi dan Kab/ Kotapraja bulan September 1957, sehingga PKI Jawa Tengah menggeser PNI. PKI  menjadi partai nomor 1, dengan prosentase suara 34 %, PNI menjadi nomor 2, disusul NU dan terakhir Masyumi. Bahkan di Jawa Timur, meskipun NU tetap nomor satu namun jarak prosentasenya menipis. Semula NU 34,1% dan PKI 23,3 %...pada 1957 itu, jaraknya tinggal 3 %, dengan PNI hanya nomor 3 disusul Masyumi nomor 4. Nampaklah, bahwa Jawa Tengah merupakan daerah basis \" PKI khususnya dan Merah pada umunya. Suara PKI Jawa Tengah menyumbang 38,1 % suara nasionalnya PKI. Ditujuh kabupaten yakni Klaten (/prosentase terbesar  dengan hampir 55 %  sejumlah 204.128 suara bagi PKI  dari semua suara yang masuk sejumlah 387.640 ), Cilacap, Boyolali, Grobogan dan Sukoharjo, PKI menang mutlak dengan suara lebih dari 50 %. Di beberapa kabupaten dan kota lainnya di Jateng, suara PKI juga mengesankan dan sebagai juara 1 yakni di Kabupaten -kabupaten  Semarang, Kota Semarang, Temanggung, Blora, Gunung Kidul, Kota Surakarta dan Kota Yogyakarta. Dengan demikian, PKI dan Aidit pasti tahu bahwa Jawa Tengah adalah harapan besar di atas kenyataan yang menggembirakannya. Kelak terbukti pada 1965, ketika Jakarta gagal memimpin kudeta, Jawa Tengah terutama di Segitiga Solo- Klaten dan Boyolali, Aidit melarikan diri dan bergerak di kawasan tersebut.  Bahkan setelah terbunuhnya Aidit pada 23 November 1965 dinihari  lalu di Boyolali itu, pengurus CC PKI lainnya ( Rewang Cs ) memilih Blitar Selatan Jawa Timur sebagai kelanjutan gerpolisasi PKI. Blitar adalah peraih suara PKI terbesar di Jawa Timur - seperti halnya Klaten di Jawa Tengah - dengan 179.810 suara dari jumlah p suara semua yang masuk 386.355 suara. Bersiasat Pada 30 September 1965, malam Jum\'at Legi itu,  PKI berharap merebut kemenangan revolusi di balik kewibawaan dan kekuasaan Soekarno yang merapuh. Kendati Aidit cs plus Subandrio cs bersiasat  dengan manipulasi politiknya menuduh keberadaan Dewan Jenderal dan  semata sebagai masalah intern Angkatan Darat, tetapi gagal sudah. Bahkan Aidit harus menyudahi kehidupannya melalalui pengejaran oleh tentara ( RPKAD dan Brigade  IV Kodam Diponegoro ) dan tertangkap  hampir tengah malam di rumah seorang buruh kereta api bernama Kasim,  di Kampung Sambeng, Kelurahan Banjarsari - Kota Solo atas kerja intelijen Sriharto orangnya Jenderal Nasution yang disusupkan lama di Solo kemudian menjadi salah satu ajudan Aidit di Solo. Kemudian pada 23 November/dini hari,Selasa Wage 1965, Aidit tewas diujung letusan senjata api regu penembak dari Brigade  Yasir Hadibroto di Boyolali.   Sementara Soekarno ingin mengambil tindakan penyelamatan PKI sebagai partai yang revolusioner melalui penafian G30S/ PKI dan mengantikannya sebagai Gestok ( Gerakan Satu Oktober berdalih pada teknis perwaktuan, 30 September dinihari dianggapkan sebagai 1 Oktober ) ;  disusul pembentukan Barisan Soekarno dan hampir perang antar Angkatan ( RPKAD dan Angkatan Darat pada umumnya versus AURI dan KKO serta AKRI Jatim ) serta tak tertahankannya aksi pemuda dan mahasiswa KAMI/ KAPPI di Jakarta, Bandung, Solo dan Jogja yang merupakan himpunan gerakan kaum muda Muslim plus angkatan muda Katholik dan Kristen  serta Nasionalis kanan di bawah Osa Maliki dan Usep Rabuwiharjo berhadapan dengan massa PKI plus Nasionalis kiri Ali Sastroamijoyo dan Surahman ( ASU ), namun nasib sejarahnya  kian meluncur ke jurang kehancuran. Berbulan- bulan kemudian, sejak Oktober 1965 sampai dengan 1968  dengan dualisme kekuasaan antara Istana dan Markas Kostrad  ( Soeharto dan AH Nasution ) yang memuncakkan suhu politik dan menjatuhkan kursi kepresidenan Soekarno, maka akibatnya kian jelas bahwa PKI kalah di hadapan tentara dan rakyat yang tak mau dengan PKI.  Muhammadiyah dan NU bersatu melawan PKI yang kian limbung di hadapan sejarah. Bahu membahu dengan teman-teman dari Partai Katholik dan Parkindo , menggumpalah kekuatan melawan PKI di bawah kepemimpinan Angkatan Darat blok Kostrad  : Jenderal Soeharto dan Jenderal A.H Nasution. Aidit dalam usia yang sebenarnya merupakan awal kehidupan manusia yang sesungguhnya ( 42 tahun ) dan berhasil membawa PKI pada kurun 1955-1965 sebagai kekuatan politik yang disegani dan selangkah lagi masuk Istana, ternyata tragis di akhir kehidupannya. Kantor CC PKI di Jalan Kramat Raya nomor 57  dan paling megah dibanding Kantor Masyumi, NU, PNI dan Parkindo  di kawasan Kramat Raya. Bahkan, PKI juga telah menyiapkan lahan ( kini dipakai Kemparpostel R. I dan Indosat ). Mendekati lokasi Istana Negara.  Lubang Hitam Hampir saja juga menenggelamkan R.I ke lubang hitam. Akibat tragedi G30S/ PKI itu hingga kini masih meninggalkan jejak dendam yang setiap waktu bisa memicu keretakan sebagai bangsa dalam menegara. Diantara media sosial yang mengecam PKI dengan Aidit sebagai gembong pemberontakan, kini merembes pula pembelaan yang justru menempatkan PKI sebagai korban perang dingin, dikambinghitamkan oleh Angkatan Darat yang sejak 1950 -an akhir menakutkan Bung Karno sendiri. Berkelit dan berkelindan pula  pembelaan terhadap Bung Karno seakan bersih dari noda sejarah kelam itu. Itu hak para pembelanya, namun didepannya juga harus diakui bahwa  para  korban kekiri-kirian politik Soekarno yang ditopang  progresif revolusionernya PKI sejak 1960-1965 pun punya hak sejarah menuduh PKI dan kekuatan militer tertentu yang pejah-gesang nderek Bung Karno dengan segala manifestasnya terhadap kekuatan Islam.  Hebat...juga PKI dan pendukungnya mengaku Pancasila yang sila pertamanya Ke Tuhanan Yang Maha Esa. Bukankah mereka anti agama, sebutlah anti Islam dalam doktrin dan getol memusuhi kekuatan pelajar Islam ( PII dan HMI ). Menyerangnlatihan kader PII di Kanigoro Kediri, minta pembubaran HMI. Hal itu kini terulang kebencian terhadap Islam dibalik tuduhan politik identitas, Kadrunisasi dan kebijakan yang ingin mengubur politik dan eksistensi Islam di tanah air. Sinyal itu telah jelas ditunjukkan sebagaimana PKI pada era pasca Pemilu 1955 sampai gagal meledakkan revolusi kaum tani dengan sokongan Mao dan PKC. Kawan, ideologi tak pernah pernah akan mati.  Terjadi revitalisasi, pribumisasi, inkarnasi di atas basis kontradiksi yang menjadi alat utamanya. Bukankah pada Revolusi Agustus yang PKI bersembunyi kemudian bangkit lagi sejak 1946 dan berkuasa melalui kekuatan kiri yang sehaluan. PKI memang tak pernah berkuasa. Selalu ditentang oleh kekuatan politik Islam dan nasionalis kanan meski main mata dengan nasionalis kiri. Kehebatan PKI adalah kekuatan infiltrasi dan parasitologi yang hampir merebut kekuasaan dengan bertopengkan pada konflik internal Angkatan Darat. Memakan korban sejak 1960-1965, tapi mengaku sebagai korban. Padahal itulah konsekuensinya atas revolusi yang mereka kobarkan sendiri.  Mao bersedih Di hari-hari setelah kematian Aidit, Mao yang menjadi tutor bagi PKI Indonesia yang lebih memilih RRC ketimbang Uni Sovyet sebagai pelindungnya, Mao bersedih dan berharap juga, suatu saat PKI hidup dan semerbak lagi kelak di kemudian hari, sebagaimana diungkapkan Mao dalam pusinya yang dipersembahkan kepada Aidit di bawah ini. BELASUNGKAWA UNTUK AIDIT ( dalam irama Pu Saun Zi ) Di jendela dingin berdiri reranting jarangberaneka bunga di depan semarak riangapa hendak dikata kehembitaan tiada bertahan lamadimusim semi malah jatuh berguguran Kesedihan tiada terhinggamengapa gerangan diri diri mencari kerisauanBunga telah berguguran, di musim semi nanti pasti mekar kembali simpan harum wanginya hingga di tahun mendatang Nah, Anda  bisa berintrepetasi : Apa dan bagaimana potensi Jawa Tengah sebagai kantong tebal bagi suara yang merah dan kiri itu....? *

Presiden Joko Widodo Wajib Berhenti Dalam Masa Jabatan, Ini Alasannya (Bagian 2)

Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) SELAMA menjabat Presiden dua periode 2014-2019 dan 2019-2024, Jokowi telah melakukan banyak pelanggaran peraturan perundang-undangan dan Konstitusi. Ada tiga modus pelanggaran peraturan perundang-undangan yang dilakukan rezim Jokowi. Pertama, Peraturan Presiden melanggar sejumlah Undang-Undang (UU) dan Konstitusi. Kedua, Undang-Undang melanggar sejumlah Undang-Undang lainnya dan Konstitusi. Ketiga, pelaksanaan pemerintahan melanggar sejumlah Undang-Undang yang berlaku dan Konstitusi. Peraturan Presiden yang melanggar sejumlah UU dan Konstitusi sudah dijelaskan di bagian 1 dari tulisan ini. Pelanggaran modus kedua, UU melanggar sejumlah UU lainnya dan Konstitusi, menjadi topik bahasan dalam tulisan ini, sebagai berikut: 1. PERPPU No 1 Tahun 2020 / UU No 2 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 …”. Selanjutnya disebut PERPPU Covid-19. Pertama, PERPPU Covid-19 yang “mewajibkan” Bank Indonesia membeli Surat Utang Negara di pasar perdana, melanggar peraturan tentang independensi Bank Indonesia, seperti diatur di dalam Konstitusi, Pasal 23D UUD 1945, yang berbunyi “Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang”. Yang kemudian diatur dan ditegaskan di dalam Pasal 55 ayat (4) UU No 17 Tahun 2003: “Bank Indonesia dilarang membeli untuk diri sendiri surat-surat utang negara … kecuali di pasar sekunder.” Artinya, bentuk dari independensi Bank Indonesia, antara lain “tidak boleh membeli surat utang negara, kecuali di pasar sekunder”, yang merupakan bagian dari kebijakan moneter. Kedua, PERPPU Covid-19 mengatur APBN ditetapkan dengan Peraturan Presiden. Hal ini melanggar Pasal 23 ayat (1) UUD, yang berbunyi: “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang …. PERPPU Covid-19 juga melanggar Pasal 3 ayat (2) UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara yang menegaskan, “APBN dan Perubahan APBN setiap tahun ditetapkan dengan UU”. 2. Undang-Undang No 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN), melanggar sejumlah UU dan Konstitusi. UU IKN menetapkan Pemerintah Daerah IKN dinamakan Otorita, dengan Kepala Daerah dinamakan Kepala Otorita, yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, serta tidak memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). UU IKN ini melanggar Pasal 18 ayat (1) sampai dengan ayat (6) UUD 1945, yang menyatakan bahwa Indonesia dibagi atas, atau terdiri dari, daerah-daerah Provinsi, dan daerah Provinsi terdiri dari Kabupaten dan Kota, dengan Kepala Daerah masing-masing dinamakan Gubernur, Bupati dan Walikota yang dipilih secara demokratis. Pemerintah daerah memiliki DPRD yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum, dan pemerintah daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi. UU IKN juga melanggar UU Pemerintahan Daerah No 23/2014, bahwa pembentukan daerah baru (provinsi, kabupaten atau kota) melalui pemekaran daerah, dan wajib mendapat persetujuan dari DPRD pemerintah daerah yang dimekarkan, serta wajib memenuhi persyaratan administrasi lainnya. Dampak atas pelanggaran ini, sebagian teritori milik dua kabupaten di Kalimantan Timur, yaitu Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Timur, direbut alias “dianeksasi” oleh pemerintah pusat, melalui Otorita IKN (setara Kementerian atau Lembaga) yang merupakan bagian dari pemerintah pusat. Artinya, pendapatan asli daerah yang seharusnya masuk APBD kedua Kabupaten tersebut direbut dan diakui sebagai pendapatan Otorita, dan masuk APBN. Kenekatan Jokowi memanipulasi bentuk Pemerintahan Daerah menjadi Otorita didasari niat jahat agar Pembangunan Daerah Otorita IKN dapat dilaksanakan oleh pemerintah pusat dengan menggunakan dana APBN. Laporan BPK menunjukkan banyak masalah dalam proyek pembangunan IKN, indikasi terjadi banyak kebocoran. Sebagai konsekuensi, maka semua pengeluaran negara terkait Otorita IKN yang cacat hukum ini menjadi tidak sah, dan harus diakui sebagai penyimpangan APBN dan menjadi kerugian negara. Apalagi kalau proyek pembangunan Otorita IKN ini benar-benar menjadi mangkrak. 3. Undang-Undang Cipta Kerja dan PERPPU Cipta Kerja, melanggar sejumlah UU dan Konstitusi. PERPPU Cipta Kerja memanipulasi faktor “Kegentingan Memaksa”, dengan alasan akan ada “krisis ekonomi global”, untuk memaksakan penerbitan PERPPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) yang menjadi dasar ditetapkannya Proyek Strategis Nasional (PSN). Hal ini melanggar Pasal 22 UUD terkait “Kegentingan Memaksa”, yang pada prinsipnya tidak boleh berdasarkan prakiraan, tetapi harus berdasarkan fakta nyata, bahwa peristiwa genting sedang berlangsung.  Dalam hal PERPPU Cipta Kerja, faktor genting “krisis ekonomi global” harus sedang terjadi, dan di samping itu tidak ada UU yang bisa mengatasi peristiwa genting “krisis ekonomi global” tersebut, sehingga terjadi kekosongan hukum, dan karenanya diperlukan UU (atau PERPPU) dalam waktu secepatnya untuk mengisi kekosongan hukum tersebut. Faktanya, tidak ada “krisis ekonomi global”. Tidak ada kegentingan memaksa. Karena itu, penetapan PERPPU Cipta Kerja tidak sah, menipulatif, karena tidak memenuhi persyaratan “Kegentingan Memaksa” Pasal 22 UUD. Kemudian, pelaksana PSN seharusnya adalah negara (pemerintah, pemerintah daerah, BUMN, BUMD). Tetapi kemudian dimanipulasi dengan mengikutsertakan proyek swasta, seperti Rempang, PIK-2 atau BSD, dan karena itu melanggar PERPPU Cipta Kerja tersebut. Selain itu, penetapan PSN dalam PERPPU Cipta Kerja juga melanggar Konstitusi terkait Hak Asasi Manusia, Pasal 28H ayat (4) UUD yang berbunyi “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.”  Sedangkan status PSN disalahgunakan untuk mengusir dan “merampas” lahan milik masyarakat secara paksa, seperti yang terjadi di Wadas, Rempang, PIK-2, BSD, dan lainnya. Masih banyak UU yang dibuat rezim Jokowi yang bertentangan dengan UU lainnya dan Konstitusi. Antara lain, Undang-Undang tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang mewajibkan masyarakat untuk menabung, melanggar hak masyarakat untuk memilih apakah konsumsi sekarang atau nanti (menabung). Mengingat pelanggaran peraturan perundang-undangan yang sudah begitu banyak, Jokowi tidak layak lagi menjabat Presiden, dan harus diberhentikan. (*)

Preman Bubarkan Diskusi, Tragis dan Memalukan

Oleh Sutoyo Abadi | Kordinator Kajian Politik Merah Putih  KEJADIAN pembubaran secara paksaSilaturahmi Kebangsaan Diaspora bersama Tokoh dan Aktivis Nasional yang di selenggarakan oleh Forum Tanah Air (FTA) di kawasan Kemang. Mampang Prapatan Jakarta Selatan, adalah menjadi tanggung jawab FTA. Kejadian tragis dan memalukan tetapi masalahnya juga sederhana kita tidak pernah dilatih dan dipersiapkan untuk damai dan kita sama sekali tidak di persiapkan menghadapi keadaan yang penuh konflik.  Yang terjadi negara kita memang bukan gambaran cita cita damai, kerjasama, saling menghormati yang mustahil serta membingungkan , melainkan pengetahuan praktis cara menangani konflik yang setiap hari terjadi dan harus dihadapi. Pengetahuan ini bukanlah cara tentang apa yang kita inginkan  melainkan akan lebih rasional dalam menangani konflik jangan ada kekerasan dan saling memaksakan kehendaknya Peristiwa pembubaran diskusi yang dilaksanakan oleh Forum Tanah Air (FTA) di kawasan Kemang. Mampang Prapatan Jakarta Selatan, 28 September 2024 dengan  kekerasan adalah perbuatan  licik, manipulatif, barbar, pemaksaan kehendak dengan cara kekerasan. Hanya situasinya menjadi sangat aneh karena sama sekali tidak ada persiapan antisipasi pengamanan. Terkesan justru adanya ketakutan  untuk menghentikan sikap anarkis, arogan  pengrusakan, pemaksaan menghentikan diskusi yang terjadi dengan bebas, leluasa tanpa kendala dan hambatan. Tidak ada perlawanan sama sekali karena alasan yang sedang berdiskusi para tokoh intelektual dan yang datang membubarkan diskusi adalah preman mungkin di ilusikan makhluk yang menakutkan, garang dan sadis dan tidak boleh dilawan. Lebih aneh lagi setelah pengrusakan dan diskusi berhasil di bubarkan anak anak bayaran hanya terjadi keributan kecil, mereka  meninggalkan tempatnya tampak sangat bersahabat dengan aparat keamanan,  Kejadian ini tidak terlalu spektakuler hanya tragis, memalukan dan memberikan stigma buruk akan terjadi lagi setiap pertemuan tokoh intelektual akan di bubarkan toh tidak akan ada perlawanan. Jadi, alasan tidak ada perlawanan karena adanya ketakutan menjadi  ilusi membela diri: - karena  peserta diskusi memiliki label tokoh dan intelektual maka tidak layak membela diri atau melakukan perlawanan.- karena yang datang adalah para preman atau Orang Tak Dikenal (OTK) makhluk sakral tidak boleh di lawan- karena itu tugas polisi, termasuk polisi boleh kerjasama dan membiarkan mereka beraksi dengan brutal  Termonitor manusia deming di media sosial bahwa kehadiran Prof Din Syamsuddin tokoh Koalisi  Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) dijadikan  alasan pembubaran kegiatan diskusi diframing sebagai salah satu inisiator kegiatan tersebut. yang berpotensi akan merusak Indonesia Kejadian tragis dan memalukan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Forum Tanah Air (FTA). Baik kerjasama dengan kepolisian atau dengan kekuatan lainnya harus bisa menyingkap aktor di belakang kejadian tersebut. (*)

Malam Jahanam September-November 1965  

Melihat G30S tentu tidak semata dari tayangan film dan serpihan medsos, pun tak tak terbatas pada 1965 serta  dua tahun berikutnya sebagai epilog.  Catatan Joko Sumpeno, Pemerhati Masalah Sejarah dan Hukum MALAM jahanam  yang menegangkan jagad politik 60 tahun yang lalu itu sampai kini masih berselimutkan awan sejarah. Ditandai sebagai Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI) menurut versi Dewan Revolusi pimpinan Letkol Untung Samsuri yang melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap 6 jenderal dan 1 perwira pertama Angkatan Darat.  Juga melakukan pendudukan Kantor Postel dan  RRI Jakarta. Siaran langsung mengumumkan terbentuknya Dewan Revolusi pada pagi hari, kemudian menyusul pukul  1.00  pada 1 Oktober 1965 diumumkan bahwa Presiden Sukarno dalam keadaan sehat dan aman dalam  perlindungan Gerakan 30 September sebagaimana sebutan itu  mereka  umumkan sendiri.    Sedangkan Bung Karno dan pengikutnya bersikukuh menyebutkan itu sebagai Gerakan 1 Oktober 1965 (Gestok), dengan alasan bahwa penculikan dan pembunuhan itu terjadi pada lintasan waktu dinihari 1 Oktober.  Bahkan kini berkembang, bahwa G30S tidak harus diikuti tulisan garis miring PKI. Padahal 1 Oktober siang sampai petang, bergeraklah pasukan RPKAD (kini Kopassus) atas perintah dari Panglima Kostrad Mayjen Soeharto merebut instalasi Telkom dan RRI Jakarta yang semula mereka duduki dan kuasai. Kader Muhammadiyah Ketika itu, tentu saya tak tahu apa yang sesungguhnya terjadi tentang peristiwa Gerakan 30 September 1965. Karena memang saya masih kelas IV SD. Saya lahir  pada 1 Mei 1956 di Klaten dan masuk SD pada usia 6 tahun. Gara-gara peristiwa yang istimewa inilah, masa kelas IV SD itu diperpanjang 6 bulan.  Kemudian pada 1973, pada saat saya di SMA Muhammadiyah 1 Klaten, masa belajar diperpanjang lagi 6 bulan, karena ejaan bahasa Indonesia disempurnakan.  Saya tidak tahu apa itu Lubang Buaya, Dewan Revolusi, Dewan Jenderal dan seterusnya. Namun saya tahu nama-nama Bung Karno, Aidit pemimpin PKI, Ali Sastroamijoyo itu Ketua PNI...dan suka menggambar semacam grafiti di tembok gudang minyak kelapa milik pedagang Cina. Gudang itu disebut orang Agentin. Orangtua kami yang Kepala SD dan ibu juga guru SD, berlangganan koran Kedaulatan Rakyat edisi Jogja dan kami punya Radio yang menggunakan batu battery sebanyak 30 buah disusun dalam kotak di bawah kedudukan Radio bermerk Ralin. Juga berlangganan Majalah berbahasa Jawa Panyebar Semangat edisi Surabaya. Saya suka membacanya dan mendengarkan siaran Radio, baik acara siaran berita maupun hiburan khususnya pagelaran Wayang Kulit atau Musik.  Sejak kelas IV  hingga lulus SD pada 1968,  dengan rata-rata nilai 9 (berhitung 10, Bahasa Indonesia 8 dan Pengetahuan Umum 9) itu berkat dipaksa rajin membaca dan suka mendengarkan siaran RRI.  SD kami adalah juara umum hasil ujian Negara SD se Kawedanan Delanggu - Kabupaten Klaten yang terdiri dari empat Kecamatan Ceper, Juwiring, Wonosari dan Delanggu. Upacara dan Latihan Baris Berbaris Pada tahun 1965, sepanjang mulai Mei, Juli menyusul  Agustus sebelum meletusnya pembunuhan para jenderal di Jakarta dan dua perwira menengah di Jogjakarta, di Kawedanan Delanggu  dan lainnya kawasan Jogja - Solo, seingatku selalu meriah dengan pawai dan pertunjukan hiburan. Dari ketoprak, pemutaran film di lapangan dan terutama pagelaran wayang kulit. Di lapangan bola di kawedanan Delanggu yang bernama Lapangan Merdeka, sering dilakukan upacara dan latihan baris berbaris oleh para pemuda yang dilatih tentara. Juga peringatan hari kemerdekaan yang dihadiri banyak orang. Hadirlah berbagai barisan dari macam-macam ormas (organisasi massa  petani, buruh, guru  seperti Sarbupri- Sobsi/PKI,  Gasbindo dari pekerja Islam, KBM- Kesatuan Buruh Marhaen/PNI, BTI sayap PKI, PETANI sayap PNI, GP Ansor/NU, Pemuda Muhammadiyah, PII, Gerakan Pemuda Marhaen/GPM dan orsospol  seperti PKI, PNI, NU , Parkindo, Partai Katholik serta Muhammadiyah). Dari PKI tampil tarian Pentol Tembem, reog yang disaingi serupa oleh massa PNI. Sedangkan dari NU dan GP Ansor menampilkan Orkes Gambus, Muhammadiyah beratraksi dengan drumband dan musik Angklung dari Nasyiatul Asyiah.  Saya masih ingat bintang  NA adalah Mbak Aryati yang cantik dan ramah dan suka menyanyikan lagu Bandung Selatan dalam irama angklung. Banyak hiburan dan warung dengan makanan ala desa. Uang Rp10 sampai Rp100 masih berharga untuk beli es campur, soto, gulali, bakmi jowo dan kue.  Rasanya menyenangkan, meskipun di sana sini suka terjadi perkelahian antarpara pendukung partai yang berbeda. Di Delanggu sering Pemuda Rakyat berkelahi lawan Pemuda Marhaen. Bahkan ada yang meninggal, ketika peringatan kelahiran PNI  Juli 1927-1965 dan kelahiran PKI pada  dua bulan sebelumnya, yakni 23 Mei 1920-1965. Bulan-bulan Agustus sampai Oktober 1965, terjadi kemarau panjang dan hama tikus merajalela. Panen gagal dan harga beras naik yang kemudian terjadi kekurangan pangan. Banyak pengungsi dari Gunung Kidul membanjiri Delanggu yang dikenal sebagai salah satu gudang beras di Jateng Tidak Bisa Bahasa Jawa Tibalah suatu sore di akhir bulan Oktober 1965, toko minyak tanah dan bensin di Delanggu kehabisan stok. Padahal lampu penerangan tiap rumah masih pakai teplok atau petromak, juga untuk memasak makanan/minuman. Juga bisik-bisik dari depot minyak dan bensin campur Nasakom milik Pak Subani di pinggir jalan raya Solo - Jogja yang melintas di Delanggu, bahwa besok akan datang tentara baret merah: Itu tentara Nekolim yang tidak bisa bahasa Jawa....akan tiba di Delanggu. Begitu tiba di rumah dengan hampa tanpa membawa sebotol belanjaan minyak tanah, bisik-bisik tadi saya sampaikan kepada ibu dan ayah. Ayah hanya diam....dan malamnya sampai beberapa  malam-malam berikutnya ayah tidak pulang. Kemudian saya baru tahu, kalau ayah yang Ketua Ranting Muhammadiyah Desa Delanggu,  suka berkumpul di Kantor Cabang Muhammadiyah Delanggu. Hari berikutnya pada akhir Oktober  1965, benar juga tentara baret merah yang dibaju lorengnya bertuliskan RPKAD. Menaiki truk Toyota bercat hijau lumut....turun di di pinggir jalan raya Delanggu.  Jalan waktu itu dihalangi pohon yang ditumbangkan dan kabel telepon bergelantungan putus merintangi jalan raya antara Kartasura sampai dengan Klaten. Saya dan teman-teman yang suka berjamaah sholat Maghrib di Langgar  Mbah Ahmad Sukemi, pagi itu mendekati tentara baret merah dan ingin mencoba bertanya dalam bahasa Indonesia terbata-bata. Karena terpengaruh beberapa orangtua pengikut PKI yang mengatakan bahwa tentara tersebut disangkakan sebagai tentara Nekolim dan tak bisa berbahasa Jawa, maka saya akan bertanya dalam bahasa Indonesia. Eh...nggak tahunya, tentara itu justru bertanya dalam bahasa Jawa: Le.. ngendi omahe  Daryanto (Nak di mana rumahnya Daryanto). Saya jadi berani menjawab: Tonanggan pak, sambil menunjuk ke Utara. Nama sebuah dusun sebelah dari dusun saya yang bernama Dongkolan pada Desa yang sama: Delanggu.  Kemudian beberapa orangtua menghampiri dan membimbing ke arah rumah Daryanto yang dikenal sebagai Ketua Pemuda Rakyat Delanggu. Kemudian...saya tahu dari ayahku, bahwa nama-nama Daryanto, Kunto, juga Pak Lurah Tarno serta Pak Sekretaris Desa Pak Yunanto,  dibawa tentara pengganti RPKAD yakni Yon 411 yang dipimpin Pak Letkol Yasir Hadibroto. Dikabarkan tak pulang selamanya. Tiap malam kami mendengar letusan senjata api dari kejauhan. Setiap sore akhir Oktober sampai November 1965, saya dan teman-teman main ke lapangan Merdeka Delanggu. Melihat pasukan RPKAD berlatih melempar pisau komando. Kemudian kami diajak naik truk RPKAD berkeliling ke desa-desa sambil bernyanyi. Satu peleton (30 orang) RPKAD ditempatkan di Rumah Bola Pabrik Karung Delanggu. Kabarnya 2 batalyon diterjunkan di Jawa Tengah dengan pimpinan langsung komandan resimen RPKAD: Kolonel Sarwo Edhi Wibowo. Ditambah batalyon RPKAD yang berpangkalan di Kartasura, dekat Surakarta. Pada awal November pasukan RPKAD melatih  baris berbaris puluhan pemuda dari GPM/PNI, Pemuda Muhammadiyah, GP Ansor dan dari pemuda gereja Katholik. Dilanjutkan latihan perang-perangan di beberapa lokasi. Entah kenapa beberapa anak seusiaku, termasuk aku mengikuti latihan mereka  dari belakang.  Kami didiamkan, malah kadang disuruh membeli es batu, es lilin dan rokok cap Menara..Kadang latihannya di lereng sungai dan dipinggiran desa. Beberapa kali saya mengikuti dari belakang (Jw:Ngintili...).  Pada suatu kali, ketika kami para murid SD kelas IV bersama murid SMP dan SLTA berjajaran di pinggir jalan raya Solo Jogja yang melintasi Delanggu. Kami diminta oleh pak/ibu guru menunggu kedatangan defile tentara, katanya dari Magelang- Jogja  menuju Solo.  Melintaslah iringan sekian mobil,  panser, berpuluh truk bermuatan tentara bersenjata AK, stengun, di depan jajaran barisan kami. Berteriak Hidup Bung Karno, Hidup Bung Karno....eh kami ditegur Bu guru Mujilah : Mboten pareng, ayo teriak Hidup ABRI, Hidup ABRI. Dan kami mengganti teriakan sesuai anjuran Bu Guru Mujilah dan para guru lainnya. Hidup ABRI pun berlantunan....dan ternyata ketika SMP saya baru tahu kalau Bu Mujilah adalah Ketua Aisyiah Delanggu, teman sesama Guru SD ayah ku yang menjadi Pengurus/Sekretaris  Muhammadiyah Cabang Delanggu. Lalu ....beberapa bulan di tahun berikutnya yakni 12 Maret 1966 ketika saya naik ke kelas V SD, PKI dibubarkan dan keramaian jalanan pun berkurang berganti dengan KAMI dan KAPPI bentrok dengan kalangan pendukung Bung Karno di Solo, Jogja, Bandung dan Jakarta. Oknum KKO berkelahi dengan personil RPKAD ....dan terdengar di radio pada 17 Agustus 1966 Bung Karno menyampaikan pidato JASMERAH sebagai pidato terakhir. Tak Akan Pernah Selesai Jasmerah adalah pidato terakhir Bung Karno yang sebelumnya menggelora pidatonya berjudul: Manipol/Usdek, Resopim, Gesuri, Tavip, Berdikari di Gelora Senayan yang kini bernama Gelora Bung Karno. Sejarah belum dan tak akan pernah selesai, begitu pun sejarah G30S  dengan sebutan PKI atau tidak atau sebutan Gestok sekalipun. Melihat G30S tentu tidak semata dari tayangan film dan serpihan medsos, pun tak tak terbatas pada 1965 serta  dua tahun berikutnya sebagai epilog.  Baca dan pahami juga kejayaan PKI mulai 1960, 1961, 1962, 1963 dan 1964 sebagai prolog PKI  di ketiak Bung Karno yang tersanjung dan tanpa lawan. Karena lawan politiknya telah didiamkan dan diisolasi di tahanan militer dari Madiun sampai Jakarta.*** *Jsp, kini 69 tahun kurang 5 bulan.

Polisi Terlibat Penyerbuan Diskusi FTA?

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan PERISTIWA memalukan dan memilukan terjadi pada tanggal 28 September 2028 di Ball Room Grand Kemang. Sekelompok preman yang  seluruhnya bermasker menyerbu ruangan tempat yang akan digunakan untuk diskusi. Kelompok atau gerombolan ini langsung mencabuti dan merusak atribut atau fasilitas diskusi yang sedianya diselenggarakan oleh Forum Tanah Air (FTA) yang bermarkas di New York USA. Terjadi insiden kecil di luar antara gerombolan dengan Satpam Hotel. Sebagian tamu atau tokoh yang hadir hanya kaget dengan serbuan tiba-tiba tersebut. Setelah merusak dan membawa fasilitas yang ada, gerombolan preman tersebut segera keluar sambil berupaya membubarkan acara. Diskusi sendiri belum dimulai. Panitia dan para tokoh tidak membubarkan diri melainkan mengadakan Konperensi Pers darurat untuk menyikapi kejadian brutal dan tidak beradab tersebut.  Lucunya, aparat keamanan sepertinya membiarkan kejadian tersebut. Bahkan setelah mereka digiring ke luar pagar hotel, terlihat petugas Kepolisian berangkulan hangat dengan pimpinan dan beberapa anggota gerombolan tersebut. Dugaan terjadinya kerjasama antara aparat dan gerombolan semakin menguat. Ini bukti yang dapat menjadi pintu masuk bagi pengusutan tindakan brutal dan kriminal tersebut. Dalam Konperensi Pers yang dipandu Hersubeno Arief, Ketua FTA Tanta Kesantra, Prof Dien Syamsuddin, Mayjen Purn Soenarko, Said Didu, Refly Harun, Bunda Merry, Marwan Batubara dan Rizal Fadillah pada pokoknya mengecam perilaku biadab gerombolan preman tersebut, mendesak Kepolisian untuk mengusut tuntas, serta akan menyiarkan peristiwa ke berbagai negara di lima benua. Pelanggaran hak-hak asasi manusia dan demokrasi seperti ini tidak dapat dibiarkan.  Diskusi Kebangsaan FTA dihadiri juga oleh tokoh-tokoh  seperti Jenderal Purn Fahru Rozi, Brigjen Purn Purnomo, Prof Sayuti, Gde Sriana, HM Mursalin, Ust Donny, Ir. Syafril Sofyan, Ida Kusdiyanti, Jumhur Hidayat, Abraham Samad dan lainnya. Tanpa memenuhi kemauan gerombolan, acara berlangsung santai hingga makan siang. Obrak-abrik mereka gagal mencapai target, hanya tindakan bunuh diri bagi preman-preman, kepolisian dan rezim Jokowi. Kini peranyaannya apa kata dunia? Tangkap dan proses hukum 25 anggota gerombolan preman-preman biadab. Kapolri Jenderal Listyo harus menindak aparat Kepolisian yang jelas-jelas terlibat, Jokowi harus bertanggung jawab. Forum Tanah Air (FTA) adalah kumpulan Warga Indonesia yang tersebar di berbagai belahan dunia. Kaum diaspora ini memiliki kepedulian dan kecintaan tinggi kepada tanah airnya. Ingin Indonesia menjadi lebih baik ke depan. Peristiwa penyerbuan acara FTA menjadi cermin wajah pemerintahan Jokowi yang semakin membusuk. Operasi premanisme, brutalisme, melanggar demokrasi dan hak asasi, haruslah mendapat sanksi. Apalagi melibatkan oknum-oknum Polisi.  Tangkap anggota gerombolan dan proses hukum. Tindak anggota Kepolisian yang terlibat baik tingkat Polsek, Polres ataupun  Polda. Hukum, demokrasi, dan HAM harus dihormati. (*)